73
Daftar Isi BAB I................................................... 3 PENDAHULUAN............................................. 3 BAB II.................................................. 5 ANATOMI DAN FISIOLOGI...................................5 2.1 Anatomi................................................ 5 2.1.1 Leher...............................................5 2.1.2 Tenggorokan........................................14 2.2 Fisiologi Menelan.....................................19 BAB 3.................................................. 24 INFEKSI LEHER DALAM.................................... 24 Epidemiologi.............................................. 24 Patogenesis............................................... 24 3.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY).............................31 3.1.1 Etiopatogenesis....................................31 3.1.2 Patologi...........................................32 3.1.3 Gejala dan tanda...................................33 3.1.4 Diagnosis..........................................34 3.1.5 Diagnosis banding...................................36 3.1.6 Terapi.............................................37 3.1.7 Komplikasi.........................................37 3.2 ABSES RETROFARING.....................................37 3.2.1 Etiologi...........................................38 3.2.2 Gejala dan tanda...................................39 3.2.3 Diagnosis..........................................40 3.2.4 Diagnosis banding..................................40 3.2.5 Terapi.............................................40 3.2.6 Komplikasi.........................................41 3.3 ABSES PARAFARING......................................41 3.3.1 Etiologi...........................................41 3.3.2 Gejala dan tanda...................................41 3.3.3 Diagnosis..........................................41 3.3.4 Komplikasi.........................................41 3.3.5 Terapi.............................................42 3.4 ABSES SUBMANDIBULA....................................42 3.4.1 Etiologi...........................................42 1

Referat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

THT

Citation preview

Daftar IsiBAB I3PENDAHULUAN3BAB II5ANATOMI DAN FISIOLOGI52.1 Anatomi52.1.1 Leher52.1.2 Tenggorokan142.2 Fisiologi Menelan19BAB 324INFEKSI LEHER DALAM24Epidemiologi24Patogenesis243.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY)313.1.1 Etiopatogenesis313.1.2 Patologi323.1.3 Gejala dan tanda333.1.4 Diagnosis343.1.5 Diagnosis banding363.1.6 Terapi373.1.7 Komplikasi373.2 ABSES RETROFARING373.2.1 Etiologi383.2.2 Gejala dan tanda393.2.3 Diagnosis403.2.4 Diagnosis banding403.2.5 Terapi403.2.6 Komplikasi413.3 ABSES PARAFARING413.3.1 Etiologi413.3.2 Gejala dan tanda413.3.3 Diagnosis413.3.4 Komplikasi413.3.5 Terapi423.4 ABSES SUBMANDIBULA423.4.1 Etiologi423.4.2 Gejala dan tanda433.4.3 Terapi433.5 ANGINA LUDOVICI433.5.1 Etiologi433.5.2 Gejala dan tanda433.5.3 Diagnosis433.5.4 Terapi443.5.5 Komplikasi44PENUTUP44REFERENSI46

BAB IPENDAHULUANInfeksi adalah masuknya suatu organisme patogen pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik yang apabila tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan suatu abses. Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.1Infeksi leher dalam adalah suatu proses infeksi bakteri yang terjadi di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher yang dapat menimbulkan abses leher dalam.1,7 Penyebab paling sering dari infeksi leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).2Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena.1,2 Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab infeksi leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.3,4 Dikutip Murray dkk8, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90% mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob.Disamping pelaksanaan drainase abses akibat infeksi yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara empiris terlebih dahulu. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi bervariasi.8Tidak ada angka estimasi yang diperoleh terhadap kejadian abses leher dalam. Namun diperkirakan bahwa kejadian abses leher dalam menurun secara bermakna sejak era pemakaian antibiotik.5,6 Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini.7 Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak, dan infeksi gigi pada orang dewasa.5,6

BAB IIANATOMI DAN FISIOLOGI2.1 Anatomi2.1.1 LeherLeher adalah area transisi diantara basis cranium dibagian superior dan clavicula dibagian inferior8 Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Fasia servikal terdiri dari fasia servikal superficial (superficial fascia) dan fasia servikal profunda (deep fascia) yang dipisahkan oleh otot platisma. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula9.

