Upload
buiminh
View
245
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KOMPARASI ANTARA JENIS KELAMIN DAN DUKUNGAN SOSIAL
DARI REKAN KERJA TERHADAP MOTIVASI KERJA
PERAWAT DI RUMAH SAKIT ORTOPEDI
PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA
TAHUN 2009-2010
Skripsi
Oleh :
BAZARUDDIN AHMAD
NIM K8403016
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat.
Agar dapat mempertahankan eksistensinya, manusia perlu berada bersama orang lain dan
mengadakan interaksi sosial di dalam kelompoknya. Tujuan berlangsungnya interaksi ini
guna saling melengkapi macam-macam kebutuhan diantara manusia. Selain itu, selama
proses interaksi, setiap manusia memiliki macam-macam peranan yang berasal dari
bentuk-bentuk pengalaman hidupnya.
Proses pelaksanaan peranan oleh individu sangat tergantung pada lingkaran sosial
(sosial circle) yang ditempati oleh individu bersangkutan. Kemudian, tingkatan
tanggungjawab dari peranan itu juga disesuaikan dengan kedudukannya dalam organisasi
yang ditempatinya. Peranan yang dilakukan kepala sekolah tentu akan berbeda dengan
yang dilaksanakan oleh penjaga/satpam sekolah, peranan yang dilaksanakan seorang
direktur tentu akan berbeda dengan peranan yang dikerjakan oleh karyawan biasa, dan
masih banyak lagi contoh lapisan-lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Sistem
pembagian kedudukan dan peranan ini pada dasarnya diperlukan agar organisasi dapat
bergerak secara teratur untuk mencapai tujuan utama organisasi secara keseluruhan.
Kesehatan yang merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, juga perlu
diorganisir secara terarah. Sehingga terjadilah klasifikasi peranan sesuai dengan
kebutuhan organisasi kesehatan itu. Orang yang bergerak dalam menjalankan peranan di
bidang kesehatan ini sering diistilahkan sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang
dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan.
Di Indonesia, tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik,
serta tenaga keteknisan medis lainnya. Di antara tenaga kesehatan tersebut, perawat
adalah sumber daya manusia yang jumlahnya terbanyak dibandingkan jumlah tenaga
kesehatan lainnya. Hal ini disebabkan jumlah tenaga keperawatan mendominasi tenaga
kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai kontak atau interaksi yang paling lama
1
dengan pasien. Bisa dikatakan, bahwa perawat merupakan ujung tombak pemberi
pelayanan kepada pasien. Sehingga perawat harus dibina dan terus di kembangkan agar
senantiasa bertindak sesuai standar dan etika profesinya. Menyimak hal tersebut, maka
peranan keperawatan yang dijalankan perawat di lingkungan kerjanya dapat dijadikan
salah satu kajian menarik dalam tinjauan sosiologis.
Rumah sakit sebagai salah satu lingkungan kerja perawat, memiliki peran yang
sangat strategis dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan
yang berkualitas sebagai upaya mempercepat peningkatan derajad kesehatan secara
menyeluruh, merata, terjangkau dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Peran
strategis ini didapat karena rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang padat
tehnologi, modal, karya dan pakar. Sehingga pengetahuan mendalam tentang perawat
sebagai salah satu unsur sumber daya manusia sangat penting dilakukan bagi pihak
manajemen rumah sakit. Informasi tentang karyawan (perawat), bukan sekedar hanya
dari identitasnya semata, melainkan lebih dalam lagi yang berhubungan dengan tindakan
pekerjaannya, seperti sikap kerja perawat, komunikasi antar perawat, tingkat stress
perawat, kepuasan kerja dan sebagainya. Selain itu, salah satu pengetahuan mengenai
perawat yang juga perlu diperhatikan adalah dari segi motivasi kerja perawat.
Motivasi kerja sendiri merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk
memenuhi keinginan, maksud dan tujuan. Namun, dalam penerapannya, penggunaan
masing-masing unsur motivasi kerja berbeda untuk setiap karyawan (perawat). Tentu hal
itu didasari oleh kebutuhan dan keinginan masing-masing. Sehingga kinerja yang
ditampilkan oleh setiap karyawan juga akan berbeda.
Melihat sejarah awal mengenai keperawatan, maka keperawatan lebih bersifat
vokasional. Sehingga, garis formal otoritas dalam setting medis menempatkan perawat
pada posisi yang tidak menguntungkan untuk bertindak memutuskan tindakan medis.
Namun, saat ini profesionalisasi dalam keperawatan dapat dirasakan, sehingga saat ini
pekerjaan sebagai perawat sudah mendapat tempat yang sama dengan profesi lainnya.
Hanya saja, dari sisi konstruksi sosial, keperawatan dari dulu hingga kini masih
dijustifikasi sebagai pekerjaan perempuan. Citra yang ada bahwa keperawatan digeluti
dan dikerjakan oleh perempuan dibenarkan oleh kenyataan bahwa hampir seluruh
Perawat merupakan perempuan. Identifikasi Perawat dengan perempuan ditunjukkan pula
oleh sebutan yang diberikan kepada Perawat di Indonesia bahkan di negara-negara lain
yaitu “suster”. Sebutan tersebut jelas menunjuk kepada perempuan. Tugas-tugas
keperawatan yang menjadi tanggung jawab perawat menuntut adanya keterlibatan
perasaan kasih sayang, kelembutan, ketelitian dan kesabaran. Tugas-tugas ini juga sangat
identik dengan pekerjaan sehari-hari yang dapat ditemui dalam kehidupan keluarga
sehingga sangat umum jika disebut bahwa tugas-tugas keperawatan tidak jauh dari tugas-
tugas domestik perempuan dalam rumah tangga.
Pembedaan fisik yang diterima laki-laki dan perempuan disebut sebagai proses
alamiah: hanya perempuan yang bisa melahirkan dan hanya laki-laki yang bisa
meyebabkan kehamilan. Di lain pihak, seks tersebut digunakan sebagai dasar untuk
meyusun kategori sosial yang disebut gender: atribut sikap (attitude dan perilaku
(behaviors) yang dikonstruksi secara sosial untuk melahirkan dua kategori yang
dikotomis yaitu femenin dan maskulin. Pada akhirnya, kategori sosial tersebut
menempatkan perempuan lebih berpotensial untuk menjadi seorang perawat dibanding
dengan laki-laki.
Meskipun demikian, dewasa ini telah terjadi perubahan dalam dunia keperawatan,
yang mana telah terjadi pertambahan jumlah laki-laki yang bekerja sebagai perawat.
Meskipun demikian, sejarah identifikasi perempuan dalam dunia keperawatan tidak dapat
diabaikan begitu saja. Hal ini dikarenakan pekerjaan perawat masih didominasi oleh
kaum perempuan. Dengan kata lain, secara umum perawat laki-laki masih kalah dari segi
kuantitas dibandingkan dengan perawat perempuan.
Perawat yang merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan terus
bergerak maju menuju profesionalitasnya. Perbaikan mutu kinerja mutlak dilaksanakan
oleh organisasi tempat perawat bekerja. Kepuasan pasien dalam usaha penyembuhan di
lembaga kesehatan juga merupakan efek dari pelayanan yang optimal dari proses
keperawatan yang mereka terima.
Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanannya ,setiap pekerjaan yang
dilakukan perawat terkadang tidak selamanya dapat dipertahankan secara baik. Banyak
hal yang dapat mempengaruhi perawat dalam motivasi bekerjanya. Salah satu yang
mempengaruhi motivasi kerja perawat ini adalah faktor dukungan sosial, dimana individu
tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugasnya membutuhkan dukungan sosial. Hal ini
dikarenakan dalam sebuah komunitas atau kelompok kerja dan organisasi baik di sektor
umum ataupun swasta, interaksi yang dibangun diharapkan dapat mendukung
pekerjaannya sehingga dapat memotivasi dan saling memberi dukungan secara sosial
kepada satu sama lainnya.
Karena secara alamiah, perawat juga makhluk sosial yang membutuhkan
kehadiran manusia lain untuk berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain di dalam
kehidupan pribadi, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis. Artinya,
meskipun perawat sendiri bertugas memberikan dukungan sosial kepada pasien, perawat
sendiri juga memerlukan dukungan sosial dalam proses bekerjanya. Terlebih, dalam
konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka perawat tidak dapat dipisahkan dari
peranan tenaga kerja lainnya. Selain menghadapi pasien, perawat juga melaksanakan
jalinan hubungan dengan jajaran pimpinan rumah sakit, dokter, pihak atasan manajemen
keperawatan, dan tenaga medis dan tenaga non medis lainnya. Dengan kata lain, perawat
menjadi bagian dalam sistem sosial di rumah sakit yang menjadi tempat ia bekerja.
Melihat pula kondisi pekerjaan yang sedemikian kompleks, bukan tidak mungkin
berpotensi menimbulkan stres pada perawat. Maka dari itu dukungan sosial sangat
diperlukan agar faktor-faktor stress dapat diredam. Para ahli dan peneliti sendiri
menemukan hubungan antara stres karyawan dengan kurangnya dukungan sosial. Seperti
yang ditulis Halonen dan Santrock (1999; 508) yakni: “researchers consistently have
found that social support helps individuals cope with stress. For example, in one study
depressed persons had fewer and less-supportive relationship with family members ,
friends, and co-workers than did people who were not depressed”. Artinya para peneliti
secara konsisten telah menemukan bahwa dukungan sosial membantu individu mengatasi
stres. Salah satu kajiannya menunjukkan bahwa orang yang merasa tertekan/depresi lebih
banyak ditemukan pada orang yang kekurangan atau kehilangan dukungan dari anggota
keluarga, teman dan rekan kerja.
Personal karyawan, dalam hal ini perawat membutuhkan motivasi kerja yang
tinggi guna menunjang kinerja yang tinggi pula. Sehingga, secara logis dukungan sosial
merupakan wadah bagi perawat dalam mempertahankan kinerjanya. Dengan memadainya
dukungan sosial, maka personal perawat akan jarang mengeluh dengan kondisi
lingkungan kerja yang ada serta berusaha bekerja secara efektif dan produktif.
Selain itu, adanya dukungan sosial ini membuat perawat lebih merasa tenang
dalam menghadapi masalah, terutama dalam hal pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya. Karena dukungan sosial yang memadai akan menciptakan pola komunikasi
positif dan saling memahami satu sama lain. Sehingga faktor dukungan sosial yang
membangun suasana komunikasi yang baik ini sangat memungkinkan tumbuhnya
semacam kepercayaan diri seorang perawat. Hal ini tentu dapat menguatkan diri perawat
dalam menghadapi realita kehidupannya, baik itu di lingkungan keluarga maupun
lingkungan pekerjaannya.
Sebaliknya, ketika tidak memadainya dukungan sosial, stres berpotensi untuk
muncul ke dalam diri perawat. Selain itu, kurangnya dukungan sosial dapat memicu sikap
negatif terhadap pekerjaan atau organisasi. Akibat yang sering muncul adalah hilangnya
motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasisme, minat dan idealisme. Individu
yang mengalami kurangnya dukungan sosial, merasa tidak dihargai oleh organisasi atau
rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya
mengkritik dan tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor.
Individu yang seperti ini merasa tujuan-tujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan
serba kurang dan rendahnya harga diri.
Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun
lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang
mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril)
dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika
seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun
bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan
dan tugasnya. Sehingga bentuk dukungan sosial yang mungkin dapat memicu motivasi
kerjanya juga berlainan satu sama lain. Ketika dukungan sosial dirasakan seseorang
bersifat positif maka kemungkinan motivasi kerjanya akan tinggi. Begitu pula sebaliknya,
dukungan sosial yang dirasa kurang terpenuhi maka mungkin akan dapat membentuk
motivasi kerja perawat yang rendah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, timbul permasalahan-
permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Faktor jenis kelamin dapat dijadikan salah satu aspek dalam kajian yang bisa
mempengaruhi motivasi kerja keperawatan yang dilaksanakan oleh perawat.
2. Manusia memiliki keragaman dalam bentuk dan tingkat dorongannya dalam
bekerja, sehingga dapat dikaji sajauh mana motivasi kerja menentukan
tingkatan motivasi kerja perawat.
3. Lingkungan sosial dapat menentukan arah tingkah laku seseorang, begitu pula
dengan lingkungan kerja rumah sakit dapat mempengaruhi arah dan bentuk
pelaksanaan tugas perawat.
4. Perawat bisa dikatakan sebagai tulang punggung pelayanan terhadap pasien,
karena mereka hadir dua puluh empat (24) jam sehari dalam merawat dan
menjaga pasien, untuk itu perlu dikaji lebih mendalam mengenai hal apa saja
yang dapat memicu motivasi kerja perawat.
5. Pengembangan kemampuan perawat tidak sekedar berdasar dari identitasnya,
melainkan lebih dalam lagi yang berhubungan dengan tindakan pekerjaannya,
seperti sikap kerja perawat, komunikasi antar perawat, tingkat stress perawat,
kepuasan kerja dan sebagainya.
6. Profesionalitas dalam keperawatan telah dapat dirasakan, sehingga dapat
dikaji bagaimana bentuk standar tugas perawat yang sesuai dengan kondisi
saat ini.
7. Perawat memiliki frekuensi interaksi yang paling lama dengan pasien
dibanding tenaga medis lainnya, maka dapat dikaji bagaimanakah idealnya
upaya-upaya penyembuhan pasien yang diterapkan perawat
8. Tingkat motivasi kerja dianggap tidak lepas dari pengaruh dukungan sosial,
dimana individu dalam menyelesaikan tugas-tugasnya membutuhkan
dukungan sosial baik yang berasal dari atasan, teman sekerja maupun dari
keluarga
C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah (scoupe of problem) adalah ruang lingkup masalah Sedangkan
pembatasan masalah merupakan upaya untuk membatasi ruang lingkup masalah yang
terlalu luas atau lebar sehingga penelitian lebih bisa fokus untuk dilakukan Pembatasan
masalah ini penting dilakukan karena termasuk tahapan awal dalam pengkajian
pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Dengan pembatasan yang jelas, peneliti
dapat mengarahkan perhatiannya lebih seksama dan dapat merumuskan masalahnya
secara jelas.
Dari identifikasi masalah sebelumnya, hanya dua faktor motivasi kerja saja yang
diteliti, yakni jenis kelamin dan dukungan sosial. Motivasi kerja yang dimaksud sebatas
motivasi berprestasi, kekuasaan dan afiliansi. Sedangkan untuk faktor dukungan sosial,
hanya dibatasi dukungan sosial dari rekan kerja yang didapatkan perawat. Sehingga
dengan adanya pembatasan masalah ini, maka dapat dibandingkan secara jelas perbedaan
kualitas motivasi kerja keperawatan yang dijalankan antara perawat laki-laki dan perawat
perempuan.
D. Perumusan Masalah
Masalah merupakan hambatan atau rintangan yang muncul pada suatu bidang
dan perlu dipecahkan. Suatu masalah yang muncul tidak dapat diabaikan begitu saja,
akan tetapi perlu diperhatikan dan dipertimbangkan lebih mendalam dalam
pemecahannya. Untuk itu sebelum diuraikan permasalahan dalam penelitian ini maka
terlebih dahulu akan dikemukakan istilah masalah.
Menurut Winarno Surachmad (1994:34): ”Masalah adalah setiap kesulitan yang
menggerakkan orang untuk memecahkannya. Masalah harus dapat dirasakan sebagai
rintangan yang harus dilalui tentang jalannya mengatasi apabila kita akan berjalan terus
menampakkan diri sebagai tantangannya”.
Berpijak pada latar belakang masalah, maka peneliti memberikan perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan pengaruh jenis kelamin terhadap motivasi kerja perawat?
2. Apakah ada perbedaan pengaruh dukungan sosial dari rekan kerja terhadap
motivasi kerja perawat?
3. Apakah ada perbedaan pengaruh jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan
kerja terhadap motivasi kerja perawat?
E. Tujuan Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (1998:49) bahwa “tujuan penelitian adalah suatu
rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian
selesai”. Jika dikaji lebih mendalam mengandung arti bahwa tujuan penelitian di sini
adalah untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah tersebut di atas. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh antara jenis kelamin
terhadap motivasi kerja perawat..
2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh dukungan sosial dari rekan
kerja terhadap motivasi kerja perawat.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh jenis kelamin dan dukungan
sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini penting karena menghasilkan informasi yang rinci, akurat dan
aktual yang memberikan manfaat dalam menjawab permasalahan. Manfaat tersebut dapat
secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut
dan secara praktis terwujud aktual. Dalam penelitian ini manfaat yang dapat
dimanfaatkan adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah dan memperluas cakrawala pengetahuan tentang lingkungan sosial
di rumah sakit.
b. Dapat mendukung teori-teori yang sudah ada sehubungan dengan masalah yang
dibahas yaitu tentang dukungan sosial serta motivasi kerja perawat, baik perawat laki-
laki maupun perawat perempuan.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian yang sejenis secara mendalam.
b. Menambah kepustakaan baik bagi Program Studi, Jurusan maupun Fakultas.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Motivasi Kerja
a. Pengertian Umum Motivasi
Perilaku manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas dari keadaan
individu itu sendiri dan lingkungan mana individu itu berada. Sikap yang ditunjukkan
muncul akibat dari adanya dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia yang
bersangkutan. Dorongan atau motif
tidak hanya satu macam, tetapi beraneka ragam sesuai dengan yang ia butuhkan. Hal
ini karena kehidupan sosial yang bersifat dinamis, sehingga membawa dampak
keadaan psikologis yang menyangkut motivasi manusia dalam melakukan
aktivitasnya, termasuk dalam bekerja.
Sebelum menginjak pada pengertian yang lebih spesifik mengenai motivasi
kerja, perlu kiranya untuk menjabarkan beberapa pendapat mengenai pengertian
umum motivasi. Kemudian harus pula dibedakan dengan istilah motif, meskipun
keduanya mempunyai garis pengertian yang hampir sama. Pembedaan pengertian
antara motivasi dan motif perlu untuk diuraikan agar tidak terjadi tumpang tindih satu
sama lain. Selanjutnya, apabila dasar motivasi secara umum telah diuraikan dengan
cukup, tentu akan lebih mudah dalam memahami motivasi kerja. Dengan kata lain,
pengertian umum motivasi akan menjadi titik awal untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai motivasi kerja.
Menurut Abraham Sperling (dalam Anwar 1993; 46) mengemukakan ;
“Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an
adjument. The adjusment is said to satisfy the motive”. Pengertian tersebut
menjelaskan bahwa motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk
10
beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan
penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini terkait untuk memuaskan motif.
Sedangkan menurut Moekijat (dalam Hasibuan 2005; 95-96) berpendapat
bahwa “Motif adalah suatu pengertian yang mengandung semua alat penggerak dan
alasan-alasan atau dorongan- dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan ia berbuat sesuatu”. Artinya sebuah motif adalah satu
pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau
mengarah kepada sasaran yang ia harapkan.
Hal senada diutarakan Merle J. Moskowits ( dalam Hasibuan 2005; 96) yang
mengemukakan bahwa : “Motivation is usually defined the initiatif and direction of
behavior and the study of motivation is effect the study of course of behavior.
Pernyataan tersebut menerangkan bahwa Motivasi secara umum didefinisikan sebagai
inisiatif dan pengarahan tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan
pelajaran tingkah laku. Sehingga dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya tindakan
manusia selalu dilandasi sebuah motivasi yang siap untuk diarahkan sesuai
pembelajaran tentang tingkah laku yang ia resapi.
Sedangkan Harold Koontz (dalam Hasibuan 2005; 96) menyatakan ;
“Motivation refers to the drive and effort to satisfy a want or goal”. Artinya Motivasi
mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan.
Pendapat ini menerangkan bahwa ada titik kepuasan tertentu yang ingin dicapai
seseorang dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, sehingga dirasa perlu bagi dirinya
untuk melakukan tingkat usaha yang berguna bagi tujuannya tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif
merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri seseorang yang perlu dipenuhi agar
dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sedangkan motivasi adalah kondisi
yang menggerakkan seseorang agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Secara
sederhana, motif merujuk pada keadaan alamiah yang dimiliki manusia yakni berupa
dorongan-dorongan tertentu dalam bertindak, sedangkan motivasi dikatakan sebagai
energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri. Artinya motivasi merupakan
sejumlah proses- proses psikologikal, yang berproses sedemikian rupa sehingga
meghasilkan suatu intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk
mencapai tujuan. Intensitas adalah seberapa kerasnya seseorang berusaha, namun
intensitas yang tinggi saja tidak akan membawa ke hasil yang diinginkan kecuali
disertai dengan upaya dan arah yang jelas.
b. Jenis-Jenis Motivasi
Uraian mengenai jenis-jenis motivasi dalam tinjauan ilmu perilaku manusia
bersifat komprehensif mencakup siklus kebutuhannya. Handoko (1992;30-39)
menggolongkan motivasi menjadi motif biogenetis dan motif sosiogenetis. Penulis
merangkum penjelasannya sebagai berikut :
1) Motif biogenetis
Motif-motif biogenetis merupakan motif-motif yang berasal dari
kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan kehidupannya secara biologi.
Motif ini bersifat alamiah dan berkembang dengan sendirinya sehingga dapat
dipastikan semua orang memilikinya. Namun, semua orang mempunyai reaksi
yang berbeda-beda dalam menanggapi motif-motif biogenetis. Adapun contoh
motif biogenetis seperti; lapar, haus, bernafas, seks dan istirahat.
2) Motif sosiogenetis
Motif sosiogenetis timbul sebagai akibat dari interaksi sosial dengan orang
atau hasil kebudayaan. Moif ini sangat bervariasi karena tergantung pada
hubungan manusia dengan lingkungannya. Motif sosiologis dapat dibagi lagi
menjadi dua, yakni motif darurat dan motif objektif. Motif darurat muncul karena
situasi lingkungan sangat mendorong individu untuk bertindak sesuatu, contohnya
seperi: motif melepaskan diri dari bahaya, motif melawan motif mengatasi
rintangan dan lain-lain .
Sedangkan motif objektif berhubungan dengan orang-orang atau hal-hal
yang berada di lingkungannya. Motif ini memuat dua bagian lagi, yakni motif
eksplorasi dan motif manipulasi. Motif eksplorasi mengandung arti dalam diri
manusia memiliki sifat untuk mengetahui banyak hal dan mengamati dengan
teliti. Sedangkan motif manipulasi sebenarnya juga bertujuan eksplorasi, hanya
saja motif manipulasi diartikan sebagai tindakan atau perbuatan mengerjakan
sesuatu dengan tangan.
Sementara itu jenis motivasi yang berkenaan dengan kegiatan bekerja,
dijelaskan secara singkat oleh Luthans (2005;299) yakni :
1) Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik merupakan konsekuensi eksternal yang dapat dilihat individu (misalnya uang), biasanya dilakukan oleh orang lain sebagai satu kesatuan untuk memotivasi individu.
