Upload
vuongcong
View
248
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KOMPARATIF TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN
AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT PROF. AHMAD
TAFSIR DAN PROF. ZAKIAH DARADJAT
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
MUHAMMAD ROSIDUL ANWAR
NIM : 073111109
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Rosidul Anwar
Nim : 073111109
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya
saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
.
Semarang, 24 Nopember 2011
Saya yang menyatakan,
Muhammad Rosidul Anwar
NIM. 073111109
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH JL. Prof. Dr. HAMKA (Kampus ) Ngalian Semarang
Telp. (024) 7601291 Fax.7615387
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : Relevansi Kandungan Al-Qur'an Surat Ar-Rum Ayat 41
dengan Pelestarian Lingkungan pada Mapel Biologi
Materi Pokok Pencemaran Lingkungan Nama : Rini Fauziati
NIM : 063811032
Jurusan : Tadris
Program Studi : Tadris Biologi
telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Semarang, 15 Juni 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua, Sekretaris,
Drs. Wahyudi, M.Pd. Lianah, M.Pd
NIP. 19680314 199503 1001 NIP. 19590313 198103 2007
Penguji I, Penguji II,
Nur Khasanah, S.Pd Dr. Ahwan Fanani, M.Ag
NIP. 19751113 200501 2001 NIP. 19780930 200312 1001
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs.Listyono, M.Pd Drs Achmad Sudja'i, M.Ag
NIP. 19691016 200801 1 008 NIP. 19511005 197612 1 001
iv
NOTA PEMBIMBING Semarang, Juli 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul Skripsi : STUDI KOMPARATIF TERHADAP KONSEP
PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT PROF. AHMAD TAFSIR DAN PROF.
ZAKIAH DARADJAT
Nama : Muhammad Rosidul Anwar
NIM : 073111109
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing I,
Dra. Nur Uhbiyati, M.Pd
NIP. 19520208 197612 2 001
v
NOTA PEMBIMBING Semarang, Juli 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul Skripsi : STUDI KOMPARATIF TERHADAP KONSEP
PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT PROF. AHMAD TAFSIR DAN PROF.
ZAKIAH DARADJAT
Nama : Muhammad Rosidul Anwar
NIM : 073111109
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing II,
Ismail, M.Ag
NIP. 19711021 199703 1 002
vi
ABSTRAK
Judul: Studi Komparatif Terhadap Konsep Pendidikan Agama dalam
Keluarga Menurut Prof. Ahmad Tafsir dan Prof. Zakiah Daradjat
Penulis: Muhammad Rosidul Anwar
NIM : 073111109
Skripsi ini membahas konsep pendidikan agama dalam keluarga
menurut Prof. Ahmad Tafsir dan Prof. Zakiah Daradjat. Kajiannya
dilatarbelakangi bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan
pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi awal
dari watak dan pendidikan anak. Yang menjadi masalah dari penelitian ini
yaitu Konsep Pendidikan Agama yang bagaimana yang dapat membangun
keluarga yang islami? Dari masalah ini patut dijawab apa yang menjadi
hambatan bagi keluarga dalam menanamkan pendidikan agama? Berangkat
dari masalah tersebut, maka metode research yang digunakan bersifat
kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan serta analisis bersifat deskriptif.
analisis data induktif dan komparatif.
Kesimpulan dari research ini meliputi (1) persamaan pendapat kedua
tokoh itu yaitu kedua tokoh ini menganggap komponen utama yang dapat
membentuk perilaku anak yaitu pertama, peran pendidikan agama; kedua,
orang tua sebagai benteng utama yang memiliki pengaruh besar dalam
mewarnai sepak terjang anak. (2) Perbedaan pendapat kedua tokoh tersebut
yaitu yaitu Ahmad Tafsir cenderung menggunakan pendekatan filsafat, hal ini
dapat dimengerti karena ia memiliki latar belakang pakar filsafat, sedangkan
Zakiah Daradjat mengarah pada pendekatan psikologi Islam dan kesehatan
mental. (3) Apabila memperhatikan konsep pendidikan agama dalam keluarga
yang dikemukakan Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat, maka tujuan
konsepnya yaitu (a) Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (b) Membangun
anak yang berakhlak al-karimah. (c) Membangun anak yang cerdas dalam
iman dan taqwa. Apabila tujuan pendidikan agama dalam keluarga, dari kedua
tokoh ini ditinjau dari tujuan pendidikan Islam maka sangat relevan dengan
pendidikan Islam. (4) Aktualisasi konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat
tentang pendidikan agama dalam keluarga sangat relevan dengan keadaan
keluarga masa kini. Apabila memperhatikan kondisi orang tua dan anak pada
masa kini maka dapat dikatakan sangat memprihatinkan karena kenyataan
menunjukkan bahwa salah satu problema yang dihadapi bangsa Indonesia
pada zaman kemajuan ini, terutama di kota-kota besar ialah gejala-gejala yang
menunjukkan hubungan yang agak terlepas antara ibu-bapak dengan anak-
anaknya. Seorang ahli sosiologi menamakannya krisis kewibawaan orang tua.
vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:158 th. 1987, Nomor:1543b/u/1987
.
t ط a ا
Z ظ b ب
' ع t ت
g غ ś ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل D د
m م ż ذ
n ن r ر
w و Z ز
h ه S س
, ء Sy ش
y ي ş ص
d ض
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “STUDI KOMPARATIF TERHADAP
KONSEP PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT PROF.
AHMAD TAFSIR DAN PROF. ZAKIAH DARADJAT”, skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) dalam
ilmu Tarbiyah pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Dalam Selesainya laporan skripsi ini, tentu saja tidak lepas dari peran serta
dan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu, melalui pengantar ini,
perkenankanlah penulis untuk mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Suja‟i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Ibu Dra. Nur Uhbiyati, M.Pd. dan Bapak Ismail, M.Ag. selaku Dosen
pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan tenaga ditengah
kesibukannya. Terimakasih atas nasehat, motivasi, bimbingan yang tiada
ternilai harganya.
3. Semua Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, yang telah
mengabdikan ilmu-ilmunya kepada kami.
4. Staf Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, yang telah dengan sabar
melayani segala urusan peneliti dalam mengatasi masalah administrasi
selama penulis belajar.
Akhir kata, penulis berdoa, semoga karya yang sangat sederhana ini dapat
bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan bagi para pembaca pada umumnya,
Amin Ya Robbal „Alamin.
Semarang, 24 Nopember 2011
Penulis,
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... ii
PENGESAHAN............................................................................................. iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................. vi
TRANSLITERASI ........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Penegasan Istilah ...................................................................... 4
C. Perumusan masalah .................................................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 8
E. Telaah Pustaka .......................................................................... 9
F. Metode Penelitian ..................................................................... 12
G. Sistematika Pembahasan ........................................................... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DALAM
KELUARGA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Agama …. .......................................................... 16
1. Pengertian Pendidikan Agama .............................................. 16
2. Landasan Pendidikan Agama ................................................ 20
3. Tujuan Pendidikan Agama .................................................... 23
B. Keluarga .............................................................. 25
1. Pengertian Keluarga .............................................................. 25
2. Perkembangan Anak dalam Keluarga .................................... 28
3. Karakteristik Anak Pada Setiap Perkembangan ..................... 30
C. Orang Tua dan Anak .............................................................. 35
1. Hak Orang Tua dari Anak ..................................................... 35
x
2. Tugas dan Kewajiban Orang Tua Terhadap anak................... 40
D. Pendidikan Agama dalam Keluarga .......................................... 42
BAB III: KONSEP PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT AHMAD TAFSIR DAN ZAKIAH DARADJAT
A. Biografi Ahmad Tafsir .............................................................. 45
1. Latar Belakang Ahmad Tafsir ............................................... 45
2. Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Ahmad Tafsir ........................................................................ 51
B. Biografi Zakiah Daradjat .......................................................... 62
1. Latar Belakang Zakiah Daradjat ............................................ 62
2. Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Zakiah Daradjat ................................................... 68
BAB IV: ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN AGAMA DALAM
KELUARGA MENURUT AHMAD TAFSIR DAN ZAKIAH
DARADJAT
A. Analisis Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Ahmad Tafsir ....................................................... 80
B. Analisis Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Zakiah Daradjat ....................................................... 87
C. Relevansi Konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
Pendidikan Agama dalam Keluarga dengan Tujuan Pendidikan
Islam ....................................................... 102
D. Aktualisasi Konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
Pendidikan Agama dalam Keluarga Masa Kini ......................... 104
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 110
B. Saran-Saran .............................................................................. 112
C. Penutup .................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan berlangsung terus selama hidup seseorang.1
Menurut Noeng Muhadjir masyarakat awam mengenal adanya aktivitas
pendidikan di sekolah, pesantren, palang merah, dan juga di dalam keluarga.
Banyak lagi aktivitas interaktif antarmanusia yang disebut pendidikan, namun
juga sekaligus banyak daerah-daerah batas yang membingungkan untuk dapat
disebut aktivitas pendidikan.2 Sejalan dengan itu menurut Ahmad Tafsir para
ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan.
Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek
kepribadian yang dibina dalam kegiatan itu, masing-masing kegiatan tersebut
dapat disebut pendidikan. Dengan perkataan lain kesulitan itu disebabkan oleh
banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina
oleh pendidikan.3
Pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi
penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk
memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Dengan demikian tanpa
pendidikan, generasi manusia sekarang tidak akan berbeda dengan generasi
manusia masa lampau, dan generasi yang akan datang (anak keturunan) tidak
akan berbeda dengan generasi sekarang, bahkan mungkin saja akan lebih
rendah atau lebih jelek kualitasnya.4
Adapun pendidikan itu dapat berlangsung melalui beberapa proses,
sedangkan pendidikan agama dalam keluarga merupakan pendidikan yang
pertama dan utama. Keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri atas kepala
1Paul Lengrand, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Terj. Goenawan
Muhammad, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1981), hlm. 31. 2Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2005), hlm. 1. 3Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 5. 4Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2006),
hlm. 1.
2
keluarga (ayah), ibu, dan anak. Dengan demikian, keluarga juga dapat
dikatakan sebagai masyarakat dalam lingkup mikro. Dalam keluarga yang
mula-mula terdiri ayah dan ibu akan terjalin interaksi edukatif dan bahkan
meluas ke lingkungan masyarakat.5
Dalam proses pendidikan, anak sebelum mengenal masyarakat yang
lebih luas dan mendapat bimbingan dari sekolah, terlebih dahulu memperoleh
perawatan dan bimbingan dari kedua orang tuanya. Perawatan dan bimbingan
tersebut dengan dilandasi penuh edukatif yang diberikan kedua orang tua,
kemudian disusul pengaruh yang lain, seiring dengan Sabda Rasul Saw:
Telah mengabarkan Adam kepada kami dari Ibnu Dzi'bu dari az-
Zuhri dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah r.a
berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: semua anak dilahirkan suci,
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.
(H.R. Bukhari).
Hadis di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap anak itu lahir
dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang akan menjadikan ia
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk
pertama kali pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak
langsung akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Ibu
merupakan orang tua yang pertama kali sebagai tempat pendidikan anak.
Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah
5Mansur, Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2005), hlm. 1 – 2. 6Imam al-Bukhâri, Sahîh al-Bukharî, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), hlm. 297.
3
mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat.7 Dengan generasi yang kuat
berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat kelak
mengarungi kehidupan yang lebih global bila dibandingkan waktu awal ada di
dalam kandungan yang hidup dalam lingkungan sempit.
Makna pendidikan tidaklah semata-mata menyekolahkan anak ke
sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas daripada itu.
Seorang anak akan tumbuh berkembang dengan baik manakala ia memperoleh
pendidikan yang paripurna (komprehensif), agar ia kelak menjadi manusia
yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang
demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas, yaitu sehat fisik, mental-
emosional, mental-intelektual, mental-sosial dan mental-spiritual. Pendidikan
itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar
rumah, formal di institut pendidikan dan non formal di masyarakat.8
Menurut Yunan Nasution, kenyataan menunjukkan bahwa salah satu
problema yang dihadapi bangsa Indonesia pada zaman kemajuan ini, terutama
di kota-kota besar ialah gejala-gejala yang menunjukkan hubungan yang agak
terlepas antara ibu-bapak dengan anak-anaknya. Seorang ahli sosiologi
menamakannya krisis kewibawaan orang tua. Banyak orang tua yang tidak
dapat mengendalikan putera-putrinya, kalau boleh dikatakan sudah seperti
hujan berbalik ke langit, yaitu putra putri itulah dalam prakteknya yang
mengendalikan orang tua mereka. Yang agak membangunkan pikiran dalam
hal ini ialah bahwa peristiwa itu banyak dijumpai di kalangan keluarga-
keluarga yang disebut cabang atas yang mempunyai kedudukan sosial
ekonomi yang baik, dan pada umumnya terdiri dari orang-orang terpelajar dan
berpendidikan tinggi. Bahkan ada pula di antaranya yang memegang fungsi
penting dalam jabatan negara. Hal itu semua disebabkan pendidikan yang
hanya menitikberatkan agama sebagai ilmu pengetahuan, dan bukan
pengamalannya. Selain itu karena pendidikan agama tidak sampai esensinya
7Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, (Kairo: Darul
Qouniyah, 1964), hlm. 116. 8Dadang Hawari, Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2008), hlm. 195 – 196.
4
melainkan hanya berada pada garis permukaan. Di samping itu tertinggalnya
pemahaman akhlak dibandingkan kemajuan sains dan teknologi.9
Berbeda halnya dengan pendapat Yunan Nasution, Nurcholish Madjid
mempunyai pandangan bahwa jika disimak lebih mendalam petunjuk-petunjuk
ilahi, maka dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya hubungan orang tua
dan anak dalam hidup ini, dan betapa ia terkait erat secara langsung dengan
inti makna hidup itu sendiri. Pendidikan anak tidak harus menggunakan cara-
cara konvensional, anak harus diperkenalkan dinamika perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pemahaman agama yang sempit akan menjadikan
anak bersikap tertutup dan kesulitan menghadapi kenyataan hidup.
Menurutnya, menitikberatkan penanaman akhlak tidak akan berhasil dengan
baik jika anak tidak dibekali ilmu pengetahuan yang dapat bersaing dengan
kemajuan zaman.10
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa pendidikan agama
sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak.
Sejalan dengan itu menurut Ahmad Tafsir, banyak orang tua mempercayakan
seratus persen pendidikan agama bagi anaknya ke sekolah, karena di sekolah
ada pendidikan agama dan ada guru agama. Orang tua agaknya merasa bahwa
upaya itu telah menukupi, padahal itu sama sekali belum mencukupi, inilah
yang harus dipirkan.11
Demikian tampaknya Ahmad Tafsir melihat dari subjek yang mendidik
tidak cukup hanya guru atau dosen akan tetapi juga orang tua sebagai benteng
pertama yang dapat mewarnai kehidupan keluarga. Menurut Zakiah Daradjat
orang yang tidak pernah mendapatkan didikan agama, tidak akan mengetahui
nilai moral yang dipatuhinya dengan sukarela dan mungkin tidak akan
merasakan apa pentingnya mematuhi nilai moral yang pasti dan dipatuhi
dengan ikhlas. Apabila agama masuk dalam pembinaan pribadi seseorang,
maka dengan sendirinya segala sikap, tindakan, perbuatan dan perkataannya
9M.Yunan Nasution, tth, Pegangan Hidup, jilid 3, (Solo: Ramadhani, 1990), hlm. 50.
10Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 81. 11Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 4.
5
akan dikendalikan oleh pribadi, yang terbina di dalamnya nilai agama, yang
akan jadi pengendali bagi moralnya.12
Mencermati uraian di atas, maka sebabnya tema pendidikan agama
dalam keluarga perlu diteliti adalah karena pendidikan agama dalam keluarga
merupakan pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak
fondasi awal dari watak dan pendidikan anak. Yang menjadi masalah dari
penelitian ini yaitu Konsep Pendidikan Agama yang bagaimana yang dapat
membangun keluarga yang islami? Dari masalah ini patut dijawab apa yang
menjadi hambatan bagi keluarga dalam menanamkan pendidikan agama?
Berdasarkan alasan tersebut, peneliti termotivasi memilih judul: Studi
Komparatif terhadap Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Prof. Ahmad Tafsir dan Prof. Zakiah Daradjat
B. Penegasan Istilah
Agar pembahasan tema dalam skripsi ini menjadi terarah, jelas dan
mengena yang dimaksud, maka perlu dikemukakan batasan-batasan judul
yang masih perlu mendapatkan penjelasan secara rinci.
1. Pendidikan
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari
sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari segi pandangan individu.
Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat
mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke
generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Dilihat
dengan kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-
potensi yang terpendam dan tersembunyi. Ada lagi pandangan ketiga
tentang pendidikan, yaitu yang sekaligus memandang dari segi masyarakat
atau alam jagat dan dari segi individu. Dengan kata lain pendidikan
12Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
2005), hlm. 49-50.
6
dipandang sekaligus sebagai pewarisan kebudayaan dan pengembangan
potensi-potensi.13
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa
pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai
bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan
serta membentuk disiplin hidup.14
Pernyataan ini setidaknya
mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas
manusia, memerlukan adanya pendidikan. Maka dalam pengertian umum,
kehidupan dari komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan di
dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan
hidup manusia.15
2. Agama
Mengenai arti kata "agama" bahwa dalam Oxford Advanced
Leaner's Dictionary of Current English, dinyatakan, bahwa:
"Religion: believe in the existenced of God or gods, Who has/have
created the universe and given man a spiritual nature which
continuous to exist after the dead of the body"16
(agama adalah suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang
Esa, atau Tuhan-Tuhan, yang telah menciptakan alam semesta, dan
memberikan roh kepada manusia yang akan tetap ada setelah matinya
badan).
Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam
menegaskan bahwa Islam mengandung arti dua macam, yakni (1)
13Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,
2005), hlm. 1-2 14Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006),
hlm. 1. 15
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.
67 16As Hornby, Oxford Student's Dictionary of Current English, (New York: Oxford
University Press, Third Impression, 1984), hlm. 725.
7
mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada
kehendak Allah.17
Dengan demikian, pengertian kata "pendidikan" dan kata "agama
Islam" yang masing-masing telah diuraikan, dapat disatukan menjadi suatu
pengertian pendidikan agama Islam secara integral. Mengenai pengertian
pendidikan agama Islam banyak pakar pendidikan yang memberikan
definisi secara berbeda di antaranya: menurut Achmadi, pendidikan agama
Islam ialah "usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan
fitrah keberagamaan (religiousitas) subjek didik agar lebih mampu
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam." Implikasi
dari pengertian ini, pendidikan agama Islam merupakan komponen yang
tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam. Bahkan tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai jalur
pengintegrasian wawasan agama dengan bidang-bidang studi (pendidikan)
yang lain. Implikasinya lebih lanjut, pendidikan agama harus sudah
dilaksanakan sejak dini melalui pendidikan keluarga, sebelum anak
memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang lain.18
3. Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Inggris yaitu familiy. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah ibu dan bapak beserta
anak-anaknya; seisi rumah.19
Abd Al-Ati sebagaimana disitir Ramayulis
membagi macam-macam keluarga yaitu keluarga posisi utama (primary)
dan keluarga posisi tambahan (suplementary), yang keduanya saling
melengkapi bangunan keluarga dalam Islam. Posisi utama (primary)
adalah keluarga dalam tingkatan pertama yang terdiri atas ayah, ibu dan
anak. Posisi tambahan (suplementary) adalah keluarga pada tingkatan
17Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (New York: National Publication,
tth), hlm. 4. 18
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29. 19Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.
536.
8
kedua, yang terdiri atas anggota dari keturunan ibu baik ke samping
maupun ke atas dan keluarga karena persamaan agama. Bagi setiap
keluarga diperlukan seorang kepala keluarga yang memegang kendali
pimpinan dan penanggung jawab utama, menurut ajaran Islam
penanggung jawab utama ialah suami.20
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan agama dalam keluarga menurut Ahmad
Tafsir dan Zakiah Daradjat serta relevansinya dengan tujuan pendidikan
Islam?
2. Bagaimana aktualisasi konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
pendidikan agama dalam keluarga masa kini?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai, dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep pendidikan agama
dalam keluarga menurut Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat serta
relevansinya dengan tujuan pendidikan Islam
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktualisasi konsep Ahmad
Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama dalam keluarga
masa kini
b. Manfaat Penelitian
Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis, penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk
20Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005),
hlm. 2.
9
menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pendidikan
agama dalam keluarga.
2. Secara Praktis, dengan meneliti konsep pendidikan agama dalam
keluarga menurut Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat, maka akan
menambah pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran
kedua tokoh tersebut. Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang
konsep pendidikan anak sedikit banyak akan dapat membantu dalam
pencapaian tujuan dalam membentuk anak yang sehat jasmani dan
rohani yaitu yang beriman, berilmu dan beramal shaleh.
E. Telaah Pustaka
Berdasarkan Penelitian di perpustakaan, didapatkan adanya skripsi dan
tesis yang judulnya hampir sama dengan penelitian ini, di antaranya:
Pertama, skripsi yang disusun oleh Suherman (NIM 3197063 Tahun
2003) berjudul: Peranan Keluarga dalam Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
bagi Anak-Anaknya Menurut Konsep Prof. Ramayulis dalam Buku Pendidikan
Islam dalam Rumah Tangga. Kesimpulan dari skripsi itu pada intinya
menyatakan: keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan
jasmani yang baik. Begitu juga dalam hal memperoleh pengetahuan seseorang
cara menjaga kesehatan. Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anaknya
sudah dapat dilaksanakan sebelum bayi lahir. Yaitu melalui pemeliharaan
terhadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan halal selama
mengandung, sebab hal itu berpengaruh pada anak dalam kandungan ibu.
Setelah bayi lahir maka tanggung jawab keluarga terhadap kesehatan
anak dan ibunya menjadi berlipat ganda, dan dapat menggunakan berbagai
cara untuk melindungi dan memelihara anak-anak agar menjadi sehat. As-
Sayyid menyatakan: “Dalam pendidikan Islam, tuntunan yang baik untuk
melindungi kesehatan badan, adalah dengan cara wiqoyah, yaitu penjagaan
kesehatan (tindakan preventif). Metode ini lebih efektif bila dibandingkan
dengan pengobatan (kuratif). Sungguh merupakan konsepsi pendidikan
10
kesehatan yang sangat bagus, jauh melampaui pendapat para ahli medis, yang
saat ini juga mengandalkan teori serupa. Itulah sebabnya, apabila Islam
melarang untuk melakukan perzinaan, tidak lain adalah untuk menjauhkan
masyarakat dari penyakit menular. Demikian juga larangan Islam terhadap
minuman keras, dimaksudkan untuk menjaga masyarakat dari kerusakan
(gangguan) akal. Anjurannya yang lain akan kesederhanaan makan dan
minum mengandung maksud untuk menjaga badan dari penyakit pencernaan.
Kedua, tesis yang disusun oleh Makmur (NIM 520148, tahun 2005
IAIN Walisongo Semarang) berjudul: Upaya Pendidikan Agama dalam
Menanggulangi Kenakalan anak Remaja Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
Penyusun tesis ini mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya
kenakalan anak sebagai berikut: kurangnya didikan agama; kurang teraturnya
pengisian waktu; tidak stabilnya keadaan sosial politik dan ekonomi;
kemerosotan moral dan mental orang dewasa; banyaknya film dan buku-buku
bacaan yang tidak baik; pendidikan dalam sekolah yang kurang baik dan
perhatian masyarakat yang sangat kurang terhadap pendidikan anak-anak.
Penanggulangan sedini mungkin dari semua pihak, terutama orang tua
dan para pendidik sangat diutamakan karena orang tua merupakan basis
terdepan yang paling dapat mewarnai perilaku anak. Untuk itu orang tua dan
para pendidik harus bekerja sama sebagai mitra dalam menanggulangi
kenakalan anak. Yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut: pertama,
perlu peningkatan pendidikan agama; dan yang kedua, orang tua harus
mengerti dasar-dasar pendidikan.
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Aeni Fitriyah (NIM 1103050, tahun
2008 IAIN Walisongo Semarang) berjudul: Studi Komparasi Pendapat
Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid tentang Peran Agama dalam
Kehidupan Keluarga (Suatu Kajian dengan Pendekatan Konseling Keluarga
Islami). Kesimpulan dari skripsi itu pada intinya menyatakan: dalam
pandangan Quraish Shihab bahwa setiap orang diberi naluri untuk beragama
karena agama itu merupakan kebutuhan fitri. Allah Swt menciptakan
demikian, karena agama menjadi bagian yang penting dalam kehidupan
11
manusia. Agama sebagai petunjuk hidup naik untuk kepentingan di dunia
maupun di akherat. Sejalan dengan itu pandangan Nurcholish Madjid
menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga yang amat penting yaitu
adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.
Jika dikomparasikan konsep Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid
tentang peran agama dalam kehidupan keluarga ditinjau dari bimbingan dan
konseling keluarga Islami, maka pendapat M. Quraish Shihab dan Nurcholish
Madjid sesuai dengan tujuan konseling keluarga Islami adalah untuk
membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan
dengan pernikahan, antara lain dengan jalan: membantu individu memahami
hakikat pernikahan menurut Islam; membantu individu memahami tujuan
pernikahan menurut Islam; membantu individu memahami persyaratan-
persyaratan pernikahan menurut Islam; membantu individu memahami
kesiapan dirinya untuk menjalankan pernikahan; membantu individu
melaksanakan pernikahan sesuai dengan ketentuan (syariat) Islam.
