33
1

Presus 2 - Insufisiensi Renal Pd Dm 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nbjhb

Citation preview

1

Presentasi Kasus

Komplikasi Insufisiensi Renal pada Diabetes Melitus

Oleh:Risti Amalia Nastiti

1102010247

Pembimbing:Dr. H. Hami Zulkifli Abbas, Sp.PD, MH.Kes, FINASIM.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD ARJAWINANGUN2015

2

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien Nama : Ny. IS Usia : 46 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Cipanas Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA Status : Menikah Masuk RS : 14 Maret 2015 Keluar RS : 18 Maret 2015 No. RM : 862857

II. Anamnesis: Autoanamnesis dan Alloanamnesis (tanggal 17 Maret 2015)Keluhan Utama:Penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit:Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran sejak

2,5 jam SMRS. Sebelum terjadi penurunan kesadaran, tidak terdapat keluhan mual, muntah, dan kejang pada pasien. Pasien hanya mengeluh badannya terasa lemah dan nyeri kepala. Pasien sering mengeluh kesemutan pada tangan dan kakinya serta gatal-gatal pada bagian perut dan punggung. Pasien juga mengeluh berat badannya menurun dibanding sebelumnya. Pasien pernah didiagnosis kencing manis pada tahun 2011 dan aktif melakukan pengobatan rutin hingga 2 tahun. Pasien juga sudah mengurangi porsi makanannya dan membatasi konsumsi gula perhari. Setelah dinyatakan kadar gula darah pasien stabil, pola makan pasien menjadi tidak teratur kembali. Pasien juga tidak pernah kontrol untuk diabetesnya lagi.

Pada akhir tahun 2014, pasien pernah mengalami keluhan serupa (penurunan kesadaran), dan setelah diperiksa, kadar gula darahnya rendah (<50). Namun keesokan harinya gula darahnya naik hingga melebihi 200 dan mengalami penurunan drastis setelah meminum obat untuk gula darahnya.

Sejak tahun 2013, pasien mengeluh sering terasa mudah lelah dan jantung berdebar-debar. Terkadang dirasakan sesak terutama pada dada bagian tengah kiri. Sesak dirasakan semakin bertambah pada saat aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Tidak terdapat perubahan pada sesaknya dengan perubahan posisi tidur. Pasien juga sering terbangun akibat sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Pasien pernah berobat jalan dan dilakukan rontgen. Diakui pasien dari hasil rontgen dokter menyatakan jantungnya sedikit membengkak. Tidak terdapat riwayat

3

BAK sedikit. Riwayat menopause sejak tahun 2012 dan tidak terdapat riwayat penggunaan KB oral maupun suntik.

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat kencing manis (+) Riwayat alergi (-) Riwayat asma (-) Riwayat tek. darah tinggi (+) Riwayat peny. jantung (+) Riwayat anemia (-) Riwayat menopause (+) Riwayat TB paru (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: Riwayat kencing manis (+) Riwayat alergi (-) Riwayat asma (-) Riwayat tek. darah tinggi (+) Riwayat peny. jantung (+)

III. Pemeriksaan FisikStatus Generalis: Keadaan sakit : Tampak sakit berat Kesadaran : Composmentis Tekanan Darah : 160/80 mmHg Nadi : 84 x/ menit RR : 20 x/ menit Suhu : 37 C

Keadaan Spesifik:KulitWarna sawo matang, jaringan parut (-), keringat umum dan lokal (+), Ikterik (-).

Kelenjar Getah BeningKelenjar getah bening submandibula, leher, axilla dan inguinal tidak ada pembesaran.

KepalaNormocephal, ekspresi biasa.

MataEksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra pucat (+) pada kedua mata, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil isokhor, reflek cahaya normal, pergerakan bola mata ke segala arah baik, visus 5/6

4

Hidung Septum nasal normal, lapisan mukus normal, epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (-)

Telinga Kedua meatus akustikus dalam keadaan normal, lubang telinga cukup bersih, nyeri tekan proc. mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan.

