Click here to load reader
Upload
fikka-cantique
View
28
Download
0
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi
medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang
seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Upaya
pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja
berangsur-angsur berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif),
upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya
pemulihan (rehabilitatif) (Garison, 1996).
Dalam era globalisasi seperti saat ini kehidupan masyarakat telah
berubah, dengan pembangunan dibidang industri yang sangat maju,
pembangunan dibidang transportasi juga semakin maju. Masyarakat telah
banyak memiliki kendaran sendiri untuk bertindak cepat dan praktis. Dampak dari
banyaknya kendaraan maka arus lalu lintas menjadi padat dan angka
kecelakaan lalu lintas juga meningkat. Akibat dari kecelakaan lalu lintas bisa
menyebabkan kematian. Selain itu juga mengakibatkan patah tulang atau fraktur
karena trauma atau benturan dengan benda keras (Reksoprodjo, 1995).
Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat pelayanan kesehatan diseluruh dunia. Bahkan WHO telah
menetapkan dekade ini (2000 – 2010) menjadi dekade tulang dan persendiaan.
Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan
lalu lintas ini, selai menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan
kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya
adalah remaja atau dewasa muda (Anonim, 2009).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan
pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat
berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah (Sjamsuhidajat dan Wim
de jong, 2004).
1
Terjadinya fraktur akan berpengaruh besar terhadap aktifitas penderita
khusunya yang berhubungan dengan gerak dan fungsi anggota yang mengalami
cidera akibat fraktur. Berbagai tingkat gangguan akan terjadi sebagai suatu
dampak dari jaringan yang cedera, baik yang disebabkan karena patah
tulangnya maupun dikarenakan kerusakan jaringan lunak disekitar fraktur atau
karena luka bekas infeksi saat dilakukan pembedahan. Akibatnya adanya cidera
akan terlihat adanya tanda – tanda radang meliputi dolor (warna merah), kalor
(suhu yang meningkat), tumor (bengkak), rubor (rasa nyeri), dan function laesa
(fungsi yang terganggu) (Appley dan Solomon, 1995).
Tingkat gangguan akibat terjadinya fraktur seperti diatas dapat
digolongkan kedalam berbagai fase atau tingkat dari impairment atau sebatas
kelemahan misalnya : adanya nyeri, bengkak yang mengenai sampai
menyebabkan keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS), dan terjadi kelemahan
otot. Dampak lebih lanjut adalah adanya suatu bentuk functional limitation atau
fungsi yang terbatas, misalnya fungsi dari tungkai untuk berdiri dan berjalan
menjadi berkurang atau bahkan hilang dalam kurun waktu tertentu. Disamping itu
akan timbul permasalahan berupa disabilitas atau ketidakmampuan melakukan
kegiatan tertentu seperti perawatan diri, seperti berpakaian, mandi, ke toilet, dan
sebagainya (Garison, 1996).
Dalam kasus ini peran Unit Rehabilitasi Medik sangat dibutuhkan dalam
menangani dan mengantisipasi timbulnya gangguan gerak fungsional pasca
dilakukannya tindakan medis terhadap pasien fraktur. Dalam penanganan
permasalahan gerak dan fungsi, Unit Rehabilitasi Medik bekerja secara team.
Anggotanya meliputi Dokter, Perawat, Okupasi terapi, Orthotik prostetik, dan
Pekerja sosial Medis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Fraktur
Pengertian fraktur menurut Dorland (1994) adalah suatu
diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan karena trauma atau keadaan
patologis, sedangkan menurut Apley (1995) adalah suatu patahan pada
kontinuitas struktur tulang.
B. Etiologi Fraktur
Penyebab fraktur adalah trauma. Trauma ini dibagi menjadi dua,
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur ditempat itu. Sedangkan
trauma tidak langsung bilamana titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjatuhan (Reksoprodjo, 1995).
