Upload
ndkhrns
View
180
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Skenario C Polineuropati Diabetik Blok Neuromuskuloskeletal
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Sistem Neuromuskuloskeletal adalah blok kesembilan pada Semester
III dari sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Salah satu strategi
pembelajaran sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini adalah Problem
Based Learning (PBL). Tutorial merupakan pengimplementasian dari metode
Problem Based Learning (PBL). Dalam tutorial mahasiswa dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil dan setiap kelompok dibimbing oleh seorang
tutor/dosen sebagai fasilitator untuk memecahkan kasus yang ada.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario C yang
memaparkan kasus pada Ny. Fatimah, 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan
keluhan utama kesemutan dan nyeri pada keempat anggota gerak, terutama
anggota gerak bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini
terutama dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan
ini baru pertama kali diderita. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari
jongkok ketika BAB serta berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika
shalat. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada malam
hari sejak 6 tahun yang lalu. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing
manis dalam keluarga juga tidak ada. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur
sejak 5 tahun yang lalu, minum obat tekanan darah tinggi tidak teratur. Riwayat
minum obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat infeksi
saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan studi kasus ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 1
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan
metode analisis dan pembelajaran studi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari pembelajaran tutorial berdasarkan langkah-
langkah seven jump.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Data Tutorial
Tutor : dr. Indriyani
Moderator : Yola Akma Rinda
Sekretaris : Nadia Khoirunnisa Pasaribu
Notulis : Efri Handriansyah
Waktu : Senin, 17 November 2014
Rule tutorial : 1. Dilarang mengaktifkan ponsel.
2. Dilarang makan di dalam ruangan.
3. Dilarang keluar tanpa izin tutor.
4. Boleh menjawab / mengajukan pertanyaan
setelah ditunjuk oleh moderator.
2.2. Skenario Kasus
Ny. Fatimah, 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama
kesemutan dan nyeri pada keempat anggota gerak, terutama anggota gerak
bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama
dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan ini
baru pertama kali diderita. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari
jongkok ketika BAB serta berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika
shalat. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada
malam hari sejak 6 tahun yang lalu. Riwayat kencing manis disangkal.
Riwayat kencing manis dalam keluarga juga tidak ada. Riwayat darah tinggi
dan penglihatan kabur sejak 5 tahun yang lalu, minum obat tekanan darah
tinggi tidak teratur. Riwayat minum obat-obatan lain disangkal. Riwayat
trauma disangkal, riwayat infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna 1
bulan terakhir disangkal.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 3
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: compos mentis
Tanda vital: TD: 170/95 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, suhu 37oc,
VAS (Visual Analog Scale): 4
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
refleks fisiologis menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai
bawah, refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan
dan kaos kaki.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb: 13 mg/dl, leukosit: 7000, eritrosit: 5.000.000, trombosit:
380.000
GDS: 440 mg/dl, HbA1C: 12,3%, ureum: 35 mg/dl, kreatinin: 1,2 mg/dl
SGOT: 30 u/l, SGPT: 23 u/l
2.3. Klarifikasi Istilah
1. Poliklinik : balai pengobatan umum bagi
pasien rawat jalan, tidak untuk
pasien rawat inap.
2. Kesemutan : perasaan sakit, sensasi abnormal
seperti ditusuk-tusuk.
3. Darah tinggi : tingginya tekanan darah arteri
secara resisten.
4. Visus : ketajaman penglihatan.
5. VAS : alat ukur yang digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri.
6. Kencing manis (DM) : sindrom kronik gangguan
metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak akibat sekresi insulin
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 4
yang tidak mencukupi atau adanya
resistensi insulin di jaringan target.
7. Sensibilitas : kemampuan untuk
merasakan atau mengenali.
8. Ureum : hasil akhir metabolisme protein.
9. SGOT : serum glutamic-oxabaetic trans-
aminase, lihat aspartate trans-
aminase.
10. SGPT : serum glutamic-pyruvic trans-
aminase, lihat alanine transaminase
11. Kreatinin : produk sisa dari perombakan
kreatin fosfat didalam otot.
2.4. Identifikasi Masalah
1. Ny. Fatimah, 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama
kesemutan dan nyeri pada keempat anggota gerak, terutama anggota gerak
bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama
dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan ini
baru pertama kali diderita.
2. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta
berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika shalat.
3. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada malam
hari sejak 6 tahun yang lalu.
4. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing manis dalam keluarga
juga tidak ada. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun
yang lalu, minum obat tekanan darah tinggi tidak teratur. Riwayat minum
obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat infeksi
saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.
5. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: compos mentis
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 5
Tanda vital: TD: 170/95 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, suhu 37oc,
VAS (Visual Analog Scale): 4
6. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
refleks fisiologis menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai
bawah, refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan
dan kaos kaki.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb: 13 mg/dl, leukosit: 7000, eritrosit: 5.000.000, trombosit:
380.000
GDS: 440 mg/dl, HbA1C: 12,3%, ureum: 35 mg/dl, kreatinin: 1,2 mg/dl
SGOT: 30 u/l, SGPT: 23 u/l
2.5. Analisis dan Sintesis Masalah
1. Ny. Fatimah, 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama
kesemutan dan nyeri pada keempat anggota gerak, terutama anggota gerak
bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama
dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan ini
baru pertama kali diderita.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
Jawab:
Penuaan merupakan proses fisiologis yang dihubungkan dengan
perubahan anatomi dan fisiologis semua sistem dalam tubuh, di mana
perubahan itu umumnya dimulai pada umur pertengahan. Umur lanjut
akan menyebabkan kelainan pada saraf tepi karena terjadi penurunan
aliran darah pada pembuluh darah yang menuju ke saraf tepi dan
berkurangnya secara progresif serabut-serabut baik yang bermielin
maupun tidak. Perubahan pada serabut saraf besar karakteristik ditandai
dengan hilangnya refleks Achilles dan gangguan sensitivitas vibrasi pada
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 6
kaki. Sedangkan serabut saraf kecil terjadi penipisan akson yang dapat
menjelaskan kerentaan umur lanjut terhadap timbulnya neuropati.
(Priyantono, Teguh : 2005)
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
hal, diantaranya:
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga harus dikaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. Sedangkan pada
lanjut usia, terjadi perubahan-perubahan seperti sebagai berikut.
a) Sistem Persarafan.
Berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf
otaknya dalam setiap harinya).
Cepatnya menurun hubungan persarafan.
Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan
stres.
Mengecilnya saraf panca indra.Berkurangnya penglihatan,
hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf pencium dan perasa,
lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya
ketahanan terhadap dingin.
Kurang sensitif terhadap sentuhan.
b) Sistem Penglihatan.
Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak.
Meningkatnya ambang, pengamatan sinar,daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.
Hilangnya daya akomodasi.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 7
Menurunnya lapangan pandang, berkurang luas pandangannya.
Menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.
c) Sistem Perkemihan.
Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh
melalui urin, darah yang masuk ke ginjal disaring di glomerulus
(nefron). Nefron menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50%.
Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil
meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.
2. Jenis Kelamin
Pada usia 40-70 tahun keluhan nyeri lebih banyak terjadi pada wanita.
Hal tersebut berpengaruh dengan adanya paritas/kehamilan dan
persentase timbunan lemak badan pada wanita lebih besar dibandingkan
dengan laki-laki.
Berdasarkan sintesis diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan usia
dan jenis kelamin dengan keluhan nyeri dan kesemutan pada Ny. Fatimah
adalah pada usia 53 tahun (lansia) cenderung mengalami nyeri yang
dialami, ini merupakan akibat dari penuaan. Pada usia tersebut juga
terjadi perubahan sistem saraf dimana hubungan persarafan cepat
menurun, sedangkan nyeri dan kesemutan banyak terjadi pada wanita
karena adanya paritas/kehamilan dan persentase timbunan lemak badan
pada wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
(Elvianur, S : 2011)
b. Apa makna kesemutan dan nyeri pada keempat anggota gerak terutama
anggota gerak bawah sejak 6 bulan lalu secara perlahan-lahan?
Jawab:
Dilihat dari jenis kelemahan ototnya, Ny. Fatimah mengalami
tetraparese yaitu kelemahan otot pada keempat extremitas yang
disebabkan oleh trauma atau penyakit pada manusia yang menyebabkan
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 8
hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak dengan
kelumpuhan atau kelemahan lengan dan tungkai. (Isselbacher, dkk. 2000)
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial atau tidak lengkap,
merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan
atau gerakan terganggu. Parese pada anggota gerak dibagi menjadi:
1. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah.
2. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
3. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
4. Tetraparese adalah kelumpuhan atau kelemahan yang disebabkan oleh
trauma atau penyakit pada manusia yang menyebabkan hilangnya
sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan
kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.
