Upload
ronny29
View
243
Download
1
Embed Size (px)
8/11/2019 refrat preterm
1/27
I. PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
perinatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan mortalitas 70%
perinatal dan neonatal, dan morbiditas jangka panjang, yang meliputi retardasi
mental, serebral palsi, gangguan perkembangan, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, dan gangguan non neurologis, seperti penyakit paru
kronis dan neuropati. Oleh karena itu persalinan preterm bukan hanya menjadi
masalah obstetric yang paling umum tapi dapat menjadi masalah obstetrik
(Rima, 2010).
Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu, dimana terjadi kontraksi uterus yang teratur
yang berhubungan dengan penipisan dan dilatasi serviks. Terdapat definisi lain
tentang persalinan preterm, yaitu persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20
dan 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Bayi yang lahir prematur
memiliki berat badan lahir rendah dan hubungan antara umur kehamilan dengan
berat badan lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intra uterin
(Cunningham, 2012). Angka kejadian persalinan preterm umumnya bervariasi
antara 615% pada seluruh persalinan. Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan
preterm per 1000 kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan
preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm per 100
kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran (6,2%), di Asia 6.097
per 1000 kelhiran atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran
(11,1%) (Stacy et al, 2010). Namun pernah dilaporkan angka kejadian persalinan
preterm di rumah sakit di Jakarta sebesar 13,3% dan di rumah sakit di bandung
sekitar 9,9% pada tahun 2001 (Rima, 2010).
8/11/2019 refrat preterm
2/27
Di Amerika Serikat pada tahun 2005, 28.384 bayi meninggal pada tahun
pertama kehidupan mereka, kelahiran kurang bulan terkait dengan dua per tiga
kematian ini. Angka kelahiran kurang bulan pernah menjadi penyumbang terbesar
kematian bayi di Amerika Serikat. Berbagai jenis morbiditas terutama
dikarenakan sistem organ yang imatur secara signifikan meningkat pada bayi yang
lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu dibandingkan dengan bayi yang lahir
aterm (Cunningham, 2012). Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas perinatal yang berhubungan dengan persalinan preterm memerlukan
identifikasi faktor resiko. Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik
tentang faktor faktor resiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan
preterm (Rima, 2010).
II. DEFINISI
Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama haid terakhir
(C.Hubinont, 2011). Partus prematurus atau persalinan prematur juga diartikan
sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan atau
dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya
kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir
(Oxorn, 2010). Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 2237 minggu (Rima, 2010).
III.EPIDEMIOLOGI
Kejadian persalinan preterm tidak merata pada setiap wanita hamil. Dari suatu
penelitian didapatkan bahwa kejadian persalinan preterm pada wanita dengan kulit
hitam adalah 2 kali lebih banyak dibandingkan ras lain di Amerika Serikat.
Penyebab prematuritas adalah terkait multifaktorial. Persalinan preterm wanita
kulit putih lebih banyak berupa persalinan preterm spontan dengan selaput
ketuban utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam umumnya didahului dengan
ketuban pecah dini. Persalinan preterm juga dapat dibagi menurut usia kehamilan,
sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kurang dari 28 minggu (extreme
prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe
8/11/2019 refrat preterm
3/27
prematurity), sekitar 20% pada usia 32-33 minggu (moderate prematurity), dan
60-70% pada usia 34-36 minggu (near term) (Rima, 2010.) Diperkirakan terdapat
12.870 persalinan preterm per 1000 kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA
kejadian persalinan preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan
preterm per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran
(6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelhiran atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097
per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al, 2010). Angka kejadian persalinan
prematur di Indonesia pada tahun 1983 adalah 18,5% dan pada tahun 1995
menurun menjadi 14,2%.Menurut data terakhir pada tahun 2005 persalinan
prematur di Indonesia adalah 10% (Oxorn, 2010).
Prematuritas dewasa ini
menjadi merupakan faktor tersering terkait morbiditas dan mortalitas bayi.
Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayibayi prematur, gangguan respirasi
menyebabkan kematian sebesar 44% pada bayi usia kurang dari 1 bulan. Jika
berat bayi kurang dari 1000 gram maka angka kematian naik menjadi 74%.
Karena lunaknya tulang tengkorak serta immaturitas, bayi prematur lebih rentan
terhadap kompresi kepala. Perdarahan intrakranial lebih sering terjadi pada bayi
prematur dibandikan dengan bayi aterm (Oxorn, 2010). Setiap tahun sekitar 4 juta
bayi meninggal dalam 4 minggu pertama kehidupan (periode neonatal). Secara
global diperkirakan penyebab langsung kematian neonatal adalah prematuritas
(28%), infeksi berat 26%, dan asfiksia 28%. Persalinan preterm spontan paling
sering terjadi pada ibu dengan kulit putih, sedangkan ketuban pecah prematur
adalah penyebab paling sering terjadinya persalinan preterm pada ibu kulit hitam
(Cunningham, 2012).