Gambar 1. Diseksi dari platysma yang berlokasi di jaringan ikat subkutaneus

Gambar 2. Potongan aksial leher setinggi orofaring

Gambar 3. Potongan obliq leher

Gambar 4. Potongan Sagital LeherFasia servikal superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah kulit leher yang termasuk dalam sistem muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia ini berisikan platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan, yaitu8 Lapisan superfisial (external layer)Lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer). Lapisan ini mengelilingi leher, membungkus muskulus sternokleidomastoideus, dan muskulus trapezius Selain otot, lapisan ini juga membungkus kelenjar submandibular dan parotis. Ruangan yang terbentuk adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher dan ruang suprasternal Burns. Lapisan tengah (visceral/ pretracheal layer)Lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia pretiroid dan pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian muskular yang membungkus muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang membungkus faring, laring, esofagus, kelenjar tiroid, dan trakea. Lapisan dalam (posterior/ prevertebral layer)Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal dan ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra servikal, lapisan ini terbagi menjadi lapisan alar anterior dan lapisan alar prevertebra posterior. Fasia alar memanjang dari dasar tengkorak ke tulang vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia viseral. Fasia ini terletak diantara lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia prevertebra terletak di sebelah anterior dari corpus vertebra dan memanjang sepanjang kolumna vertebralis. Fasia ini berjalan secara sirkumferensial mengelilingi leher dan membungkus otot-otot vertebralis, otot-otot profunda trigonum coli posterior, dan otot scalene. Lapisan fasia ini mengelilingi pleksus brakialis dan pembuluh subkalvian dan berlanjut di tepi lateral sebagai vagina aksilaris.Ruang potensial leher dalamRuang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid9. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari: Ruang retrofaringRuang retrofaring merupakan ruang potensial yang terletak diantara lapisan media fasia servikal profunda yang mengelilingi faring dan esophagus disebelah anterior serta bagian alar lapisan fasia servikal profunda disebelah posterior. Disebelah superior berbatasan dengan dasar tengkorak dan di inferior berbatasan dengan vertebra torakal pertama atau kedua. Ruang ini berisi kelenjar getah bening retrofaring.

A

Gambar 5. (A) Potongan sagital dari kepala dan leher. (B) Potongan koronal dari regio suprahyoid. (C) Potongan cross-section leher setinggi level isthmus thyroid; 1. fasia superfisialis, 2. ruang pretrakeal, 3. ruang retrofaring, 4. ruang bahaya, 5. ruang prevertebral.

Ruang Prevertebral / Ruang bahaya (danger space)

Gambar 6. Ruang bahaya Ruang suprahioid terdiri dari: Ruang submandibulaRuang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submental dan submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula dibagian anterior dan lateral. Lidah merupakan batas superior sedangkan muskulus milohioid merupakan batas inferior. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya.Ruang submental berbatasan dengan fasia leher dalam dan kulit dagu di sebelah anterior. Batas superior adalah muskulus milohioid anterior dan batas inferior adalah tulang hioid. Muskulus digastrikus anterior merupakan batas lateral. Di dalam ruang submental terdapat kelenjar limfe submental.Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula beserta duktusnya yang berjalan ke posterior melalui tepi posterior muskulus milohioid kemudian masuk ke ruang sublingual. Batas superior ruang submaksila adalah muskulus milohioid dan muskulus hipoglosus. Di sebelah inferior berbatasan dengan lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas medial ruang submaksila adalah muskulus digastrikus anterior dan batas posterior adalah muskulus stilohioid serta muskulus digastrikus posterior.

