37
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin. Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin. Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan

referat jiwa anggi.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: referat jiwa anggi.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari

neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk

mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai

mekanisme memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.

Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat

antipsikosis juga mempunyai efek samping yang berkaitan dengan

neurotransmiter dopamin.

Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat

antipsikosis yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga

dapat menurunkan ketaatan pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang

mana akan menyebabkan sulitnya gejala-gejala psikosis untuk berkurang atau

hilang.

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada

otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan.

Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan

medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks,

gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi

yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi

antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering

Page 2: referat jiwa anggi.docx

memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,

Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh

Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet,

spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus

kortikospinal (piramidal).

B. Tujuan dan Manfaat

1) Tujuan

Untuk mengetahui lebih mengenai sindrom ekstrapiramidal.

2) Manfaat

Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk membantu memahami

mengenai sindrom ekstrapiramidal.

Page 3: referat jiwa anggi.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari

medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi

transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di

korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin

menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai

sindrom ekstrapiramidal.

B. EPIDEMIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut,

akhatisia, dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan

obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal

terutama yang mempunyai potensi tinggi.

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya

pada pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti

mulut, rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan

tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan

antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang

menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3

minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa muda, dengan

perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.

Page 4: referat jiwa anggi.docx

C. ETIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik

yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi

asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping

gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut

Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya

sebagai berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal

Chlorpromazine

Thioridazine

Perphenazine

trifluoperazine

Fluphenazine

Haloperidol

Pimozide

Clozapine

Zotepine

Sulpride

Risperidon

Quetapine

Olanzapine

Aripiprazole

150-1600

100-900

8-48

5-60

5-60

2-100

2-6

25-100

75-100

200-1600

2-9

50-400

10-20

10-20

++

+

+++

+++

+++

++++

++

-

+

+

+

+

+

+

Page 5: referat jiwa anggi.docx

D. PATOFISIOLOGI

Susunan Piramidal

Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke

lower motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam

kelompok upper motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut

merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus

tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan

masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui

aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang

membentuk inti motorik saraf kranial dan motor neuron dikornu anterius

medula spinalis.

Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan

kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari

korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka

terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula

interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar

meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir

secara langsung di motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya

disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti

saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.

Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis,

serabut-serabut kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk

jaras kortikospinal lateral yang berjalan di funikulus posterolateral

kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi melanjutkan

Page 6: referat jiwa anggi.docx

perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan

dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis

ventralis.

Susunan Ekstrapiramidal

Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus

palidus, inti-inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio

retikularis batang otak, serebelum berikut dengan korteks motorik

tambahan yaitu area 4, area 6 dan area 8.

Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain

oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat

lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus

striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap

neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang

terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang

(aksesori).

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :

hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus

palidus

hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus

hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.

Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan

kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil

pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan

korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan

Page 7: referat jiwa anggi.docx

ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya

mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit

striatal asesorik.

Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang

menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal

asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus

subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang

dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-

striatum.

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat

disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di

ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan

psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem dopamin sehingga

antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di

jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni

antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut

menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung

banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral

dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi

sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti

haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis

yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala

ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

Page 8: referat jiwa anggi.docx

Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti

bagaimana efek dari obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya.

Terdapat 4 jalur dopamin dalam otak :

Jalur dopamin mesolimbik

Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi

mengatur perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi

jika dopamin berlebih. Dengan jalur ini ‘dimatikan’ maka diharapkan

delusi dan halusinasi dapat dihilangkan.

Jalur dopamin nigrostriatal

Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin

pada jalur ini dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan

gangguan gerakan yang muncul serupa dengan penyakit Parkinson,

sehingga sering disebut drug-induced Parkinsonism. Oleh karena jalur

nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dari

sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor dopamin

juga disebut reaksi ekstrapiramidal.

Jalur dopamin mesokortikal

Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin

pada jalur ini akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari

psikosis, yang disebut neuroleptic-induced deficit syndrome.

Page 9: referat jiwa anggi.docx

Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor

dopamin pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin

sehingga menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut

galaktorea.

E. GEJALA KLINIS

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada

otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan.

Letak dari sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis

dari pons dan medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur

refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.

Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok

atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang

dari medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala

bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi

gejala-gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Reaksi distonia akut

2. Tardive diskinesia

3. Akatisia

4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)

Page 10: referat jiwa anggi.docx

1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot

skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama,

biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok

otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot

ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis

okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus

(melibatkan seluruh otot tubuh).

Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari

setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia

lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang

mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol,

trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien,

lebih lazim pada pria muda.

Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal

selama perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden

pada laki-laki, pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien

yang mendapatkan dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi

(contohnya haloperidol). Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset

dalam tiga sampai enam jam dapat terjadi, seringkali keluhan pasien

berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan. Kontraksi distonik

dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, distonia laring

dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati. Otot-otot

yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan

Page 11: referat jiwa anggi.docx

retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion,

memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada

mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang

menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis

bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya

yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi

terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.

Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun

perubahan dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi

dalam mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin

merupakan penyebab utama distonia.

Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari

ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien

mengenai medikasi secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi

distonik yang menyusahkan.

