46
Presentasi Kasus Pediatri sosial SEORANG ANAK 2 TAHUN 3 BULAN DENGAN SINDROM DOWN DAN TERSANGKA GLOBAL DELAY DEVELOPMENT Oleh : Yudhistira Permana G99141149/A8-2015 Tenri Ashari G99131087/A14-2015 Syifa Marhattya Rizky G99141035/B4-2015 Pembimbing : Dra. Suci Murti Karini, Msi

preskas GDD

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pediatri sosial fk uns

Citation preview

Page 1: preskas GDD

Presentasi Kasus Pediatri sosial

SEORANG ANAK 2 TAHUN 3 BULAN DENGAN

SINDROM DOWN DAN TERSANGKA GLOBAL

DELAY DEVELOPMENT

Oleh :

Yudhistira Permana G99141149/A8-2015

Tenri Ashari G99131087/A14-2015

Syifa Marhattya Rizky G99141035/B4-2015

Pembimbing :

Dra. Suci Murti Karini, Msi

KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

Page 2: preskas GDD

2015

BAB I

STATUS PENDERITA

I.IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. J

Umur : 2 Tahun 3 Bulan

Tanggal Lahir : 24 Desember 2012

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama orang tua : Tn. S

Agama : Islam

Alamat : Jebres, Surakarta

Pemeriksaan : 20 Maret 2015

II. ANAMNESIS

Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua pasien yang

merawat penderita.

A. Keluhan Utama

Perkembangan lambat dari pada anak seusianya

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluarga pasien mengeluh bahwa anak tersebut perkembangannya

lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak banyak bersuara dan belum

bias mengucapkan suku kata dengan jelas , hanya bisa mengucap suku kata

seperti ma dan pa. Terkadang tidak memberi respon bila dipanggil. Pasien

sudah bisa makan sendiri tetapi tidak menyatakan maksud keinginannya

Page 3: preskas GDD

. Pasien bisa berdiri sendiri tetapi belum bisa berjalan dengan baik dan

cenderung merangkak. Ketika diberi mainan pasien baru bisa memegang

sekitar 1 minggu yang lalu.

Saat dilakukan pemeriksaan rutin, keluarga pasien mengatakan tidak

terdapat gangguan kesehatan yang dialami penderita. Dan dari pengamatan

pemeriksa penderita terlihat sehat dan bugar.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat mondok : disangkal

Riwayat alergi obat / makanan : disangkal

Riwayat kejang sebelumnya : disangkal

Riwayat perkembangan keterlambatan : (+)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat alergi obat / makanan : disangkal

Riwayat kejang pada keluarga : disangkal

E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Faringitis (+)

Bronkitis (-)

Morbili (-)

Pertusis (-)

Difteri (-)

Varicella (-)

Malaria (-)

Polio (-)

Thypus abdominalis (-)

Cacingan (-)

Gegar otak (-)

Fraktur (-)

Kejang Demam (-)

TB paru (-)

Page 4: preskas GDD

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita adalah anak pertama Anggota keluarganya terdiri dari ayah,

ibu, dan penderita sendiri. Pengobatan pasien menggunakan biaya sendiri.

G. Riwayat Makan Minum Anak

- Usia 0-7 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi menangis

atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama menyusui 10

menit, bergantian kiri kanan.

- Usia 7-25 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan sayur

hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan susu

buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu buatan 2 kali

per hari dengan takaran ½ cangkir kecil.

H. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal

Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat.

Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap bulan, dan pada

trimester III 4 kali tiap bulan. Penyakit kehamilan (-). Riwayat minum jamu

selama hamil (+), obat-obatan yang diminum adalah jenis suplemen yang

diperoleh dari tetangganya.

I. Riwayat Kelahiran

Penderita lahir di Jebres , partus normal, ditolong oleh bidan, pada usia

kehamilan 9 bulan, umur ibu 15 tahun ,bayi langsung menangis segera

setelah lahir. Berat waktu lahir 2600 gram, panjang badan saat lahir 49 cm.

J. Riwayat Pemeriksaan Post Natal

Pemeriksaan bayi setelah lahir rutin dilakukan di puskesmas untuk

menimbang badan dan mendapat imunisasi

Page 5: preskas GDD

K. Riwayat Imunisasi

BCG : 1x, 1 bulan setelah lahir di puskesmas.

Hepatitis B : 4x, saat lahit, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

DPT-HB : 3x, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

Polio : 4x , 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

Campak : 1x, 9 bulan.

Kesan : imunisasi lengkap sesuai jadwal Depkes RI 2011

L. Keluarga Berencana

Keluarga mengikuti program KB dengan program suntik KB per 3 bulan.

.