Gambar 7. Pembagian ruang mandibula menjadi supramylohyoid dan inframylohyoid oleh m.mylohyoid

Gambar 8. Isi dari ruang submandibula Ruang parafaringRuang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral atau ruang perifaring. Ruang parafaring dibagi dua yaitu ruang parafaring anterior dan posterior. Ruang parafaring anterior berbatasan dengan dasar tengkorak di bagian superior dan angulus mandibul dibagian inferior. Disebelah anteromedial berbatasan dengan fasia bukofaringeal sedangkan sebelah posterior berbatasan dengan fasia yang melapisis muskulus stiloid dan dinding anterior selubung karotis. Fasia yang melapisi muskulus pterigoid internus merupakan batas anterolateral sedangkan ligamentum stilomandibula merupakan batas posterolateral. Di bagian posteromedial berbatasan dengan fasia alar. Ruang parafaring anterior berisi kelenjar limfe dan jaringan ikat.Ruang parafaring posterior dibentuk oleh selubung karotis. Dasar tengkorak merupakan batas superior dan ruang leher visera merupakan batas inferior. Di sebelah lateral berbatasan dengan fasia parotis sedangkan disebelah medial berbatasan denagn fasia yang membatasi ruang retrofaring. Ruang parafaring posterior berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna, arteri faring asenden, nervus hipoglosus, nervus vagus dan nervus glosofaringeus.

Gambar 9. Ruang parafaring Ruang parotisFasia superfisial leher dalam melapisi kelenjar parotis dan berhubungan dengan kelenjar limfe membentuk ruang parotis. Fasia ini tidak menutup secara rapat pada bagian atas kelenjar sehingga terdapat hubungan langsung dengan ruang parafaring. Arteri karotis interna, vena fasialis serta nervus fasialis melalui ruang ini. Ruang mastikatorRuang mastikator berisi ramus pterigoid dan badan mandibula, tendon muskulus temporalis, muskulus maseter saraf serta pembuluh darah alveolaris anterior. Terletak di sebelah anterior dan lateral ruang parafaring serta sebelah inferior ruang temporal.

Gambar 10. Ruang mastikator Ruang peritonsil Di sebelah medial, ruang peritonsil berbatasan dengan tonsil palatina dan disebelah lateral berbatasan dengan muskulus konstriktor faring superior. Batas superior, inferior, anterior dan posterior adalah pilar anterior serta pilar posterior tonsil. Ruang temporalisTerletak di antara fasia temporalis dan tulang temporalis. Muskulus temporalis membagi ruang ini menjadi 2 bagian yaitu bagian superfisial dan profunda. Di dalamnya terdapat arteri maksilaris interna dan pembuluh darah serta saraf madibula. Ruang infrahioid: Ruang pretrakeal.Dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum. Berisi tiroid, trakea, dan esophagus.

Gambar 11. Ruang pretrakeal

2.1.2 Tenggorokan Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.10 Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.10 Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan10. Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis13. Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikalis ke enam. Pada bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)12.

Gambar 12. Struktur dalam faring Gambar 13. Nasofaring, orofaring dan laringofaring

Nasofaring12Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.Atap nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat di dalam submmucosa daerah ini. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan. Dinding anterior nasopharynx dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. Otot salphingopharyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan vertical pada membranca mucosa yang disebut plica salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria. Orofaring12Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Atap orofaring dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submucosa permukaan bawah palatum molle.Dasar orofaring dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical) dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mucosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membrana mucosa melipat dari lidah menuju epiglottis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglottica mediana, dan dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula.Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding posterior orofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya.Arcus palatoglossus adalah lipatan membrane mucosa yang menutupi otot palatoglossus yang terdapat di bawahnya. Celah di antara kedua arcus palatoglossus merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium. Arcus palatopharyngeus adalah lipatan membrane mucosa pada dinding lateral orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring di antara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus di belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrane mucosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula.Batas anterior dari tonsila palatina adalah arcus palatoglossus. Di posterior terdapat arcus palatopharyngeus. Pada superior terdapat palatum molle, disini tonsila palatina dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah palatum molle. Di inferior dari tonsila palatina terdapat sepertiga posterior lidah. Di sebelah medial dari tonsila palatina terdapat orofaring. Dan batas lateral tonsila palatine adalah kapsula yang dipisahkan dari otot constrictor pharyngis superior oleh jaringan alveolar jarang.Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah arteri tonsilaris, sebuah cabang dari arteri fascialis. Sedangkan aliran vena-vena menembus otot constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan vena palatine externa, vena pharyngealis, atau vena facialis. Pada aliran limfe, pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibula.