Keempat, skripsi yang disusun oleh Falihah (NIM 3100176, tahun
2007 IAIN Walisongo Semarang) berjudul: Konsep Dadang Hawari dan
Yunan Nasution tentang Pendidikan Anak. Kesimpulan dari skripsi itu pada
intinya menyatakan: makna pendidikan tidaklah semata-mata kita
menyekolahkan anak ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun
lebih luas daripada itu. Seorang anak akan tumbuh berkembang dengan baik
manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif), agar ia
kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan
agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas, yaitu
sehat fisik, mental-emosional, mental-intelektual, mental-sosial dan mental-
spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di
rumah maupun di luar rumah, formal di institut pendidikan dan non formal di
masyarakat. Berbicara soal pendidikan anak, menurut Dadang Hawari
menyangkut tiga hal pokok. yaitu: (1) aspek kognitif; (2) aspek afektif dan (3)
aspek psikomotor.
12
Hubungan konsep Dadang Hawari dan Yunan Nasution tentang
pendidikan anak dengan konsep pendidikan Islam yaitu kedua tokoh
menempatkan pendidikan orang tua dan para guru serta institusi pendidikan
Islam tidak hanya mampu mengembangkan aspek kognitif tapi juga mampu
membangun aspek afektif dan psikomotor. Dalam mendidik anak, tidak cukup
diberi bekal ilmu agama dalam arti sempit melainkan juga ilmu pengetahuan
umum dan teknologi harus dintegrasikan dan tidak dijadikan dikhotomi
keduanya. Dari sini tampak hubungan yang mendasar dari pandangan kedua
tokoh dan konsep pendidikan Islam. Konsep kedua tokoh dan konsep
pendidikan Islam sangat menyadari bahwa tanpa ditunjang oleh pendidikan
Islam maka sangat mustahil dapat membangun anak yang cerrdas dan imam
serta takwa. Pendidikan diakui dapat meningkatkan ranah kognitif tapi belum
tentu dapat membangun potensi afektif dan psikomotor. Maka pendidikan
Islam merupakan alternatif yang paling tepat untuk membangun ranah afektif
dan psikomotor.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat ditegaskan bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan penelitian yang hendak dilakukan. Penelitian
sebelumnya belum membahas pendapat Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat
tentang konsep pendidikan agama dalam keluarga ditinjau dari tujuan
pendidikan Islam. Sedangkan penelitian saat ini menggunakan dua tokoh
tersebut.
F. Metode Penelitian
Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama
dalam menggunakan data. Apabila seseorang mengadakan penelitian kurang
tepat metode penelitiannya, maka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak
akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang diharapkan. Berkaitan dengan
hal ini Winarno Surachmad mengatakan bahwa metode merupakan cara utama
yang digunakan dalam mencapai tujuan.21
21Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar-Dasar Metode dan
Teknik, (Bandung: Tarsito Rimbuan, 2005), hlm.121
13
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research) dan kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif
tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan
perhitungan.22
Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan
mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang
sudah ada. Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini hendak menguraikan
secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu
menguraikan dan menjelaskan konsep pendidikan agama dalam keluarga
menurut Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat.
2. Data
a. Data Primer yaitu buku Ahmad Tafsir, (1) Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam; 2) Pendidikan Agama dalam Keluarga. Zakiah
Daradjat, (1) Peranan Agama dalam Kesehatan Mental; 2) Remaja
Harapan dan Tantangannya.
b. Data Sekunder yaitu sejumlah referensi yang relevan dengan tema
skripsi ini, di antaranya: kitab/buku-buku, skripsi, tesis, buletin/jurnal
dan lain-lain
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah studi dokumen yang menurut
Suharsimi Arikunto yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.23
22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 2 23Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet.
12,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hlm. 206.
14
5. Metode Analisis Data
Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan
pendekatan psikologi dan pendidikan. Atas dasar itu penelitian ini
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Induktif
Metode induktif yaitu berangkat dari pengamatan terhadap
kenyataan khusus tersebut diabstraksikan ke dalam bentuk kesimpulan
yang umum.
b. Metode Komparatif
Metode komparatif yaitu suatu metode yang membandingkan
antara pendapat yang satu dengan yang lain untuk memperoleh suatu
kesimpulan dalam meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan
situasi atau fenomena yang diselidiki atau dibandingkan dengan
masalah tersebut.24
Metode ini diaplikasikan dengan cara
membandingkan pendapat Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
konsep pendidikan agama dalam keluarga menurut Ahmad Tafsir dan
Zakiah Daradjat.
Dari keterangan ini maka pesan-pesan ilmiah kedua tokoh
(Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat) dianalisis sesuai dengan cara
kerja metode ini.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
24Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 2004), hlm.
143.
15
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
penegasan istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah
pustaka, metodologi penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pendidikan agama dalam
keluarga yang meliputi pendidikan agama (pengertian pendidikan agama,
landasan pendidikan agama, tujuan pendidikan agama), keluarga (pengertian
keluarga, perkembangan anak dalam keluarga, karakteristik anak pada setiap
perkembangan), orang tua dan Anak (hak orang tua dari anak tugas dan
kewajiban orang tua terhadap anak). Pendidikan agama dalam keluarga.
Bab ketiga konsep pendidikan agama dalam keluarga menurut Ahmad
Tafsir dan Zakiah Daradjat yang meliputi biografi Ahmad Tafsir (latar
belakang Ahmad Tafsir, konsep pendidikan agama dalam keluarga menurut
Ahmad Tafsir), biografi Zakiah Daradjat (latar belakang Zakiah Daradjat,
konsep pendidikan agama dalam keluarga menurut Zakiah Daradjat).
Bab keempat berisi analisis konsep pendidikan agama dalam keluarga
menurut Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat yang meliputi analisis konsep
pendidikan agama dalam keluarga menurut Ahmad Tafsir, analisis konsep
pendidikan agama dalam keluarga menurut Zakiah Daradjat, relevansi konsep
Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang Pendidikan Agama dalam
Keluarga Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Islam, aktualisasi konsep Ahmad
Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama dalam keluarga
terhadap keluarga masa kini.
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran,
penutup.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DALAM
KELUARGA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Agama
1. Pengertian Pendidikan Agama
Pendidikan agama yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu
pendidikan agama Islam. Zahara Idris telah mengumpulkan definisi
pendidikan menurut para tokoh pendidikan.1 Menurut Ahmad Tafsir,
pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya.2
Ahmad D. Marimba memberi pengertian pendidikan sebagai bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama.3 Syaiful Bahri Djamarah memberi pengertian juga, pendidikan
adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas
manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka
pelaksanaannya berada pada suatu proses yang berkesinambungan setiap
jenis dan jenjang pendidikan.4 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, yang dimaksud dengan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, inteligensi, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
1Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa, 2002), hlm. 9. 2Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 6. 3Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT al-Ma‟arif,
1998), hlm. 20. 4Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka cipta, 2011), hlm. 22.
17
Berangkat dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya
dengan selalu mengembangkan potensi yang ada pada setiap anak didik.
Semuanya bermuara kepada manusia, sebagai suatu proses pertumbuhan
dan perkembangan secara wajar pada masyarakat yang berbudaya.
Berdasarkan hal itu, dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah suatu
proses alih generasi, yang mampu mengadakan transformasi nilai-nilai
pengetahuan dan budaya kepada generasi berikutnya agar dapat menatap
hari esok yang lebih baik.
Mengenai arti kata "agama" bahwa dalam Oxford Advanced
Leaner's Dictionary of Current English, dinyatakan, bahwa:
"Religion: believe in the existenced of God or gods, Who has/have
created the universe and given man a spiritual nature which
continuous to exist after the dead of the body"5
(agama adalah suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang
Esa, atau Tuhan-Tuhan, yang telah menciptakan alam semesta, dan
memberikan roh kepada manusia yang akan tetap ada setelah matinya
badan).
Kata "Islam" biasanya diterjemahkan dengan “penyerahan diri”,
penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan.6 Maulana
Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam menegaskan:
"Islam has a two-fold significance: a simple profession of faith — a
declaration that “There is no god but Allah and Muhammad is His
Messenger" (Kalimah) and a complete submission to the Divine will which
is only attainable through spiritual perfection".7
(Islam mengandung dua macam arti, yakni (1) mengucapkan kalimah
Syahadat, yakni “Tak Ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya”; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang
ini hanya dapat dicapai melalui penyempurnaan rohani).
5As Hornby, Oxford Student's Dictionary of Current English, (New York: Oxford
University Press, Third Impression, 1984), hlm. 725. 6Mohammad Arkoun, Rethinking Islam, Terj. Yudian W.Asmin, Lathiful Khuluq,
(Yogyakarta: LPMI bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1966), hlm. 17. 7 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (New York: National Publication,
tth), hlm. 4.
18
Dengan demikian, pengertian kata "pendidikan" dan kata "agama
Islam" yang masing-masing telah diuraikan, dapat disatukan menjadi suatu
pengertian pendidikan agama Islam secara integral. Mengenai pengertian
pendidikan agama Islam banyak pakar pendidikan yang memberikan
definisi secara berbeda di antaranya: menurut Achmadi, pendidikan agama
Islam ialah "usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan
fitrah keberagamaan (religiousitas) subjek didik agar lebih mampu
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam." Implikasi
dari pengertian ini, pendidikan agama Islam merupakan komponen yang
tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam. Bahkan tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai jalur
pengintegrasian wawasan agama dengan bidang-bidang studi (pendidikan)
yang lain. Implikasinya lebih lanjut, pendidikan agama harus sudah
dilaksanakan sejak dini melalui pendidikan keluarga, sebelum anak
memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang lain.8
Menurut Muhaimin bahwa pendidikan agama Islam merupakan
salah satu bagian dari pendidikan Islam.9 Sehubungan dengan itu, Zakiah
Daradjat menjelaskan sebagai berikut.
1. Pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat
memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta
menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).
2. Pendidikan agama Islam ialah pendidikan yang dilaksanakan
berdasarkan ajaran Islam.
3. Pendidikan agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran-ajaran
agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik
agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah
8Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29. 9Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 6.
19
diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam
itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan hidup di
dunia maupun di akhirat kelak.10
Pengertian pendidikan agama Islam secara formal dalam
kurikulum berbasis kompetensi dikatakan:
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci
Al-Qur'an dan hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntutan untuk
menghormati penganut agama lain dalam masyarakat hingga
terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa.11
Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 37 penjelasan UUSPN Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Agama Islam bahwa
pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta
berakhlak mulia.
Dari sekian banyak pengertian pendidikan agama Islam, pada
dasarnya saling melengkapi dan memiliki tujuan yang tidak berbeda, yakni
agar peserta didik dalam aktivitas kehidupannya tidak lepas dari
pengamalan agama, berakhlak mulia, berkepribadian utama, berwatak
sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa pendidikan agama Islam yang diselenggarakan pada semua jalur,
jenjang dan jenis pendidikan menekankan bukan hanya pada pengetahuan
terhadap (Islam), tetapi juga terutama pada pelaksanaan dan pengamalan
agama peserta didik dalam seluruh kehidupannya.
10Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 86. 11Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 7
20
2. Landasan Pendidikan Agama
Dasar pendidikan agama dapat dibedakan kepada; (1) Dasar ideal,
dan (2) Dasar operasional.12
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam
itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan
Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama
dalam bentuk :
a. Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagaimana dikatakan Manna Khalil al-Qattan dalam
kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal
dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia
diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad Saw untuk
mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta
membimbing mereka ke jalan yang lurus.13
Semua isi Al-Qur‟an
merupakan syari‟at, pilar dan azas agama Islam, serta dapat memberikan
pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi
dalam menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah
kebenarannya oleh siapa pun.14
b. Sunnah (Hadis)
Dasar yang kedua selain al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah.
Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam proses perubahan
hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah
SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah
SWT.
12Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 54. 13
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis,
1973), hlm. 1. 14Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan
Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996), hlm. 16.
21
"Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang
baik..." (Q.S.Al-Ahzab:21).15
Muhammad 'Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Usul al-Hadis 'Ulumuh
wa Mustalah menjelaskan bahwa as-sunnah dalam terminologi ulama'
hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW., baik yang
berupa sabda, perbuatan taqrir, sifat-sifat fisik dan non fisik atau sepak
terjang beliau sebelum diutus menjadi rasul, seperti tahannuts beliau di
Gua Hira atau sesudahnya.16
c. Perkataan, Perbuatan dan Sikap Para Sahabat
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam
sudah mengalami perkembangan. Selain al-Qur'an dan Sunnah juga
perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat
dipegang karena Allah sendiri di dalam al-Qur'an yang memberikan
pernyataan.
Firman Allah:
"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan
mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (Q.S.
Al-Taubah: 100) 17
15Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1986), hlm. 402. 16
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), hlm. 19. 17Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, hlm. 532
22
Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa
Allah Swt. menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang
terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin, Ansar, dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada
mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh
dengan kenikmatan dan kenikmatan yang kekal lagi abadi.18
Firman Allah SWT:
"Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar." (Q.S.
Al-Taubah: 119)19
Ibnu Katsir menerangkan bahwa jujurlah kalian dan tetaplah kalian
pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan
selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari
urusan kalian.20
d. Ijtihad
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Usûl al-Fiqh
mengemukakan bahwa ijtihad artinya adalah upaya mengerahkan seluruh
kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
Ijtihad menurut ulama usul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang
bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.21
Sehubungan
dengan itu, Nicolas P.Aghnides dalam bukunya, The Background
Introduction to Muhammedan Law menyatakan sebagai berikut:
18Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Jilid 11, hlm. 9. 19Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, hlm. 534 20
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Jilid 11, hlm.
95. 21Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1958), hlm.
379.
23
The word ijtihad means literally the exertion of great efforts in order
to do a thing. Technically it is defined as "the putting forth of every
effort in order to determine with a degree of probability a question of
syari'ah."It follows from the definition that a person would not be
exercising ijtihad if he arrived at an 'opinion while he felt that he
could exert himself still more in the investigation he is carrying out.
This restriction, if comformed to, would mean the realization of the
utmost degree of thoroughness. By extension, ijtihad also means the
opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid.
and the question he is considering is called mujtahad-fih.22
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan sesuatu. Secara teknis diartikan mengerahkan setiap
usaha untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu
masalah syari'ah". Dari definisi ini maka seseorang tidak akan
melakukan ijtihad apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan
sedangkan dia merasa bahwa dia dapat menyelidiki lebih dalam
tentang apa yang dikemukakannya. Pembatasan ini akan berarti suatu
penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang sedalam-dalamnya. Jika
diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat yang
dikemukakan. Orang yang melakukan ijtihad dinamai mujtahid dan
persoalan yang dipertimbangkannya dinamai mujtahad-fih.
Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ijtihad adalah
berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya kemampuan
intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi,
yaitu al-Qur'an dan hadis.
3. Tujuan Pendidikan Agama
Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
22Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New
York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" Publishing Coy Solo, Java, with the authority –
license of Columbia University Press, hlm. 95
24
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.23
Dalam konteksnya dengan pendidikan Islam, menurut Arifin,
tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai
islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku
"khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.24
Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan
rasa keutamaan (fadhilah); c. Membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian,
tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah
mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang
23Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7. 24Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 121.
25
lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.25
B. Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Inggris yaitu familiy. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah ibu dan bapak beserta
anak-anaknya; seisi rumah.26
Abd Al-Ati sebagaimana disitir Ramayulis
membagi macam-macam keluarga yaitu keluarga posisi utama (primary)
dan keluarga posisi tambahan (suplementary), yang keduanya saling
melengkapi bangunan keluarga dalam Islam. Posisi utama (primary)
adalah keluarga dalam tingkatan pertama yang terdiri atas ayah, ibu dan
anak. Posisi tambahan (suplementary) adalah keluarga pada tingkatan
kedua, yang terdiri atas anggota dari keturunan ibu baik ke samping
maupun ke atas dan keluarga karena persamaan agama. Bagi setiap
keluarga diperlukan seorang kepala keluarga yang memegang kendali
pimpinan dan penanggung jawab utama, menurut ajaran Islam
penanggung jawab utama ialah suami.27
Adapun unsur-unsur keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak.
Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan
rohani yang baik.28
Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu
maupun masyarakat.29
Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak
hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan,
25Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy
al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13. 26Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.
536. 27Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia2001),
hlm. 2. 28Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, hlm. 81. 29Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 5.
26
keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan
dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua
dan anggota keluarganya.30
Menurut Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun bahwa tata cara
kehidupan keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan
kepribadian anak yang tertentu pula. Dalam hubungan ini Moeljono
Notosoedirdjo dan Latipun meninjau tiga jenis tata cara kehidupan
keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang (1) demokratis, (2)
membiarkan dan (3) otoriter. Anak yang dibesarkan dalam susunan
keluarga yang demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah
tamah. Anak belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar
dengan bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan
alasan-alasannya. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan
segala-galanya, bimbingan kepada anak tentu harus diberikan. Anak yang
mempunyai sikap agresif atau dominasi, kadang-kadang tampak tetapi hal
ini kelak akan mudah hilang bila dia dibesarkan dalam keluarga yang
demokratis. Anak lebih mudah melakukan kontrol terhadap sifat-sifatnya
yang tak disukai oleh masyarakat. Anak yang dibesarkan dalam. susunan
keluarga yang demokratis merasakan akan kehangatan pergaulan.31
Adapun keluarga yang sering membiarkan tindakan anak, maka
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian ini akan membuat
anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, dan dapat dikatakan anak
menarik diri dari kehidupan sosial. Perkembangan fisik anak yang
dibesarkan dalam keluarga ini menunjukkan terhambat. Anak mengalami
banyak frustrasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci
seseorang. Dalam lingkungan keluarga anak tidak menunjukkan
agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak anak banyak
mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak tidak dapat
30
NY.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986),
hlm. 1 31Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,
(Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 175.
27
mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap ingin menang
dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang dibesarkan dalam
susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi karena anak tidak dapat
mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik di keluarganya. Sedangkan
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, biasanya akan bersifat
tenang, tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang
baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan
kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua). Dengan demikian
kreativitas anak akan berkurang, daya fantasinya kurang, dengan demikian
mengurangi kemampuan anak untuk berpikir abstrak. Sementara itu, pada
keluarga yang demokratis anak dapat melakukan banyak eksplorasi. 32
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai
oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua
paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik
keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe
kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak.
Perintahnya harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Anak kurang
diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk
penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran. Tanpa melihat
kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus dituruti.
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter selain ada keuntungannya,
juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah adalah di antara
keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah kehidupan anak statis,
hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif, miskin inisiatif, tidak
percaya diri, dan sebagainya. 33
Dari tiga jenis tersebut di atas Baldwin yang dikutip Moeljono
Notosoedirdjo dan Latipun mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang
demokratis merupakan tata cara yang terbaik bagi anak untuk memberikan
kemampuan menyesuaikan diri. Namun demikian, tata cara susunan
32Ibid, hlm. 176 33Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 70.
28
keluarga ini kenyataannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri
keluarga dalam tiga jenis tersebut. Yang terbanyak ialah campuran dari
tiga jenis tersebut, dan dalam hal yang demikian ini akan ditentukan oleh
mana yang paling menonjol atau yang paling kuat yang ada dalam
susunan suatu keluarga.34
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peranan
keluarga sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai perilaku anak, karena
itu keluarga merupakan benteng utama dalam membangun pribadi anak.
2. Perkembangan Anak dalam Keluarga
Menurut Elisabeth B. Hurlock, Istilah perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman.35
Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan
mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:
Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti
bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa
sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan
kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari
banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua
proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara
serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan
kemunduran atau involusi.36
Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth
B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan
dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka
rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :
Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir.
Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
34Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,
hlm. 176 35Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, edisi kelima, alih bahasa, Istiwidayanti, Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga,
tth), hlm. 2 36Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, hlm. 2
29
Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.
Masa kanak-kanak akhir : Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.
Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga belas
atau empat belas tahun
Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai tujuh
belas tahun.
Masa remaja akhir :Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu tahun.
Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh tahun.
Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun
Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia.37
Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock di atas, terlihat
jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun, dan masa
kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.
Y. Byl yang dikutip Abu Ahmadi membagi fase anak sebagai
berikut:
a. Fase bayi 0,0 - 0,2.
b. Fase tetek 0,2 - 1,0.
c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.
d. Fase menentang 2,0 - 4,0.
e. Fase bermain 4,0 - 7,0.
f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.
g. Fase pueral 11,0 - 14,0.
h. Fase pubertas 15,0 - 18,0.38
Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu
dengan lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan
pembagian:
37Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 24 –25.
Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan,
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, hlm. 27, 51, 75, 107, 145, 183, 205, dan
seterusnya. 38Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 47
30
1. Fase pranatal;
2. fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;
3. fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;
4. fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun.39
Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan
hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-
anak. Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa
perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat
dipahami dalam hubungan keseluruhan.40
3. Karakteristik Anak Pada Setiap Perkembangan
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,
tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam
keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim.
Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan
sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku,
watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam
keluarga akan menentukan pula pola tingkah-laku anak terhadap orang
lain dalam masyarakat.41
Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak
pengaruh-pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi
kejiwaan orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,
ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi pengaruh.
Juga kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi pengaruh terhadap
bayi tentu saja mengakibatkan kurangnya perhatian, pemeliharaan, kasih
sayang. Padahal segala perlakuan sikap sekitar itu akan memberi andil
terhadap pembentukan pribadi anak, bila bayi sering mengalami
kekurangan, kekecewaan, tak terpenuhinya kebutuhan secara wajar tentu
39
Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh, (Bandung: Al-Bayan, 1997), hlm. 48. 40Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV Remaja Karya, 1986), hlm. 23. 41A.L.S. Soesilo, dalam Kartini Kartono (penyunting), Seri Psikologi Terapan 1,
Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. 19.
31
saja akan memberi pengaruh yang tidak sedikit dalam penyesuaian
selanjutnya. Pada masa anak sangat sensitif apa yang dirasakan orang
tuanya. Dengan kedatangan kelahiran adiknya sering perhatian orang tua
berkurang, hal ini akan dirasakan oleh anak dan mempengaruhi
perkembangan.42
Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut membutuhkan
beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua. Kebutuhan ini
mencakup rasa aman, dihargai, disayangi, dan menyatakan diri. Rasa
aman ini dimaksudkan rasa aman secara material dan mental. Aman
secara material berarti orang tuanya memberikan kebutuhannya seperti
pakaian, makanan dan lainnya. Aman secara mental berarti harus
memberikan perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan-
ketegangan, membantu dalam menyelesaikan problem mental
emosional.43
Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis hanya
akan mengetengahkan fase ketiga dari perkembangan anak yaitu fase
akhir masa kanak-kanak. Fase ini adalah permulaan anak bersekolah yang
berkisar antara umur 6 sampai 12 tahun. Pada fase ini pendidikan anak
tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi lebih luas lagi yaitu
mempersiapkan anak untuk mengikuti kewajiban bersekolah.
Yang menjadi fokus pembahasan pada pasal ini adalah
perkembangan anak dari aspek jasmani, intelektual, dan akhlak
Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, dimana
apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan
berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.44
42Siti Sundari, Kesehatan Mental dalam Kehidupan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
hlm. 65 43
B. Simanjuntak dan I.L. Pasaribu, Pengantar Pesikologi Perkembangan, CV
(Bandung: Tarsito, 1984), hlm. 282. 44Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, tth.), hlm. 13.
32
1. Perkembangan Jasmani
Anak umur 5-7 tahun perkembangan jasmaninya cepat,
badannya bertambah tinggi, meski beratnya berkurang sehingga ia
kelihatan lebih tinggi dan kurus dari masa-masa sebelumnya, tampak
sekali terlihat pada wajahnya.45
Menurut FJ.Monks, A.M.P.Knoers,
dan Siti Rahayu Haditomo bahwa sampai umur 12 tahun anak
bertambah panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10
tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar sedikit
daripada anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul dalam
panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak laki-laki mengejarnya
dan tetap unggul daripada anak wanita.46
Kekuatan badan dan tangan anak laki-laki bertambah cepat
pada umur 6-12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat
dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan-
kecakapan motorik ini mulai disesuaikan dengan keleluasaan
lingkungan. Gerakan motorik sekarang makin tergantung dari aturan
formal atau yang telah ditetapkan.47
Bermain merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak
terhadap pekerjaan-pekerjaannya di masa, datang, sebab dengan
bermain, anak dididik dalam berbagai segi seperti jasmani, akal-
perasaan, dan sosial-kemasyarakatan. Kemudian bermain dapat
menguatkan otot-otot tubuh anak dan melatih panca inderanya untuk
mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lainnya. Pada fase ini anak
juga cenderung berpindah dari permainan sandiwara kepada
permainan sesungguhnya seperti bola kaki, bulu tangkis, dan lain-lain.
45Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh, hlm. 57 46FJ.Monks, A.M.P.Knoers, Siti Rahayu Haditomo. Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002),
hlm. 177 47FJ.Monks, A.M.P.Knoers, Siti Rahayu Haditomo. Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, hlm. 177.
33
2. Perkembangan Intelektual, Fantasi, dan Perasaan.
Dalam keadaan normal, pikiran anak pada masa ini
berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Anak betul-betul
berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah
memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-
budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak
ketrampilan mulai dikuasainya, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu
mulai dikembangkannya. Dari keadaan egosentris anak memasuki
dunia objektivitas dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk
mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak
untuk meneliti dan melakukan eksperimen.