2) Motivasi Instrinsik Motivasi Instrinsik bersifat internal untuk individu, dan mendorong diri sendiri untuk belajar dan berprestasi.
Pembedaan jenis motivasi tersebut di atas sangat lazim diuraikan dalam
berbagai pembahasan mengenai motivasi. Dalam konteks aktivitas bekerja, dapat
dijelaskan bahwa motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu
sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan
melakukan pekerjaan tersebut bukan sekedar karena rangsangan lain seperti status
ataupun uang. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar
pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat
seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.
Sedangkan menurut Ranupandojo (2000;204) motivasi dibedakan dua jenis,
yakni :
1) Motivasi positif ; proses untuk mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah.
2) Motivasi negatif ; proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan ketakutan.
Dapat diterangkan bahwa motivasi yang positif adalah proses untuk mencoba
mempengaruhi orang lain agar menjalankan suatu yang kita inginkan dengan cara
memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah. Motivasi positif berupa
:Penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan, Informasi yaitu berupa
memberikan penjelasan kepada karyawan tentang latar belakang atau alasan
pelimpahan tugas, Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang
individu, menimbulkan persaingan, misalnya dengan memberikan hadiah tertentu bila
target tercapai, Kebanggan yaitu dengan menghargai hasil kerja karyawan yang
mempunyai prestasi yang baik sehingga dia bangga akan hasil kerjanya, Uang jelas
merupakan suatu alat motivasi yang berguna untuk memuaskan kebutuhan ekonomi
karyawan, dapat berupa gaji dan insentif, Partisipasi yaitu dengan menerima usul dari
karyawan dalam pengambilan keputusan, atau dengan kata lain karyawan diikut
sertakan dalam pengambilan keputusan,
Motivasi yang negatif, merupakan kebalikan dari semua tindakan yang
diambil oleh motivator melaksanakan motivasi yang positif. Motivasi yang negatif
diperlukan agar berusaha untuk menghindarinya, sehingga akan menimbulkan
dorongan di dalam diri karyawan tersebut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Tetapi pemberian motivasi yang negatif yang diberikan secara berlebihan dapat
menimbulkan kebencian dan dendam dan hal ini akan dapat merusak moral kerja
karyawan.
c. Motivasi Kerja
Kehidupan manusia tampak dari beranekaragam kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan. Salah satu bentuk aktivitas manusia itu adalah bekerja. Dapat dikatakan
bahwa manusia adalah mahkluk yang berkarakteristik kerja atau sebagai homo faber.
Aktivitas kerja memiliki nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan
bekerja, memungkinkan seseorang untuk memperoleh apa saja yang dibutuhkan.
Tentu banyak ragam alasan mengapa seorang bekerja dan dengan sengaja
mengikatkan diri menjadi bagian dari organisasi.
Kartini Kartono (2005;18-19) mengungkapkan pandangan modern tentang arti
kerja/karya bagi manusia, antara lain sebagai berikut ;
1) Kerja itu merupakan aktivitas dasar dan bagian essensial dari kehidupan manusia. Sama seperti kegiatan bermain bagi anak-anak, maka kerja memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan sebab kerja itu memberikan status kepada seseorang dan mengikatkan diri sendiri dengan individu-individu lain dalam masyarakat.
2) Kerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan bobot dan isi kepadanya. Karena itu, baik wanita maupun pria pada umumnya menyukai pekerjaan dan suka bekerja. Jika ada orang yang tidak pekerjaan, maka pada umumnya terletak kondisi psikologis dan kondisi sosialnya dan tidak pada kondisi orang yang bersangkutan.
3) Moral dari individu itu tidak mempunyai kaitan langsungg dengan kondisi fisik/meteriil dari pekerjaan. Sebab, pekerjaan yang betapapun berat dan kotor dan berbahayanya akan dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh oleh satu tim yang
memiliki semanagta tinggi, solidaritas kelompok yang kuat, bermoral tinggi dan mempunyai pemimpin yang baik.
4) Insentif kerja itu banyak bentuknya, antara lain uang, jaminan sosial, jaminan hari tua, status sosial dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini pengangguran merupakan salah satu insentif negatif paling besar, karena orang yang menganggur itu pasti ada dalam posisi marjinal. Selanjutnya insentif immateriil dalam kerja kelompok adalah pemimpin yang baik.
Bertolak dari makna bekerja bagi manusia yang begitu penting, maka unsur
motivasi tidak dapat dilepaskan dari prosesnya. Adapun usaha pemenuhan kebutuhan
manusia dalam bekerja ini sering diistilahkan dengan motivasi kerja. John R.
Schermerhorn (dalam Winardi 2001;2) mengemukakan bahwa :
”...motivasi untuk bekerja, merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku keorganisasian (organization behavior=OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja.
Lebih lanjut, Alain Mitrani (1992;157) mengatakan ”motif-motif pribadi
mengarahkan dan mengendalikan perilaku dalam pekerjaan”. Itulah mengapa
manajeman motivasi hampir dilakukan oleh seluruh organisasi, baik yang bersifat
profit ataupun non-profit. Banyak ragam kegiatan dan pendekatan yang mengarahkan
agar sumber daya manusia yang dimiliki mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Ini
tidak lepas dari tujuan pemotivasian, yakni meningkatkan kompetensi yang dimiliki
pekerja. Sehingga dengan motivasi kerja yang tinggi, organisasi berharap dapat
mencapai prestasi yang lebih tinggi pula.
Sudah umum diketahui pula, bahwa produktivitas suatu organisasi atau
perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kesempatan memperoleh
pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian prestasi kerja yang adil, rasional dan
objektif, sistem imbalan yang pantas, dan sebagainya. Mengenai hal ini, Gomez
(1997; 181) mengemukakan dua kategori utama yang menjelaskan tentang motivasi
kerja, yakni ;
1) Content (a) Employee Needs. Seorang pekerja mempunyai sejumlah kebutuhan yang
hendak dipenuhi, yang berkisar pada ; (1) eksistence (biological and safety) (2) relatedness (affection, companionship, and influence) ; dan
(3) growth (achievement and self-actualization). Ini semua merupakan stimuli internal yang menyebabkan perilaku;
(b) Organizational Incentives. Organisasi mempunyai sejumlah rewards untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pekerja. Rewards ini mencakup : (1) subtantive rewards (pay, job security, and physical working conditions), (2) interactive rewards (co-workers, supervision, praises, and recognition), dan (3) intrinsic rewards (accomplishment, challenge, and responsibility). Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap arah dari perilaku pekerja.
(c) Perceptual Outcomes. Pekerja biasanya mempunyai sejumlah persepsi mengenai; (1) nilai dari reward organisasi (2) hubungan antara performansi dengan rewards, dan (c) kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui usaha-usaha mereka dalam performansi kerjanya.
2) Procces Theory Procces Theory atau teori proses lebih mengarahkan perhatiannya pada proses melalui pekerja yang melakukan pilihan-pilihan motivasinya. Teori proses atau reinforement menyatakan bahwa perilaku seorang pekerja dapat dikendalikan dengan rewars dan punisment (hukuman).
Kedua kategori di atas adalah teori yang telah dikembangkan para sarjana
untuk menjelaskan motivasi pekerja di dalam organisasi. Pada hakekatnya, kedua
teori menjelaskan bahwa motivasi dari para pekerja akan saling berbeda antara satu
dengan yang lain. Latar belakang individul seperti ; tingkat pendidikan, keluarga,
kondisi ekonomi punya kontribusi dalam mempengaruhi bentuk dan tingkat
motivasinya dalam bekerja. Artinya sumber motivasi pekerja dalam sebuah organisasi
terdapat banyak ragam dan berproses secara dinamis. Kemudian ada standar-standar
kebijakan tertentu yang diambil sebuah organisasi dalam rangka pengembangan
kualitas kerja/kinerja melalui proses pemotivasian pekerjanya.
Keterkaitan antara motivasi tinggi dan kinerja yang baik ditegaskan pula oleh
Gerungan (2000;144) yang menyatakan :
Semua pekerjaan, selain membutuhkan adanya kecakapan-kecakapan pribadi, juga membutuhkan motivasi yang cukup pada pribadi tersebut untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan berhasil. Tanpa motivasi orang tidak akan berbuat apa-apa, tidak akan bergerak. Malahan kerap kali pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik oleh orang yang bermotivasi kuat dan berkecakapan sedang-sedang saja, sedangkan orang yang berkecakapan tinggi tanpa motivasi yang kuat, tak akan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Pernyataan tersebut di atas menandakan bahwa motivasi dalam bekerja sangat
terkait dengan usaha dalam mencapai hasil pekerjaan yang memuaskan. Dengan kata
lain, kompetensi individu yang bekerja dengan sederet tugas yang dilimpahkan
padanya akan berhasil dengan baik, meski ia belum memiliki kemampuan di atas
rata-rata. Sebaliknya bagi pekerja atau karyawan yang sebenarnya cukup memadai
dari segi kemampuan, akan menjadi percuma ketika motivasi kerja dalam dirinya
sendiri lemah sehingga pekerjaan yang menjadi wewenangnya tidak terselesaikan
dengan baik.
Berangkat dari paparan di atas, maka yang dimaksud dengan motivasi kerja
adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat dalam bekerja. Dalam
kehidupan sosial yang dinamis ini banyak faktor yang dapat memicu motivasi kerja
seseorang untuk bekerja. Terlebih lagi, dalam rangka pemberdayaan studi sumber
daya manusia yang dilakukan suatu organisasi, maka motivasi kerja
karyawan/anggota selalu mendapat perhatian. Motivasi kerja merupakan masalah
kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota
organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota
suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas
dasar proses belajar yang berbeda pula.
d. Teori-Teori Motivasi Kerja
Munculnya teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan
sistematik dalam gejala sosial. Begitupula dengan topik motivasi manusia yang
memiliki perkembangan teori dari waktu ke waktu. Pada bagian ini, secara khusus
akan membicarakan teori motivasi sebagai penggerak aktivitas manusia dalam
bekerja.
1) Teori Kebutuhan Maslow
Teori Maslow (teori hierarki kebutuhan) sering digunakan untuk
meramalkan perilaku orang dalam kelompok atau organisasi, dan bagaimana
memanipulasi atau membentuk perilaku tersebut dengan cara memenuhi
kebutuhannya, meskipun Maslow sendiri tidak pernah ber-maksud untuk
diterapkan dalam motivasi kerja. Ia memandang bahwa manusia selalu berusaha
memenuhi kebutuhan yang lebih pokok terlebih dahulu sebelum berusaha
memenuhi kebutuhan lainnya, artinya kebutuhan yang lebih mendasar harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan tambahan yang lebih tinggi mulai
mengendalikan perilaku seseorang. Inti dari pemikiran Maslow ini adalah:
kebutuhan yang telah dipenuhi (sebagian atau keseluruhan) akan berhenti daya
motivasinya, kemudian motivasinya berpindah ke upaya untuk memenuhi
kebutuhan lainnya yang lebih tinggi.
Kebutuhan itu tersusun dalam suatu hirarki, dimana kebutuhan yang
tertinggi adalah kebutuhan realisasi diri dan kebutuhan paling dasar adalah
kebutuhan fisiologis. Kebutuhan manusia menurut teori Maslow (dalam Atkinson
et al) dapat diidentifikasikan dalam gambar hierarki kebutuhan Maslow dibawah
ini:
Kebutuhan
Estetik : keserasian, keteraturan,
dan keindahan
Kebutuhan kognitif:
Mengetahui, memahami, dan menjelajahi
Kebutuhan aktualisasi diri: Mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya
Kebutuhan akan penghargaan :
berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan
dukungan dan pengakuan
Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki : berafiliasi dengan orang lain, diterima,
dan memiliki
Kebutuhan akan rasa aman : merasa aman dan terlindungi, jauh dari bahaya
Kebutuhan fisiologi :
rasa lapar, haus, dan sebagainya
Gambar 1. Hierarki Kebutuhan Maslow
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup seseorang seperti sandang, pangan, papan.
Organisasi membantu individu dengan menyediakan gaji yang baik, keuntungan
serta kodisi kerja untuk memuaskan kebutuhannya. Kemudian, Jika kebutuhan
fisiologis sudah sedikit terpenuhi maka akan beranja pada kebutuhan rasa aman,
misal aman dari kecelakaan dan keselamatan dalam melaksanakan pekerjaan.
Kebutuhan ini mengarah pada bentuk kebutuhan akan keamanan dan keselamatan
jiwa di tempat kerja pada saat mengerjakan pekerjaan pada waktu jam-jam
tertentu.
Selanjutnya, kebutuhan cinta dapat diartikan sebagai kebutuhan sosial
misalnya berteman, motivasi serta mencintai serta diterima dalam pergaulan
lingkungan kerjanya. Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan
tidak seorangpun manusia ingin hidup menyendiri. Kebutuhan ini terdiri dari:
1) Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di tempat ia bekerja
2) Kebutuhan akan perasaan dihormati. Karena manusia merasa dirinya
penting. Serendah rendahnya pendidikan dan kedudukan seseorang
tetap merasa dirinya penting.
3) Kebutuhan akan perasaan kemajuan
Manusia pada dasarnya tidak sanggup untuk menyenangi kegagalan.
Kemajuan di segala bidang merupakan keinginan dan kebutuhan yang
menjadi idaman setiap orang.
4) Kebutuhan akan perasaan ikut serta. Setiap karyawan akan merasa
senang jika diikutkan dalam berbagai kegiatan dan mengemukakan saran
atau pendapat pada pimpinan.
Adapun kebutuhan di tingkat penghargaan merupakan kebutuhan akan
pengakuan serta penghargaan prestise dari karyawan dan masyarakat
lingkungannya. Ideal pretise timbul karena adanya prestasi, meskipun tidak
selamanya demikian. Kemudian timbul pula kebutuhan kognitif berupa keinginan
tahu yang besar akan sesuatu. Selain itu secara alamiah, manusia terdorong juga
untuk mencari nilai estetik atau keindahan dalam hidupnya. Sedangkan kebutuhan
aktualisasi diri dipenuhi dengan menggunakan kecakapan, kemampuan,
ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat
memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan
diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan
pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh
manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang
dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi
kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek
yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih
bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi
pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya
yang lebih bersifat aplikatif.
2) Teori Mc. Clellandd’s Achievment/ teori motivasi berprestasi
Teori ini dikemukakan oleh David Mc. Clelland. Secara singkat teori ini
menyatakan bahwa karyawan mempunyai energi potensial. Bagaimana energi
dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang
dan situasi serta peluang yang tersedia. Energi akan dimanfaatkan oleh karyawan
karena didorong oleh; (1) kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, (2)
harapan keberhasilannya dan (3) nilai intensif yang terlekat pada tujuan.
Mc Clelland (dalam Hasibuan; 2005;111-113) mengelompokkan
kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah bekerja, yakni ;
a) Kebutuhan akan prestasi (Need For Achievment; n.A ch) Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. n.Ach ini akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreatifitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimiliki demi mencapai prestasi kerja yang optimal.
b) Kebutuhan Akan Afiliansi (needs for Afiliation;n.Af) Need for Afiliation menjadi daya gerak yang akan memotivasi semangat kerja seseorang, karena itu n.Af ini yang merangsang gairah kerja seseorang karyawan, sebab setiap energi mengidentifikasikan; (1) kebutuhan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia hidup dan bekerja (sense of belonging); (2) kebutuhan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of importance) (3) kebutuhan perasaan maju dan tidak ingin gagal (sense of Achievment) (4) kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation). Jadi, karena n.Af ini karyawan akan memotivasi dan mengembangkan dirinya sehingga akan semaksimal mungkin menyelesaikan tugas-tugasnya yang diembannya.
c) Kebutuhan akan kekuasaan (n.Pow) Kebutuhan ini akan mendorong orang untuk mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik dalam organisasi. Karena faktor inilah persaingan antar karyawan sering timbul.
Ketiga point motivasi berprestasi di atas menunjukkan bahwa keinginan
atau dorongan yang timbul dari seseorang adalah untuk memacu semangat kerja
agar meraih sesuatu yang positif dalam kariernya, dihargai oleh pihak
perusahaan/organisasi karena dinilai telah memberikan seluruh kemampuan yang
dimiliki demi kemajuan perusahaan/organisasi. Motivasi berprestasi menjadi
semacam kekuatan pendorong yang ada pada diri seseorang untuk mencapai
keberhasilan atau kesuksesan.
Beberapa orang mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil.
Mereka bergulat untuk prestasi pribadi bukanya untuk ganjaran sukses semata-
mata. Mereka mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan baik atau lebih
efisien daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan kata kebutuhan akan
prestasi (need for achievement), adalah situasi dimana setiap orang dapat
mencapai tanggung jawab pribadi untuk menemukan pemecahan terhadap
problem-problem, dimana mereka mendapat umpan balik yang cepat atas kinerja
mereka sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka
menjadi lebih baik atau tidak, dan dimana mereka dapat menentukan tujuan-
tujuan yang sedang sedang tantangannya.
Kebutuhan kedua yang dipencilkan oleh McClelland adalah pertalian atau
afiliasi (need for affiliation). Yaitu hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh
orang-orang lain. Individuindividu dengan motif afiliasi yang tinggi berjuang
keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada situasi
kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan yang sangat melibatkan derajat
pemahaman timbal-balik yang tinggi.
Kebutuhan akan kekuasan (need for power) adalah hasrat untuk
mempunyai dampak, berpengaruh, dan mengendalikan orang-orang lain.
Individu-individu dengan kekuasaan yang tinggi menikmati untuk dibebani,
bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditaruh ke dalam
situasi kompetitif dan berorientasi-status, dan cenderung lebih peduli akan
prestise (gengsi) dan memperoleh pengaruh terhadap orang-orang lain daripada
kinerja yang efektif. Orang-orang yang memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi
terhadap kekuasaan lebih menyukai situasi dimana mereka dapat memperoleh dan
mempertahakan kendali sarana untuk mempengaruhi orang lain. Mereka suka
berada dalam posisi memberikan saran dan pendapat, serta membicarakan orang
lain sebagai alat. Dengan cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan akan
kekuasaan
Sebagai catatan, teori ini juga mengemukakan bahwa setiap orang
memiliki semua kebutuhan itu dalam kadar tertentu. Tetapi, tidak ada dua orang
yang sama memiliki semua kebutuhan itu dalam proporsi yang sama. Sebagai
contoh, seseorang mungkin memiliki kebutuhan untuk berprestasi dengan kadar
tinggi tetapi rendah kadar kebutuhan afiliasinya. Orang lain mungkin memiliki
kebutuhan berafiliasi dengan kadar tinggi, tetapi rendah kadar kebutuhannya
untuk berkuasa
3) Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg
Teori motivasi dua faktor ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg.
Pada dasarnya, teori ini berhubungan dekat dengan hierarki kebutuhan Maslow.
Hanya saja, Teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk
karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori
motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya.
Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow,
khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan.
Lebih jelasnya teori dua faktor Herzberg (Herzberg’s Two Factor Theory)
yang dikutip oleh Luthans (2008 : 160) sebagai berikut :
Tabel 1. Teori dua faktor Herzberg
Faktor Higienis Motivator
Kebijakan dan administrasi perusahaan Prestasi
Pengawasan, teknis Penghargaan
Gaji Pekerjaan itu sendiri
Hubungan antar pribadi, penyelia Tanggung jawab
Kondisi kerja Kemajuan
Secara singkat, Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi
kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor higienis dan motivator. Faktor higienis
pada intinya bersifat alamiah yang apabila kondisi ini tidak tersedia membuat
orang merasa tidak puas, tapi bila kondisi ini tersedia tidak akan memotivasi
orang untuk bekerja lebih baik. Dengan kata lain, Faktor higienis merupakan
persyaratan minimum untuk terbebas dari rasa tidak puas, seperti: upah minimum,
rasa aman dalam bekerja, suasana kerja yang menyenangkan, status yang jelas,
prosedur yang jelas, mutu pengawasan teknis yang kontinyu, suasana hubungan
antar manusia yang menyenangkan.
Selanjutnya, faktor motivator akan lebih mendorong motivasi kerja serta
lebih meningkatkan produktivitas kerja, tapi apabila tidak tersedia, tidak akan
menimbulkan rasa ketidak-puasan yang berlebihan atau sampai merusak situasi
kerja, seperti: kesempatan untuk mencapai prestasi kerja yang terbaik
(achievement), pengakuan atas prestasi yang dicapai (recognition), pemberian
tanggung jawab penuh atas tugas yang diberikan (responsibility), kesempatan
untuk terus mencapai kemajuan dalam pekerjaan (advancement), kesempatan
untuk terus berkembang dalam karier (growth), kesesuaian jenis pekerjaan dengan
kemampuan yang dimiliki (work)
4) Teori Harapan Vroom
Teori harapan menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh
keyakinan-keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya-kinerja, dan
didambakannya berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat
kinerja yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut
berlandaskan logika: "Orang-orang akan melakukan apa yang dapat mereka
lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk melakukannya".
Skema mengenai teori harapan oleh Vroom digambarkan oleh Luthans
(2008;286) sebagai berikut:
Gambar 2. Teori Harapan Vroom tentang motivasi kerja, atau VIE
Arti valensi dapat dijelaskan sebagai kekuatan preferensi individu untuk
hasil akhir tertentu seperti nilai, sikap, dan utilitas yang diharapkan. Agar valensi
KEKUATAN MOTIVASIONAL F = Valensi x Harapan
INSTRUMENTALITAS HARAPAN
Hasil 1 Hasil 1b
Hasil 2c
Hasil 2b
Hasil 2c
Hasil 1a
Hasil 2
Hasil level
Hasil Level Pertama
Hasil Level Kedua
menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak
memperolehnya sama sekali. Input utama dalam valensi adalah instrumen dari
hasil level pertama untuk memperoleh hasil level kedua yang diinginkan.
Misalnya, orang akan termotivasi terhadap kinerja superior karena keinginan
untuk dipromosikan. Kinerja superior (hasil level pertama) dinilai sebagai
instrumen untuk memperoleh promosi (hasil level kedua). Sedangkan variabel
lain adalah harapan yang menghubungkan usaha dengan hasil level pertama,
sementara instrumentalitas menghubungkan hasil level pertama dengan level
kedua.. Instrumentalitas mengacu pada tingkat dimana hasil level pertama akan
mengakibatkan hasil level kedua yang diinginkan.
