Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Prosiding
The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017
Tema :
“ Trend and Current Issues In Nursing Practice ”
Reviewers:
Arief Bachtiar.S.Ke.Ns.M.Kep
Ns.Supono.S.Kep.M.Kep.Sp.MB
Lelik Adiyanto.S.Kep.Ns
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES MALANG
2017
ii
Prosiding
The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017
Trend and Current Issues In Nursing Practice
ISBN : 978-602-50150-0-7
Editor:
Marsaid S.Kp.Ns.M.Kep
Nurl Hidayah.S.Kep.Ns.M.Kep
Agus Setyo Utomo A.M.Kes
Pembantu editor:
Kasiati. S.Kp.Ns.M.kep
Hurun Ain S.Kp.Ns.M.kep
Desain sampul:
Alif Galih
Prima Dio
Kiki A
Penerbit dan redaksi:
Program Studi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang
Cetakan pertama, Agustus 2017
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk
fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal
72, Ayat (1), (2), dan (6)
iii
COMMITTEE
Pelindung : Direktur Poltekkes Kemenkes Malang
Pembina :1. Pudir I2. Ketua Jurusan Keperawatan3.
Penanggung Jawab : Ketua Program Studi D-III Keperawatan LawangKetua Program Studi D-IV Keperawatan Lawang
Ketua : 1. Alif Galih Pratama2. Nurul Hidayah, SKep Ns.M.Kep
Sekretaris : 1. Hanna Puspita Wangi2. Agus Setyo Utomo.A.M.Kes
Bendahara : 1. Dwi Andika Mulia Sari2. Sulastyawati, Skep Ns M.Kep
Seksi Ilmiah &Acara
: 1. Khoylila Ayu Aristi2. Vicky Wahyu Putra Wiguna3. Yekti Indhar Bekti4. Kulsum Febri Dwi Safitri5. Ririn Anantasari, SKep Ns MKep SpMat6. Marsaid, SKep Ns MKep7. Tri Nataliswati, SKep Ns MKep8. Kasiati, SKep Ns MKep9. Hurun Ain, SKep Ns M.Kep10. Dra Mustayah M.Kes
Seksi Akomodasi,Perlengkapan danTransportasi
: 1. Mohammad Ali Ridho2. M. Salman Alfarisi3. Budiono, S.Kp M.Kes4. Ni Wayan, APP , MKes5. Darwanto,6. Hendra7. Suntar8. Muhammad Solihin9. Satugi
Seksi Dekorasi dandokumentasi
: 1. Prima Dio Prasojo2. 2. Kiki Agustin Vergiliasari
iv
Seksi Humas dan
Publikasi
: 1. Mukhammad Sudrajat P
2. Revi Maulana Aziz
3. Lucia Retnowati, SST, MKes
4. Faizul Hasan, SST
5. Handy lala
Seksi Konsumsi : 1. Sumirah BP, SKp MKep
2. Yusi Idah Safitri
3. Agistiya Cahya Kirnawati
4. Dra. Mustayah, MKes
5. Tantri Swandayani, SPd
6. Dhewi Society
7. Sri Sulistyawati
8. Nanik Soewaryuningsih
9. Sri Hartini
10. Paini Astuti
11. Dini Suryani
Seksi Keamanan : 1. Muhammad Sahri
2. Abdul Hanan
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas limbahan kasih dan
karunianya sehingga proceeding “The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017
dengan tema “Trend and Current Issues In Nursing Practice” dapat terselesaikan
dengan baik.. Prosiding ini merupakan kumpulan hasil penelitian yang diharapkan
mampu mengkonstribusi dalam meningkatkan derajat kesehatan dalam masyarakat.
Hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk mengembangkan penelitian lain untuk
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Prosiding ini juga dibuat dengan tujuan
memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas terkait penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan terbaru sehingga diharapkan dapat menambah
pengetahuan, komunikasi dan motivasi selanjutnya untuk pengajuan Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI).
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa prosiding ini tentu tidak luput
dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik kami harapkan demi kebaikan prosiding
pada terbitan yang akan datang.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terlaksananya kegiatan ini, dan kami berharap prosiding ini dapat
bermanfaat bagi para peneliti akademisi dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Lawang, Agustus 2017
vi
DAFTAR ISI
Comittee .................................................................................................................. iii
Kata Pengantar .......................................................................................................... v
HUBUNGAN EFIKASI DIRI ( SELF EFFICACY ) DENGAN
PENURUNAN KEJENUHAN KERJA ATAU ( BORNOUT )
PERAWAT
Yunis Veronika Purba, Suhartono, Sarah Ulliya ....................................................... 1
TINGKAT KECEMESAN PASIEN YANG AKAN
DILAKUKAN KATETERISASI JANTUNG DI RSUP DR.
KARYADI SEMARANG
Kristiana Prasetia Handayani, Andrew Johan, Candra Bagus R ............................. 11
HUBUNGAN SIKAP NORMA SUBYEKTIF DENGAN KE
IKUT SERTAAN PUS DALAM DETEKSI DINI KANKER
SERVIK DI PUSKESMAS SINGOSARI MALANG
Tutik Herawati, Jokowiyono, GM Sindarti .............................................................. 19
EFEKTIFITAS PENYULUHAN KESEHATAN GIGI
BERBASIS MULTIMEDIA TERHADAP PENGETAHUAN
SISWA KELAS VI DI SD NEGERI 01 ABELI KELURUHAN
TOBIMEITA KECAMATAN ABELI
Sahmad, Reni Devianti Usman, Endang Sukamti Sastrawati .................................. 28
KEJADIAN KECACINGAN PADA BALITA DI PULAU
BINONGKO KABUPATEN WAKATOBI
Dian Yuniar, Nirwana, La Irman ............................................................................. 36
vii
PENGARUH EDUKASI TERHADAP TINGKAT
KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING LANSIA
HIPERTENSI
Siti Juwariyah, Fery Agusman MM, Rita Hadi Widyastuti ..................................... 43
FAKTOR RESIKO KEJADIAN KANKER SERVIKS DI
IRNA III RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
Kasiati ...................................................................................................................... 48
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFIKASI
DIRI PENDERITA TUBERKOLOSIS DI PUSKESMAS
TIKUNG LAMONGAN
Abdul Muhith, M.H.Saputra, Sandu Siyoto ............................................................. 55
FAKTOR BUDAYA, PENDIDIKAN DAN KARAKTERISTIK
SOSIAL EKONOMI TERHADAP POLA MAKAN IBU POST
PARTUM DI WILAYAH PUSKESMAS SUKOREJO
KABUPATEN PASURUAN
Marsaid .................................................................................................................... 64
PENGARUH MOBILISASI TEMPAT TIDUR TERHADAP
PERISTALTIK USUS PADA PASIEN STROKE DI RUANG
INTERNE 1 RSUD Dr. R.SOEDARSONO PASURUAN
Sumirah Budi Pertami, Budiono, Oktaviani Defi .................................................... 75
HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH DENGAN
KECERDASAN EMOSI MAHASISWA KEPERAWATAN
KAMPUS II POLTEKKES KEMENKES MALANG
Mustayah .................................................................................................................. 88
PENGARUH PEMBERIAN RANGE OF MOTION ( ROM )
EXERCISE TERHADAP POLA TIDUR DAN SELF CARE
viii
PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA
MINAULA KENDARI TAHUN 2016
Budiono, Muslimin L, Reni Devianti Usman ........................................................ 101
TINGKAT KESEPIAN PADA LANSIA DI PANTI WERDHA
Ni Wayan Rosmalawati, Abdul Hanan, Arivando Yoga Papangdika ................... 113
TINGKAT RISIKO DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE
YANG SEDANG MENJALANI RAWAT INAP
Novi Susanti, Arief Bachtiar, Supono.................................................................... 120
PERAN ORANG TUA DALAM MENCEGAH
PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA ANAK REMAJA
Lucia Retnowati, Ririn Anantasari, Anisah Safirah............................................... 128
SOSIAL SUPPORT DENGAN SELF CARE PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS ( DM )
Nurul Hidayah........................................................................................................ 142
PENGARUH PEMBERIAN LATIHAN SLOW DEEP
BREATHING TERHADAP TEKANAN DARAH PADA
PASIEN STROKE
Rini Widya Ningsih, Tri nataliswati, Supono........................................................ 153
PERBEDAN PEMAKAIAN SELIMUT TERHADAP
PERUBAHAN HEMODINAMIK PASIEN POST OP SEKSIO
SESAREA DENGAN ANASTESI SPINAL SUB ARACHNOID
DI RUANG RECOVERY ROOM RSUD MARDI WALUYO
BLITAR
Susi Milwati ........................................................................................................... 168
ix
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG
PEMBERIAN POSISI BEDAH DENGAN KETEPATAN
PELAKSANAAN STANDAR OPERATING PROSEDUR
(SOP) PEMEBERIAN POSISI BEDAH DI KAMAR OPERASI
RUMAH SAKIT LAVALETTE MALANG
Susi Milwati ........................................................................................................... 179
PELAYANAN KERABAT DALAM PEMBERDAYAAN
LANSIA POTENSIAL SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN
KEBUTUHAN KESEHATAN
Agus Setyo Utomo, Rafika Khusnul Khoimah, Tri Nataliswati ............................ 192
HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DINI DENGAN
PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI BBLR
Hurun Ain .............................................................................................................. 197
PELAKSANAAN DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN
STROKE DI IGD
Sulastyawati ........................................................................................................... 208
HUBUNGAN KEMAMPUAN SOSIAL DAN PERAWATAN
DIRI PASIEN SKIZOFRENIA
Suprianto ................................................................................................................ 219
PEMBERIAN DOT DENGAN PERTUMBUHAN GUSI DAN GIGI PADA
BAYI
Dwi Harini, Sulisdiana, Nurul Hidayah ................................................................. 224
x
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 1 | 231
HUBUNGAN EFIKASI DIRI (SELF EFFICACY) DENGAN
PENURUNAN KEJENUHAN KERJA (BURNOUT) PERAWAT
Yunis Veronika Purba1, Suhartono2, Sarah Ulliya3 1Mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Lingkungan Masyarakat Universitas
Diponegoro Semarang, 3 Fakultas Kedokteran, Jurusan Ilmu Keperawatan Universitas
Diponegoro Semarang
Magister of Nursing Student, Faculty of Medicine, Diponegoro University, Jl. Dr.Soetomo
18 Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 5023, phone +6244-8454063
Email: [email protected]
Abstrak
Kejenuhan kerja (burnout) yang dialami perawat dapat menimbulkan turunnya kualitas pelayanan
yang prima dan berdampak pada klien, akibat tuntutan dari peran dan fungsi perawat yang tinggi
dalam memberikan pelayanan yang bermutu dan sesuai standar yang ditetapkan. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk menurunkan kejenuhan kerja (burnout) melalui peningkatan efikasi diri
(self efficacy). Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya hubungan efikasi diri (self efficacy)
dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat. Metode yang digunakan cross sectional.
Sampel sebanyak 66 perawat dengan total sampling. Variabel yang di teliti adalah efikasi diri (self
efficacy), kejenuhan kerja (burnout), Hasil penelitian ada hubungan antara efikasi diri/ self efficacy
(p=0,000), Kesimpulan efikasi diri (self efficacy) berhubungan dengan penurunan kejenuhan kerja
(burnout) perawat.
Kata Kunci : Self efficacy, Burnout, Perawat
1. PENDAHULUAN
Rumah sakit menyadari pentingnya pelayanan terhadap pasien yang
bertumpu pada perkembangan teknologi dan sumber daya manusia. Pelayanan
terhadap pasien membutuhkan pelayan profesional agar pelayanan yang diberikan
lebih bermutu. Menurut Gillies 1 sumber daya manusia yaitu perawat merupakan
jumlah terbesar di rumah sakit sekitar 75%. Di Indonesia tenaga keperawatan
menempati urutan jumlah terbanyak, yaitu 40 % dari tenaga yang ada dan mereka
memberikan waktu perawatan terhadap pasien paling lama selama 24 jam. 2 Apabila
perawat tidak mampu menghadapi tuntutan-tuntutan dilingkungan kerjanya, maka
akan muncul kelelahan fisik dan emosional yang pada akhirnya akan muncul
kejenuhan kerja (burnout) pada perawat.
Harrison 3 bibliografi terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang
kejenuhan kerja (burnout) di Eropa menunjukkan 43% kejenuhan kerja (burnout)
dialami pekerja kesehatan dan sosial (perawat), 32% dialami guru (pendidik), 9%
dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan
kepolisian dan 2% dialami pekerja lainnya. Dari persentase di atas dapat dilihat
bahwa profesi perawat menempati urutan tertinggi sebagai profesi yang paling
banyak mengalami kejenuhan kerja (burnout). Hampir setengah dari jumlah
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 2 | 231
keseluruhan pekerja yang mengalami kejenuhan kerja (burnout) adalah perawat.
Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian dari berbagai pihak terhadap profesi
perawat, apabila semakin banyak perawat yang mengalami kejenuhan kerja
(burnout) maka semakin rendah kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini tentu
berdampak buruk bagi masyarakat karena akan memperoleh kualitas pelayanan
yang kurang maksimal. Kejenuhan kerja (burnout) dapat disebabkan oleh dua faktor
yaitu: 1. faktor internal demografi terdiri dari: usia, jenis kelamin, status
pernikahan, masa kerja, tingkat pendidikan, sedangkan 2. faktor eksternal terdiri
dari ambiguitas peran, konflik peran, beban kerja dan dukungan sosial.
Rachmawati 4 menyebutkan hasil survei yang dilakukan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2006, menunjukkan sekitar 50, 9 persen perawat
yang bekerja di empat provinsi di Indonesia mengalami stres kerja, perawat sering
mengalami pusing, lelah, tidak bisa istirahat karena beban kerja yang tinggi dan
menyita waktu dan bahkan perawat juga mendapatkan gaji yang rendah dengan
insentif yang tidak memadai. Hasil data yang di himpun PPNI pada Mei 2009 di
Makassar menunjukkan 51 persen perawat mengalami stres kerja, pusing, lelah,
kurang istirahat karena beban kerja terlalu tinggi, bahkan beberapa rumah sakit di
Makassar menempatkan perawat tidak sesuai dengan profesi/ keahlian. 5 Penelitian
Ramdan (2016) menyebutkan bahwa lebih dari setengahnya (56%) perawat di RS
AHM Samarinda mengalami kejenuhan kerja (burnout). 6
Penelitian yang dilakukan di Eropa pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
sekitar 30% dari perawat yang disurvei melaporkan jenuh atau lelah untuk bekerja. 7
Penelitian di Inggris menemukan bahwa sekitar 42% dari perawat di Inggris
dilaporkan menderita burnout, sedangkan di Yunani sekitar 44% dari perawat
melaporkan perasaan tidak puas terhadap hasil kerjanya dan memiliki keinginan
untuk meninggalkan pekerjaan. Lebih rendah prevalensi dilaporkan dalam survei di
Jerman, yang diperkirakan 4,2% dari populasi pekerja terkena kejenuhan kerja
(burnout). 8
Kejenuhan kerja (burnout) yang dialami perawat dapat menimbulkan
dampak negatif yang dirasakan oleh penerima layanan baik itu pasien maupun
keluarga pasien. Menurut Musanif, 9 perawat rumah sakit pemerintah dan
puskesmas di Padang dilaporkan bersikap judes dan membentak-bentak pasien dan
keluarganya. Perawat rumah sakit umum Mataram juga dilaporkan telah bersikap
tidak menyenangkan, di mana pasien bangsal kelas tiga yang kebanyakan dihuni
pasien dari program jaringan pengaman sosial (JPS) yang mendapat pembebasan
biaya perawatan, merasa sering tidak dipedulikan dan mendapat perlakuan sinis
oleh perawat. 10
Efikasi diri (self efficacy) menjadi salah satu faktor penting yang harus
dimiliki oleh perawat dalam menjalani tugasnya artinya perawat mampu
menghadapi tekanan tekanan yang timbul pada saat pemberian asuhan keperawatan
berlangsung sehingga mencegah terjadinya kejenuhan kerja (burnout). Hasil
penelitian Priyatin 11 terhadap 100 responden perawat rawat inap RSUD Prof. Dr
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 3 | 231
Margono Soekarjo Purwokerto menunjukan bahwa efikasi diri (self efficacy)
memiliki signifikansi terhadap kejenuhan kerja (burnout). Koefisien yang negatif
menunjukkan bahwa semakin tinggi efikasi diri (self efficacy) perawat, maka
semakin rendah tingkat burnout yang dialami perawat.
Bandura 12 mengungkapkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri (self
efficacy) tinggi, pada saat menghadapi situasi yang menekan akan berusaha lebih
keras dan bertahan lama serta akan lebih aktif dalam berusaha daripada orang yang
mempunyai efikasi diri (self efficacy) rendah dan akan lebih berani menetapkan
target atau tujuan yang akan dicapai. Perawat yang memiliki efikasi diri (self
efficacy) tinggi akan mampu mengatasi kejenuhan kerja (burnout) yang dialami
dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dalam pekerjaan mereka.
Penelitian tentang pengaruh efikasi diri (self efficacy) terhadap kejenuhan
kerja (burnout) dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Skaalvik & Skaalvik,
Schaufeli & Salanova 13, 14 menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy)
berpengaruh signifikan positip terhadap kejenuhan kerja (burnout) dan menganggap
kelelahan emosional dan depersonalisasi sebagai unsur sentral dari kejenuhan kerja
(burnout). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani 15
menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy) berpengaruh signifikan negatip
terhadap kejenuhan kerja (burnout) atau setidaknya dapat memperkecil tingkat
kejenuhan kerja (burnout) yang dialami.
Hasil penelitian Lailani 16 terhadap 94 perawat di RS “Xyz” di Surakarta di
dapati hasil terdapat korelasi yang signifikan antara efikasi diri (self efficacy) dan
dukungan sosial dengan kejenuhan kerja (burnout). Hasil penelitian Novita 17
terhadap 37 perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi dari hasil analisa data
menunjukkan bahwa hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan kejenuhan
kerja (burnout) menunjukkan hasil semakin tinggi tingkat efikasi diri (self efficacy)
perawat maka semakin rendah kejenuhan kerja (burnout) nya.
Penelitian Lailani 18 menunjukkan 66,7 perawat memiliki efikasi diri (self
efficacy) yang rendah berdasarkan dari kuesioner yang di isi oleh pasien. Penelitian
yang dilakukan Marini, 19 bahwa 23,1% perawat di Rumah Sakit Kota Makasar
memiliki efikasi diri (self efficacy) rendah. Selanjutnya Studi yang di lakukan
Parijiyana 20 di RSJD Dr. RM. Soedjawardi Propinsi Jawa Tengah bahwa 42.9%
perawat memiliki kepercayaan diri termasuk dalam kategori kurang baik.
Studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Taman Harapan Baru
Bekasi bulan Desember 2016 - Januari 2017 berdasarkan data yang peneliti
dapatkan jumlah BOR pada bulan September 2016 yaitu 30,44% standar (60-85%)
pada bulan Oktober yaitu 34,36% standar (60-85%) jumlah BOR diambil dari 70
Tempat Tidur, sedangkan jumlah pasien terbagi dari jumlah pasien rawat jalan yaitu
2676 orang, unit gawat darurat 952 orang, pasien rawat inap 563 orang total jumlah
pasien 4191 orang, sedangkan jumlah perawat yaitu 66 orang perawat. melalui
wawancara dan observasi yang dilakukan terhadap 5 orang perawat diantaranya 4
di ruang rawat inap dan 1 orang perawat di ruang poli jalan di dapatkan hasil bahwa
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 4 | 231
4 orang (75%) perawat mengatakan sering merasa lelah dalam melakukan rutinitas
selama jam dinas, 3 orang (50%) perawat mengatakan badan terasa pegal dan
kepala pusing dan 2 orang (30%) mengatakan kurang dapat berkonsentrasi pada
saat dinas, beberapa kasus di atas berikut gejala-gejala yang menyertainya,
kemungkinan sindrom kejenuhan kerja (burnout) sudah melanda sebagian perawat
di rumah sakit, dimana gejala-gejala yang mengarah pada munculnya kelelahan
emosi ketika perawat tidak mampu melakukan tugasnya yang sulit (magnitude self
efficacy), (strength self efficacy) perawat lebih mudah frustasi ketika menghadapi
hambatan atau masalah dalam menyelesaikan tugasnya, serta menurunnya
pencapaian prestasi diri tampak ditunjukkan perawat ketika menjalani rutinitas di
tempat kerja. (Generally self efficacy) yang mengacu pada tingkat kesempurnaan
efikasi diri (self efficacy) dalam situasi tertentu. Perawat seharusnya mampu
beradaptasi dengan berbagai kondisi, tetapi terlihat perawat kurang dapat beradptasi
dengan lingkungan pekerjaannya.
Berdasarkan fenomena uraian di atas peneliti ingin meneliti tentang
hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout)
perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi dengan pendekatan
crosssectional. Dalam penelitian crosssectional peneliti melakukan observasi atau
pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Metode penelitian cross sectional
mempelajari hubungan antara faktor resiko dengan efek, observasi atau pengukuran
terhadap variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan sekali dan dalam waktu
bersamaan. Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel bebas yaitu efikasi diri
(self efficacy) terhadap variabel terikat yaitu kejenuhan kerja (burnout) perawat.
Populasi dan Sampel Penelitian sebagai berikut: Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti dan setiap subjek yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang berada di
Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi. Pengambilan sampel adalah
menggunakan Total Sampling yaitu seluruh populasi perawat pada Rumah Sakit
Taman Harapan Baru Bekasi yang berjumlah 66 orang perawat. Penelitian ini
dilaksanakan di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi pada bulan Mei 2017.
Variabel Penelitian sebagai berikut:
1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini yaitu efikasi diri (self efficacy).
Pada penelitian ini efikasi diri (self efficacy) yang digunakan yaitu kuesioner yang
sudah baku terdiri dari tiga dimensi efikasi diri (self efficacy) yaitu: 1. Strengh self
efficacy, 2. Magnitude self efficacy, 3. Generality self efficacy. Hasil KMO dan Uji
Validitas dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Nilai KMO Bartlett’s Test
Of Sphecify dikatakan layak apabila lebih besar dari 0,05 sedangkan hasil KMO
Bartlett’s Test Of Sphecify sebesar 0,764 dengan Sig.0,000 yang berarti nilai Sig
<0,05 dan dinyatakan valid untuk kuesioner efikasi diri (self efficacy). Uji reabilitas
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 5 | 231
untuk kuesioner efikasi diri (self efficacy) hasil α Cronbach’s Cronbach's Alpha
0,855 dengan jumlah 9 pernyataan. Berdasarkan nilai α Cronbach maka kuesioner
tersebut dinyatakan reliabel. 21
2. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini yaitu kejenuhan kerja
(burnout) perawat. Pada penelitian ini yang digunakan yaitu kejenuhan kerja
(burnout) perawat yang dikembangkan oleh Maslach Burnout Inventory - Human
Service Survey (MBI- HSS) yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik dan
emosional, depersonalisasi dan penurunan personal accomplishment. MBI–HSS
dengan JDS (Job Diagnostic Scale) dengan nilai korelasi r=0,38, p<0,001 pada
dimensi kelelahan emosional dan dimensi depersonalisasi, dan r=0,29, p<0,01 pada
dimensi penurunan personal accomplishment. Berdasarkan ketiga hasil korelasi di
atas, memperlihatkan bahwa MBI - HSS benar mengukur burnout yang terdapat
dalam 22 pernyataan. Uji validitas untuk kuesioner kejenuhan kerja (burnout) yang
sudah baku menurut hasilnya adalah uji reliabilitas untuk kelelahan emosional yaitu
didapatkan nilai α 0,90, untuk depersonalisasi adalah α 0,79 dan untuk penurunan
personal accomplishment adalah 0,71. 22
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Karakteristik reponden dalam penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin,
masa kerja, status pernikahan, dan status pendidikan dapat di lihat pada tabel 1
bawah ini:
Tabel 1 : Karakteristik Responden di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi
(n=66) No Karakteristik frekuensi (f) Persentase(%)
1 Usia
Dewasa Awal (18-40 Tahun)
Dewasa Madya (41-60 Tahun)
65
1
98,5%
1,5%
2 Jenis Kelamin
Pria
Wanita
8
58
12,1%
87,9%
3 Status Pernikahan
Menikah
Belum menikah
39
27
59,1%
40,9%
4 Masa Kerja
1 Tahun
2 Tahun
3 Tahun
4 Tahun
27
16
16
7
40,9%
24,2%
24,2%
10,6%
5 Pendidikan
D III Keperawatan
S1 Keperawatan
S1+ Ners
62
1
3
93,9%
1,5%
4,5%
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 6 | 231
Pada Tabel 1 di atas menggambarkan bahwa distribusi responden
berdasarkan usia yang paling banayak adalah dewasa awal yaitu 65 orang (98,5%).
Berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah wanita yaitu 58 orang
(87,9%). Berdasarkan masa kerja yang paling banyak adalah 1 tahun yaitu 27 orang
(40,9%). Berdasarkan status pernikahan yang paling banyak yaitu menikah 39 orang
(59,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak yaitu D3
Keperawatan yaitu 62 orang (93,9%).
1. Gambaran efikasi diri (self efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan
Baru Bekasi
Gambaran efikasi diri (self efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2 : Gambaran Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi (n=66) Variabel Mean SD Maksimum- Minimum 95%CI
Efikasi Diri (Self
efficacy)
36,37 3,36 45-28 35,55-37,20
Tabel 2 menggambarkan efikasi diri (self efficacy) perawat di Rumah Sakit
Taman Harapan Baru Bekasi memiliki nilai mean 36,37. Nilai efikasi diri (self
efficacy) tertinggi 45 dan terendah 28. Hasil estimasi didapatkan bahwa 95%
diyakini efikasi diri (self efficacy) dengan interval 35,55 sampai 37,20.
2. Distribusi Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan
Baru Bekasi
Distribusi efikasi diri (self efficacy) perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3 : Distribusi Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi (n=66) Efikasi Diri (Self Efficacy) N %
Tinggi 37 56,1%
Rendah 29 43,9%
Total 66 100%
Berdasarkan tabel 3 di atas didapatkan responden dengan efikasi diri (self
efficacy) tinggi sebanyak 56,1% (37 responden), sedangkan efikasi diri (self
efficacy) rendah sebanyak 43,9% (29 responden).
3. Gambaran Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan
Baru Bekasi
Gambaran kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi dapat di lihat pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4 : Gambaran Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi (n=66)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 7 | 231
Variabel Median SD Maksimum- Minimum 95%CI
Kejenuhan Kerja
(Burnout)
56 7,95 67-34 52,45-56,36
Tabel 4 menggambarkan kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit
Taman Harapan Baru Bekasi memiliki nilai median 56. Nilai kejenuhan kerja
(burnout) tertinggi 67 dan terendah 34. Hasil estimasi didapatkan bahwa 95%
diyakini kejenuhan kerja (burnout) dengan interval 52,45 sampai 56,36.
4. Distribusi Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan
Baru Bekasi
Distribusi kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5 : Distribusi Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman
Harapan Baru Bekasi (n=66)
Kejenuhan Kerja (Burnout) N %
Tinggi 36 54,5%
Rendah 30 45,5%
Total 66 100%
Berdasarkan tabel 5 di atas didapatkan responden dengan kejenuhan kerja
(burnout) tinggi sebanyak 54,5% (36 responden), sedangkan kejenuhan kerja
(burnout) rendah sebanyak 45,5% (30 responden).
5. Analisis Hubungan Efikasi Diri (Self Efficacy) dengan Kejenuhan Kerja
(Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi Analisis
hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan kejenuhan kerja (burnout) perawat di
Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 6 di bawah
ini:
Tabel 6 : Analisis Hubungan Efikasi Diri (Self Efficacy) dengan Kejenuhan Kerja
(Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi (n=66)
Variabel N R Pvalue
Efikasi Diri (Self Efficacy) 66 -0,440 0,000
Tabel 6 menjelaskan hasil analisis dari uji spearman rank pada variabel
efikasi diri (self efficacy) dengan nilai P value sebesar 0,00 yang memiliki nilai sig
< 0,05 sehingga disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri
(self efficacy) dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat. Nilai koefisien
korelasi -0,440 menunjukan bahwa korelasi antara efikasi diri (self efficacy) dan
penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat sedang, dan arti tanda negatif
menunjukkan bahwa setiap penambahan efikasi diri (self efficacy) akan
menurunkan kejenuhan kerja (burnout) perawat.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 8 | 231
Hasil penelitian didapatkan hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan
penurunan kejenuhan kerja (burnout) nilai p value sebesar 0,000 (p value < 0,05).
Hal ini berarti ada hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan kejenuhan
kerja (burnout) perawat. Berdasarkan uji statistik di dapatkan nilai mean efikasi
diri (self efficacy) yaitu 36,37. Penelitian ini relevan dengan hasil penelitian
Priyatin bahwa efikasi diri (self efficacy) memiliki signifikansi terhadap kejenuhan
kerja (burnout). 11
Efikasi diri (self efficacy) pertama kali diperkenalkan oleh Albert Bandura,
yaitu salah seorang psikolog yang berpengaruh dalam sejarah ilmu psikologi.
Bandura menggunakan teori pembelajaran sosial (Social learning theory), yang
selanjutkan diberi label atau dicap sebagai teori kognitif sosial (Social cognitive
theory) sebagai dasar untuk menganalisis konstruksi efikasi diri (self efficacy). 12
Premis dasar yang menggaris bawahi teori efikasi diri (self efficacy)
menurut Bandura adalah harapan penguasaan pribadi (Self efficacy) dan kesuksesan
(Expectacy outcomes) yang menentukan seorang individu terlibat dalam perilaku
tertentu. 12
Penelitian ini juga relevan dengan penelitian tentang pengaruh efikasi diri
(self efficacy) terhadap kejenuhan kerja (burnout) dilakukan oleh peneliti
sebelumnya seperti Skaalvik & Skaalvik, Schaufeli & Salanova 13, 14 menunjukkan
bahwa efikasi diri (self efficacy) berpengaruh signifikan positip terhadap kejenuhan
kerja (burnout) dan menganggap kelelahan emosional dan depersonalisasi sebagai
unsur sentral dari kejenuhan kerja (burnout). Sedangkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Maharani 15 menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy)
berpengaruh signifikan negatip terhadap kejenuhan kerja (burnout) atau setidaknya
dapat memperkecil tingkat kejenuhan kerja (burnout) yang dialami. Hasil penelitian
Novita dari hasil analisa data menunjukkan bahwa hubungan antara efikasi diri (self
efficacy) dengan kejenuhan kerja (burnout) menunjukkan hasil semakin tinggi
tingkat efikasi diri (self efficacy) perawat maka semakin rendah kejenuhan kerja
(burnout) nya. Demikian pula, efikasi diri (self efficacy) akan dapat mempengaruhi
usaha dan ketahanan seseorang atau individu dalam menghadapi kesulitan. Individu
dengan efikasi diri (self efficacy) tinggi melihat suatu tugas yang sulit sebagai suatu
tantangan untuk dihadapi. 12
4. KESIMPULAN
Terdapat hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan
kejenuhan kerja (burnout) perawat. Hal ini dikarenakan jika perawat memiliki
efikasi diri (self efficacy) yang tinggi maka perawat dapat mengatasi tekanan-
tekanan dari dalam maupun dari luar di lingkungan pekerjaan mereka dengan bijak
sehingga terhindar dari kejenuhan kerja (burnout).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 9 | 231
5. DAFTAR PUSTAKA
Gillies, DA, 1994. Nursing management, a system approach. Third
Edition.Philadelphia: WB Saunders;
Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2001 Menuju Indonesia sehat 2010. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. 2002:40; 2001.
Harrison, DF. 1998. Role stressors, burnout, mediators and job satisfaction:
Astressstrain-outcome model and anempirical test. SocialWork Research,
22, 100-115.
Rachmawati. 12 Mei 2007. 50,9 Persen Perawat Alami Stres Kerja. [Online].
Diunduh:http://www2.kompas.com/Ver1/kesehatan/143801.html.
Hadi, 31 Mei 2009. 51 Persen Perawat Mengalami Stres. [Online]. Diunduh:
http://www.makassar-community.com/kota/824-51-persen-perawat-
mengalami-stres.html.
Iwan M. Ramdan, Oktavian Nursan Fadly. Agustus 2016. Analisis Faktor yang
Berhubungan dengan Burnout pada Perawat Kesehatan Jiwa Volume 4
Nomor 2.
Galindo RH, KVO, F & Ras, L. 2012. Burnout syndrome among nurses in a general
hospital in the city of Recife. Rev Esc Enferm.
Ribeiro, V F, Filho, C., Valenti, V E, Ferreira M., de Abreu L, de Carvalho T.
Ferreira, C. 2014. Prevalence of burnout syndrome in clinical nurses at a
hospital of excellence. International Archives of Medicine, 7(1), 22.
http://doi.org/10.1186/1755-7682-7-22
Musanif. 28 Mei 2007. Perawat Gemar Main Bentak. [Online]. Diunduh:
http://musriadi.multiply.com/journal/item/25/perawat-gemar-main-bentak;
2007.
Ntb. 28 Juni 2007. Oknum Perawat RSU Mataram, Remehkan Pasien Klas
3.[Online]: Diunduh: http://www.nusatenggaranews.com/old/mod.php.
mod=publisher&op=viewarticle&cid=7&artid=1953; 2007.
Priyatin, S. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 2, No.3, November 2007.
Bandura, A. Self Efficacy: The Exercise Of Control. New York: Freeman and
Company; 1997.
Skaalvik, E. M., & Skaalvik, S.“Teacher self-efficacy and teacher burnout : Astudy
of relations”. Teaching and Teacher Education. Vol. 26. No. 1. Pp. 1059-
1069; 2010.
Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V., & Bakker, A. The
measurement of burnout and engagement: A confirmatory factor analytic
approach. Journal of Happiness Studies , 3 , 71_92; 2002a.
Maharani D. R. "Pengaruh Self Efficacy terhadap Burnout pada Guru di Kota
Bogor". Jurnal Psikologi Universitas Gajahmada. Vol.1, pp.1-10; 2011.
Lailani F., Hastuti R. & Metta P. Talenta Psikologi Vol. Iii, No. 1, Februari 2014
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 10 | 231
Novita D. I. P. dan Dewanti P. D. D. Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy)
dan Stres Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Perawat IGD Dan
ICU RSUD Kota Bekasi, 2012. [Online]. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=94965&val=1228
Lailani. Burnout Pada Perawat Ditinjau dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial.
Talent Psikologi. 2012;1 (1): 66-68
Supriyadi. 2016. Pengaruh Efikasi Diri dan Hubungan Interpersonal Terhadap
Kepuasan Kerja Karyawan. Program Studi Manajemen-Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Fatmawati R. 2012. Burnout Staf Perpustakaan Bagian Layanan di Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta. Depok:
Thesis Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 11 | 231
TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG AKAN DILAKUKAN
KETETERISASI JANTUNG DI RSUP DR KARIADI
SEMARANG
Kristiana Prasetia Handayani 1 Andrew Johan 2, Chandra Bagus Ropyanto 3 1Mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2,3Staf Pengajar Departemen Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
email: [email protected]
Abstrak
Kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang beresiko menimbulkan kecemasan.
Kecemasan pada pasien kateterisasi jantung apabila tidak mendapatkan pengobatan memadai
dapat menyebabkan ketegangan, gelisah, dan membahayakan keberhasilan prosedur berupa
memperpanjang waktu kateterisasi jantung, meningkatkan penggunaan obat penenang, obat nyeri,
dan meningkatkan risiko komplikasi. Tingkat kecemasan pada pasien kateterisasi jantung belum
terdeskripsi dengan baik. Tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan tingkat kecemasan pada pasien
yang akan dilakukan kateterisasi jantung . Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif.
Pengambilan sample menggunakan tehnik simple consecutive sampling, dengan sampel berjumlah
56 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung di salah satu rumah sakit Semarang. Tingkat
kecemasan diukur dengan instrumen hamilton anxiety rating scale (HARS). Data dianalisis secara
distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan mean 29,21 (kecemasan berat), standart deviasi
8,91, nilai minimal 13 dan nilai maksimal 43. Sebagian besar responden mengalami kecemasan
berat. Deteksi dini tingkat kecemasan dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien yang akan
dilakukan kateterisasi jantung, serta mempercepat waktu rawat inap.
Kata Kunci: Tingkat kecemasan, kateterisasi jantung
Referensi: 76 (2000-2016)
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 melaporkan non
comunicable disease (NCDs) sebesar 36 juta atau hampir dua pertiga dari 57 juta
mengalami kematian karena gangguan kardiovaskuler. Sensus nasional tahun 2011
menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit
jantung koroner (PJK) adalah sebesar 26,4 %. 1,2
Tindakan untuk mengatasi PJK yaitu kateterisasi jantung. Kateterisasi
jantung adalah prosedur pencitraan untuk memasukkan kateter ke dalam bilik atau
pembuluh darah jantung. Terapi Kateterisasi dapat juga dilaksanakan untuk
mengembalikan aliran ke pembuluh darah yang terhambat dengan menggunakan
balon, cincin metal (stent) atau pembuluh darah pintas (graft), untuk membuka
katup jantung stenotik (sempit) dan untuk memperbaiki kerusakan bawaan tanpa
harus menjalani operasi jantung yang besar.1,2,4
Data yang diperoleh dari Centers For Disease Control And Prevention
(CDC) pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1 juta orang melakukan kateterisasi
jantung dan ballon angoplasty of coronary artery sebanyak 500.000 orang di
Amerika Serikat. Pada tahun 2006 sebanyak 650 orang yang melakukan kateterisasi
jantung dan meningkat menjadi 1125 orang pada tahun 2007 di Rumah sakit Cipto
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 12 | 231
Mangunkusumo, Jakarta. Data yang didapatkan pada tahun 2011 di Rumah Sakit
Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan kita rata-rata sebanyak 15-20
pasien yang dirawat inap setiap harinya, sekitar 350-400 pasien yang berobat ke
poliklinik dan sebanyak 25-30 pasien per hari yang melakukan kateterisasi jantung.5
Data yang diperoleh dari Instalasi jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Umum
Provinsi Dr. Kariadi Semarang pada bulan September dan Oktober tahun 2011
terdapat 133 tindakan kateterisasi jantung. Data pada bulan Desember 2016 terdapat
70 pasien dilakukan tindakan kateterisasi jantung dan 50 pasien mengalami
kecemasan. Hal ini sudah dilakukan studi pendahuluan oleh peneliti dengan melihat
catatan perawatan pasien, asesmen keperawatan rekam medis rawat inap di bagian
psikologis.
Tindakan kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang bagi
beberapa orang bisa mempunyai dampak. Tindakan ini bisa menimbulkan reaksi
stres baik psikologis maupun secara fisiologis. 2,4
Reaksi psikologis dapat berupa reaksi stres yang ditemukan pada pasien pre
kateterisasi jantung. Berdasarkan Bima pasien pre kateterisasi jantung di RSUP H.
Adam Malik, Medan, 15 % menyatakan secara lisan pasien menyatakan depresi
atau ketakutan, 30% mengalami kesedihan yang mendalam dan 65 % mengalami
kecemasan.4 Data yang diperoleh dari The Official Journal of the British
Association of Critical Care Nurse (2011) didapatkan data 50 pasien mengalami
kecemasan dari 101 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung. Sementara itu,
European Journal of Nursing Cardiovascular (2012) terdapat 45 pasien mengalami
kecemasan saat akan dilakukan keteterisasi jantung.8 Data Unit laboratorium
kateterisasi jantung rumah sakit Baqiyatallah Teheran Iran 2015 terdapat 32 pasien
mengalami kecemasan dari 64 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darsih (2012) yang berjudul efektifitas
psikoedukasi dan guided imaginery terhadap kecemasan pasien pre kateterisasi
jantung Di RSUP RD.Sardjito Yogyakarta menggunakan kuesioner Hamilton
Anxety Rating Scale (HARS) didapatkan 35 pasien dari 45 pasien mengalami cemas
saat akan dilakukan kateterisasi jantung, terdiri dari 8 pasien dengan cemas berat,
17 pasien dengan cemas sedang, dan 10 pasien dengan cemas ringan. 9
Kecemasan pada pasien pre kateterisasi jantung disebabkan karena tidak
adanya teman atau sahabat yang mendampingi, penyampaian prosedur pertama kali,
kurangnya informasi yang memuaskan dan lamanya waktu menunggu. Kecemasan
pada pasien kateterisasi jantung apabila tidak mendapatkan pengobatan memadai
dapat menyebabkan ketegangan, gelisah, dan mungkin membahayakan keberhasilan
prosedur.4,6
Dampak buruk yang ditimbulkan pada pasien yang mengalami kecemasan
pada pasien yang akan operasi kateterisasi jantung dapat memperpanjang waktu
kateterisasi jantung, meningkatkan penggunaan obat penenang dan obat nyeri, dan
meningkatkan risiko komplikasi. Ketika seseorang mengalami kecemasan akan
mempengaruhi peningkatan katekolamin sehingga mempengaruhi saraf simpatik
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 13 | 231
yang dapat memvasokontrikasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan
aktivitas jantung serta perfusi organ vital berkurang sehingga dapat semakin
meningkatkan frekuensi jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Hal tersebut
akan memperburuk kondisi jantung.6,7 Tingkat kecemasan pasien yang terdeteksi
secara dini dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi akibat kateterisasi
jantung, sehingga mempercepat waktu rawat inap.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif, pengambilan sample
menggunakan simple consecutive sampling dengan kriteria inklusi partisipan yaitu
pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung, berusia 40-60 tahun, mampu
berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi yaitu pasien tidak mendapatkan anti
depresan, dan pasien tidak mengalami gangguan pendengaran. Penelitian ini diikuti
56 pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung. Tingkat kecemasan diukur
dengan instrumen hamilton anxiety rating scale (HARS). Langkah pengambilan data yang pertama yaitu peneliti mengajukan ethical
clearence di KEPK FK UNDIP, mengajukan ijin di RSUP Kariadi, setelah ijin
didapatkan, maka peneliti memilih pasien sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
Peneliti meminta inform consent pada pasien, dan jika pasien menyetujui maka
peneliti memberikan kuisioner HARS. Pada pasien yang tidak bisa atau tidak
mampu menulis dan membaca maka peneliti membantu menuliskan data pasien.
Data dianalisis secara deskriptif melalui distribusi frekuensi. Penelitian dilakukan di
salah satu tumah sakit kota Semarang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien yaitu sebagian besar pasien
berjenis kelamin laki-laki (76%) dan sebagian kecil (24%) perempuan. Usia
responden sebagian besar 53-65 tahun (68%) dan sebagian kecil 40-52 tahun (32%).
Sebagian besar pasien berpendidikan dibawah sekolah menengah yaitu 62%,
sedangkan 38% berpendidikan diatas sekolah menengah atas. Dukungan sosial
pasien berupa motivasi keluarga, perawatan kepada pasien, dan perhatian oleh
keluarga pada responden sebagian besar (55%) baik, dan 45% kurang baik.
Hasil penelitian menunjukkan mean 29,21 (kecemasan berat), standart
deviasi 8,91, nilai minimal 13 dan nilai maksimal 43. Sebagian besar responden
mengalami kecemasan berat
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 56 responden yang
dilakukan pengukuran kecemasan pre kateterisasi jantung menggunakan HARS
mengalami kecemasan yang berbeda. Kecemasan yang terjadi disebabkan adanya
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 14 | 231
ketakutan terhadap prosedur kateterisasi, kurangnya dukungan keluarga, kurangnya
informasi kepada pasien, dan rendahnya tingkat pendidikan pasien.
Dampak dari kecemasan kecemasan berat antara lain dapat memperpanjang
waktu kateterisasi jantung, meningkatkan resiko komplikasi, memperburuk kondisi
jantung. Upaya untuk mengatasi masalah kecemasan selain diberikan terapi
komplementer juga dari individu sendiri, berupa koping dari individu tersebut.
Koping individu tersebut pada akhirnya menerima dan pasrah dengan sendirinya.
Kecemasan bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : lama dirawat di
rumah sakit, takut akan dilakukan kateterisasi, baru pertama kali dilakukan
kateterisasi, penyampaian prosedur yang pertama kali, tidak ada teman atau sahabat
yang mendampingi, kurangnya informasi yang memuaskan, dan lamanya waktu
menunggu. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bima yaitu
kecemasan dan kepuasan yang dialami pasien pre kateterisasi jantung. Pada
penelitian Taylor Pilliae menjelaskan bahwa kategori kecemasan tidak hanya
kecemasan berat dan pada pasien pre kateterisasi mengalami kecemasan lebih
tinggi.4,17 Teori kecemasan juga menyatakan hal yang sama tentang penyebab dari
munculnya kecemasan.6 Pada penelitian Ghetty Claire menyatakan bahwa status
afektif seseorang menurun menyebabkan cemas saat menunggu proses pre
kateterisasi. Pada dasarnya pasien pre kateterisasi jantung mengalami kecemasan
baik kecemasan ringan, sedang, berat pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol.
Implikasi dari penelitian ini yaitu diketahuinya tingkat kecemasan pada
pasien kateterisasi jantung sehingga terdapat upaya deteksi dini, pencegahan dan
peningkatan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk pencegahan komplikasi
akibat kecemasan yang dialami pasien.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti belum menghomogenkan
karakteristik responden secara ketat. Seabagai contoh usia responden berada pada
rentang 40-65 tahun dimana responden akan memiliki kematangan berfikir pada
usia lebih tua. Responden laki-laki dan responden wanita akan memiliki tingkat
kecemasan yang berbeda.
4. KESIMPULAN
Sebagian besar responden mengalami kecemasan berat. Deteksi dini tingkat
kecemasan dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien yang akan dilakukan
kateterisasi jantung, serta mempercepat waktu rawat inap.
Saran yaitu perlu dibentuk tim pengendali kecemasan pasien yang bertugas
untuk mendeteksi tingkat kecemasan pasien, serta tim tersebut memiliki keahlian
khusus untuk mengatasi kecemasan seperti bersertifikasi mindfullness, hipnoterapi,
terapi musik dan terapi komplementer lainnya.
Rekomendasi yaitu perlu di buat instrumen pengukur kecemasan yang
mudah digunakan dengan indikator baik berupa kajian fisik dan psikologis sehingga
lebih valid dan reliable.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 15 | 231
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis kepada tim publikasi dan tim klinik tesis
beserta dosen jurusan keperwatan Universitas Diponegoro yang telah memotivasi
dan memberikan arahan solutif untuk kami. Ucapan teriamaksih kepada perawat di
rumah sakit umum pusat Dr Kariadi, serta pihak yang turut membantu kelancaran
penelitian ini.
5. DAFTAR PUSTAKA
Lilly LS, Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 2014.
Douglas L. Mann, Zipes DP, Libby P, et al. Cardiac Catheterization. In:
Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine.
Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 2014, pp. 383–404.
Aaronson PI, Ward JPT, Connolly MJ. The Cardiovascular System at a Glance. 4th
ed. Malden: Wiley-Blackwell, 2012.
Bima I. Tingkat Kepuasan Pasien dilakukan Tindakan Kateterisasi Jantung RSUP
H. Adam Malik Medan. Humas RSUP H. Adam Malik.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta, 2013.
Andri, P. YD. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai
Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Maj Kedokt Indones 2007; 57:
233–238.
Safaria T, Nofrans SE. Manajemen Emosi : Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana
Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009.
Weeks BP, Nilsson U. Music interventions in patients during coronary angiographic
procedures: A randomized controlled study of the effect on patients’ anxiety
and well-being. Eur J Cardiovasc Nurs 2011; 10: 88–93.
Darsih. Efektifitas Psikoedukasi dan Guided Imagery terhadap kecemasan pasien
PRE Kateterisasi Jantung Di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Muhamadyah
Yogyakarta, 2013.
Gemilang J. Buku Pintar Manajemen Stres & Emosi. Yogyakarta: Mantra Books,
2014.
Asrin, Mulidah S, Triyanto E. Upaya Pengendalian Respon Emosional Paseien
Hipertensi dengan Terapi Musik Dominan Frekuensi Sedang. J
Keperawatan Soedirman (The Soedirman J Nursing) 2009; 4: 17–23.
Karanci AN, Dirik G. Predictors of pre- and postoperative anxiety in emergency
surgery patients. 2003; 55: 363–369.
Supriadi D, Hutabarat E, Vera M. Pengaruh terapi musik tradisional kecapi suling
sunda terhadap tekanan darah pada lansia dengan hipertensi. Sk
Keperawatan 2015; 1: 29–36.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 16 | 231
Syaifuddin. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika, 2011.
Djohan. Terapi Musik : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galang Press Group, 2009.
Yustiana. Pengaruh Terapi Musik Jawa Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia
Dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Kusumasari Blimbingsari
Yogyakarta. Gadjah Mada, 2009.
Lestari R, Setyohadi, Kumboyono, et al. Pengaruh Musik Tradisional Jawa
Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Lanjut Usia. J Ilmu Keperawatan
2009; 4: 141–145.
Lee KC, Chao YH, Yiin JJ, et al. Effectiveness of different music-playing devices
for reducing preoperative anxiety: A clinical control study. Int J Nurs Stud
2011; 48: 1180–1187.
Taylor-Piliae RE. The effect of nursing intervention utilizing music therapy or
sensory information on Chinese patients anxiety prior to cardiac
catheterization. Eur J Cardiovasc Nurs 2002; 1: 203–211.
Zengin S, Kabul S, Al B, et al. Effects of music therapy on pain and anxiety in
patients undergoing port catheter placement procedure. Complement Ther
Med 2013; 21: 689–696.
Ghetti CM. Effect of music therapy with emotional-approach coping on
preprocedural anxiety in cardiac catheterization: A randomized controlled
trial. J Musik Ther 2013; 50: 93–122.
Bauer B a, Cutshall S a, Anderson PG, et al. Effect of the combination of music and
nature sounds on pain and anxiety in cardiac surgical patients: a randomized
study. Altern Ther Heal Med 2011; 17: 16–23.
Hati FNAN. Pengaruh Musik Klasik dan Musik Jawa Terhadap Fungsi Kognitif
Pada Penderita Stroke Iskemik Akut. Gadjah Mada, 2010.
Price SA. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. 2nd ed. Jakarta:
EGC, 1984.
Carpenitto LJ. Diagnosis Keperawatan. 6th ed. Jakarta: EGC, 2000.
Heather T. Herdman SK. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 –
2017. 10th ed. Jakarta: EGC, 2014.
Pritchard MJ. Managing anxiety in the elective surgical patient. Br J Nurs 2009; 18:
416–420.
Suherman A. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Ahmad Yani, 2009.
Hamel WJ. The effects of music intervention on anxiety in the patient waiting for
cardiac catheterization. Intensive Crit Care Nurs 2001; 17: 279–85.
Donzuso G, Cerasa A, Gioia MC, et al. The neuroanatomical correlates of anxiety
in a healthy population: Differences between the state-trait anxiety inventory
and the Hamilton anxiety rating scale. Brain Behav 2014; 4: 504–514.
Butcher HK, Bulechek GM, Dochterman JMMC, et al. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th ed. St. Louis Missouri: Elsevier Health Sciences,
2013.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 17 | 231
Aitken LM, Marshall AP, Elliott R, et al. Critical care nurses’ decision making:
Sedation assessment and management in intensive care. J Clin Nurs 2009;
18: 36–45.
Aung SKH, Lee MHM. Music, Sounds, Medicine, and Meditation: An Integrative
Approach to the Healing Arts. Altern Complement Ther 2004; 10: 266–270.
Anonymous. Music Therapy and Music-Based Interventions in the Treatment and
Management of Pain: Selected References and Key Findings. 2001; 22: 1–4.
Suryana D. Terapi Musik. Jakarta: Createspace, 2012.
Talwar N, Crawford MJ, Maratos A, et al. Music therapy for in-patients with
schizophrenia : Exploratory randomised controlled trial. Br J Psychiatry
2012; 189: 405–409.
Haque A. Psychology from Islamic perspective: Contributions of early Muslim
scholars and challenges to contemporary Muslim psychologists. J Relig
Health 2004; 43: 357–377.
Murrock CJ, Higgins PA. The theory of music, mood and movement to improve
health outcomes: Discussion paper. J Adv Nurs 2009; 65: 2249–2257.
Gallagher LM. The role of music therapy in palliative medicine and supportive care.
Semin Oncol 2011; 38: 403–406.
Bauer-Wu SM. Psychoneuroimmunology. Part II: Mind-body interventions. Clin J
Oncol Nurs 2002; 6: 243–246.
Hart J. Music Therapy for Children and Adults with Cancer. Altern Complement
Ther 2009; 15: 221–225.
Cooke M, Chaboyer W, Hiratos MA. Music and its effect on anxiety in short
waiting periods: A critical appraisal. J Clin Nurs 2005; 14: 145–155.
Evans D. Music as an Intervention in Hospitals. Manag Heal; 2009; 11.
Staum MJ, Brotons M. The Effect of Music Volume on the Relaxation Response.
Journal of Music Therapy 2000; 37: 22–39.
Practice B, Sheet I. The Joanna Briggs Institute Best Practice Information Sheet:
Music as an intervention in hospitals. Nurs Heal Sci 2011; 13: 99–102.
Comeaux T, Steele-Moses S. The effect of complementary music therapy on the
patient’s postoperative state anxiety, pain control, and environmental noise
satisfaction. Medsurg Nurs 2013; 22: 313.
Lindau B. Symposium report: Music & amp; Science: Practice &
Convergence—An Organic Symposium. Psychomusikology Music Mind,
Brain 2013; 23: 123–126.
Ebneshahidi A, Mohseni M. The Effect of Patient-Selected Music on Early
Postoperative Pain, Anxiety, and Hemodynamic Profile in Cesarean Section
Surgery. J Altern Complement Med 2008; 14: 827–831.
Nilsson U, Unosson M, Rawal N. Stress reduction and analgesia in patients exposed
to calming music postoperatively: a randomized controlled trial. Eur J
Anaesthesiol 2005; 22: 96–102.
Twiss E, Seaver J, McCaffrey R. The effect of music listening on older adults
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 18 | 231
undergoing cardiovascular surgery. Nurs Crit Care 2006; 11: 224–231.
Wilson L, Kolcaba K. Practical application of comfort theory in the perianesthesia
setting. J Perianesthesia Nurs 2004; 19: 164–173.
Alligood MR. Nursing theorists and their work. 8th ed. Nort Carolina: Elsevier
Health Sciences, 2014.
Arikunto S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. 6th ed. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006.
Hidayat AAA. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. 2nd ed. Jakarta:
Salemba Medika, 2007.
Evans D. The effectiveness of music as an intervention for hospital patients: A
systematic review. J Adv Nurs 2002; 37: 8–18.
Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. 3rd ed. Jakarta:
CV. Sagung Seto, 2008.
Dahlan MS. Statistik Untuk Kedokteran. 5th ed. Jakarta: Salemba Medika, 2011.
Castillo MI, Aitken LM, Cooke ML. Study protocol: Intensive care anxiety and
emotional recovery (Icare) - A prospective study. Aust Crit Care 2013; 26:
142–147.
Frazier SK, Moser DK, Riegel B, et al. Critical care nurses’ assesment of patients’
anxiety: Reliance on physiological and behavioral parameters. Am J Crit
Care 2002; 11: 57–64.
Ottaviani S, Jean-Luc B, Thomas B, et al. Effect of music on anxiety and pain
during joint lavage for knee osteoarthritis. Clin Rheumatol 2012; 31: 531–
534.
Suhartini. Effectiveness of Music Therapy Toward Reducing Patient ’ S Anxiety in
Intensive Care Unit. Media Ners 2008; 2: 31–36.
Green CW, Setyowati H. Terapi Alternatif. Jakarta: Yayasan Spiritia, 2005.
Setyawan D, Susilaningsih FS, Emaliyawati E. Intervensi Terapi Musik Relaksasi
dan Suara Alam (Nature Sound) Terhadap Tingkat Nyeri dan Kecemasan. J
Keperawatan dan Kebidanan 2013; 1: 448–462.
Chlan LL. Relationship between two anxiety instruments in patients receiving
mechanical ventilatory support. J Adv Nurs 2004; 48: 493–499.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 19 | 231
HUBUNGAN SIKAP, NORMA SUBYEKTIF DENGAN
KEIKUTSERTAAN PUS DALAM DETEKSI DINI KANKER
SERVIKS DI PUSKESMAS SINGOSARI MALANG.
Tutik Herawati 1 Joko Wiyono 2, GM Sindarti 3 1, 2, 3
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang
Jl. Besar Ijen 77 Malang
email: [email protected]
Abstrak
Tingginya kasus kanker servik menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita
kanker serviks terbanyak di dunia. Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang mempunyai
jumla kasus kanker serviks yang cukup tinggi, sebanyak 11,25% dan kota Malang merupakan
penyumbang terbesar jumlah kasus kanker servik (Yeni S:2013). Penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan pasangan usia subur dalam
deteksi dini kanker servik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi dengan
pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah PUS yang berkunjung di
Puskesmas Singosari, pengambilan sampel dilakukan dengan metode pursosive sampling. Uji
statistik menggunakan Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17.
Hasil penelitian menunjukan sikap yang mendukung deteksi dini kanker serviks sebanyak
92%.Norma subyektif positip dalam deteksi dini kanker serviks sebanyak 69,5%. Keikutsertaan PUS
dalam deteksi dini kanker serviks sebanyak 78%. Hasil uji statistik menggunakan rumus non
parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat signifikasi
0,05. Untuk sikap dengan deteksi dini kanker serviks menunjukan terlihat nilai Koefisien korelasi
rho’ adalah 0,279 menunjukkan arah korelasi yang positif artinya sikap semakin meningkat maka
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05),
yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang. Untuk norma
subyektif dengan deteksi dini kanker serviks menunjukan terlihat nilai Koefisien korelasi rho’ adalah
0,305 menunjukkan arah korelasi yang positif artinya norma subyektif semakin meningkat maka
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,019 (p <
0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara norma subyektif
dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang.
Rekomendasi penelitian ini : Perencanaan program khususnya untuk meningkatkan keikutsertaan
deteksi dini kanker serviks perlu melibatkan keluarga dan teman sebagai pemberi dukungan sosial
pertama pada ibu yang bisa dilakukan berupa memberikan informasi dan merupakan komponen
yang banyak memberi pengaruh terhadap norma subyektif dalam deteksi dini kanker serviks.
Kata Kunci : Sikap, Norma Subyektif, Pus, Deteksi Dini, Kanker Servik
1. PENDAHULUAN
Tingginya kasus kanker servik di Indonesia membuat WHO menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks terbanyak di
dunia. Di tingkat propinsi, Jawa Timur penderita kanker servik meningkat dari
tahun ke tahun dan menduduki urutan kedua setelah kanker payudara, dalam dua
terakhir dari 800 menjadi 1000 penderita. Jawa Timur merupakan salah satu
propinsi yang mempunyai jumla kasus kanker serviks yang cukup tinggi, sebanyak
11,25% dan kota Malang merupakan penyumbang terbesar jumlah kasus kanker
servik ( Yeni S, 2013 ). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kanker
servik diantaranya kawin muda, pendidikan, pekerjaan dan tingginya sering
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 20 | 231
melahirkan ( FKUI Jakarta,2000 dalam kumpulan KTI Kebidanan, 2011). Ketua
Yayasan Kanker Indonesia Ny. Umar Wira hadi Kusuma mengatakan, deteksi
kanker sesgera mungkin merupakan solusi terbaik untuk mencegah penyakit kanker
menjalar dan meluas dalam tubuh. Banyak metode yang bisa digunakan untuk
deteksi dini kanker servik yaitu Metode Pap Smear. Metode ini merupakan salah
satu tindakan awal untuk mencegah servik. Selain itu dapat dilakukan dengan cara
Pap Net, Thin prep dan IV ( Inspeksi Visiual Asam Asetat ) yaitu pemeriksaan
dengan asam asetat 4%. Di Indonesia factor keterlambatan diagnosis karena
mahalnya obat dan biaya perawatan merupakan kendala utama penanganan
penyakit kanker (Kusumaningsih, 2009). Meskipun jumlah penderitanya tinggi
namun kesadaran untuk melakukan upaya pemeriksaan sebagai deteksi dini masih
rendah. Untuk mengetahui factor penyebabnya akan di telaah dengan teori intense
sebagaimana telah dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Teori intense
mengungkapkan bahwa prilaku individu termasuk dalam kaitan ini adalah
fenomena kesadaran individu wanita untuk melakukan pemeriksaan /deteksi dini
kanker servik.
2. METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan
PUS dalam pemeriksaan deteksi dini kanker servik. Desain penelitian yg digunakan
adalah korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini
adalah PUS yang berkunjung di Puskesmas Singosari, pengambilan sampel
dilakukan dengan metode pursosive sampling dengan jumlah 59 responden. Uji
statistik menggunakan Spearman Rho’ dgn bantuan program SPSS for windows 17
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden berdasarkan usia
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia PUS di
Puskesmas Singosari Malang.
No Usia (tahun) Frekuensi Prosentase
1 < 30 tahun 21 35,6%
2 30 – 40 tahun 28 47,5%
3 > 40 tahun 11 16,9%
Jumlah 59 100
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di
Puskesmas Singosari Malang.
No Pendidikan Frekuensi Prosentase
1 SD 5 8,5%
2 SMP 14 24%
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 21 | 231
3 SMA 33 56%
4 PT 7 11,5%
Jumlah 59 100 %
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa responden dengan pendidikan
SMA sebanyak 33 orang (56 %).
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di
Puskesmas Singosari Malang.
No Pekerjaan Frekuensi Prosentase
1 IRT 26 44%
2 Karyawan 25 42%
3 PNS 5 14%
Jumlah 59 100 %
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui responden yang sebagai ibu rumah
tangga sebanyak 26 orang (44%).
Karakteristik responden berdasarkan cara mendapatkan informasi
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan cara mendapatkan
informasi PUS di Puskesmas Singosari Malang.
No Cara mendapatkan informasi Frekuensi Prosentase
1 Keluarga/teman 30 50,8%
2 Media cetak/elektronik 13 22%
3 Petugas 16 27,2%
Jumlah 59 100%
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui cara responden mendapatkan
informasi tentang kesehatan sebanyak 30 orang (50,8%) melalui
keluarga/teman dan sebanyak 16 (27,2%) melalui petugas kesehatan.
Karakteristik responden berdasarkan orang yang paling mempengaruhi niat
melakukan deteksi dini kanker serviks
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan orang yang paling
mempengaruhi niat melakukan deteksi dini kanker serviks.
No Orang yang paling mempengaruhi keikut sertaan
deteksi Frekuensi Prosentase
1 Keluarga 46 78%
2 Petugas 9 15,3%
3 Teman 4 6,7%
Jumlah 59 100%
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui keluarga sebagai orang yang paling
mempengaruhi niat melakukan deteksi dini kanker serviks sebanyak 46
orang (78%).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 22 | 231
4.1.1 Data Khusus
Data khusus merupakan data yang berhubungan langsung dengan variabel
yang diteliti, antara lain sikap, norma subyektif dan keikutsertaan pasangan usia
subur (PUS) dalam pemeriksaan deteksi dini kanker servik di Puskesmas Singosari
Malang.
Distribusi frekuensi sikap, norma subyektif PUS dalam pencegahan dan
deteksi dini kanker serviks
Distribusi frekuensi sikap PUS dalam pencegahan dan deteksi dini
kanker serviks
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap PUS dalam
pencegahan dan keikutsertaan dalam deteksi dini kanker serviks di
Puskesmas Singosari Malang
No Sikap Frekuensi (%)
1 Mendukung 54 92%
2 Tidak mendukung 5 8%
Jumlah 59 100%
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa sikap responden yang mendukung
dalam pencegahan dan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak
55 orang (93%)
Distribusi frekuensi norma subyektif PUS dalam pencegahan dan
deteksi dini kanker serviks
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Norma subyektif PUS
dalam pencegahan dan keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker
serviks di Puskesmas Singosari Malang
No Norma subyektif Frekuensi (%)
1 Positip 49 69,5%
2 Negatif 10 30.5%
Jumlah 59 100%
Dari tabel 4.7 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai norma
subyektif positip dalam pencegahan dan deteksi dini kanker serviks
sebanyak 41 orang (69,5%)
Distribusi frekuensi keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker
serviks
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 23 | 231
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Keikutsertaan PUS
dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang
No Keikutsertaan PUS dlm deteksi dini kanker serviks Frekuensi (%)
1 Pernah 46 78%
2 Tidak pernah 13 22%
Jumlah 59 100%
Dari tabel 4.8 dapat diketahui frekuensi PUS yang pernah melakukan
pemeriksaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 46 orang (78%)
2. Analisa Hubungan Sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan PUS
dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang
a. Sikap dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks
Tabel 4.9 Hasil Analisa Uji Statistik sikap dengan keikutsertaan deteksi dini
statistik PUS di Puskesmas Singosari Malang
Variabel R Ρv Keputusan
• Sikap
• Keikutsertaan deteksi dini
kanker serviks
0,279
0,033 Ρv < α(0,05)
Ho ditolak
Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan hasil dari pengolahan data menggunakan
rumus non parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for
windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05. Hal ini dapat terlihat nilai
Koefisien korelasi rho’ adalah 0,279 menunjukkan arah korelasi yang positif
artinya sikap semakin meningkat maka keikutsertaan deteksi dini kanker
serviks semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05), yang berarti
menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari
Malang.
b. Norma subyektif dengan keikutsertaan kanker serviks
Tabel 4.10 Hasil Analisa Uji Statistik norma subyektif dengan keikutsertaan
deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang.
variabel R Ρv Keputusan
• Norma subyektif
• Keikutsertaan deteksi dini
kanker serviks
0,305
0,019 Ρv < α(0,05)
Ho ditolak
Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan hasil dari pengolahan data menggunakan
rumus non parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 24 | 231
windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05. Hal ini dapat terlihat nilai
Koefisien korelasi rho’ adalah 0,305 menunjukkan arah korelasi yang positif
artinya norma subyektif semakin meningkat maka keikutsertaan deteksi dini
kanker serviks PUS semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,019 (p < 0,05),
yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara
norma subyektif dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di
Puskesmas Singosari Malang.
4. Pembahasan
a. Sikap, norma subyektif
Setelah dilakukan penelitian terhadap 59 responden didapatkan sebanyak 92
% memberikan dukungan terhadap keikutsertaan dalam pencegahan dan
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks. Menurut Azwar (2007) Fenomena sikap
yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi
juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di
saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Tingginya
sikap mendukung yaitu 92 % dimungkinkan disebabkan pendidikan yang tinggi
karena semakin tinggi pendidikan maka akan meningkatkan pula wawasan.
Peningkatan wawasan ini menumbuhkan harapan-harapan untuk masa yang akan
datang. Wawasan yang luas mengakibatkan pandangan ke depan semakin jauh dan
luas serta terencana dengan baik.
Usia juga mempengaruhi hasil dari sikap mendukung yang tinggi. Usia 30
sampai 40 tahun memungkinkan orang sudah mempunyai pergaulan dan jaringan
yang luas sehingga akan berdampak pada pengetahuan tentang kanker servik
menjadi lebih mendalam. Pengetahuan tentang kanker serviks yang tinggi ini akan
mengakibatkan seseorang akan berusaha untuk mengantisipasinya.
Mudahnya memperoleh informasi baik melalui teman, media cetak atau
elektronik serta jangkauan serta kemudahan petugas bertemu dengan masyarakat
juga mempengaruhi kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan kanker
serviks yang melandasi terbangunnya sikap mendukung pencegahan kanker serviks.
Hal ini dapat ditunjukan semua responden mempunyai cara memperoleh informasi
yang berbeda-beda tetapi semua dapat terfasilitasi dengan baik. Kemudahan
mobilisasi masyarakat dan kebutuhan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mengharuskan untuk keluar dari rumah dan berjumpa satu dengan yang lain
sehingga pertukaran informasi yang berdampak pada wawasan dalam pencegahan
kankser serviks menjadi meningkat.
