Upload
kevin
View
226
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Anak
Citation preview
REFRESHING
HIV PADA ANAK
Disusun Oleh:
Wahyu Putri Rahmawati
NIM. 105070101111019
Pembimbing:
dr. Irene Ratridewi, Sp.A (K), M.Kes
dr. Savitri Laksmi Winaputri, SpA
LABORATORIUM / SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
2.1 HIV Pada Anak..............................................................................................5
2.1.1 Definisi .......................................................................................................5
2.1.2 Epidemiologi ..............................................................................................5
2.1.3 Etiologi .......................................................................................................6
2.1.4 Cara Penularan ..........................................................................................8
2.1.5 Patofisiologi ................................................................................................8
2.1.6 Patogenesis ...............................................................................................9
2.1.7 Gambaran Klinis ........................................................................................11
2.1.8 Diagnosis ...................................................................................................12
2.1.9 Pengobatan ................................................................................................10
2.1.10 Pencegahan..............................................................................................24
BAB 3 PENUTUP................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Presentas Jumlah Kasus HIV AIDS Menurut Kelompok
Umur Sampai September 2012 ......................................................................... 5
Gambar 2.2 Presentasi HIV AIDS Menurut Kelompok Faktor Resiko
Sampai September 2012 ................................................................................... 6
Gambar 2.3 Presentasi Kasus HIV AIDS Pada Anak Usia 0-14 tahun
Sampai September 2012.................................................................................... 6
Gambar 2.4 Struktur Retrovirus.......................................................................... 7
Gambar 2.5 Replikasi HIV.................................................................................. 8
Gambar 2.6 Patofisiologi HIV............................................................................. 9
Gambar 2.7 Patogenesis HIV............................................................................ 10
Gambar 2.8 Perkembangan HIV Tanpa Terapi................................................. 10
Gambar 2.9 Stadium Klinis HIV Menurut WHO ................................................ 12
Gambar 2.10 Skenario Pemeriksaan HIV.......................................................... 14
Gambar 2.11 Bagan diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan, pajanan
HIV tidakdiketahui............................................................................................. 15
Gambar 2.12 Kriteria Diagnosis Presumtif........................................................ 16
2.13 Gambar Kriteria Klinis HIV........................................................................ 16
Gambar 2.14 Kritera Imunodefisiensi Menurut Nilai CD4 ................................ 17
Gambar 2.15 IndIkasi Terapi ARV.................................................................... 17
Gambar 2.16 Rekomendasi ARV Lini Pertama................................................. 17
Gambar 2.17 Pilihan ARV NRTI........................................................................ 18
Gambar 2.18 Pilihan ARV NNRTI...................................................................... 19
Gambar 2.19 Dosis Anti Retroviral Untuk Anak................................................. 21
Gambar 2.20 Item Evaluasi Setelah Mendapat ARV......................................... 21
Gambar 2.21 Toksisitas ARV LiNI Pertama Pada Bayi dan Anak serta
Terapi Penggantinya.......................................................................................... 22
Gambar 2.22 Pilihan ARV Lini Kedua................................................................ 24
Gambar 2.23 Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif........................................................................................................... 24
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV pada anak merupakan suatu permasalahan yang kini menjadi masalah
di seluruh dunia. Penularan HIV pada anak ini salah satunya disebabkan
karena adanya transmisi vertikal (perinatal) dari ibu yang terinfeksi HIV pada
anaknya baik selama kehamilan, melahirkan maupun menyusui. Hingga tahun
2013 secara signifikan sekitar 240.000 anak dibawah usia 15 tahun terinfeksi
HIV. Hal ini tentu saja membawa dampak bertambahnya jumlah anak di seluruh
dunia yang terinfeksi HIV atau AIDS mencapai 3,2 juta atau sekitar 9 persen
dari semua penderita AIDS. Dan sekitar 2/3nya berada di sub-Saharan Afrika.
Salah satu pencegahan untuk mengurangi angka HIV pada anak ini yaitu
melalui Prevention of Perinatal Transmission yaitu salah satunya dengan
memeriksa semua wanita hamil yang beresiko tinggi dan mencegah wanita
yang terinfeksi HIV untuk menyusui (UptoDate,2014).