Berdasarkan kemunculan nyerinya, menurut The International
Association for the Study of Pain (IASP), nyeri dapat dibedakan menjadi:
1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau
kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan
suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa
nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat penyakit atau
trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara, kemudian akan
mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada nosiseptor
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan
fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah,
berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari
suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan patologis
yang telah berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi
penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir
dengan jelas. (Syafrita, Yuliarni : 2011)
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 9
Berdasarkan sintesis diatas, dapat disimpulkan bahwa dari lama
keluhannya, maka tetraparese serta nyeri yang dialami Ny. Fatimah
termasuk ke dalam golongan kronis karena jarak waktunya yang cukup
lama. Hal ini sesuai dengan karakteristik nyeri kronik yakni awitan
bertahap, menetap dan lebih lama dari 6 bulan. Selain itu, pada
polineuropati diabetik keluhan timbul secara perlahan karena
memerlukan waktu untuk menimbulkan gejala, tidak dalam waktu yang
cepat.
c. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi ekstremitas?
Jawab:
1. Anatomi
Ekstremitas inferior:
Gambar 1. Ekstremitas inferior
Tulang-tulang yang terdapat pada ekstremitas inferior adalah sebagai
berikut.
a) Ossa coxae
b) Ossa Femur
c) Ossa Tibia
d) Ossa Fibula
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 10
e) Ossa Patellae
f) Ossa Tarsalia
Talus
Calcaneus
Os naviculare
Os cuboideum
Os cuneiforme laterale
Os cuneiforme intermedium
Os cuneiforme mediale
Ossa Metatarsalia
Phalanges
(Sukamti,2002)
Gambar 2. Otot pada ekstremitas inferior
Otot yang terdapat pada ekstremitas inferior adalah sebagai berikut.
a) M. sartorius:
b) M. rectus femoris
c) Vastus medialis:
d) Vastus lateralis
e) Vastus intermedius
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 11
f) M. Tensor fasialatae
g) M. pectenius
h) M. adduktor longgus
i) M. gracilis
j) M. Adduktor brevis
k) M. Adduktor magnus
l) M. pectineus
m)M. adductor longus (potongan)
n) M. vastus intermedius
o) M. vastus lateralis
p) M. vastus medialis
-
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 12
-
-
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 13
(Snell. 2006)
2. Fisiologi
Kontraksi adalah upaya dari otot untuk menghasilkan gaya/force
(muscle tension) melawan beban kontraksi otot memerlukan energi.
Dalam kondisi normal, otot berkontraksi secara sadar karena
rangsangan listrik dan saraf.
Kontraksi otot dicetuskan oleh rangsangan listrik dari syaraf,
kemudian rangsangan itu diteruskan ke otot melalui 2 tahap stimulasi
yaitu:
1) Neuro-muscular junction (pertemuan syaraf-otot)
2) Excitation-contraktion coupling
Setelah sampai pada neuro-muscular junction, potensial aksi
merangsang pelepasan asetilkolin di ujung syaraf. Asetilkolin yang
keluar merangsang potensial aksi di otot. Potensial aksi memacu
proses excitation-contraction coupling.
Excitation-contraction coupling diawali dengan prubahan
permeabilitas dinding sel otot terhadap ion Na+ dan k+ karena
asetilkolin. Perubahan permeabilitas menimbulkan potensial aksi.
Potensial aksi kemudian berjalan ke seluruh dinding sel otot dan ada
yang masuk ke tengah-tengah sel otot melalui tubulus-T.
Potensial aksi memacu pelepasan ion Ca+ dari reticulum
sarkoplasma. Ion Ca+ yang keluar ini akan menempel di troponin.
Troponin bersama ion Ca+ akan menarik tropomiosin yang menempel
pada myosin binding-site di aktin. Aktin pun terbuka dan langsung di
temple oleh kepala miosin untuk berkontraksi. Kepala miosin menarik
aktin ke pusat sarkomer sehingga terjadi sliding/pergeseran aktin
terhadap miosin (sliding filament).
Sliding filament theory merupakan pemendekan otot akibat
pergeseran aktin terhadap miosin (overlapping) karena kepala miosin
menarik aktin ke pusat sarkomer. Penarikan aktin terjadi berkali-kali
seperti kumpulan orang yang manarik tambang.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 14
Siklus kontraksi
Siklus kontraksi terjadi setelah fase excitation-contraction
coupling, di mana troponin yang ditempel ion Ca+ menarik
tropomiosin dari aktin sehingga miosin binding-site di aktin terbuka.
Fase-fase siklus kontraksi adalah sebagai berikut.
a) Rigor state, kepala aktin masih menempel di aktin setelah selesai
power stroke.
b) ATP yang baru datang dan menempel pada kepala miosin,
menyebabkan lepasnya kepala miosin dari aktin.
c) ATP di kepala miosin mengalami hidrolis menjadi ADP dan Pi.
d) Miosin yang lepas dan ditempel ATP, untuk menempel pada
molekul G-aktin yang baru.
e) Power stroke, energi potensial yang tersimpan di Pi, lepas dan
berubah menjadi energy kinetic, menyebabkan kepala miosin
berotasi mendorong aktin mendekati pusat sarkomer.
f) ADP lepas, kepala miosin tetap melekat ke aktin, siap untuk siklus
berikutnya bila ada ATP yang baru.
3. Histologi
a) Histologi dan metabolisme tulang
Histologi adalah studi jaringan pada tingkat mikroskopik.
Tulang imatur dan matur berbeda strukturnya. Tulang imatur lebih
primitif dalam istilah evolusi phylogenetiknya, berupa jaringan ikat
yang kasar dan seperti jala kolagen, polanya random dan tidak
teratur orientasinya. Tulang imatur lebih banyak memiliki
osteocyte, biasanya terdapat pada tulang yang menderita tumor,
pada penyembuhan fraktur dan pada rangka embrionik.
Tulang kompakta tidak bisa diberi nutrisi melalui difusi
permukaan pembuluh-pembuluh darah, sehingga memerlukan
sistem Haversi. Tulang trabekular lebih porus dan menerima nutrisi
dari pembuluh darah di sekitar ruang sumsum. Tulang dewasa baik
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 15
yang kompakta maupun trabekular secara histologis adalah tulang
lamela.
Pemeriksaan makroskopik potongan melintang tulang kompakta
umumnya menunjukkan 4 sampai dengan 8 cincin konsentris yang
dinamakan lamella haversi. Pemeriksaan setiap lamella
menunjukkan tumpukan paralel serabut kolagen. Serabut kolagen
pada lamela berikutnya berorientasi ke arah yang berbeda.
Perbedaan arah serabut-serabut kolagen ini menambah kekuatan
struktur tulang.
Setiap batang potongan melintang tulang kompakta lamelar
disebut sistem Haversi atau osteon berukuran 0,3 mm diameternya
dan 3-5 mm panjangnya. Inti sistem Haversi adalah kanal Haversi
dimana darah, limfe dan serabut saraf lewat. Kanal-kanal kecil
tambahan disebut kanal-kanal Volkmann membelah jaringan tulang
secara oblique pada sudut runcing di permukaan periosteal dan
endosteal untuk menghubungkan kanal-kanal Haversi, membentuk
jaringan yang menyuplai darah dan limfe ke sel-sel tulang panjang.
Lubang-lubang kecil di dalam setiap lamela disebut lacunae.
Setiap lacunae mempunyai sel-sel tulang disebut osteocyte. Nutrisi
ditransport ke sel-sel ini melalui kanalikuli. Osteoblast adalah sel-
sel tulang yang berfungsi untuk membentuk, sintesis dan deposit
materi tulang, biasanya terkonsentrasi di bawah periosteum.
Osteoblast membuat osteoid, matriks organik tak terkalsifikasi
yang kaya kolagen. Kalsifikasi tulang terjadi sebagai kristal-kristal
hydroxyapatite, komponen anorganik tulang. Ketika osteoblast
dikelilingi matriks tulang, disebut osteocyte, sel-sel yang terletak di
dalam lacunae dan bertanggung jawab memelihara tulang.
Osteoklas bertugas mereabsorbsi tulang. Pembentukan kembali
atau remodeling tulang terjadi pada tingkat seluler dimana
osteoklas mereabsorbsi jaringan tulang dan osteoblast membangun
jaringan tulang. (Ricardo, Benjamin : 2010)
b) Histologi otot
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 16
Jaringan otot menyusun 40 % hingga 50 % berat total tubuh
manusia dan tersusun atas serabut-serabut otot. 4 ciri jaringan otot
antara lain: (1) iritabilitas atau peka terhadap rangsang; (2)
kontraktil (mampu memendek dan menebal); (3) relaksasi atau
mampu memanjang; (4) elastisitas atau mampu kembali ke bentuk
semula setelah kontraksi atau relaksasi. Melalui gerak
kontraksinya, otot melakukan 3 fungsi yaitu gerak,
mempertahankan bentuk dan produksi panas.
Secara histologis, ada 3 macam jaringan otot yaitu jaringan otot
rangka, jaringan otot jantung dan jaringan otot polos.
1) Jaringan otot rangka
Jaringan otot rangka terdiri atas sel-sel otot rangka yang panjang
(panjangnya sampai 4 cm), diameter 10–100 m, berinti banyak
dan disebut serabut otot. Sel otot merupakan sinsitium
(gabungan sel dengan batas antar sel tidak jelas) dari beberapa
sel. Bagian-bagian penyusunnya adalah:
Sarkolemma: membran plasma
Sarkoplasma: sitoplasma
Nukleus: terdapat beberapa nukleus pada setiap sel dan
letaknya berdekatan dengan sarkolemma.
