25
BAB I PENDAHULUAN Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif, bersifat intra selular dan tahan asam. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer. Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil. 1

Preskas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

assdfddddd

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif, bersifat intra selular dan tahan asam. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat) yang bersifat kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain n.ulnaris, n.medianus, n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis posterior, ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru di seluruh dunia sekurangnya 35%. Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah kasus baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 kasus. Dari kasus baru, 95% terdeteksi di seluruh dunia selama tahun 2010 di negara-negara berikut: Angola, Bangladesh, Brazil, China, India, Ethiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan.Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data epidemiologi, jumlah kasus baru pada penyakit Morbus Hansen di Indonesia tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, angka ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua, rata-rata pasien kusta mencapai 1.300 kasus baru tiap tahun. Papua menempati urutan ketiga setelah Papua Barat dan Maluku. Terdapat 17 kabupaten di Papua yang mempunyai angka kasus Morbus Hansen tertinggi.WHO merekomendasikan dengan rejimen kombinasi MDT (Multi Drug Treatment) yang terdiri atas kombinasi dapson, rifampisin, dan klofazimin. Penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan penderita, menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai monoterapi. Namun dalam pelaksanaan program MDT mengalami beberapa masalah. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Obat baru ini harus memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, Yang sudah terbukti efektif antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.BAB IILAPORAN KASUS

I. Identitas PasienNama : Ny. SNo. RM : -Jenis Kelamin : PerempuanUmur : 31 tahunAgama : Islam Pendidikan : SMAPekerjaan : IRTSuku : Jawa Status Marital : MenikahAlamat : JunjangTanggal Pemeriksaan : 29 Juni 2015

II. Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamesis)1. Keluhan UtamaBercak eritema disertai dengan skuama yang berlapis-lapis dan berwarna putih mengkilat pada daerah tangan sejak 7 hari yang lalu.

2. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Arjawinangun dengan keluhan, timbul bercak-bercak kemerahan pada tangan sejak 7 hari yang lalu. Bercak kemerahan tersebut mulai timbul pada tangan pasien disertai skuama yang berlapis-lapis. Kulit terasa kering dan terasa gatal sedang. Nyeri dan rasa baal tidak dikeluhkan pasien.

3. Riwayat Penyakit DahuluPasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti yang dirasakan pasien.

5. Riwayat AlergiRiwayat alergi makanan dan obat obatan disangkal pasien.

6. Riwayat SosialPasien merupakan ibu rumah tangga, tinggal dirumah bersama anak dan suami.

III. Pemeriksaan Fisika. Status GeneralisKeadaan Umum: Tampak sakit ringanKesadaran : ComposmentisTTV : TD : 120/80Nadi : 80 xRespirasi : 24 xSuhu: 36,3 Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran KGB regional (-/-)Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,Abdomen : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), kelainan kulit (+)Ekstermitas : Akral hangat, edema (-/-)Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.b. Status DermatologisLokasi : GeneralisataEfloresensi : Lesi multipel berupa makula eritematosa, skuama, sirkumskrip dengan ukuran numular.

IV. Pemeriksaan PenunjangFenomena tetesan lilin: skuama berubah menjadi warna putih ketika digores dengan kaca objek.V. ResumeSeorang perempuan usia 31 tahun datang ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Arjawinangun pada tanggal 29 Juni 2015 dengan keluhan, timbul bercak-bercak kemerahan pada tangan sejak 7 hari yang lalu. Bercak kemerahan tersebut mulai timbul pada tangan pasien disertai skuama yang berlapis-lapis. Kulit terasa kering dan terasa gatal sedang. Nyeri dan rasa baal tidak dikeluhkan pasien.

VI. Diagnosis KerjaPsoriasis Vulgaris

VII. Diagnosis Bandinga. Dermatitis seboroikb. Dermatofitosisc. Sifilis psoriosiformisVIII. Penatalaksanaana. MedikamentosaMethotrexate 3 x 5 mg per mingguBethametasone creamLoratadine 2 x 10 mgb. Non MedikamentosaPenggunaan sabun bayi untuk menjaga kelembaban kulit.

IX. PrognosisQuo ad vitam : Ad bonamQuo ad fungtionam : Dubia ad bonamQuo ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB IIITINJAUAN PUSTAKADefinisi Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

EpidemiologiBedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data didapatkan india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO).

