Click here to load reader
View
1.062
Download
60
Embed Size (px)
8
BAB 2
LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF
Linguistik Historis Komparatif (Historical Comparative Linguistics)
merupakan cabang linguistik yang mempersoalkan bahasa-bahasa sekerabat
secara diakronis. Cabang linguistik ini membandingkan secara cermat bahasa-
bahasa sekerabat dengan tujuan memperoleh kaidah-kaidah perubahan yang
terjadi dalam bahasa yang diperbandingkan.
Perbandingan antara dua bahasa atau lebih, dapat dikatakan sama usianya
dengan timbulnya ilmu bahasa itu sendiri. Hal ini tidak dapat dihindari sebab
perkenalan dengan suatu bahasa atau lebih, selalu menarik perhatian orang untuk
mengetahui sejauh mana terdapat kesamaan antara bermacam-macam aspek dari
bahasa-bahasa tersebut.
Adapun linguistik komparatif atau linguistik bandingan menurut Keraf
(1990 : 2) merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha
untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan dan kekerabatan
antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan unsur-unsur pengaruh
timbal balik antara bahasa-bahasa yang pernah mengadakan kontak dalam sejarah.
Cabang ilmu bahasa ini, yang mula-mula memperoleh dasarnya dari perbandingan
bahasa yang berada pada satu zaman (sinkronik), kemudian berkembang lebih
jauh dengan mencoba menemukan unsur-unsur yang lebih tua dalam kehidupan
sebuah bangsa atau lebih.
9
Linguistik historis komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih pada
periode yang berbeda. Dengan linguistik historis komparatif, orang dapat
menentukan kekeluargaan dan dapat menemukan bahasa induk, bahasa yang
dipergunakan (Pateda, 1994 : 48).
Menurut Saussure (dalam Parera, 1991 : 69), linguis sinkronis
memformulasikan gejala-gejala bahasa berdsarkan ujaran-ujaran secara
horizontal. Studi bahasa secara sinkronis adalah satu studi bahasa yang bersifat
sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman ujaran para penutur. Berdasarkan
rekaman faktual itu dilakukanlah analisis bahasa pada masing-masing tataran
analisis. Berbeda dengan studi bahasa secara diakronis. Studi linguistik ini
mempersoalkan fase-fase perkembangan atau evolusi bahasa dari zaman ke
zaman, dari satu waktu ke waktu yang lain. Studi bahasa ini bersifat vertikal.
Linguistik historis disebut juga linguistik diakronik, yaitu cabang linguistik
yang mempelajari perkembangan sejarah bahasa tertentu. Kata sejarah
mengandung pengertian telaah (dari) masa silam tertentu hingga kini. Studi
diakronik mesti berdasarkan pada paling tidak dua tahapan perkembangan bahasa.
Batas perkembangan dalam perkembangan bahasa tentunya tidak mutlak,
tergantung dari sudut apa kita melihatnya. Kata perkembangan berarti adanya
perubahan baik kualitas maupun kuantitas. Perubahan ini dapat dibagi menjadi
dua, internal history, yaitu perkembangan (perubahan-perubahan) di dalam,
misalnya perubahan bunyi, struktur kalimat kosa kata, dan sebagainya, dan
external history, yaitu latar belakang perubahan-perubahan di atas; jadi sifatnya
10
non-linguistik, misalnya faktor-faktor politik, sosial budaya, geografis, dan
sebagainya (Alwasilah, 1993 : 93).
Dilanjutkan oleh Alwasilah (1993 : 95), linguistik komparatif mengacu pada
dua pengertian yaitu studi perbandingan antara bahasa-bahasa serumpun dan
perkembangan-perkembangan sejarah satu bahasa. Di sini perlu dijelaskan bahwa
linguistik komparatif tidak selalu berdimensi diakronik, yaitu dimensi sejarahnya.
Studi komparatif bisa juga dalam skala sinkronik, umpamanya antara dua dialek.
Pada umumnya orang-orang lebih mengenal linguistik komparatif ini sebagai
yang berdimensi sejarah saja, terutama perbandingan perkembangan bahasa-
bahasa yang serumpun.
Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis sinkronis karena data
kebahasaan yang diambil merupakan data bahasa pada satu masa. Meskipun
linguistik historis komparatif lebih memprioritaskan pada analisis diakronis,
namun data kebahasaan analisis sinkronis tetap diperlukan untuk
memperbandingkan kedua bahasa yang masih berkembang sampai saat ini. Dan
khususnya penelitian ini merupakan suatu analisis sinkronis karena data
kebahasaan yang diambil merupakan bahasa yang masih digunakan oleh
penuturnya di masa sekarang. Adapun analisis diakronis pada penelitian ini
ditujukan untuk mengetahui bahasa Serawai dan bahasa Kaur yang merupakan
turunan dari keluarga bahasa mana.
Linguistik sinkronis dan diakronis merupakan istilah yang berasal dari
Saussure. Kata diakronis (dari bahasa Yunani dia ‘melalui’ dan khronos ‘waktu’,
‘masa’) dan kata sinkronis (dari bahasa Yunani syn ‘dengan’, dan khronos
11
‘waktu’, ‘masa’). Linguistik diakronis ialah subdisiplin ilmu linguistik yang
menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Dapatlah dikatakan
bahwa studi ini bersifat vertikal. Linguistik sinkronis mempelajari bahasa tanpa
mempersoalkan urutan waktu. Perhatian ditujukan pada bahasa sezaman yang
diujarkan oleh pembicara, jadi dapat dikatakan bersifat horizontal (Pateda, 1994 :
34).
Linguistik diakronis adalah penyelidikan tentang perkembangan suatu
bahasa. Misalnya bahasa Indonesia sekarang berlainan dari bahasa Melayu Klasik,
dan berlainan pula dari bahasa Melayu Kuno yang tertulis pada prasasti-prasasti
Kedukan Bukit, Talang Tuwo, dan Kota Kapur. Bahasa Melayu Kuno memiliki
awalan mar- yang dalam bahasa Melayu Klasik dan bahasa Indonesia menjadi me-
dan ber-. Perubahan semacam itu terjadi tidak secara kebetulan, melainkan
menurut hukum perkembangan tertentu. Di samping itu perkembangan suatu
bahasa dapat terjadi sedemikian rupa sehingga setelah beberapa abad timbullah
beberapa bahasa yang benar-benar berlainan, karena variasi-variasi dari bahasa itu
(yang lazim disebut dialek) saling menjauhkan diri. Sedangkan linguistik
sinkronis berlainan bidangnya dari linguistik diakronis. Dalam linguistik sinkronis
setiap bahasa dianalisa tanpa memperhatikan perkembangan yang terjadi pada
masa lampau (Verhaar, 1990 : 6-7).
Kajian atas dua bahasa atau lebih ini selalu menarik perhatian ahli bahasa
karena kajian tersebut akhirnya akan menetapkan apakah ada kesamaan-kesamaan
atau tidak dalam bahasa yang diperbandingkan. Kesamaan dan kemiripan yang
dimiliki bahasa-bahasa yang diperbandingkan menyebabkan para ahli bahasa
12
ingin mengetahui apakah unsur-unsur yang sama dan mirip tersebut merupakan
bukti bahwa zaman dahulu bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa tunggal atau
berasal dari proto yang sama.
Salah satu tujuan dan kepentingan Linguistik Historis Komparatif adalah
melihat kekerabatan bahasa-bahasa dan masa pisah dari bahasa yang
diperbandingkan. Dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan tersebut dilihat
apakah memiliki kesamaan dan kemiripan dari segi bentuk dan makna.
Kesamaan dan kemiripan bentuk dan makna bahasa-bahasa tersebut dapat
terjadi karena tiga faktor yaitu karena warisan langsung (inheritance) oleh dua
bahasa atau lebih dari suatu bahasa proto yang sama. Bentuk yang sama tersebut
dinamakan bentuk kerabat (cognate). Yang kedua karena faktor kebetulan (by
chance), dan yang terakhir karena pinjaman (borrowing).