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur
transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai
dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif
diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak
langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan
sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari
dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang
disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma, adanya
proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan
energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang
normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur (Anonim, 2009).
C. Fase Penyembuhan Fraktur
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang
secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi (Apley, 1995).
Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur
fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
3
Proses penyambungan tulang menurut Apley (1995) dibagi dalam 5 fase,
yaitu :
1) Fase hematoma
Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan didalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter.
2) Fase proliferasi
Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah
periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus ujung
fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
3) Fase pembentukan kalus
Fase pembentukan kalus terjadi selama 2 – 6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan
osteogenik jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan
membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi
tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut
dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan
endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4) Fase konsolidasi
Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang
fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan
osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi
tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk
menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup
kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh
osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup untuk
menumpu berat badan normal.
5) Fase remodelling
Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur
telah dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut
4
akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar
akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh
bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan
bahkan sampai beberapa tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain:
usia pasien, banyaknya displecement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur,
pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya (Garison,
1996).
D. Klasifikasi Fraktur
I. Menurut Penyebab terjadinya
a. Faktur Traumatik : direct atau indirect
b. Fraktur Fatik atau Stress
c. Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
d. Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan
II. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
a. Fraktur Simple : fraktur tertutup
b. Fraktur Terbuka : bone expose
c. Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
III.Menurut bentuk
a. Fraktur Komplet :Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau
lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblique, spiral. Kelainan ini
menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak.
b. Fraktur Inkomplet : sifat stabil, misal greenstik fraktur
c. Fraktur Kominutif : lebih dari 2 segmen
d. Fraktur Kompresi / Crush fracture : umumnya pada tulang kanselus
(Anonim, 2009).
E. Tanda Dan Gejala Fraktur
Adapun tanda klinis saat sebelum oprasi dan setelah oprasi pada fraktur
yaitu
1) Tanda klinis saat terjadi fracture antara lain :
Tanda gejala klinis sebelum operasi adalah : (1) adanya rasa nyeri pada
lokasi fraktur (2) adanya oedema, (3) adanya penurunan lingkup gerak
sendi (4) terganggunya aktivitas fungsional (seperti berjalan, menulis dll).
5
2) Tanda klinis setelah operasi
Pada kasus fraktur yang telah dilakukan tindakan ORIF dengan
pemasangan plate and screw maka akan memberikan gejala :
a. Adanya nyeri
Nyeri ini timbul dapat berupa nyeri tekan, gerak dan diam. Hal ini
diakibatkan karena rangsangan respon sensoris tubuh oleh karena
kerusakan jaringan dan juga bisa terjadi karena penekanan syaraf
sensoris karena desakan jaringan yang membengkak.
b. Adanya bengkak
Sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah arteri dari operasi,
sehingga akan terjadi pembesaran plasma darah balik yang berlebihan
dan sebagai akibatnya yaitu ketidakseimbangan pengangkutan darah
balik dengan darah yang merembes keluar.
c. Penurunan Lingkup Gerak Sendi.
Penurunan LGS disebabkan oleh adanya reaksi proteksi, yaitu
penderita berusaha menghindari gerakan yang menyebabkan nyeri
(Mardiman dkk, 1993). Apabila hal ini dibiarkan terus menerus akan
mengakibatkan penurunan lingkup gerak daripada sendi panggul dan
sendi lutut kanan.
d. Penurunan kekuatan otot
Penurunan kekutan otot terjadi karena adanya pembengkakan
sehingga timbul nyeri dan keterbatasan gerak serta aktifitas terganggu
dan terjadi penurunan kekuatan tungkai kanan
e. Penurunan kemampuan fungsional Akibat dari adanya nyeri dan
oedem maka jaringan yang meradang dapat kehilangan fungsinya.
Setiap sendi di sekitar area radang yang digerakkan, maka akan timbul
nyeri gerak sehingga pasien enggan menggerakkan sendi tersebut
yang berakibat terjadinya gangguan fungsi ( Appley, Graham,
Solomon, 1995).
