Upload
sachriana-said
View
278
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
file
Citation preview
WEIL’S DISEASE
A. PENDAHULUAN
Weil’s disease adalah bentuk leptospirosis yang berat ditandai dengan
ikterus yang biasanya disertai dengan azotemia, perdarahan, anemia, gangguan
kesadaran dan demam. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh Leptospira
interrogans serovar icterohaemorrhagiae tetapi dapat disebabkan oleh serovar-
serovar lain. Spektrum penyakit yang disebabkan oleh leptospira sangat luas,
mulai dari infeksi subklinis hingga sindrom infeksi multiorgan yang berat dengan
tingkat kematian yang tinggi. Sindrom ikterik leptospirosis dengan gagal ginjal,
pertama kali dilaporkan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh Adolf Weil di
Heidelberg.
Penyakit ini umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini
berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau
atau di sungai seperti berenang.
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis
(weil’s disease) adalah kondisi selokan buruk, keberadaan sampah dalam rumah,
keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki,
kebiasaan mandi/mencuci di sungai, pekerjaan berisiko dan tidak ada penyuluhan
tentang leptospirosis.
Weil’s disease tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Antartika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat
pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmot, atau
binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain
sebagainya. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa
puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di
daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
Negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk
mortalitas. Di Indonesia, Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung,, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat.
B. ETIOLOGI
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
flekibel, panjangnya 5 – 15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
um.
Leptospira dibagi menjadi dua spesies, L. interrogans, yang merupakan
strain patogen, dan L. biflexa strain saprofit yang dapat diisolasi dari lingkungan.
Karakteristik L. biflexa yang berbeda dari L. interrogans yaitu pertumbuhan pada
suhu 13° C, dapat tumbuh di medium yang mengandung 8-azaguanine (225
mg/ml), dan ketidakmampuan L. biflexa untuk tumbuh dalam 1 M NaCl.
Hasil scan mikrograf elektron dari L. interrogans serovar icterohaemorrhagiae strain RGA pada
membran filter 0,2 mm.
C. PATOGENESIS
Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh pejamu melalui abrasi pada kulit,
kulit basah dan terendam air, membran mukosa yang intak atau konjungtiva, paru-
paru (jika menghirup cairan tubuh dalam bentuk aerosol), atau melalui plasenta
selama kehamilan. Organisme virulen dalam tubuh pejamu yang rentan
mendapatkan akses cepat ke aliran darah melalui limfatik, mengakibatkan
terjadinya leptospiremia, yang kemudian dapat menyebar ke seluruh organ. Masa
inkubasi biasanya 5-14 hari, tetapi dapat lebih dari 72 jam hingga berbulan-bulan
lamanya.
Setelah infeksi, leptospira muncul dalam darah dan menyerang hampir
semua jaringan dan organ. Oleh respon imun, leptospira dibersihkan dari tubuh.
Namun, sebagian leptospira dapat menetap di tubulus ginjal dan dapat ditemukan
dalam urin selama beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Selama infeksi akut, leptospira berkembang biak di endotelium pembuluh
darah, yang mengakibatkan kerusakan vaskular dan vaskulitis. Manifestasi klinis
utama dari penyakit ini diyakini sebagai akibat sekunder dari mekanisme ini, yang
dapat mempengaruhi hampir semua sistem organ:
Di ginjal, nefritis interstisial, nekrosis tubular, gangguan permeabilitas
kapiler, serta hipovolemia, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Keterlibatan hati ditandai dengan nekrosis centrilobular dan proliferasi
sel Kupffer, dengan disfungsi hepatoseluler.
Keterlibatan paru disebabkan kerusakan vaskular interstisial dan alveolar
yang dapat mengakibatkan perdarahan. Komplikasi ini dianggap sebagai
penyebab utama kematian pada leptospirosis.
Kulit dipengaruhi oleh kerusakan epitel vaskular.
Keterlibatan otot rangka adalah sekunder untuk edema, vakuolisasi
myofibril, dan kerusakan pembuluh darah.
Kerusakan pada sistem pembuluh darah secara keseluruhan dapat
menyebabkan kebocoran kapiler, hipovolemia, dan syok. Banyak pasien
dengan leptospirosis dapat mengalami Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), Hemolytic Uremic Syndrome , Thrombotic
Thrombocytopenic Purpura (TTP), dan vaskulitis. Trombositopenia
menunjukkan perjalanan penyakit cukup parah dan harus diawasi adanya
tanda-tanda perdarahan
Manusia bereaksi terhadap infeksi leptospira dengan memproduksi
antibodi khusus anti-Leptospira. Serokonversi mungkin terjadi 5-7 hari setelah
onset penyakit namun kadang-kadang dapat lebih dari 10 hari. Antibodi IgM
biasanya muncul lebih awal dari antibodi IgG, dan umumnya tetap terdeteksi
selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pada titer rendah.