Mitokondria
Retikulum endoplamik
Miofibril yang terdiri dari filamen tipis (aktin) dan filamen
tebal (miosin)
Gambar 3. Irisan membujur otot rangka
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 17
Miofibril merupakan unit fungsional otot dan disebut
sarkomer. Susunan aktin dan miosin menimbulkan adanya
garis-garis terang dan gelap. Garis terang (pita I/ isotropik)
adalah daerah dimana hanya terdapat filamen tipis/aktin . Garis-
garis gelap (pita A/ anisotropik) adalah daerah dimana filamen
tipis dan tebal saling bertindihan (overlap). Pada garis gelap
terdapat daerah terang yang disebut pita H. Pita H terdiri dari
senyawa aktin. Pada pita I terdapat daerah gelap yang disebut
pita Z. Pita Z merupakan batas antara sarkomer yang satu
dengan sarkomer yang lain dan tersusun atas suatu protein titin.
Jaringan otot dikelilingi oleh jaringan ikat. Jaringan ikat
yang mengelilingi serabut otot dinamakan endomisium,
jaringan ikat yang mengelilingi berkas otot dinamakan
perimisium, dan jaringan ikat yang mengelilingi kumpulan
berkas otot dinamakan epimisium (jaringan ikat paling luar
yang membungkus berkas-berkas otot).
2) Jaringan otot jantung
Ciri khas otot jantung yaitu:
Sel-selnya bercabang-cabang.
Pada sel ada garis-garis gelap dan terang seperti otot rangka.
Pada sel terdapat garis-garis transversal yang gelap,
dinamakan diskus interkalaris.
Inti sel 1-2 dan terletak di tengah.
Jaringan otot jantung terdapat pada dinding jantung.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 18
Gambar 4. Irisan membujur jaringan otot jantung
Pada jantung ada 3 hubungan khusus pada diskus interkalaris
yaitu:
Fascia adherens: tempat perlekatan filamen aktin pada
sarkomer terminal.
Maskula adherens: mempersatukan otot jantung agar tidak
terpisah pada saat kontraksi terus menerus (hubungan antar
sarkomer).
Gap junction: kontinuitas ionik di antara sel-sel yang
berdekatan.
3) Jaringan otot polos
Otot polos mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Selnya pendek, berbentuk gelendong/kumparan, dengan
ukuran panjang 30 – 200 m dan diameter 5-10 m.
Setiap sel memiliki satu nukleus pipih yang terletak di tengah
Terdapat organel-organel seperti mitokondria, retikulum
endoplasma dan benda golgi.
Terdapat jaringan ikat yang membungkus sel, berkas dan
kumpulan berkas (endomisium, perimisium dan epimisium)
Kontraksinya lambat dan diatur oleh saraf tak sadar (saraf
simpatis dan para simpatis dari saraf otonom).
Terdapat aktin dan miosin, yang merupakan unit fungsional
untuk kontraksi otot.
Jaringan otot polos terletak di dalam dinding organ-organ
dalam yang berongga seperti saluran-saluran pencernaan,
pernapasan, ekskresi, dan reproduksi. Otot polos dapat
tersebar di dalam jaringan ikat tertentu seperti pada kelenjar
prostat dan vesikulus seminalis. Otot polos dapat berkelompok
membentuk berkas otot kecil, misalnya pada muskulus erektor
pili di dalam kulit). (L.C, Junqueira dan Carneiro : 1980)
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 19
d. Apa etiologi nyeri dan kesemutan?
Jawab:
Berdasarkan teori pathways nyeri dan kesemutan (paestesia) disebabkan
karena gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat
kekurangan insulin. Pada jaringan saraf terjadi:
a) Penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol
yang dapat nemimbulkan neuropati.
b) Perubahan kimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan
metabolik sel-sel schwan dan menyebabkan hilangnya akson.
c) Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini
perjalanan neuropati.
d) Selanjutnya timbul nyeri, paretesia, kurangnya sensasi getar dan
propriseptik, gangguan motorik yg disertai hilangnya refleks tendon
dalam, kelemahan otot dan atrofi.
(Price : 2006)
e. Apa saja penyakit dengan keluhan nyeri dan kesemutan?
Jawab:
1. Diabetes melitus
2. Stroke
3. Reumatoid artritis
4. Spasmofilia
5. Guillain Barre Syndrome
6. Penyakit jantung
7. Anemia
(Price : 2006)
f. Bagaimana mekanisme nyeri dan kesemutan?
Jawab:
1. Mekanisme nyeri
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxiuous sampai terjadi pengalaman subjektif nyeri
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 20
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari
stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuous pada
jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi
nociceptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan
dirubah menjadi potensial aksi. Proses ini disebut
transduksi atau aktivasi resepto. Selanjutnya potensial
aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron
susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri.
Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari
neuron aferen primer ke kornu dorsalis, medulla
spinalis. Pada kornu dorsalis ini, neuron aferen primer
bersinaps dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini,
jaringan neuron tersebut akan naik ke atas di medula
spinalis menuju batang otak dan thalamus. Selanjutnya
terjadi hubungan timbal balik antara thalamus dan
pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nociceptif tidak selalu
menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi
nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nociceptif. Terdapat
proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi
proses nyeri tersebut, tanpa modulasi sinyal yang
paling diketahui pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri
direlai menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman
yang tidak menyenangkan.
(Aru, Sudoyo : 2009)
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 21
Rangsangan nyeri aktivitas listrik di reseptor nyeri depolarisasi
membran reseptor impuls nyeri saraf perifer medulla spinalis
batang otak dan thalamus korteks serebri persepsi nyeri.
Transduksi stimuli akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik
aktivitas listrik ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A
delta dan saraf tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis,
talamus, dan korteks serebri modulasi sepanjang saraf perifer dan
disusun saraf pusat impuls listrik dipersepsikan dan
didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas nyeri rangsangan
dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin) dan agen
kimiawi yang dilepaskan karena trauma/inflamasi nyeri.
(Mansjoer, Arif dkk. 2000)
2. Mekanisme kesemutan
Kesemutan adalah perasaan pegal dan nyeri yang menusuk-nusuk.
Kesemutan sering terjadi pada ujung jari kaki maupun ujung jari
tangan, juga pada salah satu sisi tubuh. Penyebabnya karena
tertindihnya saraf di suatu daerah atau organ tubuh sehingga ujung
saraf menjadi lumpuh (Wijayakusuma, 1999). Rasa kesemutan bisa
terjadi di seluruh tubuh, hanya di salah satu sisi tubuh atau bagian
tertentu dan bisa berlanjut sebagai rasa tebal. Penyebabnya adalah jika
terjadi di seluruh tubuh bisa disebabkan gangguan liver, ginjal anemia
dan sistem kekebalan tubuh, jika kesemutan dirasakan di salah satu
sisi tubuh bisa disebabkan jepitan saraf di sebelah atas tempat yang
kesemutan, DM (daerah kaki). (Wratsonggo & Sulistyo, 2006)
Berikut ini yang terjadi pada kondisi normal. Ketika tekanan yang
berlebihan dialami oleh salah satu bagian kaki atau lengan, ada
beberapa hal yang terjadi. Arteri bisa tertekan, sehingga arteri tidak
bisa memasok jaringan-jaringan dan saraf dengan oksigen dan glukosa
yang dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik. Saluran saraf juga
bisa tersumbat, menghalangi transmisi normal impuls-impuls
elektrokimia ke otak. Dalam situasi ini, sebagian saraf berhenti
mengirimkan sinyal sementara sebagian lain mengirimkan sinyal
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 22
secara berlebihan. Sinyal sinyal tersebut dikirimkan ke otak, lalu
ditafsirkan sebagai rasa terbakar, rasa ditusuk-tusuk atau seperti
digigit semut. Semua rasa tadi yang membuat kita ingin menggerakan
tangan. Menguncang-guncang kaki bisa menghilangkan tekanan dan
sel-sel saraf mulai mengirimkan sinyal secara normal. (Wratsonggo &
Sulistyo, 2006)
Mekanisme kesemutan jika dikaitkan dengan DM:
DM hiperglikemi endothelium arteri rusak arterosklerosis
thrombus beredar divaskular O2 dan nutrisi tubuh, semakin
distal menyempit suplai darah ke bagian distal saraf perifer
menurun gangguan saraf sensorik kesemutan.
Pada saat seseorang mengalami hiperglikemia. Menyebabkan
penumpukan organ pengguna glukosa secara independen (retina,
saraf, ginjal). Konvensi glukosa yang tidak terpakai akan dirubah
menjadi sorbitol dan fruktosan melalui enzim aldose reductase dan
sarbitol dehidrogenase. Sarbitol ini nanti akan melekat pada cell
myielin sehingga akan menyebabkan saraf perifer terhimpit karena
adanya sarbitol pada sel myelin. Sedangkan kita ketahui sendiri bahwa
sel myielin melekat pada sel saraf. Akibat terjadi penyempitan saraf
inilah menyebakan hantaran saraf terhambat lalu terjadilah kesemutan.
g. Apa makna keluhan dirasakan menjelang tidur dan baru pertama kali
dirasakan?
Jawab:
Pada dasarnya nyeri pada siang dan malam hari sama, namun pada
siang hari karena banyak aktivitas menyebabkan nyeri tidak terlalu
dirasakan. Pada malam hari karena aktivitas sedikit keluhan nyeri terasa
lebih berat. Selain itu, Ny. Fatimah mengalami nyeri neuropatik, yang
memiliki kualitas nyeri seperti terbakar, perih bahkan tersengat listrik.