6
F. Komplikasi Fraktur
Komplikasi umum post operasi
1. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa
internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat
terjadi karena luka yang tidak steril (Adams, 1992).
2. Delayed union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang
tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak
tercukupinya peredaran darah ke fragmen (Adams, 1992).
3. Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah
5bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum
dan pergerakan pada tempat fraktur (Garrison, 1996).
4. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya
defisiensi suplay darah (Apley, 1995).
5. Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar
seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan
Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi yaitu
kerusakan jaringan dan pembuluh darah pada daerah yang dioperasi karena
incisi. Pada luka operasi yang tidak steril akan terjadi infeksi yang dapat
menyebabkan proses penyambungan tulang dan penyembuhan tulang
terlambat (Adams, 1992).
7
G. Prognosis
Fraktur dapat disembuhkan atau disatukan kembali fragmen-fragmen
tulangnya melalui operasi. Namun ada sebagian jenis fraktur yang sulit
disatukan kembalifragmen-fragmen yaitu fraktur pada tulang ulna, tulang
radius, tulang fibula dan tulang tibia. Fraktur pada daerah elbow, caput femur
dan cruris dapat menyebabkan kematian karena pada daerah tersebut
dilewati saraf besar yang sangat berperan dalam kehidupan seseorang.
Prognosis fraktur tergantung dari jenis fraktur, usia penderita, letak, derajat
keparahan, cepat dan tidaknya penanganan.
Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke
rumah sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang
diderita ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien
baik, usia pasien relative muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan
peredaran darah lancar. Penanganan yang diberikan seperti operasi dan
pemberian internal fiksasi juga sangat mempengaruhi terutama dalam
memperbaiki struktur tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian
internal fiksasi berupa plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk
mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Pemberian terapi latihan yang tepat
akan memberikan prognosis yang baik bilamana (1) quo ad vitam baik jika
pada kasus ini tidak mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam baik jika
jenis perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi
pada fraktur, (3) quo ad fungsionam baik jika pasien dapat melakukan
aktivitas fungsional, (4) quo ad cosmeticam yang disebut juga dengan
proses remodeling baik jika tidak terjadi deformitas tulang. Dalam proses
rehabilitasi, peran fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah
komplikasi dan melatih aktivitas fungsionalnya (Soeharso, 1982).
8
H. Problematika Rehabilitasi Medik
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca operasi
fraktur meliputi impairment, functional limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul antara lain :
1. Adanya oedem pada ankle dan tungkai bawah terjadi karena suatu
reaksi radang atau respon tubuh terhadap cidera jaringan.
2. Adanya nyeri gerak pada ankle akibat luka sayatan operasi yang
menyebabkan ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena
adanya oedem pada daerah sekitar fraktur.
3. Penurunan luas gerak sendi ankle karena adanya nyeri dan oedem
pada daerah sekitar fraktur.
4. Adanya penurunan kekuatan otot karma nyeri
b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas fungsional
terutama dalam melakukan aktivitas fungsional terutama berdiri dan
berjalan.
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan
yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu kesulitan dalam
melakukan aktivitasnya.
I. Pengobatan dan Rehabilitasi Medik pada Fraktur
1. Terapi latihan (Therapeutic exercise) merupakan salah satu modalitas
rehabilitasi medik yang pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik
secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas,
stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional
(Kisner, 1996). Menurut Kisner, ada lima bentuk terapi latihan, antara lain:
a. Static contraction
Static contraction adalah suatu terapi latihan dengan cara
mengkontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang olot
maupun pergerakan send! (Kisner, 1996). Tujuan dari kontraksi
isometris atau static contraction adalah pumping action pembuluh
darah balik, yaitu terjadinya peningkalan perifer resistance of blood
9
vessels. Dengan adanya hambatan pada perifer maka akan
didapatkan peningkatan blood pressure dan secara otomatis
cardiac output meningkat sehingga mekanisme metabolisme
menjadi lancar dan sehingga oedem menjadi menurun. Karena
oedem menurun maka tekanan ke serabut saraf sensoris juga
menurun sehingga nyeri berkurang (Kisner, 1996).