Laringofaring12Laringofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral.Dinding anterior laringofaring dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mucosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dan dinding posterior laringofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Sedangkan dinding lateral laringofaring disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane thyroidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrane, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju oesophagus. Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral oleh lamina cartilago thyroidea dan membrane thyroidea.. Pada pemeriksaan laringofaring dengan dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laryngoskop akan tampak struktur yang dinamakan valekula (pills pocket), yang merupakan 2 buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.

VaskularisasiBerasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna serta dari cabang arteri maksilaris interna yakni cabang palatine superior11. PersarafanPersarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari nervus vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali otot stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang nervus glossofaringeus11. Kelenjar Getah BeningAliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah11. 2.2 Fisiologi MenelanDefinisi Menurut kamus deglutasi atau deglutition diterjemahkan sebagai proses memasukkan makanan kedalam tubuh melalui mulut the process of taking food into the body through the mouth.15 Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan. Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam lambung.16 Keberhasilan proses menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esophagus, kontraksi peristaltic esophagus, fungsi sfingter esophagus, dan kerja otot-otot rongga mulut dan lidah. Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-muskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancer. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring. Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas. Oleh karena Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor nevus vagus, maka aktivitas peristaltic esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus bagian bawah tejadi akibat peregangan langsung dinding esophagus17.NeurofisiologiDalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut : (1) pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik, (2) usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, (4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, (5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esophageal18.

FASE ORAL Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari. Pada fase oral ini perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan n.XII)5. Pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial n.V2 dan n. V3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI, n.XII sebagai serabut efferen (motorik). FASE FARINGEALFase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal terjadi17:1. Kontraksi m. tensor veli palatini (n.V) dan m. levator veli palatini (n.IX, n.X dan n.XI) yang menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.1. Kontraksi m. genioglosus (n.XII), m.ariepiglotika (n.IX, n.X), m. krikoaritenoid lateralis (n.IX, n.X) yang menyebabkan aduksi pita suara sehingga laring tertutup. 1. Pengangkatan Laring dan tulang hioid keatas ke arah dasar lidah karena kontraksi m. stilohioid, (n.VII), m.Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan n.I). Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m. Konstriktor faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m. konstriktor faring inferior (n.X, n.XI) menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. Kriko faring (n.X) Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat.Pada fase faringeal saraf yang bekerja diantaranya saraf karanial n.V.2, n.V.3 dan n.X sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sebagai serabut efferen Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas.

Gambar 14. Fase Faringeal

FASE ESOFAGEAL Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik. Fase ini terdiri dari beberapa tahapan18:Dimulai dengan terjadinya relaksasi m. kriko faring. Gelombang peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat regangan dinding esofagus. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke distal esofagus. Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik dan berlangsung selama 8-20 detik. Esophagal transit time bertambah pada lansia akibat dari berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang gelombang peristaltik primer17.

Gambar 15. Fase Esofageal

BAB 3INFEKSI LEHER DALAM

Epidemiologi Pada laporan Murray dkk19 didapati 117 anak-anak yang menderita abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun diantaranya abses peritonsil 49%, abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal 11%, abses parafaring 2%, lainnya 2%. Khode dkk20 melaporkan kasus infeksi sebanyak 298 pasien yang terdiri atas 182 pria dan 116 wanita dengan rentan usia dari 6 bulan hingga 78 tahun dari preriode juni 2008 hingga mei 2012 dan didapati pasien yang menderita ludwigs angina sebanyak 78 kasus (26,17%), abses peritonsil sebanyak 69 kasus (23,15%), abses submandibula sebanyak 48 kasus (16,10%), neck abscess sebanyak 35 kasus (11,74%), abses masticator sebanyak 27 kasus (9,06%), abses parapharyngeal sebanyak 18 kasus (6,04%), abses submental sebanyak 10 kasus (3,35%), abses retropharyngeal sebanyak 9 kasus (3,02%), dan abses parotid sebanyak 4 kasus (1,34%).Sakaguchi dkk21 melaporkan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus dari tahun 1985 sampai 1994 dengan rentang usia dari umur 1-81 tahun didapati pasien laki-laki sebanyak 78% dan perempuan 22%. Abses peritonsil paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 72 kasus; diikuti oleh abses parafaring sebanyak 8 kasus; abses submandibula, sublingual dan submaksila masing-masing sebanyak 7 kasus; dan abses retrofaring sebanyak 1 kasus.Yang dkk22 pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%. PatogenesisPembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.22,23 Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.23Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.24,25,26 Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.25Parhischar dkk27 mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) kasus dapat diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi. Yang dkk22 melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.27PenyebabJumlah%

