30
BAB I PENDAHULUAN Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 1996). Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995). Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002). 1

Graves’ Disease Referat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

document ini berisi tentang grave's disease. disini dibahas mengenai papun yang berhubungan dengan grave's disease. semoga word ini bermanfaat. dan ini tidak dapat dijadikan acuan hanya untuk pembelajaran saja.

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830, adalah

penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari

kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga

disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar

gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar

tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan

Jong, 1996).

Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering

dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan

pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah

dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis

(hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta

disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson,

1995).

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam

mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita

penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan

ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap

reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab)

dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

Diantara pasien-pasien dengan tirotoksikosis, 60 – 80% merupakan penyakit

grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi pada

wanita sekitar 2%, tetapi hanya 1/10 nya pada pria, biasanya jarang terjadi sebelum

remaja dan tara-rata pada umur 20-50. (Harrison, 2008).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki

berat 15 - 20 gram. Tiroid menyekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4),

triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar

endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh

isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat dibawah cartilago cricoidea.

Kadang juga terdapat lobus tambahan yang membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu

lobus piramida. Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:

1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis

2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia

3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta

atau A. anonyma

Persarafan kelenjar tiroid:

1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior

2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang

N.vagus).

3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita

suara terganggu (serak/stridor).

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

2

1. Yodide Trapping, yaitu penangkapan yodida oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2. Yodida masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Yodida diubah menjadi

yodium (yodine). Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu

tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim

tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)

menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)

dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh

enzim tiroperoksidase.

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat

oleh yodida, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel

folikel.

6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.

Proses ini dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,

dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari yodida. Enzim deiodinase sangat

berperan dalam proses ini.

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan

kompleks golgi.

2.2.1 Definisi Grave’s

Penyakit Graves (goiter difusa toksik) merupakan penyebab tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi

autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit

Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus

yaitu pembesaran kelenjar tiroid / struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata

menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001;

Stein, 2000; Harrison, 2000).

3

2.2.2 Etiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan

thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan TSH

receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid.

Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor

trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin, periode

post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang

berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk

mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi

dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang

pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi

didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan

kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam

patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit

Graves (Shahab, 2002).

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan

dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan

4

tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast

dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,

proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin

didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya

akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

2.2.4 Gejala Klinik

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter

akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid

yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme

dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan

panas,

keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun

nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.

Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya

terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80%

pasien ditandai

dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan

konvergensi (Price dan Wilson, 1995).

Trias Graves yaitu struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Perubahan pada

mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association

diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :

a. No signs or symptoms

b. Only signs (lid retraction or lag), no symptoms

5

Hipertiroidism

Metabolisme meningkat

Kulit teraba hangat,

berkeringat

BB turun, otot lemas

Perangsangan katekolamin

Respon simpatis meningkat

palpitasi, tremor

Inflamasi retrobulbar

Exopthalmus

Perangsangan jantung

Perangsangan saluran cerna

c. Soft tissue involvement (periorbital edema)

d. Proptosis (>22 mm)

e. Extraocular muscle involvement (diplopia)

f. Corneal involvement

g. Sight Loss

2.2.5 Diagnosis

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat

dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai

berikut.

Tabel 2.1 : Indeks Wayne

6

Tes Laboratorium

Sidik tiroid

Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba

nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan

waktu melakukan sidik tiroid, yang ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul)

atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok

non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan

kemungkinan keganasan.

2.2.6 Penatalaksanaan Graves

Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit

Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk

mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis

pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid,

Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada

beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,

ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain

yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

1. Obat – obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

7

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil

dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama

metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat

untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti

palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor

adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,

meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap konversi

T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson,

1995; Corwin, 2001).

2. Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I). Respons yang terjadi sangat

tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar

tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 –

6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna

diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di

dalam kelenjar tiroid.

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah

hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;

makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian

hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,

didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan

sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

3. Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar. Sebelum

operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT

(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan

larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk

mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih

terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus

diangkat (Subekti, 2001). Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada

pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu

banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.

Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan

8

kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami

tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus

laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada

sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).

