27
1 PERSEPSI AUDITOR EKSTERNAL TENTANG DETERMINAN PENCEGAHAN KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN Anna Yulifah Program Studi Akuntansi Universitas Brawijaya Jalan Veteran 15 Malang Dosen Pembimbing: Gugus Irianto, SE., MSA., Ph.D., Ak. Abstract The purpose of this research was to determine how the financial statement fraud prevention efforts according to the external auditor's perception based on experience in auditing and finding cases of financial statement fraud. Theoretical base used in this research is the theory of Albrecht (2012:120) that describes about fraud prevention measures comprehensively. The first involves creating a culture of honesty, openness, and assistance, the second involves eliminating fraud opportunities. This research used qualitative methods and has interviewed five informants, they are three partners, one senior auditor, and one junior auditor from four different Public Accounting Firm in Malang. The results showed that financial statements fraud can occur in different entities, can be done by the various parties, and have different types. Based on the external auditor’s experience in financial statements audit, fraud cases found are tax issues and irregularities in the assets recognition. From several determinants of financial statements fraud prevention, the external auditor gives an opinion that the prevention efforts must be prioritized by the company is implementing a good internal controls system, including the internal audit position that perform surveillance periodically, implementing control activities through separation of duties, authorization function, documentation function, and planning functions, also implement controls of the accounting system through the application of good and conservative standards. Keywords: perception, external auditor, prevention, fraud, financial statement fraud. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan menurut persepsi auditor eksternal berdasarkan pengalamannya dalam mengaudit dan menemukan kasus kecurangan laporan keuangan. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Albrecht (2012:120) yang menjelaskan secara komprehensif tentang upaya pencegahan tindakan kecurangan, antara lain menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan serta mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta telah mewawancarai lima orang informan, yakni tiga partner, satu senior auditor, dan satu junior auditor yang berasal dari empat Kantor Akuntan Publik (KAP) berbeda di Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan dapat terjadi di berbagai entitas, dilakukan oleh berbagai pihak, serta ada berbagai jenis. Berdasarkan pengalaman auditor eksternal dalam memeriksa laporan keuangan, kasus kecurangan yang pernah ditemui adalah masalah perpajakan serta ketidakwajaran dalam pengakuan aset. Dari beberapa determinan pencegahan kecurangan laporan keuangan, auditor eksternal berpendapat bahwa upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan adalah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik, diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan konservatif. Kata kunci: persepsi, auditor eksternal, pencegahan, kecurangan, kecurangan laporan keuangan.

Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

1

PERSEPSI AUDITOR EKSTERNAL TENTANG DETERMINAN PENCEGAHAN

KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN

Anna Yulifah

Program Studi Akuntansi Universitas Brawijaya

Jalan Veteran 15 Malang

Dosen Pembimbing:

Gugus Irianto, SE., MSA., Ph.D., Ak.

Abstract

The purpose of this research was to determine how the financial statement fraud prevention efforts

according to the external auditor's perception based on experience in auditing and finding cases of

financial statement fraud. Theoretical base used in this research is the theory of Albrecht (2012:120)

that describes about fraud prevention measures comprehensively. The first involves creating a culture

of honesty, openness, and assistance, the second involves eliminating fraud opportunities. This

research used qualitative methods and has interviewed five informants, they are three partners, one

senior auditor, and one junior auditor from four different Public Accounting Firm in Malang. The

results showed that financial statements fraud can occur in different entities, can be done by the

various parties, and have different types. Based on the external auditor’s experience in financial

statements audit, fraud cases found are tax issues and irregularities in the assets recognition. From

several determinants of financial statements fraud prevention, the external auditor gives an opinion

that the prevention efforts must be prioritized by the company is implementing a good internal

controls system, including the internal audit position that perform surveillance periodically,

implementing control activities through separation of duties, authorization function, documentation

function, and planning functions, also implement controls of the accounting system through the

application of good and conservative standards.

Keywords: perception, external auditor, prevention, fraud, financial statement fraud.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan kecurangan laporan

keuangan menurut persepsi auditor eksternal berdasarkan pengalamannya dalam mengaudit dan

menemukan kasus kecurangan laporan keuangan. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teori Albrecht (2012:120) yang menjelaskan secara komprehensif tentang upaya pencegahan

tindakan kecurangan, antara lain menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan serta

mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

serta telah mewawancarai lima orang informan, yakni tiga partner, satu senior auditor, dan satu junior

auditor yang berasal dari empat Kantor Akuntan Publik (KAP) berbeda di Kota Malang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan dapat terjadi di berbagai entitas,

dilakukan oleh berbagai pihak, serta ada berbagai jenis. Berdasarkan pengalaman auditor eksternal

dalam memeriksa laporan keuangan, kasus kecurangan yang pernah ditemui adalah masalah

perpajakan serta ketidakwajaran dalam pengakuan aset. Dari beberapa determinan pencegahan

kecurangan laporan keuangan, auditor eksternal berpendapat bahwa upaya pencegahan yang harus

diutamakan oleh perusahaan adalah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik, diantaranya

yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan

aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan

fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan

konservatif.

Kata kunci: persepsi, auditor eksternal, pencegahan, kecurangan, kecurangan laporan keuangan.

Page 2: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

2

PENDAHULUAN

Secara umum, akuntansi didefinisikan sebagai sistem informasi yang bertujuan untuk

memberikan laporan kepada pihak-pihak berkepentingan mengenai kondisi serta kinerja operasional

dari suatu entitas. Sedangkan menurut pengertian yang lebih komprehensif, Arens, Elder, dan

Beasley (2003:18) mendefinisikan bahwa akuntansi adalah proses pencatatan, pengklasifikasian,

serta pengikhtisaran peristiwa-peristiwa ekonomi dengan perlakuan yang logis yang bertujuan

menyediakan informasi keuangan, yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Dari

uraian tersebut, dapat diketahui bahwa akuntansi berfungsi untuk menunjukkan informasi keuangan

dari suatu entitas melalui pelaporan keuangan, dimana informasi tersebut mempunyai peranan

penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Disamping itu, laporan keuangan dapat

menunjukkan informasi lain yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan atau stakeholder,

yakni efisiensi dan efektivitas kinerja operasional entitas, tingkat likuiditas dan profitabilitas, tren

pertumbuhan laba, tingkat pendapatan atau penjualan, serta akuntabilitas aset. Berdasarkan fungsi

dan peranan laporan keuangan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu entitas

sering ditemukan praktik kecurangan laporan keuangan guna memenuhi ekspektasi atau harapan

dari stakeholder yang bersangkutan. Disamping itu, adanya benturan kepentingan juga dapat

mendorong terjadinya praktik manipulasi laporan keuangan, baik untuk kepentingan pribadi

maupun kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal tersebut tentu dapat mempengaruhi kewajaran dalam

penyajian laporan keuangan sehingga informasi yang disajikan menjadi tidak akurat.

Contoh kasus kecurangan laporan keuangan yang pernah terjadi di Indonesia adalah

manipulasi laporan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (2006) dan Bank Century (2008).

Disamping itu, berdasarkan data Asia-Pacific Fraud Survey tahun 2013 oleh KAP Ernst & Young,

sebanyak 79% dari responden Indonesia menyatakan bahwa kasus kecurangan sudah tersebar luas,

terutama pada kasus penyuapan dan korupsi. Dari hasil survei tersebut, responden menyatakan

bahwa lemahnya pengendalian dan pengawasan juga turut mendorong terjadinya tindakan

kecurangan pada laporan keuangan. Sebanyak 29% dari responden menyatakan bahwa praktik yang

paling umum dilakukan adalah mendahulukan pengakuan pendapatan serta mengurangi biaya

penyusutan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kecurangan laporan keuangan di

Indonesia masih cukup marak serta memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Motif dan

metode yang dilakukan oleh pelaku kecurangan (perpetrators of fraud) juga cukup bervariasi

sehingga hal ini perlu diwaspadai oleh berbagai pihak, terutama adalah perusahaan.

Upaya pencegahan, pendeteksian, dan audit investigasi merupakan serangkaian prosedur yang

bertujuan untuk meminimalisir tindakan kecurangan. Penelitian ini berfokus pada upaya

pencegahan, karena upaya pencegahan merupakan tindakan preventif yang perlu dilakukan sebelum

fraud terjadi serta dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan. Penelitian ini akan membahas

seputar determinan atau upaya pencegahan tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada

laporan keuangan. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Albrecht

(2012:120), karena dalam teori tersebut telah menjelaskan secara komprehensif bagaimana upaya

pencegahan tindakan kecurangan, yakni menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan

(creating a culture of honesty, openness, and assistance) serta mengeliminasi peluang terjadinya

tindakan kecurangan (eliminating fraud opportunities).

Menurut Messier, Glover, dan Prawitt (2006:65), auditor eksternal sering disebut dengan

istilah auditor independen karena auditor tersebut dipekerjakan oleh entitas yang diaudit. Lingkup

pemeriksaan yang dilaksanakan oleh auditor eksternal adalah audit laporan keuangan. Fungsi dari

audit laporan keuangan adalah untuk mengetahui kemungkinan terjadi kesalahan dalam laporan

keuangan tersebut, baik disengaja maupun tidak disengaja, karena laporan keuangan tersebut belum

diuji tingkat kewajaran dan keabsahannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan mengingat

informasi dalam laporan keuangan berperan penting dalam proses pengambilan keputusan dan

kebijakan. Penelitian ini menggunakan persepsi atau sudut pandang auditor eksternal karena auditor

eksternal bersifat independen serta berpengalaman dalam melakukan pemeriksaan atau mengaudit

laporan keuangan. Berdasarkan pengalaman tersebut, auditor eksternal tentu pernah menemui

Page 3: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

3

bentuk-bentuk tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada laporan keuangan. Ketika

melakukan general audit, auditor eksternal juga bisa melihat adanya indikasi tindakan kecurangan

melalui pos-pos yang dinilai tidak biasa atau tidak wajar, sehingga berdasarkan pertimbangan

tersebut diharapkan auditor eksternal dapat memberikan masukan mengenai bagaimana upaya

pencegahan kecurangan laporan keuangan, serta upaya pencegahan mana yang harus diutamakan

oleh perusahaan. Saran dan masukan yang diberikan oleh auditor eksternal diharapkan dapat

memberikan manfaat serta dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan.

TELAAH TEORI

1. Persepsi

Kotler dan Armstrong (2008:174) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana seseorang

memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran dunia yang

berarti. Pengertian lain mengenai persepsi juga dijelaskan oleh Gibson, Ivancevich, dan Donnely

(1997:53), yakni proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Oleh karena

tiap-tiap orang memberi arti kepada stimulus (rangsangan), maka individu yang berbeda-beda akan

melihat barang yang sama namun dengan cara yang berbeda. Dari beberapa pengertian tersebut,

dapat disimpulkan bahwa persepsi terkait dengan bagaimana cara pandang individu terhadap suatu

fenomena yang terjadi di sekitarnya, berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman, serta persepsi

dari masing-masing individu bisa sama atau berbeda.

Rahmat (2005) dalam Setiawati (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor personal yang dapat

mempengaruhi persepsi interpersonal antara lain pengalaman, motivasi, dan kepribadian.

Sedangkan menurut Robbins dan Coulter (2010:55), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

persepsi dapat berasal dari dalam diri perseptor, dalam target yang dipersepsikan, atau dalam situasi

dimana persepsi itu terjadi.

2. Auditing

Menurut The Report of the Committee on Basic Auditing Concept of the American Accounting

Association dalam Boynton dan Johnson (2006:6), auditing didefinisikan sebagai suatu proses

sistematis yang bertujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti mengenai asersi atau

pernyataan tentang kegiatan ekonomi dan peristiwa untuk memastikan derajat korespondensi antara

asersi tersebut dan kriteria yang ditetapkan serta mengomunikasikan hasil tersebut kepada pengguna

yang berkepentingan. Sedangkan menurut Messier, Glover, dan Prawitt (2006:16), proses sistematis

tersebut mengimplikasikan bahwa ada pendekatan yang terencana dengan baik dalam melaksanakan

audit guna untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti audit secara objektif. Auditor harus

mencari secara objektif dan mengevaluasi relevansi dan validitas dari bukti-bukti audit untuk

menilai keandalan dan keabsahannya, karena bukti audit yang berkualitas akan berpengaruh

terhadap pencapaian tujuan audit. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses audit

harus dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi keabsahan bukti-bukti yang ada.

Menurut Bayangkara (2008:4), aktivitas audit terdiri dari empat jenis yang dibedakan

berdasarkan tujuannya, antara lain:

1. Audit laporan keuangan, bertujuan untuk menentukan apakah laporan auditee telah disusun

sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Audit kepatuhan, bertujuan untuk menentukan tingkat kepatuhan suatu entitas terhadap

hukum, kebijakan, rencana, dan prosedur.

