46
BAB I PENDAHULUAN Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan luar yang mengganggu. (1) Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan sekret purulen. (1) Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun. (2) Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata. (3) Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum. (3) Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika Serikat, 30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan

preskas rizky

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedokteran

Citation preview

BAB IPENDAHULUANKonjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan luar yang mengganggu. (1)Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan sekret purulen. (1) Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun. (2) Penelitian yang dilakukan diBelanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata. (3)Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum. (3) Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika Serikat, 30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan konjungtivitis alergi. Konjungtivitis juga diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan insidensi 32,9% dari 949 kunjungan di departemen mata Aba Metropolis, Nigeria, pada tahun 2004 hingga 2006. (4)Pada konjungtivitis bakteri, patogen yang umum adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Neisseria meningitidis. Penelitian yang dilakukan di Filadelfia menunjukkan insidensi konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada tahun 2005 hingga 2006. Penelitian di Kentucky pada tahun 1997 hingga 1998 menunjukkan pada 250 kasus konjungtivitis bakteri, 70% disebabkan oleh infeksi Haemophilus influenzae. (3)Patogen umum pada konjungtivitis virus adalah herpes simpleks virus tipe1 dan 2, Varicella zoster, pox virus dan Human Immunodeficiency Virus. (1) Data statistik yang akurat mengenai frekuensi penyakit ini tidak tersedia karena banyak kasus konjungtivitis virus yang tidak mencari pertolongan medis. (4) Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%). (3)Di Amerika Serikat, dari 3% kunjungan di departemen penyakit mata, 15% merupakan keluhan konjungtivitis alergi. (5) Konjungtivitis alergi biasanya disertai dengan riwayat alergi, dan terjadi pada waktu-waktu tertentu. Walaupun prevalensi konjungtivitis alergi tinggi, hanya ada sedikit data mengenai epidemiologinya. Hal ini disebabkan kurangnya kriteria klasifikasi, dan penyakit mata yang disebabkan oleh alergi umumnya tercatat di departemen penyakit alergi. (6)Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan. Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak yang akurat. (5)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Struktur Anatomi dari KonjungtivaKonjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.(2) Konjungtiva terdiri dari tiga bagian: (2)1. Konjungtiva palpebralis: menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva. 0. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2 mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva sesungguhnya.0. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler. Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.0. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.1. Konjungtiva bulbaris: menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3 mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.6 konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.1. Forniks: bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.

Gambar 2.1. Struktur anatomi dari conjungtiva (8)2.2Struktur Histologis dari KonjungtivaLapisan epitel konjungtiva terdiri dari: (1)a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis 5.b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lapis epitelium: lapisan superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan dalam sel kuboid.d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis) epitelium stratified skuamousStroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus): (2)a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir tetapu berkembang setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler.b. Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar. Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu: (1)1. Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada apda tarsal konjungtiva) dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. 1. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:1. Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks, sekitar 42 mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah). Dan1. Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).Suplai arterial konjungtiva:Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh dua set pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk membentuk pleksus perikornea. (1)2.3 DefinisiKonjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri,jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia. (9)2.4 EtiologiKonjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti: (8)a. infeksi oleh virus atau bakteri.b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.c. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet. d. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang. 2.5.Gejala KlinisGejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain: (1)1. Hiperemia. Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh darah konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan menghilang dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi: (10) Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya saat menuju ke arah limbus). Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau cirkumcribed pada tepi limbus). Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus). Injeksi komposit (sering).Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau struktur yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler (contoh, acne rosacea). (8)Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva (11)2. Discharge (sekret). Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari etiologinya. (6)3. Chemosis (edema conjunctiva). Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal akut atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross. (1)

Gambar 4. Kemosis pada mata4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata). Lakrimasi yang tidak normal (illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus menandakan keratokonjungtivitis sika. (1)5. Pseudoptosis. Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior. (1)6. Hipertrofi folikel. Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal). (11).