2.2.7 Pengobatan Oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam

menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata

dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah

dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan

merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata

gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.

Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai

khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,

disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan

pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan

operasi kelopak mata (Shahab, 2002).

2.2.8 Komplikasi

Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala

tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.

2.3 Hipertiroid pada Kehamilan

Hipertiroidisme mempersulit kehamilan sekitar 0,1 % sampai 0,4%, dengan 85 %

adalah karena penyakit Graves. Penyakit graves, dengan insidens tertinggi pada usia

reproduksi atau dekade ketiga hingga keempat, disebabkan oleh antibodi perangsang

tiroid (Thyroid-stimulating antibodies) dan dapat disertai dengan oftalmopati

autoimun atau dermopati. Pengobatan penyakit graves selama kehamilan bisa

menjadi rumit karena dampak kehamilan baik terhadap perjalanan penyakit autoimun

maupun terhadap metabolism hormon tiroid normal. Meskipun hipertiroid subklinis

belum berimplikasi buruk terhadap kehamilan, namun hipertiroid yang jelas

berhubungan dengan kelahiran mati, prematuritas, pre-eklampsia, dan gagal jantung

kongestif pada ibu.

Beberapa data telah menghubungkan secara signifikan peningkatan kadar T4 serum ibu

dengan tingginya keguguran. Hipertiroidisme yang tidak terkendali selama kehamilan

berhubungan dengan berat badan lahir rendah dan malformasi kongenital yang tidak

terkait dengan pemakaian obat anti tiroid.

2.3.1 Fisiologi Hormon Tiroid Selama Kehamilan

9

Pada kehamilan normal, iodium akan melewati plasenta, tiroksin (T4) hanya dapat

melewati plasenta pada trimester pertama sedangkan triiodotironin (T3) dan

Thyroid Stimulating Hormone (TSH) sama sekali tidak melewati plasenta. Secara

umum, fungsi tiroid ibu pada kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktoryaitu

peningkatan konsentrasi Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang merangsang

kelenjar tiroid, peningkatan ekskresi iodium lewat urin yang mengakibatkan

penurunan konsentrasi iodium plasma dan peningkatan Thyroid Binding Globulin

(TBG) pada trimester pertama.

HCG memiliki struktur yang mirip TSH sehingga dapat berikatan dengan

reseptorTSH di kelenja tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meskipun

bersifat stimulatortiroid yang lemah. Konsentrasi HCG meningkat tajam pada

trimester pertama kehamilan danberbanding terbalik dengan konsentrasi TSH

sehingga pada 20% kehamilan normal dapatditemukan konsentrasi TSH yang

tersupresi sementara. Peningkatan serum HCG sebesar 10.000 IU/L dapat menaikkan

konsentrasi FT4 0,1 ng/dL dan menurunkan konsentrasi TSH 0,1 mIU/L. Kenaikan

HCG>50.000-75.000 IU/L pada trimester pertama kehamilan yangberlangsung lebih

dari satu minggu dapat meningkatkan konsentrasi FT4. Peningkatan Laju Filtrasi

Glomerolus (LFG) dalam kehamilan menyebabkan peningkatan ekskresi

iodium.Kelenjar tiroid mengkompensasinya dengan meningkatkan ambilan iodium

dan produksihormon tiroid.

TBG meningkat dalam beberapa minggu setelah konsepsi dan mencapai

puncaknyapada pertengahan kehamilan dan menetap setelahnya sampai kelahiran.

Peningkatan TBG disebabkan dua hal yaitu produksi TBG oleh hati meningkat karena

pengaruh estrogen pada awal kehamilan dan peningkatan proses sialylation sehingga

TBG yang dihasilkan memiliki waktu paruh lebih panjang. Perubahan TBG pada

kehamilan ini mengakibatkan peningkatan hormon tiroid total. Konsentrasi T3 dan

T4 meningkat tajam oada kehamilan dan agak melandai pada awal trimester kedua,

lebih besar 10-30% dibandingkan konsentrasi saatbelum hamil. Penyebab lain adalah

aktivitas enzim deiodinase tipe III di plasenta yangmengubah T4 menjadi rT3 dan T3

menjadi T2 ( diiodotiroisin ) yang tidak aktif sehingga merangsang peningkatan

hormon tiroid ibu. Sedangkan konsentrasi hormon tiroid bebas dipertahankan

dalam rentang normal.

