81
POLA INTERAKSI STAKEHOLDER PERIKANAN TANGKAP PADA KOMUNITAS NELAYAN PANCING LAYUR DI KAWASAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ZASULI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

POLA INTERAKSI STAKEHOLDER ... - repository.ipb.ac.id · Nomor Pokok : C44052361 Departemen : ... 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial Proses interaksi sosial merupakan cara

  • Upload
    vuthu

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

POLA INTERAKSI STAKEHOLDER PERIKANAN TANGKAP PADA KOMUNITAS NELAYAN PANCING LAYUR DI

KAWASAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

ZASULI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Interaksi Stakeholder Perikanan

Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan

Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat adalah karya saya

sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

kutipan dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, 3 September 2009

Zasuli

ABSTRAK

ZASULI, C44052361, Pola Interaksi Stakeholder Perikanan Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan EKO SRI WIYONO.

PPI Cisolok merupakan kawasan perikanan yang kedepannya akan menggantikan fungsi PPN Palabuhanratu untuk kapal-kapal berukuran di bawah 30 GT. Namun, kondisi perikanannya sangat memperihatinkan banyak nelayan di sana lebih memilih untuk bekerjasama dengan kelembagaan-kelembagaan informal sehingga peran dari beberapa lembaga formal mulai tergantikan. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji struktur interaksi pada komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok, mengidentifikasi tipologi kelembagaan, dan merumuskan strategi untuk pemberdayaan masyarakat di kawasan PPI Cisolok. Pendekatan kajian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan strategi penelitian menggunakan metode studi kasus. Hasil analisis menunjukan stuktur interaksi komunitas nelayan di dominasi oleh kategori tokoh pemilik usaha perikanan, kondisi kelembagaan tergolong tidak sustain, dan strategi pemberdayaan dapat di mulai dari modal sosial yang dimiliki masyarakat setempat.

Kata kunci: struktur interaksi, tipologi kelembagaan, modal sosial.

Judul Skripsi : Pola Interaksi Stakeholder Perikanan Tangkap pada

Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan

Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat.

Nama Mahasiswa : Zasuli

Nomor Pokok : C44052361

Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Minor : Komunikasi

Disetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, MSi Dr. Eko Sri Wiyono, SPi. MSi.

NIP: 19660920 199103 1 001 NIP: 19691106 199702 1 001

Diketahui:

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, MSc.

NIP: 19610410 198601 1 002

Tanggal lulus: 24 Agustus 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang dengan Rahmat-Nya akhirnya penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ditujukan untuk memenuhi

syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan, Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Institut

Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Pola Interaksi Stakeholder

Perikanan Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan

Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr.Ir. Sugeng Hari wisudo, MSi. dan Dr. Eko Sri Wiyono, Spi,MSi.

selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta

masukan kepada penulis selama proses penelitian hingga penyelesaian

skripsi;

2. Prof. Dr. Mulyono S Baskoro, MSc., Dr. Ir. Muhammad Imron, Msi.,

Ir. Ronny I Wahju, Mphil. dan Akhmad Sholihin Spi. yang telah

berkenan menjadi penguji pada ujian skripsi penulis;

3. Kepala dan staf Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi;

4. Pejabat Desa Cikahuripan, Aji Marpudin (Kepala Desa Cikahuripan)

yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan

memberikan fasilitas tempat tinggal selama proses penelitian;

5. Kedua Orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan

dukungannya selama ini;

6. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. dan Leonard Dharmawan, SP. yang

telah memberikan masukan kepada penulis;

7. Seluruh rekan-rekan Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan

Tangkap angkatan 42.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Agustus 2009

Zasuli

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tangga 27 Juli

1987 dari Bapak Achmad Azharry dan Ibu Imiyati. Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor pada tahun

2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB

melalui jalur SPMB. Pada tahun 2006 penulis memilih Mayor Teknologi dan

Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan memilih Minor

Komunikasi, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian

dan menyusun skripsi dengan judul ”Pola Interaksi Stakeholder Perikanan

Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan

Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”.

i

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 3 1.3 Perumusan Masalah .................................................................... 3 1.4 Manfaat ....................................................................................... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sosial ........................................................................... 4 2.2 Struktur Sosial ............................................................................ 5 2.3 Masyarakat Nelayan ................................................................... 7 2.4 Kelembagaan Sosial Perikanan Tangkap ................................... 10 2.5 Komunikasi ................................................................................. 15

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 18 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 18 3.3 Metode Penelitian ....................................................................... 18 3.3.1 Jenis Data ........................................................................ 19 3.3.2 Metode Pengambil Data ................................................. 19 3.4 Analisis Data ............................................................................... 19

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 22 4.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Cikahuripan ...................... 22 4.3 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan ................ 23 4.4 Sumberdaya Manusia Desa Cikahuripan ................................... 23

4.4.1 Jumlah Penduduk ........................................................... 24 4.4.2 Matapencaharian Penduduk ............................................ 25 4.4.3 Tingkat Pendidikan ......................................................... 26

4.5 Kondisi PPI Cisolok .................................................................... 26

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan …………. 27 5.2 Analisis Tipologi Kelembagaan Komunitas Nelayan di Kawasan

PPI Cisolok ………………………………………………… 34 5.3 Pandangan Stakeholder untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

di Kawasan PPI Cisolok …………………………………. 41

ii

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ……………………………………………….…… 50 6.2 Saran …………………………………………..……………….. 50

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 52

LAMPIRAN ....................................................................................................... 55

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok ………………….… 22

2. Jumlah penduduk menurut golongan umur ............................................ 24

3. Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut ................................ 24

4. Sebaran penduduk Desa Cikahuripan menurut jenis mata pencaharian .. 25

5. Sebaran penduduk Desa Cikahuripan menurut tingkat pendidikan ........ 26

6. Nilai koneksi dan derajat integrasi tokoh kunci di Desa Cikahuripan ..... 31

7. Jumlah dan persentase responden yang menilai kelembagaan menurut tipe

kelembagaan dan tipologi di kawasan PPI Cisolok ............................... 34

8. Hasil tangkapan ikan di PPI Cisolok tahun 2008 ................................... 40

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Model tipologi kelembagaan ................................................................ 21

2. Struktur organisasi pemerintahan Desa Cikahuripan ........................... 23

3. Jejaring interaksi tokoh kunci di Desa Cikahuripan ............................ 30

4. Tipologi kelembagaan komunitas lokal menurut tipe kelembagaan dan

tipologi di kawasan PPI Cisolok .......................................................... 35

5. Rantai pemasaran hasil tangkapan di kawasan PPI Cisolok ................ 39

6. Persentase pemotongan pada rantai tataniaga TPI Cikahuripan .......... 41

7. Pendekatan pemberdayaan komunitas nelayan dan kelembagaan yang

berkelanjutan ........................................................................................ 42

8. Model agensi stakeholder perikanan tangkap ...................................... 46

9. Model capital sosial untuk pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan

PPI Cisolok ........................................................................................... 47

10. Model capital sosial yang ada pada masyarakat nelayan di kawasan PPI

Cisolok .................................................................................................. 48

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftra istilah .......................................................................................... 56

2. Perhitungan nilai koneksi dan derajat integrasi ...................................... 57

3. Jaringan interaksi masing-masing tokoh kunci ...................................... 59

4. Peta Teluk Palabuhanratu ....................................................................... 65

5. Peta profil Desa Cikahuripan .................................................................. 66

6. Foto-foto penelitian ................................................................................. 67

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai program

yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi

ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program

tersebut, sebagai akibatnya banyak program yang hanya seumur masa proyek dan

berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Pertanyaan kemudian

muncul apakah konsep pemberdayaannya yang salah atau pemberdayaan

dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari segolongan orang

(Syarief,2008). Sudah banyak usaha-usaha yang digulirkan baik oleh pemerintah

pusat maupun pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan perikanan.

Namun, usaha-usaha yang dilakukan tersebut seolah tidak memberikan dampak

yang berarti khususnya bagi nelayan sebagai pelaku terdepan dalam sektor

perikanan.

Tidak optimalnya pengaturan sektor perikanan (oleh pemerintah) dan

adanya sejumlah kedudukan serta peranan yang berbeda dalam masyarakat telah

melahirkan kelembagaan-kelembagaan yang diprakarsai oleh kelompok elit yang

ada di masyarakat. Dalam sosiologi, kelompok elit tersebut didefinisikan sebagai

anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani,

dihormati, kaya, serta berkuasa. Menurut Usman dalam Tonny (2005), mereka

adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata,

memiliki kemampuan untuk mengendalikan aktifitas perekonomian dan sangat

dominan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Penjelasan tentang kelahiran kelompok elit dalam masyarakat biasa

dihubungkan dengan dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang percaya bahwa

kelompok ini lahir dari proses alami, mereka adalah orang-orang terpilih yang

oleh Tuhan dikarunia kepandaian, kemampuan, dan keterampilan lebih tinggi

dalam mengatasi atau memecahkan persoalan hidup. Mereka memiliki kapasitas

personal yang lebih potensial daripada massa. Pendapat kedua adalah yang

percaya bahwa kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial.

2

Keberadaan kelembagaan-kelembagaan informal ini telah mengambil alih

peran dari beberapa lembaga formal di masyarakat. Secara fungsional keberadaan

kelembagaan informal ini sangat dibutuhkan dalam menjembatani antara kemauan

pemerintah dan kepentingan masyarakat dalam memacu gerak pembangunan di

negara sedang berkembang manakala fungsi dari lembaga formal tidak berjalan

dengan optimal. Namun, masalah baru akan timbul ketika terjadi konflik sosial

antara kelompok elit dan pemerintah. Eratnya interaksi sosial yang terjalin antara

nelayan dengan berbagai stakeholder menjadikan kelembagaan informal ini

memiliki kekuasaan yang lebih terhadap nelayan dibandingkan pemerintah, dalam

hal ini pemerintah diwakili oleh lembaga formal.

Selama interaksi yang terjalin antara nelayan dengan kelembagaan

informal ini saling menguntungkan, tidak akan timbul masalah. Namun yang

dikhawatirkan adalah terjadinya monopoli kekuasaan oleh kelompok elit terhadap

nelayan melalui mekanisme pranata sosial. Prasodjo dalam Tonny (2003)

mengartikan sebagai kelembagaan sosial yang dimanfaatkan untuk

mempertahankan sistem stratifikasi sosial (dapat berupa politik, kelembagaan

ekonomi seperti hak kepemilikan terhadap barang dan usaha, kelembagaan agama,

pendidikan, militer, kekerabatan, dan lain-lain).

Guna memahami interaksi antar stakeholder perikanan tangkap, penelitian

telah dilakukan di Cisolok. Kawasan PPI Cisolok memiliki karakteristik yang unik

: PPI Cisolok merupakan kawasan sektor perikanan yang kedepannya akan

menggantikan fungsi PPN Palabuhanratu bagi kapal-kapal berukuran 30 GT ke

bawah. Namun kondisi perikanan yang ada sangat memprihatinkan banyak

nelayannya di PPI Cisolok yang memilih untuk bekerjasama dengan

kelembagaan-kelembagaan informal dalam melakukan aktifitasnya. Hal ini

menarik untuk dikaji karena disana peran dari beberapa lembaga formal mulai

tergantikan.

3

1.2 Tujuan

1. Melihat struktur interaksi pada komunitas nelayan dikawasan PPI Cisolok.

2. Mengidentifikasi tipologi kelembagaan pada komunitas nelayan di kawasan

PPI Cisolok.

3. Merumuskan strategi yang sesuai untuk pemberdayaan komunitas nelayan di

kawasan PPI Cisolok.

1.3 Perumusan Masalah

Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah belum terpetakanya pola

interaksi antara stakeholder perikanan tangkap, kondisi kelembagaan lokal

masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok.

1.4 Manfaat

1. Memberikan gambaran mengenai struktur interaksi masyarakat nelayan di

kawasan PPI Cisolok.

2. Memberikan gambaran mengenai kondisi kelembagaan sosial masyarakat di

komunitas nelayan kawasan PPI Cisolok.

3. Sebagai bahan rujukan untuk menemukan starategi pemberdayaan masyarakat

nelayan di kawasan PPI Cisolok.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sosial

Proses interaksi sosial merupakan cara untuk menciptakan hubungan sosial

yang terpola yang disebut jaringan-jaringan hubungan sosial atau

pengorganisasian sosial dan struktur sosial. Kata sosial menyatakan bahwa lebih

dari seorang yang terlibat, dan interaksi berarti bahwa terjadi saling

mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Tonny (2003), interaksi sosial

merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan

antara orang-perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara

orang-perorang dengan kelompok manusia. Rakhmat (2005) mengemukakan, bila

individu-individu berinteraksi dan saling mempengaruhi, maka terjadilah: (1)

proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan afektif (aspek berfikir dan aspek

merasa), (2) proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang

(komunikasi), dan (3) mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, permainan

peran, identifikasi, proyeksi, agresi, dan sebagainya.

Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua

syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak adalah salah satu hal

yang terpenting untuk mendekatkan pihak-pihak yang saling berinteraksi. Makin

sering kontak, makin dekat antara pihak-pihak yang tadinya saling tidak

mengenal, saling bersikap negatif, atau saling bermusuhan (Sarwono, 2005).

