45
REFERAT PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS Disusun oleh : SYADZA FADILLAH 1102008350 Pembimbing : dr. Nugroho Budi Santoso, Sp.Pd KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PASAR REBO UNIVERSITAS YARSI JAKARTA 1

REFERAT pscba

Embed Size (px)

DESCRIPTION

REFERAT pscba

Citation preview

REFERAT

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN

ATAS

Disusun oleh :

SYADZA FADILLAH

1102008350

Pembimbing :

dr. Nugroho Budi Santoso, Sp.Pd

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PASAR REBO

UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

1

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

A. Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal pada

area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang termasuk

organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus, lambung (gaster),

duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas

merupakan yang paling sering terjadi dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian

perdarahan saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna

bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum.

(Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002)

B. Anatomi Saluran Cerna Bagian Atas

Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal)

ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus. (Panduan

Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo, 2007)

Gambar 1. Sketsa saluran cerna bagian atas.

(sumber dari: http://www.patient.co.uk/diagram/..%5Cimages%5CI21_L.JPG)

2

Duodenum dan Jejunum

Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum. Pemisahan

duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu suatu pita muskulofibrosa

yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan

antara duodenum dan jejunum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium

(penggantung). Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian

akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum

cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke dalam usus

halus diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus

besar diatur oleh katup ileosekal.

Gambar 2. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum.

(sumber dari: http://microbewiki.kenyon.edu/images/c/c3/Small_intestine.jpg)

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan serosa) dibentuk

oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan parietal, dan ruang yang terletak di

antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi

hampir seluruh visera abdomen.

Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas serabut –

serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut – serabut sirkular.

Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus. Lapisan submukosa terdiri

3

atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung

pembuluh darah dan kelenjar.

Lambung (Gaster)

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah

diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh akan

berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 L. Secara

anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah

kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat

kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan

yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke

dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung

tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum

terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini

akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.

Gambar 3. Anatomi lambung (gaster).

(sumber dari: http://www.thecancerblog.org/images/blogs/7-2008/stomach-99430.jpg)

Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis

(penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas

sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau pilorospasme terjadi bila

4

serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal

berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan

memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin

dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi

serabut otot.

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan bagian

dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu pada kurvatura minor

lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus.

Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai

ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau

hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada

kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus

halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering

terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.

Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan

bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di bagian tengah,

dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai

macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel –

partikel yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan

mendorongnya ke arah duodenum.

Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa

dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik.

Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.

Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan – lipatan longitudinal yang disebut

rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat

beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang

ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium kardia dan mensekresikan mukus.

Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung.

5

Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel – sel zimogenik (chief cell) mensekresikan

pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel – sel parietal

mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk

absorpsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan

terjadinya anemia pernisiosa. Sel – sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan

mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus

lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan

pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit,

terutama ion natrium, kalium, dan klorida.

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf

parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf

vagus. Trunkus vagus menpercabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan seliaka.

Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan

pembedahan primer yang penting dalam mengobati ulkus duodenum. Hal ini akan dibahas

dengan lebih lengkap pada bagian selanjutnya dalam bab ini.

Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut –

serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot,

serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut – serabut eferen

simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan

submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi

aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama

berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang – cabang yang

memperdarahi kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah

arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan di

sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi

arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum,

6

serta yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati

melalui vena porta. (Lindseth, 2002)

Esofagus

Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan

panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari

hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus terletak di posterior

jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan menembus hiatus

diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi

menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung.

Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot

krikofaringeus membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri

atas serabut – serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal

berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu

menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara

anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai

sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam

keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu

bertahak atau muntah.

Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas empat

lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan mukosa bagian

dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di ujung atas; epitel lapisan

ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus dalam lambung (garis – Z) dan

menjadi epitel toraks selapis. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak

tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel – sel

sekretori yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan

dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot lapisan luar tersusun

longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus

adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot polos. Bagian di

7

antaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan bagian saluran cerna

lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput

peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang menghubungkan

esofagus dengan struktur – struktur yang berdekatan. Tidak adanya serosa menyebabkan semakin

cepatnya penyebaran sel – sel tumor (pada kasus kanker esofagus) dan meningkatnya

kemungkinan kebocoran setelah operasi.

Persarafan utama esofagus diinervasi oleh serabut – serabut simpatis dan parasimpatis

dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus, yang dianggap sebagai

saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis hingga saat ini masih kurang diketahui.

Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala – jala serabut saraf intramural intrinsik

di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach atau mienterikus), dan

tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus normal. Jala – jala saraf intrinsik

kedua (pleksus Meissner) terdapat di submukosa saluran gastrointestinal, tetapi agak tersebar

dalam esofagus.

Fungsi sistem saraf enterik tidak bergantung pada saraf – saraf ekstrinsik. Stimulasi

sistem simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan atau menghambat fungsi gastrointestinal.

Ujung saraf bebas dan perivaskular juga ditemukan dalam submukosa esofagus dan ganglia

mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan sebagai mekanoreseptor, termoosmo, dan

kemoreseptor dalam esofagus. Mekanoreseptor menerima rangsangan mekanis seperti sentuhan,

dan kemoreseptor menerima rangsangan kimia dalam esofagus. Reseptor termo-osmo dapat

dipengaruhi oleh suhu tubuh, bau, dan perubahan tekanan osmotik.

Distribusi darah ke esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang

– cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang – cabang

segmental aorta dan arteria bronkiales, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh arteria

gastrika sinistra dan frenika inferior.

8

Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esofagus daerah leher

mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan di bawah diafragma vena esofagus masuk

ke dalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan vena sistemik memungkinkan

pintas dari hati pada kasus hipertensi porta. Aliran kolateral melalui vena esofagus menyebabkan

terbentuknya varises esofagus (vena varikosa esofagus). Vena yang melebar ini dapat pecah,

menyebabkan perdarahan yang bersifat fatal. Komplikasi ini sering terjadi pada penderita sirosis

hepatis. (Wilson dan Lindseth, 2002)

9

C. Epidemiologi

Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih dikenal perdarahan

saluran cerna bahagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus

perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari

perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam

50 tahun terakhir.

Tidak berubahnya angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan dengan

bertambahnya usia pasien yang menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya

kondisi comorbid. Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran

cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % -

25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15

% dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60

% dari keseluruhan kasus perdarahan akut. (Alexander, J.A., 2008)

D. Etiopatologi

Menurut literatur dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010, penyebab

perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah:

1. Ulkus peptikum.

2. Sindrome Mallory-Weiss.

3. Varises esofagus.

4. Erosi gastritis.

5. Penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan.

6. Esofagitis.

7. Duodenitis.

8. Keganasan.

9. Idiopatik.

Dan penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang ditemukan adalah:

1. Kelainan perdarahan.

10

2. Hipertensi portal gastropati.

3. Fistula aorto-enterikus.

4. Angiodisplasia.

5. Hemobilia.

6. Lesi dieulafoy.

7. Divertikulum Meckel.

8. Sindrome Peutz-Jegher.

9. Sindrome Osler-Weber-Rendu (Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010).

Dalam literatur yang ditulis oleh Pangestu Adi, 2007, penyebab timbulnya perdarahan

saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah varises esofagus, gastritis erosif, tukak

peptik, gastropati kongestif, sindrome Mallory-Weiss, dan keganasan.

Varises Esofagus

Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan pada vena –

vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya varises esofagus

dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi porta akibat sirosis hepatis sehingga pasien

dengan varises esofagus sering sekali mengalami perdarahan. Penegakan diagnosis varises

esofagus dilakukan dengan endoskopi. (Biecker, Schepke, & Sauerbruch, 2005)

Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan paling

berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga angka kematian

keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas yang sering ditemukan juga

adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat),

erosi lambung akut, dan kecenderungan perdarahan (akibat masa protrombin yang memanjang

dan trombositopenia).

Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan kadang – kadang

adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat terjadi bergantung pada jumlah

dan kecepatan kehilangan darah.

11

Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan. Tamponade

dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan Minnesota (quadruple –

lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara waktu. Vena – vena dapat dilihat

dengan memakai peralatan serat optik dan disuntik dengan suatu larutan yang akan membentuk

bekuan di dalam vena, sehingga akan menghentikan perdarahan. Sebagian besar klinisi

beranggapan bahwa cara ini hanya berefek sementara dan tidak efektif untuk pengobatan jangka

panjang. Vasopresin (Pitressin) telah digunakan untuk mengatasi perdarahan. Obat ini

menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran darah splangnikus, walaupun efeknya

hanya bersifat sementara. Kendati telah dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita akan

meninggal akibat gagal fungsi hati dan komplikasi.

Gambar 5. Varises pada esofagus dan gaster.