2.3.2 Diagnosis Penyakit Graves pada Kehamilan

Pada kehamilan, perjalanan klinis penyakit Graves ditandai oleh eksaserbasi gejala

pada trimester awal dan selama periode post partum dan perbaikan gejala pada paruh

kedua kehamilan. Stimulasi HCG plasenta terhadap kelenjar tiroid diperkiraan

menjadi penyebab eksaserbasi ini.

10

Hipertiroidisme dalam kehamilan dapat terjadi pada pasien hipertiroid yang

mengalami kehamilan atau sedang menjalani pengobatan hipertiroid dengan OAT.

Dapat juga terjadi penyakit Graves pada kehamilan, suatu keadaan

yang lebih jarang terjadi. Pada semua kasus, riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi

secara rinci. Bila status tiroid pasien normal sebelum kehamilan, resiko kepada janin

menjadi sangat minimal.

Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap. Salah

satu tanda yang mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan

beratbadan padahal nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana

disebutkan, pada trimester pertama ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat

gejala dan tanda yang dicari dapat terjadi pada kehamilan normal. Pada pemeriksaan

fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki gejala hiperkinetik.

Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab. Kelenjar tiroid

membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi batasnya

ireguler. Adanya nodul pada pembesarankelenjar yang difus harus medapat evaluasi

lebih teliti. Dapat ditemukan pula thrill, murmur, kelemahan otot proksimal, tanda

oftalmopati graves, onikolisis dan dermopati graves.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang

Perempuan hamil yang diduga menderita hipertiroid memerlukan pemeriksaan

TSH, fT4 danbila perlu antibodi reseptor tiroid (Thyroid Receptor Antibodi/TRAb).

Interpretasi hasilpemeriksaan hormon tiroid ini harus memperhatikan pengaruh

hormon HCG pada penurunankonsentrasi TSH dan peningkatan TBG selama

kehamilan. Konsentrasi TSH pada akhir trimester pertama kehamilan normal dapat

mencapai 0,03 mU/ml, sehingga penurunan konsentrasi TSH semata belum tentu

menunjukkan adanya hipertiroidisme. Kenaikan TBG dapat mempengaruhi proporsi

hormon tiroid bebas dalam darah sehingga pada kehamilan dianjurkan pemeriksaan

hormon tiroid bebas. Antibodi thyroid peroxidase (anti TPO) atau antibodi

antimikrosomal tiroid (AMA), penanda penyakit tiroid autoimun meningkat pada

sebagian besar pasien Graves. Indikasipemeriksaannya adalah pada pasien dengan

keraguan etiologi hipertiroidismenya. TSH-receptor antibody with stimulating

activity (TSI) juga didapati pada mayoritas pasien Graves. Pemeriksaan TSI

diindikasikan pada ibu dengan riwayat terapi ablasi untuk hipertiroidisme Graves, ibu

dengan penyakit Graves yang aktif, ibu yang sedang dalam masa remisi OAT dan ibu

yang anak sebelunya mengalami hipertiroidisme janin. Bila kadar TSI lebih dari

11

500% setelah kehamilan 24-48 minggu, resiko hipertiroidisme janin atau neonatal

menjadi signifikan.

2.3.4 Dampak Hipertiroidisme pada Ibu Hamil

Komplikasi maternal yang paling sering adalah  pregnancy-induced hypertension

(PIH). Pada pasien dengan hipertiroid tidak terkontrol, resiko preeklamsia berat

menjadi lima kali lebih berat dibanding pasien yang terkontrol. Komplikasi lain dapat

berupa abruptio plasenta, kelahiran preterm dan keguguran. Gagal jantung dapat

terjadi pada pasien yang tidak diobati terutama bila terdapat PIH.