Dengan demikian nyeri akan sering bertambah parah saat kelelahan,
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 23
stress, emosi, atau fisik seperti suhu dingin seperti pada malam hari.
(Price, 2012)
2. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta
berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika shalat.
a. Bagian tubuh mana yang berperan pada saat melakukan gerakan berdiri
dari jongkok dan berdiri dari sujud?
Jawab:
Bagian tubuh yang berperan adalah ekstremitas inferior. Fungsi utama
dari ekstremitas inferior adalah menyokong beban berat dan menjadi
tumpuan yang stabil sewaktu berdiri, berjalan, dan berlari. Ekstremitas
inferior dikhususkan untuk pergerakan. Salah satu otot yang berperan
adalah M.Gluteus Maximus. Otot ini melakukan ekstensi dan exorotasi
articulatio coxae, dengan perantara tractus iliotibialis membantu
mempertahankan ekstensi articulatio genus. Otot ini palig sering
digunakan sebagai ekstensor tubuh terhadap tungkai atas, misalnya ketika
mengangkat tubuh dari posisi duduk atau membungkuk. (Snell : 2012)
b. Apa penyebab Ny. Fatimah kesulitan berdiri?
Jawab:
Kesulitan berdiri menandakan adanya kelemahan tungkai dari Ny.
Fatimah. Kelemahan tungkai pada kasus ini disebabkan karena terjadinya
hiperglikemia akibat diabetes melitus yang telah lama dan tidak
terkontrol. Hiperglikemia akan menyebabkan mitokondria rusak, akan
mengaktivasi protein kinase C yang selanjutnya akan menekan enzim
Na/K ATP-ase, meningkatkan Na intasellular, hal ini akan menghambat
mioinositol masuk sel sehingga menghambat tranduksi sinyal pada saraf
(neurotransmitter), reticulum sarcoplasma tidak akan mengeluarkan
kalsium, yang pada akhirnya akan menghambat kontraksi otot. (Sadeli,
H.A : 2008)
c. Bagaimana patofisiologi kesulitan berdiri?
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 24
Jawab:
Hiperglikemia penumpukan glukosa secara independen (retina, saraf,
dan ginjal) konversi glukosa yang tidak terpakai menjadi sorbitol dan
fruktosa dengan menggunakan aldose reduktase dan sorbitol
dehidrogenase akumulasi kedua enzim penkonversi menyebabkan
oenurunan myoinsitol, penurunan aktivitas pompa membran plasma
Na+K ATP-ase yang dibutuhkan untuk fungsi saraf kerusakan saraf
perifer hipertensi, kram-kram lemah pada tungkai bawah
kesulitan berdiri. (Sadeli, H.A : 2008)
d. Bagaimana derajat kelemahan otot?
Jawab:
Kelemahan dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Kelumpuhan septik (UMN)
Kelumpuhan ini disebabkan oleh kerusakan Upper Motor Neuron
(UMN). Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik
yang berasal dari korteks motorik serebri atau batang otak yang
seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf
pusat. Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku
(rigid), ketegangan otot tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan
refleks otot rangka (hiperrefleksia).
2. Kelumpuhan Fleksid (PMN)
Kelumpuhan ini disebabkan oleh kerusakan Lower Motor Neuron
( LMN). Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik
yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar
dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir
di otot rangka. Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang
'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang
refleks otot rangka (hiporefleksia).
Berdasarkan tingkat kelemahannya, kelumpuhan dibagi menjadi:
1. Plegia : kelemahan motorik tingkat berat (total)
2. Paresis : kelemahan motorik tingkat ringan (parsial)
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 25
Hemiparesis : gangguan fungsi motorik sebelah badan
Monoparesis : gangguan fungsi motorik salah satu anggota gerak.
Paraparesis : gangguan fungsi motorik dua anggota gerak
Tetraparesis : gangguan tungkai empat anggota gerak.
(Mardjono, Mahar : 1988)
3. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada malam
hari sejak 6 tahun yang lalu.
a. Apa hubungan keluhan dengan nyeri dan kesemutan?
Jawab:
Keluhan sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada malam hari
sejak 6 tahun yang lalu disertai nyeri dan kesemutan memperkuat dugaan
bahwa Ny Fatimah menderita diabetes melitus.
b. Apa makna keluhan sering merasa kehausan, lapar dan sering BAK pada
malam hari sejak 6 tahun yang lalu?
Jawab:
Berdasarkan kasus diketahui bahwa kadar GDS Ny. Fatimah yakni 440
mg% yang termasuk katergori hiperglikemia. Hiperglikemi merupakan
manifestasi bahwa telah terjadi diabetes melitus. Keluhan terjadi sejak 6
tahun yang lalu, kemungkinan diabetes melitus telah dialami sejak lama
dan tidak disadari oleh Ny. Fatimah.
c. Sistem apa yang terlibat pada kasus ini?
Jawab:
Sistem endokrin, sistem saraf dan sistem urinaria. (Dewi, M.P : 2011)
d. Bagaimana mekanisme dan frekuensi BAK normal dalam sehari?
Jawab:
Miksi atau berkemih adalah proses pengosongan kandung kemih setelah
terisi urine. Miksi melibatkan dua tahap utama: pertama, kandung kemih
terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 26
melampaui nilai ambang batas; keadaan ini akan mencetuskan tahap
kedua, yaitu adanya refleks saraf disebut refleks miksi yang akan
mengosongkan kandung kemih atau, jika gagal, setidaknya akan
menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun refleks miksi
adalah refleks medula spinalis yang bersifat otonom, refleks ini dapat di
hambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang
otak. (Guyton dan Hall : 2008)
Frekuensi berkemih normal yaitu tiap 3 jam sekali atau tak lebih dari 8
kali sehari. (Ganong : 2003)
e. Bagaimana mekanisme sering merasa kehausan dan lapar?
Jawab:
Pasien diabetes melitus mengalami defisiensi insulin. Jika aktivitas
insulin rendah, dapat menyebabkan:
1. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat
menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis,
yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi
glukosa intrasel.
2. Kadar glukosa darah yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa
yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan
reabsorpsi, akan menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini
dinamakan glukosuria.
3. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih).
4. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan
sirkulasi perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan
sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 27
karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal
sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
5. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi
akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang
hipertonik. Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
6. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya
nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia
(pemasukan makanan yang berlebihan). (Sherwood : 2011)
f. Apa saja penyakit dengan keluhan sering merasa haus, lapar dan sering
BAK pada malam hari?
Jawab:
1. Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang mempunyai
karakteristik ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Gambaran umumnya adalah peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemi) yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia yang menetap dapat
mempengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh dan berhubungan
dengan komplikasi berbagai sistem organ.
2. Diabetes insipidus
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan.
Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat
mengganggu mekanisme neurohy-pophyseal-renal reflex sehingga
mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkonversi air.
Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus
idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan
jenis kelamin.
(Aru, Sudoyo : 2009)
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 28
4. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing manis dalam keluarga
juga tidak ada. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun
yang lalu, minum obat tekanan darah tinggi tidak teratur. Riwayat minum
obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat infeksi
saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.
a. Apa makna dari riwayat-riwayat Ny. Fatimah?
Jawab:
1. Riwayat kencing manis disangkal terjadi diabetes melitus tidak
terkontrol selama bertahun-tahun
2. Riwayat kencing manis dalam keluarga juga tidak ada diabetes
melitus yang dialami Ny. Fatimah bukan dikarenakan faktor genetik,
melainkan faktor usia dan bisa juga multifaktorial.
3. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun yang lalu,
minum obat tekanan darah tinggi tidak teratur hipertensi
merupakan salah satu faktor pemberat sehingga timbul komplikasi
lanjut berupa polineuropati diabetik.
4. Riwayat minum obat-obatan lain disangkal keluhan terjadi bukan
karena konsumsi obat.
5. Riwayat trauma disangkal kelemahan otot dan keluhan-keluhan
lain yang dialami Ny. Fatimah terjadi bukan karena faktor traumatik.
6. Riwayat infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir
disangkal menyingkirkan diagnosis banding dari Sindrom Guillain-
Barre yang biasanya didahului infeksi. Infeksi pada SGB biasanya
mengenai saluran pernapasan dan saluran cerna.
(Price : 2006)
b. Apa saja tipe-tipe diabetes melitus?
Jawab:
1. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau DM Tipe 1
Defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang
berhubungan dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik,
predisposisi pada insulin fenomena autoimun (cenderung ketosis dan
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 29
terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kerusakan
sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak pulau
Langerhans di pankreas. Kelainan berdampak pada penurunan fungsi
insulin.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus ( NIDDM ) atau DM Tipe 2
Diabetes mellitus tipe II, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi
pada semua umur. Kebanyakan penderita adalah yang mengalami
obesitas, ada kecenderungan riwayat keluarga.
3. Diabetes melitus tipe lain
Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain : penyakit
pankreas, hormonal, alat atau bahan kimia, endrokrinopati, kelainan
reseptor insulin, sindrom genetik tertentu.
