29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengonsentrasikan iodin yang digunakan untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri- iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang (Greenstein, 2007). Anatomi Kelenjar Tiroid (Sitorus, 2004) Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang mensintesis kalsitonin. 1

Referat Graves Disease

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat penyakit graves

Citation preview

Page 1: Referat Graves Disease

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang

memproduksi hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengonsentrasikan

iodin yang digunakan untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi

adalah tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada

tiroid dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon; PTH). PTH penting

dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel parafolikuler terletak

dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini memproduksi kalsitonin yang

menghambat resorpsi kalsium tulang (Greenstein, 2007).

Anatomi Kelenjar Tiroid (Sitorus, 2004)

Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C

yang mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan

metabolisme. T3 selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil

deiodinasi dari T4 di jaringan perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein

yang berbeda: glikopreotein tiroglobulin di dalam koloid dari folikel, prealbumin

pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak terikat

terdapat dalam sirkulasi darah (Sitorus, 2004).

Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating

hormone) dan adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH

(Thyrotropin-releasing hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam

1

Page 2: Referat Graves Disease

sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol

produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan

konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons adenohipofisis terhadap

TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai

akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga

dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga

melalui pengaruh persarafan (Djokomoeljanto, 2006).

Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh

hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar

hipofisis. Sekresi TSH diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui

pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh Thyrotrophin Releasing Hormone

(TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi akan menekan sekresi

TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun. Sebaliknya

kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga

meningkatkan produksi T3 dan T4 (Djokomoeljanto, 2006).

Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa

langkah, yaitu (Price dan Lorraine, 2006):

– Iodide  trapping

Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan

berhubungan dengan Na, K, ATPase di mana sel folikel menarik

yodida dari darah ke dalamnya (20 kali lebih kuat daripada perfusi

darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug yodida untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

– Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)

Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke

yodium yang kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin

yang berasal dari residu tirosil, dari pemecahan tiroglobulin untuk

kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT) dan diiodothyrosine

(DIT).

– Coupling

Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT  sehingga terbentuk T3

dan T4 yang terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih

2

Page 3: Referat Graves Disease

dominan dari pada T3 meskipun efek metaboliknya lebih lemah.

Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam koloid.

– Sekresi

Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas

dari tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk

aliran darah dengan perbandingan T3:T4=1:5. Selanjutnya terjadi

proses deyodinasi (bantuan hormon diyodotirosinase), di mana MIT

dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu tirosil. Hanya

sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah

(normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya

sekitar 0,3% dan 0,02% dari total hormon keseluruhan dengan waktu

paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7 hari (T4).

Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini

diketahui bahwa hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada

metabolisme karbohidrat, protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan.

Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan fungsi katekolamin dalam tubuh

(Price dan Lorraine, 2006).

– Pembentukan kalori

Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada

hampir semua jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali

pada otak, hipofisis anterior, limpa dan kelenjar limfe. Dengan

meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan tubuh akan semua

zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses

termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu

dingin, yang berarti memperbanyak pembentukan kalori selain dari

adanya vasodilatasi perifer dan bertambahnya curah jantung.

– Metabolisme karbohidrat

Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat

dari usus dan efek ini tidak bergantung pada efek kalorigeniknya. Pada

keadaan hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena

proses katabolisme yang tinggi disertai bertambahnya sekresi

katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu, pada penderita

3

Page 4: Referat Graves Disease

hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa

oral yang sangat khas.

– Metabolisme protein

Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan

efek anabolik berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah.

Sebaliknya pada kadar yang berlebihan, justru akan terjadi hambatan

sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan nitrogen negatif. Pada

kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling pada

proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan

panas bertambah.

– Metabolisme lemak dan kolesterol

Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak

bebas dari jaringan lemak. Di samping itu juga terdapat rangsangan

terhadap sel hati untuk metabolisme dan sintesis kolesterol. Adanya

penurunan kadar kolesterol disebabkan oleh metabolisme melebihi

proses sintesisnya.