Menurut Robins (dalam Fernandez, 1993/1994 : 1), linguistik historis
komparatif (historical comparative linguistics) termasuk kepada bidang kajian
linguistik murni mempunyai peran yang penting karena cabang linguistik ini
merupakan sebuah subjek yang memberikan sumbangan berharga bagi
pemahaman tentang hakikat kerja bahasa dan perkembangan (perubahan) bahasa-
bahasa di dunia. Sehubungan dengan hal tersebut, tujuan utama dari linguistik
historis komparatif adalah menjelaskan hakikat perubahan bahasa, baik yang
wujudnya berupa penentuan fakta maupun tingkat kekerabatan antarbahasa
serumpun serta melalui upaya rekonstruksi proto bahasa dari sejumlah bahasa
sekerabat. Dalam kajian Linguistik Komparatif, metode komparatif digunakan
untuk mengamati perubahan bahasa yang terjadi dalam perjalanan sejarah bahasa
13
baik dalam suatu bahasa maupun dalam suatu kelompok atau keluarga (rumpun)
bahasa.
Bahasa-bahasa sekerabat yang strukturnya diteliti dalam bidang linguistik
ini ditinjau berdasarkan dimensi diakronisnya. Dalam kajian tipologi bahasa,
metode komparatif (metode padan) digunakan untuk mengamati persamaan dan
perbedaan tipe bahasa-bahasa di dunia berdasarkan kajian struktur berbagai
tataran kebahasaan secara sinkronis (Fernandez, 1993/1994 : 2-3).
Penelitian Dyen (dalam Parera, 1991 : 134) pada tahun 1965 telah
mengelompokkan 245 (menurut catatan yang lain 250) bahasa-bahasa Austronesia
dengan landasan teori leksikostatistik. Pada penelitian Dyen disebutkan bahwa
bahasa Serawai dan bahasa Kaur merupakan bahasa sekerabat yang termasuk
dalam bahasa-bahasa Indonesia Barat (Hesperonesia) yaitu bentuk antara
Minangkabau dan Melayu (Melayu tengah). Syamsuddin A.R. (1991) melakukan
penelitian Proto Austronesia pada bahasa Bima, Manggarai, dan Sunda dengan
menggunakan kajian historis komparatif dari segi refleksi, korespondensi, masa
pisah, dan pengelompokan.
2.1 Persentase Kekerabatan
Teori leksikostatistik dan glotokronologi mula-mula dikembangkan oleh
Morris Swadesh dan Robert Less pada 1950-an. Tokoh yang mengembangkan
teori tersebut adalah Dyen dan ahli-ahli lainnya. Dalam praktiknya,
leksikostatistik ini dipergunakan untuk menghitung persentase kekerabatan bahasa
dengan membandingkan kosakata dan menentukan tingkat kemiripan yang ada.
14
Menurut Keraf (1991 : 121) leksikostatistik adalah pengelompokan bahasa
yang cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara
statistik, untuk kemudian berusaha menetapkan pengelompokan itu berdasarkan
prosentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain.
Adapun pengertian leksikostatistik menurut Fernandez (1993/1994 : 47)
adalah teknik yang mampu menentukan peringkat kekerabatan antara dua bahasa
atau lebih dengan membandingkan kosakata dan menentukan peringkat kemiripan
yang ada: suatu teknik untuk melakukan pengelompokan bahasa sekerabat.
Pemisahan antara leksikostatistik dan glotokronologi masih sangat
timpang dan membingungkan. Selain para ahli yang telah memisahkan pengertian
kedua istilah tersebut, ada pula ahli yang menyamakannya. Seperti terlihat pada
pernyataan Pateda (1994 : 52) dalam bukunya Linguistik Sebuah Pengantar. Pada
buku tersebut Pateda mengatakan bahwa leksikostatistik yang sering disebut
glotokronologi adalah ilmu yang mempelajari umur kata sejak mula adanya. Ilmu
ini cukup memusingkan kepala karena mempergunakan rumus-rumus statistik.
Leksikostatistik dapat dimanfaatkan untuk menentukan bahasa induk atau bahasa
proto. Bapak leksikostatistik adalah Isidore Dyen.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
leksikostatistik adalah suatu teknik untuk melakukan pengelompokan bahasa dan
mengetahui persentase kekerabatan dari tingkat kemiripan bahasa-bahasa yang
diteliti tersebut. Adapun rumus yang digunakan dalam penghitungan
leksikostatistik adalah:
15
Jumlah kata mirip+jumlah kata sama X 100
Jumlah kata yang diteliti
2.2 Masa Pisah
Glotokronologi adalah suatu teknik dalam linguistik historis yang berusaha
mengadakan pengelompokan dengan lebih mengutamakan perhitungan waktu
(time depth) atau perhitungan usia bahasa-bahasa sekerabat dengan menggunakan
rumus dan tabel logaritma. Menurutnya kedua istilah tersebut mengandung arti
yang bertumpang tindih. Namun perbedaannya akan terlihat jelas pada sasaran
akhir yang akan dicapai.