Gambar 5. gambaran klinis dari folikel (10)7. Hipertrofi papiler. Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel, pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang menyebabkan nekrosis (contoh, trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia (contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka (antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik. (10)

Gambar 6. gambaran klinis hipertrofi papiler

8. Membran dan pseudomembran. Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa perdarahan (pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh epitel. (8)

Gambar 7. Bentukan pseudomembran yang diangkat (10)

9. Phylctenules. Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear. (1)10. Formasi pannus. Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah. (8)

Gambar 8. Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis (12)11. Granuloma. Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma okuloglandular Parinaud. (12)

Gambar 17 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma okuloglandular Parinaud. (12)12. Nodus limfatikus yang membengkak. Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral. (10)Perbedaan jenis-jenis konjungtivitis secara umum. (2)Temuan Klinis UmumViralBakteriKlamidia Alergika

GatalMinimalMinimalMinimalHebat

HiperemiGeneralisataGeneralisataGeneralisataGeneralisata

Mata BerairBanyak SedangSedangMinimal

EksudasiMinimalBanyakBanyakMinimal

Adenopati periaurikularSeringJarangHanya pada konjungtivitis inklusiTidak ada

Pada kerokan dan eksudat yang dipulasMonositBakteri, PMNPMN, sel plasma, dan inklusiEosinofil

Disertai sakit tenggorokan dan demamSeringkaliSering KaliTak PernahTak pernah

2.6. KlasifikasiMenurut penyebab terjadinya, konjungtivitis dibagi menjadi beberapa bagian: (1)a. Konjungtivitis bakteri. b. Konjungtivitis klamidia. c. Konjungtivitis viral. d. Konjungtivitis ricketsia. e. Konjungtivitis jamur. f. Konjungtivitis parasit. g. Konjungtivitis alergi. h. Konjungtivitis kimia atau iritatif 2.7 PatofisiologiKonjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti halnya membran mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah, iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus tersebut. (12)2.8 Gejala dan Tanda KlinisKonjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.0. Demam faringokonjungtivalTipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe 4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis). (13)0. Keratokonjungtivitis epidemika:Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun membran sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea, menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut. (13)

0. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi epitelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi umumnya folikuler namun dapat juga pseudomembranosa. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis HSV. (2)

0. Konjungtivitis hemoragika akutKonjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan kadang-kadang oleh virus coxsakie tipe A24. Yang khas pada konjungtivitis tipe ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang dapat timbul kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi umumnya difus, namun dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan berawal dari konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam, malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang melalui media sprei, alat-alat optik yang terkontaminasi, dan air. (13)0. Konjungtivitis NewcastleKonjungtivitis Newcastle disebabkan oleh virus Newcastle dengan gambaran klinis sama dengan demam faring konjungtiva. Penyakit ini biasanya terdapat pada pekerja peternak unggas yang ditulari virus Newcastle pada unggas. Umumnya penyakit bersifat unilateral walaupun dapat juga bilateral. Konjungtivitis ini memberikan gejala influenza dengan demam ringan, sakit kepala dan nyeri sendi. Konjuntivitis Newcastle akan memberikan keluhan rasa sakit pada mata, gatal, mata berair, penglihatan kabur dan fotofobia. Penyakit ini sembuh dalam jangka waktu kurang dari satu minggu. Pada mata akan terlihat edema palpebral ringan, kemosis dan sekret yang sedikit, dan folikel-folikel yang terutama ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan inferior. Pada kornea ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel. Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri tekan. (4)Konjungtivitis virus menahun meliputi:1. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum

Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putih-mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma. (13)1. Blefarokonjungtivitis varicella-zosterBlefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang nyeri tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluh darahnya. (13)1. Keratokonjungtivitis morbili.Enantema khas morbili seringkali mendahului erupsi kulit. Pada tahap awal konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua. (13)2.9 Diagnosis dan Diagnosis BandingAnamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu sangat penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit ini, pasien akan mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses infeksi (bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien mengalami pseudo-membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada konjungtiva. (2)