Norma subyektif dalam keikutsertaan pencegahan dan deteksi dini kanker
serviks didapatkan sebanyak 69,5 % mempunyai norma subyektif positip. Fishbein
dan Ajzen (1975) menerangkan norma subyektif merupakan persepsi individu
berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya
mengaharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku
tertentu, orang – orang yang penting bagi dirinya itu kemudian dijadikan acuan atau
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 25 | 231
patokan untuk mengarahkan tingkah laku. Norma Subyektif masih terkait dengan
beliefs (keyakinan-keyakinan). Belief dalam norma subyektif merupakan
representasi persepsi dari significant others (tokoh panutan) baik perorangan
maupun berkelompok yang kemudian mempengaruhi individu apakah akan
menampilkan perilaku atau tidak. Pendapat lain norma subyektif menurut Eagly dan
Chaiken (1993) ditentukan oleh dua hal yaitu : pertama normative beliefe,
merupakan keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain
baik perorangan maupun kelompok yang penting dan berpengaruh bagi individu
yang biasa disebut dengan significant others (tokoh panutan) yang menjadi acuan
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Maka individu termotivasi
untuk melakukan tingkah laku tersebut. Kedua motivation to comply, yaitu seberapa
jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut. Tingginya
norma subyektif dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : Usia dan keluarga. Usia
pertengahan merupakan usia pencarian dan pemantapan dalam siklus kehidupan
manusia. Pada periode usia ini berusahan mencari tokoh panutan yang dapat
dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan tertentu, hal ini ditunjukan hasil
penelitian usia antara 30 sampai 40 tahun sebanyak 47,5%.
Keluarga dalam budaya Indonesia masih menjunjung tinggi adat ketimuran
yaitu menghormati orang-orang yang lebih tua dan mempunyai sifat gotong royong
yang tinggi serta mempunyai ikatan yang tinggi bahkan seringkali anggota keluarga
tinggal bersama keluarga sepanjang hidupnya sampai akhir hayatnya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang ditunjukan dengan keluarga menjadi factor yang paling
mempengaruhi keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 78 %.
b. Keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks
Menurut hasil penelitian tingkat keikutsertaan PUS dalam deteksi dini
kanker serviks sebanyak 78 % pernah melakukan pemeriksaan kanker serviks.
Teori Lawrence Green menggambarkan perilaku sesorang atau masyrakat
tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan
sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu,
ketersediaan fasilitas, sikap, yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan
fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan
mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Tingginya tingkat keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks
dipengaruhi oleh pendidikan yaitu sebanyak 56 % mempunyai pendidikan SMA,
kemudahan dalam memperoleh informasi yang meningkatkan pengetahuan yaitu
keluarga/teman sebanyak 50,8%, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas
kesehatan dimana setiap pelayanan kesehatan sudah mampu melakukan deteksi dini
kanker serviks dan dorongan dari orang-orang yang menjadi panutan yang
ditunjukan hasil penelitian keluarga merupakan faktor yang paling mempengaruhi
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 78%.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 26 | 231
c. Hubungan Sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam deteksi
dini kanker serviks
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hubungan sikap dengan keikutsertaan
PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan uji statistik non parametric
Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat
signifikasi 0,05, menunjukan bahwa nilai Koefisien korelasi rho’ adalah 0,279 yang
berarti menunjukkan arah korelasi yang positif, yaitu sikap semakin meningkat
maka keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks semakin baik.
Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan keikutsertaan PUS dalam deteksi
dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang.
Sedangkan hubungan norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam
deteksi dini kanker serviks dengan uji statistik non parametric Spearman Rho’
dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05,
menunjukan bahwa nilai Koefisien korelasi rho’ adalah 0,305 yang berarti
menunjukkan arah korelasi yang positif, yaitu norma subyektif semakin meningkat
maka keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks semakin baik.
Sedangkan nilai p-value 0,019 (p < 0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam
deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang.
Sikap mempunyai hubungan dengan keikutsertaan deteksi dini kanker
serviks sesuai dengan pendapat Fishben & Ajzen bahwa sikap sebagai predisposisi
yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek
tertentu. Pendapat lain disampaikan Sherif & Sherif yaitu sikap menentukan
keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus
manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang
memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap yang mendukung
terhadap pencegahan kanker serviks akan berdampak pada peningkatan
keikutsertaan dalam deteksi dini kanker serviks sebagai salah satu tindakan
pencegahan kanker serviks.
Menurut Fishbein & Ajzen (1975) terlahirnya sikap merupakan hasil dari
pemikiran tentang konsekwensi berperilaku dengan dua komponen pembentuk
sikap yang pertama yaitu behavioral belief (keyakinan individu untuk melakukan
sesuatu, dalam penelitian ini behevioral belief yang dimaksud adalah keyakinan
untuk melakukan pencegahan kanker serviks dengan melakukan deteksi dini kanker
serviks) dan evaluation of behavioral belief (evaluasi perilaku apakah positif atau
negatif berdasarkan keyakinan yang dimilikinya, dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan evaluation of behavioral belief adalah nilai positif terhadap
keikutsertaan deteksi dini kanker serviks atau nilai negatif terhadap keikutsertaan
deteksi dini kanker serviks sebagai pertimbangan sebaiknya dimunculkan atau tidak
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 27 | 231
dimunculkan dalam bentuk perilaku). Sedangkan norma subyektif dipengaruhi oleh
tokoh panutan (significant other) sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan
atau tidak keikutsertaan deteksi dini kanker serviks tersebut.
5. DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek., 1988. Attitudes, Personality & Behaviour. Open University Press :
Buckingham.
Azjen, Icek & Fishbein, M.,1975. Understanding Attitudes and Predicting Social
Behavior. Eng-lewood Cliffs. Prentice-Hall.
Ajzen, Icek.,1988. Attitudes, Personality and Behavior. Milton Keynes: OUP.
Ajzen, Icek. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and
Human Decision Processes. Englewood Cliffs.Prentice- Hall.
Ajzen, Icek 2006. Changing the behavior of people. Explanation of Theory of
Planned Behavior. Journal 12 Manage The Executive Fast Track.
www.12manage.com.
Baron, Robert A & Byrne, Donn. 2001. Social Psychology. A Pearson Education
Company .Massachusetts.
Gochman, David S, 1997.Handbook of Health Behavior Research: Personal and
Social Determinants.Plenum Press .New York and London.
Moedjiono, Atika Walujani, 2010.”Perlu Kemauan Politik untuk Atasi Epidemi”
Dalam Harian KOMPAS. 15 Januari 2010. Hal. 45.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta. Jakarta
Rakhmat, Jalaludddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi contoh
analisis statistik.Remaja Rosdakarya. Bandung
Susanti, Ni Nengah 2002 Analisis keterlambatan pasien kanker serviks dalam
memeriksakan diridi rumah sakit umum pusat nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Thesis. Dalam http:// digilib.ui.ac.id
/opac/themes/libri2/ (26 September 2011) Tinggi, Penderita Kanker Leher
Rahim di Banyumas,Radar Banyumas 17/02/2009
Taufiqurahman, M A. ,2009. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu
Kesehatan. UNS Press.Surakarta.
Yamane, Taro, 1967. Elementary Sampling Theory. Englewood Cliffs. Prentice
Hall.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 28 | 231
EFEKTIFITAS PENYULUHAN KESEHATAN GIGI BERBASIS
MULTIMEDIA TERHADAP PENGETAHUAN SISWA KELAS
VI DI SD NEGERI 01 ABELI KELURAHAN TOBIMEITA
KECAMATAN ABELI
Sahmad1, Reni Devianti Usman 2, Endang Sastrawati3
1Dosen Pengajar Poltekkes Kendari, 2Dosen Pengajar Poltekkes Kendari, 3Stikes Karya
Kesehatan Kendari
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia
terhadap pengetahuan siswa kelas VI SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita Kota Kendari tahun
2016. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi Eksperiment.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VI yang tercatat bersekolah di Sekolah
Dasar Negeri 01 Abeli yaitu sebanyak 33 siswa dan cara pengambilan sampel menggunakan total
sampling yaitu seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh menggunakan kuesioner dan uji
menggunakan uji wilcoxson.
Hasil uji Wilcoxson diperoleh ada pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia
terhadap pengetahuan siswa mengenai cara menyikat gigi dengan nilai (α=0,05) dan nilai p=0,001
dimana nilai p 0,001<α=0,05, untuk makanan yang menyebabkan karies gigi memiliki nilai
(α=0,05) dan nilai p=0.001 dimana nilai p0,001<α=0,05, untuk cara pencegahan karies gigi
memiliki nilai (α=0,05) dan nilai p-value 0,001 dimana p0,001<p0,05 dan untuk pengaruh
penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap pengetahuan siswa memiliki nilai (α=0,05)
dan nilai p=0,001 dimana nilai p0,001<0,05. Disarankan bagi pihak sekolah agar membentuk
UKGS untuk melaksanakan berbagai upaya untuk peningkatan kesehatan gigi, bagi siswa agar rajin
menyikat gigi pada pagi dan malam hari sebelum tidur sehingga terhindar dari penyakit akibat
kerusakan gigi.
Kata kunci: Penyuluhan, Multimedia(video), pengetahuan,Gigi.
1. PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan manusia
seutuhnya, dengan demikian upaya-upaya dalam bidang kesehatan gigi dan mulut
pada akhirnya akan turut berperan dalam peningkatan kualitas dan produktivitas
sumber daya manusia (Fitria,2012).
Masalah kesehatan gigi menjadi perhatian yang penting dalam
pembangunan kesehatan, yang salah satunya disebabkan oleh rentangnya kelompok
anak usia sekolah dari gangguan kesehatan gigi (Machfoedz,2010).
Menurut World Health Organitation (WHO), pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut adalah suatu upaya meningkatkan kesehatan karena dapat mencegah
terjadinyan penyakit-penyakit rongga mulut (WHO, 2013).
Secara nasional di indonesia sendiri, angka penyakit gigi terutama karies
gigi masih banyak diderita, baik oleh anak-anak maupun dewasa. Data kemetrian
kesehatan 2010 menunjukan, bahwa orefelensi karies gigi di indonesia mencapai
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 29 | 231
60% dari populasi, serta menempati peringkat ke-6 sebagai penyakit yang paling
banyak diderita (Kemenkes, 2011). Kemudian pada tahun 2011 terdapat 62%
anak-anak mengalami karies gigi, dan pada tahun 2012 sebanyak 65% dan
semakin meningkat pada tahun 2013 mencapai 67,8% dari populasi (Kemenkes,
2013).
Prevelensi penyakit gigi untuk tingkat Nasional pada tahun 2012 adalah
sebanyak 23,2% , pada tahun 2013 meningkat menjadi 25,9%. Sedangkan untuk
perilaku benar dalam menyikat gigi ditemukan sebagian besar penduduk indonesia
menyikat gigi dengan baik dan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur
malam sebanyak 2,3%, dan untuk perilaku menyikat gigi tidak baik dan benar
ditemukan sebanyak76,6% (Riskesdas, 2013).
Prevelensi penduduk yang bermasalah tentang kesehatan gigi pada Propinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 sebanyak 21,82%, kemudian meningkat
pada tahun 2012 sebanyak 33,8% dan pada tahun 2013 menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) adalah 42,1%, yang mendapat perawatan adalah 17,2%. Secara
umum, lebih seperempat penduduk di Sulawesi tenggara mempunyai masalah gigi
dan hanya seperlimanya yang menerima perawatan gigi. (Riskesdas Provinsi
Sultra, 2013). Propinsi Sulawesi tenggara juga memiliki angka karies gigi yang
besar yakni mencapai 80%, yaitu dari 145 anak terdapat 116 orang yang
mengalami karies. Hasil survei tahun 2013 oleh Dinas Kesehatan Propinsi
Sulawesi Tenggara tentang kebersihan gigi siswa sekolah dasar menunjukan
bahwa tingkat OHI-S (Oral Hygiene Index-Simplified) 1.5-2.5 (sedang). Hal ini
didukungan oleh rendahnya tingkat pengetahuan anak terhadap kesehatan gigi,
dan kegiatan UKGS (Usaha Kesehatan gigi sekolah), (Dinkes propinsi sulawesi
tenggara, 2013). Demikian pula data survei dasar karies gigi (SDKG) oleh tim
peneliti sub dinas bina program dinas kesehatan kota kendari pada siswa sekolah
dasar umur 12 tahun di kota kendari tahun 2013 diketahui bahwa prevelensi karies
pada murid sekolah dasar umur 12 tahun di kota kendari adalah sebesar 93,33%.
Pada anak laki-laki sebesar 91,97%, dan anak perempuan sebesar 94,48% .
Menurut Dinas Kota Kendari angka kejadian karies gigi dan pada tahun 2009
sebanyak 4,710 kasus (2,41%), pada tahun 2010 sebanyak 4,557 kasus (1,74%),
pada tahun 2011 sebanyak 3,152 kasus (1,5%), pada tahun 2012 meningkat
kembali sebanyak 3,337 kasus (1,70%), dan pada tahun 2013 meningkat menjadi
3,821 (1,75%) (Dinkes Kota Kendari, 2013).
Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli terletak di Kelurahan Tobimeita Kecamatan
Abeli. Pada saat dilakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SD 01 Abeli
bahwa penyuluhan tentang kesehatan gigi dengan menggunakan Multimedia (video)
belum pernah dilakukan oleh pihak Puskesmas, tetapi informasi tentang kesehatan
gigi dan mulut didapatkan langsung oleh pihak Puskesmas yang sering berkunjung
di Sekolah Dasar 01 Abeli dengan melakukan penyuluhan. Studi pendahuluan yang
dilakukan melalui observasi dan wawancara pada tanggal 06 Januari 2016 di
Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli diperoleh data bahwa kelas VI berjumlah 33 siswa,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 30 | 231
dan didapatkan 17 siswa memiliki gigi berlubang dan 16 siswa tidak mengetahui
cara menyikat gigi yang baik dan benar.
2. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi
Eksperimental tanpa adanya kelompok kontrol.
Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita
Kecamatan Abeli , mulai tanggal 13 s/d 20 April 2016.
Populasi, Sampel dan Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang tercatat bersekolah
di Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas
VI di SD Negeri 01 Abeli yang berjumlah 33 siswa. Dalam penelitian ini cara
pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu seluruh populasi dijadikan
sampel.
Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
dengan melakukan pretest, dan posttest, siswa diberikan pretest dengan
membagikan kuesioner, setelah itu dilakukan intervensi dengan menonton video
tentang cara menyikat gigi, makanan yang menyebabkan karies gigi dan
pencegahan karies gigi.
Dimana kelompok siswa sebelum dilakukan intervensi atau perlakuan
terlebih dahulu dilakukan pretest, kemudian setelah perlakuan diberikan, maka
dilakukan potstest untuk mengetahui akibat dari perlakuan. Pengujian sebab-akibat
dengan cara membandingkan hasil pretest dengan posttest.
Maka dilakukan intervesi dengan menonton video setelah itu dilakukan
kembali pembagian kuesioner untuk mengetahuan tingkat perbedaan pengetahuan
siswa sebelum menonton video dan sesudah menonton video.
Analisa Data
Dalam penelitian ini data diolah dengan menggunakan SPSS, adapun uji
yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji wilcoxson dan tingkat
kebermaknaan data yang dipilih adalah p<0,05.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karasteristik Subjek Peneltian
Menunjukan karasteristik responden berdasrkan umur, jenis kelamin dan
kelas. Berdasarkan Tabel 5.2 menunjukan bahwa lebih dari sebagian responden
berada pada kelompok umur (11-15 tahun) yaitu terdapat 5 orang (15,2%) pada
kategori umur 11 tahun, 19 orang (57,6%) pada ketegori umur 12 tahun, 6 orang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 31 | 231
(18,2%) pada ketegori umur 13 tahun, 2 orang (6,1%) pada kategori umur 14 tahun
dan 1 orang (3,0%) pada kategori umur 15 tahun, lebih dara sebagian responden
berjenis kelamin laki-laki Tabel 5.3 menunjukan bahwa terdapat 17 siswa (51,5%)
berjenis kelamin laki-laki dan 16 orang (48,5%) berjenis kelamin perempuan, dan
tabel 5.4 menunjunakan 33 siswa (100%) dikelas VI
Gambaran Skor Pengetahuan Respondent Sebelum Dsn Sesudah Intervesi
Tentang Cara Menyikat Gigi Dengan Baik Dan Benar, makanan yang
Menyebabkan Karie Gigi dan Pencegahan Ksrei Gigi di SD Negeri 01 Abeli
Kelurahan Tobimeita Kecamatan Abeli Kota Kendari Tahun 2016
Berdasarkan tabel 5.5 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh
penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum
penyuluhan adalah 25 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.
Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai
α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan
dengan menggunakan multimdedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah
perilaku dan pengetahuan siswa tentang cara menyikat gigi dengan baik dan benar.
Berdasarkan tabel 5.6 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh
penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum
penyuluhan adalah 50 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.
Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai
α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan
dengan menggunakan multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah
perilaku dan pengetahuan siswa tentang makanan yang menyebabkan karies gigi.
Berdasarkan tabel 5.7 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh
penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum
penyuluhan adalah 33 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.
Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai
α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan
dengan menggunakan multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah
perilaku dan pengetahuan siswa pencegahan karies gigi.
Pengaruh Penyuluhan Kesehatan gigi Berbasis Multimedia Terhadap
Pengetahuan Siswa di SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita Kecamatan
Abeli Kota Kendari Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh penyuluhan
sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum penyuluhan adalah
35 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100. Demikian halnya
dengan hasil uji wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai α=0,05 dimana nilai
(p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan dengan menggunakan
multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah perilaku dan
pengetahuan siswa tentang kesehatan gigi.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 32 | 231
Pembahasan
1. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Gigi Berbasis Multimedia terhadap
Pengetahuan Siwa Tentang Cara Menyikat Gigi, Makanan Yang Menyebabkan
Karies gigi dan Pencegahan Karies Gigi.
a. Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan
perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 28,4 point
dan sesudah penyuluhan adalah100 tentang cara menyikat gigi denagn baik
dan benar. Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar deviasi sebelum
penyuluhan adalah 8,98 dan sesudah penyuluhan adalah 0,000, niali
(α=0,05) dan nilai p <0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
sebelum dan sesudah penyuluhan tentang cara menyikat gigi dengan baik
dan benar.
Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan
perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 50,5 point
dan sesudah penyuluhan adalah 100,0 point tentang makanan yang
menyebabkan karies gigi. Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar
deviasi sebelum penyuluhan adalah 14,13 dan sesudah penyuluhan adalah
0,000, nilai (α=0,05) dan nilai p<0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
sebelum dan sesudah penyuluhan tentang makanan yang menyebabkan
karies gigi.
Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan
perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 31,2 point
dan sesudah penyuluhan adalah 98,4 point tentang pencegahan karies gigi.
Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar deviasi sebelum penyuluhan
adalah 6,932 dan nilai standar deviasi sesudah penyuluhan adalah 4,875,
niali (α=0,05) dan nilai p0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
sebelum dan sesudah penyuluhan tentang pencegahan karies gigi.
2. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Gigi Berbasis Multimedia Terhadap
Pengethuan Siswa.
a. Secara statistik penyuluhan dengan menggunakan multimedia dibuktikan
lebih efektif dan signifikan karena dapat dilihat perubahan tingkat
pengetahuan siswa sebelum penyuluhan adalah 35,6 dan sesudah
penyuluhan adalah 99,0. Hal ini di perkuat dari hasil uji wilcoxson test
didaptkan nilai p 0,001 dan nila α=0,05 dimana (p0,001<0,05). Dengan kata
lain H0 tolak atau ada pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis
multimedia terhadap pengetahuan siswa.
Wood (1926, dan join kommisioan On Health Education, 1973 dalam
fitriani, 2011) menjelaskan bahwa penyuluhan kesehatan merupakan
kegiatan yang di tunjukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 33 | 231
membuat keputusan yang tepat sehubungan dengan pemeliharaan kesehatan,
sehingga berdasarkan pengalaman yang diperoleh dapat bermanfaat dalam
mempengaruhi kebiasaan sikap dan pengetahuan siswa.
Menurut Chandra (2009), penyuluhan kesehatan adalah suatu rangkaian
proses pendidikan yang diharapkan akan membawa efek perubahan pada
pola kehidupan seseorang dalam bidang pengetahuan dan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan dan selalu memperhatikan dan berusaha
mempertahankan perubahan serta kesadaran tentang pentingnya kesehatan
gigi.
Menurut Fitriani (2011) dimana pendidikan kesehatan bagi anak bertujuan
untuk memberikan pengetahuan tentang prinsip dasar hidup sehat, dan
menambah kebiasaan hidup sehat dimana siswa bisa bertanggung jawab
terhadap kesehatan diri sendiri serta lingkungannya dan ikut aktif dalam
penyuluhan tentang kesehatan.
Hasil penelitian tentang pengaruh penyikatan gigi dengan tingkat
kebersihan gigi dan mulut siswa-siswi dasar islam terpadu imambukhari
Oleh Eriska Riyanti dkk (2005) yang hasilnya menunjukan terjadi perubahan
tingkat kesebersihan gigi dan mulut yang diukur dengan penurunan indeks
plak pada siswa-siswi yang sebelumnya mendapatkan penyuluhan penyikat
gigi yang baik dan benar dengan menggunakan video. Hal ini menunjukan
penyuluhan kesehatan gigi yang diberikan dengan mengunakan video lebih
menunjang peningkatan pengetahuan siswatentang kebersihan gigi dan
mulut pada anak sekolah dasar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Silvia Anitasari (2005), tentang
kesehatan gigi dan mulut pada siswa kelas VI SDN Kecamatan Palaran
Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur yang menunjukan
bahwa siswa-siswi yang perna mendapat penyuluhan dan pelatihan tentang
kesehatan gigi tingkat kebersihan mulut mereka termaksud sedang. Hal ini
berarti proses belanjar mereka dapat melalui program penyuluhan dan
pelatihan yang diberikan dan dapat dimengerti dan dipraktekan dalam
keseharian.
Hasil penelitian ini juga didukungan dengan keuntungan multimedia yang
dikemukakan oleh Munir (2013), yang menyatakan bahwa sala satu
keuntungan multimedia dalam pembelajran adalah menambah motivasi
peserta didik selama peroses belajar hingga didapatkan tujuan pembelajaran
yang diinginkan.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Candra Dewi pada tahun 2014, tentang pengembangan multimedia
pembelajaran ilmu pengetahuan alam berbasisi flash untuk siswa SD. Hasil
dari penelitian menunjukan bahwa prestasi belajar siswa yang
menggunakan multimedia lebih baik dibandingakan siswa yang tidak
menggunakan multimedia.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 34 | 231
Penelitian ini dikemukakan oleh mubarak (2011) bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi membawa perubahan yang signifikan terhadap
kehidupan manusia . karena dengan adanya media pembelajaran akan lebih
memudahkan para pelajar dalam memahami apa yang telah diterapkan.
Hasil belajar juga akan berbeda antara adanya bantuan dari media dan tanpa
menggunakan media
Jadi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyuluhan yang lebih
efektif dan signifikan adalah dengan menggunakan multimedia (video)
dimana video dapat meningakatkan pengetahun siswa tentang upaya
menjaga kesehatan gigi dan mulut. Dalam melakukan penyebarluasan dan
peningkatan pengetahuan, perlu adanya ketersediaan media kesehatan di
sekolah sehingga siswa dapat melihat dan membaca informasi-informasi
kesehatan, yang tujunanya untuk pencegahan berbagai penyakit pada siwa.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap
pengetahuan siswa tentang cara menyikat gigi dengan baik dan benar, makanan
yang menyebabkan karies gigi da pencegahan karies gigi dan terdapat pengaruh
penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap pengetahuan siswa di SD
Negeri 01 Abel Kelurahan Tobimeita Kecamatan Abeli Kota Kendari tahun 2016.
Bagi pihak sekolah agar membentuk UKGS untuk melaksanakan berbagai
upaya untuk peningkatan pengetahuan siswa tentang kesehatan gigi agar siswa agar
rajin menyikat gigi pada pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur
agar terhindar dari penyakit akibat kerusakan pada gigi dan untik peneliti
selanjutnya agar lebih mengawasi siswa saat melakukan penelitian agar siswa lebih
fokus pada penyuluhan yang dilakukan sehingga penyuluhan yang dilakukan lebih
membuka wawasan siswa agar menjaga kebersihan diri terutama untuk kesehatan
gigi dan mulut.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anitasari, S, 2005. Penagruh Frekuensi Menyikat gigi Terhadap Tingkat
Kebersihan Gigi dan Mulut siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.
Dentika.
Dinkes Kota Kendari, 2013. Profil Kesehatan Sultra. Provinsi Sulawesi
Tenggara
Fitriani, S. (2011), Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Fitria,2012.KegiatanPenyuluhanKesehatanGigidanMulut.http://unpad.ac.id/kknmba
tukaras2010/09/20. (Di Akses 4 Desember,2015).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 35 | 231
Machfoez, I., 2010, Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak- anak . asmar Yeti
Zein , cetakan ke-1 Fitramaya. Yogyakarta.
Machfoez, I., 2010, penyuluhan kesehatan gigi. Cetakan ke-1 Yokyakarta.
Mubarak, 2011. Promosi Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.
Munir, 2013. MULTIMEDIA konsep dan aplikasi dalam pendidikan.Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Riyanti S, dkk (2005). Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut melalui
perubahan perilaku anak. Fakultas Kedokteran gigi Universitas
padjadjaran.Hal1-22.http://journal.unair.ac.id/filerPDF/DENTJ-38-
2.(Askes 23 mei 2016).
Riskesdas, 2013.,Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2013.
WHO, 2013, Kesehatan Gigi dan Mulut. Http://health.co.id. (diaskes 14 januari,
2016)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 36 | 231
KEJADIAN KECACINGAN PADA BALITA DI PULAU
BINONGKO KABUPATEN WAKATOBI
Dian Yuniar 1, Nirwana2, La Irman3
1 Departement Of Nursing, Polytechnic of Health Kendari, 2 Balai Pelatihan Kesehatan
Prov.Sultra, 3 STIK Avicenna Kendari
email: [email protected]
Abstrak
Penyakit kecacingan dapat berakibat buruk terhadap anak seperti pada perkembangan tubuh,
kecerdasan dan kognitif. Banyak faktor yang bisa menimbulkan penyakit kecacingan. Wilayah
kepulauan terutama pesisir pantai dengan sanitasi lingkungan yang kurang mempunyai faktor resiko
yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh antara pengetahuan ibu, sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan
terhadap kejadian penyakit kecacingan pada balita. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian analitik observasional pendekatan Case Control Study. Sampel penelitian ini adalah
balita dengan menggunakan teknik purposive sampling. jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
100 orang dengan 2 kriteria yaitu 50 kasus dan 50 kontrol yang diambil dari populasi yang ada.
Data diolah secara univariat dan bivariat yang meliputi tabulasi silang dengan uji odds ratio. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan nilai
OR = 4,571, sanitasi lingkungan OR = 3,857,dan higiene perorangan OR = 3,778 terhadap
kejadian penyakit kecacingan. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pengetahuan, sanitasi
lingkungan dan higiene perorangan berpengaruh terhadap kejadian kecacingan pada balita. dapat
disarankan pada keluarga balita untuk lebih memperhatikan pada upaya pencegahan dan deteksi
dini terhadap penyakit kecacingan.
Kata Kunci: Penyakit Kecacingan, Pengetahuan, Sanitasi Lingkungan, Hygiene Perorangan.
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) tahun 2010, mengatakan bahwa
penyakit akibat infeksi kecacingan masih sangat tinggi dengan jumlah 1 miliar
orang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing
Trichuris trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus). Infeksi kecacingan yang tertinggi terjadi di
Afrika, Amerika, China, dan Asia Timur. Bank Data Global WHO tahun 2010
mengatakan bahwa jumlah kecacingan tertinggi pada anak usia Balita yaitu 75%.
Penyakit kecacingan dapat berakibat buruk terhadap anak-anak seperti
perkembangan tubuh, kecerdasan dan kognitif. Infeksi oleh Soil Transmitted
Helminths (STH) sering dijumpai pada anak Balita karena anak paling sering
kontak dengan tanah (WHO, 2010). Beberapa spesies dari Soil Transmitted
Helminths (STH) yang sering dijumpai adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus. Telur/larva cacing-cacing ini menjadi infektif saat di tanah dalam
kurun waktu sesuai dengan spesies masing-masing (Zulkoni, 2011). Jumlah
penyakit kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, yaitu 60% -
80%. Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografis dengan
temperatur dan kelembaban yang sesuai, pengaruh kehidupan yang kurang bersih
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 37 | 231
dan sanitasi lingkungan yang buruk, aspek sosial ekonomi dan tingkat pengetahuan
seseorang mengenai pentingnya kesehatan yang masih rendah merupakan faktor
yang mempunyai peranan besar terhadap penularan parasit cacing (Depkes, 2010).
Dari hasil penelitian lain diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia
menderita suatu infeksi cacing (Zulkoni, 2011). Faktor-faktor yang menyebabkan
masih tingginya infeksi cacing adalah rendahnya tingkat hygiene pribadi (perilaku
hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang
air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat yang
kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku buang air besar (BAB) tidak di WC
yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung
telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih (Winita, 2012). Perilaku hidup
yang bersih dan sehat merupakan faktor kedua terbesar setelah faktor lingkungan
yang berhubungan dengan kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Perilaku
ini menyangkut pengetahuan akan pentingnya higiene perorangan, sikap dalam
menanggapi penyakit serta tindakan yang dilakukan dalam menghadapi suatu
penyakit atau permasalahan kesehatan lainnya (Notoatmodjo, 2012).
Berdasarkan data yang di peroleh penulis dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Wakatobi menunjukan terjadi kenaikan jumlah penderita penyakit Kecacingan
dimana wilayah kerja Puskesmas Binongko merupakan wilayah yang memiliki
jumlah kecacingan terbanyak dan menunjukan peningkatan yang signifikan
terhadap penyakit kecacingan setiap bulannya. wilayah kerja Puskesmas Binongko
berada di daerah sekitar area pesisir pantai dan dengan sanitasi lingkungan yang
masih belum bersih. dari hasil wawancara penulis Penyakit kecacingan atau biasa
disebut cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar
masyarakat, keluarga menganggap biasa jika balita terkena penyakit cacingan.
Padahal jika dilihat dampak jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian
yang cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Tingkat kecacingan pada balita
lebih tinggi dari pada orang dewasa karena mereka belum mengerti tentang
kesehatan. Dalam jangka panjang, infeksi yang berulang-ulang mengakibatkan
kekurangan gizi sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan anak kurang energi
protein yang berakibat menurunnya sumber daya anak tersebut
Dari permasalahan diatas, maka penulis tertarik ingin melihat pengaruh
sanitasi lingkungan, pengetahuan dan hygiene perorangan terhadap penyakit
kecacingan pada balita.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah analitik dengan menggunakan metode
pendekatan case control study. Teknik pengambilan sampel adalah
purvosive sampling dengan jumlah sampel adalah 100 orang dengan 2
kriteria yaitu 50 kasus dan 50 kontrol yang diambil dari populasi yang ada.
Data Primer yang dikumpulkan mengunakan kuesioner dan lembar observasi
yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kerangka
konsep penelitian berdasarkan tinjauan pustaka. analisis data yang dilakukan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 38 | 231
adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji Odd ratio sesuai variabel
penelitian.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan Distribusi frekuensi jenis kelamin yang paling
banyak adalah yang berjenis kelamin perempuan yaitu 60 Balita (60,0%) dan yang
paling sedikit adalah yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 40 Balita (40,0%).
kelompok umur 1 tahun sebanyak 24 (24,0%) yang terdiri atas 12 kasus dan 12
kontrol, kelompok umur 2 tahun sebanyak 28 (28,0%) yang terdiri atas 14 kasus
dan 14 kontrol, kelompok umur 3 tahun sebanyak 36 (36,0%) yang terdiri dari 18
kasus dan 18 kontrol dan kelompok umur 4 tahun sebanyak 12 (12,0%) yang terdiri
atas 6 kasus dan 6 kontrol.
Distribusi Frekuensi responden menurut tingkat pengetahuan ibunya dalam
kategori kurang sebanyak 54 Balita (54,0%) sedangkan dalam kategori cukup
sebanyak 46 Balita (46,0%). untuk sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
sebanyak 56 Balita (56,0%) sedangkan yang memiliki sanitasi lingkungan yang
memenuhi syarat sebanyak 44 Balita (44,0%). Hasil observasi terhadap Balita yang
melakukan higiene perorangan dengan kategori kurang sebanyak 52 Balita (52,0%)
sedangkan higiene perorangan dengan kategori baik sebanyak 48 Balita (48,0%).
Analisis bivariat meliputi pengaruh pengetahuan, sanitasi lingkungan dan
hygiene perorangan terhadap penyakit kecacingan pada balita. analisis hubungan
tersebut disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pengaruh Faktor Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Penyakit
Kecacingan Pada Balita
Pengetahuan
Ibu
Responden
Jumlah OR
CI
Kasus
((+)
cacingan)
Kontrol
((-) tidak
cacingan)
N % n % N %
3,778
Lower Upper
Kurang 36 72,0% 18 36,0% 54 54,0%
1,650 8,651 Cukup 14 28,0% 32 64,0% 46 46,0%
Total 50 100% 50 100% 100 100%
Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa dari 100 orang responden dengan
kategori kurang yakni berjumlah 36 orang (72,0%) dan yang pengetahuan ibunya
dengan kategori cukup berjumlah 14 orang (28,0%). Sedangkan responden dengan
status kontrol yang pengetahuan ibunya dengan kategori kurang yakni berjumlah 18
orang (36,0%) dan yang pengetahuan ibunya dengan kategori cukup beerjumlah 32
orang (64,0%). Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 39 | 231
OR = 3,778 lebih besar dari 1. Hal ini menunjukan pengetahuan ibu merupakan faktor
yang mempengaruhi kejadian kecacingan.
Tabel 2 Pengaruh Faktor Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit
Kecacingan Pada Balita
Sanitasi
Lingkung
an
Responden
Jumlah OR
CI
Kasus
(+)
cacingan)
Kontrol
(-) tidak
cacingan)
N % N % N %
3,857
Lower Upper
TMS 36 72,0% 20 40,0% 56 56,0%
1,670 8.911 MS 14 28,0% 30 60,0% 44 44,0%
Total 50 100% 50 100% 100 100%
Berdasarkan tabel 2 sanitasi lingkungan dengan kategori tidak memenuhi
syarat yakni berjumlah 36 orang (72,0%) dan yang sanitasi lingkungan dengan
kategori memenuhi syarat berjumlah 14 orang (28,0%). Sedangkan responden
dengan status kontrol yang sanitasi lingkungan dengan kategori tidak memenuhi
syarat yakni berjumlah 20 orang (40,0%) dan yang sanitasi lingkungan dengan
kategori memenuhi syarat beerjumlah 30 orang (60,0%). Berdasarkan hasil analisis
bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR = 3,857 lebih besar dari 1. Hal ini
menunjukan sanitasi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian
kecacingan.
Tabel. 3 Pengaruh Faktor Higiene Perorangan Dengan Kejadian Penyakit
Kecacingan Pada Balita
Higiene
Perorangan
Responden
Jumlah OR
CI
Kasus
((+)
cacingan)
Kontrol
((-) tidak
cacingan)
N % n % N %
3,778
Lower Upper
Kurang 34 68,0% 18 36,0% 52 52,0%
1,650 8.651 Baik 16 32,0% 32 64,0% 48 48,0%
Total 50 100% 50 100% 100 100%
Berdasarkan tabel 3 higiene perorangan dengan kategori kurang yakni
berjumlah 34 orang (68,0%) dan yang higiene perorangan dengan kategori baik
berjumlah 16 orang (32,0%). Sedangkan responden dengan status kontrol yang
higiene perorangan dengan kategori kurang yakni berjumlah 18 orang (36,0%) dan
yang higiene perorangan dengan kategori baik berjumlah 32 orang (64,0%). Hasil
analisis bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR = 3,778 lebih besar dari 1.
Hal ini menunjukan sanitasi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi
kejadian kecacingan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 40 | 231
PEMBAHASAN
Hasil analisis univariat menunjukan responden berjenis kelamin perempuan
yaitu 60 Balita (60,0%) dan yang paling sedikit adalah laki-laki yaitu 40 Balita
(40,0%). Umur merupakan variabel yang senantiasa diperhatikan dalam berbagai
penelitian-penelitian epidemiologi sebab termasuk dalam karakteristik orang.
kelompok umur 3 tahun dalam penelitian ini adalah yang terbanyak 36 (36,0%)
orang.
Pengetahuan merupakan unsur pengisi akal dan jiwa seseorang yang sadar
dan secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam kamus Bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti setelah melihat,
menyaksikan, mengalami atau diajar (Azwar, 2012). dan dalam penelitian ini
pengetahuan ibunya yang termasuk dalam kategori kurang sebanyak 54 Balita
(54,0%) hal ini tentu bisa berakibat menurunnya derajat kesehatan pada anaknya
karena ketidak tahuan ibu dalam mencegah penyakit kecacingan.
Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 56 (56,0%) Dari
hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, kebanyakan responden
yang ditemui yang kebersihan lingkungannya kurang dan dapat berisiko terkena
penyakit kecacingan. Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan
lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk
mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi
kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra,
2009). Higiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari
pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah
timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat
kondisi lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan
kesehatan.( Hildya, 2015). Dalam pengertian ini termasuk pula upaya melindungi,
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun
masyarakat), sedemikian rupa sehingga bagai faktor lingkungan yang tidak
menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan terhadap kesehatan
(Purnawijayanti, 2010). higiene perorangan dengan kategori kurang sebanyak 52
Balita (52,0%) Orang tua adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktifitas
kehidupannya setiap hari. Peranan mereka sangat dominan dan sangat menentukan
kualitas hidup anak dikemudian hari. Sehingga sangatlah penting bagi mereka untuk
mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak Balita
(Ichmaster,2007).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, keadaan lingkungan
yang tidak memenuhi syarat pada sekitar rumah tempat tinggal. Keadaan sekitar
rumah yang kotor , sampah berserakan , tanah yang becek pada saat musim hujan
menjadi salah satu faktor yang memicu berkembang serta tersebarnya larva dan
telur cacing tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Tumanggor, (2012) Melalui factor lingkungan, keadaan fisik, atau
daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Hasil
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 41 | 231
penelitian ini menunjukkan bahwa sampel rata-rata memiliki personal hygiene yang
masih kurang hal ini salah satu dapat disebabkan karena kurangnya menjaga
kebersihan diri seperti mandi hanya satu kali dalam sehari sesudah bermain, selain
itu pula kurangnya kesadaran dalam memelihara kebersihan tangan yakni jarang
cuci tangan menggunakan sabun sebelum dan setelah makan maupun setelah buang
air besar terkadang tangan tidak dicuci menggunakan sabun. Dimana hal ini
merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kecacingan.
4. KESIMPULAN
Pengetahuan ibu, sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap kejadian penyakit kecacingan pada anak Balita
di wilayah kerja Puskesmas binongko Kabupaten Wakatobi. dan sebaiknya pihak
Puskesmas perlu melakukan tindakan preventif dalam upaya pencegahan dini
terhadap penyakit kecacingan dengan cara meningkatkan seluruh petugas kesehatan
agar lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan pada
masyarakat.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anies, 2011. Mewaspadai penyakit lingkungan, Elex. Media Komputindo, Jakarta
Arikunto, S .2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.
Yogyakarta
Azwar, A. 2012. Penyusun Skala Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Chandra B. 2009. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta
Hildya Kusmi, dkk, 2015. Hubungan sanitasi Lingkungan rumah dengan kejadian
askaris dan trikuriasis pada siswa SDN 29 Purus Padang, Jurnal Kesehatan
Andalas Vol.4 no 3 available at:jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/
view/353
Kusnoputro, Haryoto. 2011. Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Mentri Kesehatan RI, 2006. Surat Keputusan Pedoman Penanggulangan Cacingan.
Depkes RI. Jakarta
Mubarak, dkk. 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar Dalam Pendidikan: Graha Ilmu. Jakart
Ngatiman. 2012. Pengetahuan. http://id.wikipedia.org/wiki. Diakses 25 Maret 2015
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Nursalam, 2012. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Medika
Salemba: Jakarta
Purnawijayanti, H. 2010. Sanitasi lingkungan, Higiene dan Keselamatan Kerja
dalam Pengolahan Makanan.Kanisius.Yogyakarta
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 42 | 231
Priyono, S., 2011. Pengaruh Perilaku Defekasi dan Cuci Tangan Terhadap Kejadian
Ascariacis pada Anak Balita Lempeji Kecamatan Mumbulsari Kabupaten
Jamber. Skripsi Kedokteran Unej. Jember Raharja, 2010.,Cuci Tangan
Pakai(On-line)http://imadatainstiper.files.wordpress .com /2008
/cacingan.pdf, diakses 29 Maret 2015
Proverawati, Atikah dan Eni Rahmawati, 2012, Perilaku Hidup Bersih & Sehat
(PHBS). Nuha Medika. Yogyakarta
Setiadi, 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan Edisi 2. Graha
Ilmu. Ygyakarta
Slamet, 2010. Sosiologi Kesehatan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Tumanggor, Anita, 2012. Hubungan Perilaku dan Higiene Anak Balita dengan
Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu
Kabupaten Dairi.Skripsi USU Digital Library
Widoyono, 2010. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,&
Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta
Winita. R, Mulyanti, dan Astuti. H, 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di
Sekolah Dasar, Makara, Kesehatan, vol. 16, no. 2, 25 maret 2015 (online)
journal.ui.ac.id/index. php/health/article/download/1631/1361
WHO, 2010. Soil Transmitted Helminths. http://www.who.int/intestinal_worms/en/.
Di Akses 25 maret 2015
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 43 | 231
PENGARUH EDUKASI SUPORTIF TERHADAP TINGKAT
KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING LANSIA
HIPERTENSI
Siti Juwariyah1, Fery Agusman MM2, Rita Hadi Widyastuti3
¹ Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang 2 Staf Pengajar STIKES Karya Husada Semarang
3 Staf Pengajar Departemen Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang
email: [email protected]
Abstrak
Pendahuluan: Hipertensi pada lansia merupakan peningkatan tekanan darah sistolik diatas
140mmHg dan tekanan diastolik 90mmHg. Penyakit hipertensi pada lansia yang tidak diobati
terbukti mengalami pemendekan masa sekitar 10-20 tahun yang akan berpengaruh pada
ketidakmampuan fisik lansia dengan hipertensi. Penyakit hipertensi akibat proses penuaan
menimbulkan disabilitas sehingga akan berpengaruh pada lansia dalam melakukan aktifitas sehai-
hari. Dampak lansia hipertensi yang mempunyai tingkat kemandirian Activity Daily Living (ADL)
rendah akan meningkatkan beban keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pemberian edukasi
suportif kemandirian ADL berguna untuk memandirikan lansia dengan hipertensi dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Tujuan : Mengetahui pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat
kemandirian ADL lansia hipertensi. Metode : Desain penelitian yang digunakan adalah quasi
experiment dengan desain pre and post-test with control group. Populasi penelitian adalah lansia
hipertensi di wilayah Puskesmas Krobokan Kota Semarang. Sampel diambil dengan teknik
purposive sampling sejumlah 60 yang terbagi dalam kelompok intervensi (n=30) dan kelompok
kontrol (n=30). Intervensi berupa edukasi suportif tentang kemandirian ADL diberikan pada
kelompok intervensi. Data diambil melalui kuesioner dan dianalisa melalui uji sampel (paired t-test
dan independentt-test). Hasil : Hasil penelitian menunjukan setelah diberikan edukasi suportif,
kemandirian ADL lansia hipertensi pada kelompok intervensi adalah 60,97 (SD 2,30), dan
mengalami peningkatan sebesar 34% dari sebelum intervensi. Sementara pada kelompok kontrol,
kemampuan tugas perawatan menunjukan nilai 46,14 (SD 2,94). Hasil analisis mendapatkan nilai
p-value = 0,002 α=0,05, yang mengindikasikan adanya pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat
kemandirian ADL lansia hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan bagi tenaga
kesehatan untuk memberikan edukasi suportif tentang kemandirian ADL pada lansia hipertensi.
Kata kunci: edukasi suportif, lansia hipertensi, kemandirian ADL
1. PENDAHULUAN
Salah satu keberhasilan pemerintah dalam pembangunan kesehatan
memberikan dampak pada peningkatan usia harapan hidup (UHH). Peningkatan
usia harapan hidup berdampak pada peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) yaitu
usia 60 tahun ke atas (Infodatin,2016). Pada tahun 2004–2015 memperlihatkan
adanya peningkatan usia harapan hidup di Indonesia dari 68,6 tahun menjadi 70,8
tahun dan proyeksi 2030-2035 mencapai 72,2 tahun.1 Nilai rasio ketergantungan
lansia sebesar 12,71 menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif
harus menanggung sekitar 13 orang lansia (RISKESDAS,2013).
Survey WHO pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia di dunia yang
menderita hipertensi untuk pria sekitar 26,6% dan wanita sekitar 26,1%. Hasil
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 44 | 231
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 prevalensi lansia yang menderita
hipertensi meningkat sebesar 37% (Permatasari dkk,2014). Profil kesehatan Jawa
Tengah tahun 2015, prevalensi lanjut usia di Jawa tengah yang menderita
hipertensi sebesar 11,72%. Data yang di peroleh dari profil kesehatan Kota
Semarang tahun 2015 menunjukkan prevalensi lanjut usia dengan hipertensi sebesar
58,73 % dan merupakan kasus penyakit tidak menular (PTM) tertinggi pada lansia
(Profil Kesehatan Jawa Tengah,2015).
Meningkatnya jumlah lansia dengan hipertensi akan berpotensi
menimbulkan berbagai macam permasalahan baik aspek sosial, ekonomi dan
kesehatan fisik. Masalah sosial yang di hadapi lansia dengan hipertensi yang kurang
berinteraksi dengan orang lain karena aktifitas fisik menurun, masalah ekonomi
yang dihadapi karena bertambahnya usia sudah masuk dalam usia pensiun
sehingga lansia sudah tidak bisa aktif bekerja dan berpengaruh pada pendapatan
lansia dan masalah kesehatan fisik lansia dengan hipertensi yaitu rentannya
terhadap berbagai penyakit karena menurunnya daya tahan tubuh hal ini
berpengaruh pada kemandirian fisik lansia dengan hipertensi (maryam dkk, 2011).
Kemandirian pada lansia dengan hipertensi mengalami ketergantungan
dalam memenuhi ADL nya di dapatkan bahwa tingkat kemandirian dengan alat
ukur ADL menurut “Katz index” (Darmojo,2003). Lansia mengalami perubahan
berupa penurunan fungsi organ tubuh sehingga lansia mengalami kesulitan dalam
memenuhi aktivitas sehari-hari ( Hajjar, 2007). Lansia dengan hipertensi yang
mengalami gangguan ADL di dapatkan sebanyak 33% (Sugiharti, 2007). Dampak
lansia hipertensi yang mempunyai tingkat kemandirian ADL rendah akan
meningkatkan beban keluarga, masyarakat dan pemerintah. Peningkatan terutama
berhubungan dengan kebutuhan layanan khusus, yang juga akan menimbulkan
beban sosial. Terutama keluarga sering menganggap bahwa lansia hipertensi
sebagai beban keluarga sehingga membuat lansia hipertensi menjadi lebih
menyendiri dan merasa tidak berguna (Sugiharti, 2007).
Hasil penelitian diperoleh bahwa sebelum dilakukan penyuluhan sebagian
besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, hal itu mungkin
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan responden tentang
masalah lansia denga hipertensi (Buford, 2016). Hal ini adalah peranan perawat
yang didefinisikan sebagai tindakan edukasi suportif dalam meningkatkan
kemandirian ADL lansia hipertensi. Manfaat edukatif suportif pada lansia hipertensi
adalah lansia hipertensi dapat memahami pentingnya kemandirian ADL dalam
meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan melakukan kemandirian ADL.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif quasy eksperimen dengan desain pre
and post test with control group. Sampel penelitian sebanyak 30 responden
kelompok intervensi dan 30 responden kelompok kontrol penelitian menggunakan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 45 | 231
purposive sampling. Responden yang memenuhi kriteria inklusi (usia 65-80 tahun,
tidak minum obat hipertensi, lansia dengan derajat hipertensi ringan dan sedang,
belum mendapatkan pengetahuan tentang kemandirian ADL, bersedia diberikan
intervensi edukasi suportif) dan eksklusi (lansia dengan hipertensi berat, menderita
penyakit selain hipertensi, tidak berada di tempat saat pengambilan data, tidak
bersedia menjadi responden, lansia yang bed rest).
Instrumen yang digunakan untuk pengukuran kemandirian ADL adalah
Indeks KATZ. Rancangan ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok
intervensi (kelompok yang diberi perlakuan) dan kelompok kontrol tanda
perlakuan, dilakukan pengukuran awal (pre test) pada kedua kelompok, kemudian
diberikan perlakuan pada kelompok intervensi dengan edukasi suportif kemandirian
ADL, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan intervensi setelah pre test,
kelompok kontrol diberikan intervensi setelah post test yaitu 3 minggu setelah
kelompok intervensi diberikan edukasi suportif kemandirian ADL.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia
hipertensi pada kelompok intervensi dan kontrol . (n= 30) Kemandirian ADL Mean SD SE P-Value
Kelompok intervensi Pre Test 45,41 0,60 0,10
0,002 Post Test 60,97 2,30 0,39
Kelompok
Kontrol
Pre Test 44,82 3,38 0,58
0,160 Post Test 46,14 2,94 0,50
Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa kelompok intervensi terjadi peningkatan
sebesar 34,26 (34%) adapun nilai p value 0,002 yang menyatakan bahwa ada
pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi.
Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan sebesar 2,3 (2%) dengan
nilai p value 0,160.
Pemberian edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia
hipertensi terjadi peningkatan secara sigifikan dibandingkan yang hanya diberikan
buku panduan saja.
Table 2. Perbedaan tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi pada kelompok
intervensi dan kontrol sesudah edukasi suportif
Variabel Kelompok N Mean SD SE MD p-value
Kemandirian
ADL lansia
hipertensi
Intervensi 30 60,97 2,30 0,39 0,45 0,002
Kontrol 30 46,14 2,94 0,50 0,45
Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa kelompok intervensi dengan nilai mean 60,97
(SD 2,30) sedangkan pada kelompok kontrol nilai akhir nya yaitu denagn mean
46,14 (SD 2,94) dengan nilai mean difference 0,45 dan di dapatkan nilai p = 0,002.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 46 | 231
Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara tingkat kemandirian ADL
lansia hipertensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Pembahasan
Pemberian edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia
hipertensi pada kelompok intervensi terjadi peningkatan sebesar 34,26(34%)
adapun nilai p value 0,002 yang menyatakan bahwa ada pengaruh edukasi suportif
terhadap tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi. Sedangkan pada kelompok
kontrol terjadi peningkatam sebesar 2.3(2%) dengan nilai p value 0,160 pada
kelompok kontrol ini berarti tidak ada pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat
kemandirian ADL lansia hipertensi hal ini dikarenakan suasana yang kurang
nyaman di masing-masing rumah lansia hipertensi sehingga sulit untuk lebih fokus
pada intervensi yang peneliti berikan responden kurang memperhatikan saat
penyuluhan berlangsung.
Edukasi suportif merupakan suatu cara usaha atau kegiatan untuk
membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya
untuk mencapai kesehatan secara optimal. Pemberian edukasi suportif terkait
dengan kemandirian ADL hipertensi hipertensi yang telah peneliti lakukan
merupakan salah satu upaya guna meningkatkan kemampuan lansia hipertensi
dalam meningkatkan kemandirian ADL. Salah satu bentuk Implementasi kegiatan
asuhan keperawatan komunitas bertujuan melakukan perubahan masyarakat baik
pengetahuan, sikap maupun perilaku sehat. Salah satunya edukasi suportif.
Tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi intervensi dengan hasil nilai
mean 60,97(SD 2,30) sedangkan pada kelompok kontrol nilai ahkhirnya yaitu
dengan mean 46,14(SD 2,94) dengan nilai mean difference 0,45 dan didapatkan
nilai p=0,002 yang menunjukan bahwa ada perbedaan antara tingkat kemandirian
ADL lansia hipertensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
4. KESIMPULAN
Pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol terdapat perbedaan
terhadap tingkat kemandirian ADL setelah diberikan edukasi suportif pada lansia
hipertensi di wilayah Puskesmas Krobokan Kota Semarang dengan p < 0,002.
Saran
Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan
referensi untuk kepentingan pendidikan dalam meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan keluarga terkait dengan kemampuan pelaksanaan tugas kesehatan
keperawatan keluarga pada lansia dengan hipertensi.
Bagi tenaga kesehatan mampu mengembangkan diri secara aktif dalam
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan secara komprehensif untuk kemandirian
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 47 | 231
ADL lansia dengan masalah penyakit kronis khususnya hipertensi. Peran perawat
komunitas sebagai perawat ,berwenang meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
hendaknya mampu memberikan dukungan pengetahuan dan keterampilan kepada
lansia hipertensi dalam meningkatkan kemandirian melalui intervensi keperawatan.
5. DAFTAR PUSTAKA
Infodatin. 2016. Situasi lanjut Usia (LANSIA) di Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Penduduk Lanjut Usia.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riskesdas. 2013.
Permatasari leya, Mamat Lukman, Supriyadi. 2014. Hubungan Antara Dukungan
Keluarga Dan Efikasi Diri Dengan Perawatan Diri Lansia Hipertensi Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ujung Berung Indah Kota Bandung.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia Statistical Yearbook of Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Jawa Tengah 2015.
Semarang.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2016. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun
2016. Semarang.
Maryam, R. Siti, dkk. 2011. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.
Nugroho. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC.
Ratnasari Nita Y, Susana N dan Staf Pengajar. 2015. Hubungan Dukungan
Keluarga Dengan Kemandirian Lansia Dalam Pemenuhan Aktifitas Sehari-
hari Di Wilayah Kerja Puskesmas Selogiri Kabupaten Wonogiri.
Darmojo, B. 2003. Konsep Menua Sehat Dalam Geriatri, Jurnal Kedokteran dan
Farmasi Medika, Jakarta : Grafiti Medika Pers.
M Fery Agusman, Chatarina UW, Nursalam, et al. 2015. Independent Models of
Nursing Self Care for Ischemic Stroke Patient. Vol.4, No.2, June 2015, pp.
88-93.
Wahyudi Yudisfi dan Widaryati. 2016. Studi Komparasi Activity Of Daily Living
Pada pasien Jantung Berdasarkan Jenis Penyakit Di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
Hajjar Ihab, Diniel, Ardienno and Leais. 2007. Association Betwen Concurrent and
Remote Blood Pressure and DisabilityIn Order Aduls.
Laras Haryono. 2008. Studi Deskriptif Pada Penyakit Kronis, Faktor Perilaku Dan
Lingkungan Pada Disabilitas dan Kualitas Hidup Lansia Peserta Posbindu
Puskesmas Pancoran Masyarakat Kota Depok.
WHO (2005). Guidelines For Thr Management of Hypertension In Patients With
Diabetes Mellitus. Maret, 18, 2010.
Buford Thomas W. 2016. Hypertension and Aging.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 48 | 231
FAKTOR RESIKO KEJADIAN KANKER SERVIKS
DI IRNA III RSUD DR.SAIFUL ANWAR MALANG
Kasiati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Kanker serviks penyebab angka kematian di dunia menempati urutan kedua setelah kanker
payudara. Diperkirakan setiap tahun sekitar 15,000 kasus kanker serviks ditemukan di Indonesia,
tingginya kasus kanker serviks membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
jumlah kasus kanker serviks terbanyak di dunia. Karakteristik penderita kanker servik belum banyak
teridentifikasi dengan faktor resiko. Penelitian ini mennggunakan desaian penelitian deskriptif cross
sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker servik yang mendapatkan
kemoterapi pada bulan Agustus sampai September 2016 di IRNA III RSUD Dr. Saiful Anwal Malang
, sedangkan pengambilan sampel penelitian dengan teknik Consecutive sampling dengan jumlah
36 sampel. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa ibu terdiagnosa kanker serviks
mayoritas sudah pada stadium III yaitu 27 orang (75%), sedangkan stadium II sebanyak 9 orang
(25%), kejadian terbanyak rentang umur 56- 55 tahun (55.6%), tertua 65 tahun dan umur
termuda 35 tahun, Paritas ibu melahirkan 3-6 kali 20 orang (61,1 %), sedangkan orang 2 orang
melahirkan lebih dari 7 kali, kontrasepsi yang digunakan IUD, suntik dan pil masing-masing
sebanyak 9 orang (25%) , sedangkan lama penggunaan IUD rerata 6,6 tahun, suntik rerata 4,5
tahun dan rerata 8,6 tahun. Diharapkan kepada pelayanan kesehatan melakukan program
skrining gratis atau wanita secara mandiri perlu melakukan secara rutin bagi seorang wanita yang
sudah menikah.
Kata Kunci : Faktor Resiko, Kejadian, Kanker serviks
1. PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah tumor ganas yang timbul di leher rahim Angka
kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia menempati urutan
kedua setelah kanker payudara dan menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian
pada tahun 2005, dan kurang dari 80% kematian tersebut terjadi di negara
berkembang. Profil kesehatan 2010 menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker
leher rahim adalah 19,70% per 10.000 penduduk. Setiap harinya diperkirakan
terdeteksi 41 kasus baru kanker servik dan 20 penderita meninggal dunia. Wanita
beresiko menderita kanker servik mencapai 48 juta orang. Oleh sebab itu WHO
menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan insiden kanker serviks
tertinggi di dunia, dengan 66% meninggal dunia (Soebachman,2011).
Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan
perempuan di Indonesia, dan menduduki peringkat pertama serta merupakan salah
satu penyakit yang menimbulkan dampak psikososial yang luas, terutama bagi
pasien dan keluarganya (Rasjidi, 2010).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 49 | 231
Masih tingginya angka kematian penderita kanker servik dikarenakan bahwa
pada wanita di Indonesia pada umumnya kanker servik diketahui setelah memasuki
stadium lanjut ( Rasjidi, 2010)
Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) telah terbukti secara biologi dan
epidemiologi dalam penyebab kanker serviks. Sebanyak 70% dari kanker serviks
disebabkan jenis HPV-16 dan HPV-18.
Meskipun HPV merupakan penyebab penting, namun ada faktor lain
timbulnya kanker, seperti, umur, nikah diusia muda, paritas tinggi, genetik,
merokok dan penggunaan kontrasepsi hormonal lama, dll
Kanker serviks pada seorang wanita tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi hal
ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor dan resiko. Seandainya faktor
penyebab dan resiko ini dipahami dengan benar, maka dipastikan seseorang akan
terhindar dari penyakit kanker serviks.
Makin banyaknya penderita kanker serviks serta belum ada data identifikasi
karakteristik di IRNA III RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, maka di perlukan
penelitian ini untuk menjelaskan faktor resiko kanker serviks. Dengan harapan
hasil penelitian dapat sebagai data awal untuk evaluasi dan peningkatan pelayanan
perawatan dan upaya pencegahan kanker serviks.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara
Consecutive sampling dan randomisasi alokasi subyek yaitu pemilihan sampel
dengan menentukan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dalam kurun waktu
tertentu. Jumlah sampel 36 klien kanker serviks yang mendapatkan program
kemoterapi pada bulan Agustus sampai September 2016 di IRNA III RSUD Dr.
Saiful Anwal Malang.
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah lembar
wawancara dan penelusuran rekam medis.
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan editing, pemberian kode
(coding) , skor (scoring) dan tabulasi analisis variabel karakteristik demografi
sampel yang berkaitan dengan tujuan penelitian disajikan dalam distribusi
frekuensi. Software yang digunakan untuk uji statistik adalah komputer.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
A. Stadium Kanker Serviks
Kanker adalah sel yang telah kehilangan pengendalian dan
mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak
teratur. Kanker bisa terjdi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 50 | 231
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker
membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di
dekatnya dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Sel-sel kanker dibentuk
dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri
dari tahap inisiasi dan promosi.
Tabel 1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan stadium kanker serviks
Stadium kanker
serviks
Keterangan
Frekwensi Persentase
Stadium I 0 0
O Stadium II 9 25
Stadium III 27 75
Stadium IV 0 0
Total 36 100
Hasil penelitian diketahui bahwa ibu terdiagnosa kanker serviks yang paling
banyak sudah pada kategori stadium III yaitu 27 orang (75%), sedangkan stadium
II sebanyak 9 orang (25%).
Stadium kanker serviks berdasarkan FIGO yang di kutip oleh Rasjidi 2007
terdiri Stadium 1,II, III dan IV. Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim
namun tidak mencapai dinding panggul. Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian
atas. Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan
melibatkan 1/3 vagina bagian bawah, sehingga menghambat proses berkemih
sehingga menyebabkan timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal
Masih tingginya angka kematian penderita kanker servik dikarenakan bahwa
pada wanita di Indonesia pada umumnya kanker servik diketahui setelah memasuki
stadium lanjut ( Rasjidi, 2010).
Banyak dari pasien kanker yang berada di stadium lanjut terkejut saat
mengetahui hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, disarankan bagi para wanita untuk
tanggap dengan segala gejala yang mungkin terjadi di usia muda. Deteksi dini
sangat diperlukan untuk prognosis kanker lebih memberi harapan hidup bagi
penderitanya
Kanker serviks stadium 3 pasti sudah membutuhkan penanganan yang lebih
serius. Tahap stadium 3 adalah masa-masa yang berat bagi penderitanya. Hal
tersebut dikarenakan pada stadium ini sel kanker sudah dipastikan tersebar ke
daerah sekitar vagina bagian bawah. Pada kasus tertentu, bahkan ditemukan sel
kanker yang sudah menempel pada kelenjar getah bening (sekitar organ leher
rahim).
Deteksi dan pemeriksaan hanya dilakukan sebagai langkah untuk melihat
penyebaran kanker agar tenaga medis dapat menentukan pengobatan yang sesuai
dengan kondisi pasien serta penyebaran kanker.
Pengobatan kanker lebih difokuskan untuk memberikan kesempatan kepada
pasien agar menjalani hidup lebih baik sampai pasien berhasil disembuhkan.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 51 | 231
Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi atau tindakan
operasi pengangkatan rahim. Jika ternyata kanker sudah menyebar ke kantung
indung telur, maka kemungkinan dokter juga akan mengangkat bagian tersebut.
Hal yang dibutuhkan pasien dalam tahap ini adalahh dukungan moril dari
kerabat untuk melewati tahap demi tahap pemeriksaan dan menjalani pengobatan
tanpa harus merasa minder karena efek samping yang kemungkinan akan diterima
melalui metode pengobatan kanker tersebut.
B. Usia Saat Terdiagnosa Kanker Serviks
Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia ibu terdiagnosa secara
medis menderita kanker serviks. Resiko faktor kanker serviks sangat berhubungan
dengan usia.
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia saat terdiagnosa kanker
serviks Umur Keterangan
Frekwensi Persentase
> 35 1 2.8
O 36 – 55 20 55.6
> 56 15 41.6
Total 36 100
Mean 53.8
Berdasarkan tabel 2 di atas hasil penelitian diketahui bahwa umur responden
waktu terdiagnosa kanker serviks sebagian besar 20 orang pada rentang umur 56-
55 tahun (55.6%), sedangkan rerata umurnya penderita kanker serviks 53.8 tahun
dan umur tertua 65 tahun dan umur termudah 35 tahun. Faktor resiko kanker serviks
sangat berhubungan dengan usia.
Menurut Setyarini (2009) umur menjadi faktor resiko penting dalam
perkembangan serviks. Usia rata-rata wanita yang terjangkit kanker serviks sekitar
48 tahun.
Wanita umur > 35 tahun dikarenakan banyak mengalami perubahan secara
fisik, mental, terutama kesehatan reproduksi karena perubahan hormonal yang
semakin menurun sehingga memudahkan timbulnya lesi atau perlukaan yang
menyebabkan virus HPV penyebab kanker serviks mudah masuk. Infeksi HPV
sampai menjadi kanker invasif membutuhkan waktu rata-rata 10-20 tahun . Pada
umumnya displasia derajat tinggi dapat terdeteksi 5-10 tahun sebelum terjadinya
kanker ( WHO.2013. Nubia M et al, 2003)
Kanker serviks invasive biasanya didahului oleh riwayat perubahan sel
prainvasif yang bervariasi antara dysplasia dan karsinoma in situ. Jika tidak
diterapi, sebagian kecil wanita yang mengalami dysplasia ringan akan mendirita
kanker invasive (Otto,2005)
Selain itu skrining secara dini kurang dilakukan atau malu melakukan
pemeriksaan awal adanya keluhan, sehingga kanker servik lama terdeteksi. ( Heru
Priantoro,2011)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 52 | 231
Hasil penelitian selaras dengan hasil penelitian tahun 2002 menunjukkan
puncak usia penderita kanker serviks di Indonesia ialah 45 – 54 tahun. Penelitian
sejenis oleh Siti H, 2016 bahwa rentang usia penderita kanker serviks >35 tahun
(85,9%) maupun hasil penelitian Ivanna, 2014 yang diketahuai ada hubungan
paritas dengan kejadian kanker serviks
Terlepas dari faktor resiko, skrining kanker serviks dapat mencegah sebesar
75% kasus kanker pada wanita yang melakukan skrining secara rutin. Skrining
merupakan salah satu pertahanan terbaik terhadap kanker serviks.
C. Paritas
Paritas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah kali wanita melahirkan
anak.
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas Paritas Keterangan
Frekwensi Persentase
Primipara 1-2 12 33.3
O Multipara 3-6 22 61.1
Grandemulti >7 2 5.6
Total 36 100
Berdasarkan tabel 3 di atas hasil penelitian diketahui sebanyak 22 orang
(61,1%) ibu melahirkan 3-6 kali, sedangkan orang 2 orang melahirkan lebih dari 7
kali , dengan rerata ibu melahirkan 3.3 kali
Wanita yang pernah melahirkan tiga kali atau lebih beresiko terkena kanker
serviks lebih tinggi. Penyebab secara pasti belum banyak diketahui. Tetapi ada
beberapa dugaan kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang
mempengaruhi epitel mukosa serviks ditambah trauma epitel pada saat persalinan
pervaginam yang berpotensi wanita rentan terhadap infeksi HPV.
Hasil penelitian ini selaras dengan Munoz et al 2002) dan Sukarya dan
Irvianty (2011) dimana didapatkan bahwa paritas yang banyak akan meningkatkan
sel karsinoma pada serviks yang positive terkena HPV yang dilakukan pemantauan
selama 13 tahun dengan jumlah sampel 400 kasus dan terkontrol.
D. Jenis Kontrasepsi
Jenis kontrasepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah riwayat jenis
kontrasepsi yang pernah digunakan ibu selama ini.
Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kontrasepsi Jenis
Kontrasepsi
Keterangan Lama/
Th
Frekwensi Persentase Mean
MOW 3 8,3 15
O IUD 9 25,0 6.6
Suntik 9 25,0 4.3
Susuk 1 3.6 5.0
Pil 9 25,0 8.6
Alami 5 13,8
Total 36 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 53 | 231
Berdasarkan tabel 4 di atas hasil penelitian diketahui kontrasepsi yang
digunakan sebanyak 9 orang (25%) dengan IUD dan lama pengunaan rerata 6,6,
kemudian suntik 9 orang ( 25%0 ) dengan kontrasepsi suntik dengan lama rerata
4,5 tahun dan kontrasepsi pil sebanyak 9 orang ( 25%) dengan rerata lama
penggunaan 8,6 tahun.
Hasil penelitian selaras dengan teori dan hasil penelitian bahwa kontrasepsi
hormon dan IUD yang digunakan dalam jangka panjang yaitu 4 tahun keatas dapat
meningkatkan resiko 1,5 – 2,5 kali. Beberapa penelitian pemakai kontrasepsi
hormon dan IUD sering didapatkan pertumbuhan kandida,bakteri dan tricomonas di
vagina karena adanya peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan
permukaan epitel vagina menebal dan permukaan dilapisi oleh glikoprotein
sehingga jamur, bakteri, dan tricomonas dapat tumbuh subur ( Sarwono,2010). Data
WHO resiko relatif pemakai kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan trus meningkat
seiring dengan lamanya pemakaian kontrasepsi tersebut.
Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian sejenis oleh Siti H
bahwa kejadian kanker servik terbanyak pada pengguna alat kontrasepsi hormonal
dan IUD yaitu suntik 68,8 %, selanjutnya pil 17,2 %, implant dan IUD masing-
masing 6,2 %
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan sebegai berikut:
1) Ibu terdiagnosa kanker serviks yang paling banyak sudah pada kategori
stadium III dan II
2) Kejadian kanker serviks sebagian besar rentang umur 56- 55 tahun tertua 65
tahun dan umur termuda 35 tahun.
3) Kejadian kanker serviks dengan riwayat ibu melahirkan mayoritas 3-6 kali
dan disusul lebih dari 7 kali
4) Kejadian kanker serviks dengan riwayat penggunaan kontrasepsi terbanyak
hormonal dan IUD, dengan lama penggunaan lebih dari 4 tahun
Berdasarkan hasil, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1) Skrining merupakan salah satu pertahanan terbaik terhadap kanker serviks
maka perlu dilakukan secara rutin oleh seorang wanita yang sudah menikah.
