Upload
mohamad-rifaie-ramli
View
400
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Dermatitis Kontak allergi merupakan
Citation preview
DERMATITIS KONTAK ALERGI
(A. Fatimah Muliasari, Magfirah, Ayu Rizkiawaty)
A. PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan
pembatas dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa kira-kira 1,5m2
dengan berat kurang lebih 15% berat badan. Keadaan tersebut menjadikan kulit
menjadi organ yang esensial dan vital. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan
sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh.1,2
Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengaturan
suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan
keratinisasi. Namun sama halnya dengan organ-organ tubuh manusia yang lain,
kulit juga dapat terserang. 1,2
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis. 1,2
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu,
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA); keduanya
dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan
kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu allergen.2,3
DKI lebih sering terjadi dibandingkan dengan DKA. DKI merupakan efek
toksik yang lokal ketika kulit kontak dengan bahan iritan kimia seperti sabun,
bahan pelarut, asam dan alkali. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
1
lambat yang didapat ketika kulit kontak dengan bahan kimia pada orang yang
sebelumnya telah tersensitasi. Respon kulit terhadap DKA dan DKI tergantung
pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari kontak dan kelemahan individu.
Bahan kimia yang menyebabkan dermatitis kontak ditemukan pada barang
perhiasan, produk untuk perawatan diri, tanaman, pengobatan topikal ataupun
sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes
tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang
dicuriga. 2,3
DKA dan DKI membutuhkan pemahaman dari proses perjalanan penyakit,
kemampuan mengenali bagaimana mekanisme DKA dapat muncul, membutuhkan
perhatian yang tajam dan ketepatan dalam menilai kemungkinan suatu alergen,
seperti kemampuan tes tempel, dalam menginterpretasi dan edukasi pasien. 2,3
B. DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. DKA terjadi
akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik
yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah
tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas
tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan
sel limfosit T.3,4
DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang telah
mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini merupakan
hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat dari bahan
material atau zat kimia lain yang terkait3,4
2
C. EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka (hipersensitif). DKA dapat mengenai semua umur dan frekuensi
secara umumnya sama pada pria dan wanita kecuali pada beberapa allergen
spesifik.4,5
Di negara amerika serikat organisasi kesihatan seperti The National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) memperkirakan prevalensi
dermatitis kontak adalah sebanyak 13,6 kasus per 1000 penduduk, hasil ini di
dapatkan dengan menggunakan pemeriksaan fisik oleh ahli dermatologi dengan
populasi pasien sampel yang dipilih secara acak. Penelitian yang dilakukan di
Swedia menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi pada daerah
tangan adalah 2,7 kasus per 1000 penduduk. Sebuah penelitian di Belanda
menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi pada tangan adalah 12
kasus per 1000 penduduk. 4,5
Tidak ada predileksi ras ada untuk dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak
alergi yang disebabkan nikel lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria di
kebanyakan Negara di dunia. Dermatitis kontak alergi dapat juga terjadi pada
neonatus. Pada orang tua, perjalanan dermatitis kontak alergi bersifat delayed,
namun kondisinya lebih kronis. Hubungi alergi terhadap obat-obatan topikal lebih
sering terjadi pada orang tua di sekitar umur 70 tahun. 4,5
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring
dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang
dipakai masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di
masyarakat sangat sedikit, sehingga beberapa angka yang mendekati kebenaran
belum didapat. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50-60 %. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan
3
frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat
kerja4,5
D. ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum
diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya
(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi
kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari)1,2
Alergen Sumber Penularan
Nikel sulfat Logam, logam pada pakaian, perhiasan,
agen katalisator
Neomisin sulfat Biasanya terkandung dalam cream, obat
salep
Balsam of Peru Pengobatan topical
Campuran wewangian Kosmetik, wewangian
Thimerosal Antiseptik
Sodium gold tiosulfat Obat-obatan
Formaldehida Desinfektan, plastic
Quaternium-15 Desinfektan
Cobalt klorida Semen, galvanisasi, minyak industri,
agen pendingin
Basitrasin Obat salep, bedak
Metildibromoglutaronitril
fenoksilatanol
Kosmetik, bahan pengawet
Campuran karba Karet, lateks
Etilneurea melamin-formaldehida resin Tekstil
Thiuram Karet
p-Fenil diamin Pewarna tekstil yang hitam atau gelap,
4
tinta printer
Parahidroksibenzoic acid ester Bahan pengawet pada makanan
Propilene glycol Bahan pengawet, kosmetik
Prokain, benzokain Anastesi lokal
Sulfonamide Obat-obatan
Turpentin Bahan pelarut, semir sepatu, tinta
printer
Garam merkuri Desinfektan, impregnasi
Krom Semen, antioksidan, minyak industri,
korek api, kulit
Cinnamic aldehihida Wewangian, parfum
Tabel 1.
