25
SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya REFERAT ILMU PENYAKIT SARAF SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA DISUSUN UNTUK MEMENUHI SYARAT KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD KOTA SEMARANG Disusun oleh : Hendra Wijaya 406147012 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota Semarang Periode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 1

Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

REFERAT ILMU PENYAKIT SARAFSINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

DISUSUN UNTUK MEMENUHI SYARAT KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

RSUD KOTA SEMARANG

Disusun oleh :

Hendra Wijaya406147012

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PERIODE 18 JANUARI 2016 – 20 FEBRUARI 2016JAKARTA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 1

Page 2: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Hendra Wijaya

NIM : 406147012

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Tarumanagara

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Saraf

Periode Kepaniteraan klinik : Periode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016

Judul Makalah : SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

Diajukan : Februari 2016

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL: ………………………….

Mengetahui,

Ketua SMF Ilmu Saraf RSUD Kota Semarang, Pembimbing,

(dr. Dyah Nuraini W, Sp.S) (dr. Mintarti, Sp.S)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 2

Page 3: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih,

berkat dan tuntunan-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan referat dengan judul

“SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA “, dengan baik dan tepat waktu.

Refereat ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Ilmu saraf fakultas

Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang

periode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016. Disamping itu, penulis juga bertujuan untuk

menambah pengetahuan tentang” SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA ” kepada para

pembaca referat ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr.Dyah Nuraini W, Sp.S selaku KSMF Ilmu Saraf dan pembimbing

kepaniteraan Klnik Ilmu Saraf RSUD kota Semarang

2. dr. Mintarti, Sp.S selaku pembimbing kepaniteraan Klnik Ilmu Saraf RSUD kota

Semarang

Penulis telah berusaha agar referat ini dibuat sesempurna mungkin, tetapi penulis

sangat menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan, untuk itu penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar referat ini

dapat menjadi lebih sempurna.

Permohonan maaf penulis sampaikan apabila dalam penulisan referat ini terdapat

kesalahan dan kekurangan dalam referat ini.

Semarang, Februari 2016

Penulis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 3

Page 4: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................1

KATA PENGANTAR.............................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN............................................................................................6

II.1. Definisi.......................................................................................................6

II.2. Etiologi.......................................................................................................7

II.3. Faktor Resiko..............................................................................................7

II.4. Patofisiologi...............................................................................................8

II.5. Gambaran Klinis.........................................................................................8

II.6. Pemeriksaan Lab.........................................................................................8

II.7. Diagnosis...................................................................................................9

II.8. Diagnosa Banding......................................................................................11

II.9. Penatalaksanaan........................................................................................12

II.10. Komplikasi.................................................................................................13

II.11. Prognosis...................................................................................................13

II.12. Pencegahan...............................................................................................13

BAB III. KESIMPULAN.............................................................................................14

BAB IV. DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 4

Page 5: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

BAB I

PENDAHULUAN

Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of

reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan

pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku

penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat

dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang

gila. Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan

oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa :

sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja

psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan otonomik (hipotensi,

antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung

tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi, gangguan irama jantung),

gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,

bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik

(jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang, syndrome

neuroleptik maligna.13

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah

hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan

mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 5

Page 6: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik,

khususnya neuroleptik. Di Cina didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 % pada pasien

dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan insidensi

0,14%.1 Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien.2

Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM,

semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-

obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine (Phenergan),

clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non neuroleptik yang

dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah

metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium4. Deteksi awal dan

penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini

adalah kematian.5 Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.3

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 6

Page 7: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah

hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan

mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.1

DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mendefiniskan

sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang

terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari

konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil,

peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan

neuroleptik.6

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya

dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek

mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia,

nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan disfungsi

sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung

jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung,

tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.7

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 7

Page 8: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

2.2. ETIOLOGI (1)

1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi

rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada

pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.

2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),

antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi

long acting.

3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang

tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan

juga terapi kejang.

2.3. FAKTOR RESIKO 1

Faktor resiko dari SNM antara lain :

1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah

kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.

2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat

terjadi pada kembar identik.

3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko

rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan

penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu

episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya

30%.

4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,

riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak teratur.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 8

Page 9: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik

di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.

2.4. PATOFISIOLOGI

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan

pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi

terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin

yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus,

sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis

SNM.3

Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan

ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di

sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan

status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan

mesokortikal.7

2.5. GAMBARAN KLINIS

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak

tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis

tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya

berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan

neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat

neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan dosis).(6) Sindroma

neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai

dengan berat.7

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 9

Page 10: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

Gejalanya yaitu:1

a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi

dan tekanan darah meningkat atau labil.

b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,

distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat

mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan

delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan

nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan3 :

1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L.

Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom Neuroleptik

Maligna.

2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine

aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).

3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/

mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat.

Konsentrasi serum besi dapat menurun.

2.7. DIAGNOSIS7

Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu

kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 10

Page 11: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom,

perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.

Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding

pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan,

semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus

disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan

ketidakstabilan otonom.

Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders) :

Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.

Kriteria A

1. Rigiditas otot

2. Demam

Kriteria B

1. Diaphoresis

2. Disfagia

3. Tremor

4. Inkontinensia

5. Perubahan kesadaran

6. Mutisme

7. Takikardi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 11

Page 12: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

8. Tekanan darah meningkat atau labil

9. Leukositosis

10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C

Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

Kriteria D

Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari

demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan

SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi.10 SNM harus

dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin

dan hipertermi maligna.

2.8. DIAGNOSIS BANDING1

1. Heat Stroke

Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.

2. Letal Kataton

Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik

dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton

sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 12

Page 13: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodomal

sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.

3. Sindrom Serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali

riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas

berat.

2.9. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Suportif1

Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan

terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu.

Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long

action dapat bertahan selama sebulan.

Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara

fungsi organ yaitu:

1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.

2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.

4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan

serebrospinal, kultur urin dan darah.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 13

Page 14: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

2. Terapi Farmakologi3

Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti

bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik

Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi

rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain melaporkan tidak ada

manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala

karena pemakaian obat-obat tersebut.

Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.

Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan Sindrom

Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang paling

umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya

terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo,

edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation,

seizure, infark miocardial.9

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang

tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena

menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti

pskotik di hentikan.1

2.11. PROGNOSIS1

Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot

yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik Maligna dapat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 14

Page 15: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara

Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik.

2.12. PENCEGAHAN6

Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom ini.

Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping ekstra

piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra

piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma

Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik seperti

hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko dari

SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan riwayat

episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik, gangguan mental

non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur,

penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di

naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi

otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 15

Page 16: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada

waktu tidur, distonia dan diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah

menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam

perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna

untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin.

Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot

terus menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian

besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 18.30, 17 September 2013)

2. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant

Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55

3. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 19.00, 18 September 2013)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 16

Page 17: Referat Sindrom Neuroleptik Maligna

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA – Hendra Wijaya

4. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:

Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,

Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45

5. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,

http:://www.turner-white.com (diakses pada 19.30, 18 September 2013)

6. Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics

August 2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40

7. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 20.30, 18 September 2013)

8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,

http:://www.turner-white.com (diakses pada 16.00, 19 September 2013)

9. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:

Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,

Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45

10. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.

11. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant

Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55

12. Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible

encephalopathy. http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10.

(diakses pada 15.30, 19 September 2013)

13. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga University.

Page 180

14. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik . Jakarta:

Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota SemarangPeriode 18 Januari 2016 – 20 Februari 2016 17