2) Jangan malu melakukan pemeriksaan awal adanya keluhan, sehingga kanker
servik muda terdeteksi
3) Membatasi jumlah anak dengan 2-3 anak cukup dengan menggunakan
kontrasepsi sederhana, bila harus memakai kontrasepsi hormonal selalu
berkonsultasi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 54 | 231
5. DAFTAR PUSTAKA
Heru, Priyanto S. 2011. Cegah kanker pada wanita, EGC: Jakarta
Irvianty, A dan Sukarya W. 2011. Hubungan karakteriktik pasien serviks yang
dirawat inap di bagian obstetric ginekologi RS Hasan Sadikin Badung.
Available: Http://prosiding Ippm.
Unisba.ac.id/index.php/Sains/article/View/32#.VNf9L0CBCS9U
Ivanna, J.M. 2014. Hubungan paritas dan usia ibu dengan kanker kanker serviks di
RSU Prof.Kandu Manado. Jurnal Skolastik Keperawatan/Vol.1 No.1Jan-Jun
2016, ISSN:2443-0935, E-ISSN:2443-1699
Nubia M, et al. 2003. Internasional Agency for research on cancer multicenter
cervical cancer study group. Epidemiologie classification of HPV types
associated with cervical cancer, N Engl 3 Med 2003,Feb 6; 348;518-27
Munoz.,et al 2002. Role of parity and human papilomavirus ini cervical cancer: The
IARC multicentric case-control study.The Lancet,Vol 359: 1093-1101,10
e08,234-28,243-239
Otto,S.E. 2005. Buku Saku Keperawatan Onkologi, Jakarta:EGC
Sarwono,P. 2010. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Setyarini,E. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker serviks
leher rahim di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Available :
http://eprints.ums.ac.id/3942/J410040010.pdf
Siti. H. 2016. Faktor-faktor resiko kejadian kanker serviks di RSUD Propinsi NTB,
Jurnal Media Bina Ilmiah. Vol 10,No.1 Januari 2016, ISSN No. 1978-3787.
Available : http://www.Ipsdimataram.com
Rasjidi. 2010. Imaging Ginekologi Onkologi, Jakarta: Sagung seto.
Rasjidi. 2007. Panduan Penatalaksanaan Kanker: Berdasarkan Evidence based.
Jakarta : EGC.
Rasjidi. 2007.Vaksin Human Papilloma VIRUS dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim,
Jakarta: Sagung Seto.
Soebachman, Agustina. 2011. Awas 7 Kanker Paling Mematikan, Yokyakarta:
Syura Media Utama.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 55 | 231
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFIKASI DIRI
PENDERITA TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS TIKUNG
LAMONGAN
Abdul Muhith1 M.H.Saputra
2, Sandu Siyoto
3 1Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto 2Program Studi S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit
3Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan STIKES Surya Mitra Husada Kediri
email: [email protected]
Abstrak
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pasien ketika didiagnosis Tuberkulosis paru timbul ketakutan dalam dirinya, ketakutan
itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke
orang lain, kehilangan pekerjaan, ditolak, perasaan rendah diri, selalu mengisolasi diri karena
malu dengan keadaan penyakitnya dan didiskriminasikan sehingga kualitas hidup pasien menurun.
Oleh karenanya penting bagi penderita Tuberkulosos untuk memiliki keyakinan untuk sembuh atau
efikasi diri. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi
diri pada penderita Tuberkulosis di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan.
Jenis penelitian ini adalah Observasional analitik, dengan rancang bangun penelitian cross
sectional. Jumlah sampel 52 orang penderita tuberkolosis di Puskemas Tikung Lamongan pada
bulan Januari – Maret 2017.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita memiliki efikasi diri yang positif.
Berdasarkan uji statitik memperlihatkan bahwa pengalaman keberhasilan responden, pengalaman
keberhasilan orang lain, social persuasion, dan kondisi fisiologis mempengaruhi efikasi penderita
tuberkolosis di Puskesmas Tikung Lamongan.
Peran seorang perawat sangat penting dalam mengoptimalkan faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan orang yang menderita penyakit tuberkulosis di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan,
misalnya dengan memberikan konsultasi terkait dengan penyakit yang dideritanya, sehingga mampu
meningkatkan keyakinannya untuk dapat sembuh dan hidup secara normal di lingkungan
masyarakat.
Kata Kunci : Efikasi, Penderita, Tuberkulosis.
1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis (Murwani, 2011). Mycobacterium tuberculosis ini
ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita tuberkulosis
merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis pada populasi di sekitarnya.
Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan yang
utama, baik di dunia maupun di Indonesia Fenomena di masyarakat sekarang ini
adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang
yang disangka menderita Tuberkulosis paru, sehingga muncul sikap berhati-hati
secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara,
kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal
tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan
merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 56 | 231
akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan, keluhan psikis ini akan
mempengaruhi kualitas hidupnya (Ratnasari, 2012).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, diketahui
prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan
tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007. Lima provinsi dengan
TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%),
Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). Angka prevalensi di
Jawa Timur adalah 0,2%. Angka kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas
Tikung Kabupaten Lamongan perolehan data rekam medis, pada tahun 2015
mencapai 84 pasien sedangkan tahun 2014 mencapai 98 pasien. Perolehan data
dari periode Januari sampai Desember 2016 telah didapatkan 60 pasien
Tuberkulosis paru yang dirawat di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan.
Berdasarkan studi pendahuluan peneliti pada bulan Desember 2016 pada 6 orang
penderita terkait dengan keyakinan untuk sembuh, diperoleh hasil bahwa 3 orang
(50%) merasa ragu-ragu, 2 orang (33%) tidak yakin bahwa dirinya dapat sembuh
dan 1 orang (17%) merasa yakin. Berdasarkan data teresebut tampak bahwa
prosentase antara yang yakin dengan tidak yakin lebih banyak yang merasa tidak
yakin, hal ini perlu dikaji faktor apa saja yang menyebabkan mereka tidak yakin
untuk sembuh.
Salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen perawatan diri pasien
adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan keyakinan individu akan kemampuannya
dalam mengatur dan melakukan suatu tugas tertentu demi tercapainya tujuan.
Menurut Feist & Feist (2016) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi efikasi diri
yaitu keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya, sosok
model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan
meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda,
dan social persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang
kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh
biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu
melakukan suatu tugas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor-
faktor yang mempengaruhi efikasi diri pada penderita Tuberkulosis di Puskesmas
Tikung Kabupaten Lamongan.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan disain cross-sectional
dengan sifat penelitian yakni penelitian penjelasan (explanatory research),
berdasarkan persepsi dari responden, yaitu menjelaskan hubungan kausal antara
variabel berdasarkan jawaban responden melalui pengujian hipotesis (Muhith,
2014).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang terekam di
Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan dari bulan Januari sampai dengan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 57 | 231
Desember 2016 sejumlah 60 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Simple
Random Sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan
secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi, dengan jumlah
sampel sebanyak 52 orang.
Tempat penelitian ditetapkan di Wilayah Kerja Puskesmas Tikung
Kabupaten Lamongan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni
2017. Analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik Chi square dengan tingkat
signifikansi 95% atau p = 0,05.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tikung pada bulan April – Mei 2017.
Puskesmas ini terletak di Jalan Mantup No. 44 Tikung Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden
No Umur Frekuensi Prosentase (%)
1
2
3
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
> 50 tahun
10
31
11
19.2
59.6
21.2
Jumlah 52 100
Distribusi frekuensi umur responden menunjukkan bahwa dari 52 responden
lebih dari separuh responden berusia 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 31 responden
(59.6%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
No Pendidikan Frekuensi Prosentase (%)
1
2
Laki – laki
Perempuan
27
25
51.9
48.1
Jumlah 52 100
Distribusi frekuensi pendidikan responden menunjukkan bahwa dari 52
responden lebih dari separuh responden berjenis kelamin laki – laki (51.9%) yaitu
sebanyak 27 orang.
Tabel 3 Tabulasi silang antara Pengalaman Keberhasilan Responden dengan
Efikasi Diri
No Pengalaman Keberhasilan
Responden
Efikasi Diri Total
Positif Negatif
f % f % f %
1 Positif 29 55,8 2 3.8 31 59,6
2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4
Total 32 61,5 20 38,5 52 100
p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α
Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar dari 52 responden
yang memiliki pengalaman keberhasilan positif serta memiliki efikasi diri positif
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 58 | 231
yakni sebesar 29 responden (55,8%). Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa
pengalaman keberhasilan responden berhubungan positif dan signifikan dengan
efikasi diri penderita tuberkulosis (p Value: 0,000. Nilai α : 0,05).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2014) pada
sekelompok lansia penderita penyakit degeneratif di sebuah Puskesmas Kota
Bandung, menunjukkan bahwa sebagian besar Lansia memiliki pengalaman
keberhasilan positif memiliki hubungan dengan timbulnya efikasi dalam dirinya (p
value: 0,02). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Uzuntiryaki (
2010) menunjukkan hasil diantara empat faktor yang berperan dalam
perkembangan efikasi diri, faktor “pengalaman berhasil” merupakan faktor yang
paling berperan dalam meningkatkan efikasi diri.
Efikasi diri terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada
lingkungan sosial yang dialami. Efikasi diri terbentuk sebagai proses adaptasi dan
pembelajaran yang ada dalam tema tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka
semakin tinggi efikasi diri yang dimilikinya dalam bidang pekerjaan tertentu. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan efikasi diri orang tersebut justru cenderung tetap
atau menurun. Hal ini tergantung bagaimana keberhasilan dan kegagalan
mempengaruhinya. Kesuksesan membangun keyakinan yang kuat dan kegagalan
yang dialami akan menjatuhkannya, terutama jika kegagalan terjadi sebelum efikasi
diri terbentuk. Kesulitan atau kegagalan merupakan bagian dari mastery experience
yang akan menjadi dasar melatih kemampuan mengontrol setiap keadaan (Bandura
dalam Ghufron & Risnawita, 2016).
Efikasi diri sangat berkaitan dengan pengalaman berhasil, orang yang
berhasil menyelesaikan suatu masalah efikasi dirinya akan meningkat,
sebaliknya orang yang gagal menyelesaikan suatu masalah efikasi dirinya akan
turun (terutama pada waktu efkasi diri belum terbentuk secara mantap dalam diri
seseorang). Permasalahan yang menantang akan memberikan kesempatan kepada
orang untuk mengarahkan kegagalan menjadi kesuksesan. Beberapa faktor
yangberperan dalam mengembangkan efikasi diri adalah : pra-konsepsi terhadap
kemampuan diri, kesimpulan diri tentang sulitnya tugas yang telah diselesaikan,
seberapa banyak bantuan yang diterima dari orang lain, pada lingkungan yang
bagaimana permasalahan dapat diselesaikan, pola kesuksesan dan kegagalan, cara
mengelola dan merekonstruksi pengalaman dalam ingatan. Orang yang memiliki
taraf efikasi diri rendah cenderung memandang keberhasilan yang dicapai sebagai
hasil dari usaha-usaha yang melelahkan, bukan sebagai bukti dari kemampuan
yang dimiliki. Sebaliknya orang yang memiliki taraf efikasi diri tinggi cenderung
memandang kegagalan disebabkan oleh kurangnya usaha dan kurangnya strategi.
Perkembangan efikasi diri disamping ditentukan oleh keberhasilan dan kegagalan
yang telah dilakukan, juga ditentukan oleh kesalahan dalam memonitor diri.
Apabila yang diingat hanya penampilan-penampilan yang kurang baik, maka
kesimpulan tentang efikasi diri cenderung rendah (underestimate). Apabila
kegagalan sering dialami tapi secara terus menerus selalu berusaha
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 59 | 231
meningkatkan penampilan maka efikasi diri akan meningkat. Sebaliknya, meskipun
keberhasilan sering dialami tapi yang dilihat selalu penampilan kurang baik maka
efikasi diri tidak meningkat. Kumpulan pengalaman akan menjadi penentu
efikasi diri melalui representasi kognitif, meliputi : ingatan terhadap frekuensi
keberhasilan dan kegagalan, pola temporernya, serta dalam situasi bagaimana
terjadinya keberhasilan dan kegagalan
Tabel 4 Tabulasi silang antara Pengalaman Keberhasilan Orang Lain oleh
Responden dengan Efikasi Diri
No Pengalaman Keberhasilan
Orang Lain oleh Responden
Efikasi Diri Total
Positif Negatif
f % f % f %
1 Positif 30 57,7 3 5.8 33 63,5
2 Negatif 2 3,8 17 32,7 19 36,5
Total 32 61.5 20 38,5 52 100
p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel di atas menunjukan bahwa sebagian
besar dari 52 responden yang mendapatkan pengalaman keberhasilan orang lain
positif juga memiliki efikasi diri positif yakni sebesar 30 responden (57,7%). Nilai
P sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima
yang artinya ada hubungan antara pengalaman keberhasilan orang lain oleh
responden dengan efikasi diri penderita tuberkulosis.
Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2013) bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan vicarious experience terhadap efikasi diri dengan melibatkan Subyek
penelitian sebanyak 20 siswa kelas XII SMK Negeri 2 Salatiga. Hasil menunjukkan
kenaikan yang signifikan antara tingkat efikasi diri berwirausaha sebelum (pre test)
dan sesudah (post test) diperlihatkan video vicarious experience. Hasil berbeda dari
pendapat Klassen (2012) bahwa Vicarious experience sering terjadi melalui
pemodelan, baik oleh guru atau teman sebaya, dan telah dinyatakan menjadi factor
yang tidak berpengaruh terhadap pengalaman seseorang.
Perbandingan sosial adalah komponen penting dari Vicarious experience,
dan mungkin sangat penting bagi seseorang yang rentan berkembang karena mereka
belum menyadari kemampuan relatif untuk berkembang. Penyataan tersebut
didukung Penelitian Muretta (2004) yang melibatkan 146 guru menyatakan bahwa
tidak ada korelasi antara efikasi diri dan Vicarious Experience. Pendapat lain yang
mendukung menyatakan bahwa Meskipun subjek dalam kondisi eksperimental
model peran (meniru), tidak ada bukti statistik untuk mendukung perubahan dalam
kinerja tugas.
Pengalaman dalam mengamati orang lain yang memiliki keberhasilan dalam
mengerjakan suatu tugas akan dapat meningkatkan keyakinan individu bahwa
mereka dapat mengerjakan tugas dan memiliki kemampuan yang sama seperti role-
model-nya. Besar atau kecilnya pengaruh role-mode terhadap efikasi diri seseorang
sangat bergantung dari bagaimana seseorang tersebut merasa mirip dengan model
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 60 | 231
yang ditirunya untuk kemudian membandingkan dengan dirinya (seberapa banyak
kesamaan yang ada). Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri
tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Efikasi diri juga
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. (Bandura dalam Ghufron & Risnawita,
2016).
Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu
akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu
melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat
melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan
untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang
dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan
penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu
untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan efikasi diri
individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya
pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman
individu akan kemampuannya sendiri.
Tabel 5 Tabulasi silang antara Social Persuasions dengan Efikasi Diri
No Social Persuasuions
Efikasi Diri Total
Positif Negatif
f % F % f %
1 Positif 29 55,8 2 3,8 31 59,6
2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4
Total 32 61,5 20 38,5 52 100
p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel di atas menunjukan bahwa sebagian
besar dari 52 responden yang memiliki social persuasuions positif juga memiliki
efikasi diri positif yakni sebesar 29 responden (55,8%). Nilai P sebesar 0,000 lebih
kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima yang artinya ada
hubungan antara social persuasions dengan efikasi diri penderita tuberkulosis.
Berdasarkan penelitian sudhir (2013) menunjukkan bahwa iklim akademik
persepsi memiliki pengaruh signifikan terhadap efikasi diri kinerja akademik
mahasiswa. Menurut Chan dan Lam (2010) verbal persuasi kepada mahasiswa yang
akan mempengaruhi efikasi diri adalah memberikan respon dan feedback dari
pekerjannya. Verbal persuasi juga dapat meningkatkan proses pembelajaran dan
menjamin standart kualitas keterampilan, kualitas moral, memperkuat kerja tim,
serta merangsang peningkatan pelayanan kesehatan (Parikh, 2002). Hal tersebut
didukung oleh Bobo (2012) bahwa efikasi diri dan keterampilan klinik meningkat
setelah diperlihatkan video evaluasi dan feedback dari tindakan keterampilan
mahasiswa.
Menurut Bandura dalam dalam Ghufron & Risnawita (2016), pengaruh
persuasi verbal tidaklah terlalu besar karena tidak memberikan suatu pengalaman
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 61 | 231
yang dapat langsung dialami atau diamati individu. Dalam kondisi yang menekan
dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami
pengalaman yang tidak menyenangkan.
Pada dasarnya Vebal persuasi merupakan kemampuan komunikasi yang
dapat membujuk atau mengarahkan orang lain. Dalam komunikasi persuasi terdapat
komponen atau elemen sehingga dapat disebut sebagai komunikasi persuasi.
Komponen tersebut antaranya; mempunyai tujuan persuasi baik , perintah yang
dibungkus dengan ajakan atau bujukan sehingga terkesan tidak memaksa dan
berdasarkan data-data atau fakta yang digunakan untuk memperkuat argumentasi.
Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan
bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan -
kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan.
Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk
mencapai suatu keberhasilan
Tabel 6 Tabulasi silang antara Kondisi fisiologis dengan Efikasi Diri
No Kondisi Fisiologis
Efikasi Diri Total
Positif Negatif
f % f % f %
1 Positif 29 55,8 2 3,8 31 59,6
2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4
Total 32 61,5 20 38,5 52 100
p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.11 di atas menunjukan bahwa
sebagian besar dari 52 responden yang memiliki kondisi fisiologis positif juga
memiliki efikasi diri positif yakni sebesar 29 responden (55,8%). Nilai P sebesar
0,000 lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima yang
artinya ada hubungan antara kondisi fisiologis dengan efikasi diri penderita
tuberkulosis.
Perubahan kondisi tubuh dan suasana hati dapat mempengaruhi efikasi diri,
orang akan cepat menyimpulkan kelelahan, rasa sakit, dan perubahan suasana hati
sebagai petunjuk tentang efikasi diri.
Sama halnya penelitian Rustika (2015) pada para pekerja yang mengalami
stress, kondisi fisiologis berhubungan dengan efikasi diri pada pekerja (p value :
0,02) dan sebagian besar pekerja memiliki pandangan tentang postitif akan kondisi
fisiologis memiliki efikasi diri yang positif. Hasil penelitian diatas sejalan dengan
penelitian Dill (2010) menunjukkan efikasi diri berhenti minum-minuman keras
menurun pada waktu suasana hati sedang sedih. Para alcoholic yang semula merasa
yakin mampu berhenti minum minuman keras (taraf efikasi diri berhenti minum
minuman keras tinggi) pada waktu suasana hatinya sedih keyakinannya untuk
mampu berhenti minum minuman keras menurun (taraf efikasi diri berhenti
minum minuman keras rendah).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 62 | 231
Dalam kaitannya dengan keadaan fisiologis dan suasana hati, efikasi diri
dapat meningkat apabila: kondisi tubuh meningkat, stres menurun, emosi-emosi
negatif berkurang, ada koreksi terhadap kesalahan interpretasi terhadap keadaan
tubuh. Pada waktu sedih penilaian terhadap diri cenderung rendah (tidak berarti).
Penilaian diri akan positif (taraf efikasi diri tinggi) pada waktu suasana hati
gembira, penilaian diri akan negatif (taraf efikasi diri rendah) pada waktu suasana
hati sedih. (Banduram dalam Ghufron & Risnawita , 2016)
Perubahan kondisi tubuh dan suasana hati dapat mempengaruhi efikasi diri,
orang akan cepat menyimpulkan kelelahan, rasa sakit, dan perubahan suasana
hati sebagai petunjuk tentang efikasi diri. Dalam kaitannya dengan keadaan
fisiologis dan suasana hati, efikasi diri dapat meningkat apabila: kondisi tubuh
meningkat, stres menurun, emosi-emosi negatif berkurang, ada koreksi terhadap
kesalahan interpretasi terhadap keadaan tubuh. Pada waktu sedih penilaian terhadap
diri cenderung rendah (tidak berarti). Penilaian diri akan positif (taraf efikasi diri
tinggi) pada waktu suasana hati gembira, penilaian diri akan negatif (taraf efikasi
diri rendah) pada waktu suasana hati sedih. Mengalami keberhasilan pada waktu
suasana hati gembira akan menimbulkan efikasi diri tinggi, sedangkan mengalami
kegagalan pada waktu suasana hati sedih akan menimbulkan efikasi diri rendah.
Orang yang gagal dalam suasan hati gembira cenderung overestimate terhadap
kemampuannya, sedangkan orang yang sukses dalam suasana hati sedih cenderung
underestimate terhadap kemampuannya.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengalaman
keberhasilan responden, pengalaman keberhasilan orang lain, social persuasion, dan
kondisi fisiologis mempengaruhi efikasi penderita tuberkolosis di Puskesmas
Tikung Lamongan.
5. DAFTAR PUSTAKA
Bararah, Taqiyyah & Jauhar, Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan: Panduan
Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Feist, J & Feist, G. J., 2016. Teori Kepribadian, edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika
Ghufron, M. N. & Risnawati, S. R., 2016. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media
Kholid, Ahmad. 2014. Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku,
Media, dan Aplikasinya untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Jakarta:
Rajawali Pers
Muhith, dkk. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan.Muha Medika, Jogjakarta
Muhith, A., 2016. Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada
Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah
Kabupaten Gresik. Medica Majapahit, 8(2), 59-73. Available at :
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 63 | 231
http://ejurnalp2m.stikesmajapahitmojokerto.ac.id/index.php/MM/article/vie
wFile/115/97
Murwani, A., 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Goshyen
Publishing.
Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Ratnasari, N.Y. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada
penderita Tuberkulosis paru dibalai pengobatan penyakit paru (BP4)
Yogyakarta. Jurnal tuberkulosis Indonesia vol 8. Hal 7 – 11.
Somantri, Irman. (2013). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Wahid, Abd. Dan Suprapto, Imam. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Gangguan
Sistem Respirasi. Jakarta : Trans Info Media.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 64 | 231
FAKTOR BUDAYA, PENDIDIKAN DAN KARAKTERISTIK
SOSIAL EKONOMI TERHADAP POLA MAKAN IBU POST
PARTUM DI WILAYAH PUSKESMAS SUKOREJO
KABUPATEN PASURUAN
Marsaid Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Kebiasaan masyarakat tentang pantang makan pada ibu hamil dan post partum merupakan suatu
fenomena tersendiri di masyarakat kita, kebutuhan akan asupan gizi seringkali bertentangan dengan
budaya masyarakat khususnya pada ibu post partum, dimana ibu dalam keadaan yang lemah setelah
proses persalinan dan harus menyusui bayinya. Pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi terjadi
di masyarakat karena belum mengetahui hubungan antara makanan dengan kesehatan maupun
kebutuhan makanan setelah melahirkan (Anderson Foster, 2005:324). Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pengaruh faktor budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi terhadap
pola makan ibu post partum di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.. Jenis penelitian
ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel Independennya adalah faktor
budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi sedangkan Variabel Dependennya adalah pola
makan ibu post partum. Populasi penelitian adalah semua ibu post partum di wilayah Puskesmas
Sukorejo Kabupaten Pasuruan, menggunakan teknik Purposive Sampling dan besar sampel adalah
100 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner. Berdasarkan hasil uji analisis statistik
Spearman didapatkan untuk variabel budaya nilai p=0,000<0,05 sedangkan untuk variabel
pendidikan nilai p=0,000<0,05 serta untuk variabel karakteristik sosial ekonomi nilai P=
0,002<0,05 yang artinya ada pengaruh yang signifikan antara faktor budaya, pendidikan dan
karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan pada ibu Post Partum. Dari hasil penelitian
diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam memberikan perawatan pada ibu Post partum
khususya informasi mengenai pentingnya pola makan yang baik yaitu dengan cara membaca leaflet
maupun bertanya kepada petugas kesehatan.
Kata Kunci : Budaya, Pendidikan, Sosial ekonomi, Pola makan
1. PENDAHULUAN
Pembangunan generasi yang cerdas serta berkualitas merupakan tanggung
jawab seluruh komponen masyarakat. Ibu mempunyai peran dan tanggung jawab
melahirkan generasi yang cerdas dan berkualitas. Peningkatan kualitas manusia
harus dipersiapkan sejak dalam kandungan sampai saat persalinan hingga masa
tumbuh kembangnya, oleh karena itu kesejahteraan ibu dan anak perlu mendapat
perhatian khusus. Kwalitas hidup, produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan
kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta
terganggunya perkembangan mental adalah akibat langsung atau tidak langsung dari
masalah gizi kurang.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu masalah gizi yang paling utama
pada saat ini di Indonesia adalah kurang kalori, protein hal ini banyak ditemukan
bayi dan anak yang masih kecil dan sudah mendapat adik lagi yang sering disebut
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 65 | 231
“kesundulan” artinya terdorong lagi oleh kepala adiknya yang telah muncul
dilahirkan. Keadaan ini karena anak dan bayi merupakan golongan rentan.
Kasus gizi buruk terjadi terutama pada penduduk miskin dengan golongan
yang rawan seperti ibu hamil, ibu post partum, bayi dan balita. Masalah kekurangan
gizi ini karena pengaruh faktor ekonomi yang rendah, perilaku dan pengetahuan
masyarakat yang kurang tentang gizi. Kepercayaan bahwa ibu hamil dan post
partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu post
partum kehilangan zat gizi yang berkualitas. Kemiskinan masyarakat akan
berdampak pada penurunan pengetahuan dan informasi, dengan kondisi ini
keluarga, khususnya ibu akan mengalami resiko kekurangan gizi, menderita anemia
dan akan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (Rahman, 2003).
Pemenuhan gizi ibu setelah melahirkan erat kaitanya dengan tingkat
pengetahuan serta cara ibu menilai makanan yang sering dianggap tabu oleh karena
adanya budaya yang berkembang di masyarakat.
Pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi sering kali terjadi di
masyarakat karena belum mengetahui hubungan antara makanan dengan kesehatan
maupun kebutuhan makanan setelah melahirkan. Di Indonesia pantangan makanan
ketika melahirkan dan hamil ada yang mengakibatkan kurang gizi. Sedangkan di
pantai timur Malaysia seorang yang post melahirkan tidak boleh makan makanan
yang dingin selama 40 hari, semua makanan dipanaskan termasuk buah-buahan
kecuali durian karena sudah panas, karena adanya pembatasan itu makanan kurang
mencukupi dari yang seharusnya (Anderson foster.2005)
Dalam konteks perilaku dan budaya tradisi pantang makanan tertentu masih
harus dijalani ibu hamil dan melahirkan yang mengakibatkan banyak ibu hamil dan
nifas tidak dapat mengkonsumsi makanan tinggi protein.
Mengingat banyak kebiasaan yang berhubungan dengan makanan yaitu
adanya beberapa makanan tabu setelah melahirkan yang tidak memberikan efek
positif terhadap kesehatan dan kondisi gizi Ibu. Pada beberapa daerah, larangan
konsumsi telur, daging dan makanan yang mengandung protein tinggi lainnya dapat
mengurangi asupan gizi yang penting. Banyak buah-buahan dan sayuran yang juga
dilarang untuk dikonsumsi padahal sangat dibutuhkan oleh Ibu yang baru
melahirkan. Oleh karena itu Ibu harus mendapat nasehat gizi dan petunjuk makanan
dari bagian gizi Rumah Sakit/Puskesmas. (Hellen Forrer.1999)
Perilaku makan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan
makan. Kebiasaan makan merupakan sebagai cara-cara individu atau kelompok
masyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang
tersedia, yang didasari pada latar belakang sosial budaya tempat mereka hidup.(den
Hertog dan van Staveren, 1983). Dari sudut pandang ilmu antropologi dan ilmu
sosiologi mengenai perilaku konsumsi makan individu dan sistem sosial keluarga
menunjukkan, bahwa faktor umum yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah
karena adanya perubahan sosial (Sanjur, 1982)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 66 | 231
Menurut Sanjur (1982), terdapat dua dasar pemikiran mengenai kebiasaan
makan yang terdapat pada diri seseorang yaitu: 1) kebiasaan makan yang terbentuk
pada seseorang sebagai faktor budaya karena dipelajari dan 2) kebiasaan makan
yang sengaja dipelajari.
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 13
Maret 2010 didapatkan data jumlah ibu melahirkan di wilayah Puskesmas Sukorejo
Kabupaten Pasuruan pada bulan Januari 2010 sebanyak 96 orang, dengan perincian
91 orang lahir di tenaga kesehatan dan sisanya 5 orang lahir di dukun. Sedangkan
pada bulan Pebruari 2010 jumlah ibu melahirkan di wilayah Puskesmas Sukorejo
sebanyak 97 orang, dengan perincian persalinan ditolong tenaga kesehatan
sebanyak 90 orang dan 7 orang ditolong oleh dukun.
Kebiasaan masyarakat tentang pantang makan pada ibu hamil dan post
partum merupakan suatu fenomena tersendiri di masyarakat kita, kebutuhan akan
asupan gizi seringkali bertentangan dengan budaya masyarakat khususnya pada ibu
post partum, dimana ibu dalam keadaan yang lemah setelah proses persalinan dan
harus menyusui bayinya. Ibu post partum harus berpantang makanan daging, telur
dan sebagainya yang justru sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi
pada ibu post partum. Fakta yang ada dimasyarakat selain budaya yang
mempengaruhi pola makan ada pula faktor karakteristik keluarga diantaranya
kondisi sosial ekonomi yang akan berpengaruh pada pola makan. Semakin rendah
kondisi sosial ekonomi seseorang semakin banyak dalam menjalankan berpantang
terhadap makanan. Notoatmojo (1997) mengartikan kondisi sosial ekonomi
berpengaruh terhadap budaya pantang makan, dimana status sosial ekonomi
ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal, dan
jumlah anggota keluarga. Berdasarkan uraian diatas maka penting untuk dibuktikan
melalui penelitian adakah pengaruh faktor budaya, pendidikan dan karakteristik
sosial ekonomi terhadap pola makan ibu post partum di wilayah Puskesmas
Sukorejo Kabupaten Pasuruan.
Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:
pengaruh faktor pendidikan terhadap pola makan ibu post partum di wilayah
Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Menganalisis pengaruh faktor
karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan ibu post partum di wilayah
Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain observasional analitic dengan
pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti pengaruh
faktor budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan
pada ibu post partum di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 67 | 231
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah para ibu post partum di wilayah
Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Sampel diambil dari 100 ibu post partum
yang ada di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Pengambilan
sampel dengan cara purposive sampling.
Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan kuesioner
yang diberikan ke responden. Kuisoner yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuisoner dalam bentuk tertutup, dimana jawaban sudah di sediakan sehingga
responden tinggal memilih dengan memberikan tanda silang (X) dari pilihan
jawaban yang tersedia. Setiap jawaban dari masing-masing jawaban diberi nilai,
apabila benar nilai 1 dan nilai 0 apabila salah.
Teknik Pengolahan Data.
Data yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan variabelnya.
Untuk variabel budaya dan pola makan pada lembar kuesioner dicantumkan 2
jawaban yaitu “Ya” dan “Tidak”. Dengan pembagian kelompok skor dimana
pertanyaan positif untuk jawaban “ya” diberi skor 1 dan jawaban “ tidak” diberi
skor 0. Sedangkan pada pertanyaan yang bersifat negatif jawaban “ya” diberi skor 0
dan jawaban “ tidak” diberi skor 1. Untuk variabel pendidikan yang lulusan
Perguruan Tinggi Skornya = 4, lulusan SMA skornya = 3, lulusan SMP skornya =
2, lulusan SD skornya = 1 dan tidak lulus SD skornya = 0. Untuk variabel keadaan
sosial ekonomi yang jumlah penghasilan keluarga per bulan kurang dari
Rp.500.000 skornya = 1, Rp.500.000 s/d 1.000.000 skornya = 2, dan lebih dari
Rp.1.000.000 skornya = 3. Selanjutnya melakukan perhitungan prosentase dari skor
kuesioner yang didapatkan. Kemudian hasil perhitungan prosentase dimasukkan
dalam kriteria penilaian dan diinterprestasikan secara kualitatif. Untuk penilaian
mengenai budaya dikategorikan secara dikotomi dengan menggunakan kriteria
peneliti: Tidak sesuai budaya bila nilainya 50-100% dan Sesuai budaya bila nilainya
< 50 %. Untuk penilaian mengenai pendidikan dimasukkan dalam kriteria : SD
tidak lulus, Lulus SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk
variabel karakteristik sosial ekonomi dikelompokkan menjadi : Kurang dari
Rp.500.000, Rp.500.000 s/d 1.000.000 dan Lebih dari Rp.1.000.000. Untuk
penilaian mengenai pola makan dikategorikan dengan menggunakan kriteria
peneliti: Pola makan baik bila nilainya 50 – 100 % dan Pola makan tidak baik bila
nilainya < 50 %. Kemudian dianalisa dengan Spearman untuk mengetahui adakah
pengaruh variabel-variabel independent mempengaruhi dependent dengan derajad
kemaknaan p<0,05. Analisa data ini menggunakan piranti lunak SPSS for windows.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 68 | 231
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur No. Umur f (%)
1.
2.
3.
< 20 tahun
20 – 40 tahun
41 – 60 tahun
3
94
3
3
94
3
Jumlah 100 100
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah responden yang berumur antara 20–
41tahun sebanyak 94 responden (94 %).
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pekerjaan No. Pekerjaan f (%)
1.
2.
3.
4.
5.
Swasta
TNI/Polri
PNS
Petani
Ibu Rumah Tangga
64
0
6
6
24
64
0
6
6
24
Jumlah 100 100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa jumlah responden yang mempunyai
pekerjaan swasta sebanyak 64 responden (64 %).
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Pendidikan f %
1.
2.
3.
4.
5.
SD Tidak Lulus
SD Lulus
SLTP
SLTA
Diploma/Sarjana
0
23
20
47
10
0
23
20
47
10
Jumlah 100 100
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa jumlah responden yang pendidikannya
SLTA sebanyak 47 responden (47%).
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan keadaan sosial ekonomi
No Pendidikan F %
1.
2.
3.
Pendapatan kurang
Pendapatan sedang
Pendapatan lebih
5
75
20
5
75
20
Jumlah 100 100
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah responden yang keadaan sosial
ekonominya sedang sebanyak 75 responden (75%).
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Budaya
No Budaya f %
1.
2.
Tidak Sesuai Budaya
Sesuai Budaya
44
56
44
56
Jumlah 100 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 69 | 231
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa jumlah responden yang sesuai
budaya sebanyak 56 responden (56%).
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Makan No Pendidikan f %
1.
2.
Pola Makan Baik
Pola Makan Tidak Baik
77
23
77
23
Jumlah 100 100
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa jumlah responden yang pola
makannya baik sebanyak 77 responden (77%).
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan faktor budaya dan pola makan
No
Budaya
Pola Makan
Baik Tidak Baik Jumlah
f % f % f %
1. Tidak sesuai budaya 44 44 0 0 44 44
2. Sesuai budaya 33 33 23 23 56 56
Jumlah 77 77 23 23 100 100
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa jumlah responden yang tidak sesuai
budaya dan pola makannya baik sebanyak 44 responden (44 %).
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan pendidikan dan pola makan
No
Pendidikan
Pola Makan
Baik Tidak Baik Jumlah
f % f % f %
1 SD Lulus 0 0 23 23 23 23
2 SLTP 20 20 0 0 20 20
3 SLTA 43 43 0 0 43 43
4 PT 14 14 0 0 14 14
Jumlah 77 77 23 23 100 100
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa jumlah responden yang
pendidikannya SLTA dan pola makannya baik sebanyak 43 responden (43 %).
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi responden berdasarkan keadaan sosial ekonomi dan
pola makan
No Pendapatan
Pola Makan
Baik Tidak Baik Jumlah
f % f % f %
1. Pendapatan kurang 2 2 3 3 5 5
2. Pendapatan sedang 55 55 20 20 75 75
3. Pendapatan lebih 20 20 0 0 20 20
Jumlah 77 77 23 23 100 100
Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa jumlah responden yang pendapatan
keluarganya sedang dan pola makannya baik sebanyak 55 responden (55 %).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 70 | 231
Pengaruh faktor budaya, pendidikan dan sosial ekonomi dengan pola makan
pada ibu post Partum di Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan
Dari hasil uji statistik Spearman dengan p = 0,05 variabel pengaruh budaya
terhadap pola makan didapatkan nilai Sig.(2 tailed) atau p = 0,000 < 0,05 sehingga
menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada pengaruh yang
signifikan antara faktor budaya dengan pola makan. Sedangkan hasil uji statistik
variabel pengaruh pendidikan terhadap pola makan didapatkan nilai p = 0,000 <
0,05 sehingga menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada pengaruh
yang signifikan antara faktor pendidikan dengan pola makan. Hasil Uji statistik
variabel pengaruh karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan didapatkan
nilai p = 0,002 < 0,05 sehingga menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang
artinya ada pengaruh yang signifikan antara faktor sosial ekonomi dengan pola
makan.
Pembahasan
Pengaruh Faktor Budaya Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post Partum Di
Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan
Berdasarkan hasil uji statistik Spearman pada tabel 5.0 menunjukkan ada
pengaruh yang signifikan antara faktor budaya terhadap pola makan pada ibu post
partum dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Hal ini dapat diketahui dari analisa
butir soal kuesioner nomor 8 sebanyak 47 responden (47%) menjawab kebiasaan
makan bukan merupakan hasil turun temurun.
Berdasarkan hasil penelitian diatas dari hasil uji statistik diatas, menurut
peneliti disebabkan sebagian responden tidak mempunyai suatu kepercayaan atau
pantangan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini karena didukung oleh
kemampuan berfikir masyarakat dalam menyesuaikan diri pada pola perilaku yang
dirasa bermanfaat bagi mereka karena berkembangnya ilmu pengetahuan sehingga
memiliki pola makan yang sesuai yaitu menerima beberapa jenis makanan sesuai
dengan kebutuhan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerjono Soekamto (2003) kebudayaan
terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang
yang hidup bermasyarakat yang mengahsilkan filsafat serta ilmu pengetahuan
sedangkan menurut Suharjo (1986) mengembangkan kebiasaan makan mempelajari
cara yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak
bentuk atau jenis pangan tertentu mulai dari permulaan hidupnya dan menjadi
bagian perilaku yang berakal diantara kelompok penduduk tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 44% responden tidak
sesuai budaya, hal ini dapat diketahui dari jawaban respnden yang mengatakan
bahwa ibu-ibu post partum tidak mempunyai suatu kepercayaan atau pantangan
dalam mengkonsumsi makanan yang disajikan oleh bidan/puskesmas.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 71 | 231
Hal ini sangat memungkinkan responden mempunyai ilmu dan wawasan
dalam memberikan jawaban dengan alasan yang rasional pada suatu pertanyaan
yang diberikan. Mengingat tingkat pendidikan setingkat SLTA merupakan
kesinambungan dari pendidikan dasar (wajib belajar) sehingga pengetahuan yang
dimilikinya juga semakin luas dan dapat mengambil keputusan atas sikap yang
dianggap paling baik dan bermanfaat bagi mereka.
Menurut Muhibin Syah masa dewasa awal (early adulthood) ialah fase
perkembangan saat seseorang remaja mulai memasuki masa dewasa. Menurut
Hurlock masa dewasa dini adalah masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh
dengan ketegangan emosional, periode isolasi sosial dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai kreatifitas dan penyesuaian diri pada pola yang baru. Menurut
Foster dan Anderson bahwa pendidikan dan urbansasi yang meningkat telah
melemahkan adat istiadat pada generasi sekarang. Segi positifnya bahwa
penegtahuan mengenai kepercayaan disuatu tempat tersebut dapat dipakai dalam
perencanaan perbaikan gizi.
Sedangkan menurut Notoatmojo (2003) perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Dan untuk
melakukan pendekatan perilaku kesehatan petugas kesehatan juga harus menguasai
berbagai macam latar belakang sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
Disamping itu tempat tinggal responden yang berada tidak jauh dari pusat
kegiatan masyarakat sehingga pemenuhan kebutuhan dan fasilitas sehari-hari
mudah didapatkan serta lebih mudah untuk menyesuaikan diri pada pola yang baru
yang berkembang seperti kepercayaan mengenai pola makan (pantangan makan).
Perilaku makan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan
makan. Kebiasaan makan merupakan sebagai cara-cara individu atau kelompok
asyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang
tersedia, yang didasari pada latar belakang sosial budaya tempat mereka hidup.(den
Hertog dan van Staveren, 1983).
Dari sudut pandang ilmu antropologi dan ilmu sosiologi mengenai perilaku
konsumsi makan individu dan sistem sosial keluarga menunjukkan bahwa faktor
umum yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah karena adanya perubahan
sosial (Sanjur, 1982)
Pengaruh Faktor Pendidikan Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post Partum Di
Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan
Berdasarkan tabel 5.0 didapatkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor
pendidikan terhadap pola makan pada ibu post partum dengan tingkat kemaknaan p
< 0,05. Hal ini disebabkan karena 43 responden (43%) dengan pendidikan terakhir
SLTA (menengah) mempunyai pola makan yang baik, sedangkan 23 responden
(23%) dengan pendidikan terakhir SD mempunyai pola makan tidak baik.
Dari hasil uji statistik diatas menurut peneliti disebabkan karena ibu post
partum dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah membawa perubahan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 72 | 231
karena lebih mudah menerima informasi dan memiliki pengetahuan luas sehingga
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengkonsumsi makanan yang sesuai
dengan kebutuhan.
Hal ini dikaitkan dengan teori Notoatmodjo (2003) bahwa pendidikan
merupakan suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik,
dan lebih matang pada diri individu kelompok atau masyarakat, dari tidak tau
tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tau, dari tidak mampu mengatasi masalah-
masalah kesehatanya sendiri menjadi mampu, serta dapat menghasilkan perubahan
atau peningkatan pengetahuan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 43% responden memiliki
pendidikan terakhir tingkat menengah. Menurut UU Sisdiknas pendidikan SLTA
yaitu pendidikan yang merupakan lanjutan dari pendidikan dasar dan menengah.
Hal ini dikaitkan dengan teori Notoadmojo (2003) bahwa pendidikan merupakan
suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik,
dan lebih matang pada diri individu kelompok atau masyarakat, dari tidak tahu
tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-
masalah kesehatanya sendiri menjadi mampu, serta dapat mengahsilkan perubahan
atau peningkatan pengetahuan masyarakat.
Menurut Muhibbin Syah (2003) pendidikan berarti tahapan kegiatan yang
bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan
individu dalam mengetahui pengetahuan kebiasaan, sikap dan sebagainya.
Sedangkan menurut Solita Sarwono (2004) di Indonesia telah dikembangkan suatu
strategi perubahan perilaku dengan menggunakan metode pendidikan yang
bertujuan untuk mengembangkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dan
memecahkan masalah kesehatan masyarakat setempat. Jelas bahwa untuk mencapai
tujuan ini anggota masyarakat perlu dilatih dan diberi kesempatan untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketarampilan mereka dalam memecahkan
maslah-masalah dengan menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dapat
diperoleh di tempat itu. Pendekatan edukatif ini melibatkan secara aktif masyarakat
atau konsumen juga petugas kesehatan.
Perilaku konsumsi makan seperti halnya perilaku lainnya pada diri eseorang,
satu keluarga atau masayarakat dipengaruhi oleh wawasan dan cara pandang dan
faktor lain yang berkaitan dengan tindakan yang tepat. Jika ditelusuri lebih lanjut,
sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu berkaitan
dengan informasi tentang makanan dan gizi yang pernah diterimanya dari berbagai
sumber. Di sisi lain, perilaku konsumsi makan dipengaruhi pula oleh wawasan atau
cara pandang seseorang terhadap masalah gizi. Wawasan ini berkaitan erat dengan
pengetahuan dan sikap-sikap mental, baik berasal dari proses sosialisasi dalam
sistem sosial keluarga maupun melalui proses pendidikan.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 73 | 231
Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post
Partum Di Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.
Berdasarkan tabel 5.0 didapatkan ada pengaruh yang signifikan antara
karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan pada ibu post partum dengan
tingkat kemaknaan p < 0,05. Hal ini disebabkan karena dari 77 responden (77%)
yang mempunyai pola makan baik, 55 responden (55%) berpendapatan sedang
sedangkan 20 responden (20%) dengan pendapatan lebih.
Pola makan yang kurang baik dapat berdampak terhadap masalah gizi.
Kasus gizi buruk terjadi terutama pada penduduk miskin dengan golongan yang
rawan seperti ibu hamil, ibu post partum, bayi dan balita. Masalah kekurangan gizi
ini karena pengaruh faktor ekonomi yang rendah, perilaku dan pengetahuan
masyarakat yang kurang tentang gizi. Kepercayaan bahwa ibu hamil dan post
partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu post
partum kehilangan zat gizi yang berkualitas.
Kemiskinan masyarakat akan berdampak pada penurunan pengetahuan dan
informasi, dengan kondisi ini keluarga, khususnya ibu akan mengalami resiko
kekurangan gizi, menderita anemia dan akan melahirkan bayi berat badan lahir
rendah (Rahman, 2003).
Fakta yang ada dimasyarakat selain budaya yang mempengaruhi pantang
makan ada pula faktor karakteristik keluarga diantaranya kondisi sosial ekonomi
yang akan berpengaruh pada perilaku pantang makan. Semakin rendah kondisi
sosial ekonomi seseorang semakin banyak dalam menjalankan berpantang terhadap
makanan. Notoatmojo (1997) mengartikan kondisi sosial ekonomi berpengaruh
terhadap budaya pantang makan, dimana status sosial ekonomi ditentukan oleh
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal, dan jumlah anggota
keluarga.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji analisis statistik Spearman ada pengaruh yang
signifikan antara faktor budaya terhadap pola makan pada ibu Post Partum. Ada
pengaruh yang signifikan antara faktor pendidikan terhadap pola makan pada ibu
Post Partum. Ada pengaruh yang signifikan antara karakteristik sosial ekonomi
terhadap pola makan pada ibu Post Partum
Saran
Bagi Ibu-ibu Post Partum diharapkan dapat mempertahankan pemahaman
tentang pola makan yang baik serta mempunyai pertimbangan dalam memperbaiki
pola makan agar sesuai dengan kebutuhan yaitu dengan cara membaca leaflet
tentang diet post Partum serta banyak bertanya kepada tenaga kesehatan/bidan
sewaktu dirawat di puskesmas/polindes serta tidak terpengaruh terhadap pantangan
makanan yang tidak benar.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 74 | 231
Bagi Puskesmas/Polindes diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam
memberikan perawatan pada ibu Post Partum khususnya dalam pemberian motivasi
dan informasi melalui penyuluhan tentang pentingnya pola makan yang baik, yang
dibutuhkan untuk proses penyembuhan atau pemulihan Post Partum selain itu
melalui media lain seperti flipchart, poster selain itu menyedikan tempat konsultasi
untuk diit post Partum.
Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan dapat dijadikan data dasar untuk
melakukan penelitian pengembangan selanjutnya sehingga diperoleh gambaran
tentang pola makan pada ibu Post Partum.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Foster. 2005. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia
(UI. Perss).
Alwi, H.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pusataka.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Almaitser, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Gallasher, Chrissie. 2004. Pemulihan Pasca Operasi Caesar. Jakarta : Airlangga.
Hariningsih. 2004. Perawatan Ibu Nifas. Klaten : Sahabat Setia.
Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.
Nursalam. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan .CV.
Indofomedia. Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo.2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rieneka
Cipta.
Sarwono, Solita.2004. Sosiologi Kesehatan. Jogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Suhardjo.1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : UI Perss.
Soekanto, Soerjono.2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Syah Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 75 | 231
PENGARUH MOBILISASI TEMPAT TIDUR TERHADAP
PERISTALTIK USUS PADA PASIEN STROKE DI RUANG
INTERNE 1 RSUD DR. R. SOEDARSONO PASURUAN
Sumirah Budi Pertami1 Budiono
2, Oktaviani Defi
3 1, 2, 3
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Stroke merupakan gangguan saraf yang disebabkan adanya penyumbatan saluran darah di otak.
Gejalanya berupa kelemahan pada anggota tubuh sehingga berdampak imobilisasi, yang
menghambat rangsangan pada saraf parasimpatis, sehingga menurunkan gelombang peristaltik
usus. Penanganan yang dilakukan perawat yaitu mobilisasi secara instruksional tanpa protab
tertulis, sehingga tindakan mobilisasi belum efektif di ruang rawat inap. Upaya keperawatan untuk
meningkatkan peristaltik usus dilakukan mobilisasi tempat tidur dengan posisi lateral yang dirubah
setiap 2 jam dan latihan rentang gerak di tempat tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh mobilisasi tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasie stroke di RSUD Dr. R.
Soedarsono Pasuruan. Desain penelitian yang digunakan adalah True Experimental dengan jenis
rancangan Pretest- Postest with Control Group Design. Menggunakan teknik accidental sampling,
sampel diperoleh sebanyak 30 responden. Analisis data uji statistik menggunakan Independent t -
Test dan Paired t – Test dengan α < 0,05. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh mobilisasi
tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasien stroke (ρ value = 0,001 < 0,05). Mobilisasi
tempat tidur dapat melancarkan sirkulasi darah dengan menghantarkan rangsang ke saraf
parasimpatis untuk merangsang motilitas usus sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus. Pasien
stroke dengan imobilisasi disarankan untuk melakukan mobilisasi tempat tidur agar tidak terjadi
komplikasi seperti konstipasi, ileus paralitik.
Kata Kunci: Mobilisasi Tempat Tidur, Peristaltik Usus, Stroke
1. PENDAHULUAN
Cedera Vaskular Serebral (CVS), yang sering disebut stroke atau serangan
otak, yaitu cedera otak yang berkaitan dengan penyumbatan aliran darah di otak
(Corwin, 2009). CVS atau Stroke terjadi karena adanya gangguan fungsi syaraf.
Gangguan syaraf tersebut menimbulkan beberapa gejala antara lain bicara pelo,
kemungkinan perubahan kesadaran, kelumpuhan wajah atau anggota badan,
disfungsi kandung kemih, gangguan eliminasi dan lain-lain (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kemenkes Republik Indonesia, 2013).
WHO (2005), menyatakan penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah
pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat
stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. Lebih
dari 85% kematian ini terjadi pada orang yang hidup di negara yang berpenghasilan
rendah dan menengah dan sepertiga diantaranya terjadi pada usia <70 tahun.
Bardasarkan hasil Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes
Republik Indonesia (2013), Prevalensi penyakit stroke juga meningkat dari 8,3
per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013) di Indonesia. Yayasan Stroke
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 76 | 231
Indonesia (2009) dalam Mufattichah (2012), Indonesia menduduki peringkat
pertama di Asia pada kasus stroke. Setiap tahun diperkirakan 500 ribu orang
mengalami serangan stroke dan 28,5% dari 500 ribu orang yang menderita stroke di
Indonesia meninggal dunia. Selain itu, tahun 2020 diperkirakan penyakit jantung
dan stroke menjadi penyebab utama kematian di dunia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis, stroke termasuk dalam
10 besar penyakit yang dirawat di RSUD Dr. Soedarsono Pasuruan. Pasien stroke
mengalami peningkatan masuk ke ruang interne 1 mulai bulan Juni sampai bulan
Oktober didapatkan data 200 pasien stroke. Selain itu, dari hasil survei menunjukan
bahwa hampir 60% atau 120 pasien stroke dari 200 pasien stroke mengalami
penurunan peristaltik usus akibat imobilisasi (Data Rekam Medis RSUD Dr.
Soedarsono Pasuruan, 2016).
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi
lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral.
Salah satu masalah kesehatan yang timbul akibat stroke adalah kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol motorik volunter pada salah
satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada salah
satu sisi tubuh (hemiparesis). Hemiparesis membuat mudah lelah, mengakibatkan
ketidak mampuan bergerak secara aktif atau imobilisasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Dampak imobilisasi pada sistem pencernaan dapat menurunkan peristaltik
usus (Perry & Potter, 2006) sehingga dapat menyebabkan gangguan eliminasi,
paralitik ileus dan peritonitis (Muttaqin, 2011). Penelitian Cooney & Reuler (1991)
dalam Manurung (2015), pasien stroke dengan imobilisasi hanya berbaring saja
tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut. Pasien dengan
immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis. Bahaya
fisiologis akan menurunkan laju metabolisme dan menyebabkan gangguan
gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik. Berdasarkan
Penelitian Umah & Syafi’i (2014), sebanyak 10 responden dalam keadaan
imobilisasi dan 7 responden (80%) dari 10 responden memiliki masalah sistem
gastrointestinal yang mengakibatkan gerakan peristaltik menurun.
Penurunan peristaltik usus dapat diatasi dengan beberapa cara dengan tetap
menjaga aktivitas karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis dan
diafragma dapat dipertahankan sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah
kolon dapat bertambah baik (Umah & Syafi’i, 2014). Mobilisasi tempat tidur
sebenarnya sudah dilakukan tapi secara instruksional sehingga belum efektif di
ruang rawat inap. Oleh karena itu penggantian posisi secara teratur dan sering
merupakan salah satu tindakan keperawatan yang perlu dilakukan karena dapat
mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat berbaring. Posisi pasien sebaiknya
dirubah setiap 2 jam dan diberi latihan rentang gerak di tempat tidur bila tidak ada
kontra indikasi (Prasetya, 2013).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 77 | 231
Mobilisasi tempat tidur yaitu Mobilisasi posisi lateral setiap 2 jam dan
latihan rentang gerak merangsang gelombang peristaltik di gelombang usus besar
(Fibre & ageing, 2007). Menurut Priharjo (2007) dalam Prastya (2013) mobilisasi
secara teratur merupakan salah satu tindakan keperawatan yang perlu dilakukan
karena dapat mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat tirah baring maka
posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam dan latihan rentang gerak bila tidak
ada kontra indikasi.
Proses pergerakan peristaltik usus dengan adanya mobilisasi tempat tidur
yaitu terjadi gerakan reflek sebagai reseptor rangsangan sensorik yang peka
terhadap rangsangan dimana serat saraf aferen yang dapat menghantarkan
rangsangan tersebut ke susunan saraf pusat. Saraf pusat tempat integrasi masuknya
sensorik dan dianalisis kembali ke neuron eferen, lalu merangsang serabut saraf
pada otot rangka sehingga mempercepat metabolisme dalam tubuh disertai dengan
meningkatnya curah jantung, yang akan menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh
menjadi lebih cepat. Sirkulasi darah yang lancar akan menyebabkan inervasi saraf
parasimpatik ke saluran pencernaan (Hidayat & Uliyah, 2008) .
Saraf parasimpatis berjalan dalam saraf vagus (nervus 10) ke regio
abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian proksimal kolon. Sedangkan serat
parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik, meninggalkan pleksus sakralis pada
segmen S-2 dan S-3 dan menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan
rektum (Price & Wilson, 2006). Pada traktus gastrointestinal memiliki sistem
persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang terdiri dari pleksus mienterikus
dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus tersebut terdapat serat
preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik kemudian mendekati sel
efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang didalamnya terdapat vesikel
transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali
mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang dibutuhkan untuk memberi
energi pada sintesis asetilkolin. Dengan dihasilkannya asetilkolin akan memicu
gerakan peristaltik usus (Guyton, 1995; Prastya, 2013).
Berdasarkan permasalahan di atas,. Peneliti ingin mengetahui pengaruh dari
pemberian mobilisasi tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasien stroke.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah True Experimental dengan jenis rancangan Pretest-
Postest with Control Group Design, Teknik pengambilan sampel adalah non
probability sampling yaitu teknik yang memberikan kesempatan yang sama bagi
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel dan jumlah sampel adalah 30
responden yang terdiri dari 15 responden kelompok intervensi dan 15 responden
kelompok kontrol. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan lembar
observasi dan lembar SOP (Standart Operasioanl Prosedure) mobilisasi tempat
tidur yaitu latihan rentang gerak 2x pagi dan sore serta memberikan posisi lateral
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 78 | 231
setiap 2 jam 3x sehari. Kemudian oleh peneliti 15 responden kelompok intervensi
diukur peristaltik usus pretest, mobilisasi tempat tidur yaitu memberikan latihan
rentang gerak 2x sehari pagi dan sore lalu memberikan posisi lateral tiap 2 jam 3x
sehari selama 3 hari, setelah itu diukur peristaltik usus postest setiap hari pada sore
hari selama 3 hari. Kelompok kontrol 15 responden diukur peristaltik usus pretest
waktu pengukuran disamakan waktu pengukuran pretest kelompok intervensi,
namun tidak diberi mobilisasi tempat tidur kemudian diukur peristaltik usus posttest
setiap hari pada sore hari selama 3 hari, lalu kelompok kontrol diberikan mobilisasi
tempat tidur pada hari ke 4 sampai ke 6, kelompok kontrol diukur peristaltik usus
pretest, mobilisasi tempat tidur yaitu memberikan latihan rentang gerak 2x sehari
pagi dan sore lalu memberikan posisi lateral tiap 2 jam 3x sehari selama 3 hari,
setelah itu diukur peristaltik usus postest setiap hari pada sore hari selama 3 hari.
Analisis bivariate Paired t-test digunakan untuk menguji data berpasangan (pre –
post test) peristaltik usus pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan
sesudah perlakuan mobilisasi tempat tidur apabila datanya berdistribusi normal,
skala ratio, jumlah responden terpenuhi 30 responden. Uji Independent t-test
digunakan untuk menguji data post peristaltik usus kelompok intervensi dan
kelompok kontrol apabila datanya berdistribusi normal, skala ratio, jumlah
responden terpenuhi 30 responden.Tingkat kemaknaan hasil uji statistik adalah
sebesar 95% dengan tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% (α=0,05). Jika hasil
uji statistik didapatkan p < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima artinya ada
perbedaan yang bermakna antara nilai peristaltik usus sebelum diberikan mobilisasi
tempat tidur dan sesudah mobilisasi tempat tidur dibandingkan dengan nilai
peristaltik usus sebelum dan sesudah yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur
pada pasien stroke. Jika p hitung ≥ 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak, artinya
tidak ada perbedaan atau pengaruh. Software yang digunakan untuk uji statistik
adalah SPSS 17.0 for windows.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan Distribusi frekuensi umur responden bahwa
sebagian besar responden 20 orang (67%) berada pada umur 54-62 tahun (9
kelompok intervensi dan 11 kelompok kontrol).
Distribusi Frekuensi responden menurut jenis kelamin lebih dari setengah
responden 18 orang (60%) berjenis kelamin laki-laki yang banyak terkena stroke
(10 kelompok intervensi dan 8 kelompok kontrol).
Distribusi Frekuensi responden menurut serangan stroke didapatkan bahwa
sebagian besar responden 20 orang (67%) mengalami serangan stroke yang kedua
(11 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol) dan sebagian besar responden
stroke pada lama perawatan sebanyak 21 orang (70%) berada pada kategori 4-6 hari
lama perawatannya (12 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 79 | 231
Analisis univariat yang meliputi Nilai Peristaltik Usus Pada Kelompok
Intervensi Dan Kelompok Kontrol Sebelum Dan Sesudah Mobilisasi Tempat Tidur,
disajikan pada tabel dibawah ini
Tabel 1. Nilai Peristaltik Usus Sebelum Intervensi Klien Stroke Di RSUD
Dr. R. Soedarsono Pasuruan Bulan Mei-Juni 2017
Peristaltik Usus Intervensi Kontrol Jumlah
F % f % F %
Rendah <5x/mnt 9 60 7 47 16 53
Normal 5-15x/mnt 6 40 8 53 14 47
Tinggi >15x/mnt 0 0 0 0 0 0
Jumlah 15 100% 15 100% 30 100%
Berdasarkan tabel 1. di atas, bahwa lebih dari setengah responden 16 orang
(53%) dalam rentang rendah (<5x/menit) nilai peristaltik ususnya (9 kelompok
intervensi dan 7 kelompok kontrol).
Tabel 2. Nilai Peristaltik Usus Sesudah Intervensi Klien Stroke Di RSUD
Dr. R. Soedarsono Pasuruan Bulan Mei-Juni 2017
Peristaltik Usus Intervensi Kontrol Jumlah
f % f % F %
Rendah <5x/mnt 0 0 8 53 8 27
Normal 5-15x/mnt 15 100 7 47 22 73
Tinggi >15x/mnt 0 0 0 0 0 0
Jumlah 15 100% 15 100% 30 100%
Berdasarkan tabel 2. di atas, bahwa sebagian besar responden 22 orang
(73%) dalam normal (5-15x/mnt) nilai peristaltik ususnya (15 kelompok
intervensi dan 7 kelompok kontrol).
Untuk Analisis Bivariat Hasil Uji Independent T- Test Dan Paired T- Test
Nilai Peristaltik Usus Pada Klien Stroke disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 3. Hasil Uji Independent t- test Dan Paired t- test Nilai Peristaltik
Usus Sebelum Dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Intervensi Serta Sebelum
Dan Sesudah Kelompok Kontrol Klien Stroke Di Rsud Dr. R. Soedarsono Pasuruan
Bulan Mei-Juni 2017
Variabel Mean Mean
Standart ρ N
Peristaltik usus Pre Post Deviasi Value
Intervensi 4,27 7,47 3,2 1,014 0,001 15
Kontrol 4,53 4,40 -0,13 0,351 0,164 15
Berdasarkan tabel 3. di atas, didapatkan bahwa nilai rata-rata peristaltik usus
sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi
mengalami perubahan dari nilai pre intervensi dengan rata-rata 4,27 mengalami
peningkatan post intervensi rata- rata 7,47, sehingga kenaikan rata- rata 3,2 pre dan
post intervensi dengan standart deviasi 1,014. Pada nilai rata- rata peristaltik usus
sebelum dan sesudah tidak dilakukan mobilisasi tempat tidur pada kelompok
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 80 | 231
kontrol mengalami perubahan nilai pre kontrol dengan nilai rata- rata 4,53,
mengalami penurunan post kontrol rata- rata 4,40 sehingga penurunan nilai rata-
rata 0,13 pre dan post kontrol dengan standar deviasi 0,0351. Disimpulkan rata- rata
nilai peristaltik usus kelompok intervensi dalam rentang normal dibanding rata- rata
nilai peristaltik usus kelompok kontrol dalam rentang rendah.
Hasil uji analisis menggunakan paired- t test didapatkan data bahwa ada
perbedaan yang bermakna didapatkan ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan
Ha diterima, berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh nilai peristaltik usus sebelum diberi mobilisasi tempat tidur dan sesudah
diberi mobilisasi tempat tidur. Selain itu didapatkan data bahwa tidak ada perbedaan
bermakna didapatkan ρ = 0,164 (ρ > 0,05), sehingga Ha ditolak dan Ho diterima,
berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan tidak ada pengaruh nilai
peristaltik usus sebelum dan sesudah yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur.
Hasil uji analisis menggunakan Independent t- test didapatkan data bahwa
ada perbedaan yang bermakna didapatkan ρ = 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak
dan Ha diterima, Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh nilai peristaltik usus yang diberi mobilisasi tempat tidur pada kelompok
intervensi.
Pembahasan
Hasil penelitian menunujukkan bahwa sebagian besar umur responden 54-62
tahun dengan prosentase 67%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan
umur diatas 54 terbanyak terserang stroke dan mengalami penurunan peristaltik
usus. Menurut Nugroho (2000), umur lansia akan mengalami proses kehilangan
perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya. Perubahan tersebut mempengaruhi proses
pencernaan menjadikan organ dalam pencernaan fungsi kerjanya akan menurun
sehingga peristaltik usus juga menurun. Jadi gerakan peristaltik menurun seiring
dengan peningkatan usia (Potter & Perry, 2006).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa lebih dari setengah jenis kelamin
yang terkena stroke adalah laki-laki dengan prosentase 60%. Berdasarkan penelitian
tersebut disebabkan gaya hidup laki- laki yang tidak sehat merokok, minuman
beralkohol, dll yang berakibat kerusakan organ dalam terutama pencernaan
sehingga peristaltik usus kerjanya juga menurun. Menurut Kabi, Tumewah, &
Kembuan (2015) stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan,
Hal ini disebabkan oleh karena perempuan lebih terlindungi dari penyakit jantung
dan stroke sampai pertengahan hidupnya akibat hormon esterogen yang dimilikinya.
Selain itu stroke banyak terjadi pada kaum lelaki dari pada perempuan hal itu
disebabkan karena lelaki lebih banyak mengalami penebalan dinding arteri. Hal itu
dibabkan faktor hidup lelaki mendekati faktor pemicu stroke yaitu merokok, minum
alkohol, memakai obat-obatan terlarang dan banyak diantaranya lelaki sering
mengalami cedera kepala dan leher akibat kecelakaan (Wardhana, 2011). Selain itu
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 81 | 231
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami serangan
stroke yang kedua dengan prosentase 67%. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan
banyaknya serangan stroke berpengaruh terhadap pemulihan pada pasien stroke
yaitu program rehabilitasi untuk meningkatkan peristaltik usus pada saat penelitian
sehingga kita mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan mobilisasi tempat
tidur. Menurut Harsono (2003) dalam Prastya (2013), yaitu bahwa program
rehabilitasi penderita stroke diberikan setelah terjadi dan bermodalkan kesembuhan
anatomis, dengan tujuan agar tercapai kesembuhan fungsional melalui proses
belajar kembali (relearning). Caranya ialah dengan memberikan sensasi/stimulasi
sesering mungkin pada bagian penderita tentang pengaturan posisi dan gerak tubuh.
Pada penderita stroke karena trombosis atau emboli tanpa komplikasi, mobilisasi
dimulai 2 -3 hari setelah serangan.
Untuk Lama perawatan yang dialami oleh reponden sebagian besar lama
perawatan stroke 4-6 hari dengan prosentase 70%. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut menunjukkan pasien stroke harus bed rest total karena defisit neurologi
sehingga klien mengalami imobilisasi yang berakibat penurunan peristaltik usus.
Menurut Smeltzer & Bare (2002) defisit neurologi berupa kelemahan pada salah
satu sisi tubuh merupakan gejala yang lain dari disfungsi motorik disebut
Hemiparesis. Hemiparesis membuat mudah lelah, mengakibatkan ketidak mampuan
bergerak secara aktif atau imobilisasi. Dampak imobilisasi pada sistem pencernaan
dapat menurunkan peristaltik usus (Perry & Potter, 2006). Penelitian Cooney &
Reuler (1991) dalam Manurung (2015), pasien stroke dengan imobilisasi hanya
berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut.
Pasien dengan immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis.
Bahaya fisiologis akan mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan
laju metabolisme dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan
dan penurunan peristaltik.
Hasil penelitian terlihat bahwa klien stroke di ruang interne 1 RSUD DR. R
Soedarsono Pasuruan berdasarkan frekuensi peristaltik usus sebelum melakukan
mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi lebih dari setengah responden
nilai peristaltik usus tidak normal (<5x/menit) yaitu dengan prosentasi 60%.
Kelompok intervensi setelah melakukan mobilisasi tempat tidur yaitu latihan
rentang gerak 2 kali dan posisi lateral setiap 2 jam 3x sehari menunjukkan
peningkatan nilai peristaltik usus, dalam rentang normal (5-15 x/menit) dengan
prosentasi 100%. Hasil uji analisis menggunakan paired- t test nilai peristaltik usus
kelompok intervensi sebelum dan sesudah mobilisasi tempat tidur pada pasien
stroke ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan Ha diterima, berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat disimpulkan ada pengaruh nilai peristaltik usus yang
diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien stroke.
Perbandingan kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Nilai peristaltik
usus pada kelompok kontrol yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur rendah
(<5x/menit) yaitu dengan prosentasi 53%. Nilai peristaltik usus pada kelompok
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 82 | 231
intervensi yang diberikan mobilisasi tempat tidur yaitu normal (5-15 x/menit)
dengan prosentasi 100%. Hasil prosentasi tersebut, menunjukkan kelompok
intervensi bahwa nilai peristaltiknya normal dibandinkan kelompok kontrol. Hasil
uji analisis menggunakan Independent t- test didapatkan perbandingan kelompok
intervensi dan kelompok kontrol ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan Ha
diterima, Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
nilai peristaltik usus yang diberi mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi.