Allergen utama penyebab Dermatitis Kontak Dan Beberapa Allergen
Umum Lainnya. Dikutip dari kepustakaan nomor 6
E. PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated
hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.
Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan
berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.
Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor,
macrophages inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan
interpheron gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama
sel T dan makrofag di tempat antigen.6,7
5
Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV. Dikutip dari
kepustakaan nomor 7
Patogenesisnya melalui 2 fase ialah fase induksi (fase sensitisasi) dan fase
elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit
mengenal dan memberi respons, memerlukan waktu 2-3 minggu. Fase elisitasi
ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai
timbul gejala klinis. 6,7
Fase Sensitisasi 2,7,8
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini
terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan
kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-
DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
6
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan
sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan
mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan
II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan
molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I
dan II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel
ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah
bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal, bahwa sinyal antigenik murni suatu
hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi
sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi
iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
7
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai
resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
Fase Elisitasi 2,7,8
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF
(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi
dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam
kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai
dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan
2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi
menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit.
Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang
molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,
seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
8
Gambar 2: Fase Elisitasi dari Reaksi Hipersentivitas karena ‘contact-
sensitizing agent. Dikutip dari kepustakaan nomor 8
Gambar 3: Patofisiologi dari Dermatitis Kontak. Dikutip dari kepustakaan
nomor 8
9
Perubahan histologik pada keadaan dermatitis terjadi pada epidermis dan
dermis, bergantung pada stadiumnya. Pada stadium akut kelainan di epidermis
berupa spongiosis, vesikel atau bula, edema intrasel, dan eksositosis terutama sel
mononuclear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, serbukan sel radang
terutama sel mononuclear, kadang eosinofil juga ditemukan, bergantung pada
penyebab dermatitis. Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti
stadium akut, spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal
(akantosis ringan), tertutup krusta, stratum korneum mengalami parakeratosis
setempat; eksositosis berkurang; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih
jelas, serbukan sel radang masih jelas, fibroblast mulai meningkat jumlahnya.3,9
Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum
menebal (hiperkeratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang,
kadang ditemukan spongiosis ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis sedikit,
pigmen melanin terutama di sel basal bertambah. Papila dermis memanjang
(papilomatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama
sekitar pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama sekitar pembuluh
darah bersebukan sel radang mononuclear, jumlah fibroblast bertambah, kolagen
menebal. 3,9
Gambar 4: Gambaran Mikroskopis Dermatitis Kontak Alergi.
Dikutip dari kepustakaan nomor 3.
10
F. MANIFESTASI KLINIS
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada
setiap orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan
kulit. Ada beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:10,11
1. Akut10,11
Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada
reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.
Eritema→papul→ vesikel→ erosi→ krusta→ skuama
2. Subakut10,11
Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil,
merah, dan berkelompok.
3. Kronik10,11
Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang
mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan
papul yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.
Papul→ skuama→ likenifikasi→ ekskoriasi
G. DAERAH PREDELEKSI
1. Tangan dan lengan. Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena
banyak faktor, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang
paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar
dua pertiga dari seluruh kasus dermatitis kontak melibatkan tangan yang
merupakan tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan iritan.
Dermatitis dengan gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan,
dan lengan bawah biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan
yang basah (kontak lama dengan air), misalnya memasak makanan,
11
mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis
tangan lebih tinggi. Lengan terkena allergen yang sama seperti tangan,
tetapi biasanya belakangan. Jika sarung tangan digunakan saat bekerja,
lengan bawah biasanya merupakan tempat utama dari dermatitis
okupasional. 1,3,4,12,13
Gambar 5 :Dermatitis kontak alergi pada di lengan dan Telapak tangan
dikutip dari kepustakaan nomor 3.