(sumber dari: http://www.hopkins-gi.org/Upload/200710290905_34615_000.jpg)

Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah pengobatan

darurat), operasi pirau porta – kaval harus dipertimbangkan. Pembedahan ini mengurangi

tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan rendah). Pirau merupakan

terapi drastis untuk komplikasi utama sirosis ini. Operasi ini memperkecil kemungkinan

perdarahan esofagus selanjutnya, tetapi menambah resiko ensefalo hepatik. Harapan hidup

penderita tidak bertambah karena masih ditentukan oleh perkembangan penyakit hati.

12

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang mempercepat

terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan zat – zat toksik lain masuk

dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri pada saluran

cerna. Ensefalopati hepatik akan terjadi bila darah tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung,

pemberian pencahar dan enema, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegah

dengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis. (Lindseth, 2002)

Gambar 6. Hasil gambaran gastroscopy pada varises esofagus yang disertai dengan cherry-red

spot (sumber dari: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Esophageal_varices_-_wale.jpg)

Gastritis Erosif

Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal lambung yang

dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan didapatkan mukosa memerah,

edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta sering terjadi erosi kecil dan perdarahan.

Derajat perdarahan yang ada sangat bervariasi. Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat

bervariasi dari keluhan abodmen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual,

sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis.

Pada beberapa kasus tertentu, bila gejala – gejala tersebut menetap dan adanya resistensi

terhadap pengobatan, maka akan diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi,

biopsi mukosa, dan analisis cairan lambung untuk memperjelas penegakan diagnosis. (Lindseth,

2002).

13

Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:

Penggunaan obat anti – inflamasi non – steroid (OAINS) yang memiliki efek perusakan

mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS yang dapat menimbulkan

gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah indometasin, diklofenak, aspirin (terutama

dosis tinggi), ibuprofen, naproksen, serta obat – obat yang lain berupa sulfonamida,

steroid, dan digitalis. Selain itu, asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui

dapat mengganggu sawar mukosa lambung. Efek anti – inflamasi dan analgetiknya

terutama didasarkan melalui penghambatan siklo – oksigenase sehingga menghambat

sintesis prostaglandin (dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak

diinginkan adalah obat ini menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk

di epitel lambung dan duodenum, serta menurunkan sekresi HCO3- sehingga

memperlemah perlindungan lapisan mukosa dan juga menghentikan penghambatan

sekresi asam. Selain itu, obat ini juga merusak mukosa secara lokal melalui difusi non-

ionik ke dalam sel mukosa. Efek penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan

meningkatkan bahaya perdarahan ulkus.

Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.

Stres, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma sistem saraf pusat.

Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.

Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan mual

berlebihan.

Trauma radiasi. (Silbernagl dan Lang, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 7. Gastritis erosif, tampak inflamasi pada lapisan mukosa gaster (sumber dari :

http://odlarmed.com/wp-content/uploads/2008/10/clip_image008-300x200.jpg)

14

Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum merupakan penyakit

yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di atas umur 45

tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak peptik atau ulkus

peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan, sedikitnya ditemukan pada 15

hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di setiap tempat dapat

mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling sering adalah dinding posterior

bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau

arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 8. Ulkus dan perforasi disertai perdarahan pada gaster (sumber dari :

http://altincekodhima.com/images/19235.jpg)

Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada kecepatan kehilangan

darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan perdarahan

tersembunyi yang kronik sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Hasil

pemeriksaan darah samar dari feses dapat memperlihatkan hasil yang positif (tes guaiac positif)

atau feses mungkin berwarna hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan masif dapat

mengakibatkan hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan dapat memerlukan

transfusi darah serta pembedahan darurat. Hilangnya nyeri sering menyertai perdarahan sebagai

efek bufer darah. Mortalitas berkisar hingga 10%, dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun

15

memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25%

kematian total dari ulkus peptikum. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 09. Ulkus peptikum pada gaster dan duodenum (sumber dari :

http://images.medicinenet.com/images/illustrations/peptic_ulcer.jpg)

Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 – 25% dan cenderung meningkat pada usia

lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit degeneratif dan meningkatnya

pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda penyakit sebelumnya). Sebagian besar

perdarahan dapat berhenti secara spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila

gagal dilanjutkan dengan terapi operasi (5% dari pasien yang memerlukan transfusi darah).

Pemberian pantozol/PPI 2 amp/100cc NaCl 0.9 drips selama 10 jam secara parenteral dan

diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian transfusi

dengan memperhatikan tanda – tanda hemodinamik, yakni:

1. Tekanan darah sistol < 100 mmHg

2. Hb < 10 gr%

3. Nadi > 100x/menit

4. Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan darah segar hingga

hematokrit mencapai > 30%. (Tarigan, 2007).