GigiPenyalahgunaan obat suntikFaringotonsilitisFraktur mandibulaInfeksi kulitTuberculosisBenda asingPeritonsil absesTraumaSialolitiasisParotisLain-lainTidak diketahui772112109976653103543126,75,65,15,13,93,43,42,81,75,619.5

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.23,28Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.1,23,28Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.(gambar 4).1,23

Pola KumanPada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan.25Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah29: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3. Adanya gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif.Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi. Infeksi sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob lainnya, fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal lainnya mengontaminasi yang secara normal steril29.Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah banyak dilakukan. Botin dkk30 mendapatkan Peptostreptococus, Streptococus viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi sebagai sumber infeksi abses leher dalam. Botin dkk30 mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus. Abshirini H dkk24, pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam mendapatkan; stafilokokus 77%, Streptococcus -haemolitycus 12,5%, Entrobacter 12,5%, Streptococcus -haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%, Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar dkk27, dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap 186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak adalah bacteroides sp 14%. (Tabel 2)Tabel. 2. Kuman penyebab abses leher dalam19Jenis KumanJumlah pasien% kultur +

Streptococcus viridansStaphylococcus epidermidisStaphylococcus aureusBactroides SpStreptococcus -haemolyticusKlebsiella pneumoniaStreptococcus pneumoniaMycobacterium tbAnaerob gram negatifNeisseria spPeptostreptococcusJamurEnterobacterBacillus spPropionibacteriumAcinetobacterActinimicosis israeliiProteus spKlepsiella sp BifidobacteriumMicroaerophilic streptococcusEnterococcus spMoraxtella catarrhalisDan lain-lain63463522341110109888766533333321139282214216,86,26,25,54,94,94,94,33,73,73,11,91,91,91,91,91,91,26,8

Brook23 menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk22 dari 100 pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).Tabel 3. Pola kelompok kuman pada abses leher dalam19Hasil Jumlah kasus

Positif kuman 89 Kuman tunggal 38 (42,7%) Gram positif aerob 14 Gram negatif aerob 21 Anaerob 3 Kuman campuran 51 (57,3%) Aerob saja 13 Gram positif saja 5 Gram negatif saja 1 Kedua gram 7 Anaerob saja 2 Campuran aerob-anaerob 36

3.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY)Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas. 313.1.1 EtiopatogenesisAbses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.Finkelstein dkk, mengatakan lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat.Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.Dikutip dari Megalamani, pemeriksaan kultur yang telah dilakukan menumbuhkan populasi bakteri aerob dan anaerob sama banyaknya dengan campuran flora yang melibatkan mikroorganisme gram negatif dan gram positif. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.Hanna melaporkan hasil pemeriksaan kultur kuman sebanyak 43% ditemukan bakteri aerob, 31% bakteri anaerob, dan 23% terdiri gabungan bakteri aerob dan anaerob. Dikutip dari Marom, Megalamani dkk, menunjukkan adanya peningkatan kejadian bakteri aerob gram negatif yang menyebabkan abses peritonsil di India, sedangkan Sakae dkk, melaporkan banyaknya kasus polimikmikrobial dengan dominasi kuman aerob pasien di Brazil.Dikutip dari Segal N, Brook dkk melaporkan sebanyak 34 orang dewasa dan anak-anak yang dilakukan aspirasi pus dan didapatkan 76% bakteri gabungan aerob-anaerob dan 18 % bakteri anaerob. Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan orofaring.Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui. 313.1.2 PatologiDaerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk dibagian inferior.Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kea rah kontralateral.Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.23.1.3 Gejala dan tandaGambar 16. Abses PeritonsilarBeberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot potatos voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Seperti dikutip dari Finkelstein, Ferguson mendefinisikan hot potato voice merupakan suatu penebalan pada suara.Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan. 313.1.4 DiagnosisMenegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti dikutip dari Hanna, Similarly Snow dkk berpendapat untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan.Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer.Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.