2. Wajah. Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar allergen. Dermatitis
pada wajah dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada
tangan. Semua allergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka,
kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak
pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat
topikal, allergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan
allergen lain yang kontak dengan tangan. Dermatitis yang terjadi karena
kosmetik biasanya diawali dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak
12
wanita yang segera mengganti produk kosmetik mereka pada tahap ini dan
tidak menemui dokter spesialis. 1,3,4,12,13
Gambar 6: ‘seborrhoeic dermatitis-like’ dermatitis kontak alergi di wajah
akibat dari hipersensifitas terhadap phosphorus sesquisulphide. Dikutip dari
kepustakaan nomor 1
3. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca
mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar
dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya.
Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang
terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin
menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah
pada dermatitis kontak kronik. 1,3,4,12,13
13
Gambar 7: Dermatitis kontak alergi di daerah telinga akibat dari reaksi
hipersensitifitas terhadap nikel. Dikutip dari kepustakaan nomor 11.
4. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat
warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian. 1,3,4,12,13
Gambar 8 : Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi
hipersensitifitas terhadap nikel di sabuk gesper. Dikutip dari kepustakaan
nomor 11.
14
5. Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Bila mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat
antihemoroid. 1,3,4,12,13
Gambar 9 : Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva
karena alergi pada cream yang mengandung neomisin. Dikutip dari
kepustakaan nomor 14
6. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,
sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada
athlete’s foot, antiseptik, dan antiperspiran.
Gambar 10 : Dermatitis kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,
bahan pengawet pada pelembab. Dikutip dari kepustakaan nomor 4.
15
7. Generalisasi. Eritroderma yang terjadi menyeluruh dapat merupakan hasil
dari dermatitis kontak kronis karena lanjutan paparan alergen di
lingkungan, bahkan di rumah sakit, misalnya kontak dengan kasur yang
didesinfeksi dengan formaldehide atau pengobatan topikal yang meresap
pada sprei.1,3,4,12,13
Gambar 11: Dermatitis kontak alergi generalisata yang melibatkan hampir
90% daerah tubuh. Dikutip dari kepustakaan nomor 3
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji tempel 1,2,3,5
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu
dilakukan uji tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di
antara 70-80 % .Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya
antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan
T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.
Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara
lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat
berupa bahan kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering
bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau
tempat rekreasi
16
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keadaan akut atau
berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu,
atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid (topical dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan
reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis
yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn) yang
terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif
palsu.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar karena dapat memberi hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang
mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan selesai.
5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.
Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan
hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam. Reaksi tersebut dinilai
sebagai: 1,2,3,4,5
1+ eritema.
2+ eritema, edema, papul.
3+ eritema, edema, papul, vesikel.
4+ sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.
5+ sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.
17
Gambar 12 : Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam. Dikutip dari
kepustakaan nomor 5
Gambar 13 : Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien. Dikutip
dari kepustakaan nomor 5
18
Pemeriksaan Histopalogi. Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah
tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik.1,3,13
Epidermis:13
o Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
o Hiperplastik, akantosis yang luas.
o Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai
dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
o Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
Dermis:13
o Limfosit perivesikuler.
o Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi.
o Edema.
Gambar 14. Dermatitis kontak alergi. Hiperkeratosis, vesikel parakeratosis
subkorneal, spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare
dermis yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis. Dikutip dari
kepustakaan nomor 13.
19
I. DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan
yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan
kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,
dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada
keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).12,14
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan
dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan
daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada
dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan
tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.
Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut
oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada
bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi. 12,14
J. DIAGNOSA BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan. 12,14
20
Dermatitis Kontak Iritan
Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat
(reaksi tipe cresendo).3,11,12
DKI DKA
Gejala Akut Perih, gatal Gatal, nyeri
Kronik Gatal/nyeri Gatal/nyeri
LesiAkut
Eritem Vesikel Erosi
Krusta Skuama
Eritema papul vesikel
erosi krusta skuama
KronikPapul, plak, fisura, skuama,
krusta
Papul, plak, skuama, krusta
Batas
dan letakAkut
Berbatas tegas, sesuai
pajanan allergen.