16

Gambar 10. Ulkus peptikum pada duodenum (sumber dari:

http://altincekodhima.com/images/bleeding-indication-picture.jpg)

Syndrom e Mallory - Weiss

Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena yang secara

khas mengikuti muntah – muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat

ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak memanjang di atau

sedikit di bawah persambungan esofagogastrikum. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh G.

Kenneth Mallory dan Soma Weiss di tahun 1929 pada 15 pasien alkoholik. (Dorland, 2005;

Weiss and Mallory, 1932)

Gambar 11. Robekan mukosa pada pertautan gastroesofageal pada Sindrome Mallory-Weiss

(sumber dari: http://pds10.egloos.com/pds/200808/18/95/f0013595_48a9727b5b0c3.jpg)

17

Riwayat umum terjadinya Sindrome Mallory-Weiss dikarenakan oleh muntah, mual, atau

batuk yang disertai hematemesis, terutama pada pasien alkoholik. Perdarahan akibat kejadian ini

menyebabkan robekan lapisan mukosa pada area gastrik pada pertautan gastroesofageal, berhenti

secara spontan pada 80% hingga 90% pasien dan kambuh hanya pada 0% hingga 5%.

Pengobatan dengan endoskopi diindikasikan pada perdarahan aktif akibat robekan Mallory-

Weiss. Pengobatan dengan angiografi dengan infusi vasopressin intraarterial atau embolisasi dan

operasi dengan penjahitan pada area robekan jarang diperlukan.

A. B.

Gambar 12. Endoskopi pada robekan di mukosa pertautan gastroesofageal pada Sindrome

Mallory-Weiss (sumber dari: http://www.gangmed.com/images/es23.jpgA;

http://cheilpkh.egloos.com/721213B)

Keganasan

Keganasan atau karsinoma yang dapat memicu timbulnya perdarahan saluran cerna

bagian atas berupa keganasan pada esofagus dan gaster.

18

E. Gejala dan Tanda Klinis

Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan pada

pasien adalah:

1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung lama.

2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa

gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien. (Adi,

2007)

Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan saluran

cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna bagian bawah, antara

lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi, nyeri pada epigastrium, dan

reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek. (Sabatine, 2011)

F. Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada

umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya

adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah

terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI – PEGI – PPHI menetapkan bahwa

pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada

setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi.

Adapun langkah – langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah

sebagai berikut:

1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.

2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.

3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan.

4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.

5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.

6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan

mencegah terjadinya perdarahan ulang.

19

Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi

yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)

Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan

beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi:

1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.

2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.

3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.

4. Kelayakan nafas.

5. Tingkat kesadaran.

6. Produksi urin.

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan

mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai berikut:

1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih dari

100x/menit.

2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih dari 20

mmHg.

3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.

4. Akral dingin.

5. Kesadaran menurun.

6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi

hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:

1. Hematemesis.

2. Hematoskezia.

3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih.

4. Hipotensi persisten.

20

5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000 ml.

(Adi, 2007)

Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran Cerna .

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya cairan

garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16

G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya memulihkan tanda – tanda

vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid

(misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan

darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit.

Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes

Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT,

dan aPTT.

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari jumlah darah

yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan

akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna

dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:

1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.

2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau

lebih.

3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 g% atau

hematokrit kurang dari 30%.

4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang

akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan

ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah onset perdarahan. Target

pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda

21

dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 – 25%, usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada

hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 – 28%. (Adi, 2007)

Melanjutkan A namnesis, P emeriksaan F isik, dan P emeriksaan L ain Y ang D iperlukan .

Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka bisa

dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan – pemeriksaan lain yang diperlukan.

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah :

1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.

2. Riwayat perdarahan sebelumnya.

3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.

4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.

5. Penggunaan obat – obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti koagulan.

6. Kebiasaan minum alkohol.

7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid,

gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat – obatan.

8. Riwayat transfusi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan:

1. Stigmata penyakit hati kronik.

2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.

3. Tanda – tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan saluran

cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:

1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.

2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna bagian atas,

pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan

kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.

22

3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa terjadi

karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.

4. Dan pemeriksaan – pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan tergantung jenis

kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi.

(Adi, 2007).