III.PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : tampak sehat

Derajat Kesadaran : compos mentis

Status gizi : gizi kesan baik

2. Tanda vital

S : 36,4oC

N : 100 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.

RR : 24 x/menit, tipe abdominal, kedalaman cukup, reguler.

BB : 11 kg

TB : 78 cm

3. Kulit : warna sawo matang, kelembaban baik, turgor baik.

4. Kepala : bentuk mesocephal, sutura sudah menutup, UUB datar, rambut hitam

tidak mudah rontok dan sukar dicabut.

5. Muka : sembab (-), wajah orang tua (-), flat nasal bridge (+),mongoloid face

(+)

Page 6: preskas GDD

6. Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, conjunctiva anemis

(-/-), strabismus (-), xeroftalmia (-), oedem palpebra (-/-). Almond shaped

eyes (+/+)

7. Hidung : bentuk normal, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-),

deformitas(-).

8. Mulut : sianosis (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), mukosa

basah (+), susunan gigi normal. makroglossia (+)

9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 –T1, faring hiperemis (-),

pseudomembran (-), post nasal drip (-).

10. Telinga : bentuk aurikula dx et sn normal, kelainan MAE (-), serumen (-/-),

membrana timpani sde, prosesus mastoideus tidak nyeri tekan, tragus pain (-),

sekret (-).

11. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.

12. Limfonodi : kelenjar limfe auricular, submandibuler, servikalis,

suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.

13. Thorax : bentuk normochest, retraksi (+) interkostal dan sub sternal, iga

gambang (-), gerakan simetris ka = ki

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Kiri atas : SIC II LPSS

Kiri bawah : SIC IV LMCS

Kanan atas : SIC II LPSD

Kanan bawah: SIC IV LPSD

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising

sistolik (+)

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru

Page 7: preskas GDD

Batas paru-hepar : SIC V kanan

Batas paru-lambung : SIC VI kiri

Redup relatif di : SIC V kanan

Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)

Auskultasi : SD bronchovesikuler (+/+), RBK (+/+)

14. Abdomen : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Perkusi : tympani

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien

tidak teraba.

15. Urogenital : dalam batas normal

16. Gluteus : Baggy pants (-)

17. Ekstremitas : simbian crease (+) , Hipotonia (+)

akral dingin sianosis oedem

CRT < 2 detik

18. Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)

IV. STATUS GIZI

BB/U : 11/12,6 x 100 % = 87,3 % (-2 SD< Z score < 2 SD)

TB/U : 78/89 x 100 % = 87.6% ( Z score >-3 SD)

BB/TB : 11/10,3x 100 % = 106,79 % (-2 SD< Z score < 2 SD)

Kesimpulan : normo weight . stunted , gizi kesan baik menurut antropometri

V. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST

Ditemukan keterlambatan pada aspek bahasa. Personal sosial, adaptif-

motorik-halus, dan motorik kasar sesuai dengan perkembangan anak seusia

penderita. Anak tersangka Global delay development.

- ---

- ---

- ---

Page 8: preskas GDD

VI. RESUME

Keluarga pasien mengeluh bahwa anak tersebut perkembangannya lebih

lambat daripada anak seusianya. Anak tidak banyak bersuara dan belum bias

mengucapkan suku kata dengan jelas , hanya bisa mengucap suku kata seperti ma

dan pa. Terkadang tidak memberi respon bila dipanggil. Pasien sudah bisa makan

sendiri tetapi tidak menyatakan maksud keinginannya. Pasien bisa berdiri sendiri

tetapi belum bisa berjalan dengan baik dan cenderung merangkak. Ketika diberi

mainan pasien baru bisa memegang sekitar 1 minggu yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, compos

mentis dan gizi kesan baik, tanda vital suhu 36,80C, nadi frekuensi: 90 x/menit,

reguler, simetris, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas: 30 x/menit, tipe

abdominal, kedalaman cukup, dan reguler. Hasil tes perkembangan Denver yaitu,

personal sosial setara dengan anak usia 5 bulan, adaptif-motorik halus setara

dengan anak usia 9 bulan, dan bahasa setara dengan anak usia 11 bulan, serta

motorik kasar setara dengan anak usia 13 bulan.

VII. ASSESMENT

1. Global Delayed development

2. Down syndrome

3. Keterlambatan perkembangan personal sosial setara usia 5 bulan

4. Keterlambatan perkembangan adatif – motorik halus setara usia 9 bulan

5. Keterlambatan perkembangan bahasa setara usia 11 bulan

6. Keterlambatan perkembangan motorik kasar setara usia 13 bulan

VIII.PENATALAKSANAAN

A. Terapi :

- Speech therapy

- Ocupation therapy

Page 9: preskas GDD

- Physio therapy

B. Edukasi :

- Motivasi keluarga tentang penyakitnya

- Stimulasi di rumah

- Konseling

IX. PLANNING

- Konsul THT untuk tes pendengaran

- Konsul RM

X. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Page 10: preskas GDD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM DOWN

I. Definisi

Nama sindrom Down berasal dari nama seorang dokter yang pertama

kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik dan

berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah Dr. John

Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut

sebagai “Mongolismus”, sebab memang penderitanya memiliki ciri fisik

menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini diganti

menjadi Sindrom Down. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa

kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis

kelamin.