4. Gestational Diabetes Melitus ( GDM )
Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalam
kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat
yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan
menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin meningkat sehingga
mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila seorang ibu tidak
mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin
maka mengakibatkan hiperglikemi. Resisten insulin juga disebabkan
oleh adanya hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan plasenta
laktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin pada sel
sehingga mengurangi aktivitas insulin. (Tjokroprawiro, 2001)
c. Bagaimana hubungan riwayat darah tinggi serta jarang konsumsi obat
tekanan darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun lalu dengan
keluhan yang dialami Ny. Fatimah?
Jawab:
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 30
Jika kadar gula darah pasien DM tidak dikontrol dan tetap tinggi akan
timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan
pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung,
gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronik sering
dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kerusakan, seperti
kerusakan pada saraf, ginjal, mata, jantung, dan lainnya.
1. Kerusakan Ginjal (Nephropathy)
DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Ginjal menjadi
tidak dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila ada
kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein
yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar. Penderita DM
memiliki resiko 20 kali lebih besar menderita kerusakan ginjal
dibandingkan dengan orang tanpa DM. Gambaran gagal ginjal pada
penderita DM yaitu: lemas, mual, pucat, sesak nafas akibat
penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan
kadar kreatinin/ureum serum ditemukan berkisar 2-7 % dari penderita
DM. selain itu adanya proteinuria tanpa kelainan ginjal yang lain
merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik.
2. Kerusakan Saraf (Neuropathy)
Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi.
Baik penderita DM Tipe 1 maupun Tipe 2 bisa terkena neuropati. Hal
ini bisa terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol
dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Akibatnya
saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan
impuls saraf, salah kirim, atau terlambat dikirim.
Keluhan dan gejala neuropati tergantung pada berat ringannya
kerusakan saraf. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan
menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita tidak bisa
jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan
membuat muncul banyak keringat. Kerusakan saraf sensoris (perasa)
menyebabkan penderita tidak bisa merasakan nyeri panas, dingin, atau
meraba. Kadang-kadang penderita dapat merasakan kram, semutan,
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 31
rasa tebal, atau nyeri. Keluhan neuropati yang paling berbahaya
adalah rasa tebal pada kaki, karena tidak ada rasa nyeri, orang tidak
tahu adanya infeksi.
3. Kerusakan Mata
Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab utama
kebutaan. Setelah mengidap DM selama 15 tahun, rata-rata 2 persen
penderita DM menjadi buta dan 10 persen mengalami cacat
penglihatan. Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah
Retinopati (Kerusakan Retina). Glukosa darah yang tinggi
menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat
menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah yang keluar
dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju ke retina
sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur. Kerusakan yang
lebih berat akan menimbulkan keluhan seperti tampak bayangan
jaringan atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, mata kabur,
nyeri mata, dan buta. Selain menyebabkan retinopati, DM juga dapat
menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut
katarak serta dapat menyebabkan glaucoma (menyebabkan tekanan
bola mata).
4. Penyakit jantung
DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan
pembuluh darah. Jika pembuluh darah koroner menyempit, otot
jantung akan kekurangan oksigen dan makanan akibat suplai darah
yang kurang. Selain menyebabkan suplai darah ke otot jantung,
penyempitan pembuluh darah juga mengakibatkan tekanan darah
meningkat, sehingga dapat mengakibatkan kematian mendadak.
5. Hipertensi
Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibanding
orang yang tidak menderita DM. Hipertensi bisa merusak pembuluh
darah. Hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung,
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 32
retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi
DM disebabkan oleh hipertensi. Faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan hipertensi pada penderita DM adalah nefropati,
obesitas, dan pengapuran atau pengapuran atau penebalan dinding
pembuluh darah.
6. Gangguan Saluran Pencernaan
Mengidap DM terlalu lama dapat mengakibatkan urat saraf yang
memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk
menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini mengakibatkan
proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama
tinggal di dalam lambung. Gangguan pada usus yang sering
diutarakan oleh penderita DM adalah sukar buang air besar, perut
gembung, dan kotoran keras. Keadaan sebaliknya adalah kadang-
kadang menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air
tanpa rasa sakit perut.
(PERKENI : 2006)
Dapat disimpulkan bahwa hubungan riwayat darah tinggi serta jarang
konsumsi obat tekanan darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun
lalu dengan keluhan yang dialami Ny. Fatimah adalah Ny. Fatimah
mengalami hiperglikemi sehingga mengakibatkan penglihatan kabur
(retinopathy) karena pembuluh darah kapiler yang bocor, tekanan darah
meningkat (hipertensi) akibat penebalan pembuluh darah oleh glukosa.
(Syah, M : 2011)
d. Apa kemungkinan obat darah tinggi yang dikonsumsi?
Jawab:
Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan
untuk pengobatan awal hipertensi yaitu diuretik, penyekat reseptor beta
adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin converting enzyme
(ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor
blocker, ARB), dan antagonis kalsium.
1. Diuretik
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 33
Mekanisme kerja : Diuretik menurunkan tekanan darah dengan
menghancurkan garam yang tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya
ada dua tahap yaitu : (1) Pengurangan dari volume darah total dan
curah jantung; yang menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer; (2) Ketika curah jantung kembali ke ambang normal,
resistensi pembuluh darah perifer juga berkurang. Contoh
antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide, Furosemide,
Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide,
Chlorthaldion.
2. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-Blocker)
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-
blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain : (1)
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel
jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan Angiotensin II; (3)
efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan
pada sensitivitas baroresptor, perubahan neuron adrenergik perifer dan
peningkatan biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari
golongan ini adalah Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Betaxolol,
Bisoprolol, Pindolol, Acebutolol, Penbutolol, Labetalol.
3. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan
di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Mekanisme
kerja : secara langsung menghambat pembentukan Angiotensin II dan
pada saat yang bersamaan meningkatkan jumlah bradikinin. Hasilnya
berupa vasokonstriksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan
retensi air, dan meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin).
Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Kaptopril, Enalapril,
Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril, Lisinopril.
4. Penghambat Reseptor Angiotensin
Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II
(tipe 1). Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 34
mengurangi atau sama sekali tidak ada produksi ataupun metabolisme
bradikinin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Losartan,
Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan, Eprosartan,
Zolosartan.
5. Antagonis Kalsium
Mekanisme kerja: antagonis kalsium menghambat influks kalsium
pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah,
antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol,
sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini
sering diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila
menggunakan golongan obat dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan
Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan takikardia karena efek
kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari
golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine.
(S. Hasibuan : 2011)
e. Apa akibat dari tidak teratur mengkonsumsi obat darah tinggi?
Jawab:
Jika penderita hipertensi tidak mengkonsumsi obat darah tinggi secara
teratur, maka manifestasi dan kesakitan akibat hipertensi akan sering
terjadi. Dan jika keadaan ini berlangsung terus menerus, dapat
mengakibatkan komplikasi-komplikasi yang fatal seperti infark
miokardium, stroke, dll.
f. Bagaimana patofisiologi penglihatan kabur pada kasus?
Jawab:
Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab utama
kebutaan. Setelah mengidap DM selama 15 tahun, rata-rata 2 persen
penderita DM menjadi buta dan 10 persen mengalami cacat penglihatan.
Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah Retinopati
(Kerusakan Retina). Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 35
pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh
darah kapiler. Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah yang
menutup sinar yang menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM
menjadi kabur. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan
seperti tampak bayangan jaringan atau sarang laba-laba pada penglihatan
mata, mata kabur, nyeri mata, dan buta. Selain menyebabkan retinopati,
DM juga dapat menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih)
yang disebut katarak serta dapat menyebabkan glaucoma (menyebabkan
tekanan bola mata).
Berdasarkan sintesis diatas, dapat disimpulkan bahwa glukosa
darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan
dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah yang
keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju ke
retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur. (Syah, M :
2011)
5. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: compos mentis
Tanda vital: TD: 170/95 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, suhu 37oc,
VAS (Visual Analog Scale): 4
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?
Jawab:
Kesadaran: compos mentis (Normal)
TD: 170/95 mmHg (Abnormal) TD normal : 120/80 mmHg
Interpretasi: hipertensi
Nadi: 84 x/menit (Normal)
RR: 20 x/menit (Normal)
Suhu 37oc (Normal)
VAS (Visual Analog Scale): 4 (Abnormal) VAS normal : 5
Interpretasi: penurunan kekuatan otot.
b. Bagaimana patofisiologi dari pemeriksaan fisik yang abnormal?
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 36
Jawab:
1. Hipertensi :
Penumpukan glukosa di pembuluh darah penyempitan pada
pembuluh darah aliran darah vena menurun, hiperglikemia
terbentuknya Advance Glycosilation End Product (AGES) dan
peningkatan sorbitol pada jalur poliol sintesis dan fungsi No
menurun vasodilatasi berkurang tekanan darah meningkat.
2. VAS (Visual Analog Scale) : 4 berarti mengalami nyeri ringan
Pada kasus ini, visual analog scale menunjukan angka 4
diinterpretasikan dalam keadaan tidak normal. VAS sendiri adalah
pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat derajat nyeri, dimana dari
raut wajah pasien, dokter akan melihat pada derajat keberapa pasien
ini mengalami kesakitan atau dokter bisa meminta pasien itu sendiri
untuk menggambarkan pada point keberapa derjat nyerinya VAS
sendiri berupa sebuah grafik berisi nilai dari angka 0 sampai 10. Pada
orang normal, berada dikisaran 0-2. Jika pada kasus ini menunjukan
angka 4, berarti termasuk nyeri ringan. (Lumbantobing : 2012)
c. Bagaimana cara pemeriksaan VAS?