Kartini Kartono menjelaskan:
Minat anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah
pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini
sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan
bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula
minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan
semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas
tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya.48
Tentang ingatan anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:
Ingatan anak pada usia ini mencapai intensitas paling besar
dan paling kuat. Daya menghafal dan memorisasi (dengan
sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam.
ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah
materi ingatan paling banyak.49
3. Perkembangan akhlak
Konsep moral pada akhir masa kanak-kanak sudah jauh
berbeda, tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Menurut Piaget,
anak usia 5-12 tahun konsepnya tentang keadilan sudah berubah.
Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari
orang-tua menjadi berubah. Anak mulai memperhitungkan keadaan
48Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 138 49Kartini Kartono, Psikologi Anak, hlm. 138.
34
khusus di sekitar pelanggaran moral. Relativisme moral meringankan
nilai moral yang kaku. Misalnya bagi anak umur 5 tahun berbohong
selalu buruk, sedang anak yang lebih besar sadar bahwa dalam
beberapa situasi berbohong dibenarkan dan tidak selalu buruk.50
Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa anak yang masih
berada pada fase awal masa kanak-kanak melakukan pelanggaran
disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan. Dengan meningkatnya
usia anak, ia cenderung lebih banyak melanggar peraturan-peraturan
di rumah dan di sekolah ketimbang perilakunya waktu ia masih lebih
muda. Pelanggaran di rumah sebagian, karena anak ingin menegakkan
kemandiriannya, dan sebagian lagi karena anak sering menganggap
peraturan tidak adil, terutama apabila berbeda dengan peraturan-
peraturan rumah yang diharapkan dipatuhi oleh semua teman.
Meningkatnya. pelanggaran di sekolah disebabkan oleh kenyataan
bahwa anak yang lebih besar tidak lagi menyenangi sekolah seperti
ketika masih kecil, dan tidak lagi menyukai guru seperti ketika masih
duduk di kelas yang lebih rendah. Menjelang akhir masa kanak-kanak
pelanggaran semakin berkurang. Menurunnya pelanggaran adalah
karena adanya kematangan fisik dan psikhis, tetapi lebih sering karena
kurangnya tenaga yang merupakan ciri pertumbuhan pesat yang
mengiringi bagian awal dari masa puber. Banyak anak prapuber yang
sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk nakal.51
Dari uraian di atas, tentang perkembangan akhlak anak pada
akhir masa kanak-kanak, jelaslah bahwa anak berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial di sekitarnya yang
apabila terjadi sesuatu pelanggaran akan mengakibatkan adanya
sanksi. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pelanggaran,
diterapkan suatu disiplin yang disesuaikan dengan tingkat
50
Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, hlm. 163 51Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, hlm. 163 – 164.
35
perkembangan anak. Di samping itu, orang-tua perlu memberikan
pengertian tentang nilai-nilai kepada anak, dan membiasakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pada saatnya anak perlu diberi
ganjaran seperti pujian atas perlakuannya melaksanakan nilai-nilai
tersebut, yang sudah barang tentu pujian tersebut disesuaikan dengan
tingkat perkembangan anak.
Dengan demikian nyatalah bahwa perkembangan anak pada
fase ini baik perkembangan jasmani, intelektual, fantasi maupun
perasaan dan akhlak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak
pada fase-fase berikutnya.
C. Orang Tua dan Anak
1. Hak Orang Tua dari Anak
Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh
tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun
mempunyai hak terhadap anak sebagai berikut
Pertama, anak-anak harus melayani orang tuanya dengan baik,
lemah-lembut menyayanginya, selalu menghormati, dan syukur atas jasa-
jasa mereka terhadapnya. Anak-anak juga harus mematuhi perintah-
perintahnya kecuali kalau menyuruh kepada maksiat.52
Firman Allah
SWT:
Allah telah memastikan bahwa janganlah kamu menyembah kecuali
Allah, dan berbuat baiklah kepada orang tua. Jika salah satunya atau
52Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001),
hlm. 62
36
keduanya telah tua, janganlah engkau menghardiknya. Katakan
kepadanya kata-kata yang mulia. Curahkanlah kepada mereka kasih
sayang dan katakanlah: Wahai Tuhanku sayangilah keduanya
sebagaimana mereka mendidikku di waktu kecil. (Q.S. Al Israa' :23-
24).
Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa
Allah Swt. memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) untuk
menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya. Kata qada dalam ayat ini
mengandung makna perintah. Mujahid mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya, "waqada," bahwa makna yang dimaksud ialah
memerintahkan. Hal yang sama dikatakan oleh Ubay ibnu Ka'b, Ibnu
Mas'ud, dan Ad-Dahhak ibnu Muzahim; mereka mengartikannya, "Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia." Selanjutnya disebutkan perintah berbakti kepada kedua orang tua.
Allah memerintahkan kepadamu untuk berbuat baik kepada ibu bapakmu,
janganlah kamu mengeluarkan kata-kata yang buruk kepada keduanya,
sehingga kata 'ah' pun yang merupakan kata-kata buruk yang paling ringan
tidak diperbolehkan.53
Kami telah mewasiatkan manusia akan kedua orang tuanya. Dia
dikandung oleh ibunya dalam keadaan lemah kemudian disusukan
selama dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kedua ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14).
Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah Swt. menyebutkan kisah
Luqman dengan sebutan yang baik, bahwa Dia telah menganugerahinya
hikmah; dan Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya,
maka wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya
sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. Karena itulah hai
53Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Jilid 15, hlm. 174-175.
37
pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia
menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu
pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.54
Ingatlah ketika kami membuat perjanjian dengan Bani Israil bahwa
janganlah kamu menyembah kecuali kepada Allah dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu bapak… (Q.S. Al Baqarah: 83).
Ibnu Katsir menerangkan bahwa melalui ayat ini Allah
mengingatkan kaum Bani Israil terhadap apa yang telah Dia perintahkan
kepada mereka dan pengambilan janji oleh-Nya atas hal tersebut dari
mereka, tetapi mereka berpaling dari semuanya itu dan menentang secara
disengaja dan direncanakan, sedangkan mereka mengetahui dan
mengingat hal tersebut. Maka Allah Swt. memerintahkan mereka agar
menyembah-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hal
yang sama diperintahkan pula kepada semua makhluk-Nya, dan untuk
tujuan tersebutlah Allah menciptakan mereka. Dan berkatalah kepada
mereka (kedua orang tua) dengan baik dan lemah lembut; termasuk dalam
hal ini amar ma'ruf dan nahi munkar dengan cara yang makruf.
Sebagaimana Hasan Al-Basri berkata sehubungan dengan ayat ini, bahwa
perkataan yang baik ialah yang mengandung amar ma'ruf dan nahi
munkar, serta mengandung kesabaran, pemaafan, dan pengampunan serta
berkata baik kepada manusia; seperti yang telah dijelaskan oleh Allah
Swt., yaitu semua akhlak baik yang diridai oleh Allah Swt.55
54
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Jilid 21, hlm.
175-176. 55Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Jilid 1, hlm.
642-845.
38
Kami telah wasiatkan manusia aga berbuat baik pada kedua orang
tuanya. Dia dikandung oleh ibu secara terpaksa dan dilahirkan juga
secara terpaksa, mengandung dan menyusukannya tiga puluh bulan…
(Q.S Al-Ahqaf: 15).
Dalam Tafsîr al-Marâgî, Ahmad Mustafâ Al-Marâgî menyatakan
bahwa Kami (Allah Swt) memerintahkan manusia supaya berbuat baik
kepada kedua ibu bapaknya serta mengasihi keduanya dan berbakti
kepada keduanya semasa hidup mereka maupun sesudah kematian
mereka. Dan Kami jadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai amal
yang paling utama, sedang durhaka terhadap keduanya termasuk dosa
besar. 56
Kedua, anak-anak memelihara, membiayai serta memelihara
kehormatan ibu-bapak tanpa pamrih. Pemeliharaan ibu-bapak ketika
dalam keadaan lemah dan uzur adalah termasuk kewajiban utama dalam
Islam. Sebenarnya memberi nafkah itu bukanlah tujuan Islam dalam
memelihara orang tua, tetapi yang terpenting adalah memelihara
silaturrahmi. Walau si anak berbuat kebaikan dan ihsan kepada orang
tuanya belum dapat ia membalas segala kebaikannya.57
Ketiga, bahwa anak-anak menyuruh orang tuanya untuk
menunaikan ibadah haji yang tidak sanggup mereka mengerjakannya
dengan harta milik mereka sendiri.
Keempat, mendoakan orang tuanya semasa masih hidup dan
sesudah matinya dan selalu melanjutkan kebaikannya dengan orang-orang
yang menjadi sahabat ibu-bapaknya.58
56
Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer
Ally, Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: Toha Putra Semarang, 1993), Jilid. 26, hlm. 30. 57Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam rumah Tangga, hlm. 64. 58Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam rumah Tangga, hlm. 64.
39
Dalam sistem ajaran Islam yang menyeluruh barangkali tidak ada
perkara yang sedemikian pentingnya seperti hubungan antara anak dan
orang-tua. Yaitu hubungan dalam bentuk perbuatan baik dari pihak anak
kepada ayah-ibunya.59
Penilaian ini bisa disimpulkan dari firman-firman
Allah:
( Dan Tuhanmu telah memutuskan bahwa hendaknya kamu sekalian
tidak beribadat kecuali kepada-Nya saja, dan bahwa hendaknya kamu
berbuat baik kepada kedua orang-tua... (QS. al-Isra: 23).
Dan Kami berpesan kepada manusia hendaknya berbuat baik kepada
kedua orang-tua…(QS. al-Ankabut: 8).
Dan Kami berpesan kepada manusia tentang kedua orang tuanya
ibunya mengandungnya dalam kesusahan demi kesusahan, berpisah
setelah dua tahun maka hendaknya engkau (manusia) bersyukur
kepada-Ku dan kepada orang-tuamu. Kepada-Ku-lah tempat
kembalimu. (QS. Luqman: 14).
Keputusan" dan "pesan" Tuhan agar orang berbuat baik kepada
ibu-bapaknya adalah mutlak, tanpa syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya
itu jahat, sampai-sampai sekalipun ibu-bapaknya itu secara sadar melawan
kebenaran (kafir). Begitulah ditegaskan dalam ajaran agama, seperti dalam
ayat suci kelanjutan kutipan di atas.
Dan jika keduanya (orang-tuamu) itu berusaha mendorongmu agar
engkau memperserikatkan Aku (Tuhan) dengan sesuatu yang engkau
tidak berpengetahuan mengenainya (sebagai hal yang benar), maka
59Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000),
hlm. 81.
40
janganlah kau taati mereka namun tetaplah bergaul dengan mereka
berdua itu di duniawi dengan cara yang baik...(QS. Luqman: 15).
Juga terhadap keseluruhan keluarga dan kaum kerabat yang
menyimpang pun seorang anak tetap diperintahkan Allah untuk
menunjukkan sikap hormat dan sopan santun, meskipun anak itu dengan
jelas tidak dapat menerima jalan hidup mereka:
Dan bahkan jika engkau harus berpaling dari mereka demi
memperoleh rahmat Tuhanmu yang kau harapkan, namun bertuturlah
dengan mereka dengan penuturan penuh kasih sayang. (QS. al-Isra:
28).
2. Tugas dan Kewajiban Orang Tua Terhadap anak
Hak yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya itu
sangatlah banyak. Namun di antara mereka tidaklah sadar kalau semua
yang telah dilakukan adalah sebuah hak dan atau kewajiban. Di antara hak
tersebut adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits (dho'if) yang
diriwayatkan dari Abi Rofi' di bawah:
"Dari Rofi' berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw:
apakah seorang anak itu memiliki hak terhadap kita sebagaimana
hak kita terhadap mereka? Rasul bersabda: Iya, hak seorang
60Imam Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ala al-Baihaqy, al-Sunan al-Kubra, Juz
10, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), hlm. 26.
41
anak terhadap orang tua itu adalah mengajarkannya menulis,
berenang, memanah dan memberi warisan yang baik ".
Dari hadits di atas dapat disimpulkan, bahwasannya di antara hak-
hak anak adalah:
1. Mengajarkannya menulis
Pada masa abad permulaan berdirinya sistem pendidikan
klasikal, tugas kependidikan adalah mencerdaskan daya pikir (intelek)
manusia dengan melalui mata pelajaran menulis, membaca dan
berhitung. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan tuntutan hidup
manusia maka tugas tersebut semakin bertambah dan luas, yaitu selain
mencerdaskan otak yang terdapat di dalam kepala (head) juga
mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang di dalam hati atau
dada (heart). Oleh karena itu, semakin meningkatnya rising demand
(kebutuhan yang meningkat) maka akhirnya manusia mendidik
kecekatan atau ketrampilan untuk bekerja terampil.
Ketrampilan tersebut pada prinsipnya terletak pada
kemampuan tangan manusia (hand). Pada akhirnya proses pendidikan
atau berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal, yaitu
head, heart and hand. Mungkin pada masa selanjutnya, sasaran pokok
proses pendidikan tersebut masih mengalami perubahan atau
penambahan lagi.61
2. Berenang dan memanah
Begitu pula berenang dan memanah, selain sebagai
keterampilan, berenang dan memanah itu mengisyaratkan kepada
seorang muslim untuk menjadi seorang patriot yang tangguh.
Sehingga selain untuk sebagai olah raga, juga sebagai cara untuk
menjaga diri sendiri dari musuh agama, bangsa dan juga Negara.
3. Memberikan rizki yang baik kepada anak
61Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33
42
Dalam hadits ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
"memberikan rizqi yang baik kepada anak", memberikan pendidikan
ekonomi agar supaya anak tidak lemah dalam segi ekonomi.
Rasulullah saw bersabda: "Semua manusia itu fakir karena ketakutan
mereka kepada kefakiran". Para pelajar pada masa lalu lebih dahulu
mempelajari cara bekerja kemudian baru mencari ilmu sehingga
mereka tidak tamak terhadap harta orang lain, kata orang bijak
"Barang siapa merasa cukup dengan harta orang lain berarti dia
melarat".
Bila orang berilmu itu tamak maka ia tidak 'mendapat
kehormatan ilmu dan tidak berkata kepada kebenaran. Oleh karena itu
Rasulallah saw bersabda: "Aku berlindung kepada Allah dari
ketamakan yang mendekatkan diri kepada aib".
D. Pendidikan Agama dalam Keluarga
Pada hakekatnya, para orang tua mempunyai harapan agar anak-anak
mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan
apa yang baik dan yang tidak baik, tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang
lain. Harapan-harapan ini kiranya akan lebih mudah terwujud apabila sejak
semula, orang tua telah menyadari akan peranan mereka sebagai orang tua
yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak.62
Seorang anak, sulit diharapkan untuk dengan sendirinya bertingkah
laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, mengerti apa yang dituntut
lingkungan terhadap dirinya, dan sebagainya. Aspek moral seorang anak
merupakan sesuatu yang berkembang dan diperkembangkan. Artinya,
bagaimana anak itu kelak akan bertingkah laku sesuai atau tidak sesuai
dengan nilai-nilai moral yang berlaku, semua itu banyak dipengaruhi oleh
lingkungan kehidupan anak yang ikut memperkembangkan secara langsung
62Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 60.
43
ataupun tak langsung, aspek moral ini. Karena itu faktor lingkungan besar
sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena
lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang
tuanya, maka peranan orang tualah yang dirasa paling besar pengaruhnya;
terhadap perkembangan moral anak, di samping pengaruh lingkungan lainnya
seperti sekolah dan masyarakat.63
Sejalan dengan itu menurut Kartini Kartono, situasi pergaulan antara
orang tua dengan anak tidak bisa dilepaskan dari situasi pendidikan. Dari
situasi pergaulan secara sengaja bisa tercipta situasi pendidikan. Dari hasil
penyelidikan diketahui, bahwa kebanyakan anak yang mempunyai perilaku
kriminal adalah karena meniru dari orang tuanya di rumah, yaitu ibu dan
ayahnya yang sering melakukan perbuatan kriminal.64
Demikian pula perlakuan kasar terhadap anak akan menimbulkan
perlawanan dan pembalasan. Mungkin anak hanya berdiam diri saja ketika
ayah atau ibunya membentak-bentaki dirinya; tetapi sebenarnya ia sedang
menirukan perbuatan serta perkataan kasar itu. Cepat atau lambat ia akan
menirukan perbuatan dan perkataan tersebut. Orang tua heran melihat sikap
dan tingkah laku anaknya yang sebenarnya merupakan hasil identifikasi
dirinya.65
Menyikapi keterangan tersebut, jelaslah bahwa sangat penting
ditanamkan pendidikan agama dalam kehidupan keluarga. Pendidikan agama
yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam
rangka :
1. Memelihara dan membesarkan anak ini adalah bentuk yang paling
sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan
alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah,
dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari
63
Ibid., hlm. 60. 64Kartini Kartono, Seri Psikologi Terapan 1, Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta:
CV Rajawali, 1985, hlm. 49. 65Ibid
44
tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang
dianutnya.
3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh
peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi
mungkin yang dapat dicapainya.
4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan
pandangan dan tujuan hidup muslim.66
Dari identifikasi di atas, maka keluarga merupakan benteng pertama
yang sangat mudah mewarnai pribadi anak. Dalam keluarga, anak harus
mendapat perhatian dan kasih sayang. Pengaruh ibu dan bapak kepada anak
dalam pertumbuhan selama sosialisasi tak terhingga pentingnya untuk
menetapkan tabiat anak itu. Cinta kasih seorang ibu dan bapak memberi dasar
yang kokoh untuk menanam kepercayaan pada diri sendiri dalam kehidupan
anak itu selanjutnya. Keluarga yang aman dan tentram mendatangkan tabiat
yang tenang bagi anak itu sekarang dan di kemudian hari. Lambat-laun
pengaruh si ayah pun sebagai sumber kekuasaan akan lebih kuat, suatu
pengaruh yang akan menanam bibit penghargaan terhadap kekuasaan di luar
rumah bilamana ayah itu tahu cara memimpin keluarganya. Rumah itu harus
menjadi tempat di mana persatuan antara anggota-anggota keluarga itu
dipelihara baik-baik.
66Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 36
45
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT
AHMAD TAFSIR DAN ZAKIAH DARADJAT
A. Biografi Ahmad Tafsir
1. Latar Belakang Ahmad Tafsir
Ahmad Tafsir, lahir di Bengkulu 19 April 1942. Pendidikannya
diawali di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan
sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta.
Selanjutnya belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan
menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum tahun 1969. Tahun 1975-1976
(selama 9 bulan) mengambil Kursus Filsafat di IAIN Yogyakarta. Tahun
1982 mengambil Program S2 di IAIN Jakarta. Tahun 1987 sudah
menyelesaikan S3 di IAIN Jakarta juga. Sejak tahun 1970, Tafsir
mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung, sampai sekarang. Tahun
1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan ini mempelopori berdirinya Asosiasi
Sarjana Pendidikan Islam. (ASPI). Sejak Januari 1997 diangkat menjadi
Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung.1
Pada dasarnya Ahmad Tafsir adalah insan pendidikan dan dakwah.
Pengalaman pendidikan, pekerjaan, dan pergaulannya menempatkannya
sebagai sosok yang kaya pengalaman dengan lingkungan pergaulan yang
luas menembus batas. Latar belakang pendidikannya berangkat dari
Pesantren Salafi, tetapi selanjutnya mengikuti pendidikan formal hingga
S3. Ia banyak diundang seminar dan berani mengetengahkan persoalan di
luar disiplin ilmunya yaitu masalah tasawuf dalam konteksnya
membangun insan kamil. Tidak heran jika makalahnya dimuat dalam
bentuk buku, misalnya dalam tasawuf menuju terbentuknya insan kamil,
ia menyatakan perkembangan tasawuf mempunyai makna yang khusus
ketika muncul guru-guru sufi. Jadi, menurut Ahmad Tafsir bahwa pada
1Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 343.
46
tahap pertama, berjalanlah tasawuf dalam arti zuhud dan ibadah-ibadah
sunnah. Hal ini terjadi kira-kira sejak zaman Nabi Saw. Pada tahap kedua,
muncul guru-guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Mereka
mengajarkan wirid dan tarekatnya. Sebelum Al-Ghazali pun jenis-jenis
tarekat itu sudah ada. Lalu ada perkembangan sangat berarti di zaman Al-
Ghazali yang berjalan cukup panjang". Pada masa ini, tasawuf sudah
berbeda dari sebelumnya. Sebab, tasawuf sudah bercampur dengan
filsafat.2
Menurut Ahmad Tafsir, di kalangan orang Syi'ah, tradisi tasawuf
kuat sekali, dibarengi dengan filsafat dan fikih ortodoks yang juga kuat.
Pikiran Syi'ah memang agak ganjil. Fikih Syi'ah kadang-kadang tampak
rasional dan kadang-kadang tampak sangat kaku. Filsafat mereka juga
kadang-kadang rasional sekali dan kadang-kadang sudah bercampur
dengan 'irfan sehingga tidak tampak lagi ciri rasionalnya. Sementara itu,
menurut Ahmad Tafsir bahwa yang ia saksikan selama ini di Indonesia,
ketiga-tiganya saling terpisah. Jarang sekali, seorang ahli fikih adalah juga
seorang filosof atau seorang sufi. Demikian juga sebaliknya. Padahal,
warna tasawuf yang sudah dicampur dengan filsafat dan fikih sudah ada
pada zaman Mulla Shadra yang dimulai sejak Al-Ghazali. Pernah ada
orang bertanya kepada Ahmad Tafsir,: mungkinkah Syi'ah Iran masuk ke
Indonesia? Dulu, di zaman Imam Khomeini, hal itu bisa mungkin dan bisa
mustahil. Salah satu kemungkinannya disebabkan tarekat demikian kuat di
Indonesia. Karena Syi'ah adalah tarekat, ia mungkin bisa masuk ke
Indonesia tanpa orang harus menjadi Syi'ah. Akan tetapi, hal itu bisa juga
mustahil kalau Syi'ah dilihat sebagai mazhab yang ekstrem secara politik.
Sebab, watak orang Indonesia tidaklah ekstrem, tetapi damai. Jika Syi'ah
Iran bisa berubah sifat ekstremnya menjadi moderat, besar kemungkinan
2Sukardi (editor), Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 200), hlm.
19.
47
watak Islam seperti itu akan tersebar luas di Indonesia, tanpa orang harus
menjadi Syi'ah.3
Menurut Ahmad Tafsir bahwa bagian-bagian keislaman dan
keluasan bidang kajiannya memang terdapat di Syi'ah, bukan di Sunni.
Agak berat sebetulnya mempertanggungjawabkan pernyataan ini, tetapi
memang demikianlah kenyataannya. Mereka mempunyai kajian yang
lebih luas ketimbang orang Sunni. Penggabungan antara filsafat yang
rasional, tasawuf yang emosional, dan fikih yang ada di tengah-tengah,
dilakukan oleh Al-Ghazali yang Sunni. Namun, ternyata, selanjutnya
adalah orang Syi'ah semua. Mengapa orang-orang Sunni tidak tertarik?
Mereka hanya mengatakan bahwa filsafat Islam sudah berakhir setelah Al-
Ghazali. Akan tetapi, ada filsafat setelah Ibn Rusyd, dan itulah filsafat
yang telah disintesiskan dengan tasawuf. Bagaimana bentuknya, masih
merupakan masalah yang sulit dijawab. Hanya saja menurut Ahmad
Tafsir, sekalipun sedikit bahwa gabungan filosof dan sufi tercermin dari
orang yang senang berpikir; senang berzikir; dan juga senang berpuasa.4
Menurut Ahmad Tafsir, manusia mëmpunvai tiga "antena."
Pertama indera. Indera harus dilatih agar mampu memperoleh
pengetahuan tingkat tinggi. Indera harus dibantu dengan metode sains agar
mampu menghasilkan sains yang berguna dan baik. Kedua, akal. Akal
juga harus dilatih, jangan dirusak. Akal bisa dilatih dengan selalu berpikir
agar mampu menghasilkan pemikiran yang logis tatkala manusia
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Ketiga, hati. Hati juga harus
dilatih, Namun demikian, dalam kenyataannya, sekarang ada
kekurangseimbangan di antara ketiga "antena" itu. Sains dan filsafat kita
tinggi, tetapi pengetahuan tentang yang gaib acapkali rendah.
Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain:
a. Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006).
Buku ini berisi sepuluh bab, dan diantara bab tersebut yang diletakkan
3 Sukardi (editor), Kuliah-Kuliah Tasawuf, hlm. 20. 4 Sukardi (editor), Kuliah-Kuliah Tasawuf, hlm. 20.
48
sebagai bab pertama adalah tentang hakikat manusia. Sebabnya
dijadikan bab pertama adalah karena menurut Ahmad Tafsir harus
dibicarakan lebih dahulu tentang siapa manusia itu sebenarnya. Yang
berarti pula harus berbicara tentang hakikat manusia. Pendidikan yang
baik harus didesain sesuai dengan pengertian kita tentang hakikat
manusia. Apa hakikat manusia? Penjelasan yang terbaik tentang
hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu. Penjelasan
oleh rasio manusia mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas
kemampuannya. Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu
tidak mengetahui apa akal itu sebenarnya.5
b. Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002). Buku ini terdiri dari sepuluh bab. Dalam buku ini
diuraikan pengertian "metodologi" yang dihubungkan dengan
"pengajaran agama Islam." Menurut Ahmad Tafsir bahwa dari
pengalamannya, banyak orang menerjemahkan atau menyamakan
pengertian "metode" dengan "cara." Ini tidak seluruhnya salah.