Lebih lanjut, terkait implikasi model pada perilaku organiasasi, Luthans
(2008;287) menjelaskan: ”Teori Vroom berasal dari teori kepuasan yang
menggambarkan proses variabel kognitif yang mencerminkan perbedaan individu
dalam motivasi kerja”. Artinya sebagai suatu model, teori harapan mengenali
bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi dari semua
orang. Di samping itu, hanya karena kita memahami kebutuhan apakah yang
dicari seseorang untuk dipenuhi tidaklah memastikan bahwa individu itu sendiri
mempersepsikan kinerja tinggi sebagai penghantar ke pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan ini
Dalam istilah yang lebih praktis, teori ini beragumen bahwa kekuatan dari
suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada
kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu
keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan
tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar kesuatu
penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-
ganjaran organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi dan ganjaran
itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan tersebut.
Jadi, dapat simpulkan teori harapan Vroom dapat menjelaskan mengapa
banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata
melakukan yang minimum yang diperlukan untuk menyelamatkan diri. Kunci ke
teori harapan adalah pemahaman dari tujuan-tujuan seorang individu dan tautan
antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran, dan akhirnya antara
ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual.
e. Faktor-faktor Motivasi kerja
Dalam suatu organisasi keberadaan sumber daya manusia perlu diperhatikan,
karena manusia adalah sumber daya yang memiliki potensi yang harus dikembangkan
dan digunakan sebaik-baiknya bagi kemajuan organisasi. Pada dasarnya kepuasan
kerja merupakan hal yang bersifat individu dan setiap individu dakan memiliki
tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem niai-nilai yang berlaku
pada dirinya
Terkait akan hal tersebut, maka motivasi kerja merupakan unsur yang sangat
penting, karena pada prinsipnya orang akan melakukan sesuatu dengan lebih banyak
dan baik apa yang mereka nikmati dan lebih sedikit daripada apa yang mereka tidak
nikmati. Mengenai hal ini, Gomes (1997;177) mengemukakan :
motivasi itu melibatkan faktor individual dan faktor-faktor eksternal organisasional. Yang tergolong pada faktor-faktor yang sifatnya individual adalah : kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan (goals), sikap (attitudes) dan kemampuan (abilities). Sedangkan yang tergolong pada faktor-faktor yang berasal dari organisasi meliputi pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama pekerja (co workers), pengawasan (supervision), pujian (praise) dan pekerjaan itu sendiri (job itself). Menyimak apa yang disampaikan Gomes tesebut di atas, maka sumber daya
manusia merupakan sumber keunggulan kompetitif bagi organisasi serta menjadi
faktor penentu akhir kinerja organisasi. Sebaliknya pula, bagi pekerja, memberikan
kinerja yang maksimal dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual yang
mereka miliki. Artinya, terdapat beberapa hubungan dinamis dan saling bersinergis
antara kepentingan yang bersifat individual dan organisasional.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat motivasi kerja sebagai berikut :
a) Minat atau perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap motivasi
seseorang merasa bahwa minat atau perhatiannya sesuai dengan jelas sifat
dan pekerjaan yang dilakukan maka akan meningkatkan motivasi
kerjanya.
b) Faktor upah / gaji yang tinggi dapat dipandang sebagai faktor yang dapat
mempertinggi motivasi kerja.
c) Faktor status sosial dari pekerjaan dapat mempengaruhi motivasi kerja.
Pekerjaan yang mendapat status sosial/posisi yang tinggi atau baik.
d) Faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang lebih sehingga
setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat
mempertinggi motivasi kerja.
2. Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin
Jenis kelamin, suatu pembedaan saling mencolok yang secara tegas membagi
manusia dalam dua kelompok, yakni laki-laki dan perempuan. Pembedaan berdasarkan
jenis kelamin ini mengacu pada atribut fisik yang diterima secara biologis. Di lain pihak,
seks tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun kategori sosial yang disebut
gender: atribut sikap (attitude). Dan perilaku (behaviors) yang dikonstruksi secara sosial
untuk melahirkan dua kategori yang dikotomis yaitu femenin dan maskulin.
Secara sederhana, jenis kelamin membentangkan jarak perbedaan fisik antara
laki-laki dan perempuan, sedangkan gender berdiri sebagai atribut sosial yang melekat
pada jenis kelamin tersebut. Implikasi selanjutnya, timbul peranan yang menentukan
wilayah aktivitas perempuan berada di dalam wilayah domestik yang dekat dengan sifat-
sifat feminitasnya. Sedangkan sifat maskulinitas yang dimiliki laki-laki memungkinkan
mereka cocok untuk melakukan pekerjaan disektor publik sebagai pencari nafkah dan
pelindung keluarga.
Megawangi ( 2001; 94-108) memaparkan bahwa ada dua argumen yang saling
bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada pria dan wanita.
Penulis merangkumnya sebagai berikut :
a. Mahzab Essensial Biologis (Biological Essentialism)
Pemikiran essensial biologis ini memuat konsep nature yang membedakan
antara pria dan wanita (sex). Mahzab ini percaya bahwa perbedaan sifat
maskulin dan feminin ada hubungannya, bahkan tidak lepas dari, pengaruh
perbedaan biologis (seks) pria dan wanita. Keadaan biologis manusia
dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia.
b. Mahzab Orientasi Kultur (Culturally Oriented Constentants)
Pemikiran Orientasi Kultur membawa pengertian gender sebagai konsep
nurture. Pemikiran ini percaya bahwa pembentukan sifat maskulin dan
feminin bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara pria dan
wanita, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Sifat maskulin
dan feminin dikonstruksi oleh sosial budaya melalui sosialisasi.
Selanjutnya, Moore dan Sinclair (dalam Sunarto, 2000;117) mengidentifikasikan
dua macam segresi jenis kelamin dalam angkatan kerja ;vertikal dan horizontal.
Segresi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi. Seperti misalnya jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak, perawat, kasir dan lain sebagainya. Segresi horizontal, dipihak lain, mengacu pada kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenjang pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki.
Dilandaskan orientasi peran gender yang sudah ditetapkan selama ini, tentu akan
sangat sukar untuk melaksanakan tugas yang memiliki sifat berbeda dengan tugas yang
selama ini dilakukan misalnya laki-laki harus mengurus rumah tangga dan perempuan
bekerja mencari nafkah. Perubahan dalam dunia kerja saat ini yang menunjukkan
semakin banyaknya angkatan kerja perempuan yang memasuki dunia pekerjaan yang
selama ini didominasi oleh laki-laki. Sebaliknya, adapula dunia kerja yang telah
diidentifikasikan sebagai pekerjaan perempuan telah turut diminati oleh kaum laki-laki.
Meskipun demikian, dari aspek psikologi sosial, pembedaan peran gender masih
terjadi. Faktor sejarah yang begitu panjang serta fakta bahwa individu memiliki
komponen psikologis dan sosial dari kedua jenis kelamin, streotipe yang berdasar gender
ini terus berlanjut meski saat ini telah memasuki era modern. Dengan kata lain,
walaupun saat ini makin banyak wanita yang bekerja diluar rumah, kesamaan yang utuh
dalam dunia kerja tidak lantas begitu saja terjadi. Mengenai hal ini diutarakan Cejka dan
Eagly (dalam Baron dan Byrne, 2004 ;197) yang menyatakan bahwa :
“..., di tempat kerja, gender dan peran gender tetaplah menjadi isu sentral. Sebagai contoh, pekerjaan yang dipersepsikan sebagai maskulin atau feminin, dan kesuksesan yang dipersepsikan tergantung pada atribut maskulin (berani, kompetitif, matematis) dalam pekerjaan maskulin dan atribut feminin (cantik, bekerjasama, intuitif) dalam pekerjaan feminin.
Dari paparan di atas, maka peran gender merupakan persoalan yang terjadi dalam
segala konteks kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat pada dasarnya
dibentuk oleh interaksi anggota yang terdiri dari dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan
perempuan. Begitu pula dalam hal bekerja, faktor jenis kelamin dapat turut
mempengaruhi seberapa jauh tingkat motivasi individu dalam bekerja
3. Konsepsi Dasar Perawat
a. Definisi Perawat dan keperawatan
Ketika berbicara mengenai dunia keperawatan, yang pertama kali perlu
dipahami adalah dua konsep mengenai perawat (nurse) dan keperawatan (nursing).
Kata “perawat“ merujuk pada orang atau pelaku dari kegiatan perawatan. Menurut
Aziz (2007;3) keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat
professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial
dan spritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga atau masyarakat dalam
rentang sehat-sakit. Artinya keperawatan merupakan pengabdian kepada manusia dan
kemanusiaan. Dengan kata lain, upaya keperawatan menjadi cara untuk menolong
sesama baik sakit maupun sehat, agar mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya.
Tentunya pelayanan keperawatan tidak secara sembarang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang keperawatan. Namun, proses
keperawatan ini berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang mengintegrasikan
sikap, kemampuan intelektual, serta keterampilan teknikal dari pendidikan
keperawatan yang ditempuhnya. Seperti yang yang telah disepakati pada lokakarya
nasional kelompok kerja keperawatan konsorsium ilmu kesehatan tahun 1983 (dalam
Aziz, 2007;14) di Jakarta, maka pemahaman mengenai definisi keperawatan dapat
dilihat sebagai berikut;
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan biopsikososial dan spritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Berpijak pada definsi di atas, maka keperawatan merupakan rangkaian
kegiatan pelayanan secara menyeluruh terhadap individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah
upaya untuk mencapai derajat atau tingkatan kesehatan semaksimal mungkin.
Sedangkan makna profesional sendiri mengacu pada proses keperawatan sebagai
metode ilmiah yang tentunya tidak lepas dari kerjasama dengan tim kesehatan
lainnya. Sehingga, keperawatan yang dapat dikatakan profesional adalah ketika
dijalankan oleh individu yang menguasai kiat-kiat atau ilmu keperawatan, yakni yang
berkenaan dengan masalah-masalah fisik, psikologis, sosiologis, budaya dan spiritual.
Atas dasar pelayanan profesional, maka sudah semestinya praktek
keperawatan yang diberikan pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dilaksanakan
menggunakan metodologi pemecahan masalah melalui pendekatan proses
keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika
keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya.
Terkait dengan itu, kemampuan dalam keperawatan yang dapat
dipertanggungjawabkan diserahkan pada profesi perawat. Seperti profesi lainnya
profesi perawat dapat diperoleh melalui wadah pendidikan formal. Seperti yang
terurai dalam AD ART PPNI, perawat adalah seseorang yang telah menempuh serta
lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikan telah
disahkan oleh pemerintah (AD ART PPNI dalam Aziz, 2007;139). Dengan demikian,
cakupan kepentingan yang sangat luas dalam kehidupan manusia terkait keperawatan
dapat lebih terjamin. Sehingga tujuan menyehatkan masyarakat serta merta dapat
terlaksana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perawat (nurse) adalah orang
yang melakukan kegiatan perawatan, sedangkan keperawatan (nursing) merupakan
bentuk-bentuk bantuan dan pelayanan atau lingkup kegiatan yang dilakukan oleh
seorang perawat.
b. Tugas-Tugas Keperawatan
Agar dapat memahami konsepsi dasar keperawatan perlu kita ketahui secara
umum hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab perawat dalam menjalani
pekerjaannya. Terkait ini, maka Griffith (dalam Tjandra; 2002, 67-68) menguraikan
tugas-tugas keperawatan sebagai berikut :
Pelayananan keperawatan punya lima tugas, yaitu : 1) Melakukan kegiatan promosi kesehatan, termasuk kesehatan emosional
dan sosial. 2) Melakukan upaya pencegahan penyakit dan kecacatan 3) Menciptakan keadaan lingkungan, fisik, kognitif dan emosional
sedemikian rupa yang dapat membantu penyembuhan penyakit. 4) Berupaya meminimalisasi akibat buruk dari penyakit 5) Mengupayakan kegiatan rehabilitasi.
Menyimak kelima point di atas, maka ditegaskan kembali bahwa memang
peran atau tugas keperawatan tidak hanya urusan kesehatan fisik semata, akan tetapi
seluruh kondisi kemanusiaan yang dimiliki pasien. Hal ini dikarenakan cara
seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat pada keyakinan terhadap
kesehatan dan cara melak¬sanakannya. Contoh, seseorang dengan kondisi jantung
yang kronik merasa bahwa tingkat kesehatan mereka berbeda dengan orang yang
tidak pernah mempunyai masalah kesehatan yang berarti. Akibatnya, keyakinan
terhadap kesehatan dan cara melaksanakan kesehatan pada masing-masing orang
cenderung berbeda-beda. Selain itu, individu yang sudah berhasil sembuh dari
penyakit akut yang parah mungkin akan mengubah keyakinan mereka terhadap
kesehatan dan cara mereka melaksanakannya
Artinya, faktor emosional sangat mempengaruhi keyakinan terhadap
kesehatan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respons stres dalam
setiap perubahan hidupnya cenderung berespons terhadap berbagai tanda sakit,
mungkin dilakukan dengan cara mengkhawa¬tirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang
mungkin mempunyai respons emosional yang kecil selama ia sakit.
Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional
terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada
dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan. Contoh: seseorang dengan napas yang
terengah-engah dan se¬ring batuk mungkin akan menyalahkan cuaca dingin jika ia
secara emosional tidak dapat menerima kemungkinan menderita penyakit saluran
pernapasan. Banyak orang yang memiliki reaksi emosional yang berlebihan, yang
berlawanan dengan kenyataan yang ada, sampai-sampai mereka berpikir tentang
risiko menderita kanker dan akan menyangkal adanya gejala dan menolak untuk
mencari pengobatan. Ada beberapa penyakit lain yang dapat lebih diterima secara
emosional, sehingga mereka akan mengakui gejala penyakit yang dialaminya dan
mau mencari pengobatan yang tepat.
Dari paparan yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa
konsepsi perawat adalah peran keperawatan yang dijalankan perawat dengan tujuan
meningkatkan taraf kesehatan bagi masyarakat. Secara teknis perawat berupaya
memulihkan rasa sakit yang dialami pasien. Sakit disini adalah keadaan terganggunya
fisik, emosional, intelektual, sosial. Dalam rangka mengatasi keadaan sakit yang
dialami pasien ini, maka sistem pelayanan kesehatan menempatkan perawat sebagai
elemen penting bagi proses pemulihan. Bersama dengan petugas kesehatan lainnya,
Perawat berupaya dalam setiap pekerjaannya agar rehabilitasi kesehatan bagi pasien
dapat terlaksana dengan baik.
c. Keperawatan Di Rumah Sakit
Dalam usaha mencapai taraf sehat yang diinginkan, maka ada banyak pilihan
tempat untuk memenuhinya. Adapun tempat tersebut diistilahkan sebagai lembaga
pelayanan kesehatan, yakni tempat pemberian pelayanan pada masyarakat dalam
rangka meningkatkan status kesehatan. Menurut Hidayat (2007; 74), Variasi lembaga
pelayanan kesehatan ini antara lain berupa; rawat jalan, institusi, hospice dan
community based agency.
Rawat jalan dapat dilaksanakan pada klinik-klinik kesehatan, seperti klinik
dokter spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain-lain. Sedangkan bentuk Institusi
berupa rumah sakit, pusat rehabilitasi dan lain-lain. Kemudian Hospice adalah bentuk
pelayanan kesehatan yang diberikan secara khusus pada klien yang sakit terminal
sehingga perlu mendapatkan perawatan lebih intensif. Lembaga ini biasanya
digunakan dalam home care. Untuk lembaga terakhir, community based agency
merupakan bagian dari lembaga pelayanan kesehatan yang dilakukan pada klien pada
keluarganya sebagaimana pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawatan
keluarga dan lain-lain.
Demikian pula dengan perawat yang tidak hanya memiliki satu peluang kerja
di satu tempat saja. Namun, terdapat beberapa wilayah kerja yang bisa dimasuki oleh
profesi ini. Perawat bisa bekerja di puskesmas, posyandu, atau rumah sakit. Setiap
tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga
kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-
aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya.
Dalam wilayah kerja perawat di rumah sakit, James Willan dalam buku
Hospital management (dalam Tjandra, 2002 ;84) menyebutkan bahwa Nursing
Departement di Rumah sakit mempunyai beberapa tugas, seperti ;
1) Memberikan pelayanan keperawatan pada pasien, baik untuk kesembuhan ataupun pemulihan status fisik dan mentalnya.
2) Memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan dan keamanan pasien, seperti penataan tempat tidur dan lain lain.
3) Melakukan tugas-tugas administratif 4) Menyelenggarakan pendidikan keperawatan berkelanjutan 5) Melakukan berbagai penelitian/riset untuk senantiasa menghasilkan mutu
pelayanan keperawatan. 6) Berpartisipasi aktif dalam program pendidikan bagi para calon perawat.
Nursing apatement di sini dapat dipahami sebagai sebuah badan yang
terorganisir dalam bidang keperawatan. Dalam Garis struktur organisasi rumah sakit
di indonesia, ini biasanya disebut sebagai bidang asuhan dan pelayanan keperawatan.
Bidang ini adalah sebagai pengelola Perawat dalam memantau dan menjamin kualitas
Asuhan atau pelayanan Keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem
pelayanan di rumah sakit. Lebih lanjut mengenai ruang kerja keperawatan di rumah
sakit, Djojodibroto (1997;93) berpendapat bahwa “pelayanan medis/perawatan
dilakukan di unit rawat jalan, unit darurat gawat, unit rawat inap, unit perawatan
intensif, unit bedah, kamar bersalin”.
Sedangkan ruang lingkup keperawatan di bidang administrasi dapat diberi
batasan sebagai suatu bidang studi dalam keperawatan yang berfokus pada
pengelolaan pelayanan keperawatan yang terorganisir. Dalam memenuhi keperluan
keperawatan pasien secara keseluruhan, nursing administration harus dapat
memelihara dan menjamin bahwa pelayanan keperawatan dilaksanakan secara efektif
dan efisien.
Sementara itu John Griffith (dalam Tjandra,2002;85-86) menyatakan bahwa
keperawatan di rumah sakit dapat dibagi menjadi keperawatan klinik dan manajemen
keperawatan. Kegiatan keperawatan klinik antara lain terdiri dari :
1) Pelayanan keperawatan personal (Personal Nursing Care) yang antara lain berupa pelayanan keperawatan umum dan atau spesifik untuk sistem tubuh tertentu, pemberian motivasi dan dukungan emosi pada pasien, pemberian obat dan lain-lain.
2) Berkomunikasi dengan dokter dan petugas penunjang medik, mengingat perawat selalu berkomunikasi dengan pasien setiap waktu sehingga merupakan petugas yang seyogyanya paling tahu tentang keadaan pasien.
3) Berbagai hal tentang keadaan pasien ini perlu dikomunikasikan dengan dokter dan petugas lain.
4) Menjalin hubungan dengan keluarga pasien, komunikasi yang baik dengan keluarga, kerabat pasien akan membantu proses penyembuhan pasien itu sendiri. Keluarga perlu mendapat kejelasan sampai batas tertentu tentang keadaan si pasien dan berpartisipasi aktif dalam proses penyembuhannya.
5) Menjaga lingkungan bangsal tempat perawatan, dalam hal ini perlu diingatkan bahwa dulu Florence Nightingale dan teman-temannya secara langsung mengepel dan menyikat lantai bangsal perawatan tempat mereka bekerja. Kini situasinya mungkin telah berubah, tetapi perawat tetap bertanggung jawab terhadap lingkungan bangsal perawatan pasien, baik lingkungan fisik, mikrobiologik, keamanan dan lain-lain.
6) Melakukan penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit. Program ini dapat dilakukan pada pasien dengan materi spesifik sesuai penyakit yang dideritanya. Tetapi dapat juga diberikan pada pengunjung rumah sakit secara umumnya, bahkan masyarakat di luar dinding rumah sakit sekalipun.
Perawat dalam memberikan Asuhan Keparawatan secara langsung atau tidak
langsung kepada Klien sebagai Individu, Keluarga dan Masyarakat, dengan metoda
pendekatan pemecahan masalah yang sesuai dengan segenap kemampuan yang
dimiliki. Perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada klien. Selain
itu, perawat mampu melindungi dan menjamin hak dan kewajiban Klien. Perawat
juga bertindak sebagai penghubung antara klien dengan anggota Kesehatan lainya.
Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan Perawat mendampingi Klien sebagai
pemberi Asuhan Keperawatan selama 24 jam. Sehingga keperawatan pada akhirnya,
mampu mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh pasien agar sembuh dan
dapat berfungsi normal
Kemudian mengenai manajemen keperawatan di rumah sakit, John Griffith
(dalam Tjandra, 2002;86) menguraikan tugas keperawatan sebagai berikut :
1) Penanganan administratif, antara lain dapat berupa pengawasan masuknya pasien ke rumah sakit (patient admision), pengawasan pengisian dokumen catatan medik dengan baik, membuat penjadwalan proses pemeriksaan /pengobatan pasien dan lain-lain.
2) Membuat penggolongan pasien sesuai berat ringan penyakit dan kemudian mengatur kerja perawat secara optimal pada pasien sesuai kebutuhan masing-masing.
3) Memonitor mutu pelayanan pada pasien baik pelayanan keperawatan secara khusus maupun pelayanan lain secara umumnya.
4) Manajemen ketenagaan dan logistik keperawatan. Kegiatan ini meliputi staffing, schedulling, assignment dan budgeting.
Menyimak tugas-tugas di atas, bisa dijeleaskan bahwa manajemen
keperawatan merupakan suatu tugas khusus bagi pengelola keperawatan untuk
merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan serta mengawasi sumber – sumber
yang ada, baik sumber daya maupun dana sehingga dapat memberikan pelayanan
keperawatan yang efektif baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat.
Manajemen keperawatan dilandaskan perencanaan karena melalui fungsi
perencanaan, pimpinan dapat menurunkan resiko pengambilan keputusan, pemecahan
masalah yang efektif dan terencana. Manajemen keperawatan dilaksanakan melalui
penggunaan waktu yang efektif. Manajer keperawatan yang menghargai waktu akan
menyusun perencanaan yang terprogram dengan baik dan melaksanakan kegiatan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Seperti organisasi lainnya, di rumah sakit juga dilakukan Pengembangan staf.