Jawab:
Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan derajat
nyeri, salah satunya adalah Visual Analoque Scale (VAS). Skala ini
hanya mengukur intensitas nyeri seseorang. Visual Anoloque scale yang
merupakan garis lurus dengan ujung sebelah kiri diberi tanda 0 = untuk
tidak nyeri dan ujung sebelah kanan diberi tanda dengan angka 10 untuk
nyeri terberat yang terbayangkan. Cara pemeriksaan Visual Analoque
Scale adalah penderita diminta untuk memproyeksikan rasa nyeri yang
dirasakan dengan cara memberikan tanda berupa titik pada garis lurus
Visual Analoque Scale antara 0-10 sehingga penderita dapat mengetahui
intensitas nyeri.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 37
VAS dapat diukur secara kategorikal, nyeri ringan dinilai dengan VAS :0
<4,sedang nilai VAS : >4-7, berat dengan nilai VAS >7-10.
(Lumbantobing : 2012)
6. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
refleks fisiologis menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai
bawah, refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan
dan kaos kaki.
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan khusus?
Jawab:
Pemeriksan visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna
dengan kacamata (Abnormal) Pemeriksaan visus normal : 300/300
Interpretasi: terjadi penurunan ketajaman penglihatan
Makna: saat dilakukan pemeriksaan visus, Ny. Fatimah hanya mampu
melihat lambaian tangan pada jarak 5 meter. Dalam keadaan normal,
seharusnya seseorang bisa melihat lambaian tangan sampai jarak 300
meter.
Pemeriksaan neurologi: kekuatan 4 pada keempat anggota gerak
(Abnormal) pemeriksaan neurologi normal : kekuatan 5 pada
keempat anggota gerak
Interpretasi: terjadi penurunan kekuatan otot
Refleks fisiologis menurun pada kedua lengan (Abnormal) refleks
fisiologis normal : tidak terjadi penurunan
Refleks fisiologis negatif pada tungkai bawah (Abnormal) refleks
fisiologis normal : positif
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 38
Refleks patologis (-) (Normal)
Gangguan sensibilitas berpola sarung tangan dan kaos kaki
(Abnormal) normal: tidak ada gangguan sensibilitas.
b. Bagaimana patofisiologi dari pemeriksaan khusus yang abnormal?
Jawab:
1. Pemeriksaan Visus
Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina
bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah
yang keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju
ke retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur. (Syah, M :
2011)
c. Bagaimana cara pemeriksaan visus?
Jawab:
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui
sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan.
Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan
keluhan mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat
dilakukan dengan kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam
penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari
(hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata
membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan kemampuan
melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas,
2009).
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat
kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku
untuk kartu. Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20
untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf
pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut.
Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 39
20/15 atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah
fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras,
berbagai uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat
merubah tajam penglihatan mata (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau
dengan kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa
tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya.
Dengan gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata
hanya dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit.
Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima
menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut satu menit. Makin jauh
huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena
sudut yang dibentuk harus tetap lima menit (Ilyas, 2009).
d. Bagaimana cara pemeriksaan neurologi?
Jawab:
Pemeriksaan refleks fisiologi
1) Refleks bisep = ibu jari letakkan diatas tendo biseps, lalu pukul ibu
jari dengan palu reflesk = fleksi ringan
2) Refleks trisep = lengan pasien diletakan di atas lengan pemeriksa,
pukul tendo trisep melalui fossa olekranon = ekstensi lengan di bawah
siku
3) Refleks brachioradialis = pukul tendo brachioradialis pada radius distl
dengan palu refleks = fleksi lengan bawah dan supinasi lengan
4) Refleks patella = ketuk daerah tendo patella dengan palu refleks =
ekstensi tungkai bawah
5) Refleks archiles = pasien telentang, kaki yang akan diperiksa
ditumpangkan pada os tibia kaki lain, satu tangan pemeriksa
memegang jari kaki pasien, satu tangan lagi memukul tendo achilles =
plantarfleksi kaki.
Pemeriksaan refleks patologi
1) Refleks hoffman tromer
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 40
2) Refleks babinski = goresan pada telapak kaki dan tumit
3) Refleks oppenheim = goresan sepanjang tepi depan tulang tibia
4) Refleks gordon = goresan / memencet otot gastrocnemius
5) Refleks schaefer = pemencetan pada tendo achilles
6) Refleks chaddock = goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di
luar telapak kaki dari tumit ke depan
7) Refleks rossolimo = pukulan palu refleks pada dorsal kaki pada tulang
cuboid.
Pemeriksaan rangsang meningeal
1) Kaku kuduk
2) Laseque sign
3) Kernig sign
4) Brudzinski sign
Patrick-contra patrick sign.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb: 13 mg/dl, leukosit: 7000, eritrosit: 5.000.000, trombosit:
380.000
GDS: 440 mg/dl, HbA1C: 12,3%, ureum: 35 mg/dl, kreatinin: 1,2 mg/dl
SGOT: 30 u/l, SGPT: 23 u/l
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?
Jawab:
Pemeriksaan Kadar normal Hasil Lab Ny. Fatimah Interpretasi
GDS 140-200 mg% 440 mg/dl Hiperglikemi
(DM)
Ureum 15-40 mg/dl 35 mg/dl Normal
Kreatinin 0,7-1,5 mg/dl 1,2 mg/dl Normal
HbA1c < 6,5% 12,3 % DM
SGOT ♀ < 31 u/l 30 u/l Normal
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 41
SGPT ♀ <31 u/l 23 u/l Normal
1. Pemeriksaan GDS
Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang hari
tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan kondisi
tubuh orang tersebut. (Depkes RI, 1999)
Tabel1. Diagnosis Diabetes Mellitus menurut Konsensus Pengelolaan
DM Perkeni 2006
2. Pemeriksaan HbA1C
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 42
Pemeriksaan HbA1c merupakan pengukuran rata-rata konsentrasi
glukosa darah dalam waktu 1-3 bulan sebelumnya. Hemoglobin
terglikasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari
reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan
HbA1c proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan
ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen DM yang optimal
untuk memperkecil risiko komplikasi diabetes.
Manfaat Pemeriksaan HbA1C adalah untuk menilai kualitas
pengendalian kadar glukosa darah dalam waktu 2-4 bulan, menilai
efektivitas terapi, direkomendasikan (American Diabetes Association)
untuk diagnosis DM tipe-2 dan menilai risiko tinggi diabetes
(prediabetes), serta digunakan untuk menghitung rata - rata kadar
glukosa darah (eAG).
3. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT: Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase atau nama
lainnya AST/Aspartat Aminotrasferase, yaitu enzim penanda fungsi
hepar yang didapatkan dari hasil laboratorium, bila terjadi kenaikan
secara umum menunjukkan adanya gangguan fungsi hepar.
SGPT: Serum Glutamic Pyruvic Transaminase atau nama lainnya
ALT/Alanine Aminotrasferase, yaitu enzim penanda fungsi hepar
yang didapatkan dari hasil laboratorium, bila terjadi kenaikan secara
umum menunjukkan adanya gangguan fungsi hepar. (Sacher, R.A :
2006)
Nilai normal SGOT :♂ < 37 U/L; ♀ < 31 U/L
Nilai normal SGPT :♂ < 41 U/L; ♀ < 31 U/L
b. Bagaimana patofisiologi dari pemeriksaan laboratorium yang abnormal?
Jawab:
1. Pemeriksaan GDS
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 43
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel,
dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin
dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat
peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. (Schreingart, E.
David : 2005)
2. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C: merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari reaksi kimia
antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c
proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Jadi dengan
peningkatan glukosa dalam darah maka akan ikut meningkat pula
HbA1C.
c. Apa makna HbA1C: 12,3%?
Jawab:
Terjadi peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah.
8. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada kasus ini?
Jawab:
1. Anamnesis gejala dan tanda
Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah menentukan
gejala dan tanda yang berhubungan dengan disfungsi saraf perifer.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 44
Biasanya pasien mengalami munculan gejala yang bermacam-macam.
Pada pasien usia tua sering terjadi neuropati yang berkaitan dengan
mielopati spondilosis servikalis, dimana gejala neuropati aksonal
predominan sensorik baru muncul pada onset lanjut. Sama halnya dengan
radikulopati spondilosis, yang bisa muncul dengan gejala neuropati
entrapment pada anggota gerak atas, patologi yang terlibat perlu digali
secara cermat. Gejala neuropati dapat dikelompokkan menjadi gejala
negatif atau positif. Gejala positif mencerminkan aktivitas spontan
serabut saraf yang tidak adekuat, sedangkan gejala negatif menunjukkan
terjadinya penurunan aktivitas serabut saraf. Gejala negatif meliputi
kelemahan, fatigue, dan wasting, sementara gejala positif mencakup
kram, kedutan otot, dan myokimia. Kelemahan biasanya belum
bermanifestasi sampat 50-80% serabut saraf mengalami kerusakan;
gejala positif mungkin muncul pada awal proses penyakit. Gejala negatif
seperti hipestesia dan abnormalitas melangkah. Gejala lain yang juga
sering adalah kesulitan membedakan rasa panas atau dingin dan
keseimbangan yang semakin memburuk terutama saat gelap dimana
input visual tidak cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif.