IV. ETIOLOGI dan Patofisiologi
Penyebab persalinan preterm untuk semua kasus adalah berbeda beda.
Persalinan preterm, merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi
keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik memiliki pengaruh terhadap
terjadinya persalinan preterm. Kadang hanya resiko tunggal dijumpai seperti
distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma (Sarwono, 2010).
Beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm adalah abortus yang
mengancam, faktor gaya hidup seperti merokok, pertambahan berat badan ibu
8/11/2019 refrat preterm
4/27
yang tidak adekuat, penggunaan narkoba. Faktor maternal lain yang terlibat
adalah usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, tubuh pendek, kesenjangan ras dan
etnik, hiperaktivitas selama kehamilan, faktor genetik, penyakit periodontal, cata
lahir, interval antara kehamilan sebelumnya dan saat ini, serta riwayat persalinan
preterm pada kehamilan sebelumnya (Cunningham, 2012).
Gambar 1. Faktor resiko persalinan preterm
Dikutip dari
Terdapat empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di Amerika
Serikat. yaitu :
1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi
dilahirkan dengan persalinan sesar.
2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh.
3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik
4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak
Pada persalinan preterm, 30 35% teridentifikasi, sebanyak 40 45%
dikarenakan persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% karena PPROM
(Cunningham, 2012).
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang
merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi
8/11/2019 refrat preterm
5/27
rahim dan perubahan serviks, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-
adrenal baik pada ibu maupun janin, akibat stress pada ibu ataupun janin,
inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi ascenden dari traktus
genitourinari atau infeksi sistemik, perdarahan desidua, peregangan uterus
patologik, kelainan pada uterus atau serviks. Dengan demikian, untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan preterm harus dicermati
beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan
prematur (Sarwono, 2010).
1. Indikasi Medis dan Obstetric
Preeklampsia, distress janin, kecil masa kehamilan, dan solusio plasenta
merupakan indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan
persalinan preterm. Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik,
plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit ginjal,
isoimunisasi RH, dan malformasi kongenital (Cuningham, 2012).
2. Ketuban Pecah Dini Preterm
Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum usia
kehamilan 37 minggu, ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh
beragam mekanisme patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang
terlibat adalah indeks massa tubuh yang rendah krang dari 19,8, kurang gizi, dan
merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini preterm sebelumnya
memiliki resiko yang tinggi terjadinya rekurensi pada kehamilan berikutnya.
Namun kebanyakan kasus ketuban pecah preterm terjadi tanpa faktor resiko
(Cuningham, 2012).
3. Persalinan Kurang Bulan Spontan
Persalinan kurang bulan spontan dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu withdrawal
progesteron, inisiasi oksitosin, dan aktivitas desidua. Teori withdrawal
progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses persalinan sumbu
adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap adrenokortikotropik sehingga
meningkatkan sekeresi kortisol. Kortisol janin merangsang aktivitas 17-
hidroksidase plasenta sehingga mengurangi sekresi progesteron dan
meningkatkan produksi estrogen. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
8/11/2019 refrat preterm
6/27
pembentukan prostaglandin yang memicu persalinan preterm (Goldenberg et al,
2008).
Sebuah jalur penting menyebabkan inisiasi persalinan melibatkan aktivasi
inflamasi desidua. Pada kasus persalinan preterm, aktivasi desidua tampaknya
muncul pada kauss perdarahan intrauterin atau infeksi intrauteri (Louis J, 2010).
4. Infeksi Intra Uterin
Infeksi intra uterin merupakan salah satu penyebab terjadinya persalinan preterm.
Infeksi bakterial dalam uterus dapat terjadi antara jaringan maternal dan fetal
membran (dalam koriodesidual space), dalam fetal membran (amnion dan korion),
dalam placenta, dalam cairan amnion, dalam tali pusat. Infeksi pada fetal
membran disebut korioamnionitis, infeksi pada tali pusat disebut funisitis, infeksi
pada cairan amnion disebut amnionitis. Infeksi jarang terjadi pada kehamilan
prematur akhir (34-36 minggu), dan lebih sering terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 30 minggu (Franklin. 2000).
Gambar 1. Tempat potensial terjadinya infeksi bakteri intrauterin
Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam uterus.
Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui tubafallopi,
8/11/2019 refrat preterm
7/27
infeksi dari jarum amnionsintesis yang terkontaminasi, secara hematogen melalui
plasenta, atau melalui serviks dari vagina. Pada persalinan preterm dengan
membran yang utuh bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Ureaplasma
urealitycum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, peptostretococcus, dan
spesies bakterioides (Franklin, 2000). Organisme yang sering berhubungan
dengan infeksi saluran genital pada wanita tidak hamil Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamydia trachomatis, jarang ditemukan dalam uterus sebelum pecah ketuban,
sedangkan bakteri yang sangat sering berhubungan dengan korioamnionitis dan
infeksi janin setelah pecah ketubah, group B streptococci dan Escherichia coli,
hanya ditemukan kadang-kadang. Jarang, organisme saluran non genital, seperti
organisme di mulut genus capnocitophaga, ditemukan di dalam uterus yang
berhubungan dengan persalinan prematur dan korioamnionitis.