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu : (1) antara

orang-perorang, misalnya antara nelayan buruh dengan juragannya, (2) antara

orang-perorang dengan suatu kelompok, misalnya antara nelayan dengan pihak

HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), dan (3) antara suatu kelompok

dengan kelompok lainnya, misalnya antar kelompok nelayan gillnet dengan

kelompok nelayan payang.

Kontak sosial bisa bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif,

mengarah pada kerjasama yang mendekatkan atau mempersatukan (asosiatif),

sedangkan kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan yang saling

5

menjauhkan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial

(disosiatif) (Sarwono, 2005).

Salah satu bentuk interaksi sosial dalam bidang perikanan adalah

hubungan antara kelompok elit dan nelayan. Susilowati (1986) dalam Panjaitan

(1997) menyatakan hubungan tersebut berbentuk hubungan bapak-anak buah atau

(Patron-Client Relationship). Fungsi hubungan bapak-anak buah ini mendukung

terbentuknya hubungan ketergantungan golongan ekonomi lemah pada golongan

ekonomi kuat. Hal ini dapat berarti adanya hubungan kekuasaan yang dicirikan

oleh kemampuan pihak yang kuat untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain.

Penjelasan mengenai komunikasi akan dibahas pada bab tersendiri.

2.2 Stuktur Sosial

Seorang peneliti, dalam menganalisis masyarakat harus memerinci

kehidupan masyarakat itu ke dalam unsur-unsurnya, yaitu pranata, kedudukan

sosial, dan peranan sosial untuk kemudian mencapai pengertian mengenai prinsip-

prinsip kaitan antara berbagai unsur masyarakat itu (Koentjaraningrat, 2002).

Struktur sosial, yaitu hubungan antara status/peranan yang relatif bersifat

mantap. Struktur sosial itu menunjukan pada fakta bahwa tindakan individu-

individu yang berinteraksi dipolakan yang kaitan dengan posisi masing-masing

dalam interaksi tersebut. Setiap orang mempunyai “tempat” dalam proses

interaksi sosial dan setiap orang saling-tindak satu sama lain menurut tempat

mereka (Tonny, 2005).

Disebutkan dalam Koentjaraningrat (2002) bahwa konsep struktur sosial

(social structure) pertama kali dikembangkan oleh seorang tokoh dalam ilmu

antropologi, yaitu A.R. Radcliffe Brown. Sarjana antropolgi Inggris yang hidup

antara tahun 1881 sampai 1955. Dasar pikirannya mengenai struktur sosial itu

secara singkat adalah seperti yang terurai di bawah ini :

a). Pangkal dan pusat dari segala penelitian masyarakat di muka bumi ini, serupa

dengan penelitian-penelitian ilmu kimia yang memusatkan perhatian terhadap

susunan molekul-molekul yang menyebabkan adanya berbagai zat, maka

demikian pula ilmu antropologi pada dasarnya harus mempelajari susunan

hubungan antara individu-individu yang menyebabkan adanya berbagai sistem

6

masyarakat. Perumusan dari berbagai macam susunan hubungan antara

individu dalam masyarakat itulah struktur sosial.

b). Struktur sosial dari suatu masyarakat itu mengendalikan tindakan individu

dalam masyarakat, tetapi tidak tampak oleh seorang peneliti dengan sekejap

pandangan, dan harus diabstraksikan secara induksi dari kenyataan kehidupan

masyarakat yang konkrit.

c). Hubungan interaksi antara individu dalam masyarakat adalah hal yang

konkreat yang dapat diobservasi dan dapat dicatat. Struktur sosial seolah-olah

berada dibelakang hubungan konkreat itu, dan hal ini mejadi terang bila kita

perhatikan bahwa struktur itu hidup langsung, sedangkan individu-individu

yang bergerak nyata di dalamnya dapat silih berganti.

d). Dengan struktur sosial itu seorang peneliti kemudian dapat menyelami

latarbelakang seluruh kehidupan seluruh suatu masyarakat, baik hubungan

kekerabatan, perekonomian, religi, maupun aktivitas kebudayaan atau pranata

lainnya.

e). Untuk mempelajari struktur sosial suatu masyarakat diperlukan suatu

penelitian di lapangan, dengan mendatangi sendiri suatu masyarakat manusia

yang hidup terikat oleh suatu desa, suatu bagian kota besar, suatu kelompok

berburu, atau lainnya.

f). Struktur sosial dapat juga di pakai sebagai kriterium untuk menentukan batas-

batas dari sesuatu masyarakat tertentu.

Merujuk pada Maiolo et al. (1991) dalam Tonny (2003) struktur sosial

memiliki empat unsur dasar : (1) status, yaitu suatu posisi dalam masyarakat baik

berdasarkan pemilikan secara individu menurut jenis kelamin, umur, ras, maupun

berdasarkan prestasi melalui tindakan individu. (2) peranan, yaitu hak dan

kewajiban yang berkaitan atau melekat pada status, yang didefinisikan secara

sosial. (3) hubungan interpersonal, yaitu hubungan satu individu dengan individu

lainnya dengan status/peranan tertentu, yang dicirikan oleh proses kompetisi,

kerjasama, konflik, dan pertukaran. Hubungan interpersonal menciptakan jaringan

sosial dan grup. (4) institusi sosial, yaitu wujud hubungan sosial yang relatif

mantap semacam cetak-biru (blue print) aktivitas sosial yang diterima secara luas

7

dan dihargai sepanjang waktu, di mana orang menganggap sebagai hal penting

untuk mencapai kesejahteraan hidup mereka.

Bagi masyarakat kecil dan lokal, kehidupan kekerabatan merupakan suatu

sistem yang seringkali bersifat amat ketat, yang memang mempengaruhi suatu

lapangan kehidupan yang sangat luas, sehingga menyangkut banyak sektor

kehidupan masyarakat. Meneliti sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat

serupa itu dapat memberi pengertian mengenai banyak kelompok dan pranata

sosial lain. Demikian juga menganalisis prinsip-prinsip sistem kekerabatan dalam

suatu masyarakat kecil sama dengan menganalisa kerangka dasar dari seluruh

masyarakat (Koentjaraningrat, 2002).

2.3 Masyarakat Nelayan

Masyarakat merupakan istilah yang paling lazim di pakai untuk menyebut

kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam

bahasa sehari-hari. Dalam bahasa Inggris di pakai istilah society yang berasal dari

kata latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari

akar kata Arab syakara yang berarti “ikut serta atau berpartisipasi”. Namun, tidak

semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan

masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang

khusus yakni pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya

dalam batas kesatuan itu. Lagi pula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu

dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.

Berdasarkan penjelasan di atas masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat

kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Koentjaraningrat,

2002).

Berdasarkan definisi dari Direktorat Jendaral Perikanan (1987) dalam Sari

(2002) nelayan adalah orang-orang yang mata pencahariannya menangkap ikan/

binatang air lainnya di laut. Nelayan dapat diklasifikasikan dan dibedakan dalam

tiga macam, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan

tambahan. Nelayan tetap adalah orang yang keseharian hidupnya

bermatapencaharian khusus sebagai penangkap ikan di laut dan menetap di

8

daerah-daerah pemusatan nelayan di sepanjang pantai. Nelayan sambilan utama

adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya bermatapencaharian sebagai

nelayan sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian

kecil waktunya digunakan untuk menangkap ikan sedangkan ia memiliki mata

pencaharian lainnya yang lebih menyita waktu kerjanya. Nelayan biasa hidup di

wilayah pesisir, oleh karenanya nelayan digolongkan sebagai masyarakat pesisir.

Menurut Syarif (2008) dalam wilayah pesisir terdapat banyak terdapat

kelompok kehidupan masyarakat diantaranya:

a). Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat nelayan pesisir

yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok

ini di bagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan

nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat dibedakan dari jenis

kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapnya.

b). Masyarakat nelayan pengumpul atau bakul, adalah kelompok masyarakat

pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka

akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan

maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual

kemasyarakat sekitarnya atau dibawa kepasar-pasar lokal. Umumnya yang

menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

c). Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling

banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat

terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka

tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif.

Umumya mereka bekerja sebagai buruh atau anak buah kapal (ABK) pada

kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.

d). Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan masyarakat

nelayan buruh.

Kehidupan nelayan di Indonesia secara umum memang masih

memprihatinkan, mereka menjadi masyarakat miskin yang terbelakang dalam

program pembangunan. Sebagai negara agraris, seharusnya pemerintah dapat

lebih memperhatikan kesejahteran mereka dengan memberikan kebijakan

pembangunan yang berpihak kepada nelayan kecil (Nikijuluw, 2005).

9

Nelayan memang sering dicap sebagai the poorest of the poor, atau

kelompok termiskin diantara yang miskin. Mereka miskin ide, gagasan, serta

tindakan dan aksi ekonomi. Mereka miskin modal usaha, informasi, pendidikan,

pengetahuan, dan kemampuan usaha. Mereka tinggal di tengah lingkungan yang

miskin sarana, prasarana serta pranata sosial ekonomi yang seharusnya adalah

prasyarat atau modal dasar bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai

makhluk sosial ekonomi (Nikijuluw, 2005).

Banyak hal yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan, mulai dari faktor

internal yang berkaitan dengan pribadi nelayan sendiri dan juga faktor eksternal

yang berkaitan dengan lingkungan secara umum. Salah satu hal yang memberi

andil besar dalam kemiskinan nelayan ini adalah termarjinalisasinya kawasan

pesisir yang menjadi lingkungan hidup nelayan. Berdasarkan identifikasi yang

dilakukan Chua dan Pauly (1989) dalam Nikijuluw (2005) mengenai masalah ini

di Indonesia, ditemukan beberapa penyebab:

1. Sebagian besar sumberdaya hayati pesisir telah mengalami eksploitasi lebih

(Over Exploitation) dan ekositem pesisir mengalami tekanan yang berat.

2. Terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi baik yang berasal

dari laut maupun dari darat.

3. Sebagian besar penduduk hidup dalam kondisi miskin, sementara pemiskinan

berlangsung terus dan dipihak lain makin terjadi ketimpangan pendapatan.

4. Kelembagaan yang ada tidak tepat untuk menjawab masalah-masalah yang

muncul.

5. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik.

6. Sangat kurang apresiasi publik terhadap pengelolaan yang berkelanjutan.

7. Sangat kurang pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi.

8. Sangat rendah kapasitas masyarakat, meskipun dipihak lain potensinya ada dan

cukup besar.

Pada kenyataannya ternyata masyarakat mampu bertahan hidup dalam

kekuatannya sendiri, terutama nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil.

Kelompok masyarakat ini mencapai 3,2 juta orang, yang mendiami 3632 desa

nelayan penangkapan (BPS, 2003) dalam Sari (2002). Indikator desa nelayan

penangkapan dicirikan oleh adanya: jumlah rumah tangga perikanan tangkap

10

(RTPK), jumlah perahu dan kapal, alat tangkap perikanan tangkap, produksi hasil

tangkapan, tempat pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan. Diperkirakan

sebanyak 70% dari total penduduk yang digolongkan sebagai nelayan, mereka

telah berupaya agar tetap dapat hidup dengan kekuatan yang memang mereka

miliki, yaitu tenaga dan semangat hidup. Kedua faktor ini (tenaga dan semangat)

adalah modal dasar yang menjadi jaminan utama untuk memenuhi kehidupannya.

Nelayan tradisional walaupun berperan secara signifikan dalam ikut

meningkatkan produksi perikanan nasional, ternyata belum ikut di hitung mampu

secara positif meningkatkan kesejahteraan sosial. Indikator belum ikut di

hitungnya nelayan tradisonal dalam produksi perikanan nasional, salah satunya

adalah hingga saat ini belum ada sistem baku yang berpihak pada mereka, seperti

lembaga penjamin resiko kehidupan akibat keterbatasan daya dukung sumberdaya

manusia dan finansial yang diberikan pemerintah melalui kompensasi

perlindungan pendidikan dan ekonomi (DKP, 2004).

Nelayan dapat disebut sebagai komunitas tanpa pembela. Hal ini ditandai

oleh tidak banyak mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat lain. faktor

penting yang menyebabkan tidak mendapat perhatian publik adalah karena

kebijakan pembangunan selama ini tidak menempatkan sektor kelautan sebagai

salah satu penentu masa depan bangsa. Bailey, et al (1987) dalam Nikijuluw

(2005) melakukan telaah komprehensif tentang perikanan Indonesia, tiba pada

kesimpulan bahwa memang nelayan Indonesia secara umum tergolong miskin.

2.4 Kelembagaan Sosial Perikanan Tangkap

Dari hari kehari manusia melaksanakan banyak tindakan interaksi antara

individu dalam rangka kehidupan masyarakat. Di antara semua tindakannya yang

berpola tadi perlu diadakan perbedaan antara tindakan-tindakan yang

dilaksanakannya menurut pola-pola yang tidak resmi dengan tindakan-tindakan

yang dilaksanakannya menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi

wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut

pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata, atau dalam

bahasa Inggris disebut institution (Koentjaraningrat, 2002). Dalam bahasa sehari-

hari istilah institution sering dikacaukan dengan istilah institute. Padahal dalam

11

bahasa Indonesia kata institute artinya “lembaga”, sedangkan pranata adalah

sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat,

sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan

aktivitas itu.

Kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau

sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai

yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan

yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak,

1966) dalam (Tonny, 2003).

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau

tingkah laku. Berkaitan dengan hal itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah

seperti diuraikan Doom dan Lammers (1959) dalam Tonny (2003), yakni:

a). Memberi pedoman berprilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka

harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah

dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

b). Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka

kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.

c). Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial

(social control): artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku

anggotanya.

d). Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.

Kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan

kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri yang membedakannya dari konsepsi-konsepsi

lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi dijelasakan oleh Soekanto (1990) dalam

Tonny (2003) adalah sebagai berikut:

a). Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud

melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya.

b). Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan waktu

yang lama karena itu cenderung dipertahankan.

c). Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu;

d). Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan.

e). Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

12

f). Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.

Pakpahan (1990) dalam Panjaitan (1997) menyatakan konsep organisasi

mengandung beberapa unsur antara lain partisipan, teknologi, tujuan,

struktur/kelembagaan dimana interdependensi antara satu dengan lain

menghasilkan output. Dari sudut pandang ekonomi institusi pengertian organisasi

biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh

mekanisme pasar, tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando.

Kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang-

undangan yang mengatur tata kelembagaan (Institutional Arrangement: IA) dan

mekanisme atau kerangka kerja kelembagaan (Institutional Framework: IF) dalam

rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (Potential Capacity: PC), daya dukung

(Carrying Capacity: CC), dan daya tamping (Absorptive Capacity: AC). AC juga

disebut sebagai daya lentur kelembagaan, yaitu kelenturan suatu lembaga dalam

menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi di dalam

pembangunan kelautan (Purwaka, 2007).

Berbagai pola kelembagaan kelautan dan perikanan, khusunya bidang

perikanan, tanpa disadari ternya telah dikembangkan pola-pola kelembagaan

tersebut antara lain adalah pengelolaan perikanan terpadu, pengelolaan berbasis

masyarakat, dan pengelolaan perikanan berbasis kemitraan antara pemerintah,

swasta, dan masyarakat (Purwaka, 2007)

Hasil riset yang mengemukakan peran kelembagaan dalam pengelolaan

sumberdaya perikanan dikaji dari laporan hasil PRPPSE yang dikemukakan oleh

Koeshendrajana et al. (2003) dalam DKP (2004), peran kelembagaan penting

dalam hal ini ditekankan terhadap suatu sistem pengelolaan yang dilakukan secara

bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun oleh stakeholders lain dalam

kegiatan usaha masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan yang

bersangkutan. Prasyarat untuk pelaksanaan bentuk pengelolaan tersebut adalah:

- Pengakuan formal oleh para pelaku bahwa kegiatan tersebut adalah sejalan

dengan aturan formal yang ada dan dikehendaki oleh stakeholders atau

masyarakat.

13

- Pengakuan adanya kelompok-kelompok pengguna (stakeholders) yang ada

sehingga kegiatan pengelolaan sumberdaya yang dilaksanakan tersebut

mendapat dukungan dari pemerintah.

- Disepakati bersama-sama oleh masyarakat pengguna sumberdaya maupun

kelompok kunci atau kelompok penting lainnya.

Banyak cara-cara penting dalam pengelolaan yang dapat dijalankan, tetapi

tidak ada pola pemecahan yang hanya didasarkan pada satu cara saja yang dapat

menjamin keberhasilan pengelolaan. Selain kedua kunci pegelola perikanan tadi

(pemerintah dan masyarakat lokal), mungkin pula berbagai LSM, proyek-proyek

pengembangan dan badan-badan lain yang berperan dalam pengelolaan.

Kombinasi kemitraan yang ideal ditiap lokasi akan tergantung pada kemampuan

berbagai pelaku perikanan lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola.

Pelaku perikanan (stakeholders) disini dinyatakan sebagai masyarakat, kelompok

masyarakat atau organisasi yang dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif)

oleh suatu intervensi pengelolaan yang diusulkan, atau mereka yang dapat

mempengaruhi dampak intervensi tersebut (secara positif atau negatif)

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).

Dalam menghadapi era globalisai maka peran kelembagaan harus

diperkuat untuk memasuki pasar bebas (free trade area) yang akan membuat

dunia sebagai borderless states atau semakin terkikisnya hambatan-hambatan

perdagangan. Arus barang dan tenaga kerja akan semakin pesat dan persaingan

akan menuntut para pelakunya untuk memiliki kompetensi atau daya saing yang

tinggi untuk dapat bertahan dalam arus globalisasi tersebut. Kecenderungan ini

sudah terlihat dari adanya kesepakatan perdagangan internasional seperti APEC

(Asia-Pacific Economic Cooperation), AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan

NAFTA (North American Free Trade Agreement). Arus globalisasi ini akhirnya

menimbulkan beberapa akibat yang disebutkan oleh Ray (2003) dalam DKP

(2004), yaitu:

1. Persaingan yang semakin ketat. Persaingan global tersebut menuntut

perubahan-perubahan yang cukup signifikan baik dalam teknologi, proses

produksi maupun disain produksi serta memperbaiki efektivitas keputusan

mengenai ketentuan harga;

14

2. Adanya ketergantungan dan keterkaitan global. Pergerakan yang relatif bebas

dari barang dan jasa serta faktor-faktor produksi menyebabkan hampir semua

kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi nasional;

3. Proteksionisme dan blok-blok yang makin tumbuh;

4. Kemajuan pesat teknologi;

5. Keprihatinan yang mendalam atas lingkungan.

Sengaja masalah penguatan fungsi kelembagaan dijadikan “kotak kunci”

(key box) bagi tawaran alternatif untuk merekonstruksi perekonomian Indonesia

yang hampir terkoyak di semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan.

Dengan pijakan teoritis di atas diharapkan di peroleh dasar yang memadai untuk

menyulam kembali perekonomian Indonesia dengan benang yang tepat.

Setidaknya pendekatan kelembagaan relevan digunakan untuk melakukan

“kontrak baru” terhadap perekonomian Indonesia di lihat dari dua sudut (Perdana

dan Galuh, 2003) dalam DKP (2004). Pertama, teori kelembagaan tidak

berpretensi bahwa masalah perekonomian diakibatkan oleh aspek ekonomi

semata, tetapi bertali pilin dengan aspek lainnya seperti sosial, budaya, dan

hukum. Berdasarkan keyakianan tersebut, setiap penyelesaian persoalan lewat

pendekatan kelembagaan selalu mengandaikan adanya pertimbangan dan

multidimensi. Kedua, teori kelembagaan sangat relevan untuk menjelaskan proses

kegagalan kinerja bisnis sebuah negara yang memiliki sistem sosial, ekonomi, dan

politik belum mapan.

Sektor kelautan dan perikanan saat ini umumnya belum mempunyai

kelembagaan yang bernuansa bisnis perikanan dalam suatu sistem bisnis yang

terintegrasi antara aspek input, penangkapan/budidaya, penanganan hasil

perikanan, serta pemasaran. Hasil kajian Simatupang (1996) dalam DKP (2004),

menjelaskan bahwa pada sektor perikanan menunjukan pola yang ada di Jawa

maupun diluar Jawa umumnya digolongkan sebagai tipe dispersal, yang dicirikan

oleh tidak adanya hubungan organisasi fungsional antara setiap tingkat usaha.

Jaringan bisnis perikanan praktis hanya di ikat dan di koordinir oleh mekanisme

pasar (harga). Hubungan antara sesama pelaku cenderung berkembang menjadi

bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus pada kematian bersama.

15

Masalah yang timbul akibat tidak adanya ikatan kelembagaan antar pelaku

dalam bisnis perikanan menurut Klein et al. (1998) dalam DKP (2004), yakni:

a). Terjadi transmisi harga yang tidak simetris.

b). Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen ditahan dan bahkan dijadikan

alat untuk memperkuat oligopolistik dan monopolistik oleh bisnis perikanan

disektor hilir.

c). Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh bisnis

perikanan hilir tidak ditransmisikan ke nelayan.

d). Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh bisnis perikanan hilir

(pedagangan, eksportir) tidak ditrasmisikan dengan baik dan bahkan

cenderung digunakan untuk mengeksploitasi nelayan.

2.5 Komunikasi

Istilah komunikasi sering digunakan dalam berbagai kegiatan percakapan

sehari-hari, akan tetapi karena begitu luas pemakaiannya sering kali perkataan

komunikasi tidak dapat dipahami secara semakna oleh semua orang. Secara

etimologis Treece (1989) dalam Yuhana (2006) menyebutkan, istilah komunikasi

berasal dari bahasa latin communicatio, berasal dari kata communis yang berarti

kesamaan makna tentang suatu hal. Karena itu komunikasi dapat diartikan sebagai

“proses sosial dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan sosial dan memiliki

makna mengenai sesuatu hal”. Secara terminologis, komunikasi diartikan “suatu

proses berbagi pesan melalui kegiatan penyampaiaan dan penerimaan pesan

(simbol-simbol yang bermakna) baik secara verbal (lisan dan tulisan) maupun

nonverbal (gerakan tubun, wajah ,dan mata), sehingga orang-orang yang berperan

sebagai pengirim dan penerima pesan memperoleh makna yang timbal balik atau

sama terhadap pesan yang dipertukarkan”.

Dalam sosiologi komunikasi memiliki arti yang luas pula, oleh karenanya

digunakan istilah komunikasi sosial. Jadi kata komunikasi sosial memiliki arti

tersendiri, merujuk pada Sutaryo (2005), komunikasi sosial diartikan sebagai

suatu proses interaksi dimana seseorang atau suatu lembaga menyampaikan

amanat kepada pihak lain supaya pihak lain itu dapat menangkap maksud yang

dikendaki penyampai.

16

Sebagai suatu proses maka komunikasi memiliki tujuan dalam

pelaksanaanya. Tujuan komunikasi telah banyak dirumuskan oleh para pakar,

diantaranya Berlo (1960) dalam Yuhana et al. (2006) telah merumuskan tiga

tujuan komunikasi sebagai berikut:

(a). Informative: cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan sesuatu

hal, ide-ide, gagasan-gagasan, rumusan pemikiran baru, perasaan dengan

melakukan pendekatan pikiran (mind). Agar hal ini efektif maka informasi

yang disampaikan bersifat faktual dan objektif.

(b). Persuasive: cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menggugah perasaan

seseorang dari suatu situasi ke situasi lainnya, dari tidak suka menjadi suka.

Dengan demikian pendekatan yang dilakukan tidak lagi ditekankan hanya

pada pendekatan pikiran semata tetapi sudah menyangkut aspek pendekatan

emosional.

(c). Entertainment: pada tipe ini komunikasi bertujuan untuk menghibur atau

menyenangkan seseorang melalui peragaan-peragaan tertentu.

Proses komunikasi harus berlangsung secara efektif dimana pesan yang

diterima oleh si penerima (receiver) harus sama dengan yang disampaikan oleh

sumber (source). Tanda-tanda dari sebuah proses komunikasi yang efektif

menurut Tubbs dan Moss (1974) dalam Rakhmat (2005) paling tidak

menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan

yang makin baik, dan tindakan.

Komunikasi sebagi proses tidaklah sederhana, tetapi bersifat dinamis dan

selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu proses komunikasi tidak dapat

direkonstruksi 100 persen. Akan tetapi untuk dapat mengerti bagaimana proses

komunikasi berlangsung perlu diciptakan suatu bentuk atau model komunikasi

yang statik (Yuhana et al, 2006).

Elemen-elemen proses komunikasi yang dapat diisolasi terdiri dari

(Verderber, 1981; De Vito, 1997) dalam Yuhana et al. (2006): orang yang terlibat

dalam komunikasi-sumber (source) dan penerima (receiver), pesan (messages)

yang dipertukarkan melalui komunikasi, media atau saluran (channels) melalui

mana komunikasi terjadi, konteks (contexts) komunikasi, aturan-aturan (rules)

17

yang mengarah pada pelaku komunikasi, hadir tidaknya gangguan (noise), dan

umpan balik (feedback) baik verbal maupun nonverbal.

Peran komunikasi dalam pembangunan sangat besar untuk menjembati

suatu proses interaksi yang berlangsung antar elemen-elemen masyarakat.

Sehingga akan menghasilkan suatu keterpaduan makna yang menjadi tujuan

bersama. Wilbur Schram mengatakan dalam Sutaryo (2005), bahwa tugas

komunikasi dalam perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional antara

lain adalah:

(a). Menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan nasional

agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, sarana-

sarana perubahan dan membangkitkan aspirasi nasional;

(b). Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara

aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan

semua pihak yang akan membuat keputusan mengenai perubahan, memberi

kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan

mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang

berjalan lancar dari bawah ke atas;

(c). Mendidik tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan, sejak orang

dewasa, hingga anak-anak, dari pelajaran baca-tulis, hingga keterampilan

teknis yang mengubah hidup masyarakat.

Dalam masyarakat nelayan, proses komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan

untuk meningkatakan taraf hidup agar lebih baik.