Gambar 17. Intraoral ultrasonografiGambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer.

Gambar 18. Tomografi komputer abses peritonsilFasano mengatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Dikutip dari Fasano, Lyon dkk melaporkan kasus diagnosis abses peritonsil bilateral di ruang gawat darurat dengan menggunakan intraoral sonografi. Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum. 313.1.5 Diagnosis bandingPenonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis banding. Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing, tumor / keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis servikal, aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain.Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis dan abses peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat ringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi positif (terdapat pus), berarti abses, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapat didiagnosis sebagai selulitis peritonsil. 313.1.6 TerapiPada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau kilndamisin, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi a froid.Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drenase abses. 23.1.7 Komplikasi Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 2

3.2 ABSES RETROFARINGAbses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada umur 4 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa. Akhir akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang dijumpai . Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas atas. Pemeriksaan mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kuman sangat membantu dalam pemilihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian, angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan operatif . Insisi abses retrofaring dapat dilakukan secara intra oral atau pendekatan eksternal bergantung dari luasnya abses. Pada umumnya abses retrofaring mempunyai prognosis yang baik apabila didiagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat sehingga komplikasi tidak terjadi. 93.2.1 EtiologiSecara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :1. AkutSering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing. 2. KronisBiasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah :1. Kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp 2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria. 93.2.2 Gejala dan tandaDari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis yang sering dijumpai pada anak :1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. suara sengau 4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi. 5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan 6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ). Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai adanya : 7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan 8. air liur menetes ( drooling ) 9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispneaGejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. rasa sakit di leher ( neck pain ) 4. keterbatasan gerak leher 5. dispneaPada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas. 93.2.3 DiagnosisDitegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.23.2.4 Diagnosis banding1. Adenoiditis 2. Abses peritonsil3. Abses parafaring 4. Epiglottitis5. Croup 6. Aneurisma arteri 7. Tonjolan korpus vertebra. 93.2.5 TerapiTerapi dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.23.2.6 Komplikasi1. Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera2. Mediastinitis3. Obstruksi jalan napas sampai asfiksia4. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.2

3.3 ABSES PARAFARING3.3.1 EtiologiRuang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebral servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofiring atau submandibula.23.3.2 Gejala dan tandaTrismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol kearah medial.23.3.3 DiagnosisBerdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.23.3.4 KomplikasiProses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran keatas dapat mengadakan peradangan intracranial, ke bawah menyelusuri selubung karotis mencapai mediastinum.Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.23.3.5 TerapiUntuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotik dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.Insisi dari luar dilakukan 21/2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m. sternokleidomastoideus kearah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher).Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.2

3.4 ABSES SUBMANDIBULARuang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. 2Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial di regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan membuka mulut. 323.4.1 EtiologiInfeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. 23.4.2 PatogenesisBeratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. (Gambar 19)Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus. 32

Gambar 19. Skema perluasan infeksi pada ruang potensial leher3.4.3 Gejala dan tandaPada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di bawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeritenggorok dan trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak. 323.4.3 TerapiAntibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. 2

3.5 ANGINA LUDOVICIAngina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. 23.5.1 EtiologiSumber infeksi seringkli berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob. 23.5.2 Gejala dan tandaTerdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.23.5.3 DiagnosisBerdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi. 23.5.4 TerapiDiberikan antibiotik dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah kekambuhan.Pasien dirawat inap sampai infeksi reda. 23.5.5 Komplikasi1. Sumbatan jalan napas2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum;3. Sepsis. 2

BAB IVPENUTUPInfeksi leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses submandibula, angina ludovici, dan abses parafaring. Infeksi leherbagian dalam berkembang dalam ruang faring yang potensial. Sumber infeksi dapat berasal dari gigi geligi, faring atau traumatik, dimana terjadi perforasipada membran mukosa pelindungan mulut atau ruang faring.Infeksi pada leher dalam merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasi terjadinya abses yang dapat menyebabkan kondisi lain yang lebih serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di ruang potensial di antara dua fascia leher. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.Kuman penyebab abses leher dalam adalah campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob yang paling dominan adalah stafilokokus dan streptokokus. Kuman anaerob paling banyak adalah kuman gram negatif anaerob. Antibiotik ceforazone, ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, dan ceftriaxone masih sensitif terhadap kuman aerob penyebab abses leher dalam. Metronidazole dan klindamisin sensitif terhadap kuman anaerob gram negatif.