Organisme ini mencapai uterus dapat melalui plasenta dari sirkulasi atau
mungkin dengan kontak oral genital. Meskipun demikian, kebanyakan bakteria
yang ditemukan dalam uterus dalam hubungannya dengan persalinan prematur
berasal dari vagina. Bakteri dari vagina menyebar secara ascendens pertama kali
ke dalam ruang koriodesidua. Pada beberapa wanita, organisme ini melewati
membran korioamniotik yang intak ke dalam cairan amnion, dan beberapa fetus
akhirnya menjadi terinfeksi. Bukti infeksi melalui rute ini berasal dari penelitian
609 wanita yang fetusnya dilahirkan dengan seksio sesar sebelum pecah ketubah.
Setengah dari 121 wanita dengan kultur membran positif juga memiliki organisme
dalam cairan amnion. Sebagian kecil fetus memiliki kultur darah atau cairan
serebrospinal yang positif saat persalinan. Wanita dengan kultur membran positif
memiliki respon peradangan yang aktif, seperti diinfikasikan oleh temuan leukosit
histologis pada membran dan adanya konsentrasi interleukin 6 yang tinggi dalam
cairan amnion. Temuan ini mungkin menjelaskan kenapa wanita dengan kultur
cairan amnion negatif tetapi dengan konsentrasi sitokin yang tinggi dalam cairan
amnion resisten terhadap obat tokolitik. Tampaknya, wanita ini sering memiliki
infeksi dalam korioamnion, suatu tempat yang tidak boleh dikultur sebelum
persalinan.
8/11/2019 refrat preterm
8/27
Waktu terjadinya infeksi
Bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi intrauterine mungkin terjadi jauh lebih
awal saat hamil dan masih tidak terdeteksi selama beberapa bulan. Sebagai contoh
U. urealyticum telah terdeteksi pada beberapa sampel cairan amnion yang
diperoleh dari analisis kromosom rutin pada usia kehamilan 15 18 minggu.
Kebanyakan wanita ini melakukan persalinan sekitar usia kehamilan 24 minggu.
Lebih lanjut, konsentrasi interlekin 6 yang tinggi dalam cairan amnion pada
minggu 1520 berhubungan dnegan persalinan prematur spontan setelat 3234
minggu.
Contoh lain yang menunjukkan infeksi kronik, konsentrasi fibronektin yang
tinggi dalam cerviks atau vagina pada usia kehamilan 24 minggu (yang
dipertimbangkan sebagai marker infeksi saluran genitalia atas) berhubungan
dengan terjadinya korioamnionitis rata-rata 7 minggu kemudian. Akhirnya,
beberapa wanita yang tidak hamil dengan vaginosis bakterialis memiliki
kolonisasi intrauterin yang berhubungan dengan endometritis sel plasma kronik.
Sehingga memungkinkan bahwa kolonisasi intrauterine yang berhubungan dengan
persalinan prematur spontan tampak saat konsepsi. Penting untuk menekankan
bahwa kebanyakan infeksi saluran genitalia atas masih asimptomatik dan tidak
berhubungan dengan demam, uterus yang bengkak atau leukositosis darah tepi.
Mekanisme persalinan prematur akibat infeksi
Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan
gambaran yang konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan
prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,
menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan
membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor
necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan
granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan
exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga mengawali
chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi
uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang
8/11/2019 refrat preterm
9/27
menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam
serviks dan melembutkannya (Franklin, 2000).
Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai contoh,
prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi
prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai
miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan
aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin
untuk mencapai miometrium (Rima, 2010).
Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin
itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-
releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang
kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang
tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu
ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu
untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen
maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui
(Rima, 2010).
Gambar 2. Alu r koloni sasi bakteri kori odesidua yang menyebabkan persalinan prematur
8/11/2019 refrat preterm
10/27
Marker infeksi
Infeksi intrauterine sering bersifat kronik dan biasanya asimptomatik hingga
persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan, kebanyakan
wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis
dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak demam,
nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat takikardia
janin. Zat yang ditemukan dalam kuantitas abnormal dalam cairan amnion dan di
tempat lain pada wanita dengan infeksi intrauterine dijelaskan dalam tabel 1
(Rima, 2010).
Tabel 2. Marker infeksi intrauterine
5. Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan JaninStress didefiniskan sebagai tantangan baik psikologis ataupun fisik yang
mengancam ataupun mengancam hemostasis pasien akan mengakibatkan aktivasi
prematur Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) janin atau ibu. Stress semakin
diakui sebagai faktor resiko penting terjadinya persalinan preterm.