18

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilapangan dilaksanakan bulan Maret sampai April 2009 dan

bertempat di kawasan PPI Cisolok, Desa Cikahuripan, Kabupaten Sukabumi,

Jawa Barat.

3.2 Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner, recorder,

kamera dan berbagai alat tulis yang dipakai untuk mengumpulkan dan mengolah

data penelitian.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini akan membahas mengenai struktur interaksi tokoh kunci di

Desa Cikahuripan, kondisi kelembagaan dalam komunitas nelayan di kawasan PPI

Cisolok, dan pandangan stakeholder perikanan tangkap untuk pemberdayaan

masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok. Pendekatan kajian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan strategi penelitian

menggunakan metode studi kasus. Menurut Bogadan dan Taylor (1975) dalam

Moleong (2005), metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara

holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke

dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari

sesuatu keutuhan. Kasus yang diangkat dalam penelitian ini berupa kondisi

interaksi sosial masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok, di sana para nelayan

lebih memilih bekerja sama dengan kelembagaan-kelembagaan informal

dibandingkan dengan pemerintah daerah setempat.

19

3.3.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner, wawancara baik secara pribadi

(personal interview) maupun kelompok (group interview) kepada responden,

wawancara kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, serta

dilakukan pula pengamatan terhadap gejala-gejala sosial yang khas yang ada di

masyarakat nelayan Desa Cikahuripan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari

TPI Cisolok, dan studi literatur.

3.3.2 Metode Pengambilan Data

Responden di pilih dengan menggunakan tehnik Non-random Sampling

sebanyak 30 orang responden, terdiri dari nelayan pemilik, nelayan buruh, bakul,

dan supplier.

3.4 Analisis Data

1. Struktur interaksi tokoh kunci di Desa Cikahuripan.

Struktur interaksi tokoh kunci di Desa Cikarupan di analisis menggunakan

analisis jaringan (network analysis), yakni dengan mencari nilai koneksi dan

derajat integrasi yang dimiliki oleh masing-masing tokoh kunci.

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi tokoh kunci

yang terdapat di komunitas nelayan Cikahuripan. Pada tahap ini dilakukan

wawancara mendalam terhadap informan kunci. Informan didapatkan dengan

teknik snowballing, yaitu teknik untuk mencari nara sumber (tokoh kunci) dengan

cara berantai yang di mulai dengan aparat pemerintah seperti Kepala Desa,

Sekretaris Desa atau Ketua BPD (Badan Pengawas Desa). Selanjutnya, di buat

peta interaksi tokoh kunci di atas kertas lalu dihitung nilai koneksi dan derajat

interaksinya.

Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai koneksi dan derajat

integrasi adalah:

Nilai Koneksi = Σn/ ΣM

Derajat Integrasi = Σm/ (ΣN Combinasi 2)

20

Keterangan:

m : Garis yang terbentuk dalam sebuah jaringan interaksi.

M : Jumlah tokoh kunci.

n : Garis yang dimiliki seorang tokoh kunci dalam interaksinya.

N : Tokoh kunci yang berinteraksi dalam satu jaringan.

2. Analisis tipologi kelembagaan

Tipologi kelembagaan ini akan ditampilkan dalam bentuk kuadran yang

memiliki dua variabel: “keseimbangan pelayanan-peranserta” dan “good

governance”. Garis horizontal (ordinat) menggambarkan tingkat keberhasilan

proses manajemen yang diindikasikan dengan rendah sampai tinggi

“keseimbangan pelayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan. Garis vertikal

(absis) menggambarkan tidak berfungsi (bad governance) sampai tinggi

berfungsinya good governance. Perpotongan garis ordinat dan absis inilah yang

membentuk kuadran untuk menjelaskan posisi tipologi kelembagaan dalam

komunitas lokal.

Kuadran pertama (Tipe-1) merupakan gambaran dari tingginya tingkat

“keseimbangan pelayanan-peranserta” dan berfungsinya prinsip-prinsip good

governance dengan baik. Pada kuadran ini komunitas lokal merupakan

manifestasi dari suatu bentuk kelembagaan yang sustain. Kuadran kedua (Tipe-2)

menjadi gambaran bagi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta”, tetapi

prinsip-prinsip good governance berfungsi. Kuadran dua ini menjelaskan bahwa

kelembagaan komunitas lokal merupakan suatu kelembagaan yang semi sustain

dengan kendala manajemen. Kuadran ketiga (Tipe-3) menjadi tempat bagi

sejumlah kelembagaan yang memiliki tingkat “keseimbangan pelayanan-

peranserta” rendah dan tidak berfungsinya prinsip-prinsip good governance (bad

governance). Kuadran ketiga ini menunjukan kelembagaan yang tidak sustain.

Terakhir, kuadran keempat (Tipe-4) menjadi tempat bagi sejumlah kelembagaan

yang memiliki tingkat “keseimbangan pelayanan-peranserta” tinggi, namun

prinsip-prinsip good governance tidak berfungsi (bad governance). Kuadran ini

21

menunjukan posisi kelembagaan yang semi sustain dengan kendala good

governance.

Sumber: Tonny 2006

Gambar 1. Model tipologi kelembagaan

3. Pandangan stakeholder untuk pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan

PPI Cisolok.

Pada tahap ini dilakukan pengidentikasian kebutuhan masyarakat oleh

komunitas nelayan. Responden di minta untuk menyebutkan kebutuhan mereka

terkaitan pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok, selanjutnya di

tanya mengenai harapan mereka terhadap pemerintah kabupaten sebagai pihak

yang bertanggung jawab atas penelolaan PPI. Lalu responden kembali di minta

untuk memberikan persepsinya atas kinerja pemerintah kabupaten terkait program

pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah diberikan. Kebutuhan dan

harapan tersebut selanjutnya di klasifikasi menjadi social capital, physical capital,

dan human capital.

Hal serupa juga dilakukan terhadap pemerintah Kabupaten Sukabumi

dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. Persepsi yang

telah terkumpul tersebut kemudian dirumuskan dan di cari proses penyatuannya.

“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”

Sustain

Semi-Sustain dengan Kendala Governance

Tidak Sustain

Semi-Sustain dengan kendala Manajemen

Rendah Tinggi

“Bad Governance”

“Good Governance”

(1)

(3)

(2)

“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”

(4)

22

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Cisolok merupakan kecamatan pesisir yang berada diujung

barat Kabupaten Sukabumi, berbatasan langsung dengan Provinsi Banten

disebelah barat, disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cikakak, disebelah

utara dengan Kecamatan Kabandungan, dan disebalah selatan dengan Samudera

Hindia.

Luas Kecamatan Cisolok mencapai 16.987 ha yang terdiri dari 10 desa, 4

desa pantai dan 6 desa non pantai.

Tabel.(1) Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok

No. Desa Status Luas (ha) 1 Pasir baru Pantai 1.408 2 Cikahuripan Pantai 702 3 Cisolok Pantai 766 4 Karangpapak Pantai 2.367 5 Sirnaresmi Non pantai 4920 6 Cicadas Non pantai 1681 7 Cikelat Non pantai 1627 8 G. Karamat Non pantai 1501 9 G. Tanjung Non pantai 540 10 Caringin Non pantai 1474

Sumber: DKP Kabupaten Sukabumi 2005 dalam Dauldt 2007

Penelitian ini terfokus dikawasan PPI Cisolok di Desa Cikahuripan. Desa

Cikahuripan merupakan jenis desa pantai yang berbasis pada sumberdaya bahari.

Sumber pendapatan utama penduduk hampir 90% berasal dari hasil tangkapan

ikan dilaut.

4.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Cikahuripan

Luas wilayah Desa Cikahuripan yakni 702 Ha dengan ketinggian di atas

permukaan laut 0.20 mdl dan curah hujan sebesar 3000-3500 mm. Desa

Cikahuripan terbagi dalam 3 Dusun, 15 Rukun Warga (RW) dan 38 Rukun

Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Cikahuripan adalah sebagai berikut :

23

Sebelah Utara : Desa Gunung Tanjung

Sebelah Timur : Desa Cisolok

Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

Sebelah Barat : Desa Pasir Baru

Sebaran penggunaan lahan atau tanah oleh masyarakat di Desa

Cikahuripan, yaitu sebagai berikut.

Pemukiman penduduk dan perkarangan = 29.05 Ha

Sawah = 45.1 Ha

Ladang/ kebun = 415.40 Ha

Pekarangan = 2.05 Ha

Taman = 1.05 Ha

Sarana Olahraga = 0.6 Ha

Pemakaman = 3 Ha

Usaha Perikanan = 0.25 Ha

4.3 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan

Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan

24

4.4 Sumber Daya Manusia Desa Cikahuripan

4.4.1 Jumlah penduduk

Jumlah penduduk Desa Cikahuripan berdasarkan data Laporan Tahunan

Desa Tahun 2008 adalah 5869 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 2866

jiwa dan perempuan 3003 jiwa. Jumlah penduduk menurut golongan umur dan

jenis kelamin adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur

Jenis Kelamin No Golongan

Umur (tahun) Laki-laki (jiwa)

Perempuan (jiwa)

Jumlah (jiwa)

1. 0-4 241 292 533 2. 5-9 258 263 521 3. 10-14 279 283 562 4. 15-19 278 284 562 5. 20-24 234 237 471 6. 25-29 207 211 418 7. 30-34 219 222 441 8. 35-39 200 257 457 9. 40-44 210 205 415 10. 45-49 205 209 414 11. 50-54 129 130 259 12. 55-59 116 120 136 13. 60-64 93 88 181 14. 65-70 108 105 113 15. >70 89 97 141

Jumlah 2866 3003 5.869 Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)

Jumlah penduduk Desa Cikahuripan berdasarkan agama yang dianut

adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama yang Dianut

No Agama Jumlah (jiwa)1. Islam 5913 2. Katholik 0 3. Protestan 0 4. Budha 0 5. Konghuchu 0 Jumlah 5913

Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)

25

4.4.2 Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk Desa Cikahuripan cukup beragam. Sebaran

mata pencaharian penduduk Desa Cikahuripan sebagai berikut:

Tabel 4. Sebaran Penduduk Desa Cikahuripan menurut Jenis Mata Pencaharian

Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)

Berdasarkan laporan dari pemerintah Desa Cikahuripan, jumlah RTM

(Rumah Tangga Miskin) adalah 430 kepala keluarga (KK) atau 26% dari total

1600 KK yang ada di Desa Cikahuripan.

No Pekerjaan Jumlah (Jiwa)

1. Petani 126 2. Buruh Tani 600 3. Buruh Migran 28 4. Pedagang Keliling 25 5. Nelayan 1425 6. Montir 16 7. Pegawai Negri 41 8. Dokter Swasta 1 9. Pembantu Rumah Tangga 152 10. Peternak 13 11. POLRI 3 12. Pengrajin Industri Rumah Tangga 3 13. Pensiunan PNS/POLRI/TNI 6 14. Pengusaha Kecil dan Menengah 21 15. Dukun Kampung Terlatih 3 16. Dosen Swasta 1 17. Pengusaha Besar 5 18. Guru Swasta 18 19. Seniman/Artis 9 20. Karyawan Swasta 11

Total 2507

26

4.4.3 Tingkat Pendidikan

Sebagian besar penduduk Desa Cikahuripan memiliki tingkat pendidikan

tamat SMA atau sederajat. Tingkat pendidikan penduduk Desa Cikahuripan

sebagai berikut

Tabel 5. Sebaran Penduduk Desa Cikahuripan Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) 1. Buta Aksara dan Huruf/Angka Latin 84 2. Tidak Tamat SD 106 3. Tamat SD/sederajat 3073 4. Tamat SMP/sederajat 456 5. Tamat SMA/sederajat 408 6. Tamat Perguruan Tinggi 224

Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)

4.4.4 Kondisi PPI Cisolok

PPI Cisolok merupakan satu-satunya pangkalan pendaratan ikan di

Kecamatan Cisolok yang berlokasi di Desa Cikahuripan. Di PPI Cisolok terdapat

213 unit kapal terdiri dari 197 unit kapal congkreng dan 16 unit kapal payang.

Jumlah nelayan yang beraktifitas dikawasan tersebut sebanyak 465 orang.

Di PPI Cisolok telah di bangun breakwater meski belum selesai

sepenuhnya, PPI ini kedepannya dipersiapakan untuk mengganti fungsi PPN

Palabuhanratu sebagai tempat berlabuh bagi kapal-kapal berukuran 30 GT

kebawah. Hal tersebut dikarenakan PPN Palabuhanratu saat ini tengah

mempersiapkan peningkatan statusnya menjadi pelabuhan perikanan samudera.

27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Struktur Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan

Jumlah tokoh kunci di dalam sebuah desa biasanya tidak banyak. Mereka

adalah anggota masyarakat yang mempunyai jabatan formal dalam pemerintahan

desa pengurus lembaga sosial desa (seperti: Lembaga Ketahanan Masyarakat

Desa, kelompok nelayan, karang taruna, BUMDes, pendidik kesejateraan

keluarga), nelayan kaya, guru atau para pegawai negeri yang bekerja di kota atau

tempat lain.