3. Audit internal, bertujuan untuk menilai keandalan laporan keuangan, menentukan tingkat

kepatuhan suatu entitas, menilai pengendalian internal organisasi, menilai efisiensi dan

efektivitas penggunaan sumber daya, serta program peninjauan terhadap konsistensi hasil

dengan tujuan organisasi.

4. Audit operasional dan audit manajemen, bertujuan untuk menilai efisiensi dan efektivitas

penggunaan sumber daya dalam suatu entitas.

Page 4: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

4

Menurut Agoes (2012:10), aktivitas audit terdiri dari dua jenis yang dibedakan berdasarkan

luas pemeriksaannya, antara lain:

1. Pemeriksaan Umum (General Audit).

Pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik

(KAP) independen bertujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan

keuangan secara keseluruhan.

2. Pemeriksaan Khusus (Special Audit).

Pemeriksaan khusus atau pemeriksaan terbatas, yakni sesuai dengan permintaan auditee,

dilakukan oleh KAP independen dan pada akhir pemeriksaan auditor tidak perlu memberikan

pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan

terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa karena prosedur audit yang dilakukan

juga terbatas.

Jika ditinjau menurut entitas yang di audit, profesi auditor dapat diklasifikasikan menjadi

empat jenis, antara lain:1

1. Auditor Eksternal.

Auditor eksternal sering disebut sebagai auditor independen karena auditor tersebut

dipekerjakan oleh entitas yang diaudit. Tugas dari auditor eksternal adalah mengaudit laporan

keuangan untuk perusahaan publik dan nonpublik, persekutuan, pemerintah kota, individu,

atau jenis entitas lainnya.

2. Auditor Internal.

Auditor internal adalah auditor yang dipekerjakan oleh satu perusahaan, persekutuan, badan

pemerintah, individu, dan entitas lainnya. Menurut Institute of Internal Auditor, audit internal

adalah aktivitas independen, kepastian objektif, dan konsultasi yang dirancang untuk

menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal dapat membantu

organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan sistematis dan disiplin untuk

mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses

kepengurusan.

3. Auditor Pemerintah.

Auditor pemerintah dipekerjakan oleh badan atau negara. Auditor pemerintah melaksanakan

audit atas aktivitas, transaksi keuangan, dan akun dari pemerintahan. Auditor pemerintah juga

dapat melakukan audit khusus, survei, dan investigasi.

4. Auditor Forensik.

Auditor forensik dipekerjakan oleh perusahaan, badan pemerintah, kantor akuntan publik, dan

perusahaan jasa konsultasi dan investigasi. Auditor forensik dilatih untuk mendeteksi,

menginvestigasi, dan mencegah kecurangan serta kejahatan kerah putih.

Profesi yang menjalankan praktik auditing secara independen adalah auditor eksternal. Istilah

auditor eksternal juga berkaitan istilah akuntan publik dan/atau pihak terasosiasi. Menurut Aturan

Etika Profesi Akuntan Publik (IAI, 20000.1-20000.6) dalam Agoes (2012:44), akuntan publik

adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan atau pejabat yang berwenang lainnya

untuk memberikan jasa serta menjalankan praktik akuntan publik. Sedangkan menurut Undang-

Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik, pihak terasosiasi adalah rekan KAP yang tidak

menandatangani laporan pemberian jasa, pegawai KAP yang terlibat dalam pemberian jasa, atau

pihak lain yang terlibat langsung dalam pemberian jasa. Dalam menjalankan profesinya sebagai

pemeriksa laporan keuangan, auditor eksternal harus berpedoman pada kode etik profesi, Standar

Profesional Akuntan Publik (SPAP), serta Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di

Indonesia untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik.

Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008) dalam Kusumawati (2013), hierarki struktur

organisasi KAP terdiri dari:

1 William F. Messier Jr, Steven M. Glover, dan Douglas F. Prawitt, Jasa Audit dan Assurance : Pendekatan Sistematis

Edisi 4 Buku 1 (Jakarta : Salemba Empat, 2006), hh. 65-68.

Page 5: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

5

1. Junior auditor atau asisten, bertugas melakukan sebagian besar pekerjaan audit yang

terperinci.

2. Senior auditor atau penanggung jawab, bertugas mengoordinasikan dan bertangung jawab

atas pekerjaan lapangan audit, termasuk mengawasi dan menelaah pekerjaan staf.

3. Manager, bertugas membantu penanggung jawab merencanakan dan mengelola audit,

menelaah pekerjaan penanggung jawab, serta membina hubungan dengan klien. Seorang

manager mungkin bertanggung jawab atas lebih dari satu penugasan pada saat yang sama.

4. Partner, bertugas menelaah keseluruhan pekerjaaan audit dan terlibat dalam keputusan-

keputusan audit yang signifikan. Seorang partner adalah pemilik KAP dan karenanya

mengemban tanggung jawab akhir dalam melaksanakan audit dan melayani klien.

3. Tindakan Kecurangan (Fraud)

Menurut Albrecht (2012:6), tindakan kecurangan atau fraud merupakan istilah umum, dan

mencakup segala bentuk kecerdikan manusia dalam hal perancangan, yang dipaksakan oleh satu

individu, untuk mendapatkan keuntungan lebih melalui pernyataan palsu. Tidak ada aturan yang

pasti serta tidak ada yang bisa ditetapkan sebagai usulan umum dalam mendefinisikan fraud, karena

mencakup hal-hal yang mengejutkan, penipuan, kelicikan atau kecerdikan, serta cara-cara yang

tidak adil. Satu-satunya batas yang mampu mendefinisikan fraud adalah hal-hal yang dapat

membatasi ketidakjujuran manusia. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan

kecurangan atau fraud merupakan tindakan yang salah serta dinilai tidak bertanggung jawab, karena

fraud bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menghalalkan segala cara namun

konsekuensinya adalah merugikan bagi kepentingan pihak yang lain.

Motif pendorong terjadinya tindakan kecurangan sering disebut dengan istilah fraud triangle

yang merupakan hasil penelitian dari Donald R. Cressey pada tahun 1950. Tiga elemen yang

terdapat pada fraud triangle antara lain:

1. Tekanan.

Faktor pendorong munculnya motif tekanan yakni adanya kebutuhan keuangan, gaya hidup,

serta tekanan pihak lain yang menyebabkan seseorang terdorong melakukan tindakan fraud.

2. Peluang.

Faktor pendorong munculnya motif peluang yakni lemahnya sistem pengendalian internal,

kepercayaan terhadap tugas seseorang yang terlalu luas dan berlebihan, minimnya pelatihan

dan supervisi, kurangnya tuntutan untuk pelaku kecurangan, ketidakefektifan program dan

kebijakan anti fraud, serta lemahnya budaya etis.

3. Rasionalisasi.

Rasionalisasi merupakan tindakan mencari pembenaran sebelum melakukan tindakan

kecurangan dimana pembenaran tersebut digunakan sebagai motivasi untuk melakukan

kejahatan. Rasionalisasi dapat terjadi karena pelaku kecurangan merasa tindakannya tidak

bersifat ilegal walaupun tindakan tersebut dinilai tidak etis, serta ada anggapan bahwa uang

yang dicurinya pasti akan dikembalikan di kemudian hari.

Menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Report to the Nation on

Occupational Fraud and Abuse, tindakan kecurangan terdiri dari tiga jenis, yakni kecurangan

laporan keuangan (fraudulent statement), penyalahgunaan aset (asset misapropriation), dan korupsi

(corruption). Menurut Purjono (2012:3), kecurangan laporan keuangan adalah suatu jenis

kecurangan yang menyebabkan terjadinya kesalahan material pada laporan keuangan. Hal tersebut

dapat dilakukan dengan cara menghilangkan transaksi, membuat transaksi palsu, pernyataan saldo

akhir yang salah, pengungkapan atas laporan keuangan yang tidak lengkap, atau penerapan standar

yang salah namun dilakukan secara sengaja. Sedangkan tindakan kecurangan berupa

penyalahgunaan aset dapat diklasifikasikan dalam dua cabang utama, yakni kecurangan yang

bersifat cash dan non cash. Kemudian contoh tindakan kecurangan yang masuk dalam kategori

korupsi yakni conflict of interest, bribery atau penyuapan, illegal gratuity, dan economic extortion.

Menurut ketentuan dalam SA Seksi 316 tahun 2001 tentang pertimbangan atas kecurangan

dalam audit laporan keuangan, ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor

Page 6: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

6

tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yakni salah saji yang timbul sebagai akibat

dari kecurangan dalam pelaporan keuangan, serta kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak

semestinya terhadap aktiva. Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan

adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan

keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan

dapat menyangkut tindakan-tindakan berikut ini.

1. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang

menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan

2. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi,

atau informasi signifikan

3. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi,

cara penyajian, atau pengungkapan.

Sedangkan salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, atau yang

seringkali disebut dengan tindakan penyalahgunaan dan penggelapan, hal tersebut berkaitan dengan

pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas

dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang atau uang,

pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang

tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan

atau dokumen palsu dan menyesatkan, serta dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara

manajemen, karyawan, atau pihak ketiga.

4. Tata Kelola Perusahaan

Menurut Saifuddien Hasan (2000) dalam Amrizal (2004), dengan mengimplementasikan

prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat meningkatkan kultur organisasi yang saling

terkait agar dapat mendorong kinerja perusahaan secara efisien serta menghasikan nilai ekonomi

jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar

secara keseluruhan. Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance antara lain, keadilan,

transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, moralitas, keandalan, dan komitmen. Hal tersebut

apabila telah diimplementasikan oleh perusahaan dengan baik, maka resiko terjadinya tindakan

kecurangan akan dapat diminimalisir.

5. Determinan Pencegahan Kecurangan Laporan Keuangan

Penelitian ini menggunakan teori Albrecht (2012:120) sebagai basis teori atau acuan utama,

karena dalam teori tersebut telah merumuskan serangkaian upaya pencegahan yang sifatnya lebih

komprehensif. Upaya tersebut terdiri dari dua determinan (faktor) utama, yakni menciptakan

budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan (creating a culture of honesty, openness, and

assistance) serta mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan (eliminating fraud

opportunities).

Menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan merupakan serangkaian aktivitas

yang bertujuan untuk meminimalisir tindakan kecurangan pada lingkungan internal suatu entitas

dengan menitikberatkan pada stakeholder entitas tersebut. Upaya ini terdiri dari tiga sub faktor,

antara lain:

a. Merekrut karyawan yang jujur serta memberikan pelatihan fraud awareness.

Hal tersebut perlu dilakukan karena berkaitan dengan etos kerja serta profesionalitas yang

dimiliki. Resiko terjadinya tindakan kecurangan dapat diminimalisir apabila karyawan

tersebut jujur, cakap, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Sebelum merekrut

karyawan, suatu entitas harus menerapkan prosedur yang tepat serta menelusuri latar belakang

calon karyawan tersebut apakah pernah terlibat kasus kriminal atau tidak. Hal pertama yang

harus dilakukan oleh entitas yakni melakukan verifikasi terhadap semua informasi dalam

berkas-berkas pelamar. Kedua, entitas harus memastikan bahwa seluruh informasi dalam

berkas-berkas tersebur benar-benar akurat. Ketiga, proses perekrutan harus dilengkapi dengan

Page 7: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

7

wawancara khusus untuk pelamar. Setelah prosedur penerimaan karyawan selesai, maka

karyawan yang lolos tahapan tersebut perlu diberikan pelatihan fraud awareness, yakni

pelatihan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran karyawan terhadap resiko terjadinya

kecurangan. Menurut Lavery, Lindberg, dan dan Razaki (2000:40), salah satu penyebab

mengapa dalam suatu entitas sangat rawan terjadi tindakan kecurangan karena manajemen

dan karyawan tidak memahami fraud awareness secara memadai. Akibatnya, pihak-pihak

tersebut tidak menyadari besarnya resiko terjadinya tindakan kecurangan sehingga tidak

mempunyai langkah pencegahan yang tepat.

b. Menciptakan lingkungan kerja yang positif.

Menciptakan lingkungan kerja yang positif dalam suatu dapat dilakukan dengan tiga cara,

yakni dengan menciptakan budaya kejujuran melalui pengembangan kode etik organisasi,

mempunyai kebijakan akses yang mudah, serta mempunyai personil dan prosedur operasional

yang positif. Kode etik organisasi sebaiknya menjelaskan tentang mana tindakan yang dapat

diterima dengan tindakan yang tidak diterima, perilaku disiplin, serta kontak bagi

whistleblower untuk melaporkan informasi tindakan kecurangan. Kode etik organisasi juga

harus sering dikomunikasikan serta ditunjukkan secara jelas, tujuannya agar karyawan dapat

membaca kode etik tersebut secara rutin sehingga mampu memberikan pemahaman mengenai

mana perilaku yang tepat dengan perilaku yang tidak tepat. Disamping itu, menerapkan

kebijakan akses yang mudah juga dapat mencegah peluang terjadinya fraud melalui dua cara.