Ini penting untuk dilaksanakan sebagai upaya persiapan perawat – perawat pelaksana
menduduki posisi yang lebih tinggi atau upaya manajer untuk meningkatkan
pengetahuan karyawan. Kemudian proses Pengarahan merupakan elemen kegiatan
manajemen keperawatan yang meliputi proses pendelegasian, supervisi, koordinasi
dan pengendalian pelaksanaan rencana yang telah diorganisasikan.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keperawatan di rumah
sakit mencakup dua fungsi penting. Pertama menyangkut hal teknis yang
berhubungan dengan praktek atau tindakan medis yang mengarahkan pada
pencapaian kesehatan yang optimal bagi pasien. Artinya, kinerja yang baik dari
perawat mempunyai dampak langsung ke arah terciptanya proses keperawatan yang
baik pula. Kemudian yang kedua adalah manajemen keperawatan yang pada dasarnya
juga mengarah pada teknis keperawatan yang sesuai dengan yang diharapkan. Karena
dengan manejemen yang baik, yakni meliputi ; Penanganan administratif,
penggolongan pasien, memonitor mutu pelayanan pada pasien Manajemen
ketenagaan dan logistik keperawatan, maka mutu pelayanan keperawatan yang
dijalankan suatu rumah sakit akan lebih baik.
d. Keperawatan Dalam Perspektif Sosial-Budaya
Bidang kesehatan bukan hanya semata-mata berkaitan dengan unsur biologis
atau kedokteran, tetapi didalamnya.juga memiliki kaitan erat dengan unsur sosial-
budaya. Sosiologi yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan juga
mengambil bagian dalam ilmu kesehatan. Seperti yang diungkapkan Fauzi Muzaham
(1995;3) ;
Tujuan penerapan sosiologi dalam bidang kedokteran dan kesehatan antara lain untuk menambah kemampuan para dokter dalam melakukan penilaian klinis secara rasional, menambah kemampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dialami dalam praktek, mampu memahami dan menghargai perilaku pasien, kolega serta organisasi dan menambah kemampuan dan keyakinan dokter dalam menangani kebutuhan sosial dan emosional pasien, sebaik kemampuan yang mereka miliki dalam menangani gangguan penyakit yang diderita pasien. Dari pendapat di atas, maka tindakan medis dapat dilaksanakan secara efektif
manakala yang dipertimbangkan baik faktor biologis maupun faktor sosial dan
psikologis. Sehingga mulailah dikajinya peran faktor sosial-budaya dalam
keberhasilan pelaksanaan tugas medis dan menjadi dasar bagi tumbuh dan
berkembangnya sosiologi dalam kesehatan.
Selain dikarenakan lembaga kesehatan yang menjalankan sistem
keorganisasian, yang berarti terdapat interaksi antara satu peran dengan yang lain,
perilaku pasien yang mengalami sakit juga berangkat dari keadaan sosial yang unik.
Maksudnya adalah terdapat pola perilaku atas keadaan sakit yang berbeda-beda setiap
pasien yang datang ke sebuah lembaga kesehatan. Mengenai individu yang memiliki
persepsinya masing-masing mengenai taraf kesehatan ini, diungkapkan Sarwono
(1993;30) sebagai berikut:
Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit sifatnya tidaklah selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektifitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sakit/sehat ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu disamping unsur sosial budaya. Sebaliknya, petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang obyektif berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang”. Dari pendapar di atas, dapat diterangkan bahwa unsur subyektifitas mengenai
pandangan sakit adalah persepsi pribadi, yang berarti tidak bisa untuk disama ratakan
dalam perlakuan penyembuhannya. Fenomena subyektifitas dapat ditandai dengan
gejala perasaan tidak enak dari orang yang mengalami sakit. Bisa jadi ini dikarenakan
salah satu organnya dirasakan tidak berfungsi dengan baik. Namun, sebaliknya
adapula yang merasakan keadaan baik-baik saja selama ia masih dapat bekerja atau
aktifitas keseharian lainnya, meskipun secara medis sebenarnya terdeteksi mengalami
penyakit. Jadi, dari kenyataan tersebut jelas terlihat bahwa sehat tidak hanya
menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang.
Salah satu aspek yang ada dalam kegiatan medis adalah asuhan keperawatan.
Hanya saja, peran keperawatan ini dianggap sebelah mata dalam lembaga pelayanan
kesehatan. Seperti yang diutarakan Capra (2007;179) ;
Perawat, meskipun seringkali sangat terlatih sebagai terapis dan pendidik kesehatan, dianggap sekedar sebagai asisten dokter dan hampir tidak bisa menggunakan potensinya secara penuh”. Karena pandangan biomedis yang sempit tentang sakit dan pola-pola kekuasaan patriarkhal dalam sistem perawatan kesehatan, peran penting yang dimainkan oleh perawat dalam proses penyembuhan melalui kontak manusia mereka dengan pasien tidak dikenali sama sekali.
Padahal, secara fakta, interaksi perawat dengan pasien lebih sering daripada
interaksi dokter dengan pasien. Melalui proses asuhan keperawatan, perawat
memperoleh pengetahuan tentang kondisi fisik dan psikologis pasien jauh lebih besar
daripada yang diperoleh oleh dokter. Hal ini menandakan bahwa perawat memiliki
peran cukup besar dalam pencapaian tujuan kesehatan terhadap masyarakat. Tanpa
perawat, tugas dokter akan semakin berat dalam menangani pasien.
Lebih jauh lagi, puas tidaknya pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan
bukan sekedar urusan medis yang ditangani dokter, akan tetapi sikap profesional
perawat. Sikap ini seperti memberikan perasaan nyaman, terlindungi pada diri setiap
pasien yang sedang menjalani proses penyembuhan. Perasaan nyaman dapat ini
terwujud ketika perawat mampu berkomunikasi dengan baik dan memahami
kebutuhan pasien, menunjukkan sikap ramah, memahami aspirasi pasien,
berkomunikasi yang baik dan benar serta bersikap dengan penuh simpati.
Selanjutnya, beralih pada tema perawat dalam konteks lapangan pekerjaan,
maka sejak zaman dahulu, maka Perawat hampir seluruhnya merupakan perempuan.
Hal ini dipertegas oleh pendapat Cockerham (1995;208), yakni :
notwithstanding that it is possible for men to engage in the profession of nursing, the nursing profession is often referred to as a female profession. While men are also involved in performing the duties of nursing, the social role of nurses is still very influenced by his identification as a function of nursing. Pendapat di atas dapat diterjemahkan : tanpa mengesampingkan bahwa tidak
tertutup kemungkinan bagi laki-laki untuk terlibat dalam profesi keperawatan, profesi
Perawat sering disebut sebagai profesi perempuan. Sementara laki-laki juga terlibat
dalam melakukan tugas-tugas keperawatan, peranan sosial perawat masih sangat
dipengaruhi oleh identifikasinya sebagai fungsi keperempuanan.
Jika dilihat makna yang paling sederhana perawat adalah orang yang merawat
orang sakit atau orang yang terluka, merawat disini dalam artian luas bukan “hanya
merawat” tetapi juga merawat, mendidik, dan mendukung perkembangan pemulihan
pasien. Bahkan ada yang mengistilahkan perawat adalah profesi yang berangkat dari
“mother instinct” naluri keibuan dimana perawat diibaratkan sebagai ibu yang
merawat anaknya bahkan ada yang mengilustrasikan lebih ekstrim perawat adalah
yang “menggantikan” fungsi dari pasien yang terganggu dan ketidakberdayaan.
Pasien yang lemah tidak bisa menggerakkan tubuh bahkan membalikan badannya
perawat yg menggantikan untuk membalikan, pasien yang tidak sadar sehingga tidak
bisa membersihkan dirinya maka perawat yang membersihkan.
Secara historis, sosial maupun kultural, identifikasi perawat ini sangat
beralasan karena perempuan memang memiliki karakter yang lembut dan teliti.
Tentunya seusai dengan profesi perawat yang menuntut pengawasan yang teliti dan
sensitif bagi pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, Peter E.S Freund (1995; 267)
mengungkapkan bahwa perempuan sebenarnya tidak cocok untuk menjadi dokter,
karena peran keperawatan sudah melekat dengan perempuan;
Early nursing was typically private care by an unpaid member of the family or a paid family helper. It was part of the domestic economy and inextricably linked with women’s roles. One of the founders of professional nursing, Florences Nightingale, wrote, “Every woman is a nurse” (1860;30). She also argued that women should not aspire to be doctors because nursing meshed with their “natural” abilities.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa pada awalnya, ilmu perawatan secara
khas adalah sebagai bentuk kepedulian pribadi oleh suatu anggota yang dibayar
ataupun tidak dibayar. Hal itu menjadi bagian dari ekonomi domestik dan
berhubungan dengan peran kaum wanita. Salah satu dari pendiri profesional
keperawatan, Florences Nightingale, menulis, "Semua perempuan adalah seorang
perawat". Dia juga berargumentasi bahwa mestinya perempuan tidak harus menjadi
dokter karena ilmu perawatan sudah melekat dengan kemampuan ”alami” mereka.
Ungkapan semua perempuan adalah perawat mengisyaratkan bahwa secara biologis,
sebenarnya perempuan telah memiliki kemampuan dasar sebagai perawat. Sebut saja
perempuan pekerja yang juga memainkan perannya sebagai ibu rumah tangga, seperti
memasak, mencuci dan lain sebagainya. Begitu pula dengan profesi perawat yang
mengharuskan mereka menjaga orang-orang sakit dengan baik dan penuh perhatian
sekalipun mungkin mereka sedang menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Terlebih bagi si pasien, perawat adalah obat penyembuh jiwa dan raga, yang berari
tidak sekedar butuh pendekatan ilmiah, tetapi aspek psikologis dapat membantu
kesehatan pasien membaik.
Kemudian, Sciortino Rosalia (1995;25) menegaskan tentang konsepsi
keperawatan memang tidak dapat dilepaskan dari ciri khas pekerjaan domestik yang
biasa dilakukan oleh kaum perempuan ;
“The reduction of nursing to a kind of domestic labour further contributed to its association with the female sphere. The conception of nursing as an activity of both sexes slowly changed into a theorization of nursing as a typical low-status feminine task..”
Jika diartikan maka pendapat tersebut berbunyi :Reduksi keperawatan yang
menuju pada jenis tenaga kerja domestik berkontribusi terbentuknya asosiasi sebatas
lapisan wanita. Konsepsi keperawatan sebagai aktifitas yang bisa dilakukan
perempuan atau laki-laki secara perlahan berubah menjadi teori keperawatan yang
bertipikal pada status rendah dari tugas feminin. Sehingga, konsepsi keperawatan
yang dimaksud dapat diasumsikan sebagai perpanjangan dari peran domestiknya.
Artinya, meskipun keperawatan telah diakui sebagai profesi dan terorganisir di ranah
publik, tetapi pandangan atau stereotip masyarakat tetap mengarahkannya pada
bidang pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan di rumah.
Hans Mauksh (dalam Cockerham, 1995:209) menunjukkan bahwa beberapa
bahasa yang digunakan di eropa, kata “sister” tidak hanya ditujukan untuk menyebut
biarawati, melainkan juga digunakan untuk menyebut Perawat”. Di Indonesia, kata
“suster” juga digunakan sebagai sebutan bagi perawat. Kata sebutan secara jelas
menunjukkan bahwa profesi Perawat identik dengan perempuan.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas, maka dapat diambil beberapa
simpulan mengenai perawat dan keperawatan dari tinjauan sosial-kultural, yakni,
pertama dari intensitas yang terjadi, maka profesi perawat memiliki kapasitas yang
cukup tinggi dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini dapat tercermin
dari proses asuhan keperawatan dimana perawat memperoleh pengetahuan lebih
dalam tentang kondisi fisik dan psikologis pasien. Kemudian yang kedua, stereotipe
masyarakat tetap menganggapnya sebagai bidang domestik perempuan, meskipun
profesi perawat telah berada pada ranah publik.
4. Dukungan Sosial
a. Pengertian Dukungan sosial
Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya selalu membutuhkan dan
dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal balik ini pada akhirnya akan menciptakan
hubungan ketergantungan satu sama lain. Seseorang tidak mungkin memenuhi
kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendiri. Individu membutuhkan dukungan
terutama dari orang-orang terdekat. Seperti yang diutarakan Taylor et al (1997; 232) :
Many other typologies of the benefits of social relations have also been developed, and they empasized what different functions served by personal relationship. Most noteworthy are analyses by researchers interested in has social relations contribute to a person’s mental and physical health. They use the term social support to refer to interpersonal exchanges in which one person gives help or asistance to another. taylor et al
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa terdapat banyak tipologi ilmu tentang
bentuk keuntungan-keuntungan dari hubungan sosial yang telah dikembangkan, dan
mereka menekankan perbedaan fungsi hubungan personal. Yang terpenting adalah
analisa yang dilakukan oleh peneliti yang tertarik terhadap peran hubungan sosial
yang mempengaruhi mental seseorang dan kesehatan fisiknya. Mereka menggunakan
istilah dukungan sosial untuk mengacu pada pertukaran hubungan antar pribadi di
mana seseorang memberi bantuan atau bimbingan yang lainnya. Dari pendapat para
ahli ini menandakan bahwa interaksi-interaksi yang dilakukan manusia dapat
membawa dampak pada kesehatan fisik maupun mentalnya. Artinya sebuah
hubungan sosial hakikatnya mempengaruhi kehidupan manusia secara personal.
Selain itu setiap hubungan sosial juga memiliki perbedaan fungsi antara bentuk
hubungan sosial yang satu dengan yang lainnya.
Peran hubungan sosial yang terkait dengan dukungan sosial memiliki definisi
yang beragam. Salah satunya diuraikan Kreiter dan Kinicki (1998;538) yang
menyatakan : “Social support is amount of perceived helpfulness derived from social
relationships. Importantly, social support is determined by both the quantity and
quality of an individual’s social relationships”. Pengertian tersebut dapat diartikan
bahwa dukungan sosial adalah segala bentuk bantuan yang dirasakan yang berasal
dari hubungan sosial. Dukungan sosial ditentukan oleh kuantitas dan kualitas
hubungan sosial seseorang. Artinya dalam setiap hubungan sosial yang dibangun
individu dengan orang lain, dapat dinilai mendukung atau tidak, tergantung individu
yang merasakannya. Dengan kata lain, dukungan sosial mengacu pada subyektifitas
dari suatu hubungan sosial.
Sedangkan Hollander (1971:21) menjelaskan definisi dukungan sosial dengan
pernyataan ;
Social support refers to favorable response a person secures from others which sustains his behavioral sequences. In this sense, support may be thought of as arising from signs of recognition and approval in terms of the “social reinforcement” received for valued actions and attitudes. Kalimat di atas dapat diartikan bahwa Dukungan sosial merujuk pada
tanggapan baik seseorang dari orang lain yang menopang urutan perilakunya. Dalam
hal ini, dukungan mungkin dibayangkan sebagai tanda-tanda yang timbul dari
pengakuan dan persetujuan dalam pengertian "penguatan sosial" yang diterima untuk
tindakan dan sikap yang dihargai. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa dukungan
sosial merupakan gejala-gejala positif yang dirasakan seseorang ketika melakukan
interaksi dengan orang lain, yang mana hal itu dapat memperkuat dirinya dalam
menghadapi permasalahan. Dengan kata lain, dukungan sosial selaras dengan
terciptanya hubungan sosial yang baik.
Sementara itu, Halonen dan Santrock (1999;508) menyatakan “social support
is information and feedback from others that one is loved and cared for, esteemed
and valued, and included in network of communication and mutual obligation”.
Kalimat tersebut dapat diartikan dukungan sosial adalah informasi dan masukan dari
orang lain, dimana ia merasa dicintai dan diperhatikan, berharga dan bernilai, dan ini
termasuk pula dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang saling
menguntungkan. Maksudnya di sini bahwa terdapat komunikasi yang baik dalam
setiap dukungan sosial yang diterima seseorang. Artinya, dukungan sosial lebih
mengarah pada pola komunikasi yang memberikan kekuatan bagi pribadi yang
bersangkutan. Sederhananya, saran dan masukan yang didapatkan dari orang yang
mengerti akan dirinya menjadi hal yang berharga untuk diri seseorang.
Lebih komprehensif, Gottlieb (dalam Armstrong et al, 2005;3)
mendefinisikan: “social support as verbal and non-verbal information or advice,
tangible aid, or action that is proffered by social intimates or inferred by their
presence and has beneficial emotional or behavioral effects on the recipients”.
Kalimat ini dapat diartikan dukungan sosial sebagai informasi verbal atau non verbal,
saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan orang-orang yang akrab
dengan subyek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal
yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara
emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya.
Selanjutnya dalam konteks situasi pekerjaan, Rahim (1996;4) dalam
penelitiannya menyatakan dengan definisi dukungan sosial sebagai berikut :
Social support can be defined as the availability of help in times of need from supervisor, coworkers, family members, and friends. Social support is hypotized to interact with stress such that when a person receives low levels of social support the correlation between stress and strain is significantly than when a person receives high levels of social support” Pernyataan tersebut di atas menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat
digambarkan sebagai ketersediaan bantuan yang dapat diperoleh setiap saat dari
penyelia, teman sekerja, anggota keluarga, dan para teman. Dukungan sosial ini dapat
dihipotesakan terkait dengan stres dan ketegangan, yang mana ketika seseorang
menerima dukungan sosial yang rendah akan cenderung mengalami stres dan
ketegangan dibanding ketika seseorang menerima dukungan sosial yang tinggi.
Sehingga dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa dukungan sosial dapat timbul baik dari
lingkungan kerja maupun lingkungan kerja. Ke dua sumber dukungan sosial ini
berperan dalam menetralisir konsekuensi kerja yang dapat saja menimbulkan stres
dan ketegangan. Dengan kata lain, hubungan sosial yang kurang baik (banyak
pertentangan) jauh lebih banyak mempengaruhi kekurangan dukungan yang dirasakan
daripada tidak ada hubungan sosial sama sekali. Adapun dukungan sosial ini dapat
berupa bantuan emosional seperti mendengarkan berbagai keluhan, perasaan empati
atau pendampingan dalam memecahkan masalah.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
adalah tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian
informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya. Dukungan sosial tersebut sangat berpengaruh bagi individu dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan
pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial secara
luas didefinisikan sebagai tersedianya atau adanya hubungan yang bersifat menolong
dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya. Definisi ini juga
memberikan pengertian adanya ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif dimana
hubungan antar individu baik yang bersifat horizontal maupun vertikal memiliki
ikatan positif yang menyenangkan.
b. Sumber-sumber dukungan sosial
Sumber-sumber dukungan sosial (social support) banyak diperoleh dari
lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan
sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan
aspek yang penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan
pemahaman tersebut, seseorang akan tahu kepada siapa ia akan mendapatkan
dukungan sosial sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga
dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.
Menurut Rook dan Dooley (1985:9) ada dua sumber dukungan sosial yaitu
sumber artifisial dan sumber natural. Dukungan sosial yang natural diterima
seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-
orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak,istri, suami dan
kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non-formal. Sementara
itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang
dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat
bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.
Sumber dukungan sosial yang bersifat natural berbeda dengan sumber
dukungan sosial yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal. Perbedaan tersebut
terletak dalam hal sebagai berikut:
1) Keberadaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-
buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan
2) Sumber dukungan sosial yang natural memiliki kesesuaian dengan norma
yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan
3) Sumber dukungan sosial yang natural berakar dari hubungan yang telah
berakar lama
4) Sumber dukungan sosial yang natural memiliki keragaman dalam
penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang-barang nyata
hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam
5) Sumber dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan label psikologis
c. Bentuk-bentuk dukungan sosial
Menurut Wan (1996;503), dukungan sosial dibagi menjadi 4 jenis, yakni;
emotional support, companionship support, material support, dan informational
support. Secara singkat penulis akan merangkumnya sebagai berikut :
1) Emotional support
Bentuk dukungan ini adalah dengan diterimanya seseorang dalam suatu
masyarakat atau kelompok sebagaimana adanya dirinya dan apa pun
pengalamannya. Dukungan ini umumnya berasal dari keluarga dan teman
karib.
2) Companionship support
Bentuk dukungan ini adalah dengan membantu seseorang mengatasi masalah
atau dengan menimbulkan perasaan positif dalam diri seorang. Dukungan ini
umumnya diberikan teman dekat ataupun tetangga.
3) Material support
Bentuk dukungan ini adalah dengan menyediakan bantuan keuangan ataupun
barang-barang yang dapat membantu perekonomian seseorang. Dukungan ini
umumnya diberikan oleh orang yang mempunyai uang atau materi
4) Informational support
Bentuk dukungan ini adalah dengan memberikan pengetahuan yang dapat
membantu individu atau seseorang untuk meningkatkan efisiensi mereka
dalam merespon atau memberikan solusi atas permasalahannya.
Sedangkan House (dalam Rita Andarika, 1994;4) membedakan empat macam
dukungan sosial, yaitu:
1) Dukungan emosional. Individu membutuhkan empati dari orang lain.
2) Dukungan penghargaan. Individu membutuhkan penghargaan yang positif,
penilaian atas usaha-usaha yang dilakukan, dan peran sosial yang terdiri atas
umpan balik.
3) Dukungan informatif. Individu membutuhkan nasehat, pengarahan, saran-saran
untuk mengatasi masalah pribadi maupun masalah pekerjaan.
4) Dukungan instrumental. Individu membutuhkan bantuan berupa benda, peralatan
atau sarana guna menunjang kelancaran kerja.
Sementara itu, Cohen & Syme, (1985:11) juga mengklasifikasikan dukungan
sosial dalam empat kategori yaitu :
1) Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala
sesutau yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh
individu. Dukungan ini meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan atau
penjelasan bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam menghadapi
situasi yang dianggap membebani.
2) Dukungan emosional, yang meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan,
bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan,
mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. Dukungan emosional
akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan
disayangi.
3) Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung,
bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan,
meminjamkan uang, memberikan makanan, permainan atau bantuan yang
lain.
4) Dukungan appraisal atau penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian
yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, umpan balik
atau menunjukkan perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang
yang sedang dalam keadaan stres.
Pada dasarnya, seseorang membutuhkan bantuan dalam penentuan tujuannya,
mereka mencari bantuan nyata. Dukungan sosial yang tinggi akan dapat
mengembangkan kepribadian yang kuat pada seseorang, mengurangi stress dan
bahkan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang mengancam. Perasaan tertekan
dapat pula dikurangi dengan membicarakannya dengan teman kerja yang simpatik.
Harga diri dapat meningkat, depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan
penerimaan yang tulus dari teman kerja.
Dukungan sosial ini sangat bermanfaat dalam pengendalian seseorang
terhadap tingkat kecemasan dan dapat pula mengurangi tekanan-tekanan yang ada
pada konflik yang terjadi pada dirinya, terutama ketika menghadapi situasi kerja.
Dukungan yang berupa simpati, empati, ataupun bantuan yang dapat membuat
individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman
5. Organisasi Rumah Sakit
Rumah sakit dipandang sebagai suatu masyarakat kecil dengan kebudayaannya
sendiri (Foster,1986;196). Berbeda dengan lingkungan budaya yang lain, rumah sakit
adalah lingkungan yang secara intensif menjalankan proses kesehatan. Sebagian besar
keadaan sakit dipantau, dinormalisasi, dikonsultasikan dan diobati secara menyeluruh dan
maksimal.