Leksikostatistik dan glotokronologi ini didasarkan pada perbandingan
yang oleh Swadesh disebut kosakata pokok (basic core vocabulary) dengan
menggunakan 100 atau 200 kosakata pokok (KKP). Adapun KKP yang dipakai
dalam analisis ini berjumlah 300 yang diadaptasi dari daftar Swadesh dan N.H
Kern. Adapun rumus yang digunakan dalam penghitungan glotokronologi adalah
t = log. C log. r t = waktu lama waktu berpisah atau berpencar
C = persentase kata kerabat
r = konstan atau indeks
log. = logaritma dari
16
2.3 Bahasa Serawai dan Bahasa Kaur
Bahasa yang akan diteliti adalah bahasa Serawai dan bahasa Kaur. Bahasa
Serawai pada awalnya merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat di
Kabupaten Bengkulu Selatan, termasuk di dalamnya Kecamatan Seluma.
Kabupaten Seluma dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun
2003 tentang Pembentukan Kabupaten Muko Muko, Kabupaten Seluma, dan
Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu. Secara geografis Kabupaten Seluma
terletak di pantai barat Sumatera Bagian Selatan yang berada pada koordinat
03049'55'66'' LS - 04021'40'22'' LS dan 101017'27'57'' BT - 102059'40'54'' BT.
Kabupaten Seluma berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut.
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu
Utara.
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan.
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kepahiang dan Propinsi
Sumatera Selatan.
Kabupaten Seluma memiliki luas wilayah sebesar 2.400,04 km2 yang
membentang dari arah utara ke arah selatan Propinsi Bengkulu. Kabupaten
Seluma pada saat pembentukan memiliki 5 kecamatan dan 143 desa serta 3
kelurahan, setelah pemekaran bertambah menjadi 9 kecamatan, sehingga menjadi
14 kecamatan dengan 165 desa dan 3 kelurahan.
17
Wilayah Kabupaten Seluma pada umumnya berada pada ketinggian 0-100
m di atas permukaan laut (dpl). Berdasarkan pada ketinggiannya, maka wilayah
Kabupaten Seluma terbagi atas ketinggian 0 25 m dpl seluas 736,26
km2, ketinggian 25 -100 m dpl seluas 696,24 km2, ketinggian 100 500 m dpl
seluas 516,44 km2 , dan ketinggian 500 1.000 m dpl seluas 383,98 km2.
Bahasa Serawai memiliki dua dialek yaitu dialek /o/ yang digunakan oleh
masyarakat Kabupaten Seluma dan dialek /au/ yang digunakan oleh masyarakat di
Kabupaten Bengkulu Selatan. Dialek yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah
dialek /o/ di Kabupaten Seluma karena masyarakat bahasa Serawai di sana lebih
banyak yang menggunakan bahasa Serawai dengan dialek /o/.
Dalam bahasa Serawai ada dua macam dialek, yaitu dialek /o/ dan dialek
/au/. Yang dikmaksud dengan dialek /o/ ialah kata-kata yang pada umumnya
berakhiran dengan /o/ seperti [kə mano] ‘kemana’, [tuwapo] ‘apa’, dan [sapo]
‘siapa’. Dialek /o/ ini dipakai dalam wilayah Kabupaten Seluma. Selanjutnya,
yang dimaksud dengan dialek /au/ ialah kata-kata yang pada umumnya berakhiran
/au/, seperti [ke manaw] ‘ke man’”, [tuapaw] ‘apa’, dan [sapaw] ‘siapa’. Dialek /au/
ini dipakai dalam wilayah Kecamatan Pino dan Kecamatan Manna di Kabupaten
Bengkulu Selatan. Bahasa Serawai dengan dialek /o/ terletak mulai dari Marga
Andelas (kabupaten Seluma) sampai ke Marga semindang Alas (kecamatan Talo
kabupaten Seluma).