Neuroendrokin, kekebalan tubuh, proses perlilaku (seperti depresi) telah dikaitkan
dengan kejadian persalinan preterm akibat stress. Proses aktivasi prematur HPA
dimediasi oleh corticothropine releasing hormone (CRH) plasenta. Dalam sebuah
8/11/2019 refrat preterm
11/27
hasil penelitian in vivo ditemukan hubungan yang signifikan antara stress
psikososial ibu dengan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Menurut
Hobel dkk, dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang
preterm memiliki kadar CRH yang meningkat signifikan dengan mempercepat
peningkatan kadar CRH selama kehamilan (Rima, 2010).
Pada persalinan preterm aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH
plasenta. CRH plasenta menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan
dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) melalui aktivasi aksis HPA janin dan
menstimulasi plasenta untuk mensisntesis estriol dan prostaglandin, sehingga
mempercepat persalinan preterm (Rima, 2010).
6. Perdarahan Desidua (Desidual Hemmorrage/thrombosis)
Perdarahan desidu dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskuler dari
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah
dini. Lesi plasenta dilaporkan terjadi pada 34% wanita dengan persalinan preterm.
Lesi ini dapat dikarakteristikkan sebagai kegagalan transformasi fisiologis dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskuler dengan persalinan preterm adalah
iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas tetapi trombin
diduga memegang peranan utama (Rima, 2010).
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskuler dan otot halus
myometrium. Trombin mestimulasi kontraksi otot polos longitudinal myometrium
(Rima, 2010).
Gambar 3. Etologi dan jalur persalinan preterm
Dikutip dari rima
8/11/2019 refrat preterm
12/27
2.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mencari faktor resiko. Faktor resiko ini penting dan
dalam kaitannya dengan terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah beberapa
faktor resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010)
1. Faktor resiko mayor :
a. Kehamilan multipel
b. Polihidramniom
c. Anomali uterus
d. Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggu
e. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester II
f. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
g. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
h. Penggunaan cocain dan amphetamine
i. Operasi besar pada abdomen .
2. Faktor resiko minor
a. Perdarahan pervaginam setelah 12 minggu
b. Riwayat pyelonefritis
c. Merokok
d. Riwayat abortus
Pasien tergolong resiko tinggi apabila ditemukan lebih dari satu faktor resiko
mayor atau dua atau lebih fator resiko minor, atau keduanya. Disamping faktor
resiko di atas faktor resiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat
sosiobiologi (usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang rendah,
ras, stress lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (infeksi maternal,
preeklampsia-eklampsia, plasenta previa, kehamilan yang diperolh melalui
bantuan medikasi, terlambat atau ridak melakukan asuhan antenatal) (Rima,
2010).
8/11/2019 refrat preterm
13/27
Gambar 2. Mekanisme persalinan preterm pada kehamilan ganda
2. Gejala Klinis
Sering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman persalinan preterm.
Differensiasi dini antara persalinan palsu dengan persalinan sebenarnya sulit
ditentukan sebelum adanya pendatarandan dilatasi serviks. Kontraksi uterus
sendiri sulit dibedakan karena daanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit
atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan besar dalam
diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang wanita yang melahirkan sebelum aterm
memiliki kontraksi yang mirip dengan braxtons hicks yang mengarahkan ke
diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa kriteria yang dapat dipakai
sebagai ancaman persalinan preterm :
a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari.
b. Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau 2-3 kali dalam
10 menit.c. Merasakan gejala seperti kaku di perut, menyerupai rasa kaku seperti
menstruasi, rasa tekanan intrapelvik, nyeri punggung bawah (low back pain).
d. Mengeluarkan lendir bercampu darah pervaginam.
e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm.
f. Selaput amnion sering kali telah pecah.
8/11/2019 refrat preterm
14/27
g. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham,
2012).
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan
The American College of Obstreticians and Gynecologists, adalah sebagai berikut:
a. Kontraksi yang terjadi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan
perubahan progresif pada serviks.
b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
c. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
3. Perubahan serviks
a. Dilatasi serviks
Dilatasi serviks asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga
sebagai fator resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012).
b. Panjang serviks
Serviks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan
isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterin sampai
persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan isi uterus untuk
melewatinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada
kestuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu
indikator dini dari inkompetensia serviks adalah terjadinya pemendekan dari
serviks. Berdasarkan hasil penelitian dengan ultrasounografi sebagai prediktor
persalinan preterm menentukan bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm
pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat meningkatkan resiko persalinan
preterm (Rima, 2010).
c. Inkompetensia Serviks
Inkompetensia serviks adalah diagnosis klinis yang ditandai dengan dilatasi
serviks berulang, tanpa rasa sakit, dan kejadian kelahiran spontan pada
midtrimester tanpa adanya pecah ketuban spontan, peradarahan, ataupun
infeksi. Dilatasi serviks ini dapat diiikuti prolaps dan menggembungnya
membran janin ke dalam vagina, dan akhirnya ekspulsi janin imatur. Penyebab
inkompetensia serviks ini belum jelas, namun terkait dengan riwayat trauma
pada serviks seperti dilatasi , kuretase, kauterisasi (Rima, 2010).