Tokoh kunci bisa juga diisi oleh informal leaders yakni individu-individu

yang banyak didengar pendapatnya oleh masyarakat dan diikuti petunjuknya

meskipun mereka tidak mempunyai jabatan formal, baik dalam pemerintahan desa

maupun dalam lembaga sosial pedesaan.

Berdasarkan studi yang dilakukan, tokoh-tokoh kunci yang teridentifikasi

memiliki peran penting dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat Desa

Cikahuripan, antara lain:

a. Aji Marpudin; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Kepala Desa Cikahuripan,

- Pekerjaan nelayan/taweu,

- Memiliki jaringan yang baik dengan pemangku kebijakan, banyak

program berhasil digagasnya (PNPM, Darmaga, BUMDes) masuk

ke Cikahuripan,

- Pengaruhnya cukup luas di Desa Cikaruripan, di tingkat

Kecamatan, dan Pemda Kabupaten Sukabumi,

- Menjadi sekretaris paguyuban kepala desa se-Kabupaten

Sukabumi.

b. Rusli Rusmajaya; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Kepala BPD Desa Cikahuripan,

- Tokoh dibidang pendidikan (staf PNS, kepala sekolah SMP

swasta),

28

- Pengaruhnya cukup besar terutama dikalangan pemuda (sebagai

ketua Dewan pengarah karang taruna),

- Memiliki jaringan luas (pemda, DPRD, wartawan),

- Memiliki harapan besar terhadap karang taruna agar aktif kembali

dan “mencetak sejarah”.

c. Abah Bunong; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Tokoh (Bakul besar) yang menguasai jaringan ekspor ikan di

Cisolok dan rantai tata niaga,

- Tokoh yang disegani, karena banyak membantu nelayan dan

keluarganya,

- Memiliki jaringan luas di semua TPI pantai selatan Sukabumi

(pengumpul ikan untuk ekspor),

- Sebagai tokoh “informal” yang menggerakan kegiatan-kegiatan

nelayan,

- Pemilik LIGO (suplier ikan layur ke PT.Jiko Gantung Power/

URI).

d. Haji Ewen Suhendi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua Kerukunan Masyarakat Nelayan Cikahuripan dengan

anggota mencapai hampir 700 orang,

- Pengaruhnya cukup besar ke nelayan,

- Berpengalaman dibidang pelayaran,

- Tokoh/taweu perikanan Cisolok (memiliki 15 unit kapal

congkreng).

e. Cece; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua BUMdes Desa Cikahuripan,

- Ketua TANSOSMAS Desa Cikahuripan,

- Ketua pelaksana program PNPM Desa Cikahuripan.

f. Imas; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Kader karang taruna/ wakil ketua,

- Memiliki jaringan yang cukup luas (kalangan kader desa, aparat

desa, kecamatan, Polsek, preman pasar/terminal),

29

- Memiliki wawasan cukup luas tentang permasalan Desa

Cikahuripan

- Memiliki pengalaman dalam pengembangan kepemudaan.

g. Bambang; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Sekretaris Desa Cikahuripan,

- Memiliki pengetahuan basis data permasalahan ekonomi, sosial,

kependudukan, keagamaan di Desa Cikahuripan.

h. Handiyat; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Tokoh nelayan yang diakui masyarakat,

- Pemilik perahu rumpon (belum dipakai).

i. Ustad Uus; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua MUI Desa Cikahuripan.

j. Ibu Yati; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua KUB Hurip Mandiri.

k. Ibu Aan; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua KUB Tenggiri.

l. Zaenal; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Petani/ tengkulak pisang dan kelapa.

m. Encib; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Petani/ tengkulak cengkeh.

n. Juhdi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Tengkulak kelapa.

o. Ibu Ocah; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Pengrajin ikan asin dan terasi.

p. Cecep; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Ketua Karang Taruna.

q. Dasep; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Tokoh Nelayan.

r. Didi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:

- Pengusaha bengkel nelayan yang masih aktif.

30

Terdapat 18 orang yang menjadi tokoh kunci di Desa Cikahuripan. Mereka

terdiri dari 3 orang pejabat formal desa, 5 orang pengurus lembaga sosial desa, 8

orang penguasa sumberdaya ekonomi, dan 2 orang informal leaders. Berikut

gambar mengenai hubungan antara tokoh kunci tersebut:

Gambar 3. Jejaring Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan

Berdasarkan gambar 3, maka diperoleh nilai koneksi dan integrasi untuk

masing-masing tokoh. Nilai koneksi dan integrasi tersebut, digunakan untuk

melihat kekuatan jaringan yang dimiliki oleh masing-masing tokoh untuk

memberikan pengaruhnya di masyarakat.

Aji kades Ibu

Yati

Ibu Aan

Rusli

Bambang

Mak Ojah

Didi

Cece

Cecep

Ewen Juhdi

Dasep

Imas

Jenal

handiat

Enceb

Bunong

Ust. Uus

31

Tabel 6. Nilai Koneksi dan Derajat Integrasi Tokoh Kunci Desa Cikahuripan:

No. Nama Tokoh Kategori Tokoh Koneksi Derajat

Integrasi

1 Aji Marpudin Pejabat Formal Desa 0,33 0,48

2 Rusli Rusmajaya Pejabat Formal Desa 0,55 0,36

3 Bambang Pejabat Formal Desa 0,22 0,60

4 Uus Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1

5 Ewen Suhendi Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1

6 Cece Pengurus lembaga Sosial Desa 0,22 0.8

7 Cecep Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1

8 Imas Pengurus lembaga Sosial Desa 0,44 0,42

9 Didi Pemilik Usaha Bengkel 0,11 1

10 Abah Bunong Pemilik Usaha Perikanan 0,38 0,50

11 Yati Pemilik Usaha Perikanan 0,11 0,66

12 Aan Pemilik Usaha Perikanan 0,16 0,83

13 Zaenal Pemilik Usaha Perkebunan 0,05 1

14 Encib Pemilik Usaha Perkebunan 0,11 0,66

15 Juhdi Pemilik Usaha Perkebunan 0,05 1

16 Ocah Pemilik Usaha Perikanan 0,05 1

17 Dasep Informal leader 0,11 1

18 Handiyat Informal leader 0,11 1

Sumber: Data Primer

Kegiatan yang berkaitan dengan implementasi pembangunan pedesaan,

hampir semua tokoh kunci didalamnya saling berinteraksi membentuk suatu

jaringan. Hal ini menunjukan bahwa hampir setiap tokoh kunci mempunyai jalur

koneksi dengan tokoh kunci lain meskipun panjangnya berbeda-beda.

Kolom koneksi memperlihatkan bahwa jalur koneksi yang terpendek 0,05

dan terpanjang 0,55. Perhitungan ini diasumsikan bahwa jalur koneksi seorang

tokoh kunci yang menjalin hubungan dengan seluruh tokoh kunci lainnya adalah

1,00, sedangkan tokoh kunci yang sama sekali tidak menjalin hubungan apapun

dengan tokoh kunci lainnya (terisolir) jalur koneksinya adalah 0.

Jika dilihat dari kategori tokoh, maka tokoh kunci dari kalangan pejabat

formal desa memiliki nilai koneksi yang lebih tinggi dibandingkan kategori tokoh

32

lainnya. Terlihat tokoh Rusli memiliki nilai koneksi paling tinggi (0,55)

dibandingkan tokoh kunci lainnya. Namun, mengingat Desa Cikahuripan

merupakan desa pantai dengan hampir 90% penduduknya bermata pencaharian

sebagai nelayan. Maka harus dilihat, siapakah tokoh kunci yang paling

berpengaruh di sana dalam hal pengelolaan perikanan.

Abah Bunong memiliki nilai koneksi tertinggi dari sekian banyak tokoh

kunci yang berlatar belakang perikanan. Sebagai kategori tokoh pemilik usaha

perikanan, Abah Bunong memiliki nilai koneksi 0,38 jauh mengungguli para

tokoh kunci lainnya pada kategori yang sama.

Derajat integrasi tokoh kunci pada jaringan interaksinya cukup bervariasi.

Pada kolom integrasi ditunjukan bahwa derajat integrasi tokoh kunci yang

terendah adalah 0,31 dan tertinggi 1,00. Derajat integrasi di sini memperlihatkan

jumlah hubungan-hubungan tidak langsung. Semakin banyak jumlah hubungan

tidak langsung yang dimiliki oleh seorang tokoh kunci, semakin tinggi pula

derajat integrasi tokoh kunci itu dengan yang lainnnya. Perhitungan ini

mengasumsikan bahwa nilai integrasi individual seorang tokoh kunci adalah 1,00

apabila hubungan relasinya terjalin utuh. Sedangkan seorang tokoh kunci yang

terisolir atau yang sama sekali tidak menjalin hubungan dengan tokoh kunci lain,

nilai integrasi individualnya adalah 0.

Kolom integrasi menunjukan bahwa banyak tokoh kunci yang memiliki

derajat integrasi 1. Hal ini berarti tingkat integrasi yang dibangun tokoh tersebut

utuh. Namun, mereka yang memiliki derajat integrasi 1 merupakan tokoh kunci

yang lemah dalam membangun koneksi, sehingga tingginya derajat integrasi

tersebut tidak dapat menjadi modal bagi mereka untuk dapat mengukuhkan

posisinya sebagai tokoh paling berpengaruh di Desa Cikahuripan, khususnya

dalam pengelolaan perikanan tangkap.

Kategori tokoh yang paling ideal dalam membangun koneksi dan integrasi

masih dimiliki pejabat formal desa. Merekalah para tokoh yang mampu

membangun jaringan luas dan kokoh. Terlihat tokoh Rusli, Aji, dan Bambang

merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar bagi Desa Cikahuripan, mereka

merupakan kategori tokoh pejabat formal.

33

Berdasarkan tabel 6 juga dapat dilihat, bahwa ada dua tokoh kunci yang

memiliki pengaruh bagi Desa Cikahuripan di luar kategori tokoh pejabat formal

desa. Mereka adalah Abah Bunong dengan nilai koneksi 0,38 dan derajat integrasi

0,50 dari kategori tokoh pemilik usaha perikanan, serta Imas dengan nilai koneksi

0,44 dan derajat integrasi 0,42 dari kategori tokoh pengurus lembaga sosial desa.

Pada sebuah komunitas yang cenderung homogen, dimana masyarakatnya

saling memperebutkan sumberdaya yang sama, tokoh yang paling memiliki

pengaruh besar bagi komunitas tersebut adalah mereka yang mampu menguasai

sumberdaya dalam jumlah besar, serta mampu menjaga penguasaanya tersebut

dengan memanfaatkan sistem kelembagaan yang melekat didalam komunitas itu.

Pada kasus pengelolaan perikanan dikawasan PPI Cisolok, unsur dominasi

ketokohan itu nampak jelas. Mulai dari penguasaan kekuatan ekonomi berupa

modal finansial juga kekuatan jaringan interaksi sosial. Tokoh yang paling

berpengaruh dalam pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok yakni

Abah Bunong. Beliau memiliki lembaga informal yang dikenal dengan nama PT.

LIGO.

PT. LIGO telah dijadikan alat untuk mengukuhkan posisi Abah Bunong

sebagai penguasa dominan sistem pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI

Cisolok. PT. LIGO merupakan suplier tunggal khususnya untuk komoditas ikan

layur yang akan diekspor melalui PT. JIKO GANTUNG POWER (URI) ke

beberapa negara di Asia.

Jika di lihat dalam kolom koneksi dan integrasi pada Tabel 6, memang

tidak ada kategori tokoh penguasa sumber ekonomi (bidang perikanan) yang

menyamai dominasi Abah Bunong dalam nilai koneksi dan derajat integrasi. Pada

sisi lain, kondisi di lapangan menunjukan bahwa pejabat formal desa memang

memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat Desa Cikahuripan. Namun,

pengaruh mereka tersebut tidak sampai menyentuh pengelolaan perikanan secara

menyeluruh. Hal ini dapat di lihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

aparatur desa, sejauh ini tidak pernah berbenturan dengan kepentingan PT.LIGO,

bahkan cenderung mengukuhkan PT. LIGO sebagai lembaga sentral pengelola

perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok.

34

5.2. Analisis Tipologi Kelembagaan Komunitas Nelayan di Kawasan PPI

Cisolok.

Hasil analisis tipologi kelembagaan ini dimaksudkan untuk “memetakan”

kondisi dan proses perkembangan kelembagaan grassroots di kawasan PPI

Cisolok, Desa Cikahuripan. Berdasarkan peta kelembagaan di kawasan PPI

Cisolok yang dilengkapi dengan berbagai informasi mengenai kasus-kasus yang

khas di lapangan, diharapakan dapat dihasilkan suatu rumusan strategi untuk

pemberdayaan masyarakat lokal yang bersifat holistik.

Kerangka konseptual tipologi kelembagaan komunitas lokal ini merupakan

suatu “abstraksi’ terhadap hasil kajian empiris yang dilakukan dengan metode

survey. Kajian empiris tersebut mengidentifikasikan tiga faktor penentu

keberlanjutan kelembagaan, yaitu: 1). Pelayanan terhadap anggota; 2). Peran serta

anggota; 3). Good governance. Dari perspektif social capital, yang intinya

membangun dan mengembangkan jejaring (networking), dapat dijelaskan bahwa

interaksi atau “keseimbangan dinamis” antara “pelayanan” dan “peranserta”

merupakan suatu modal sosial kelembagaan yang mengindikasikan bahwa secara

kelembagaan dicapai suatu “keberhasilan proses manajemen”. Sedangkan good

governance mengindikasikan bahwa telah terjadi proses pelembagaan pada

kelembagaan komunitas lokal yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi,

transparansi, dan akauntabilitas (Tonny, 2004).