Memang metode dapat juga diartikan cara. Untuk mengetahui
pengertian metode secara tepat, dapat melihat penggunaan kata
metode dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris ada kata way dan
ada kata method. Dua kata ini sering diterjemahkan cara dalam bahasa
Indonesia. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah
kata way itu, bukan kata method.6
c. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004). Buku ini
berjumlah empat bab. Dalam buku ini diuraikan Ahmad Tafsir bahwa
orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit
kebingungan tatkala menghadapi kata "ilmu". Dalam bahasa Arab kata
al-'ilm berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata "ilmu" dalam
bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science. Ilmu dalam
5Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, hlm. 14 6Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 9.
49
arti science itu hanya sebagian dari al-'ilm dalam bahasa Arab. Karena
itu kata science seharusnya diterjemahkan sain saja. Maksudnya agar
orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan kata
ilmu (sain) dengan kata al-'ilm yang berarti knowledge.
Dalam buku ini yang diuraikan tidak hanya pengetahuan sain
(science), diuraikan juga seluruh yang disebut pengetahuan termasuk
pengetahuan yang "aneh-aneh" seperti pelet, kebal, santet, saefi, dan
lain-lain. Apa sih pengetahuan itu? Menurut Ahmad Tafsir,
pengetahuan ialah semua yang diketahui. Menurut al-Quran, tatkala
manusia dalam perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia baru
lahir pun barangkali ia belum juga tahu apa-apa. Kalaupun bayi yang
baru lahir itu menangis, barangkali karena kaget saja, mungkin
matanya merasakan silau, atau badannya merasa dingin. Dalam rahim
tidak silau dan tidak dingin, lantas ia menangis.
Tatkala bayi itu menjadi orang dewasa, katakanlah ketika ia
telah berumur 40 tahunan, pengetahuannya sudah banyak sekali.
Begitu banyaknya, sampai-sampai ia tidak tahu lagi berapa banyak
pengetahuannya dan tidak tahu lagi apa saja yang diketahuinya,
bahkan kadang-kadang ia juga tidak tahu apa sebenarnya pengetahuan
itu. Semakin bertambah umur manusia itu semakin banyak
pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan itu diperoleh
melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja,
tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Tanpa
ingin tahu lantas ia tahu-tahu, tahu. Seorang sedang berjalan, tiba-tiba
tertabrak becak. Tanpa rasa ingin tahu ia tahu-tahu, tahu bahwa
ditabrak becak, sakit. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin
tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena
belajar.7
7Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 3
50
d. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2004). Buku ini berjumlah lima bab. Dalam
buku ini diuraikan bahwa manusia membawa sejak lahir (innate) kata
hati (suara hati) yang bersifat imperatif. Suara hati itu ialah suara yang
selalu mengajak menjadi orang yang baik. Puncak kebaikan itu adalah
Tuhan. Jadi, orang harus ber-Tuhan. Sebagian filosof menganggap
teori ini lemah, perasaan wajib yang oleh Kant disebut suara hati itu,
yang kata Kant bersifat imperative itu, bukanlah bawaan sejak lahir.
Rasa mora1 itu bukan ciptaan Tuhan yang ditanamkan dalam diri
manusia. Rasa moral yang imperatif itu sebenarnya produk suatu
evolusi. Moral tidak absolut. Moral itu adalah aturan berbuat yang
bervariasi sesuai dengan variasi kelompok masyarakat. Dengan kata
lain, mereka ingin mengatakan bahwa moral yang imperative itu
sesungguhnya muncul setelah manusia bergaul dengan masyarakat
(lingkungannya). Moral itu dibentuk oleh pengaruh lingkungan.
Demikian kata mereka. Persoalan ini dapat dilihat dengan cara lain.
Suara hati itu merupakan antena ketiga manusia. Manusia
memiliki tiga antena: indera, akal, dan hati atau rasa. Daerah ketiga ini
tidak dapat dimasuki oleh antena kedua (akal), apalagi oleh antena
pertama (indera). Bila sains masuk ke daerah itu, ia akan hilang di
dalam antinomi. Bila filsafat masuk, ia akan hilang di dalam
paralogisme. Ini kata Kant. Itu benar. Akan tetapi, bukan Kant yang
mula-mula menyatakan demikian. Al-Ghazali yang hidup pada tahun
1100-an telah menyatakan hal yang sama. Bahkan Al-Ghazali telah
menyatakan lebih jauh. Kant baru sampai pada pernyataan bahwa ada
daerah suprarasional, yang tidak dapat dimasuki oleh filsafat dan
sains, yang hanya dapat dipahami oleh hati. Al-Ghazali telah
menyatakan lebih jauh tatkala ia membicarakan cara menghidupkan
suara hati agar ia mampu memahami rahasia daerah gaib tersebut.
Cara menghidupkan suara hati itu, menurut Al-Ghazali, ialah dengan
menghentikan dosa (tobat), berbuat baik, perenungan, dan
51
menghentikan kerja logika. Inilah yang disebut thariqah atau metode
Al-Ghazali.8
2. Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Ahmad Tafsir
a. Orang Tua sebagai Pendidik Utama
Siapa sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap
keberhasilan pendidikan anak? Apakah pemerintah, Sekolah, guru
atau orang tua anak itu? Jawabnya menurut Ahmad Tafsir ialah orang
tua anak.9
Menurut Ahmad Tafsir, orang tua adalah pendidik utama dan
pertama dalam hal penanaman keimanan bagi anaknya. Disebut
pendidik utama, karena besar sekali pengaruhnya. Disebut pendidik
pertama, karena merekalah yang pertama mendidik anaknya. Sekolah,
pesantren, dan guru agama yang diundang ke rumah adalah institusi
pendidikan dan orang yang sekadar membantu orang tua.
Menyerahkan seratus persen pendidikan keimanan bagi anak-anak ke
sekolah, ke pesantren, dan atau kepada guru agama yang diundang ke
rumah merupakan tindakan yang berbahaya. Sebab, sekolah,
pesantren, dan guru agama yang diundang itu tidak akan mampu
melakukan pendidikan keimanan tersebut.10
Selain itu, menurut Ahmad Tafsir bahwa keimanan sangat
diperlukan oleh anak-anak untuk menjadi landasan bagi akhlak mulia.
Keimanan diperlukan agar akhlak anak remaja tidak merosot,
sedangkan keberimanan diperlukan agar anak-anak itu mampu hidup
tenteram serta konstruktif pada zaman global nanti. Jadi, pendidikan
agama di dalam keluarga sangatlah perlu, karena keluargalah satu-
satunya institusi pendidikan yang mampu melakukan pendidikan
8Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 249. 9 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 128 10 Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 8.
52
keberimanan bagi anak-anaknya. Melakukan pendidikan agama dalam
keluarga, berarti ikut berusaha menyelamatkan generasi muda.
Dengan demikian, berarti keluarga itu ikut berusaha menyelamatkan
bangsa. Dengan cara ini diharapkan generasi muda kelak menjadi
warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Keimanan dan ketakwaan itulah yang akan menerangi kehidupan
mereka pada zaman global. Keimanan dan ketakwaan itulah yang akan
menjadi landasan hidup mereka, menunjukkan tujuan hidup mereka,
serta menjadi filter dalam menilai mana yang baik dan mana yang
buruk pada zaman global itu.11
b. Pendidikan Agama dalam Keluarga
Menurut Ahmad Tafsir, tatkala berbicara tentang metode
pendidikan agama di sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah
bahwa kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan
terutama terletak pada metode pendidikan agama yang digunakan dan
penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di sekolah sebenarnya
terletak pada pendidikan agama dalam keluarga. Inti pendidikan
agama dalam keluarga itu ialah hormat kepada Tuhan, kepada orang
tua, kepada guru. Di sekolah, hormat kepada guru inilah kuncinya.
Bila anak didik tidak hormat kepada guru, berarti ia juga tidak akan
menghormati agama. Bila agama Islam dan guru agama tidak
dihormati, maka metode pendidikan agama yang baik pun tidak akan
ada artinya. Itulah yang umumnya terlihat sekarang, terutama di
sekolah umum. Oleh karena itu, pendidikan agama dalam keluarga
sebenarnya (ini betul-betul sebenarnya) tidak boleh terpisah dari
pendidikan agama di sekolah; mula-mula adalah pendidikan agama
dalam keluarga sebagai fondasi, kemudian dilanjutkan di sekolah
11Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, hlm. 8-9.
53
sebagai pengembangan rinciannya. Berdasarkan itu semua maka di
sini dibicarakan prinsip-prinsip pendidikan agama dalam keluarga.12
Karya sarjana Muslim tentang pendidikan agama dalam rumah
tangga ternyata cukup banyak dan cukup mendalam. Mereka itu
semuanya mengetahui bahwa pendidikan agama dalam rumah tangga
itu amat penting bagi perkembangan keagamaan anak selanjutnya.
Karena memahami pentingnya pembinaan kesejahteraan anak,
pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan undang-undang
tentang itu pada tahun 1979, bertepatan dengan Tahun Anak
Internasional. Undang-undang itu menjadi landasan hukum bagi
pembinaan anak Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. Hal ini amat penting untuk Indonesia
karena sejak semula, dengan pandangan hidup Pancasila,
pembangunan Indonesia selalu memandang manusia sebagai titik
sentral. Pembangunan itu berawal dari pembinaan anak, dan itu
tentulah dalam rumah tangga.
Jumlah anak di bawah 15 tahun di Indonesia ternyata cukup
besar, saat ini kurang-lebih 65 juta, suatu jumlah yang amat berarti
bagi modal pembangunan bangsa bila dikembangkan dengan baik.
Sebaliknya, mereka itu akan menjadi hambatan yang besar dalam
kehidupan bangsa bila tidak dikembangkan dengan baik.
Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang nomor 4
tahun 1979 itu, sebagaimana disebutkan dalam Bab I Pasal 1 (a), ialah
sebagai berikut: "Kesejahteraan anak ialah suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar baik segi rohani, jasmani, dan sosial."
Jadi, pembinaan itu harus mencakup agama, kesehatan dan gizi,
pendidikan, kependudukan, kehidupan berbangsa dan bernegara,
ketenagakerjaan, kemampuan dan kesempatan kerja, lingkungan
12Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 158.
54
hidup, pangan, kesetiakawanan sosial, cinta tanah air, pertahanan-
keamanan, dan lain-lain. Dengan demikian, pembinaan kesejahteraan
anak menyangkut usaha bangsa yang sangat strategis dan mendasar.13
Berdasarkan uraian itu maka menurut Ahmad Tafsir bahwa
pembangunan sumber daya manusia, termasuk pembinaan anak, erat
sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti takwa kepada
Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja yang
tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan
suatu proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu
sejak masa anak-anak. Itu adalah pendidikan dalam rumah tangga.
Dengan menumbuhkan anak-anak sejak dini, akan lahirlah
generasi anak Indonesia yang berkualitas.
Menurut Ahmad Tafsir bahwa pendidikan untuk menghasilkan
manusia yang berkualitas itu sangat penting bagi Indonesia pada
zaman kemajuan yang serba cepat ini, lebih-lebih pada abad ke-21
nanti. Dari sekarang telah terasa kuatnya persaingan antara orang per
orang, antarkelompok, juga antarbangsa agar mampu bertahan dalam
kehidupan yang serba dinamis itu. Hidup pada zaman seperti itu
tidaklah mudah. Anak-anak harus disiapkan sedini mungkin, terarah,
teratur, dan berdisiplin. Dalam kehidupan seperti itu, tingkat godaan
dan hal-hal yang dapat merusak mental serta moral manusia sungguh
amat dahsyat. Sekarang pun hal itu sudah terasa. Dalam menghadapi
zaman itu agama akan terasa pentingnya.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat
wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua
terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu
ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah
tangga.14
Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga
keluarganya dari siksa neraka:
13 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 159. 14 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 160.
55
....
Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan neraka Jadi,
tanggung jawab itu pertama-tama adalah sebagai suatu
kewajiban dari Allah; kewajiban harus d ilaksanakan (QS.
At-Tahriim: 6).
Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar
karena orang tua memang mencintai anaknya. Ini merupakan sifat
manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia mempunyai sifat
mencintai anaknya. Ini terlihat dalam surat al-Kahfi ayat 46:
Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia
(QS. al-Kahfi: 46).
c. Tujuan Pendidikan Agama dalam Keluarga
Menurut Ahmad Tafsir, orang tua mendidik anaknya karena
kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena cinta. Secara sederhana
tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi
anak yang saleh. Anak yang saleh itulah anak yang wajar
dibanggakan. Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak
tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang
tuanya.15
Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya.
Anak adalah dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan
orang tuanya. Bila tidak mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu
telah cukup merupakan bukti amal baik orang tuanya. Pokoknya,
setiap orang senang mempunyai anak yang saleh. Oleh karena itu,
orang tua mendidik anaknya agar menjadi anak yang saleh.
Anak dapat juga menjadi musuh orang tuanya. Itu dapat saja
terjadi bila anak tidak dididik dengan benar. Sering kali orang tua
amat susah karena anaknya nakal. Orang tua yang menduduki posisi
15 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 163.
56
yang terhormat di dalam masyarakat, sebagai pemimpin formal atau
informal, akan jatuh wibawanya karena anaknya nakal. Seorang
pemimpin, bila anaknya terlibat dalam kenakalan, terlibat dalam jual-
beli obat terlarang, misalnya akan jatuh martabatnya di mata
masyarakat, bahkan mungkin saja orang tua itu dipecat dari
kedudukannya karena kenakalan anaknya itu. Ini pun salah satu
bentuk permusuhan anak terhadap orang tuanya.16
d. Kerja Sama Guru Sekolah dengan Orang Tua Murid
Menurut Ahmad Tafsr bahwa orang tua menginginkan
anaknya menjadi orang yang baik, lahir batin. Ini keinginan yang
wajar. Karena itu, orang tualah sebenarnya yang berkewajiban
mendidik anaknya. Keterbatasan kemampuan (intelektual, biaya,
waktu) orang tua menyebabkan ia mengirim anaknya ke sekolah.
Orang tua meminta tolong agar sekolah membantunya mendidik
(mendewasakan) anaknya. Inilah dasar kerja sama antara orang tua
dan sekolah dalam pendidikan. Dasar ini telah disadari sejak dahulu
hingga sekarang. Hanya saja, sekarang ini kesadaran sebagian orang
tua akan prinsip itu semakin berkurang. Orang tua cenderung, biaya
sekolah anaknya semurah mungkin, jika mungkin gratis. Bila anaknya
nakal atau prestasinya jelek, orang tua cenderung menyalahkan guru di
sekolah. Padahal sekolah itu tadinya memang hanya membantu orang
tua. Sekarang dibalik, orang tua malahan merasa membantu sekolah.
Sekali lagi orang tua adalah pendidik utama dan pertama, sekolah
hanyalah pendidik kedua dan hanya membantu. Ini perlu benar
disadari kembali oleh orang tua zaman sekarang.17
Prinsip itu lebih penting lagi dalam pelaksanaan pendidikan
keimanan. Usaha pendidikan keimanan memang hanya sedikit sekali
yang dapat dilakukan di sekolah. Padahal penanaman iman itu adalah
inti pendidikan agama dan iman memang inti agama. Maka jelaslah
16 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 163-164. 17 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 128.
57
bahwa orang tua harus menyelenggarakan pendidikan keimanan di
rumah tangga. Dalam hal penanaman iman ini, sekalipun guru ingin
berperan banyak, ia tidak mungkin mampu memainkan peran itu. Ini
pun menjadi dasar yang kuat perlunya kerja sama antara orang tua di
rumah dan guru di sekolah. Yang memerlukan sebenarnya bukan
terutama guru atau sekolah, melainkan orang tuanya.
Kadang-kadang orang tua terlambat menyadari perlunya kerja
sama ini. Maka sekolah diharapkan mengambil inisiatif untuk
menjalin kerja sama itu. Setelah kerja sama terjalin, selanjutnya
mengenai apa yang mesti dilakukan dapat dirancang bersama orang
tua dan guru agama. Mungkin saja programnya tidak berlaku umum;
untuk siswa tertentu mungkin sedikit berbeda dengan program untuk
siswa yang lain. Pokoknya kerja sama orang tua dan guru agama
(sekolah) dalam penanaman iman amat penting, terutama bagi orang
tua itu sendiri. Guru agama amat dianjurkan merintis kerja sama ini
dengan berkonsultasi dahulu kepada kepala sekolah. Mungkin langkah
pertama adalah rapat orang tua siswa dengan guru agama dan dihadiri
oleh kepala sekolah.
Tidak semua orang tua mengetahui apa yang sebaiknya
dilakukan di rumah dalam rangka menanamkan iman di hati putra-
putrinya. Melalui kerja sama itu guru agama (sekolah) dapat
memberikan saran-sarannya.18
e. Usaha Penanaman Iman di Rumah Tangga
Menurut Ahmad Tafsir bahwa ada beberapa prinsip yang
sebaiknya diperhatikan oleh orang tua dalam penanaman iman di hati
anak-anaknya di rumah tangga. Yang pertama, membina hubungan
harmonis dan akrab antara suami dan istri (ayah dan ibu anak); kedua,
membina hubungan harmonis dan akrab antara orang tua dengan anak;
dan ketiga, mendidik (membiasakan, memberi contoh dan lain-lain
tadi) sesuai dengan tuntunan Islam. Setiap anak, terutama pada
18 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, hlm. 128.
58
periode awal pertumbuhannya, senang meniru orang tuanya. Anak
laki-laki biasanya meniru ayahnya, anak perempuan meniru ibunya.
Kedua orang tua itu selalu menjadi objek yang diperhatikan oleh
anaknya, objek yang juga menjadi kebanggaannya, menjadi figur
idealnya. Jika orang tuanya terlihat selalu rukun, damai, harmonis
maka keadaan itu akan menyenangkan anaknya, membawa rasa
tenang dalam jiwanya. Ketenangan jiwa anak tersebut akan
memberikan pengaruh pada tingkah lakunya, baik di rumah maupun di
luar rumah. Selanjutnya ketenangan itu akan memberikan pengaruh
pada keteguhan jiwa anak itu dalam menghadapi berbagai persoalan
kelak. Hal itu pula kelak akan memberikan pengaruh positif tatkala ia
membina rumah tangga.
Menurut Ahmad Tafsir, kewajiban orang tua dalam hal ini
sudah jelas, yaitu memperlihatkan ketenangan, kedamaian di depan
anak-anaknya. Ada juga saat-saat tertentu orang tua bertikai paham.
Lakukan itu di luar pengetahuan anak-anak; upayakan sungguh-
sungguh menyembunyikannya. Keterangan di atas kadang-kadang
perlu disampaikan kepada orang tua anak, oleh guru atau oleh kepala
sekolah. Tidak ada salahnya, sekurang-kurangnya untuk
mengingatkan. Orang tua mestinya akan menerima dengan senang
hati, demi keberhasilan pendidikan anak mereka.19
Yang pertama dan utama dalam membina hubungan akrab
antara orang tua dan anak (anak-anaknya) ialah adanya kasih sayang
kepada orang tua. Kasih sayang adalah gabungan antara kasih dan
sayang. Setiap orang tua mengetahui hal ini, dan sering melakukannya
dengan menuruti caranya masing-masing. Inilah masalahnya: Apa
yang mesti dilakukan orang tua supaya anak merasa bahwa ia benar-
benar dikasihsayangi? Persoalan ini muncul karena banyak orang tua
merasa telah melakukan banyak hal dalam mengasihsayangi anaknya,
tetapi anaknya tidak merasa dikasihsayangi oleh orang tuanya.
19 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, hlm. 129.
59
Melakukan kasih sayang itu memang bukan pekerjaan mudah; orang
tua sebaiknya mengetahui teorinya. Bila tidak, maka itulah hasilnya.
Bisa saja yang diberikan susu, yang dirasakan tuba.20
Anak yang kurang memperoleh kasih sayang biasanya nakal di
luar rumah, jiwanya tidak merasa aman, selanjutnya keadaan ini akan
memberikan dampak negatif pada segi-segi lainnya, termasuk prestasi
belajarnya. Sebagian orang tua menganggap kasih sayang harus
dengan memarahi atau memukul; menurut mereka anak tidak boleh
dimanja, supaya lekas dewasa. Yang lain mengatakan kasih sayang
diberikan dalam bentuk banyak diam, tidak banyak bicara, bicara
seperlunya saja supaya orang tua berwibawa. Yang lain mengira kasih
sayang dapat berupa memberikan banyak uang jajan, pakaian yang
mahal, atau mobil mewah.
Sebenarnya kasih sayang dapat diwujudkan dalam bentuk
antara lain pandangan lembut ke mata anak kita, bicara tenang ke
telinganya, memberikan uang jajan ke tangannya (bukan dilemparkan
atau diberikan lewat pembantu), mengantarkannya ke pintu tatkala
pergi sekolah, menyambutnya dengan ramah tatkala pulang,
melarangnya ke luar rumah malam hari, memerintahkan salat,
menyuruh belajar tekun dan lain-lain. Untuk membina keakraban anak
dan orang tua, bukan hanya kasih sayang yang diperlukan anak.
Mereka memerlukan juga adanya rasa aman, terutama tatkala ia
sedang dalam pertumbuhan, yaitu sejak kecil, remaja sampai dewasa.
la harus merasa aman di rumah, di luar rumah dan di sekolah. Bila di
rumah tidak aman, maka anak akan mencari rasa aman itu di tempat
lain. Jika tidak aman di sekolah, maka ia akan malas ke sekolah. Ini
pun menjadi alasan perlunya kerja sama sekolah dan rumah tangga
anak.
20 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, hlm. 129.
60
Selain itu untuk menjaga keakraban, anak memerlukan
penghargaan. Ini dapat dilakukan tatkala ia berhasil dalam suatu
pekerjaan atau tugas. Penghargaan terbaik ialah yang bersifat
psikologis, seperti pujian; berupa benda boleh juga tetapi jangan lupa
hadiah psikologisnya.
Anak juga memerlukan keberhasilan. Ini dapat menambah
keakraban orang tua dan anak. Orang tua mesti membantu anaknya
agar ia berhasil. Anak yang terlalu sering merasa gagal akan kecewa;
jika berulang-ulang, maka ia akan frustrasi, muncul rasa tidak percaya,
ini amat berbahaya bagi perkembangannya.
Sebagian orang tua beranggapan anak tidak boleh dipuji bila ia
berhasil, malahan kita harus memperlihatkan kekecewaan, agar anak
berusaha meningkatkan prestasinya. Sikap semacam itu sudah jelas
salah; itu mengecewakan anak. Berilah pujian. Anak juga memerlukan
kebebasan; bermain, berpendapat, dan lain-lain. Di sinilah banyak
orang tua mendapat kesulitan.21
Seringkali kebebasan yang diminta anak berlawanan dengan
nilai yang diyakini orang tuanya. Contoh klasik ialah kisah Siti
Nurbaya. Tuntutan kebebasan seperti ini biasanya muncul setelah anak
menjelang remaja. Itu adalah hal yang wajar.
Menghadapi gejala seperti itu orang tua hendaknya men
diskusikan akibat-akibatnya. Coba dengarkan pendapat mereka, lantas
kemukakan pendapat kita bersama argumennya. Anak remaja
mestinya menyadari kebebasan bukanlah berarti bebas tanpa batas.
Jelaskan apa bahayanya bebas tanpa batas. Bebas tanpa batas akan
mencelakakan. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang terbatas.
Diskusikan itu. Bila anak sudah dididik benar sejak kecil, biasanya
akan menyadari kebebasan yang terbatas itu. Penyulit diskusi dengan
anak remaja kita ialah karena mereka tidak lagi menyegani orang
21 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, hlm. 130.
61
tuanya. Ini mungkin disebabkan kesalahan pendidikan di masa
kecilnya.
Prinsip memberi kebebasan itu mesti diikuti dengan
pengawasan atau kontrol orang tua. Apakah anak tidak akan
tersinggung bila merasa diawasi? Tidak, jika prinsip-prinsip
sebelumnya telah dilakukan dengan benar. Seharusnya anak-anak
remaja memahami dan dapat menerima adanya pengawasan itu,
mereka sebaiknya berpendapat bahwa pengawasan itu wajar saja,
bahkan perlu. Konsep-konsep di atas, yaitu kasih sayang, rasa aman,
rasa dihargai, rasa berhasil, rasa bebas, dan pengawasan, akan lebih
sempurna hasilnya bila dibarengi dengan penerapan ajaran Islam
dalam mendewasakan anak.
Membiasakan salat berjamaah, membangunkan dengan kasih
sayang bila anak kesiangan, makan secara Islam, berdiskusi tentang
hal-hal yang terjadi di rumah tangga, adalah sebagian dari cara
menanamkan iman di rumah tangga. Berdoa setelah salat, zikir
bersama, tentu saja cara yang amat baik dilakukan. Mendoakan anak
secara terus menerus adalah cara mendidik yang amat baik juga.
Doanya dalam bahasa Indonesia, "Ya Allah jadikanlah anak-anakku
anak yang saleh." Sekali-sekali doa ini ada baiknya didengar oleh
anak-anak, dan lebih baik lagi jika mereka turut mengamininya.