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis

Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah

bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan

mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya

dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini sangat diperlukan untuk

persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah

perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es kurang menguntungkan,

waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul

ulserasi pada mukosa lambung.

Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami

perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut

tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek

vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta

menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah

dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan

plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan

preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin

dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,

diberikan 0.5 – 1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau

23

setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat

menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu

pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena

dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400

mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.

Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah

splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada

perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan

perdarahan akut varises esofagus pada 70 – 80% kasus, dan dapat pula digunakan pada

perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv,

dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti;

ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 – 24 jam atau

sampai perdarahan berhenti.

Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah

perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah inhibitor pompa proton

dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam

selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol

hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang

bisa digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama

seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan seperti antasida,

sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi

mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran

cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

24

A B

Gambar 13. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) (sumber dari:

http://img.tfd.com/dorland/thumbs/tube_Sengstaken-Blakemore.jpgA;

http://img.tfd.com/dorland/tamponade_esophagogastric.jpgB)

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai

sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) yang

mempunyai tiga pipa serta dua balon masing – masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi

pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemonia aspirasi, laserasi sampai perforasi.

Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya

dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang

ketat. (Adi, 2007)

Gambar 14. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)

(sumber dari: http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/five/images/sbtube2.jpg)

25

Gambar 15. Mekanisme pemasangan dan penggunaan SB-tube.

(sumber dari: http://www.heart-intl.net/HEART/011507/Portal9.gif)

Terapi Radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum

bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat

beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau

embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada

perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic

Shunt).

(Adi, 2007)

26

Gambar 16. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).

(sumber dari: http://bookbing.org/wp-content/uploads/TIPS.jpg)

Pembedahan

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai

gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner pada

pengelolaan kasus perdarahan saluran cerna bagian atas untuk menentukan waktu yang tepat

kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan. (Adi, 2007)

27

28

Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah

Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau saluran cerna

bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan Perdarahan Saluran

Cerna Bagian Bawah.

Perdarahan Saluran

Cerna Bagian Atas

Perdarahan Saluran

Cerna Bagian Bawah

Manifestasi klinik pada

umumnya

Hematemesis dan/melena Hematoskezia

Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih

Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35

Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti kopi karena

berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal dari saluran cerna

bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket dengan bau busuk, bila perdarahannya

berlangsung sekaligus sejumlah 50 – 100 ml atau lebih. Untuk lebih memastikan keterangan

melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum. Perdarahan

saluran cerna bagian atas dengan manifestasi hematoskezia dimungkinkan bila perdarahannya

cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau

syok.

Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa

nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang sudah jelas

perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas akan keluar

cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan masih aktif.

29

Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak

ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau

24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan

perdarahan saluran cerna bagian atas.

Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk memperkirakan asal

perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48 jam sejak terjadinya perdarahan,

normal perbandingannya 20, di atas 35 kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna

bagian atas, dibawah 35 kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada

kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya

ialah endoskopi saluran cerna bagian atas. (Adi, 2007)

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest.

Aktivitas Perdarahan Kriteria Endoskopis

Forest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri

menyembur.

Forest Ib Perdarahan aktif. Perdarahan merembes.

Forest II Perdarahan berhenti dan

masih terdapat sisa – sisa

perdarahan.

Gumpalan darah pada

dasar tukak atau terlihat

pembuluh darah.

Forest III Perdarahan berhenti

tanpa sisa perdarahan.

Lesi tanpa tanda sisa

perdarahan.

G. PROGNOSIS

Angka mortalitas pada pasien dengan perdarahan SCBA dapat ditekan bila keseluruhan

algoritma terutama penanganan perdarahan diikuti dengan tepat dan cepat. Penyebab

kematian terbesar perdarahan adalah syok hipovolemik yang tidak teratasi.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 – 292.

2. Sabatine, Marc S. “Gastrointestinal Bleeding”. Pocket Medicine: The Massachusetts

General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer Health

and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 – 3.

3. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. “Gastritis”. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007. Hal: 142, 146.

4. Tarigan, Pengarapen. “Tukak Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta. 2007. Hal: 341.

5. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. “Gangguan Esofagus”. PATOFISIOLOGI

– Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku

Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.

6. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005

7. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional Dr. Cipto

Mangunkusumo. Jakarta: 2007

8. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,

“Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,

http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober

2011)

9. Weiss S, Mallory GK. “Lesions of the cardiac orifice of the stomach produced by

vomiting”. Journal of the American Medical Association,1932;98:1353-55.

31