MulutBibir simetris, pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), atropi papil (-), sianosis (-).

LeherPembesaran kelenjar tiroid (-), JVP meningkat 5 + 5

DadaParu-paru

Inspeksi : statis & dinamis simetris kanan sama dengan kiriPalpasi : fremitus kanan sama dengan kiriPerkusi : sonor di kedua lapangan paruAuskultasi : vesikuler (+), ronkhi (+) pada kedua lapang paru, wheezing (-)

JantungInspeksi : ictus cordis tidak terlihatPalpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 LMCSPerkusi : batas atas jantung ICS 2, batas kanan Linea Parasternalis Dextra, atas

kiri Linea Axilaris Anterior sinistraAuskultasi : HR 110 x/menit, Bunyi Jantung reguler, Murmur (-), Gallop (+)

AbdomenInspeksi : Datar, tidak terlihat massa, sikatrik (+)Palpasi : Nyeri tekan (-) di epigastrium, Hepar/Lien tidak teraba pembesaranPerkusi : Undulasi (-)Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

GenitalTidak diperiksa

EkstremitasEkstremitas atas : Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-),

pigmentasi normal, telapak tangan pucat (+), jari tabuh (-) turgor kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik

Ekstremitas bawah : Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak kaki pucat (+), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik

Berat badan : 89 kgTinggi badan : 155 cm

5

IMT : 26,99

IV. Pemeriksaan Penunjang

Kadar Glukosa Darah Sewaktu 14 Maret 201530 mg/dLDarah lengkap 14 Maret 2015

Lab ResultFlag

sUnit Normal Lab Result Flags Unit Normal

WBC 9,8 10^3/5,2 - 12,4

Lymph 0,9 L 10^3/ 1,0-3,0

RBC 3,24 10^6/ 4,2 - 6,1 Gra 8,0 H 10^3/ 2,0-7,0

HGB 8,0 L g/dl11,7-17,3

Mon 0,9 10^3/ 0,2-1,0

HCT 24,6 L % 37 - 52Lymp

%9,4 L % 25 - 40

MCV 75,9 L fL 80 - 99 Mon % 8,8  H % 2-8

MCH 24,7 L pg 27 - 31 Gra % 81,8  H % 50 - 70

MCHC 32,5 L g/dl 33 - 37 MPV 7,0 10^3/ 7 - 11

RDW 13,7 %11,5 - 14,5

PCT 0,223 %0,200 - 0,500

PLT 318 10^3/150 - 450

PDW 12,9 % 10 - 18

GDS : 237 pkl 20.30Darah Lengkap 17 Maret 2015

LabResul

tFlags Unit

Normal

Lab Result Flags Unit Normal

Neut 80,2 H % 40 - 74 WBC 10,61 10^3/5,2 - 12,4

Lymph 10,0 L % 19 - 48 RBC 3,06 L 10^6/ 4,2 - 6,1Mono 4,8 % 3,4 - 9 HGB 8,0 L g/dl 18-DecEos 4,0 % 0 - 7 HCT 25,2 L % 37 - 52Baso 0,1 % 0 - 1,5 MCV 82,3 fL 80 - 99Luc 1,0 % 0 - 4 MCH 26 L pg 27 - 31

MCHC 31,6 L g/dl 33 - 37

RDW 16,6 H %11,5 - 14,5

PLT 229 10^3/150 - 450

GDS: 247Kimia Klinik 17 Maret 2015

6

Pemeriksaan Hasil MetodeNilai

NormalSatuan

Glukosa Sewaktu

201 GOD-PAP 70 - 150 mg/dL

Ureum 85,6Urease UV

Liqui10,0 - 50,0

mg/dL

Kreatinin 3,89Jaffe Comp

ST.A0,6 - 1,83 mg/dL

Desakan Vena Sentral 17 Maret 2015

EKG 18 Maret 2015

V. Resume

7

Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual, muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan jantung membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/80, konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru, gallop, peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan edema tungkai. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6, kreatinin 3,89 dan abnormalitas pada EKG.