Menurut informasi yang didapat dari beberapa informan, asal usul bangsa
Serawai belum bisa dirumuskan atau diketemukan, baik berupa buku atau ataupun
18
tulisan-tulisan yang bisa dijadikan sebagai bahan pembuktian sejarah. Menurut
informan yang sudah lanjut usia, peneliti mendapat cerita yang sulit untuk bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena tidak ada bukti lain
kecuali suatu tulisan pada kulit kayu sebagai peninggalan zaman dahulu. Tulisan
tersebut terdapat di salah satu makam, yaitu makam Leluhur Semidang Empat
Dusun yang terletak di Maras kecamatan Semidang Alas Maras kabupaten
Seluma. Tulisan tesebut menyerupai aksara Arab dan sampai saat ini belum ada
ahli yang dapat membacanya.
Adapun hasil penelitian dari tim Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dalam bukunya yang berjudul Adat dan Upacara Perkawinan
daerah Bengkulu, sejarah suku bangsa Serawai adalah berasal dari leluhur yang
disebut Serunting (Sepahit Lidah). Konon kabarnya Serunting ini berasal dari
Jazirah Arab yang datang ke daerah Serawai melalui Kerajaan Majapahit.
Serunting ini meminta daerah kerajaan kepada raja Majapahit. Namun karena di
Jawa tidak ada daerah untuk kerajaan, maka oleh raja Majapahit ia disuruh pergi
ke Sumatera untuk memilih daerah kerajaan, dan ternyata pilihannya adalah
daerah Kabupaten Bengkulu bagian selatan sekarang ini. Dan tim peneliti juga
menyadari bahwa uraian sejarah ini hanya merupakan suatu jenis cerita dan cerita
ini diyakini oleh masyarakat suku bangsa tersebut.
Asal nama Serawai dikaitkan dengan dua pendapat. Pertama, mengatakan
bahwa Serawai berasal kata sauai yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu
Sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang. Pendapat
19
kedua, menyebutkan Serawai berasal kata dari seran yang artinya celako ‘celaka’.
Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja yang menderita
penyakit menular lalu dibuang (dihanyutkan) dari hulu sungai dan terdampar
kemudian anak raja inilah yang mendirikan kerajaan tersebut.
Kerajaan Serawai terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu).
Kerajaan ini ditemukan di antara daerah Sungai Jenggalu sampai ke muara Sungai
Bengkenang, namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil
yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi
beberapa desa atau dusun. Marga-marga pecahan dari kerajaan tersebut adalah
Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang,
Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka
bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa
Pada bagian barat dari daerah Serawai, terdapat dataran rendah yang
merupakan wadah pertanian suku bangsa Serawai. Dataran rendah ini memanjang
dari utara ke selatan, menyelusuri pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Di bagian
timur daerah Serawai, terdapat bukit-bukit yang merupakan lereng dari Bukit
Barisan yang memanjang dari utara ke selatan. Daerah ini merupakan daerah
perkebunan yang subur tanahnya dan daerah pertaniannya.
Di samping daerah bukit sebagai sebagai sumber mata pencaharian
masyarakat, di pesisir pantai juga banyak terdapat areal persawahan. Selain itu,
sebagian penduduk mempunyai mata pencaharian menangkap ikan di laut dan di
sungai. Sungai yang ada di daerah ini dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas air,
yaitu untuk membawa hasil-hasil pertanian dari daerah bukit, ataupun untuk
20
mengangkut kayu untuk bahan bangunan. Air dari sungai-sungai itu juga
digunakan untuk mengairi sawah-sawah dan sebagai pembangkit tenaga listrik.
Di daerah serawai masih terdapat hutan-hutan yang luas dan menghasilkan
kayu untuk bahan bangunan, rotan untuk kursi, dan lain-lain. Bahkan saat ini
sebagian dari rotan tersebut diekspor ke luar negeri. Hal ini telah menjadi mata
pencaharian tambahan masyarakat setempat.
Seiring dengan berkembangnya daerah suku bangsa Serawai, masyarakat
yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi lebih memilih bekerja di
sektor pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Bahasa Serawai juga dipakai
dalam kegiatan non-formal di kantor-kantor pemerintahan, jadi bahasa Serawai
memiliki peranan komunikasi yang sangat penting bagi masyarakatnya.