Pada pasien dengan gejala gagal jantung disfungsi ventrikel kiri dengan derajat

keparahan yang berbeda dapat dideteksi dengan echocardiografi. Walaupun kelainan

ini reversibel, namun gejalanya dapat menetap dalam beberapa minggu setelah status

eutiroid tercapai, namun penurunan resistensi vaskular dan cardiac output yang tinggi

dapat tetap terjadi pada keadaan tiroksin normal. Hal ini penting karna dekompensasi

ventrikel kiri pada wanita hamil yang hipertiroid dapat terjadi bersamaan dengan

preeklamsia, pada waktu kelahiran atau bersamaan dengan komplikasi lain misalnya

anemia atau infeksi.

Kejadian tiroid krisis padakehamilan juga pernah dilaporkan walaupun relatif

jarang. Hipertiroid juga dilaporkansebagai faktor resiko independen operasi Caesar.

Pada suatu penelitian oleh Kriplani dkk dengan sampel 32 kelahiran pada ibu hamil

yang mengalami hipertiroidisme ternyata didapatkan partus preterm terjadi pada 25%

pasien, 3% mengalami hipermesis, 22% mengalami hipertensi pada kehamilan dan

9% mengalamikrisis tiroid.

2.3.5 Dampak Hipertiroidisme pada Janin

Hipertiroidisme maternal dapat mempengaruhi janin dan neonatal melalui dua cara

yaituhipertiroid maternal yang tidak terkontrol (tanpa kadar TSI yang tinggi) dan TSI

mengalamipasase transplasenta. Pada hipertiroidisme maternal yang tidak terkontrol

janin mengalamiresiko intrauterine growth retardation (IUGR), stillbirth dan

prematuritas. Resikoprematuritas meningkat dari 11% menjadi 55% pada ibu yang

tidak diobati, resiko stillbirth meningkat dari 5%-24%. Pada suatu penelitian pada

230 kehamilan, 15 neonatus (6,5%) mengalami IUGR. Komplikasi pada janin

meningkat secara signifikan pada ibu yang tetaphipertiroid pada paruh kedua

kehamilan. Faktor resiko IUGR pada pasien ini meliputi tirotoksikosis maternal

selama lebih dari 30 minggu dalam kehamilan, riwayat penyakit Graves selama lebih

dari 10 tahun, dan onset penyakit Graves sebelum 20 tahun.

2.3.6 Penatalaksanaan

12

Propiltiourasil (PTU) lebih dipilih daripada metimazol untuk terapi hipertiroid

selamakehamilan. Obat antitiroid dapat melewati sawar plasenta dan terapi berlebihan

dapatmenyebabkan hipotiroid pada fetus, sehingga harus digunakan dosis serendah

mungkin yanguntuk menjaga fungsi tiroid pada batas atas normal.

Propiltiourasil (PTU) lebih banyak terikat pada albumin pada pH fisiologis,

sedangkan metimazol (MMI) lebih sedikit terikat,sehingga secara hipotesis dapat

mengakibatkan lebih banyak yang melewati sawar darahplasenta. Rekomendasi

pemilihan PTU dari MMI sebagian berdasarkan laporan tunggal lebihrendahnya

pasase transplasental PTU dibanding MMI tersebut. MMI dapat digunakan bila PTU

tidak tersedia atau timbulnya reaksi alergi. Dosis MMI sebesar 10mg diperkirakan

setara dengan 100-150mg PTU. Pemberian PTU sering dihibungkan dengan

komplikasi kerusakan hepar, oleh karena itu penggunaan PTU lebih baik diganti

dengan MMI setelah melewati trimester pertama kehamilan.

Hipertiroid subklinis (TSH rendah dengan FT3 dan FT4 normal) tanpa adanya

gejala-gejala hipertiroid spesifik tampak pada sindrom hiperemesis gravidarum,

dimana terapinya tidak diperlukan dan bahkan dapat menimbulkan risiko terhadap

fetus. Propanolol dapat digunakan untuk mengobati gejala hipertiroid akut dan

persiapan perioperatif tanpa edanya efek teratogenik yang jelas.

Penggunaan kronik iodida selama kehamilan berhubungan dengan hipotiroid dan

goiter neonatus yang kadang-kadang dapatmenyebabkan asfiksi karena obstruksi

trakea. Terdapat laporan penggunaan dosis rendah kalium iodida (6 –  40 mg/hari)

tidak menyebabkan goiter namun 6% neonatus mengalami peningkatan TSH. Iodida

tidak digunakan untuk terapi lini pertama untuk wanita hamil dengan Graves namun

dapat digunakan sementara jika diperlukan sementara untuk persiapan tiroidektomi.