Nilai rata-rata peristaltik usus sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi
tempat tidur pada kelompok intervensi mengalami perubahan dari nilai pre
intervensi dengan rata-rata 4,27 mengalami peningkatan post intervensi rata- rata
7,47, sehingga kenaikan rata- rata 3,2 pre dan post intervensi. Hasil rata- rata
peristaltik usus yang diberikan mobilisasi tempat tidur menunjukkan bahwa
mobilisasi tempat tidur merupakan tindakan non farmakologi yang bermanfaat
meningkatkan peristaltik usus selain tindakan farmakologi. Mobilisasi tempat tidur
yang dilakukan teratur merupakan pergerakan yang dapat merangsang sistem
parasimpatis untuk melancarkan peredaran darah serta memperlancar kerja sistem
pencernaan terutama meningkatkan peristaltik usus.
Peristaltik usus adalah gerakan yang terjadi pada otot-otot saluran
pencernaan yang menimbulkan gerakan semacam gelombang sehingga
menimbulkan efek menyedot/menelan makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. Peristaltik dan motilitas usus merupakan fungsi normal usus halus dan
usus besar (Smeltzer & Bare, 2002). Peristaltik usus dipersarafi oleh saraf
parasimpatis yaitu saraf yang berpangkal pada sumsum lanjutan (medula
oblongata) dan dari sakrum yang berupa saraf pre-ganglion dan post-ganglion.
Sistem saraf parasimpatik disebut juga dengan sistem saraf kraniosakral, karena
saraf preganglion keluar dari daerah otak dan daerah sakral (Price & Wilson, 2006).
Proses pergerakan peristaltik usus ketika saraf parasimpatis berjalan dalam saraf
vagus (nervus 10) ke regio abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian
proksimal kolon. Sedangkan serat parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik,
meninggalkan pleksus sakralis pada segmen S-2 dan S-3 (Price & Wilson, 2006)
menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan rektum. Pada traktus
gastrointestinal memiliki sistem persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang
terdiri dari pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus
tersebut terdapat serat preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik
kemudian mendekati sel efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang
didalamnya terdapat vesikel transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga
terdapat banyak sekali mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang
dibutuhkan untuk memberi energi pada sintesis asetilkolin. Saraf parasimpatis
mengeluarkan asetilkolin dan merangsang pelepasan muatan pleksus mienterikus.
Hal ini mempercepat pergerakan peristaltik usus (Guyton, 1995).
Proses pergerakan peristaltik usus dengan adanya mobilisasi tempat tidur
dimana gerakan reflek sebagai reseptor rangsangan sensorik yang peka terhadap
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 83 | 231
rangsangan dimana serat saraf aferen yang dapat menghantarkan rangsangan
tersebut ke susunan saraf pusat. Saraf pusat tempat integrasi masuknya sensorik
dan dianalisis kembali ke neuron eferen, lalu merangsang serabut saraf pada otot
rangka sehingga mempercepat metabolisme dalam tubuh disertai dengan
meningkatnya curah jantung, yang akan menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh
menjadi lebih cepat. Sirkulasi darah yang lancar akan menyebabkan inervasi saraf
parasimpatik ke saluran pencernaan (Hidayat & Uliyah, 2008).
Saraf parasimpatis berjalan dalam saraf vagus (nervus 10) ke regio
abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian proksimal kolon. Sedangkan serat
parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik, meninggalkan pleksus sakralis pada
segmen S-2 dan S-3 dan menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan
rektum (Price & Wilson, 2006). Pada traktus gastrointestinal memiliki sistem
persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang terdiri dari pleksus mienterikus
dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus tersebut terdapat serat
preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik kemudian mendekati sel
efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang didalamnya terdapat vesikel
transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali
mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang dibutuhkan untuk memberi
energi pada sintesis asetilkolin. Dengan dihasilkannya asetilkolin akan memicu
gerakan peristaltik usus (Guyton, 1995; Prastya, 2013).
Kelompok kontrol yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur, nilai
peristaltik usus responden sebelum yaitu normal (5-15 x/menit) dengan presentasi
53%, namun nilai peristaltik usus responden menurun pada nilai sesudah yaitu tidak
normal (< 5 x/menit) dengan prosentase 53%. Hasil uji analisis menggunakan
paired- t test Nilai peristaltik usus sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol
yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien stroke ρ = 0,164 (ρ >
0,05). Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan tidak ada pengaruh
nilai peristaltik usus yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien
stroke.
Pada nilai rata- rata peristaltik usus sebelum dan sesudah tidak dilakukan
mobilisasi tempat tidur pada kelompok kontrol mengalami perubahan nilai pre
kontrol dengan nilai rata- rata 4,53, mengalami penurunan post kontrol rata- rata
4,40 sehingga penurunan nilai rata- rata 0,13 pre dan post kelompok kontrol. Hasil
rata-rata nilai peristaltik menunjukkan beberapa pasien stroke mengalami
penurunan peristaltik usus karena tidak dilakukan mobilisasi tempat tidur dan
faktor- faktor yang menghambat pergerakan peristaltik usus seperti terapi, umur,
jenis kelamin, lama perawatan, serta serangan stroke dengan tirah baring lama.
Peneliti juga tidak bisa mengendalikan faktor- faktor yang menghambat peristaltik
usus karena keterbatasan waktu yang tidak bisa selalu memantau responden, namun
dapat diatasi dengan pemberian mobilisasi tempat tidur yaitu rehabilitasi non
farmakologi untuk meningkatkan peristaltik pada kelompok kontrol setelah
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 84 | 231
mendapatkan data peristaltik usus pada kelompok kontrol yang tidak diberikan
mobilisasi tempat tidur.
Penelitian Cooney & Reuler (1991) dalam Manurung (2015), pasien stroke
dengan immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis. Bahaya
fisiologis akan mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan laju
metabolisme dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan
penurunan peristaltik (Perry & Potter, 2006; Hamilton, 1995). Pasien stroke yang
mengalami penurunan peristaltik usus ketika trauma serebral akan menyebabkan
fungsi otak terganggu, salah satunya pada kerusakan nervus 10 yang berfungsi
mengatur organ gastrointestinal (guyton, 1995). Pasien stroke yang mengalami
kerusakan pada nervus 10 maka terjadi penurunan fungsi pada gastrointestinal yang
akan mengakibatkan penurunan peristaltik usus.
Reflek peristaltik merupakan penyebab umum peristaltik pada usus halus
adalah perenggangan. Regangan sirkumferensial usus merangsang reseptor-
reseptor pada dinding usus, dan hal ini menimbulkan reflek mienterikus lokal yang
mulai dengan kontraksi dari otot longitudinal atas jarak beberapa sentimeter diikuti
oleh kontraksi otot sirkular. Secara serentak, proses kontraksi menyabar kearah anus
dengan proses peristalsis. Namun pergerakan kontraksi peristaltik menurun diatur
oleh pleksus mienterikus; pergerakan ini tidak terjadi bila pleksus ini dihambat oleh
obat-obatan atau bila pleksus telah berdegenerasi (guyton, 1995: 581). Selain itu
dihambat juga dengan tirah baring yang lama atau imobilisasi, pembedahan dan
anestesi, diet, asupan cairan, kehamilan, stres psikologi, dan adanya nyeri tekan
pada keempat kuadran karena penyakit pencernaan sehingga terjadi penurunan
peristaltik usus (Perry & Potter, 2006; Hamilton, 1995). Indikasi yang muncul
ketika tidak segera diberi tindakan pada seorang yang mengalami penurunan
peristaltik usus, yaitu mengakibatkan komplikasi peritonitis, ileus paralitik,
konstipasi (Muttaqin, 2011).
Priharjo (2007) dalam Prastya (2013) Penurunan peristaltik usus dapat
dicegah dengan mobilisasi yaitu melakukan aktivitas secara bebas dari satu tempat
ke tempat lain (Suratun dkk, 2008: 195). Mobilisasi tempat tidur merupakan latihan
rentang gerak di tempat tidur dan menberikan posisi tidur lateral selama 2 jam. Hal
tersebut dapat merangsang sirkulasi darah dan memperlancar metabolisme dalam
tubuh sehingga dapat merangsang peristalrik usus (Suratun, 2008; Asmadi, 2009).
Penelitian ini didukung oleh Renggonowati & Machmudah (2014) hasil
penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi dini berpengaruh terhadap
peristaltik usus pasca operasi sesar dengan anestesi spinal. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Sriharyanti, Ismonah, & Arif (2016) hasil
penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi range of motion berpengaruh
terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan dengan anestesi
umum.
Penelitian yang dilakukan Umah & Syafi’ i (2014) hasil penelitiannya
menunjukkan pemberian mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian konstipasi pasien
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 85 | 231
stroke. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prastya (2013) hasil
penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi miring kanan miring kiri terhadap
pencegahan konstipasi pada pasien stroke infark dengan tirah baring lama.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Haryanto (2011) hasil penelitiannya
menunjukkan efektivitas pemberian range of motion aktif terhadap pemulihan
peristaltik usus pasca operasi sectio caesaria dengan anastesi spinal.
4. KESIMPULAN
Mobilisasi tempat tidur berpengaruh terhadap peristaltik usus pada pasien
stroke di ruang interne 1 RSUD Dr. R. Soedarsono Pasuruan dengan (ρ = 0,001, α <
0,05). Hasil tersebut menunjukkan ada pengaruh pada kelompok intervensi yang
diberikan mobilisasi tempat tidur. Hasil observasi nilai peristaltik usus pada
kelompok intervensi sebelum mobilisasi tempat tidur dan sesudah mobilisasi tempat
tidur mengalami peningkatan peristaltik usus.
5. DAFTAR PUSTAKA
Ariani, T. A. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika.
Asmadi. 2009. Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2013. (Online),
(www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf. diakses
25 September 2016)
Batticaca, F. B. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Fatkhurrohman, M. 2011. Pengaruh Latihan Motor Imagery Terhadap Kekuatan
Otot Ekstremitas pada Pasien Stroke dengan Hemiparesis di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Bekasi. Thesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Fibre, D & Agieng, F. 2007. Stroke: Bowel Care. Journal Nursing & Resiential Care, (Online),
Volume 9, No. 6, (https://www.quaybooks.co.uk, diakses 27 September 2016)
Ganong, W. F & McPhee, S. J. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Ed. 5. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. 1995. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC.
Hamilton, P. M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta: ECG.
Haryanto, W. C. 2011. Efektifitas Pemberian ROM aktif terhadap Pemulihan Peristaltik Usus Pasca
Operasi Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal di Bangsal An-Nisaa’ RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Penelitian. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah
Yogyakarta.
Hidayat, A.A., Uliyah. M. (2008). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan. Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Kabi, G. Y. C. R., Tumewah, R., & Kembuan, M. A. H. N. Gambaran Faktor Risiko
Pada Penderita Stroke Iskemik Yang Dirawat Inap Neurologi RSUP PROF.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 86 | 231
DR. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), (Online), Volume 3, No.
1, (https://ejournal. unsrat. ac. id/index. php/ eclinic/
article/download/7404/6947, diakses 03 juli 2017)
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
Manurung, P. S. A. 2015. Gambaran Perubahan Fisiologi Sistem Gastrointestinal:
Konstipasi pada Pasien Stroke yang Immobilisasi di RSUP H. Adam Malik
Medan. Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
Morton, P. G. 2005. Panduan Pemeriksaan Kesehatan Dengan Dokumentasi
SOAPIE. Jakarta: EGC.
Mufattichah, F. U. 2012. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien Ny. G
dengan Stroke Hemoragik di Instalasi Gawat Darurat Rsud Sragen. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Muttaqin, A. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nugroho, W. 2000. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC.
Pinzon, R & Asanti L. 2010. Awas Stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan, dan
Pencegahan.Yokyakarta: ANDI.
Potter, P. A. & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Prastya, A. 2013. Pengaruh Mobilisasi Miring Kanan Miring Kiri Terhadap
Pencegahan Konstipasi Pada Pasien Stroke Infark Dengan Tirah Baring
Lama Di Ruang Icu RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojokerto. Penelitian.
Mojokerto: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit.
Price, S.A., & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta:
EGC.
Renggonowati, A. & Machmudah. 2014. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap
Peristaltik Usus Pasca Operasi Sesar dengan Anestesi Spinal di RSUD
Tugurejo Semarang. Journal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK),
(Online), Volume 2, No 1, (https://download.portalgaruda.org/article.php,
diakses 03 juli 2017)
Sabiston, D. C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Setiadi. 2013. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.
Somantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supranto, J. 2000. Teknik Sampling untuk Survei Dan Eksperimen. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Suratun, dkk. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 87 | 231
Tambunan, E. S & Kasim, D. 2012. Panduan Pemeriksaan Fisik bagi Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: Medika Salemba.
Umah, K. & Syafi’i, A. 2014. Mobilisasi Tiap 2 Jam Terhadap Kejadian Konstipasi
Pasien Stroke di RSUD Ibnu Sina Gresik. Journals Of Ners Community,
(Online), Volume 5, No. 2, (https://journal.unigres.ac.id, diakses 25
September 2016)
Sriharyanti, D. E., Ismonah, & Arif, S. 2016. Pengaruh Mobilisasi Dini ROM Pasif
Terhadap Pemulihan Peristaltik Usus Pada Pasien Paska Pembedahan
Dengan Anestesi Umum di SMC RS Telogorejo. Journal ilmu keperawatan
dan kebidanan (JIKK), (Online), Volume 2, No. 5,
(pmb.stikestelogorejo.ac.id/ejournal/index.php/jikk/article/download/367/38
8, diakses 11 Juni 2017)
Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.
Wardhana, W. A. 2011. Strategi Mengatasi dan Bangkit Dari Stroke. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
World Health Organization. 2005. The Who Stepwise Approach To Stroke
Surveillance. (Online), (http://www.whoint/chp/steps/stroke/en.pdf. diakses
25 September 2016)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 88 | 231
HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH DENGAN
KECERDASAN EMOSI MAHASISWA KEPERAWATAN
KAMPUS 2 POLTEKKES KEMENKES MALANG
Mustayah Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Setiap individu memiliki jenis golongan darahnya masing-masing.Golongan darah tidak hanya
menjelaskan jenis darah yang dimiliki oleh individu, tetapi juga dapat menjelaskan kepribadiannya.
Pada setiap jenis golongan darah O, A, B, dan AB memiliki ciri khas kepribadiannnya masing-
masing (Nomi, 2007). Kecerdasan emosi individu merupakan salah satu factor internal individu
yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadian individu. Para ahli mengatakan bahwa seorang
yang cerdas secara intelektual belum tentu mampu untuk menjalankan kepemimpinan. Hal ini
berkaitan dengan apa yang disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan Emosional adalah
kemampuan individu dalam menglola kesadaran diri, (Daniel Goleman, 1997). Penelitian ini
adalah penelitian analitik korelatif deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui Hubungan antara
golongan Darah dengan Kecerdasan Emosi Mahasiswa Jurusan Keperawatan Kampus 2 Poltekes
kemenkes Malang. Penelitian ini di lakukan pada bulan Desember 2016 di Kampus 2 Poltekes
Kemenkes Malang. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di Kampus 2 Poltekes
Malang. Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu mengambil semua populasi
untuk dijadikan sampel. Instrumen dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner tertutup.
Hasil penelitian Berdasarkan hasil perhitungan dengan Paired Samples Statistic two tailed
didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan kecerdasan
emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara golongan darah dengan kecerdasan emosi. Dari hasil penelitian tersebut, diharapkan
institusi terkait dapat memberikan pelajaran tambahan tentang mengelola kecerdasan emosi
misalnya dalam bidang pengembangan kepribadian dengan demikian diharapkan agar mahasiswa
dapat lebih mengembangkan dan belajar lebih dalam tentang kecerdasan emosi.
Kata kunci : Kecerdasan, Emosi, Organisasi
1. PENDAHULUAN
Setiap individu memiliki golongan darahnya masing-masing.Golongan
darah tidak hanya menjelaskan jenis darah yang dimiliki oleh individu, tetapi juga
dapat menjelaskan kepribadiannya. Pada setiap jenis golongan darah O, A, B, dan
AB memiliki ciri khas kepribadiannnya masing-masing (Nomi, 2007). Menurut
Dermawan (2006) golongan darah merupakan informasi yang penting untuk
mengungkapkan identitas individu secara spesifik. Dilihat dari sisi psikologis,
masing-masing golongan darah memiliki perbedaan pada pembentukan perilaku dan
karakteristik kepribadiannya. Sejak 100 tahun yang lalu sampai sekarang masih
banyak individu berpikir bahwa golongan darah hanya merupakan bentuk identitas
cairan darah saja.Ada 6,2 milyar penduduk dunia, golongan darah terbagi menjadi
empat, yaitu O sebanyak 46%, A sebanyak 40%, B sebanyak 10%, dan AB
sebanyak 4%. Kepribadian individu Jepang berdasarkan golongan darah yang ada
bahwa golongan darah O berkarakter kuat, berjiwa pemimpin, berjiwa besar, supel,
tidak mau kalah dan percaya diri, serta mempunyai sifat persaingan yang kuat. Hasil
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 89 | 231
penelitian menunjukkan bahwa individu yang bergolongan darah O memiliki
potensi untuk menjadi pemimpin besar 2 sehingga dapat dibuktikan bahwa para
perdana mentri Jepang rata-rata adalah individu bergolongan darah O. Toshitaka
Nomi kemudian menyatakan bahwa individu bergolongan darah A adalah tipe
kepribadian yang penuh dedikasi, bertanggung jawab, teliti, perfeksionis, kreatif
dan paling artistik diantara golongan darah lainnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa orang yang bergolongan darah A sangat berpotesi untuk mengukir prestasi
dalam bidang yang dikerjakannya. Hasil penelitian ini tercermin dari para karyawan
Jepang dari perusahaan kecil maupun besar, rata-rata bergolongan darah A atau O
(Nomi, 2007). Nomi menyatakan bahwa golongan darah B memiliki karakter
individualis, kurang suka mengikuti aturan yang berlaku, optimis, fokus, berpikiran
tajam, dan mempunyai jiwa yang bebas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
individu bergolongan darah B berpotensi mengembangkan seluruh kemampuannya
dengan optimal secara individualistis. Hasil penelitian ini tercermin dari gambaran
separuh lebih dari seluruh atlet berprestasi dibidang individu seperti renang, judo,
dan gulat rata-rata bergolongan darah B. Pada golongan darah yang terakhir yaitu
AB, Toshitaka Nomi menyatakan bahwa individu dengan golongan darah ini
kurang dapat bertanggung jawab dan pribadi yang sangat sulit ditebak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa beberapa perusahaan di Jepang membagi karyawan-
karyawannya ke dalam kelompok kerja berdasarkan golongan darah, dan ironisnya,
tidak seorangpun yang mau 3 bekerjasama dengan kelompok golongan darah AB
karena dianggap tipe darah terburuk (Dermawan, 2006). Berdasarkan uraian di atas
dapat diketahui, masing-masing golongan darah memiliki karakteristik kepribadian
yang berbeda.
Disamping kepribadian yang khas, golongan darah yang siafatnya individu,
manusia juga memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda.Demikian juga
dengan tingkat kecerdasan emosional setiap individu.
Kecerdasan emosi individu merupakan salah satu factor internal individu
yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadian individu. Para ahli mengatakan
bahwa seorang yang cerdas secara intelektual belum tentu mampu untuk
menjalankan kepemimpinan. Seorang yang secara cerdas intelektualnya ternyata
kurang berhasil dalam kehidupan sosialnya. Hal ini berkaitan dengan apa yang
disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan Emosional adalah kemampuan
individu dalam menglola kesadaran diri, (Daniel Goleman, 1997).
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustasi kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi,
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, untuk membaca perasaan orang lain
(empati) dan berdo’a, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,
menyelesaikan konfli, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 90 | 231
Menurut Goleman (1997) bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari
hubungan social yang baik, apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan
suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki
tingkat emosionalitas yang naik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam
pergaulan social serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman, mengemukakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimliki seseorang
dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada posisi yang tepat
memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.Pertanyaannya adakah hubungan
antara golongan darah, dengan kecerdasan emosi?
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap mahasiswa dilingkungan
Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang diperolah data, bahwa mahasiswa memiliki
golongan darah yang sama, namun yang memiliki kecerdasan emosi yang
bervariatif dengan yang golongan darah yang sama.
Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:
hubungan golongan darah dengan kecerdasan emosi mahasiswa Jurusan
Keperawatan Kampus 2 Poltekkes Kemenkes Malang
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif. Pada penelitian
ini peneliti akan menganalisa hubungan Antara Golongan Darah dengan
Kecerdasan Emosi mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang.
Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Keperawatan Kampus 2
Poltekes Kemenkes Malang Program Studi D III dan D IV
Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi :
1). Mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang Program
Studi D III dan D IV. 2) Bersedia jadi responden. 3). Laki – laki atau perempuan
b. Kriteria eksklusi :
Mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Polteks Kemenkes Malang yang sedang
menjalani kegiatan praktek di luar kampus/lapangan
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive sampling dengan Random sampling yaitu cara pengambilan sampel
dengan mengambil sebagian anggota populasi menjadi sampel. Penarikan sampel
sesuai dengan kehendak peneliti dengan jumlah sampel 38 orang.
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independent
Golongan Darah mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang
Program Studi D III dan D IV
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 91 | 231
2. Varibel Dependent
Kecerdasan Emosi mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes
Malang. Program Studi D III dan DIV
Definisi operasional
1. Golongan Darah adalah pengklasifikasian darah dari suatu kelompok
berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan
membran sel darah merah yg diketahui dengan golongan darah A, B, O atau
AB
2. Kecerdasan emosi adalah gambaran kemampuan mengenal dan mengendalikan
diri sendiri, ketrampilan bergaul serta berinteraksi dengan orang lain,
kemampuan penyesuaian berinteraksi dengan orang lain, kemampuan dalam
penanganan stress, dan kemampuan mengelola suasana hati secara umum
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuisioner tertutup
Penelitian ini dilaksanakan Kampus2 Keperawatan Poltekes Kemenkes
Malang.Program Studi D III dan D IV pada bulan Desember 2016.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karateristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kampus 2
Jurusan Keperawatan Malang bulan Desember 2016
No Jenis kelamin Frekuensi Prosentase
1
2
Laki-laki
Perempuan
13
25
34.21
65.79
Jumlah 38 100
Berdasarkan tabel di atas didapatkan 25 mahasiswa (52%) atau lebih dari
setengahnya adalah perempuan.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Kampus 2 Jurusan
Keperawatan Malang Bulan Desember 2016
No Umur Frekuensi Prosentase %
1
2
3
4
17 tahun
18 Tahun
19 Tahun
20 Tahun
1
15
13
9
2.63
38.48
34.21
23.68
Jumlah 38 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat di ketahui bahwa kurang dari
setengahnya responden yaitu sebanyak 15 mahasiswa (38,48%) berumur 18 tahun.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 92 | 231
Data Khusus
Golongan Darah
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Golongan Darah di
Kampus 2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016
No Kategori Frekuensi Prosentase %
1
2
3
4
Golongan A
Golongan B
Golongan AB
Golongan O
8
9
3
18
21.05
23.68
7.89
47.38
Jumlah 38 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas distribusi responden menurut golongan darah
menunjukkan sebagian besar responden memiliki golongan darah O, yaitu
sebanyak 18 responden (39%), selanjutnya golongan darah B sebanyak 9 responden
(33%), golongan darah A sebanyak 8 responden (18%), dan AB sebanyak 3
responden (9%). Distribusi golongan darah responden menunjukkan sebagian besar
merupakan golongan darah O. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Chieko dan Holy
(2002) yang mengemukakan bahwa golongan darah A banyak dimiliki oleh orang-
orang yang berada di daerah dataran tinggi atau beriklim dingin, sedangkan
golongan darah O menyebar hampir di seluruh Negara di seluruh dunia. Distribusi
golongan darah responden terendah menunjukkan adalah golongan darah AB (9%),
hal tersebut sesuai dengan pendapat Chieko dan Holy (2002) yang mengungkapkan
bahwa golongan darah AB hanya tersebar kepada sekitar 6% penduduk dunia.
Kecerdasan Emosi
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kecerdasan Emosi di
Kampus 2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016
No Kategori Frekuensi Prosentase %
1
2
3
4
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
0
8
29
1
0
21.05
76.32
2.63
Jumlah 38 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat di ketahui bahwa lebih dari setengahnya
responden yaitu sebanyak 28 mahasiswa (59%) memiliki kecerdasan emosi tingkat
sedang.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 93 | 231
Hubungan Antara Golongan Darah dengan Kecerdasan Emosi
Tabel 4.5 Hubungan Golongan darah dengan kecerdasan Emosi mahsiswa Kampus
2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016
Paired Samples Statistics
Mean N
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 GOLDAR 2.8158 38 1.24890 .20260
KECEMOSI 2.8158 38 .45650 .07405
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 GOLDAR & KECEMOSI 38 -.014 .935
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean Std. Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 GOLDAR -
KECEMOSI
.00000 1.33558 .21666 -.43900 .43900 .000 37 1.000
Dari hasil perhitungan diatas dengan Paired Samples Statistic two tails
didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan
kecerdasan emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan
yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi
Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan dengan Paired Samples Statistic two tailed
didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan
kecerdasan emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan
yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi.
Menurut Dr D’Adamo, dokter naturopathic Kanada, ada banyak faktor lain
yang mempengaruhi kepribadian seseorang. Tapi setidaknya golongan darah dapat
menjadi petunjuk yang berharga untuk memahami keunikan seseorang. Dr
D’Adamo dalam bukunya ‘Eat/Live Right 4 Your Type’ menjelaskan hubungan
antara jenis darah A,B,O dan AB dengan pola makan, kesehatan dan
kepribadian.Bahkan menurut beliau “Golongan darah bisa memberikan kunci
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 94 | 231
kesehatan dan bahkan mempengaruhi kepribadian kita,” kata Dr Peter J. D’Adamo,
dokter naturopathic Kanada, (Bodyecology,2010).
Para ahli di Jepang juga telah melakukan penelitian tentang golongan darah
dan kepribadian sejak 60 tahun yang lalu.Bagi sebagian besar orang Jepang, faktor
biologi dan genetika memiliki peran dalam menentukan kepribadian.
1. Orang-orang dari golongan darah yang berbeda juga bereaksi berbeda terhadap stres.
Orang dengan golongan darah A secara alami memiliki tingkat yang lebih tinggi
kortisol (hormon stres) dalam tubuh mereka, sehingga lebih banyak terpengaruh
oleh situasi stres. Di sisi lain, orang dengan golongan darah O, memiliki reaksi
pilihan “melawan atau lari” terhadap stres, yang menyebabkan kelebihan
produksi hormon adrenalin. Golongan darah O membutuhkan waktu lebih lama
untuk pulih dari stres, karena mereka lebih sulit untuk membersihkan adrenalin
dari dalam tubuh mereka.
Kita juga dengan mudahnya menemukan orang dengan golongan darah yang
sama, tapi memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Sudah banyak studi ilmiah
yang mempertegas kontradiksi ini Misalnya, KunherWu dkk.(2005) melakukan
survei terhadap 2.681 siswa SMA di Taiwan untuk melihat hubungan antara
golongan darah dan kepribadian. Studi ini juga memperhatikan faktor lain yang bisa
menimbulkan bias pada jawaban survei, seperti prestasi akademik, indeks massa
tubuh, hingga kepercayaan seseorang terhadap konsep golongan darah.
Menurut Tosshitaka Nomi seorang berkebangsaan Jepang, dari bukunya
yang berjudul "Touch My Heart" yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
di jelaskan bahwa ternyata golongan darah itu sangat mempengaruhi karateristik
seseorang, dan menurut dokter ahli psikologi, mengemukakan bahwa golongan
darah itu di tentukan dari protein protein yang membangun semua sel tubuh kita
dan oleh karenanya menentukan psikologi kita.
Banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang
untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada
kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan
emosionalnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak
menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan
bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang.
Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat
emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Kepribadian orang dapat berubah, entah itu karena pengalaman hidup atau
perubahan budaya.Katakanlah, Seto udah terbiasa dengan budaya Indonesia yang
agak laidback (santai kemalas-malasan) berubah jadi super disiplin ketika
sekolah/kerja di negara yang disiplinnya oke, seperti Singapur, Jerman, atau
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 95 | 231
Jepang.Sistem kepribadian berdasarkan golongan darah gagal menjelaskan
kepribadian manusia yang dinamis dan fleksible. Hal tersebut dimungkinkan
karenasetiap individu akan mengalami perubahan dalam kepribadiannya yang mana
pengalaman, kematangan dan lingkungan ikut berperan dalam membentuk
kepribadian seseorang.
Demikain juga dengan kecerdasan dalam artian IQ dan kecerdasan emosi (
EQ). Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang, jika seseorang terlahir
dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun
berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang
cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang
superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat
dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Berdasarkan hasil penelitian, bebrapa factor yang mempengaruhi
perkembangan Kecerdasan Emosi adalah faktor internal dan eksternal yaitu usia
dan lingkungan. Dengan usia dewasa seseorang mempunyai kematangan dalam
berfikir, seperti yang diungkapakan B. Hurlock (1995), semakin cukup umur tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang untuk berfikir dan bekerja
Menurut Martin (2003), mahasiswa yang notabeni identik dengan kata muda
dalam kematangan berfikir selain harus berfikir positif dan optimis juga harus
memiliki kecerdasan emosi dalam membina hubungan dengan orang lain. Sesuai
dengan teori Walgito (2004) yang menyatakan bahwa lingkungan/ situasi
khususnya yang melatarbelekangi proses kecerdasan emosi, adalah suatu obyek
lingkungan yang melatarbelakangi, merupakan kebutuhan yang sangat sulit
dipisahkan.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak
lahir hingga meninggal dunia.Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan,
keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya.
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi
kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Jika seseorang
memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan
lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang. Sesuai dengan hasil
penelitian dapat kita lihat bahwa kecerdasan emosi responden meliputi, Intrapribadi
terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari setengah responden
yaitu sebanyak 20 mahasiswa (52,63%) memiliki kemampuan untuk mengenal dan
mengendalikan diri sendiri sedang.
Menurut peneliti hal ini disebabkan karena keinginan untuk memotivasi diri
sendiri, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi sangat tinggi.
Dalam hal ini lingkungan juga sangat berpengaruh, seperti lingkungan kampus yang
kerap sekali dengan sikap kemandirian dan aktualisasi diri, dimana mahasiswa
dapat mengenali perasaan dan pengaruh perilaku kita terhadap orang lain. Dalam
kegiatan pembelajaran di kampus mahasiswa belajar menyampaikan secara jelas
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 96 | 231
pikiran dan perasaan membela diri dan mempertahankan pendapat, mampu untuk
mengenal kekuatan dan kelemahan, dan menyenangkan diri sendiri meskipun
memiliki kelemahan serta mahasiswa juga belajar untuk mampu untuk mewujudkan
potensi yang dimiliki dan merasa senang dan puas dengan prestasi yang diraih
dalam kehidupan sehari – hari, melawati organisasi maupun kehidupan dikampus.
Sesuai dengan teori Goleman (1997), Kecerdasan emosi mencakup pengendalian
diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati
dan emosi. Tidak melebih – lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar bebas stress,tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, untuk
membaca perasaan orang lain (empati) dan berdo’a, untuk memelihara hubungan
dengan sebaik – baiknya, menyelesaikan konflik serta untuk memimpin diri dan
lingkungan sekitarnya.
Selain hal tersebut kemampuan antarpribadi terkait dengan ketrampilan
bergaul kemampuan berinteraksi denganorang lain juga menunjukan hal yang
positif.
Hasil penelitian antar pribadi terkait dengan ketrampilan bergaul
kemampuan berinteraksi dengan orang lain responden, diperoleh hasil bahwa lebih
dari setengahnya responden yaitu sebanyak 23 mahasiswa (60.52%) memiliki
keterampilan bergaul, kemampuan berinteraksi dengaan orang lain dengan kategori
tinggi.
Menurut peneliti, hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi di dalam
kegiiatan kampus sehingga melatih mahasiswa untuk terampil bergaul. Dalam hal
ini membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif di kampus mampu mempunyai
kesadaran diri dan bisa memposisikan diri, sehingga mampu untuk membaca
perasaan orang lain. Dalam kehidupan di kampus mahasiswa juga dituntut untuk
mampu bertanggung jawab atas beban yang diberikan sehingga dalam hasil
penelitian ini mahasiswa memiliki nilai tanggung jawab yang tinggi dan memiliki
pikiran berani menanggung resiko terhadap pilihan yang telah diambil atau atas
perbuatannya, serta mahasiswa yang aktif di kampus juga mampu mempertahankan
hubungan yang baik dan menguntungkan bagi dirinya dan orang lain
Menurut Rakmat ( 2001 ), ketrampilan bergaul merupakan keterampilan
yang dapat dipelajari seseorang semenjak kecil mengenai pola-pola hubungan
dengan orang lain. Sedangkan menurut Peter Salovei (2003), perilaku antar pribadi
berkaitan dengan ketrampilan bergaul kemampuan berinteraksi dengan orang lain,
pertama mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, mampu melihat dunia
dari sudut pandang orang lain. Kedua masyarakat dapat bekerja sama dan
bermanfaat bagi kelompok masyarakat. Dan yang ketiga mampu untuk menciptakan
serta mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, ditandai oleh saling
memberi dan menerima dan rasa kedekatan sosial. Dalam hal ini diwujudkan dalam
kehidupan yang aktif dengan berorganisasi, misalnya, dapat mendorong
tercapainya tujuan bersama dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 97 | 231
Demikian juga Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, juga menunjukan hasil yang baik
Hasil penelitian penyesuaian diri berkait dengan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain responden diperoleh hasil bahwa, lebih dari
setengahnya responden yaitu sebanyak 20 mahasiswa ( 52% ) memiliki kamampuan
penyesuaian dalam berinteraksi dengan orang lain dengan kategori tinggi.
Menurut peneliti hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain uji
realitas, pemecahan masalah dan sikap fleksibel. Dalam kehidupan bermasyarakat
sering diselimuti dengan konflik pemecahan masalah yang diselesaikan secara
bersama-sama sehingga mahasiswa yang aktif di kampus terbiasa dengan adanya
konflik serta penyelesaiannya, mahasiswa mampu melihat sesuatu dengan
kenyataan bukan seperti yang diinginkan atau diikutinya, mahasiswa juga mampu
mengenali masalah dan menemukan pemecahannya , serta mampu menyesuaikan
emosi, pikiran dan perilaku dengan perubahan situasi dan kondisi atau mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak biasa, tidak terduga, dinamis.
Kecerdasan emosi dalam bersikap juga menentukan penyesuaian diri berinteraksi
dengan orang lain. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa mahasiswa yang
aktif di kampus tidak sulit dalam memulai percakapan dengan orang yang baru
dikenal maupun tidak canggung untuk berbicara di depan umum.
Menurut Patton ( 1998 ), individu yang menguasai kecerdasan emosi tinggi
akan menang karena keefektifan mereka dalam hubungan interpersonal berhadapan
dengan ketidakpastian dan mempertahankan motivasi. Hal ini akan menentukan
keberhasilan mereka dan akhirnya juga keselamatan bersama kemajuan organisasi.
Selain itu Patton ( 1998 ) juga berpendapat bahwa penyesuaian diri dalam
berinterasksi dengan orang lain yang tinggi dapat memperdayakan diri dan orang
lain untuk menciptakan hubungan dan kerja sama sampai mencapai hasil bersama,
serata bisa lebih memahami orang lain dan meningkatkan hubungan yang positif
dan produktif yang dapat menanggapi kebutuhan orang lain secara pribadi akan
lebih dari pada seseorang teknokrat yang hanya menggunakan teknologi menurut
pandangan yang tidak mengacu pada pribadi.
Selain itu Kemampuan dalam penanganan stress mahasiswa di Jurusan
Keperawatan Malang Kampus II Lawang adalah baik.
Hasil penelitian kemampuan dalam pananganan stress reponden diperoleh
hasil, yaitu lebih dari setengahnya responden yaitu sebanyak 20 mahasiswa ( 52% )
memiliki kemampuan dalam penangangan stress dengan kategori tinggi.
Menurut peneliti ada 2 faktor yang mempegaruhi yaitu ketahanan
menanggung stress , dan pengendalian impuls. Ketahanan menanggung stress yaitu
mahasiswa mampu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi
yang penuh tekanan secara aktif dan positif misalnya mahasiswa melupakan
kejadian yang bisa membuat dia trauma dan memulai kehidupan yang baru.
Kemudian yang kedua adalah pegendalian impuls yaitu mahasiswa mampu untuk
menolak dan menunda impuls atau dorongan atau godaan untuk bertindak.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 98 | 231
Menurut peneliti dalam hal ini mahasiswa mempunyai pertimbangan dan
mampu berkonsentrasi dengan baik sehingga hsil pekerjaan selalu baik serta sangat
yakin diri, tidak takut, tidak bimbang, apalagi panik. Dengan memiliki penanganan
stress yang dimulai yang kuat mahasiswa juga mampu mengerjakan berbagai
pekerjaan yang berat yang dapat diselesaikan dengan baik . Orang-orang seperti ini
yang cocok untuk menjadi seorang pemimpin.
Menurut Suryaputra orang-orang yang memiliki tingkat stress akan bekerja
dengan ketegangan yang hebat, karena dia takut menderita, dia sering murung,
bimbang, dan tidurnya akan terrganggu.Goleman(1997), menyatakan bahwa orang
yang dapat menjaga beban stress tidak akan melumpuhkan kemampuan berpikir dan
menyelesaikan konflik dengan baik, dan tidak tergesa-gesa. Ditambahkan lagi
dengan pendapat Flowes dan Herald ( 1999 ), mengatakan pada intinnya kecerdasan
emosi merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar
menggunakan emosinya, atau dalam menangani stress yang dialaminya.Diperkuat
oleh pendapat Cooper ( 1999 ) bahwa kecerdasan emosi juga memungkinkan
individu untuk dapat menggunakan daya kepekaan emosinya dalam penanganan
stress.
Terakhir kemampuan mengendalikan suasana hati mahasiswa.
Hasil Penelitian kemampuan untuk mengendalikan suasana hati umum
responden diperoleh hasil, yaitu kurang dari setengah responden yaitu sebanyak 24
mahasiswa (63,15%) memiliki kemapuan mengendalikan suasana hati umum
dengan kategori tinggi.
Menurut peneliti kemampuan mengendalikan suasana hati umum
dipengaruhi oleh bagaimana dia bersikap optomis dan selalu mempertahankan
kebahagiaan. Berarti mahasiswa yang aktif di kampus memiliki sikap optimisme
yaitu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis
terutama dalam menghadapi masa sulit yaitu dengan mempunya cara pandang yang
positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinnya, selain itu juga
mempunyai harapan yang realistic terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan itu
tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Kemudian mempertahankan kebahagiaan, yaitu mahasiswa mampu untuk
mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain serta bersemangat dan
bergairah dalam melakukan setiap kegiatan. Sangat antusias apabila mendapatkan
dukungan dan motivasi dari orang sekitarnya serta dapat memanfaatkan keadaan
dan situasi dengan semaksimal mungkin.
Menurut Goleman ( 1997 ) bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari
hubungan sosial yang baik, apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan
suasana hati individu yang lain atau dapat berempat, orang tersebut akan memiliki
tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah me nyesuaikan diri dalam
pergaulan sosial serta lingkungan. Lebih lanjut Goleman ( 1997 ) mengemukakan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 99 | 231
dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa, dengan kecerdasan emosi
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada posisi yang dapat memilih
kepuasan dan mengatur suasana hati. Gloria Cyber ( 2004 ) mengatakan bahwa
kecerdasan emosi juga mencakup kehendak dorongan hati dalam mengatur suasana
hati secara positif dan diisi dengan kebahagiaan yang di motivasi oleh diri
seseorang.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “ Hubungan antara Golongan
Darah dengan Kecerdasan Emosi Mahasiswa Kampus II Keperawatan Lawang “
dengan hasil dari hasil perhitungan diatas dengan Paired Samples Statistic two tails
didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan
kecerdasan emosi, hal ini berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi
5. DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.Jakarta :
Salemba Medika
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT
Rineka Cipta
Alder, Harry. 2001. Boost Your Intelligence. Jakarta : Erlangga
Atkinson, R.L, dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Erlangga
Cooper, Robert K & Ayman Sawaf. 2002. Executive EQ. Kecerdasan Emosional
dalam Kepemimpinan & Organisasi.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Cooper Cary & Makin Petter. 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta : Arcan
Dermawan, 2006,
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Nomi, 2007,
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan MAsyarakat. Prinsip-Prinsip
Dasar.Jakarta : PT Rineka Cipta
Nggermanto, Agus. 2005. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum. Bandung :
Nuansa
Nursalam. 2003. Kosnep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawtaan. Jakarta :
Salemba
Patton, Patricia. 2000 EQ (Kecerdasan emosional). Mitra Media Publisher
Patton, Patricia. 2002. EQ-Pengembangan Sukses Lebih Bermakna. PT Mitra Media
Publisher
Robbins, Stephen P. 1997. Sosiologi Organisasi.Bandung : PT Citra Adiytya Bakti
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 100 | 231
Sukidi. 2004. Rahasia Sukses Hidup Bahagia “ Kecerdasan Spiritual “.Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Wijaya, Diana. 2007. Peluang Meningkatkan Karier dengan Intelegensi
(Kecerdasan) Jakarta. Restu Agung
-, 2003, ledakan EQ lima belas prinsip dasar kecerdasan emosional meraih sukses
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 101 | 231
PENGARUH PEMBERIAN RANGE OF MOTION (ROM)
EXERCISE TERHADAP POLA TIDUR DAN SELF CARE PADA
LANSIA DI PANTI SOSIAL TRISNA WERDHA MINAULA
KENDARI TAHUN 2016
Budiono1 Muslimin L
2, Reni Devianti Usman
3 1
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang 2, 3
Poltekkes Kendari/Jurusan Keperawatan
email: [email protected]
Abstrak
Perubahan fungsi motorik dan biokimia yang terjadi pada Lanjut Usia (Lansia) seringkali
menimbulkan masalah fisiologis dan psikologis pada lansia. Perubahan ini berdampak pada
gangguan pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari seperti adanya masalah istirahat tidur dan rasa
nyaman aman. Latihan fisik merupakan usaha untuk mempertahankan dan atau meningkatkan
fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Latihan fisik yang dilakukan berupa ROM pasif dan aktif yang
rutin membantu menjaga fungsi motorik yang normal dan membantu meningkatkan kebutuhan tidur
seseorang dan keterbatasan fungsi yang lain secara maksimal, kualitas hidup klien akan meningkat
terutama dalam pemenuhan tidurnya, lebih jauh mencegah terjadinya dampak negatif immobilisasi
serta lebih meningkatkan kemandirian bagi lansia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
ROM exercise terhadap pola tidur dan self care lansia. Desain penelitian menggunakan Quasy
experiment (pra test - post test group desin). Sampel penelitian sebanyak 60 responden, dengan
teknik pengambilan non-probability sampling jenis purposive sampling, untuk 30 kelompok kontrol
dan 30 kelompok intervesi. Analisis data dengan menggunakan uji statistic t – test Hasil penelitian
menunjukkan adanya pengaruh ROM exercise pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu
sebesar 1,56. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata pola
tidur pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,000 ; α = 0,05).
Sedangkan nilai rata-rata self care setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan
kontrol sebesar 8,99. Uji analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata self
care pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,007 ; α = 0,05).
Rekomendasi hasil penelitian ini adalah ROM exercise dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi
untuk menangani gangguan pola tidur serta meningkatkan kemampuan dalam perawatan diri pada
lansia.
Kata kunci : ROM exercise, pola tidur, self care, lansia
1. PENDAHULUAN
Menurut UU RI No.13 tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia menyatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai
usia diatas 60 tahun.1 Menurut World Health organization (WHO) batas usia untuk
kategori lanjut usia berdasarkan tingkatan usia yaitu : usia pertengahan (middle age)
65 tahun, usia lanjut (elderly) >65-75 tahun, usia lanjut usia (old age) 75-90 tahun
dan sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun.
Proses menua adalah proses yang alami berjalan secara terus-menerus dan
berkesinambungan diikuti terjadi perubahan fisik, psikososial dan spiritual.
Perubahan fisik seperti kekakuan pada sendi dan otot, perubahan rentang gerak,
nyeri pada sendi merupakan hal yang sering dilaporkan oleh lansia.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 102 | 231
Populasi lansia di Asia Tenggara sebesar 8% dari 142 juta jiwa, dan
diperkirakan pada tahun 2050 populasi lansia akan meningkat 3 kali lipat (WHO).
Persentase usia lanjut pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 11.4%
dibandingkan tahun 2000 sebesar 7.4%. Peningkatan jumlah penduduk berusia
lanjut akan mengubah peta masalah sosial dan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan
lansia mengalami penurunan produktivitas dan mulai munculnya berbagai masalah
kesehatan. Keluhan yang sering diungkapkan oleh lansia adalah adanya gangguan
atau perubahan pola tidur. Apabila gangguan tidur tersebut terjadi dalam kurun
waktu yang lama berdampak timbulnya penyakit fisik seperti nyeri, stres emosional,
kelelahan, serta gangguan asupan makanan dan kalori (Perry & Potter, 2005).
Latihan fisik merupakan usaha untuk mempertahankan dan atau
meningkatkan fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Latihan fisik yang dilakukan
berupa ROM pasif dan aktif yang rutin membantu menjaga fungsi motorik yang
normal dan membantu meningkatkan kebutuhan tidur seseorang dan keterbatasan
fungsi yang lain secara maksimal, kualitas hidup klien akan meningkat terutama
dalam pemenuhan tidurnya, lebih jauh mencegah terjadinya dampak negatif
immobilisasi serta lebih meningkatkan kemandirian bagi pasien (Sofwan, 2010).
Data yang diperoleh di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
terdapat 95 jiwa lansia. Hasil wawancara peneliti pada 20 orang lansia di Panti
Tresna Werdha Minaula Kendari terdapat 7 orang lansia yang memiliki jumlah jam
tidur per hari sebanyak 2–5 jam/hari. Sebanyak 7 orang yang mengalami gangguan
tidur karena kondisi kesehatan/fisik seperti nyeri sendi, batuk dan tekanan darah
tinggi dan 5 orang lansia yang mengalami sering terbangun karena sering BAK
pada malam hari.
Panti Werda Minaula Kendari telah melakukan program kegiatan olah raga
bagi lansia yang dilaksanakan sekali dalam seminggu, namun belum ada program
khusus untuk melatih rentang gerak untuk pencegahan disabilitas pada lansia. Hal
ini mendasari peneliti untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai “Pengaruh
pemberian ROM exercise Terhadap Pola Tidur dan Self Care Lansia di PSTW
Minaula Kendari.”
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian menggunakan Quasy experiment (pra test - post test
group desin), populasi dalam penelitian ini sebanyak 92 lansia yang tinggal dipanti,
sampel penelitian sebanyak 60 sampel. Mennggunakan metode pengambilan sampel
non-probability sampling jenis purposive sampling. 30 sampel kelompok kontrol
dan 30 sampel kelompok perlakuan, pada kedua kelompok diawali dengan pra tes
dan setelah pemberian perlakuan selesai diadakan pengukuran kembali (post- test).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 dan bertempat
di PSTW Minaula Kendari.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 103 | 231
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa: (1)Instrumen untuk
menilai pola tidur adalah The Pittsburgh Quality Sleep Indekx (PSQI) yang terdiri
serangkaian pertanyaan untuk mengidentifikasi kualitas tidur subjektif, sleep
latensi, durasi tidur, gangguan tidur, efisiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat
tidur, dan disfungsi tidur pada siang hari. (2). Intrumen untuk menilai kemandirian
dalam melakukan self care adalah quesioner modifikasi Barthel Indeks dan Skala
Kemandirian KATZ yang terdiri dari 13 item pertanyaan
Data dicatat pada lembar observasi pre-test dan post-test, pada kelompok
intervensi, dilakukan ROM exercise selama 14 hari dan dilaksanakan setiap hari.
Setelah 7 hari menjalani latihan, dilakukan pegukuran pemeriksaan fisik pada
responden meliputi identifikasi keluhan, pengukuran tekanan darah, frekwensi nadi
dan pernapasan pola tidur dan self care pada lansia. lalu pengukuran dilaksanakan
kembali setelah 14 hari menjalankan latihan. Pada hari 15, dilakukan pengukuran
kembali pola tidur dan self care pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Pengolahan data menggunakan teknik : editing, coding, entry data, cleaning
dan tabulating. Analisis data menggunakan program komputer untuk analisa
univariat dan analisa bivariat menggunakan uji statistis Uji t – test. Etika dalam
penelitian ini adalah anonymity, comfidentiality, justice.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karakteristik dasar responden akan disajikan data demografi responden
antara lain: jenis kelamin, umur, dan riwayat penyakit dahulu.
A. Karakteristik Responden
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Sosial
Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2016
Jenis Kelamin Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
n % N %
Laki- laki 14 46,67 12 40
Perempuan 16 53,33 18 60
30 100 30 100
Tabel 1.1 Menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi dan kontorl lebih
banyak responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 16
orang (53,33%) pada kelompok intervensi dan 18 orang (60%) pada
kelompok kontrol
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 104 | 231
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Panti Sosial Tresna
Werdha Minaula Kendari Tahun 2016
Variabel N Min Max Mean Sd Confident Interval
Kel Kontrol
30
56
70
63,09
10,01
60,01- 64,32
Kel Intervensi 30 54 70 60,09 09,04 61,41- 65,02
Berdasarkan data dari tabel 1.2 tentang umur responden diketahui diatas
bahwa jumlah responden ada 30 orang, pada kelmpok kontrol dan intervensi
dengan umur termuda 54 tahun, umur tertua 70 tahun, rata- rata umur
responden 60,09 – 63,09 dengan standar deviasi 09,04 – 10.01
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Keluhan Fisik
Tabel 1.3 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Fisik di Panti Sosial
Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2016
Keluhan Fisik
Kelompok Intervensi Kelompok kontrol
n % N %
Nyeri 17 56,7 13 43,3
Batuk dan sesak 6 20,0 8 26,7
Gatal-gatal 2 6,6 5 16,7
Penglihatan kabur 5 16,7 4 13,3
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 1.3 di atas menunjukkan bahwa keluhan fisik terbanyak
adalah keluhan nyeri yaitu pada kelompok intervensi (56,7%) dan kelompok
kontrol (43,3%).
B. Variabel Penelitian
1. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Tidur Sebelum Dilakukan
ROM Exercise
Data distribusi frekuensi responden berdasarkan pola tidur sebelum
dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol dijelaskan
pada tabel 1.4 berikut:
Tabel 1.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pola Tidur Lansia Sebelum
dan Sesudah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna
Werdha Minaula Kendari Tahun 2016
Variabel
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
Mean Sd Min-Mak Mean Sd Min-Mak
Sebelum 8,90 4,71 2,00-18,00 9,10 4,85 1,00-18,00
Sesudah 7,36 4,67 2,00-15,00 8,93 4,77 1,00-18,00
Hasil penelitian pada tabel 1.4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pola tidur
sebelum dilakukan intervensi ROM exercise pada kelompok intervensi adalah 8,90
dengan standar deviasi adalah 4,71. Nilai minimun pada kelompok intervensi adalah
2,00 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 18,00. Sedangkan pada kelompok
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 105 | 231
kontrol nilai rata-rata pola tidur adalah 9,10 dengan standar deviasi adalah 4,85.
Nilai minimun pada kelompok kontrol adalah 1,00 sedangkan tertinggi adalah
18,00.
Rata-rata nilai pola tidur setalah dilakukan intervensi ROM exercise pada
kelompok intervensi adalah 7,36 dengan standar deviasi 4,67. Nilai minimum pada
kelompok intervensi adalah 2,15 dan nilai tertinggi adalah 15,00. Sedangkan pada
kelompok kontrol nilai rata-ratanya adalah 8,93 dengan standar deviasi 4,77. Nilai
terendah pada kelompok kontrol adalah 1,00 dan nilai tertinggi adalah 18,00.
2. Distribusi Responden Berdasarkan Self Care Sebelum Dilakukan ROM
ExerciseData distribusi frekuensi responden berdasarkan self care setelah
dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol.
Tabel 1.5 Distribusi Responden Berdasarkan Self Care Lansia Sebelum dan
Sesudah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Tahun 2015
Hasil penelitian pada tabel 1.5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata self care
sebelum dilakukan intervensi pada kelompok intervensi adalah 10,46 dengan
standar deviasi 1,73. Nilai terendah pada kelompok intervensi adalah 8,00 dan
tertinggi adalah 13,00. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata self care
adalah 10,40 dengan standar deviasi adalah 1,92. Nilai terendah pada kelompok
kontrol adalah 7,00 sedangkan nilai tertinggi adalah 13,00.
Rata-rata kemandirian dalam self care setelah dilakukan intervensi pada
kelompok intervensi setelah dilakukan ROM exercise adalah 10,90 dengan nilai
standar deviasi adalah 1,44. Nilai terendah pada kelompok intervensi adalah 9,00
dan tertinggi adalah 13,00. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata
kemandirian dalam self care adalah 10,43 dengan standar deviasi 1,90. Nilai
Teredah pada kelompok kontrol adalah 7,00 dan tertinggi adalah 13,00.
C. Analisi Bivariat
1. Pola Tidur Pada Lansia
Analisis bivariat dilakukan untuk menilai perbedaan rata-rata (mean) pola
tidur dan self care pada lansia sebelum dan setelah dilakukan ROM exercise.
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik paired T test.
Variabel
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
Mean Sd Min-Mak Mean Sd Min-Mak
Sebelum 10,46 1,73 8,00-13,00 10,40 1,92 7,00-13,00
Sesudah 10,90 1,44 9,00-13,00 10,43 1,90 7,00-13,00
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 106 | 231
Tabel 1.6 Perbedaan Rata-Rata Responden Berdasarkan Pola Tidur Sebelum dan
Setelah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Tahun 2016
Variabel
Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Mean Sd P value t n Mean Sd P
value
t n
Kelompok
Intervensi
8,90 4,70
0,030
2,28
30
7,36 4,67
0,00
3,97
30 Kelompok
Kontrol
9,10 4,85 8,92 4,77
Pada tabel 1.6 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi ROM
exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata pola tidur adalah 8,90 dan pada
kelompok kontrol adalah 9,10. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan
yang signifikan nilai rata-rata pola tidur pada kelompok intervensi dan kontrol
sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,030 ; α = 0,05).
Setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi adalah 7,36 dan
pada kelompok kontrol 8,92. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang
signifikan nilai rata-rata pola tidur pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum
dilakukan ROM exercise (p=0,000 ; α = 0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada
pengaruh ROM exercise terhadap pola tidur lansia
1. Kemampuan Dalam Self Care pada Lansia
Tabel 1.7 Perbedaan Rata-Rata Responden Berdasarkan Self Care Sebelum dan
Setelah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Tahun 2016
Variabel
Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Mean Sd P
value
t n Mean Sd P value t n
Kelompok
Intervensi
10,46 1,73
0,326
1,00
30
10,90 1,44
0,007
2,9
0
3
0
Kelompok
Kontrol
10,40 1,92 10,43 1,90
Pada tabel 1.7 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi ROM
exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata self care adalah 10,46 dan pada
kelompok kontrol adalah 10,40. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan
yang signifikan nilai rata-rata self care pada kelompok intervensi dan kontrol
sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,326 ; α = 0,05).
Setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata
self care adalah 10,90 dan pada kelompok kontrol 10,43. Hasil analisis
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata self care pada kelompok
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 107 | 231
intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,007 ; α = 0,05). Hal
ini menunjukan bahwa ada pengaruh ROM exercise terhadap self care lansia
Pembahasan
1. Pola Tidur Pada Lansia
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai pola tidur pada
lansia adalah 8,90 pada kelompok intervensi dan 9,10 pada kelompok kontrol.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola tidur adalah The Pittsburgh
Quality Sleep Indekx (PSQI), dengan menilai kualitas tidur, sleep latency, durasi
tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur dan penggunaan obat tidur. Nilai skor diatas
5 mengindikasikan pola tidur yang buruk sedangkan skor dibawah nilai 5
menunjukkan pola tidur yang baik. Nilai skor 8 dan 9 menunjukkan bahwa pada
lansia mengalami kualitas pola tidur yang buruk.
Berbagai masalah yang berkaitan dengan lanjut usia telah dicatat pada
banyak referensi. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh lansia adalah
gangguan pola tidur. Gangguan tersebut meliputi kurangnya jumlah waktu tidur,
sulit untuk memulai tidur, mudah terbangun saat tidur dan tidur yang tidak
nyenyak.
Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yaitu sekitar 67%, dan
lansia yang memiliki gangguan fisik serta psikologis melaporkan kualitas tidur
yang buruk dan durasi tidurnya kurang (Amir N., 2007). Pendapat tersebut juga
didukung oleh data yang menyebutkan bahwa sekitar 50% lansia yang berusia 65
tahun dan tinggal di rumah mengalami gangguan tidur, dan angka tersebut
meningkat menjadi dua pertiga pada lansia yang tinggal di tempat perawatan usia
lanjut (Prayitno., A. 2002).
Penelitian lain yang melibatkan 9000 responden lansia berusia diatas 65
tahun mencatat bahwa 42% dari populasi tersebut mengalami kesulitan memulai
dan mempertahankan tidur. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi bahwa
lansia tersebut bangun lebih awal, jumlah waktu berada ditempat tidur lebih lama
saat memulai tidur dan terbangun di malam hari (Roepke & Israel, 2008).
Dampak dari gangguan tidur dapat secara langsung mempengaruhi kualitas
hidup. Keluhan seperti sering tertidur pada siang hari, perasaan yang tidak bugar,
lebih mudah terjatuh, penurunan kemampuan bekerja atau melakukan aktivitas
sehari-hari, kelelahan, gangguan kognitif, gangguan fisik, depresi dan cemas
adalah hal yang sering diungkapkan pada lansia dengan gangguan tidur.
(Roccichelli T, dkk, 2010).
Perubahan pada fisiologis tubuh berperan pada kualitas hidup lansia.
Penurunan fungsi normal pada berbagai organ tubuh, atropi pada sel, perubahan
pada pembuluh darah serta penyakit degeneratif berkontribusi pada keluhan fisik
yang dialami oleh lansia. Beberapa gangguan kesehatan secara secara langsung
memberikan dampak pada pola tidur lansia, misalnya keluhan nyeri pada otot
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 108 | 231
dan sendi, sesak nafas, batuk dan peningkatan frekwensi berkemih pada malam
hari.
Faktor yang mempengaruhi istirahat tidur antara lain lingkungan, respon
terhadap penyakit, gaya hidup, dan depresi, stres emosi, pengaruh makanan dan
obat-obatan (Perry & Potter, 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagaian besar lansia mengalami
keluhan fisik yang berpotensi menghambat fungsi tubuh. Keluhan terbanyak
adalah nyeri yang meliputi nyeri sendi, nyeri tulang, nyeri epigastrium. Terdapat
keluhan lain yang diungkapkan oleh sejumlah responden seperti sesak, batuk dan
gatal-gatal. Hal ini dilaporkan lansia sebagai masalah yang menyebabkan
penurunan kualitas tidur.
Pendapat tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Tel pada tahun 2013 yang melibatkan 187 lansia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas tidur pada lansia menurun, serta ditemukan
hubungan antara penurunan kualitas tidur dan kualitas hidup seiring dengan
bertambahnya usia pada populasi lansia. Pada penelitian tersebut juga dijelaskan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia tersebut adalah
penyakit fisik yang dialaminya (Tel., H., 2013).
2. Pengaruh ROM exercise terhadap pola tidur lansia
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
pemberian ROM exercise dengan pola tidur pada lansia dengan nilai p=0,000 ;
α=0,05.
Siklus bangun dan tidur merupakan proses yang kompleks. Pengaturan
tidur dipengaruhi oleh mekanisme kerja nukleus suprakhiasma yang berlokasi di
hipothalamus, daerah ini bertanggung jawab pada pelepasan melatonin yang
berperan pada proses tidur. Selain itu serotonin yang diproduksi di nukleus
dorsal rape, norepinefrin yang diproduksi di lokus ceruleus serta asetilkolin dari
pontin retikular formasi merupakan neurotransmitter yang juga berperan pada
proses tidur dan terjaga. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sebagian
besar mengalami ketidaknyamanan nyeri yaitu berjumlah 43,3% - 56,7% dengan
keluhan lainnya adalah sesak yang berpengaruh terhadap pola tidur lansia.
Faktor ketidaknyamanan seperti nyeri dan sesak meningkatkan masukan
impuls pada daerah ini sehingga mengeksitasi sistem yang bersangkutan
sehingga berdampak pada pola tidur (Lubit R.H, 2015).
ROM exercise merupakan salah satu jenis latihan fisik untuk meningkatkan
kemampuan rentang gerak sendi sehingga dapat meningkatkan fleksibilitas,
kekuatan dan mobilitas sendi. Selain meningkatkan vitalitas sendi, latihan ini
juga dapat mempengaruhi kekuatan otot. Saat seseorang melakukan ROM
exercise, maka sekumpulan otot dan tendon yang mempengaruhi sendi tersebut
akan melakukan aktivitas peregangan dan relaksasi (american college). Aktivitas
latihan ini akan meningkatkan sirkulasi ke otot sehingga akan mempengaruhi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 109 | 231
pasokan nutrisi sel serta eliminasi zat sisa metabolik, dampak dari hal tersebut
adalah menurunkan ketegangan otot, meningkatkan vitalitas dan metabolisme
tubuh (Gamaldo., C, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara ROM exercise dengan
pola tidur. Suatu penelitian telah dilakukan oleh Yang., P.Y, dkk pada tahun
2012, dengan 305 partisipan yang mengalami gangguan tidur. Pada partisipan
tersebut, dilakukan exercise selama 10 sampai 16 minggu. Pengukuran pola tidur
dilakukan dengan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi yang melakukan exercise
terdapat perbaikan pola tidur yaitu penurunan sleep latency dan penggunaan
obat tidur.
Suatu penelitian yang melibatkan 2600 responden pria dan wanita dengan
rentang usia 18 hingga 85 tahun yang melakukan exercise 150 menit dalam
seminggu menunjukkan bahwa 65% dari responden melaporkan peningkatan
kualitas tidur. Youngstedt mencatat bahwa terdapat sekitar 38 penelitian telah
dilakukan untuk menilai exercise dengan pola tidur. Hasil peneelitian tersebut
menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara exercise dengan pola tidur
yang ditunjukkan dengan parameter peningkatan waktu tidur (Hirshkowitz, H.
2013).
ROM Exercise dapat meningkatkan asupan oksigen sebagai respon
terhadap kardiorespirasi akibat aktivitas fisik yang dilakukan. Dampak ini tidak
hanya terjadi pada otot yang bersangkutan tetapi juga pada organ tubuh lainnya
misalnya otak. Jumlah oksigen yang sampai pada otak akan meningkat sehingga
dapat memaksimalkan fungsinya.
Saat seorang melakukan exercise diinduksi pengeluaran protein yang
bernama Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), protein ini bersifat
protektif terhadap sel otak. Pada saat yang sama, otak akan memproduksi
endorpin yaitu suatu zat kimia yang berfungsi untuk mengatasi stres dan
menimbulkan efek rasa nyaman (Widrich.,N, 2012). Endorfin ini mengandung
banyak asam amino dan efek analgesiknya dua kali lebih besar dibandingkan
morfin. Zat ini tampaknya mempunyai tropisme utama untuk reseptor rasa nyeri
yang ada di mesensefalon, nuklei medio thalamik, dalam substansia nigra. Lebih
lanjut, endorpin dapat menurunkan hormon stres seperti aderenalin, kortisol, dan
norephinefrin (Tjahyati & Ismail, 2007).
Peningkatan konsentrasi serum beta-endorpin yang diinduksi dari exercise
dapat memberikan efek secara bermakna pada kondisi psikologis dan fisiologis,
misalnya memperbaiki mood atau perasaan dan mengurangi rasa nyeri sehingga
akan meningkatkan kenyamanan (Herber & Sutton, 2012). Mekanisme relaksasi
dan peningkatan kenyamanan tersebut akan mempengaruhi pola tidur seperti
peningkatan kualitas tidur, peningkatan jam tidur dan kemampuan memulai
tidur.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 110 | 231
3. Kemandirian Self Care pada lansia
Penelitian ini, mengidentifikasi kemampuan lansia dalam pelaksanaan self
care yang terdiri dari kemampuan melaksanakan aktivitas mandi, kebersihan mulut,
berpakaian, eliminasi, makan, hubungan sosial dan aktivitas diwaktu senggang.
Sebagian besar responden penelitian mengalami keluhan fisik. Keluhan yang
diidentifikasi terbanyak dikeluhkan adalah nyeri. Nyeri yang dialami oleh
responden sebagian besar adalah nyeri pada sendi, nyeri pada tulang dan otot.
Masalah ini menyebabkan penurunan kemampuan lansia dalam melakukan self
care.
Lansia yang mengalami penurunan kemampuan dalam mandi, tidak dapat
menyeka anggota tubuh tertentu, keterbatasan dalam membilas setelah eliminasi,
keterbatasan dalam mengontrol defekasi dan berkemih disebabkan ketidakmampuan
mencapai toilet, memilih dan menggani pakaian. Akibat lain yang ditimbulkan dari
keterbatasan tersebut, fungsi sosial lansia menjadi terhambat. Dampak secara luas
adalah lansia memiliki ketergantungan pada orang lain untuk menyelesaikan
aktivitas self care. Hambatan dalam self care seperti kemampuan menggganti
pakaian dapat berisiko terhadap infeksi kulit, saluran kemih dan saluran cerna.
Gangguan konsep diri dan gambaran diri juga dapat dialami oleh lansia disebabkan
penampilan yang tidak rapi, menimbulkan bau sehingga lansia mengurangi aktivitas
sosial.
Self care merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang telah
terbentuk sepanjang rentang kehidupan manusia sehingga, membentuk diri mereka
sendiri untuk memelihara hidup, kesehatan, pengembangan, dan kesejahteraan/
kesehatan (Tomey, 2006 ). Berbagai faktor dapat berperan pada kamandirian
pelaksanaan self care, adalah kondisi fisik, motivasi, pengetahuan, kondisi
lingkungan dan psikologis. Nyeri pada sendi, otot dan tulang dapat menyebabkan
lambatnya respon lansia pada pergerakan, berisiko cedera, berkurangnya
kemampuan rentang gerak, fleksibilitas dan mobilitas sendi sehingga lansia
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan self care, dapat
melaksanakan self care tetapi urutan kegiatannya tidak lengkap, atau bahkan hal ini
menyebabkan berkurangya minat lansia pada pelaksanaan self care (James, et al,
2012).
Perubahan pada jaringan ikat sendi yaitu pada tendon, kartilago dan ligamen
mengakibatkan penurunan rentang gerak dan elastisitas sendi (Pudjiastuti & Utomo,
2003). Selain itu akibat proses penuaan dan penurunan aktivitas, akan
mempengaruhi ukuran serat otot dan massa otot yang berkontribusi pada kekuatan
otot (Potter & Perry, 2019). Selanjutnya, kondisi tersebut akan mempengaruhi
seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari termasuk kemampuan dalam
melaksanakan self care.
ROM exercise, merupakan suatu latihan yang salah satunya berfungsi untuk
meningkatkan fleksibilitas tendon melalui mekanisme yang memediasi refleks
inhibisi dan tegangan viskoelastis. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Girourad &
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 111 | 231
Hurley menunjukkan bahwa dengan melakukan latihan fleksibilitas pada sendi,
dapat meningkatkan rentang gerak sendi. Penelitian lain yang berhubungan dengan
ROM exercise dan rentang gerak sendi dilakukan oleh Ulliya dkk. Penelitian
tersebut dilakukan selama enam minggu dan fleksibilitas sendi diukur setelah tiga
dan enam minggu latihan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadi
peningkatan yang signifikan fleksibilitas lutut kanan dan kiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Mudrikhah dkk, juga menilai ROM exercise
terhadap rentang gerak sendi lutut dan kekuatan otot pada 24 orang lansia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rentang gerak sendi dan
kekuatan otot setelah melakukan latihan selama enam minggu dengan frekwensi
latihan lima kali seminggu. ROM exercise dapat mempengaruhi kemampuan rentak
gerak sendi, fleksibilitas dan mobilitas sendi melalui mekanisme peningkatan
tegangan pada muskulus dan tendon akan dideteksi oleh proprioseptor daerah yang
dilatih yang selanjutnya akan menghambat kontraksi otot agonis dan menginduksi
relaksasi dari otot yang bersifat antagonis. Makanisme ini bertujuan untuk
menghindari injuri pada otot dan tendon yang disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada daerah tersebut, dan memberikan efek jangka pendek berupa
peningkatkan fleksibilitas segera setelah peregangan dilakukan.