Berbatas tegas, sesuai pajanan
allergen tapi bisa meluas ke
perifer; biasanya papul kecil yang
bisa menyebar luas.
Kronik Terbatas Terbatas, meluas
EvolusiAkut
Sangat cepat (beberapa jam
setelah pajanan)
Cepat (12 sampai 72 jam setelah
pajanan)
KronikPajanan yang berulang dari
bulan sampai tahunan
Bulanan atau lebih lama lagi,
eksaserbasi setiap kali terpajan
Agen
penyebab
Tergantung pada
konsentrasi dari agen
penyebab dan pertahanan
kulit
Relatif independen dari jumlah
yang diterapkan, biasanya cukup
dengan konsentrasi sangat rendah
tetapi tergantung pada tingkat
21
DKI DKA
kepekaan
InsidenDapat terjadi pada semua
orang
Hanya terjadi pada orang yang
sudah tersensitisasi
Tabel 2 : Perbedaan DKI dan DKA. Dikutip dari kepustakaan nomor 11
Gambar 15 : Dermatitis Kontak Iritan akibat iritan kuat.Terlihat vesikel,
bula dan ekskoriasi. Dikutip dari kepustakaan nomor 14
Dermatitis Atopik
Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai
karena riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata
dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata
bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan
kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus
aureus.Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi
dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).11,12,14
22
Gambar 16. Hiperpigmentasi, likenifikasi, dan sisik di fossa antecubital
pada pasien dengan dermatitis atopik. Dikutip dari kepustakaan nomor 14.
Gambar 17. Dermatitis atopik : infatile. Terdapat eritema, vesikel, dan
krusta pada wajah dan lesi yang serupa pada badan dan lengan. Dikutip
dari kepustakaan nomor 14.
23
Dermatitis Seboroik
Ditemukan pada tempat seboroik dengan kelainan khas berupa skuama
berminyak, warna kekuningan. 11,12,14
Gambar 18. Dermatitis seboroik di daerah wajah dengan plak yang berbatas
tegas dengan skuama berminyak yang berwarna kekuningan. Dikutip dari
kepustakaan nomor 14
Psoriasis
Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar,
transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.11,12,14
Gambar 19: Psoriasis pada pasien dengan kulit agak gelap dengan
karakteristik hilangnya kemerahan pada kulit dan tampak skuama berlapis
yang berwarna putih. Dikutip dari kepustakaan nomor 14.
24
K. PENATALAKSANAAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul. Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang
dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai
berikut:1,2,3,14,15
1. Menghindari pajanan
Identifikasi dan hilangkan agen penyebab1,2,3,14,15
2. Terapi topikal1,2,3,14,15
Kortikosteroid topikal
Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah
mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison 1-2 %,
triamsinolon 0,1 %, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-2,5% dan
betametason-dipropionat 0,05%. Pengobatan dengan kostikosteroid
biasanya untuk dermatitis kontak alergi yang berlangsung singkat, efek
samping dari pemberian glukokortikoid ini biasanya tidak berbahaya.18
Hidrokortison sebagai obat pertama dari golongan kortikosteroid
mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti
pruritus, anti mitotik dan vasokonstriksi. Setelah itu, dikenal
kortikosteroid yang lebih poten daripada hidrokortison, yaitu
kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai fluorinated
corticosteroid. Zat-zat ini pda konsentrasi 0,025% sampai 0,1%
memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk dalam
golongan ini ialah, antara lain : betametason, betametason valerat,
betametason benzoat, fluosinolon asetonid, dan triamsinolon asetonid. 2
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
potensi kuat.
Kompres dingin dengan Burrow’s solution1,2,3,14,15
25
Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel,
kompres ini diganti setiap 2-3 jam.
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari
debris dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu
terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir
pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan
menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai
terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan
gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam
dermatosis.
3. Terapi sistemik1,2,3,14,15
Kortikosteroid
Indikasi kortikosteroid jika gelajanya berat (pasien tidak dapat
melakukan aktivitas harian, tidak dapat tidur) untuk lesi eksudatif.