Pertama, seseorang yang terdorong untuk melakukan tindakan kecurangan karena tidak ada

pihak yang dapat diajak berbagi (sharing), sehingga orang tersebut akan menyimpan

masalahnya sendiri. Akibatnya, orang tersebut tidak memahami mana tindakan yang sesuai

serta konsekuensi ketika melakukan kesalahan sehingga hal ini mendorong untuk berbuat

tidak jujur. Kedua, penerapan kebijakan akses memungkinkan manajer untuk lebih berhati-

hati terhadap faktor tekanan, rasionalisasi, dan permasalahan yang dialami oleh karyawan.

Sikap kesadaran dan kehati-hatian tersebut memungkinkan bagi manajer untuk mengambil

langkah-langkah pencegahan terhadap tindakan kecurangan. Selanjutnya adalah mempunyai

personil dan prosedur operasional yang positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personil

dan prosedur kebijakan operasional yang positif merupakan faktor penting dalam memberikan

kontribusi terhadap tinggi rendahnya tingkat kerawanan fraud dalam suatu lingkungan.

c. Melaksanakan program bantuan karyawan.

Program bantuan karyawan atau Employee Assistance Programs (EAP) juga dinilai berperan

dalam mencegah tindakan kecurangan yang berasal dari motif tekanan atau pressure. Program

ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pelayanan personal bagi karyawan seperti

kesehatan, team building, pelatihan, resolusi konflik, respon terhadap peristiwa kritis,

bimbingan konseling, serta rujukan yang dapat membantu mengurangi resiko yang

ditimbulkan dari tindakan kecurangan. Program tersebut dinilai dapat memberikan perubahan

bagi kehidupan sehari-hari karyawan serta dapat meningkatkan kualitas kerja yang dimiliki.

Sedangkan mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan bertujuan untuk

mengurangi presentase atau frekuensi terjadinya fraud pada suatu entitas serta meminimalisir resiko

dan dampak buruk yang terjadi. Upaya ini terdiri dari lima sub faktor, antara lain:

a. Mempunyai sistem pengendalian internal yang baik.

Menurut American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) dalam Hall (2009:181),

sistem pengendalian internal adalah serangkaian aktivitas yang terdiri atas berbagai kebijakan,

praktik, dan prosedur yang diterapkan oleh perusahaan untuk mencapai empat tujuan umum,

yakni menjaga aktiva perusahaan, memastikan akurasi dan keandalan catatan serta informasi

akuntansi, mendorong efisiensi dalam operasional perusahaan, serta mengukur kesesuaian

dengan kebijakan serta prosedur yang ditetapkan oleh pihak manajemen. Dalam sistem

pengendalian internal perlu mengetahui metode, ukuran, serta hal lain terkait dengan

pelaksanaan kinerja operasional suatu entitas apakah telah sesuai dengan standar, kebijakan,

dan prosedur yang berlaku. Fungsi penting dari sistem pengendalian internal antara lain:

Page 8: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

8

- Pengendalian untuk pencegahan (preventive control), yakni mencegah timbulnya suatu

permasalahan sebelum masalah tersebut muncul.

- Pengendalian untuk pemeriksaan (detective control), yakni diperlukan untuk mengungkap

suatu permasalahan ketika masalah tersebut muncul.

- Pengendalian korektif (corrective control), yakni memecahkan masalah yang ditemukan

oleh pengendalian untuk pemeriksaan.

Menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) dan

SAS 78 dalam Hall (2009:186), sistem pengendalian internal terdiri dari lima komponen yang

dirancang dan diimplementasikan untuk memberikan jaminan bahwa sasaran hasil

pengendalian dalam suatu entitas akan terpenuhi, diantaranya:

- Lingkungan pengendalian, digunakan untuk menentukan arah perusahaan dan

memengaruhi kesadaran pengendalian pihak manajemen dan karyawan. Elemen penting

dari lingkungan pengendalian antara lain integritas dan nilai etika manajemen, struktur

organisasi, keterlibatan dewan komisaris dan komite audit, filosofi manajemen dan siklus

operasionalnya, prosedur untuk mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas, metode

manajemen untuk menilai kinerja, pengaruh eksternal, serta kebijakan dan praktik

perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia.

- Penilaian risiko, digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola berbagai

resiko yang berkaitan dengan laporan keuangan.

- Informasi dan komunikasi, kualitas dari suatu informasi yang dihasilkan berdampak pada

kemampuan pihak manajemen untuk mengambil tindakan serta membuat keputusan yang

berhubungan dengan operasional perusahaan serta membuat laporan keuangan yang andal.

- Pengawasan, merupakan suatu proses yang memungkinkan kualitas desain pengendalian

internal serta kinerja operasional dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat

diwujudkan melalui beberapa prosedur terpisah atau melalui aktivitas yang berjalan.

- Aktivitas pengendalian, yakni berbagai kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk

memastikan bahwa tindakan yang tepat telah diambil untuk mengatasi risiko perusahaan

yang telah diidentifikasi. Aktivitas pengendalian terdiri dari dua kelompok, yakni

pengendalian komputer dan pengendalian fisik.

b. Memperkecil kolusi atau persekongkolan antara karyawan dengan pihak yang lain serta

menginformasikan kebijakan perusahaan kepada vendor.

Memperkecil peluang terjadinya kolusi antar karyawan perlu dilakukan karena tindakan

tersebut kemungkinan dapat menimbulkan persekongkolan untuk melakukan tindakan

kecurangan. Tindakan kecurangan yang ditimbulkan karena adanya kolusi atau

persekongkolan (collusive fraud) cukup sulit untuk dideteksi karena dilakukan oleh banyak

pihak sehingga membutuhkan peranan dari whistleblower. Peningkatan kasus collusive fraud

dapat timbul karena dua situasi, yakni sifat dan lingkungan bisnis yang semakin kompleks

serta meningkatnya frekuensi hubungan kerja dengan vendor atau pemasok. Dalam

lingkungan bisnis yang semakin kompleks, karyawan yang mendapat kepercayaan akan

beroperasi pada lingkungan khusus serta terpisah dari karyawan lain. Sedangkan hubungan

kerja dengan vendor atau pemasok juga beresiko terjadi tindakan fraud ketika hubungan

antara penjual dan pembeli melalui perjanjian tertulis lebih tergantikan oleh perjanjian lisan.

Dalam banyak kasus, jenis collusive fraud yang paling sering terjadi adalah kecurangan pada

transaksi pembelian dan penjualan.

c. Mengawasi karyawan serta menerapkan hotline.

Pengawasan terhadap karyawan serta menerapkan hotline telepon anti fraud juga berperan

dalam pencegahan tindakan kecurangan. Menurut Pergola dan Sprung (2005) dalam

Bierstaker, Brody, dan Pacini (2006), pengadaan hotline telepon tersebut memungkinkan

karyawan untuk memberikan informasi rahasia seputar tindakan kecurangan yang terjadi

dalam suatu entitas, tanpa harus takut terhadap segala bentuk ancaman dan tindak pembalasan

karena telah menjadi whistleblower. Dalam menciptakan sistem whistleblowing secara efektif,

Page 9: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

9

elemen yang perlu digarisbawahi yakni kerahasiaan identitas (anonymity), independensi

(independence), aksesibilitas (accessibility), dan sistem follow up.

d. Menciptakan ekspektasi hukuman.

Menciptakan ekspektasi hukuman yakni membuat serangkaian kebijakan yang tegas dalam

upaya meminimalisir tindakan kecurangan dan segala bentuk ketidakjujuran. Upaya ini

berkaitan dengan sistem reward and punishment. Sistem reward atau penghargaan akan

diberikan terhadap karyawan yang dianggap kooperatif dalam upaya mencegah tindakan

kecurangan dalam suatu entitas. Sebaliknya, sistem punishment atau hukuman akan diberikan

kepada karyawan yang terbukti melakukan tindakan kecurangan sehingga merugikan berbagai

pihak dalam entitas tersebut. Sebuah kebijakan yang tegas harus dipublikasikan kepada

karyawan bahwa segala bentuk tindakan kecurangan pasti akan dikenakan sanksi. Hal ini

dapat mengurangi resiko terjadinya tindakan kecurangan yang didorong oleh faktor

rasionalisasi.

e. Menerapkan fraud auditing secara proaktif.

Sebuah entitas yang secara proaktif melakukan audit terhadap tindakan kecurangan dapat

menciptakan kesadaran pada karyawan bahwa segala tindakannya akan terus ditinjau dan

diawasi setiap saat, sehingga mereka akan ditanamkan mindset takut terkena sanksi jika

melakukan fraud. Auditing terhadap tindakan kecurangan (fraud auditing) dapat dilakukan

melalui empat tahapan, yakni mengidentifikasi eksposur resiko tindakan kecurangan,

mengidentifikasi gejala tindakan kecurangan pada masing-masing eksposur, membangun

program audit untuk mencari gejala dan eksposur tersebut secara proaktif, serta menyelidiki

gejala-gejala tindakan kecurangan yang telah diidentifikasi. Auditor menjadi sangat serius

dalam melakukan fraud auditing secara proaktif karena termotivasi dengan pernyataan

Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99, Consideration of Fraud in a Financial

Statement Audit. Salah satu seksi dalam SAS No. 99 membahas tentang perlunya melakukan

brainstorming terhadap risiko tindakan kecurangan ketika auditor tengah berfokus pada

peningkatan skeptisisme profesional, berdiskusi dengan manajemen apakah mereka

menyadari adanya gejala fraud, melakukan pengujian audit yang tidak terduga, serta

mensyaratkan adanya prosedur audit yang memadai. Dalam perkembangannya, disamping

menjadi lebih skeptis dalam memeriksa laporan keuangan, auditor juga mengembangkan unit

khusus yang berkonsentrasi pada pendeteksian fraud secara proaktif. Dengan kemajuan

teknologi, pendeteksian fraud secara proaktif akan menjadi lebih mudah.

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan atau upaya pencegahan kecurangan

pada laporan keuangan jika ditinjau dari persepsi atau sudut pandang auditor eksternal. Basis teori

dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori Albrecht (2012:120), meliputi peranan serta

penerapannya dalam mencegah kecurangan laporan keuangan di dalam perusahaan. Persepsi

tersebut didasarkan pada pengalaman auditor eksternal dalam melakukan audit atau pemeriksaan

laporan keuangan. Secara garis besar, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jawaban

alamiah dari auditor eksternal selaku informan, menghimpun fakta yang diteliti, mendeskripsikan

hasil analisis data tetapi tidak untuk melakukan pengujian hipotesis, sehingga penelitian ini

menggunakan metode kualitatif.

Definisi penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2011:4)

adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sedangkan menurut pengertian yang lebih

komprehensif, Moleong (2011:6) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya, secara holistik, dan dengan cara deskripsi

Page 10: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

10

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yakni data primer dan data sekunder. Data

primer yang digunakan adalah pendapat dari auditor eksternal, baik perwakilan dari junior auditor,

senior auditor, supervisor, manager, atau partner, sehingga diharapkan informasi yang diberikan

dapat saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah Standar

Profesional Akuntan Publik (SPAP), Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), Undang-

Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik, buku, artikel, serta jurnal-jurnal pendukung

lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling

(sampel bertujuan), yakni teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu

dimana pertimbangan tersebut diambil berdasarkan pada seseorang yang dianggap paling

memahami objek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012:218). Teknik tersebut memungkinkan

bagi peneliti untuk mencari informan yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup

terhadap topik sekaligus tujuan penelitian, yakni mengetahui bagaimana persepsi auditor eksternal

terhadap upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan. Adapun sampel yang diambil untuk

menggali informasi lebih dalam adalah auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik

(KAP), khususnya yang berada di Kota Malang. Pertimbangan dipilihnya auditor eksternal sebagai

informan adalah karena pengalaman mereka dalam memeriksa laporan keuangan, sehingga auditor

eksternal tentu juga pernah menemui kasus-kasus kecurangan pada laporan keuangan itu sendiri.