Bila kerja sama antara sekolah dan rumah tangga telah terjalin
dengan baik, maka konsep-konsep itu dapat disampaikan oleh sekolah
kepada orang tua. Jadi, kerja sama itu tidak terbatas pada bantuan
keuangan dari orang tua murid seperti banyak dilakukan sekarang ini
oleh Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).22
22 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, hlm. 131.
62
B. Biografi Zakiah Daradjat
1. Latar Belakang Zakiah Daradjat
Zakiah Daradjat, lahir di Kampung Kotamerapak, Kecamatan
Ampek Angket, Kotamadya Bukit Tinggi pada tanggal 6 November 1929.
Ayahnya bernama H. Daradjat Husain memiliki dua istri. Dari istrinya
yang pertama, Rafi'ah, ia memiliki enam anak, dan Zakiah adalah anak
pertama dari keenam bersaudara.23
Zakiah adalah guru besar psikoterapi
(perawatan jiwa), ahli pendidikan Islam, dan intelektual muslim yang
banyak memperhatikan problematik remaja muslim Indonesia.24
Pendidikan dasarnya dimulai di Bukit Tinggi (tahun 1942) sambil
belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Selanjutnya ia meneruskan studinya
langsung ke kuliah Al Muballighat (setingkat SLTA) di Padang Panjang
pada tahun 1947. SLTPnya ia peroleh secara extranei pada tahun 1947.
Selanjutnya Zakiah Daradjat meneruskan studinya di sekolah
asisten apoteker (SAA), namun baru duduk ditingkat II, studinya terhenti
karena terjadi clash kedua antara Indonesia dan Belanda, yang
menyebabkan Zakiah Daradjat bersama keluarganya mengungsi ke
pedalaman.
Di saat keadaan mulai aman, Zakiah Daradjat ingin kembali
meneruskan studinya di SAA, namun tidak terlaksana mengingat sekolah
ini telah bubar sehingga ia masuk SMA/B. Pada masa selanjutnya ia
melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) sekaligus di Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (1955).
Ketika memasuki tingkat III Prof. Zakiah Daradjat dihadapkan
pada dua pilihan, meneruskan di PTAIN atau di Fakultas UII. Ternyata ia
memilih untuk melanjutkan studi di PTAIN. Ketika sedang mengikuti
perkuliahan ditingkat IV ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama
23
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 233 24 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994), hlm. 285.
63
untuk melanjutkan studi di Cairo. Ia mengambil spesialisasi Diploma
Faculty of Education, Ein Shams University, Cairo dan memperoleh gelar
Magister pada bulan oktober 1959 dengan tesis The Problems of
Adolescence in Indonesia.25 Tesis ini banyak mendapat sambutan dari
kalangan terpelajar dan masyarakat umum di Cairo waktu itu, sehingga
seringkali menjadi bahan berita para wartawan.
Zakiah Daradjat sendiri tidak tahu dengan pasti, apa yang
menyebabkan masyarakat terpelajar Mesir tertarik akan isi tesisnya itu
entah karena masalah yang dibahas itu cukup menarik bagi mereka,
karena menyangkut Indonesia, yang belum banyak mereka kenal,
sedangkan hubungan antara Republik Persatuan Arab dan Republik
Indonesia waktu itu sedang erat-eratnya. Akan tetapi, besar kemungkinan
yang menyebabkan mereka tertarik, adalah objek masalah yang diteliti dan
diuraikan oleh tesis itu, yaitu problema remaja, yang bagi orang Mesir
waktu itu, memang sedang menjadi perhatian karena mereka sedang giat
membangun, bahkan dalam kabinet Mesir waktu itu ada Kementrian
Pemuda.26
Masa-masa berikutnya adalah masa berkiprah baginya baik dalam
bidang pendidikan maupun dalam bidang birokrasi yang masih berkaitan
dengan pendidikan sambil belajar di Program doktoral, ia sempat menjadi
kepala Jurusan Bahasa Indonesia pada Higher School for Language di
Cairo (1960-1963).
Setelah kembali ke Tanah Air ia diangkat menjadi pegawai tinggi
Departemen Agama pusat pada Biro Perguruan Tinggi Agama (1964-
1967). Selanjutnya ia menjadi Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum
pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama RI (1972-
1977).
Pada masa berikutnya ia menjadi Direktur Pembinaan Perguruan
Tinggi Agam Islam Departemen Agama RI (1977-1984) dan anggota
25 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, hlm. 285 26 Zakiah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
hlm. 5.
64
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 1983-1988. Tahun 1984-1992 ia
dipercayakan menjadi dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Di samping itu, ia menjadi pengajar tidak tetap di berbagai
Perguruan Tinggi di Jakarta dan Yogyakarta. Ia aktif mengikuti seminar-
seminar di dalam dan luar negeri serta aktif pula menjadi penceramah
dalam berbagai lembaga pendidikan, di RRI, dan di TVRI. Ia juga menjadi
ketua umum Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah (1993-1998).
Sebagai pendidik dan ahli psikologi Islam, ia mempunyai sejumlah
pemikiran dan ide menyangkut masalah remaja di Indonesia. Bahkan, ia
tercatat sebagai guru besar yang paling banyak memperhatikan
problematik remaja, sehingga sebagian besar karyanya mengetengahkan
obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia.
Menurutnya, sekarang ini anak manusia sedang menghadapi suatu
persoalan yang cukup mencemaskan kalau mereka tidak memperhatikan
dengan sungguh-sungguh masalah akhlak atau moral dalam masyarakat.
Ketenteraman telah banyak terganggu, kecemasan dan kegelisahan orang
telah banyak terasa, apabila mereka yang mempunyai anak remaja yang
mulai menampakkan gejala kenakalan dan kekurang acuhan terhadap nilai
moral yang dianut dan di pakai orang tua mereka.
Di samping itu ia melihat kegelisahan dan kegoncangan dalam
banyak keluarga karena antara lain kehilangan keharmonisan dan kasih
sayang. Banyak remaja yang enggan tinggal di rumah, senang berkeliaran
di jalanan, tidak memiliki semangat belajar, bahkan tidak sedikit yang
telah sesat.27
Menurutnya, sebab-sebab kemerosotan moral di Indonesia
adalah: kurangnya pembinaan mental, dan orang tua tidak memahami
perkembangan remaja; kurangnya pengenalan terhadap nilai-nilai
pancasila; kegoncangan suasana dalam masyarakat; kurang jelasnya masa
depan di mata anak muda dan pengaruh budaya asing.28
27 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,hlm. 286. 28 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Cet. 4, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), hlm. 48.
65
Untuk mengatasinya ia mengajukan jalan keluar, antara lain :
melibatkan semua pihak (ulama, guru, orang tua, pemerintah, keamanan
dan tokoh masyarakat); mengadakan penyaringan terhadap kebudayaan
asing; meningkatkan pembinaan mental; meningkatkan pendidikan agama
di sekolah, keluarga dan di masyarakat; menciptakan rasa aman dalam
masyarakat; meningkatkan pembinaan sistem pendidikan nasional; dan
memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan agama.29
Pada tindakan nyata ia merealisasi obsesinya itu dalam bentuk
antara lain kegiatan sosial dengan melakukan perawatan jiwa (konsultasi).
Setiap hari ia melayani empat sampai lima pasien. Masalah yang ditangani
mulai dari kenakalan anak sampai gangguan rumah tangga. Ia aktif
memberi bimbingan agama dan berbagai pertemuan pada remaja dan
orang tua, giat mempersiapkan remaja yang baik dengan mendirikan
Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di Cireundeu Ciputat. Sementara
dalam pengembangan ilmu ia aktif memberi kuliah; di samping sebagai
dekan di Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan
membimbing penulisan disertasi tentang pendidikan.
Sebagai guru besar ilmu pendidikan, Zakiah Daradjat tergolong
produktif dalam menulis buku di antaranya:
a. Problema Remaja di Indonesia
b. Pembinaan Remaja.
c. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia.
d. Perawatan Jiwa untuk Anak-Anak.
e. Islam dan Kesehatan Mental.
f. Kesehatan (untuk SD, empat Jilid).
g. Salat Menjadikan Hidup Bermakna.
h. Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental.
i. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah
j. Haji Ibadah yang Unik.
k. Kebahagiaan, Remaja, Harapan dan Tantangan.
29 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, hlm. 60 – 78.
66
l. Doa Meningkatkan Semangat Hidup
m. Zakat Pembersih Harta dan Jiwa.
Dari sekian banyak karya tulisnya, maka yang ada di tangan
peneliti dan sekaligus akan diberi komentar singkat antara lain :
a. Buku yang berjudul : Problema Remaja di Indonesia.
Buku ini merupakan terjemahan dari tesis yang diajukan olehnya
untuk mencapai gelar M.A dalam bidang pendidikan, dengan spesialisasi
tentang kesehatan mental. Tesis ini telah dipertahankan dalam sidang
munaqasah umum, Fakultas Pendidikan, Universitas Ein Shams, Cairo,
Mesir, pada bulan Oktober tahun 1959.
Salah satu yang menarik dari buku tersebut, ia telah mampu
mendeskripsikan problema remaja yang ada di Indonesia. Terlihat dalam
pernyataanya, bahwa menurutnya problema terbesar pada umur remaja itu
ialah kurangnya pengertian orang tua terhadap problema remaja. Pada
halaman lain ia menyampaikan nasehat kepada para ibu agar berupaya
memahami jiwa remaja, karena remaja adalah suatu masa dari umur
manusia yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga
membawanya pindah dari masa anak-anak menuju kepada masa dewasa.
b. Perawatan Jiwa untuk Anak-anak
Di antara uraian buku tersebut yang dipandang sangat menarik oleh
peneliti adalah pernyataannya tentang orang tua. Menurutnya: orang tua
seringkali menyangka bahwa mereka cukup sayang kepada anaknya akan
tetapi banyak sekali anak-anak yang menderita, karena mereka merasa
tidak disayangi. Di manakah letak perbedaan ini? Pada umumnya, orang
tua menyayangi anak dengan cara masing-masing. Ada yang membelikan
segala macam permainan berharga, mencukupkan makan dan pakaian serta
mengabulkan segala permintaannya. Sementara, orang tua lainnya merasa
cukup sayang apabila ia mengkhususkan seorang pembantu untuk
anaknya.
Menurut Zakiah Daradjat, sebenarnya yang sangat dibutuhkan
anak, bukanlah benda-benda atau hal-hal lahir itu, melainkan jauh lebih
67
penting dari itu adalah kepuasan batin, merasa dapat tempat yang wajar
dalam hati kedua ibu bapaknya. Mungkin saja kebutuhan materiil kurang
terpenuhi, karena orang tuanya tidak mampu, namun ia cukup merasakan
kasih sayang dari kedua orang tuanya itu
c. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia
Dalam buku ini, Zakiah Daradjat sangat memberi perhatian yang
sangat besar pada aspek moral. Hal ini sebagaimana tampak dalam
uraiannya memberi porsi yang banyak pada kajian moral anak-anak. Ia
menawarkan suatu solusi guna mencapai perbaikan moral yaitu :
1) Penyaringan terhadap kebudayaan asing.
2) Pembinaan mental harus ditingkatkan.
3) Menciptakan rasa aman dalam masyarakat.
4) Perbaikan sistem pendidikan nasional.
5) Peningkatan perhatian terhadap pendidikan.
6) Memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan.
7) Bimbingan dalam pengisian waktu senggang.
d. Remaja, Harapan dan Tantangan.
Buku ini merupakan rangkaian dari berbagai bahan yang pernah
disajikannya selama beberapa tahun yang silam, baik lewat radio, televisi,
konferensi, seminar, diskusi, ceramah umum dan sebagainya. Setelah
mengupas panjang lebar tentang remaja, ia kemudian melontarkan ide
pembinaan dan penanggulangan masalah remaja lewat peranan agama;
peranan keluarga; peranan sekolah; dan peranan pramuka. Dalam bagian
penutup buku itu ia mengemukakan: kita seharusnya mengerti dan
menyadari, bahwa masa remaja itu penuh tantangan dan permasalahan
baik yang timbul dari dalam dirinya maupun yang datang dari keluarga,
lingkungan sosial, dan terutama sekali dari berbagai alat dan media massa
yang selalu datang silih berganti.
e. Kesehatan Mental
Buku ini telah mengalami beberapa cetak ulang, dan yang
kebetulan peneliti miliki telah mencapai cetakan ke-10. menariknya dari
68
buku ini adalah penjelasannya ringkas namun padat. Ia menyatakan yang
menyebabkan timbulnya kenakalan anak remaja adalah kurangnya
didikkan agama; kurang pengertian orang tua tentang pendidikan; kurang
teraturnya pengisian waktu; tidak stabilnya keadaan sosial politik dan
ekonomi; kemerosotan moral dan mental orang dewasa, banyaknya film
dan buku-buku bacaan yang tidak baik; pendidikan dalam sekolah yang
kurang baik; dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan
anak-anak. Maka sebagai usaha untuk menghadapi kenakalan anak-anak
Zakiah Daradjat memberikan enam butir pemecahan yaitu melalui
pendidikan agama; orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan;
pengisian waktu terluang dengan teratur; membentuk markas-markas
bimbingan dan penyuluhan; pengertian dan pengamalan ajaran agama;
penyaringan buku-buku cerita, komik dan sebagainya.
2. Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Zakiah
Daradjat
a. Pengertian Pendidikan Agama
Menurut Zakiah Daradjat bahwa yang dimaksud dengan
didikan agama bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara
sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi yang terpenting
adalah penanaman jiwa agama yang dimulai dari rumahtangga, sejak
si anak masih kecil, dengan jalan membiasakan si anak kepada sifat-
sifat dan kebiasaan yang baik, misalnya dibiasakan menghargai hak
milik orang lain, dibiasakan berkata terus-terang, benar dan jujur,
diajar mengatasi kesukaran-kesukaran yang ringan dengan tenang,
diperlakukan adil dan baik, diajar suka menolong, mau memaafkan
kesalahan orang, ditanamkan rasa kasih sayang sesama saudara dan
sebagainya.30
Kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan jiwa ajaran
agama itu, akan dapat tertanam dengan mudah pada jiwa si anak,
apabila orang dewasa di sekitarnya (terutama ibu-bapak) memberikan
30 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm. 113.
69
contoh-contoh dari sifat yang baik itu dalam kehidupan mereka sehari-
hari, karena anak-anak lebih cepat meniru dari pada mengerti kata-
kata yang abstrak itu.
Akan tetapi amat disayangkan menurut Zakiah Daradjat yaitu
melihat kenyataan banyaknya orangtua yang tidak mengerti ajaran
agama yang dianutnya, bahkan banyak pula yang memandang rendah
ajaran agama itu, sehingga didikan agama itu praktis tidak pernah
dilaksanakan dalam banyak keluarga. Disamping didikan agama yang
tidak diterima si anak pada masa kanak-kanak di rumah, maka di
sekolah pun pendidikan agama itu pada masa yang lalu belum
mendapat perhatian. Pelajaran agama dianggap kurang penting, tidak
mempengaruhi kenaikan kelas kanak-kanak. Disamping itu guru-guru
agama seringkali dianggap rendah sehingga akhirnya anak-anak tidak
mendapat didikan agama yang benar-benar, baik dari orangtuanya,
maupun dari guru sekolahnya.
Dengan tidak kenalnya si anak akan jiwa agama yang benar,
akan lemahlah hati nuraninya {super-ego), karena tidak terbentuk dari
nilai-nilai masyarakat atau agama yang diterimanya waktu ia masih
kecil. Jika hati nuraninya lemah, atau unsur pengontrol dalam diri si
anak kosong dari nilai-nilai yang baik, maka sudah barang tentu akan
mudah mereka terperosok ke dalam kelakuan-kelakuan yang tidak
baik dan menurutkan apa yang menyenangkannya waktu itu saja,
tanpa memikirkan akibat selanjutnya.31
Kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama,
yang dibentuk sejak si anak lahir, akan menjadi dasar pokok dalam
pembentukan kepribadian si anak. Apabila kepribadiannya dipenuhi
nilai-nilai agama, maka akan terhindarlah dia dari kelakuan-kelakuan
yang tidak baik.
31 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, hlm. 114.
70
b. Pentingnya Pendidikan Agama
Menurut Zakiah Daradjat seperti diketahui pembinaan mental
tidaklah dimulai dari sekolah, akan tetapi dari rumahtangga. Sejak si
anak dilahirkan ke dunia, mulailah ia menerima didikan-didikan dan
perlakuan-perlakuan, mula-mula dari ibu-bapaknya kemudian dari
anggota keluarga yang lain, semuanya itu ikut memberikan dasar-
dasar pembentukan kepribadiannya. Pembinaan dan pertumbuhan
kepribadian itu kemudian ditambah dan disempurnakan oleh
sekolah.32
Pendidikan agama pada masa kanak-kanak, seharusnya
dilakukan oleh orangtua, yaitu dengan jalan membiasakannya kepada
tingkah laku dan akhlaq yang diajarkan oleh agama. Dalam
menumbuhkan kebiasaan berakhlaq baik seperti kejujuran, adil dan
sebagainya, orangtua harus memberikan contoh, karena si anak dalam
umur ini belum dapat mengerti, mereka baru dapat meniru. Apabila si
anak telah terbiasa menerima perlakuan adil dan dibiasakan pula
berbuat adil, maka akan tertanamlah rasa keadilan itu kepada jiwanya
dan menjadi salah satu unsur dari kepribadiannya. Demikian pula
dengan nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah sosial yang lain, sedikit
demi sedikit harus masuk dalam pembinaan mental anak.
Apabila pendidikan agama itu tidak diberikan kepada si anak
sejak ia kecil, maka akan sukarlah baginya untuk menerimanya nanti
kalau ia sudah dewasa, karena dalam kepribadiannya yang terbentuk
sejak kecil itu, tidak terdapat unsur-unsur agama. Jika dalam
kepribadian itu tidak ada nilai-nilai agama, akan mudahlah orang
melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya
tanpa mengindahkan kepentingan dan hak orang lain. Ia selalu didesak
oleh keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan yang pada
dasarnya tidak mengenal batas-batas, hukum dan norma-norma. Tetapi
jika dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur
32Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, hlm. 127.
71
agama, maka segala keinginan dan kebutuhannya akan dipenuhi
dengan cara yang tidak melanggar hukum-hukum agama, karena
dengan melanggar itu ia akan mengalami kegoncangan jiwa, sebab
tindakannya tidak sesuai dengan kepribadiannya.33
Menurut Zakiah Daradjat sesuai dengan dasar negara
Pancasila, di mana sila pertama adalah kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, maka kepribadian tiap warga negara harus berisi
kepercayaan dan taqwa kepada Tuhan. Kepercayaan yang menjadi
bagian dari kepribadian, bukan kepercayaan yang hanya diucapkan
oleh lisan saja. Karena penyelewengan-penyelewengan yang terjadi
dari orang-orang yang mengaku ber-Tuhan itu, datangnya adalah
karena tidak tertanamnya jiwa ke-Tuhanan dalam kepribadiannya.
Pengakuannya berlawanan dengan keadaan yang sesungguhnya, yang
akan mengakibatkan terganggunya kesehatan mentalnya, dan dapat
mempengaruhi kelakuan dan sikapnya dalam hidup, bahkan akan
mempengaruhi kesehatan badannya.
Realisasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya mungkin
dalam agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu ada harus disertai
dengan kepercayaan kepada ajaran, hukum dan peraturan-peraturan
yang ditentukan oleh Tuhan. Jika kepercayaan kepada Tuhan itu tidak
disertai dengan kepercayaan kepada ajaran-ajaran Tuhan, maka
kepercayaan itu tidak akan mempunyai arti dalam pembinaan mental
dan pembentukan kepribadian yang akan mengatur sikap, tingkah laku
dan cara menghadapi segala persoalan dalam hidup nanti.
Untuk mengetahui hukum, ajaran dan peraturan-peraturan
Tuhan itu tidak dapat dilakukan dengan pendekatan ilmiah atau
analisa-analisa ilmiah saja, tetapi haruslah dengan petunjuk langsung
dari Tuhan, yang diturunkanNya melalui para Nabi dan para RasulNya
yang diajarkan dalam agama. Jadi pendidikan agama, tidak mungkin
terlepas dari pengajaran agama. Jika penanaman jiwa agama tak
33 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, hlm. 128.
72
mungkin dilakukan oleh orangtua di rumah, maka pengajaran agama
harus dilakukan dengan bimbingan seorang guru yang mengetahui
agama.
Karena sangat pentingnya pendidikan agama bagi pembinaan
mental dan akhlak anak-anak, maka pendidikan agama harus
dilanjutkan di sekolah, tidak cukup oleh orangtua saja. Apalagi dalam
masyarakat di mana masih banyak orangtua yang tidak mengerti
agama, bahkan kepercayaan kepada Tuhan mungkin belum menjadi
bagian dari kepribadiannya, sehingga pendidikan agama tidak
mungkin didapat dalam keluarga yang seperti itu.34
c. Pendidikan Agama Perlu Dilaksanakan Sebaik-baiknya
Menurut Zakiah Daradjat sesungguhnya untuk menyelamatkan
generasi yang akan datang, pembangunan mental harus sangat
diperhatikan dan dilaksanakan dengan intensif. Disamping itu juga
tidak boleh melupakan anak-anak yang sekarang telah terganggu
kesehatan mentalnya, dan telah terlanjur kosong dadanya dari jiwa
agama, demikian pula keadaan masyarakat umum yang tidak sedikit
pengaruhnya dalam pembangunan mental anak-anak.35
Pekerjaan menyelamatkan dan pembangunan generasi yang
sekarang dan yang akan datang itu tidak ringan, semua kalangan harus
ikut memperhatikan, terutama keluarga, sekolah (lembaga-lembaga
pendidikan), pimpinan-pimpinan dan orang-orang berwenang dalam
masyarakat, khususnya pemerintah. Usaha-usaha yang dapat
dilakukan untuk menyelamatkan generasi yang akan datang itu harus
serentak dilakukan rumah tangga (keluarga), sekolah dan masyarakat
maka pendidikan di rumah tangga (keluarga) hendaklah:
1) Perbaikan dan penyelamatan hubungan suami-isteri, harus segera
dipikirkan dan pedoman-pedoman serta petunjuk-petunjuk yang
diajarkan oleh agama diolah dan dikembangkan secara luas dalam
34 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, 129. 35 Zakiah Daradjat Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 39
73
masyarakat, sehingga betul-betul dapat tercipta keluarga bahagia
dalam arti yang sesungguhnya sesuai dengan ajaran (agama)
Islam.
2) Orang-tua, hendaklah dapat menjadi contoh yang baik. Dalam
segala aspek kehidupannya bagi si anak, karena anak-anak,
terutama yang berusia dibawah 6 tahun, belum dapat memahami
sesuatu pengertian (kata-kata) yang abstrak, seperti: (benar, salah,
baik dan buruk) misalnya, belum dapat digambarkan oleh anak-
anak, kecuali dalam rangka pengalaman-pengalamannya se-hari-
hari dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
3) Penanaman jiwa taqwa, harus dimulai sejak si anak lahir
sebagaimana diajarkan oleh agama Islam, yang memerintahkan
supaya, setiap bayi lahir harus diazankan demi supaya pengalaman
pertama yang diterimanya, adalah kalimah suci yang membawa
kepada taqwa. Penanaman jiwa taqwa, perlu dilakukan, yaitu
taqwa seperti yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 177,
yang dimana ditegaskan bahwa taqwa itu adalah:36
a) Iman kepada Allah SWT, Hari-kemudian, Malaikat, Kitab-
kitab dan Nabi-nabi.
b) Memberikan harta yang dicintai kepada kaum kerabat; anak
yatim, orang miskin, musafir yang kekurangan, orang minta-
minta dan memerdekakan budak.
c) Mendirikan sembahyang.
d) Mengeluarkan. zakat.
e) Menepati janji yang telah dibuat.
f) Sabar dalam kesempitan. penderitaan dan peperangan.
Penanaman dasar-dasar taqwa, itu harus sejak si anak kecil.
Yang dalam hal ini pada usia-usia permulaan ditanamkan
dengan contoh-contoh dan latihan yang terus-menerus dan
tetap, yang dilakukan dengan lemah lembut, jauh dari
36 Zakiah Daradjat Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, hlm. 40
74
kekerasan dan paksaan, sesuai dengan pertumbuhan si anak
dari segi psychis.
4) Cara menanamkan jiwa taqwa dan iman yang akan menjadi
pengendali dalam kehidupan si anak dikemudian hari, hendaklah
sesuai dengan perkembangan dan cita-cita khas usia si anak, maka
untuk itu, perlulah tiap-tiap orang tua, baik ibu maupun bapak,
mengetahui pokok-pokok terpenting tentang Ilmu jiwa Praktis dan
Ilmu Pendidikan, serta mengerti dan menjalankan ajaran agama.
5) Orang tua harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, justru
pendidikan yang diterima dari orang tualah yang akan menjadi
dasar dari pembinaan kepribadian si anak. Dengan kata lain orang
tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan si anak berjalan
tanpa bimbingan, atau diserahkan kepada guru-guru di sekolah
saja. Inilah kekeliruan yang banyak terjadi dalam masyarakat kita.
6) Haruslah disadari bahwa pendidikan yang diterima oleh si anak
seharusnya sejalan antara rumah dan sekolah. Apabila umpamanya
anak-anak bersekolah di-sekolah-sekolah yang mempunyai
keyakinan agama yang berbeda dengan keyakinan orang tuanya,
akan terjadilah kegoncangan pada jiwa si anak, terutama pada usia
pertumbuhan, taman kanak-kanak, sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama.
