Upload
whira-cahbali
View
29
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Edema ↓ ProteinuriaGFR
KejangKoma
Kebutaan
↑ Enzim hati Hemolisis Trombositopenia
Pre-eklampsia
a. Spektrum klinis pre-eklampsia
Pre-eklampsia merupakan kelainan unik yang hanya ditemukan pada kehamilan
manusia. Sejak dahulu pre-eklampsia didefinisikan sebagai trias yang terdiri dari
hipertensi, proteinuria, dan edema pada wanita hamil. Eklampsia adalah terjadinya
kejang pada pasien pre-eklampsia tanpa disertai penyebab lain. Pre-eklampsia biasanya
terjadi pada kehamilan trimester ketiga, walaupun pada beberapa kasus dapat
bermanifestasi lebih awal. Walaupun banyak pasien pre-eklampsia memperlihatkan trias
klasik diatas, namun telah diketahui bahwa kelainan ini sebenarnya merupakan
spektrum dari berbagai tandadan gejala klinis yang menyertai perubahan mikrovaskular
Faktor genetik dan Imunologis
Plasentasi abnormal
↓ Perfusi uteroplasenta
Faktor vaskular
Hipoksia plasenta
↑↑ SFit-1 ↑ VEGF ↓ PIGF ‘Stres oksidatif’
Disfungsi endotel dan trofoblas
↑ Sensitivitas Pressor ↑ Tromboksan ↑ Endotelium ↓ Nitrat oksida ↓ Prostasikin ↑ Agregasi platelet
Jelas endotel
Vasokonstriksi arteri (hipertensi sistemik)
Aktivasi koagulasi intravaskular (DIC)
Lainnya
Ginjal SSP Hati Darah
pada berbagai sistem organ. Kelainan ini dapat timbul dalam berbagai bentuk sehingga
disebut sebagai “great imitator”. Keterlibatan sistem saraf pusat dapat menimbulkan
gejala sakit kepala hebat, gangguan visual, kejang, stroke dan kebutaan. Keterlibatan
ginjal hampir selalu terjadi dan dapat bermanifestasi sebagai proteinuria, oliguria, atau
gagal ginjal. Edema dapat berakumulasipada berbagai tempat, termasuk kaki, tangan,
wajah dan paru. Hemokonsentrasi, trombositopenia, dan hemolisis intravaskular
merupakan tanda-tanda adanya keterlibatan hematologis yang sering ditemukan.
Disfungsi hati sering menyertai perubahan hematologis dan menghasilkan sekelompok
temuan klinis yang dikenal sebagai sindrom HELLP (heamolysis, elevated liver
function test, low platelet). Pasien dengan HELLP sering mengalami nyeri epigastrium
yang tidak jelas yang mungkin disalah artikan sebagai rasa terbakar pada dada, penyakit
batu empedu, atau gejala flu oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kecurigaan
terhadap adanya kelainan ini.
Secara keseluruhan insidensi pre-eklampsia pada populasi obstetric adalah 7 –
10% ; jumlah yang pasti bergabung pada proporsi pasien dengan resiko yang
meningkat. Berbagai faktor resiko pre-eklampsia meliputi status primigravida (kehamilan
pertama), kehamilan kembar, diabetes, hipertensi yang telah ada sebelumnya, interval
antar kehamilan yang jauh, pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat pre-
eklampsia dalam keluarga, mola hidatidosa dan kelainan pembekuan darah yang
diturunkan atau yang didapat (misalnya defisiensi protein S dan protein C serta adanya
antibody antifosfolipid). Terdapat tumpang tindih antara faktor resiko pre-eklampsia
dalam pertumbuhan janin terhambat (fetal growth restriction, FGR). Lebih jauh lagi,
adanya FGR mungkin merupakan tanda pertama pre-eklampsia yang akan datang dan
wanita dengan pre-eklampsia memiliki resiko untuk melahirkan bayi dengan
pertumbuhan terhambat.
Jika tidak diterapi, pre-eklampsia dapat menyebabkan morbiditas yang tinggi dan
bahkan dapat fatal. Terapi utama pada kondisi ini adalah mengakhiri kehamilan. Ini
merupakan terapi yang sangat efektif yang akan mengembalikan keadaan fisiologis
menjadi normal setelah dilakukan persalinan sehingga tidak akan terjadi kerusakan
jaringan yang permanen. Jika si ibu diobati secara medis selama persalinan dan masa
pemulihan postpartum, ginjalnya akan mulai membuat urin kembali, darah akan
membeku dan kejang akan berhenti. Walaupun pre-eklampsia berpotensi untuk sembuh
100% dengan diagnosis dan terapi yang tepat, namun pre-eklampsia tetap merupakan
salah satu penyebab kamatian ibu yang paling sering, baik di Negara maju maupun
berkembang.
b. Mekanisme yang berpotensi pada pathogenesis pre-eklampsia
Telah diketahui bahwa kelainan plasenta merupakan pusat pathogenesis pre-
eklampsia. Persalinan dapat menyembuhkan pre-eklampsia dan mola hidatidosa, yaitu
suatu bentuk penyakit trofoblas gestasional yang ditandai oleh adanya pertumbuhan
plasenta yang berlebih namun dengan janin yang tidak berkembang, yang merupakan
predisposisi pre-eklampsia. Pada awalnya diperkirakan bahwa plasenta mensekresi
toksin yang menyebabkan pre-eklampsia dan kelainan tersebut dikenal sebagai
“toksemia”. Sementara belum ada toksin tertentu yang dapat diidentifikasi di dalam
sirkulasi pasien pre-eklampsia, namun konsentrasi abnormal dari berbagai metabolit
spesifik ditemukan pada banyak pasien ini. Tromboksan yang bersirkulasi, suatu
prostaglandin vasokonstriktor, meningkat saat produksi nitrat oksida dibawah normal.