8/11/2019 refrat preterm
15/27
2.4.1 Indikasi Wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm
Cara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak
awal, sebelum tanda tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan
pasien yang beresiko, untuk diberi penjelasan dan penilaian klinik terhadap
persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga
tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks mempunyai
manfaat yang cukup besar dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm.
Bila dijumpai serviks pendek (< 1cm) yang disertai dengan pembukaan yang
merupakan tanda serviks matang/inkompetensia serviks, maka pasien tersebut
dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan preterm 3-4 kali
(Cunningham, 2012).
Berikut adalah beberapa metode untuk mengenali wanita yang beresiko
mengalami persalinan preterm :
1. Estriol Saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara estriol saliva ibu
dengan persalinan preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukkan peranan aksis
hipotalamus pituitari adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan
peningkatan produksi estriol plasenta sejak dimulainya persalinan.
Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu,
dan ini dapat menjadi prediktor dimulainya persalinan preterm (Rima, 2010).
Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol dimulai sejak 3 minggu
sebelum terjadinya persalinan, pada wanita yang mengalami persalinan preterm
atau aterm. Tingkat esriol pada saliva ibu menggambarkan tingkat estriol
dalam serum ibu dan estriol saliva digunakan untuk menilai resiko persalinan
preterm dengan atau tanpa gejala. Tingkat estriol saliva dapat dinilai dengan
radioimmunoassay. Tingkat estriol saliva positif 1 ( 2,1 ng/ml) dapat
memprediksi suatu peningkatan resiko persalinan preterm 3 4 kali lipat pada
wanita dengan resiko rendah ataupun tinggi (Rima, 2010).
8/11/2019 refrat preterm
16/27
2. Skrining bakterial vaginosis
Bakterial vaginosis (BV) adalah infeksi vagina yang ditandai perubahan flora
normal vagina, berkurangnya Lactobacillus menjadikan tumbuhnya bakteri
anaerob disertai perubahan sekresi vagina (Vida, 2008). BV diperkirakan
terjadi pada 40% wanita, dengan prevalensi berkisar 10-61% dan faktor risiko
paling kuat menyebabkan preterm. Data meta analisis menunjukkan BV
meningkatkan risiko preterm 2 kali lipat terutama jika dijumpai pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu, dan infeksi BV secara bermakna
berhubungan dengan kejadian persalinan preterm kurang dari 37 minggu.
Di Indonesia, Riduan dkk mendapatkan angka kejadian persalinan preterm
sebanyak 20,5% pada wanita dengan BV saat kehamilan muda, dan 10,7% bila
terjadi pada akhir kehamilan (Vida, 2008). Standar diagnosis servikovaginitis
adalah gambaran klinis dan pewarnaan Gram dari swab serviks dan vagina.
Lima puluh persen servikovaginitis akibat BV bersifat asimtomatik, sehingga
diperlukan deteksi dini dan skrining ibu hamil terhadap infeksi ini. Penegakan
diagnosis servikovaginitis karena BV berdasarkan kriteria klinis memiliki
sensitivitas 62% dan spesifisitas 66%, sementara pewarnaan Gram memiliki
sensitivitas 97% dan spesifisitas 95%. Gambaran klinis dapat dinilai dengan
menggunakan kriteria Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda klinis berikut
(Damar Prasmusinto, 2010) :
- pH vagina di atas 4,5
- Duh vagina yang homogen, tipis
- Terdapat bau amis dari duh vagina bila ditambahkan kalium hidroksida 10%
(tes amin)
- Terdapat clue cellpada sediaan basah.
3. Fibronekstin Fetal
Fibronektin fetal merupakan suatu glikoprotein matriks ekstraseluler.
Fibronektin fetal dalam cairan biologis diproduksi oleh amniosit dan
sitotrofoblas. Zat ini muncul selama masa gestasi pada semua kehamilan.
Kadarnya paling tinggi ditemukan pada cairan amnion (100 g/mL) pada
trimester kedua, dan menjadi 30 g/mL saat aterm. Zat ini terletak di
8/11/2019 refrat preterm
17/27
permukaan antara sisi maternal dan fetal pada membran amnion, di antara
korion dan desidua, dan terkonsentrasi di ruang di antara desidua dan trofoblas
(Damar Prasmusinto, 2010).