7) Orang-orang tua harus menyadari bahwa anak-anak selalu
membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tuanya sampai umur
± 21 tahun (masa-masa pembinaan kepribadian berakhir). Untuk
dapat memberikan pendidikan dan bimbingan itu, orang tua perlu
mengerti betul-betul ciri-ciri pertumbuhan yang dilalui oleh anak
pada tiap-tiap umur.37
d. Pendidikan Agama dalam arti Pembinaan Kepribadian
Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama, dalam arti
pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir,
37 Zakiah Daradjat Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, hlm. 41.
75
bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak
dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal
ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa. Memang diakui bahwa
penelitian terhadap mental janin yang dalam kandungan,
mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti
dalam perawatan jiwa. Memang diakui bahwa penelitian terhadap
mental janin yang dalam kandungan itu tidak mudah dilaksanakan.
Pendidikan agama dalam keluarga, sebelum si anak masuk
sekolah, terjadi secara tidak formal. Pendidikan agama pada umur ini
melalui semua pengalaman anak, baik melalui ucapan yang
didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun
perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu, keadaan orang tua
dalam kehidupan mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak. Karena pada tahun-
tahun pertama dari pertumbuhan itu, si anak belum mampu berpikir
dan perbendaharaan kata-kata yang mereka kuasai masih sangat
terbatas, serta mereka belum mampu memahami kata-kata yang
abstrak. Akan tetapi mereka dapat merasakan sikap, tindakan dan
perasaan orang tua. Mereka merasa disayangi atau dibenci oleh orang
tua mereka, mereka senang kalau orang tua mereka rukun dan
sebaliknya mereka akan sedih, kalau orang tua mereka cekcok. Gerak-
gerik orang tua, menjadi perhatian mereka.38
Si anak mulai mengenal Tuhan dan agama, melalui orang-
orang dalam lingkungan tempat mereka hidup. Jika mereka lahir dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama, mereka akan
mendapat pengalaman agama itu melalui ucapan, tindakan dan
perlakuan. Mereka mendengar nama Tuhan disebut oleh orang tua
atau orang lain dalam keluarganya. Kata Tuhan yang pada mulanya
mungkin tidak menjadi perhatiannya, tapi lama kelamaan akan
38 Zakiah Daradjat, I1mu Jiwa Agama, cet. 16, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm.
126
76
menjadi perhatiannya dan ia akan ikut mengucapkannya setelah ia
mendengar kata Tuhan itu berulang kali dalam berbagai keadaan.
tempat dan situasi, apalagi ia melihat mimik muka yang
membayangkan kesungguh-sungguhan, ketika kata itu diucapkan,
maka perhatiannya akan bertambah, yang lama kelamaan
menimbulkan pertanyaan dalam hatinya, siapa Tuhan itu? Karena itu
maka anak pada umur 3 atau 4 tahun telah mulai menanyakan kepada
orang tuanya siapa Tuhan itu?
Apapun jawaban orang tuanya ketika itu, menurut Zakiah
Daradjat akan diterimanya dan itulah yang benar baginya. Andai kata
orang tuanya tersalah dalam menjawab pertanyaannya itu, maka yang
akan bertumbuh dalam jiwanya itu adalah yang salah itu, kecuali jika
diperbaiki nanti oleh guru agama setelah ia masuk sekolah.
Demikianlah seterusnya tentang doa-doa singkat yang dapat
diikutinya.39
Tindakan dan perlakuan orang tua terhadap dirinya dan
saudara-saudaranya merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian
pribadinya pula di kemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua
yang sesuai dengan ajaran agama, akan menimbulkan pada si anak
pengalaman-pengalaman hidup yang sesuai dengan agama, yang
kemudian akan bertumbuh menjadi unsur-unsur, yang merupakan
bagian dalam pribadinya nanti. Sikap orang tua terhadap agama, akan
memantul kepada si anak. Jika orang tua menghormati ketentuan-
ketentuan agama, maka akan bertumbuhlah pada anak sikap
menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika sikap orang tua
terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh, atau meremehkan, maka itu
pulalah sikap yang akan bertumbuh pada anak.
Di samping itu semua, perlu pula diingat bahwa hubungan
anak dan orang tua, mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap
pertumbuhan jiwa agama pada anak. Andaikata hubungan anak
39 Zakiah Daradjat, I1mu Jiwa Agama, hlm. 127.
77
dengan orang tuanya tidak baik, misalnya ia merasa tidak disayang
dan diperlakukan kejam, keras atau tidak adil, maka besar
kemungkinan sikap si anak terhadap Tuhan akan memantulkan
sikapnya terhadap orang tuanya, mungkin ia akan menolak
kepercayaan terhadap Tuhan, atau menjadi acuh tak acuh terhadap
ketentuan agama. Sebabnya adalah, karena sumber pembinaan rohani
anak adalah orang tuanya sendiri.
Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa pertumbuhan rasa
agama pada anak telah mulai sejak si anak lahir dan bekal itulah yang
dibawanya ketika masuk sekolah untuk pertama sekali.40
Menurut Zakiah Daradjat andaikata si anak berkesempatan
masuk taman kanak-kanak, sebelum ia masuk sekolah dasar, maka
guru taman kanak-kanak itulah orang pertama diluar keluarga yang
ikut membina kepribadian anak. Kepercayaan dan sikap guru taman
kanak-kanak terhadap agama, akan memantul dalam cara ia mendidik
anak-anak, yang buat pertama kali mereka berpindah dari alam
keluarga yang bebas, penuh perlindungan, perhatian dan kasih sayang,
kepada alam baru, di mana ia belajar bergaul dengan teman sebaya,
belajar memberi, di samping menerima, belajar hidup dalam aturan
atau disiplin. Jiwa agama yang sudah mulai tumbuh dalam keluarga,
akan bertambah subur jika guru taman kanak-kanak mempunyai sikap
yang positif terhadap agama, dan sebaliknya akan menjadi lemah, jika
gurunya tidak percaya kepada agama atau mempunyai sikap yang
negatif atau berlawanan dengan sikap dan kepercayaan orang tuanya.
Umur taman kanak-kanak itu, adalah umur yang paling subur untuk
menanamkan rasa agama pada anak, umur penumbuhan kebiasaan-
kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama, melalui permainan dan
perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan guru
40 Zakiah Daradjat, I1mu Jiwa Agama, hlm. 128
78
taman kanak-kanak itu akan mewarnai pertumbuhan agama pada
anak.41
e. Peningkatan Pendidikan Agama
Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama harus dimulai dari
rumah tangga, sejak si anak masih kecil.42
Kadang-kadang orang
menyangka bahwa pendidikan agama itu terbatas pada ibadah,
sembahyang, puasa, mengaji dan sebagainya. Padahal pendidikan
agama harus mencakup keseluruhan hidup dan menjadi pengendali
dalam segala tindakan.43
Dengan agama, manusia dilatih dan diberi
jalan bagaimana menguasai musuh-musuh dirinya yang jahat. Karena
itulah agama menjadi sumber moral dan sumber akhlak. Islam sendiri
diturunkan dan Nabi Muhammad SAW diutus, tidak lain untuk
menjadi suri tauladan bagi umat manusia sebagaimana firman Allah
SWT Surat al-Ahzab ayat 21.
Orang yang tidak pernah mendapatkan didikan agama, tidak
akan mengetahui nilai moral yang dipatuhinya dengan sukarela dan
mungkin tidak akan merasakan apa pentingnya mematuhi nilai moral
yang pasti dan dipatuhi dengan ikhlas. Apabila agama masuk dalam
pembinaan pribadi seseorang, maka dengan sendirinya segala sikap,
tindakan, perbuatan dan perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi,
yang terbina di dalamnya nilai agama, yang akan jadi pengendali bagi
moralnya.
Inilah di antara sebab yang menurut Zakiah Daradjat sangat
penting namun kurang disadari orang. Bahkan banyak di antara orang
yang tergolong pendidik atau bertugas sebagai pendidik, sampai
sekarang masih belum menyadari kesalahan yang telah terjadi di
bidang pendidikan itu.44
41 Zakiah Daradjat, I1mu Jiwa Agama, hlm. 129. 42
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, hlm.101 43 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Indonesia, cet 4, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), hlm 48. 44 Hj. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, hlm. 49-50.
79
Menurut Zakiah Daradjat yang dimaksud dengan didikan
agama bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan
teratur oleh guru sekolah saja akan tetapi yang terpenting adalah
penanaman jiwa agama yang dimulai dari rumah tangga, sejak si anak
masih kecil dengan jalan membiasakan si anak kepada sifat-sifat dan
kebiasaan yang baik, misalnya dibiasakan menghargai hak milik orang
lain, dibiasakan berkata terus terang, benar dan jujur, diajari mengatasi
kesukaran-kesukaran yang ringan dengan tenang, diperlakukan adil
dan baik, diajari suka menolong, mau memaafkan kesalahan orang,
ditanamkan rasa kasih sayang sesama saudara dan sebagainya.45
Alangkah banyaknya orang tua yang tidak mengerti bagaimana
cara mendidik anak. Mereka menyangka bahwa apabila telah
memberikan makanan, pakaian dan perawatan kesehatan yang cukup
kepada si anak, telah selesai tugas mereka. Ada pula yang menyangka
bahwa mendidik anak dengan keras, akan menjadikannya orang baik
dan sebagainya. Maka banyak di antara anak-anak yang menjadi nakal
itu akibat dari perasaan tertekan karena tidak adanya perhatian orang
tua maka kenakalannya dalam hal ini, sebagai hukuman atau
pembalasan bagi orang tua.46
45 Hj. Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, hlm 113-114 46 Hj. Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental,hlm,115
80
BAB IV
ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT AHMAD TAFSIR DAN ZAKIAH DARADJAT
A. Analisis Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Ahmad
Tafsir
Dalam bab empat ini, penulis hendak menganalisis pendapat Ahmad
Tafsir. Pendapatnya secara terurai telah diungkapkan dalam bab tiga, karena
itu dalam bab empat ini hendak dikemukakan inti pokok atau substansi
pendapatnya sebagai berikut:
Menurut Ahmad Tafsir:
Orang tua adalah pendidik utama dan pertama dalam hal penanaman
keimanan bagi anaknya. Disebut pendidik utama, karena besar sekali
pengaruhnya. Disebut pendidik pertama, karena merekalah yang
pertama mendidik anaknya. Sekolah, pesantren, dan guru agama yang
diundang ke rumah adalah institusi pendidikan dan orang yang
sekadar membantu orang tua. Menyerahkan seratus persen pendidikan
keimanan bagi anak-anak ke sekolah, ke pesantren, dan atau kepada
guru agama yang diundang ke rumah merupakan tindakan yang
berbahaya. Sebab, sekolah, pesantren, dan guru agama yang diundang
itu tidak akan mampu melakukan pendidikan keimanan tersebut.1
Pendidikan agama di dalam keluarga sangatlah perlu, karena
keluargalah satu-satunya institusi pendidikan yang mampu melakukan
pendidikan keberimanan bagi anak-anaknya.2
Pendapat Ahmad Tafsir di atas mengisaratkan bahwa peran keluarga
sangat penting dan merupakan garda terdepan dalam mewarnai corak perilaku
anak. Di sinilah barangkali perlunya setiap orang tua memahami haknya.
Orang tua yang mengabaikan haknya akan menghasilkan anak-anak yang
berprilaku menyimpang bahkan menjurus pada tindakan kriminal. Orang tua
yang kurang mampu menerapkan haknya akan memunculkan anak yang
frustasi dan sebagai pelariannya maka melakukan sejumlah penyimpangan
seperti kenakalan dan kejahatan.
1Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 8. 2Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, hlm. 8-9.
81
Apa yang penulis ungkapkan ini sesuai dengan pendapat M.Arifin
yang menyatakan, bahwa salah satu faktor yang sangat dominan dan menjadi
pemicu kenakalan anak adalah kegagalan pendidikan pada lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat, disebabkan terutama antara
lain: kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama, pendidikan mental dan
pendidikan budi pekerti/akhlak.3 Demikian pula pendapat Sudarsono bahwa
menurutnya, jika dikaji lebih lanjut tentang peran keluarga yang berkaitan
dengan kenakalan anak, maka dalam hal ini dapat dijumpai adanya beberapa
penyebab kenakalan anak, salah satu yang menonjol adalah kurangnya didikan
agama di dalamnya.4 Sejalan dengan itu, menurut Kartini Kartono kejahatan
anak-anak merupakan produk sampingan dari kurangnya usaha orang tua dan
orang dewasa menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-
anak muda.5
Menurut Ahmad Tafsir:
Ada beberapa prinsip yang sebaiknya diperhatikan oleh orang tua
dalam penanaman iman di hati anak-anaknya di rumah tangga. Yang
pertama, membina hubungan harmonis dan akrab antara suami dan
istri (ayah dan ibu anak); kedua, membina hubungan harmonis dan
akrab antara orang tua dengan anak; dan ketiga, mendidik
(membiasakan, memberi contoh dan lain-lain tadi) sesuai dengan
tuntunan Islam. Setiap anak, terutama pada periode awal
pertumbuhannya, senang meniru orang tuanya. Anak laki-laki
biasanya meniru ayahnya, anak perempuan meniru ibunya. Kedua
orang tua itu selalu menjadi objek yang diperhatikan oleh anaknya,
objek yang juga menjadi kebanggaannya, menjadi figur idealnya. Jika
orang tuanya terlihat selalu rukun, damai, harmonis maka keadaan itu
akan menyenangkan anaknya, membawa rasa tenang dalam jiwanya.
Ketenangan jiwa anak tersebut akan memberikan pengaruh pada
tingkah lakunya, baik di rumah maupun di luar rumah. Selanjutnya
ketenangan itu akan memberikan pengaruh pada keteguhan jiwa anak
itu dalam menghadapi berbagai persoalan kelak. Hal itu pula kelak
akan memberikan pengaruh positif tatkala ia membina rumah tangga.
Kewajiban orang tua dalam hal ini sudah jelas, yaitu memperlihatkan
3M.Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta:
PT.Golden Trayon Press, 1994), hlm. 83-84. 4Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT.Rineka Cipta,
1990), hlm. 21-22 5 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 8.
82
ketenangan, kedamaian di depan anak-anaknya. Ada juga saat-saat
tertentu orang tua bertikai paham. Lakukan itu di luar pengetahuan
anak-anak; upayakan sungguh-sungguh menyembunyikannya.
Keterangan di atas kadang-kadang perlu disampaikan kepada orang
tua anak, oleh guru atau oleh kepala sekolah. Tidak ada salahnya,
sekurang-kurangnya untuk mengingatkan. Orang tua mestinya akan
menerima dengan senang hati, demi keberhasilan pendidikan anak
mereka.6 Tatkala berbicara tentang metode pendidikan agama di
sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah bahwa kunci
keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan terutama terletak
pada metode pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan
bahan; kunci pendidikan agama di sekolah sebenarnya terletak pada
pendidikan agama dalam keluarga.7
Apa yang dikemukakan Ahmad Tafsir di atas, tampaknya tidak jauh
dengan fenomena di masyarakat, karena dalam kenyataannya ada bapak yang
terlalu keras dan mengekang si anak dalam segala gerak-geriknya. Ia menuntut
kapatuhan dari anak-anaknya, dengan cara menakut-nakuti atau mengancam,
tanpa memperhatikan perasaan dan kebutuhan si anak. Bapak yang seperti ini
dianggap tidak wajar. Tidak jarang anak-anaknya menjauh dan tidak mau
mematuhinya, hal tersebut dapat berakibat kepada semangat belajar si anak,
kadang-kadang ia gagal dalam belajar.
Pendapat Ahmad Tafsir di atas dapat dimengerti, karena kurangnya
didikan agama terhadap anak maka anak tidak akan memiliki pegangan hidup.
Agama sebagai sebuah ajaran, khususnya Islam sebagai sebuah agama telah
memberi petunjuk yang jelas kepada umat manusia dalam menempuh
kehidupan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Meskipun
seorang anak memiliki kepandaian yang luar biasa dengan dibekali sejumlah
ilmu pengetahuan, namun bila ia tidak memahami masalah agama maka ilmu
pengetahuan yang telah dimilikinya hanya akan bersifat merusak, artinya
pemanfaatan ilmunya hanya untuk pribadinya dan bukan untuk kepentingan
umat manusia. Kenyataan membuktikan tidak sedikit orang yang memiliki
kepandaian tetapi bersamaan dengan itu perilakunya menyimpang dan
6Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 129. 7Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 158.
83
merugikan orang lain. Demikian pula seorang anak yang tumbuh dan
berkembang dari keluarga yang tidak memperdulikan masalah agama, ia akan
terombang-ambing ketika menghadapi persoalan-persoalan kehidupan yang
demikian rumit. Ia bagaikan jalan di malam hari tanpa lampu penerang.
Karena itu orang tua yang memahami hakikat hidup, maka akan terus menerus
menanamkan didikan agama kepada anaknya. Didikan agama yang dimaksud
menurut peneliti bukan hanya sebatas ritualitas atau ibadah mahdoh melainkan
juga hubungan horisontal ditanamkan sejak dini. Bukankah kita tahu bahwa
tidak sedikit ayat-ayat al-Qur‟an yang menggambarkan penekanan pada
hubungan sosial. Jadi agama Islam merupakan suatu ajaran yang
mengutamakan keseimbangan dalam mewujudkan hablum minallah dan
hablum minannas.
Di samping pendidikan yang didapat oleh anak-anak dalam keluarga
dan sekolah, amat penting juga peranan yang dimainkan oleh masyarakat yang
merupakan lapangan tempat anak mencoba melahirkan dirinya, menunjukkan
harga diri dan kebutuhan untuk dapat merasakan bahwa dirinya berguna dan
berharga dalam masyarakat. Di samping itu masyarakat jangan memandang
remeh atau enteng saja perasaan dan pendapat-pendapat yang diajukan oleh
anak-anak remaja, supaya semua yang terasa dalam hati mereka mendapat
saluran yang wajar dan sekaligus mendapat perhatian.
Kembali pada hak orang tua, bahwa orang-tua, hendaklah dapat
menjadi contoh yang baik dalam segala aspek kehidupannya bagi si anak,
karena anak-anak, terutama yang berusia di bawah 6 tahun, belum dapat
memahami sesuatu pengertian (kata-kata) yang abstrak, seperti: (benar, salah,
baik dan buruk) misalnya, belum dapat digambarkan oleh anak-anak, kecuali
dalam rangka pengalaman-pengalamannya sehari-hari dengan orang tua dan
saudara-saudaranya.
Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga.
Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri
beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga disebut
rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah
84
dan proses pergaulan hidup.8 Keluarga merupakan kelompok sosial yang
pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri
sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.9
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi
semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan;
sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak. Ke
dalam pengertian yang disebut terakhir masuk keluarga kandung (biologis)
yang hubungannya bersifat tetap, yang disebut family of procreation.
Keluarga merupakan tempat berlindung, bertanya, dan mengarahkan diri bagi
anggotanya (family of orientation) yang sifat hubungannya bisa berubah dari
waktu ke waktu.10
Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1) adanya
hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya perkawinan
yang mengokohkan hubungan tersebut; (3) pengakuan terhadap keturunan,
(4) kehidupan ekonomi bersama; dan (5) kehidupan berumah tangga.11
Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh
tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun
mempunyai hak terhadap anak. Anak harus melayani orang tuanya dengan
baik, lemah-lembut menyayanginya, selalu menghormati, dan syukur atas
jasa-jasa mereka terhadapnya. Anak-anak juga harus mematuhi perintah-
perintahnya kecuali kalau menyuruh kepada maksiat. Anak hendaknya
membiayai dan memelihara kehormatan ibu-bapak tanpa pamrih.
Pemeliharaan ibu-bapak ketika dalam keadaan lemah dan uzur adalah
termasuk kewajiban utama dalam Islam.
Sebenarnya memberi nafkah itu bukanlah tujuan Islam dalam
memelihara orang tua, tetapi yang terpenting adalah memelihara silaturrahmi.
Walau si anak berbuat kebaikan atau ihsan kepada orang tuanya belum dapat
8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga tentang hal Ikhwal Keluarga, Remaja dan
Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm.1. 9 W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, ( Bandung: PT.al-Maarif, 1978), hlm. 180 10
Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam
Masyarakat Modern, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 20. 11 Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an Dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogya: PT.Tiara Wacana, 1997), hlm. 35.
85
ia membalas segala kebaikannya. Suatu kemuliaan bagi seorang anak
menyuruh orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji yang tidak sanggup
mereka mengerjakannya dengan harta milik mereka sendiri. Selain itu, anak
hendaknya mendoakan orang tuanya semasa masih hidup dan sesudah matinya
dan selalu melanjutkan kebaikannya dengan orang-orang yang menjadi
sahabat ibu-bapaknya.
Menurut Ahmad Tafsir:
Pembangunan sumber daya manusia, termasuk pembinaan anak, erat
sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti takwa kepada
Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja yang
tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan
suatu proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu
sejak masa anak-anak. Itu adalah pendidikan dalam rumah tangga.
Dengan menumbuhkan anak-anak sejak dini, akan lahirlah generasi
anak Indonesia yang berkualitas. Menurut Ahmad Tafsir bahwa
pendidikan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas itu sangat
penting bagi Indonesia pada zaman kemajuan yang serba cepat ini,
lebih-lebih pada abad ke-21 nanti. Dari sekarang telah terasa kuatnya
persaingan antara orang per orang, antarkelompok, juga antarbangsa
agar mampu bertahan dalam kehidupan yang serba dinamis itu. Hidup
pada zaman seperti itu tidaklah mudah. Anak-anak harus disiapkan
sedini mungkin, terarah, teratur, dan berdisiplin. Dalam kehidupan
seperti itu, tingkat godaan dan hal-hal yang dapat merusak mental
serta moral manusia sungguh amat dahsyat. Sekarang pun hal itu
sudah terasa. Dalam menghadapi zaman itu agama akan terasa
pentingnya. Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah.
Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang
tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu
ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah
tangga.12
Pendapat Ahmad Tafsir menunjukkan pentingnya keluarga dan
pendidikan agama. Dalam konteksnya dengan keluarga, bahwa sebagian besar
anak dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa
di dalam keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang
pertama kali. Pada dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial
yang paling kecil, akan tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan
12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 160.
86
terkuat di dalam mendidik anak terutama bagi anak-anak yang belum
memasuki bangku sekolah. Dengan demikian berarti seluk beluk kehidupan
keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak.
Agus Suyanto menjelaskan: "oleh karena sejak kecil anak dibesarkan
oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam
keluarga, maka sepantasnyalah kalau kemungkinan timbulnya perilaku
menyimpang itu sebagian besar juga berasal dari keluarga."13
Sedangkan
menurut ahli-ahli kriminologi baik dari mazhab psikoanalitik maupun mazhab
sosiologik, kedua mazhab tersebut sependapat bahwa lingkungan kehidupan
keluarga merupakan faktor pembentuk dan paling berpengaruh bagi
perkembangan mental, pisik dan penyesuaian sosial anak atau remaja.
Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya
perilaku menyimpang bersifat kompleks. Kondisi tersebut dapat terjadi karena
kelahiran anak di luar perkawinan yang sah menurut hukum atau agama. Di
samping itu, perilaku menyimpang anak juga disebabkan keadaan keluarga
yang tidak normal; yang mencakup "broken home",14
dan "quasi broken
home" atau broken home semu.
"Dalam broken home semu sebenarnya struktur keluarga masih
lengkap artinya kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing
anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan sehingga orang tua
tidak sempat untuk memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-
anaknya. Tidak jarang orang tua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya.
Coba bayangkan orang tua kembali dari kerja anak-anak sudah pergi bermain
di luar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua datang anak sudah
tidur dan seterusnya. Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan
perkembangan anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak mudah
13Agus Suyanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996, hlm.
226. 14
"Broken home" : yaitu keluarga yang sudah tidak lengkap strukturnya, dapat
dikarenakan antara lain: orang tua cerai, kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya
(ayah dan atau ibu meninggal), ketidakhadiran dalam tenggang waktu yang lama secara
kontinyu dari salah satu atau kedua-duanya orang tua (ibu atau ayah atau kedua-duanya).
87
mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan
ini juga dapat mudah mendorong anak menjadi berprilaku menyimpang.15
Keadaan ekonomi keluarga, terutama menyangkut keluarga miskin
atau keluarga yang menderita kekurangan jika dibandingkan dengan keadaan
ekonomi penduduk pada umumnya menjadi faktor pula. Fenomena ini sering
terjadi pada keluarga kelas bawah yang tergolong orang yang hanya dapat
membiayai hidupnya dalam batas sangat minim yang biasa ditandai dengan
kerja keras kepala keluarga; bahkan dalam keadaan mendesak seluruh anggota
keluarga pun ikut mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi
keluarga seperti ini biasanya memiliki konsekuensi lebih lanjut dan kompleks
terhadap anak-anak antara lain: hampir setiap hari anak terlantar, biaya
sekolah anak-anak tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula, dalam
kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak-anak menjadi delinkuen.