– Pertumbuhan

Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat

dengan pengaruhnya terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein.

– Sistem saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi

katekolamin yang meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio

retikularis menjadi lebih aktif. Refleks tendon dalam (deep reflex

tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh lebih cepat daripada

normal.

4

Page 5: Referat Graves Disease

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit graves adalah penyakit autoimun di mana tiroid terlalu aktif,

menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan

metabolisme serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan

kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit graves merupakan bentuk

tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih

sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih

dari gambaran tirotoksikosis, goiter, oftalmopati (exopthalmus), dermopati

(pretibial myxedema) (Yeung, 2014).

2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyakit graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh

menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu

sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih

belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang

mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis dan

sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan gondok membesar difus)

(Shahab, 2002).

Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating

antibodies pada penderita penyakit graves yang berikatan dan mengaktifkan

reseptor tirotropin pada sel tiroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon

tiroid. Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh

multifaktor antara genetik, endogen dan faktor lingkungan (Shahab, 2002).

Terdapat beberapa faktor predisposisi (Shahab, 2002):

– Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi

umum untuk terkena Graves.

– Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun

oleh estrogen.

5

Page 6: Referat Graves Disease

– Status gizi

Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan

prevalensi timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.

– Stress

Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit

lewat jalur neuroendokrin.

– Merokok

Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.

– Infeksi

Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang

mempunyai protein antigen pada membran selnya yang sama dengan

TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid diduga dapat mempromosi

timbulnya penyakit graves terutama pada penderita yang mempunyai

faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau

perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid

karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator

inflamasi menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid

dan perkembangan penyakit ini.

– Periode post partum

Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.

– Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)

Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral

theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan

meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.

2.3 Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada di dalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang

limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH di dalam membran sel tiroid

sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan

TSH-R antibody. Adanya antibodi di dalam sirkulasi darah mempunyai korelasi

yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas

6

Page 7: Referat Graves Disease

merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit graves (Shahab, 2002).

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid

yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).

Di samping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada

permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam

proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita

penyakit Graves (Shahab, 2002).

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen di atas dan

bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan

mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti

DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).

Terjadinya oftalmopati graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)

dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang

berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata

dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan

inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan

otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia (Shahab, 2002).

Dermopati graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi

sitokin di dalam jaringan fibroblast di daerah pretibial yang akan menyebabkan

terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan

katekolamin, seperti takikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena

terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab, 2002).

2.4 Diagnosis

2.4.1 Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang

sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa

penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan

utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar

atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala

7

Page 8: Referat Graves Disease

yang menonjol, yaitu: nervositas, kelelahan atau kelemahan otot-otot, penurunan

berat badan sedangkan nafsu makan baik, diare atau sering buang air besar,

intoleransi terhadap udara panas, keringat berlebihan, perubahan pola menstruasi,

tremor, berdebar-debar, penonjolan mata dan leher (Hermawan, 2000).

Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu: seorang

penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda

pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo,

pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan

pemendekan waktu refleks achilles (Hermawan, 2000).

2.4.2 Pemeriksaan Fisik

2.4.2.1 Inspeksi

Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perhatikan beberapa

komponen berikut:

– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus

– Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler

– Jumlah: uninodusa atau multinodusa

– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler

lokal

– Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya

ikut bergerak

– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2.4.2.2 Palpasi

Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

– Perluasan dan tepi

– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak

dapat diraba trakea dan kelenjarnya

– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

– Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus

– Limfonodi dan jaringan sekitarnya

2.4.2.3 Auskultasi

Bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid.