Sebagai contoh yakni ketika melakukan proses general audit, auditor eksternal juga bisa melihat

adanya indikasi tindakan kecurangan melalui pos-pos yang tidak biasa atau tidak wajar, sehingga

hal tersebut bisa ditelusuri lebih jauh apakah benar-benar terjadi kecurangan atau hanya sebatas

kesalahan dalam penyajian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, auditor eksternal dinilai telah

memiliki wawasan yang memadai terkait dengan upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan,

sehingga informasi yang diberikan diharapkan dapat menjadi masukan tentang upaya pencegahan

mana yang harus diutamakan oleh perusahaan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini juga menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni studi lapangan yang

berfokus pada wawancara serta studi kepustakaan. Teknik wawancara yang digunakan dalam

penelitian ini adalah wawancara terbuka, dengan pedoman wawancara semiterstruktur. Pada

wawancara terbuka, subjek penelitian mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan

mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara (Moleong, 2011:189). Menurut Esterberg

(2002) dalam Sugiyono (2012:218), wawancara semiterstruktur termasuk dalam kategori in-depth

interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas daripada wawancara terstruktur. Tujuan dari

wawancara semiterstruktur adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana

pihak yang diwawancarai akan dimintai pendapat serta ide-idenya. Dalam melakukan wawancara,

peneliti akan mendengarkan secara teliti, merekam, serta mencatat apa yang dikemukakan oleh

informan. Dalam wawancara tersebut, peneliti menetapkan sendiri pertanyaan yang akan diajukan,

kemudian menyusun daftar pertanyaan yang didasarkan pada rumusan masalah dalam bentuk

pedoman wawancara. Selama proses pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara secara

individual (tatap muka antara interviewer dan interviewee). Hal tersebut dilakukan untuk

mendapatkan pemahaman secara mendalam mengenai persepsi dan informasi yang diperoleh dari

masing-masing informan.

Dalam penelitian ini telah diwawancarai lima orang informan yang berasal dari empat KAP

yang berbeda. Total KAP yang berada di Kota Malang sebanyak delapan KAP yang rata-rata

merupakan KAP kecil. Peneliti juga melakukan penyusunan transkrip dari hasil rekaman

wawancara, tujuannya supaya lebih mudah dalam melakukan analisis data.

Page 11: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

11

5. Instrumen Penelitian

Dalam mengumpulkan data dan informasi penelitian, peneliti sebagai instrumen utama juga

menggunakan instrumen pendukung, yakni pedoman wawancara, alat tulis dan alat perekam yang

digunakan untuk mencatat informasi penting selama proses wawancara, serta catatan lapangan.

Secara garis besar, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yakni identitas informan,

pandangan tentang tindakan kecurangan (fraud) dan kecurangan pada laporan keuangan, upaya

pencegahan kecurangan pada laporan keuangan, serta upaya pencegahan yang harus diutamakan

oleh perusahaan.

6. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Miles

dan Huberman (1984), terdiri dari proses data collection, data reduction, data display, dan

conclusion drawing/verification.

a. Data collection, merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang relevan dengan

topik penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai auditor eksternal yang

menjadi informan, kemudian merekam keseluruhan hasil wawancara. Setelah wawancara

selesai, hasil wawancara tersebut akan disusun dalam bentuk transkrip.

b. Data reduction, merupakan proses merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, kemudian mencari pola dan hubungan, serta membuang informasi

yang tidak perlu. Proses tersebut dapat dilakukan melalui bantuan transkrip wawancara yang

telah disusun sebelumnya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas dan mempermudah untuk melakukan pengumpulan data tambahan apabila diperlukan.

c. Data display, merupakan proses menyajikan data yang terorganisir serta tersusun dalam pola

hubungan sehingga lebih mudah untuk dipahami. Dalam tahap ini, hasil wawancara mengenai

persepsi auditor eksternal tentang upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan akan

disajikan dalam bentuk yang lebih sistematis, mudah dipahami, serta dihubungkan dengan

konsep dan teori yang relevan.

d. Conclusion drawing/verification, merupakan proses penarikan kesimpulan yang kredibel serta

memverifikasi informasi yang diperlukan. Setelah peneliti menemukan pola hubungan dari

penjabaran hasil wawancara, maka akan ditarik kesimpulan terkait dengan upaya pencegahan

yang harus diutamakan oleh perusahaan.

7. Pengujian Kredibilitas Data

Teknik pengujian kredibilitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

perpanjangan pengamatan. Perpanjangan pengamatan dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan

terhadap hasil data dapat dilakukan dengan cara kembali terjun ke lapangan serta melakukan

wawancara kembali pada informan baru. Tahap ini dilakukan setelah peneliti membandingkan hasil

wawancara antara informan pertama dan kedua yang ternyata ada perbedaan yang cukup signifikan

dalam menjelaskan upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan. Perpanjangan

pengamatan dilakukan kepada informan ketiga, keempat, dan kelima. Disamping menanyakan

ulang pertanyaan-pertanyaan wawancara yang dianggap kurang lengkap, peneliti juga mengecek

kembali apakah data yang diberikan sudah sesuai atau tidak. Apabila jawaban informan sudah ada

indikasi jenuh, maka penelitian dinyatakan selesai.

PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum KAP di Malang

Penelitian mengenai upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan ini berfokus pada

auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP), khususnya yang berada di Kota

Malang. KAP di Kota Malang rata-rata merupakan KAP kecil dengan kisaran jumlah karyawan

sekitar 10 sampai 30 orang. Akan tetapi, KAP tersebut telah memperoleh kepercayaan untuk

mengaudit laporan keuangan perusahaan-perusahaan besar dan bonafit, baik yang berdomisili di

Page 12: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

12

Kota Malang maupun di luar Kota Malang. Jumlah KAP di Kota Malang adalah delapan, baik

merupakan kantor pusat maupun kantor cabang. Secara garis besar, masing-masing KAP

mempunyai penawaran jasa yang hampir sama walaupun tidak semua jasa tersedia, sebagai contoh

yakni jasa audit dan atestasi, konsultasi akuntansi, konsultasi perpajakan, konsultasi manajemen,

konsultasi sistem informasi, konsultasi keuangan, serta konsultasi sumber daya manusia. Menurut

Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) tahun 2013, berikut ini adalah nama-nama KAP

yang berada di Kota Malang.

Tabel 1. Daftar KAP di Kota Malang

Nama KAP Alamat KAP

KAP Benny, Tony, Frans & Daniel (cabang) Jl. Merbabu No.6, Malang

KAP Doli, Bambang, Sulistiyanto, Dadang & Ali

(cabang)

Jl. Tapak Doro No.15, Malang

KAP Drs. Jimmy Andrianus Jl. Retawu No.26, Malang

KAP Krisnawan, Busroni, Achsin & Alamsyah

(cabang)

Ruko Soekarno Hatta.

Jl. Soekarno Hatta B-3 Kav.B, Malang

KAP Made Sudarma, Thomas & Dewi (pusat) Jl. Dorowati No.8, Malang

KAP Drs. Nasikin Jl. Brigjen. Slamet Riadi No.157, Malang

KAP Suprihadi & Rekan Perumahan Simpang Soekarno Hatta.

Jl. Bunga Andong Selatan Kav.26, Malang

KAP Thoufan Nur, CPA Jl. Joyo Tambaksari No.32. Merjosari,

Malang

Sumber : Direktori IAPI (2013

Struktur organisasi atau hierarki dari KAP di Kota Malang sebagian besar juga hampir sama,

terdiri dari partner, manajer, senior auditor, dan junior auditor. Akan tetapi, struktur organisasi dari

masing-masing KAP juga ada perbedaannya, salah satunya yakni ada tidaknya jabatan supervisor.

Posisi supervisor pada umumnya berada di atas senior auditor, namun masih berada di bawah posisi

manajer.

Gambar 1. Struktur Organisasi KAP yang Diteliti

Sumber : Data primer yang diolah

Page 13: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

13

2. Informan Penelitian

Tahap awal dalam pengumpulan data penelitian dimulai dengan pengisian lembar identitas

informan yang bertujuan untuk mengetahui latar belakang informan serta sebagai bukti bahwa

informan telah memberikan persetujuan untuk diwawancarai. Selama proses wawancara, instrumen

penelitian yang digunakan yakni alat perekam dan catatan lapangan (field note) untuk merangkum

keseluruhan hasil wawancara. Wawancara dilakukan secara individual dan bersifat tatap muka (face

to face) untuk mendapatkan informasi yang alami dan mendalam dari masing-masing informan.

Dari delapan KAP yang berada di Kota Malang, telah diwawancarai lima orang informan yang

berasal dari empat KAP yang berbeda. Sebagai keperluan untuk menjaga privasi, maka nama

lengkap dan asal KAP dari masing-masing informan akan dirahasiakan. Gambaran umum dari

masing-masing informan dalam penelitian ini akan disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Informan Penelitian

Nama Jabatan Lama Bekerja Asal KAP

Informan 1 Partner 30 tahun KAP A

Informan 2 Partner 19 tahun KAP A

Informan 3 Partner 30 tahun KAP B

Informan 4 Senior auditor 7 tahun KAP C

Informan 5 Junior auditor 2 tahun KAP D

Sumber : Data primer yang diolah

Dari total delapan KAP yang berada di Kota Malang, hanya terdapat empat KAP yang

berpartisipasi dalam penelitian ini, dengan kata lain hanya mencakup setengah dari jumlah

keseluruhan KAP yang ada. Disamping itu, jumlah informan yang dapat diwawancarai dalam

penelitian ini hanya lima orang, berikut latar belakang dan identitas yang telah dijelaskan

sebelumnya. Kendala yang dihadapi selama proses penelitian adalah kesulitan dalam mendapatkan

informan yang lebih beragam. Berbagai upaya untuk menghubungi informan yang dituju juga telah

dilakukan, baik melalui SMS, telepon, hingga surat keterangan penelitian. Namun, beberapa

informan ada yang berhalangan untuk diwawancarai karena berbagai kesibukan, yakni harus

melakukan audit ke luar kota untuk beberapa waktu ke depan serta dalam KAP tersebut sedang

berada dalam periode sibuk sehingga informan penelitian yang dituju belum bisa memberikan

waktu luang untuk diwawancarai.

3. Pandangan tentang Tindakan Kecurangan

Menurut pandangan auditor eksternal, tindakan kecurangan atau fraud cukup luas

cakupannya, dalam hal ini tindakan fraud dapat terjadi di berbagai entitas, dilakukan oleh berbagai

pihak, serta ada berbagai jenis. Karena tugas dari auditor eksternal adalah memeriksa laporan

keuangan, maka fokus utama dari tindakan fraud lebih ke arah penyelewengan atau manipulasi

data-data akuntansi.

Informan 5 berpendapat bahwa secara teoritis, ada beberapa faktor yang dapat mendorong

seseorang untuk melakukan tindakan fraud, yakni faktor tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.

Ketiga faktor tersebut sering disebut dengan istilah fraud triangle. Disamping itu, terdapat satu

faktor tambahan yang juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud selain tekanan,

kesempatan, dan rasionalisasi, yakni faktor kemampuan. Dari tambahan faktor tersebut, maka

istilah fraud triangle kini telah berkembang menjadi fraud diamond.

Informan 2 juga memberikan pendapat yang lebih rinci tentang kecurangan laporan keuangan

serta klasifikasi tindakan fraud jika ditinjau dari siapa pelakunya dan pihak-pihak yang dirugikan.

Pertama, tindakan fraud berupa manipulasi laporan keuangan yang dilakukan secara individual,

biasanya dilakukan oleh karyawan yang berkecimpung di bagian keuangan perusahaan, bertujuan

untuk memenuhi keperluan pribadi, sehingga pihak yang dirugikan adalah manajemen dan pemilik

perusahaan. Kedua, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak manajemen atau

management fraud, tidak dilakukan secara individual, melainkan dilakukan secara bersama-sama

Page 14: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

14

atau ada kolusi dari pihak-pihak terkait, sehingga pihak yang dirugikan adalah pemilik perusahaan.

Ketiga, tindakan fraud yang dilakukan oleh pemilik perusahaan, biasanya pemilik akan menekan

pihak manajemen untuk melakukan manipulasi laporan keuangan untuk kepentingan perusahaan itu

sendiri, misalnya yakni masalah pajak, sehingga pihak yang dirugikan adalah pemerintah.

Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 3 bahwa indikasi adanya kecurangan laporan

keuangan dapat dilihat dengan adanya penyimpangan pada laporan keuangan itu sendiri, yakni

antara yang seharusnya dicatat ternyata tidak sesuai dengan kondisi riilnya.

“Kalau fraud itu ya antara yang seharusnya dengan kenyataannya nggak sama.