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral adalah kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan yang diberikan sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan organisme penyebab kepada tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu. Deteksi terhadap antigen virus dan klamidia dapat dipertimbangkan. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan pada fase akut. (2)1. Konjungtivitis viral akut1. Demam faringokonjungtivaDiagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. (1)1. Keratokonjuntivitis epidemikaVirus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer. Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak. (14)1. Konjungtivitis herpetikPada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear (karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam pulasan giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki nilai diagnostik. Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukan sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intranuklear. (1)1. Konjungtivitis New castleDiagnosis dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran klinisnya. (2)1. Konjungtivitis hemoragik epidemik akutDiagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya. (2)1. Konjungtivitis Viral Kronis0. Blefarokonjungtivitis Molluscum contagiosumBiopsi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi. (2)0. Blefarokonjungtivitis varicella zoosterPada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat mengandung sel raksasa dan monosit. (2)0. Blefarokonjungtivitis morbiliKerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan sel-sel raksasa. (1)Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya. Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat pada tabel dibawah ini. (10)

Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan Subjektif dan Obyektif. (2) Gejala subyektif dan obyektif Glaukoma akutUveitis akutKeratitisK BakteriK. virusK. alergi

PenurunanVisus++++/+++++---

Nyeri++/+++++++---

Fotofobia+++++++---

Halo++-----

Eksudat---/++++++++

Gatal-----++

Demam-----/++-

Injeksi siliar++++++---

Injeksi konjungtiva++++++++++++

Kekeruhan kornea+++-+/++--/+-

Kelainan pupilMidriasis nonrekatifMiosis iregularNormal/miosisNNN

Kedalaman COADangkalNNNNN

Tekanan intraokularTinggiRendahNNNN

Sekret-++++/++++++

Kelenjar preaurikular----+-

Keterangan:0. Konjungtivitis BakterialTerdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme seperti Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan memadai. (10)Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi berat bila tidak diobati secara dini. (2)Tanda dan Gejala- Iritasi mata, - Mata merah, - Sekret mata, - Palpebra terasa lengket saat bangun tidur - Kadang-kadang edema palpebra (2)Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke mata sebelahnya melalui tangan. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll. (2)0. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)1. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)Tanda dan gejalaRadang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab tenggelamnya tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya jika pasien telah mengucek matanya. (10)2. Konjungtivitis VernalisDefinisi Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau, adalah penyakit alergi bilateral yang jarang. (2) Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada musim gugur. (12)Tanda dan gejalaPasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. (2)2.10 KomplikasiKomplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain: Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi ulkus kornea. (2)2.11 PenatalaksanaanKonjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres dingin pada mata 3 4 x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi. (7)Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus dapat diuraikan sebagai berikut:1. Konjungtivitis viral akuta. Demam faringokonjungtivaPengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. (2)b. Keratokonjungtivitis epidemikaHingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakteri. (7)c. Konjungtivitis herpetikUntuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus dilakukan debridement korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti virus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu bangun. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis Varicella zooster pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir 400 mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum. Walaupun diduga steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis dan iritis. (14)d. Konjungtivitis NewcastlePengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik. (10)e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akutPenyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik. Pengobatan antibiotika spektrum luas, sulfacetamide dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari. (12)3. Konjungtivitis viral kronik1. Konjungtivitis Molluscum contagiosumEksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya. (14)1. Blefarokonjungtivitis Varicella zosterPada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x selama 10 hari) (14)1. Keratokonjungtivitis morbiliTidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder. (12)

Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang memeriksa pasien. Langkah langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong, serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah dalam 1 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama. (2)2.12 PrognosisPrognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani dengan baik. (3)