Gejala positif mencakup rasa terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan.
Gejala yang mungkin melibatkan sistem saraf otonom mencakup rasa
haus, kembung, konstipasi, diarem impotensi, inkontinensia urin,
abnormalitas keringat, dan rasa melayang yang berkaitan dengan
orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin melaporkan
keempat anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna
kulit dan trofi otot.
2. Anamnesis riwayat sosial
Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan
(kemungkinan paparan toksik dari bahan kimia), riwayat seksual
(kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi alkohol, kebiasaan
makan, dan merokok. Sedangkan dari riwayat keluarga dan pengobatan
sebelumnya perlu difokuskan pada penyakit yang berhubungan dengan
neuropati, seperti endokrinopati (diabetes, hipotiroid), insufisiensi renal,
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 45
disfungsi hepar, penyakit jaringan penyambung, dan keganasan.
Pengobatan yang pernah dikonsumsi pasien juga perlu dijelaskan untuk
menentukan kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat dengan
neuropati. Kemoterapi, pengobatan HIV, dan antibiotik golongan
kuinolon merupakan beberapa contoh agen penyebab neuropati. Selain
itu, konsumsi vitamin B6 (Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg per hari
juga dapat mencetuskan neuropati.
3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital ortostatik dapat
mengidentifikasi adanya disautonomia. Pemeriksaan terstruktur dari
sistem organ dapat menentukan kemungkinan adanya endokrinopati,
infeksi, vaskulopati, dan lain-lain. Selanjutnya, pemeriksaan saraf kranial
mencakup penilaian adanya anosmia (refsum disease, defisiensi vitamin
B12), atrofi saraf optik, anisokoria dan penurunan refleks cahaya
(disautonomia parasimpatetik), gangguan gerakan okuler (sindrom Miller
Fisher), kelemahan otot wajah (sindrom Guillain Barre), dan sensorik
trigeminal (sindrom Sjogren). Pemeriksaan motorik komprehensif
mencakup penilaian tonjolan otot, contohnya observasi atrofi otot
intrinsik tangan dan kaki. Selain itu dinilai hipereksitabilitas, tonus, dan
kekuatan otot dengan skala Medical Research Council. Dynamometri
dapat dipakai untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat. Karena
sebagian besar neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot intrinsik
kaki dapat terkena lebih dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu
jari seperti palu (hammer toes). Kelemahan saat fleksi dan ekstensi jari
kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul pada fase awal.
Sudut antara tibia dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang lebih
besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada
tangan, otot abduktor jari telunjuk dan kelingking yang terkena lebih
dulu. Selain itu, perlu diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien
neuropati kronik, pasien mengalami kesulitan berjalan dengan tumit
dibanding berjalan dengan ujung jari.
4. Pemeriksaan Sensorik
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 46
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan
pola penyakit. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar
atau kecil. Penilaian serabut saraf besar mencakup sensasi getar, posisi
sendi, dan rasa raba ringan. Sedangkan penilaian serabut kecil mencakup
uji pin-prick dan sensasi suhu. Tes Romberg juga bermanfaat menilai
fungsi serabut besar. Dalam melakukan pemeriksaan sensorik, perlu
memikirkan jenis neuropati yang dikeluhkan, mencakup mononeuropati,
polineuropati (distal simetrik atau multifokal), radikulopati, pleksopati.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area yang mengalami kelainan dan
dibandingkan dengan area kontralateral yang simetris. Selain itu juga
dibandingkan dengan area lain yang normal, dan dikaitkan dengan
dermatom saraf. Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam
menentukan lokalisasi kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau
arefleks sering ditemukan pada neuropati serabut saraf yang besar,
namun pada neuropati serabut saraf kecil refleks tendon dalam seperti
refleks Achilles masih baik.
5. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup
banyak, dan tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of
Neurology (AAN) mengajukan parameter praktis pemeriksaan
laboratorium dan genetik pada polineuropati distal simetrik. Panduan
tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit
untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi lengkap,
kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan
immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan
lainnya mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan
antibodi GD1B. Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan
latensi distal, diperlukan pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada
mononeuropati multifokal, perlu dilakukan pemeriksaan anti GM1.
Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti GQ1b, anti
GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis. Pada pasien yang
dicurigai menderita vaskulitis dan connective tissue disorder (Sjogren
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 47
syndrome, SLE, rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein,
antinuclear antibody, double-stranded DNA, reumatoid factor, proteinase
3, myeloperoxidase, complement, angiotensin converting enzyme, panel
hepatitis B dan C, serta cryoglobulin perlu dilakukan. Sedangkan pada
pasien predominan neuropati sensorik, perlu dilakukan uji anti Hu
antibody, dimana keadaan ini berkaitan dengan neuropati paraneoplastik.
Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan
kimia logam berat, seperti uji kadar arsenik dan tembaga dalam urin.
Prosedur ini perlu dilakukan bila terdapat riwayat paparan logam berat,
setelah menjalani pembedahan bariatric, atau intake Zinc berlebihan.
(Burns dan Mauermann, 2011)
9. Apa diagnosis banding pada kasus ini?
Jawab:
1. Polineuropati diabetika
Neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari
disfungsi saraf perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain
selain diabetes melitus setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya.
Polineuropati diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi
dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan
sensorik, motorik maupun otonom.
Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada
beberapa saraf perifer di seluruh tubuh. Penyebab karena infeksi bisa
menyebabkan polineuropati, kadang karena racun yang dihasilkan oleh
beberapa bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi autoimun,
bahan racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan polineuropati
atau mononeuropati (lebih jarang), kanker bisa menyebabkan
polineuropati dengan menyusup langsung ke dalam saraf atau menekan
saraf atau melepaskan bahan racun, kekurangn gizi dan kelainan
metabolik juga bisa menyebabkan polineuropati. Kekurangan vitamin B
bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh, penyakit yang bisa
menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 48
ginjal dan kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat. Polineuropati kronik
cenderung berkembang secara lambat (sampai beberapa bulan atau
tahun) dan biasanya dimulai di kaki (kadang di tangan) .
Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai
empat hari pertama pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung
myelin. Hari ke lima terjadi desintegrasi myelin dan pembengkakan aksis
silinder. Pada hari ke sembilan timbul limfosit, hari ke sebelas timbul
fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel. Kesemutan,
mati rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk merasakan getaran
atau posisi lengan, tungkai dan sendi merupakan gejala utama dari
polineuropati kronik. Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari
dan bisa timbul jika menyentuh daerah yang peka atau karena perubahan
suhu. Ketidakmampuan untuk merasakan posisi sendi menyebabkan
ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan. Pada akhirnya akan terjadi
kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan biasanya
timbul sesudah tidak ada panas, kelumpuhan otot biasanya bilateral dan
simetris dengan tipe "lower motor neuron dengan penyebaran
kelumpuhan yang bersifat ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah
yang menjalar ke ekstrimitas atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai
dari ekstrimitas atas yang turun ke ekstremitas bawah.
2. Sindrom Guillain Barre (SGB)
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf
akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu
infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan
yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan
dan kadang-kadang juga bagian wajah.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan
timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-
saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun
trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan
selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 49
tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu
dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak
segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis
dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan
pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai
pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian
bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya
defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang
dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel
mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran
kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear
pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini
bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar
sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena
kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah
tersebut
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai
dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke
badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa
keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti
oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot
bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
3. Miastenia Gravis
Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan
otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini
disebabkan karena sirkulasi antibodi yang memblok acetylcholine
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 50
receptors pada post sinaptik neuromuscular junction, stimulasi
penghambatan ini berpengaruh pada neurotransmiter asetilkolin.
Manifestasi klinisnya dapat berupa kelemahan pada otot yang mengatur
pergerakan mata, kelemahan otot pada lengan dan tungkai, perubahan
ekspresi wajah, disfagia, dan disartria.
(Sadeli, H.A : 2008)
10. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus ini?
Jawab:
1. Elektromiografi (EMG)
Ini merupakan investigasi penting yang membantu melokalisasi,
menggolongkan jenis dan keakutan neuropati periferal.Bagian pertama
EMG melibatkan perangsangan syaraf periferal dan pencatatan sinyal
listrik. Bagian kedua melibatkan penyisipan jarum sangat tipis ke dalam
anggota tubuh atau otot punggung dan mencatat aktivitas motorik
mereka.
2. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat akar penyebab, misalnya diabetik, kekurangan vitamin,
ketidaknormalan protein dalam darah dan antibodi. Pada jenis tertentu
neuropati keturunan, sampel darah mungkin akan dikirim untuk
konfirmasi genetik.
3. Funksi Lumbal
Ini adalah prosedur di tempat tidur dimana sejumlah kecil cairan
serebrospinal (dari bagian punggung bawah) diambil untuk analisa di
bawah kondisi steril dan bius lokal.