Maksudnya, sebuah kriteria tidak dipenuhi. Jadi bisa itu overstatement, bisa

understatement, bisa kurang disclose, itu bisa mengarah atau mengindikasikan adanya

fraud.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014)

Informan 4 juga menambahkan bahwa secara umum tindakan fraud merupakan suatu bentuk

penyimpangan dari apa seharusnya. Kecurangan laporan keuangan juga tidak terlepas dari tindakan

memanipulasi data-data akuntansi untuk kepentingan pihak tertentu. Manipulasi laporan keuangan

sebagian besar dilakukan oleh pihak manajemen, bertujuan untuk memperoleh kepercayaan dari

pemegang saham bahwa manajemen telah mengelola kekayaan perusahaan dengan baik. Hal ini

dilakukan dengan cara menampilkan laporan keuangan sebaik mungkin, padahal kondisi riilnya

tidak seperti itu. Disamping itu, informan 4 juga menyampaikan bahwa jenis audit ada dua, yakni

audit bertujuan umum (general audit) dan audit bertujuan khusus (special audit). Kedua jenis audit

ini berkaitan dengan lingkup penugasan yang akan dijalankan oleh auditor eksternal. Secara umum,

jika bertujuan untuk mendeteksi dan menelusuri adanya indikasi tindakan kecurangan maka lingkup

penugasannya lebih berfokus ke special audit. Namun, jika hanya bertujuan untuk menilai

kewajaran laporan keuangan maka lingkup penugasannya lebih berfokus ke general audit.

“Fraud itu penyimpangan berarti ya, secara umum yang kami hadapi, biasanya sih kita

ada beberapa audit yang kita lakukan, biasanya kalo fraud itu kita, lalu diminta jasa

terkait dengan audit khusus karena terjadi kecurangan-kecurangan yang ada di

perusahaan, jadi seperti itu. Untuk mencari bukti yang lebih kuat, seberapa besar

kecurangan itu terjadi, seberapa besar penyimpangan terjadi, atau seberapa besar aset

perusahaan sudah diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu kan?” (Informan 4,

wawancara tanggal 2 Mei 2014)

4. Pengalaman tentang Kasus Kecurangan Laporan Keuangan

Dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, auditor eksternal tentu pernah menemui

kasus yang mengarah pada tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada laporan keuangan.

Ketika menemui pos-pos yang dianggap tidak biasa, disinilah peranan dari auditor eksternal untuk

tetap menjaga independensinya serta bertahan pada asumsi yang diyakini. Berkaitan dengan

bagaimana sikap auditor eksternal dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, tidak menutup

kemungkinan bahwa terdapat beberapa kasus yang dapat menguji nilai-nilai independensi serta

sikap profesional mereka. Berikut ini adalah sharing pengalaman dari para auditor eksternal ketika

menemui kasus kecurangan laporan keuangan serta bagaimana sikap yang mereka ambil.

“Dulu saya pernah menemui kasus manipulasi pajak di suatu perusahaan. Perlu

diketahui bahwa pada saat ini kasus tersebut masih sering terjadi, misalnya ya ada

transaksi yang tidak dilaporkan, serta perusahaan dalam mengisi SPT ternyata

memakai atau mengacu pada laporan keuangan yang tidak di audit.” (Informan 1,

wawancara tanggal 16 April 2014)

Pengalaman informan 1 dalam melaksanakan proses audit yakni pernah menemui kasus

manipulasi pajak di sebuah perusahaan. Pada umumnya, tindakan manipulasi pajak dilakukan

supaya perusahaan bisa membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Pada saat ini, kasus

manipulasi pajak masih sering terjadi di berbagai entitas. Informan 1 juga menyebutkan bahwa

Page 15: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

15

indikasi adanya manipulasi pajak dapat diketahui dengan adanya transaksi-transaksi yang tidak

dilaporkan oleh perusahaan, sehingga hal ini akan berpengaruh pada jumlah laba rugi perusahaan.

Jika laba yang dilaporkan rendah maka pajak yang dibayarkan juga lebih rendah, begitu pula

sebaliknya.

Pengalaman lain seputar masalah perpajakan juga pernah ditemui oleh informan 2, namun

konteksnya cukup berbeda. Dalam hal ini, kasus yang dialami oleh perusahaan tersebut adalah tidak

mau mengakui hutang pajak sebesar nominal yang seharusnya.

“Nah, suatu saat perusahaan itu dapat pekerjaan dari pemerintah untuk melakukan

suatu proyek tertentu. Ya, saya diminta mengaudit, dihubungi teman yang kebetulan

bekerja disana. Saya berpikir perusahaan tersebut karena merupakan perusahaan yang

cukup besar, bonafit lah dalam perpajakannya, ternyata setelah saya masuk audit itu

hampir selesai di tahap, kalau di audit itu ada namanya pertemuan-pertemuan terakhir

atau diskusi mengenai temuan-temuan dan sebagainya, menuntaskan hasil audit,

ternyata satu diantara temuan yang paling rawan adalah hutang pajak yang kemudian

mereka tidak mau mengakui sebesar hutang pajak yang seharusnya.” (Informan 2,

wawancara tanggal 20 April 2014)

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, informan 2 memutuskan untuk tetap bertahan pada

angka yang diyakini, yakni angka yang menunjukkan nominal hutang pajak yang seharusnya

dibayar oleh perusahaan. Disamping itu, proses audit dinyatakan tidak selesai karena informan 2

memutuskan untuk tidak mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian kepada perusahaan tersebut.

“Tetapi perusahaan tidak mau mengakui sebesar itu. Ya karena seperti itu saya nggak

mau, istilahnya saya nggak manut terhadap mereka, melainkan tetap bertahan dengan

angka itu. Pada akhirnya sampai, katakanlah aja audit itu nggak selesai karena saya

tidak mau memberi pendapat, istilahnya pendapat wajar tanpa pengecualian ya. Tetapi

kalau dikeluarkan pendapat wajar dengan pengecualian, perusahaannya yang nggak

mau, karena kalau wajar dengan pengecualian pasti kan diperiksa.” (Informan 2,

wawancara tanggal 20 April 2014)

Pengalaman selanjutnya juga disampaikan oleh informan 5 yang pernah bertugas untuk

menginvestigasi kasus kecurangan di sebuah perusahaan. Informan 5 mendapatkan informasi

tersebut dari klien yang bersangkutan, yakni pemilik perusahaan, bahwa di perusahaan tersebut ada

praktik kecurangan yang dilakukan oleh manajer cabang. Disamping itu, level terjadinya

kecurangan juga sangat tinggi dan krusial sehingga auditor eksternal memerlukan pemeriksaan

menyeluruh terhadap perusahaan tersebut. Informan 5 mendapatkan sebuah temuan bahwa dalam

perusahaan tersebut ada kasus pengakuan aset perusahaan yang tidak wajar, yakni aset pemilik yang

merupakan aset pribadi ternyata dinyatakan sebagai aset perusahaan. Hal tersebut terjadi karena

adanya penyelewengan uang pembelian aset yang dilakukan oleh pihak manajer cabang.

5. Upaya Pencegahan Kecurangan pada Laporan Keuangan

a. Sistem Pengendalian Internal

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, sistem pengendalian internal merupakan salah

satu komponen penting dalam upaya mencegah kecurangan laporan keuangan. Sistem pengendalian

internal merupakan aksioma dalam auditing, yakni sesuatu yang harus ada dan wajib diterapkan

oleh perusahaan. Dengan adanya sistem pengendalian internal maka tindakan kecurangan di

perusahaan akan lebih mudah terdeteksi. Menurut pendapat dari informan 3, sistem pengendalian

internal merupakan bagian dari Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan.

Penerapan Good Corporate Governance berperan penting dalam mencegah peluang terjadinya

fraud sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya, baik dalam bentuk sistem

pengendalian internal itu sendiri, Standar Operasional Prosedur (SOP), atau Prosedur Tetap

(PROTAP).

Page 16: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

16

Menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO)

dalam Albrecht (2012:113), penerapan sistem pengendalian internal yang baik berkaitan dengan

lima komponen utama, yakni lingkungan pengendalian, sistem akuntansi, aktivitas pengendalian,

fungsi monitoring atau pengawasan, serta penerapan informasi dan komunikasi yang baik.

Penerapan sistem pengendalian internal harus mampu meminimalisir praktik-praktik kecurangan

yang terjadi, salah satunya yakni dengan melakukan pengawasan melalui fungsi audit internal.

Penerapan audit internal berkaitan dengan menjalankan fungsi monitoring atau pengawasan pada

entitas yang bersangkutan. Informan 2 berpendapat bahwa setiap perusahaan harus memiliki audit

internal secara permanen serta harus mengauditkan laporan keuangannya secara berkala untuk

mengurangi tingkat keterjadian fraud. Pendapat ini juga sejalan dengan komentar dari informan 4

bahwa audit internal bertanggung jawab kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham untuk

melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pihak manajemen. Dari uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa audit internal mempunyai peranan penting dalam menemukan kejanggalan atau

indikasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di dalam perusahaan. Audit internal harus

melakukan internal check secara berkala sehingga kemungkinan adanya praktik-praktik kecurangan

akan dapat ditelusuri lebih jauh. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah cuplikan wawancara dari

informan 4.

“Semakin bagus sistem maka kemungkinan-kemungkinan untuk terjadi fraud itu akan

semakin kecil ya. Kalau sistemnya bagus, kemudian tadi ada lingkungan kerja yang

positif, yang baik, yang membuat mereka merasa puas bekerja disitu, itu sifatnya juga

yang mampu mengendalikan terjadinya kecurangan-kecurangan apa kolusi dengan

terutama karyawan, untuk kemudian bareng-bareng melakukan kecurangan misalkan

gitu ya. Sekali lagi, sistem dan audit itu memang perlu, audit internal. Ada beberapa

kejadian juga massive, ya lumayan massive, karena beberapa karyawan kemudian

bekerja sama sampai di jajaran top management, kemudian melakukan semacam

teamwork, bekerja sama padahal yang nggak benar, dan ditemukan karena ada audit

internal. Audit internal yang menemukan kejanggalan-kejanggalan itu, karena mereka

kan menelusuri sepanjang ini ya, audit internal kan setiap bulan harus bikin report,

yaitu kegiatan dalam bulan itu. Kalau kita sebagai auditor eksternal kan tidak bisa

memperhatikan sampai sedetail atau sedalam itu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2

Mei 2014)

Dalam upaya mencegah kecurangan laporan keuangan, penerapan sistem pengendalian

internal dan audit internal harus didampingi dengan peranan individu-individu di dalamnya, baik

karyawan, manajemen, maupun pemilik. Berkaitan dengan uraian tersebut, informan 1 menjelaskan

bahwa penerapan sistem pengendalian internal yang baik berkaitan dengan kualitas pemilik

perusahaan. Kualitas pemilik dapat dilihat dari manajemen dan iklim bisnisnya yang baik, sehingga

hal tersebut menjadi sebuah sinyal bahwa perusahaan tersebut baik. Disamping itu, penerapan

sistem pengendalian internal memiliki hubungan yang saling melengkapi dengan individu-individu

di dalamnya, sehingga kedua hal tersebut perlu diperbaiki kualitasnya. Berkaitan dengan penjelasan

tersebut, berikut ini adalah cuplikan wawancara dari informan 5.

“Kalau menurut saya, upayanya itu yang diperbaiki ada dua, individu-individu yang

ada di perusahaan dan bagaimana sistem perusahaan itu. Itulah pada intinya. Kalau

misalnya, meskipun individu di dalam perusahaan itu orang bagus semua tapi

sistemnya yang bisa memunculkan tindakan-tindakan fraud, pasti akan ada juga

tindakan-tindakan fraud. Begitu juga sebaliknya, seandainya di sistemnya sudah bagus

tapi orang-orang di dalamnya tidak mempunyai nilai mau menjaga perusahaan, itu

pasti akan ada juga tindakan-tindakan fraud. Intinya hanya itu saja, hanya ada sistem

dan individu-individu yang ada di dalam.” (Informan 5, wawancara tanggal 8 Mei

2014)

Page 17: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

17

Sedangkan menurut pendapat dari informan 2, secara teoritis sistem pengendalian internal

dapat mengurangi opportunity atau kesempatan terjadinya fraud. Perlu diketahui bahwa kesempatan

tersebut dapat terjadi karena adanya kelemahan sistem, yakni ada oknum yang tidak bertanggung

jawab akan memanfaatkan kelemahan sistem tersebut untuk melakukan kecurangan. Oleh karena

itu, kualitas dari sistem pengendalian internal harus terus ditingkatkan, utamanya pada sistem

informasi akuntansi karena bagian tersebut sangat rawan terhadap praktik-praktik kecurangan.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa pendapat dari auditor eksternal mengenai upaya-

upaya yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya kecurangan laporan keuangan.

“Orang melakukan fraud karena ada kesempatan, kesempatannya dikurangi dengan

cara apa? Tidak ada ruang yang cukup untuk melakukan itu karena prosedurnya sudah

benar, monitoringnya bagus, dokumentasinya bagus, ada pengecekan, ada sistem

otorisasi yang berjalan.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014)

“Cara menerapkannya ya ada pemisahan fungsi pencatatan, pelaksanaan, dan

penyimpanan, jadi masing-masing fungsi tidak dijalankan oleh orang yang sama.