REFERENSI

1. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-811. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 226-30.1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari: [http://www.repository.usu.ac.id] pada April 2013.1. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2, Number 8. Diunduh dari: [http://www.author.emedicine.com/PED/topic2682.html] pada April 2013.1. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Ghazipur A, Shabab M. Predisposing factors for the complications of deep neck infection. The Iranian J of otorhinolaryngol 2010;22 (60): 97-102.1. Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J antimicrob chemother 2002;50:805-101. Durazzo M, Pinto F, Loures M, Volpi E, Nishio S, Brando L, et al. Os espaos cervicais profundos e seu interesse nas infeces da regio. Rev Ass Med Brasil 1997; 43:119-126.1. Moore K.L, Dalley A.F, Agur A.M.R. Neck. Dalam: Clinically oriented anatomy. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3464/1/tht-andrina2.pdf1. Sosialisman, Hermani B. Odinofagia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi 7. Jakarta: Balai Penerbitan FK-UI; 2007:p. 212-2161. Mansjoer A. et al. Tenggorok dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 20011. Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring, esophagus dan Leher. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC; 1997:p. 264-271 1. Soetirto I, Bashiruddin J,Bramantyo B. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia1. Anatomy of Respiratory System. Available from URL://fau.pearlashes.com. Acessed: April 20121. http://www.thefreedictionary.com/body+process 1. Dodds WJ, Stewart ET, Logemann JA. Physiology and radiology of the normal oral and pharyngeal phases of swallowing [see comments]. AJR Am J Roentgenol; 1990;154(5):953963. [PubMed:2108569]1. Hiiemae KM, Palmer JB. Food transport and bolus formation during complete feeding sequences on foods of different initial consistency. Dysphagia; 1999;14(1):3142. [PubMed: 9828272]1. Adams G.L, Boies L.R, Hilger P.A. Physiology of the pharynx. Boies Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition; 19891. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. Available from: http://www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com1. Khode S.R, Bhat P, Rane S., Dasgupta K.S. Retrospective analysis of 298 cases of deep neck infection: Its diagnosis and management. Science Journal Publication. December 20121. Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization and management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg 1997;26:131-1341. Yang S.W, Lee M.H, See L.C, Huang S.H, Chen T.M, Chen T.A. Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance. 2008;1:1-8.1. Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J antimicrob chemother 2002;50:805-101. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Ghazipur A, Shabab M. Predisposing factors for the complications of deep neck infection. The Iranian J of otorhinolaryngol 2010;22 (60): 139-45.1. Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology. 2002. 1. Chuang YC, Wang HW. A deep neck abscess presenting as a hypopharyngeal carcinoma. J Med Sci 2006;26(5):183-6.1. Parhiscar A, Har-El G. Deep neck abscess: A retrospective review of 210 cases. Ann otol rhinol laryngol 2001;110:1051-4.1. Boyanova L, et al. Anaerobic bacteria in 118 patient with deep space head and neck infections from the University of Hospital of Maxillofacial surgery, Sofia, Bulgaria. J med micribol 2006;55:1285-89.1. Jawetz, Melnick & Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Alih bahasa: Hartarto H dkk. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007: 225-73.1. Botin R, Marioni G, Rinaldi R. Deep neck infection: A present-day complication. A retrospective review of 83 cases (1998-2001). Eur arch otorhinolaryngol 2003; 260:576-9.1. http://repository.unand.ac.id/18155/2/DIAGNOSIS%20DAN%20PENATALAKSANAAN%20ABSES%20PERITONSIL.pdf1. http://repository.unand.ac.id/17213/1/Penatalaksanaan_Abses_Submandibula_dengan_Penyulit_Uremia_dan_Infark_Miokardium_Lama.pdf

47