Sitokin, fragmen plasenta, radikal bebas dan oksigen reaktif juga meningkatpada
sebagian besar pasien. Baru-baru ini, suatu bentuk reseptor faktor pertumbuhan endotel
vaskular (vascular endothelial growth factor, VEGF) yang mudah larut (sVEGFR-1 dan
sFlt-1) dengan nyata meningkat di dalam serum wanita hamil beberapa minggu sebelum
timbul gejala pre-eklampsia.
Teori mengenai etiologi pre-eklampsia sangat banyak, namun tidak ada satu pun
mekanisme yang terbukti benar-benar bertanggung jawab. Tampaknya terdapat
beberapa penyebab penyakit yang bersatu membentuk mekanisme akhir yang umum.
Pemeriksaan pada pembuluh darah kecil pada uterus wanita dengan pre-eklampsia
sering menunjukkan kegagalan invasi trofoblas pada arteri spiralis (lihat gambar dibawah
ini; bandingkan dengan plasentasi normal). Ada beberapa penjelasan mengenai
bagaimana sitotrofoblas gagal menginvasi pembuluh darah ini. Konversi molecular
trofoblas dari jenis sel epitel menjadi sel edotel dapat tidak terjadi. Diferensiasi
sitotrofoblas menjadi fenotipe yang invasive disertai oleh produksi VEGF dan suatu
faktor pertumbuhan plasenta, PIGF. Plasenta dari kehamilan dengan pre-eklampsia
mensekresi jumlah sFlt-1 yang meningkat, suatu antagonis VEGF yang mudah larut.
sFlt-1 yang berlebihan dapat menghambat atau mengurangi perkembangan fenotipe
yang invasif.
Wanita dengan pre-eklampsia dapat mengalami kelainan pada aktivasi imun dan
hal ini dapat menghambat invasi trofoblas pada pembuluh darah ibu. Hal ini dapat
menjelaskan bagaimana pre-eklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang terpajan
antigenpaternal untuk yang pertama kali: kehamilan pertama atau, pada wanita
multigravida, kehamilan yang pertama dengan pasangan baru. Hilangnya toleransi
imunitas juga menjelaskan mengapa interval antar kehamilan yang jauh merupakan
faktor resiko pre-eklampsia. Aktivasi abnormal pada sistem imun merupakan penyebab
penyakit autoimun lainnya, seperti lupus eritematosus sistemik, yang meningkatkan
resiko pre-eklampsia. Kadar sitokin serum yang meningkat terdeteksi pada wanita
dengan pre-eklampsia juga dapat disebabkan oleh kelainan imunologis primer.
Kelainan genetik tertentu dapat terlibat pada patofisiologi pre-eklampsia. Wanita
yang membawa mutasi pada komplemen reseptor CR-1 memiliki resiko yang meningkat
terhadap pre-eklampsia. Resistensi insulin yang telah ada juga meningkatkan resiko.
Fakta bahwa riwayat pre-eklampsia pada keluarga meningkatkan resiko penyakit ini
menunjukkan bahwa mungkin terdapat banyak pre-disposisi genetik pada penyakit ini.
Ketidakcocokan antara kebutuhan janin/plasenta dengan kemampuan ibu untuk
memenuhinya dapat menyebabkan pre-eklampsia dan akan menjelaskan berbagai faktor
resiko seperti kehamilan multiple, penyakit vaskular ibu dan status hiperkoagilasi.
Pendukung teori ini menunjukkan bahwa janin yang kurang gizi mengirimkan sinyal
kepada ibu untuk meningkatkan perfusi plasenta. Jika ibu tidak mengkompensasi untuk
merespons sinyal tersebut, janin akan mengirimkan lebih banyak sinyal lagi. Pre-
eklampsia disebabkan oleh sinyal yang berlebihan ini. Misalnya, hipoksia terbukti
meningkatkan produksi sFlt-1 oleh sitotrofoblas. Peningkatan sFlt-1 mungkin merupakan
bagian dari pathogenesis pre-eklampsia.
Sementara hal-hal yang mengawali kelainan plasenta belum jelas, mekanisme
akhir yang umum pada pre-eklampsia dikenal sebagai disfungsi dan jejas endotel.
Endotel vaskular biasanya berfungsi mencegah mikrokoagulasi dan memodulasi tonus
vaskular. Jejas vaskular menyebabkan koagulasi dan merubah respons otot polos
vaskular menjadi zat vasoaktif. Seringkali, zat yang bekerja sebagai vasodilator pada
endotel yang intak akan menyebabkan vasokonstriksi pada endotel yang rusak. Pada
pre-eklampsia, disfungsi endotel saja dapat menjelaskan trias dasar : hipertensi
(vasospasme), edema (kebocoran kapiler) dan proteinuria (kerusakan sel ginjal akibat
hipoperfusi). Percobaan-percobaan pada model binatang menunjukkan bahwa kelebihan
sFlt-1 dapat langsung menghasilkan beberapa disfungsi organ yang terlibat pada pre-
eklampsia. Apa yang masih belum dapat dijelaskan adalah mengapa hanya beberapa,
namun tidak semua, tanda dan gejala pre-eklampsia yang tampak pada pasien.