Selain itu juga ada perencanaan anggaran atau budgeting perusahaan, fungsinya untuk

melihat bagaimana realisasinya, serta mengetahui apakah ada penyimpangan.”

(Informan 1, wawancara tanggal 16 April 2014)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adanya sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi,

fungsi dokumentasi, perencanaan, dan monitoring juga turut membantu mengurangi kesempatan

terjadinya praktik kecurangan laporan keuangan. Upaya tersebut termasuk dalam salah satu

komponen sistem pengendalian internal, yakni menerapkan aktivitas pengendalian yang baik.

Menerapkan aktivitas pengendalian yang baik ditandai dengan adanya sistem pemisahan tugas

(tidak ada seseorang yang merangkap tugas), adanya sistem otorisasi yang tepat sehingga pihak

yang berwenang adalah individu yang memang memiliki izin untuk menyelesaikan tugas-tugas

tertentu, melakukan pengamanan fisik, menerapkan sistem pemeriksaan independen, rotasi

pekerjaan, serta memiliki sistem pencatatan dokumen yang dapat memberikan jejak-jejak audit

sehingga mampu mendeteksi aktivitas dan transaksi dokumen yang mencurigakan. Disamping itu,

apabila perusahaan sudah melakukan sosialisasi terhadap sistem yang diterapkan, maka seseorang

tidak akan bisa mengelak jika melakukan suatu tindakan kecurangan karena aturan tersebut

memang sudah jelas. Perusahaan cukup membandingkan saja antara aktivitas yang dilakukan

dengan aturan yang ada, apakah terjadi penyimpangan atau tidak.

Informan 2 juga menjelaskan bahwa menerapkan standar akuntansi yang bagus juga dapat

meminimalisir potensi atau resiko terjadinya tindakan kecurangan. Hal tersebut berkaitan dengan

pengendalian terhadap sistem akuntansi. Perlu diketahui bahwa bentuk kecurangan laporan

keuangan yang dilakukan perusahaan pada umumnya adalah manipulasi angka-angka akuntansi,

sebagai contoh yakni overstatement atau understatement pada pos-pos tertentu. Hal tersebut dapat

terjadi karena ada oknum-oknum tertentu yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan

manipulasi dengan memanfaatkan kelemahan standar akuntansi. Terkait dengan permasalahan

tersebut, berikut ini adalah komentar dari informan 2 tentang bagaimana penerapan standar

akuntansi yang bagus.

“Tentu perlu adanya standar yang bagus. Standar yang bagus itu artinya ya standar

yang bersifat konservatif, jadi standar yang hati-hati, tingkat konservativismenya

tinggi, itu akan lebih membantu mengurangi fraud.” (Informan 2, wawancara tanggal

20 April 2014)

Dari cuplikan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar akuntansi yang bagus

adalah standar yang memiliki tingkat konservativisme yang tinggi. Jadi standar akuntansi tersebut

harus memiliki kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian yang terjadi dalam aktivitas

Page 18: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

18

ekonomi dan bisnis. Dengan demikian, standar akuntansi yang bagus dinilai dapat membantu

mengurangi potensi terjadinya kecurangan pada laporan keuangan.

b. Peningkatan Kualitas Individu

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, peningkatan kualitas individu dalam perusahaan

juga berperan dalam upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan. Kualitas dari seorang

karyawan tidak hanya dilihat dari aspek kompetensinya saja, melainkan juga aspek moralitasnya.

Aspek moralitas dapat ditinjau dari bagaimana mentalnya dalam bekerja, tingkat kejujurannya, serta

pemahaman terhadap nilai-nilai spiritualitas. Akan tetapi, kondisi yang terjadi pada saat ini sangat

dipengaruhi oleh ideologi atau sistem ekonomi yang tengah berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis

materialis. Kondisi tersebut juga menjadi faktor pendorong timbulnya berbagai tindakan

kecurangan, dimana seseorang akan lebih menghargai harta dan materi semata sehingga akan

melakukan berbagai cara untuk memperkaya diri.

Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 2 bahwa tindakan fraud yang dilakukan oleh

individu juga tidak terlepas dari adanya proses rasionalisasi dan sifat dasar manusia yang selalu

merasa kurang atau tamak (greedy). Oleh karena itu, informan 2 berpendapat bahwa salah satu cara

untuk mengurangi hal-hal tersebut berkaitan erat dengan aspek hukum, etika, dan pendidikan.

Terkait dengan permasalahan tersebut, informan 4 juga berpendapat bahwa membangun

budaya religius yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual sangat diperlukan bagi perusahaan.

Menanamkan nilai-nilai spiritual harus berpedoman pada awareness Ketuhanan. Awareness

Ketuhanan dapat memberikan pemahaman bagi seseorang bahwa segala perbuatan tidak hanya

dipertanggungjawabkan pada stakeholder atau pemilik perusahaan, tetapi juga kepada Tuhan

sehingga seseorang akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan bertindak.

“Kalau sesama teman bikin komunitas deh, misalkan kalau di perusahaan itu bikin

komunitas kan bisa agamanya macam-macam. Bikin deh komunitas tiap Jumat,

misalkan kalau teman-teman yang muslim yuk kumpul, ada pengajian yang kecil-

kecilan. Atau kalau yang non muslim kumpul kapan untuk bikin komunitasnya sendiri

aja, dibikin komunitas-komunitas untuk bisa meningkatkan religiusitas mereka.”

(Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014)

c. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif

Menciptakan lingkungan kerja yang positif dinilai dapat meminimalisir tingkat keterjadian

tindakan kecurangan, khususnya kecurangan laporan keuangan. Informan 4 berpendapat bahwa

menciptakan lingkungan kerja yang positif merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan

kenyamanan kerja karyawan sehingga dapat meningkatkan dan memaksimalkan kualitas kerja.

“Menciptakan lingkungan kerja yang positif ya, orang bekerja dengan baik itu kan

salah satu faktor pendukungnya lingkungan yang bagus, atau lingkungan yang baik.

Kalau di lingkungan tempat dia bekerja dia merasa nggak nyaman, dia merasa nggak

happy, dan sebagainya, ya pasti nggak maksimal juga kerjanya, nggak optimal juga dia

bekerja. Lingkungan yang positif ya mesti perlu dibangun, sehingga kenyamanan

bekerja, kepuasan dia bekerja juga akan bertambah. Kemungkinan-kemungkinan untuk

dia melakukan sesuatu yang tidak sesuai, sesuatu yang di luar koridor, akan menjadi

lebih terkontrol.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014)

Secara umum, upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif

adalah melalui penerapan prosedur dan kebijakan operasional yang positif pula. Berkaitan dengan

penerapan prosedur dan kebijakan operasional tersebut, salah satu contohnya yakni tanggung jawab

perusahaan untuk memberikan pembayaran gaji yang layak dan memadai bagi karyawan. Hal ini

sesuai dengan pendapat dari informan 2 bahwa pembayaran gaji yang mencukupi juga dapat

memberikan kontribusi positif terhadap upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan.

Disamping itu, adanya ketidakpastian mengenai standar keamanan pekerjaan dalam prosedur

Page 19: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

19

operasional perusahaan juga dapat mendorong terjadinya tindakan kecurangan. Hubungan antara

penerapan standar keamanan pekerjaan dengan potensi keterjadian fraud akan dijelaskan melalui

cuplikan wawancara dengan informan 2 berikut ini.

“Kalau menciptakan lingkungan kerja yang positif tidak hanya soal, mohon maaf,

mengenai lingkungan fisiknya. Jadi dari segi keamanan seorang pekerja itu bisa

terkena beberapa kemungkinan, mungkin kecelakaan kerja karena penataan mesin yang

semrawut, tanpa ada perlindungan, utamanya prosedur-prosedur perlindungan. Kalau

bekerja di perusahaan Jepang itu, sepatunya aja diatur. Kalau misalnya bekerja di

bagian mobil atau motor, sepatunya itu yang harus kalau kejatuhan benda itu nggak

apa-apa. Kalau kerja yang di bahan kimia, ya yang harus lengkap alatnya. Supaya

apa? Supaya orang nanti, yang kaitannya dengan fraud, jangan sampai orang itu

kemudian terpaksa ada tekanan untuk melakukan fraud gara-gara mungkin pernah

injury, luka, dan sebagainya itu ya. Kalau sudah diluar kemampuan, apalagi

menanggung biaya kesehatan mahal.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014)

Selain menerapkan prosedur dan standar perlindungan, perusahaan juga perlu memberikan

keamanan secara sosial untuk membangun fungsi pengawasan dan menjalin komunikasi antar

stakeholder perusahaan. Salah satu caranya yakni dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sederhana

seperti yang dijelaskan oleh informan 2 berikut ini.

“Kemudian juga keamanan secara sosial, dalam artian misalnya ada semacam event-

event tertentu yang bisa mempertemukan, gathering lah istilahnya, antar bagian dari

perusahaan besar, ya antar bagian ada yang saling kenal, itu akan membentuk suatu

lingkungan kerja yang kondusif. Tetapi kalau sendiri-sendiri semua, ya misalnya satu

bagian berpikir sendiri, saling nggak kenal gitu, maka menjadi sulit untuk saling

mengawasi.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014)

d. Prosedur Perekrutan Karyawan

Prosedur perekrutan karyawan yang baik juga dinilai dapat meminimalisir resiko keterjadian

tindakan kecurangan. Menurut pendapat dari para auditor eksternal, prosedur perekrutan karyawan

merupakan hal yang penting karena bertujuan untuk menjaring karyawan yang profesional dan

memiliki etos kerja yang tinggi. Dengan demikian, melalui prosedur perekrutan tersebut diharapkan

perusahaan akan mendapatkan karyawan yang berkualitas sehingga dapat menghasilkan output

yang bagus pula.

“Termasuk juga kalau sistem recruitmentnya itu yang bagus untuk memilih orang, saya

kira tekanan hanya pada kompetensi itu seharusnya mulai dipikirkan. Tidak hanya itu,

jadi kalau mungkin bisa dikatakan dengan jujur barangkali ya harus. Kalau mau

merekrut orang itu juga tidak hanya melihat aspek kompetensinya, tetapi juga

amanahnya, kejujuran. Kalau kompetensi saja ya tidak ada jaminan lho. Orang kalau

pintar tetapi kalau tidak jujur ya bahaya.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April

2014)

Secara umum, perusahaan tentu memiliki prosedur standar dalam merekrut calon

karyawannya, selain untuk menilai aspek kompetensinya tetapi juga aspek kejujurannya. Hal ini

sejalan dengan pendapat dari informan 3 bahwa perusahaan pasti akan merekrut karyawan yang

jujur serta memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Untuk menilai aspek-

aspek tersebut, perusahaan membutuhkan peranan dari psikolog, karena hal tersebut masuk ke

dalam lingkup psikologi, sebagai contoh yakni melalui tes psikologi. Pendapat tersebut juga sejalan

dengan komentar dari informan 4 bahwa hasil tes psikologi juga dapat membantu perusahaan untuk

menjaring karyawan-karyawan yang jujur dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Namun, perlu diketahui bahwa ketika perusahaan sudah menerapkan prosedur perekrutan

karyawan yang baik dan memenuhi standar, hal tersebut masih .belum menjamin apabila di

Page 20: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

20

dalamnya terdapat proses nepotisme. Hal tersebut disampaikan oleh informan 5 bahwa prosedur

perekrutan karyawan yang pada awalnya sudah tidak jujur, ada proses nepotisme, atau ada kasus

penyuapan supaya bisa diterima menjadi karyawan, hal tersebut juga dapat menimbulkan potensi

terjadinya tindakan kecurangan.

e. Pelatihan Fraud Awareness

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, pelatihan fraud awareness atau kesadaran

terhadap tindakan kecurangan juga cukup penting dalam mencegah tindakan kecurangan. Pelatihan

fraud awareness harus diterapkan seluas-luasnya kepada seluruh stakeholder perusahaan. Informan

2 berpendapat bahwa dengan mengadakan pelatihan fraud awareness maka seseorang akan

mendapatkan pengetahuan seputar gejala-gejala fraud (red flags), sehingga orang tersebut akan

memiliki kepekaan terhadap indikasi terjadinya kecurangan serta akan lebih siap dalam menyusun

langkah-langkah pencegahan sebelum tindakan fraud terjadi.