A. A. Gde Muninjaya (2004;221) menulis tentang klasifikasi rumah sakit yang
berlaku di indonesia, yakni :
di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam RS yaitu RS pemerintah (RS pusat, RS provinsi, RS kabupaten), RS BUMN/ABRI dan RS swasta. Jenis RS kedua adalah RS umum, RS jiwa, RS khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kanker dan sebagainya). Jenis RS ketiga RS kelas A, kelas B, RS kelas C dan RS kelas D. Pada kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk subspesialistik. RS kelas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar. RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang berfungsi mewujudkan pranata
upaya pelayanan kesehatan terbesar pada masyarakat dijaman modern ini.
Perkembangannya dewasa ini, rumah sakit (meskipun tidak seluruhnya) juga menjadi
sarana untuk praktek, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Lebih lanjut Tjandra Y. Aditama (2002;11) menguraikan tentang peranan rumah
sakit bagi kesehatan masyarakat, yakni;
Keberhasilan rumah sakit untuk memecahkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat harus diakui. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah pula menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap rumah sakit untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatannya. Rumah sakit memiliki peran strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Peran strategis ini didapat karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar Diakui memang, berbagai keberhasilan yang telah dibuktikan oleh rumah sakit
dalam memenuhi taraf kesehatan masyarakat. Dapat dikatakan fungsi rumah sakit ini
sangat menunjang kompetensi generasi bangsa. Selaras perkembangan masyarakat,
tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan terhadap kualitas pelayanan kesehatan di
Rumah sakit cenderung semakin meningkat.
Sehingga wajar, saat ini pemberdayaan sumber daya manusia yang ada di rumah
sakit mengalami perkembangan dari sisi kuantitas dan kompetensi. Variasi jenis tenaga
demikian besar karena kompleksnya jenis kegiatan di rumah sakit. Variasi ini bersifat
horizontal, dimana banyak jenis profesi bekerja di tempat yang sama dan bersifat vertikal,
dimana pada satu jenis profesi terdapat berbagai macam tingkat kompetensi.
Perkembangan yang terjadi pada organisasi rumah sakit membawa konsekuensi pada
sistem manajemen, baik manajemen pelayanan medik maupun manajemen administrasi,
termasuk profesi perawat yang notabene merupakan profesi dominan dari keseluruhan
tenaga kesehatan lainnya.
B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian yang dilakukan Firdaus Christyoadi dkk (2009) yang berjudul
“Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Motivasi Kerja Karyawan PT. Usmantek
Kabupaten Magelang” menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan
antara dukungan sosial dengan motivasi. Penelitian ini berusaha untuk menguji secara
empirik hubungan antara dukungan sosial dengan motivasi kerja karyawan. Kemudian
hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan besarnya koefisien antara dukungan sosial
dan motivasi kerja r = 0.635 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan motivasi
kerja.
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Dari beberapa tinjauan pustaka yang dikemukakan, maka dapat diungkapkan
suatu kerangka berpikir yang berfungsi sebagai penuntun dan dasar penelitian ini.
Di antara perbedaan-perbedaan yang dapat ditemui dalam kehidupan masyarakat,
ada satu perbedaan lebih mencolok daripada perbedaan suku, ras, agama dan kelas, yaitu
apa yang umum disebut sebagai perbedaan jenis kelamin. Perbedaan ini telah
memisahkan manusia menjadi dua kelompok yaitu perempuan dan laki-laki.
Perbedaan khas antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dari segi biologis atau
fisik semata, tetapi terlihat pula dari segi pekerjaan. Ada saatnya sebuah profesi atau
pekerjaan diidentikkan dengan laki-laki dan terdapat pula jenis pekerjaan yang dikaitkan
dengan perempuan. Meskipun demikian, tidak ada konsensus dalam masyarakat secara
khusus yang mencegah agar perempuan jangan bekerja dibidang pekerjaan yang dicirikan
dengan laki-laki dan begitu juga sebaliknya laki-laki tidak boleh memasuki jenis
pekerjaan yang identik dengan perempuan. Pemisahan peran sosial atau pekerjaan secara
seksual tersebut terbentuk secara alamiah. Apalagi dalam masyarakat yang sudah pesat
berkembang ini, pemisahan tersebut malah akan menurunkan daya saing suatu organisasi.
Kerangka konseptual penelitian ini dibentuk atas dasar ciri khas tugas
keperawatan yang identik dengan tugas domestik perempuan. Sehingga, baik laki-laki
dan perempuan yang memilih profesi sebagai perawat, proses asuhan keperawatan dalam
pencapaian kinerjanya akan dipengaruhi faktor motivasi kerjanya. Dengan kata lain, laki-
laki dan perempuan tentu memiliki karakteristiknya masing-masing dalam pelaksanaan
tugas-tugas keperawatan.
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau kegiatan praktik keperawatan yang
diberikan oleh perawat pada pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan
menggunakan proses keperawatan, berpedoman pada standart keperawatan dalam
lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan. Agar nantinya didapatkan mutu
pelayanan keperawatan yang baik serta pasien merasa puas terhadap kinerja perawat,
maka dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien, seorang perawat melakukan
berbagai langkah yang terstruktur dan sistematis berdasarkan standar praktik keperawatan
yang telah ditentukan dalam aturan profesi dan organisasi dilingkungan kerjanya.
Perawat laki-laki &
Perawat Perempuan
Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
Motivasi Kerja
Tentunya individu-individu berbeda dalam dorongan motivasinya kerjanya.
Motivasi tersebut akan berdampak pada sebuah proses yang akan menghasilkan suatu
intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai tujuan. Dapat pula
dikatakan bahwa Motivasi kerja merupakan suatu kondisi/keadaan yang mungkin
mempengaruhi seseorang untuk terus meningkatkan, mengarahkan serta memelihara
perilakunya yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
lingkungan kerjanya.
Kemudian secara alamiah, manusia cenderung menyenangi hubungan sosial yang
akrab dan saling membantu tentunya. Hanya saja tidak semua hubungan sosial yang
dibangun oleh seseorang dengan orang lain berlangsung akrab atau mempunyai ikatan
emosional yang intim. Hubungan sosial ini lebih banyak terjadi pada hubungan sosial
yang berdasarkan ikatan kekeluargaan, pertemanan atau rekan kerja.
Bagi orang yang bekerja, dukungan sosial dianggap mampu meredakan
ketegangan atau stress akibat beban pekerjaan. Dukungan sosial yang berupa bantuan
emosional maupun materiil dianggap mampu membuat seseorang bertahan, bahkan
mengembangkan diri dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Karena tak dapat
dipungkiri aktifitas rutin kerja yang menumpuk dapat berpotensi mengundang gejala
buruk terhadap mental atau psikis seseorang.
Khusus bagi profesi perawat yang diberi tanggung jawab menjaga dan
memperhatikan pasien melebih petugas kesehatan lainnya, tentulah bukan hal mudah
menjaga stabilitas psikis dirinya sendiri. Karena tugas-tugasnya menuntut kesabaran dan
ketelitian, yang apabila tidak maksimal dapat berakibat pada ketidakpuasan pasien.
Sehingga, dukungan sosial yang nyaman bagi perawat, kemungkinan akan meningkatkan
motivasi kerja perawat, baik perawat laki-laki maupun terhadap perawat perempuan.
Untuk lebih jelasnya, maka alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, serta didukung oleh
pertimbangan teoritis yang dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap
motivasi kerja perawat
2. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial dari
rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat.
3. Ada perbedaan pengaruh bersama yang signifikan antara jenis kelamin
dan dukungan sosial terhadap motivasi kerja perawat.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan faktor terpenting dalam suatu proses
penelitian. Berhasil atau tidaknya suatu penelitian tergantung pada metodologi
yang digunakan oleh peneliti. Peneliti dituntut untuk memiliki kemampuan
menentukan aspek metodologi penelitian yang sesuai dengan rancangan penelitian
yang ditetapkan. Metodologi penelitian memuat langkah-langkah yang ditempuh
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Kegiatan penelitian meliputi kegiatan mencari, mencatat, merumuskan,
menganalisis, serta menyusun laporan berdasarkan fakta-fakta secara ilmiah.
Adapun hal-hal yang terkait dalam penelitian ini meliputi tempat dan waktu
penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan
data, dan teknik analisis data.
Menurut Robert B. Burns (2000 : 3, “Research is a systematic investigation
to find to a problem”. Pengertian tersebut dapat diartikan bebas sebagai berikut :
penelitian ilmiah adalah cara sistematik untuk menemukan jawaban atas suatu
masalah. Sedangkan Menurut Hadari Nawawi (1995 : 24), “Ilmu yang
memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran
pengetahuan disebut metode penelitian atau metodologi research”.
Kemudian Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi (2003 : 3) mengemukakan
bahwa :
Metodologi merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara melakukan pengamatan dengan pemikiran yang tepat secara terpadu melalui tahapan-tahapan yang disusun secara ilmiah untuk mencari, menyusun serta menganalisis dan mengumpulkan data-data, sehingga dapat dipergunakan untuk menemukan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Sedangkan David Silverman (2002 : 2) mengemukakan bahwa, A methodology
refers to the choises we make about cases to study methods of data gathering, forms of
data analysis etc. In planning and executing a research to study. Dari konsep tersebut
dapat diterjemahkan sebagai berikut : metodologi mengacu pada suatu pilihan bagi kita
mengenai metode untuk memperoleh data hingga analisis data dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian.
Dari pendapat di atas, dapat diartikan bahwa metodologi penelitian merupakan
pengetahuan tentang prosedur atau cara yang digunakan dalam proses menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran, dengan menggunakan metode-metode ilmiah
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Adapun Aspek-aspek metodologi yang
dipergunakan dalam penelitian ini akan penulis uraikan sebagai berikut :
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R
Soeharso Surakarta yang beralamatkan di Jl. A.Yani Pabelan PO BOX 243 Surakarta
57162 Telp. (0271) 714458. Adapun alasan pemilihan tempat penelitian adalah :
a. Tersedianya data yang berhubungan dengan masalah penelitian dan berguna untuk
mendukung tercapainya tujuan penelitian.
b. Belum pernah diadakan penelitian yang mengangkat masalah yang sama seperti yang
akan diteliti oleh peneliti.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian sejak pengajuan proposal sampai penulisan laporan hasil
penelitian direncanakan mulai dari September 2009 – Maret 2010
Tabel. 2. Rincian Waktu Penelitian
Kegiatan Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar
Pra-survey
Penulisan proposal
Pembuatan kuesioner
Penyebaran kuesioner
Analisa data
Penulisan laporan
B. Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variable Penelitian
a. Pengertian Variabel
Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1995 : 42) “Variabel yang berarti
sesuatu yang mempunyai variasi nilai”. Y. Slamet (2006 : 26) berpendapat “Konsep
yang mempunyai lebih dari satu kategori atau lebih dari satu nilai disebut variabel”.
Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 72) “Variabel diartikan sebagai segala
sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut variabel
adalah sesuatu yang memiliki variasi nilai dan merupakan hal yang kita teliti.
b. Macam-macam Variabel
Menurut Moh. Nazir (2003 : 123-125) umumnya, variabel dibagi atas :
1. Variabel kontinu 2. Variabel Descrete 3. Variabel Dependen dan Variabel Bebas
4. Variabel Moderator dan Variabel Random 5. Variabel Aktif 6. Variabel Atribut
Agar lebih jelasnya akan penulis uraikan di bawah ini :
1) Variabel Kontinu
Variabel kontinu adalah hasil pengukuran, dapat dinyatakan dalam angka
pecahan.
2) Variabel Descrete
Variabel Descrete adalah hasul perhitungan, tidak dapat dinyatakan dalam bentuk
pecahan.
3) Variabel Dependen dan Variabel Bebas
Variabel dependen atau variabel terpengaruh adalah variabel yang tergantung
pada variabel lain. Variabel bebas atau variabel pengaruh adalah variabel yang
mempengaruhi.
4) Variabel Moderator dan Variabel Random
Variabel moderator adalah variabel yang berpengaruh terhadap variabel
dependen, tetapi dianggap tidak mempunyai pengaruh utama.
Variabel random adalah variabel yang berpengaruh terhadap variabel depenpen,
tetapi tidak dimasukkan dalam variabel moderator.
5) Variabel Aktif
Variabel aktif adalah variabel yang dapat dimanipulasi (dipengaruhi, diubah,
diberi perlakuan).
6) Variabel Atribut
Variabel atribut adalah variabel yang tidak dapat dimanipulasi.
Sedangkan menurut Cholid Narbuko dan Achmadi (2003 : 119) Variabel
penelitian menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi :
a) Variabel tergantung b) Variabel bebas c) Variabel intervening d) Variabel moderator e) Variabel kendali f) Variabel rambang
Adapun variabel tersebut akan penulis jelaskan sebagai berikut :
1) Variabel Tergantung (Dependent Variabel)
Merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel tergantung
inilah yang menjadi titik persoalan dalam penelitian.
2) Variabel bebas (Independent Variabel)
Merupakan variabel pengaruh, sebab berfungsi mempengaruhi variabel lain.
3) Variabel Intervening
Merupakan variabel yang menghubungkan variabel satu dengan variabel yang
lain.
4) Variabel Moderator
Merupakan variabel yang ikut mempengaruhi variabel tergantung serta
mmeperjelas hubungan variabel bebas dengan variabel tergantung
5) Variabel Kendali
Merupakan variabel yang membatasi variabel moderator
6) Variabel Rambang
Merupakan variabel yang dapat diabaikan atau tidak diperhatikan terhadap
variabel bebas maupun tergantung.
c. Ukuran-ukuran Variabel
Moh. Nazir (2003 :131) berpendapat bahwa “sesuai dengan jenis pengukuran
yang digunakan, maka sering juga variabel penelitian dibagi atas 4, yaitu variabel
nominal, variabel ordinal, variabel interval, dan variabel rasio”. Senada dengan itu,
Sumadi Suryabrata (1998 : 73) menyatakan :
Berkaitan dengan proses kuantifikasi, data biasa digolongkan menjadi empat jenis, yaitu (a) data nominal, (b) data ordinal, (c) data interval, dan (d) data ratio. Demikian pula variabel, kalau dilihat dari segi ini biasa dibedakan dengan cara yang sama. (a) Variabel Nominal (b) Variabel ordinal (c) Variabel interval (d) Variabel ratio
Agar lebih jelas akan penulis uraikan di bawah ini :
1) Variabel Nominal
Variabel nominal bersifat diskrit dan saling pisah antara kategori satu dengan
yang lain. Variabel ini ditetapkan berdasar atas proses penggolongan. Contohnya :
jenis pekerjaan, jenis kelamin, status perkawinan.
2) Variabel ordinal
Variabel ordinal disusun berdasarkan tingkat yang berurutan. Jadi merupakan
rangking yang berurutan. Contohnya : rangking mahasiswa dalam satu mata
kuliah, rangking dalam lomba yang ditentukan juara kesatu, kedua, ketiga.
3) Variabel interval
Variabel interval dihasilkan dari pengukuran, dimana dalam pengukuran tersebut
diasumsikan terdapat satuan pengukuran yang sama. Contohnya : penghasilan,
prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu hal dinyatakan dalam skor.
4) Variabel ratio
Variabel ratio dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak. Orang jarang
menggunakan ratio dalam penelitian bidang-bidang sosial.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
:
a. Variabel Terikat yaitu Motivasi Kerja (Y)
b. Variabel Bebas
1. Jenis Kelamin (X1)
2. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja (X2)
2. Definisi Konsep Variabel
a. Motivasi Kerja
Motivasi kerja merupakan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang
individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang
dilaksanakan dalam hal bekerja. Motivasi bekerja tersebut meliputi kebutuhan
fisik/materi, kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliansi dan kebutuhan akan kekuasaan.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk anatomi tubuh manusia, sifat-sifat, dan ciri-
ciri lahiriah lainnya dan digolongkan menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan
c. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
Secara umum, dukungan sosial didefinisikan sebagai ketersediaan hubungan yang
bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya,
tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi,
bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya. Sehingga Dukungan sosial dari rekan kerja dapat diartikan sebagai
ketersediaan hubungan yang bersifat menolong dari rekan kerja. Dukungan sosial ini
meliputi: dukungan emosional, dukungan penghargaan/appraisal, dukungan
instrumental/materi dan dukungan informasi.
C. Metode Penelitian
Penggunaan acuan metode penelitian yang sesuai dengan penelitiannya akan
berpengaruh dalam ketetapan pengambilan data yang dapat mendukung masalah
penelitian yang diajukan. Menurut Winarno Surachmad (1994: 131) menjelaskan bahwa
“Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya
untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan teknik serta alat-alat tertentu”.
Pengertian metode penelitian menurut Suharsimi Arikunto (1998: 150) menjelaskan
bahwa “Metode penelitian adalah cara yang dipergunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya”.
Berdasarkan pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa metode penelitian adalah
suatu cara utama yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan
suatu teknik serta alat-alat tertentu.
Mengenai penggolongan penelitian, Sumadi Suryabrata (1998: 15) menyatakan :
Berdasarkan atas sifat-sifat masalahnya, berbagai macam metode penelitian dapat
digolongkan menjadi sembilan macam kategori yaitu :
a. Penelitian historis b. Penelitian deskriptif c. Penelitian perkembangan
d. Penelitian kasus atau penelitian lapangan e. Penelitian korelasional f. Penelitian kausal komparatif g. Penelitian eksperimen sungguhan h. Penelitian eksperimen semu, dan i. Penelitian tindakan
Kesembilan macam penelitian tersebut diatas dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1) Penelitian historis bertujuan membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis
dan objektif untuk memperoleh kesimpulan yang kuat.
2) Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang membuat deskripsi secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi.
3) Penelitian perkembangan bertujuan menyelidiki pola dan perurutan pertumbuhan
dan perubahan sebagai fungsi waktu
4) Penelitian kasus dan penelitian lapangan merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mempelajari secara intensif latar belakang dan keadaan sekarang suatu unit
sosial.
5) Penelitian kausal komparatif bertujuan menyelidiki kemungkinan hubungan sebab
akibat dengan cara berdasar pengamatan terhadap akibat yang ada, mencari
kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.
6) Penelitian eksperimental semu merupakan penelitian yang bertujuan untuk
memperoleh informasi perkiraan, berdasarkan eksperimen tanpa kontrol atau
manipulasi variabel.
7) Penelitian eksperimental sungguhan, merupakan penelitian yang bertujuan
menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan perlakuan pada
salah satu variabel.
8) Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variabel satu dengan
yang lainnya berkaitan satu sama lainnya.
9) Penelitian tindakan, merupakan penelitian pengembangan keterampilan-
keterampilan baru dengan pendekatan baru dengan penerapan langsung di dunia
aktual yang lain.
Penelitian ini sendiri termasuk penelitian yang bersifat ex post facto, karena variable
bebasnya tidak dikendalikan dalam arti variable tersebut telah terjadi. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Consuello G (1993: 124), “Penelitian ex post facto
berarti data yang dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan telah
berlangsung atau telah lewat”. Berdasarkan sifat tersebut maka metode yang digunakan
adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif.
Adapun alasan peneliti memilih metode kausal komparatif ini adalah sebagai berikut :
a. Data-data variabel dalam penelitian ini merupakan data yang dikumpulkan setelah
kejadian berlalu atau sudah lewat.
b. Peneliti mengambil satu variabel terikat sebagai akibat dan menguji data tersebut
dengan menelusuri ke masa lalu untuk mencari sebab atau hubungannya.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan obyek dimana hasil penelitian akan dikenakan. Aspek-aspek yang
diungkapkan dalam penelitian ini adalah motivasi kerja kerja, jenis kelamin dan
dukungan sosial dari rekan kerja. Sebelum menetapkan populasi, maka akan
dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian populasi.
Pengertian populasi menurut Sudjana (2001: 6) mendefinisikan populasi sebagai
“Totalitas semua nilai yang mungkin; hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif
maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang
lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya”. Sedangkan menurut Sugiyono
(2005: 55) menjelaskan bahwa “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas ;
objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Sementara itu Robert B. Burns (2000 : 83) mengemukakan, “populations is an entire
group of people or objects or events which all have at least one characteristic in
common, and must be defined specifically and unambiguosly”. Menurutnya, populasi
adalah seluruh grup dari orang maupun objek yang kesemuanya mempunyai karakteristik
sama, dan harus nyata dan tidak bermakna ganda.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa populasi adalah
keseluruhan individu penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu, karakteristik
populasi dalam penelitian ini meliputi populasi yang homogen. Maka dari itu populasi
penelitian ini tidak mengikutkan dari kelompok perawat non-medis yang tugas-tugasnya
tidak berinteraksi langsung dengan pasien. Akan tetapi penelitian ini memilih perawat
medis yang berhubungan langsung dengan pasien. Selain lebih dominan, perawat medis
juga lebih sesuai dengan landasan teori yang dikemukakan sebelumnya. Sehingga
akhirnya dapat disimpulkan populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
keseluruhan perawat medis yang bekerja di Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R
Soeharso Surakarta. Adapun populasi penelitian ini berjumlah 123 orang perawat yang
tersebar di delapan Zaal (Bangsal). Dari jumlah tersebut, populasi perawat laki-laki
sejumlah 57 orang dan perawat perempuan berjumlah 66 orang
2. Sampel Penelitian
a. Pengertian Sample
Sampel menurut Sugiyono (2005: 56) diartikan sebagai “Sebagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Sedangkan menurut Sanapiah Faisal
(2005: 57) mendefinisikan sampel sebagai “ Sebagian dari populasi yang diambil
sebagai representasi atau wakil populasi yang bersangkutan”. Selanjutnya, menurut
Sudjana (2001: 161) menjelaskan bahwa “Sampel adalah sebagian yang diambil dari
populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu”.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa sampel
merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik populasi yang diambil dengan cara
tertentu yang dianggap dapat mewakili populasi.
Penelitian ini mengambil sampel sebagian dari perawat medis yang bekerja di Rumah
Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R Soeharso Surakarta.
b. Alasan menggunakan sample
Dalam penelitian sosial, tidak selalu seluruh populasi dikenakan penelitian. Untuk
mengatasi hal tersebut maka perlu adanya pembatasan yaitu dengan menetapkan
jumlah sampel. Sampel harus bisa mewakili populasi yang diteliti, dalam arti sampel
harus bersifat representatif.
Menurut Sugiarto, dkk (2001 : 5) digunakannya sampel dalam penelitian didasarkan
pada berbagai pertimbangan berikut :
1) Seringkali tidak mungkin mengamati seluruh anggota populasi 2) Pengamatan terhadap seluruh anggota populasi dapat bersifat merusak 3) Menghemat waktu, biaya dan tenaga 4) Mampu memberikan informasi yang lebih menyeluruh dan mendalam
(komprehensif).
Berdasarkan pendapat di atas makan alasan peneliti menggunakan sampel adalah
lebih menghemat waktu, biaya, tenaga, banyak masalah yang dapat diteliti atau dapat
memberikan informasi yang lebih menyeluruh dan mendalam, dan data yang
terkumpul lebih akurat. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 46 perawat yang terdiri dari 24 perawat perempuan dan 22 perawat laki-
laki.
c. Sampling
Menurut Hadari Nawawi (1995 :152) “Teknik sampling adalah cara untuk
menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan
dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran
populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili
populasi”. Artinya sampling adalah pengambilan sample atau mengambil suatu
bagian dari populasi atau keseluruhan sebagai wakil yang dapat merepresentasikan
populasi yang ada.