Iodida radioaktif dikontrain dikasikan pada kehamilan.

Operasi subtotal tiroidektomi dipikirkan sebagai alternatif jika: 1) obat anti tiroid

mengakibatkan efek samping yang jelas seperti misalnya agranulositosis, 2)

dibutuhkan dosis obat anti tiroid yang besar, 3) tidak ada respon dengan obat anti

tiroid dan pasien mengalami hipertiroid tidak terkontrol. Sebelum operasi harus

menerima terapi solusio kalium iodida (50 – 100 mg/hari) selama 10 – 14 hari

sebelum operasi untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar tiroid dan dapat diberikan

propanolol.

2.4 Krisis Tiroid

Krisis tiroid adalah kegawatan endokrin yang disebabkan oleh disregulasi hormon

tiroid dan termasuk kedalam keadaan tirotoksikosis yang hebat. Bila keadaan tersebut

ditemukan harus dilakukan penilaian secara hati-hati dan tindakan cepat untuk

membatasi morbiditas dan mortalitas. American Thyroid Association memperkirakan

disfungsi tiroid berkembang >12% pada populasi Amerika. Krisis tiroid (Thyrotoxic

13

crisis / thyroid storm) merupakan kasus yang jarang ditemukan, tetapi dapat

mengancam jiwa pada eksasebasi tirotoksikosis. Insidensi krisis tiroid <10% pada

pasien tirotoksikosis yang dirawat inap, sering pada wanita dan sebagian besar terjadi

antara usia 20 – 49 tahun (Jessica Hampton, 2013). Krisis tiroid sebagian besar

didasari oleh Grave’s Hiperthyroidism. Manifestasi klinik menunjukan dekompensasi

organ disertai demam hampir pada semua pasien (Carroll & Matfin, 2010).

2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi

Pada keadaan normal, fungsi tiroid diatur oleh interaksi antara hipotalamus,

hipofisis dan kelenjar tiroid. Iodida masuk melalui membran basal sel tiroid dan

dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase (TPO). Selanjutnya, akan bergabung dengan

molekul tirosin sehingga terbentuk T4 dan T3. Seluruh organ tubuh akan terpengaruh

oleh perubahan hormon tiroid. Hal ini terutama dipengaruhi oleh bentuk aktif hormon

tiroid yaitu T3 (Carroll & Matfin, 2010).

Tirotoksikosis merupakan sindrom klinik akibat terpaparnya jaringan oleh hormon

tiroid yang tinggi dalam sirkulasi. Singkatnya, tirotoksikosis disebabkan oleh

hiperaktivitas kelenjar tiroid / hipertiroid. Sebagian besar bentuk tirotoksikosis adalah

Grave’s disease. Penyakit ini berhubungan dengan proses autoimun pada reseptor

TSH dan merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan krisis tiroid.

Antibodi reseptor TSH menstimulasi sintesis hormon tiroid, sehingga kadar hormon

menjadi berlebihan. Patofisiologi krisis tiroid belum diketahui secara mendalam,

tetapi berhubungan dengan peningkatan sejumlah reseptor beta1 adrenergik. Sehingga

pada keadaan stres, akan terjadi peningkatan katekolamin (Carroll & Matfin, 2010).

Krisis tiroid dapat muncul pada keadaan toksik multinoduler goiter. Penyebab

lainnya adalah infeksi berat, trauma, pembedahan, infark miokardium, ketosidosis

diabetik, kehamilan dan melahirkan. Penggunaan iodin eksogen dalam jumlah besar

dan penggunaan amiodaron dapat menyebabkan produksi dan sekresi hormon tiroid

(Carroll & Matfin, 2010). Interferon alfa dan interleukin 2 (terapi kanker dan kelainan

fungsi imun) dapat menggangu ikatan antara tiroksin-globulin sehingga terjadi

peningkatan kadar tiroksin bebas. Obat-obatan yang berisiko terhadap krisis tiroid

adalah NSAID, salisilat, antidepresan trisiklik, insulin, diuretic tiazid, amiodaron,

steroid berkepanjangan, dan fludrocortison. Gagal jantung, syok, atau kegagalan

berbagai organ menyebabkan mortalitas sebesar 2-75%, meskipun krisis tiroid telah

diketahui dan diterapi (Jessica Hampton, 2013).