Fibronektin fetal di sini berperan sebagai perekat antara uterus dan hasil
konsepsi. Konsentrasi fibronektin fetal yang ditemukan di dalam darah 1/5 dari
yang ditemukan dari cairan amnion dan tidak muncul dalam urin. Pada kondisi
normal, glikoprotein ini tetap berada di tempatnya tersebut, dan hanya sebagian
kecil dapat ditemukan pada sekret servikovagina setelah usia gestasi 22 minggu
(kurang dari 50 ng/mL). Kadar di atas nilai ini ( 50 ng/mL) pada atau setelah
usia gestasi 22 minggu pada sekret servikovagina berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm spontan (Damar Prasmusinto,
2010).
Pemeriksaan fibronektin fetal digunakan untuk menilai risiko persalinan dan
kelahiran preterm dengan mengukur jumlah kadar fibronektin fetal pada sekret
servikovagina. Pada kenyataannya, fibronektin fetal merupakan salah satu
penanda kelahiran preterm terbaik yang pernah diujicobakan pada seluruh
populasi yang diteliti, termasuk wanita berisiko rendah dan tinggi tanpa
riwayat persalinan preterm, wanita dengan riwayat kelahiran kembar, serta
wanita dengan riwayat persalinan preterm. Tingginya kadar fibronektin fetal ,
bahkan pada usia gestasi 13-22 minggu, berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya persalinan preterm spontan sebesar dua hingga tiga kali (Damar
Prasmusinto, 2010) .
Pemeriksaan fibronektin fetal tersedia dalam dilakukan di dalam laboratorium
atau langsung di tempat tidur pasien, dengan kadar ambangnya 50 ng/mL.
Salah satu keterbatasan uji fibronektin fetal adalah uji tersebut tidak dapat
dilakukan pada keadaan berikut: PPROM, perdarahan, riwayat hubungan
seksual dalam 24 jam sebelumnya, dan pre-eklamsia (Damar Prasmusinto,
2010).
2.5 Penatalaksanaan
Manajemen persalinan perterm meliputi (P.O.G.I, 2011):
1. Tirah baring (Bedrest)
8/11/2019 refrat preterm
18/27
2. Hidrasi dan sedasi
3. Pemberian tokolitik
4. Pemberian steroid
5. Pemberian antibiotik
6. Emergency Cerclage
7. Perencanaan persalinan
1. Tirah baring (bedrest)
Kepentingan istirahat rebah disesuaikan dengan kebutuhan ibu, namun secara
statistik tidak terbukti dapat mengurangi kejadian kurang bulan secara statistik
(P.O.G.I, 2011).
2. Hidrasi dan sedasi
Hidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah persalinan
preterm, karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi
premature, walaupun mekanisme biologisnya belum jelas. Preparat morfin
dapat digunakan untuk mendapatkan efek sedasi (P.O.G.I, 2011).
3. Pemberian tokolitik
Tokolitik akan menghambat kontraksi myometrium dan dapat menunda
persalinan. Berikut adalah alasan pemberian tokolitik pada persalinan preterm
(Sarwono, 2010) :
a. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur.
b. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin.
c. Memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada afsilitas yang lebih lengkap.
d. Optimalisasi personel.
Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis :
a. Nifedipin
Nifedipin adalah antagonis kalsium diberikan per oral. Dosis inisial 20 mg,
dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus
sampai 48 jam. Dosis maksimal 60mg/hari, komplikasi yang dapat terjadi
adalah sakit kepala dan hipotensi (P.O.G.I, 2011). Antagonis kalsium
merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus dengan
8/11/2019 refrat preterm
19/27
mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada 19
voltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar
pengalaman klinis adalah dengan nifedipin (Hadrians, 2007).
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral
ataupun sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai
setelah 15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual
konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian
(Hadrians, 2007) .
b. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik yang diberikan secara parenteral.
Dosis awal 4-6 gr IV diberikan dalam 20 menit, diikuti 1-4 gram per jam
tergantung dari produksi urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik,
berikan kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (P.O.G.I, 2011).
Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin
dan ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada
neonatus dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang
(lebih dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang
secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang
parietal, dan mineralisasi tulang yang abnormal. Ketika magnesium sulfat
digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap
ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau merusak
(Hadrians, 2007).
c. Atosiban
Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi obat
tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap obat-
obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek
samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru
pada golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai
tokolitik di Eropa (Hadrians, 2007). Atosiban menghasilkan efek tokolitik
dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin. Dosis awal
8/11/2019 refrat preterm
20/27
6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam per infus,
kemudian 6mg/jam selama 45 jam (P.O.G.I, 2011).
d. Beta2-sympathomimetics
Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah
ritodrine, terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline.
Contoh: Ritodrin (Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%.
Dimulai dengan 10 tetes per menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit
sampai kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12 48 jam setelah
kontraksi hilang. Selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan satu tablet (10 mg)
setiap 8 jam setelah makan. Nadi ibu, tekanan darah dan denyut jantung janin
harus dimonitor selama pengobatan (Hadrians, 2007).