Kemudian Sutrisno Hadi (2002 :75) mengemukakan terdapat dua macam teknik
sampling, yakni :
1) Teknik Random Sampling
Random sampling adalah pengambilan sampel secara random atau tanpa
pandang bulu. Dalam random sampling semua individu dalam populasi
baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang
sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Adapun cara-cara (prosedure) yang digunakan untuk random sampling
adalah :
(a) Cara undian
(b) Cara ordinal
(c) Randomisasi dan Tabel Bilangan Random
2) Teknik Nonrandom Sampling
Semua sampling yang dilakukan bukan dengan teknik random sampling
disebut non random sampling.
d. Teknik Pengambilan Sampel
Berpedoman pada pendapat tersebut diatas maka dalam penelitian ini digunakan
teknik random sampling dengan cara undian. Dengan teknik random sampling maka
pengambilan sampel bersifat objektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiarto (2001
: 36) :
Dalam probability sampling, pemilihan sampel tidak dilakukan secara
subyektif, dalam arti sampel yang terpilih tidak didasarkan semata-mata pada
keinginan si peneliti, sehingga setiap anggota populasi memiliki kesempatan
yang sama (acak) untuk terpilih sebagai sampel. Dengan demikian diharapkan
sampel yang terpilih dapat digunakan untuk menduga karakteristik populasi
secara objektif.
Sedangkan menurut W. Gulo (2002 : 81), “(...) untuk memenuhi prinsip keterwakilan,
penarikan sampel harus dilakukan secara random (acak). Penarikan sampel dengan
cara ini disebut random sampling”. Artinya teknik random sampling ini menekankan
pada objektifitas karena memberikan peluang yang sama pada setiap individu.
Sehingga hasil yang didapatkan akan mewakili populasi dalam penelitian.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis mengambil sampel di setiap bangsal dimana
perawat ditugaskan, dengan teknik random sampling dengan cara undian tanpa
pengembalian. Nomor undian yang telah keluar menjadi sampel, tidak dikembalikan
lagi dalam kerangka sampel. Seperti yang dikemukakan Sugiarto, dkk (2001 : 48),
“Untuk cara pengambilan sample bisa dilakukan dengan pengembalian (with
replacement) dan tanpa pengembalian (without replacement)”. Hal ini sesuai pula
dengan pendapat Sudjana (165-166) yang menyatakan:
Ada dua perlakuan sampel diambil :
1. Anggota yang telah diambil untuk dijadikan anggota sampel disimpan kembali, disatukan dengan anggota lainnya. Dengan demikian anggota ini masih ada kesempatan untuk diambil kembali pada pengambilan berikutnya. Cara pengembalian sampel demikian dinamakan sampling dengan pengembalian.
2. Anggota yang telah terambil untuk dijadikan anggota sampel tidak disimpan kembali ke dalam populasi. Dengan demikian setiap anggota hanya bisa diambil satu kali. Cara pengembalian sampel demikian dinamakan sampling tanpa pengembalian.
Kemudian menurut Sutrisno Hadi (2002 : 76), langkah-langkah dalam pengambilan
sampel dengan teknik random sampling dengan cara undian adalah sebagai berikut ;
1. Buatlah suatu daftar yang berisi semua subjek, objek, gejala, peristiwa, atau kelompok-kelompok yang ada dalam populasi.
2. Berilah kode-kode yang berwujud angka-angka untuk tiap-tiap subjek, objek, gejala, peristiwa, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
3. Tulislah kode-kode itu masing-masing dalam satu lembar kertas kecil. 4. Gulung kertas itu baik-baik 5. Masukkan gulungan-gulungan kertas itu dalam tempolong, kaleng atau
tempat-tempat yang semacam. 6. Kocok baik-baik tempolong atau kaleng itu 7. Ambillah kertas gulungan itu sebanyak yang dibutuhkan.
Sesuai dengan langkah-langkah tersebut di atas, yang penulis lakukan adalah :
1) Membuat semua daftar subjek atau membuat “sampling frame”, yaitu
daftar semua perawat medis di RSO Prof. DR. R. Soeharso Surakarta.
2) Memberikan kode angka pada setiap subjek.
3) Menuliskan kode angka tersebut pada sebuah kertas kecil.
4) Menggulung kertas yang bertuliskan kode itu baik-baik.
5) Memasukkan gulungan kertas tersebut pada sebuah kaleng
6) Mengocok kaleng tersebut.
7) Mengambil kertas sebanyak sampel yang dibutuhkan. Kertas gulungan
yang sudah keluar tidak dimasukkan lagi, karena cara yang digunakan
adalah tanpa pengembalian (without replacement).
e. Menetapkan Besarnya Sampel
Mengenai besar kecilnya pengambilan sampel pada prinsipnya tidak ada peraturan secara
mutlak untuk menentukan ukuran sampel. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsimi
Arikunto (1998: 120) yang menjelaskan :
Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil
semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah
subeyeknya subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25 % atau lebih,
tergantung pada :
a) Kemampuan luasnya wilayah peneliti dilihat dari waktu dan dana. b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap objek, karena hal ini
menyangkut banyak sedikitnya data. c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti
Kemudian menurut Isgiyanto (2009 : 80) pengambilan sampel dapat menggunakan rumus
yang sekaligus dijadikan patokan dalam penelitian ini:
n = NZ12- α ∕2 P (1-P)
Nd2 + Z12- α ∕2 P (1-P)
Ket :
n : besar sample
N : Besar Populasi
Z12- α ∕2 : nilai sebaran normal baku yang besarnya tergantung α ; 1,96
P : Proporsi kejadian; 0,25
d : besar penyimpangan (absolute) yang bisa diterima 0,1
Jika diterapkan dalam kondisi penelitian ini, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
Untuk Sampel Perawat Laki-laki
N : 57 perawat
Z12- α ∕2 : 1,96
P : 0, 25
d : 0,1
Perhitungannya yakni :
n = 57 . 1,96 . 0,25 (1-0,25)
57 (0,1)2 . 0,25 (1-0,25)
= 57 x 0,3675
0,57 + 0,3675
= 20,95
0,94
= 22,29
= 22 Perawat
Untuk Sampel Perawat perempuan
N : 66 perawat
Z12- α ∕2 : 1,96
P : 0, 25
d : 0,1
Perhitungannya yakni :
n = 66 . 1,96 . 0,25 (1-0,25)
66 (0,1)2 . 0,25 (1-0,25)
= 66 x 0,3675
0,66 + 0,3675
= 24,25
1,0275
= 23,61
= 24 Perawat
Jadi, N Total adalah : 22 + 24 = 46 Perawat
N dalam persen : 37 %
Berpedoman pada perhitungan di atas, maka peneliti menetapkan besarnya sampel
dengan perbandingan 37% x jumlah perawat tiap bangsal. Adapun teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah teknik Sampel Random Sampling dari setiap bangsal
diambil sampel sebanyak :
Tabel 3. Penetapan Jumlah Sampel Penelitian
No Bangsal Perawat
laki-laki
Perawat
perempuan
Jumlah Besarnya
sampel 37 %
1 Zaal A 6 Perawat 9 Perawat 15 Perawat 6 Perawat
2 Zaal B 4 Perawat 12 Perawat 16 Perawat 6 Perawat
3 Zaal C 14 Perawat 3 Perawat 17 Perawat 6 Perawat
4 Zaal D 7 Perawat 8 Perawat 15 Perawat 6 Perawat
5 Zaal E 5 Perawat 10 Perawat 15 Perawat 6 Perawat
6 Zaal F 4 Perawat 8 Perawat 12 Perawat 4 Perawat
7 Zaal ICU 8 Perawat 4 Perawat 12 Perawat 4 Perawat
8 Zaal WK 9 Perawat 12 Perawat 21 Perawat 8 Perawat
Jumlah 57 Perawat 66 Perawat 123 perawat 46 Perawat
Dari jumlah sample keseluruhan 46 orang perawat, maka dilakukan pembagian sampel
menjadi dua kelompok menurut jenis kelamin, yakni 22 orang perawat laki-laki dan 24
orang perawat perempuan.
E. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara atau metode yang dipergunakan untuk
memperoleh data dalam suatu penelitian. Guna memperoleh data yang dibutuhkan dalam
suatu penelitian diperlukan teknik yang tepat sehingga tujuan penelitian yang diinginkan
dapat tercapai.
Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 127) teknik pengumpulan data dapat digolongkan
menjadi dua macam yaitu :
1) Test 2) Non Test, terdiri dari :
a). Angket atau kuesioner
b). Interview c). Observasi d). Skala bertingkat atau Rating Scale e). Dokumentasi Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Angket / kuesioner
2. Dokumentasi
Agar lebih jelas mengenai metode pengumpulan data tersebut, akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Metode Angket atau Kuesioner
a. Pengertian Teknik Angket
Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang
harus dijawab oleh responden. Menurut Sanapiah Faisal (2005: 122) menjelaskan
“Angket adalah suatu alat pengumpulan data berisi daftar pertanyaan secara tertulis
yang ditujukan kepada subyek atau responden penelitian”. Sedangkan menurut
Nasution (2004: 128) menjelaskan “Angket atau quetionnaire adalah daftar
pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat
juga dijawab di bawah pengawasan peneliti”.
Pengertian angket selanjutnya, menurut Suharsimi Arikunto (1998 :141)
menyatakan “Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-
hal yang ia ketahui”.
Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa angket
adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden untuk diisi yang
bertujuan untuk memperoleh informasi dar responden yang bersangkutan.
b. Jenis Angket
Kuesioner atau angket dapat dibedakan menjadi beberapa jenis tergantung
pada sudut pandangnya. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 139) jenis-jenis angket
yang digunakan dalam pengumpulan data ada bermacam-macam yaitu :
a. Dipandang dari cara menjawab, ada : 1) Kuesioner terbuka, yang memberikan kesempatan kepada
responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. 2) Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya sehingga
responden tinggal memilih. b. Dipandang dari jawaban yang diberikan, ada :
1) Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang dirinya 2) Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab orang
lain c. Dipandang dari bentuknya
1) Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama dengan angket tertutup.
2) Kuesioner isian, yang dimaksud adalah angket terbuka 3) Chek list, sebuah daftar, dimana responden tinggal membubuhkan
tanda chek (√) pada kolom yang sesuai 4) Rating scale (skala bertingkat), yaitu sebuah pertanyaan diikuti
oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan.
Jenis angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket langsung
tertutup dengan bentuk Chek list, sebuah daftar, dimana responden tinggal
membubuhkan tanda chek (√) pada kolom yang sesuai dengan dirinya.
c. Kelebihan dan Kelemahan Angket
Teknik angket ini dalam penggunaannya memiliki kelebihan dan kelemahan
bila dibandingkan dengan teknik pengumpulan data lainnya. menurut Suharsimi
Arikunto (1998: 140) menjelaskan bahwa :
Angket memiliki kelebihan-kelebihan diantaranya :
1) Tidak memerlukan hadirnya peneliti 2) Dapat dibagikan secara serentak kepada responden 3) Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing
waktu senggang responden. 4) Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-
malu menjawab. 5) Dapat dibuat berstandar sehingga semua responden dapat diberi
pertanyaan yang benar-benar sama.
Selanjutnya selain memiliki kelebihan-kelebihan teknik angket juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 141) diantara kelemahan-
kelemahan itu adalah :
1) Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak terjawab, padahal sukar diulangi diberikan kembali padanya.
2) Seringkali sukar dicari validitasnya. 3) Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden dengan sengaja
memeberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur. 4) Angket yang dikirim lewat pos pengembaliannya sangat rendah, hanya
sekitar 20 %. Seringkali tidak kembali terutama jika dikirim lewat pos menurut penelitian.
5) Waktu pengembaliannya tidak sama-sama, bahkan kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat.
Adapun alasan peneliti menggunakan teknik angket ini adalah :
1) Angket penggunaannya lebih sistematis dan terencana
2) Dengan menggunakan angket, peneliti dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga
3) Dengan menggunakan angket, peneliti lebih mudah mendapatkan data secara
objektif dari responden.
d. Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel, maka alat pengumpul data
yang digunakan harus relevan dengan masalah yang harus diteliti. Instrumen yang
dipakai dalam penelitian ini berbentuk angket langsung yang bersifat tertutup, artinya
angket tersebut jawabannya sudah disediakan. Subjek tinggal memilih salah satu
alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi atau keadaan dirinya, hal ini
dimaksudkan supaya jawaban subjek tidak terlalu melebar.
Metode angket ini digunakan untuk mendapatkan data tentang motivasi kerja
perawat, karakteristik (jenis kelamin) dan dukungan sosial dari rekan kerja yang
dirasakan perawat. Pada penelitian ini angket dibuat dalam bentuk berstruktur, yakni
chek list (daftar cek). Pihak pengisi tinggal membubuhkan tanda (√) pada pernyataan
di kolom yang sesuai dengan jawabannya. Alasan peneliti menggunakan angket
langsung tertutup dengan pilihan item pertanyaan menggunakan chek list adalah
sebagai berikut :
1) Memberikan kemudahan kepada responden dalam memberikan tanggapan,
jadi responden hanya memilih salah satu dari kemungkinan jawaban.
2) Data yang terkumpul sesuai dengan yang diharapkan.
e. Langkah-langkah Penyusunan Angket
Berikut akan dijelaskan langkah-langkah penyusunan angket dalam penelitian
ini :
1) Menetapkan Tujuan
Dalam penelitian ini, angket disusun dengan tujuan untuk mendapatkan data
tentang motivasi kerja perawat, jenis kelamin, dan dukungan sosial dari rekan
kerja yang dirasakan oleh perawat.
2) Merumuskan definisi operasional dari variabel yang diteliti.
a) Motivasi kerja
Motivasi kerja merupakan sesuatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat dalam bekerja. Arah dan intensitas motivasi kerja ini berbeda antara
perawat satu sama lain, karena pada dasarnya kebutuhan dan keinginan setiap
perawat juga berbeda. Hal ini dikarenakan setiap perawat di Rumah sakit
adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar
proses belajar yang berbeda pula.
b) Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk anatomi tubuh manusia, sifat-sifat, dan
ciri-ciri lahiriah lainnya dan digolongkan menjadi 2 yaitu laki-laki dan
perempuan.
c) Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
Dukungan sosial dari rekan kerja ialah sejauh mana hubungan dari rekan kerja
yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang
menerimanya, tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi,
pemberian informasi, bantuan materi dan penghargaan yang positif pada
individu dalam menghadapi permasalahannya
3) Membuat indikator dari variabel yang diteliti
a) Motivasi kerja
(1) Kebutuhan fisik/Materi (2) Kebutuhan akan prestasi (3) Kebutuhan Akan Afiliansi, meliputi :
(a) Kebutuhan perasaan diterima (b) Kebutuhan perasaan dihormati (c) Kebutuhan akan perasaan ikut serta (d) Kebutuhan perasaan maju dan tidak ingin gagal
(4) Kebutuhan akan kekuasaan
b) Jenis Kelamin :
(1) Perawat laki-laki
(2) Perawat perempuan
c) Dukungan Sosial dari Rekan Kerja
(1) Dukungan emosional (2) Dukungan appraisal/penghargaan (3) Dukungan instrumental/materi (4) Dukungan informasi
4) Membuat kisi-kisi angket
(1) Angket motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
teori motivasi kerja Mc Clelland yang mencakup kebutuhan prestasi,
kebutuhan afiliansi dan kebutuhan kekuasaan. Selain itu pula ditambah
dengan teori kebutuhan Maslow, teori dua faktor Herzberg dan teori harapan
Vroom
(2) Jenis kelamin di ketahui dari profil responden di lembar pengisian angket
(3) Dukungan sosial dari rekan kerja mengacu pada teori Cohen dan Syme dan
teori Wan yang memaparkan bentuk-bentuk dukungan sosial secara umum.
Teori tersebut dikembangkan dalam konteks pekerjaan.
5) Menyusun petunjuk pengisian angket
6) Menyusun item-item pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan variabel-variabel
yang akan diteliti. Pertanyaan yang diajukan harus sesuai dengan aspek-aspek
yang tertuang dalam kisi-kisi yang telah disusun. Adapun penyusunan pertanyaan
dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan tertutup dengan cheklist.
7) Membuat surat pengantar
8) Mengadakan uji coba (try-out) angket
Setelah angket disusun, maka angket tersebut perlu diuji terlebih dahulu mengenai
validitas dan reliabilitasnya yaitu melalui try out.
Dalam penelitian ini try-out dilaksanakan di RSO Prof. DR. R. Soeharso
Surakarta pada perawat sebanyak 30 orang. Perawat yang telah mengikuti try-out
angket, nantinya tidak dipakai dalam penelitian.
Maksud dari try-out ini, menurut Sutrisno Hadi (2002 : 166) adalah
sebagai berikut :
a) Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas maksudnya b) Untuk meniadakan pengunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik,
atau kata-kata yang menimbulkan kecurigaan. c) Untuk memperbaiki pertanyaan-pertanyaan yan biasa dilewati atau hanya
menimbulkan jawaban-jawaban yang dangkal d) Untuk menambah item yang sangat perlu atau meniadakan item yang ternyata
tidak relevan dengan tujuan research.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maksud peneliti mengadakan try-out
angket ini adalah :
a) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna ganda dan tidak jelas.
b) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak diperlukan
c) Meghindari kata-kata yang kurang dimengerti responden
d) Menghilangkan item-item yang dianggap tidak relevan dengan penelitian .
Selain beberapa maksud diadakannya try-out seperti yang disebutkan di
atas, tujuan diadakannya try-out terhadap angket adalah untuk mengetahui
kelemahan angket yang disebarkan kepada responden dan untuk mengetahui
sejauh mana responden mengalami kesulitan di dalam menjawab pertanyaan
tersebut, serta untuk mengetahui apakah angket tersebut memenuhi syarat
validitas dan reliabilitas. Untuk lebih jelasnya akan diterangkan sebagai berikut :
a) Validitas dan alat Pengukur
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kevalidan atau
kesahihan angket. Angket yang valid adalah angket yang mampu mengukur
apa yang seharusnya diukur. Suharsimi Arikunto (1998: 144) menjelaskan
bahwa “Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan”.
Sedangkan menurut David dan Irene Hall (1996: 43) menjelaskan validitas
sebagai : “The extent to which a test, questionnaire or other
operationalisation is really measuring the researcher intends to measure”.
Artinya tingkat atau taraf dimana tes, angket atau lainnya yang benar-benar
mengukur apa yang peneliti maksudkan atau kehendaki.
Mengenai macam validitas sesuai cara pengujiannya terdapat dua
macam validitas, yaitu : Validitas Internal dan Validitas Eksternal. Menurut
Suharsimi Arikunto (1998: 145) menjelaskan “Validitas eksternal merupakan
instrumen yang dicapai apabila data yang dihasilkan dari instrumen tersebut
sesuai dengan data atau informasi lain mengenai variabel penelitian yang
dimaksud”.
Selanjutnya, mengenai validitas internal dijelaskan Suharsimi
Arikunto (1998: 147) “Validitas internal dicapai apabila terdapat kesesuaian
antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen keseluruhan”.
Berdasarkan cara estimasinya yang disesuaikan dengan fungsi dan
sifat alat ukur, tipe validitas dibedakan menjadi 3 macam. Hal ini sesuai
dengan pendapat Saifuddin Azwar (1997: 45) yang menjelaskan “Tipe
validitas pada umumnya digolongkan dalam tiga kategori yaitu : Content
Validity (Validitas Isi), Construct Validity (Validitas Konstraks), dan
Criterium Related Validity (Validitas Berdasar Kriteria)”.
Ketiga macam validitas dapat peneliti paparkan sebagai berikut :
1) Validitas Isi
Validitas Isi (Content Validity) merupakan validitas yang mengukur sejauh
mana item-item soal tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang
hendak diukur atau dengan kata lain sejauh mana isi tes mencerminkan
ciri atribut yang hendak diukur.
2) Validitas Konstraks
Validitas Konstrak merupakan tipe validitas yang menunjukkan sejauh
mana tes mengungkap suatu treat atau konstrak teoritik yang hendak
diukur. Pengujian validitas konstrak merupakan proses yang terus
berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai treat yang
diukur.
3) Validitas Berdasarkan Kriteria
Validitas berdasarkan kriteria merupakan prosedur pendekatan validitas
berdasar kriteria yang menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang
dapat dijadikan dasar pengujian skor tes.
Rumus yang digunakan dalam uji validitas angket adalah korelasi
product moment, seperti :
( )( )(
){ } ( ){ }2222 YYNXXN
YXXYNrXY
å-åå-å
åå-å=
Keterangan :
rxy : Koefisien korelasi antara skor tiap item dengan skor total.
ΣX : Jumlah skor tiap-tiap item
ΣY : Jumlah skor tiap uji coba
N : Jumlah subjek uji coba (Suharsimi Arikunto, 1998: 138)
Jika r < 0,050 maka dapat disimpulkan kriteria pengujian valid, sebaliknya
jika r > 0,050 maka kriteria pengujian tidak valid.
b) Reliabilitas Alat Pengukur
Reliabilitas merupakan suatu instrumen dapat dipercaya dan
digunakan sebagai alat pengumpul data dan hasil yang diperoleh ajeg.
Menurut Suharsimi Arikunto (1998:154) menyatakan bahwa “Reliabilitas
menunjuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen
tersebut sudah baik”. Selanjutnya menurut David dan Irene Hall (1996: 44)
menjelaskan bahwa : “A common definition of reliability is the extent to which
a test would give consistent result if applied by different reseachers more than
once to the same people under standard conditions”. Artinya definisi umum
dari reliabilitas adalah tingkat atau taraf dimana tes akan memberi hasil
konsisten jika diterapkan oleh peneliti lain lebih dari satu kali kepada orang
yang sama pada kondisi yang standard.
Sedangkan menurut Hammersley dalam David Silverman (2002 :
225), “Reability refers to the degree of consistency with which instances are
asigned to the same category by different observes or by the same observer on
different occasions”. Artinya reliabilitas mengacu pada derejat ketetapan yang
mana saat digunakan pada kategori yang sama ataupun berbeda dalam
kondisi/waktu yang berbeda. Jadi, alat yang reliabel secara konsisten memberi
hasil ukuran yang sama walaupun pada waktu yang berbeda dan peneliti yang
berbeda pula.
Teknik reliabilitas dapat dibedakan menjadi tiga macam. Saifuddin
Azwar (1997: 37) menjelaskan: “Reliabilitas dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu Teknik Pengujian Kembali (test retest / single test double trial), Teknik
Belah Dua (single test single trial) dan Teknik Pararel (double test double
trial)”.