2.4.2 Manifestasi Klinis

14

Gambaran utama pada krisis tiroid diantaranya demam, berkeringat secara

berlebihan, gagal jantung kongestif, sinus takikardia atau variasi aritmia supra

ventrikular (takikardia atrial paroksismal, atrial fibrilasi, atrial flutter) dan gejala

neurologi, serta gejala gastrointestinal. Kelainan fungsi hepar, sekunder terhadap

gagal jantung. Hepar menunjukan keadaan kongesti atau hipoperfusi. Gejala dan

tanda krisis tiroid ditunjukan pada tabel 1.

Tabel 2.2. Manifestasi Klinis

2.4.3 Diagnosis Sistem penilaian Burch dan Wartofsky (1993) merupakan sistem skoring untuk

membantu menegakkan krisis tiroid yang dijelaskan melalui tabel 2.

Tabel 2.3 Sistem Skoring Burch dan Wartofsky

Pada keadaan krisis tiroid terjadi peningkatan T4 dan T3 bebas dengan penurunan

tirotropin <0,05μU/ml. Kadar serum total FT3 meningkat pada sebagian besar pasien

15

tirotoksikosis. Gambaran laboratorium lain yang berhubungan dengan tirotoksikosis

adalah hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzim liver,

peningkatan alkalifosfatase dan glikogenolisis. Hiperkalsemia dan peningkatan alkali

fosfatase dapat disebabkan karena hemokonsentrasi dan hormon tiroid yang

menstimulasi resorpsi tulang. Keadaan tirotoksikosis akan mempengaruhi fungsi

adrenokortikal, yaitu mempercepat metabolisme kortisol dengan menstimulasi

degradasi glukokortikoid oleh enzim hepar D 4,5 steroid reduktase. Hal ini akan

menyebabkan keadaan insufisiensi adrenal (Ananda & Dharma, 2014).

2.4.4.1 Terapi Spesifik Terhadap Tiroid

Pasien dengan krisis tiroid akut sebaiknya dirawat pada tempat yang tepat seperti

Acute Medical Unit (AMU), high dependency area atau intensive care unit. Tujuan

pengobatan krisis tiroid diantaranya untuk menghentikan sintesis hormon tiroid (obat

antitiroid), menghambat pelepasan hormon (iodin) dan menghambat efek hormon

tiroid di jaringan perifer dengan mencegah konversi T4 menjadi T3 (dosis tinggi

PTU, propranolol, kortikosteroid), mengontrol gejala adrenergik yang berhubungan

dengan tirotoksikosis (beta bloker) dan mengontrol dekompensasi sistemik dengan

terapi suportif.

Obat antitiroid yaitu tiourasil (propiltiourasil) dan imidazol (methimazol dan

karbiamazol). Mekanisme kerja tionamid, diantaranya mengalangi proses coupling

oleh tiroperoksidase, menghambat fungsi dan pertumbuhan sel folikular tiroid.

Sedangkan PTU menghambat konversi T4 menjadi T3, dan menekan antibodi

reseptor antitirotropin. Dosis pemberian PTU untuk krisis tiroid adalah 800-1200

mg/hari, terbagi atas 200-300 mg setiap 6 jam. Dosis untuk metimazol adalah 80-

100mg/hari terbagi atas 20-25 mg setiap 6 jam.

Terapi iodin dapat melengkapi efek terapi tionamid. Pada terapi tionamid, sintesis

hormon dihambat, sedangkan terapi iodin akan menghambat pelepasan hormon pada

tempat penyimpanan dan mengurangi transportasi iodida dan oksidasi dalam sel

folikular. Efek terhadap pengurangan ini disebut dengan efek Wolff-Chaikoff

(menghambat proteolisis tiroglobulin). Peningkatan sejumlah kecil iodida akan

meningkatkan pembentukan hormon tiroid, tetapi sejumlah besar iodida (>1μmol/L)

akan menghambat pembentukan hormon (proses iodinasi). Iodida efektif menurunkan

kadar hormon tiroid dengan cepat dalam 7-14 hari, akan tetapi efek iodida akan

hilang dan kembali pada keadaan hipertiroid dalam 2-3 minggu. Sehingga untuk

mengantisipasi hal tersebut, makan pemberian iodida dikombinasi dengan tionamid.