Berdasarkan analisis tipologi kelembagaan yang dilakukan di kawasan PPI

Cisolok, terdapat kelembagaan produksi dan pemasaran yang keberadaannya

dominan dirasakan oleh masyarakat. Kondisi kelembagaan tersebut berdasarkan

penilai masyarakat adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden yang Menilai Kelembagaan Menurut

Tipe Kelembagaan dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok.

Tipe-1 Tipe-2 Tipe-3 Tipe-4 Total No. Kelembagaan

N % N % N % N % N %

1 Produksi 1 12,5 1 12,5 4 50 2 25 8 100,0

2 Pemasaran 0 0 2 9,1 20 90,9 0 0 22 100,0

Total 1 3,3 3 10 24 80 2 6,7 30 100,0

Sumber: Data Primer

35

Gambar 4. Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal menurut Tipe Kelembagaan

dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok. Sumber: Data Primer.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 3) dan (Gambar 1) maka dapat

ditunjukan bahwa sebanyak 3,3 persen responden menilai bahwa kelembagaan

komunitas lokal di kawasan PPI Cisolok adalah kelembagaan yang berkelanjutan.

Sebanyak 10 persen responden menilai bahwa kelembagaan yang ada termasuk

dalam kategori semi-sustain dengan kendala manajemen. Kelembagaan yang

dikategorikan sebagai kelembagaan yang tidak sustain dinilai oleh sebanyak 80

persen responden. Sedangkan sebanyak 6,7 persen responden menilai

kelembagaan di kawasan PPI Cisolok sebagai kelembagaan yang semi-sustain

dengan kendala good governance.

Analisis selanjutnya (telaah berdasarkan jenis kelembagaan dan tipologi

kelembagaan) menunjukan bahwa 12,5 persen responden menilai bahwa

kelembagaan produksi adalah kelembagaan yang sustain dibandingkan dengan

kelembagaan pemasaran. Sebanyak 12,5 persen responden menilai bahwa

kelembagaan produksi lebih mengalami semi-sustain dengan kendala manajemen

dibandingkan dengan kelembagaan pemasaran (9,1 persen).

“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”

Produksi 12,5 Pemasaran 0

Rendah Tinggi

“Bad Governance”

“Good Governace”

(1)

(3)

(2)

“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”

(4)

Produksi 12,5 Pemasaran 9,1

Produksi 25 Pemasaran 0

Produksi 50 Pemasaran 90,9

36

Sebanyak 90,9 persen responden menilai bahwa kelembagaan pemasaran

berada pada posisi tidak sustain, dan ini jauh lebih tinggi dari penilaian responden

terhadap kelembagaan produksi yang hanya 50 persen. Pada kelembagaan semi-

sustain dengan kendala good governance, penilaian responden lebih tinggi pada

kelembagaan produksi (25 persen) dibandingkan kelembagaan pemasaran yang

hanya 0 persen.

Apabila dilihat dalam cakupan yang lebih luas mengenai social capital

yang dimiliki oleh Desa Cikahuripan, maka akan didapati adanya kelembagaan-

kelembagaan lokal yang diharapkan menjadi sarana dalam peningkatan human

capital dan physical capital komunitas lokal Desa Cikahuripan. Beberapa

kelembagaan yang telah teridentifikasi, meliputi Kelompok Nelayan TPI

Cikahuripan, Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tenggiri, KUB Hurip Mandiri,

dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Cikahuripan.

a. Kelompok Nelayan TPI Cikahuripan

Stakeholder yang berperan dalam kelompok nelayan TPI Cikahuripan, antara

lain:

1). Nelayan

2). Kepala TPI

Orang yang ditugaskan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda

Kabupaten Sukabumi untuk mengawasi, mencatat, dan mengatur proses

lelang yang dilakukan di TPI PPI Cisolok.

3). Karyawan TPI (Tukang dorong kapal, pemikul ikan)

4). Taweu atau Toke

Nelayan pemilik yang memberikan pinjaman perahu ke para nelayan,

sekaligus pemberi modal untuk kelaut (khususnya untuk jenis perahu

payang atau rumpon).

5). Penjual atau Pemodal

Pembeli ikan dari nelayan atau taweu/toke, sekaligus berperan sebagai

pemberi modal kepada para nelayan atau taweu yang tidak memiliki modal.

6). Bakul atau Pengumpul

Pembeli ikan dari penjual/pemodal, biasanya mereka akan menjual kembali

ikan ke pembeli akhir (konsumen), tetapi jika pendapatan ikan banyak dan

37

harga ikan tinggi para bakul akan menjual ikan khususnya ikan layur ke

bakul besar yang dikenal oleh masyarakat dengan nama PT. LIGO.

7). Bakul besar (LIGO)

Agen pengumpul ikan dalam skala besar, ikan yang didapatkan berasal dari

para nelayan langsung yang berada dibawah koordinasi LIGO dan juga

berasal dari bakul-bakul yang ada di TPI Cikahuripan, khususnya untuk

komoditas ikan layur. LIGO menjual ikannya ke PT. JIKO GANTUNG

POWER (URI) yang kemudian di ekspor ke Korea dan Taiwan.

b. KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri

Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tenggiri dan Hurip Mandiri merupakan

lembaga ekonomi mikro (UMKM) yang ada di Desa Cikahuripan yang masih

bertahan. Jenis usaha KUB tersebut bergerak didalam bidang pengolahan hasil

ikan, antara lain: abon ikan, bakso ikan, kerupuk tulang ikan, dan nudget ikan.

Anggota kelompok KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri sebagian besar

merupakan ibu-ibu nelayan yang tinggal disekitar dusun Pajagan.

c. Kelembagaan BUMDes

Kondisi BUMDes Desa Cikahuripan masih dalam tahap persiapan. BUMDes

Cikahuripan baru dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa No.04

Tahun 2008 yang memiliki tujuan untuk menjadi perusahaan atau lembaga

ekonomi desa yang mampu memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat.

Empat rencana unit usaha BUMDes Cikahuripan, adalah:

1). Unit usaha penyewaan sound system dan lainnya,

2). Unit usaha meubeler,

3). Industri kecil paving-blok

4). Simpan pinjam dan usaha perikanan

Unit usaha ini bergerak untuk menopang ekonomi masyarakat dengan

meminjamkan modal usaha yang tidak mengikat serta penyediaan alat-alat

untuk kebutuhan nelayan.

Kelembagaan-kalembagaan yang dipaparkan diatas, tidak semuanya

menyenyuh grassroots perikanan tangkap. Hanya kelembagaan kelompok nelayan

TPI Cikahuripan dan kelembagaan BUMDes pada sub usaha simpan pinjam dan

usaha perikanan yang langsung bersinggungan dengan grassroots perikanan

38

tangkap. Oleh karena itu perlu adanya upaya kerjasama antara kelembagaan

tersebut dengan komunitas nelayan yang bersifat positive-sum, artinya pemberian

daya dari pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri yang berujung pada

kemandirian bersama.

Kembali kepada hasil analisis tipologi kelembagaan. Dari hasil analisis

tersebut, diketahui bahwa yang menjadi permasalahan adalah kelembagaan

produksi (50 %) dan kelembagaan pemasaran (90 %) berada pada posisi tidak

sustain. Penilaian ini dipilih oleh 80 persen total responden. Mari kita lihat apa

yang sebenarnya terjadi dengan dua kelembagaan tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dilapangan, diketahui

bahwa kelembagaan produksi dan pemasaran berada di bawah kendali LIGO.

LIGO membuat semacam aturan amin yang digunakan untuk mengikat nelayan,

sehingga penguasaan sumberdaya dapat didominasi keuntungannya oleh LIGO

dan kelembagaan nelayan TPI Cikahuripan sebenarnya berada dibawah kontrol

LIGO.

Aturan main yang berlaku di dalam kelembagaan kelompok nelayan TPI

Cikahuripan, adalah sebagai berikut: dalam kelembagaan produksi, nelayan atau

taweu ketika akan melakukan operasi penangkapan ikan biasanya meminjam

modal pada pembeli baik untuk bahan bakar, perbekalan ataupun perawatan

armada. Namun, tidak semua nelayan dapat melakukan hal tersebut. Hanya

mereka yang memiliki kedekatan hubungan atau telah dipercaya oleh pembeli

yang akan mendapat pinjaman dengan mudah. Selain mereka biasanya hanya

mendapat pinjaman alakadarnya saja.

Pinjaman yang diberikan oleh pembeli kepada nelayan atau taweu ini tidak

serta merta harus dilunasi dalam sekali pembayaran. Nelayan atau taweu

diwajibkan menabung kepada pembeli untuk setiap kali setiap kali hasil trip

penangkapan. Besar minimal tabungan ditentukan oleh pembeli. Hasil tabungan

ini akan diakumulasi setiap tahun dan dilakukan perhitungan antara jumlah hutang

dan jumlah tabungan setiap tanggal 25 Ramadhan. Biasanya pembeli tidak

langsung memotong tabungan untuk melunasi seluruh hutang. Sebagian hutang

akan tetap disisakan oleh pembeli untuk menjaga hubungan antara nelayan dengan

pembeli tetap terjalin.

39

Proses pemasaran yang terjadi pada hasil tangkapan nelayan dilakukan

dengan sistem ijon. Nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapannya kepada

ketua masing-masing kelompok, yakni pembeli. Harga hasil tangkapan yang di

jual ditentukan oleh pembeli. Hal ini terjadi karena pembeli telah merasa berjasa

dalam pemberian bantuan modal kepada nelayan. Nelayan pun tidak mampu

berbuat banyak untuk melawan dominasi pembeli ini. Sempitnya akses pasar yang

dimiliki nelayan, menjadi penyebab terbesar dari mengakarnya dominasi pembeli

dalam komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok.

Seluruh hasil tangkapan yang terkumpul ditangan para pembeli, semuanya

dijual kepada LIGO. Namun, untuk komoditas hasil tangkapan yang tidak

diterima LIGO, maka pembeli menjualnya kepada bakul. LIGO yang merupakan

suplier tunggal akan mengirim produknya ke PT. JIKO GANTUNG POWER

yang ada di Palabuhanratu untuk kemudian diekspor ke beberap negara di Asia.

Gambar 5. Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan di PPI Cisolok

Kondisi yang terjadi dalam kelembagaan produksi dan pemasaran masih

bersifat eksploitatif, dimana nelayan masih menerima penghasilan paling kecil

dari rantai pemasaran yang ada, khususnya untuk komoditas ikan layur. Berikut,

data hasil tangkapan yang dikeluarkan oleh pihak TPI di PPI Cisolok tahun 2008:

Nelayan

PT. Jiko Gantung Power

Pasar/pengecer LIGO

Bakul Penjual Taweu/Toke

40

Tabel 8 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Cisolok Tahun 2008.

Sumber: TPI Cisolok (data Sekunder)

Terdapat beberapa stakeholder yang terlibat dalam kelembagaan produksi

dan pemasaran. Diantaranya 465 orang nelayan, tapi untuk tahun 2008 hanya

tercatat 415 nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan, 36 oarng bakul, 7

orang pembeli, dan 1 suplier. Dengan dipaparkannya rantai pemasaran ikan

seperti di atas, maka akan terlihat gambaran umum mengenai jumlah penghasilan

yang diterima masing-masing stakeholder dalam rantai pemasaran khususnya

untuk komoditas ikan layur.

Berdasarkan data hasil tangkapan diatas maka akan diketahui jumlah ikan

layur yang di daratkan pada tahun 2008 sebanyak 21.200 Kg. harga jual yang

diterima nelayan dari pembeli sebesar Rp 12.000,-/Kg, pembeli menjual kembali

LIGO dengan harga Rp 15.000,-/ Kg, dan LIGO memasok ikan layur tersebut ke

PT. JIKO GANTUNG POWER dengan harga Rp 17.000,-/ Kg.

Ketimpangan pendapatan bisa dilihat dari jumlah penghasilan yang

diterima oleh per individu nelayan, pembeli, dan LIGO. Pendapatan kotor nelayan

sebesar Rp 613.012,-/ tahun sebelum dikurangi modal melaut, retribusi, dan upah

Jenis Hasil Tangkapan (Kg) Bulan Layur Tembang Layang Tongkol Banyar Tenggiri Peda Lainnya

Januari 176 400 1835 375 56

Februari 88 1360 585 230

Maret 200 440 565 67

April 1750

Mei 480

Juni 700

Juli 1893 345

Agustus 3095 137

September 10234

Oktober 540 160

November 510

Desember 1534

41

buruh angkut. Pendapatan kotor yang diterima oleh tiap pembeli rata-rata Rp

9.085.714,-/ tahun, dan LIGO memperoleh keuntungan kotor dari rantai

pemasaran ini sebesar Rp 42.400.000,-/ tahun sebelum dikurangi biaya pembelian

es, penyimpanan, dan pengiriman ke eksportir.