Gerakan yang dilakukan pada sendi menyebabkan pembuluh darah yang
memfasilitasi komponen darah pada otot dan tendon pada daerah tersebut
mengalami peningkatan. Nutrisi dan oksigen dibutuhkan memaksimalkan
regenerasi sel, selain itu peningkatan sirkulasi pada daerah tersebut meningkatkan
eliminasi sisa produk metabolisme dari otot, tendo dan jaringan lain. Selain itu,
ROM exercise memberi dampak pada pengurangan rasa nyeri yang diakibatkan dari
degenaratif sendi ataupun keterbatasan gerak. Ini dimungkinkan oleh pengeluaran
endorpin pada otak yang secara langsung dapat mempengaruhi sensasi nyeri,
meningkatkan mood sehingga berperan pada kondisi psikologis. Selanjutnya, hal ini
akan berkontribusi pada peningkatan kemampuan self care lansia.
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan Ada pengaruh yang signifikan rata-rata nilai
pola tidur setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol
(p= 0,000 ; α = 0,05), dan ada pengaruh yang signifikan rata-rata nilai self care
setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol (p= 0,007 ; α
= 0,05)
SARAN
Hasil penelitian ini dapat diterapkan oleh lansia untuk mencegah maupun
mengatasi gangguan tidur dan keterbatasan dalam melaksanakan self care. Untuk
pihak PSTW maupun yang terkait dalam menangani atau merawat lansia, dapat
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 112 | 231
menerapkan intervensi ROM exercise untuk mempertahankan dan memaksimalkan
fungsi tubuh serta sekaligus untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur
5. DAFTAR PUSTAKA
Frost R. Sleep Disorder. 2001. Dalam: Introductory Textbook of Psychiatry,
Andreasen NC, Black DW. eds, 3rd ed. Am Psychiatric Publ. Inc,
Washington DC, London. hal. 643-66
Printz PN, Vittelo MV. 2000. Sleep disorders. Dalam: Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Sadock BJ, Sadock VA, eds, 7th ed, Lippincott Williams &
Wilkins. A Wolters Kluwer Co. hal. 3053-59.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th
ed, Text Revision,
American Psychiatric Association, 2000. hal. 579-661.
Reynolds CF, Kufer DJ, Taska LS. EEG sleep in elderly depressed, demented, and
healthy subjects. Biol Psychiatry 1985; 20: 431-42.
5. Koskenvoo M, Kaprio J, Partinen M. Snoring as risk factor for hypertension and
angina pectoris. Lancet 1985;1: 893-96.
Salih AM, Gray RE, Mills KR. A clinical, serological, and neuropsychological
study of restless leg syndrome in rheumatoid and arthritis. Br J Rheumatol.
1994; 33: 60-3
Lamberg L. Illness, not age itself, most often the trigger of sleep problems in older
adults. JAMA;2003; 290(3): 319-24.
Wellsburg JE, Winkelman JW. Sleep disorders. Dalam: Textbook of consultation-
liaison psychiatry. Psychiatry in the medically ill. Wise MG, Rundell JR,
eds. 2nd ed, 2002: 495-513.
Nausieda P, Weiner W, Kaplan LR. Sleep disruption in the course of chronic
levodopa therapy: an early feature of levodopa-induces psychoses. Clin
Neuropharmacol. 1982:5:183-94
Thase ME. Depression, sleep, and antidepressants. J Clin. Psychiatry 1998; 59
(suppl 4) : 55-65.
Guelleminault C. Benzodiazepine, breathing, and sleep. Am J Med 1990, 88: 25-8.
Thase ME. Antidepressant treatment of the depressed patients with insomnia. J Clin
Psychiatry 1999; 60 (suppl 17): 28-31.
Dolberg T, Hirschman S, Grunhaus L. Melatonin for the treatment of sleep
disturbances in major depressive disorder. Am J Psychiatry 1998;155: 1119-
21.
Dahliz M, Alvarez B, Vignan J,Parles JP, Arendt J. Delayed sleep phase syndrome
response to melatonin. Lancet 1991;337:1121-4
Garfinkel D, Laidon M, Noff D. Improvement of sleep quality in elderly people by
controlled-release melatonin. Lancet 1995;346:541-4.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 113 | 231
TINGKAT KESEPIAN PADA LANSIA DI PANTI WERDHA
Ni Wayan Rosmalawati1 Abdul Hanan
2, Arivando Yoga Papangdika
3 1, 2, 3
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected].
id
Abstrak
Penuaan dapat menyebabkan sejumlah kehilangan, termasuk hilangnya kesehatan, teman,
pasangan, transportasi, dan kemandirian. Kehilangan ini dapat berkontribusi terhadap kesepian.
Kesepian telah diidentifikasi sebagai masalah kesehatan mental yang utama mempengaruhi lansia.
Ada pun yang melatarbelakangi penelitian di Panti Pangesti Lawang adalah para lansia yang
cenderung suka menyendiri dan kurang mampu bersosialisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi gambaran tingkat kesepian pada lansia, dengan desain penelitian menggunakan
metode deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 50 orang. Menggunakan teknik sampling jenuh. Hasil
penelitian didapatkan dari 50 responden sebanyak 31 responden (62%) mengalami kesepian ringan.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengah jumlah lansia yang tinggal di
Panti Pangesti mengalami kesepian ringan. Disarankan kepada pengelola panti untuk tetap
menjaga lingkungan panti yang sudah kondusif, serta bagi tenaga keperawatan agar lebih
menerapkan komunikasi terapeutik dalam setiap pertemuan dengan lansia.
Kata Kunci : Kesepian, Lansia
1. PENDAHULUAN
Kesepian merupakan topik penting untuk memahami orang dewasa yang
lebih tua. Masa tua merupakan masa paling akhir dari siklus kehidupan manusia,
dalam masa ini akan terjadi proses penuaan atau aging yang merupakan suatu
proses yang dinamis sebagai akibat dari perubahan-perubahan sel, fisiologis, dan
psikologis. Pada masa ini manusia berpotensi mempunyai masalah-masalah
kesehatan secara umum mau pun kesehatan jiwa (Gollub & Weddle, 2014).
Kesepian telah dikaitkan dengan usia tua karena banyaknya perubahan dan
kehilangan yang berkaitan dengan usia yang terlibat dalam menjadi tua (Aebischer,
2008). Orang dewasa yang lebih tua berada pada risiko yang lebih besar dari
kesepian karena beberapa alasan, termasuk kehilangan pasangan, teman-teman,
pendapatan, dan kesehatan (Balandin, Berg, & Waller, 2006).
Kesepian dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan emosional pada orang
dewasa yang lebih tua. Ini telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, gangguan
tidur, nyeri, depresi, dan kecemasan (Cacioppo & Patrick, 2008). Ini juga telah
baru-baru ini dipelajari dalam kaitannya dengan kesehatan kognitif. Penelitian
menunjukkan bahwa kesepian merupakan faktor risiko penurunan kognitif
(Cacioppo & Hawkley, 2009). Sebuah studi terbaru menunjukkan bagaimana
berbagai jenis kegiatan kelompok meningkatkan kognisi orang dewasa yang lebih
tua (Pitkala, Routasalo, Kautiainen, Sintonen, & Tilvis, 2011).
Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan mencapai 30-40 juta pada tahun
2020 sehingga Indonesia menduduki peringkat ke 3 di seluruh dunia setelah China,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 114 | 231
India, dan Amerika dalam populasi lansia. Dengan seiring meningkatnya jumlah
lansia maka angka kesepian pun semakin semakin besar diperkirakan 50% lansia
kini menderita kesepian. Dalam empat dekade mendatang, proporsi jumlah
penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih dalam populasi dunia diperkirakan
meningkat dari 800 juta penduduk menjadi 2 milyar penduduk lansia atau
mengalami lonjakan dari 10% hingga 22% (Depkes, 2015).
Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada lansia maka pemerintah
membentuk suatu wadah yang dinamakan panti werdha atau dulu lebih dikenal
dengan nama panti jompo. Pada awalnya panti jompo diperuntukkan bagi lansia
yang terlantar atau dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan namun
seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perawatan bagi lansia maka kini
berkembang panti-panti berbasis swasta yang umumnya untuk lansia dengan
keadaan ekonomi berkecukupan.
Dengan adanya panti ini diharapkan para lansia mendapatkan pelayanan
berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu
program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan untuk mereka
sebagai pengisian waktu luang, diantaranya pemberian bimbingan sosial,
bimbingan mental spiritual serta rekreasi, penyaluran bakat dan hobi, terapi
kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya.
Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:
gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang
Kabupaten Malang.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
yang bertujuan untuk menggambarkan tingkat kesepian pada lansia di panti
pangesti Lawang Kabupaten Malang, dengan populasi seluruh lansia di Panti
Pangesti Kecamatan Lawang Kabupaten Malang sebanyak 50 orang, dan sampel
penelitian diambil dengan teknik total sampling. Variabel dalam penelitian ini
adalah tingkat kesepian pada lansia di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang.
Definisi Operasional Gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti
Pangesti Lawang Kabupaten Malang.
Variabel : Tingkat Kesepian
Definisi Operasional : Rentang tinggi atau rendahnya perasaan subjektif individu
yang berupa perasaan terasing, tertolak, atau pun kegelisahan
Skala : Ordinal
Alat ukur : Kuisioner((UCLA Loneliness Scale)
Skor : Kesepian Ringan : Skor 20-39
: Kesepian Sedang : Skor 40-59
: Kesepian Berat : Skor 60-80
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 115 | 231
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 Mei 2017 –
15 Mei 2017, di Panti Werdha Pangesti Lawang Kabupaten Malang, dengan alat
ukur berupa kuesioner dari Revised UCLA Loneliness Scale yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia.
No Usia Frekuensi Prosentase
1
2
3
4
45 – 59 tahun (Middle Age)
60 – 74 tahun (Elderly)
75 – 90 tahun (Old)
90 < (Very Old)
2
25
20
3
4
50
40
6
Jumlah 50 100
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase
1
2
Laki-laki
Perempuan
21
29
42
58
Jumlah 50 100
Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Pendidikan
No Pendidikan Frekuensi Prosentase
1
2
3
4
Belum tamat SD
SD
SMP
SMA
6
24
8
12
12
48
16
24
Jumlah 50 100
Tabel 3. Tingkat Kesepian Lansia
No Tingkat Kesepian Frekuensi Prosentase
1
2
3
Ringan
Sedang
Berat
31
16
3
62
32
6
Jumlah 50 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 116 | 231
Pembahasan
Dari 50 responden penelitian, dapat dilihat lebih dari setengahnya lansia
mengalami kesepian ringan yaitu 31 orang (62%), sedangkan kurang dari
setengahnya mengalami kesepian sedang yaitu 16 orang (32%), dan sebagian kecil
mengalami kesepian berat yaitu 3 orang (6%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih
dari setengahnya lansia mengalami kesepian ringan, ini dimungkinkan karena faktor
lingkungan panti sendiri yang lebih kondusif dari sebelumnya untuk menjalin ikatan
persaudaraan antara lansia terutama bagi lansia yang tinggal satu wisma. Hal yang
membuat suasana panti kondusif diantaranya ialah dengan terapi musik yang
dilakukan setiap pagi dan sering mengumpulkan lansia untuk saling berinteraksi
baik itu dengan sesama lansia maupun dengan para pekerja sosial. Selain itu
kegiatan-kegiatan yang dibimbing baik oleh perawat dan pekerja sosial terutama
oleh mahasiswa yang melakukan praktek lapangan membuat lansia tetap dapat
melakukan cukup aktifitas.
Faktor lingkungan panti akan secara tidak langsung mempengaruhi
terjadinya kesepian pada lansia, seperti sarana prasarana atau fasilitas yang
disediakan oleh panti, berbagai aktifitas dari mulai yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar maupun bimbingan-bimbingan terapi dan perawat atau pekerja
sosial itu sendiri sebagai orang yang berperan memberikan perawatan selama lansia
tinggal di panti (Mariani dan Kadir, 2007).
Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) mengatakan salah satu faktor yang
menjadi penyebab kesepian adalah faktor spiritual yaitu agama seseorang yang
dapat menghilangkan kecemasan seseorang dan kekosongan spiritual seringkali
berakibat kesepian. Di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang diberlakukan
bimbingan rohani setiap minggunya, hal ini akan mempengaruhi lansia untuk
menghadapi masalah-masalah salah satunya adalah masalah kesepian. Lansia yang
orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih baik
(Santrock, 2006).
Menurut Peters (2004), faktor-faktor yang menyebabkan kesepian adalah
kurangnya perhatian pada lansia ketika anak-anaknya sudah dewasa dan kehilangan
pasangan hidup. Fase kehilangan pada 5 tahun pertama biasanya akan mengalami
kesepian berat dibandingkan lansia yang telah bertahun-tahun ditinggalkan oleh
pasangan. Beberapa lansia yang tinggal di Panti Pangesti dirasa juga cukup
mendapat perhatian dari keluarga melalui kunjungan yang dilakukan keluarga
meski dalam rentang waktu yang tidak menentu.
Menurut Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) salah satu faktor yang
mempengaruhi kesepian adalah kebudayaan dan situasional di mana dalam hal ini
bagi lansia adalah kebudayaan dan situasi yang ada di panti. Saat pertama
memasuki panti sebagian besar lansia kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan
dan lebih senang menyendiri. Hal ini dimungkinkan karena penyakit yang terjadi
bersamaan dengan penurunan hubungan sehingga lansia menjadi tidak komunikatif
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 117 | 231
disebabkan kesulitan pendengaran dan keterbatasan bahasa. Namun dengan seiring
waktu akan timbul kepasrahan dan selanjutnya akan bisa menikmati hidup di panti.
Kesepian pada orang-orang yang sudah tua akan berdampak pada kesehatan
fisik yang komplek (Herbert, 2007). Oleh karena itu, meskipun lebih dari setengah
lansia hanya mengalami kesepian ringan namun hal ini tetap harus menjadi
perhatian karena penderita kesepian mungkin tenang dan tidak bisa ditandai sejak
dini akan tetapi hal tersebut akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu
Menurut Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) motivasi akan sangat
membantu individu dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Individu yang
tidak memiliki motivasi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah akan
membentuk koping yang destruktif. Mengingat akibat kesepian sangat besar
diantaranya adalah depresi dan resiko melakukan bunuh diri, maka perlu menggali
faktor penyebab kesepian sejak dini dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan
dan penanggulangan agar masalah kesepian pada lansia tidak bertambah. Salah satu
solusi yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan jumlah tenaga perawat
sebagai tenaga yang berperan dalam pendekatan psikis. Perawat diharapkan akan
memberikan motivasi terhadap segala sesuatu yang asing sekaligus memberikan
kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai keluhan agar
lansia merasa puas. Selain itu, peningkatan terapi aktivitas kelompok juga perlu
dilakukan guna mendorong lansia agar lebih sering berinteraksi sekaligus
mengurangi masalah emosional.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan bahwa tingkat kesepian
pada lansia di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang didapatkan lebih dari
setengahnya mengalami kesepian ringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan para
lansia pada kuesioner yang lebih dari setengahnya menyatakan bahwa mereka
memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang disekitarnya
5. DAFTAR PUSTAKA
A, Cheryl dan K. Parello. 2008. Loneliness in the School Setting, volume 24. The
Journal of School Nursing 2008. 24/2. 66-70. (Diakses 13 Desember 2016)
Aebischer, J. (2008). Loneliness among home¬bound older adults: Implications for
home healthcare clinicians. Home Health¬care Nurse, 26, 521-524.
(Diakses 07 Oktober 2016)
Alimul Hidayat, Aziz. 2012. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta: Salemba
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rinek Cipta
Azizah, L. M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 118 | 231
Balandin, S., Berg, N., & Waller, A. (2006). Assessing the loneliness of older
people with cerebral palsy. Disabil¬ity and Rehabilitation, 28, 469-479.
(Diakses 07 Oktober 2016)
Cacioppo, J.T., & Hawkley, L.C. (2009). Perceived social isolation and cognition.
Trends in Cognitive Sciences,13, 447-454. (Diakses 07 Oktober 2016)
Diana Hidayati, Savitri. 2015. Self Compassion dan Loneliness. Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan. (Diakses 04 Januari 2017)
Dykstra, P.A., van Tilburg, T.G., & de Jong Gierveld, J. (2005). Changes in older
adult loneliness: Results from a seven-year longi¬tudinal study. Research
on Aging, 27, 725- 747. (Diakses 07 Oktober 2016)
Fry, P. S., & Debats, D. L. (2002). Self-efficacy beliefs as predictors of loneliness
and psychological distress in older adults. International Journal of Aging
and Human Development, 55(3), 233-269. (Diakses 07 Oktober 2016)
Gollub, E., & Weddle, D. (2004). Improvements in nutritional intake and quality of
life among frail homebound older adults receiving home-delivered breakfast
and lunch. Journal of the American Dietetic Association, 104(8), 1227-35.
(Diakses 07 Oktober 2016)
Herbert, W. 2007. Loneliness is injurious to health, especially in old age
http://www.psychologicalscience.org (diakses 29 Mei 2017)
Hurlock, B. 2002. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Kadir dan Mariani. 2007. Panti Werdha Sebuah Pilihan
http://subhankadir.wordpress.com.(Diakses 07 Oktober 2016)
Juniarti, N. & Septi, R.E, & Damayanti, A. (2008). Gambaran Jenis dan Tingkat
Kesepian Pada Lansia di Balai Panti Sosial Tresna Werdha Pakutandang
Ciparay Bandung. (Diakses 07 Oktober 2016)
Masi, C. M., Hsi Y.C,. Louise, C.H dan Ohn T.C. 2011. A Meta-Analysis of
Intervensions to Reduce Loneliness, Volume 15, Personality and Social
Psychology Review.15/3.219-266. (Diakses 13 Desember 2016)
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta Selatan: salemba medika
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan .Jakarta: Rineka
Cipta
Peters, R. 2004. Social Isolation and Loneliness. http://web.uvic.ca (diakses 29 Mei
2017)
Pettigrew, S. Dan Michelle R. 2008. Addressing loneliness in later life. Journal of
Aging & Mental Health.. 12/3. 302-309. (Diakses 13 Desember 2016)
Pitkala, K., Routasalo, P., Kautiainen, H., Sintonen, H., & Tilvis, R. (2011). Effects
of socially stimulating group intervention on lonely, older people’s
cognition: A ran-domized, controlled trial. American Jour¬nal of Ge- riatric
Psychiatry, 19, 654-663. (Diakses 07 Oktober 2016)
Rahmi. 2015. Gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti Tresna Werdha
Pandaan. Seminar Psikologi & Kemanusiaan. (Diakses 27 September 2016)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 119 | 231
Russel, D., Peplau, L.A., & Cutrona,C.E. (1980). The Revised UCLA Loneliness
Scale:Concurrent and Discriminant validity evidence. Journal of Personality
and Social Psychology. 39. 472-480. (Diakses 04 Oktober 2016)
Santrock, J. W. 2006. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga
Sears, D. O., Jonathan, L. F, dan L. Anne, P. 2006. Psikologi Sosial Jilid 1 Edisi
Kelima. Jakarta: Erlangga.
Schnittger, R. I. B., Joseph, W., David, P, dan Brian, A. L. 2011. Risk factors and
mediating pathway of loneliness and social support in community-dwelling
older adults. Journal of Aging & Mental Health. 16/3.335-346. (Diakses 13
Desember 2016)
Suardiman, S. P. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tiikainen, P. Dan R. L. Heikkinen. 2010. Associations between loneliness
depressive symptoms and perceived togetherness in older people. Journal of
Aging & Mental Health. 9/6. 526-534. (Diakses 13 Desember 2016)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 120 | 131
TINGKAT RISIKO DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE YANG SEDANG
MENJALANI RAWAT INAP
Novi Susanti1, Arief Bachtiar2, Supono3
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan LawangJl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan penurunan kemampuan fungsional sehinggapenderitanya dapat mengalami keterbatasan mobilitas. Kondisi imobilisasi mengakibatkan penderitatidak mampu melakukan perubahan posisi tubuh secara mandiri, sehingga akan menyebabkanrisikodekubitus. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan pembentukan dekubitus akan menyebabkanadanya perbedaan tingkat risiko dekubitus setiap individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuitingkat risiko dekubitus pasien stroke. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yangmenggunakan 92 pasien stroke sebagai sampel penelitian dengan teknik pengambilan sampelpurposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada 29 Maret – 3 April 2016 dan 24 Mei –16 Juni2016 di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan dan menggunakan penilaian perkiraan risiko dekubitus(Skala Braden) sebagai instrumen penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah 19 responden (20,7 %)berisiko sangat tinggi dekubitus, 60 responden (65,2 %) berisiko tinggi dekubitus,13 responden (14,1%) berisiko sedang terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan karenamayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan mobilitas, status nutrisiyang mungkin kurang, serta berpotensi terjadi friksi dan gesekan antara permukaan tubuh denganpermukaan tempat tidur. Sehingga perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi dekubitusolehperawat, misalnya dengan rutin melakukan perubahan posisi pasien miring kiri-kanan setiap 2 jamatau menyediakan kasur angin bagi penderita stroke yang bedrest.
Kata Kunci : Risiko Tinggi, Dekubitus, Stroke
1. PENDAHULUAN
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredarandarah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehinggamengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2012:56). Pasien stroke akan mengalami penurunan kemampuan fungsional sehinggamengalami kondisi imobilisasi (Irfan, 2012: 194). Kondisi imobilisasi tersebutmengakibatkan pesien tidak mampu merubah posisi secara mandiri, sehinggaberisiko terjadi dekubitus (Potter & Perry, 2006: 1258).
Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar angkakejadiannya. Di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini pada usia 20-39 tahunmencapai 0,6 %, sedangkan pada usia 60-79 tahun meningkat menjadi 6,9 % darijumlah populasi penduduk (American Heart Association, 2014: 8). Di Indonesia,jumlah penderita stroke pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan(nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkandiagnosis nakes atau gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). DiPulau Jawa, berdasarkan diagnosis yang sama, jumlah penderita penyakit strokediperkirakan masing-masing sebanyak 728.523 orang dan 1.483.910 orang. Dan diProvinsi Jawa Timur memiliki estimasi jumlah penderita stroke sebanyak : 190.449
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 121 | 231
orang (6,6 ‰) dan 302.987 orang (10,5 ‰) (Kemenkes RI, 2014: 3). Sedangkan
menurut hasil Riskesdas Provinsi Jawa Timur tahun 2013, jumlah penderita
penyakit stroke di Kabupaten Pasuruan mencapai 9,6‰ berdasarkan diagnosis
nakes dan 13,1‰ berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (Riskesdas Jatim, 2013:
199).
Penderita stroke dapat mengalami kelemahan bahkan kelumpuhan,
demensia, kebutaan, atau berbagai gangguan otak serius lainnnya (Guyton, 2007:
231). Kelemahan tersebut dapat menimbulkan kesulitan bergerak, berjalan dan
beraktivitas, dan hal ini menyebabkan pasien mengalami kondisi imobilisasi.
Imobilisasi yang dialami pasien stroke dapat mengakibatkan adanya intervensi
pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring (Potter & Perry, 2006: 1193). Pasien
stroke yang mendapat intervensi tirah baring akibat imobilisasi, berisiko mengalami
gangguan integritas kulit berupa munculnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2006:
1196). Hal itu terjadi terutama apabila imobilisasi berlangsung dalam jangka waktu
yang lama, sehingga mengakibatkan adanya tekanan antara tonjolan tulang dengan
permukaan luar tubuh yang semakin lama menyebabkan jaringan menjadi iskemik
dan timbul dekubitus (Suriadi, 2004: 17).
Menurut Batticaca (2012: 68), gejala lain pada pasien stroke selain
imobilisasi adalah kelemahan pada otot wajah yang menyebakan pasien kesulitan
menelan, membuka mulut dan kesulitan menggerakkan lidah. Hal itu akan
menurunkan asupan makanan sehingga mengalami penurunan status nutrisi.
Menurut William (2010) dalam Irawan (2013:19), status nutrisi yang buruk
menyebabkan pasien mengalami kekurangan gizi dan tidak memiliki lapisan lemak
sebagai pelindung atau bantalan antara kulit dan tulang, sehingga efek tekanan akan
meningkat pada jaringan tersebut dan berisiko terjadi dekubitus. Menurut Potter &
Perry (2010) dalam Irawan (2013: 20), pasien dengan status nutrisi yang buruk
biasanya juga akan mengalami hipoalbuminemia yang dihubungkan dengan
lembatnya penyembuhan luka. Kondisi tersebut juga akan mengakibatkan pasien
berisiko mengalami dekubitus.
Dekubitus merupakan kerusakan pada kulit yang terjadi akibat adanya
tekanan pada tonjolan tulang dengan permukaan eksternal seperti permukaan alat
tenun tempat tidur atau pakaian dalam jangka waktu yang lama (Potter & Perry,
2006: 1251). Secara umum, jangka waktu pasien masuk rumah sakit sampai
menunjukkan gejala atau tanda dekubitus setelah pasien 72 jam atau 3 hari berada
di rumah sakit (Depkes, 2005 dalam Irawan, 2013: 25). Dekubitus terjadi karena
adanya penekanan jaringan dalam jangka waktu yang lama. Dekubitus dapat pula
terjadi karena beberapa faktor, diantaranya gesekan antara kulit dengan permukaan
luar, keadaan kulit yang lembab, status nutrisi yang buruk, anemia, obesitas, infeksi
pada tubuh, demam, gangguan sirkulasi perifer misalnya pada keadaan syok,
kakeksia, dan karena usia lanjut (Potter & Perry, 2006: 1259). Gangguan pada kulit
ini selain berisiko terjadi pada individu yang mengalami imobilisasi di atas kursi
atau tempat tidur, berisiko pula pada pasien yang mengalami gangguan terhadap
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 122 | 231
sensasi rasa nyeri, dan pasien dengan perubahan tingkat kesadaran seperti yang
terjadi pada pasien stroke (Potter & Perry, 2006: 1257).
Pasien stroke yang masuk ke rumah sakit, baik untuk menjalani perawatan
akut maupun rehabilitasi, maka harus dikaji mengenai risiko terjadinya dekubitus
(AHCPR (1992) dalam Potter & Perry (2006: 1263)). Pengkajian risiko dekubitus
merupakan identifikasi awal dalam mencegah terjadinya dekubitus (Potter & Perry,
2010) dalam Irawan, (2013: 28). Pengkajian ulang untuk risiko dekubitus yang
dilakukan setelah pasien mendapatkan perawatan juga harus dilakukan secara
teratur (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006: 1263). Pasien yang
teridentifikasi beresiko terjadi dekubitus maka harus mendapatkan intervensi yang
tepat untuk mempertahankan integritas kulit (mencegah terjadinya dekubitus)
(Potter & Perry, 2006: 1263).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15
Januari 2016, pada tahun 2015 terdapat 1150 pasien stroke di RSUD Bangil
Kebupaten Pasuruan. Dengan rata-rata setiap bulan sebanyak 95 pasien. Dan dari
hasil survey yang dilakukan pada 6 pasien stroke, 2 pasien berisiko sangat tinggi
terjadi dekubitus, 2 pasien berisiko tinggi terjadi dekubitus, 1 pasien berisiko
sedang terjadi dekubitus, dan 1 pasien berisiko rendah terjadi dekubitus.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD
Bangil Kebupaten Pasuruan”. Dengan rumusan masalah penelitian “Bagaimana
tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kebupaten Pasuruan?”.
Penelitian ini pun bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dekubitus pasien stroke
di RSUD Bangil Kebupaten Pasuruan.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif, karena dalam penelitian ini peneliti menggambarkan tingkat risiko
dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan, dengan variabel
penelitian tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten
Pasuruan.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan pada 29
Maret – 3 April 2016 dan 24 Mei – 16 Juni 2016. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan, yang dalam
tahun 2015 terdapat 1150 pasien dengan rata-rata setiap bulan sebanyak 95 pasien.
Penetapan jumlah sampel menggunakan rumus yang ditentukan untuk penelitian
dengan jumlah populasi lebih kecil dari 10.000, sehingga didapatkan jumlah sampel
92 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sampel.
Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel adalah pasien stroke yang
menjalani rawat inap di RSUD Bangil pada hari ke-1 sampai hari ke-3, mengalami
imobilisasi, tidak mengalami dekubitus, dan pasien yang bersedia menjadi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 123 | 231
responden. Sedangkan kriteria ekslusi sampel adalah pasien yang memiliki riwayat
penyakit penyerta, seperti fraktur, kanker dan HIV/AIDS, dan pasien yang berusia
kurang dari 1 tahun.
Teknik sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling, dengan
instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi Skala Braden
untuk Perkiraan Risiko Dekubitus dengan metode observasi dan wawancara.
Penelitian ini dilaksanakan setelah proses perijinan dari Ketua Program Studi DIII
Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes Malang, Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Kabupaten Pasuruan, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan dan tempat
penelitian yaitu RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.
Data tentang tingkat risiko dekubitus responden diperoleh dari hasil
observasi dan wawancara. Hasil tersebut kemudian diisikan kedalam lembar
observasi dengan mengisi kolom skor. Data-data tersebut kemudian diolah dan
dianalisa dengan melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean),
Scoring, Tabulating dan penentuan kategori tingkat risiko dekubitus. Hasil data
dalam penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk table distribusi frekuensi
dan dalam bentuk narasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 1 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di RSUD Bangil
Kabupaten Pasuruan
Variabel Mean Median Modus SD Min Max 95 % CI
Usia 59,89 60 60 8,096 45 77 58,21 – 61,57
Berdasarkan tabel 1, diketahui rata-rata usia responden adalah 59,89 tahun.
Dari hasil estimasi interval diyakini rata-rata umur responden adalah diantara 58,21
– 61,57 tahun. Penelitian lain pada 77 pasien stroke yang dilakukan oleh Sofyan dan
kawan-kawan di Ruang Teratai RSU Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012, juga
diperoleh hasil bahwa responden dengan usia diatas 55 tahun lebih banyak dari
responden berusia kurang dari 55 tahun. Hasil penelitian tersebut menyatakan
pasien stroke pada rentang usia 40-55 tahun sebanyak 25 orang, sedangkan pada
usia diatas 55 tahun sebanyak 52 orang.
Hal ini sesuai dengan teori Yulianto (2012: 73), yang menyatakan bahwa
pertambahan usia merupakan salah faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah.
Kemunduran sistem pembuluh darah (penurunan elastisitas hingga mengerasnya
arteri) meningkat seiring bertambahnya usia. Sehingga makin bertambahnya usia
semakin tinggi kemungkinan terjadi stroke. Pada usia lanjut risiko terjadi luka
dekubitus juga lebih besar daripada orang-orang usia muda (Rendy & Margareth,
2012: 112). Karena pada usia lanjut terjadi perubahan kualitas kulit dimana kulit
mengalami penurunan elastisitas akibat perubahan kandungan kolagen pada kulit
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 124 | 231
dan berkurangnya sirkulasi pada dermis akibat proses penuaan (Suriadi, 2004: 18).
Akibat proses tersebut kulit rentan mengalami deformitas dan kerusakan (Potter dan
Perry, 2005 dalam Aini, 2013: 8).
Tabel 2 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD
Bangil Kabupaten Pasuruan
No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%)
1. Laki-Laki 44 47,8
2. Perempuan 48 52,2
Jumlah 92 100
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa dari 92 responden, 48 orang (52,2 %)
merupakan perempuan dan 44 orang (47,8 %) merupakan laki-laki. Penelitian yang
dilakukan oleh Dinata, dkk pada 2010-1012 di RSUD Kabupaten Solok Selatan,
juga didapatkan hasil bahwa angka kejadian stroke pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki dengan prosentase perempuan 54,17 % dan laki-laki 45,83
%. Pada kedua penelitian tersebut, banyaknya angka kejadian stroke pada
perempuan terjadi pada perempuan golongan usia diatas 45 tahun. Namun dalam
penelitian lain yang dilakukan oleh Sofyan, dkk tahun 2012 di Ruang Teratai RSU
Provinsi Sulawesi Tenggara pada 77 pasien stroke, didapatkan penderita laki-laki
lebih banyak daripada perempuan, yaitu 51,9 % laki-laki dan 48,1 % perempuan.
Price (2006) dalam Puspaningrum (2013) mengatakan bahwa risiko stroke
meningkat pada perempuan berusia di atas 30 tahun, hal ini disebabkan oleh
konsumsi kontrasepsi oral dengan kandungan esterogen yang tinggi, perempuan
memiliki angka harapan hidup lebih lama daripada laki-laki dan frekuensi
perempuan mengalami obesitas, riwayat penyakit hipertensi, lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Hedrix dkk (2006) dalam Bier (2011) juga menyatakan
bahwa esterogen merupakan hormon yang bertanggungjawab terhadap
meningkatnya risiko stroke pada wanita. Riwayat penyakit hipertensi juga menjadi
salah satu faktor penyebab stroke pada wanita, terutama setelah wanita memasuki
masa menopause (Depkes, 2006 dalam Kartikawati, 2008). Pada wanita menopause
terjadi penurunan hormon esterogen, yang mana esterogen dihubungkan dengan
tingkat HDL yang lebih tinggi dan LDL yang lebih rendah, sehingga apabila HDL
menurun akibat menurunnya hormon esterogen, maka risiko terjadi hipertensi
semakin besar (Soeharto, 2002 dalam Kartikawati, 2008).
Tabel 3 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Stroke yang Diderita di
RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan
No Jenis Stroke Frekuensi Prosentase (%)
1. Stroke Infark 56 60,9
2. Stroke Hemoragik 36 39,1
Jumlah 92 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 125 | 231
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa dari 92 responden, jenis stroke yang
banyak diderita adalah stroke infark, yaitu sebanyak 56 responden (60,9 %),
sedangkan stroke hemoragik diderita oleh 36 responden (39,1 %). Hasil ini serupa
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinata, dkk tahun 2010-2012 di RSUD
Kabupaten Solok Selatan, didapatkan kasus stroke infark lebih banyak
dibandingkan stroke hemoragik, dengan prosentase stroke infark/iskemik 61,46 %
dan stroke hemoragik 38,54 %.
Menurut Batticaca (2012: 58), serangan stroke iskemik/infark sering terjadi
pada usia lanjut. Pada usia lanjut terjadi penurunan elastisitas arteri dan dapat
terjadi aterosklerosis. Kondisi tersebut akan mengakibatkan penyumbatan atau
penyempitan arteri yang mengarah ke otak (Irfan, 2012: 61). Hal ini akan
menghambat aliran oksigen dan nutrisi ke otak sehinggga mengakibatkan kematian
jaringan otak dan terjadilah stroke (Kowalak, 2011: 334).
Stroke hemoragik juga dapat terjadi pada golongan usia lanjut.. Penyebab
paling sering stroke hemoragik pada usia lanjut adalah hipertensi dan pecahnya
pembuluh darah di otak akibat rapuhnya pembuluh darah (Junaidi, 2012: 70).
Tabel 4 Distribusi Tingkat Risiko Dekubitus pada Pasien Stroke di RSUD Bangil
Kabupaten Pasuruan
No Tingkat Risiko Frekuensi Prosentase (%)
1.
2.
Risiko Sangat Tinggi
Risiko Tinggi
19
60
20,7
65,2
3. Risiko Sedang 13 14,1
4. Risiko Rendah 0 0
Jumlah 92 100
Berdasarkan tabel 4, dari penelitian terhadap 92 responden diketahui pasien
dengan risiko tinggi terjadi dekubitus yaitu 60 responden (65,2 %). Penelitian
serupa dilakukan oleh Puspaningrum (2013) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
terhadap 80 pasien stroke, didapatkan hasil yaitu 58 pasien (72,5 %) berisiko tinggi
terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan karena
mayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan mobilitas,
status nutrisi yang mungkin kurang, serta kondisi yang berpotensi terjadi friksi dan
gesekan antara permukaan tubuh dengan permukaan tempat tidur.
Dekubitus dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adanya
penekanan jaringan dalam jangka waktu yang lama (tirah baring yang terlalu lama),
keterbatasan mobilitas, status nutrisi buruk atau malnutrisi, adanya friksi dan
gesekan antara permukaan kulit dengan permukaan tempat tidur, keadaan kulit yang
lembab, anemia, obesitas, infeksi pada tubuh, demam, gangguan sirkulasi perifer
misalnya pada keadaan syok dan kakeksia (Potter & Perry, 2006: 1259).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 126 | 231
4. KESIMPULAN
Dari penelitian terhadap 92 pasien stroke, didapatkan hasil 19 responden
(20,7 %) berisiko sangat tinggi, 60 responden (65,2 %) berisiko tinggi, 13
responden (14,1 %) berisiko sedang dan tidak ada pasien (0 %) yang berisiko
rendah terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan
karena mayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan
mobilitas, status nutrisi yang mungkin kurang serta berpotensi terjadi friksi dan
gesekan antara permukaan tubuh dengan permukaan tempat tidur.
5. DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2014. Heart Disease and Stroke Statistics. (Online).
(www.heart.org/statistics, diakses 30 November 2015)
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta
Batticaca, F. 2012. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Bier, M. D. 2011. The Role of Hormones in Women’s Stroke Risk. The Einstein
Journal of Biology and Medicine. (Online). Volume 27 No 1.
(www.einstein.yu.edu, diakses 28 Juni 2016)
Black, J dan J. H. Hawks. 2005. Medical-Surgical Nursing: Clinical Management
for Positive Outcomes. United States of America: Elsevier’s Saunders
Bustami, M, dkk. 2007. Manajemen Stroke Komprehensif. Yogyakarta: Pustaka
Cedekia Press
DiGiulio, M, dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha
Publishing
Dinata, C. A, dkk. 2013. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien
Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan
Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Halaman
57
Farida, I dan Nila A. 2009. Mengantisipasi Stroke. Yogyakarta: Buku Biru
Guyton, A. C dan J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hidayat, A. A. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika
Irawan, A. 2013. Hubungan Antara Lama Hari Rawat Dengan Terjadinya
Dekubitus Pada Pasien Yang Dirawat Di Ruang ICU RSUD Dr.
H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Skripsi. Banjarmasin: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan
Irfan, M. 2012. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu
Muhammadiyah
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 127 | 231
Junaidi, I. 2012. Panduan Praktis Pencegahan & Pengobatan Stroke. Jakarta: Bhuan
Ilmu Populer
Kartikawati, A. 2008. Prevalensi dan Determinasi Hipertensi Pada Pasien
Puskesmas di Jakarta Utara Tahun 2007. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia
Kemenkes RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kowalak, J. P, dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Morison, M. J. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Potter, P. A dan A.G. Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta:
EGC
Price, S. A. dan L. M. Wilson. 2012. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit) Vol 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Puspaningrum, Y. V. 2013. Hubungan Antara Status Gizi Dan Mobilitas Dengan
Risiko Terjadinya Dekubitus Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Rendy, M dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Riskesdas Jatim. 2013. Riset Kesehatan Dasar Dalam Angka Provinsi Jawa Timur.
Jakarta: Badan Litbangkes
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sibagariang, E, dkk. 2010. Buku Saku Metodologi Penelitian untuk Mahasiswa
Diploma Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media
Smeltzer, S. C dan Brenda G. B. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Sofyan, A. M. dkk. 2012. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, dan Hipertensi dengan
Kejadian Stroke di Ruang Teratai RSU Provinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi.
Kendari: Universitas Haluoleo
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Jakarta: Sagung Seto
Tarihoran. D. 2010. Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian Luka
Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) pada Pasien Sroke di Siloam
Hospitals. Tesis. Depok: Universitas Indonesia
Yulianto, A. 2012. Mengapa Stroke Menyerang Usia Muda. Jakarta: Java Litera
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 128 | 231
PERAN ORANG TUA DALAM MENCEGAH
PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA ANAK REMAJA
Lucia Retnowati1 Ririn Anantasari
2, Anisah Sarifah
3 1, 2, 3
Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Peran orang tua amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan
oleh anak remajanya. Napza menyebabkan perkembangan mental-emosional, sosial remaja
terhambat, dan dapat mengalami kemunduran perkembangan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja di Desa
Sumberporong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif. Populasi penelitian adalah semua warga Desa Sumber porong yang memiliki anak remaja
yang sesuai dengan kriteria inklusi, dengan teknik pengambilan sampel adalah Purposive sampling
dengan sampel sebanyak 44 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik kuesioner tertutup.
Berdasarkan penelitian di peroleh data bahwa 70% orang tua berperan baik sebagai pendidik, 66%
orang tua berperan baik sebagai panutan, 70% orang tua berperan baik sebagai pendamping, 43%
orang tua berperan cukup baik sebagai konselor, 48% orang tua berperan cukup baik sebagai
komunikator, 48% orang tua berperan cukup baik sebagai teman. Dari hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja adalah
baik. Orang tua hendaknya lebih mendekatkan diri kepada remaja dan lebih memperhatikan
keseharian remaja, agar pergaulan remaja diluar rumah dapat terkontrol dengan baik.
Kata Kunci : Peran Orang Tua, Bahaya Napza, Remaja
1. PENDAHULUAN
Jumlah remaja di dunia berusia 10-22 tahun sekitar 18% dari jumlah
penduduk atau sekitar 1,2 miliar dari populasi penduduk di dunia dan komposisi
penduduk di Indonesia berusia remaja mencapai 45 juta jiwa atau sekitar seperlima
dari estimasi total jumlah penduduk di Indonesia. Pengguna narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif pada usia remaja 12-22 tahun ditaksir sekitar 14 juta
jiwa dari jumlah remaja di Indonesia (Kompas.com. 2014).
Masalah penyalahgunaan napza sangat kompleks, baik latar belakang
maupun cara memperoleh serta tujuan penggunaannya. Pada umumnya napza
disalahgunakan oleh mereka yang kurang mengerti efek samping yang ditimbulkan
oleh pemakaiannya, hal tersebut disebabkan antara lain oleh tata budaya, tingkat
pendidikan dan karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yaitu sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, namun kurang tanggap dan kurang bisa
membicarakan hal-hal yang dianggap negatif antara lain mengenai napza. Sehingga
napza dengan segala permasalahannya tetap menjadi sesuatu yang misterius bagi
kebanyakan masyarakat kita (Prasetyaningsih, 2003).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian besar penyalahgunaan
napza dilakukan pada usia remaja. Penelitian epidemiologi di Indonesia
menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna zat psikoaktif berusia kurang dari 25
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 129 | 231
tahun dan masih berstatus sebagai pelajar. Dalam penelitian Joewana menunjukkan
84,1% penyalahgunaan NAPZA berusia 12-22 tahun (Joewana, 2005).
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain yang popular dengan istilah
narkoba, telah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat.
Penyalahgunaan napza telah masuk sampai kesekolah-sekolah dan menjadi lahan
empuk bagi pengedar, tanpa memikirkan akibat buruk yang di timbulkannya bagi
bangsa dan Negara. Penyalahgunaan narkoba biasanya diawali dengan pemakaian
pertama pada usia SD atau SMP, karena tawaran, bujukan kawan sebaya. Didorong
rasa ingin tahu atau ingin mencoba, mereka mau menerimanya. Selanjutnya, tidak
sulit untuk menerima tawaran berikutnya. Dari pemakaian sekali, kemudian
beberapa kali, akhirnya menjadi ketergantungan terhadap zat yang digunakan
(Lydia, dkk, 2006).
Seorang pakar pengamat masalah napza, Lina G. Padmohortojo,
menjelaskan hasil sebuah tes urine dari 1092 atau SMU dari 64 sekolah
menunjukkan bahwa 35% siswa ditemukan sebagai pecandu berat, juga menjadi
pengedar Narkoba. Banyaknya penyalahgunaan napza di usia remaja merupakan
masalah yang harus segera ditanggulangi oleh semua pihak, khususnya pemerintah
(Sudyarto, 2003)
Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Jawa Timur
khususnya remaja mencapai 15,43% dari total jumlah penduduk Jawa Timur yaitu
sebesar 29,58 juta jiwa. Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Timur melakukan
survey di tiap-tiap universitas dan sekolah pada tahun 2012 yaitu pengaruh
penyalahgunaan napza pada remaja sangat besar, lemahnya pengawasan orang tua
terhadap remaja membuat mereka mudah terjerumus menggunakan narkotika.
Jumlah penduduk Jawa Timur yang menyalahgunakan napza, 22% diantaranya
merupakan anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas.
Sedangkan sensus penduduk di kota Malang tahun 2013 jumlah remaja sebesar
227,2 ribu jiwa atau sekitar 27,72%. Pada tahun 2010 sampai 2013 tercatat ada 513
tersangka narkotika. Sebagian besar pelajar dan mahasiswa yang terjerat UU
narkotika, merupakan konsumen atau pengguna.
Menilai ada banyak faktor yang membuat remaja rentan terkena narkotika,
selain psikologi remaja yang cenderung labil, faktor lain yakni lemahnya kontrol
dari pihak keluarga dan sekolah. Dari pengamatannya di lapangan, kerap ditemukan
kasus penyalahgunaan napza yang bersumber dari kurang harmonisnya keluarga
(Andreas, 2012).
Upaya pemberantasan narkoba pun sudah sering dilakukan namun masih
sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun
dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus narkoba.
Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkoba
pada remaja yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasi
dan mendidik anak remajanya untuk selalu menjauhi narkoba.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 130 | 231
Keluarga sebagai matriks (unit) sosial terkecil dalam masyarakat
mempunyai peranan penting sebagai latarbelakang penyalahgunaan/
ketergantungan napza. Peran orang tua dan kondisi keluarga mempengaruhi
perkembangan kepribadian anak remajanya. Apakah kepribadian anak akan rentan
atau tidak terhadap penyalahgunaan/ketergantungan napza tergantung dari cara
pendidikan orang tua (ayah dan ibu) dan suasana rumah tangga kondusif atau tidak.
Keadaan keluarga yang tidak kondusif mempunyai resiko relatif bagi remaja
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan napza dibandingkan dengan remaja yang
dididik dalam keluarga yang sehat dan harmonis (Hawari, 2001).
Peran orang tua dalam prevensi terhadap gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif sangat penting. Orang tua harus menjalin
hubungan yang efektif dengan anak remajanya, artinya orang tua dapat
berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Usaha pencegahan yang dilakukan oleh
orang tua tidak 100% berhasil walaupun oleh keluarga sehat dan komunikasi antara
orang tua dan anaknya baik, berdasarkan kasih dan ikatan yang kuat. Orang tua
mempunyai wewenang dan bertanggung jawab untuk campur tangan ketika anak
remajanya menyalahgunakan zat psikoaktif (Hawari, 2001).
Peran orang tua tidak dapat dikesampingkan apabila menghendaki remaja
tidak menyalahgunakan napza/narkoba karena remaja menghendaki keluarga yang
harmonis dan selalu adanya komunikasi antar keluarga. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa 25,64% pengaruh pendidikan dari orang tua, 30,15% remaja
meniru perilaku orang tua, 4,21% orang tua mengawasi anak remajanya, 15,53%
pengaruh komunikasi terhadap remaja, 2,42% remaja bercerita terhadap orang
tuanya, dan 9,89% menunjukkan bahwa faktor individu dan faktor lingkungan
masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan remaja dalam penyalahgunaan bahaya
narkoba. (Sri Handayani, 2011)
Dari pengamatan penulis didapatkan bahwa di desa Sumberporong
kecamatan Lawang kabupaten Malang, penulis menjumpai sekitar 7 anak remaja
usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan usia Sekolah Menengah Atas (SMA)
yang merokok. Serta wawancara dari 5 orang tua yang memiliki anak usia 12-22
tahun yang dilakukan peneliti di desa Sumberporong kecamatan Lawang kabupaten
Malang diperoleh data 3 orang tua menurutnya anak remajanya tidak merokok dan
tidak mabuk-mabukan, sehingga orang tua tersebut tidak pernah memberi arahan
untuk mencegah penyalahgunaan napza, 2 orang tua yang mengetahui anaknya
merokok tetapi tidak pernah mabuk-mabukan maupun pecandu narkoba, tidak
memberi penjelasan tentang bahaya rokok dan tidak melarang anaknya dalam
berperilaku merokok, karena ayah dari remaja tersebut juga sering merokok. Dan
wawancara terhadap sekretaris desa dan salah satu petugas didesa Sumberporong
diantaranya mengatakan sebagian besar atau sekitar 50% remaja di desa
sumberporong yang merokok dan diketahui 2 orang anak remaja yang pernah
minum-minuman beralkohol serta mengatakan sekitar 5 tahun yang lalu pernah ada
kejadian remaja yang menyalahgunakan narkoba.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 131 | 231
Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:
peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja di Desa
Sumberporong kecamatan Lawang kabupaten Malang.
2. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian Deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan
dengan tujuan untuk melihat gambaran fenomena yang terjadi di suatu populasi
tertentu. Penelitian ini menggambarkan peran orang tua dalam mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja di desa Sumberporong kecamatan Lawang
kabupaten Malang.
Populasi dalam penelitian ini adalah sebagian orang tua yang mempunyai
anak remaja usia 12-22 tahun di desa Sumber Porong kecamatan Lawang kabupaten
Malang sebanyak 44 keluarga. Dengan rincian RW 01 sebanyak 13 keluarga, RW
02 sebanyak 10 keluarga, RW 03 sebanyak 13 keluarga, RW 04 sebanyak 8
keluarga
Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak remaja
usia 12-22 tahun di desa Sumberporong kecamatan Lawang Kabupaten Malang
sebanyak 44 keluarga. Dengan kreteria inklusi sebagai berikut: 1). Orang tua
kandung (ayah/ibu) yang mempunyai anak remaja usia 12-22 tahun dan belum
menikah. 2).Orang tua yang tinggal dalam satu rumah dengan anaknya. 3).Bersedia
menjadi responden
Sedangkan kreteria ekskusinya adalah sebagai berikut: 1). Orang tua yang
sedang merantau atau sakit parah. 2). Tidak kooperatif 3
Teknik sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling, dengan
instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar kuesioner.
Data yang didapat dari kuesioner tersebut kemudian diolah dan dianalisa
dengan melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean), Scoring,
Tabulating . Hasil data dalam penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk
table distribusi frekuensi dan dalam bentuk narasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
4.1.2 Data Umum
4.1.2.1 Data Karakteristik Responden
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Usia Responden di Desa
Sumber Porong pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Dewasa Muda (18-40 tahun)
Dewasa Madya (41-60 tahun)
Dewasa Tua (>61 tahun)
11
33
-
25
75
-
Jumlah 44 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 132 | 231
Pada tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (75%)
responden berusia 41-60 tahun
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Desa
Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
11
33
25
75
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (75%)
berjenis kelamin perempuan.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden di
Desa Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
4.
SD
SMP
SMA
PT
5
11
26
2
11
25
59
5
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa lebih dari
setengahnya (59%) responden berpendidikan SMA
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Responden di Desa
Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
4.
5.
Swasta
PNS
Pedagang
IRT
Buruh Penjahit
8
1
9
25
1
18
2
21
57
2
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.4 dapat diketahui bahwa lebih dari setengahnya (57%)
responden jenis pekerjaannya Ibu Rumah Tangga
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Anak Remaja Responden di
Desa Sumber Porong Pada Maret 20115 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Remaja awal (12-15 tahun)
Remaja Madya (16-18 tahun)
Remaja akhir (19-22 tahun)
14
21
9
32
48
20
Jumlah 44 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 133 | 231
Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa hampir
setengahnya (48%) Usia Anak Remaja Responden berusia
16-18 tahun.
4.1.3 Data Khusus
4.1.3.1 Data Peran Orang Tua Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada
Remaja
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Dalam Mencegah
Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa Sumberporong
Kecamatan Lawang Kabupaten Malang Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
31
11
2
70
25
5
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.6 dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar (70%) orang tua berperan baik dalam mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja.
4.1.3.2 Data Peran Orang tua Sebagai Pendidik
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Pendidik
Untuk Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa
Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
31
9
4
70
20
10
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.7 dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar (70%) orang tua berperan baik sebagai pendidik
dalam memberikan informasi bahaya napza/narkoba guna
mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.
4.1.3.3 Data Peran Orang Tua Sebagai Panutan
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Panutan
Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa
Sumberporong Pada Maret 2015
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 134 | 231
No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
29
7
8
66
16
18
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.8 dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar (66%) orang tua berperan baik sebagai memberi
panutan yang baik dalam mencegah penyalahgunaan napza
pada remaja.
4.1.3.4 Data Peran Orang Tua Sebagai Pendamping
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai
Pendamping Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada
Remaja di Desa Sumberporong Pada maret 2015
No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
31
11
2
70
25
5
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.9 dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar (70%) orang tua berperan baik sebagai pendamping
dalam upaya pencegahan penyalahgunaan napza pada
remaja.
4.1.3.5 Data Peran Orang Tua Sebagai Konselor
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Konselor
Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja Di Desa
Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
17
19
8
39
43
18
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.10 dapat disimpulkan bahwa kurang dari
setengahnya (43%) orang tua berperan cukup baik sebagai
konselor dalam mencegah penyalahgunaan napza pada
remaja.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 135 | 231
4.1.3.6 Data Peran Orang Tua Sebagai Komunikator
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai
Komunikator Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada
Remaja Di Desa Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
17
19
8
34
48
18
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.11 dapat disimpulkan bahwa kurang dari
setengahnya (48%) orang tua berperan cukup baik sebagai
komunikator dalam mencegah penyalahgunaan napza pada
remaja.
4.1.3.7 Data Peran Orang Tua Sebagai Teman
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Teman
Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja DI
Desa Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
16
21
7
36
48
16
Jumlah 44 100
Pada tabel 4.12 dapat disimpulkan bahwa kurang dari
setengahnya (48%) orang tua berperan cukup baik sebagai
teman bertukar pendapat dalam mencegah penyalahgunaan
napza pada remaja.
Pembahasan
Gambaran Peran Orang Tua Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada
Remaja
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.6 diperoleh data sebanyak 31
(70%) responden yaitu orang tua berperan baik dalam upaya mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja. Menurut peneliti peran orang tua dalam
mencegah penyalahgunaan napza pada remaja adalah baik, karena responden
sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga yang mempunyai waktu luang untuk
dapat mendidik anak remajanya. Dilihat dari pendidikan orang tua yaitu sebagian
besar adalah SMA, dimana dalam memberikan pemahaman dan informasi tentang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 136 | 231
penyalahgunaan napza terhadap anak remajanya dapat tersampaikan dengan
pemahaman yang mudah difahami.
Menurut Supartini (2004), peran merupakan serangkaian perilaku yang
diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara
formal maupun informal untuk mengontrol atau mempengaruhi atau mengubah
perilaku orang lain. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula
tingkat pengetahuan dan wawasannya.
4.2.2 Peran Orang Tua Sebagai Pendidik Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza
Pada Remaja
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.7 diperoleh data sebanyak 31
(70%) responden berperan baik sebagai pendidik dalam memberi informasi bahaya
napza guna mencegah penyalahgunaan napza pada remaja. Hal ini sesuai dengan
tingkat pendidikan responden yang lebih dari setengahnya (59%) responden tingkat
pendidikannya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)
Menurut peneliti, pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan dan perubahan kehidupan remaja, semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin luas wawasan yang diperoleh, sehingga semakin mudah
dalam memahami, menerima dan memberi informasi bagi dirinya maupun orang
lain. Meskipun orang tua lebih dari setengahnya berpendidikan SMA, tetapi orang
tua tersebut dinilai berperan baik sebagai pendidik dalam memberikan informasi
bahaya napza.
Menurut Wahid (2007), pendidikan berarti bimbingan yang diberikan
seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.
Hal ini didukung oleh teori Santrock, JW (2003), orang tua wajib
memberikan bimbingan dan arahan kepada anak sejak dini sehingga menjadi bekal
dan benteng mereka menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, agar kelak
remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab,
orang tua perlu menanamkan arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan
yang mereka dapatkan di sekolah, di luar sekolah, serta didalam keluarga.
Peran Orang Tua Sebagai Panutan Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza
Pada Remaja
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.8 diperoleh data bahwa sebagian
besar 29 (66%) responden berperan baik sebagai panutan dalam upaya mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja.
Menurut peneliti, tidak dapat dipungkiri yaitu perilaku dan tindakan orang
tua akan menjadi contoh yang secara sengaja atau tidak sengaja akan diserap oleh
remaja tersebut. Sehingga apa yang menjadi kebiasaan atau perilaku orang tua tidak
jauh dari apa yang dilakukan oleh anak remaja yang sedang labil dalam mengambil
keputusan dan akan menjalani kehidupan kedepannya. Orang tua berperan baik
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 137 | 231
sebagai panutan sangat berpengaruh bagi remaja mengingat bahwa orang tua
sebagai model panutan bagi para remaja.
Menurut BKKBN (2009), remaja memerlukan model panutan di
lingkungannya. Orang tua merupakan model/panutan dalam kehidupannya. Orang
tua harus selalu memberi contoh dan keteladanan bagi anak remajanya, baik
perkataan, sikap, maupun perbuatannya.
Orang tua dapat memberikan contoh, baik dalam menjalankan nilai-nilai
agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Peran orang tua yang baik akan
mempengaruhi kepribadian remaja (Satgas Remaja IDAI, 2009).
Faktor terbesar dari penyalahgunaan napza/narkoba adalah faktor sosial atau
lingkungan. Biasanya, remaja memperhatikan tindakan orang lain dan kadang kala
mencoba untuk meniru perilakunya. Hal ini sebagai suatu proses yang terjadi pada
remaja untuk mencari jati diri dan belajar menjalani hidup. Namun sangat
disayangkan karena tidak hanya kebiasaan-kebiasaan yang baik saja yang ditiru,
melainkan juga kebiasaan-kebiasaan buruk (Rezki, 2010).
Peran Orang Tua Sebagai Pendamping Dalam Mencegah Penyalahgunaan
Napza Pada Remaja
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.9 diperoleh data bahwa sebagian
besar responden yaitu 31 (70%) orang tua berperan baik sebagai pendamping dalam
memberikan pengawasan dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.
Sesuai dengan jenis pekerjaan responden sebanyak 25 (57%) yang lebih dari
setengahnya responden adalah Ibu Rumah Tangga.
Menurut peneliti dengan kondisi orang tua yang lebih dari setengahnya
orang tua sebagai ibu rumah tangga sehingga dalam hal mendampingi/pengawasan
untuk anak remajanya terpenuhi. Pengawasan orang tua sangat penting bagi remaja
untuk menghindari pengaruh negatif dari lingkungan sekitar terutama dari teman
bergaul
Menurut BKKBN (2009), orang tua wajib mendampingi remaja agar mereka
tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke dalam kenakalan remaja
dan tindakan yang merugikan diri sendiri.
Menjadi kewajiban orang tua untuk melihat serta mengawasi sikap dan
perilaku remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke
dalam kenakalan remaja dan tindakan yang merugikan diri sendiri. Akan tetapi, hal
itu tentu harus dilakukan dengan bersahabat dan lemah lembut. Sikap penuh curiga,
justru akan menciptakan jarak diantara anak orang tua karena kelompok teman
sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang cukup
penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting,
terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa
decade terakhir ini yaitu (1) perubahan struktur keluarga, dari keluarga besar ke
keluarga kecil, (2) kesenjangan para generasi tua dan generasi muda, (3) ekspansi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 138 | 231
jaringan komunikasi diantara kawula muda dan (4) panjangnya masa atau
perbedaan memasuki masyarakat orang dewasa (Satgas Remaja IDAI, 2009).
Orang tua sebagai pelindung anak remaja, memiliki kekuatan yang besar
yaitu dalam mendisiplinkan dan memberikan motivasi serta dukungan terhadap
anak, karena pada usia remaja sudah masuk kedalam kelompok teman sebaya dalam
mencapai perkembangan otonominya (kemandiriannya) (Yusuf, 2010).
Peran Orang Tua Sebagai Konselor Dalam mencegah Penyalahgunaan Napza
Pada Remaja
Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.10 diperoleh data
bahwa sebanyak 19 (43%) orang tua berperan cukup baik sebagai konselor dalam
memberi pertimbangan nilai negatif tentang napza/narkoba guna mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja. Sesuai dengan faktor usia orang tua, yang
sebanyak 33 (75%) berusia 41-60 tahun yang termasuk dewasa madya.
Menurut peneliti, orang tua yang berusia matang, maka pola berpikir serta
tindakan yang dilakukannya akan lebih matang, termasuk dalam memberi
pertimbangan ketika remaja menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil
keputusan. Dalam hal ini orang tua dinilai cukup baik dalam berperan memberikan
gambaran dan pertimbangan nilai yang positif sebagai konselor, sehingga remaja
mampu belajar mengambil keputusan terbaik.
Orang tua berusia madya mempunyai kemauan dan kemampuan yang kuat
untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil
dari masa-masapersiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya (Rezki,
2010).
Menurut BKKBN (2009), sebagai konselor orang tua dituntut untuk tidak
menghakimi, tetapi dengan jiwa besar justru harus merangkul remaja bila sedang
mengalami masalah dan membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Peran orang tua sangat penting dalam mendampingi remaja, ketika remaja
menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil keputusan bagi dirinya. Orang tua
dapat memberikan gambaran pertimbangan nilai positif dan negatif, sehingga
mereka mampu belajar mengambil keputusan terbaik. Selain itu orang tua juga
perlu memiliki kesabaran tinggi serta kesiapan mental yang kuat menghadapi segala
tingkah laku remajanya. (Satgas Remaja IDAI, 2009).
Peran Orang Tua Sebagai Komunikator Dalam Mencegah Penyalahgunaan
Napza Pada Remaja
Berdasarkan hasil penelitian 4.11 diperoleh data bahwa sebanyak 19 (48%)
orang tua berperan cukup baik sebagai komunikator dalam upaya pencegahan
penyalahgunaan napza pada remaja. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan
pekerjaan orang tua 25 (57%) pekerjaannya adalah ibu rumah tangga.
Menurut peneliti, orang tua sebagian besar sebagai ibu rumah tangga akan
meluangkan waktu untuk anak remajanya. Sehingga dalam hal berkomunikasi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 139 | 231
dengan anak remajanya akan menjadi lebih baik karena orang tua akan meluangkan
waktunya untuk berkomunikasi dan bercerita dengan anak remajanya.
Orang tua yang telah mepunyai pengalaman sebelumnya, dalam merawat
anak remajanya akan lebih siap menjalankan perannya sebagai orang tua dan lebih
rileks (Supartini, 2004)
Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan remaja, dapat
menciptakan komunkasi yang baik. Orang tua perlu membicarakan topik secara
terbuka tetapi arif. Menciptakan rasa aman dan terlindumgi untuk memberanikan
anak dalam menerima uluran tangan orang tua secara terbuka dan membicarakan
masalahnya. Artinya tidak menghardik anak (Satgas Remaja IDAI, 2009)
Menurut BKKBN (2009), hubungan yang baik antara orang tua dengan anak
remajanya akan sangat membantu dalam pembinaan mereka. Apabila hubungan
antara orang tua dengan anak remajanya terjalin dengan baik, maka satu sama lain
akan terbuka dan saling mempercayai.
Peran Orang Tua Sebagai Teman Bertukar Pendapat Dalam Mencegah
Penyalahgunaan Napza Pada Remaja
Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.12 diperoleh data
bahwa kurang dari setengahnya sebanyak 21 (48%) orang tua berperan cukup baik
sebagai teman bertukar pendapat dalam mencegah penyalahgunaan napza pada
remaja.
Menurut peneliti, orang tua berperan cukup baik sebagai teman bertukar
pendapat, dengan begitu remaja dapat menyeleksi baik buruknya dampak dari
napza/narkoba dengan bimbingan dari orang tua.
Remaja sebagai individu yang labil sedang berada dalam proses berkembang
atau menjadi (becoming), yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena
mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan
lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya (Yusuf,
2011).
Menghadapi remaja yang memasuki masa akil baligh, orang tua perlu sabar
dan mau mengerti tentang perubahan pada remaja. Perlu menciptakan dialog yang
hangat dan akrab, jauh dari ketegangan atau ucapan yang disertai cercaan. Hanya
bila remaja merasa aman dan terlindungi, orang tua dapat menjadi sumber
informasi, serta teman yang dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang
kesulitan atau masalah mereka (Satgas Remaja IDAI, 2009).
Salah satu cara yang ideal untuk membina hubungan dengan anak dan
remajanya adalah menjadi sahabat atau teman. Dengan peran orang tua sebagai
teman/sahabat anak remaja akan lebih terbuka dalam menyampaikan permasalahan
yang dihadapinya (BKKBN, 2009).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 140 | 231
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Peran Orang Tua Dalam
Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa Sumber Porong
Kecamatan Lawang Kabupaten Malang pada tanggal 12-15 Maret 2015, maka
disimpulkan bahwa sebagian besar (70%) orang tua berperan baik dalam
menjalankan perannya mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.
Untuk lebih jelas gambaran penelitian masing-masing tujuan khusus dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Peran orang tua sebagai pendidik dalam memberikan informasi bahaya
napza/narkoba dalam upaya mencegah penyalahgunaan napza pada remaja
sebanyak 70% adalah berperan baik
2. Peran orang tua sebagai panutan dalam upaya mencegah penyalahgunaan napza
pada remaja sebanyak 66% adalah berperan baik
3. Peran orang tua sebagai pendamping dalam mencegah penyalahgunaan napza
pada remaja sebanyak 70% adalah berperan baik
4. Peran orang tua sebagai konselor dalam memberikan pertimbangan nilai negative
tentang napza/narkoba dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja
sebanyak 43% adalah berperan cukup baik
5. Peran orang tua sebagai komunikator dalam menciptakan komunikasi yang baik
dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja sebanyak 48% adalah
berperan cukup baik
6. Peran orang tua sebagai teman bertukar pendapat dalam mencegah
penyalahgunaan napza pada remaja adalah sebanyak 48% adalah berperan cukup
baik
5. DAFTAR PUSTAKA
Adreas, Permana, 2012. Psikologi remaja. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Alimul Hidayat, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta: Salemba Medika
Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta
Badan Narkotika Nasional provinsi Jawa Timur. 2010. Laporan Tahunan Badan
Narkotika provinsi Jawa Timur Tahun 2010, (online),
(www.detiknews.com, diakses tanggal 25/11/2014)
BKKBN. 2009. Pegangan Kader Tentang Pembinaan Anak Remaja. Jakarta
Effendi, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Keluarga. Jakarta :
EGC
Friedman, E.Marilyn. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Jakarta :
EGC
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 141 | 231
Handayani, Sri. 2011. Pengaruh Peran Orang tua Terhadap Pencegahan Bahaya
Narkoba Dikalangan Remaja. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia
Hawari, Dadang. 2001. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika,
Alkohol, dan Zat Adiktif). Jakarta: FKUI.
Kompas.com. (2014). Pengguna Narkoba di Kalangan Remaja, (online), (diakses
tanggal 25/11/2014)
Martono, Lydia, Joewana, Satya. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Balai Pustaka
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Novita, Fransiska. 2014. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba serta Usaha
PencegahandanPenanggulangannya,(online),(http://journal.unissula.ac.id,
diakses tanggal 25/11/2014).
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Prasetyaningsih. 2003. Penyalahgunaan Napza. Jakarta: EGC
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Narkotika dan Psikotropika. Jakarta :
Sinar Grafika Offset
Rezki. 2010. Be A Smart Parent, Cara Kreatif Mengasuh Anak. Yogyakarta: Jogja
Bangkit Publisher.
Santrock, JW. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Jakarta: Erlangga
Satgas Remaja IDAI. 2009. Masalah Kesehatan Mental Emosional Remaja. Jakarta
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
Joewana, Satya. 2004. Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif edisi 2. Jakarta: EGC
Sudyarto, sides. 2003. Jenis Jurus Ampuh Mencegah Bahaya Narkoba. Jakarta :
Restu Agung
Sumiati. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Napza. Jakarta: Trans Info Media
Sumiati., Dinarti., Nurhaeni, Heni., Aryani, Ratna. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja
Dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media.
Supartini, Yupi. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
Tjokronegoro, Arjatmo, Utama, Hendra. 2000. Opiat. Masalah Medis dan
Penatalaknaannya. Jakarta : FKUI
Wahid, Soenaryo. 2004. Konsep Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:
Erlangga
Yusuf, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT
Rineka Cipta
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 142 | 231
SOSIAL SUPPORT DENGAN SELF CARE PADA PENDERITA
DIABETES MELLITUS (DM)
Nurul Hidayah Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Penderita DM memiliki peningkatan resiko terjadinya komplikasi dan dapat mengancam jiwa
apabila tidak segera ditangani dan dilakukan pengontrolan yang tepat. Masalah-masalah tersebut
dapat diminimalkan jika penderita memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk
melakukan pengelolaan terhadap penyakitnya dengan cara melakukan self care (Sulistria, 2013).
tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan hal tersebut. Sosial support juga
dapat mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
ada hubungan antara sosial support dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus
Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian korelasional. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja Puskesmas Lawang sebanyak 24 orang
dengan menggunakan tekhnik total sampling sehingga didapatkan sampel sejumlah 24 orang.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah sosial support dan variabel dependen selfcare ada
penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang Pengumpulan data menggunakan
kuesioner.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara sosial support
dengan selfcare pada penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang
Peneliti mendapatkan fakta bahwa sebagian besar responden memiliki sosial support dalam
kategori yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%). Tetapi 13 (76,5%) responden memiliki
selfcare dalam kategori kurang.