VI. DiagnosisDiabetes Melitus Type 2Renal InsufisiencyHipertensi Stage IIAnemia

VII. Diagnosis BandingChronic Kidney Disease

VIII. PenatalaksanaanNonmedikamentosaBed restDiet 1700 kaloriDower Catheter -> pantau balance cairan

MedikamentosaO2 4 L/mntAsam folat 2 x 5mgVitamin B12 2 x 50mgAmlodipin 1 x 10 mgInj. Furosemid 1 x 20 mgTransfusi PRC 1500 mlInfus RL 10 gtt/menit

IX. Rencana Pemeriksaan Observasi tanda-tanda vital Elektrolit Urin lengkapUreum dan kreatininAnemia profileLipid profileRontgen thorax

X. Prognosis

8

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

XI. Daftar Masalah

Sinkop Anemia Edema tungkai

Hipertensi Renal Insufisiency

XII. Follow Up Pasien Selama DirawatTanggal 17 Maret 2015, pukul 07.50 WIB

S : CM, sesak (-), lemas (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nyeri kepala (+)

O : KU : Tampak sakit berat

Tekanan Darah : 150/80 mmhgNadi : 82x/menitPernapasan : 20 x/menitSuhu : 36,5 CMata : Sklera ikterik -/-

Konjunctiva anemis +/+ Edema Palpebra -/-

Leher: : KGB ttm, JVP meningkat (5 +5)Cor : BJ 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop (+)Pulmo : VBS +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/-

Abdomen : Supel, shifting dulness (-), BU(+) NExtremitas : Edema extr. superior +/-

Edema extr. Inferior +/-A : Nefropathy diabetikum + Diabetes Melitus dengan Hipoglikemi

P : Bed Rest Infus RL 15 gtt/menit Inj. Furosemid 2 x 40 mg Spironolakton 1 x 100 mg Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 2 x 12,5 mg Transfusi PRC 2 kantong

9

Tanggal 18 Maret 2015, pukul 07.47 WIB

S : CM, sesak (-), lemas (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nyeri kepala (-)

O : KU : Tampak sakit berat

Tekanan Darah : 160/80 mmhgNadi : 68x/menitPernapasan : 20 x/menitSuhu : 36,8 CMata : Sklera ikterik -/-

Konjunctiva anemis +/+ Edema Palpebra -/-

Leher: : KGB ttm, JVP meningkat (5 +5)Cor : BJ 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop (+)Pulmo : VBS +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/-

Abdomen : Supel, shifting dulness (-), BU(+) NExtremitas : Edema extr. superior +/-

Edema extr. Inferior +/-A : Nefropathy diabetikum + Diabetes Melitus dengan Hipoglikemi

P : Bed Rest Infus RL 15 gtt/menit Inj. Furosemid 2 x 40 mg Spironolakton 1 x 100 mg Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 2 x 12,5 mg Transfusi PRC 2 kantong

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi Diabetes

Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (Alvin, 2008)

1.2. Klasifikasi Diabetes

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)

1 Diabetes Mellitus Tipe 1:Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolutA. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)B. Idiopatik

2 Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

3 Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel β :

Kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3), Kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) Kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1) DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulinC. Penyakit eksokrin pankreas:

Pankreatitis Neoplasma Trauma/Pankreatektomi Hemokromatosis Cistic Fibrosis Pankreatopati fibro kalkulus

D. Endokrinopati: Akromegali Sindroma Cushing Feokromositoma Hipertiroidisme

E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat,

11

pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferonF. Diabetes karena infeksiG. Diabetes Imunologi (jarang)H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea,

Prader Willi4. Diabetes gestasional

Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

5. Pra-diabetes:A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:1. Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa

seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl) (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

2. Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/L). (Suyono, 2009)

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal;b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga diabetes

Kimia (Chemical Diabetes);c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma

puasa < 140 mg/dl);d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma

puasa > 140 mg/dl). (Suyono, 2009)

1.3. Patofisiologi

Diabetes Melitus Tipe 1

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Cito Megalo

12

Virus, Herpes, dan lain sebagainya. Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung

mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa. (Suyono, 2009)