Diyakini bahwa antibodi spesifik serovar dapat melindungi pasien
terhadap reinfeksi dengan serovar yang sama, jika titer dari antibodi spesifik
tersebut cukup tinggi. Tetapi antibodi yang dipicu oleh infeksi serovar tertentu
tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi serovar lainnya.
D. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinis yang sering muncul pada leptospirosis yaitu demam, menggigil,
sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjunctival suffusion, mual,
muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, dan fotofobi.
Pada awal penyakit, dapat ditemukan peteki pada kulit. Kemudian pada
tingkat penyakit yang lebih berat, dapat terjadi ikterus dan purpura. Dapat pula
ditemukan conjunctival suffusion yang ditandai dengan kemerahan pada
konjungtiva yang menyerupai konjungtivitis. Ini merupakan respon inflamasi
terhadap organisme yang masih tersisa di humor aqueous.
Nyeri tekan otot dapat terjadi bersamaan dengan myositis pada awal
infeksi. Ini akan sangat menonjol dalam otot paraspinal dan betis, tetapi dapat
melibatkan otot apapun. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan tanda-
tanda meningitis, termasuk kaku leher, rigiditas tubuh, dan fotofobia. Pada awal
penyakit, kekakuan pada leher otot sebenarnya dapat menunjukkan gejala awal
meningismus.
Pada awal perjalanan penyakit hasil pemeriksaan paru masih dalam batas
normal. Insiden keterlibatan paru terdapat hingga 70%. Pada tingkat penyakit
yang berat, dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi akibat perdarahan alveolar,
dengan manifestasi utama adalah dyspnea dan hemoptisis. Di beberapa negara
keterlibatan paru menjadi penyebab utama kematian terkait leptospirosis.
Penderita leptospirosis dapat mengalami gangguan ginjal mulai dari yang
ringan sampai terjadinya gagal ginjal. Ini berdasarkan nilai uji kreatinin,
kerusakan ginjal dinilai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) sebagai indikator.
Dari 22 orang sampel, didapatkan LFG normal sebanyak 2 orang (6,25%),
kelompok dengan kerusakan ginjal dengan LFG ringan sebanyak 6 orang
(18,75%), penurunan LFG yang sedang sebanyak10 orang (31,25%) sama
jumlahnya dengan kelompok penurunan LFG berat, dan kelompok yang
mengalami gagal ginjal sebanyak 4 orang (12,50%).
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas, yaitu fase
leptospiremia dan fase imun.
1. Fase leptospiremia : Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam
darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala
awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama
pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti
dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati
mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25%
kasus disertai penurunan kesadaran.
2. Fase imun : Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul
demam yang mencapai 40 C disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki
terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan
pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Conjunctiva injection dan conjungtival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.
E. DIAGNOSIS
Diagnosa leptospirosis berdasarkan WHO Guidelines, yaitu kriteria Faine
dengan melihat manifestasi klinis yang ada, serta faktor epidemologi dan data
laboratorium. Diagnosa dapat ditegakkan jika skor A+B = 26 atau lebih; atau
A+B+C = 25 atau lebih. Skor 20-25 yaitu ragu-ragu, belum dapat dikonfirmasikan
sebagai leptospirosis
Temuan pemeriksaan fisik tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan
waktu timbulnya gejala. Pada awal penyakit, sering ditemukan demam hingga
40°C dan takikardi. Hipotensi, oliguria, dan auskultasi dada yang abnormal dapat
menunjukkan tingkat penyakit yang berat. Demam biasanya dapat reda dalam
waktu 7 hari.
Leptospirosis dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium secara
langsung, maupun tidak langsung. Secara langsung, dilakukan isolasi dari agen
kausatif dan identifikasi antigen Leptospira spp. dalam jaringan dan cairan tubuh
dengan menggunakan kultur, imunofloresens, maupun Polymerase Chain
Reaction (PCR). Secara tidak langsung yaitu dengan mendeteksi antibodi spesifik
dalam serum, misalnya tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Metode ini tidak dapat mengidentifikasi serovar tertentu yang menjadi penyebab
leptospirosis. Imunofloresens indirek, yaitu Microscopic Agglutination Test
(MAT) merupakan metode yang tepat untuk mengetahui serovar leptospira yang
menginfeksi.
Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan pada isolasi organisme dari
pasien atau adanya peningkatan titer antibodi dalam tes aglutinasi mikroskopik
(Microscopic Agglutination Test, MAT). Dalam kasus dengan bukti klinis yang
kuat, titer antibodi 1:200-1:800 (tergantung apakah kasus tersebut terjadi di
daerah endemik rendah atau tinggi) dapat menunjukkan positif leptospirosis.
Kenaikan titer empat kali lipat atau lebih dapat terdeteksi dalam serum pada fase
akut. Respon antibodi dapat dipengaruhi oleh pengobatan yang dimulai secara
dini. Prosedur serologis standar yaitu MAT, yang menggunakan strain leptospiral
hidup, dan ELISA. Tes ini biasanya hanya tersedia dalam laboratorium khusus
dan digunakan untuk penentuan titer antibodi dan untuk identifikasi tentatif dari
serogrup tertentu.