2.4.2.4 Tes Khusus

8

Page 9: Referat Graves Disease

– Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi

merah

– Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa

dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan

– Oftalmopati

Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid

Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan

dahi

Von Stelwag Mata jarang berkedip

Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak

dapat mengikuti bulbus okuli sehingga antara

palpebra superior dan cornea terlihat jelas

sklera bahagian atas

Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika

mata tertutup

Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata

pasien di medial, pasien sukar mengadakan

dan mempertahankan konvergensi

Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar

Pemeriksaan Oftalmopati (dari Hermawan, 2000)

Eksoftalmus pada Penderita Penyakit Graves

9

Page 10: Referat Graves Disease

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new

castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran

metabolisme basal (BMR), bila hasil BMR ≥30, sangat mungkin bahwa seseorang

menderita hipertiroid (Shahab, 2002).

(dari Shahab, 2002)

10

Page 11: Referat Graves Disease

(dari Shahab, 2002)

Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid

(thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free

thyroxine index. Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan

diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi antitiroglobulin

dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium

radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid

scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis

penyakit graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang

sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping

itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian

dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid (Shahab, 2002).

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

2.4.3.1 Pemeriksaan laboratorium (Shahab, 2002)

– Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis).

11

Page 12: Referat Graves Disease

– Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan

diagnosis penyakit graves.

– Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat

antitiroid seperti thioamides.

– Pemeriksaan gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat

memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang

meningkat dalam darah.

– Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan grave oftalmofati

yang sedang aktif.

2.4.4 Pemeriksaan Radiologi (Shahab, 2002)

– Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan

pada trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan

kelenjar yang membesar.

– Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar

uptake iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding

penyebab hipertiroid.

– USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi

pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil

pemeriksaan laboratorium.

– CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan

massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea

(apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi).

– MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus

hipertiroid)

– Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga

sebagai terapi.

2.4.5 Pemeriksaan Jarum Halus

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.

Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun benigna.

2.5 Penatalaksanaan

2.5.1 Pengobatan Umum

– Istirahat

12

Page 13: Referat Graves Disease

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin

meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang

melelahkan/mengganggu pikiran baik di rumah atau di tempat bekerja.

Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.

– Diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini

dikarenakan terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan

nitrogen yang negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.

– Obat penenang

Mengingat pada penyakit graves sering terjadi kegelisahan, maka obat

penenang dapat diberikan.

2.5.2 Pengobatan Khusus

2.5.2.1 Obat Antitiroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium,

lithium, perchlorat dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan

thionammide adalah propylthiouracyl (PTU), 1-methyl-2mercaptoimidazole

(methimazole, tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini bekerja menghambat

sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat

terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta

menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU

juga menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih

murah sehingga pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok

sehingga pengaruh pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam

kelenjar daripada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat

daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya.

Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300-600 mg perhari untuk PTU atau

30-60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau

sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa

pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih

besar.

13

Page 14: Referat Graves Disease

Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ,

antara lain adalah :

– MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama

dibanding PTU di dalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam

sedangkan PTU ± 1 1/2 jam.

– Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik

dibanding PTU.

– MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat

pada albumin serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier

plasenta dan air susu sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU

lebih dianjurkan.

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6-24 bulan)

dan dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50-70%) akan mengalami perbaikan

yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit

memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat

menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah

mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis kurang).

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash

dapat ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian

pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera

pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2-0,7%),

kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40 tahun yang

menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi berupa

arthralgia, demam rhinitis, konjungtivitis, alopecia, sakit kepala, edema,

limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.

2.5.3 Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi

dalam masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism

dari kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap

ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan

timbul sekresi berlebihan dan gejala hipertiroidi menghebat. Pengobatan dengan

yodium digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tiroid

14

Page 15: Referat Graves Disease

atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan

dalam bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan

dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold

dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3

kali perhari yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi.

2.5.4 Penyekat Beta (Beta Blocker)

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya

hipersensitivitas pada sistem simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis

ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.

Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat

pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan

obat yang masih digunakan. Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol

lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24-36 jam

setelah pemberian akan tampak penurunan gejala.

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat

konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ±

4-6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena

penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat

menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi. Penggunaan propranolol antara lain

sebagai persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif,

mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.