DiagnosaDagnosa ditegakkan jika ditemukan satu atau beberapa tanda kardinal; pasien dari daerah endemik, lesi kulit karakteristik morbus Hansen dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer, ditemukannya M. leprae pada kulit. Diagnosis penyakit morbus Hansen didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Diagnosis klinik seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaliknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan di tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.bahkan pada satu lesi pun dapat berbeda tipenya.Dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan kalu masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin. Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah tiga minggu.Pada pasien ini ditemukan tanda kardinal dari Morbus Hansen yaitu, pasien berasal dari daerah endemis, ditemukan lesi karakteristik Morbus Hansen pada kulit dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer yaitu n. auricularis magnus.Diagnosa pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis yaitu adanya lesi berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran lentikular sampai numular yang tersebar di daerah wajah dan seluruh tubuh. Selain itu didapatkan gejala klinis lain madarosis; penipisan atau hilangnya alis dan bulu mata bagian lateral, penebalan cuping telinga akibat infiltrat. Selain itu pada pemeriksaan sederhana membandingkan rasa raba pada bagian lesi dan normal didapatkan berkurangnya sensasi pada bagian lesi. Pada pasien ini juga ditemukan adanya pembesaran n. auricularis magnus pada regio coli bilateral.Pemeriksaan bakterioskopik yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA dari hasil kerokan infiltrat pada kedua cuping telinga bagian bawah pasien.Berdasarkan teori, anamnesis dan pemeriksaan maka pasien didiagnosis dengan Morbus Hansen.

KlasifikasiPenentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Tuberkuloid indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stanil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya (lima atau kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan biasanya kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid besar, plak eritematosa dengan batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip dengan lesi pada TT, tetapi lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di sekitar makula besar atau plak. Lesi pada BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak (tapi dapat dihitung) dan terdiri dari plak kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat mengelilingi plak lebih besar. Pada umumnya distribusinya asimetris.Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit pada lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit perubahan dalam tekstur kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan akhirnya pada tubuh. Tempat terjadinya lesi pada awal biasanya tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian telinga, alis mata, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau lutut. Terjadi penebalan saraf perifer yang berkembang dengan lambat.WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)PBMB

Lesi kulit (Makula datar, papul yang meninggi, nodus) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema, Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas > 5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Morbus Hansen Tipe MBSIFATLEPROMATOSA (LL)BORDERLINE LEPROMATOSA (BL)MID BORDERLINE (BB)

Lesi Bentuk

Jumlah

Distribusi Permukaan

Batas Anastesia Makula, Infiltrat difus, Papul, Nodus

Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSimetrisHalus berkilat

Tidak jelasBiasanya tidak jelasMakula, Plakat, Papul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehatHampir simetrisHalus berkilat

Agak jelasTak jelasPlakat, Dome-shaped (kubah), punched outDapat dihitung. Kulit sehat jelas adaAsimetrisAgak kasar, agak berkilatAgak jelasLebih jelas

BTA Lesi kulit Sekret hidungTes LeprominBanyak (ada globus)Banyak (ada globus)NegatifBanyakBiasanya negatifNegatif Agak banyakNegatif Negatif

Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling pasien ini termasuk dalam tipe Morbus Hansen tipe LL (Lepromatosa Polar) karena lama riwayat penyakit pasien yaitu enam tahun. Dimana pasien tidak terlalu menunjukkan perubahan yang cepat atau labil. Lesi kulit pasien berupa makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit pada cuping telinga, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, disertai sedikit hilangnya sensasi pada lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis mata (madarosis) dan bulu mata. Terjadi penebalan saraf perifer, pada n. auricularis magnus yang berkembang dengan lambat.Berdasarkan klasifikasi WHO maka pasien ini dimasukkan kedalam morbus Hansen tipe Multi Basiler karena jumlah lesi yang multipel dan terletak diseluruh tubuh pasien (simetris), hilangnya sensasi kurang jelas.

Diagnosis Banding7. Tinea korporisBiasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan didapatkan penyebabnya adalah jamur.8. Pitiriasis vesikolorPitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi hilangnya sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat. 9. Tuberkulosis kutisTBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar imunologi yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun, lesinya tidak anestesi.10. Birth markTanda lahir (Birth mark) merupakan makula berpigmen yang tidak normal, tetapi secara fisiologis dapat dikatakan normal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa.

PenatalaksanaanPrinsip - prinsip umum penatalaksanaan Morbus Hansen:11. Memberantas perkembangan penyakit Morbus Hansen.12. Mencegah dan mengobati reaksi.13. Mengurangi resiko kerusakan saraf.14. Mengobati komplikasi kerusakan saraf.15. Merehabilitasi pasien ke masyarakat.