Kontra indikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu, hipertensi atau
hipotensi, hipertiroidi, diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping yang
dapat terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing), mual,
sakit kepala, nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru, hiperglikemi,
dan hipoglikemi. Efek samping pada janin antara lain ft.tal takhikardia.
Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan hipotensi (Hadrians, 2007).
e. Progesteron
Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi alpha-hi.drax-
ffirogesterone caproate menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg
(1 mL) im tiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan.
Pemberian dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011).
f. COX (Cyclo-oxygenase) -2 inhibitor
Indomethacin
Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali
pemberian. Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan
oligohidramnion akibat penurunan renal blood flow janin. Indometasin
direkomendasikan pada kehamilan >32 minggu karena dapat mempercepat
penutupan ductus arteriosus (P.O.G.I, 2011).
8/11/2019 refrat preterm
21/27
4. Pemberian Steroid
Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS. kematian neonatal
dan perdarahan intraventrikuler. Dianjurkan pada kehamilan 2434 minggu,
namun dapat dipertimbangkan sampai 36 minggu.Kontra indikasi : infeksi
sistemik yang berat, (tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason
merupakan obat terpilih, diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis
12 mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimal dapat dicapai dalam 1 - 7
hari pemberian, setelah 7 hari efeknya masih meningkat. Apabila tidak terdapat
betametason, dapat diberikan deksametason dengan dosis 2 x 5 mg
intramuskuler per hari selama 2 hari (P.O.G.I, 2011).
5. Antibiotika
Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa infeksi tidak dianjurkan karena
tidak dapat meningkatkan luaran persalinan. Pada ibu dengan ancaman
persalinan preterm dan terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian
klindamisin ( 2 x 300 mg sehari selama 7 hari) atau metronidazol ( 2 x
500 mg sehari selama 7 hari) atau eritromisin (2 x 500 mg sehari selama 7 hari)
akan bermanfaat bila diberikan pada usia kehamilan minggu (P.O.G.I, 2011).
6. Emergency cerclage
Di negara maju telah dilakukan emergency cerclage pada ibu hamil dengan
pembukaan dan pendataran serviks yang nyata tanpa kontraksi. Secara teknik
hal ini sulit dilakukan dan berisiko untuk terjadi pecah ketuban (P.O.G.I,
2011).
7. Perencanaan Persalinan
Persalinan preterm harus dipertimbangkan kasus perkasus, dengan
mengikutsertakan pendapat orang tuanya. Untuk kehamilan
8/11/2019 refrat preterm
22/27
2.6 Komplikasi
Komplikasi pada ibu :
Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
sehingga menyebabkan sepsis dan lambatnya penyenbuhan luka episiotomi
(Rima, 2010).
Komplikasi pada bayi :
Tabel 4. Komplikasi persalinan preterm pada bayi
Dikutip dari
8/11/2019 refrat preterm
23/27
2.7 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
beruhungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pencegahan primer
Ditujukan kepada semua wanita, sebelum dan selama kehamilan untuk
mencegah dan mengurangi resiko.
a. Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
- Memberikan pendidikan : kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktorfaktor resiko persalinan preterm.
- Mengkonsumsi suplemen nutrisi
- Menghentikan konsumsi rokok
- Melakukan asuhan prenatal.
- Melakukan perawatan periodontal (Rima, 2010).
b. Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi resiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor resiko mengalami persalinan preterm. Bentuk
pencegahan sekunder antara lain, :
- Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan aktifitas kerja, tidak
berhubungan seksual selama kehamilan).
- Pemberian sumplemen nutrisi
- Peningkatan perawatanbagi wanita yang beresiko
- Pemberian progesteron (Rima, 2010).
PEMBAHASAN
Persalinan preterm merupakan salah satu masalah utama dalam bidang obstetri
karena persalinan preterm menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
perinatal. Sekitar 75% kematian perinatal disebabkan oleh kelahiran kurang bulan.
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio
sesarea, persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh, dan persalinan
8/11/2019 refrat preterm
24/27
preterm dengan ketuban pecah dini, baik yang pada akhirnya dilahirkan
pervaginam atau seksio sesaria.
Bayi kurang bulan, terutama dengan usia kehamilan
8/11/2019 refrat preterm
25/27
degradasi matriks ekstra seluler pada membran janin menyebabkan ketuban pecah
dini kurang bulan. Diperkirakan 2540 % persalinan preterm akibat infeksi intra
uterin (Cunningham, 2012).