Ketiga teknik reliabilitas diatas dapat penulis uraikan sebagai berikut :
(1) Teknik Pengujian Kembali (test retest / single test double trial)
Metode ini menggunakan ukuran atau tes yang sama untuk variabel
tertentu pada suatu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang
sama.
(2) Teknik Belah Dua (single test single trial)
Mengenai teknik ini, biasanya peneliti menggunakan teknik belah dua
ganjil-genap dengan mengelompokkan skor butir bernomor ganjil sebagai
belahan pertama dan kelompok skor bernomor genap sebagai belahan
kedua.
(3) Teknik Pararel (double test double trial)
Perhitungan reliabilitas ini dilakukan dengan membuat dua jenis alat ukur
yang mengukur aspek yang sama, kemudian dicari validitasnya untuk
masing-masing jenis.
Dalam menghitung reliabilitas alat ukur yang digunakan rumus alpha,
karena tiap-tiap item terdapat alternatif jawaban lebih dari dua. Sebelum
sampai pada perhitungan rumus alpha, terlebih dahulu dicari jumlah varian
butir item, yaitu menggunakan rumus :
( ) ( )
nnX
X2
2
2
å-å
=åsd
Keterangan :
2sdå : Jumlah varian butir
ΣX : Jumlah Skor
N : Jumlah responden
Dari hasil di atas kemudian dimasukkan ke rumus Alpha :
úû
ùêë
éåå
-úûù
êëé
-=
2
2
11 1.1 tk
k sdt
Keterangan :
11t : Reliabilitas Instrumen
k : Banyaknya butir pertanyaan
2sdå : Jumlah varian butir
Σt2 : Varian Total. (Suharsimi Arikunto,1998: 191)
9) Revisi angket
Setelah angket diuji cobakan maka hasilnya dijadikan dasar untuk revisi. Revisi
dilakukan dengan cara menghilangkan atau mendrop item-item pertanyaan yang
tidak valid atau tidak reliabel.
Adapun dari hasil uji validitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja,
terdapat 6 pernyataan yang tidak valid yaitu soal nomor 13, 17, 24, 28, 32, dan 40.
Sedangkan hasil uji validitas angket tentang Motivasi kerja terdapat pernyataan
yang tidak valid sebanyak 5 yaitu nomor 9, 10, 17, 34, dan 51. Nomor-nomor
yang tidak valid selanjutnya tidak digunakan untuk mengambil data penelitian,
karena sudah terwakili oleh item soal yang lain.
10) Memperbanyak angket
Angket yang telah direvisi dan telah diyakini valid dan reliabel, diperbanyak
sesuai dengan jumlah responden yang dijadikan sampel. Angket siap untuk
disebarkan kepada responden.
11) Langkah terakhir adalah menggunakan angket yang telah diperbanyak dan telah
mendapatkan umpan balik dari responden sebagai alat pengumpul data yang
kemudian dianalisis.
f. Pengukuran Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah
jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja, sedangkan variabel terikat adalah
motivasi kerja.
g. Penentuan Bobot nilai
Untuk skoring atas jawaban setiap instrumen, menggunakan empat tingkat
jawaban dari 1 sampai 4. Skala motivasi kerja terdiri dari aspek kebutuhan materi,
kebutuhan akan prestasi, kebutuhan afiliansi dan kebutuhan akan kekuasaan. Sedangkan
skala dukungan sosial dari rekan kerja terdiri dari aspek dukungan emosional,
companionship, instrumental, dan informasional. Aspek-aspek tersebut disusun menjadi
aitem-aitem yang berupa pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable).
1) Untuk pertanyaan positif,bobot penilaiannya adalah :
Untuk jawaban SS (Sangat Sesuai) : nilai 4
Untuk jawaban S (Sesuai) : nilai 3
Untuk jawaban TS (Tidak Sesuai), : nilai 2
Untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) : nilai 1
2) Untuk jawaban negatif, bobot penilaiannya adalah :
Untuk jawaban SS (Sangat Sesuai) : nilai 1
Untuk jawaban S (Sesuai) : nilai 2
Untuk jawaban TS (Tidak Sesuai), : nilai 3
Untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) : nilai 4
2. Metode Dokumentasi
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode bantu yakni teknik pengumpulan data
dengan dokumentasi. Teknik ini dilakukan untuk memperkuat hasil dari metode pokok
yang digunakan yakni angket. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 236) menjelaskan
bahwa, “Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, leggers, agenda dan
sebagainya”. Pengumpulan data melalui dokumentasi terutama untuk mencari variabel
jenis kelamin perawat (X1). Selain itu juga dokumen mengenai struktur organisasi dan
sebaran tenaga kesehatan di RSO Prof. Dr. R. Soeharso diperlukan untuk melihat secara
umum bagaimana manajemen yang berlangsung. Tentu hal tersebut berhubungan dengan
suasana kerja yang juga berkaitan dengan variabel motivasi kerja (Y) dan dukungan
sosial dari rekan kerja (X2).
Dokumentasi dilakukan dengan cara mengambil data yang bersumber pada pencatatan-
pencatatan berdasarkan apa yang tercantum dalam arsip ataupun dokumen yang terkait
dengan objek penelitian, sedangkan data yang diperoleh dari teknik dokumentasi dalam
penelitian ini digunakan sebagai data pendukung.
Alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi adalah :
a) Data dokumentasi ini sebagai data yang menggambarkan keadaan rumah sakit,
terutama perawat secara aktual.
b) Mudah diperoleh, yaitu dengan mengambil dari catatan dan arsip keperawatan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengolah data
serta menganalisa data yang terkumpul dalam penelitian untuk membuktikan hipotesis
yang diajukan. Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah teknik. Teknik analisis regresi ganda digunakan untuk mengetahui pengaruh
antara variabel-variabel bebas (independen) yang lebih dari satu dengan variabel
terikat (dependen).
Menurut Moh Nazir (1988: 535) menjelaskan “Jika parameter dari suatu
hubungan fungsional antara satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel
independen ingin diestimasikan maka analisa regresi yang dikerjakan berkenaan dengan
regresi berganda (multiple regression)”.
Dalam penelitian ini, analisis regresi ganda digunakan untuk mengetahui hubungan jenis
kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja terhadap Motivasi kerja perawat di Rumah
Sakit Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta tahun 2009.
Adapun prosedur analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Uji Prasyarat Analisis
2. Pengujian Hipotesis
1. Uji Prasyarat Analisis
a. Uji Normalitas
Untuk menguji apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak maka
dilakukan uji normalitas. Langkah-langkah uji normalitas dengan menggunakan rumus
chi kuadrat.
( )fh
fhfoX
220
-å=
Keterengan :
20X = Chi Kuadrat
fo = Frekuensi Observasi
fh = Frekuensi yang diharapkan (Suharsimi Arikunto,1998: 312)
Setelah harga Xo2 hasil perhitungan diperoleh, selanjutnya dikonsultasikan
dengan tabel chi kuadrat dengan ketetapan sebagai berikut :
1) Apabila Xo2 > Xt2, sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal.
2) Apabila Xo2 < Xt2, sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah penelitian berasal dari populasi
yang homogen. Uji homogenitas digunakan dalam penelitian ini adalah metode Bartlett.
1) hipotesis
223
22
210 .... kH ssss =====
H1 = tidak semua variansi sama
2) Taraf Signifikansi α = 0.05
3) Statistik Uji
( )å-= 22 loglog203.2
jj sfRKGfc
X
dengan : ( )122 -- kcc k = banyaknya populasi =banyaknya sampel N = banyaknya seluruh nilai (ukuran) jn = banyaknya nilai (ukuran) sampel ke-j=ukuran sampel ke j
1-= jj nf = derajat kebebasan untuk :,...2,1; kjs j =
==-= å=
k
jjfkNf
1
derajat kebebasan untuk RKG
( ) ÷÷ø
öççè
æ-
-+= å ffk
cj
1113
11 ;
RKG = rataan kuadrat galat = åå
j
j
f
SS
( ) ( ) 2
1
2
2jj
j
jjj sn
n
XXSS -=-= å å
(Budiyono, 177)
2. Pengujian Hipotesis Penelitian
Teknik analisa data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan analisis variansi dua jalan dengan cara menghitung
frekuensi rerata sel. Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis selanjutnya
dilakukan penafsiran pengujian hipotesis. Penafsiran terhadap analisis varians hanya
dapat dipertanggungjawabkan bila nilai Freg yang diperoleh berarti atau signifikan
( ) ijkijjijkX eabbam ++++= 1
dengan :
X ijk = data (nilai) ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j
µ = rerata dari seluruh data (rerata besar, grand mean)
α1 = mm -i = efek baris ke-i pada variabel terikat
ßj = mm -j = efek kolom ke-j terhadap variabel terikat
αßij = ( )jij bamm ++- 1 kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j
terhadap variabel terikat
ijke = deviasi data X terhadap rataan populasinya ( ijm )yang
berdistribusi normal dengan rataan 0.
i = 1,2,3...,p; p=banyaknya baris
j = 1,2,3...,q; q=banyaknya kolom
k = 1,2,3,..,n; n=banyaknya data amatan pada setiap sel
(Budiyono, 207)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Umum
1. Deskripsi Wilayah Penelitian
a. Sejarah Singkat RSOP Surakarta
RSO (Rumah Sakit Ortopedi) secara resmi didirikan pada 28 Agustus 1951
yang dirintis oleh almarhum Prof. DR. R. Soeharso. Saat itu RSO berlokasi di Jalan
Kolonel Sutarto Jebres Surakarta dan masih menjadi bagian dari Rehabilitasi Centrum
(RC). Adapun kegiatan medis yang dilakukan berupa rehabilitasi terpadu, yaitu
rehabilitasi medik, sosial dan kerja. Sampai tahun 1955, Lembaga Orthopaedi dan
Prothese (LOP) menjadi satu atap dengan Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh
(PRPCT). Namun, karena lokasi dirasa semakin sempit para pengelola menganggap
LOP perlu dilengkapi gedung baru di daerah Pabelan Kartasura dengan areal seluas
10 Ha.
Pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya SK Menteri Kesehatan No.
139/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 LOP diubah menjadi Rumah Sakit
Orthopedi dan Prothese (RSOP). Kemudian, secara bertahap RSOP menempati lokasi
baru di daerah Pabelan Surakarta, sebelah barat kota Surakarta.
RSOP kembali berganti nama pada tanggal 24 April 1987 yang diresmikan
dengan nama RSOP Prof. Dr. R. Soeharso. Selanjutnya pada tahun 1994 dengan SK
Menteri Kesehatan No. 511/Men.Kes/VI/94 tanggal 8 Juni 1994 RSOP Prof. Dr. R.
Soeharso diganti lagi menjadi Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta.
Sejalan perkembangnya, Rumah sakit ini ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Nasional
Pelayanan Ortopedi dan di tahun 2000 RSO. Dr. R. Soeharso ditetapkan pula sebagai
Rumah Sakit pendidikan dokter spesialis ortopedi dan rehabilitasi medik.
Berikut tabel yang menunjukkan urutan perubahan status rumah sakit RSO. Dr.
R. Soeharso Surakarta :
Tabel 4. Perubahan status RSO Prof. DR. R Soeharso Surakarta
Waktu PERUBAHAN STATUS
Tahun 1946 Kegiatan rehabilitasi 28-8-1951 Berdiri Rehabilitasi Centrum (RC) 10-4-1955 Berdiri Lembaga Orthopaedi dan Prothesa
(LOP) di Jebres Surakarta 24-8-1978 Berubah menjadi Rumah Sakit Orthopaedi dan
Prothesa 24-4-1987 Menjadi Rumah Sakit Orthopaedi dan Prothesa
Prof Dr R Soeharso Surakarta di Pabelan
8-6-1994 Menjadi RS Orthopaedi Prof Dr R Soeharso Surakarta
20-7-2007 Pengklasifikasian menjadi RS Tipe A Khusus 22-7-2008 RS Pendidikan Kolegium Ilmu Orthopaedi dan
Traumatologi
b. Kondisi Fisik
Pengembangkan yang juga disertai beberapa kali perpindahan lokasi telah
dilakukan RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta. Kini RSO berdiri di atas tanah seluas
103.000 m2 di Kelurahan Pabelan, sebelah barat Kota Surakarta di Kabupaten
Sukoharjo. Luas bangunan RSO seluruhnya 21.876.989 m2. Bangsal rawat inap
sebanyak 6 ruangan dengan kapasitas tempat tidur 187 buah.
c. Visi dan Misi
Sesuai dengan status yang disandang RSO Prof. Dr. R Soeharso sebagai RS
pusat rujukan Nasional, maka visi yang diusang berbunyi :
“Terwujudnya Rumah Sakit Rujukan dan Pendidikan yang Terkemuka di Bidang
Orthopaedi – Traumatologi dan Rehabilitasi Medik.” (RENSTRA 2008-2012)
Kemudian, sebagai institusi kesehatan milik publik, RSO memiliki komitmen
untuk melayani pasiennya dengan pelayanan yang optimal namun tetap terjangkau.
Hal itu tercantum jelas dalam uraian misi yang diemban RSO yaitu :
1) Menyelenggarakan pelayanan ortopedi traumatolgi dan rehab medik paripurna
yang berorientasi pada kebutuhan dan keselamatan pasien, berkualias serta
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
2) Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan
pelayanan kesehatan, kemajuan ilmu pegetahuan, dan penapisan teknologi
kedokteran.
3) Menyelenggarakan manajemen rumah sakit dengan kaidah bisnis yang sehat,
terbuka, efisien, efektif, akuntabel sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
4) Mengelola dan mengembangkan SDM sesuai kebutuhan pelayanan dan
kemampuan rumah sakit.
Dalam menjalankan visi dan misi yang terbilang cukup luhur dan idealis itu jelas
seluruh jajaran manajerial maupun teknis RSO harus memiliki panduan berupa motto
kerja. RSO kini telah mencanangkan sebuah motto yang disingkat CEKATAN yaitu:
Cepat, Akurat, Aman dan Nyaman.
d. Tenaga SDM
Tenaga PNS RSO Prof. Dr. R.Soeharso :
Terbagi atas :
M e d i s
- Dokter Spesialis : 21 karyawan
- Dokter Umum : 14 karyawan
- Dokter Gigi : 4 karyawan
Paramedis keperawatan : 123 karyawan
Paramedis non keperawatan : 101 karyawan
Non medis : 280 karyawan
e. Struktur organisasi RSO Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta
Terlampir.
2. Gambaran Umum Responden
Pada sub bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum perawat RSOP
Surakarta dilihat dari jenis kelamin, umur, pendidikan, masa kerja dan deskripsi data
penelitian.
1) Jenis kelamin perawat
Berdasarkan data jenis kelamin perawat diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 5. Distribusi responden menurut jenis kelamin perawat
Jenis Kelamin Jumlah (f) Persentase (%)
Perempuan
Laki-laki
24
22
52,17
47,83
Total 46 100,00
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin
laki- laki 22 orang (47,83%) dan perempuan 24 orang (52,17%). Hasil
pengumpulan data tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan responden adalah
berjenis kelamin perempuan (24 orang) dari keseluruhan responden.
2) Umur perawat
Berdasarkan hasil pengumpulan data, umur perawat dapat diketahui
seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 6. Distribusi perawat menurut umur
Umur Jumlah (f) Persentase (%)
≤ 30 tahun ≥ 30 tahun
25 21
54,35 45,65
Total 46 100,00
Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat diketahui bahwa responden dengan
umur kurang atau sama dengan 30 tahun sebanyak 25 orang (54,35%) dan yang
mempunyai umur lebih dari 30 tahun sebanyak 21 orang (45,65%. Penemuan
tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan responden berumur kurang dari 35
tahun (25 orang) dari keseluruhan responden.
3) Masa kerja perawat
Berdasarkan pengumpulan data tentang masa kerja diperoleh data seperti
tampak pada tabel berikut:
Tabel 7. Distribusi Perawat Menurut Masa Kerja
Masa Kerja Jumlah (f) Persentase (%)
11 tahun
> 11 tahun
27
19
58,70
41,30
Total 46 100,00
Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat diketahui penggolongan masa kerja
adalah 11 tahun dan > 11 tahun. Hasil penelitian menemukan bahwa responden
yang mempunyai masa kerja kurang dari 11 tahun sebanyak 27 orang (58,70%),
yang mempunyai masa kerja lebih dari 11 tahun sebanyak 19 orang (41,30%) dari
keseluruhan responden.
B. Deskripsi Data
Penelitian ini membahas tentang pengaruh 2 variabel bebas yaitu Jenis Kelamin
(X1) dan Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja(X2) terhadap satu variabel terikat yaitu
Motivasi kerja perawat (Y). Data tersebut diperoleh dengan menggunakan angket.
Sebelum angket digunakan, terlebih dahulu dilakukan try out kepada 30 orang perawat di
luar sampel penelitian. Try out ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya item-item
yang tidak memenuhi validitas dan reliabilitas.
Dari hasil uji validitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja sebanyak
40 butir pernyataan, ada 6 pernyataan yang tidak valid yaitu soal nomor 13, 17, 24, 28,
32, dan 40. Hasil uji validitas angket tentang Motivasi kerja sebanyak 52 butir
pernyataan, terdapat pernyataan yang tidak valid sebanyak 5 yaitu nomor 9, 10, 17, 34,
dan 51. Nomor-nomor yang tidak valid selanjutnya tidak digunakan untuk mengambil
data penelitian, karena sudah terwakili oleh item soal yang lain.
Hasil perhitungan reliabilitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja =
0,876, reliabilitas angket motivasi kerja = 0,930. Karena harga reliabilitas lebih besar dari
rtabel (0,361), maka hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa angket sudah reliabel
untuk dijadikan alat penelitian.
Melalui proses tabulasi data jenis kelamin, dukungan sosial dan motivasi kerja
perawat, maka peneliti mengemukakan deskripsi data sebagai berikut :
1. Jenis Kelamin
Data jenis kelamin yang diperoleh dengan cara menyebarkan angket kepada 46
responden. Distribusi data berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase 1 Perempuan 24 52,17 2 Laki-laki 22 47,83 Jumlah 46 100,00 Sumber: Hasil Angket
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
Perempuan Laki-laki20
21
22
23
24
25
Jum
lah
Jenis Kelamin
Gambar 4. Histogram Jenis Kelamin Responden
2. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
Dukungan sosial merupakan variabel bebas kedua (X2). Data yang diperoleh
menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut :
a. Nilai tertinggi : 116 d. Standar Deviasi : 9,16
b. Nilai terendah : 76 e. Median : 99,50
c. Nilai rata-rata : 98,07 f. Modus : 100,7
Berdasarkan nilai rata-rata, data dukungan sosial dari rekan kerja
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tinggi (di atas rata-rata) dan rendah (di bawah rata-
rata). Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka distribusi data dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
No. Dukungan Sosial Frekuensi Prosentase 1 Rendah 21 45,65 2 Tinggi 25 54,35 Jumlah 46 100,00 Sumber: Hasil Angket
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
Rendah Tinggi19
20
21
22
23
24
25
Jum
lah
Dukungan Sosial
Gambar 5. Histogram Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
3. Motivasi kerja
Motivasi kerja perawat merupakan variabel terikat (Y). Data yang diperoleh
menghasilkan angka-angka sebagai berikut :
a. Nilai tertinggi : 166 d. Standar Deviasi : 13
b. Nilai terendah : 104 e. Median : 135,3
c. Nilai rata-rata : 134,61 f. Modus : 135,9
Distribusi data motivasi kerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10. Distribusi Data Motivasi Kerja
Kelas Interval Frekuensi Prosentase 158 - 166 2 4,35% 149 - 157 3 6,52% 140 - 148 11 23,91% 131 - 139 15 32,61% 122 - 130 9 19,57% 113 - 121 2 4,35% 104 - 112 4 8,70%
46 100,00% Sumber: Hasil Angket
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
104-112
113-121122-130
131-139140-148
149-157158-166
0
5
10
15
Jum
lah
Motivasi Kerja
Gambar 6. Histogram Motivasi Kerja
C. Uji Prasyarat Analisis
Langkah selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan melaksanakan uji
prasyarat analisis yang merupakan langkah dalam melakukan pengujian hipotesis yaitu
membuktikan hipotesis yang dirumuskan diterima atau ditolak. Uji prasyarat dalam
penelitian ini yaitu : a. Uji Normalitas, dan b. Uji Homogenitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas ini untuk menguji apakah data yang telah diperoleh mempunyai
sebaran data yang normal, maksudnya penyebaran nilai dari sampel yang mewakili telah
mencerminkan populasinya.
Hasil perhitungan uji normalitas data variabel motivasi kerja dengan menggunakan
rumus chi kuadrat diperoleh harga c2hitung = 8,710. Dari sampel sebanyak 46 diketahui
banyak kelas interval (k) adalah 7, sehingga derajat kebebasan (db) adalah k – 1 sama
dengan 5, dengan taraf signifikansi 5% didapatkan harga c2tabel = 9,488. Hasil
perhitungan tersebut menunjukkan bahwa c2hitung < c2
tabel atau 8,71 < 9,488
sehingga dapat dinyatakan bahwa data motivasi kerja berasal dari sampel yang diambil
dari populasi yang berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenits dilakukan untuk mengetahui tingkat variasi data. Uji homogenitas
dilakukan dengan menggunakan uji Bartlett. Hasil uji homogenitas diperoleh harga
c2hitung = 5,757. Sehubungan dengan analisis varias 2 x 2, maka derajat kebebasan (db)
adalah k – 1 sama dengan 3, dengan taraf signifikansi 5% didapatkan harga c2tabel =
7,815. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa c2hitung < c2
tabel atau
5,757 < 8,815 sehingga dapat dinyatakan bahwa data motivasi kerja memiliki variansi
data yang seimbang (homogen).
D. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah yang telah diajukan
diterima atau ditolak. Hipotesis akan diterima apabila data yang telah terkumpul dapat
membuktikan pernyataan di dalam hipotesis sebaliknya hipotesis akan ditolak apabila
data yang terkumpul tidak dapat membuktikan pernyataan di dalam hipotesis.
Langkah-langkah pengujian hipotesis meliputi tiga hal yaitu : 1. Analisis data,
2. Penafsiran Pengujian Hipotesis, dan 3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis.
1. Analisis Data
Data yang telah terkumpul disusun secara sistematis seperti terlihat pada
lampiran. Selanjutnya data dianalisis untuk membuktikan apakah hipotesis alternatif (Ha)
dalam penelitian ini diterima atau ditolak. Analisis data dimulai dari langkah sebagai
berikut :
a. Menghitung Rerata Sel
Tabel 11. Rerata Sel
b1 b2 total a1 117,333 137,000 254,333 a2 138,111 139,154 277,265
Total 255,444 276,154 531,598
b. Membuat tabel rangkuman analisis varians
Tabel 12. Analisis Varians Faktorial 2 x 2
Sumber variansi SS df MS F Efek utama :
A (baris) 1482,54 1 1482,54 24,80 B (kolom) 1209,13 1 1209,13 20,22
A B (interaksi) 977,869 1 977,87 16,35
Kesalahan 2511,25 42 59,79
Total 6180,79 45 -
Harga F(A) sebesar 24,80 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98. Karena
harga F (A) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan
antar baris.