Prednison awalnya diberikan 70 mg (dewasa), kemudian di tapering 5
sampai 10 mg selama 1-2 minggu.2,18
Efek terapeurik glukokortikoid yang paling penting adalah
kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis
dan untuk menekan imunitas. Mekanisme yang pasti sangat kompleks.
Namun, diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan
makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A2
secara tidak langsung (karena steroid diperantarai oleh peningkatan
lipokotrin), yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran.
Immunosupressan1,2,3,14,15
Pada dermatitis kontak alergi yang melalui udara menghindari
allergen total mungkin mustahil, Immunosupressan dengan siklosporin
mungkin penting.
26
Siklosporin bekerja dengan menghambat kalsineurin. Kalsineurin
adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan penting
dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc
(nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi,
NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan
gen yang bertanggungjawab dalam sintesis sitokin. Hambatan kalsineurin
akan menghambat transkripsi gen-gen tersebut.
L. PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan
bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang. Kelompok
dermatitis iritan dan faktor konstitusional juga penting. Banyak penelitian
menyebutkan bahwa onset umur tidak penting terhadap prognosis dermatitis yang
berhubungan dengan pekerjaan, namun baru-baru ini UK studi memperlihatkan
bahwa pada orang-orang dewasa yang memiliki riwayat atopik mungkin
berkembang dan orang-orang dengan dermatitis kontak alergi kemungkinan besar
tidak memiliki waktu untuk bekerja. 1,2,3,4,5
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis
numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari. 1,2,3,4,5
DAFTAR PUSTAKA
1. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic In Rook’s,
Textbook of Dermatology Volume I, 7th Edition. Blackwell Publishing,
2008: Ch 20 P 819 – 48.
27
2. Djuanda S, Sularsito S.A. Dermatitis Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta 2007: P 129-53
3. Wolff K, Lowell A, Stephen I, Gillchrest BA, Paller SA, Leffel DJ et al.
Allergic Contact Dermatitis In Fitzpatrick’s, Dermatology In Clinical
Medicine. New York. McGraw Hill Medical. 2008: Ch 120 P 1301 – 15
4. Hogan DJ, James WD. Allergic Contact Dermatitis Treatment &
Management. Nova Southeastern University College of Osteopathic
Medicine. Drugs, Disease And Procedures 2013. P. 1-17
5. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact
Dermatitis. Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland.
The Open Allergy Journal, 2008: P. 42-51
6. Taylor SJ. Contact Dermatitis And Related Disorder. In ACP Medicine
University of Texas Medical Branch. 2001 : P. 1-16
7. Shimizu H, Immunology Of The Skin In Shimizu’s Textbook of
Dermatology. Hokkaido. Hokkaido University Press, 2007: Ch 3 P. 39-47.
8. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres M, Hennino A, Nicolas JF, et al.
Allergic And Irritant Contact Dermatitis. In EJD, vol 19, n0 4, July-August
2009.
9. Frosch PJ, Menne T, Lepoittevin JP. Histopathological &
Immunohistopathological Features Of Irritant And Allergic Contact
Dermatitis. In Contact dermatitis 4th edition. Berlin. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, 2006 : Ch 7 P. 107-15
10. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical
Companions Dermatology. New York. Thieme New York Publication,
2006 : Ch 12 P. 195-203
11. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and Management of Contact Dermatitis.
In American Family Physician. Texas. University of Texas Health Science
Center, 2010: P. 250-54
28
12. James WD, Berger TG, Elston DM, Contact Dermatitis and Drug
Eruptions In Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology 10th
Edition. Philadelphia. Elsevier Inc 2006: Ch 6 P 91-111
13. Gawkrodger DJ. Eruptions. In Dermatology 3rd Edition. Philadelphia.
Elsevier Inc 2003: Ch 26 P. 30-36
14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu EM Dermatitis Dalam Penyakit Kulit Yang
Umum Di Indonesia. Pt Medical Multimedia Indonesia. 2008 : P 14-30
15. Beltrani VS, Bernstein IL, Cohen DE, Fonacier L, et al. Contact
Dermatitis: A Practice Parameter. In Annals of Allergy, Asthma &
Immunology. New York. The American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology 2006: P.1-38
29