Dahulu kala, perkampungan suku bangsa Serawai terletak di sepanjang
pesisir pantai dan ditepi sungai-sungai besar. Hal ini dikarenakan pada zaman
tersebut belum terdapat jalan raya yang yang menghubungkan antara
perkampungan yang satu dengan perkampungan yang lain. Sebagai pengganti
jalan raya dipergunakanlah lautan dan sungai-sungai yang dapat dilayari oleh
rejung (sampan). Perkampungan-perkampungan yang dianggap besar bisaanya
terletak di pinggir muara sungai, dan pada muara sungai itu sendiri bisa dilayari
rejung. Suku bangsa Serawai menamakan perkampungan yang besar itu adalah
pasar.
Pada masa sekarang, pola perkampungan zaman dahulu telah banyak
mengalami perubahan. Ditambah lagi setelah jalan raya dibangun di sepanjang
daerah administratif suku bangsa ini. Dengan sendirinya perkampungan-
21
perkampungan yang terletak di muara sungai atau pun yang terletak jauh di hulu
sungai, berangsur pindah ke tepi jalan raya.
Kaur adalah sebuah kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Terletak
sekitar 250 km dari Kota Bengkulu, Kaur mempunyai luas sebesar 2.369,05 km²
dan dihuni sedikitnya 110.428 jiwa. Mereka mengandalkan hidup pada sektor
pertanian, perkebunan, dan perikanan. Warga Kaur tersebar di 119 desa dan tiga
kelurahan.
Kabupaten Kaur dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2003 pada tahun 2003 bersama-sama dengan Kabupaten Seluma dan Kabupaten
Mukomuko. Kaur sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bengkulu
Selatan. Kaur sejak tahun 2005 mulai memproduksi minyak kelapa sawit
pelmintasi alami yang diekspor ke luar negeri.
Pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan sejak zaman dahulu terletak di
Bintuhan. Pada tahun 2005 Kaur Utara, Tengah, dan Selatan bergabung
membentuk kabupaten Kaur. Dari ibukota provinsi Bengkulu jaraknya hampir 200
km ke arah Selatan. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung
di sebelah selatannya.
Adapun bahasa Kaur merupakan bahasa yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari di Kabupaten Kaur. Data diambil di daerah Bandar
Bintuhan yang merupakan pusat kota Kabupaten Kaur dan Dusun Gedung Sake di
Kecamatan Kaur Selatan, Dusun Padang Baru di Kecamatan Kaur Tengah, serta
di Dusun Awat Mate yang terletak di Kecamatan Kaur Selatan. Bahasa Kaur
memiliki dua dialek yaitu dialek Pasemah atau dialek /e/ yang meliputi sebagian
22
daerah Kaur Utara dan sebagian Kecamatan Kaur Tengah. Dan dialek Kaur yang
digunakan di sebagian daerah Kecamatan Kaur Utara, sebagian di Kecamatan
Kaur Tengah, dan sebagian besar penduduk di Kecamatan Kaur Selatan
(dokumentasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984 : 2-3).
Untuk lebih jelasnya, kita dapat mengamati pemaparan dari buku tersebut.
Bahasa Kaur yang dipakai di Kecamatan Kaur Utara yang meliputi Marga
Semidang Gumay terdiri atas daerah Seranjangan (batas) Dusun Tanjung
Harapan, Nusuk, Awat Mate, Muara Kinal, Mentiring, Cahaye Batin, Lubuk Gung
(Tanjung Raye), Padang Manis, Karang Dapo, dan Bunga Melur.
Kecamatan Kaur tengah yang meliputi Marga Luas yang didukung oleh
beberapa dusun yaitu: Dusun Padang Baru, Tanjung Iman, Padang Hangat, Air
Langkap, Betung, Tugu’, Benue Ratu, Latihan Ilir, Latihan Ulu, Kepahiang,
Gundusuli, Durian Besar, Umbul, dan Tanjung Bringin.
Kecamatan Kaur Selatan yang meliputi Marga Tetap dan mencakup Dusun
Suka Banjar, Cucupan, Pagar Dewa, Muara Tetap, Babat, Tung Dalam, Binjai,
marga Bandar Bintuhan yang meliputi dusun Sekunyit, Sukabandung, Selasih, Air
Dingin, Pasar Palembang, Bandar, Pasar Lama, Palak Pasar, Penyimpangan,
Sedai, Gedung Sake, Padang Genting, Jambatan Dua, dan Sambat.