Selfcare diabetes adalah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien diabetes dalam kehidupan
sehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula darah. Tetapi tidak semua penderita diabetes
mellitus dapat melakukan selfcare diabetes. Sosial support juga dapat mempengaruhi hal tersebut.
Tetapi tidak hanya sosial support yang berhubungan dengan pelaksanaan selfcare diabetes, masih
ada hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan selfcare diabetes. Oleh karena itu, diharapkan
penderita diabetes dapat melaksanakan selfcare diabetes dengan sebaik-baiknya dan orang-orang
terdekat juga dapat memberikan dukungan yang positif untuk melaksanakan selfcare diabetes
tersebut.
Kata kunci : sosial support, selfcare, diabetes mellitus
1. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan
penderitanya dan penderita DM memiliki peningkatan resiko terjadinya komplikasi
dan dapat mengancam jiwa apabila tidak segera ditangani dan dilakukan
pengontrolan yang tepat. Masalah-masalah tersebut dapat diminimalkan jika
penderita memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan
pengelolaan terhadap penyakitnya dengan cara melakukan self care (Sulistria,
2013). Tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan control gula
darah, terapi, latihan fisik, diet, dan perawatan kaki. Sosial support juga dapat
mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008).
Seperti dikutip dalam halaman website Departemen Kesehatan RI dan
Badan Kesehatan Dunia atau WHO memprediksikan kenaikan jumlah penderita
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 143 | 231
diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 meningkat menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Alisa dalam Sulistria, 2013). Organisasi yang
peduli terhadap permasalahan Diabetes, Diabetic Federation mengestimasi bahwa
jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2008, terdapat 5,6 juta
penderita Diabetes untuk usia diatas 20 tahun, akan meningkat menjadi 8,2 juta
pada tahun 2020, bila tidak dilakukan upaya perubahan pola hidup sehat pada
penderita (Tandra, 2008).
Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa dukungan sosial terbukti
menjadi yang paling berpengaruh dalam mengendalikan tingkat kadar glukosa
darah pasien dengan dukungan sosial yang rendah cenderung tidak terkontrol
dibandingkan dengan pasien dengan dukungan sosial yang tinggi (Aditama, 2011).
Penelitian lainnya juga menegaskan bahwa terdapat konstribusi yang signifikan
antara social support terhadap kualitas hidup penderita diabetes mellitus (Antari
dkk, 2013). Selain itu disebutkan juga bahwa tingkat self care penderita diabetes
mellitus di Puskesmas Kalirungkut Surabaya sudah cukup baik yaitu pada aktivitas
self care mengenai pengaturan pola makan (diet), olahraga, dan dalam terapi obat.
Tetapi pada control kadar gula darah dan perawatan kaki tingkat self care penderita
DM masih kurang (Sulistria, 2013)
Ada berbagai permasalahan di Indonesia terkait dengan diabetes
mellitus. Misalnya, rendahnya pengetahuan penderita tentang diabetes mellitus itu
sendiri sehingga penderita tersebut kurang mampu melakukan self care yang baik.
Selain itu, kondisi fisik penderita juga dapat menyebabkan penderita tidak dapat
melakukan self care yang tepat. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, diabetes
mellitus dapat menyebabkan perubahan sensori, kejang-kejang, takikardi,
hemiparesis, keletihan, dan kelemahan. Pada penderita dengan DM terjadi ketidak
seimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang
dimiliki. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh
klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit (Doni, 2008). Oleh
karena itu, tidak semua penderita DM dapat melakukan self care tanpa bantuan
orang lain baik itu berupa dukungan verbal ataupun bantuan fisik yang mana hal
tersebut merupakan bagian dari social support.
Menurut Badruddin et al, penderita Diabetes yang dberikan pendidikan dan
pedoman dalam perawatan diri akan meningkatkan pola hidup yang dapat
mengontrol gula darah dengan baik. Hal tersebut tidak hanya diberikan kepada
penderita saja, tetapi kepada orang-orang terdekat agar orang-orang tersebut dapat
memberikan social support terhadap penderita tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional dengan
identifikasi hubungan sosial support dengan self care pada penderita Diabetes
Mellitus di Wilayah kerja Puskesmas Lawang pada bulan Maret 2014. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 144 | 231
puskesmas lawang yang berjumlah 24 orang. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis non Probability sampling dengan tekhnik Total
Sampling. Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data
primer, diperoleh melalui pengisian kuesioner yang berisi beberapa pernyataan
untuk diajukan kepada responden. Instrumen Untuk pengukuran sosial support,
peneliti mengunakan Sosial Support Questionaire (SSQ). Sedangkan untuk
pengukuran self care diabetes penderita diabetes mellitus dengan lembar
pengukuran aktifitas self care diabetes (The Summary of Diabetes Self-Care
Activities/SDSCA) . Untuk melihat hubungan sosial support dan self care pada
penderita diabetes mellitus menggunakan Uji Korelasi Spearman Rank (Rho).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Social Support Pada Pasien diabetes mellitus
Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruh responden
memiliki social support yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%), 2 orang
memiliki social support baik (11,8%).
Ada beberapa definisi social support yang dikemukakan oleh para ahli.
Sarason (dalam Zainuddin, 2002) mengatakan bahwa social support adalah
keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,
menghargai, dan menyayangi kita. Sarason, Sarason & Pierre (dalam Baron dan
Byrne, 2000) menjelaskan social support adalah kenyamanan baik fisik maupun
psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan anggota keluarga individu
tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi social support yang dikemukakan oleh
Sarafino (2002) yang menjelaskan bahwa social support mengacu pada
kenyamanan yang diterima, diperhatikan, dihargai, atau membantu seseorang untuk
menerimanya dari orang lain atau kelompok-kelompok. Social support terdiri dari
beberapa bentuk, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan bentuk-
bentuk social support, yaitu:
a) Emotional / esteem support
b) Tangible atau instrumental support
c) Informational support
d) Companionship support
Tingginya social support dapat mendorong seseorang untuk membangun
gaya hidup sehat. Seseorang dengan social support dapat merasakan, karena orang
lain memperhatikannya, mereka akan menjaga kesehatannya. Tetapi untuk
mendapatkan social support yang baik, seseorang memerlukan sumber dari social
support itu sendiri, yang mana sumber tersebut dapat berupa keluarga, teman, rekan
kerja, dan orang-orang terdekat lainnya. Dengan adanya sumber dari social support
tersebut, maka seseorang bisa mendapatkan social support, bsik itu berupa
dukungan emosional, materi, informasi, atau keanggotaan sehingga orang tersebut
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 145 | 231
akan mendapat kenyamanan karena merasa diterima, diperhatikan, dihargai, dan
dicntai. Dengan banyaknya tingkat social support yang masuk dalam kategori
sangat baik pada responden seperti yang dijelaskan pada hasil penelitian ini, maka
berdasarkan teori yang ada, seharusnya responden mampu mengatur kadar gula
darah dalam batas normal dan mampu mencegah terjadinya komplikasi yang
mungkin terjadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki
esteem support yang sangat baik sebanyak 14 orang (82,4%), 3 orang memiliki
esteem support baik (17,6%).
Emotional/esteem support adalah dukungan yang melibatkan rasa empati,
peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan
penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang ia hadapi.
Leavy (dalam Orford, 1992) yang termasuk ke dalam bentuk dukungan ini adalah
perhatian, kepercayaan, dan empati. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh
social support jenis ini akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau
kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Masalah emosional yang biasanya dialami oleh klien diabetes yaitu stres,
sedih, rasa khawatir akan masa depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang
akan mungkin muncul, perasaan takut hidup dengan diabetes, merasa tidak
semangat dengan program pengobatan yang harus dijalani, khawatir terhadap
perubahan kadar gula darah dan bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani.
Tetapi dengan mendapatkan esteem support itu berarti telah mendapatkan dukungan
dari segi emosi atau perasaan seperti perhatian dan kasih sayang. Orang tersebut
akan mrasa dihargai, diakui, dan diterima sehingga orang tersebut akan merasa
bahwa telah dinilai positif oleh orang lain. Dengan begitu orang tersebut akan
merasa nyaman dan semangat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
tangible support yang sangat baik, yaitu sebanyak 10 orang (58,8%), 6 orang
memiliki tangible support baik (35,3%), dan 1 orang (5,9%) dengan tangible
support tidak baik.
Tangible atau instrumental support adalah dukungan yang meliputi bantuan
yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan
atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang
mengalami stress. Menurut Taylor (2003) tangible assistance ini termasuk
dukungan berupa materi , seperti melayani, bantuan secara financial, atau benda-
benda yang dibutuhkan.
Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronik yang membutuhkan biaya
yang cukup mahal dalam perawatannya. Jika status ekonomi klien kurang memadai
akan menyebabkan klien mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke pusat
pelayanan kesehatan secara teratur. Oleh karena itu, tangible support merupakan hal
yang dibutuhkan oleh penderita DM, terutama oleh penderita dengan status social
ekonomi yang rendah. Tidak hanya berupa bantuan materi saja, tetapi penderita DM
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 146 | 231
juga memerlukan pelayanan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa bantuan untuk
menemani atau mengantar penderita DM untuk memeriksakan diri ke tempat
pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki
informational support yang sangat baik sebanyak 12 orang (70,6%), 5 orang
memiliki informational support baik (29,8%).
Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau
feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat
dilakukan dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh seseorang.
Informasi yang berhubungan dengan pengelolaan diabetes merupakan hal
yang penting untuk meningkatkan efektifitas perawatan diri pendrita DM. Oleh
karena itu, pemberian informasi, saran, dan nasihat yang berkaitan dengan
bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh pederita DM dalam kehidupan
sehari-hari agar gula darah dapat terkontrol sangat dibutuhkan oleh penderita DM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
companionship support yang sangat baik sebanyak 13 orang (76,5%), 4 orang
memiliki companionship support baik (23,5%).
Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan
orang lain, dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang
yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan social. Hal ini dapat mengurangi
stress dengan terpenuhi kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain,
dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang
ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen & Wills Orford 1992.
Dari hasil penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden merasa perlu untuk terlibat dalam suatu kerja sama atau organisasi dan
kegiatan social sehingga penderita DM bisa mendapatkan teman untuk
menghabiskan waktu bersama dan dapt bercerita mengenai masalahnya.
2. Selfcare Pada Pasien diabetes mellitus
Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada responden yang
mengalami self care diabetes yang baik, self care cukup sebanyak 4 orang
(23,5%), self care diabetes kurang sebanyak 13 orang (76,5%).
Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk
mengontrol diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan
komplikasi Menurut Kusniawati (2009). Sedangkan Sousa & Zauszniewski (2005)
mendefinisikan self care diabetes merupakan kemampuan seseorang dalam
melakukan self care dan penampilan tindakan self care diabetes untuk
meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah (Kusniawati, 2013). Aktifitas
yang termasuk dalam selfcare diabetes tersebut meliputi pengaturan pola makan
(diet), latihan fisik/exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan
kaki.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 147 | 231
Perilaku self care diabetes merupakan tanggung jawab bagi setiap penderita
DM. Dengan mampunya penderita melakukan selfcare diabetes baik berupa
pengaturan pola makan, latihan fisik, pemantauan gula darah, pengobatan, dan
perawatan kaki maka akan tercapai pengontrolan gula darah secara optimal dan
meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes. Tetapi pada kenyataannya,
dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden melakukan
selfcare yang kurang. Jika ditinjau dari teori yang ada, tentu hal tersebut dapat
berpengaruh negatif terhadap pengaturan gula darah penderita DM dan pecegahan
terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 orang responden (17,6%)
dengan diet yang baik, responden dengan diet yang cukup sebanyak 10 orang
(58,8%), responden dengan diet yang kurang sebanyak 4 orang (23,5%).
Menurut teori pengaturan pola makan sangat penting dalam merawat klien
diabetes. Tujuan pengaturan pola makan pada klien DM adalah membantu klien
memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih
baik, dengan cara : mempertahankan glukosa darah dalam batas normal, mencapai
dan mempertahankan kadar lipid serum dalam batas normal, memberi cukup energi,
mencapai atau mempertahankan berat badan normal, meningkatkan sensitifitas
reseptor insulin dan menghindari atau menangani komplikasi akut maupun kronik
(Almatsier, 2006).
Pengaturan pola makan pada klien diabetes mellitus membantu
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin sehingga akhirnya dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Oleh karena itu, dengan diet yang sesuai dengan yang
dianjurkan, maka penderita DM dapat meminimalkan terjadinya komplikasi pada
DM. Pengaturan makan yang dianjurkan bagi klien DM adalah makanan dengan
komposisi seimbang dalam karbohidrat, kalori, protein dan lemak sesuai dengan
standar. Dianjurkan juga bagi penderita DM untuk mengkonsumsi sayuran.
Sedangkan bahan makanan yang tidak dianjurkan, dibatasi atau dihindari yaitu
makanan yang banyak mengandung tinggi lemak (seperti daging, makanan yang
mengandung minyak atau mentega dan lain-lain) dan yang banyak mengandung
gula (seperti kue, biscuit,selai, dan lain-lain).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang melakukan
exercise yang baik, sebagian besar responden melakukan exercise yang kurang
sebanyak 11 orang (64,7%), dan responden yang melakukan exercise yang cukup
sebanyak 6 orang (35,3%).
Menurut teori latihan fisik bagi klien DM akan meningkatkan sensitivitas
reseptor insulin di dinding sel teraktivasi lebih baik, sehingga kerja atau fungsi
insulin meningkat. Efeknya adalah ambilan (uptake) glukosa ke dalam sel menjadi
lebih baik. Latihan fisik juga meningkatkan pemberian sinyal insulin dan integritas
sel sehingga sel menjadi sensitif terhadap insulin sebagai respon untuk mencapai
homesostasis (ADA, 2010). Latihan fisik pada klien DM dapat memperbaiki kontrol
glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbA1C yang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 148 | 231
cukup menjadi pedoman untuk menurunkan resiko komplikasi diabetes dan
kematian. Latihan fisik pada klien DM akan menimbulkan perubahan- perubahan
metabolik walaupun banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lama
latihan, beratnya latihan dan tingkat kebugaran, kadar insulin plasma, kadar glukosa
darah, kadar benda keton dan keseimbangan cairan tubuh (Soebardi & Yunir dalam
Sudoyo, 2006).
Latihan fisik pada klien diabetes mellitus dapat memperbaiki kontrol
glukosa secara menyeluruh meningkatkan sensitivitas reseptor insulin di dinding sel
teraktivasi lebih baik, sehingga kerja atau fungsi insulin meningkat. Jenis latihan
fisik sederhana yang dapat dilakukan oleh penderita DM dirumah adalah olahraga
ringan sedikitnya dalam waktu 20-30 menit. Selain itu, penderita DM juga dapat
melakukan latihan fisik dengan cara berjalan kaki disekitar rumah. Dengan
melakukan latihan fisik, maka akan memperbaiki metabolisme glukosa serta
meningkatkan penghilangan lemak tubuh sehingga pada akhirnya toleransi glukosa
dapat kembali normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang melakukan
control gula darah yang baik, hampir semua responden melakukan control gula
darah yang kurang sebanyak 15 orang (88,2%), responden dengan control gula
darah cukup sebanyak 2 orang (11,8%).
Menurut teori monitoring kadar gula darah secara teratur merupakan salah
satu bagian dari penatalaksanaan DM yang penting dilakukan oleh klien DM, oleh
karena itu klien DM harus memahami alasan dan tujuan dari pemantauan kadar gula
darah secara teratur tersebut sehingga akan meningkatkan keterlibatan klien secara
langsung dalam pengelolaan penyakitnya (Brunner & Suddarth, 2009).
Pemeriksaan kadar gula darah merupakan evaluasi dari penatalaksanaan DM
yang dilakukan oleh penderita DM. Oleh karena itu melakukan monitoring kadar
gula darah secara teratur akan membantu memonitor efektifitas latihan, diet dan
obat hipoglikemik oral. Penderita DM disarankan melakukan kontrol gula darah
jika dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan peningkatan gula garah
(misalkan saat sakit) atau penurunan gula darah (misalkan ketika terjadi
peningkatan aktivitas) dan ketika dosis pengobatan dirubah. Penderita DM dapat
melakukan kontrol gula darah di tempat-tempat pelayanan kesehatan atau secara
mandiri dirumah jika memilki alat untuk mengukur kadar gula darah sehingga
penderita akan mengetahui kadar glukosa darah dan bagaimana kondisi
kesehatannya saat ini. Klien DM diperbolehkan untuk mengukur kadar glukosa
darahnya secara mandiri minimal dua sampai tiga kali per minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 9
orang (53%) melakukan pengobatan yang kurang, responden yang melakukan
pengobatan yang cukup sebanyak 5 orang (29,4%), responden yang melakukan
pengobatan yang baik sebanyak 3 orang (17,6%).
Pada diabetes mellitus terdapat kekurangan insulin secara absolute atau
relative yang akan mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 149 | 231
menimbulkan komplikasi serius termasuk kelemahan dan penurunan berat badan
karena lipolisis dan proteolisis otot, ketoasidosis akibat penumpukan bendaketon
(Dr. Hans Tandra, 2013).
Pada penderita DM diabetes mellitus yang kekurangan insulin akan
mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah sehingga klien memerlukan obat
untuk menurunkan untuk kadar gula darah seperti obat anti diabet oral,
repaglinid yang berguna untuk menghasilkan kadar insulin yang tinggi. Oleh karena
itu, penderita DM dianjurkan untuk minum obat sesuai dengan petunjuk dokter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 11
orang (64,7%) melakukan perawatan kaki yang kurang, 5 orang (29,4%) melakukan
perawatan kaki yang cukup, dan anya 1 orang yang melakukan perawatan kaki yang
baik.
Menurut teori perawatan kaki secara umum harus dilakukan setiap hari.
Kaki (telapak kaki) di cuci dengan sabun lembut, disiram air, di bilas. Proses
tersebut diulang sampai kaki benar-benar bersih. Lalu kaki dikeringkan, terutama
bagian sela-sela jari kaki, karena dalam keadaan basah, sela-sela tersebut rawan
infeksi. Lindungi kaki dengan selalu mengenakan kaus kaki. Dan jangan
bertelanjang kaki meskipun berada di dalam rumah. Hati-hati memotong kuku jari
kaki, jangan samapai terluka. Hindari panas seperti mencuci/merendam kaki dengan
air panas/hangat atau kompres panas, karena gangguan pada saraf perasa dapat
menimbulkan infeksi (Waluyo, 2009).
Dalam melakukan perawatan kaki pada pasien diabetes mellitus harus
dilakukan setiap hari agar tidak terjadi masalah pada kaki. Penderita DM hendaknya
memeriksa kakinya setiap hari. Membersihkan kaki terutama bagian sela-sela jari
kaki, karena dalam keadaan basah, sela-sela tersebut rawan infeksi. Pencegahan
biasa dilakukan seperti memakai sandal/sepatu yang baik karena ketika joging atau
jalan kaki berkemungkinan besar terjadi gesekan kaki dengan sandal/sepatu yang
dapat mengakibatkan lecet pada kaki. Tetapi dalam menggunakan sandal/sepatu,
perlu diperhatikan juga bagian dalam sandal/sepatu yang akan digunakan karena
dikhawatirkan terdapat benda yang dapat mengakibatkan perlukaan pada kaki.
Periksa kaki tiap hari terutama terhadap adanya perlukaan, infeksi, dll. Keringkan
dan bersihkan selalu kaki terutama pada sela-sela jari dengan menggunakan handuk
bersih.
3. Hubungan Social Support dengan Selfcare Pada Pasien diabetes mellitus
Dari hasil uji statistic Spearmen’s Rank (rho) dengan menggunakan SPSS
didapatkan hasil sig. (2-tailed) 0.379. dengan α 0,05 berarti sig. (2-tailed) > α.
Sehingga Hο diterima dan H1 ditolak. Jadi tidak ada hubungan antara social
support dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja
puskesmas Lawang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 150 | 231
Self care diabetes adalah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien
diabetes dalam kehidupansehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula darah
yang meliputi aktifitas pengaturan pola makan (diet), latihan fisik (olahraga),
pemantauan kadar gula darah, minum obat dan perawatan kaki (Kusniawati, 2013).
Tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan control gula darah,
terapi, latihan fisik, diet, dan perawatan kaki. Sosial support juga dapat
mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008). Hal tersebut sejalan dengan penjelasan
Sigurdardottir (2005) bahwa Aspek emosional diketahui mempunyai hubungan
yang signifikan terhadap perilaku self care diabetes. Masalah emosional yang
biasanya dialami oleh klien diabetes yaitu stres, sedih, rasa khawatir akan masa
depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang akan mungkin muncul,
perasaan takut hidup dengan diabetes, merasa tidak semangat dengan program
pengobatan yang harus dijalani, khawatir terhadap perubahan kadar gula darah dan
bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani. Dunkle-Scheter, dkk, (dalam
sarafino, 2006) menjelaskan bahwa stres akan menurunkan kondisi kesehatan
seseorang, dan social support muncul sebagai pelindung dari stress yang ada.
Social support mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi seseorang untuk
melawan efek-efek negatif dari stress tingkat tinggi. Buffering effect bekerja dengan
dua cara , yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stressor yang kuat, dan
yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang
sesudah munculnya stressor. Pemberian social support ini akan berpengaruh besar
saat seseorang mengalami stress. Shigaki et al (2010) juga menjelaskan bahwa
motivasi diri merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi klien DM dalam
melakukan self care diabetes terutama dalam hal mempertahankan diet dan monitor
gula darah. Klien DM yang memiliki motivasi baik akan melakukan tindakan self
care diabetes dengan baik pula untuk mencapai tujuan yang diiginkan yaitu
pengontrolan gula darah sehingga pada akhirnya komplikasi DM dapat
diminimalkan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat social support dan selfe care diabetes
adalah dua hal yang secara teori adalah dua hal yang berhubungan satu sama lain.
Tetapi fakta yang didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang
hubungan social support dengan selfcare pada penderita diabetes didapatkan hasil
yang bertolak belakang dengan teori tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa social
support tidak berhubungan dengan self care pada penderita diabetes mellitus di
Wilayah kerja puskesmas Lawang Padahal pada penelitian sebelumnya dijelaskan
bahwa dukungan sosial terbukti menjadi yang paling berpengaruh dalam
mengendalikan tingkat kadar glukosa darah pasien dengan dukungan sosial yang
rendah cenderung tidak terkontrol dibandingkan dengan pasien dengan dukungan
sosial yang tinggi (Aditama, 2011). Penelitian lainnya juga menegaskan bahwa
terdapat konstribusi yang signifikan antara social support terhadap kualitas hidup
penderita diabetes mellitus (Antari dkk, 2013). Hasil yang bertolak belakang dengan
teori tersebut mungkin dikarenakan oleh terdapatnya factor lain yang lebih
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 151 | 231
berhubungan dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus karena dari hasil uji
statitik lainnya menggunakan metode cross tabulation yang menghubungkan antara
selfcare dengan umur, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan lamanya menderita
DM, didapatkan hasil bahwa sebagian besar dari responden melakukan selfcare
pada kategori kurang. Tetapi pada uji statistic menggunakan metode Spearmen’s
Rank (rho) yang menghubungkan antara selfcare dengan umur, pendidikan,
pekerjaan, jenis kelamin, dan lamanya menderita DM, didapatkan hasil bahwa
lamanya menderita DM dan jenis kelamin mempunyai hubungan yang erat dengan
selfcare pada penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan hasil bahwa sebagian besar
responden memiliki social support yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%),
tidak ada responden yang melakukan self care diabetes yang baik, sebagian besar
responden yaitu sebanyak 13 orang (76,5%) melakukan self care diabetes kurang,
dan berdasarkan hasil uji statistic menggunakan Spearmen’s Rank didapatkan hasil
bahwa idak ada hubungan antara social support dengan selfcare pada penderita
diabetes mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang
5. DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo T & Hendra U (2001), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke – 3, Jilid 1, FKUI,
Jakarta.
Andryagreey, (2010), Pengertian Ulkus Diabetik. http://wordpress.com. Diakses
tanggal 8 November 2010 pukul 10.45 WIB.
Askandar Tjokoprawiro, (2001), Hidup Sehat Dan Bahagia Bersama Diabetes,
Gramedia Pustaka Utama, Jakar.
Aru W Sudoyo, (2006), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke-2, Jilid 1, FKUI, Jakarta.
Fox, Charles, (2010), Bersahabat Dengan Diabetes Tipe 2. Penebar Plus, Jakarta.
Guyton, Arthur C. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Hartono Andry, (2006). Terapi Gizi Dan Diet Rumah Sakit, Jakarta: EGC
Hidayat, A. A. H (2009). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta: Salemba Medika.
Imron, R. (2013). “Self Care Diabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus di Poli
Penyakit Dalam RSUD Jombang”. Karya Tulis Ilmiah tidak dipublikasikan.
Poltekkes Majapahit Mojokerto.
IP. Siaraoka (2012). Penyakit Degeneratif. Nuha Medika: Yogyakarta.
Khairina W. (2008). “Hubungan Antara Sosial Support dengan Kepatuhan
Menjalani Terapi ARV”. FPSI Universitas Indonesia.
Kartini, (2001). Kepatuhan Diet, http://syopian.net/blog. Diakses pada tanggal 5
April 2010
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 152 | 231
M.N. Bustan. (2007). Epidemologi Penyakit Tidak Menular, Edisi Tiga-Jakarta :
EGC.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan, Jakarta : PT Salemba Medika.
Rini Tri Hastuti (2008), Fakto-faktor Resiko Ulkus Diabetik
http://epirints.www.epirints.undip.ac.id. Diakses tanggal 1 November 2009
Robbin, (2007), Buku Ajar Patologi Vol 2. Jakarta : EGC.
Rahma Y. (2007). “Gambaran Sosial Support Pecandu Narkoba” Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Smalzzer Sussane C (2001), Buku Ajar Keperawatan, Medikal Bedah, Jakarta,
EGC.
Soekidjo, Notoatmodjo (2003).Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta
Sudartawan Soegondo. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sugiono (2010), Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Suharsimi Arikunto (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka
Cipta, Jakarta.
Sujathyo, (2007), Gejala Ulkus Diabetik. www.smallcrab.com diakses tanggal 12
November 2010.
Sunita Almatsier (2005), Penuntun Diet, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sylvia A Price, (2005), Patofisiologi Vol 2. Jakarta : EGC
Sulistria, Y. M. (2013). “Tingkat Self Care Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus
tipe 2 di Puskesmas Kalirungkut Surabaya”. Calyptra: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universita Surabaya Vol 2 No 2 (2013).
Toobert, D. J., Hampson, S. E., & Glasgow, R. E (2000). The Summary of Diabetes
Self-Care Activities Measure. Results from 7 studies and a revised scale.
Diabetes Care, 23, 943-950.
Utama, Hendra, (2002). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Jakarta :
FKUI
Wardati. (2006). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
Diabetes Mellitus Tipe II pada pasien di RSU Tidar Magelang.
www.pusatdatajurnaldanskripsi.com diakses tanggal 10 November 2010.
Wahid Iqbal Mubaraq, (2007), promosi kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
WHO, (2000), Pencegahan Diabetes Mellitus, Hipokrates, Jakarta.
Zaida, (2005), Ulkus Diabetik.http:www.smallcrab.com. diakses tanggal 2
November 2010.
2009, Askep Ulkus Diabetik, http://blogspot.com. Diakses pada tanggal 9
juni 2011
Regina: 2013 komplikasi Diabetes Melitus http://diabetesmelitus.org/komplikasi-
diabetes-melitus/#ixzz2vujWdqxV
Widasari, Sri Gitarja, SKP Etin, (2013) Perawatan Luka Diabetes
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 153 | 231
PENGARUH PEMBERIAN LATIHAN SLOW DEEP BREATHING
TERHADAP TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE
DI RUANG FLAMBOYAN - RSUD LAWANG
Rini Widya Ningsih 1, Tri Nataliswati 2, Supono 3
1, 2, 3 Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan LawangJl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kalipermenit dengan fase ekshalasi yang panjang. Latihan Slow deep breathing dapat menurunkanaktivitas metabolik yang berdampak pada fungsi jantung dan tekanan darah. Tujuan dari penelitianini untuk mengetahui pengaruh latihan slow deep breathing terhadap tekanan darah pada pasien yangmengalami Stroke. Penelitian ini menggunakan desain pre eksperimen dengan bentuk time seriesdesign, yaitu peneliti melakukan penilaian terhadap tekanan darah pada pasien stroke denganhipertensi sebanyak 4 kali pengukuran, baik sebelum (pre test) latihan slow deep breathing dansesudah latihan slow deep breathing (post test). Dan masing-masing pengukuran berjarak 8 jam.Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 30 responden, pengambilan sampel menggunakan metodeNon Probability Sampling. Hasil dari nilai uji wilcoxon signed rangk test dari penelitian inimenunjukkan nilai p setelah latihan ke III dan Ke IV yaitu p < 0,05 yang berarti H0 ditolak. Berartiada perbedaan yang signifikan tekanan darah pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudahdiberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke III dan ke IV. Rekomendasi dari penelitian iniadalah latihan slow deep breathing dapat dilakukan untuk pasien stroke, sebagai upaya untukmenurunkan tekanan darahnya.
Kata Kunci: Slow deep breathing, stroke, tekanan darah
Abstract
Slow deep breathing is a breathing method whose breathing frequency is less than 10 times perminute with a long phase of exhalation. Slow deep breathing exercises can decrease metabolicactivity that affects heart function and blood pressure. The purpose of this study to determine theeffect of slow deep breathing exercise on blood pressure in patients with Stroke. This study uses preexperimental design with time series design form, that is, the researcher evaluates blood pressure instroke patients with hypertension as much as 4 times of measurement, either before (pre test) slowbreathing exercise and after slow breathing (post test) exercise. And each measurement is 8 hoursaway. The number of samples obtained by 30 respondents, sampling using the method of NonProbability Sampling. The result of test value of wilcoxon signed test result from this research showsp value after exercise to III and IV is p < 0.05 which means H0 is rejected. Means there is asignificant difference in blood pressure of stroke patients with hypertension before and after givenslow breathing exercise in exercise to III and IV. Recommendation of this study is a slow deepbreathing exercise can be done for stroke patients, in an attempt to lower blood pressure.
Keywords: Slow deep breathing, stroke, blood pressure
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 154 | 231
1. PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab umum kematian urutan ketiga di negara maju
setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Setiap tahun, lebih dari 700.000 orang
Amerika mengalami stroke, 25% di antaranya berusia di bawah 65 tahun, dan
150.000 orang meninggal akibat stroke atau akibat komplikasi segera setelah stroke
(Goldszmidt & Caplan, 2011). WHO mengestimasi terdapat 20 juta orang yang
akan meninggal karena stroke. Proporsi kematian stroke adalah 15,4% pada tahun
2007. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya disebabkan karena
stroke (Dinkes Jatim, 2012).
Faktor resiko utama penyebab penyakit stroke adalah hipertensi. Dan
didapatkan kasus stroke dengan hipertensi sejumlah 70 – 80% kasus. (Pinzon &
Asanti, 2010). Empat puluh sampai tujuh puluh persen penderita stroke di Indonesia
adalah penderita hipertensi (Nasution, 1989). Dan pria yang berumur 40 tahun
dengan hipertensi berisiko stroke sebesar 4% (Santoso, 1991) yang dikutip oleh
(Setiawan, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2013) di Sulawesi Selatan
proporsi individu hipertensi yang mengalami stroke mempunyai proporsi lebih
besar dibandingkan dengan tidak hipertensi. Hasil penelitian menujukkan bahwa
kejadian stroke terjadi pada penderita hipertensi (88,3%) lebih besar dibandingkan
kejadian stroke pada penderita tidak hipertensi (11,7%). Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa sebagian besar individu hipertensi
mengalami stroke (Sofyan, 2015).
Hasil studi pendahuluan yang berbasis data rekam medis pasien di RSUD
Lawang prevalensi jumlah kunjungan pasien stroke dengan hipertensi sejumlah 198
kunjungan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (Data Rekam Medis RSUD Lawang,
2016).
Standar pelayanan keperawatan pada pasien stroke dengan hipertensi di
RSUD Lawang relatif sama yaitu mengobservasi tanda vital, defisit neurologi, serta
penurunan tekanan darah. Pasien dianjurkan mengurangi aktivitas dan berkolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian obat antihipertensi. Dan belum ada tindakan
non farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dalam hal pelayanan
keperawatan yang dilakukan.
Penurunan tekanan darah ke tingkat normal yang dapat dilakukan dengan
intervensi keperawatan secara nonfarmakologis, yaitu penurunan berat badan,
olahraga, berhenti merokok, diet pembatasan natrium, dan teknik relaksasi (Corwin,
2009). Salah satu teknik relaksasi yang dapat dilakukan pada penderita hipertensi
yaitu latihan slow deep breathing (Joseph, et al., 2006; Kaushik, Mahajan, &
Rajesh, 2006; Sepdianto, Nurachmah, & Gayatri, 2010 yang dikutip oleh Yanti,
Mahardika, & Prapti, 2016).
Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dr. Labiba Abd El-kader
Mohamed, Dr. Naglaa Fawzy Hanafy & Dr. Amel Gomaa Abd El-Naby (2013)
dengan judul “Effect Of Slow Deep Breathing Exercise On Blood Pressure And
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 155 | 231
Heart Rate Among Newly Diagnosed Patients With Essential Hypertension”
didapatkan hasil bahwa p Value yaitu 0,000 yang berarti p Value < dari 0,05, yang
berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat efek dari slow deep breathing terhadap
tekanan darah dan denyut jantung (nadi) pada pasien yang baru terdiagnosa
hipertensi esensial.
Berdasarkan penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Tahan Adrianus
Manalu (2015) dengan judul “Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah
Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi
Primer Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam”
didapatkan hasil bahwa p Value yaitu 0.019 yang berarti p Value < dari 0.05, yang
berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah sebelum dan
sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) pada pasien hipertensi
primer.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah
Pada Penderita Stroke di Ruang Flamboyan RSUD Lawang”. Dimana peneliti ingin
mengetahui pengaruh dari pemberian latihan slow deep breathing terhadap tekanan
darah pada pasien yang mengalami Stroke.
2. METODE PENELITIAN
Rancangan yang digunakan dalam penelitin ini adalah bentuk rancangan
quasi eksperimen dengan bentuk time series design. Rancangan quasi eksperimen
ini tidak mempunyai pembatasan yang ketat terhadap randomisas, pada saat yang
sama dapat mengontrol ancaman validitas. Dalam time series design ini seperti
rancangan pretest-posttest, kecuali mempunyai keuntungan dengan perlakuan
observasi (pengukuran yang berulang) sebelum dan sesudah perlakuan (Setiadi,
2013: 90 – 91)
Dalam penelitian ini peneliti melakukan penilaian terhadap tekanan darah
pada pasien stroke dengan hipertensi sebanyak 4 kali pengukuran, baik sebelum
(pre test) latihan slow deep breathing dan sesudah latihan slow deep breathing (post
test). Dan masing-masing pengukuran berjarak 8 jam.
Penelitian ini dilakukan di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah
Lawang pada tanggal 26 Mei sampai dengan 24 Juni 2017.
Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah seluruh pasien yang
mengalami stroke dengan hipertensi yang dirawat inap di Ruang Flamboyan RSUD
Lawang pada periode 26 Mei – 24 Juni 2017 yang berjumlah 34 orang.
Sampel penelitian yang diteliti adalah sebagian pasien yang mengalami
stroke dengan hipertensi yang dirawat inap di Ruang Flamboyan RSUD Lawang,
yang memenuhi kriteria inklusi pada periode 26 Mei – 24 Juni 2017 yang berjumlah
30 orang.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 156 | 231
Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel adalah Pasien bersedia menjadi
responden, Pasien dengan kesadaran composmentis yang terdiagnosis stroke dengan
hipertensi oleh dokter RSUD Lawang. Pasien yang mendapatkan terapi
antihipertensi yang sama yaitu amlodipin. Pasien berusia lebih dari 15 tahun ke atas
dengan pertimbangan sudah dapat membuat keputusan atas perlakuan medis.
Adapun Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pasien
yang tidak dapat mengikuti perintah/kurang kooperatif. Pasien yang saat proses
penelitian berlangsung tiba-tiba membatalkan karena suatu hal tertentu.
Tehnik sampling adalah teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2010:62).
Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan
teknik Non Probability Sampling dengan cara pengambilan sampel secara
Consecutive sampling, yaitu setiap pasien stroke dengan hipertensi yang memenuhi
kriteria penelitian dimasukkan dalam subyek penelitian sampai kurun waktu
tertentu hingga jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Kurun waktu
terpenuhinya sampel yaitu 26 Mei – 24 Juni 2017.
Data penelitian ini didapatkan dengan menggunakan Instrumen yang meliputi:
a. Pemberian Latihan Slow Deep Breathing
1) Standart Operasional Prosedur (SOP) latihan slow deep breathing
b. Pengukuran Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik menggunakan:
1) Spigmomanometer
2) Stetoskop
3) Standart Operasional Prosedur (SOP) pengukuran tekanan
Data tentang tekanan darah responden diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara. Hasil tersebut kemudian diisikan kedalam lembar observasi dengan
mengisi kolom skor. Data-data tersebut kemudian diolah dan dianalisa dengan
melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean), Scoring,
Tabulating dan penentuan kategori tingkat tekanan darah. Hasil data dalam
penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk table distribusi frekuensi dan
dalam bentuk narasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik dasar pasien stroke dengan hipertensi yang akan disajikan data
demografinya antara lain: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, riwayat stres,
riwayat merokok, dan riwayat latihan slow deep breathing.
1) Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Tabel Distribusi Jenis Kelamin Responden di Ruang Flamboyan RSUD
Lawang Kabupaten Malang
No Jenis Kelamin N Persentase %
1 Laki-laki 11 36,67
2 Perempuan 19 63,33
Total 30 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 157 | 231
Berdasarkan data dari tabel 4.1 tentang jenis kelamin di atas diketahui
bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah
19 responden (63,33%).
2) Umur
Tabel 4.2 Tabel Distribusi Umur Responden di Ruang Flamboyan RSUD Lawang
Malang
Variabel N Mean SD Min Max CI 95 %
Umur 30 57.53 7.305 45 68 54,81 – 60,26
Berdasarkan data dari tabel 4.2 tentang umur di atas diketahui bahwa rata-
rata umur responden adalah 57,53, standar deviasi 7,305 serta umur termuda adalah
45 tahun dan umur tertua adalah 68 tahun, dengan tingkat kepercayaan yang
diyakini 54,81 – 60,26.
3) Tingkat Pendidikan
Tabel 4.3 Tabel Distribusi Tingkat Pendidikan Responden di Ruang Flamboyan
RSUD Lawang Kabupaten Malang
No Tingkat Pendidikan N Presentase %
1 Tidak Sekolah 2 6,67
2 SD 5 16,67
3 SMP 9 30
4 SMA 13 43,33
5 Sarjana 1 3,33
Total 30 100
Berdasarkan data dari bagan 4.3 tentang tingkat pendidikan di atas diketahui
bahwa kurang dari setengah respondennya adalah lulusan SMA, yaitu sejumlah 13
responden (43,33%).
4) Riwayat Stres
Tabel 4.4 Tabel Distribusi Riwayat Stres Responden di Ruang Flamboyan RSUD
Lawang Kabupaten Malang
No Riwayat Stres N Presentase %
1 Stres 23 76,67
2 Tidak Stres 7 23,33
Total 30 100
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 158 | 231
Berdasarkan data dari tabel 4.4 tentang riwayat stress di atas diketahui
bahwa sebagian besar responden yang mengalami stress, yaitu sejumlah 23
responden (76,67%).
5) Riwayat Merokok
Tabel 4.5 Tabel Distribusi Riwayat Merokok Responden di Ruang Flamboyan
RSUD Lawang Kabupaten Malang
No Riwayat Merokok N Presentase %
1 Merokok 11 36,67
2 Tidak Merokok 19 63,33
Total 30 100
Berdasarkan data dari tabel 4.5 tentang riwayat merokok di atas diketahui
bahwa lebih dari setengah responden tidak memiliki riwayat merokok, yaitu
sejumlah 19 responden (63,33%).
6) Riwayat Latihan Slow Deep Breathing
Tabel 4.6 Tabel Distribusi Riwayat Latihan Slow Deep Breathing Responden di
Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang
No Riwayat Latihan N Presentase %
1 Latihan 0 0
2 Tidak Latihan 30 100
Total 30 100
Berdasarkan data dari tabel 4.6 tentang riwayat merokok di atas diketahui
bahwa mayoritas responden tidak memiliki riwayat latihan slow deep breathing,
yaitu sejumlah 30 responden (100%).
Diskripsi Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik
1) Tekanan darah sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah
diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu pengukuran
Tabel 4.7 Tekanan Darah Sistolik Pada Berbagai Waktu Pengukuran Di Ruang
Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang.
No Waktu
Pengukuran N
Min Max Mean Penurunan
CI 95%
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
1 Latihan Ke
I 30
160 150 210 210 176,67 176 0,67 172,14 –
181.20
171,24 –
180,76
2 Latihan Ke
II 150 150 200 190 170 169 1
165,40 –
174,60
164,92 –
173,08
3 Latihan Ke 140 130 190 190 162,67 156,33 6,34 158,18 – 151,48 –
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 159 | 231
III 167,15 161,19
4 Latihan Ke
IV 130 120 180 170 153 141,67 11,33
148,08 –
157,92
136,29 –
147,05
Berdasarkan tabel 4.7 di atas diketahui bahwa tekanan sistolik dari 30
responden pada berbagai waktu pengukuran setelah dilakukan latihan slow deep
breathing semua mengalami penurunan. Namun, rata-rata penurunan setelah latihan
ke I dan ke II masih belum terlalu besar, sedangkan rata-rata penurunan yang paling
nampak terlihat yaitu setelah latihan ke III dan ke IV. Rata-rata tekanan sistolik
sebelum latihan ke III adalah 162,67 mmHg, sesudah latihan menjadi 156,33
mmHg. Dan rata-rata tekanan sistolik sebelum latihan ke IV adalah 153 mmHg,
sesudah latihan menjadi 141,67 mmHg. Maka, didapatkan hasil penuranan rata-rata
setelah latihan ke III adalah 6,34 mmHg dan setelah latihan ke IV adalah 11,33
mmHg.
2) Tekanan darah diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah
diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu pengukuran
Tabel 4.8 Tekanan Darah Diastolik Pada Berbagai Waktu Pengukuran Di Ruang
Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang Mei – Juni 2017.
N
o
Waktu
Pengukuran N
Min Max Mean Penurunan
CI 95%
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
1 Latihan Ke
I
30
70 70 110 110 84,67 84 0,67
81,45 –
87,88
80,81 –
87,19
2 Latihan Ke
II
70 70 110 100 83,33 82,33 1
80,38 –
86,33
79,80 –
84,87
3 Latihan Ke
III
70 70 90 90 81,33 75,67 5,66
78,79 –
83,88
73,54 –
77,79
4 Latihan Ke
IV
70 60 80 70 75,33 67,33 8
73,44 –
77,23
65,65 –
69,01
Berdasarkan tabel 4.8 di atas diketahui bahwa tekanan diastolik dari 30
responden pada berbagai waktu pengukuran setelah dilakukan latihan slow deep
breathing semua mengalami penurunan. Namun, rata-rata penurunan setelah latihan
ke I dan ke II masih belum terlalu besar, sedangkan rata-rata penurunan yang paling
nampak terlihat yaitu setelah latihan ke III dan ke IV. Rata-rata tekanan diastolik
sebelum latihan ke III adalah 81,33 mmHg, sesudah latihan menjadi 75,67 mmHg.
Dan rata-rata tekanan diastolik sebelum latihan ke IV adalah 75,33 mmHg, sesudah
latihan menjadi 67,33 mmHg. Maka, didapatkan hasil penuranan rata-rata setelah
latihan ke III adalah 5,66 mmHg dan setelah latihan ke IV adalah 8 mmHg.
Uji Analisis Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik
1) Uji Analisis tekanan darah sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan
sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu
pengukuran
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 160 | 231
Tabel 4.9 Hasil Uji Statistik Wilcoxon Signed Rank Test. Perbedaan Tekanan
Darah Sistolik Pasien Stroke Dengan Hipertensi Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Latihan Slow Deep Breathing Pada Berbagai Waktu
Pengukuran Di Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang
Mei – Juni 2017.
No. Perbedaan Tekanan Darah
Sistolik z Df
Sig. (2-tailed)
1. Latihan Ke I -1,414 29 .157
2. Latihan Ke II -1,732 29 .083
3. Latihan Ke III -4,359 29 .000
4. Latihan Ke IV -4,582 29 .000
Berdasarkan tabel 4.9 di atas diketahui bahwa perbedaan tekanan darah
sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow
deep breathing ke I dan II didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti H0 diterima artinya
tidak ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik pasien stroke dengan hipertensi
sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I dan II,
sedangkan pada latihan ke III dan IV didapatkan nilai p keduanya < 0,05 yang
berarti H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik pasien
stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep
breathing pada latihan ke III dan IV.
2) Uji analisis tekanan darah diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum
dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu
pengukuran
Tabel 4.10 Hasil Uji Statistik Wilcoxon Signed Rank Test. Perbedaan Tekanan
Darah Diastolik Pasien Stroke Dengan Hipertensi Sebelum Dan
Sesudah Diberikan Latihan Slow Deep Breathing Pada Berbagai Waktu
Pengukuran Di Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang
Mei – Juni 2017.
No. Perbedaan Tekanan Darah
Diastolik z Df
Sig. (2-tailed)
1. Latihan Ke I -1,414 29 .161
2. Latihan Ke II -1,732 29 .083
3. Latihan Ke III -3,900 29 .000
4. Latihan Ke IV -4,899 29 .000
Berdasarkan tabel 4.10 di atas diketahui bahwa perbedaan tekanan darah
diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan
slow deep breathing didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti H0 diterima artinya tidak
ada perbedaan yang signifikan tekanan dia/stolik pasien stroke dengan hipertensi
sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I dan II,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 161 | 231
sedangkan pada latihan ke III dan IV didapatkan nilai p keduanya < 0,05 yang
berarti H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan tekanan diastolik pasien
stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep
breathing pada latihan ke III dan IV.
Pembahasan
Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke Sebelum Diberikan
Latihan Slow Deep Breathing
Berdasarkan hasil penelitian terhadap tekanan darah pada pasien stroke
dengan hipertensi sebelum diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I
dari 30 responden memiliki rata-rata tekanan darah sistolik 176,67 mmHg dan
diastoliknya adalah 84,67 mmHg, pada latihan ke II rata-rata tekanan darah
sistoliknya 170 mmHg dan diastoliknya adalah 83,33 mmHg, pada latihan ke III
rata-rata tekanan darah sistoliknya 162,67 mmHg dan diastoliknya adalah 81,33
mmHg, dan pada latihan ke IV rata-rata tekanan darah sistoliknya 153 mmHg dan
diastoliknya adalah 75,33 mmHg.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih tingginya tekanan
darah pada pasien stroke sebelum dilakukan latihan slow deep breathing. Serta hasil
penelitian mengenai karakteristik responden menunjukkan bahwa hasil rata-rata
umur responden adalah 57,53 tahun, lebih dari setengah responden berjenis kelamin
perempuan, yaitu sejumlah 19 responden (63,33%), sebagian besar responden
mengalami stress, yaitu sejumlah 23 responden (76,67%), dan setengah responden
tidak memiliki riwayat merokok, yaitu sejumlah 19 responden (63,33%).
Normalnya tekanan darah lansia (> 46 tahun) yaitu, 140 mmHg untuk
tekanan sistol dan 80 mmHg untuk tekanan diastol. Tekanan darah lansia meningkat
sehubungan dengan penurunan elastisitas pembuluh darah. Faktor resiko dapat
meningkat setelah menopause, wanita cenderung memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi daripada pria pada usia tersebut. Selain itu, stres juga bisa mengakibatkan
stimulasi simpatik yang meningkatkan frekuensi darah, curah jantung dan tahanan
vaskuler perifer. Efek stimulasi simpatik tersebut dapat meningkatkan tekanan
darah (Perry & Potter, 2005:796 – 798).
Hal ini juga didukung oleh pendapat yang disampaikan Hamarno (2010:80 –
87) bahwa jenis kelamin mempengaruhi tekanan darah. Hal ini disebabkan karena
perempuan pada usia pertengahan sudah memasuki masa menopause, dimana
terjadi penurunan hormon estrogen. Penurunan hormon estrogen berdampak
terhadap peningkatan aktivitas dari sistem renin angiotensin dan sistem saraf
simpatik. Adanya aktivitas dari kedua hormon ini akan menyebabkan perubahan
dalam mengatur vasokontriksi dan dilatasi dari pembuluh darah sehingga tekanan
darah menjadi meningkat. Selain itu, stress juga dapat meningkatkan tekanan darah
karena ketika sedang mengalami kecemasan maka akan merangsang aktivasi sistem
saraf simpatik. Aktivasi ini menyebabkan frekuensi nadi, curah jantung dan tahanan
vaskuler perifer meningkat sehingga mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 162 | 231
darah yang dapat memicu terjadinya stroke dengan hipertensi. Namun, Merokok
tidak berhubungan terhadap perkembangan tekanan darah, namun nikotin dapat
meningkatkan jumlah nadi dan menghasilkan vasokonstriksi perifer yang mana
tekanan darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok.
Tekanan darah tinggi pada umur > 46 tahun terjadi karena adanya perubahan
pada sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan
darah. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti berpendapat bahwa
kejadian stroke dengan darah tinggi bisa disebabkan oleh faktor umur, jenis
kelamin, stress, dan konsumsi rokok. Walaupun di atas dijelaskan bahwa rokok
dapat meningkatkan tekanan darah, namun dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa setengah responden tidak memiliki riwayat merokok. Hal ini mungkin
disebabkan karena jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan,
dimana budaya di masyarakat Indonesia perempuan tidak merokok.
Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke Sesudah Diberikan
Latihan Slow Deep Breathing
Berdasarkan hasil penelitian terhadap tekanan darah pada pasien stroke
dengan hipertensi sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I
dari 30 responden memiliki rata-rata tekanan darah sistolik 176 mmHg dan
diastoliknya adalah 84 mmHg, pada latihan ke II tekanan darah sistoliknya 169
mmHg dan diastoliknya adalah 82,33 mmHg, pada latihan ke III tekanan darah
sistolik 156,33 mmHg dan diastoliknya adalah 75,67 mmHg, dan pada latihan ke IV
rata-rata tekanan darah sistoliknya 141,67 mmHg dan diastoliknya adalah 75,33
mmHg.
Selain itu, sesudah dilakukan latihan slow deep breathing juga menunjukkan
bahwa adanya penurunan rata-rata tekanan darah pada berbagai waktu pengukuran.
Sesudah latihan ke I rata-rata tekanan sistoliknya menurun 0,67 mmHg dan tekanan
diastoliknya menurun 0,67 mmHg, sesudah latihan ke II rata-rata tekanan
sistoliknya menurun 1 mmHg dan tekanan diastoliknya menurun 1 mmHg, sesudah
latihan ke III rata-rata tekanan sistoliknya menurun 6,34 mmHg dan tekanan
diastoliknya menurun 5,66 mmHg, dan sesudah latihan ke IV rata-rata tekanan
sistoliknya menurun 11,33 mmHg dan tekanan diastoliknya menurun 8 mmHg.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tekanan darah pada
pasien stroke sesudah dilakukan latihan slow deep breathing mengalami penurunan.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh (Izzo,
2008:138) dalam (Hartanti, 2016) bahwa terapi relaksasi nafas dalam dapat
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 163 | 231
menurunkan tekanan darah baik itu tekanan sistolik maupun diastolik. Kerja dari
terapi ini dapat memberikan pereganggan kardiopulmonari. Hayens (2006) dikutip
oleh Tahu (2015) juga menyatakan bahwa tekanan sistolik salah satunya
dipengaruhi oleh psikologis. Sehingga dengan relaksasi akan mendapatkan
ketenangan dan tekanan sistolik bisa menurun. Selain itu, tekanan darah sistolik
juga dipengaruhi sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal sehingga dengan
relaksasi yang berfokus pada pengaturan pernapasan akan terjadi penurunan nadi
dan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan tekanan diastolik berhubungan
dengan sirkulasi koroner. Jika sirkulasi koroner membaik maka tekanan diastolik
pun akan menurun.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaukan oleh Hartanti
(2016) menunjukkan bahwa terdapat penurunan tekanan darah responden setelah
diberikan terapi relaksasi nafas dalam yaitu tekanan darah sistolik sebesar 18,46
mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,54 mmHg. Hasil penelitian lain dari
(Dahlan & Hendari, 2011) pelaksanaan tehnik relaksasi bernapas dalam terbukti
efektif untuk menurunkan tekanan darah dengan penurunan rata-rata tekanan sistol
sebanyak 6,00 mmHg dan penurunan rata-rata tekanan diastol sebanyak 3,13
mmHg.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti berpendapat bahwa
latihan slow deep breathing bisa menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
secara bertahap dan berkesinambungan. Dikarenakan, apabila responden dapat
melakuka latihan slow deep breathing dengan benar, maka akan memberikan efek
yang baik dalam penurunan tekanan darah tinggi pada pasien stroke.
Analisis Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke
Sebelum Dan Sesudah Diberikan Latihan Slow Deep Breathing.
Hasil penelitian ini sebelumnya diuji menggunakan uji normalitas Shapiro-
Wilk pada SPSS, didapatkan nilai p < 0,05 yang menunjukkan distribusi data
penelitian adalah tidak normal. Maka, hasil penelitian sebelum dan sesudah
diberikan latihan slow deep breathing ini diuji statistik dengan uji wilcoxon signed
ranks test. Dari uji tersebut di dapatkan hasil bahwa setelah latihan ke I dan II
belum menunjukkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik secara signifikan,
namun setelah latihan ke III dan IV menunjukkan ada penurunan tekanan sistolik
dan diastolik secara signifikan. Setelah latihan ke III dan ke IV, baik pada tekanan
sistolik maupun diastolik tersebut didapatkan nilai p-value semuanya yaitu 0,000
yang berarti p-value < 0,05, H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan pada
tekanan sistolik dan diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah
diberikan latihan slow deep breathing.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa latihan slow
deep breathing tidak akan langsung menurunkan tekanan darah, karena hal itu akan
mempengaruhi homeostatis tubuh (Muttaqin, 2012) latihan relaksasi ini dapat
memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 164 | 231
fisik dan emosi, ketegangan otot, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain
(Potter & Perry, 2006:1528).
Latihan slow deep breathing ini dapat mengaktivkan sensitifitas impuls
aferen dari baroreseptor dan mengeluarkan neurotransmitter endorphin sehingga
mengstimulasi respons saraf otonom yang berpengaruh dalam menurunkan aktivitas
saraf simpatis melalui peningkatan central inhibitory rythms yang akan berdampak
pada penurunan output simpatis. Penurunan output simpatis akan menyebabkan
penurunan pelepasan epinefrin yang ditangkap oleh reseptor alfa sehingga
mempengaruhi otot polos pembuluh darah. Otot polos vaskular mengalami
vasodilatasi yang akan menurunkan tahanan perifer dan menyebabkan penurunan
tekanan darah. Selanjutnya meningkatkan aktivitas sistem nervus vagus
(parasimpatis) dan melepaskan hormon asetilkolin yang meningkatkan
permeabilitas ion kalium di SA node sehingga menurunkan denyutan SA Node,
penurunan transmisi impuls akan menurunkan denyut jantung, stroke volume, curah
jantung, dan menyebabkan penurunan tekanan darah dalam 24 jam pengukuran
(Tahu, 2015; Fatimah & Setiawan, 2009; Joseph et al., 2006 yang dikutip oleh
Yanti, Mahardika, & Prapti, 2016; Setyaningrum, 2015).
Dari hasil penelitian di atas maka peneliti berpendapat bahwa ketika
melakukan latihan slow deep breathing tidak langsung menurunkan tekanan darah
pada saat itu juga. Namun, apabila latihan slow deep breathing dilakukan dengan
keadaan tenang, rilek dan konsentrasi penuh selama 15 menit dan dilakukan secara
berkesinambungan dalam 24 jam akan memberikan dampak positif bagi penurunan
tekanan darah pasien stroke dengan hipertensi
4. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat penurunan tekanan darah sistolik sesudah diberikan latihan slow
deep breathing pada pasien stroke dengan hipertensi di Ruang Flamboyan
RSUD Lawang.
2. Terdapat penurunan tekanan darah diastolik sesudah diberikan latihan slow
deep breathing pada pasien stroke dengan hipertensi di Ruang Flamboyan
RSUD Lawang.
3. Ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik dan diastolik pasien stroke
dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing
pada latihan ke III dan IV.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anggara, F. H. D. & Prayitno, N. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Tekanan Darah Di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat
Tahun 2012. [Online]. Diunduh dari:
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 165 | 231
http://lp3m.thamrin.ac.id./upload/artikel%204.%20vol%205%20no%201_fe
by.pdf [Diakses pada tanggal 5 Desember 2016].
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Dahlan, D. A & Hendari, R. 2011. Pengaruh Teknik Relaksasi Bernapas Dalam
Terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi Di
Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Bima. [Online].
Diunduh dari:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0ah
UKEwi8u9fo3lHVAhVBgl8KHZqXDnwQFggeMAA&url=http%3A%2F52Fpolte
kkes-mataram.ac.id%2Fcp%Dahlan-PENGARUH –TEKNIK-RELAKSASI-
BERNAPAS-DALAM.doc [Diakses pada tanggal 7 Juli 2017].
Goldszmidt, A. J. & Caplan, L. R. 2011. Esensial Stroke. Jakarta: EGC.
Hamarno, R. 2010. Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Klien Hipertensi Primer Di Kota Malang.
[Online]. Diunduh dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285357-
T%20Rudi%20Harmono.pdf [Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016].
Hartanti, R. D. 2016. Terapi Relaksas Napas Dalam Menurunkan Tekanan
Darah Pasien Hipertensi. Diunduh dari: http:www.journal. stikesmuh-
pkj.ac.id/journal/index.php/jik/article/view/67[Diakses tanggal 7 Juli 2017].
Irfan, M. 2012. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jayanti, A, A. 2013.Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian stroke Di Sulawesi
Selatan Tahun 2013. [Online]. Diunduh dari: http://www .googlw
.co.id/url?q=http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitsream/123456789/28883
/1/ALFICA%2520AGUS%2520JAYANTI-FKIK.pdf&sa+U&ved
=oahUKEwj D44ewgK3SAhWlvl8KHcQjew QFggQM&usg= FQjCNEX
uuvGs4s TChj083yaAtlN0_NyrKg [Diakses pada tanggal 25 Februari 2017].
Kowalak,J.P.Welsh,W, & Mayer, B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Manalu, T. A. 2015. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah
Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien
Hipertensi Primer Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli
Serdang Lubuk Pakam. [Online]. Diunduh dari: http://elearning.
medistra.ac.id/pluginfile.php/582/mod_resource/content/7/VOL%204%20N
O%203%20(Sep-nop%202015).pdf [Diakses pada tanggal 28 September
2016].
McPhee, S. J & Ganong, W. F. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Ed. 5. Jakarta: EGC.
Mohamed, L. A. E., Hanafy, N. F., & El-Naby, A. G. A. 2013. Effect Of Slow Deep
Breathing Exercise On Blood Pressure And Heart Rate Among Newly
Diagnosed Patients With Essential Hypertension. [Online]. Diunduh dari:
www.iiste.org/Journals/index.php/JEP/article/download/10788/11065
[Diakses pada tanggal 28 September 2016].
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 166 | 231
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Revisi Cetakan
Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Oman, K. S., McLain, J. K., & Scheetz, L. J. 2008. Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Pinzon, R. & Asanti, L. 2010. Awas Stroke! Pengertia, Tada, Gejala, Tindakan,
Peraatan, dan Pencegahan. [Online]. Dari: https://books.google
.co.id/books?hl=id&lr=&idTrFtdwJ8qwkc&oi=fnd&pg=Pa2&dq=prevalensi
+stroke+dengan+hipertensi&ots=yjohhlv5N&sig=4dZKHFIJ9GHwhWI3yu
b_H39DOqg&redir_esc=y#v=onepage&q=prevalensi20%stroke%20dengan
%20hipertensi&f=false [Diakses pada tanggal 25 Februari 2017].
Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4. Vol. 1. Jakarta: EGC.
Potter, P. A. & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4. Vol. 2. Jakarta: EGC.
Price, S. A. & Wilson, L. M, 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed. 6. Jakarta: EGC.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Rl. 2014. Infodatin - Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan Rl Hipertensi. Jakarta Selatan:
KEMENKES RI. [Online]. Diunduh dari:
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin-
hipertensi.pdf [Diakses pada tanggal 25 September 2016].
Rendy, M. C. & Margareth, T. H. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah:
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Ed. 2.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiawan. 2006. Prevalensi Dan Determina Hipertensi Di Pulau Jawa Tahun
2004. [Online]. Diunduh dari:
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/kesmas/article/view/312 [Diakses pada tanggal
23 Februari 2017].
Setyaningrum, N. 2015. Efektifitas Progressive Muscle Relaxation Dan Slow
Deep Breathing Terhadap Penurunan Tekanan Darah, Peningkatan
Kualitas Tidur Dan Penurunan Tingkat Stres Pada Penderita
Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Gamping 2 Yogyakarta.
[Online]. Didapatkan dari: http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t61303.pdf
[Diakses pada tanggal 22 September 2016].
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Tahu, S. K. 2015. Efektifitas Kombinasi Terapi Musik Dan Slow Deep
Breathing Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien
Hipertensi [Online]. Diunduh dari:
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 167 | 231
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t43212.pdf [Diakses pada tanggal 22
September 2016].
Tarwoto. 2011. Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas
Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. [Online].
Diunduh dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280088-
T%20%20TARWANRO.pdf [Diakses pada tanggal 22 September 2016].
Wylie, L. 2011. Esensial Anatomi Dan Fisiologi Dalam Asuhan Maternitas.
Jakarta: EGC.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 168 | 231
PERBEDAAN PEMAKAIAN SELIMUT TERHADAP
PERUBAHAN HEMODINAMIK PASIEN POST OP SEKSIO
SESAREA DENGAN ANESTESI SPINAL SUBARACHNOID DI
RUANG RECOVERY ROOM RSUD MARDI WALUYO BLITAR
Susi Milwati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang
Jl. Jl. Besar Ijen No. 77 C Malang
email: [email protected]
Abstrak
Penggunaan selimut pada pasien yang menggunakan anestesi spinal dapat meningkatkan suhu
sehingga terjadinya peningkatan metabolisme karenanya dianjurkan pada pasien pasca operasi
dengan segala jenis anestesi agar status hemodinamik stabil. Tujuan dari penelitian ini memberikan
selimut tebal 1 lapis dan selimut tebal 2 lapis masing-masing selama 60 menit dan diidentifikasi ada
atau tidak perubahan hemodinamik serta menganalisis perubahan hemodinamik khususnya pada
nadi dan suhu. Desain penelitian ini adalah quasi eksperiment, metodenya posttest only design
dengan sampel 20 responden. Teknik sampling adalah quota sampling. Penelitian dilaksanakan
tanggal 1 – 18 Juni 2016 di recovery room. Hasil selimut tebal 1 lapis menunjukkan nadi stabil
setelah 50 menit dan suhu normal setelah 60 menit. Selimut tebal 2 lapis menunjukkan nadi stabil
setelah 20 menit dan suhu setelah 50 menit. Hasil uji statistik t-test dua sampel bebas ada perbedaan
signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis pada subvariabel nadi sedangkan tidak ada
perbedaan signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis pada subvariabel suhu.
Rekomendasi peneliti selanjutnya dapat melakukan tindakan pencegahan terjadinya kejadian
menggigil dengan memberikan selimut 2 lapis yang dihangatkan terlebih dahulu untuk diberikan
pada tubuh pasien.
Kata Kunci : Selimut, Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea, Anestesi Spinal Subarachnoid
1. PENDAHULUAN
Proses persalinan dengan metode seksio sesarea memiliki resiko yang dapat
membahayakan ibu dan janin, salah satu resikonya adalah perubahan hemodinamik
dalam tubuh ibu sebagai pengaruh penggunaan anestesi dalam operasi seksio
sesarea (Puryana, M.D, 2013).
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam seksio
sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung
dengan sikap mental pasien. Anestesi spinal aman untuk janin, namun selalu
kemungkinan bahwa tekanan darah pasien menurun dan menimbulkan efek
samping yang berbahaya bagi ibu dan janin (Hardiyanto I.T, 2006). Anestesi spinal
merupakan teknik anestesi regional yaitu anestesi spinal subarachnoid dan anestesi
spinal epidural. Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menghilangkan sensasi
motorik dengan jalan memasukkan obat anestesi ke ruang subarachnoid. Pada
tindakan anestesi spinal terjadi blok pada system simpatis sehingga terjadi
vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke
perifer, hal ini akan menyebabkan hipotermi (Fauzi, N.A dkk, 2015).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 169 | 231
Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau selimut
dan obat-obatan untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Pada pasien seksio
sesarea selama berada di RR biasanya perawat memberikan selimut dan mengukur
status hemodinamik. Penggunaan selimut sangat diajurkan pada pasien-pasien pasca
operasi dengan menggunakan segala jenis anestesi yang bertujuan menstabilkan
status hemodinamik pasien. Menurut Mary Frances D. Pate (2005) dalam Puryana
M.D, (2013), memberikan selimut pada pasien yang menggigil akan meningkatkan
suhu tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme dan peningkatan
fungsi sirkulasi serta pernapasan klien. Menggigil yang hebat dapat menyebabkan
kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah jantung (Iswandi, A., 2014).
Dampak dari menggigil meliputi meningkatkan metabolise, peningkatan
aktivitas otot yang memproduksi panas sampai 600% diatas tingkat normal,
meningktakan 2-3 kali lipat konsumsi oksigen dan produksi CO2 (Brunner &
Sudarth, 2002). Menggigil juga dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea
(Dobson, 1994 dalam Sugianto, F.J. 2013) dan juga dapat menimbulkan
peningkatan curah jantung, denyut nadi dan tekanan darah, penurunan saturasi
oksigen darah, asidosis karena metabolisme anaerobic dari otot yang kekurangan
oksigen dan ketidaknyamanan pasien (Aitkenhead, 2001 dalam Sugianto, F.J.
2013).
Post Anesthetic Shivering (PAS) atau kejadian menggigil pasca anestesi
dilaporkan sekitar 33-56,7% pada pasien yang menjalani anestesi spinal. Menurut
Goodman (2006) anestesi spinal dapat mengganggu thermoregulatori kontrol
dengan menggigil terkait yang dilaporkan hingga 64% dari kasus. Pada proses
pemulihan fisiologis tubuh memerlukan suhu yang hangat untuk mengurangi
perubahan status hemodinamik. Menurut Potter (2005) suhu lingkungan yang teralu
dingin atau terlalu panas dapat mempengaruhi status hemodinamik, oleh karena itu
perawat memberikan selimut pada pasien pasca operasi dengan anestesi spinal dan
mengukur hemodinamiknya di ruang RR karena anestesi tersebut juga dapat
memperberat status hemodinamik pasien.
Monitoring hemodinamik merupakan suatu metode pengukuran terhadap
system kardiovaskuler secara invasive dan non invasive. Pemantauan dapat
memberikan informasi mengenai jumlah darah dalam tubuh, keadaan pembuluh
darah dan kemampuan jantung dalam memompa darah. Pemantauan hemodinamik
bertujuan untuk mengenali dan mengevaluasi perubahan-perubahan fisiologis
hemodinamik pada saat yang tepat, agar segera dilakukan terapi koreksi. Parameter
yang digunakan untuk menilai pemantauan hemodinamik yang ada di bed site
monitor dan berlangsung secara continue diantaranya adalah pengukuran tanda-
tanda vital seperti, monitoring suhu tubuh, tekanan darah, respirasi, saturasi oksigen
(Zakiyah S., 2013). Salah satu cara menstabilkan hemodinamik pasien pasca bedah
dengan menggunakan selimut tebal.