Medikamentosa16. Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam bentuk Multi Drug Treatment (MDT) Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan Sekali sebulan Hari ke 1) :1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg. Dosis Harian (Diminum sekali setiap hari - Hari ke 2-28):1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

17. RifampisinDigunakan dalam terapi kombinasi dengan obat lainnya; bekerja menghambat bakteri DNA-dependent RNA polymerase, bersifat bakterisida terhadap M leprae. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.18. DapsonDigunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat bakterisida dan bakteriostatik terhadap mikobakteri; mekanisme kerja menghambat pertumbuhan bakteri. Resistensi terhadap dapson dapat terjadi primer maupun sekunder. Resistensi sekunder terjadi oleh karena penggunaan Dapson sebagai monoterapi, dosis yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, pengobatan yang terlalu lama, setelah 4-24 tahun. Resistensi hanya terjadi pada Morbus Hansen tipe MB. Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom Dapson, hepatitis, hipoalbuminemia. Sindrom Dapson kadang muncul 6 minggu setelah dimulainya terapi dengan dapson dan bermanifestasi sebagai dermatitis, terkait dengan limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis, dan dapat berakibat fatal.19. Klofazimin (Lamprene)Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat menghambat pertumbuhan mikobakteri, mengikat rantai DNA mikobakteri. Memiliki sifat antimikroba tetapi mekanisme aksi belum diketahui secara pasti. Klofazimin juga mempunyai efek anti inflamasi yang berperan dalam penurunan frekuensi dan keparahan ENL pada penderita Morbus Hansen tipe MB.Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Perubahan kulit akan menghilang setelah tiga bulan obat dihentikan. Perubahan warna mulai berkurang terasa dalam enam bulan dan kulit kembali ke warna normal pada akhir satu tahun setelah berhenti penggunaan obat. Pasien yang resisten atau menolak mengkonsumsi klofazimin dapat digantikan dengan Ofloksasin dan Miosiklin.

Pasien merupakan anak anak umur 14 tahun sehingga dosis obat MDT yang diberikan adalah Rifampisin 450 mg/bulan (1 kapsul Rifampisin 300mg dan 1 kapsul Rifampisin 150mg), Dapson 50 mg/bulan, Klofazimin 150 mg/bulan (3 kapsul Klofazimin 50mg); dilanjutkan dengan 1 kapsul Klofazimin 50 mg, dan 1 tablet Dapson 50mg.Terapi diberikan selama 12 bulan.

PrognosisPrognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.

Prognosis pada pasien ini, Quo ad vitam : Ad bonam.Pasien dalam pengobatan sehingga pasien dapat tetap hidup.

Quo ad fungtionam : Dubia ad malam.Dikatakan dubia ad malam karena pasien ini mempunyai riwayat penyakit Morbus Hansen yang cukup lama (8 bulan ) sebelum datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin. Kerusakan saraf jangka panjang dapat terjadi

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.Jika pasien berobat dengan teratur dan tidak putus obat, kemungkinan sembuh dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. Eighth Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1469-1486Childhood leprosy in a tertiary-care hospital in Delhi, India: A reappraisal in thepost-elimination era.Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. h. 73-83.Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2009. p. 665-671.Fixed-duration therapy in leprosy: Limitations and opportunities. http://www.eijd.org/article.asp?issn=00195154;year=2013;volume=58;issue=2;spage=93;epage=100;aulast=Malathihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdfhttp://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Sept11/1619.pdfJames WD, Elston DM, Berger TG. Andrews Diseases of the Skin Clinical Dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011. p. 343-344, 351-352.Journal of Travel Medicine - The Difficulty in Diagnosis and Treatment of Leprosy.http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.17088305.2010.00419.x/pdfLeprosy now: epidemiology, progress, challenges, and research gaps. http://download.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473309911700068.pdf?id=baapX-P3wb6qX6sZ58bwuMedscape Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/220455Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia. http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948Twelve months fixed duration WHO multidrug therapy for multibacillary leprosy: incidence of relapses in Agra field based cohort study. http://icmr.nic.in/ijmr/2013/october/1011.pdfWebMD Leprosy. http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/guide/leprosy-symptoms-treatments-historyWHO - Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem. http://www.paho.org/hq/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=19771&Itemid=WHO Leprosy Today. http://www.who.int/lep/en/Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 1787-1796. 6