Vaginosis bakterialis adalah salah satu jenis infeksi penyebab persalinan
preterm. Pada kondisi ini flora vagina yang normal, dominan lacto-bacillus yang
memperoduksi hidrogen peroksida, digantikan dengan kuman anaerob, meliputi
Gardnerella vaginalis, Mobiluncus species, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis
bakterialis telah dikaitkan dengan persalinan preterm, ketuban pecah dini, dan
infeksi cairan amnion. Faktor faktor lingkungan penting dalam perkembangan
vaginosis bakterialis (Cunningham, 2012). Preeklampsia juga menjadi salah satu
pemicu persalinan preterm. Resiko persalinan preterm pada ibu yang mengalami
pre-eklampsi adalah 2,67 kali lebih besar. Hal ini terjadi karena pre-eklampsi
mempengaruhi pembuluh darah arteri yang membawa darah menuju plasenta. Jika
plasenta tidak mendapat cukup darah, maka janin akan mengalami kekurangan
oksigen dan nutrisi.
Terdapat beberapa indikator yang dapat dipakai untuk memprediksi persalinan
preterm, yaitu indikator klinik berupa timbulnya kontraksi dan pemendekan
serviks (secara manual atau ultrasonografi), terjadinya ketuban pecah dini juga
meramalkan akan terjadinya persalinan preterm. Indikator laboratorik yang
bermakna antara lain adalah jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih),
pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml) dan pemeriksaan leukosit pada serum ibu
(>13.000/ml). Indikator biokimia antara lain adalah peningkatan kadar fibronektin
janin pada vagina, serviks, dan air ketuban memberi indikasi adanya gangguan
pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilah 24 minggu atau lebih.
Kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih mengindikasikan resiko persalinan
preterm (Sarwono, 2010).
Pertimbangan utama dalam penatalaksanaan persalinan preterm adalah
memastikan bahwa ini memang persalinan preterm. Selanjutnya
mengidentififikasi etiologi terkait persalinan preterm. Manajemen persalinan
preterm tergantung dari beberapa faktor, yaitu keadaan selaput ketuban, pada
umumnya persalinan tidak dihambat bila selaput ketuban sudah pecah. Persalinan
8/11/2019 refrat preterm
26/27
akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm. Makin muda usia kehamilan,
upaya mencegah persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat
dipertimbangkan bila TBJ > 2000 gram atau kehamilan > 34 minggu, penyebab
atau komplikasi persalinan preterm, dan kemampuan neonatal intensive care
facilities (Sarwono, 2010).
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas persalinan preterm, yaitu bedrest,
menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi
pematangan fungsi paru dengan pemberian kortikosteroid, pencegahan infeksi
dengan pemberian antibiotik (Cuningham, 2011).
RINGKASAN
Partus prematurus atau persalinan prematur merupakan dimulainya kontraksi
uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks serta turunnya
bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang
dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir.
Persalinan preterm menjadi masalah obstetri penting sebab menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.
Pengenalan faktor resiko dan identifikasi penyebab terjadinya persalinan
preterm adalah penting dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya persalinan
preterm yang dapat dijelaskan kepada ibu hamil melalui komunikasi, informasi,
dan edukasi.
Wanita yang diketahui beresiko mengalami persalinan preterm dan mereka
yang diketahui memiliki tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi
kandidat penerima intervensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan prognosis
neonatus. Jika tidak ada indikasi ibu atau janin yang mengharuskan pelaksanaan
persalinan yang disengaja, maka intervensi dimaksudkan untuk mencegah
persalinan kurang bulan.
Intervensi medik yang dilakukan adalah pemberian tokolisis, kortikosteroid,
dan antibiotik.
8/11/2019 refrat preterm
27/27
RUJUKAN
1. Cunningham Obstetri Williams.Volume 2. Edisi 23. Jakarta : EGC.2012
2. Cubinont, H. Prevention of PretermLabour: 2011 Update on Tocolysis.Saint-luc
University Hospital : Hindawi Publishing Corporation. Journal of Pregnancy.2011
3. Franklin H. Epstein Intrauterine infection and Preterm Delivery. The New England
Journal of Medicine 2011.
4. Goldenberg, Robert L. Epidemiology dan Causes of Preterm Birth.http://www.thelancet-
epidemiology-preterm-birth-.2008
5. Kesuma, Hadrians : Obat Obat Tokolitik dalam Bidang Kebidanan. Departemern
Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya. RSUP Moh. Hoesin Palembang.2008
6.
Louis J. The Enigma of Spontaneus Preterm Birth. The New England Journal ofMedicine. http://nejm0904308-spontaenus-preterm-birth.2008
7. Nejad, Vida The Association of Bacterial Vaginosis and Preterm Labor. Department of
Obstetrics and Gynaecology, Kerman University of Medical Sciences and Health
Services, Kerman, Iran.http://1338 bacterial-vaginosis-nejm.2008
8. Novalia, Rima. Persalian Preterm. Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. http://
97539577/Persalinan-Preterm.2010
9. Oxorn, Harry. Human Labor dan Birth. Oxorn Foote Human Labor and Birth.2010
10. P.O.G.I. . Panduan Pengelolaan Persalianan Preterm Nasional. Bandung : Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI.2011
11. Prasmusinto, Damar dr.. Prediksi Persalinan Preterm.2010
12. Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : P.T Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.2010