BAB IIILAPORAN KASUS2.1 Identitas pasienNama: YantiUmur: 32 tahunAlamat: Aceh BesarJenis kelamin: PerempuanNo. CM: 1-02-07-692.2 AnamnesisKeluhan utama: Mata merahRiwayat penyakit sekarang:Pasien mengeluhkan kedua matanya merah sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kedua matanya sering berair. Pasien tidak merasakan penglihatan kabur dan juga tidak merasa silau terhadap cahaya. Pasien juga tidak merasa nyeri pada kedua matanya. Riwayat trauma dan alergi disangkal.Riwayat penyakit dahulu:Pasien belum pernah mengalami sakit yang sama. Tidak ada riwayat pemakaian kacamata. Riwayat hipertensi dan DM disangkal.Riwayat penyakit keluarga:Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Terdapat riwayat keluarga dengan kacamata. Riwayat hipertensi dan DM di keluarga disangkal.Riwayat pengobatan:Pasien belum pernah berobatRiwayat kebiasaan:Pasien tidak merokok. Pola makan teratur dan seimbang.

2.3 Pemeriksaan Fisik UmumKeadaan umum: baikKesadaran: compos mentisTanda vitalTekanan darah: 120/80 mmHgNadi: 84 x/ menitSuhu: 37 CRR: 16x/ menit

2.4 Status Ophtalmologis

ODPemeriksaanOS

5/5

Visus5/5

NormalTIONormal

OrtoforiaHirschbergOrtoforia

Normal kesegala arahGerak bola mataNormal kesegala arah

Dalam batas normalPalpebraDalam batas normal

Injeksi konjungtiva (+), injeksi siliar (-), chemosis (-)Conjungtiva bulbiInjeksi konjungtiva (+), injeksi siliar (-), chemosis (-)

Hiperemis (+), edema (-)Conjungtiva tarsalHiperemis (+), edema (-)

Normal : jernih, infiltrat (-)KorneaNormal : jernih, infiltrat (-)

CukupCOACukup

Coklat/ bulat, ukuran 3 mmrct(+), rctl (+)Iris/ PupilCoklat/ bulat, ukuran 3 mmrct (+), rctl (+)

JernihLensaJernih

Tidak dinilaiVitreusTidak dinilai

Tidak dinilaiFundusTidak dinilai

2.5 DiagnosisKonjungtivitis ODS

2.6 TerapiCendo Xitrol ED 4 dd gtt ODSCiprofloxacin 500mg 2 dd tab Na-diklofenac 2 dd tab Sohobion 500mg 1 dd tab 12.7 PrognosisOcular DextraOcular Sinistra

Quo ad vitamAd bonam

Quo ad functionamAd bonam

Quo ad sanationamAd bonam

BAB IVDAFTAR PUSTAKAx1.Vaughan , Daniel G. Oftalmologi Umum Jakarta: Widya Medika; 2000.

2.Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.p128-131.

3.Basic Clinical Science and Course of Ophtalmology. In American Academy of Ophthalmology. In ; 2009; New York.

4.Scott. Viral Conjunctivitis. [Online].; 2011 [cited 2014 September 30. Available from: Available: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall.

5.Majmudar PA. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Lukes Medical CenteR; 2010.

6.Marlin DS. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. [Online].; 2009 [cited 2014 september 30. Available from: [http://emedicine.medscape.com/article/1191370].

7.Budhistira P. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Denpasar; 2009.

8.Khuruna AK. Comrehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and Refraction.: New Age Inernational (P) Limited Publishers; 2007; 12: 36-38.

9.Rapuano CA. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology New York; 2008.

10.James B. Lecture Notes Oftalmologi Jakarta: Erlangga; 2005.

11.Lang GK, Gareis O, Amann J, . Conjunctiva. Dalam: Ophthalmology: a short textbook New York: Thieme; 2000.

12.Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th ed. New York; 2009.

13.Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburrys General Opthalmology. 16th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2004. p108-112.

14.Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1983.

.

x