“Kalau orang itu tahu mengenai gejala-gejala pada fraud harapannya adalah dia bisa

menjadi semacam orang yang memiliki kepekaan, sehingga kalau ada gejala yang

menuju kesana, sebelum terjadi bisa dicegah.” (Informan 2, wawancara tanggal 20

April 2014)

Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 4 bahwa pelatihan fraud awareness selain

dapat diberikan kepada karyawan biasa tetapi juga kepada pihak-pihak yang berkewajiban untuk

melakukan pemeriksaan seperti auditor eksternal. Informan 4 juga berpendapat bahwa memberikan

pelatihan fraud awareness di perusahaan akan dinilai lebih efektif jika diberikan kepada auditor

internal yang memang bertugas untuk melakukan pemeriksaan di perusahaan tersebut. Untuk lebih

jelasnya, berikut ini adalah komentar dari informan 4 seputar pelatihan fraud awareness yang

sebaiknya dilakukan oleh perusahaan.

“Cuma ada kekhawatiran juga ya, kalau mereka tahu fraud itu seperti, oh ternyata kita

mendeteksi fraud seperti ini, bisa jadi hal itu dijadikan ilmu oleh mereka untuk

melakukan fraud, ya karena mereka sudah tahu ilmunya tentang fraud. Tapi ya, kalau

kita mungkin di kantor akuntan itu menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan,

karena kita kan melakukan pemeriksaan. Tapi kalau di perusahaan saya lebih

setujunya, at least dilakukan pada auditor internalnya, karena kepentingan mereka

untuk menelusuri bahwa itu terjadi fraud atau tidak terjadi fraud. Tapi kalau untuk

karyawan mungkin pengetahuan umumnya, wacana dasarnya sih boleh, tapi kalau

untuk sampai mendalam sepertinya tidak perlu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2

Mei 2014)

Pelatihan fraud awareness memang dinilai cukup penting dalam mencegah dan

meminimalisir resiko terjadinya tindakan kecurangan, namun pelatihan tersebut sebaiknya lebih

diberikan kepada pihak-pihak yang memang berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan seperti

auditor eksternal atau auditor internal, sehingga pihak-pihak tersebut akan memiliki kesadaran

(awareness) terhadap gejala-gejala fraud yang terjadi. Apabila sudah memiliki kesadaran atau

kepekaan terhadap gejala-gejala fraud, maka pihak-pihak tersebut akan memiliki kesiapan terhadap

resiko yang muncul dengan menyusun prosedur pencegahan yang tepat. Disamping itu, informan 4

juga berpendapat bahwa apabila perusahaan tetap menghendaki untuk mengadakan pelatihan fraud

awareness kepada karyawan, maka pelatihan tersebut sebaiknya hanya sekedar memberikan

pemahaman dan pengetahuan dasar tentang tindakan kecurangan saja, jadi tidak bersifat mendalam

dan menyeluruh supaya tidak ada oknum yang sengaja memanfaatkan kesempatan untuk melakukan

tindakan kecurangan karena telah mengetahui bagaimana strategi dalam mendeteksi tindakan

kecurangan tersebut.

Page 21: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

21

f. Program Bantuan Karyawan

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, program bantuan karyawan merupakan upaya

yang sangat penting karena dapat memberikan kontribusi dalam meminimalisir resiko terjadinya

tindakan kecurangan. Program yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya adalah bimbingan

konseling dan team building. Informan 4 menjelaskan bahwa program tersebut berkaitan dengan

pemberian bantuan secara psikologis bagi karyawan. Selain dapat mencurahkan segala

permasalahan yang dihadapi, karyawan juga akan mengalami perubahan motivasi dan cara berpikir

dalam bekerja. Dengan demikian, apabila karyawan telah menemukan solusi atas permasalahan

yang dihadapi, maka karyawan akan kembali bersemangat dalam bekerja, kualitas kerja meningkat,

sehingga potensi terjadinya tindakan kecurangan secara otomatis juga berkurang.

“Ya perlu lah dilakukan, karena kan karyawan punya masalahnya sendiri. Kadang-

kadang mungkin dia nggak bisa cerita, tapi ketika ada bantuan seperti itu tadi,

konseling, team building, kan dia mesti punya perubahan motivasi, perubahan cara

berpikir, semacam itu bantuan secara psikologis.” (Informan 4, wawancara tanggal 2

Mei 2014)

Pendapat tersebut juga sejalan dengan komentar dari informan 5 bahwa penerapan program

bantuan karyawan seperti bimbingan konseling juga dapat membantu karyawan dalam menemukan

solusi atas permasalahan yang dihadapi. Pembangunan team building juga dapat dilakukan sebagai

media refreshing bagi karyawan setelah penat bekerja, walaupun kegiatan team building dinilai

masih jarang dilakukan oleh setiap perusahaan.

g. Pengawasan terhadap Karyawan dan Whistleblowing System

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, pengawasan terhadap karyawan merupakan

upaya yang penting karena hal tersebut berkaitan dengan praktik-praktik kolusi yang dapat

dilakukan oleh masing-masing karyawan. Praktik kolusi yang dilakukan secara tidak sehat akan

menimbulkan collusive fraud.

Informan 1 menjelaskan bahwa praktik kolusi cukup sulit untuk dideteksi karena di dalamnya

terdapat unsur kerjasama dan melibatkan banyak pihak. Pendapat tersebut juga sejalan dengan

komentar dari informan 2 bahwa praktik kolusi adalah suatu tindakan kecurangan yang dilakukan

secara berjamaah dimana masing-masing pihak akan saling memberi dukungan satu sama lain.

“Sebenarnya ya mbak, fraud yang paling aman itu kalau bisa dilakukan sendiri. Tetapi

dalam praktiknya, kalau sistem pencatatan dan pelaporan, sistem informasi bagus di

organisasi, seperti itu juga akan ketahuan pada akhirnya, karena akan ada internal

check dari pihak lain. Oleh karena itu, lalu istilanya, slogannya jadi berubah, kalau

begitu yang paling aman adalah melakukan fraud yang dilakukan secara berjamaah,

dimana masing-masing pihak saling mendukung.” (Informan 2, wawancara tanggal 20

April 2014)

Untuk mengurangi tingkat keterjadian fraud yang disebabkan oleh praktik kolusi yang tidak

sehat, perusahaan membutuhkan adanya whistleblowing system atau sistem peniup peluit yang

memungkinkan bagi para whistleblower untuk melaporkan adanya tindakan kecurangan. Menurut

pendapat dari informan 2, praktik whistleblowing system di dalam perusahaan mungkin saja ada,

namun jarang sekali yang diformalkan dalam bentuk peraturan. Biasanya praktik whistleblowing

system dilakukan melalui orang-orang kepercayaan untuk menjadi informan atas tindakan

kecurangan yang terjadi.

“Whistleblowing itu sebenarnya kalau di perusahaan, mungkin tidak pernah ada, atau

istilahnya jarang, atau mungkin hanya sedikit yang diformalkan. Tapi mungkin dalam

praktik selalu ada, diformalkan mungkin jarang bikin peraturan yang khusus,

barangsiapa yang melaporkan terjadinya fraud yang dilakukan oleh orang lain maka

Page 22: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

22

akan mendapat ini atau itu, mungkin kalau menurut saya jarang ada peraturan seperti

itu.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014)

Namun, penerapan whistleblowing system juga belum menjamin dapat meminimalisir

tindakan kecurangan. Informan 5 menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak memiliki keberanian

untuk mengungkapkan praktik-praktik tersebut maka whistleblowing system tidak akan bisa

berjalan. Terlebih lagi jika tindakan kecurangan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak atas, maka

pihak-pihak bawah tentu akan memiliki keraguan dan sikap was-was ketika melihat suatu tindakan

kecurangan, sebaiknya dilaporkan atau tidak, karena mungkin saja keragu-raguan tersebut timbul

karena ada kekhawatiran untuk dipecat dan sebagainya. Oleh karena itu, penanaman nilai moral dan

spiritual memang sangat penting untuk dilakukan.

h. Menciptakan Ekspektasi Hukuman

Menciptakan ekspektasi hukuman berkaitan dengan pembuatan serangkaian kebijakan yang

tegas untuk meminimalisir tindakan kecurangan serta melawan segala bentuk ketidakjujuran. Upaya

tersebut penting untuk dilakukan supaya karyawan memahami betul kebijakan perusahaan serta

mengurangi praktik rasionalisasi. Informan 4 berpendapat bahwa upaya tersebut dapat dilakukan

dengan cara mensosialisasikan kebijakan perusahaan sejelas mungkin, tujuannya agar karyawan

tidak bisa mengelak atau melakukan proses rasionalisasi ketika terbukti melakukan tindakan

kecurangan.

“Reward and punishment itu harus ya, karena kan seseorang akan terpacu untuk

berprestasi kalau ada reward. Seseorang akan merasa tidak berani, ya melakukan

sesuatu yang tidak benar karena ada punishment. Itu harus jelas reward and

punishmentnya. Jadi ketika kita bekerja motivasinya jelas, ketika kita tidak melakukan

sesuatu juga motivasinya jelas gitu. Ada reward ketika kita bekerja baik, ada

punishment ketika kita melanggar.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014)

Informan 4 berpendapat bahwa karyawan akan termotivasi untuk berprestasi apabila

perusahaan memberikan reward yang jelas, sehingga hal ini akan memacu karyawan untuk

meningkatkan kualitas kerjanya. Demikian pula jika karyawan melakukan pelanggaran yang

berkaitan dengan tindakan kecurangan, perusahaan harus memberikan punishment yang tegas agar

kejadian tersebut tidak terulang kembali, atau dengan kata lain dapat memberikan efek jera.

i. Penerapan Fraud Auditing Secara Proaktif

Menurut pendapat dari para auditor eksternal, menerapkan fraud auditing secara proaktif

dapat turut berkontribusi dalam mencegah kecurangan pada laporan keuangan. Informan 1

menjelaskan bahwa fraud auditing termasuk ke dalam special audit atau audit bertujuan khusus.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan audit ada dua, yakni audit bertujuan umum

dan audit bertujuan khusus. Dalam menjalankan profesinya, auditor eksternal harus memperhatikan

lingkup penugasannya, apakah hanya sekedar menyampaikan opini wajar tidaknya laporan

keuangan (general audit) atau memperluas pemeriksaan apabila telah terjadi tindakan kecurangan

(special audit). Lingkup penugasan yang akan dijalankan oleh auditor eksternal tergantung pada

asumsi yang telah diberikan sebelumnya.

“Kalau dalam pemeriksaan umum diasumsikan bahwa auditor belum punya privilage

jika ada kecurangan, jadi masih berpikir positif, hanya sebatas pada opini yang

dikeluarkan apakah wajar atau tidak wajar. Lain halnya jika sebelumnya telah ada

asumsi, misalnya di bagian ini ada kecurangan seperti ini, maka fokusnya lebih ke

special audit.” (Informan 1, wawancara tanggal 16 April 2014)

Disamping itu, informan 5 juga menjelaskan bahwa apabila perusahaan dinilai cukup

kooperatif dalam menerapkan fraud auditing, maka hal tersebut akan sangat membantu bagi auditor

eksternal dalam upaya penggalian informasi untuk keperluan pendeteksian kecurangan yang lebih

Page 23: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

23

dalam. Jadi perusahaan akan bersikap terbuka dalam memberikan informasi dan fakta-fakta yang

ada. Sebagai contoh, perusahaan dapat berkontribusi dengan memberikan keleluasaan bagi auditor

eksternal untuk mewawancarai atau menginterogasi karyawannya. Auditor eksternal akan dapat

melihat sinyal-sinyal yang janggal dari kondisi psikologis karyawan ketika sedang diwawancarai.

Hal tersebut akan mendorong karyawan untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya sehingga

kasus-kasus kecurangan yang terjadi di perusahaan tersebut dapat segera terungkap.

6. Upaya Pencegahan yang Harus Diutamakan oleh Perusahaan

Berdasarkan hasil wawancara dengan para auditor eksternal, upaya pencegahan yang harus

diutamakan oleh perusahaan adalah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik,

diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala,

menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi

dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar

yang bagus dan konservatif. Sistem pengendalian internal harus ditingkatkan kualitasnya serta

diperbaiki kelemahannya. Dengan demikian, sistem pengendalian internal akan dapat

meminimalisir kecurangan laporan keuangan, terutama melalui pengendalian akuntansinya karena

bagian tersebut sangat rawan terhadap praktik kecurangan atau manipulasi. Disamping itu, perlu

diketahui bahwa kecurangan laporan keuangan pada umumnya dilakukan oleh pihak manajemen,

jadi lingkupnya sangat terbatas. Jarang sekali ditemukan kasus kecurangan laporan keuangan yang

dilakukan secara individual, jika ada pasti yang melakukan adalah pihak-pihak yang memang

bertugas di bagian keuangan atau akuntansi, atau bagian yang menangani laporan keuangan secara

langsung.