b. Relaxed passive exercise
Gerakan murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan
dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot
secara pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis
sehingga dengan gerak relaxed pasive exercise ini diharapkan otot
menjadi rileks dan menyebabkan efek pengurangan atau penurunan
nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak
serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996).
c. Hold relax
Hold relax merupakan teknik latihan yang menggunakan kontraksi
otot secara isometric kelompok antagonis yang diikuti rileksasi
kelompok otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition). Hold relax
bermanfaat untuk rileksasi otot – otot dan menambah LGS (Kisner,
1996).
d. Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan oleh adanya
kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi penuh
(Basmanjian, 1978). Active exercise dilakukan secara sadar dengan
adanya kontraksi aktif dari anggota tubuh itu sendiri. Active exercise
mempunyai tujuan (1) memelihara dan meningkatkan kekuatan otot,
(2) mengurangi bengkak, (3) mengembalikan koordinasi dan
keterampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise
dan resisted active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi
nyeri karena merangsang rileksasi propioceptif. Resisted active
exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan
meningkatkan recruitment motor unit-motor unit sehingga akan
10
semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat
dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan
yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner,
1996).
e. Latihan Transver Ambulasi
Kemampuan transver ambulasi merupakan aspek terpenting pada
penderita. Latihan transver dilakukan mulai dari tidur terlentang ke
tidur miring, duduk long sitting, lalu duduk dengan posisi kaki
terjuntai dari tepi bed. Latihan ambulasi dapat dilakukan mulai dari
duduk ke berdiri, duduk dari bed pindah ke kursi, berjalan dengan
menggunakan alat bantu jalan berupa kruk dengan mctode Non
Weight Bearing. Latihan ini bertujuan agar pasien dapat rnelakukan
transver ambulasi secara mandiri tanpa bantuan orang lain,
walaupun masih menggunakanalat bantu (Kisner, 1996).
Tujuan utama dari terapi latihan (Therapeutic exercise) adalah
mengembalikan fungsi, gerakan, kekuatan otot, dan daya tahan tubuh
(endurance) ke tingkat semula ( saat sebelum terjadi trauma) (Thomas,
1999)
Otot yang tidak digunakan akan terjadi atropi dan kehilangan
kekuatan dengan rata-rata 5 % per hari sampai dengan 8 % per minggunya.
Dengan dilakukannya imobilisasi, maka akan terjadi atropi serabut otot pada
kedua tipe serabut otot tersebut yaitu slow-twitch (tipe satu) dan fast-twitch
(tipe dua). Atropi serabut otot fast-twitch tampak dengan hilangnya kekuatan
dari otot tersebut. Sedangkan atropi serabut otot low-twitch tampak dengan
hilangnya daya tahan (endurance) dari otot tersebut. Kekuatan otot artinya
kemampuan otot berkontraksi melawan tahanan. Prinsip dasar dari latihan
kekuatan otot adalah menggunakan tahanan dan kontraksi berulang untuk
menaikkan kemampuan dari keseluruhan motor unit otot. Endurance adalah
kemampuan untuk melakukan gerakan secara berulang-ulang. Cara
latihannya adalah dengan melakukan gerakan berulang sampai terjadi
kelelahan otot (overload) (Thomas, 1999).
11
2. Range of Motion (lingkup Gerak Sendi)
Gerakan sebuah sendi dengan jangkauan Range of Motion (ROM) parsial
atau penuh yang mana gerakan ROM ini bertujuan untuk menjaga atau
meningkatkan jangkauan dari sebuah sendi. ROM merupakan tipe latihan
dasar yang terbanyak digunakan pada kasus-kasus rehabilitasi fraktur.