4. Biopsi Kulit
Ini adalah prosedur sederhana di tempat tidur untuk mengkonfirmasi
neuropati yang mempengaruhi syaraf kecil yang berakhir di kulit.
Pelubangan biopsi kulit (berdiameter sekitar 3mm) dilakukan di bawah
bius lokal pada kaki dan paha.
5. Tes Fungsi Otonom
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 51
Ini adalah tes non invasif yang mengevaluasi sistem syaraf otonom.
6. Biopsi Syaraf
Ini terkadang dilakukan untuk konfirmasi keberadaan peradangan syaraf
misalnya neuropati vaskulitik.
(Sadeli, H.A : 2008)
11. Apa diagnosis pasti pada kasus ini?
Jawab:
Polineuropati diabetik.
12. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini?
Jawab:
1. Pencegahan primer
Yang menjadi sasaran pencegahan primer adalah masyarakat yang belum
yang belum sakit. Dengan cara melakukan penyuluhan tentang pola
hidup yang sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan
kepada masyarakat mencegah penyakit lebih baik dari pada
mengobatinya.dan menganjurkan kepada masyarakat agar berolahraga
secara teratur karena sangat menunjang upaya pencegahan.
2. Pencegahan sekunder
Yang menjadi sasaran pencegahan primer adalah masyarakat atau pasien
yang sudah terkena diabetes dan sudah diketahui dan sudah berobat.pada
pencegahan sekunder pun, penyuluhan tetang prilaku hidup sehat seperti
pada pencegahan primer harus dilaksankan, ditambah dengan
peningkatan pelayanan kesehatan primer dipusat-pusat pelayanan
kesehatan mulai rumah sakit kelas A sampai keunit paling depan yaitu
puskesmas.disamping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan
keluarganya tentang penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
3. Pencegahan tersier
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan
komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai
pencegahan sekunder,mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 52
untuk tidak menjurus kepada penyakit organ,mencegah terjadinya
kecacatan yang disebabkan oleh karena kegagalan organ atau
jaringan.dalam hal peran penyuluhan dibutuhkan untuk peningkatan
motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya.
4. Preventif
Dengan cara Pola hidup yang sehat dan olahraga teratur
5. Kuratif
Untuk obat antidiabetik ada lima golongan yaitu sulfonylurea,
megilitinid,biguanid,penghambat α glokosidasedan tiazolidinedion.
13. Apa saja komplikasi pada kasus ini?
Jawab:
Komplikasi diabetes mellitus:
a. Komplikasi akut
1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis Adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias, terutama diakibatkan oleh defisiensi insulin
absolut atau insulin relatif.
2. Hipoglikemi
Hipoglikemi adalah penurunan kadar glukosa dalam darah. Biasanya
disebabkan peningkatan kadar insulin yang kurang tepat atau asupan
karbohidrat kurang.
3. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah suatu dekompensasi
metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis.
Gejalanya pada dehidrasi berat, tanpa hiperglikemia berat dan
gangguan neurologis.
b. Komplikasi kronis
1. Mikroangiopati
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 53
Retinopati diabetikum disebabkan karena kerusakan pembuluh
darah retina. Faktor terjadinya retinopati diabetikum : lamanya
menderita diabetes, umur penderita, kontrol gula darah, faktor
sistematik (hipertensi, kehamilan).
Nefropati diabetikum yang ditandai dengan ditemukannya kadar
protein yang tinggi dalam urin yang disebabkan adanya kerusakan
pada glomerulus. Nefropati diabetikum merupakan faktor resiko
dari gagal ginjal kronik.
Neuropati diabetikum biasanya ditandai dengan hilangnya refleks.
Selain itu juga bisa terjadi poliradikulopati diabetikum yang
merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan pada
satu atau lebih akar saraf dan dapat disertai dengan kelemahan
motorik, biasanya dalam waktu 6-12 bulan.
2. Makroangiopati
Penyakit jantung koroner dimana diawali dari berbagai bentuk
dislipidemia, hipertrigliseridemia dan penurunan kadar HDL. Pada
DM sendiri tidak meningkatkan kadar LDL, namun sedikit kadar
LDL pada DM tipe II sangat bersifat atherogeni karena mudah
mengalami glikalisasi dan oksidasi.
Kaki Diabetik
Terdapat 4 faktor utama yang berperan pada kejadian kaki diabetes
melitus :
1. Kelainan vaskular : Angiopati, contoh : aterosklerosis.
2. Kelainan saraf : Neuropati otonom dan perifer.
3. Infeksi.
4. Perubahan biomekanika kaki.
(WHO, 1999)
14. Bagaimana prognosis pada kasus ini?
Jawab:
Dubia et malam
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 54
Neuropati merupakan komplikasi utama dari diabetes yang
mengakibatkan tingginya angka morbiditas. Prevalensi pasti tidak diketahui
dan dilaporkan bervariasi mulai dari 10% hingga 90% pada pasien diabetes
bergantung kepada kriteria dan metode yang digunakan. Hubungan yang
kuat antara hipergikemi dan perkembangan dari neuropati dilaporkan pada
banyak studi. Dan juga keruskaan yang telah mengenai saraf dan ditambah
adanya penyakit DM regenerasi sel sangat sulit. (Aru, Sudoyo : 2009)
15. Bagaimana kompetensi dokter umum pada kasus ini?
Jawab:
3A : Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan. (SKDI : 2012)
16. Bagaimana pandangan Islam pada kasus ini?
Jawab:
Usumah bin Syarik berkata:
“Di waktu saya beserta Nabi Muhammad SAW., datanglah beberapa orang
badui, lalu mereka bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah kami mesti
berobat?”, Jawab beliau, “Ya, wahai hamba Allah, berobatlah kamu,
karena Allah tidak mengadakan penyakit melainkan Dia adakan obatnya,
kecuali satu penyakit”. Tanya mereka, “Penyakit apa itu?”. Beliau
menjawab, “Tua”. (HR. Ahmad).
2.5. Kesimpulan
Ny. Fatimah, 53 tahun mengalami kesemutan dan nyeri pada keempat
ekstremitas et causa polineuropati diabetik.
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 55
2.6. Kerangka Konsep
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 56
DM tak terkontrol
Komplikasi DMManifestasi klinis DM
Trias DM
Hiperglikemi
RethyculopatiHipertensi
Polineuropati diabetik
PolifagiPoliuriPolidipsi
Lesi pada saraf
Tetraparese
Faktor usia
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing
Dewi, MP. 2011. Fisiologi Tubuh. Dapat diakses di http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/27858/4/Chapter%20II.pdf [Diakses pada 18
November 2014]
Elvianur, S. 2011. Konsep Nyeri. Dapat diakses di http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/ 27188/4/Chapter%20II.pdf [Diakses pada 18
November 2014]
Ganong,W.F. 2003.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Ilyas Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 57
Isselbacher. Kurt J., Braunwald. Eugene.dkk. 2000. Harrison Prinsip-PrinsipIlmu
Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Junqueira LC dan Carneiro J. 1980. Histologi Dasar Edisi tiga. Jakarta : EGC
Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
Mardjono, Mahar. 1988. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB PERKENI
Price, SA dan Wilson, LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Jakarta: EGC.
Ricardo, Benjamin. 2010. Hubungan Tinggi Badan dan Tinggi Bahu Pasis Kodam
di Bukit Barisan Tahun 2010. Dapat diakses di http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/21364/4/Chapter%20II.pdf [Diakses pada 18
November 2014]
Sacher, R.A dan Pharson, R.A.2006. Uji Fungsi Hati, Tinjauan klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC
Sadeli, HA. 2008. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam : Meliala L, Suryamiharja
Wirawan, Sadeli HA, Amir D. Nyeri Neuropatik. Yogyakarta : Medigarma
Press
Schteingart, E. David. 2005. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes
Melitus. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Editor
Edisi Bahasa Indonesia, Huriawati Hantanto [et. Al.] Ed. 6. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC
Snell, Richard. 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 58
S.V, Hasibuan. 2011. Pengetahuan Pasien Hipertensi Tentang Nutrisi Yang
Dibutuhkan Untuk Memelihara Status Kesehatan Di Poliklinik Hipertensi
RSUP H. Adam Malik Medan. Dapat diakses di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22597/4/Chapter%20II.pdf
[Diakses pada 19 november 2014]
Syafrita, Yuliarni. 2011. Penyakit Gangguan Saraf Tepi. Dapat diakses di
http://repository.unand.ac.id/18406/5/Penyakit%20Gangguan%20Saraf
%20Tepi.ppt [Diakses pada 18 November 2014]
Syah, M. 2011. Diabetes Melitus. Dapat diakses di http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/29762/4/Chapter%20II.pdf [Diakses pada 18
November 2014]
Teguh Priyantono, 2005. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Timbulnya Polineuropati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2.
Semarang. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP
Tjokroprawiro A. Diabetes Melitus: Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. 2001.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
WHO. 1999. Definition, diagnosis, and classification of diabetes mellitus and its
complications. Geneva
Wijayakusuma, H. M. H. 1999. 10 Menit Menuju Sehat dengan Terapi Tulang
Kepala Belakang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wratsongko, M., & Sulistyo, T. B. 2006. 205 Resep Pencegahan dan
Penyembuhan dengan Gerakan Shalat. Depok: Qultum Media
Laporan Tutorial Skenario C Blok IX 59