Sindroma down merupakan kelainan kromosom yang paling sering

terjadi. Angka kejadian kelainan ini mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di

Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan

ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa.

Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai

trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan

satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal

hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah

keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik

dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh

(Pathol, 2003).

Page 11: preskas GDD

Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi

dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh

akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua

kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).

Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan

berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua

yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan

karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus

(Lancet, 2003).

Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja

yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe

mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan (Lancet, 2003).

II. EPIDEMIOLOGI

Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan

kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.

Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup

dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini

diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang

berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh ibu

yang berumur di atas 35 tahun.

Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka

kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam, tetapi

perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada berbagai

golongan sosial ekonomi adalah sama.

II. Faktor Risiko

Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan

meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita

Page 12: preskas GDD

yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang

hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan

sindrom Down.

Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom

Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi

dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang

pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan kasus

yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).

Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down

berdasarkan umur ibu yang hamil:

- 20 tahun: 1 per 1,500

- 25 tahun: 1 per 1,300

- 30 tahun: 1 per 900

- 35 tahun: 1 per 350

- 40 tahun: 1 per 100

- 45 tahun: 1 per 30

III. Etiologi

Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya

banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi sejak

ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959,

maka sekarang perhatian dipusatkan pada kejadian “non-disjunctional” sebagai

penyebabnya yaitu:

1. Genetik

Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap ”non-

disjunctional”. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil

penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang

bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.

2. Radiasi

Page 13: preskas GDD

Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-

disjunctional” pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel dkk.)

menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom

Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan antara radiasi dengan

penyimpangan kromosom.

3. Infeksi

Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom

Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa

virus dapat mengakibatkan terjadinya “non-disjunctional”.

4. Autoimun

Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down

adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan

dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara

konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang

melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya

sama.

5. Umur ibu

Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan

hormonal yang dapat menyebabkan “non-disjunctional” pada kromosom.

Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya

kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,

perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam kadar

LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara

tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan

terjadinya “non-disjunctional”.

6. Umur ayah

Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan

adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak

Page 14: preskas GDD

dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom

21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur

ibu.

Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia

dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari

sindrom Down.

IV. Skrining

Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi

sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test

dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil

pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak

(American College of Nurse-Midwives, 2005).

Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal

Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan.

Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin.

Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti

dengan tehnik ini (American College of Nurse-Midwives, 2005).

Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah

ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan

adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG).

Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan

pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and

Research (MFMER), 2011).

Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk

mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil

sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom

janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko

keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.

Page 15: preskas GDD

Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil

sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom

janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14.

Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.

Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di

mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin.

Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan

sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko

keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and

Research (MFMER), 2011).

V. Patofisiologi

Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ

dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat

menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses

hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival

prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak

yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi,

pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.

Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan

tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas,

anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis

molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21

bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita

sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang

diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak

dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung

(Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).

Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme

thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat

Page 16: preskas GDD

dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi

kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.

Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita

hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas

terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak –

anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap

methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor

predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap

insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada

penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,

2006).

Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita

leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute

Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom

Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic

transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak dengan

sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan

mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui

pasti (Lange BJ,1998).

VI. Mortalitas dan Morbiditas

Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan

bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%

dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital

sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down. Selain

itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal,

Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan

mortalitas (William, 2002).

Page 17: preskas GDD

Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas

yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi

seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis,

atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas.

Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar

Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi

Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung

(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital

yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang

irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang

lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan sindrom

Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi

masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan

kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,

2006).

VII. Efek pada Fisik dan Sistem Tubuh

Page 18: preskas GDD

a Pemeriksaan Fisik

Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang

pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang

rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri – ciri yang khas.

Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari

kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari

yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang

terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007).

Page 19: preskas GDD

Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan

xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada

telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa,

alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang

rekuren (Am J., 2009).

Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent

quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50.

Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka

sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).

Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan,

sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka

akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang

tinggi (Nelson, 2003).

Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada

anak – anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering

didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat

beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran,

hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia

yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif,

ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan

Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.

Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang lanjut

usia (Am J., 2009).

Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly,

microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang

besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,

tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus

maksilaris (John A. 2000).

Page 20: preskas GDD

Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas

(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya

lipatan epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga

50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),

conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil

edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).

Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan

hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).

Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil

dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air

liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi

yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat,

mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta

kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).

Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang

berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering

ditemukan. Kira – kira 60–80% anak penderita sindrom Down mengalami

kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga (William W. Hay Jr, 2002).

b Hematologi

Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat

Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia

Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan

mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada

hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada

kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient

Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient

Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Lanzkowsky, 2005).

c Penyakit Jantung Kongenital

Page 21: preskas GDD

Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom

Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus lebih sering

ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab

kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama

kehidupan.

Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular

Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion

Defect (43%), Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal

Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent

Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent

Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70%

dari endocardial cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down.

Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira – kira 30% mempunyai

beberapa defek sekaligus pada jantung mereka (Baliff JP, 2003).

Atrioventricular septal defects (AVD)

Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana

terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions

yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di

hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of

the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous

pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi.

Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade

pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua dan

ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary

venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium

dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang

ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan (William

2002).

Page 22: preskas GDD

AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada

salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderitadengan

penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior tidak

menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial

melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum.

Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah

dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna

juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.

Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.

Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering

terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat

defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan

juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading

pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung

pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi

penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif

(Kallen B.,1996).

Ventricular Septal defect (VSD)

Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada

kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel.

Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek

kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti

Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects,

transposition of great arteries,dan corrected transpositions (Freeman SB,

1998)

Secundum Atrial Septal Defect (ASD)

Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau

jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri,

atau sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada

Page 23: preskas GDD

septum ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa

atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini

juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih

berbahaya (Freeman SB, 1998).

Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada

anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah

yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat

abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama

adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada

katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah

luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah

akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan

menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.

Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya

lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan

darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.

Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh

dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.

Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary

valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal

terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika

stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih

sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).

Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak

gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi

bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek

dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung

Page 24: preskas GDD

kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita

(Amik K, 2008).

d Imunodefisiensi

Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi

dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka

mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat

rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).

e Sistem Gastrointestinal

Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down

yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease

(<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga

omphalocele.

Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan

prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah

sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik

pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8.

Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan

spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).

f Sistem Endokrin

Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah

gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya

sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens

ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi

mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid

primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau

hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom

Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya umur (Merritt's, 2000).

g Gangguan Psikologis

Page 25: preskas GDD

Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan

psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai

risiko mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat

adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional

Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan

spektrum Autisme (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

h Trisomi 21 mosaik

Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala

sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria

diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat

trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel – sel trisomik yang

terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).

VIII. Perawatan Medis

Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi

mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu

mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap kelainan

yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat memperbaiki kualitas

hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.

Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau

perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun

dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi,

pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai pencegah keratokonus,

opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti follikulitis, xerosis,

dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia perlu

dirawat segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat

diatasai dengan pengurangan komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas

fisik (Breslow, 2002).

Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai

dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang

Page 26: preskas GDD

lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan

makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan terjadi sumbatan

pada jalan nafas.

Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi dikarenakan

tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem

respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk

kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus.

Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan yang

berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi

(Tolmie, 2006).

Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia,

kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan

terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa

nonverbal dan kecerdasan otak (Merritt's, 2002).

Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa

dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan

mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain –

lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita sindrom

Down harus dilakukan (National Down Syndrome Society, 2007).

Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan

pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa

anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus

diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan sebagainya.

Hal – hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu diperhatikan,

contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas

(National Down Syndrome Society, 2007).

IX. Komplikasi

Walaupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai

murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat

Page 27: preskas GDD

defek pada jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat

dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi,

sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat

dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten

dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati Children's

Hospital Medical Center, 2006).

Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung

dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap

operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan

apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik

dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen B, 1996).

Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal

atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan

shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai

dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi

pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting

sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP, 2005).

Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk

menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal

ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang

lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R, 2005).

Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah

terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru.

Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis

reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki

status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal

(Livingstone, 2006).

Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada

penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi

Page 28: preskas GDD

dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada

penderita sindrom Down (Tyler, 2004).

Page 29: preskas GDD

DAFTAR PUSTAKA

Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving

Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.

biomedsearch.com.

Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

Lancet. 2003. Antenatal Screening for Down’s Syndrome. The Lancet volume 362,

issues 9377, p 81.

American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.

www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013

Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic

Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of

Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3

Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id

Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.

Journal of the American Academy of Physician Assistant Apr: 18(4): 45-52.

Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.

University of Rochester School of Medical.

Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in

Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611