ROM dapat dilakukan secara penuh (anatomik) atau fungsional ( gerakan
untuk melakukan aktivitas khusus). Berikut ini macam-macam bentuk dari
ROM :
a. ROM penuh (full ROM)
ROM penuh artinya ROM yang sesuai dengan dasar anatomi dari
sendi itu sendiri. contohnya lutut yang mempunyai ROM 0 sampai
dengan 120 derajat.
b. ROM fungsional
ROM fungsional adalah gerakan sendi yang diperlukan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari atau kegiatan pasien yang spesifik.
Contohnya : ROM lutut dari ekstensi penuh (0 derajat) sampai fleksi
90 derajat merupakan ROM yang tidak penuh, tetapi ROM ini
fungsional untuk duduk.
c. ROM aktif
Pasien disuruh melakukan gerakan sendi secara parsial atau penuh
tanpa bantuan orang lain. Tujuannya memelihara ROM dan kekuatan
minimal akibat kurang aktivitas dan menstimulasi sistem
kardiopulmoner. Sasarannya otot dengan kekuatan poor sampai
dengan good (2 sd 4).
d. ROM aktif assistive
Pada latihan ini, pasien disuruh kontraksikan ototnya untuk
menggerakkan sendi, dan ahli terapi membantu pasien dalam
melakukannya.
e. ROM pasif
Latihan ini dengan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot pasien.
Seluruh gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis. Tujuannya
memelihara mobilitas sendi ketika kontrol dari otot-otot volunter /
sendi hilang atau pasien tidak sadar / tidak ada respon. Sasarannya
otot dengan kekuatan zerro – trace (0-1).
12
Meskipun fraktur tidak kompleks dengan tanpa gangguan neurologis, otot-
otot di sekitar bagian fraktur lemah, biasanya karena trauma langsung
sekunder, imobilisasi, atau reflek inhibisi. Di bawah ini tabel mengenai
derajat kekuatan otot.
Tabel 1. Derajat kekuatan otot
Derajat Otot Deskripsi
5 - Normal ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan
tahanan penuh
4 – Baik ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan
tahanan sedang
3 – Sedang ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan
tahanan minimal
2 – Jelek ROM penuh, tanpa melawan gravitasi
1 - Trace Kontraksi ringan, tanpa gerakan sendi
0 - zerro Tiada ada kontraksi otot
(Thomas, 1999).
3. Latihan Kekuatan (strengthening exercise)
Syarat dalam melakukan latihan ini adalah (1) kekuatan otot di atas fair (F
= 50 %) dan (2) beban di atas 35 % dari kemampuan otot. Ada 3 macam
latihan kekuatan ini,antara lain :
a. Isometric exercise
Pada latihan ini, panjang otot tidak bertambah. Terjadi kontraksi otot
tanpa pergerakan sendi. Latihan kekuatan ini sangat bermanfaat
untuk menjaga atau meningkatkan penguatan otot ketika ada
kontraindikasi lain seperti fraktur yang tidak stabil atau adanya nyeri.
Kontraksi optimal 6 detik, 1 kali per hari. Waspada pada kasus
hipertensi dan penyakit jantung koroner. Latihan ini digunakan pada
rehabilitasi tahap awal.
b. Isokinetic exercise
Pada latihan ini kecepatan gerakan sendi konstan. Beban dinamis
(beban bisa optimal) tetapi kecepatan gerak tetap. Pada latihan ini
memerlukan alat khusus cybex (dinamometer). Latihan ini di gunakan
pada rehabilitasi tahap akhir, ketika sudah terjadi kestabilan yang baik
pada bagian fraktur.
13
c. Isotonic exercise
Isotonic exercise merupakan latihan dinamis menggunakan beban
statis, tetapi kesepatan gerakan tidak dikontrol. Kontraksi otot
bersamaan dengan gerak sendi. Latihan ini sering digunakan untuk
meningkatkan kekuatan pada tahap pertengahan dan tahap akhir dari
rehabilitasi fraktur (Thomas, 1999).