Perlu diketahui bahwa daerah penyebaran bahasa Kaur di kecamatan Kaur
Utara didapat hanya sekitar dususn yang tinggal membentang di pesisir pantai. Di
kecamatan Kaur Utara terdiri dari tiga marga yaitu Marga Kelam, Marga padang
Guci, dan Marga Semidang Gumay. Yang menggunakan bahasa Kaur di daerah
23
tersebut hanya satu marga yaitu Marga Semidang Gumay. Sedangkan dua marga
lainnya menggunakan bahasa Pasemah (Mulak).
Adapun di Kecamatan Kaur Tengah terdiri atas tiga marga yaitu Marga
Ulu Kinal yang masih menggunakan bahasa Pasemah (Mulak), Marga Muara
Sahung yang menggunakan bahasa Semende (hanya berbeda dialek dengan
bahasa Pasemah Mulak), dan Marga Luas adalah salah satu marga di Kecamatan
Kaur Tengah yang menggunakan bahasa Kaur.
Untuk Kecamatan Kaur Selatan yang terdiri atas empat marga, dua marga
yang menggunakan bahasa Kaur yaitu Marga Muara Tetap dan Marga Bandar
Bintuhan. Sedangkan untuk daerah di sekitar Kulek, Nasal, dan sekitarnya
menggunakan bahasa Nasal yang disinyalir merupakan perpaduan pengaruh
antara bahasa Kaur dengan bahasa Lampung.
Menurut informasi yang didapat dari beberapa informan, asal usul bangsa
Kaur juga belum bisa dirumuskan atau diketemukan, baik berupa buku atau
ataupun tulisan-tulisan yang bisa dijadikan sebagai bahan pembuktian sejarah.
Menurut informan yang sudah lanjut usia, peneliti mendapat cerita yang sulit
untuk bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena tidak ada
bukti yang mendukung.
Kaur berasal dari kata Aur yang artinya ‘bambu’. Konon pada zaman
tersebut para leluhur yang berasal dari Arab menancapkan sepotong bambu ke
tanah yang berisikan batu dan air dengan mengucapkan sumpah “Ini Tanahku, Ini
Batuku, Ini Airku”. Lokasi mereka bersumpah tersebut di sebuah anak sungai,
maka sungai tersebut dinamakan Air Kaur yang terdapat di Desa Cahaye Batin
24
Kecamatan Semidang Gumay Kabupaten Kaur Utara. Peneliti menyadari bahwa
uraian sejarah ini hanya merupakan suatu jenis cerita dan cerita ini diyakini oleh
masyarakat suku bangsa tersebut.
Masyarakat Kaur lebih banyak yang berprofesi pada sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan. Sama halnya dengan penduduk di Seluma,
masyarakat di Kaur juga semakin banyak yang memilih profesi di sektor
pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Daerahnya ramai karena merupakan
jalur yang dilalui dari Lampung ke daerah Sumatera lainnya dan juga sebaliknya.
Menurut Dyen (dalam Keraf, 1991 : 206-213), bahasa Serawai dan bahasa Kaur
merupakan bahasa sekerabat yang termasuk dalam kelompok Melayu Tengah
(bentuk antara Minangkabau dan Melayu).
Adapun alasan peneliti memilih bahasa Serawai dan bahasa Kaur sebagai
objek penelitian ialah kedua bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Kedua bahasa tersebut juga
digunakan di pusat pemerintahan daerah serta tak jarang digunakan sebagai
baahsa pengantar di sekolah-sekolah. Kedudukan bahasa Serawai dan bahasa
Kaur menjadi sangat penting karena alasan tersebut.
Di samping itu seiring dengan perkembangan zaman yang cukup pesat,
serta mudahnya proses komunikasi dengan bahasa lain, saat ini keberadaan bahasa
Serawai dan bahasa Kaur menjadi semakin terancam. Hal ini dibuktikan dengan
semakin banyak pendatang dari luar Pulau Sematera ke daerah tersebut, dan
bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti akan perjadi percampuran atau
25
perpindahan bahasa yang menyebabkan bahasa tersebut lambat laun akan
menghilang.
Alasan lain dari penelitian ini adalah masih sedikitnya penelitian yang
menjadikan bahasa Serawai sebagai objeknya, bahkan sampai saaat ini peneliti
belum menemukan penelitian serupa dengan objek bahasa Kaur. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan yang besar bagi penelitian
selanjutnya.
Gambar 1
Peta Provinsi Bengkulu