B. Analisis Konsep Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Zakiah
Daradjat
Menurut Zakiah Daradjat:
Pendidikan agama pada masa kanak-kanak, seharusnya dilakukan oleh
orangtua, yaitu dengan jalan membiasakannya kepada tingkah laku
dan akhlaq yang diajarkan oleh agama. Dalam menumbuhkan
kebiasaan berakhlak baik seperti kejujuran, adil dan sebagainya,
orangtua harus memberikan contoh, karena si anak dalam umur ini
belum dapat mengerti, mereka baru dapat meniru. Apabila si anak
telah terbiasa menerima perlakuan adil dan dibiasakan pula berbuat
adil, maka akan tertanamlah rasa keadilan itu kepada jiwanya dan
menjadi salah satu unsur dari kepribadiannya. Demikian pula dengan
nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah sosial yang lain, sedikit demi
sedikit harus masuk dalam pembinaan mental anak. Apabila
pendidikan agama (akhlak) itu tidak diberikan kepada si anak sejak ia
kecil, maka akan sukarlah baginya untuk menerimanya nanti kalau ia
sudah dewasa, karena dalam kepribadiannya yang terbentuk sejak
kecil itu, tidak terdapat unsur-unsur agama (akhlak). Jika dalam
kepribadian itu tidak ada nilai-nilai akhlak, akan mudahlah orang
melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya
tanpa mengindahkan kepentingan dan hak orang lain. Ia selalu didesak
15Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1982, hlm. 11
88
oleh keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan yang pada
dasarnya tidak mengenal batas-batas, hukum dan norma-norma. Tetapi
jika dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur
agama, maka segala keinginan dan kebutuhannya akan dipenuhi
dengan cara yang tidak melanggar hukum-hukum agama, karena
dengan melanggar itu ia akan mengalami kegoncangan jiwa, sebab
tindakannya tidak sesuai dengan kepribadiannya.16
Pendapat Zakiah tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama yang
harus ditanamkan pada anak adalah masalah pendidikan akhlak. Pendidikan
agama berkaitan rapat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih-lebihan
kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik
adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang
dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaan-
keutamaan dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang
diajarkan oleh agama. Sehingga seorang Muslim tidak sempurna agamanya
sehingga akhlaknya menjadi baik. Hampir-hampir sepakat filosof-filosof
pendidikan Islam, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
Sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak-
Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak untuk
anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya
oleh sebab mereka mendapat pengaruh daripadanya atas segala tingkah
lakunya. Oleh sebab itu haruslah keluarga mengambil berat tentang
pendidikan ini, mengajar mereka akhlak yang mulia yang diajarkan Islam
seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih-sayang, cinta
kebaikan, pemurah, berani dan lain-lain sebagainya, dia juga mengajarkan
nilai dan faedahnya berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup;
membiasakan mereka berpegang kepada akhlak semenjak kecil.17
Manusia itu sesuai dengan sifat asasinya menerima nasihat jika
datangnya melalui rasa cinta dan kasih sayang, sedang ia menolaknya jika
16Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm. 128. 17Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm.169.
89
disertai dengan kekasaran dan biadab. Oleh sebab itu di antara kewajiban
keluarga dalam hal ini adalah:
a. Memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang. teguh
kepada akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai
dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk
memegang akhlak yang diajarkannya. Di antara kata-kata mutiara yang
terkenal dari Ali R-A. adalah: "Medan perang pertama adalah dirimu
sendiri, jika kamu telah mengalahkannya, tentu kamu akan mengalahkan
yang lain. Jika kalah di situ, niscaya di tempat lain kamu akan lebih kalah.
Jadi berjuanglah di situ lebih dahulu".18
b. Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana praktis di
mana mereka dapat mempraktekkan akhlak yang diterima dari orang
tuanya.
c. Memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anaknya supaya
mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya.
d. Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan
bijaksana.
e. Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat
kerusakan, dan lain-lain lagi cara di mana keluarga dapat mendidik akhlak
anak-anaknya.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa Pendidikan agama
sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak.19
Pendidikan agama dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang
harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga terhadap anak-anaknya.
Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan
kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada kanak-kanak melalui
bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan
upacara-upacaranya. Begitu juga membekalkan kanak-kanak dengan
pengetahuan-pengetahuan agama dan kebudayaan Islam yang sesuai dengan
18Asmaran, AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2002), hlm.
185. 19Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm.93.
90
umumnya dalam bidang-bidang akidah, ibadat, muamalat dan sejarah. Begitu
juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang betul untuk menunaikan
syiar-syiar dan kewajiban-kewajiban agama, dan menolongnya
mengembangkan sikap agama yang betul, yang termasuk mula-mula sekali
adalah iman yang kuat kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-
rasulnya, hari akhirat, kepercayaan agama yang kuat, takut kepada Allah, dan
selalu mendapat pengawasan daripadanya dalam segala perbuatan dan
perkataan.
Menurut Zakiah Daradjat:
Sesuai dengan dasar negara Pancasila, di mana sila pertama adalah
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka kepribadian tiap
warga negara harus berisi kepercayaan dan taqwa kepada Tuhan.
Kepercayaan yang menjadi bagian dari kepribadian, bukan
kepercayaan yang hanya diucapkan oleh lisan saja. Karena
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dari orang-orang yang
mengaku ber-Tuhan itu, datangnya adalah karena tidak tertanamnya
jiwa ke-Tuhanan dalam kepribadiannya. Pengakuannya berlawanan
dengan keadaan yang sesungguhnya, yang akan mengakibatkan
terganggunya kesehatan mentalnya, dan dapat mempengaruhi
kelakuan dan sikapnya dalam hidup, bahkan akan mempengaruhi
kesehatan badannya. Realisasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu
hanya mungkin dalam agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu
ada harus disertai dengan kepercayaan kepada ajaran, hukum dan
peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Tuhan. Jika kepercayaan
kepada Tuhan itu tidak disertai dengan kepercayaan kepada ajaran-
ajaran Tuhan, maka kepercayaan itu tidak akan mempunyai arti dalam
pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang akan mengatur
sikap, tingkah laku dan cara menghadapi segala persoalan dalam hidup
nanti.20
Pendapat Zakiah Daradjat di atas mengisyaratkan pentingnya
pendidikan agama berupa menanamkan kepercayaan atau keyakinan pada
Allah SWT yang tentunya menyangkut persoalan akidah.
Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan. Secara harfiyah berarti
“yang terpaut di hati”. Dengan kata lain secara etimologis, akidah adalah
ikatan, sangkutan. Dalam pengertian teknis makna akidah adalah iman,
20 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, 129.
91
keyakinan yang menjadi pegangan hidup setiap pemeluk agama Islam. Akidah
karena itu, selalu ditautkan dengan rukun iman atau arkanul iman yang
merupakan asas seluruh ajaran Islam.21
Ia tidak lain dari apa yang diyakini
oleh hati, atau ide yang diterima dengan rasa yakin dan pasti oleh hati sebagai
ide yang benar (sesuai dengan kenyataan) atau ide yang baik (manusia
menghasilkan kebaikan, bila diamalkan). Rasa yakin atau rasa pasti pada hati
tidaklah menjadi jaminan tentang benar atau baiknya suatu akidah, karena
dalam masalah akidah banyak sekali terdapat pertentangan antara suatu kaidah
dengan kaidah yang lain. Sebagai contoh, akidah orang beragama bahwa alam
ini diciptakan Tuhan bertentangan dengan akidah kaum materialis bahwa alam
ini tidak diciptakan. Mustahil bahwa dua akidah yang bertentangan itu sama-
sama benar. Mestilah salah satunya benar dan lawannya salah. Jadi ada akidah
yang sungguh-sungguh benar, kendati ditolak oleh sebagian manusia, dan ada
pula akidah yang sungguh-sungguh salah, kendati diterima dengan rasa yakin
dan pasti oleh sebagian orang.22
Kata aqidah telah melalui tiga tahap perkembangan makna. Tahap
pertama, aqidah diartikan dengan tekad yang bulat (al-azm al-muakkad),
mengumpulkan (al-jam’u), niat (an-niyah), menguatkan perjanjian (at-tautsiq
lil uqud), sesuatu yang diyakini dan dianut oleh manusia, baik itu benar atau
batil. Tahap kedua, akidah diartikan sebagai “perbuatan hati”. Tahap ketiga, di
sini aqidah telah memasuki masa kematangan dimana ia telah terstruktur
sebagai disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan tersendiri.23
Inilah
tahap kemapanan dimana aqidah didefinisikan sebagai Ilmu tentang hukum-
hukum syari‟at dalam bidang aqidah yang diambil dari dalil-dalil yaqiniyah
(mutlak) dan menolak syubhat dan dalil-dalil khilafiyah yang cacat.
Meminjam sistematika Hasan al-Bana sebagaimana dikutip oleh
Yunahar Ilyas maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
21Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29 22
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Anggota
IKAPI, 1992), hlm. 98. 23Ibrahim Muhammad ibn Abdullah al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, alih
bahasa, Muhammad Anis Matta, (Jakarta: Robbani Press, 1998), hlm. 4-5.
92
Pertama, ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan
sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lain-lain lain. Kedua, nubuwat, yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu‟jizat, kermat dan
sebagainya. Ketiga, ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syaitan, roh,
dan lain sebagainya. Keempat, sam’iyat yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur‟an
dan Sunnah) seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat,
surga neraka dan lain sebagainya.24
Term akidah sering dipakai oleh para ulama dengan artinya yang lebih
sempit, yakni terbatas pada hal-hal yang abstrak (tentang kenyataan) saja,
tidak mencakup hal-hal praktis (tentang apa yang seharusnya diperbuat
manusia). Dengan arti itu pula dipakai term “Ilm al-‘Aqaid al-Islamiyyat”
(ilmu tentang akidah-akidah Islam) yakni ilmu yang membicarakan
seperangkat akidah, yang rumusannya didasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadits
nabi, seperti akidah tentang keesaan Allah, kerasulan para rasul-Nya
(termasuk kerasulan Nabi Muhammad), kewahyuan kitab-kitab-Nya (termasuk
kewahyuan Kitab Al-Qur‟an), adanya para malaikat, adanya hari akherat dan
adanya ketentuan-ketentuan yang sudah ditakdirkan-Nya. Akidah-akidah
dalam Islam dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu akidah-akidah
dasar, yang rumusannya dapat diterima dengan sepakat oleh segenap ulama,
dan akidah-akidah cabang, yang rumusannya tidak bisa mereka terima dengan
sepakat. Contoh akidah dasar dalam Islam adalah “Tuhan menciptakan alam
ini”, sedang akidah cabangnya adalah “ia menciptakannya dari tidak ada
menjadi ada” atau Ia menciptakannya secara emanasi”. Contoh lain akidah
dasar dalam Islam adalah “Tuhan mengetahui segala sesuatu”, sedang akidah
24Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah
2002), cet, 7, hlm. 5-7
93
cabangnya adalah “pengetahuan-Nya itu tidak lain dari esensi (Zat)-Nya”, atau
pengetahuan-Nya tersebut bukanlah esensi-Nya tetapi sifat-Nya.
Jumlah akidah-akidah dasar, yang disepakati itu cukup banyak dan
pada masing-masing akidah dasar itulah tumbuh akidah-akidah cabang yang
berbeda, seperti tumbuhnya banyak cabang dari setiap pohon yang ada.
Siapapun akan dipandang kafir, bila menolak salah satu dari akidah-akidah
dasar dalam Islam tapi tidak akan menjadi kafir manakala meyakini atau
menolak suatu akidah cabang, yang tidak pernah disepakati itu. Status kafir
hanya boleh diberikan kepada orang yang menolak akidah dasar dalam Islam.
Term akidah dalam arti luas dapat dipakai dan memang kadang-kadang
dipakai orang. Ia tidak terbatas pada hal-hal abstrak di atas, tapi juga
mencakup hal-hal praktis, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap anak
haruslah memiliki akidah yang benar tentang apa yang wajib, yang terlarang
dan yang boleh ia lakukan (dalam lapangan ibadat dan muamalat). Dalam
lapangan praktis ini, juga terdapat akidah-akidah dasar, yang disepakati dan
akidah-akidah cabang, yang tidak disepakati. Akidah tentang wajibnya salat
lima waktu, zakat, puasa Ramadan, dan naik haji, misalnya, disepakati dan
siapa yang menolak apa yang disepakati itu, tentu jatuh menjadi kafir.25
Sebagai contoh yang lain dapat dikatakan bahwa semua ulama
memiliki akidah atau (keyakinan) yang sama bahwa Allah telah
mengharamkan riba. Siapa yang menolak akidah yang disepakati itu, tentu
dipandang kafir. Tapi harus diingat bahwa ulama tidak memiliki akidah yang
sama tentang berapa besarnya riba yang diharamkan; mereka juga tidak
memiliki aqidah yang sama tentang masuknya bunga bank, besar atau kecil,
dalam kategori riba yang diharamkan. Dalam bidang ini, menerima atau
menolak akidah yang tidak disepakati oleh ulama, tidaklah menyebabkan
jatuhnya seseorang kepada kekafiran. Akidah baik dalam arti terbatas, dan
lebih-lebih dalam arti yang lebih luas tadi, jelas merupakan pendirian batin,
yang menjadi dasar bagi tumbuhnya sikap dan amal perbuatan lahiriyah.
25Tim Penulis I AIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Anggota IKAPI, 1992), hlm. 99
94
Akidah yang benar akan melahirkan perbuatan yang benar dan akidah yang
tidak benar, akan melahirkan perbuatan yang tidak benar pula. Atas dasar
itulah dipahami bahwa problema akidah merupakan problema paling penting
dan primer dalam kehidupan manusia. Islam datang tidak lain untuk
mengembalikan manusia kepada akidah-akidah yang benar, yang bila terpaut
kuat dalam hati seorang anak, niscaya menggerakkan mereka untuk
mengaktualkan amal-amal saleh dan akhlak-akhlak yang terpuji, demi
kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Menurut Endang Saifuddin Anshari, pada garis besarnya Agama Islam
itu terdiri atas tiga bagian besar: (1) „Aqidah, (2) Syariah, dan (3) Akhlak26
.
Aqidah secara etimologis berarti ikatan, sangkutan; secara terminologis
berarti: credo, creed, keyakinan hidup, iman dalam arti khas, yakni peng-
ikrar-an yang bertolak dari hati. Bentuk jama‟ dari Aqidah ialah ‘Aqaid. Ilmu
yang mempelajari „aqidah disebut ilmu „Aqaid (Ilmu Tauhid, Ilmu Ma‟rifat,
Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam, Ilmu Haqiqat).27
Yang menjadi obyek materi pembahasan mengenai „aqidah pada
umumnya, terutama sekali, ialah arkanul-iman (rukun iman yang enam),
yaitu: Iman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-
Nya, kepada hari akhirat dan kepada Qadha dan Qadar. „Aqidah Islam adalah
merupakan Ushulu-ddin, akar dan pokok agama Islam .
Pendidikan dan pengajaran merupakan hal yang penting bagi
kehidupan manusia. Dengan pendidikan dan pengajaran itulah umat manusia
dapat maju dan berkembang baik, melahirkan kebudayaan dan peradaban
positif yang membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup mereka.
Makin tinggi tingkat pendidikan mereka makin tinggi pula tingkat kebudayaan
dan peradabannya.
Apabila pendidikan dan pengajaran secara umum sangat penting bagi
manusia, pendidikan dan pengajaran tauhid lebih penting lagi, demikian pula
pembinaannya. Sebab, pendidikan, pengajaran dan pembinaan tauhid tidak
26Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hlm. 90. 27Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, hlm. 90.
95
hanya untuk kepentingan kehidupan di dunia, tapi juga untuk kepentingan
kehidupan di akhirat.28
Yang dimaksud dengan pembinaan tauhid di sini ialah pemberian
bimbingan kepada anak didik agar ia memiliki jiwa tauhid yang kuat, mantap
dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak
hanya dengan lisan dan tulisan, tetapi juga, bahkan ini yang terpenting dengan
sikap, tingkah laku, dan perbuatan.29
Sedangkan yang dimaksud dengan
pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai
akidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa
kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan dan pengajaran tauhid, baik yang berhubungan dengan
akidah maupun dalam kaitan dengan ibadah, akan menanamkan keikhlasan
pada diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya.
Keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah inilah yang membuat tauhid
bagaikan pisau bermata dua, satu segi untuk kehidupan di akhirat, sisi lainnya
untuk kehidupan di dunia.
Pendidikan pengajaran dan pembinaan tauhid kepada anak harus
dilakukan sejak anak itu masih kecil. Tanggung jawab dalam pembinaan
tersebut terletak pada kedua orang tuanya, sebab anak adalah amanah Tuhan
kepada orang tuanya untuk dipelihara dan dibina. Fitrah anak yang memiliki
keimanan kepada Tuhan sejak sebelum ia lahir ke dunia, harus disalurkan
secara wajar dan dibina terus sehingga perkembangan akidahnya semakin
lama semakin sempurna. Ia menjadi manusia bertauhid yang betul-betul
mencintai Allah SWT di atas segala-galanya.
Islam mengajarkan bahwa proses pembinaan ketauhidan dimulai sejak
anak itu lahir ke dunia. Ketika seorang anak dilahirkan, Islam mengajarkan
agar orang tuanya mendengungkan azan ke telinga anak tersebut. Dengungan
azan ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pembinaan tauhid sudah
dimulai, sebab azan berisi ajaran ketauhidan. Dengan kata lain, Islam
28Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 51 29Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, hlm. 51
96
mengajarkan agar suara pertama yang didengar anak begitu ia lahir ke dunia
adalah suara yang mengandung pembinaan ketauhidan.30
Usaha-usaha pemupukan rasa keimanan sebagai fitrah manusia harus
sungguh-sungguh mendapat perhatian setiap orang tua atau pengasuh anak
agar keimanan tumbuh dan berkembang secara wajar. Usaha tersebut dapat
dilakukan melalui tiga proses: pembiasaan, pembentukan pengertian, dan
akhirnya, pembentukan budi luhur. Dalam taraf pembiasaan, pembinaan rasa
keimanan dilakukan kepada anak di masa-masa awal kehidupannya, masa
kanak-kanak dan usia sekolah. Dalam taraf ini aktivitas yang dilakukan hanya
memberikan pengenalan secara umum dan membiasakan anak untuk ingat
bahwa Tuhan itu ada. Pada taraf anak dapat diumpamakan seperti tanaman
yang baru tumbuh. Ia memerlukan pemeliharaan yang serius dari gangguan-
gangguan yang dapat membahayakan atau mematikan tanaman itu. Ia perlu
siraman dan perlindungan dari panas matahari, dan sebagainya.
Seorang anak mengenal Tuhan dengan perantaraan apa yang dilihat
dan didengar dari lingkungannya. Mula-mula ia menerimanya secara acuh tak
acuh, tetapi ketika ia melihat atau mendengar lingkungan keluarganya
mengagumi Tuhan, banyak menyebut nama Tuhan, bercerita tentang Tuhan
dan ciptaan-ciptaan-Nya, dan sebagainya, ia akan tertarik dan rasa keimanan
itu mulai tertanam dalam dirinya lebih mendalam dari sebelumnya. Proses
pengalaman agamis pun berinteraksi dalam dirinya. Karena itulah, pada masa
seperti ini, apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga di rumahnya sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan akidahnya. Jika sikap dan
perilaku keluarga di dalam rumah itu jauh dari nilai-nilai ketauhidan, disadari
atau tidak, hal itu akan membawa kepada jauhnya anak itu dari nilai
ketauhidan pula. Segala sesuatu yang muncul dan mentradisi di rumah dan
bahkan pekerjaan apapun yang dilakukan oleh suatu anggota keluarga akan
berpengaruh terhadap anak. Karena itu, nyanyian-nyanyian keagamaan untuk
anak dalam buaian, yang kini di kota-kota besar sudah hampir tak terdengar
lagi, perlu digalakkan kembali.
30Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, hlm. 52
97
Pembiasaan untuk anak pada permulaan usia sekolah sebaiknya
dilakukan dengan peragaan-peragaan yang dapat membawanya bisa mengenal
Tuhan. Peragaan-peragaan tersebut berbentuk sesuatu yang dapat didengar
atau dilihat oleh anak, seperti salat, mengucap basmalah, mengucap hamdalah,
mengucap salam, berdo‟a dan sebagainya. Demikian pula hiasan-hiasan yang
dipajang di dalam rumah, gambar-gambar, foto-foto, lukisan-lukisan, tulisan-
tulisan tertentu, semuanya memberikan kesan bagi anak.
Pada permulaan masa sekolah, anak belum dapat menyerap pemikiran
maknawi. Pemikirannya masih terbatas pada hal-hal yang konkrit dan
inderawi, ia suka meniru. Oleh karena itu jika kebiasaan meniru ini disalurkan
kepada pengenalan Tuhan, tentu akan memberikan pengaruh positif bagi
perkembangan akidahnya. Tahap pembentukan pengertian meliputi masa
sekolah sampai menjelang remaja. Ada hal yang perlu diperhatikan pada anak
menjelang usia sekolah, yaitu suka berkhayal. Karena itu, kesukaan seperti ini
hendaknya dimanfaatkan oleh orang tua sebaik mungkin untuk menanamkan
tauhid seperti cerita tentang kehebatan Allah dalam menciptakan makhluk-
Nya, kehebatan para nabi dan rasul dengan berbagai mukjizatnya, malaikat
dan sebagainya.
Masa remaja adalah masa peralihan dan persiapan untuk dewasa. Pada
masa ini seorang anak banyak mengalami pancaroba. Karena itu, ia perlu
mendapatkan bimbingan intensif dalam ketauhidan agar tidak terombang-
ambing oleh problema yang dihadapinya. Bimbingan dilakukan dengan cara
memberikan keinsafan dan kesadaran bahwa segala apa yang ada adalah
makhluk (ciptaan) Tuhan dan semuanya milik Tuhan.
Karena semua yang ada adalah ciptaan Tuhan dan akan kembali
kepada Tuhan, maka setiap manusia sudah seharusnya bersyukur, mengabdi,
dan berbakti kepada-Nya. Apabila pertumbuhan dan perkembangan
pengenalan kepada Allah SWT berjalan dengan baik dan lancar, dan kebiasaan
baik yang berhubungan dengan tauhid sudah menjadi aktivitas keseharian
seseorang, maka dalam usia remaja sudah terbentuk rasa iman kepada Allah
yang cukup mendalam bagi dirinya. Kondisi ini dengan mudah dapat
98
disempurnakan dan dimatangkan di usia dewasa melalui pendidikan dan
pengajaran dan pembinaan yang efektif.
Uraian di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa perkembangan
akidah seorang manusia sangat tergantung dengan kondisi lingkungannya
serta pendidikan dan pengajaran ketauhidan yang diterimanya. Untuk itu
peranan orang tua dan keluarga sangat besar, terutama peranan ibu, karena
ibulah manusia terdekat dengan anaknya.
Kedudukan ibu sebagai pendidik utama dalam lingkungan keluarga
tidak dapat digantikan oleh orang lain, khususnya yang berhubungan dengan
kebutuhan rohani seorang anak, sebab hubungan kerohanian yang rapat antara
ibu dan anak tidak terdapat pada yang lain. Di zaman modern ini memang
banyak lembaga atau perorangan yang menawarkan jasa untuk memelihara
dan mendidik anak, namun pemeliharaan dan pembinaan itu tidak akan sama
dengan pemeliharaan dan pendidikan yang diberikan oleh si ibu.
Pembinaan yang diberikan seorang ibu kepada anaknya bukan
didasarkan atas imbalan jasa, tetapi semata-mata didorong oleh cinta kasih
yang mendalam. Nilai susu ibu sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan fisik dan mental seorang anak. Hubungan ibu dan anak dalam
menyusui, pelukan dan belaian dinyatakan dengan mimik dan sikap
melindungi akan memberikan rasa aman dalam diri anak. Karena itu
seyogyanya setiap wanita calon ibu hendaknya mempersiapkan diri dengan
bekal dan pengetahuan akidah, khususnya membaca dan menulis Al- Qur‟an
dengan baik dan benar sebelum ia memasuki jenjang perkawinan. Dengan
begitu, peranannya yang besar dalam pendidikan dapat dimainkan dengan baik
untuk pembinaan akidah (tauhid) anaknya.
Apabila pendapat kedua ahli tersebut dibandingkan (Ahmad Tafsir dan
Zakiah Daradjat), maka persamaannya, kedua tokoh ini menganggap
komponen utama yang dapat membentuk perilaku anak yaitu pertama, peran
pendidikan agama; kedua, orang tua sebagai benteng utama yang memiliki
pengaruh besar dalam mewarnai sepak terjang anak.
99
1. Peran pendidikan agama
Banyak orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan
agama bagi anaknya ke sekolah, karena di sekolah ada pendidikan agama
dan ada guru agama. Orang tua agaknya merasa bahwa upaya itu telah
menukupi, padahal itu sama sekali belum mencukupi, inilah yang harus
dipirkan. Jika seorang anak kurang menpat pendidikan agama atau apalagi
jika sama sekalu kosong dari pendidikan maka anak cenderung menjadi
kurang bermoral.
Orang yang tidak pernah mendapatkan didikan agama, tidak akan
mengetahui nilai moral yang dipatuhinya dengan sukarela dan mungkin
tidak akan merasakan apa pentingnya mematuhi nilai moral yang pasti dan
dipatuhi dengan ikhlas. Apabila agama masuk dalam pembinaan pribadi
seseorang, maka dengan sendirinya segala sikap, tindakan, perbuatan dan
perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi, yang terbina di dalamnya
nilai agama, yang akan jadi pengendali bagi moralnya.