Selain MAT dan ELISA, tes cepat (rapid test) dengan berbagai nilai
diagnostik telah dikembangkan. Rapid test ini terutama menggunakan aglutinasi
(lateks) atau metodologi ELISA, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang wajar.
Leptospira dapat diisolasi dari darah dan / atau cairan serebrospinal
selama sakit 10 hari pertama dan dari urin sejak minggu pertama. Kultur menjadi
positif setelah 2-4 minggu, dengan kisaran 1 minggu sampai 6 bulan. Kadang-
kadang kultur urin tetap positif selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah
dimulainya penyakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan tubuh atau jaringan,
digunakan media Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris (EMJH), medium
Fletcher, atau medium Korthof. Spesimen dapat dikirim ke laboratorium untuk
kultur, karena leptospira dapat tetap hidup dalam darah dengan antikoagulasi
(heparin, EDTA, atau sitrat) hingga 11 hari pada suhu kamar. Isolasi leptospira
penting karena merupakan metode satu-satunya untuk mengidentifikasi serovar
yang menginfeksi. Pemeriksaan bidang-gelap dari darah atau urin sering
mengakibatkan misdiagnosis sehingga tidak boleh digunakan sebagai alat
diagnostik.
F. PENATALAKSANAAN
Beberapa penelitian mengenai penggunaan antibiotik untuk pengobatan
leptospirosis menunjukkan bahwa penisilin dan doksisiklin dapat menjadi agen
berguna. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin, walaupun pengobatan
dimulai setelah 4 hari pertama sakit masih efektif. Dalam kasus ringan,
pengobatan oral dengan tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin, atau amoksisilin harus
dipertimbangkan. Untuk kasus leptospirosis yang parah, pemberian intravena
penisilin G, amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin dianjurkan. Sebuah studi
menunjukkan tidak menemukan perbedaan efikasi yang signifikan antara
ceftriaxone dan penisilin untuk pengobatan leptospirosis berat, dalam hal
komplikasi atau tingkat kematian. Studi lain membandingkan sefotaksim
parenteral, penisilin G, dan doksisiklin untuk pengobatan leptospirosis berat. Di
antara 264 pasien dengan leptospirosis, telah dikonfirmasi oleh pengujian
serologis atau kultur, tingkat mortalitas adalah 5%. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara antibiotik berkaitan dengan tingkat kematian, penurunan suhu
badan hingga suhu normal, atau waktu untuk mencapai hasil laboratorium kembali
normal. Dengan demikian doksisiklin, cefotaxime, ceftriaxone adalah alternatif
yang memuaskan terhadap penisilin G untuk pengobatan leptospirosis berat.
Ada beberapa tindakan pencegahan yang efektif untuk leptospirosis. Saat
ini, tidak ada vaksin manusia tersedia terhadap leptospirosis. Leptospirosis
manusia dapat dikontrol dengan mengurangi prevalensi pada hewan liar dan
domestik. Meskipun sedikit yang bisa dilakukan pada hewan liar, leptospirosis
pada hewan domestik dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan sel utuh
inaktif atau persiapan membran luar.
Dalam sebuah studi, penggunaan Doxycycline (200mg oral per minggu)
dapat digunakan untuk kemoprofilaksis, terutama bagi orang-orang orang-orang
yang melakukan perjalanan di daerah beresiko tinggi leptospirosis. Selain itu,
orang-orang yang melakukan perjalanan di daerah endemis leptospirosis-harus
diberitahu bahwa mandi mungkin berbahaya di daerah yang mungkin terinfeksi
tikus.
Beberapa wabah telah dikaitkan dengan minum air yang terkontaminasi,
sehingga pemurnian air harus dilakukan. Pencegahan dan tindakan pengendalian
harus difokuskan pada sumber infeksi. Kontrol vektor rodent sebaiknya melalui
penggunaan rodentisida dan peningkatan higienis dapat mengurangi risiko
penularan leptospirosis. Kebersihan Kerja (dalam selokan, petani, dan kelompok
risiko tinggi lainnya) yang mencakup penggunaan sepatu tahan air dan sarung
tangan sangat penting untuk mencegah leptospirosis pada manusia. Kelompok-
kelompok kerja serta wisatawan petualangan juga harus diberitahu bahwa lecet
kulit harus dilindungi karena dapat menjadi portal masuk untuk infeksi. Cara lain
yang sangat penting untuk pencegahan penyakit adalah sistem drainase yang tepat
sehingga dapat tehindar dari sanitasi yang buruk. Tindak pencegahan sangat
penting, terutama di negara-negara berkembang.
G. PROGNOSIS
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai
30-40%.
DAFTAR PUSTAKA