Gambar 6. Persentase pemotongan pada rantai tataniaga TPI Cikahuripan

Satu hal yang perlu diingat bahwa tingkat partisipasi sejalan dengan

keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat “empowerment is road to

participation”. Dengan kata lain, harus ada upaya dilakukan agar warga

komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian.

5.3. Pandangan Stakeholder untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di

Kawasan PPI Cisolok.

Konteks desentralisasi dan otonomi daerah, yakni penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintah. Maka, pengelolaan perikanan di kawasan PPI

dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebab akibat antara

“proses pembangunan yang bottom- up” yang diartikan sebagai pembangunan

berbasis komunitas dan “proses pembangunan yang top-down” yang dipahami

sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal (local government

policies). Artinya, tingkat keberhasilan dari pengelolaan perikanan di kawasan PPI

tidak hanya diindikasikan oleh banyaknya hasil tangkapan atau armada yang ada

Taweu (50%)

Nelayan (100%)

Nelayan (50%)

Dipotong modal taweu

Pemerintah (2% nelayan; 3% bakul)

Penjual (10%)

42

di sana. Tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana para stakeholder di sana mampu

hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang

berkelanjutan. Serta mengarahkan pada pencapaian kemandirian intelektual,

manajemen, dan material.

Seperti disebutkan Tonny (2006), kemandirian intelektual merupakan

pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan

mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dari luar kontrol

terhadap pengetahuan itu. Kemadirian manajemen adalah kemampuan otonom

untuk membina diri dan menjalin serta mengelola kegiatan kolektif agar ada

perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Sedangkan, kemandirian material

adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta

cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu kritis.

Komunitas nelayan yang berdaya dan kelembagaan yang berkelanjutan Sumber: Tonny 2006 Gambar 7. Pendekatan pemberdayaan komunitas nelayan dan kelembagaan yang

berkelanjutan.

Community Based Development Local Governance Police

Tingkat Kecamatan

Tingkat Kelompok

Tingkat Komunitas (Desa/kampung)

Tingkat Propinsi

Tingkat Kecamatan

Tingkat Kabupaten (otonomi)

43

Pada penelitian ini diperoleh pandangan di tingkat komunitas mengenai

pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok. Pandangan-

pandangan tersebut mendefinisikan kebutuhan yang harus dimiliki komunitas

lokal untuk mencapai kemakmuran dari sudut pandang masyrakat setempat.

Kebutuhan yang teridentifikasi dan dapat menjadi physical capital

meliputi pengadaan unit penangkapan ikan oleh pemerintah, penambahan fasilitas

PPI berupa cool stotage dan depot es yang memadai, perampungan pembangunan

breakwater, dan penjaminan ketersediaan BBM khususnya minyak tanah.

Kebutuhan yang akan menjadi social capital meliputi kelompok nelayan,

pembentukan dan pelatihan kelompok pencapir yang nantinya diharapkan mampu

menjadi penghubung antara komunitas dengan pemerintah. Mengembangkan

sistem kelembagaan pemasaran yang kooperatif untuk menjamin terciptanya

harga terbaik dari setiap hasil tangkapan yang diperoleh. Perlunya transparansi

ditingkat komunitas dalam pengelolaan sumberdaya baik yang dimiliki komunitas

maupun yang berasal dari bantuan pemerintah. Serta, peningkatan pengawasan

dari logal government policies terhadap pengelolaan sumberdaya ditingkat

komunitas untuk menghindari bentuk-bentuk penguasaan yang bersifat zero-sum.

Selanjutnya, kebutuhan komunitas loakal yang dapat menjadi human

capital berupa pelatihan bercocok tanam bagi nelayan. Sehingga, nelayan dapat

beralih profesi menjadi petani pada saat musim paceklik ikan.

Pandangan di tingkat local government policies atau kabupaten terhadap

pengembangan masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok dilihat sebagai suatu

“program”. Pengembangan masyarakat dinyatakan sebagai suatu gugusan

prosedur dan isinya ditampilkan sebagai suatu daftar kegiatan. Tolak ukur

keberhasilan program yang digulirkan oleh local government policies adalah

berhasil program dan berhasil di masyarakat.

Berhasil program diartikan sebagai suatu kondisi dimana local government

berhasil menjalankan program sesuai prosedur atau juklak yang menjadi acuan

pelaksanaan program tersebut. Sedangkan, berhasil di masyarakat diartikan

sebagai suatu kondisi dimana program tersebut mampu meningkatkan kapasitas

produksi masyarakat, meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat, dan

tumbuhnya rasa memiliki pada masyarakat terhadap program yang digulirkan.

44

Hingga sejauh ini berbagai bantuan pemerintah telah banyak digulirkan

untuk tujuan peningkatan kualitas pengelolaan perikanan tangkap dan

stakeholdernya. Bantuan itu antara lain pembanguanan PPI Cisolok dengan

berbagai fasilitasnya seperti TPI, kios ikan, cool storage, timbangan, dan

breakwater.

Pemberian bantuan pun dilakukan pemerintah kepada para nelayan, ada

pemberian kredit kapal dan pelatihan-pelatihan yang dapat menjadi human capital

bagi nelayan setempat.

Kemampuan masyarakat lokal dalam mendefinisikan kebutuhannya dan

banyak program yang digulirkan pemerintah, seharusnya mampu menghantarkan

hal tersebut pada satu titik temu. Titik temu yang dapat menjadi social capital

bagi masyarakat lokal, dikarenakan baiknya hubungan community based dan local

government.

Pada kenyataannya hal tersebut tidak teraplikasikan dengan baik di

lapangan. Masyarakat lokal menilai kinerja pemerintah tidak serius dalam

membantu masyarakat. Bantuan pemerintah sering tidak sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Bantuan pun biasanya hanya diterima oleh orang yang sama,

sehingga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.

Pemerintah memberikan pandangannya terhadap kondisi yang terjadi di

lapangan. Pemerintah menilai komunitas nelayan di PPI Cisolok sebagai

stakeholder yang sulit untuk diajak bekerjasama. Tingkat pendidikan yang rendah

dinilai sebagai salah satu faktor paling berpengaruh dalam menghambat hubungan

antara komunitas lokal dengan pemerintah. Rendahnya tingkat pendidikan itu

dianggap telah membentuk cara pandang yang keliru dalam membina hubungan

dengan pemerintah. Bantuan dana baik yang berupa kredit ataupun pinjaman,

dianggap oleh masyarakat sebagai hibah. Hal ini kemudian yang menghambat

perputaran uang sehingga revolving tidak berjalan dan akhirnya bantuan pun

dihentikan.

Masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok dinilai sebagai masyarakat

yang tradisional. Nelayan masih mengedepankan faktor figuritas dalam proses

komunikasinya. Pesan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh kunci di masyarakat

memiliki nilai efektivitas yang tinggi. Ini dapat dilihat dari feedback yang

45

diberikan nelayan terhadap pesan itu. Pemerintah melihat hal ini sebagai bentuk

kekurangan. Tokoh-tokoh kunci itu memiliki pengaruh yang lebih besar bagi

masyarakat dibandingkan dengan pemerintah.

Sebenarnya hal yang demikian menjadi potensi untuk memberdayakan

masyarakat lokal, dengan catatan program yang digulirkan pemerintah sejalan

dengan kepentingan para tokoh kunci. Apabila program yang digulirkan

pemerintah itu berseberangan dengan kepentingan tokoh kunci, kemungkinan

besar program tersebut tidak akan berjalan optimal atau bisa saja terhenti. Seperti

tidak berjalannya pelelangan ikan. Pelelangan ikan dianggap mengancam

kepetingan tokoh kunci, sehingga pelelangan tersebut dibuat tidak berjalan di PPI

Cisolok. Disamping ketidaksiapan pemerintah sendiri dalam memfasilitasi

penyelenggaraan pelelangan.

Permasalahan-permasalahan yang menghambat pertemuan proses top-

down dan bottom-up terdefinisikan dari persepsi masing-masing pihak

“community based development (CBD) dan local government policies (LGP)”.

Selama persepsi itu tidak berjalan sinergi, nampaknya akan sulit mencapai titik

temu dalam membina hubungan antara komunitas lokal dan pemerintah

kabupaten.

Upaya pengembangan komunitas lokal (community based development),

memiliki lima prinsip dasar yang secara konseptual digunakan untuk

mensinergikan kegiatan tersebut, seperti dipaparkan Rubin (1993) dalam Tonny

(2006). Pertama, untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break-

even dalam setiap kegiatan yang dikelola. Namun berbeda dengan organisasi

bisnis, kendati pemungutan “fee” telah menjadi pertimbangan dalam CBD, tetapi

keuntungan yang diperoleh harus dapat didistribusikan kembali kepada

masyarakat dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya. Kedua,

CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun

pelaksanaan program. Ketiga, dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan

pelatihan dan pembangunan fisik (termasuk didalamnya kegiatan pengembangan

usaha), merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keempat, dalam

mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya

(resources). Khususnya dalan hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta,

46

maupun sumber-sumber lainnya, seperti donasi dari sponsor pembangunan sosial.

Kelima, organisasi atau kelembagaan CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai

“catalist” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah lokal (local

government), seperti pemerintah kota dan kabupaten, dan kepentingan masyarakat

yang lebih bersifat mikro. Implementasi kegiatan berdasarkan prinsip tersebut

berimplikasi kepada pembentukan “agensi” yang melibatkan pemerintah sebagai

public sector, swasta sebagai private sector, dan kelembagaan masyarakat lokal

sebagai colective action sector.

Sumber: Tonny 2006

Gambar 8. Model Agensi Stakeholder Perikanan Tangkap

Keterlibatan ketiga pihak tersebut diharapkan mampu menciptakan iklim

pengelolaan perikanan yang sehat di kawasan PPI Cisolok. Pengelolaan perikanan

yang menerapkan prinsip-prinsip partisipatif yang membawa agensi tersebut pada

kemakmuran bersama (positive sum).

Prinsip-prinsip partisipatif itu baru dapat diterapkan bila stakeholdernya

telah berdaya. Jika terjadi ketimpangan daya antar stakeholdernya yang terlibat,

kemungkinan besar akan terjadi kooptasi. Pihak yang memiliki daya lebih akan

merasa berkuasa dan mulai menekan pihak yang kekurangan daya. Untuk

menghindari hal itu komunitas lokal dikawasan PPI Cisolok dapat membentuk

“Agensi” Stakeholder& Shareholder

Stakeholder& Shareholder

Stakeholder& Shareholder

Colective Action Sector

Private Sector Public Sector

47

jaringan sosial dengan berbagai pihak sebagai modal sosial. Seperti tertuang pada

gambar dibawah ini

Sumber: Tonny 2006 Gambar 9. Model Capital Social untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di

Kawasan PPI Cisolok.

Agar jejaring tersebut selalu menjalankan prinsip-prinsip partisipatif dan

“berakar” pada kepentingan masyarakat di tingkat grassroots (“akar umbi”), maka

jejaring tersebut harus dibangun, dipelihara, dan dikembangkan dengan berbasis

pada komunitas.

Provinsi

Pusat

Komunitas Nelayan di PPI. Cisolok

Kecamatan

Kabupaten

LSM

Tokoh

Lembaga pendididkan Pemerintah

Koperasi Swasta

48

Gambar 10. Model capital social yang ada pada masyarakat nelayan di kawasan

PPI Cisolok.

Desa Cikahuripan telah menerima beberapa program pemberdayaan

masyarakat, diantaranya yang terbaru adalah Program Nasaional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM Mandiri) pada tahun 2007 dari pemerintah pusat. Sebelumnya

pada tahun 2003 Raksa Desa dari pemerintah propinsi Jawa Barat yang sampai

sekarang masih berjalan. Kemudian Program Peningkatan Kecamatan (PPK) pada

tahun 2002, 2003, 2004, dan 2006. Pada tahun 2001 pernah ada Program

Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PEMP) dari Departemen Perikanan

dan Kelautan. Program pemberdayaan yang paling terakhir diingat oleh

masyarakat adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yaitu sekitar tahun

1996 sampai tahun 2000.

Selain adanya bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, di Desa

Cikahuripan pernah ada bantuan dari pihak swasta, yaitu dari PT. Kalbe Farma.

Kegiatan bantuan pernah dilakukan dua kali, yaitu tahun 2006 dan 2007. Pada

tahun 2006 bentuk kegiatan bantuan berupa rehabilitasi gedung sekolah SD yang

Provinsi

Pusat

Komunitas Nelayan di PPI. Cisolok

Kecamatan

Kabupaten

Lembaga pendididkan Pemerintah

Swasta

49

berada di daerah Pajagan. Sedangkan pada tahun 2007, bentuk bantuan berupa

santunan bagi anak yatim dan kaum jompo, dan melaksanakan sunatan missal.

Program lainnya yang ada di Cikahuripan adalah program pengembangan

masyarakat yang di dampingi oleh LPPM (Lembaga Peneliti dan Pengabdian

kepada Masyarakat) IPB yang mulai berjalan sejak tahun 2008.