Dengan adanya hal tersebut, maka diharapkan seorang tenaga medis
terutama seorang dokter umum diharapkan mampu untuk melakukan suatu
intervensi baik dalam pencegahan, deteksi dini, maupun terapi awal sebelum
akhirnya drujuk ke spesialis yang lebih ahli.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV Pada Anak
2.1.1 Definisi
Menurut Family Health Internasional, Human Immunodeficiency Virus
(HIV) berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus
ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang menggunakan sel tubuhnya sendiri
untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi virus ini menurunkan sistem
kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit infeksi oportunistik atau
kanker tertentu dan bersifat sindroma yang disebut AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) (Duarsa, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2009, sekitar 2,1 juta anak berusia dibawah 15 tahun hidup
dengan HIV dan tiap hari sekitar 1000 anak terinfeksi HIV serta 1 dari 6 kasus
AIDS menyebabkan kematian dan 1 dari 7 kasus merupakan kasus baru di
seluruh dunia pada anak berusia kurang dari 15 tahun (WHO, 2014).
Di Indonesia menurut Kemenkes hingga tahun 2012, terdapat sekitar
3,6% kasus HIV AIDS pada anak disebabkan akibat penularan dari ibu ke anak
(Tjandra, 2013).
Gambar 2.1 Presentasi Jumlah Kasus HIV AIDS Menurut Kelompok Umur
Sampai September 2012 (Tjandra, 2013)
6
Gambar 2.2 Presentasi HIV AIDS Menurut Kelompok Faktor Resiko Sampai
September 2012 (Tjandra, 2013)
Gambar 2.3 Presentasi Kasus HIV AIDS Pada Anak Usia 0-14 tahun Sampai
September 2012 (Tjandra, 2013)
2.1.3 Etiologi
1. Struktur HIV
Acquired immune defficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immmunodeficiency Virus) yang
termasuk famili retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. HIV
7
adalah retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran
fisikomia yang merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih kompleks
daripada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi. Virus mengandung tiga
gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus – gag, pol, dan env (Brooks,
2004).
Gambar 2.4 Struktur Retrovirus
2. Siklus Hidup HIV
HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di
dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari
interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang
terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4). Sel
target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit,
mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik). Terdapat 5 fase
dalam replikasi virus HIV yaitu binding and entry, reverse transcription,
replication, budding, dan maturation.
8
Gambar 2.5 Replikasi HIV
2.1.4 Cara Penularan
Terdapat 3 prinsip cara penularan HIV yaitu vertikal, parenteral, dan
seksual. Pada anak, sekitar 90% infeksi HIV terjadi melalui transmisi penularan
vertikal (perinatal). Secara keseluruhan, presentasi resiko transmisi ibu ke anak
terjadi pada 5-10% intrauterine, 10-20% intrapartum, 5-20% melalui menyusui
(WHO, 2011).
2.1.5 Patofisiologi
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang
memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan
pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah
itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41. Setelah berada di dalam sel
CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse
transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangat
berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam
nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel pejamu. Virus yang
terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel pejamu, RNA
ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi menyebabkan
produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi
enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein struktural. Hasil
pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius
9
yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus
infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi
dan mengulang proses tersebut (Mandal, 2008).
Gambar 2.6 Patofisiologi HIV
2.1.6 Patogenesis
Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit
dan makrofag, sel T helper dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun.
Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau
melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus
ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan
kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia
(gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian
pasien AIDS. Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Pada waktu
10
orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala,
pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari.
Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit
CD4 sekitar 10 setiap hari (Sherwood, 2001).
Gambar 2.7 Patogenesis HIV (Fauci, 2003)
Gambar 2.8 Perkembangan HIV Tanpa Terapi (Bennet, 2011)
2.1.7 Gambaran Klinis
11
Gambar 2.9 Stadium Klinis HIV Menurut WHO (Kemenkes, 2014)
2.1.8 Diagnosis
1. Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
a. Uji Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah
umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas
98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma
EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat
digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu
laksana sesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka
terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
13
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV (Kemenkes, 2014).
b. Uji Serologis
1. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan
serologis dewasa. Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan
ada tidaknya pajanan HIV. Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik
konfirmasi
2. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan
uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila
hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis
untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis
positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat
dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
3. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
4. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV
tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan
diagnosis presumtif.
5. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
6. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa (Kemenkes, 2014).
14
Gambar 2.11 Bagan diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan, pajanan
HIV tidak diketahui (Kemenkes, 2014)
2. Diagnosis presumtif HIV pada anak <18 bulan
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi
perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan
diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis presumtif.
16
Gambar 2.12 Kriteria Diagnosis Presumtif (Kemenkes, 2014)
3. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji
HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat
ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila
ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi
sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk
menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV (Kemenkes, 2014).