4. Latihan Daya Tahan Tubuh (Endurance Exercise)
Pada latihan ini memerlukan waktu latihan yang panjang, dengan
frekuensi yang tinggi dan menggunakan beban yang rendah. Latihan ini
mempunyai dua tujuan antara lain :
a. Reconditioning
Latihan ini ditujukan pada orang yang sakit untuk mengembalikan
daya tahan tubuh. Contohnya : naik tangga pada pasien fraktur femur
dan membuka pegangan pintu setelah melepaskan gips pada pasien
fraktur colles.
b. Conditioning
Latihan ini meningkatkan daya tahan tubuh. latihan ini secara
keseluruhan meningkatkan fungsi kardiopulmonari dari pada untuk
terapi defisit setelah fraktur spesifik (Thomas, 1999).
5. Pola Berjalan Setelah Pasien Menjalani Rehabilitasi Fraktur
a. Pertimbangan Berjalan Pada Fraktur Ekstrimitas Bawah
Yang menjadi pertimbangan berjalan pada kasus fraktur ekstrimitas
bawah adalah weight-bearing status. Pembagian weight-bearing
status adalah sebagai berikut :
1. Non-weight bearing
2. Toe-touch weight bearing
3. Partial weight bearing
4. Weight bearing yang ditoleransi.
5. Full weight bearing
b. Pola-pola Berjalan Setelah Fraktur
14
Pola-pola berjalan setelah fraktur dapat di klasifikasikan berdasarkan
tipe langkah (step-to, step-through) atau berdasarkan jumlah poin
kontak yang di gunakan dalam melangkah (dua, tiga atau empat poin
dalam berjalan). Karena weight bearing dipengaruhi oleh
keterbatasan dari ekstrimitas (Hoppenfeld, Murthy, Thomas, 1999).
6. Modalitas Yang Digunakan Pada Pengobatan Fraktur
Modalitas pengobatan terapi fisik seperti panas dan dingin, hydrotherapy,
fluidotheraphy, dan electrical stimulation) sering digunakan setelah terjadi
suatu fraktur untuk mengurangi ketidaknyamanan dan meningkatkan
terapi latihan.
a. Terapi Panas
Terapi panas meningkatkan sirkulasi lokal dan regional, mengurangi
viskositas jaringan, dan meningkatkan elastisitas kolagen. Terapi ini
juga mengurangi spasme otot dan reseptor nyeri perifer. Kontra
indikasi dari terapi ini adalah pada kasus radang akut, trauma akut,
gangguan vaskuler malignansi, penyakit jantung koroner bayi dan
orang sangat tua.
Dibawah ini macam-macam modalitas terapi panas yang sering
digunakan :
15
Tabel 2. Modalitas Terapi Panas
Modalitas Jaringan
Yang
DIpanaskan
Indikasi Kontraindikasi Frekuensi
Di
Amerika
Superficial
Heat
Hot packs
Kulit dan
subkutan
Nyeri dan
otot tegang
Luka bakar /
area anestesi
penyakit
vaskular perifer
Biasa
digunakan
Paraffin Bath Kulit dan
subkutan
Nyeri dan
otot tegang,
mengurangi
ROM
Luka bakar /
area anestesi
penyakit
vaskular perifer
Biasa
digunakan
Fluidotheraphy Kulit dan
subkutan
Nyeri dan
otot tegang,
mengurangi
ROM
Luka bakar /
area anestesi
penyakit
vaskular perifer
area iskemik,
perdarahan
Biasa
digunakan
Deep Heat
Ultrasound
Tulang/otot Kontraktur
otot / kapsul
sendi
Fraktur lokal,
implan besi
Kadang-
kadang
digunakan
SWD Subkutan Adhesi
setelah
operasi,
kontraktur
superficial
Implan besi,
pacemaker,
drug delivery
system
Jarang
digunakan
MWD otot Kontraktur
otot
Implan besi,
pacemaker,
drug delivery
system
Jarang
digunakan
(Thomas, 1999)
b. Terapi Dingin
16
Dingin, diterapkan dengan pemakaian ice pack atau jenis cold pack
lain atau penggunaan vapocoolant spray dengan evaporasi
merupakan alat yang sering digunakan pada tahap awal dari
rehabilitasi fraktur sebagai analgesia dan kontrol edema setalah
cidera. Dingin menghasilkan efek mati rasa yang disebabkan
berkurangnya hantaran receptor perifer, termasuk receptor nyeri.