Kembali kepada tolak ukur keberhasilan program yang dibangun local

governments, ada berhasil program dan berhasil dimasyarakat. Kunci untuk

meraih keberhasilan tersebut terletak pada intensitas partisipasi yang diberikan

masyarakat nelayan setempat. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk

mengembangkan partisipasi ditingkat komunitas.

Cara-cara tersebut, seperti dipaparkan Tonny (2006), adalah sebagai

berikut: pertama, warga komunitas akan berpatisipasi kalau mereka memandang

penting issue-issue atau aktivitas tertentu. Untuk menentukan issue atau tindakan

mana yang penting, warga komunitaslah yang menentukan dan bukan orang luar.

Kedua, warga komunitas berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa tindakannya

akan membawa perubahan, khususnya ditingkat rumahtangga atau individu,

kelompok, dan komunitas. Ketiga, perbedaan bentuk-bentuk partisipasi harus

diakui dan dihargai. Keempat, orang harus dimungkinkan untuk berpartisipasi dan

didukung dalam partisipasinya, dan kelima, struktur dan proses patisipasi

hendaknya tidak bersifat mejauhkan. Sebagai contoh prosedur pertemuan dan

teknik-teknik pengambilan keputusan seringkali menyingkirkan orang-orang

tertentu, terutama orang-orang yang cenderung pendiam, tidak ingin

menginterupsi orang lain, kurang percaya diri dan tidak mempunyai kemampuan

verbal.

Pemaparan kondisi interaksi local government dan community based

diatas, dapat memberi gambaran mengenai realitas grassroots perikanan tangkap

dikawasan PPI Cisolok. Beranjak dari semua itu, kedepannya diharapkan lahir

upaya-upaya yang lebih holistik dalam pengelolaan perikanan tangkap khususnya

di kawasan PPI Cisolok.

50

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Struktur interaksi pada komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok

didominasi oleh tokoh kunci dari kategori Pemilik Usaha Perikanan.

Tokoh kunci paling berpengaruh dalam pengelolaan perikanan di kawasan

PPI Cisolok adalah Abah Bunong dengan nilai koneksi 0,38 dan nilai

integrasi 0,50.

2. Tipologi kelembagaan komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok

termasuk kategori tidak sustain (Tipe-3), tempat bagi sejumlah

kelembagaan yang memiliki tingkat “Keseimbangan pelayanan-Peran

serta” rendah dan tidak berfungsinya prinsip-prinsip Good governance.

3. Strategi yang sesuai untuk pemberdayaan komunitas nelayan di kawasan

PPI Cisolok yakni dengan membangun dan mengembangkan kelembagaan

berlandaskan pada modal sosial yang terdapat dalam masyarakat nelayan

di kawasan PPI Cisolok, menerapkan prinsip-prinsip partisipatif dan

mensinergikan kekuatan-kekuatan Bottom-up dan Top-down.

6.2 Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai model pemberdayaan masyarakat

nelayan di kawasan PPI Cisolok yang bersifat holistik.

2. Perlu ditingkatkannya intensitas dan kualitas komunikasi antara

pemerintah kabupaten dengan masyarakat nelayan disana, agar terjalin

terjalin hubungan interaksi yang kuat.

3. Perlu diupayakan pembukaan akses pasar oleh pemerintah kabupaten bagi

hasil tangkapan nelayan, agar tidak terjadi monopoli pasar di PPI Cisolok.

4. Pemerintah kabupaten perlu mempersiapakan sumberdaya manusia

berkualitas yang mampu menggerakan proses lelang di TPI Cisolok.

5. Diperlukan upaya yang lebih serius dari instansi terkait dalam pendataan

hasil tangkapan, sehingga data hasil tangkapan memiliki selang

kepercayaan yang tinggi.

51

6. Proyek-proyek dan program kerja dalam peningkatan kualitas pengelolaan

perikanan tangkap tidak hanya menitik beratkan pada pembangunan

physical capital, tapi harus berimbang dengan human capital dan social

capital.

52

DAFTAR PUSTAKA

Bailey.C, A. Dwiponggo, and F. Marahudin. 1987. Indonesian Marine Capture

Fisheries. ICLARM Studies and Revies 10, 196p.

Berlo, D.K. 1960. The Social Contract. New York: Atheneum Publishers.

Bogda, Robert. Participant Observation in Organizational Settings, Syracuse. New

York: Syracuse University Press.

Chua, T and D Pauly. 1989. Coastal Area Management in Southeast Asia:

Policies, Management Strategies and Case Studies. Manila: ICLARM

Conference Proceedings 2.

Dault, A. 2007. Peningkatan Peran Pemuda Dalam Pembangunan Kelautan dan

Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Sekolah

Pasca Sarjana IPB. (Tidak Dipublikasikan)

Departemen Dalam Negeri. 2000. Metode Penelitian Sosial: Terapan dan

Kebijakan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen

Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Indikator Kerja dan Hasil Riset Sosial

Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Prosiding Seminar.Jakarta. Balai Riset

Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan

Perikanan.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.

Moleong, L J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Nikijuluw, V P H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana

Bisnis Perikanan. Jakarta. Feri Agung Coorporation.

Panjaitan, I L M. 1997. Pola Hubungan Patron-Klien Pada Masyarakat Nelayan di

Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat.

Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. (Tidak

Dipublikasikan)

Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L

Dharmawan. 2008. Rencana Strategi Pengembangan Masyarakat Desa

Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Kabupataen Sukabumi. Bogor. LPPM-

IPB. (Buku 1)

53

Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L

Dharmawan. 2008. Rencana dan Implementasi Program Pengembangan

Masyarakat Desa Cikahuripan. Bogor. LPPM-IPB. (Buku 2)

Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L

Dharmawan. 2008. Naskah Akademik Hasil Kajian Pengembangan

Masyarakat Secara Partisipatif. Bogor. LPPM-IPB. (Buku 3)

Purwaka T.H. 2003. Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas

Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Jakarta.( disisipkan untuk bahan

kuliah Pasca Sarjana IPB).

Purwaka T.H. 2007. Bunga Rampai Kelembagaan Kelautan. Jakarta: Atma Jaya

Sari, A. 2002. Dampak Proses Komunikasi Dalam Pembinaan Kredit Motorisasi

di Kelurahan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Skripsi.

Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan IPB. (Tidak

Dipublikasikan)

Sarwono, S W. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi

Terapan. Jakarta. Balai Pustaka.

Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Sutaryo. 2005. Sosiologi Komunikasi. Yogyakarta. Arti Bumi Intaran.

Syarief, E. 2008. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir. //http.bappenas.go.id.

Tonny, F. 2003. Sosiologi Umum. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Tonny, F. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Citanduy.(Project Working Paper Series No. 4). Bogor. Pusat

Studi Pembangunan-IPB.

Tonny, F. 2005. Sosiologi Umum. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Modul

Praktikum)

Tonny, F. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.

Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Tonny, F. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.

Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Modul Praktikum)

54

Tonny, F. 2008. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.

Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Slide Kuliah)

Tubbs S.L, and S. Moss. 1974. Human Communication: An Interpersonal

Perspective. New York: Random House.

Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

55

LAMPIRAN

56

Lampiran 1 Daftar Istilah

- Bad governance : tata pemerintahan yang buruk.

- Bottom up : memunculkan masalah atau program dari aspirasi masyarakat.

- Colective action sector : sektor yang lahir dari partisipasi masyarakat.

- Community based development : berkaitan dengan aspirasi masyarakat lokal.

- Feed back : umpan balik yang di terima setelah terjadi penyampaiaan pesan.

- Good governance : tata pemerintahan yang baik.

- Grassroots : akar umbi, masyarakat lokal.

- Human capital : modal berupa keterapilan manusia.

- Informal leaders : tokoh informal yang di nilai memiliki pengaruh.

- Kooptasi : bentuk interaksi social dimana yang berkuasa menekan yang lemah.

- Local government policies : berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah lokal

- Physical capital : modal yang berwujud fisik.

- Private sector : sektor yang tidak bebas untuk keluar masuk (swasta).

- Positive sum : Pemberdayaan yang menuju kemakmuran bersama.

- Public sector : sektor yang bebas dimasuki publik ( instansi pemerintah).

- Shareholder : pemilik saham.

- Social capital : modal yang berupa nilai-nilai social dan kelembagaan.

- Stakeholder : pemangku kepentingan.

- Top down : Kebijakan pemerintah yang tidak di dasarkan atas aspirasi

masyarakat.

57

Lampiran 2 Perhitungan Nilai Koneksi dan Derajat Integrasi

I. Nilai Koneksi:

Rumus: Nilai Koneksi = Σn/ ΣM

1. Aji Marpudin: 6/18 = 0.33

2. Ocah: 1/18 = 0.05

3. Bambang: 4/18 = 0.22

4. Rusli: 10/18 = 0.55

5. Didi: 2/18 = 0.11

6. Aan: 3/18 = 0.16

7. Yati: 3/18 = 0.16

8. Handiat: 2/18 = 0.11

9. Bunong: 7/18 = 0.38

10. Dasep: 2/18 = 0.11

11. Enceb: 2/18 = 0.11

12. Jenal: 1/18 = 0.05

13. Imas: 8/18 = 0.44

14. Ewen: 2/18 = 0.11

15. Cecep: 2/18 = 0.11

16. Uus: 2/18 = 0.11

17. Cece: 4/18 = 0.22

18. Juhdi: 1/18 = 0.05

58

II. Derajat Integrasi

Derajat Integrasi = Σm/ (ΣNC2)

1. Aji Marpudin: 10/(7C2) = 0.48

2. Ocah: 1/(2C2) = 1

3. Bambang: 6/(5C2) = 0.60

4. Rusli: 20/(11C2) = 0.36

5. Didi: 3/(3C2) = 1

6. Aan: 5/(4C2) = 0.83

7. Yati: 4/(4C2) = 0.66

8. Handiat: 3/(3C2) = 1

9. Bunong: 14/(8C2) = 0.50

10. Dasep: 3/(3C2) = 1

11. Enceb: 2/(3C2) = 0.66

12. Jenal: 1/(2C2) = 1

13. Imas: 15/(9C2) = 0.42

14. Ewen: 3/(3C2) = 1

15. Cecep: 3/(3C2) = 1

16. Uus: 3/(3C2) = 1

17. Cece: 8/(5C2) = 0.80

18. Juhdi: 1/(2C2) = 1

59

Lampiran 3 Jaringan Interaksi masing-masing tokoh kunci

1. Aji Marpudin

2. Mak Ojah

Rusli

Bambang

Mak Ojah

Didi

Dasep

Bunong

Aji kades

Aji kades

Mak Ojah

60

3. Bambang

4. Rusli

Bambang

Enceb

Ibu Aan

Rusli

Aji kades

Rusli

Bambang

Aji kades

Bunong

handiat

Cece Imas

Ibu Yati

Ibu Aan

Dasep

Didi

61

5. Didi

6. Enceb

7. Jenal

8. Dasep

9. Juhdi

Didi

Aji kades

Rusli

Enceb

Bambang

Jenal

Jenal

Enceb

Dasep

Aji kades

Rusli

Juhdi

Imas

62

10. Cecep

11. Ewen

12. Uus

13. Cece

Cecep

Imas

Bunong

Imas Bunong

Ewen

Imas Ust. Uus

Cece

Cece

Ust. Uus

Rusli

Bunong

63

14. Ibu Aan

15. Handiat

16. Bunong

17. Ibu Yati

Ibu Aan

Ibu YatiRusli

Bambang

handiat

Rusli

Bunong

Bunong

handiat

Rusli

Aji kades

Imas

Ewen

Cecep

Cece

Ibu Yati

Imas

Rusli

Ibu Aan

64

18. Imas

Imas

Rusli

Ibu Yati Cecep

Ewen

Ust. Uus

Juhdi

Bunong

Cece

65

Lampiran 4 Peta Teluk Palabuhanratu

#

P E T A LOKASI PENELITIAN

CISOLOK

CIKAKAK

PALABUHA N R A T U

SIMPENA N

CIEMAS

CIRACAP

SURADE

W A L U R A N

C IB I T U N G

JA M P A N G K U L O N

L E N G K O N G

C I K ID A N G

T E LU K P A L ABUHANRATU

0 1,5 3

K m

U

105

105

106

106

107

107

108

108

109

109

- -7

-6 -6 Su m b er D a t a : Pe t a R u p a B u m i I n d o n e s ia BA K O S U R T A N A L

7 °2 0 ' 7 ° 2 0 '

7 °1 0 ' 7 ° 1 0 '

7 °0 0 ' 7 ° 0 0 '

1 06 °2 0 '

1 06 °2 0 '

106°30'

106° 0'

- -

P PN PALABUHANRATU

66

Lampiran 5 Peta Profil Desa Cikahuripan

67

Lampiran 6 Foto-foto Penelitian

Gerbang Menuju PPI Cisolok

Aktivitas Perbaikan Kapal di PPI Cisolok

68

Aktivitas di TPI PPI Cisolok

Aktivitas di TPI PPI Cisolok

69

Aktivitas para pengumpul ikan (Pembeli)

Kondisi bagan di sekitar PPI Cisolok

70

Kondisi pemukiman dan breakwater di kawasan PPI Cisolok