2. Orang tua sebagai benteng utama yang memiliki pengaruh besar dalam
mewarnai sepak terjang anak
Tindakan dan perlakuan orang tua terhadap dirinya dan saudara-
saudaranya merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian pribadinya
anak di kemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai
dengan ajaran agama, akan menimbulkan pada si anak pengalaman-
pengalaman hidup yang sesuai dengan agama, yang kemudian akan
bertumbuh menjadi unsur-unsur, yang merupakan bagian dalam
pribadinya nanti. Sikap orang tua terhadap agama, akan memantul kepada
si anak. Jika orang tua menghormati ketentuan-ketentuan agama, maka
akan bertumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula
sebaliknya, jika sikap orang tua terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh,
atau meremehkan, maka itu pulalah sikap yang akan bertumbuh pada
anak.
100
Adapun perbedaan konsep kedua tokoh ini yaitu pertama, Ahmad
Tafsir cenderung menggunakan pendekatan filsafat, hal ini dapat dimengerti
karena ia memiliki latar belakang pakar filsafat. Oleh karena itu tidak heran
jika di program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Jati Bandung memberi
mata kuliah filsafat. Sedangkan Zakiah Daradjat mengarah pada pendekatan
psikologi Islam dan kesehatan mental. Oleh karena itu pendapatnya tentang
pendidikan agama dalam keluarga sangat mudah dicerna dengan bahasa
sederhana dan memang ditujukan secara umum termasuk kalangan lapisan
bawah.
Perbedaan yang kedua, bahwa Ahmad Tafsir mengedepankan
pendidikan agama berupa esensinya atau substansinya dengan
mengetengahkan hikmah dibalik ajaran agama itu. Sedangkan hal-hal yang
menyangkut ritual atau seremonial dalam pandangan Ahmad Tafsir meskipun
sangat penting tetapi tidak boleh pemahaman agama sampai di situ. Jika
pendidikan agama hanya mencapai target ritual maka peran dan fungsi agama
menjadi kabur tidak membekas pada anak. Sedangkan Zakiah Daradjat tidak
mempermasalahkan ajaran yang hanya menyangkut ritual atau esensi agama,
tetapi yang penting bahwa pendidikan agama harus mencakup tiga dimensi
yaitu akidah, syari'ah dan akhlak.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua tokoh ini, namun inti
yang utama bahwa kedua tokoh ini sependapat dalam mendidik anak harus
memperhatikan dan menanamkan dua hal yaitu (1) pendidikan agama; dan (2)
pentingnya peranan orang tua.
Pendidikan yang dalam istilah al-Qur'annya disebut "tarbiyah" itu
mengandung arti "penumbuhan" atau "peningkatan." Pertama-tama ialah
penumbuhan dan peningkatan segi jasmani anak, dengan terutama si ibu tanpa
pamrih dan atas rasa cinta kasih yang semurni-murninya mencurahkan diri
dan perhatiannya kepada pertumbuhan anaknya. Hubungan emosional yang
amat pekat dan penuh kemesraan si ibu itu menjadi taruhan perjuangan si anak
memasuki dunia kehidupan. Bahkan hubungan itu telah terbentuk sejak dalam
kandungan. Sedemikian rupa pekatnya unsur cinta kasih itu, sehingga tempat
101
janin dalam bahasa Arab, disebut rahm (rahim, secara etimologis berarti cinta
kasih). Lebih dari itu, hubungan cinta kasih antar anggota keluarga dan antara
sesama manusia disebut shilat al-rahm (silaturrahmi, jalinan cinta kasih),
salah satu perintah Ilahi yang amat penting kepada manusia. Setingkat dengan
ketulusan ibu dan ayah yang mendampinginya itulah seorang anak
diisyaratkan memohonkan rahmat Tuhan bagi keduanya.
Sudah tentu usaha penumbuhan dan peningkatan oleh orang-tua bagi
anaknya tidak terbatas hanya kepada segi fisik semata-mata. Justru tidak
kurang pentingnya ialah usaha penumbuhan dan peningkatan yang tidak
bersifat fisik. Yaitu, penumbuhan dan peningkatan potensi positif seorang
anak agar menjadi manusia dengan tingkat kualitas yang setinggi-tingginya.
Orang-tua tidaklah berkuasa untuk membuat anaknya "baik," sebab potensi
kebaikan itu sebenarnya justru sudah ada pada si anak. Tetapi orang-tua dapat,
dan berkewajiban, berbuat sesuatu guna mengembangkan apa yang secara
primordial sudah ada pada si anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai
dengan fitrahnya. Sementara itu, di pihak lain, orang-tua mempunyai peranan
menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama jika sampai terjadi si
anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu sehingga menjadi
manusia dengan ciri-ciri kualitas rendah. Inilah salah satu makna sebuah
Hadis yang amat terkenal, yang menegaskan betapa setiap anak dilahirkan
dalam fitrah (nature kesucian), kemudian ibu-bapaknyalah yang
berkemungkinan membuatnya menyimpang dari fithrah itu.
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama anak dalam keluarga,
bahwa peran pendidikan agama sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai
kehidupan anak. Akan tetapi perlu direnungkan tentang apa yang dimaksud
pendidikan agama? Karena agama tidak terbatas hanya kepada "pengajaran"
tentang ritus-ritus dan segi-segi formalistiknya belaka. Ritus dan dan
formalitas – yang dalam hal ini terwujud dalam apa yang biasa disebut "rukun
Islam" – baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang
102
bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub)
kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah).31
Pendidikan agama tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada
pengajaran agama. Karena itu keberhasilan pendidikan agama bagi anak-anak
tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal
yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus
keagamaan semata. Justru yang lebih penting, berdasarkan ajaran Kitab dan
Sunnah sendiri, ialah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut
dalam jiwa anak, dan seberapa jauh pula nilai-nilai itu mewujud-nyata dalam
tingkah laku dan budi pekertinya sehari-hari. Perwujudan nyata nilai-nilai
tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi
luhur atau al-akhlaq al-karimah.
C. Relevansi Konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
Pendidikan Agama dalam Keluarga dengan Tujuan Pendidikan Islam
Apabila memperhatikan konsep pendidikan agama dalam keluarga
yang dikemukakan Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat, maka tujuan
konsepnya yaitu (1) Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (2) Membangun
anak yang berakhlak al-karimah. (3) Membangun anak yang cerdas dalam
iman dan taqwa.
1. Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri,
bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan oleh M. Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis
berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi
hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
31Ibid., hlm. 92.
103
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.32
2. Membangun anak yang berakhlak al-karimah
Tujuan yang kedua ini sesuai dengan penegasan Athiyah al-
Abrasyi. Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan
rasa keutamaan (fadhilah); c. Membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian,
tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah
mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang
lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.33
3. Membangun anak yang cerdas dalam iman dan taqwa
Butir yang ketiga yang menjadi tujuan dari konsep pendidikan
agama dalam keluarga ini senafas dengan pendapat Ahmad Tafsir.
menurutnya, tujuan umum pendidikan Islam ialah a. Muslim yang
sempurna, atau manusia yang takwa, atau manusia beriman, atau manusia
yang beribadah kepada Allah; b. muslim yang sempurna itu ialah manusia
yang memiliki: (1) Akalnya cerdas serta pandai; (2) jasmaninya kuat; (3)
32Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 121. 33Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy al-
Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
104
hatinya takwa kepada Allah; (4) berketerampilan; (4) mampu
menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis; (5) memiliki dan
mengembangkan sains; (6) memiliki dan mengembangkan filsafat; (7) hati
yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib.34
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk manusia
yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan takwa
sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama.
D. Aktualisasi Konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang
Pendidikan Agama dalam Keluarga Masa Kini
Tugas paling berat bagi ibu ialah menciptakan kesatuan yang harmonis
di antara diri sendiri dengan anaknya. Dengan kata lain, ibu harus mampu
"memanunggalkan diri" atau mengidentifikasikan diri secara selaras dengan
anaknya.
Jika ibu tersebut mengabdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugas
pelanggengan jenis manusia saja, dan segenap aspek kehidupan jiwaninya
dipenuhi tugas-tugas memelihara species manusia secara eksklusif, maka pasti
dia akan kehilangan individualitasnya. Oleh karena itu, pada zaman
kebudayaan modern sekarang, wanita lebih leluasa untuk mengadakan
kompromi di antara melaksanakan fungsi keibuannya dengan pengembangan
ego sendiri. Sehingga dia lebih bebas dalam memuaskan kebutuhan-
kebutuhan anaknya, serta lebih giat mengembangkan interest dan kepribadian
sendiri. Kompromi tersebut tercapai oleh adanya kenyataan, bahwa fungsi
dirinya itu tidak melulu sebagai pengemban speciesnya saja, akan tetapi
feminitasnya baru bisa berkembang dalam satu konteks-kultural yang
memberikan kebebasan kepada dirinya untuk memekarkan kepribadiannya
(sebagai ibu dan sebagai pribadi/individu).
34Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hm. 50 – 51.
105
Tugas-tugas keibuan untuk mengabdi pada proses pelestarian species
itu berlangsung sejajar dengan usia serta perkembangan anaknya. Misalnya
saja, semua kegiatan ibu pada periode pertama dari bayinya akan terpusat
pada pemeliharaan jasmani bayinya: khususnya pada kegiatan menyusui. Pada
saat tersebut, dorongan untuk mempertahankan unitas dengan bayinya
ternyata sangat kuat; dan usaha untuk melindungi bayinya mencapai titik
kulminasi. Sebab ketidakberdayaan anaknya justru mengundang satu appel
terhadap ibunya, dan memperkuat unitas ibu-anak selama periode menyusui
ini.
Tugas selanjutnya dari ibu ialah mendidik anaknya. Sebab di samping
pemeliharaan fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin kesejah
teraan psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi terhadap
lingkungan sosialnya. Ibu harus terus-menerus melatih anaknya. agar anak
mampu mengendalikan instink-instinknya. untuk bisa menjadi manusia
beradab. Sebab, jika si anak terlalu "diloskan" atau dibiarkan lepas bebas serta
dikuasai oleh dorongan-dorongan instinktifnya yang primitif, maka ia bisa
menjadi liar, tidak terkendali, dan tidak berdisiplin.
Namun sebaliknya, apabila ibu tadi terlalu banyak melarang anaknya
dengan macam-macam tabu dan pantangan, maka oleh inhibisi-inhibisi
tersebut mungkin akan terhambat perkembangan si anak: atau pada kasus lain
anak lain mengembangkan pola yang neurotis. Maka tidak mudahlah
mengasuh dan mendidik anak itu. Bahkan ilmu pengetahuan modern pada
zaman sekarang inipun tidak atau belum mampu memberikan resep-resep
ampuh untuk mempersiapkan ibu-ibu muda menjadi pengasuh dan pendidik
yang sempurna.
Dalam kaitannya dengan peran seorang ibu, maka tidak diragukan lagi
bahwa ayah itu berperan penting dalam perkembangan anaknya secara
langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara,
atau bercanda dengan anaknya. Semuanya itu akan sangat mempengaruhi
perkembangan anak selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta
mengarahkan aktivitas anak. Misalnya menyadarkan anak bagaimana
106
menghadapi lingkungannya dan situasi di luar rumah. la memberi dorongan,
membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh,
menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajar mereka
membaca, mengajak anak untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal
yang menarik di luar rumah, serta mengajak anak berdiskusi. Semua tindakan
ini adalah cara ayah (orang tua) untuk memperkenalkan anak dengan
lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi
perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari.
Pengaruh ayah ini tentu saja tidak diterima begitu saja secara pasif
oleh anak. Suatu interaksi pasti terjadi. Sifat hubungan ayah-anak selalu
timbal balik. Anak juga dapat mempengaruhi ayahnya. Misalnya kalau anak
menangis di waktu malam, ayah terpaksa bangun. Hubungan timbal-balik
aktivitas ini memunculkan suatu proses sosialisasi antara ayah dengan anak.14
Ayah akan cepat memahami tingkah laku anaknya yang berusia 4 tahun yang
cenderung bertingkah macam-macam. Anak misalnya merengek-rengek
meminta naik. pesawat atau gajah. Semua tindakan anak ini jelas
mempengaruhi perilaku ayah.
Seorang ayah itu penting, tidak hanya melalui pengaruh yang bersifat
langsung tetapi juga tidak langsung. Misalnya melalui interaksi dengan
istrinya. Dengan mendukung istrinya, sang ayah secara tidak langsung
mempengaruhi anaknya. Istri yang merasa disayangi suaminya dengan
sendirinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap anak.
Berpijak pada paparan di atas, maka aktualisasi konsep Ahmad Tafsir
dan Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama dalam keluarga sangat relevan
dengan keadaan keluarga masa kini. Apabila memperhatikan kondisi orang tua
dan anak pada masa kini maka dapat dikatakan sangat memprihatinkan karena
kenyataan menunjukkan bahwa salah satu problema yang dihadapi bangsa
Indonesia pada zaman kemajuan ini, terutama di kota-kota besar ialah gejala-
gejala yang menunjukkan hubungan yang agak terlepas antara ibu-bapak
dengan anak-anaknya. Seorang ahli sosiologi menamakannya krisis
kewibawaan orang tua.
107
Banyak orang tua yang tidak dapat mengendalikan putera-putrinya,
kalau tidak boleh dikatakan sudah seperti hujan berbalik ke langit, yaitu putra
putri itulah dalam prakteknya yang mengendalikan orang tua mereka. Yang
agak membangunkan pikiran dalam hal ini ialah bahwa peristiwa itu banyak
dijumpai di kalangan keluarga-keluarga yang disebut cabang atas yang
mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang baik, dan pada umumnya terdiri
dari orang-orang terpelajar dan berpendidikan tinggi. Bahkan ada pula di
antaranya yang memegang fungsi penting dalam jabatan negara. Hal itu semua
disebabkan pendidikan yang hanya menitikberatkan agama sebagai ilmu
pengetahuan, dan bukan pengamalannya. Selain itu karena pendidikan agama
tidak sampai esensinya melainkan hanya berada pada garis permukaan. Di
samping itu tertinggalnya pemahaman akhlak dibandingkan kemajuan sains
dan teknologi.
Berdasarkan keterangan di atas, menurut penulis bahwa orang tua
merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk
pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal
tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik,
melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan
kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu
terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi
secara timbal balik antara orang tua dan anak.
Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan yang penting dan
amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir,
ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai
ibunya dan biasanya, seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu
menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang yang mula-mula
dikenal anak, yang mula-mula menjadi temannya dan yang mula-mula
dipercayainya. Apapun yang dilakukan ibu dapat dimaafkannya, kecuali
apabila ia ditinggalkan. Dengan memahami segala sesuatu yang terkandung di
108
dalam hati anaknya, juga jika anak telah mulai agak besar, disertai kasih
sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya untuk selama-lamanya.
Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia
seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang
dikenalnya. Cara ayah itu melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh
pada cara pekerjaan anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-lebih
bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia mau
mendekati dan dapat memahami hati anaknya.
Pada dasarnya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas itu
berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga dengan yang
bagaimanapun juga keadaannya. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dari watak rasa
tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk
masa kini dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa
bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka.
Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara
mendasar terpikul kepada orang tua.
Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau
tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan
"fitrah" yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka
tidak bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah
Allah SWT yang dibebankan kepada mereka. Di samping itu pangkal
ketenteraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga. Mengingat
pentingnya hidup keluarga yang demikian, maka Islam memandang keluarga
bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, melainkan lebih dari itu,
yakni sebagai lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para
anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia dunia dan akhirat. Pertama-tama
yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam mengembangkan
agama Islam adalah untuk mengajarkan agama itu kepada keluarganya, baru
kemudian kepada masyarakat luas. Hal itu berarti di dalamnya terkandung
makna bahwa keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapat perhatian
atau harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarakat. Karena
109
keselamatan masyarakat pada hakekatnya bertumpu pada keselamatan
keluarga.
No Ahmad Tafsir Zakiah Daradjat
1. 1. Persamaan
Komponen utama yang dapat
membentuk perilaku anak yaitu
pertama, peran pendidikan
agama; kedua, orang tua sebagai
benteng utama yang memiliki
pengaruh besar dalam mewarnai
sepak terjang anak.
Komponen utama yang dapat
membentuk perilaku anak yaitu
pertama, agama yang dtanamkan
sejak kecil dalam keluarga; kedua,
orang yang paling besar
pengaruhnya dalam proses imitasi
anak adalah orang tua.
2. Perbedaan
Pertama, cenderung
menggunakan pendekatan filsafat,
hal ini dapat dimengerti karena ia
memiliki latar belakang pakar
filsafat.
Kedua, mengedepankan
pendidikan agama berupa
esensinya atau substansinya
dengan mengetengahkan hikmah
dibalik ajaran agama itu.
Sedangkan hal-hal yang
menyangkut ritual atau
seremonial dalam pandangan
Ahmad Tafsir meskipun sangat
penting tetapi tidak boleh
pemahaman agama sampai di situ.
Jika pendidikan agama hanya
mencapai target ritual maka peran
dan fungsi agama menjadi kabur
tidak membekas pada anak.
Pertama, mengarah pada
pendekatan psikologi Islam dan
kesehatan mental.
Kedua, tidak mempermasalahkan
ajaran yang hanya menyangkut
ritual atau esensi agama, tetapi
yang penting bahwa pendidikan
agama harus mencakup tiga
dimensi yaitu akidah, syari'ah dan
akhlak.
Terlepas dari kelebihan dan
kekurangan kedua tokoh ini,
namun inti yang utama bahwa
kedua tokoh ini sependapat dalam
mendidik anak harus
memperhatikan dan menanamkan
dua hal yaitu (1) pendidikan
agama; dan (2) pentingnya
peranan orang tua.
110
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab pertama sampai keempat, maka dapat
diambil kesimpulan:
1. Persamaan pendapat kedua tokoh itu yaitu kedua tokoh ini menganggap
komponen utama yang dapat membentuk perilaku anak yaitu pertama,
peran pendidikan agama; kedua, orang tua sebagai benteng utama yang
memiliki pengaruh besar dalam mewarnai sepak terjang anak.
Perbedaan pendapat kedua tokoh tersebut yaitu yaitu Ahmad Tafsir
cenderung menggunakan pendekatan filsafat, hal ini dapat dimengerti
karena ia memiliki latar belakang pakar filsafat, sedangkan Zakiah
Daradjat mengarah pada pendekatan psikologi Islam dan kesehatan
mental.
2. Apabila memperhatikan konsep pendidikan agama dalam keluarga yang
dikemukakan Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat, maka tujuan konsepnya
yaitu (1) Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi
diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (2) Membangun anak
yang berakhlak al-karimah. (3) Membangun anak yang cerdas dalam iman
dan taqwa. Apabila tujuan pendidikan agama dalam keluarga, dari kedua
tokoh ini ditinjau dari tujuan pendidikan Islam maka sangat relevan
dengan pendidikan Islam.
3. Aktualisasi konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat tentang pendidikan
agama dalam keluarga sangat relevan dengan keadaan keluarga masa kini.
Apabila memperhatikan kondisi orang tua dan anak pada masa kini maka
dapat dikatakan sangat memprihatinkan karena kenyataan menunjukkan
bahwa salah satu problema yang dihadapi bangsa Indonesia pada zaman
kemajuan ini, terutama di kota-kota besar ialah gejala-gejala yang
menunjukkan hubungan yang agak terlepas antara ibu-bapak dengan anak-
111
anaknya. Seorang ahli sosiologi menamakannya krisis kewibawaan orang
tua.
4. Banyak orang tua yang tidak dapat mengendalikan putera-putrinya, kalau
tidak boleh dikatakan sudah seperti hujan berbalik ke langit, yaitu putra
putri itulah dalam prakteknya yang mengendalikan orang tua mereka.
Yang agak membangunkan pikiran dalam hal ini ialah bahwa peristiwa itu
banyak dijumpai di kalangan keluarga-keluarga yang disebut cabang atas
yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang baik, dan pada
umumnya terdiri dari orang-orang terpelajar dan berpendidikan tinggi.
Bahkan ada pula di antaranya yang memegang fungsi penting dalam
jabatan negara. Hal itu semua disebabkan pendidikan yang hanya
menitikberatkan agama sebagai ilmu pengetahuan, dan bukan
pengamalannya. Selain itu karena pendidikan agama tidak sampai
esensinya melainkan hanya berada pada garis permukaan. Di samping itu
tertinggalnya pemahaman akhlak dibandingkan kemajuan sains dan
teknologi.
B. Saran-saran
Meskipun konsep Ahmad Tafsir dan Zakiah Daradjat kurang
memuaskan atau mungkin masih dianggap kurang memadai dalam mendidik
anak, namun setidaknya dapat dijadikan masukan bagi masyarakat terutama
orang tua dan para pendidik. Konsep kedua tokoh ini dapat dijadikan studi
banding oleh peneliti lainnya dalam mewujudkan anak yang cerdas, iman dan
taqwa.
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
112
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca
menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Aghnides, Nicolas P., The Background Introduction To Muhammedan Law, New
York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" Publishing Coy Solo, Java,
with the authority – license of Columbia University Press.
Ahmadi, Abu, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Al-Abrasyi, Muhammad 'Athiyyah, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah
Zakiy al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung:
Pustaka Setia, 2003).
Al-Baihaqy, Imam Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ala, al-Sunan al-Kubra,
Juz 10, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth).
Al-Bukhâri, Imam, Sahîh al-Bukharî, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990).
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad ibn Abdullah, Pengantar Studi Aqidah Islam,
alih bahasa, Muhammad Anis Matta, (Jakarta: Robbani Press, 1998).
Al-Dimasyqî, Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Jilid 11 dan Jilid
15.
Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam, (New York: National
Publication, tth).
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002).
Al-Khatib, Muhammad 'Ajaj, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989).
Al-Marâgî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâgî, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery
Noer Ally, Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: Toha Putra Semarang,
1993), Jilid. 26.
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis,
1973).
Anshari, Endang Saifuddin, Kuliah al-Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992).
Arifin, M., Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta:
PT.Golden Trayon Press, 1994).
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet.
12,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008).
Arkoun, Mohammad, Rethinking Islam, Terj. Yudian W.Asmin, Lathiful Khuluq,
(Yogyakarta: LPMI bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1966).
Asmaran, AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,
2002).
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2000).
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan
Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996).
Daradjat, Zakiah I1mu Jiwa Agama, cet. 16, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003).
--------, Agama dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006).
--------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004).
--------, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1979).
---------, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005).
---------, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975).
---------, Problema Remaja di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994).
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Rineka cipta, 2011).
--------, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004).
Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT.al-Maarif, 1978).
Gunarsa, NY.Singgih D., Psikologi Keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1986).
--------, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, tth.).
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an
Dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogya: PT.Tiara Wacana,
1997).
Hawari, Dadang, Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2008).
Hornby, As, Oxford Student's Dictionary of Current English, (New York: Oxford
University Press, Third Impression, 1984).
Hurlock, Elisabeth B., Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, edisi kelima, alih bahasa, Istiwidayanti, Soedjarwo,
(Jakarta: Erlangga, tth).
Idris, Zahara, Dasar-Dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa, 2002).
Ilyas, Asnelly, Mendambakan Anak Saleh, (Bandung: Al-Bayan, 1997).
Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah 2002), cet, 7.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).
Kartono, Kartini (penyunting), Seri Psikologi Terapan 1, Peranan Keluarga
Memandu Anak, (Jakarta: CV Rajawali, 1985).
Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2003).
--------, Psikologi Anak, (Bandung: Mandar Maju, 1995).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,
2005).
Lengrand, Paul, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Terj. Goenawan
Muhammad, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1981).
Madjid, Nurcholis, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000).
Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2006).
--------, Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2005).
Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982).
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT al-Ma’arif,
1998).
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010).
Monks, FJ., A.M.P.Knoers, Siti Rahayu Haditomo. Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002).
Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori
Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2005).
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005)
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)
Nasution, M.Yunan, tth, Pegangan Hidup, jilid 3, (Solo: Ramadhani, 1990).
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002).
--------, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005).
Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,
(Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002).
Rakhmat, Jalaluddin dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam
Masyarakat Modern, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994).
Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia,
2005).
Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Simanjuntak, B., dan I.L. Pasaribu, Pengantar Pesikologi Perkembangan, CV
(Bandung: Tarsito, 1984).
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Keluarga tentang hal Ikhwal Keluarga, Remaja
dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT.Rineka Cipta,
1990).
Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Sukardi (editor), Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 200).
Sundari, Siti, Kesehatan Mental dalam Kehidupan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
Surachmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar-Dasar Metode dan
Teknik, (Bandung: Tarsito Rimbuan, 2005).
Suyanto, Agus, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004).
---------, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004).
---------, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005).
---------, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006).
Tim Penulis I AIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Anggota IKAPI, 1992).
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
BP. Cipta Jaya, 2003).
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006).
Walgito, Bimo, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), (Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1982).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1986).
Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958).
Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV Remaja Karya, 1986).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Rosidul Anwar
Tempat / Tanggal Lahir : Kendal, 15 September 1989
Alamat Asal : Ngadipiro Rt 01 RW 12 Kertosari Singorejo Kan.
Kendal
Pendidikan : - MI Kertosari lulus th. 2001
- MTs. NU 017 Kyai Jogoreso lulus th. 2004
- MAN Kendal lulus th. 2007
- Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2007
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Muhammad Rosidul Anwar
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Muhammad Rosidul Anwar
NIM : 073111109
Alamat : Ngadipiro Rt 01 RW 12 Kertosari Singorejo Kan. Kendal
Nama orang tua : Bapak Qodri Syarif dan Ibu Khuzaimah
Alamat : Ngadipiro Rt 01 RW 12 Kertosari Singorejo Kan. Kendal