Harga F(B) sebesar 20,22 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98 Karena
harga F (B) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan
antar kolom.
Harga F(AB) sebesar 16,35 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98 Karena
harga F (A) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan
antar kelompok.
2. Penafsiran Pengujian Hipotesis
Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis selanjutnya dilakukan
penafsiran pengujian hipotesis. Penafsiran terhadap analisis varians hanya dapat
dipertanggungjawabkan bila nilai Freg yang diperoleh berarti atau signifikan. Penafsiran
pengujian hipotesis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan X1 Terhadap Y
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui tingkat
perbedaan pengaruh jenis kelamin (X1) terhadap motivasi kerja perawat (Y) diperoleh
hasil nilai Fhit sebesar 24, 8 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung > Ftabel atau 24,8 > 3,98.
Sehingga dapat ditafsirkan bahwa tingkat motivasi kerja perawat berdasarkan jenis
kelamin memiliki perbedaan yang signifikan. Perawat dengan jenis kelamin laki-laki
memiliki motivasi kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perawat perempuan
b. Perbedaan antara X2 terhadap Y
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui perbedaan
pengaruh dukungan sosial dari rekan kerja (X2) terhadap motivasi kerja perawat (Y)
diperoleh hasil nilai Fhit sebesar 20,22 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung > Ftabel atau
20,22 > 3,98. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa tingkat motivasi kerja perawat
berdasarkan dukungan sosial dari rekan kerja memiliki perbedaan yang signifikan.
Perawat dengan dukungan sosial tinggi memiliki motivasi kerja lebih tinggi
dibandingkan dengan dukungan sosial yang rendah.
c. Perbedaan X1 dan X2 terhadap Y
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui perbedaan
jenis kelamin (X1) dan dukungan sosial dari rekan kerja (X2) terhadap motivasi kerja
perawat (Y) diperoleh hasil nilai Fhit sebesar 16,35 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung
> Ftabel atau 24,8 > 3,98. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa jenis kelamin dan
dukungan sosial dari rekan kerja secara bersama memiliki perbedaan yang signifikan
terhadap motivasi kerja perawat.
3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis
Setelah dilakukan pengujian hipotesis dan penafsiran pengujian hipotesis, maka
selanjutnya dikemukakan kesimpulan pengujian hipotesis sebagai berikut :
a. Hipotesis 1
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 24,8 > 3,98,
sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis
pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin
terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. DR. R Soeharso Surakarta”
dapat diterima.
b. Hipotesis 2
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 20,22 >
3,98, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis
pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial
dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. DR. R
Soeharso Surakarta” dapat diterima.
c. Hipotesis 3
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 16,35 >
3,98, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis
pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh bersama yang signifikan antara jenis
kelamin dan dukungan sosial terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof.
DR. R Soeharso Surakarta.”, dapat diterima.
E. Pembahasan Hasil Analisis Data
Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian dilakukan
pembahasan hasil analisis data. Pembahasan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat memberikan motivasi seseorang untuk bekerja. Sebagaimana
hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis kelamin berbeda signifikan terhadap
motivasi kerja perawat di RS Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa jenis kelamin berkaitan erat dengan motivasi kerja. Jenis kelamin
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang berbeda. Pada
umumnya, laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan
perempuan. Karena dari itu motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan motivasi perawat dengan jenis kelamin perempuan. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa skor rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis
kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perawat dengan jenis kelamin perempuan.
Rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 138,632,
sedangkan rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin perempuan sebesar
127,167. Jadi, jelas bahwa perbedaan jenis kelamin perawat mempunyai tingkat motivasi
kerja yang berbeda pula.
Bila menilik pada kajian teori yang ada, maka secara alamiah perempuan telah
memiliki kemampuan dasar sebagai perawat. Kajian historis, sosial maupun kultural
menunjukkan identifikasi perawat memiliki karakter yang lembut dan teliti. Profesi
perawat menuntut pengawasan yang teliti dan sensitif bagi pasien. Sehingga perempuan
yang berprofesi sebagai perawat sudah sangat terampil untuk menjaga orang-orang sakit
dengan baik dan penuh perhatian Terlebih sifat kelembutan perempuan sangat berguna
bagi si pasien dalam proses membantu kesembuhan pasien. Sebaliknya laki-laki secara
biologis dan sosial, tidak dilandasi sifat alamiah dalam pekerjaan perawat. Sehingga perlu
sedikit waktu lebih bagi laki-laki untuk mendalami profesi perawat yang dipilihnya.
Jadi, tidak mengherankan bila hasil penelitian ini menunjukkan motivasi kerja
yang dimiliki perawat laki-laki lebih besar dibanding dengan perawat perempuan. Hal ini
dikarenakan perawat laki-laki lebih terdorong untuk meningkatkan keterampilannya
dalam profesi perawat yang menuntut pengawasan dengan teliti dan sensitif bagi pasien.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial sangat penting bagi kehidupan seseorang. Dukungan sosial
merupakan salah satu bentuk dari penerimaan lingkungan terhadap seseorang. Dengan
diterimanya seseorang dalam lingkungannya, maka akan menimbulkan motivasi.
Demikian pula dalam lingkungan kerja, seseorang yang dapat diterima di lingkungan
kerjanya, berarti ia memperoleh dukungan sosial di lingkungan tersebut. Karena ada
penerimaan oleh lingkungan yang berarti adanya dukungan sosial, maka akan muncul
motivasi kerja orang tersebut. Dalam penelitian ini jelas membuktikan bahwa dukungan
sosial yang diterima antara perawat laki-laki dan perawat perempuan memiliki
perbedaan. Hasil penelitian jelas membuktikan bahwa dengan dukungan sosial yang
tinggi, maka motivasi kerja perawat juga tinggi. Demikian sebaliknya dari kelompok
dukungan sosial yang rendah, motivasi kerja perawat juga rendah.
Bentuk dukungan sosial tersebut antara lain dukungan emosional, dukungan
appraisal/penilaian, dukungan instrumental/materi, dan dukungan informasi.. Dukungan
emosional yang meliputi rasa simpati dan perhatian dari rekan kerja akan membuat
individu perawat merasa dihargai, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi. Sehingga,
individu perawat akan bekerja lebih giat dan bersemangat. Dukungan appraisal atau
penilaian yang berbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) dari rekan
kerja akan mengurangi beban pikiran individu perawat dalam bekerja. Dukungan
instrumental yang bersifat fasilitas atau materi akan membuat individu perawat merasa
tenang jika dalam pekerjaan atau kesehariannya mengalami kesulitan. Sedangkan
dukungan informasi yang meliputi nasehat, petunjuk, masukan dari rekan kerja sangat
membantu individu perawat dalam menyelesaikan pekerjaannya lebih efektif dan efisien.
Sehingga yang bersangkutan akan termotivasi untuk bekerja lebih baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok dukungan sosial tinggi, skor
rata-rata motivasi kerja sebear 138,077, sedangkan pada kelompok dukungan sosial
rendah, skor rata-rata motivasi kerjanya sebesar 127,72.
3. Jenis Kelamin dan Dukungan Sosial terhadap Motivasi Kerja
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis kelamin dan dukungan sosial secara
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Perbedaan setiap variabel
sebagaimana dijelaskan di atas secara jelas menunjukkan bahwa masing-masing variabel
secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Terlebih lagi jika kedua
variabel berinteraksi maka motivasi kerja perawat semakin meningkat.
Variabel jenis kelamin, sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa
motivasi kerja perawat dari jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perawat dengan jenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan profesi perawat yang
identik dengan pekerjaan domestik perempuan. Meskipun profesi perawat telah berada
pada ranah publik, tetapi tetap dibutuhkan kemampuan perawat dalam melayani pasien
dengan lembut dan penuh perhatian. Oleh sebab itulah, perawat laki-laki merasa perlu
mendorong dirinya untuk bekerja lebih giat agar kemampuan keperawatannya meningkat.
Sedangkan perawat perempuan bisa dikatakan sudah merasa cukup dengan kemampuan
alamiahnya dalam hal keperawatan. Selain itu pula, secara kultural laki-laki ditempatkan
sebagai sumber nafkah utama dalam keluarga. Sehingga daya dorong untuknya bekerja
lebih tinggi dibanding perempuan yang tidak terlalu dituntut untuk mencari nafkah.
Dukungan sosial tersebut sangat berbeda satu sama lain dalam hal beradaptasi dan
berinteraksi dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan pembentukan
keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial secara luas didefinisikan
sebagai tersedianya atau adanya hubungan yang bersifat menolong dan mempunyai nilai
khusus bagi individu yang menerimanya. Definisi ini juga memberikan pengertian
adanya ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif dimana hubungan antar individu baik
yang bersifat horizontal maupun vertikal memiliki ikatan positif yang menyenangkan.
Demikian pula dengan perawat dengan dukungan sosial yang tinggi, memiliki
motivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perawat dengan dukungan sosial rendah.
Dukungan sosial tersebut berbeda pada setiap individu dalam beradaptasi dan berinteraksi
dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan pembentukan keseimbangan
mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial dari rekan kerja yang diterima perawat,
baik laki-laki maupun perempuan, membentuk ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif.
Kondisi sosial yang positif dan menyenangkan inilah yang membuat motivasi kerja
perawat meningkat.
Interaksi antara kedua variabel pun demikian, bahwa perawat dengan jenis
kelamin laki-laki dan dukungan sosial tinggi memiliki motivasi paling tinggi, sedangkan
jenis kelamin perempuan dengan motivasi rendah memiliki motivasi yang paling rendah.
Dalam pengaruhnya ke motivasi kerja, jenis kelamin yang lebih tinggi yakni laki-laki.
Sehingga perempuan harus memiliki dukungan sosial yang kuat agar motivasi kerjanya
juga besar. Jadi, variabel dukungan sosial rekan kerja sangat mempengaruhi bagaimana
motivasi kerja diarahkan. Ketika motivasi kerja ingin dioptimalkan, maka variabel
dukungan sosial juga mesti ditingkatkan.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, kesimpulan dari penelitian ini
adalah :
1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan motivasi kerja antara perawat laki-laki
dan perawat perempuan.
2. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan dukungan sosial dari rekan kerja antara
perawat laki-laki dan perawat perempuan
3. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan dukungan sosial dari rekan kerja antara
perawat laki-laki dan perawat perempuan yang mempengaruhi motivasi kerja
Berdasarkan data yang terkumpul dan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat
juga diperoleh temuan yaitu:
1. Motivasi kerja perawat yang berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan
dengan motivasi kerja perawat yang berjenis kelamin perempuan.
2. Dukungan sosial dari rekan kerja dalam kelompok tinggi memiliki motivasi kerja
lebih tinggi dibandingkan dengan perawat dari kelompok dukungan sosial dari
rekan kerja yang rendah.
3. Perawat dengan jenis kelamin laki-laki dan memiliki dukungan sosial dari kerja
tinggi memiliki motivasi kerja paling tinggi.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dikemukakan, maka pada uraian
berikut akan peneliti sajikan implikasi hasil penelitian, sebagai berikut :
Adanya perbedaan motivasi kerja yang signifikan antara perawat dengan jenis
kelamin laki-laki-laki dan perawat dengan jenis kelamin perempuan terhadap motivasi
kerja perawat semakin menegaskan bahwa pekerjaan perawat tidak lagi didominasi oleh
kaum perempuan. Meskipun, secara kuantitas perawat perempuan masih melebihi
perawat perempuan, tetapi secara berangsur mulai diminati oleh kaum laki-laki. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perawat dengan jenis kelamin laki-laki memiliki
motivasi kerja yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Artinya, perawat laki-laki
memiliki dedikasi tinggi terhadap profesi perawat yang sudah lama dikonstruksikan
sebagai pekerjaan perempuan. Sehingga dalam profesionalitas keperawatan diperlukan
usaha untuk tidak mencitrakan perawat sebagai pekerjaan perempuan lagi. Secara tidak
langsung hal ini akan mendorong perawat, baik perempuan maupun laki-laki, untuk
bekerja dengan motivasi yang tinggi. Dengan kata lain, perawat perempuan akan
terdorong motivasinya meski ia sudah memiliki kemampuan alamiahnya dalam tugas-
tugas keperawatan. Begitu juga perawat laki-laki, terpacu motivasi kerjanya karena
pekerjaan perawat sudah tidak lagi diidentikkan sebagai pekerjaan domestik perempuan.
Adanya perbedaan yang signifikan antara dukungan sosial dari rekan kerja yang
diterima perawat laki-laki dan perawat perempuan, maka seorang perawat harus selalu
berinteraksi dengan sesama rekan kerja dalam bentuk interaksi yang baik. Secara
sederhana, interaksi yang baik dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan sosial sesama
perawat. Dukungan sosial yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian
informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif akan berdampak positif bagi
meningkatnya motivasi kerja. Perawat hendaknya selalu dekat dan terbuka pada rekan
kerja. Hal ini dimaksudkan agar perawat tidak memendam permasalahannya sendiri yang
bisa berakibat pada stres. Karena depresi dan kecemasan dapat semakin meningkat bila
tidak didapat penerimaan yang tulus dari rekan kerja. Sehingga sungguh diperlukan
keleluasaan dalam diri perawat untuk membicarakannya dengan teman kerja secara
simpatik.. Lebih lanjut, dukungan sosial yang memadai akan mengembangkan
kepribadian yang kuat pada diri perawat sehingga motivasi kerja semakin baik.
Adanya perbedaan yang signifikan antara perawat laki-laki dan perawat
perempuan serta dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat, maka
diperlukan langkah strategik agar profesi perawat tidak lagi terbatas gender atau jenis
kelamin. Karena perawat sudah menjadi pekerjaan yang profesional, yang tidak hanya
mampu dikerjakan oleh perempuan. Motivasi dalam bekerja memang mutlak diperlukan.
Karena tanpa adanya dorongan yang kuat untuk melakukan tugas dan tanggung
jawabnya, mustahil kinerja yang baik dapat tercipta. Dampaknya, tentu keberhasilan
sebuah organisasi, termasuk rumah sakit, akan luput tercapai. Begitu pula dengan
dukungan sosial di lingkungan kerja, terutama dari rekan kerja, hendaknya perawat
senantiasa menjaga hubungan sosial yang baik dan akrab. Karena dengan hubungan
sosial yang positif dan saling menguatkan satu sama lain akan membuat perawat
bersemangat dalam bekerja. Dukungan sosial yang diwujudkan dalam setiap tugas
keperawatan, akan mempengaruhi psikologi perawat dalam memacu motivasinya dalam
bekerja.
C. Saran
Berdasarkan pembahasan hasil analisis data dan simpulan yang telah peneliti sajikan
di atas, peneliti dapat memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi organisasi maupun bagi perawatnya. Adapun saran-saran yang dapat
peneliti sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Kepada Pimpinan
Kepada pimpinan Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan perhatian pada
setiap jenis kelamin perawat dan tidak membeda-bedakan, karena setiap pegawai
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam lingkungan kerja. Perlakuan ini penting
karena untuk menjaga agar tidak terjadi perbedaan gender dalam kehidupan lingkungan
kerja, sehingga dapat menjaga lingkungan kerja selalu kondusif untuk melakukan
pekerjaan secara maksimal. Selain itu juga kepada pemerintah, terutama dalam hal ini
departemen kesehatan, mampu menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersetara gender.
Dalam arti, setiap kebijakan kesehatan yang dikeluarkan tidak membeda-bedakan jenis
kelamin. Semua tenaga kesehatan, baik itu perempuan ataupun laki-laki, memiliki potensi
yang seimbang dalam menjalankan tugas.
2. Kepada Perawat
Kepada perawat diharapkan untuk tetap bekerja secara profesional. Seseorang
yang bekerja secara profesional tidak berpikir secara subjektif, atau memikirkan
kebutuhan sendiri. Pekerja profesional akan selalu bekerja untuk memperoleh hasil kerja
yang maksimal. Karena itu faktor jenis kelamin tidak bisa dijadikan alasan untuk bekerja
dengan motivasi sekedarnya. Perawat semestinya tertantang dengan tugas yang dibebani
kepadanya. Terlebih permasalahan kesehatan pada zaman modern ini kian kompleks.
Selain itu, untuk dapat diterima dalam lingkungan kerja harus bertindak secara wajar
sehingga rekan kerja dapat menerima sepenuhnya kehadiran seseorang dalam lingkungan
kerjanya.
3. Kepada Peneliti
Kepada peneliti, diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat meningkatkan kualitas
keilmuaannya, terutama dalam disiplin ilmu sosiologi-antropologi. Terlebih dalam setiap
waktu, perubahan sosial-budaya pasti terjadi. Baik secara perlahan maupun cepat,
dinamika sosial kehidupan masyarakat tak dapat dihindari. Oleh karena itu, acuan
penelitian diperlukan sebagai acuan penerapan ilmu. Masalah kesehatan, merupakan
salah satu ranah kajian sosial budaya yang terus mengalami perkembangan. Baik itu dari
sebaran tenaga medis maupun perilaku kesehatan masyarakat. Selanjutnya, kepada
peminat ilmu sosial terutama menyangkut masalah kesehatan, diharapkan dapat
memperkaya referensi lainnya yang relevan sesuai masa agar hasil penelitian yang dikaji
lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Gde Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Kedokteran EGC. Alain Mitrani. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi.
Jakarta: Grafiti. Anwar Prabu Mangkunegara. 1993. “Psikologi Perusahaan”. Bandung : Trigenda Karya. Armstrong et al. 2005. “Pathways Between Social Support, Family Well Being, Quality
of Parenting, and Child Resilience: What We Know”. Journal of Child and Family Studies, Vol. 14, No. 2. (http;// www.michaelungar.ca/014_mediabank/File//Armstrong_et_al._2005.pdf)
Atkinson, Rita L et al. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga Awal Isgiyanto. 2009. Teknik Pengambilan Sampel Pada Penelitian Non-Eksperimental.
Yogyakarta : Mitra Cendikia offset Aziz Alimul Hidayat. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan II. Jakarta: Salemba
Medika. Baron, A. Robert dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Burns, Robert B. 2000. Introduction to Research Methods. London: Sage Publications,
Ltd. Capra, Fritjof. 2007. The Turning Point –Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Jejak. Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Cockerham, William C. 1995. Medical Sociology. New Jersey : Prentice Hall Inc.,
Englewood Cliffs. Cohen S, Syme SL. (1985). Issues in the application and study of social support. In:
Cohen S, Syme SL, eds. Social Support and Health. Orlando, FL: Academic Press, pp. 3-22.
Consuelo G., dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.
Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press Firdaus Christyoadi, Sukarti & Suseno M. N. 2009. Hubungan Antara Dukungan Sosial
Dengan Motivasi Kerja Karyawan PT. Usmantek Kabupaten Magelang. Yogyakarta: UII.
Foster, George M dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Terjemahan. Jakarta: UI
Press. Freund, P. E.S dan McGuire, M B,. Health, Illness, And the Social Body; a Critical
Sociology. New Jersey: Prentice Hall Englewoods. Gerungan. 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Gomes, Cardoso F. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Gulo W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press. Hall, David dan Irene Hall. 1996. Practical Social Research, Project Work In The
Community. Macmillan Press LTD. London. Halonen, Jane S dan Santrock, John W. 1999. Psychology Contexts and Applications. 3th
ed. New York : McGraw Hill. Hollander. 1971. Principles And Methods Of Social Psycjology 2 Nd. New York : Oxford
Universitu Press Kartini Kartono. 2005. Pemimpin dan kepemimpinan; apakah kepemimpinan abnormal
itu?”. Jakarta: Raja Grafika Persada. Kreiter & Kinicki, A. 1998. Organizational Behavior (4th). New York : McGraw Hill. Luthans, Fred. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Andi. Malayu Hasibuan. 2005. Organisasi Dan Motivasi. Jakarta : Bina Aksara. Martin Handoko. 1992. “Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku”. Yogyakarta :
Kanisius. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1995. Metode penelitian survei. Jakarta : LP3ES. Mohommad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
105
_______________. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.. Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta : Bumi Aksara Rahim, Afzalur. 1996. “Stress, Strain And Their Moderators: An Emperical
Comparasion Of Entrepreneurs And Managers”. Journal Of Small Business Management. 4,46-59. (allbusiness.com/management/565264-1.html)
Ranupandojo, H dan Husnan, S,. 2000. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE. Ratna Megawangi. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan Rita Andarika. 2004. Burnout Perawat Puteri Rs St. Elizabeth Semarang Ditinjau Dari Dukungan Sosial. Palembang:
http://psikologi.binadarma.ac.id/jurnal/jurnal_rita.pdf Rook, KS & Dooley, D. 1985. “Applying social support research; theoretical problems
and future directions”. Journal of Social Issues, 41, 5-28. Sanapiah Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Usaha Nasional. Surabaya. Sarwono, S,. 1993. Sosiologi Kesehatan; Beberapa Konsep dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press Sciortino, R,. 1995. Care-Takers Of Cure; An Anthropological Study Of Health Centre
Nurses In Rural Central Java. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Siagian, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Silverman, David. 2002. Intrepeting Qualitative Data “Method for analizing Talk, Text
and Interaction”. London : Sage Publications Slamet Widodo. 2004. Metodologi Penelitian. Sebelas Maret University; Surakarta. Soehardjo. 2002. Statistik Terapan; Analisis Varian Dan Jalur. Pasca Sarjana UNS:
Surakarta Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. _______. 2001. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. Sugiarto, dkk 2001. Teknik Sampling. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta :
Rineka Cipta Sumadi Suryabrata. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta Raja Grafindo Persada Sunarto Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research JilidII. Yogyakarta : Andi Offset. Syaifuddin Azwar. 2004. Reliabilitas Dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tjandra Yoga Aditama. 2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit, edisi kedua.
Yogyakarta: BPFE. Taylor, A. R., Sylvestre J.C., & Botscner, J. V. 1998. Social Support Is Something You
Do, Not Something You Provide: Implications For Linking Formal And Informal Support. Journal of Leisurability. Volume 25, number 4.
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears D.O. 1997. Social Psychology 9th . New Jersey :
Prentice Hall. Wan, CK Jaccard, J and Raney, SL. 1996. “The Relationship Between Social Support
And Life Satisfaction As A Function Of Family Structure”. Journal of marriage and family, 58;2. 2002-513
Winarno Surakhmad. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito _________________. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode Dan Teknik,
Edisi Ke-8. Bandung : Tarsito Winardi J. 2001. Motivasi Dan Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.