Diabetes Melitus Tipe 2

Patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan

13

mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. (Suyono, 2009)

Diabetes Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. (Suyono, 2009)

1.4. Manifestasi Klinis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

Keluhan klasik DM berupa: Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Keluhan umum pada pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lanjut usia pada umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai dengan komplikasi yang lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain:

a. Gangguan penglihatan: katarakb. Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisulc. Kesemutan, rasa baald. Kelemahan tubuhe. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuhf. Infeksi saluran kemih. (Suyono, 2009)

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah

lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk

14

peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah keluhan mata kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa akibat hiperglikemia. Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus pada lanjut usia:

a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala awal

b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.

c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa sakit, mononeuropati, disfungsi otonom dari traktus gastrointestinal (diare), sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan inkontinensia stress.

d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemia, angina, dan infark miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan darah tepi (tungkai diabetes dan gangren).Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal (proteinuria, glomerulopati, uremia)

1.5. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Diagnosis diabetes melitusBerbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti : Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. (Suyono, 2009)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dilakukan dengan standar WHO

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. (Suyono, 2009)

15

Keluhan klinik diabetes

Keluhan klasik DM (+) Keluhan klasik DM (-)

GDP≥126≥126GPS≥200≤200

GDP≥126100-125<100GDS≥200140-199<140

Ulangi GDS atau GDP

GDP>126<126GDS≥200<200 TTGO

GD 2 JAM

≥200140-199<140

NORMAL

TGT GDPT

DM

Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL.

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL. (Suyono, 2009)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan

dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

16

Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.

Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal(mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring. (Suyono, 2009)

Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti

DM

DM

Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200

Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200

Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126

Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110

1.6. Nefropati Diabetikum

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika). (Saweins, 2004)

Faktor ResikoTidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain:1. Hipertensi dan prediposisi genetika2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

17

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9

b. Glukose trasporter (GLUT) Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia4. Konsumsi protein hewani. (Sukandar, 1997)

Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjadilah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitiveterhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus. (Suyono, 2009)

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap:1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50% diatas nilai normal menurut usia.

Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria. Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.

2. Stadium II (Silent Stage)Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min). Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage) Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun. Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein

30-300mg/24j. Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage) Proteinuria menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi Penurunan laju filtrasi glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadium-V. (Suyono, 2009)

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat

18

diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan prognosis yang buruk. (Djokomuljanto, 1999)

DiagnosisDiagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:1. DM2. Retinopati Diabetika3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab

proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl. (Lestariningsih, 2004)

PenatalaksanaanA. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati.a. Diet

Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi & Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit penyerta :

- Hiperkolesterolemia- Urolitiasis (misal batu kalsium)- Hiperurikemia dan artritis Gout- Hipertensi esensial (Imam, 1993)b. Pengendalian hiperglikemia

1) Insulin. Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin seluler

(polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)b) Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulusc) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang dapat

menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity).

d) Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi esensial dan nefropati.

e) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.

f) Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)2) Obat antidiabetik oral (OADO)

Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik antara lain :a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

19

c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell (ASMC).d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian hipertensiPengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum. Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC)a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)

Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).

b. Golongan antagonis kalsiumMekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):- Efek inotrofik negatif- Efek pro-aritmia- Efek pro-hemoragik

Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine.c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus

b. memperhatikan kondisi setiap pasien :- Blokade -kardioselektif dengan aktivitaas intrinsic simpatetik minimal misal atenolol.- Antagonis reseptor -II misal prozoasin dan doxazosin.- Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untnuk pasien yang sudah

diketahui mengidap infark miokard.3. MikroalbuminuriaPembatasan protein hewaniSudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein (DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas. Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah progresivitas kerusakan ginjal:1) Efek hemodinamik

Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler, berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)

2) Efek non-hemodinamik Memperbaiki selektivitas glomerulus

Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke dalam ruang subendotelial dan mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi terutama monosit dan makrofag.

Penurunan ROSBila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis. Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan pembentukan ROS.