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik

menurut DSM IV adalah sebagai berikut :

Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak,

atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah

memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah

menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala

ekstrapiramidal)

Page 12: referat jiwa anggi.docx

A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang

berhubungan dengan medikasi neuroleptik :

1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh

(misalnya tortikolis)

2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-

faring, disfonia)

4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar

(disartria, makroglosia)

5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh

B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari

setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi

neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk

mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat

antikolinergik)

C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan

mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda

bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat

berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi

neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis

(misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau

pemberian antikolinergik)

Page 13: referat jiwa anggi.docx

D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi

neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena

kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului

pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis

fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa

adanya perubahan medikasi.

Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering

dengan antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak

berespon dengan tiga dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi

harus mempertimbangkan penyebab gerakan distonik selain medikasi

neuroleptik.

Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg

benztropine IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit,

obat harus diberikan lagi. Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-

30 menit lagi, suatu benzodiazepin (contohnya 1 mg lorazepam

IM/IV) harus diberikan.

Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus

diberikan 4 mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg

lorazepam, diberikan perlahan melalui jalur IV.

Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang

pernah memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam

resiko tinggi (laki-laki muda yang menggunakan antipsikotik potensi

tinggi). Profilaksis diberikan selama 4-8 minggu dan selanjutnya

Page 14: referat jiwa anggi.docx

diturunkan perlahan selama periode 1-2 minggu untuk memungkinkan

pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan terapi profilaksis.

2. Tardive Diskinesia

Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid

abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik,

atau seperti tik memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas.

Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal

ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif

reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati

jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun

dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi

bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien

yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya

sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun,

kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi

berjalan, berbicara, bernapas dan makan.

Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin

wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien

dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan

untuk mengalami tardive diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat

hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk

dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika

mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington,

Page 15: referat jiwa anggi.docx

Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang

ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu

dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh

kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blokade

kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang

diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak

mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati.

Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan

penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive

diskinesia dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa

bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS)

harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan

pengobatan neuroleptik jangka panjang.

3. Akatisia

Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi.

Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan

medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda.

Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk

tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa

perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan

gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.

Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang,

Page 16: referat jiwa anggi.docx

perasaannya menjadi cemas atau iritabel, juga telah dilaporkan

sebagai rasa gatal pada otot.

Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur

yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk.

Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik

akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang

nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan

pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada

parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap

gejala objektif akatisia.

Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi

neuroleptik dan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan

tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga

menimbulkan masalah ketidakpatuhan pasien.

4. Sindrom Parkinson

Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai

berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara

berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi

parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan penghambatan reseptor

D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu

neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit Parkinson

idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko

tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.

Page 17: referat jiwa anggi.docx

Manifestasinya meliputi berikut :

Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan

spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan

kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan

pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia

hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,

penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai

aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala

negative skizofrenia.

Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe

penggulung pil. Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral

yang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat

dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui

karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang

daripada lidah dan responnya terhadap medikasi antikolinergik.

Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot,

yaitu derajat ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot

dapat menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang berhubungan

dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi

(lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah tersebut

menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau sendi

yang terkena.

Page 18: referat jiwa anggi.docx

Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli

menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan

riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.

Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal

tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan

asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur

nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara

normal, dopamin menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps jalur

kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat dopamin sehingga

menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.

Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan

antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan

antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal.

Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat

menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan

mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.

Selain dengan medikasi anti-EPS, dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat

anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-psikosis dengan jenis atipikal

seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-psikosis atipikal ini

hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya terhadap

ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.

Page 19: referat jiwa anggi.docx

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan

untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap

kembalinya gejala.

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan

mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan

antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti

trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis

diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah

pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom

ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal

yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada

pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga

memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga

absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari

antipsikotik dapat berkurang.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk

memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan

riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien

yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan

untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan

seksama terhadap kembalinya gejala.

Page 20: referat jiwa anggi.docx

Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.

Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi

harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan

terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan

penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan

difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg

IM.

Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan

amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan

lorazepam.

Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive

dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk

dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan

Parkinson idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang

berat. Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan

involunter pada banyak pasien.

G. DIAGNOSIS BANDING

Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:

1.Sindroma putus obat

2.Parkinson disease

3.Tetanus

4.Gangguan gerak ekstrapiramidal primer

5.Distonia primer

Page 21: referat jiwa anggi.docx

Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi

penyakit Hutington, Khorea Sindenham

H. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih

baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada

pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan

tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak

diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien

yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

I. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu

sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak

saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada

distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS

mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang

buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur,

gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat

mengeksaserbasi gejala psikotik

Page 22: referat jiwa anggi.docx

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat

diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat

transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi

dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum

menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka

panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.

Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan

tardive dyskinesia.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan

memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai

menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan

antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia

akut berat harus mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin

secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik

dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam

dan lorazepam.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat

memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan

komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.

Page 23: referat jiwa anggi.docx

Penggunaan obat-obat antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa

mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat

menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan terus-menerus relaps.

Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun tanpa

obat antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya.

Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping

ekstrapiramidal akibat obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih

teratur mengkonsumsi obat antipsikosis dan diharapkan dapat meningkatkan

kesembuhan dari pasien.

Page 24: referat jiwa anggi.docx

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/Extrapyramidal_system

http://en.wikipedia.org/wiki/Dystonia

Kaplan & Saddock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 ed 9. Lippincott Williams &

Wilkins. 1998

Stahl, Stephen M. Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and

Practical Applications. Cambridge University Press. 1996.