2.1.9 Pengobatan
A. Kriteria Pemberian ARV
1. Kriteria Klinis
2.13 Gambar Kriteria Klinis HIV (Kemenkes, 2014)
2. Penetapan Kelas Imunodefisiensi
17
Gambar 2.14 Kritera Imunodefisiensi Menurut Nilai CD4
(Kemenkes, 2014)
3. Indikasi ARV
Gambar 2.15 IndIkasi Terapi ARV (Kemenkes, 2014)
B. Rekomendasi ARV
1. Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI)
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV (pilih warna
yang berbeda)
Gambar 2.16 Rekomendasi ARV Lini Pertama (Kemenkes, 2014)
Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama
18
Langkah 2: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TC
Gambar 2.17 Pilihan ARV NRTI (Kemenkes, 2014)
Keterangan:a 3TC dapat digunakan bersama dengan 3 obat di atas karena memiliki catatan efikasi, keamanan
dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah timbul resistensi bila tidak patuh minum ARV. b Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama untuk lini 1. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka
dipertimbangkan pemberian Stavudin (d4T) sebagai lini 1. c Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka panjang, maka
dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gr/dl)setelah pemakaian 6 – 12 bulan.
Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4Td Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena ketersediannya belum dipastikan,
sedangkan umur termuda yang diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak
yang lebih muda tidak dapat menggunakannya. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping
osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena diharapkan penggunaan ARV tidak
mengganggu pertumbuhan tinggi badannya.
Langkah 3: Pilih NNRTI
19
Gambar 2.18 Pilihan ARV NNRTI (Kemenkes, 2014)
Keterangan:a Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam program pencegahan
penularan ibu ke anak (PPIA) mempunyai risiko tinggi untuk resistensi NNRTI oleh karena itu
dianjurkan menggunakan golongan PI sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak tersedia, paduan
kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI dapat dipilih dengan pemantauan utama munculnya resistensi.b NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung estrogen. Kondom harus
selalu digunakan untuk mencegah penularan HIV tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri
dalam masa reproduktif yang mendapat EFV harus menghindari kehamilan.
C. Dosis ARV Pada Anak
20
Gambar 2.19 Dosis Anti Retroviral Untuk Anak (Kemenkes, 2014)
D. Evaluasi
Gambar 2.20 Item Evaluasi Setelah Mendapat ARV (Kemenkes, 2014)
Keterangan:1 Pasien anak yang diberi ARV dengan cepat bertambah berat dan tingginya sesuai dengan
pertumbuhan, karenanya penghitungan dosis harus dilakukan setiap kontrol. Dosis yang terlalu
rendah akan berpotensi menimbulkan resistensi.
22
2 Obat yang diminum bersamaan harus dievaluasi setiap kali kunjungan; seperti apakah
kotrimoksazol diminum (pada anak yang terindikasi) atau ada obat lain yang potensial berinteraksi
dengan ARV (lampiran D).3 Kepatuhan minum obat ditanyakan dengan cara menanyakan dosis yang terlewat dan waktu anak
minum obat. Yang ideal adalah menghitung sisa tablet atau puyer.4 Pemantauan kadar hemoglobin (Hb) dan leukosit harus dilakukan bila anak menerima AZT pada
bulan 1 dan ke 3. 5 Pemeriksaan kimia darah lengkap meliputi enzim-enzim hati, fungsi ginjal, glukosa, profil lipid,
amilase, lipase dan elektrolit serum. Pemantauan bergantung pada gejala dan obat ART yang
dipilih. Pada remaja putri dengan CD4> 250 sel/mm3 pemantauan fungsi hati dalam 3 bulan
pertama ART dipertimbangkan bila memakai NVP. Juga pada kasus anak dengan koinfeksi
hepatitis B dan C atau penyakit hati lainnya.6 Tes kehamilan harus dimintakan pada remaja putri yang akan mendapat EFV dengan konseling
yang tepat pada keluarga.7 Pemantauan CD4 dianjurkan dilakukan pada saat awal diagnosis dan setiap 6 bulan sesudahnya.
Bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia, gunakan parameter klinis untuk pemantauan.8 Saat ini pemeriksaan VL belum menjadi syarat untuk memulai ARV ataupun pemantauan. Tetapi
VL dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV, memastikan kegagalan klinis dan imunologis
sebelum mengganti ke lini dua.
E. Toksisitas ARV
Gambar 2.21 Toksisitas ARV LiNI Pertama Pada Bayi dan Anak serta Terapi
Penggantinya (Kemenkes, 2014)
23
Keterangan:
a. Anemia berat adalah Hb < 7,5 g/dl dan neutropenia berat dengan hitung neutrofil < 500/mm3.
Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b. Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter dan berat yang dapat menghalangi minum
obat ARV (mual dan muntah persisten).
c. ABC dipilih pada kondisi ini, tetapi bila ABC tidak tersedia boleh digunakan AZT.
d. Substitusi d4T umumnya tidak akan menghilangkan lipoatrofi. Pada anak ABC atau AZT dapat
dianggap sebagai alternatif.
e. Pankreatitis yang dikaitkan dengan 3TC/emtricitabine(FTC) dilaporkan pada orang dewasa,
namun sangat jarang pada anak.
f. Batasannya adalah toksisitas SSP yang berat seperti halusinasi persisten atau psikosis.
g. Toksisitas hati yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi
HIV yang belum mencapai usia remaja.
h. EFV saat ini belum direkomendasikan pada anak < 3 tahun, dan sebaiknya tidak boleh diberikan
pada remaja putri yang hamil trimester I atau aktif secara seksual tanpa dilindungi oleh kontrasepsi
yang memadai.
i. Lesi kulit yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi
mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh,
edema fasial, konjungtivitis. Sindrom Stevens-Johnson dapat mengancam jiwa, oleh karena itu
hentikan NVP, 2 obat lainnya diteruskan hingga 2 minggu ketika ditetapkan paduan ART
berikutnya Untuk SSJ penggantinya tidak boleh dari golongan NNRTI lagi.
j. Introduksi PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya
bila sudah terjadi kegagalan terapi.
F. ARV Lini Kedua
Terapi ARV lini kedua dimulai bila terdapat kegagalan terapi lini 1.
Kegagalan terapi ARV dinilai dari klinis, imunologis dan virologis. Parameter yang
lebih dahulu muncul adalah kegagalan virologis (bila VL kembali mencapai 5000
copieRNA/ml, diperiksa dalam 2 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda),
diikuti dengan kegagalan imunologis (bila nilai CD4 turun pada 2 kali
pemeriksaan yang dilakukan dengan jarak 3 bulanan) dan terakhir muncul
kegagalan klinis berupa munculnya penyakit baru yang tergolong pada stadium 3
atau 4. Pada anak yang patuh minum obat, kriteria gagal imunologis adalah:
- Pada anak > 2 tahun sampai < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau
CD4 <10%
- Pada anak > 5 tahun hitung CD4 <100 sel/mm3
24
Gambar 2.22 Pilihan ARV Lini Kedua (Kemenkes, 2014)
2.1.10 Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat dilakukan dengan
pemberian klotrimoksazol. Namun, pasien dan keluarga harus diedukasi bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati atau menyembuhkan infeksi HIV. Kotrimoksazol
tidak menggantikan kebutuhan terapi antiretroviral. Kotrimoksazol mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV dan anak
imunokompromais, dengan tingkat mortalitas tinggi dan meminum kotrimoksazol
harus teratur.
Gambar 2.23 Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif (bagian dari Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak/PPIA)
(Kemenkes, 2014)
25
BAB 3
PENUTUP
1. HIV pada anak disebabkan oleh karena retrovirus obligat intraselular yang
berreplikasi sepenuhnya di dalam sel host. Sel target utama adalah sel yang
mempu mengekspresikan reseptor CD4.
2. Penularan tersering pada anak yaitu melalui transmisi dari ibu ke anak saat
hamil, melahirkan, maupun menyusui
3. Manifestasi Klinis HIV pada anak dibagi menjadi 4 stadium menurut WHO
4. Terapi ARV pada anak dimulai dengan 2 NRTI dan 1 NNRTI
5. Terapi lini kedua pada anak dimulai bila gagal lini pertama akibat salah
satunya yaitu kepatuhan minum obat atau pada anak yang teratur minum
obat namun gagal imunologis
6. Pencegahan penularan dari ibu ke anak dapat diberikan klotrimoksasol
sebagai profilaksis dan diberikan pada anak usia 4-6 minggu
26
DAFTAR PUSTAKA
Bennett, Nicholas John.2011. HIV Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#aw2aab6b2b3.
Diakses 10 Februari 2015.
Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse, Stephen A. Mikrobiologi Kedokteran
Jawetz, Melnick, & Adelberg, Edisi 23. Jakarta: EGC. 2004.
Duarsa, NW. Infeksi HIV dan AIDS. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Edisi III. Jakarta. 2005.
Fauci, Anthony S. 2003.HIV Pathogenenesis.
http://www.medscape.com/viewarticle/458523_5. Diakses 10 Februari
2015.
Kemenkes.2014.Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.
Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2001.
Tjandra, Yoga.2013.Situasi Epidemiologi HIV-AIDS Di Indonesia.
http://www.academia.edu/9685370/SITUASI_EPIDEMIOLOGI_HIV-
AIDS_DI_INDONESIA. Diakses 10 Februari 2015.
Uptodate.2014.Epidemiology of pediatric HIV infection.
http://www.uptodate.com/contents/epidemiology-of-pediatric-hiv-infection .
Diakses 10 Februari 2015.
WHO.2011.Manual on Paediatric HIV Care and Treatment for District Hospital.
27