Penurunan hipermetabolisme tubular

20

Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme tubulus.

Mengurangi growth factors & systemic hormones Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus).

DRP diharapkan dapat mengurangi :- Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-dan platelet-derived growth factors

(PDGF).- Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1), epithelial-derived growth factors

(EDGF), Ang-II (lokal dan sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH).3) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi

Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal. (Sukandar, 1997)

B. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy)Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak jarang melibatkan disiplin ilmu lain. Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :1. Manajemen Utama (esensi)

a. Pengendalian hipertensi1) Diet rendah garam (DRG)

Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.

2) Obat antihipertensiPemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi. Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat antihipertensi antara lain :a) Efek samping misal efek metabolicb) Status sistem kardiovaskuler.

- Miokard iskemi/infark- Bencana serebrovaskuler

c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.b. Antiproteinuria1) Diet rendah protein (DRP)

DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.

2) Obat antihipertensiSemua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk mengurangi ekskresi proteinuria.a) Penghambat EAC

21

Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.

b) Antagonis kalsiumLaporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.

c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine. Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetic (DMT) kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine mempunyai efek.

3) Optimalisasi terapi hiperglikemiaKeadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat antidiabetik oral (OADO).

2. Managemen SubstitusiProgram managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan mikroangiopati lainnya.a) Retinopati diabetic

Terapi fotokoagulasib) Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit jantung kongestif Penyakit jantung iskemik/infark

c) Bencana serebrovaskulerStroke emboli/hemoragik

d) Pengendalian hyperlipidemiaDianjrkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi kolesterol-LDL. (Sukandar, 1997)

C. Nefropati diabetik tahap akhir (End Stage diabetic nephropathy)Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetic. Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks komorbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas. (Sukandar, 1997)

22

BAB III

ANALISA KASUS

Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual, muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan jantung membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/80, konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru, gallop, peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan edema tungkai. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6, kreatinin 3,89 dan abnormalitas pada EKG.

Diabetes Melitus dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronis, baik mikroangiopati seperti retinopati dan nefropati maupun makroangiopati seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan juga penyakit pembuluh darah tungkai bawah.. Pada pasien sudah didapatkan riwayat DM sejak tahun 2011 dan sempat tidak terkontrol. Tekanan darah pasien sering kali tinggi. Hal ini dikaitkan dengan kadar gula darah pasien. Hipertensi dapat menjadi salah satu penyebab rusaknya aliran darah ke ginjal. Sehingga pada pasien dengan diabetes mellitus dapat dengan mudah terjadi penyakit nefropati diabetikum.

23

DAFTAR PUSTAKA

Arisman MB. Dislipidemia. Dalam: Mahode AA, editor (penyunting). Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Mellitus, Dan Dislipidemia. Jakarta: EGC; 2010. hlm. 127.

Alvin .C. Diabetes Melitus in Harrison internal Medicine 17 Th Edition, 2008. P: 2052 2063PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011

(Update: 29 Maret 2015). [Web] http://www.perkeni.org/ . RISKESDAS. Laporan Nasional 2007 (Update: 29 Maret 2015). [Web]

http://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf. Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah penyandang diabetes dan Patofisiologi diabetes

melitus. Dalam: Sugondo S, Soewondo P, Subekti I, editor (penyunting). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2009. hlm. 7-18.

Djokomuljanto R. Insulin Resistance and Other Factors in the Patogenesis of Diabetic Nephropathy. Simposium Nefropati Diabetik. Konggres Pernefri. . 1999

Imam PA. “Nefropati Diabetik” konggres Nasional Perkemi III 1993: 225-235. 1993Lestariningsih. Hipergensi pada Diabetik PIT V PERKENI 2004. Semarang. hal 1-5. . 2004Saweins Walaa. The Renal Unit at the Royal Informary of Edinburgh. Scotland, Uk, Renal

@ed.ac.uk. 2004Sukandar E. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik in Nefropati Klinik. Edisi ke-2. Penerbit ITB.

Bandung. Hal 274-281. 1997

24