(Thomas, 1999).
c. Hidroterapi
Termasuk kedalam hidroterapi adalah whirlpool atau therapeutic pool
treatment, bergantung dari efek terapi. Secara umum hidroterapi
digunakan untuk meningkatkan ROM, khususnya setelah pelepasan
gips, stimulasi penyembuhan luka, dan meningkatkan sirkulasi.
(Thomas,1999).
d. Modalitas Elektrik
Stimulasi elektrik menjadi bagian dari program penguatan setelah
proses penyembuhan fraktur khususnya ketika pasien merasa cemas
karena terganggunya kontraksi otot tubuh. Stimulasi galvanic
tegangan tinggi bermanfaat mengurangi spasme otot, dan
meningkatkan ROM setelah pelepasan gips (Thomas, 1999).
e. Spray and Stretch
Spray and Stretch therapy bermanfaat untuk mengatasi spasme otot
persisten setelah penyembuhan fraktur, khususnya cervical / schapula
atau otot punggung bagian bawah. Terapi ini bermanfaat
meregangkan dan relaksasi otot, mengurangi nyeri dan meningkatkan
ROM (Thomas, 1999).
BAB III
17
KESIMPULAN
Pengertian fraktur menurut Dorland adalah suatu diskontinuitas susunan
tulang yang disebabkan karena trauma atau keadaan patologis. Penyebab
fraktur adalah trauma. Trauma ini dibagi menjadi dua, trauma langsung dan
trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur ditempat itu. Sedangkan trauma tidak langsung bilamana
titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjatuhan.
Fase penyembuhan pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur
dan fungsi tulang secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi.
Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur
fisiologis akan diikuti proses penyambungan. Proses penyambungan tulang
menurut Appley dibagi dalam 5 fase, yaitu : Fase hematoma, fase proliferasi,
fase pembentukan kalus, fase konsolidasi dan fase remodelling.
Pada saat terjadi fraktur, dapat timbul gejala fraktur sebelum dan sesudah
operasi seperti adanya rasa nyeri pada lokasi fraktur, adanya oedema, adanya
penurunan lingkup gerak sendi dan terganggunya aktivitas fungsional.
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca operasi fraktur
meliputi impairment, functional limitation dan disability.Dalam kasus ini peran Unit
Rehabilitasi Medik sangat dibutuhkan dalam menangani dan mengantisipasi
timbulnya gangguan gerak fungsional pasca dilakukannya tindakan medis
terhadap pasien fraktur. Dalam penanganan permasalahan gerak dan fungsi,
Unit Rehabilitasi Medik bekerja secara team. Anggotanya meliputi Dokter,
Perawat, Okupasi terapi, Orthotik prostetik, dan Pekerja sosial Medis.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Anonim, 2009. Ilmu Bedah. http://www.bedahugm.net/fraktur/
2. Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition,
Churchill Livingstone.
3. Appley, A. Graham, Louis Solomon, 1995; Terjemahan Ortopedi, dan Fraktur
Sistem Appley; Edisi Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
4. Basmajian, John, 1978; Therapeutic Exercise.; Third edition, The William and
Wilkins, London.
5. Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik;
Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
6. Kisner, Carolyn and Lynn Callby, 1996; Therapeutic Exercise Fundation and
Techniques: Third edition , FA. Davis Company, Philadelphia.
19