Namun, informan 3 menjelaskan bahwa sistem pengendalian internal dapat rusak karena tiga

kelemahan. Kelemahan yang pertama yakni sistem pengendalian internal yang kuat belum

menjamin dapat meminimalisir tindakan kecurangan jika di dalamnya terdapat banyak sekali

praktik kolusi yang sifatnya negatif. Kelemahan yang kedua yakni sistem pengendalian internal

dinilai tidak dapat berjalan dengan efektif jika prosedurnya terlalu panjang sehingga akan

membutuhkan waktu penyelesaian yang lama dan biayanya yang tidak sedikit, padahal sistem yang

baik itu adalah sistem yang prosedurnya sederhana, informasinya cepat, aman dan biayanya murah,

dalam artian murah itu antara biaya yang dikeluarkan sebanding dengan resiko-resiko kecurangan

yang berhasil untuk dikurangi. Kemudian kelemahan yang ketiga yakni karena adanya faktor

kelemahan manusia yang menyebabkan orang tersebut tidak mengacu lagi pada sistem ketika

menyelesaikan pekerjaannya.

“SPI itu kan ada tiga kelemahan. Kelemahannya itu, dia bisa rusak karena ada

kolusi.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014)

“Yang kedua, kalau kita mau terlalu kuat di dalam kontrol itu biasanya waktu

penyelesaiannya mbulet dan biayanya mahal. Wong perlu orang-orang yang ingin

terpisah dari ini dan seterusnya itu kan nambah personil, terus biayanya kan mahal,

prosedurnya kan panjang. Padahal sistem yang baik itu kan sistem yang cepat, aman,

dan murah, yang cepat informasinya, yang aman untuk mengamankan harta, dan itu

biayanya murah. Murah artinya antara resiko dengan biaya yang dikeluarkan itu

lebih banyak yang di eliminir daripada biaya yang dikeluarkan.” (Informan 3,

wawancara tanggal 26 April 2014)

“Yang ketiga itu kadang-kadang kelemahan manusia. Misalnya ngantuk, sepuluh ribu

ditulis seratus ribu, kan itu bisa, seratus ribu ditulis sepuluh ribu, nolnya kurang, itu

kan juga salah satunya.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014)

Sistem pengendalian internal tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dapat merusak

sistem itu sendiri. Sekuat apapun sistem yang diterapkan, tetapi jika perusahaan tidak peka terhadap

hal-hal yang dapat merusaknya, maka sistem tersebut tidak akan memberikan kontribusi dalam

Page 24: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

24

mencegah tindakan kecurangan, atau justru dapat mendorong oknum-oknum tertentu untuk

melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan sistem yang ada. Oleh karena itu,

kelemahan tersebut sebisa mungkin harus dikurangi, salah satunya yakni dengan cara melakukan

evaluasi secara berkala.

“Sistem pun tidak sekali buat ya. Sistem itu dibuat ketika awal mau ada aktivitas

perusahaan. Cuma kan kemudian harus ada evaluasi terhadap sistem. Selama sekian

waktu harus dilihat apakah sistem ini efektif, jalan atau tidak, apakah masih ada celah

kecurangan atau tidak. Jadi ada evaluasi terhadap sistem itu, supaya semakin lama,

semakin bagus sistem yang dibuat, pengendalian internal atas kekayaan perusahaan

itu semakin baik.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014)

“Ada evaluasi terhadap sistemnya juga. Perusahaan bertumbuh, kompleksitas

aktivitas juga bertambah, kan nggak mungkin sistem yang dibuat 10 tahun yang lalu

kemudian tidak ada evaluasi masih dipakai aja, ya bakal ada bocornya juga kalau

kayak gitu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014)

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai persepsi auditor eksternal tentang determinan atau

upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah

sebagai berikut:

1. Kecurangan laporan keuangan tidak terlepas dari tindakan memanipulasi data-data akuntansi

serta mempunyai cakupan yang cukup luas. Tindakan tersebut dapat terjadi di berbagai

entitas, baik di perusahaan perseorangan maupun perusahaan terbuka. Disamping itu,

kecurangan laporan keuangan juga dapat dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain karyawan

individual, pihak manajemen (management fraud), maupun pemilik perusahaan.

2. Berdasarkan pengalaman auditor eksternal dalam mengaudit laporan keuangan, kasus

kecurangan yang pernah ditemui adalah masalah perpajakan serta penyelewengan terhadap

uang pembelian aset. Disamping itu, kecurangan laporan keuangan yang masih sering terjadi

pada saat ini adalah kasus manipulasi pajak.

3. Menerapkan sistem pengendalian internal yang baik merupakan upaya pencegahan yang harus

diutamakan oleh perusahaan, diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk

melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem

pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta

pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan konservatif. Namun,

perusahaan harus mewaspadai tiga kelemahan yang dapat merusak sistem, yakni adanya

praktik kolusi yang negatif, prosedur yang terlalu panjang, serta faktor kelemahan manusia.

Untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan tersebut, sistem harus ditinjau tingkat

keefektifannya, diperbaiki, serta ditingkatkan kualitasnya dengan melakukan evaluasi secara

berkala.

4. Upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan yang lainnya:

- Penyelenggaraan kegiatan sederhana yang berhubungan dengan penanaman nilai-nilai

religiusitas seperti pengajian atau komunitas keagamaan yang bertujuan untuk mengasah

aspek moral dan spiritualitas karyawan yang berlandaskan pada awareness Ketuhanan.

- Pemberian gaji yang layak serta menerapkan standar keamanan pekerjaan yang jelas,

bertujuan untuk meningkatkan kepuasan dan kualitas kerja dari karyawan. Apabila

karyawan merasa nyaman dalam pekerjaannya maka kemungkinan-kemungkinan

terjadinya tindakan kecurangan akan lebih terkontrol.

- Penerapan prosedur perekrutan karyawan yang bagus serta didampingi dengan pengadaan

tes psikologi, bertujuan untuk menjaring calon karyawan yang menguasai aspek

Page 25: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

25

kompetensi serta memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Namun, hal tersebut perlu

diwaspadai jika dari awal proses perekrutan sudah terdapat praktik nepotisme.

- Memberikan pelatihan fraud awareness secara luas, tujuannya supaya seluruh stakeholder

perusahaan memiliki kepekaan sebelum tindakan kecurangan terjadi. Namun, pelatihan

tersebut akan lebih efektif jika diberikan kepada pihak yang memang bertugas untuk

melakukan pemeriksaan seperti auditor eksternal atau auditor internal.

- Pengadaan bantuan psikologis seperti konseling dan team building, karena melalui fasilitas

tersebut karyawan akan dapat menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi. Setelah

mendapatkan solusinya, diharapkan karyawan akan mengalami perubahan motivasi serta

cara berpikir dalam bekerja.

- Penerapan whistleblowing system yang bertujuan untuk mengawasi karyawan serta

meminimalisir collusive fraud. Secara praktik, whistleblowing system dalam perusahaan

memang ada, namun jarang sekali yang diformalkan dalam bentuk peraturan.

- Mensosialisasikan kebijakan tertentu, tujuannya supaya karyawan tidak bisa mengelak

apabila melakukan pelanggaran dengan alasan kebijakan belum disosialisasikan. Apabila

karyawan terbukti telah melakukan tindakan kecurangan maka perusahaan akan dapat

memberikan punishment yang berlaku, sehingga sistem reward and punishment dalam

perusahaan harus jelas.

- Melaksanakan fraud auditing secara proaktif dan bersikap kooperatif, karena hal tersebut

dapat membantu auditor eksternal untuk keperluan penggalian informasi serta dapat segera

mengungkap kasus kecurangan yang terjadi.

2. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian merupakan kelemahan-kelemahan yang disadari oleh peneliti selama

melakukan proses penelitian dan penting untuk dikemukan, terutama untuk penelitian selanjutnya

yang mengacu pada penelitian ini. Adapun keterbatasan yang terdapat pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Pihak yang dilibatkan sebagai informan penelitian hanya auditor eksternal, sehingga saran-

saran yang diberikan mengenai upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan hanya

berdasarkan pada sudut pandang pihak eksternal perusahaan. Oleh karena itu, auditor internal

dapat dijadikan sebagai informan utama untuk penggalian informasi yang lebih dalam, karena

auditor internal dinilai lebih berpengalaman dalam menangani kasus kecurangan yang ada

dalam suatu perusahaan.

2. Terdapat sedikit kesulitan dalam menghubungi para auditor eksternal untuk menjadi informan

penelitian karena kesibukan dari masing-masing auditor eksternal yang tidak dapat diprediksi,

sehingga informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini tidak bisa mencakup keseluruhan

perwakilan dari masing-masing Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Malang. Oleh karena

itu, perlu dilakukan komunikasi pada calon informan dengan lebih intensif serta harus sering

melakukan follow up mengenai kesediaan calon informan untuk diwawancarai.

3. Terdapat beberapa determinan atau upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan yang

belum dibahas secara rinci dan mendetail, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi

yang lebih dalam untuk masing-masing determinan, baik melalui wawancara maupun

pendalaman studi pustaka.

3. Saran untuk Penelitian Selanjutnya

1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti secara rinci dan mendalam mengenai

masing-masing determinan pencegahan kecurangan laporan keuangan serta dapat

mengembangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas objek penelitian selain dari auditor

eksternal, misalnya dari persepsi atau sudut pandang auditor internal, manajemen perusahaan,

auditor forensik, maupun akuntan pendidik.

Page 26: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

26

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2012. Auditing: Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan Publik.

Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Albrecht, W. Steve, et al. 2012. Fraud Examination, 4th

Edition, E-Book. USA: South Western

Cengage Learning.

Amrizal. 2004. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor, (Online),

(http://www.stie-mandala.ac.id/, diakses 17 Februari 2014).

Arens, Alvin A. Elder, Randal J. dan Beasley, Mark S. 2001. Auditing dan Pelayanan Verifikasi:

Pendekatan Terpadu, Edisi 9 Jilid 1. Terjemahan Tim Dejacarta. 2003. Jakarta: PT. Indeks.

Associaton of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2014. Report to the Nations on Occupational

Fraud and Abuse, 2014 Global Fraud Study, (Online), (http://www.acfe.com, diakses 26

April 2014).

Bayangkara, IBK. 2008. Audit Manajemen: Prosedur dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Salemba

Empat.

Bierstaker, James L. Brody, Richard G. dan Pacini, Carl. 2006. Accountants’ Perceptions Regarding

Fraud Detection and Prevention Methods. Managerial Auditing Journal, (Online), Volume

21 No. 5, Hal. 520, (http://www.emeraldinsight.com/, diakses 20 Februari 2014).

Boynton, William C. dan Johnson, Raymond N. 2006. Modern Auditing: Assurance Services and

the Integrity of Financial Reporting, 8th

Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Ernst & Young Global Organization in Assurance, Tax, Transaction, and Advisory Services. 2013.

Building a More Ethical Business Environment: Asia-Pacific Fraud Survey 2013. (Online),

(http://www.ey.com/, diakses 21 Maret 2014).

Gibson, James L. Ivancevich, John M. dan Donnely Jr, James H. 1982. Organisasi dan Manajemen:

Perilaku, Struktur, Proses, Edisi 4. Terjemahan Djoerban Wahid. 1997. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Hall, James A. 2004. Sistem Informasi Akuntansi, Edisi 4, Buku 1. Terjemahan Dewi Fitriasari dan

Deny Arnos Kwary. 2009. Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik. 2001. Standar Profesional Akuntan

Publik, Per 1 Januari 2001. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Kotler, Philip. dan Armstrong, Gary. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 12. Terjemahan Bob

Sabran. 2008. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kusumawati, Armadyani. 2013. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas

Audit dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik sebagai Variabel

Moderasi (Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur). Skripsi tidak

diterbitkan. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Lavery, Colleen A. Lindberg, Deborah L. dan Razaki, Khalid A. 2000. Fraud Awareness in a Small

Business. The National Public Accountant, (Online), Volume 45 Issue 6, Hal. 40,

(http://www.proquest.com/, diakses 17 Februari 2014).

Page 27: Persepsi Auditor Eksternal tentang Determinan Pencegahan

27

Messier Jr, William F. Glover, Steven M. dan Prawitt, Douglas F. 2006. Jasa Audit & Assurance:

Pendekatan Sistematis, Edisi 4 Buku 1. Terjemahan Nuri Hinduan. 2006. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Purjono. 2012. Peran Audit Forensik dalam Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Instansi

Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoritis, (Online), (http://www.bppk.depkeu.go.id/, diakses 7

Maret 2014).

Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2009. Manajemen, Edisi 10 Jilid 2. Terjemahan Bob

Sabran dan Devri Barnadi Putera. 2010. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Setiawati, Dewi. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa atas Pelanggaran

Etika Akuntan Publik (Studi Empiris Mahasiswa Program Akuntansi Universitas

Brawijaya). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Brawijaya.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 2011. (Online),

(http://www.iapi.or.id/, diakses 2 Maret 2014).