Hasil dari penelitian Sugianto, F.J. 2013 Pengaruh Pemberian Selimut
Elektrik Suhu 380C Selama TUR-P dengan SAB terhadap Kejadian Menggigil
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 170 | 231
Pasca Bedah di RS Aisyiyah Bojonegoro bahwa proses kehilangan panas tubuh
terjadi pada jam pertama saat operasi, hal tersebut bisa menyebabkan penderita
hipotermi. Menghangatkan penderita selama pembedahan dapat meningkatkan suhu
>96,80F (360C) sehingga dapat membantu pemulihan dengan mengurangi faktor
resiko dan menurunkan angka komplikasi.
Hasil penelitian oleh Minarsih R., (2013) menunjukkan bahwa pada saat
sebelum menggunakan selimut hingga 30 menit pasca perlakuan (pemakaian
selimut) semua responden (100%) mengalami gejala hipotermi. Pada 60 menit
pasca intervensi hampir seluruh responden (92,3%) tetapi mengalami hipotermia,
dan hanya 7,7% responden yang suhu tubuhnya menjadi normal. Gejala hipotermi
pada pasien pasca bedah memang lazim terjadi, karena pengaruh suhu lingkungan
kamar operasi yang dingin, atau efek dari insisi operasi yang luas sehingga kulit
tidak dapat mempertahankan keluarnya panas tubuh.
Setelah dilakukan studi pendahuluan diketahui jumlah pasien operasi SCTP
(seksio sesarea transperitoneal) di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar
selama 3 bulan terakhir adalah 60 pasien dengan suhu Hipotermi 35-360C. Peneliti
mengambil sampel penelitian 20 orang pasien dengan pembagian 10 pasien untuk
kelompok selimut I dan 10 pasien untuk kelompok selimut II. Jadi jumlah
keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 20 pasien.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah
ada perbedaan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbedaan pemakaian
selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan
anestesi spinal subarachnoid di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan pemakaian selimut terhadap
perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan anestesi spinal
subarachnoid di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah Pre Eksperimental Design atau
disebut juga Quasi Eksperiment. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah
posttest only design. Dalam rancangan ini perlakuan atau intervensi telah dilakukan
(X), kemudian dilakukan pengukuran (observasi) atau posttest (Y). Rancangan ini
sering disebut The One Shot Case Study.
Tabel Desain Penelitian :
Subjek Perlakuan Post test
X1 10 responden Y1
X2 10 responden Y2
Penelitian ini meneliti tentang Perbedaan Pemakaian 1 Lapis Selimut dan 2
Lapis Selimut terhadap Perubahan Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 171 | 231
dengan Anestesi Spinal Subarachnoid di Ruang Recovery Room RSUD Mardi
Waluyo Blitar.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pasca operasi seksio
sesarea dengan anestesi spinal di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar
selama 3 bulan terakhir adalah 60 pasien dengan suhu Hipotermi 35-360C. Peneliti
mengambil sampel penelitian 20 orang pasien dengan pembagian 10 pasien untuk
kelompok selimut I dan 10 pasien untuk kelompok selimut II. Dengan kriteria
inklusi yaitu pasien pasca operasi seksio sesarea setelah berada di ruang recovery
room, pasien dengan anestesi SAB jenis obat Bupivakain, dan bersedia menjadi
responden, sedangkan untuk kriteria eksklusinya yaitu pasien seksio sesarea dengan
gangguan jantung/kelaianan darah dan pasien dengan anestesi General Anestesi.
Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah Quota Sampling.
Setelah dilakukan studi pendahuluan diketahui jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 20 pasien post operasi SCTP (seksio sesarea transperitoneal) di ruang
recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian selimut tebal, sedangkan
variabel terikat dalam penelitian ini adalah hemodinamik (frekuensi nadi dan suhu
Lokasi dan waktu penelitian dilaksanakan di ruang recovery room RSUD
Mardi Waluyo Blitar pada bulan 1 – 18 Juni 2016.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan desain perlakuan berbeda yaitu
pada kelompok selimut I perlakuan akan diberi intervensi berupa penggunaan 1
selimut tebal dengan cara diselimutkan mulai leher sampai kaki tertutup selama 60
menit, sedangkan pada kelompok selimut II perlakuan akan diberi intervensi berupa
penggunaan 2 selimut tebal dengan cara diselimutkan mulai leher sampai kaki
tertutup selama 60 menit akan sama-sama dilakukan pengukuran frekuensi nadi dan
suhu tubuh lalu kedua hasil akhirnya dibandingkan. Pengumpulan data adalah
dengan menggunakan teknik observasi, dengan menggunakan instrumen lembar
observasi dan SOP (Standart Operasional Prosedur).
Data yang terkumpul akan diolah & dianalisis secara deskriptif dan analitik
Analisis deskriptif : dilakukan setelah data terkumpul pd kelompok selimut 1 lapis
dan selimut 2 lapis setelah dilakukan pemberian selimut tebal dari hasil pengukuran
nadi dan suhu lalu hasilnya dibandingkan, selanjutnya kedua data dianalisa.
Analisis Analitik :Sebelum dilakukan analisa, data akan diperiksa kelengkapannya,
dan selanjutnya dilakukan koding serta tabulasi. Uji yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah T-Test untuk 2 Sampel Bebas. T-Test untuk 2 Sampel Bebas
yaitu uji statistic parametric yang digunakan untuk menguji perbedaan dari data
independen (sampel bebas). Uji statistic T-Test untuk 2 Sampel Bebas ini akan
digunakan untuk menganalisa perbandingan data post-test pada kelompok selimut 1
lapis dan kelompok selimut 2 lapis.
Kedua uji parametric tersebut akan diolah dengan menggunakan program SPSS
for Windows dengan tingkat siginifikansi α = 0,05. Pada T-Test untuk 2 Sampel
Bebas (Independent Sample Test) jika nilai signifikansi < α maka Ho ditolak yang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 172 | 231
dalam hal ini ada perbedaan pemberian selimut tebal terhadap perubahan
hemodinamik..
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Data Umum Responden
1. Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Medis
Distribusi frekuensi responden berdasarkan diagnosa medis di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016. paling banyak diagnosa medis responden pada penelitian
ini G1 P0000 Ab000 sebanyak 35% (7 orang).
2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di RSUD Mardi Waluyo
Blitar tahun 2016 didapatkan bahwa responden dalam penelitian paling berumur 35
tahun sebanyak 3 orang.
3. Distribusi Responden Berdasarkan Indikasi SC
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Indikasi SC di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016. didapatkan bahwa Indikasi SC responden paling banyak
dalam penelitian ini KPD sebanyak 30% (6 orang) & letak sungsang 30% (6 orang).
4. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat SC
Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat SC di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016 didapatkan riwayat SC dalam penelitian ini sebanyak
70% (14 orang) responden tidak mempunyai riwayat SC
5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016. responden terbanyak dalam penelitian ini mempunyai
riwayat pendidikan SMA sebanyak 65% (13 orang).
6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016. didapatkan bahwa paling banyak pekerjaan responden
dalam penelitian ini sebagai IRT sebanyak 50% (10 orang).
7. Distribusi Responden Berdasarkan Tekanan Darah
Distribusi frekuensi responden berdasarkan rata-rata perubahan tekanan darah
pada selimut 1 lapis dan 2 lapis selama 60 menit tekanan darah di RSUD Mardi
Waluyo Blitar tahun 2016 diperoleh rata-rata perubahan tekanan darah responden
dengan perlakuan selimut 1 lapis mencapai normal mulai 10 menit ke-5 yaitu
114/71 mmHg, untuk selimut 2 lapis menunjukkan perubahan yang stabil mulai 10
menit ke-2 yaitu 102/66 mmHg.
8. Distribusi Responden Berdasarkan MAP
Distribusi frekuensi responden berdasarkan rata-rata perubahan MAP pada
selimut 1 lapis dan 2 lapis selama 60 menit tekanan darah di RSUD Mardi Waluyo
Blitar tahun 2016 diketahui bahwa rata-rata perubahan MAP pada selimut 1 lapis
selama 60 menit termasuk kategori normal mulai 10 menit ke-4 yaitu 82.97 mmHg,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 173 | 231
untuk selimut 2 lapis menunjukkan mencapai perubahan yang stabil mulai 10 menit
ke-2 yaitu 77.97 mmHg.
b. Data Khusus
Data khusus menyajikan tentang perubahan hemodinamik (Nadi dan
Suhu) pasien post op seksio sesarea dengan selimut 1 lapis selama 60 menit dan
selimut 2 lapis selama 60 menit di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo
Blitar.
1. Nadi pada selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit
Berdasarkan hasil identifikasi perubahan nadi pada selimut 1 lapis dan
selimut 2 lapis selama 60 menit pada pasien post op seksio sesarea di ruang
recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar didapatkan hasil berikut:
Diketahui bahwa rata-rata perubahan nadi pada selimut 1 lapis selama 60
menit termasuk kategori normal
pada 10 menit ke-1 yaitu 69x/menit,
pada 10 menit ke-2 yaitu 71x/menit,
pada 10 menit ke-3 yaitu 74x/menit,
pada 10 menit ke-4 yaitu 74x/menit,
pada 10 menit ke-5 yaitu 75x/menit,
pada 10 menit ke-6 yaitu 76x/menit.
Sedangkan rata-rata perubahan nadi pada selimut 2 lapis selama 60 menit
termasuk kategori normal
pada 10 menit ke-1 yaitu 76x/menit,
pada 10 menit ke-2 yaitu 78x/menit,
pada 10 menit ke-3 yaitu 79x/menit,
pada 10 menit ke-4 yaitu 82x/menit,
pada 10 menit ke-5 yaitu 83x/menit,
pada 10 menit ke-6 yaitu 83x/menit.
2. Suhu pada selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit
Berdasarkan hasil identifikasi perubahan suhu pada selimut 1 lapisdan
selimut 2 lapis selama 60 menit pada pasien post op seksio sesarea di ruang
recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar sebagai berikut:
Diketahui bahwa rata-rata perubahan suhu pada selimut 1 lapis selama 60
menit yaitu
Pada 10 menit ke-1 yaitu 35.80C,
pada 10 menit ke-2 yaitu 35.90C,
pada 10 menit ke-3 yaitu 360C,
pada 10 menit ke-4 yaitu 36.20C,
pada 10 menit ke-5 yaitu 36.40C,
pada 10 menit ke-6 yaitu 36.50C.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 174 | 231
Suhu pada selimut 1 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-6 yaitu
36.50C.
Sedangkan rata-rata perubahan suhu pada selimut 2 lapis selama 60 menit
yaitu
Pada 10 menit ke-1 yaitu 35.70C,
pada 10 menit ke-2 yaitu 35.90C,
pada 10 menit ke-3 yaitu 36.20C,
pada 10 menit ke-4 yaitu 36.30C,
pada 10 menit ke-5 yaitu 36.50C,
pada 10 menit ke-6 yaitu 36.70C.
Suhu pada selimut 2 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-5 yaitu 36.50C.
3. Nilai uji beda pemakaian selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit
pada nadi dan suhu
Berdasarkan hasil dari uji statistik T-Test Independent Samples Test, nilai
Sig. (2-tailed) untuk sub variabel nadi (0.001). Karena Sig. (2-tailed) p <0,05 maka
H1 diterima. Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut
1 lapis dan 2 lapis terhadap perubahan hemodinamik untuk sub variabel nadi.
Sedangkan nilai Sig. (2-tailed) untuk sub variabel suhu (0.670). Karena Sig. (2-
tailed) p >0,05 maka H1 ditolak tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis terhadap perubahan hemodinamik untuk sub
variabel suhu.
Pembahasan
1. Perubahan nadi dan suhu dengan selimut tebal 1 lapis selama 60 menit
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan nadi selimut 1 lapis
mencapai perubahan yang stabil mulai 10 menit ke-5. Menurut Tanjung M.I, (2014)
bahwa Denyut nadi normal untuk orang dewasa adalah 60-100x/menit. Hal ini
sesuai dengan perubahan nadi pada 10 menit ke-5 yaitu 75x/menit untuk selimut 1
lapis. Tekanan nadi merupakan perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik.
Berkurangnya kelenturan seperti terjadi pada proses penuaan, menyebabkan
peningkatan nadi (Aninda R. 2014). Hal ini sesuai dengan data umum pasien yaitu
sebanyak 3 orang berumur 35 tahun.
Menurut Said dkk, (2009) bahwa menggigil dapat berdampak pada
perubahan hemodinamik yaitu terjadinya peningkatan denyut jantung dan
peningkatan tekanan darah. Dengan meningkatkan denyut jantung diharapkan dapat
meningkatkan laju metabolisme tubuh sehingga dapat meningkatkan panas tubuh
yang pada akhirnya akan berdampak pada kestabilan hemodinamik.
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan suhu pada selimut 1 lapis
selama 60 menit yaitu Suhu pada selimut 1 lapis mencapai normal pada 10 menit
ke-6 yaitu 36.50C.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 175 | 231
Pada anestesi spinal terjadi blok system syaraf simpatis sehingga terjadi
vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke
perifer, hal ini yang menyebabkan hipotermia. Penyebab terjadinya hipotermia pada
anestesi spinal yaitu redistribusi panas inti dari kompartemen sentral ke perifer,
hilangnya termoregulasi vasokonstriksi dibawah blok serta berubahnya nilai
ambang vasokonstriksi dan nilai ambang menggigil. Menurut Mary Frances D. Pate
(2005) dalam Puryana M.D, (2013), memberikan selimut pada pasien yang
menggigil akan meningkatkan suhu tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan
metabolisme dan peningkatan fungsi sirkulasi serta pernapasan klien
Pendapat penulis yaitu dengan pemberian selimut 1 lapis, panas didalam
tubuh diharapkan tidak hilang serta tubuh tidak terpapar udara dingin dari luar,
tubuh menggigil saat pengaruh anestesi tersebut akan menghilang dan dengan
menggigil tersebut akan meningkatkan suhu tubuh. Karena adanya redistribusi
panas inti dari kompartemen sentral ke perifer maka akan terjadi hipotermia untuk
meningkatkan temperature inti tubuh berupa menggigil.
2. Perubahan nadi dan suhu dengan selimut tebal 2 lapis selama 60 menit
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan nadi untuk selimut 2 lapis
menunjukkan perubahan yang stabil mulai 10 menit ke-2 yaitu 78x/menit. Pendapat
penulis yaitu dengan pemberian selimut akan terjadi peningkatan laju metabolisme
tubuh dan denyut jantung juga meningkat sehingga nadi akan berubah sebagai
defent mekanisme dari jantung. Hal ini terlihat pada perbedaan kedua selimut yaitu
selimut 2 lapis lebih cepat mencapai nilai stabil.
Menggigil juga dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea (Dobson,
1994 dalam Sugianto, F.J. 2013) dan juga dapat menimbulkan peningkatan curah
jantung, denyut nadi dan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen darah, asidosis
karena metabolisme anaerobic dari otot yang kekurangan oksigen dan
ketidaknyamanan pasien (Aitkenhead, 2001 dalam Sugianto, F.J. 2013).
Suhu pada selimut 2 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-5 yaitu
36.50C. Hal ini sesuai dengan teori Tanjung M.I, (2014) bahwa suhu dewasa normal
antara 36,5°C dan 37,5°C dan teori Martha & Patricia, (2001), yaitu selimut dengan
ketebalan 0,3 – 0,5 inchi dapat memberikan kehangatan pada permukaan kulit 36 0C
– 36,5 0C.
Tindakan penghangatan akan meningkatkan suhu tubuh rata-rata dengan
meningkatkan kandungan energi pada kompartemen suhu perifer tubuh. Untuk
mencegah hipotermia, maka keseimbangan bobot panas tubuh harus terjaga melalui
keseimbangan antara pengeluaran panas dan produksi, baik melalui proses
metabolisme tubuh sendiri atau sumber panas yang berasal dari lingkungan
eksternal (HarahapA M,, dkk , 2014).
Pendapat penulis yaitu dengan pemberian selimut, panas dalam tubuh
diharapkan tidak hilang dan tidak terpapar udara dingin dari luar, tubuh menggigil
saat pengaruh anestesi tersebut akan menghilang dan dengan menggigil tersebut
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 176 | 231
akan meningkatkan suhu tubuh. Hal ini terlihat pada perbedaan kedua selimut yaitu
selimut 2 lapis lebih cepat mencapai nilai normal.
3. Menganalisis uji beda pemakaian selimut terhadap perubahan nadi dan
suhu
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di recovery room di RSUD
Mardi Waluyo Blitar dengan menggunakan uji statistik T-Test Independent Samples
Test menunjukkan bahwa nilai p = 0.670 (p >0,05) pada suhu artinya tidak ada
perbedaan signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien
post op seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid. Sedangkan pada nadi
menunjukkan bahwa nilai p = 0.001 (p <0,05) hal ini berarti ada perbedaan
signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op
seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid.
Hasil dari uji statistik T-Test Independent Samples Test menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien
post op seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid pada sub variabel suhu
dan nadi namun saat observasi terlihat perbedaan yang terjadi pada perubahan suhu
dan nadi. Hal ini dikarenakan perubahan nilai yang kecil tidak begitu berpengaruh
pada uji statistik sehingga hasilnya tidak ada perbedaan pemakaian selimut terhadap
perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan anestesi spinal
subarachnoid.
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian “Perbedaan Pemakaian Selimut Terhadap Perubahan
Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal
Subarachnoid Di Ruang Recovery Room RSUD Mardi Waluyo Blitar” yang telah
dilaksanakan pada tanggal 1 – 18 Juni 2016 didapatkan kesimpulan :
1. Hemodinamik pada pasien post op seksio yang diberikan selimut tebal 1 lapis
menunjukkan Nadi stabil setelah 50 menit dan Suhu normal setelah 60 menit
2. Hemodinamik pada pasien post op seksio yang diberikan selimut tebal 2 lapis
menunjukkan Nadi stabil setelah 20 menit dan Suhu setelah 50 menit.
3. Ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis
terhadap perubahan hemodinamik pada sub variabel nadi (0.001) sedangkan
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis
terhadap perubahan hemodinamik pada sub variabel suhu (0.670).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 177 | 231
5. DAFTAR PUSTAKA
Andriani, D. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Seksio Sesarea di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Dompu Tahun 2010. Universitas
Indonesia. Skripsi
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bhattacharya. 2003 (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf)
diakses tanggal 10 Desember 2015.
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Ed8, Vol 1,2,3.
Jakarta : EGC
Butterworth. 2004. (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf)
diakses tanggal 10 Desember 2015.
Covino et al. 1994. (http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile80868potonganS2-
2015-322170-chapter1.pdf) diakses tanggal 3 Nopember 2015
Cunningham & Gant. 2011. Dasar-dasar Ginekologi & Obstetri. Alih bahasa dr.
Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC
Fauzi, N.A dkk, 2015. Gambaran Kejadian Menggigil (Shivering) pada Pasien
dengan Tindakan Operasi yang Menggunakan Anestesi Spinal di RSUD
Karawang Periode Juni 2014. Prosiding Pendidikan Dokter Universitas
Islam Bandung. Journal
Gilman & Goodman. 2006. Dasar Farmakologi Terapi. Volume 1. Jakarta: EGC
Hardiyanto, I.T. 2006. Pengaruh Anestesi Spinal terhadap
Hemodinamik pada Penderita dengan Seksio Sesarea. Journal
Ibnu Fajar, dkk. 2009. Statistika untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
Iswandi, A. 2014. Perawatan Pasca Anestesi. Diakses tanggal 21 Nopember 2015
Martha & Patricia. 2001. Critical Care Nursing Of Infants and Children Second
Edition. W.B. Saunders Company : New York
Minarsih, R. 2013. Efektifitas Pemberian Elemen Penghangat Cairan Intravena
dalam Menurunkan Gejala Hipotermi Pasca Bedah. Perawat Rumah Sakit
Umum Daerah Kepanjen Kabupaten Malang. Journal
Morgan. 2006. (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf) diakses
tanggal 10 Desember 2015.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Novara, Tendi. 2009. Perbandingan Antara Laktat Hipertonik dan NaCl 0,9%
sebagai Cairan Pengganti Perdarahan pada Bedah Caesar: Kajian
terhadap Hemodinamik, dan Strong Ions Difference. Universitas
Diponegoro Semarang. Tesis.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Puryana, M.D. 2013. Bab II Tinjaun Pustaka Seksio Sesarea. diakses tanggal 21
Nopember 2015. Journal
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 178 | 231
Riezky, D.E. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat dengan Tindakan
Keperawatan pada Pasien Pasca Operasi dengan “General Aenesthesia” di
Ruang Pemulihan IBS RSD dr. Soebandi Jember. Universitas Jember.
Skripsi.
Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Sugianto, Farida Juanita. 2013. Pengaruh Pemberian Selimut Elektrik Suhu 380C
Selama TUR-P dengan SAB Terhadap Kejadian Menggigil Pasca Bedah di
RS Aisyiyah Bojonegoro. Journal
Syifa, Z. 2013. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level I Terhadap Resiko dekubitus
dan perubahan saturasi oksigen Pada pasien Kritis terpasang Ventilator
Diruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Peneltian keperawatan. Tesis.
Tampubolon, T.R.A. 2015. Profil Nyeri dan Perubahan Hemodinamik pada Pasien
Pasca Bedah Seksio Sesarea dengan Analgetik Petidin. Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi
Tanjung, MI. 2014. Bab II Tinjaun Pustaka Hemodinamik. Universitas Sumatera
Utara diakses tanggal 21 Nopember 2015. Journal
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 179 | 231
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PEMBERIAN
POSISI BEDAH DENGAN KETEPATAN PELAKSANAAN
STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) PEMBERIAN POSISI
BEDAH DI KAMAR OPERASI RUMAH SAKIT LAVALETTE
MALANG
Susi Milwati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang
Jl. Jl. Besar Ijen No. 77 C Malang
email: [email protected]
Abstrak
Pemberian posisi bedah secara tepat merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam pembedahan
sehingga diperlukan pengetahuan dan ketrampilan perawat perioperatif tentang pemberian posisi
bedah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan
ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette
Malang. Desain penelitian mengunakan metode korelasi dengan jumlah responden penelitian 17
orang. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk data pengetahuan dan observasi
chek-list untuk data ketepatan pelaksanaan SOP. Analisa bivariate menggunakan uji
spearmen.Penyajian hasil data dalam bentuk diagram, tabel dan narasi. Hasil pengetahuan
didapatkan 11 responden pengetahuan cukup. Hasil observasi didapatkan 15 reponden tidak tepat
untuk posisi bedah supine, 8 responden tidak tepat untuk posisi bedah litotomi,2 responden tepat
untuk posisi bedah lateral,2 responden tidak tepat untuk posisi bedah prone. Hasil uji stastistik
didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat dengan ketepatan
pelaksanaan SOP pemberian posisi bedahsupine dengan nilai P=0,270,tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi
bedahlitotomi dengan nilai P=-0,386,tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah Prone dengan nilai P=0,577.
Rekomendasi penelitian untuk Rumah Sakit Lavalette adalah agar mensosialisasikan, mengevaluasi
pelaksanaan SOPdan diadakan pelatihan pemberian posisi bedah bagi perawat kamar operasi.
Rekomendasi riset selanjutnya adalah dapat melakukan penelitian Hubungan Pengetahuan Perawat
Tentang Pemberian Posisi Bedah Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure
(SOP) Pemberian Posisi Bedah Di Rumah Sakit yang lain.
Kata Kunci: Pengetahuan, PelaksanaanStandard Operating Procedure (SOP)
1. PENDAHULUAN
Bedah merupakan salah satu bentuk terapi medis. Tindakan bedahadalah
ancaman potensial atau aktual kepada integritas orang, dapat membangkitkan reaksi
stres baik fisiologi maupun psikologis (Barbara C Long, 1996). Pembedahan
dilakukan terhadap berbagai bagian tubuh manusia. Hal ini mengharuskan tubuh
diletakkan dalam berbagai konfigurasi sehingga prosedur yang diperlukan dapat
dilakukan dengan akurat dan efisien. Pemberian posisi pada pasien operasi secara
tepat merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usatu pembedahan.
Menurut AORN (Assosiacion of Operating Room Nurse), bebas cidera yang
berkaitan dengan posisi adalah bagian dari hasil pembedahan yang diharapkan.
AORN Standard and Recommended Practicis (1994) menetapkan pemberian posisi
klien sebagai aktifitas keperawatan perioperatif dalam praktek keperawatan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 180 | 231
perioperatif. Adapun tujuan diberikan posisi bedah pada pasien adalah agar pasien
terbebas dari tekanan, gesekan dan geseran. ketiga hal tersebut merupakan gaya
eksternal yang dapat menimbulkan efek samping (Barbara J,2006).
Pada dasarnya prosedur operasi dilakukan lima posisi dasar dan
modifkasinya yaitu posisi supine, duduk, lateral, litotomi, prone. Kesalahan serius
pada saat pemberian posisi dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan atau
bahkan permanen . Posisi terlentang (supine), yang mungkin merupakan posisi
tersering bagi klien bedah, diperkirakan lebih sering menimbulkan ulkus
dibandingkan posisi lain (Foster et al., 1979).
Komplikasi dari posisi prone salah satunya pada mata. Pada beberapa tahun
terakhir, penyebab kehilangan penglihatan postoperatif yang paling sering
dilaporkan adalah ischemic Optik Neuropaty (ION). Selain mata komplikasi lain
posisi prone yaitu cidera syaraf pada pasien pediatri terjadi pada 1% dari semua
klaim pasien pediatrik. Cidera saraf berjumlah 16% dari seluruh klaim anestesi.
(http://rezaanestesi.blogspot.com/2013/04/anestesi) tanggal 1 april 2010. Diakses
tanggal 15 0ktober 2015.
Beberapa komlikasi posisi litotomi telah dilaporkan , termasuk rasa terbakar
pada jari, low back pain (14%) pada pasien postoperasi , rhabdomiolisis, dan
peningkatan kreatinin kinase akibat kompresi otot betis dan iskemia. Neuropati
persisten dilaporkan terjadi pada 1 populasi pada pasien-pasien bedah yang
teranastesi. Prosedur yang lama (lebih dari 4 jam) menunjukkan hubungan yang
definitif. Setiap jam posisi litotomi meningkatkan resiko neuropati motorik 100 kali.
40% neuropati sciatik yang diisolasi berhubungan dengan operasi yang
menggunakan posisi litotomi, selain itu juga neuropati femoral dilaporkan dan
diduga merupakan hasil dari abduksi berlebihan dari paha dengan rotasi eksternal
pada panggul sehingga menyebabkan iskemik pada nervus femoralis karena terlipat
pada ligamentum inguinal.(http://rezaanestesi.blogspot.com/2013/04/anestesi)
tanggal, 1 april 2010. Diakses tgl,15 oktober 2015.
Perawat perioperatif adalah manajer utama dalam pemberian posisi klien.
Diperlukan waktu dan pemikirian sebelum melakukan pemberian posisi, perawat
perioperatif harus mengetahui kemungkinan adanya masalah, sekalipun posisi klien
sederhana. Persoalan kunci dalam pemberian posisi klien bedah adalah pencegahan
cedera, terutama yang disebabkan oleh tekanan. Pencegahan mencakup pengenalan
potensi masalah dan kemudian perencanaan serta intervensi untuk memastikan
bahwa situasi masalah tidak terjadi (Barbara J,2006).
Dari studi pendahulan yang dilakukan pada bulan Desember 2015 di kamar
operasi Rumah Sakit lavalette, didapatkan data rata-rata jumlah operasi 210 per
bulan kasus tindakan pembedahan yang menggunakan posisi bedah terlentang
(supine) 187 pasien, posisi telungkup (prone) 2 pasien, posisi litotomi 15 pasien,
posisi menyamping (lateral) 6 pasien, posisi duduk tidak ada. Dari hasil wawancara
pada beberapa pasien postoperasi, pasien A herniotomy (posisi supine) 2 jam post
operasi pasien mengeluhkan tengkuknya terasa nyeri hal ini kemungkinan bantal
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 181 | 231
yang digunakan terlalu tinggi saat operasi sehingga kepala dan leher tidak ditopang
dalam satu garis. Pasien B haemorhoidectomy (posisi litotomi) post operasi 1 hari
mengatakan nyeri pada selakangan, karena kemungkinan juga ini dapat disebabkan
karena postur yang tidak alami atau abduksi yang berlebihan saat operasi. Pasien C
pyelolithotomy (posisi lateral) post operasi 1 hari mengatakan lengannya terasa
nyeri ini kemungkinan juga disebabkan karena lengan pada posisi tidak fisiologis
dan tidak mendapat topangan yang adekuat saat pembedahan. Demikian juga dari
hasil kuesioner 10 pertanyaan yang dibagikan pada 8 perawat kamar operasi
lavalette, didapatkan pada 5 dari 8 perawat dapat menjawab 6 pertanyaan benar
tentang posisi bedah ini kemungkinan karena kurangnya pengetahuan perawat
tentang pemberian posisi bedah dan hanya 3 dari 8 perawat dapat menjawab 9
pertanyaan dengan baik, dan tidak ada satupun perawat yang dapat menjawab benar
semua dari pertanyaan tentang pemberian posisi bedah.
Perawat perioperatif harus memiliki pengetahuan tentang ketrampilan
pemberian posisi, cara pencegahan cidera dan perlu mengkaji serta memikirkan
kembali berbagai prinsip, prosedur, dan dampak pemberian posisi klien bedah
dengan menggunakan proses keperawatan dalam perencanaan asuhan klien bedah.
Posisi bedah merupakan seni dan ilmu khusus dalam keperawatan perioperatif.
Dalam pemberian posisi bedah harus melakukan pemikiran rasional karena
pemberian posisi bedah merupakan suatu ilmu khusus dalam keperawatan
perioperatif ( Barbara J,2006).
Berdasarkan masalah tersebut diatas maka penting untuk dilakukan
penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah
dengan ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian
posisi bedah di kamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat
tentang pemberian posisi bedahdengan ketepatan pelaksanaanStandard Operating
Procedure (SOP) pemberian posisi bedah di kamar operasi Rumah Sakit lavalette
Malang
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah metode korelasi dengan
menggunakan pendekatanCross Sectional Study dimana peneliti mempelajari
hubungan antara variable pengetahuan dengan ketepatan pelaksanaan Standard
OperatingProcedure (SOP) pemberian posisi bedah pada waktu yang sama dengan
satu kali pengukuran.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat dikamar operasi Rumah
Sakit Lavalette Malang yang melakukan pemberian posisi bedah sebanyak 17
orang.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 182 | 231
Sampel dalam penelitian ini adalah semua perawat dikamar operasi Rumah
Sakit Lavalette Malang yang melakukan tindakan pemberian posisi bedah kecuali
kepala ruang kamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang sebanyak 17 orang.
Sampling
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan total sampling yaitu semua
perawat dikamar operasi Rumah Sakit lavalette Malang yang melakukan tindakan
pemberian posisi bedah sebanyak 17 orang.
Variabel Independen adalah pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah.
Variabel Dependent
Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2011). Variabel dependent adalah
ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi
bedah
Penelitian ini dilakukan dikamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
Pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2016.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner
untuk variabel pengetahuan dan lembar observasi chek-list untuk variabel ketepatan
pelaksanaan pemberian posisi bedah.
Pengumpulan data penelitian ini adalah dengan cara memberikan kuesioner
Multiple choice kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat.
Data ketepatan pelaksanaan Standard OperasionalProsedure (SOP) pemberian
posisi bedah dikumpulkan dengan cara melakukan observasi chek-list berpartisipan
dengan bantuan enumerator yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu dan melakukan
persamaan persepsi tentang pemberian posisi bedah dimana responden tersebut
tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diobservasi.Jumlah SOP pemberian posisi
bedah ada 4 yaitu SOP pemberian posisi bedah posisi bedah menyamping (Lateral),
dan SOP pemberian posisi bedah telungkup (Prone). Dari 4 SOP terdiri dari 16 poin
pelaksanaan yang dinilai. Namun peneliti hanya meneliti 2 ketepatan pelaksanan
SOP posisi bedah yaitu yang pertama ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi
bedah terlentang (Supine) dan yang kedua yaitu satu dari tiga SOP posisi bedah
yang lain. Satu responden akan diobservasi 2 kali selama penelitian yg pertama
peneliti mengobservasi ketepatan pelaksanaan SOP posisi bedah terlentang (supine)
dan yg kedua peneliti mengobservasi salah satu dari tiga ketepatan pelaksanan SOP
posisi bedah yang lain.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 183 | 231
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.2 Data Umum
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Gambar 4.1 Diagram karakteristik responden berdasarkan usia perawat di
Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang bulan Mei 2016
Berdasarkan gambar 4.1 diatas didapatkan responden terbanyak berusia 30-
36 tahun yaitu 8 orang (47%).
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Gambar 4.2 Diagram karakteristik responden berdasarkan pendidikan di
Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang bulan Mei 2016.
Berdasarkan gambar 4.2 diatas diketahui bahwa pendidikan responden
terbanyak adalah D III Keperawatan yaitu 12 orang (70%).
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja
Didapatkan karakteristik masa kerja responden terbanyak lebih dari 10 tahun
yaitu 9 orang (53%)
4. Karakteristik Responden Pernah Mengikuti Pelatihan Perioperatif
Didapatkan responden yang pernah mengikuti pelatihan perioperatif yaitu 11
orang (65%) mengikuti seminar perioperatif yaitu semua responden 17
orang (100%)
4.1.3 Data Khusus
1. Distribusi Pengetahuan Responden
Didapatkan tingkat pengetahuan responden tentang pengetahuan pemberian
posisi bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette baik 6 responden (35%)
dan pengetahuan cukup 11 responden (65%)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 184 | 231
2. Distribusi Ketepatan Pelaksanaan
Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah
a. Observasi ke 1 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
pemberian posisi bedah Supine
Didapatkan ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
pemberian posisi bedah Supine di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette tepat
2 responden (12%) dan tidak tepat 15 responden (88%).
b. Observasi ke 2 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
pemberian posisi bedah litotomi, lateral, prone.
Pada observasi ke 2 ini tiap responden di observasi ketepatan pelaksanaan
Standard Operating Procedure (SOP) dari salah satu 3 posisi bedah yang lain
yaitu posisi bedah litotomi, lateral, prone
1) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian
posisi bedah litotomi
Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating
Procedure (SOP) pemberian posisi bedah litotomi bahwa sebanyak 3
responden (27%) tepat dan 8 responden (73%) tidak tepat dari 11
responden yang melakukan pemberian posisi bedah supine.
2) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) posisi
bedah lateral
Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating
Procedure (SOP) pemberian posisi bedah lateral bahwa sebanyak 2
responden (100%) tepat, dari 2 responden yang melakukan pemberian
posisi bedah lateral.
3) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) posisi
bedah prone
Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating
Procedure (SOP) pemberian posisi bedah prone bahwa sebanyak 2
responden (50%) tepat dan 2 responden (50%) tidak tepat dari 4
responden.
3. Distribusi Silang Antara Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi
Bedah Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP tidak
tepat 6 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan SOP
tidak tepat 9 responden.
a. Tabulasi Silang Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP
Pemberian Posisi Bedah litotomi
Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP tidak
tepat 1 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan SOP
tidak tepat 7 responden.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 185 | 231
4.1.3.7 Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP Pemberian Posisi
Bedah lateral
Didapatkan responden pengetahuan cukup dengan ketepatan pelaksanaan
SOP tepat 2 responden.
4.1.3.7 Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP Pemberian Posisi
Bedah Prone
Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP
tidak tepat 2 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan
SOP tepat 1 responden.
4. Uji Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah
Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
a) Uji Hubungan Pengetahuan Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian
Posisi Bedah Supine Pada Observasi ke 1
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman, didapatkan
koefisiensi korelasi sebesar 0,270 dengan signifikansi sebesar 0,295. Nilai
signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari pengujian ini dapat
disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada Hubungan antara
pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan
pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine
b) Uji Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah
Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah lainya
(litotomi, lateral, prone) Pada Observasi ke 2
1. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah
Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah litotomi.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman,
didapatkan koefisiensi korelasi sebesar -0,386 dengan signifikansi
sebesar 0,241. Nilai signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari
pengujian ini dapat disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak
ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah
litotomi.
2. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah
Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah lateral.
Berdasarkan hasil analisis uji Spearman, tidak dapat diterapkan karena
jumlah responden yang melakukan pemberian posisi bedah lateral
hanya 2 orang disebabkan saat dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus
bedah yang menggunakan posisi bedah lateral.
3. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah
Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah prone.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 186 | 231
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman,
didapatkan koefisiensi korelasi sebesar 0,577 dengan signifikansi
sebesar 0,423. Nilai signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari
pengujian ini dapat disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak
ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah
prone.
Pembahasan
Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah
Sakit Lavalette Malang.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa pengetahuan perawat
pemberian posisi bedah dikategorikan baik 6 responden dan cukup 11 responden,
hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain masa kerja, pendidikan,
pelatihan dan seminar-seminar yang pernah diikuti.
Masa kerja responden yang mayoritas lebih dari 10 tahun dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang menjadi lebih baik, hal ini dikarenakan
seringnya responden melakukan tindakan yang berulang-ulang selama masa kerja.
Masa kerja yang lama memungkinkan juga responden belajar memperbaiki
pengetahuanya dari pengalamanya di masa lalu. Hal ini sangat sesuai dengan teori
Notoatmodjo (2010) yang mengungkapkan bahwa pengalaman merupakan sumber
pengetahuan, dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam pemecahan masalah yang dihadapi pada masa lalu.
Mayoritas responden berpendidika D-III Keperawatan, hal ini dapat
berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang dimana pada saat duduk dibangku
pendidikan keperawatan responden telah mendapat ilmu mengenei pemberian posisi
bedah. Pendidikan formal merupakan wadah dalam menerima ilmu atau menerima
pengetahuan dimana pembelajaran di pendidikan tinggi di dapatkan pengetahuan
secara terperinci dan aplikatif. Menurut teori Nursalam (2003) mengungkapkan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang itu, maka semakin mudah ia
untuk memperoleh informasi.
Hampir semua responden telah mengikuti pelatihan perioperatif dan semua
responden telah mengikuti seminar-seminar perioperatif sehingga hal ini
menjadikan pengetahuan responden tentang pemberian posisi bedah menjadi baik.
Dengan mengikuti pelatihan dan seminar-seminar merupakan sarana untuk
menambah pengetahuan dan ketrampilan. Karena dalam pelatiahan tidak hanya
diberikan pengetahuan secara kognitif akan tetapi akan dibekali dengan
pengetahuan secara aplikatif. Sehingga responden yang telah mendapatkan
pelatihan dan mengikuti seminar-seminar akan mempunyai pengetahuan yang baik.
Dari kuesioner yang dikerjakan oleh 17 responden dengan 20 soal tentang
pengetahuan pemberian posisi bedah supine, litotomi, prone,lateral didapatkan
hanya 2 responden yang dapat menjawab benar soal materi tentang titik-titik
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 187 | 231
tonjolan tulang yang harus diperhatikan, 4 responden yang dapat menjawab benar
soal materi tentang tiga gaya penyebab utama masalah dan cedera akibat kesalahan
pemberian posisi bedah, 5 responden yang dapat menjawab benar soal materi
modifikasi dari posisi bedah terlentang (supine), 6 responden yang dapat menjawab
benar soal materi standart bantalan yang digunakan dalam pemberian posisi bedah,
9 responden yang dapat menjawab benar soal materi factor-faktor yang
dipertimbangkan dalam pemberian posisi bedah, dan tidak ada satupun responden
yang dapat menjawab semua soal dengan benar.
Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure(SOP) Pemberian Posisi
Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang
1. Observasi ke 1 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
pemberian posisi bedah Supine
Berdasarkan data penelitian didapatkan hasil pada observasi yang ke 1
ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine 2 responden tepat dan
15 responden tidak tepat. Hal ini disebabkan oleh banyak factor diantaranya belum
adanya sosialisasi dan evaluasi dari pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah
sebagai panduan dalam melakukan tindakan. Factor kebiasaan yang menganggap
bahwa posisi bedah supine posisi bedah yang mudah dilakukan tanpa mengikuti
SOP selama ini tidak menimbulkan komplikasi. Pendidikan, pelatiahan dan seminar
yang sudah lama membuat responden dalam melakukan tindakan hanya
berdasarkan paradigma responden, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kuat
bahwa suatu tahapan yang dilakukan suatu kebenaran. Pada ketepatan pelaksanaan
pemberian posisi bedah supine banyak responden tidak melakukan secara berurutan
dengan benar, persiapan alat yang tidak lengkap, penggunaan sarana dan prasarana
yang tidak tepat dan kurangnya prasarana yang mendukung pelaksanaan pemberian
posisi bedah membuat hasil ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah
supnie tidak tepat. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam (2003) yang
mengemukakan bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar
manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku
orang atau kelompok.
2. Observasi ke 2 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)
pemberian posisi bedah Litotomi, Lateral, Prone
a) a). Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian
Posisi Bedah Litotomi.
Dari ketiga posisi bedah litotomi, lateral, prone, posisi bedah litotomi lebih
sering dilakukan oleh responden dikarenakan jumlah operasi yang menggunakan
posisi bedah litotomi lebih banyak setelah posisi bedah supine di Kamar Operasi
Rumah Sakit Lavalette Malang. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian
ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 188 | 231
bedah litotomi didapatkan sebanyak 3 responden tepat dan 8 responden tidak tepat
dari 11 responden yang melakukan pemberian posisi bedah litotomi. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya sosialisasi SOP sehingga dalam
melakukan pemberian posisi bedah berdasarkan kebiasaan sehari-hari. Penggunaan
sarana dan prasarana yang tidak tepat juga salah satu factor tidak tepatnya
pemberian posisi bedah litotomi. Faktor kebiasaan yang menganggap bahwa posisi
bedah litotomi merupaka posisi bedah yang mudah dilakukan tanpa mengikuti SOP
selama ini tidak menimbulkan komplikasi. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam
(2003) yang mengemukakan bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang
ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan
dan prilaku orang atau kelompok.
b) Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian
Posisi Bedah Lateral.
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan
Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah lateral didapatkan
sebanyak 2 responden tepat dari 2 responden yang melakukan posisi bedah lateral.
Hal ini disebabkan karena responden menganggap operasi yang menggunakan
posisi bedah lateral waktunya cukup lama sehingga pasien harus ditempatkan posisi
yang senyaman mungkin. Sarana dan prasarana posisi bedah lateral yang digunakan
sudah sesuai dengan SOP. Namun untuk penelitian ketepatan pasisi bedah Lateral
ini tidak dapat dianalisis dengan menggunakan uji spearman dikarenakan jumlah
responden yang melakukan posisi bedah lateral terlalu sedikit yaitu hanya 2
responden.
c) Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian
Posisi Bedah Prone.
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan
Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah prone didapatkan
sebanyak 2 responden tepat dan 2 responden tidak tepat dari 4 responden yang
melakukan pemberian posisi bedah prone. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu kurangnya sosialisasi SOP sehingga dalam melakukan pemberian
posisi bedah berdasarkan kebiasaan sehari-hari. Penggunaan sarana dan prasarana
yang tidak sesuai dengan yang diperlukan pemberian posisi bedah prone. Faktor
kebiasaan yang dilakukan tanpa mengikuti SOP selama ini tidak menimbulkan
komplikasi. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam (2003) yang mengemukakan
bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku orang atau
kelompok.
Hubungan Antara Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan
SOP Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 189 | 231
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman didapatkan:
1) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian
posisi bedah Supine bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada Hubungan antara
pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan
pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine.
2) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian
posisi bedah litotomi bahwa H1 = ditolak yang artinya tidak ada hubungan antara
pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan
pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah litotomi.
3) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian
posisi bedah lateral uji Spearman tidak dapat diterapkan karena jumlah
responden yang melakukan pemberian posisi bedah lateral hanya 2 orang
disebabkan saat dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus bedah yang
menggunakan posisi bedah lateral.
Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian
posisi bedah prone bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada hubungan antara
pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan
pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah prone.
4. KESIMPULAN
1. Pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah yang mempunyai kreteria
baik sejumlah 6 responden (35%) dan yang cukup sejumlah 11responden (65%)
2. Dari hasil observasi didapatkan:
a. Hasil observasi pertama ketepatan pelaksanaan Standard Operating
Procedure (SOP)pemberian posisi bedah Supine yang tepat 2 responden
(12%) dan yang tidak tepat 15 responden (88%)
b. Hasil observasi kedua ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure
(SOP)pemberian posisi bedah lainya (litotomi, lateral, prone)
1) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure
(SOP)pemberian posisi bedah litotomi didapatkan sebanyak 3 responden
(27%) tepatdan 8 responden (73%) tidak tepat dari 11 responden
2) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure
(SOP)pemberian posisi bedah lateral dari 2 responden didapatkan sebanyak 2
responden (100%) tepat.
3) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure
(SOP)pemberian posisi bedah prone dari 4 responden didapatkan sebanyak 2
responden (50%) tepat dan 2 responden (50%) tidak tepat
3. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah Dengan
Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)Pemberian Posisi
Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 190 | 231
a) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine
dengan nilaiP= 0,271.
b) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah litotomi
dengan nilai P=-0,386
c) Tidak dapat diterapkan ujiSpearmen karena jumlah responden yang
melakukan pemberian posisi bedah lateral hanya 2 orang disebabkan saat
dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus bedah yang menggunakan posisi
bedah lateral.
d) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi
bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah prone
dengan nilai P=0,577
5. DAFTAR PUSTAKA
Ali, Z. 2001. Dasar-dasar Keperawatan Profesionali. Jakarta: Widya Medika.
Andisa, Reza.2010. Anestesi dan Posisi Pasien.
(http://rezaanestesi.blog.spot.co.id/2013/04/anestesi) diakses tanggal 15
Oktober 2015
Alimul, Azis. 2008. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba
Medika.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
Jakarta: Rineka Cipta.
DepKes RI.2002. Standart dan Standar Operating Procedure (SOP). 6b-STADAR
dan SOP(revby Was Feb 02).doc,diakses 20 november 2015.
Gruendemann, Barbara J. 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif. Jakarta:
EGC.
KARS, 2000. Panduan Penyusunan Dokumen Akreditasi. DepKes RI.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba medika.
Potter et al. 2006.Fundamental keperawatan Konsep,Proses dan Praktik Volume 1.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzane C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC
Sugiono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.Sugianto, Farida
Juanita. 2013. Pengaruh Pemberian Selimut Elektrik Suhu 380C Selama
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 191 | 231
TUR-P dengan SAB Terhadap Kejadian Menggigil Pasca Bedah di RS
Aisyiyah Bojonegoro. Journal
Syifa, Z. 2013. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level I Terhadap Resiko dekubitus
dan perubahan saturasi oksigen Pada pasien Kritis terpasang Ventilator
Diruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Peneltian keperawatan. Tesis.
Tampubolon, T.R.A. 2015. Profil Nyeri dan Perubahan Hemodinamik pada Pasien
Pasca Bedah Seksio Sesarea dengan Analgetik Petidin. Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi
Tanjung, MI. 2014. Bab II Tinjaun Pustaka Hemodinamik. Universitas Sumatera
Utara diakses tanggal 21 Nopember 2015. Journal
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 192 | 231
PELAYANAN KERABAT DALAM PEMBERDAYAAN
LANSIA POTENSIAL SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN
KEBUTUHAN KESEHATAN
Agus Setyo Utomo1, Rafika Husnul Khotimah2
, Tri Nataliswati3
1, 2, 3 Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang
Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang
email: [email protected]
Abstrak
Proyeksi jumlah penduduk dunia dan lansia dari tahun ketahun nampak adanya kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk. Seringkali masyarakat menganggap kondisi seperti ini sebagai
beban keluarga. Maka pendayagunaan lansia perlu dilakukan dengan upaya meningkatkan
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga. Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengidentifikasi pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial dalam pemenuhan
kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah kerabat yang
memiliki lansia umur 60 tahun ke atas, Besar sampel yang memenuhi kriteria sebesar 31
responden, dengan teknik pengambilan sampling purposive. Berdasarkan penelitian diperoleh data
bahwa 39% pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial dalam pemenuhan kebutuhan
kesehatan cukup baik dimana terdapat responnden tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga
(52%), tidak aktif memperhatikan perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan
kecukupan antara aktivitas dan istirahat lansia (55%). Dengan hasil yang demikian di harapkan
kerabat memberikan dukungan kepada lansia berupa pemenuhan kebutuhan kesehatan dengan
lebih baik lagi khususnya keaktifan pengaturan jadwal olah raga, perhatian progres kesehatan
lansia dan kesiembangan istirahat dan aktifitas.
Kata Kunci: pemberdayaan, lansia, potensial
1. PENDAHULUAN
Proyeksi jumlah penduduk dunia dan lansia tahun 2013, 2050 dan 2100
nampak adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dunia dan lansia dari
tahun ketahun yakni jumlah penduduk dunia pada tahun 2013 sebanyak 7,2%, tahun
2050 sebanyak 9,6% dan pada tahun 2100 sebanyak 10,9%. Sedangkan untuk
jumlah lansia di negara berkembang pada tahun 2013 sebanyak 0,554%, tahun 2050
sebanyak 1,6%, dan pada tahun 2100 sebanyak 2,5% (InfoDatin, 2014). Sedangkan
lanjut usia di Indonesia, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 diperkirakan
sekitar 15,3 juta (7,4%) dari jumlah penduduk, dan pada tahun 2005 jumlah ini di
perkirakan meningkat menjadi ± 18,3 juta (8,5%). Pada tahun 2005-2010 jumlah
lanjut usia akan sama dengan jumlah anak balita yaitu sekitar 19,3 juta jiwa (± 9%)
dari jumlah penduduk. Bahkan pada tahun 2020-2025 Indonesia akan menduduki
peringkat negara dengan struktur dan jumlah penduduk lanjut usia setelah RRC,
India, dan Amerika Serikat dengan umur harapan hidup di atas 70 tahun (Nugroho,
2008: 2).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 193 | 231
Seiring dengan peningkatan jumlah lansia maka akan diikuti pula dengan
peningkatan masalah-masalah akibat penuaan khususnya masalah kesehatan.
Keluhan kesehatan yang menyertai lansia seringkali dianggap oleh masyarakat
sebagai beban keluarga. Maka pendayagunaan lansia perlu dilakukan dengan upaya
meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sendiri. Peran
kerabat dalam pemberdayaan lansia berupa pemberian dukungan sosial, moral dan
material sangat di perlukan.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan pada 10 kerabat lansia di RW X Desa
Sumber Porong Kecamatan Lawang pada tanggal 15 dan 16 Desember 2015
didapatkan (60%) responden mengatakan tidak mempunyai waktu dalam
menanyakan keluhan atau kondisi kesehatan lansia, 70% responden membiarkan
lansia datang ke posyandu lansia secara sendirian, dan 60% responden tidak
mengingatkan lansia dalam melakukan olah raga. Permasalahan tersebut dapat
berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan kesehatan bagi lansia sehingga akan diikuti
dengan peningkatan masalah-masalah kesehatan lansia.
Peran kerabat merupakan bagian penting dan perlu diberikan motivasi dalam
membangun pemberdaayaan lansia, dengan melibatkan kerabat secara penuh mulai
dari identitas masalah kesehatan dan menyusun rencana penanggulangannya
sehingga kerabat dapat menjadi subjek dalam upaya mewujudkan lansia yang
mandiri. Penelitian ini dapat memberi kontribusi sebagai dasar bagi masyarakat
dalam meningkatkan kesehatan lansia melalui upaya pemberdayaan lansia.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan
mendiskripsikan peran kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial di RW X
Desa Sumber Porong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh kerabat yang memiliki lansia potensial sejumlah 41
responden. Sampel dalam penilitan ini adalah sebagian kerabat yang memiliki
lansia yang memberdayakan potensi lansia yang telah memenuhi kriteria inklusi
sejumlah 31 orang dengan teknik purposive sampling. Variabel dalam penelitian ini
adalah peran kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial. Pengambilan data
penelitian dilakukan pada tanggal 21-26 Maret 2016 dengan menggunakan
angket/kuesioner sebagai instrumen. Melalui intrumen tersebut diperoleh data
kemudian dilakukan perhitungan skor dimana pertanyaan positif (+), pemberian
skor 1, jika responden menjawab “ya” dan skor 0 jika responden menjawab “tidak”.
Sedangkan pertanyaan negatif (-), pemberian skor 0, jika responden menjawab
“ya” dan skor 1, jika responden menjawab “tidak”. Penelitian ini dilakukan dengan
mempertimbangkan etika penelitian meliputi informed consent, anomity dan
confidentiality.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 194 | 231
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
a. Pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia dalam pemenuhan kebutuhan
kesehatan.
Tabel 1 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelayanan berupa dukungan
pemenuhan kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong
Kecamatan Lawang Kabupaten Malang tahun 2016
NO Kategori Frekuensi Prosentase
1 Baik 8 26
2 Cukup baik 12 39
3 Kurang baik 8 26
4 Tidak baik 3 9
Jumlah 31 100
Berdasarkan Tabel 1 diketahui responden berdasarkan pelayanan berupa
dukungan pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian besar cukup sebesar 39%.
Tabel 2 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan kegiatan pemenuhan
kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong Kecamatan
Lawang Kabupaten Malang tahun 2016.
No Pernyataan Ya Tidak
1 Memenuhi kebutuhan makan, minum dan
memastikan lansia mengkonsumsi makanan yang
tersedia.
23
(74%)
8
(26%)
2 Mengingatkan jadwal kegiatan olah raga. 15
(48%)
16
(52%)
3 Secara aktif memperhatikan perkembangan
kesehatan lansia.
9
(29%)
22
(71%)
4 Melakukan tindak lanjut bila diperlukan dalam
penanganan masalah kesehatan yang dialami lansia.
27
(87%)
4
(13%)
5 Keluarga memperhatikan kecukupan antara
aktivitas dan istirahat lansia.
14
(45%)
17
(55%)
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa terdapat kegiatan responden yang
dirasakan kurang dalam memenuhi kebutuhan kesehatan lansia diantaranya tidak
mengingatkan jadwal kegiatan olah raga (52%), tidak aktif memperhatikan
perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan kecukupan antara
aktivitas dan istirahat lansia (55%).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 195 | 231
Pembahasan
Pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelayanan responden dalam
pemberdayaan lansia sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian
besar cukup baik (39%). Dengan kata lain masih terdapat kekurangan diantaranya
tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga (52%), tidak aktif memperhatikan
perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan kecukupan antara
aktivitas dan istirahat lansia (55%).
Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan, adanya gangguan saraf
panca-indra, timbul kebutaan dan ketulian, gangguan gizi akibat kehilangan jabatan,
rangkaian kehilangan yaitu hilangnya hubungan dengan teman dan famili dan
hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik merupakan perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri (Nugroho, 2008). Hal ini menimbulkan masalah
kesehatan yang tentunya memerlukan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan
bagi orang perlu, apalagi bagi orang-orang yang mempunyai kebutuhan pelayanan
kesehatan secara mendesak seperti lanjut usia. Pelayanan kesehatan terhadap lansia
dalam rumah seperti menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan rumah,
khususnya kamar tempat istirahat lansia, mengatur menu sehari-hari sesuai yang
dibutuhkan dan segera mengambil tindakan apabila lanjut usia mengalami
gangguan kesehatan (Argyo Demartoto, 2007).
Dengan meluangkan waktu dalam menciptakan kebersamaan dan mengatur
pola makan serta mempertahankan aktivitas untuk kesehatan dan terlebih kegiatan
yang menjadi hobinya, seperti berkebun dan jalan-jalan pagi. Departemen
Kesehatan mencanangkan tujuan Program Kesehatan Lanjut Usia adalah
meningkatkan derajad kesehatan usia lanjut agar tetap sehat, mandiri dan berdaya
guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun
masyarakat (Partini S.Siti, 2011:14). Pekerjaan atau pendapatan juga berpengaruh
terhadap tingkat kesehatan seseorang, karena biaya yang terlalu mahal, maka
banyak masyarakat yang tidak menerima pelayanan ini. Selain itu juga bergantung
pada lokasi tempat tinggal (pedesaan, daerah pinggiran dan kota), status asuransi
dan individu yang mapan (Sumijatun, 2006 : 24).
Menurut peneliti dukungan kesehatan tidak hanya memperhatikan keaadaan
fisik lansia, tidak hanya memeriksakan kesehatan lansia ketika lansia sakit, tetapi
bisa juga memperhatikan kesehatan lansia dengan memperhatikan kesehatan lansia
dengan memperhatikan atau sering menanyakan keadaan lansia sebelum lansia
sakit, mengatur pola makan lansia, memberikan perhatian dengan memantau
ketepatan waktu lansia untuk makan, jangan membiarkan lansia telat makan,
memperhatikan pola istirahat lansia. Sebagian besar keluarga melakukan tindak
lanjut penanganan kebutuhan kesehatan yang di alami lansia dengan memeriksakan
ke puskesmas atau pelayanan kesehatan terdekat tetapi dalam memberikan
dukungan dengan memperhatikan perkembangan kesehatan lansia dengan sering
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 196 | 231
menanyakan keluhan atau kondisi lansia (keluarga aktif bertanya sebelum lansia
sakit) dukungan yang diberikan masih kurang baik. Itu berarti kegiatan dalam
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan (promotif) dan kegiatan yang mencegah terhadap suatu masalah
kesehatan atau mencegah (preventif) masih kurang.
4. KESIMPULAN
Pelayanan kerabat berupa pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian besar
cukup baik 39% dimana responden tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga
(52%), tidak aktif memperhatikan perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak
memperhatikan kecukupan antara aktivitas dan istirahat lansia (55%).
5. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
PT RINEKA CIPTA.
Demartotp, Argyo. 2007. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia. Jawa Tengah.
Fatimah, SKp. 2010. Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan Gerontik. Jakarta : Trans Info Media
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta : Salemba Medika.
Hurlock, B.Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Jurnal Universitas Sumatra Utara. 2009
Lisdianti, Linda. 2015. Lansia Potensial Berdayaguna
Maryam, R.Siti. 2010. Asuhan Keperwatan Lansia. Jakarta: TIM.
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nugroho, Wahjudi. 2004. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta : EGC
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Partini S.Siti. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Gadjah Mada University Press : IKAPI
RI, Kementrian Kesehatan. 2014. Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan.
Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumijatun, dkk. 2006. Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta : EGC
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2013. Kamus
Besar Bahasa Indonesia . Cetakan ke-5 Jakarta: Balai Pustaka
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 197 | 231
HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DINI DENGAN
PENINGKATAN BERAT BADAN PADA BAYI BBLR
Hurun Ain
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang /Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang
Jl. A. Yani Lawang Malang
email: [email protected]
Abstrak
Asupan nutrisi adalah jumlah nutriens yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa kebutuhan
sebagian besar kelompok (95%) terpenuhi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
pemberian asupan nutrisi dini terhadap peningkatan berat badan pada bayi BBLR di RSUD
“Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. Desain penelitian menggunakan post test only control
design, disini terdapat dua kelompok yaitu kelompok perlakuan asupan nutrisi dini dan kelompok
kontrol asupan nutrisi parenteral partial. Responden adalah BBLR yang lahir di RSUD
“Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten sesuai kriteria inklusi. Jumlah sampel adalah 15 responden
kelompok kontrol dan 15 responden kelompok perlakuan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada kelompok kontrol, terdapat 3 responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat
badan, 2 responden mengalami penurunan sebesar 50 gram, 7 responden mengalami penurunan
sebesar 100 gram, 2 responden mengalami penurunan sebanyak 150 gram, dan 1 responden
mengalami penurunan sebanyak 500 gram, sedangkan pada kelompok perlakuan, terdapat 5
responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 6 responden mengalami
peningkatan sebesar 50 gram, 2 responden mengalami penurunan sebesar 50 gram, 1 responden
mengalami penurunan sebanyak 100 gram, dan 1 responden mengalami penurunan 200 gram. Hasil
uji statistik Independent T’test didapatkan p hitung = 0,009, karena p < 0,05 hal ini berarti terdapat
pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan berat badan bayi BBLR. Peneliti
menyarankan kepada orang tua dan peneliti selanjutnya untuk memberikan ASI sesegera mungkin
pada bayi terutama pada bayi BBLR.
Kata Kunci : Asupan Nutrisi, Berat Badan, BBLR
1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan, perkembangan dan maturasi tubuh manusia terjadi paling
cepat pada awal masa bayi. Sebagai konsekuensi, selama masa ini terutama pada
bayi prematur mengalami defisiensi nutrisi apabila jumlah dan kualitas nutrisi yang
diberikan tidak adekuat. Morbiditas dan mortalitas bayi berat lahir rendah (BBLR)
sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi. Semakin muda umur kehamilan,
semakin tinggi resiko bayi untuk meninggal maupun mengalami berbagai
komplikasi akibat prematuritasnya maupun gangguan perkembangan neurologisnya
(Indarso, 2007)
Kebutuhan bayi untuk pertumbuhan yang cepat dan pemeliharaan harian
harus disesuaikan dengan tingkat kematangan anatomi dan fisiologi. Koordinasi
mekanisme mengisap dan menelan belum sepenuhnya baik pada usia kehamilan 36
minggu atau 37 minggu. Reflek mengisap dan menelan pada bayi matur sudah
berkembang tetapi masih lambat dan tidak efektif (Surasmi, A., Handayani, S &
Kusuma, HN. 2003).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 198 | 231
Bayi prematur dilahirkan dengan cadangan glikogen hati yang terbatas,
sehingga sangat rentan terhadap terjadinya hipoglikemia dibanding bayi cukup
bulan. Pengenalan minum secara dini pada bayi prematur dan BBLR telah terbukti
mencegah malnutrisi, hipoglikemia, meningkatkan angka kemampuan hidup, dan
menurunkan morbiditas jangka panjang. Pemberian nutrisi yang optimal merupakan
hal penting pada manajemen bayi prematur dan berat lahir sangat rendah. Bayi
prematur mempunyai resiko mendapat dehidrasi dan hipoglikemia (Indarso F,2007).
Menurut data survei demografi dan kesehatan indonesia thn 2007 (SDKI
2007), angka kematian neonatal di indonesia sebesar 19 kematian/1000 kelahiran
hidup. Angka kematian bayi sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup dan angka
kematian balita sebesar 44 kematian/1000 kelahiran hidup. Proporsi penyebab
kematian bayi baru lahir umur 0-6 hari menurut Riskesdas 2007 adalah 37% karena
gangguan pernafasan, 34% prematuritas, 12% karena sepsis, 7% hipotermi, 6%
kelainan darah/ikterus, 3% postmatur dan 1% karena kelainan kongenital (Awi
Muliadi,www.infodokterku.com diakses tanggal 7/11/2011).
AKBA (Angka Kematian Balita) di Jawa Timur 35,09/1000 KH (BPS
2007), angka ini lebih tinggi dari angka nasional yaitu 34 per 1000 KH, berdasarkan
data BPS angka kematian bayi di Jawa Timur tahun 2009 adalah 28,2 per 1000
kelahiran hidup, dibandingkan dengan angka nasional masih lebih tinggi yaitu 25,7
per 1000 kelahiran hidup dan masih jauh dari target MDG’s yaitu 19 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2015, di Mojokerto jumlah kematian bayi pada tahun
2009 adalah 15 bayi dengan penyebab kematian bayi BBLR 41,39%, Asfiksia
19%, Tetanus Neonatorum 0,70%, infeksi 4,92%, trauma lahir 4,59%, kelainan
bawaan 12, 79% dan penyebab lainnya 16,61% (Dinkes Jatim,
http//dinkesjatim.go.id diakses tanggal 1/11/2011).
Tujuan perawatan bayi baru lahir setelah proses persalinan selesai adalah
mencukupi makanan postnatal demi menjamin kelangsungan pertumbuhan dan
mengganti jaringan yang hilang untuk percepatan tumbuh. Masalah yang timbul
adalah pada hari pertama dimana gangguan seperti distress nafas,
hiperbilirubinemia atau yang lain, membutuhkan nutrisi yang maksimal, padahal
sebaliknya bayi kecil tersebut masih mengalami intoleransi makanan karena
imaturitas fungsi pencernaan, sehingga kebutuhan nutrisi masih kurang (Indarso
F,2007).
Penanganan bayi berat lahir rendah salah satunya adalah dengan
pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada bayi dengan berat lahir rendah
belum sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan dengan hati-
hati. Penimbangan berat badan harus dilakukan secara ketat. Karena peningkatan
berat badan merupakan salah satu status gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan
daya tahan tubuh (Syafrudin., & Hamidah. 2009).
Memberikan dukungan nutrisi yang cukup untuk bayi dengan masalah
kesehatan merupakan suatu tantangan. Dukungan nutrisi dapat dicapai secara
enteral, parenteral atau kombinasi keduanya. Jika aman dan dapat ditoleransi,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 199 | 231
pemberian asupan secara enteral merupakan cara pemberian nutrisi yang alami dan
dipilih (R.I., Depkes. 2008).
Bayi prematur memerlukan nutrisi selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari juga untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan perkembangan. Menurut Yu.
Victor YH dan Hans Monintja 91997 : hlm.187-193) pemberian nutrisi yang
dianjurkan adalah kalori 140-150 kal/kg BB/hari, karbohidrat 8-22 g/kg Bb/hari,
protein 3-4 g/kg Bb/hari, lemak 4-9 g/kg Bb/hari, air untuk bayi kurang bulan yang
sehat dapat menerima cairan 150-200 cc/kg Bb/hari. Selain nutrien tersebut, bayi
juga membutuhkan nutrien lain dan vitamin.
Prinsip utama pemberian makan bayi adalah sedikit demi sedikit secara
perlahan dan hati-hati. Saat pemberian minum harus dicegah terjadinya kelelahan,
regurgitasi dan aspirasi (Surasmi, A., Handayani, S & Kusuma, HN. 2003).
Beberapa tahun terakhir, penelitian klinis yang mengevalusi efek pemberian
nutrisi enteral jumlah kecil untuk bayi prematur yang menerima nutrisi parenteral
dibandingkan bayi-bayi kontrol yang menerima hanya nutrisi parenteral. Bayi-bayi
yang menerima nutrisi enteral dini dalam jumlah kecil memiliki kadar hormone
intestinal (gastrin, gastric inhibitory peptide) dalam plasma yang lebih tinggi dan
menunjukkan toleransi minum yang baik, kenaikan berat badan yang lebih cepat,
waktu rawat inap yang lebih singkat, insiden kolestasis yang lebih rendah, serum
bilirubin yang lebih rendah, risiko untuk terjadinya penyakit metabolisme tulang
lebih rendah, dapat mempertahankan integritas mukosa gastrointestinal,
merangsang maturasi aktivitas motorik intestinal. Pada bayi prematur yang
mengalami asfiksia, minum secara enteral ditunda pemberiannya sampai 3 hari
setelah onset asfiksia, untuk menurunkan terjadinya NEC (Indarso F,2007).
Menurut Johnson,1994 Selama hari-hari pertama setelah lahir, bayi prematur
akan berhadapan dengan berbagai situasi sulit. Oleh karena itu asupan nutrisi perlu
mencukupi untuk mengganti kerusakan dan regenerasi jaringan. Selanjutnya karena
fungsi saluran cerna dan ginjal yang belum matang serta kebutuhan adaptasi
metabolik untuk menghadapi kehidupan ekstra uterin akan menyebabkan
terbatasnya penyedian nutrien untuk pemeliharaan jaringan dan pertumbuhan.
Selama beberapa hari setelah lahir bayi akan kehilangan berat badan terutama
terjadi karena sedikitnya asupan kalori dan kehilangan cairan ekstra selular.
Kebutuhan energi juga bertambah karena adanya pemecahan protein endogen di
otot skeletal dan sedikitnya cadangan lemak. Oleh karena itu asupan protein dan
kalori eksogen yang tidak adekuat dapat mengancam jiwa bayi kurang bulan yang
sakit (kuliahbidan.files.wordpress.com,akses tanggal 7/11/2011).
Cara pemberian minum melalui mulut atau oral mendorong bayi melakukan
aktifitas menghisap dan menelan atau menjalani siklus lapar dan kenyang. Bayi
yang mendapat minuman non oral untuk jangka waktu yang lama mungkin
menunjukkan penolakan terhadap pemberian makanan melalui oral dengan cara
menghindari putting, menggigit, tersedak, atau bahkan muntah. Bayi yang
diidentifikasi berisiko menunjukkan perilaku menolak harus diberi rangsangan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 200 | 231
mulut secara teratur untuk mengatasi masalah dan mencapai kemampuan untuk
menelan makanan lewat mulut. Keberhasilan kegiatan tersebut memerlukan waktu
dan perhatian dari perawat serta keterlibatan orang tua (Surasmi, A., Handayani, S
& Kusuma, HN. 2003).