Manifestasi kardiovaskular dapat dikoreksi dengan pemberian beta bloker seperti

propranolol. Pada krisis tiroid propranolol digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap 4

jam atau 80-120 mg setiap 4 jam. Propranolol parenteral akan memberikan efek lebih

cepat, dosis yang diberikan dalam bolus 0,5-1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1-3

16

mg dalam 10 menit. Beta bloker lainnya yang dapat digunakan adalah atenolol

dengan dosis 50-200 mg/hari, metoprolol 100-200 mg/hari dan nadolol 40-80

mg/hari. Kontraindikasi penggunaan beta bloker adalah riwayat gagal jantung berat

dan obstruksi saluran nafas dalam serangan.

Golongan glukokortikoid seperti deksametason dan hidrokortison mempunyai efek

menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga dapat digunakan sebagai terapi

adjuvant. Insufisiensi adrenal relatif dapat diobati dengan glukokortikoid. Dosis

hidrokortison yang digunakan adalah 100 mg IV setiap 8 jam, lalu penurunan dosis

sejalan dengan perbaikan gejala klinis krisis tiroid (Ananda & Dharma, 2014).

2.4.4.2 Terapi Lainnya

Salah satu terapi yang dapat digunakan, bila terapi lini pertama (tionamid, iodida,

beta bloker, dan glukokortikoid) gagal atau berefek toksik adalah litium yang berefek

menghambat pelepasan hormon tiroid. Litium digunakan ketika pasien kontraindikasi

terhadap tionamid. Beberapa efek litium terhadap hormon tiroid, diantaranya adalah

menurunkan sekresi hormon tiroid dan meningkatkan kandungan iodin intrasel serta

menghambat coupling residu iodotirosin. Pada krisis tiroid, litium diberikan pada

dosis 300 mg setiap 8 jam. Penggunaan potasium perklorat dipertimbangkan pada

pasien yang mengalami amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT). Potasium

perklorat bekerja dengan menghambat uptake iodin. Rejimen potasium perklorat (1

gram.hari) dikombinasikan dengan metimazol (30-50 mg/hari) dapat mengembalikan

kadar hormon tiroid sampai batas normal dalam 4 minggu.

Kolestiramin (anion-exchange resin) dapat menurunkan reabsorpsi hormon tiroid

dari sikulasi enterohepatik. Penggunaannya dalam terapi dikombinasikan dengan

metimazol atau PTU. Dosis kolestiramin yang diberikan adalah 4 gram peroral, 4 kali

sehari (Ananda & Dharma, 2014).

Tabel 2.4. Terapi Krisis Tiroid

17

BAB IIISIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksik) yang merupakan penyebab tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi

genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria,

terutama pada usia 20 – 50 tahun. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves struma

difusa, oftalmopati, dan dermopati. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan

dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun),

manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler

dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan

penurunan berat badan.

Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila

T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar

hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain

seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid

(Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita

hipertiroidisme.

Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu:

Obat anti tiroid, Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131) dan Pembedahan dengan

Tiroidektomi. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme

(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat

konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),

normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan

mengatasi faktor pemicu.

18

DAFTAR PUSTAKA

Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265

Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281

Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,

Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151

Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease,

Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 – 64

Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,

Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598

Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778

Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa

Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080

Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi

Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18 Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar

Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.

Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,

EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630

Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan

Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5

Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.

Massachusetts Medical Society. 2000.

19

Ananda, G., & Dharma, L. (2014). Krisis Tiroid. Endokrin.

Carroll, R., & Matfin, G. (2010). Theurapeutik Advances in Endocrinology and Metabolism. Endocrine and Metabolic Emergencies : Thyroid storm, 139-145.

Jessica Hampton, R. M.-A. (2013). Thyroid Storm and Myxedema Coma. Thyroid Gland Disorder Emergencies, 24, 325-332.

Nayak, B., & Burman, K. (2006). Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinology And Metabolism Clinics Of North America, 663-686.

20