2.5.5 Ablasi Kelenjar Gondok

Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I131.

2.5.5.1 Tindakan Pembedahan

Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka

yang berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan

pembedahan berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan

keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau

yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka

yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat

tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka yang

ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan alasan

15

Page 16: Referat Graves Disease

kosmetik. Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara

thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid

biasanya diberikan 6-8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan

pemberian larutan Lugol selama 10-14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat

diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium

dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk

mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka

angka kematian dapat diturunkan sampai 0.

2.5.5.2 Ablasi dengan I131

Sejak ditemukannya I131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan

hipertiroid. Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah

pengobatan, namun karena harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini

banyak digunakan.

Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang

hiperfungsi. Sayangnya I131 menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok

(30-70% dalam follow up 10-20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis

obat yang diberikan. Di samping itu terdapat pula peningkatan gejala pada mata

sebanyak 1-5% dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perubahan gen

dan keganasan akibat pengobatan cara ini, walaupun belum terbukti.

Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan

beratnya kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140-160 micro Ci/gram atau

dengan dosis rendah ± 80 micro Ci/gram.

Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain: dosis optimum

yang diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi,

efektivitas I131 di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I131. 2.5.6

Pengobatan dengan Penyulit

2.5.6.1 Penyakit Graves dan Kehamilan

Angka kejadian penyakit graves dengan kehamilan ±0,2%. Selama

kehamilan biasanya penyakit graves mengalami remisi, dan eksaserbasi setelah

melahirkan.

Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena

pada bayi dapat terjadi hipotiroidi yang ireversibel. Penggunaan propranolol

16

Page 17: Referat Graves Disease

masih kontroversi. Beberapa peneliti memberikan propranolol pada kehamilan,

dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan gangguan pada proses

kelahiran, tanda-tanda teratogenesis dan gangguan fungsi tiroid dari bayi yang

baru dilahirkan. Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses

kelahiran yang terlambat, terganggunya pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta

yang kecil, hipoglikemi dan bradikardi pada bayi yang baru lahir.

Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertiroid

dalam waktu kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan untuk tindakan

operatif.

Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan

pembedahan. Untuk menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun

kondisi penderita. PTU merupakan obat antitiroid yang digunakan, pemberian

dosis sebaiknya serendah mungkin. Bila terjadi efek hipotiroid pada bayi,

pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat mengingat hormon

tiroid kurang menembus plasenta.

Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak

mungkin. Sebaiknya pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan untuk

mencegah terjadinya abortus spontan.

2.5.6.2 Eksoftalmus

Pengobatan hipertiroid diduga mempengaruhi derajat pengembangan

eksofalmus. Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi antara lain:

istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak

kering dengan salep mata atau larutan metil selulose 5%; menghindari iritasi mata

dengan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang berat bisa

diberikan prednison peroral tiap hari.

2.5.6.3 Krisis Tiroid

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-

konyong menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium,

takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan

tindakan pembedahan. Prinsip pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan

tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang terjadi. Untuk mengendalikan

tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi misalnya

17

Page 18: Referat Graves Disease

PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam, propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV

2-4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan glukokortikoid (hidrokortison 300 mg).

Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya tergantung kondisi penderita dan

gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya karena angka kematian penderita ini

cukup besar.

18

Page 19: Referat Graves Disease

DAFTAR PUSTAKA

Djokomoeljanto R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: Aru W. Sudoyo; Bambang S; Idrus

A; Marcellus S K; Siti S, editors. Jakarta: Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Greenstein B, Wood D.F. 2007. At a Glance Sistem Endokrin. In: Yasmine E;

Rachmawati A.D, editors. Jakarta: Erlangga.

Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

EGC. Jakarta.

Shahab A. 2002. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya. Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme.

Edisi Juli 2002. PIKKI. Jakarta.

Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan.

Yeung, Sai Ching Jim. 2014. Graves Diseases. http://emedicine.medscape.com/

article/120619-overview#showall Diunduh pada 23 Juni 2015.

19