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini post-test only control design dimana dalam penelitian
ini terdapat dua kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Kelompok perlakuan diberi intervensi berupa asupan nutrisi dini selama 5 hari
berturut-turut sedangkan kelompok kontrol tidak diberi intervensi. Selama dan
setelah diberi asupan nutrisi dini masing-masing kelompok diidentifikasi kenaikan
berat badannya dan hasilnya dibandingkan antara kedua kelompok tersebu
Sampel diambil dari populasi dengan teknik Purposive sampling
berdasarkan kriteria inklusi yaitu: 1) Bayi baru lahir hari pertama; 2) Lahir spontan
maupun seksio sesarea; 3) Berat badan awal antar 2500-1500 gram, 4) bayi dalam
keadaan sehat. Kriteria eksklusi 1) Gawat nafas dengan frekuensi nafas > 60 x/mnt
atau retraksi dada, 2) Hipotensi, perfusi buruk dan sepsis
Variabel independen dalam penelitian ini pemberian asupan nutrisi dini.
Variabel dependennya adalah peningkatan berat badan
Untuk analisis data independen pada variabel berat badan digunakan uji
Independent t-test test. Tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% (α=0,05)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
1) Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 3.1 Karakteristik subyek penelitian kelompok perlakuan berdasarkan usia dan
cara kelahiran
Karakteristik
subyek
penelitian
Banyaknya
Jumlah
(n=10)
Persentase
(%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 5 33
perempuan 10 67
Cara kelahiran
Spontan 7 47
SC 8 53
Tabel 3.1 menunjukkan sebagian besar sampel kelompok perlakuan (67%) berjenis
kelamin perempuan dan cara kelahiran sebagian besar (53%) secara sectio caesarea.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 201 | 231
Tabel 3.2 Karakteristik subyek penelitian kelompok Perlakuan berdasarkan jenis
asupan dan kategori BBLR Karakteristik
subyek
penelitian
Banyaknya
Jumlah
(n=10)
Persentase
(%)
Jenis asupan
ASI 15 100
Usia gestasi
KMK 15 100
Tabel 3.2 menunjukkan semua sampel kelompok perlakuan mendapatkan asupan
ASI saja (100%), sedangkan berdasarkan kategori BBLR semuanya termasuk KMK
(Kecil Masa Kehamilan)
Tabel 3.3 Karakteristik subyek penelitian kelompok kontrol berdasarkan usia dan
cara kelahiran Karakteristik
subyek
penelitian
Banyaknya
Jumlah
(n=10)
Persentase
(%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 7 47
perempuan 8 53
Cara kelahiran
Spontan 5 33
SC 10 67
Tabel 3.3 menunjukkan sebagian besar sampel kelompok kontrol (53%) berjenis
kelamis perempuan dan cara kelahiran sebagian besar (67%) secara sectio caesarea
Tabel 3.4 Karakteristik subyek penelitian kelompok Kontrol berdasarkan jenis
asupan dan kategori BBLR Karakteristik
subyek
penelitian
Banyaknya
Jumlah
(n=10)
Persentase
(%)
Jenis asupan
Parenteral 6 40
ASI + parenteral 9 60
Usia gestasi
KMK 1 6,6
BMK 4 26,6
SMK 10 66,6
Tabel 3.4 menunjukkan semua sampel kelompok koontrol sebagian besar (60%)
mendapatkan asupan ASI dan nutrisi parenteral, sedangkan berdasarkan kategori
BBLR sebagian besar termasuk SMK (Sesuai Masa Kehamilan)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 202 | 231
2) Jumlah peningkatan berat badan bayi pada kelompok Perlakuan
Tabel 3.5 Tabel distribusi peningkatan berat badan bayi kelompok perlakuan
No
Responden X1 X2 X2 – X1
1 2400 2450 50
2 2000 1800 -200
3 2450 2350 -100
4 2000 2000 0
5 2350 2400 50
6 1750 1750 0
7 2000 2000 0
8 2000 1950 -5
9 2100 2150 50
10 1750 1800 50
11 2300 2300 0
12 2200 2150 -50
13 2450 2500 50
14 2050 2050 0
15 1750 1800 50
Berdasarkan tabel 3.5 diatas diketahui bahwa sebagian besar peningkatan berat
badan bayi pada kelompok perlakuan adalah lebih dari 50 gram yaitu sebanyak 6
orang, dan sebagian kecil mengalami penurunan berat badan 200 gram sebanyak 1
orang
Tabel 3.6 Tabel distribusi peningkatan berat badan bayi kelompok kontrol No
Responden X1 X2 X2 – X1
1 1550 1550 0
2 2100 2050 -50
3 1900 1900 0
4 2000 1900 -100
5 2200 2100 -100
6 1800 1700 -100
7 1800 1700 -100
8 2450 2300 -150
9 2000 2000 0
10 2150 2000 -150
11 2200 2150 -50
12 2400 1900 -500
13 2400 2300 -100
14 2400 2300 -100
15 2250 2150 -100
Berdasarkan tabel 3.6 diatas diketahui bahwa tidak ada responden yang mengalami
peningkatan berat badan bahkan terdapat penurunan berat badan responden
mencapai 500 gram sebanyak 1 responden.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 203 | 231
Analisis Data
Analisis data menggunaka Independent Sample Test didapatkan nilai p
hitung = 0,009 < p=0,05 maka Ho ditolak atau H1 diterima, yang artinya terdapat
hubungan yang signifikan atas pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan
berat badan bayi BBLR
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan data bahwa terdapat 3
responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 2 responden
mengalami penurunan berat badan sebesar 50 gram, 7 responden mengalami
penurunan berat badan sebesar 100 gram, 2 responden mengalami penurunan berat
badan sebanyak 150 gram, dan 1 responden mengalami penurunan berat badan
sebanyak 500 gram. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena bayi BBLR
menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh terutama pada sistem
pencernaan, serta nutrisi yang baik bagi bayi BBLR adalah ASI dengan pemberian
sesaat setelah lahir atau asupan nutrisi dini sedangkan pada hasil penelitian diatas
didapatkan hasil 60% (9 responden) mendapatkan nutrisi berupa parenteral dan
ASI, 40% (7 responden) mendapatkan nutrisi parenteral serta tidak terdapat
responden yang hanya mendapatkan asupan ASI segera setelah lahir, asupan nutrisi
dini juga berpengaruh terhadap peningkatan berat badan, masukan makanan selama
6 minggu pertama kehidupan akan berdampak sangat jelas dalam perkembangan 18
bulan kedepan. Oleh karena itu pemberian makanan pada awal kehidupan sangat
penting untuk mempertahankan hidup pada bayi yang sakit dan dampak jangka
panjang yang baik. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Fatimah Indarso (2007) Bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai
komposisi yang khusus yaitu 83-89% berupa Air, 9-10% Protein, dan 0,1-5%
Lemak, terutama lemak yang bukan lemak subkutan, sehingga bayi tersebut mudah
mengalami Hipotermi. Selama beberapa hari pertama kehidupan, bayi akan
mengalami penurunan berat badan akibat hilangnya jaringan karena kalori yang
masuk sedikit, dan hilangnya cairan ekstraselular. Oleh karena itu pemberian
makanan pada awal kehidupan sangat penting untuk mempertahankan kehidupan
bayi BBLR. Pemberian ASI dapat dimulai di ruang bersalin segera setelah lahir.
ASI dari ibu sehat yang menerima cukup kalori sebenarnya sudah cukup adekuat
untuk 6 bulan pertama. Masalah timbul apabila ASI tidak dapat diberikan karena
berbagai alasan, sehingga susu formula untuk bayi prematur harus disediakan.
BBLR yang sakit sering mendapat Nutrisi Parenteral Parsial, bahkan kadang
diberikan Total, hal itu menimbulkan berkurangnya sistem enzim pencernaan dan
peristaltic usus. Pada puasa yang lama karena TPN, ternyata tidak menurunkan
angka kejadian Enterokolitis Nekrotikans. Ternyata pemberian minum/enteral sdini
dapat merangsang peristaltic dan pelepasan hormone usus, serta proliferasi sel usus.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 204 | 231
4.3.2 Berat Badan Bayi Kelompok Perlakuan
Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan data bahwa terdapat 5
responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 6 responden
mengalami peningkatan berat badan sebesar 50 gram, 2 responden mengalami
penurunan berat badan sebesar 50 gram, 1 responden mengalami penurunan berat
badan sebanyak 100 gram, dan 1 responden mengalami penurunan berat badan
sebanyak 200 gram. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena penurunan berat
badan sebesar 10% pada 10 hari pertama kehidupan merupakan penurunan berat
badan yang fisiologis hal ini karena pada bayi baru lahir terjadi masa transisi, pada
saat didalam kandungan bayi mendapatkan suplai nutrisi yang adekuat dari
plasenta, sedangkan pada saat lahir plasenta harus diputus serta bayi BBLR yang
menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan adalah nutrisi berdasarkan data diatas juga didapatkan
hasil tentang asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh bayi BBLR yang menunjukkan
bahwa 100% (15 responden) mendapat asupan nutrisi berupa ASI segera setelah
lahir tanpa diberikan nutrisi parenteral terlebih dulu. Hal ini sesuai teori yang
dikemukakan oleh Fatimah Indarso (2007) Minum yang diberikan sedini mungkin
dapat menurunkan intolerans, pencapaian nutrisi yang dibutuhkan dapat lebih dini,
waktu yang dibutuhkan tinggal di tempat perawatan lebih dini, prevalensi terjadinya
kolestasis maupun enterokolitis nekrotikan dapat diturunkan. Setiap ibu
memproduksi ASI yang khusus untuk bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan
menghasilkan ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan karena bayi
kurang bulan tidak mempunyai laktosa – enzim yang menguraikan gula tertentu.
Bayi yang sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui akan
mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang diberikan segera setelah lahir.
Pemiihan metode feeding yang tepat sebaiknya mempertimbangkan umur
kehamilan, ketrampilan oromotorik, perkembangan normal bayi, ada tidaknya
penyakit dan toleransi individu. Menurut penelitian La Gamma yang dikemukakan
oleh Fatimah Indarso (2007) telah meneliti insiden Enterokolitis Nekrotikan dalam
hubungannya dengan waktu dimulainya nutrisi enteral, dan menemukan bahwa
insiden penyakit ini lebih rendah pada bayi-bayi premature yang diminumi secara
dini baik dengan ASI maupun formula yang tidak diencerkan dibandingkan dengan
mereka yang mendapatkan nutrisi parenteral selama 2 minggu pertama usia bayi.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soetjiningsih (1998)
dalam Supariasa (2002 : 28) yang mengungkapkan faktor genetik merupakan modal
dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel
telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal
ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas
jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.
Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang normal
dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan rasa atau suku bangsa. Apabila potensi
genetik ini dapat berinteraksi dalam lingkungan yang baik dan optimal maka maka
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 205 | 231
akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal pula. Gangguan pertumbuhan di
negara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor genetik ini. Di negara yang sedang
berkembang, gangguan pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor genetik juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang tidak memungkinkan seseorang tumbuh
secara optimal, Faktor lingkungan sangat menentukan tercapainya potensi genetik
yang optimal. Apabila kondisi lingkungan kurang mendukung atau jelek, maka
potensi genetik yang optimal tidak akan tercapai. Lingkungan ini meliputi
lingkungan “bio-fisiko-psikososial” yang akan mempengaruhi setiap individu mulai
dari masa konsepsi sampai akhir hayat. Faktor lingkungan dibagi menjadi dua
faktor yaitu faktor prenatal dan lingkungan pascanatal. Faktor lingkungan prenatal
adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih dalam
kandungan. Faktor lingkungan pascanatal adalah faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan anak setelah lahir, lingkungan pranatal yang
mempengaruhi pertumbuhan janin mulai konsepsi sampai lahir antara lain : gizi ibu
pada saat hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress, anoksia
embrio. Faktor lingkungan pascanatal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak yaitu : lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial dan faktor
keluarga dan adat istiadat.
4.3.3 Pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan berat badan bayi
BBLR
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian asupan nutrisi
dini dengan peningkatan berat badan bayi BBLR dapat dilihat dari hasil penelitian
dengan jumlah 15 responden bayi BBLR dengan pemberian asupan nutrisi dini
berupa ASI sebanyak 100% (15 responden) dengan 5 responden tidak mengalami
penurunan ataupun peningkatan berat badan, 6 responden mengalami peningkatan
berat badan sebanyak 50 gram, 2 responden mengalami penurunan berat badan 50
gram, 1 responden mengalami penurunan berat badan 100 gram, serta 1 responden
mengalami penurunan berat badan 200 gram. Hal ini diperkuat dengan adanya uji
statistic Independent T’test menggunakan SPSS 11.00 for Window didapatkan nilai
p hitung = 0,009. Karena p = 0,009 kurang dari 0,05 maka Ho ditolak atau H1
diterima, yang artinya terdapat Pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan
peningkatan berat badan bayi BBLR. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena
minum yang diberikan sedini mungkin dapat menurunkan intolerans, pencapaian
nutrisi yang dibutuhkan dapat lebih dini, waktu yang dibutuhkan tinggal di tempat
perawatan lebih dini, prevalensi terjadinya kolestasis maupun enterokolitis
nekrotikan dapat diturunkan dan ASI merupakan nutrisi rendah laktosa yang
penting untuk pencernaan karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –
enzim yang menguraikan gula tertentu, dan penurunan berat badan sebesar 10%
pada 10 hari pertama kehidupan merupakan penurunan berat badan yang fisiologis
hal ini karena pada bayi baru lahir terjadi masa transisi, pada saat didalam
kandungan bayi mendapatkan suplai nutrisi yang adekuat dari plasenta, sedangkan
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 206 | 231
pada saat lahir plasenta harus diputus serta bayi BBLR. Hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan Fatimah Indarso (2007) bahwa bayi BBLR mempunyai
komposisi yang khusus yaitu 83-89% berupa Air, 9-10% Protein, dan 0,1-5%
Lemak, terutama lemak yang bukan lemak subkutan, sehingga bayi tersebut mudah
mengalami Hipotermi. Selama beberapa hari pertama kehidupan, bayi akan
mengalami penurunan berat badan akibat hilangnya jaringan karena kalori yang
masuk sedikit, dan hilangnya cairan ekstraselular. Oleh karena itu pemberian
makanan pada awal kehidupan sangat penting untuk mempertahankan kehidupan
bayi BBLR. Pemberian minum secara dini pada bayi premature telah terbukti dapat
mencegah malnutrisi, hipoglikemia meningkatkan angka kemampuan hidup dan
menurunkan morbiditas jangka panjang.
5. Daftar Pustaka
Awi Muliadi. 2009. Kondisi Angka Kematian Neonatal, Angka Kematian bayi,
Angka Kematian Balita, Angka Kematian Ibu, dan Penyebabnya di
Indonesia, (www.infodokterku.com, diakses tanggal 7 Nopember 2011).
Aprilia., Y. 2010. Hipnosetri; Rileks, Nyaman dan Aman Saat Hamil dan
melahirkan. Jakarta, Gagas Media.
Brooker., C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta, EGC.
Cadwell., K & Maffei., CD. 2011. Manajemen Laktasi. Jakarta, EGC.
Cunningham., FG. 2005. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta, EGC.
Fraser., DM. Cooper., MA. 2009. Buku Ajar Bidan. Jakarta, EGC
Hull,D., Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatrik Ed 3. Jakarta, Buku Kedokteran
EGC.
Hidayat., AAA. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisis Data.
Jakarta, Salemba Medika.
Hasselquist., MB. 2006. Tata Laksana Ibu dan Bayi Pasca Kelahiran. Prestasi
Pustakarya, Jakarta.
Indarso, F. 2007. Nutrisi Enteral untuk Bayi Berat Lahir Rendah. Makalah disajikan
dalam Workshop BBLR Level 2, IDAI, Banjarmasin, 6 Agustus 2007.
Proverawati.,A & Sulistyorini., CA. 2010. BBLR. Yogyakarta, Nuha Medika.
Perinasia. 2011. Pemberian Nutrisi Pada BBLR. Makalah disajikan dalam Pelatihan
Penatalaksanaan BBLR. Malang 2011.
R.I., Depkes. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK). Jakarta: Dirjen Kesmas dan Dirjen Pelayanan Medik.
Surasmi, A., Handayani, S & Kusuma, HN. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.
Jakarta, Buku Kedokteran EGC.
Syafrudin & Hamidah. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta. Buku Kedokteran
EGC.
Subekti., NB. Karyuni., PE. & Meilya.,E. 2007. Buku Saku Manajemen Masalah
Bayi Baru Lahir. Jakarta, EGC.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 207 | 231
Suparyanto. 2010. Konsep Berat Badan Bayi, (dr-suparyanto.blogspot.com. diakses
tanggal 20 Nopember 2011)
Supariasa., IDN. Bakri., B & Fajar., I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta, EGC.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 208 | 231
PELAKSANAAN DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN
STROKE DI IGD
Sulastyawati
Poltekkes Kemenkes Malang
Jl. Ijen 77C, Malang
Email: [email protected]
Abstrak
Discharge planning merupakan bagian penting dalam proses pemindahan dan pemulangan pada
pasien stroke yang mendapatkan perawatan jangka panjang. Discharge planning sebaiknya
dilakukan oleh perawat sejak awal pasien masuk rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi pelaksanaan discharge planning pada pasien stroke di IGD. Desain penelitian yang
digunakan adalah kualitatif fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan pada 5 partisipan dengan
wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini
mendapatkan 2 tema yaitu (1) persepsi perawat tentang discharge planning adalah sebagai suatu
proses pemindahan dan (2) kesesuaian penerapan prosedur discharge planning dengan SOP yang
ada.
Kata Kunci: Stroke, Discharge Planning
1. PENDAHULUAN
Proses pemulangan dari rumah sakit ataupun pemindahan bukanlah hal yang
mudah bagi pasien dan keluarga, terutama pada pasien yang menjalani perawatan
jangka panjang (Clark et al., 2005; Crawford, 2004). Beberapa permasalahan
seringkali terjadi pada tahap penyembuhan (Putri, 2012). (1) Kecemasan yang
berhubungan dengan perbedaan situasi yang akan dihadapi setelah pemulangan/
pemindahan, (2) adanya pikiran negatif terhadap diri, dan (3) kurangnya rasa
percaya diri karena adanya perubahan kemampuan akibat sakitnya merupakan
masalah-masalah yang sering dihadapi oleh pasien. Pada pasien stroke, kondisi-
kondisi ini menimbulkan kendala tersendiri dalam perawatan penyembuhan.
Dampak akhirnya adalah akan semakin memperburuk kualitas hidup pada pasien
stroke tersebut (Johnson et al., 2004).
Persiapan yang matang bagi pasien dan keluarga sangat dibutuhkan sebelum
mereka dipindahkan atau dipulangkan. Hal itu bertujuan supaya mereka bisa
beradaptasi dengan penyakitnya dan bisa melalui proses transisi dengan nyaman,
tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Proses persiapan itu disebut
dengan discharge planning (Boyd et al., 2009; Hager, 2010). Felong (2008)
menyatakan bahwa discharge planning sudah diakui sebagai bagian penting dalam
keperawatan, bahkan dianggap sebagai salah satu hak pasien yang harus terpenuhi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa discharge planning idealnya dimulai segera setelah
pasien masuk ke unit gawat darurat.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 209 | 231
Discharge planning merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan
tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, dimana pemberian
pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga sebagai salah satu aspek utama
dalam tahap pelaksanaan (Yam et al., 2010). Pemberian pendidikan kesehatan ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta dukungan
terhadap kondisi pasien dan tindak lanjut yang harus dilakukan saat dirumah. Hasil
akhir yang diharapkan adalah mencegah stroke berulang, timbulnya komplikasi dan
kematian serta meminimalkan kecacatan.
Kenyataannya pelaksanaan discharge planning belum terlaksana dengan
baik, terutama di IGD. Han et al. (2009) dan Kihlgren (2005) mengatakan bahwa
discharge planning menempati prioritas terbawah untuk dilakukan di IGD. Ada
beberapa alasan yang mendasari. Alasan pertama adalah karakteristik IGD, dimana
segala tindakan difokuskan untuk mengatasi kondisi-kondisi yang megancam
nyawa. Alasan kedua adalah adanya anggapan bahwa perawat IGD yang baik itu
adalah mereka yang tahu apa yang harus dilakukan pada saat situasi gawat. Alasan
yang lain adalah waktu tinggal pasien yang singkat, beban kerja yang kompleks,
kurangnya waktu untuk memberikan asuhan keperawatan individu dalam jam-jam
sibuk, tingkat stress dan kecemasan yang lebih tinggi pada pasien dan keluarga.
Han et al. (2009) mengeksplorasi adanya kebingungan peran yang
dirasakan perawat selaku coordinator discharge planning yang mempengaruhi
pandangan mereka terhadap pelaksanaan discharge planning. Ini terbukti dari hasil
penelitiannya tentang pemahaman dan pengalaman perawat di unit gawat darurat
dalam pelaksanaan discharge planning. Hasilnya, teridentifikasi 6 pandangan yang
berbeda tentang discharge planning yaitu (1) discharge planning dianggap sebagai
suatu proses untuk membuang pasien, (2) discharge planning sebagai kegiatan
untuk melengkapi rutinitas, (3) melibatkan pendidikan pasien, (4) praktik
profesional yang dapat dipertanggungjawabkan, (5) menunjukkan adanya otonomi
dalam keperawatan dan (6) menunjukkan praktik keperawatan gawat darurat yang
profesional.
Pengalaman peneliti selama melaksanakan praktek klinik menjumpai format
discharge planning yang dikembangkan hanya dalam bentuk pendokumentasian
resume pasien pulang yang isinya mencakup kondisi pasien saat masuk dan pulang,
intervensi medis dan non medis yang sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang
harus dipenuhi selama di rumah, dan bahkan terkadang untuk pendokumentasiannya
dilakukan setelah pasien tersebut sudah dipindahkan ke unit perawatan lainnya atau
sudah pulang.
Melihat fenomena yang ada maka peneliti merasa perlu untuk
mengeksplorasi pelaksanaan discharge planning pada pasien stroke di IGD. Peneliti
memilih menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi untuk lebih bisa
mengungkap fenomena yang berkaitan dengan pelaksanaan discharge planning
pada pasien stroke di IGD.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 210 | 231
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti
mengungkap beberapa fenomena yang tekait dengan pengalaman perawat dalam
melaksanakan discharge planning pada pasien stroke di IGD dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Penelitian dilakukan pada 5 orang perawat IGD yang
pernah melaksanakan proses discharge planning pada pasien stroke, yang
ditentukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria (1) bertugas di IGD
minimal 2 tahun, (2) pendidikan minimal D-III, (3) komunikatif, dan (4) bersedia
menjadi partisipan.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang bertindak
sebagai pewawancara, handphone yang dilengkapi dengan program perekam suara,
dan alat tulis untuk mencatat kejadian-kejadian saat wawancara. Selanjutnya, data
yang terkumpul akan diterjemahkan dalam bentuk transkrip wawancara. Data
dianalisa dengan pendekatan 7 langkah analisa data Collaizi, 1)Membaca semua
traskrip wawancara untuk memperoleh gambaran tentangpelaksanaan discharge
planning pada pasien stroke, 2) membaca kembali setiap transkrip wawancara dan
mencari pernyataan partisipan yang signifikan dengan tujuan penelitian yang sudah
dirumuskan, 3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan dari
partisipan dengan membuat kata kunci-kata kunci yang sesuai dan merumuskan
makna yang sesuai dengan kata kunci tersebut, 4) menyusun makna yang sudah
dirumuskan dalam kelompok-kelompok tema yang sebelumnya sudah divalidasi
dengan membaca kembali transkrip wawancara yang ada, 5) mengintegrasikan
tema-tema yang dihasilkan kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti,
6) merumuskan deskripsi secara lengkap mengenai fenomena yang diteliti kedalam
suatu pernyataan identifikasi yang jelas sehingga bisa dipahami oleh orang lain.
Tema-tema yang telah ada disusun membentuk sebuah deskripsi terkait pengalaman
partisipan dalam melaksanakan discharge planning pada pasien stroke di IGD dan
7) menanyakan kembali kepada para partisipan untuk validasi hasil analisis tema
yang sudah ditemukan, terkait kesesuaiannya dengan pengalaman partisipan yang
sesungguhnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tema penelitian yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini adalah 1)
persepsi perawat tentang discharge planning dan 2) kesesuaian penerapan prosedur
discharge planning.
3.1 Persepsi Perawat tentang Discharge Planning
Persepsi perawat tentang discharge planning diartikan sebagai pengetahuan
atau pemberian makna oleh perawat berdasarkan informasi yang diterima terkait
pelaksanaan discharge planning. Persepsi perawat yang dimaksudkan dalam
konteks ini adalah pandangan/ pemahaman perawat IGD terkait discharge planning
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 211 | 231
di IGD, termasuk disini adalah komponen-komponen discharge planning. Persepsi
yang tepat diharapkan bisa berdampak terhadap keefektifan pelaksanaan discharge
planning pada pasien stroke di IGD.
Gbr. 1 Skema Persepsi Perawat tentang Discharge Planning
Persepsi perawat tentang discharge planning; dalam penelitian ini, semua
partisipan merasa bahwa discharge planning merupakan tanggungjawab mutlak dari
dokter, meskipun pada kenyataannya perawat yang memutuskan secara mandiri
kapan discharge planning akan dilakukan. Discharge planning di IGD tidak
mungkin dilakukan, karena di IGD hanya pemindahan dan discharge planning
sebagai upaya untuk mengurangi penumpukan pasien. Jika melihat fenomena
diatas, bisa diartikan bahwa perawat tidak memahami tentang discharge planning
dan peran mereka dalam discharge planning. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Han (2008), yang menyatakan bahwa dari beberapa studi di
Taiwan diketahui seringkali perawat mengalami kesulitan dalam memahami posisi
mereka dalam proses discharge planning, kebingungan mengenai proses discharge
planning itu sendiri dan perasaan bahwa mereka berada dalam posisi yang tidak
memungkinkan untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan discharge planning.
Penelitian William (1991) tentang persepsi perawat terhadap discharge planning
juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa keputusan untuk melakukan discharge
planning pada pasien itu merupakan tanggung jawab dokter.
Padahal secara jelas Boyd et al. (2009) menguraikan bagaimana peran
perawat dalam pelaksanaan discharge planning, meliputi (1) kolaborasi dalam
menentukan perkiraan lama rawat pasien, (2) kolaborasi dalam penyusunan rencana
pulang, (3) monitoring perkembangan rencana pulang terkait dengan perkiraan lama
rawat inap, (4) terlibat dalam discharge planning dalam setiap pemindahan pasien
dan (5) melengkapi pendokumentasian discharge planning yang relevan. Di dalam
AHA (2003) juga disebutkan bahwa meningkatkan keamanan dan kelanjutan dari
proses perawatan yang diterima pasien yang merupakan tujuan utama discharge
planning adalah tanggung jawab perawat. Hal ini terkait dengan pelaksanaan peran
perawat sebagai advokat bagi pasien.
Tema persepsi perawat tentang discharge planning dibangun dari 3 sub tema
yaitu 1) mengurangi penumpukan pasien, 2) kesesuaian penanggungjawab, dan 3)
pemindahan.
Mengurangi penumpukan
pasien
Kesesuaian
penanggungjawab
Pemindahan
Persepsi
perawat tentang
discharge
planning
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 212 | 231
3.1.1 Sub Tema Mengurangi Penumpukan Pasien
Sub tema mengurangi penumpukan pasien dalam konteks ini dimaknai
sebagai salah satu upaya yang dilakukan perawat untuk menghindari penumpukan
pasien di IGD. Di sini perawat mempunyai anggapan bahwa kalau memang pasien
itu sudah bisa dipindah, harapannya segera dipindahkan ke ruangan. Alasannya
kapasitas IGD yang terbatas. Terutama pada pasien stroke, karena kemajuan pasien
tidak mungkin terjadi cepat. Jadi setelah dilakukan tindakan resusitasi atau
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, maka pasien segera disiapkan untuk
segera dilakukan pemindahan.
3.1.2 Sub Tema Kesesuaian Penanggungjawab
Kesesuaian penanggungjawab adalah orang/ petugas yang mempunyai
wewenang dalam memutuskan pelaksanaan discharge planning. Hasil penelitian ini,
menunjukkan bahwa perawat beranggapan tanggungjawab memutuskan discharge
planning itu ada pada dokter. Hal itu diwujudkan dengan adanya suatu format
pemindahan yang harus ditandatangani oleh dokter, meskipun pada kenyataannya
keputusan pemindahan itu dilakukan oleh perawat secara mandiri. Kecuali pada
kondisi khusus, perawat baru mengkonsultasikannya pada dokter.
3.1.3 Sub Tema Pemindahan
Sub tema pemindahan adalah proses transfer pasien dari satu ruangan ke
ruangan yang lain, yang sekaligus merupakan rangkaian dari pelaksanaan discharge
planning. Pendekatan yang dilakukan menggunakan 5 tahapan yaitu pengkajian,
diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Pada konteks ini pemindahan
yang dimaksud adalah proses transfer pasien dari IGD ke ruang rawat atau ICU.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat beranggapan bahwa kalau di
IGD, tidak dilakukan discharge planning. Discharge planning hanya dilakukan di
ruang rawat inap, dimana pasien nantinya akan pulang ke rumah. Di IGD, hanya
dilakukan pemindahan saja. Berbeda dengan discharge planning, pada pemindahan/
transfer pasien ini tidak dilakukan suatu pengkajian dan perencanaan. Pada
pemindahan pasien, perawat hanya melakukan persiapan yang terkait persiapan
pasien, alat dan keluarga.
Persepsi perawat tentang discharge planning; dalam penelitian ini, semua
partisipan merasa bahwa discharge planning merupakan tanggungjawab mutlak dari
dokter, meskipun pada kenyataannya perawat yang memutuskan secara mandiri
kapan discharge planning akan dilakukan. Discharge planning di IGD tidak
mungkin dilakukan, karena di IGD hanya pemindahan dan discharge planning
sebagai upaya untuk mengurangi penumpukan pasien. Jika melihat fenomena
diatas, bisa diartikan bahwa perawat tidak memahami tentang discharge planning
dan peran mereka dalam discharge planning. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Han (2008), yang menyatakan bahwa dari beberapa studi di
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 213 | 231
Taiwan diketahui seringkali perawat mengalami kesulitan dalam memahami posisi
mereka dalam proses discharge planning, kebingungan mengenai proses discharge
planning itu sendiri dan perasaan bahwa mereka berada dalam posisi yang tidak
memungkinkan untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan discharge planning.
Penelitian William (1991) tentang persepsi perawat terhadap discharge planning
juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa keputusan untuk melakukan discharge
planning pada pasien itu merupakan tanggung jawab dokter.
Padahal secara jelas Boyd et al. (2009) menguraikan bagaimana peran
perawat dalam pelaksanaan discharge planning, meliputi (1) kolaborasi dalam
menentukan perkiraan lama rawat pasien, (2) kolaborasi dalam penyusunan rencana
pulang, (3) monitoring perkembangan rencana pulang terkait dengan perkiraan lama
rawat inap, (4) terlibat dalam discharge planning dalam setiap pemindahan pasien
dan (5) melengkapi pendokumentasian discharge planning yang relevan. Di dalam
AHA (2003) juga disebutkan bahwa meningkatkan keamanan dan kelanjutan dari
proses perawatan yang diterima pasien yang merupakan tujuan utama discharge
planning adalah tanggung jawab perawat. Hal ini terkait dengan pelaksanaan peran
perawat sebagai advokat bagi pasien.
3.2. Kesesuaian Penerapan Prosedur Discharge Planning
Pelaksanaan discharge planning sebagai bagian dari asuhan keperawatan
merupakan pengembangan dari persepsi perawat tentang discharge planning. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa semua partisipan sudah menerapkan discharge
planning pada pasien stroke yang datang ke IGD.
Gbr. 2. Skema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning
Tema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning dibangun dari 4 sub
tema, yaitu 1) alur pelaksanaan discharge planning, 2) kondisi fisik, 3) ketersediaan
SOP dan 4) pendokumentasian discharge planning.
Alur Pelaksanaan Discharge
Planning
Kondisi Fisik
Ketersediaan SOP
Pendokumentasian Discharge
Planning
Kesesuaian Penerapan Prosedur
Discharge Planning
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 214 | 231
3.2.1 Sub Tema Alur Pelaksanaan Discharge Planning
Alur pelaksanaan discharge planning adalah suatu tata urutan dalam
melaksanakan discharge planning. Pada konteks ini, alur pelaksanaan discharge
planning yang dimaksud adalah suatu urutan tindakan yang dilakukan oleh perawat
dalam rangka memindahkan pasien dari IGD ke ruang perawatan atau ICU.
Ketepatan alur pelaksanaan ini, harapannya akan berdampak positif terhadap
efektifitas discharge planning yang dilakukan.
Alur pelaksanaan yang didapatkan dari hasil wawancara pada partisipan
meliputi persiapan pasien, persiapan alat, persiapan keluarga dan pelaksanaan
pemindahan. Persiapan pasien yang dilakukan oleh perawat meliputi ruangan yang
dituju, kebutuhan pasien dan tindakan yang harus dilakukan pada pasien setelah di
ruangan. Pada persiapan alat, perawat menganalisa kebutuhan pasien terkait
penggunaan alat-alat medis yang dibutuhkan selama proses pemindahan, misal
infuse pump, tabung oksigen atau mungkin pasien hanya butuh selimut saja. Disini
terlihat jelas bahwa perawat IGD melakukan koordinasi dengan perawat ruangan
yang dituju, entah ICU ataupun ruang rawat inap.
Alur pelaksanaan yang ketiga adalah persiapan keluarga. Pada tahap ini,
perawat memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi pasien,
perawatan yang dibutuhkan dan kemungkinan tindakan-tindakan yang mungkin
dilakukan pada saat pasien di ruangan. Istilah yang digunakan di IGD adalah
edukasi keluarga. Penjelasan mengenai ketersediaan ruangan yang tersedia, juga
diinformasikan kepada keluarga.
Alur pelaksanaan yang berikutnya adalah proses pemindahannya itu sendiri.
Pada tahap ini, petugas yang melakukannya tergantung dari hasil penilaian derajat
pasien oleh dokter. Derajat 0, untuk kategori yang paling ringan. Pada pasien ini,
petugas yang mengantar pasien pindah ke ruang perawatan berikutnya adalah
petugas helper. Begitu juga untuk pasien derajat ½. Sedangkan pasien dengan
derajat 3, nantinya akan diantar oleh dokter. Meskipun pada kenyataannya jarang
atau mungkin tidak ada.
3.2.2 Sub Tema Kondisi Fisik
Discharge planning ditentukan juga berdasarkan kondisi fisik pasien.
Kondisi fisik pasien yang dijadikan pedoman adalah stabilnya airway dan
hemodinamik pasien stroke. Stabil yang dimaksud disini sedikit berbeda dengan
stabil menurut ruang rawat inap, lebih mengarah pada selesainya tindakan resusitasi
dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Satu contohnya adalah
selesainya pemasangan mayo, infuse dan pemeriksaan penunjang.
4.2.2.3 Sub Tema Ketersediaan SOP
Hasil wawancara diketahui bahwa di IGD sudah memiliki suatu prosedur
pemindahan pasien dari IGD ke Ruang Rawat ataupun ke ICU. Prosedur baku
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 215 | 231
tersebut sudah menjelaskan secara detail tahap-tahap tindakan yang harus dilakukan
oleh perawat dalam proses pemindahan, termasuk contoh ungkapan verbal perawat
pada pasien dan keluarga. Hal ini juga diakui oleh perawat, bahwa dalam
pelaksanaannya mereka hanya tinggal mengikuti dari prosedur yang sudah
ditetapkan.
4.2.2.4 Sub Tema Kesesuaian Dokumentasi Discharge Planning
Istilah dokumentasi diartikan sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan
dan penyimpanan informasi. Pada konteks keperawatan, dokumentasi diartikan
sebagai informasi tertulis tentang status dan perkembangan kondisi pasien dan
semua kegiatan asuhan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat.
Dokumentasi memegang peranan penting dalam proses asuhan keperawatan karena
sebagai bukti tanggungjjawab dan tanggunggugat perawat. Pada penelitian ini,
dokumentasi yang dimaksud adalah penulisan dan penyimpanan informasi yang
terkait dengan discharge planning yang sudah dilakukan oleh perawat. Oleh karena
discharge planning merupakan bagian dari pelaksanaan asuhan keperawatan yang
dilakukan pada pasien, maka seharusnya hasil pendokumentasian disertakan dalam
berkas rekam medik pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendokumentasian sudah dilakukan
dan disertakan dalam berkas rekam medis pasien. Tetapi dalam lembar
pendokumentasian yang berbeda. Untuk proses pemindahannya, ada lembar
informed consent yang harus ditandatangani oleh dokter selaku penanggunjawab
keputusan pemindahan dan keluarga pasien sebagai bukti bahwa keluarga setuju
pindah ke ruangan yang sudah dijelaskan dengan segala konsekuensi keuangannya.
Sedangkan untuk proses penjelasan pada keluarga dalam rangka persiapan keluarga
sebelum pemindahan, terdokumentasi dalam lembar edukasi. Meskipun di berkas
rekam medic tersebut dilampirkan format discharge planning, tetapi tidak untuk
diisi oleh perawat IGD, melainkan oleh perawat ruangan.
Tema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning disusun dari 4
subtema yaitu alur pelaksanaan, ketersediaan SOP, kondisi fisik dan dokumentasi
discharge planning.
Alur Pelaksanaan; pada penelitian ini diidentifikasi bahwa ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan discharge planning yaitu
persiapan pasien, persiapan alat dan persiapan keluarga serta yang terakhir adalah
pemindahan. Pada tahapan-tahapan ini, tampak bahwa sangat dibutuhkan adanya
ketrampilan komunikasi dari perawat IGD karena ada koordinasi dan kerjasama
yang harus dilakukan oleh perawat IGD dengan perawat ruang yang dituju dan
dengan pasien/ keluarga. Perawat IGD hendaknya mampu menjalankan perannya
sebagai educator dan advokat bagi pasien secara optimal. Hal ini seperti yang
dijelaskan Tingle (2002) bahwa mendidik pasien dan memberikan discharge
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 216 | 231
planning yang memadai merupakan bagian dari ruang lingkup praktek keperawatan
kegawatdaruratan. Bahkan dijelaskan pula perawat IGD yang tidak menyiapkan
rencana tindak lanjut bagi pasien setelah pulang/ pindah beresiko melakukan
“negligence”.
Di IGD, alur pelaksanaan discharge planning ini sudah tertata dengan baik.
Hal ini dikarenakan sudah adanya prosedur baku tindakan tersebut. Namun
demikian, perawat tetap harus mengembangkan kemampuannya karena jika semata-
mata berpatokan pada prosedur baku yang ada ditakutkan pada akhirnya akan
sebagai kegiatan untuk rutinitas saja. Hal ini identik dengan hasil penelitian Han
(2008) tentang pengetahuan dan pengalaman perawat tentang discharge planning,
dimana salah satu tema yang didapatkan adalah pelaksanaan discharge planning
merupakan kegiatan untuk memenuhi rutinitas.
Kondisi fisik; Kondisi fisik pasien yang dijadikan pedoman dalam pemindahan
pada penelitian ini adalah stabilnya airway dan hemodinamik pasien stroke dan
lebih mengarah pada selesainya tindakan resusitasi dan pemeriksaan-pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan. hasil studi Watts et al. (2005) yang menggunakan tiga
kondisi sebagai pertimbangan untuk memindahkan/ memulangkan pasien meliputi
1) pasien siap untuk dipindahkan/ dipulangkan, 2) memastikan terlebih dahulu
bahwa pemindahan/ pemulangan tidak akan menimbulkan masalah dan 3) jika
tempat tidur yang akan digunakan untuk pasien lain.
Pemindahan/ pemulangan pasien hendaknya dilakukan dengan pertimbangan
yang matang. Hal ini untuk mengantisipasi timbulnya masalah-masalah yang lebih
kompleks yang biasanya muncul pada fase ini. Sesuai dengan pernyataan McCusker
(2008) bahwa pemindahan/ pemulangan yang terlalu dini seringkali mengakibatkan
kegagalan dalam mendeteksi masalah pasien dan ini akan merugikan keamanan
pasien.
Dokumentasi discharge planning; pada penelitian ini dokumentasi sudah
terintegrasi dalam status rekam medis pasien, meskipun terpisah-pisah menjadi
lembar edukasi, informed consent pemindahan dan lembar discharge planning untuk
ruangan. Hal ini sesuai dengan JCAHO Guidelines menyebutkan bahwa semua
aktifitas yang terkait discharge planning, instruksi dan konseling yang dilakukan
oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien harus didokumentasikan
seperti dokumentasi keperawatan dan terintegrasi dalam status rekam medis pasien.
Dokumentasi ini juga untuk memenuhi aspek legal perawatan dan sebagai
media komunikasi antar petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien.
Hal ini untuk menjamin kesinambungan perawatan pasien selanjutnya. Yam et al.
(2012) dan Guerin et al. (2011) menyebutkan bahwa dokumentasi laporan
discharge planning merupakan bentuk komunikasi non verbal yang juga
mempengaruhi efektifitas discharge planning.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 217 | 231
4. KESIMPULAN
Discharge planning yang sudah dilakukan oleh perawat IGD dilandasi
persepsi yang tepat dan adanya SOP sebagai pedoman tindakan. Makna ini
dibangun dari tema-tema yang didapatkan berikut ini:
1. Persepsi perawat tentang discharge planning
2. Kesesuaian penerapan pelaksanaan discharge planning
5. DAFTAR PUSTAKA
Backer, T. E., Howard, E. A., & Moran, G. E. (2007). The role of effective
discharge planning in preventing homelessness. J Primary Prevent, 28:
229-243
Boyd, M., Byrne, E., Donovan, A., Gallagher, J., Phelan, J., Keating, A., et al.
(2009). Guidelines for Nurse/ Midwifes Fascilitated Discharge Planning.
Irlandia: Nursing Services Directors.
Felong, B. (2008, agustus). Guide to Discharge Planning. Retrieved Desember 12,
2013, from www.unm.edu.
Hager, J. S. (2010). Effects of a Discharge Planning Intervention on Perceived
Readiness for Discharge. Minnesota: St. Catherine University.
Han, C., Barnard, A., & Chapman, H. (2009). Emergency department nurses’
understanding and experiences of implementing discharge planning. Journal
of Advanced Nursing, 65(6): 1283-1292
Han, C. (2008). Emergency Department Nurses’ experience of implementing
discharge planning for Emergency Department patients in Taiwan: a
phenomenographic study. Queensland University of Technology.
Heath, H., Sturdy, D., & Cheesley, A. (2010). Discharge planning: A summary of
the Department of Health’s guidance Ready to go? Planning the discharge
and the transfer of patient from hospital and intermediate care. Harrow-
Middlesex: RCN Publishing Company.
Hofflander, M., Nilsson, L., & Eriksen, S. (2013). Discharge planning: Narrated by
nursing staff in primary healthcare and their concerns about using video
conferencing in the planning session – An interview study. Journal of
Nursing Education and Practice, 3(1) , 88-98.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamental Keperawatan;
Konsep, Proses dan Praktek. Jakarta: EGC.
McMurray, A., Johnson, P., Wallis, M., Patterson, E., & Griffiths, S. (2007).
General surgical patients’ perspectives of the adequacy and appropriateness
of discharge planning to facilitate health decision-making at home. Journal
of Clinical Nursing , 1602-1609.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 218 | 231
Moleong, J.L. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Morris, J., Winfield, L., & Young, K. (2012). Registered nurses’ perceptions of the
discharge planning process for adult patients in an acute hospital. Journal of
Nursing Education and Practice. 2(1). 28-38.
Polit, D. & Beck, T. (2010). Essential Nursing Research, Apraising evidence
of Nursing practice. Seventh Edition. Philadelphia : Lippincott Walker &
Willkin.
Shepperd, S., Parkes, J., McClaran, J., & Phillips, C. (2008). Discharge planning
from hospital to home (Review). London: John Wiley & Sons, Ltd.
Speziale, H.J.S and Carpenter, D.R. (2007). Qualitative Research in Nursing:
Advancing the Humanistic Imperative 4th Ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.
Watts, R., Pierson, J., & Gardner, H. (2005). How do critical care nurses define the
discharge planning process? Intensive and Critical Care Nursing. 21
Wong, E. L., Yam, C. H., Cheung, A. W., Leung, M. Y., Chan, F. W., & Wong, F.
Y. (2011). Barriers to effective discharge planning: a qualitative study
investigating the perspectives of frontline healthcare professionals. BMC
Health Services Research
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 219 | 231
HUBUNGAN KEMAMPUAN SOSIAL DAN PERAWATAN DIRI
PASIEN SKIZOFRENIA
Suprianto
Poltekkes Kemenkes Surabaya/ Prodi Keperawatan Sidoarjo
Jl Pahlawan No 173A Sidoarjo
Email: [email protected]
Abstrak
Perawatan diri merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta dilaksanakan oleh individu itu
sendiri untuk memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatan individu. Kemampuan perawatan diri dipengaruhi oleh perkembangan,
biologis, status mental dan sosial.
Penelitian ini bertujuan menguji hubungan kemampuan sosial dengan perawatan diri pada pasien
skizofrenia. Analisis uji parsial untuk mengetahui hubungan kemampuan sosial dengan kemampuan
perawatan diri diperoleh nilai t = 0,155 dengan taraf signifikansi 0,878 (p > 0,01), temuan ini
menunjukkan tidak ada hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri.
Pasien skizofrenia yang mengalami gangguan perawatan diri, diperlukan pembiasaan agar pasien
selalu melakukan aktivitas perawatan diri. Pasien perlu dibiasakan untuk mau dan mampu
melakukan aktivitas perawatan diri, apabila hal tersebut tidak dilakukan maka pemberian hukuman
dalam batas yang diterima bisa diberikan agar perilaku pasien bisa berubah.
Kata kunci : Perawatan Diri, Kemampuan Sosial, Skizofrenia
1. PENDAHULUAN
Dewasa ini himpitan dan masalah sosial yang dihadapi masyarakat kian
banyak dan berat. Dalam menyikapi situasi dan kondisi ini, berbagai pola dan
perilaku ditunjukkan oleh masyarakat yang terkadang tidak dapat menyelesaikan
masalahnya dan justru terjerembab dalam kondisi stres sampai terjadi gangguan
kejiwaan. Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan
manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang
nyata dan kinerja yang buruk dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial,
psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan
tidak beres yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap
jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas
(Pratiwi, 2012).
Jenis gangguan kesehatan jiwa tersebut beragam. Mulai yang ringan hingga
yang berat. Penyakit jiwa paling akut dan tergolong ganggun jiwa berat adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan gangguan
proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya
dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang
salah yang tidak sesuai dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak
berdasarkan logika, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang
signifikan. Gejala awal biasanya muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi
semasa hidup secara global sekitar 0,3% – 0,7% (Townsen, 2011).
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 220 | 231
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan
menunjukkan adanya disorganisasi(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga
menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, 2004).
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental
berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti, kemunduran
fungsisosial, fungsi kerja,dan perawatan diri. Perawatandiri merupakan aktivitas dan
inisiatif dari individu serta dilaksananakan oleh individu itu sendiri dalam
memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraansesuai
dengan kondisi kesehatannya.Individudinyatakan terganggu keperawatan dirinya
jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes 2000). Kemampuan perawatan
diri dipengaruhi oleh perkembangan, biologis, kemampuan realitas dan sosial
budaya, termasuk hubungan antar pribadi.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara
kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan kemampuan
sosial dengan kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia.
2. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif dengan
pendekatan cross sectional, dimana pengumpulan data dari variabel independen dan
dependen dilakukan secara bersamaan (point time approach) (Notoadmojo, 2005).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan status mental dan kemampuan
sosial dengan kemampuan perawatan diri pada pasien skizofrenia
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 76,688 26,387 2,906 ,006
KARAKTERISTI
K STATUS
MENTAL
-,017 ,390 -,006 -,044 ,965
KEMAMPUAN
SOSIAL
,029 ,187 ,023 ,155 ,878
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 221 | 231
Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang dirawat di ruang
perawatan intermediate Rumah Sakit Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
Sampel diambil sebanyak 50 orang. Penentuan sampel dilakukan secara insidental.
Pelaksanaan penelitian melibatkan perawat rumah sakit sebagai pelaksana.
Intrumen penelitian yang digunakan adalah observasi, terdiri dari kemampuan sosial
dan kemampuan perawatan diri. Pengumpulan data dilakukan setelah pasien
mendapatkan perawatan minimal 3 hari.
Analisis dan Penyimpulan Hasil Penelitian
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis korelasi parsial
untuk melihat hubungan antara kemampuan sosial dan kemampuan perawatan diri
pasien skizofrenia.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hubungan Kemampuan Sosial dan Kemampuan Perawatan Diri
Pasien Skizofrenia
a Dependent Variable: KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI
Dari tabel diatas diperoleh nilai t = 0,155 dan taraf signifikansi 0,878 (p >
0,01). Hal ini menunjukkan bahwa secara parsial kemampuan sosial tidak
berkorelasi dengan kemampuan perawatan diri. Dengan demikian hipotesis yang
menyatakan ada hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan
diri ditolak.
Menurut Orem (Kozier, 2004), kemampuan pera watan diri adalah
kemampuan individu untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri
untuk mempertahankan dan memperbaiki kesehatan pribadi. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan antara karakteristik status mental dan
kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri.Tidak ada hubungan dapat
diartikan pula bahwa kemampuan perawatan diri pasien tidak dipengaruhi oleh
status mental dan kemampuan sosial pasien.
Aktivitas perawatan diri yang dilakukan pasien tidak didasarkan atas
pemikiran pasien akan arti penting aktivitas itu bagi kesehatan, tetapi lebih kepada
pembiasaan yang telah dilakukan selama dirawat di rumah sakit. Kondisi ini dapat
dijelaskan dengan pendekatan teori belajar behaviorisme, dimana perilaku
merupakan hasil adaptasi terhadap stimuli lingkungan. Organisme mempelajari
adaptasi perilaku dan pembelajaran tersebut dikendalikan oleh prinsip-prinsip
asosiasi (Watson dalam Corey, Gerald. 2009). Skinner (Rana, 2009) dalam
kondisioning operan, dengan konsep penguatan yang didefinisikan sebagai prosess
dimana stimulus atau peristiwa memperkuat atau meningkatkan kemungkinan
respon yang mengikuti itu.
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 222 | 231
Ada dua jenis penguatan : negatif dan positif yang sama-sama
meningkatkan perilaku atau respon dari individu, tetapi dengan cara yang berbeda.
Penguatan positif adalah di mana konsekuensi yang menyenangkan membuat
tanggapan lebih mungkin terjadi lagi. Pada penguatan negatif melibatkan
penghapusan, keterlambatan atau penurunan intensitas stimulus yang tidak
menyenangkan, yang menghasilkan respon menjadi lebih kuat atau lebih mungkin
terjadi.Apabila pasien tidak mandi dan akibat dari itu ia digiring ke kamar mandi
atau mendapat pukulan sampai ia mandi dan berulang-ulang seperti itu maka pasien
akan mandi agar tidak mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan. Demikian juga
dengan aktivitas perawatan diri lainnya.
4. KESIMPULAN
Kemampuan perawatan diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas perawatan diri yang meliputi mandi, berpakaian, berhias, makan dan
toileting. Aktivitas perawatan diri merupakan kebutuhan setiap orang termasuk pada
pasien skizofrenia.
Kemampuan perawatan diri tidak dipengaruhi oleh status mental dan
kemampuan sosial. Seorang individu karena kebiasaan dan didukung adanya
kebutuhan, maka ia akan melakukan aktivitas tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
5. DAFTAR PUSTAKA
Atkinson (2009). Pengantar Psikologi, jilid I. Alih bahasa Nurdjanah Taufik dan
Rukmini B. Erlangga. Jakarta
Depkes (2000). Standar Pedoman Keperawatan Jiwa.
Gimpel &Merrell (2002). Social Skill of Children and Adolescents;
conceptualization, assessment, treatment. Journal of Psychoeducation
asessment.
Kaplan (2000). Sinopsis Psikiatri. EGC. Jakarta
Kartono ( 2002).PatologiSosial 3, Gangguan-Ganguan Kejiwaan. Jakarta Raja
Grafindo Persada.
Malhotra, Naresh, 2007. Marketing Research : an applied orientation, Pearson
Education, Inc., fifth edition. New Jearsey : USA
Maramis (1999), Catatan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University
Press. Surabaya
Maslim, Rusdi. (2004). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta
: FK Jiwa Unika Atmajaya
Nurjannah (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta:
Mocomedi
Pratiwi (2012) Skizofrenia. Jurnal Online Kajian Psikologihttp://psikologi.or.id,
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 223 | 231
Potter (2005), Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta EGC.
Rana (2009). Psychology for Nurse.Pearson Education
Shea, Shawn C.1996. Warancara Psikiatri, seri pemahaman. EGC. Jakarta
Sukrata (2013). Gangguan Jiwa Masyarakat Bali Meningkat. Bali Post, 20
September 2013.
Suryani. (2004). Jurnal Kesehatan Halusinasi: Karateristik dan Upaya Mangatasi
Gejala pada Penderita Skizofrenia di RSJ X. Volume 5 No. X maret 2004-
september 2004 Hal 125-133
Townsen (2011). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing, Care Plans and
Psychotropic Medication. Eigth edition. F.A. Davis Company. Philadelphia
Videnbeck (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC. Jakarta
Wartonah, Tarwoto ( 2006 ). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,
Edisi 3. Jakarta. Salemba Medika
Zan Pieter, et.all (2011). Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 224 | 231
PEMBERIAN DOT DENGAN PERTUMBUHAN GUSI DANGIGI PADA BAYI
Dwi Harini1 Sulisdiana2, Nurul Hidayah31Poltekkes Majapahit Mojokerto/Prodi Keperawatan2Poltekkes Majapahit Mojokerto / Prodi Kebidanan
3Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawangemail: [email protected]
Abstrak
Pemberian dot pada bayi merupakan salah satu faktor resiko terganggunyapertumbuhan gusi dan gigi pada bayi. Pemberian dot memang efektif membantu orang tuadalam menenangkan bayi. Namun hal ini dipercaya justru menjadi faktor penghambatperkembangan bicara anak, selain itu dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan danperkembangan gusi dan gigi bayi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui HubunganPemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Pada Bayi Usia 6 Bulan Sampai 2tahun di Puri Mojokerto.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitiananalitik cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang berusia 6bulan sampai 2 tahun yang berjumlah 53 bayi dan, Sampel menggunakan teknik totalsampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner dan checlist. Pengolahan datadilakukan dengan proses editing, coding, scoring, tabulating, dan penyajian data. Teknikanalisa data menggunakan analisis Univariate menggunakan distribusi frekuensi, dan analisisBivariat menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 3 bayi yang berusia 6 bulan sampai 2tahun di Puri Mojokerto yang diberi dot yaitu 3 1 bayi (69.86%). 73 bayi yang memiliki polapertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yaitu 32 bayi (71.33%).
Uji Chi-Square didapatkan nilai p value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05. Hal inimenunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian dot dengan pertumbuhan gusidan gigi bayi. Dot merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gusi dan gigi bayi.Dot dapat menimbulkan ketergantungan hal ini karena setelah usia 6 bulan empeng atau dot bayiberubah fungsi dari suatu alat yang sekedar memberikan kenyamanan menjadi alat yangdapat memberikan rasa nyaman. Diharapkan perawat memberikan penyuluhan pentingnya ASIdan dampak pemberian dot. Sehingga para ibu lebih mengutamakan pemberian asi Eksklusifdemi kebaikan perkembangan bayi.
Kata Kunci : Dot, Pertumbuhan, Gusi, Gigi
1. PENDAHULUAN
Dot dikenal sebagai dummy, soother/pacifier, adalah pengganti puting
susu (ibu) yang biasanya terbuat dari karet/plastik. Penggunaan dot dianggap
bermanfaat karena menenangkan bayi serta memberikan rasa nyaman pada
keadaan tertentu seperti keinginan untuk mulai tidur, rasa nyeri waktu gigi
tumbuh, dipisahkan dari ibunya, menurunkan frekuensi menghisap jari, serta
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 225 | 231
menurunnya kejadian SIDS (sudden infant death syndrome). Dot memang
efektif membantu orang tua dalam menenangkan bayi saat menangis. Namun
hal ini dipercaya justru menjadi faktor penghambat perkembangan bicara
anak. Selain itu membiasakan memberikan susu/ minuman lain
menggunakan botol susu pada anak kita ternyata dapat menimbulkan
kerusakan pada gigi atau biasa di sebut dengan karies (Pacifier, 2010).
Beberapa penelitian tentang penggunaan dot, dilaporkan bahwa 75 – 85%
anak-anak di Negara – Negara barat menggunakan dot (Niemela et al. 1994),
sedangkan Howard et al. (1994) melaporkan bayi di Amerika Serikat telah
diberikan dot sejak umur 6 minggu atau lebih muda. (Victoria et al. 1997)
dari penelitiannya melaporkan bahwa bayi-bayi sudah mulai menggunakan
dot sejak umur 1 bulan. Pansy dkk melaporkan bahwa prevalensi
penggunaan dot tinggi pada minggu ke tujuh (82%) dan bulan ke lima
kelahiran (78%) (Trianke Nur Aini, 2012).
Masalah gigi berlubang dialami oleh sekitar 85% anak kurang 5 th di
Indonesia salah satu penyebabnya adalah kebiasaan minum susu botol ada usia
akhir balita. Kurang dari 15% anak kota maupun pedesaan yang tidak
mendapat pelayanan medis sebagaimana mestinya, dan 50% atau lebih pada
beberapa suku asli (Kompas, 2009).
Penggunaan dot yang berkepanjangan mempunyai korelasi kuat
dengan timbulnya masalah gigi, seperti karies dan maloklusi. Dari beberapa
penelitian, terbukti ada korelasi antara penggunaan dot yang berkepanjangan
(2 tahun atau lebih) dengan timbulnya karies. Keadaan ini diperberat bila
penggunaan dot dilakukan sambil tidur (night feeding). Penelitian terhadap 150
anak usia 18 – 36 bulan oleh Peressini (2003), menyimpulkan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara kebiasaan minum dot botol sambil tidur
dengan timbulnya karies serta kerusakan gigi (Yunanto, 2013 ).
Menggunakan botol dot dalam durasi dan frekuensi berlebih berperan besar
dalam memajukan gigi depan anak (Maloklusi). Kendati tidak sekeras
jari, makin sering menggunakan dot maka kemungkinan protrusi akan
semakin besar. Menurut Dr Sarworini Bagio Budiardjo drg SpGKGA, dari
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 226 | 231
Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Anak FKG- Universitas Indonesia,
karena saat menghisap menggunakan botol dot dapat mengakibatkan rahang atas
secara reflek akan maju ke depan. Sementara rahang bawah bergerak ke
arah sebaliknya. Perubahan posisi gigi besar kemungkinan tjd jika anak
menggunakan botol dot terlalu berlebihan(Aini, 2012).
Apabila bayi hanya sesekali mengempeng dan hanya sampai 1 th, maka
tidak ada masalah dengan perkembangan giginya. Tapi jika bayi adalah
pengempeng aktif dan meskipun umurnya sudah lebih dari 1 tahun ia masih
tidak bisa lepas dari dot, sebaiknya harus dilakukan usaha untuk segera
menyapih si kecil dari dotnya. Karena hal tersebut dapat membuat gigi-
geliginya tumbuh tidak sebagaimana mestinya, meskipun itu masih gigi susu,
tetapi perkembangannya akan menentukan pertumbuhan dan letak susunan
gigi permanen di kemudian hari. Makin lama penggunaan dot, akan makin
tinggi risiko kerusakan gigi (Yunanto, 2013 ).
Sedikit indikasi penggunaan empeng atau dot jika di bandingkan dengan
masalah yang bisa ditimbulkan. Oleh karena itu, sejak awal disarankan agar
sebaiknya anak tidak diperkenalkan pada empeng. Apabila balita aktif
menggunakan empeng maka orang tua dapat mencari alternatif selain empeng.
Misalnya pada balita yang masih kecil orang tua bisa memberikan jari ibu yang
telah di bersihkan untuk di hisap, memeluk, mengayun-ayun, menyanyikan,
memijat, dan menyetel musik yang lembut untuk memberi kenyamanan pada
balita. Pada balita yang lebih besar orang tua bisa mengalihkan perhatian si
kecil dengan aktiftas lain atau dengan mainan, atau bisa juga dengan
membubuhkan rasa yang tidak enak pada empeng atau dot bayi. Pada
balita/anak lebih besar, orang tua bisa menunjukkan pd anak lain yang lebih
tua yang tidak memakai empeng, mengadakan upacara pelepasan
empeng/dengan cara menukar empengnya dengan mainan atau buku yang di
sukai si kecil (Kurniawan, 2012 ).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat analitik. Variabel Independen pada penelitian
ini adalah Pemberian dot, dan Variabel dependen pada penelitian ini adalah
Pertumbuhan gusi dan gigi bayi usia 6 bl - 2 th. Teknik sampling yang
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 227 | 231
digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 73 bayi. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah checlist dan kuesioner.
Teknik analisa data menggunakan analisis Unvariate menggunakan distribusi
frekuensi, dan analisis Bivariat menggunakan uji Chi- Square
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
A. Data Umum
a. Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan Jenis KelaminTabel 4.1 Distribusi Frekwensi Bayi Usia 6 Bulan sampai 2 TahunBerdasarkan Umur di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10 Juni2014.
No Jenis Kelamin Frekwensi (f) Prosentase (%)
1 Laki – Laki 32 57.52 Perempuan 2 1 42.5
Jumlah 53 100
Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa dari 73 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun Di Puri Mojokerto Mojokerto sebagian besarberjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 42 bayi (57.5%).
b. Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan UmurTabel 4.2 Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 TahunBerdasarkan Umur di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10Juni 2014
No Umur Frekwensi (f) Prosentase (%)1 6 - 9 Bulan 1 5.52 9 - 12 Bulan 9 17.83 12 - 15 Bulan 8 15.14 15 - 18 Bulan 4 9.65 18 – 21Bulan 3 6.86 21 – 24 Bulan 28 45.2
Jumlah 5 3 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa dari 73 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah bayiberusia 21-24 bulan yaitu sejumlah 33 bayi (45.2%)
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 228 | 231
B. Data
Khususa. Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun berdasarkan Pola Pemberian Dot Dan
Tidak Diberi Dot
Tabel 4.3 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun BerdasarkanPola Pemberian Dot Dan Tidak Di Beri Dot di PuriMojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10 Juni 2014
No Dot Frekuensi (f) Prosentase (%)1 Memakai 41 69.862 Tidak Memakai 12 30.14
Jumlah 53 100
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa dari 53bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagianbesar telah mendapatkan pemberian dot yaitu sejumlah 41 bayi(69.89%).
b. Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun berdasarkan Pola Pertumbuhan Gusidan Gigi
Tabel 4.4 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan PolaPertumbuhan gusi dan gigi di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei -10 Juni 2014
No
PolapertumbuhanGusi dan gigi
Frekuensi (f) Prosentase(%)
1 Sesuai 11 28.77.862 Tidak Sesuai i 4212 71.3
3Jumlah 53 100
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa dari 53 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar memilikipola pertumbuhan gusi dan gigi yang tidak sesuai yaitu sejumlah 42bayi (71.33%)
c. Hubungan Pemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Bayi
Tabel 4.5 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 TahunBerdasarkan Pola Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Yang MemakaiDan Tidak Pemberian Dot di desa Puri Mojokerto pada tanggal 5Mei - 10 Juni 2014
Pola pertumbuhan Memakai Tidak Total Total
Gusi Dan Gigi DotMemakai
F %F % f %
1 Sesuai 3 10.96 8 17.81 11 28.772 Tidak Sesuai 38 58.90 4 12.33 42 71.23
Jumlah 41 69.86 12 30.14 53 100hasil uji Chi-Square p value = 0,001
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 229 | 231
Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa dari 53 bayi usia6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar bayi memilikipertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yang di sebabkan olehpemberian dot pada bayi yaitu sebanyak 33 bayi (58.9%).
Pembahasan
A.Pola Pemberian Dot Dan Tidak Diberi Dot
Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa
dari 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar
bayi mendapatkan pemberian dot yaitu 41 bayi (69.86%). Dari 53 bayi usia 6
bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah dari bayi
mendapatkan pemberian dot adalah laki-laki yaitu 30 bayi (41.1%), dan
sebagian kecil dari bayi yang mendapatkan pemberian dot adalah perempuan
yaitu 11 bayi (28.8%). Dari bayi 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri
Mojokerto hampir setengah dari bayi yang mendapatkan pemberian dot
adalah bayi usia 21-24 bulan yaitu 14 bayi (32.88%).
B. Pola Pertumbuhan Gusi Dan Gigi
Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat diketahui
bahwa dari 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto
sebagian besar memiliki pola pertumbuhan gusi dan gigi yang tidak
sesuai yaitu sejumlah 42 bayi (71.23%). Dari 53 bayi usia 6 bulan
sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian kecil dari bayi memiliki
pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai adalah laki-laki yaitu 11 bayi
(15.1%), hampir setengah dari bayi yang memiliki pertumbuhan gusi
dan gigi tidak sesuai adalah perempuan yaitu 10 bayi (27.4%). Dari bayi
53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah dari
bayi yang memiliki pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai adalah bayi usia
21-24 bulan yaitu 1 3 bayi (31.51%).
C. Hubungan Pemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi dan Gigi
Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa dari 5 3 bayi usia 6
bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar bayi memiliki
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 230 | 231
pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yang di sebabkan oleh pemberian
dot pada bayi yaitu sebanyak 43 bayi (58.90%), sedangkan sebagian kecil
bayi tidak menggunakan dot yang mengalami gangguan pertumbuhan gusi
dan gigi yaitu sebanyak 9 bayi (12.33%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square
didapatkan niali p value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian dot dengan
pertumbuhan gusi dan gigi bayi.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan pemberian dot dengan
pertumbuhan gusi dan gigi bayi usia 6 bulan sampai dengan 2 tahun di
Puri Mojokerto, maka disimpulkan:
1. Bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto, sebagian besar telah
mendapatkan pemberian dot yaitu seumlah 41 bayi (69.89%).
2. Bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto, sebagian besar bayi
memiliki pola pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yaitu 42 bayi
(71.23%).
3. Ada hubungan antara pemberian dot dengan pertumbuhan gusi dan gigi
bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di di Puri Mojokerto dengan p value
0,001< α = 0,05.
5. DAFTAR PUSTAKA
Administrator. (2013) . Urutan Pertumbuhan Gigi. Retrieved at 12 October, 2013fromhttp://www.rplusklinikgigi.com/index.php?p=read_articles&b=13&l=
Aini. (2012). Penggunaan botol dot sebagai penyebab maloklusidan terjadinyakaries pada anak. Retrieved at 09 October, 2012
Babycenter. Pertumbuhan gigi. Retrieved at 18 September 2013From http://www.babycenter.com.my/a1041389/detik-penting-dalam-perkembangan-bayi-pertumbuhan-gigi
drg. Ircham Machfoedz. (2013). Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anakdan ibu hamil. Cetakan ke empat. Yogjakarta: Fitramaya
Hidayat, A.(2007). Metode penelitian kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017
H a l a m a n 231 | 231
Hubungan Pemberian Susu Botol Menjelang Tidur Dengan Kejadian Karies GigiPada Balita(2-4 tahun) Di PAUD. Jurnal Kesehatan AIPTINAKESJATIM
Iyaa. (2013). Bayi Ngempeng. Retrieved at 30 April 2013from http://www.iyaa.com/gayahidup/keluarga/bayi/_3371.html
Notoatmodjo, (2010). Metode penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nursalam. (2008) . Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmukeperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Santrock, JW. (2007). Perkembangan anak, hal. 19-20. Edisi kesebelas, jilid 1.Jakarta: ErlanggaFrom http://www.scribd.com/doc/112880378/Kti-Pengaruh-Botol-Dot
Sylvia. (2013). Pertumbuhan Gigi. Retrieved at 15 September, 2009From http://keluargasehat.wordpress.com/2009/09/15/pertumbuhan-gigi-2/
Tanyadok. (2012). Manfaat dot. Retrieved at 09 October, 2012From http://ww.tanyadok.com/anak/dot-atau-empeng-bergunakah-untuk-bayi
Wikipedia. (2014). GIGI. Retrieved at April 9, 2014. fromhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gigi
Yunanto. (2013). Masalah Penggunaan Dot pada Bayi. Retrieved at 26,August 2013 from http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/masalah-penggunaan-dot-pada- bayi.html