31
PERKECAMBAHAN DAN DORMANSI LAPORAN PRAKTIKUM Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan Yang dibimbing oleh Drs.Sarwono M.Pd Oleh : Offering C/ Kelompok 4 1. Hanifa Fitria R. (130341614781) 2. Herlizza Basyarotun A. (130341614782) 3. Kiki Elita S. (130341614850) 4. Mayang Puspa Rena (130341614833) 5. Sasty Alvionita (130341614828) 6. Shinta Kumalasari (130341614836) The Learning University UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Perkecambahan Dan Dormansi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fistum

Citation preview

PERKECAMBAHAN DAN DORMANSI

LAPORAN PRAKTIKUM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan

Yang dibimbing oleh Drs.Sarwono M.Pd

Oleh :

Offering C/ Kelompok 4

1. Hanifa Fitria R. (130341614781)2. Herlizza Basyarotun A. (130341614782)3. Kiki Elita S. (130341614850)4. Mayang Puspa Rena (130341614833)5. Sasty Alvionita (130341614828)6. Shinta Kumalasari (130341614836)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

NOVEMBER 2014

A. TOPIK : Perkecambahan dan Dormansi

B. TANGGAL : 1 Oktober 2014 – 29 Oktober 2014

C. TUJUAN :

1. Memahami bahwa tidak semua biji dapat langsung tumbuh apabila dikecambahkan.

2. Menduga kondisi dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik luar maupun dalam.

3. Dormansi dapat dipecahkan dengan beberapa perlakuan

D. DATA PENGAMATAN

1. Biji Selada

a. Biji selada ( direndam dalam air )

Nama

biji

Hari ke Jumlah biji

Selada 1 29

2 37

3 37

4 39

5 39

6 40

7 40

Ulangan kedua

Nama biji Hari ke Jumlah biji

Selada 1 13

2 15

3 20

4 23

5 26

6 29

7 33

Ulangan ketiga

Nama biji Hari ke Jumlah biji

Selada 1 20

2 21

3 23

4 23

5 28

6 29

7 33

b. Biji selada ( direndam urea )

Ulangan pertama

Nama

biji

Hari ke Jumlah biji

Selada 1 0

2 44

3 50

Ulangan kedua

Nama

biji

Hari ke Jumlah biji

Selada 1 0

2 45

3 50

c. Biji Selada ( direndam 2,4 dinitrophenol )

Ulangan pertama

Nama

biji

Hari ke Jumlah biji

Selada 1 1

2 4

3 9

4 12

5 20

6 35

7 50

Ulangan kedua

Nama

biji

Hari ke Jumlah biji

Selada 1 4

2 18

3 23

4 24

5 32

6 43

7 48

2. Biji Padi

a. Biji Padi ( direndam aquades )

Tanggal

N1 N2 N3

TumbuhTidak

TumbuhBusuk Tumbuh

Tidak Tumbuh

Busuk TumbuhTidak

TumbuhBusuk

8 Oktober

201411 39 - 12 38 - 15 35 -

15 Oktober

201424 26 - 22 28 - 27 23 -

22 Oktober

201434 16 - 36 14 - 32 18 -

29 Oktober

201448 - 2 46 - 4 45 - 5

Persentase Pertumbuhan Kecambah Biji Padi

Tanggal Rata-Rata Biji yang Tumbuh Persentase Biji yang Tumbuh

8 Oktober 2014 13 25 %

15 Oktober 2014 24 48 %

22 Oktober 2014 34 68 %

29 Oktober 2014 46 92 %

b. Biji Padi ( tanpa direndam aquades )

Tanggal

N1 N2 N3

TumbuhTidak

TumbuhTumbuh

Tidak Tumbuh

TumbuhTidak

Tumbuh

8 Oktober

2014- - - - - -

15 Oktober

2014- - - - - -

22 Oktober

2014- - - - - -

29 Oktober

2014- - - - - -

3. Umbi Kentang

a. Umbi Kentang dan Aquades

Kentang ke Jumlah Tunas

Minggu ke 2

Keterangan

1 2 Tunas Kecil

2 3 Tunas kecil

3 3 Tunas Kecil

4 2 Tunas Kecil

5 1 Tunas Kecil

Kentang ke Jumlah Tunas

Minggu ke 4Keterangan

1 4 Tunas besar

2 4 Tunas Besar

3 5 Tunas besar

4 4 Tunas sedang

5 3 Tunas sedang

b. Umbi Kentang dan Larutan Thiourea 2%

Kentang keJumlah Tunas

Minggu ke 2Keterangan

1 0 Belum tumbuh Tunas

2 0 Belum Tumbuh Tunas

3 0 Belum Tumbuh Tunas

4 0 Belum Tumbuh Tunas

5 3 Tumbuh tunas kecil

Kentang ke Jumlah Tunas

Minggu ke 4Keterangan

1 0 Masih belum tumbuh tunas

2 1 Tumbuh tunas kecil

3 1 Tumbuh tunas kecil

4 0 Masih belum tumbuh tunas

5 3 Tunas tumbuh semakin membesar

c. Umbi Kentang dan Larutan 1% NAA

Kentang keJumlah Tunas

Minggu ke 2Keterangan

1 8 Tunas Kecil

2 4 Tunas Besar

3 4 Tunas Kecil

4 6 Tunas Kecil

5 6 Tunas Kecil

Kentang ke Jumlah Tunas

Minggu ke 4Keterangan

1 8 Tunas Kecil

2 4 Tunas Besar

3 4 Tunas Kecil

4 6 Tunas Kecil

5 6 Tunas Kecil

E. PEMBAHASAN

1. Biji Selada

Pada percobaan pertama yaitu pengaruh perendaman biji selada (lactuca sativa. L)

dalam aquades terhadap perkecambahan. Pada hari 1 ulangan pertama biji selada yang

mampu berkecambah ada 29, pada ulangan kedua 13. Pada hari 2 ulangan pertama biji

selada yang mampu berkecambah ada 37, ulangan kedua 15. Pada hari 3 ulangan

pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 37, ulangan kedua 20. Pada hari 4

ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 39, ulangan kedua 23. Pada

hari 5 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 39, pada ulangan

kedua 26. Pada hari 6 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 40,

ulangan kedua 29. Pada hari 7 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah

ada 40, ulangan kedua 33. Pada hari pertama hingga 7 mengalami peningkatan jumlah

biji selada yang mengalami perkecambahan, hal ini disebabkan kerena aquades memiliki

fungsi sebagai berikut :

1. melunakkan kulit biji, embrio dan endosperm mengembang sehingga kulit biji

robek

2. memfasilitasi masuknya O2 kedalam biji, air imbibisi pada dinding sel sehingga

sel jadi permeabel terhadap gas. Gas masuk secara difusi sehingga suplai O2 pada

sel hidup meningkat dan pernafasan aktif

3. mengencerkan protoplasma, aktivasi macam-macam fungsinya

4. alat transport larutan makanan dari endosperm/kotiledon ketitik tumbuh di

embryonic axis : untuk membentuk protoplasma baru.

Berdasarkan analisis terdapat korelasi positif antara air yang cukup dan

perkecambahan biji , dimana tidak adanya air memicu dormansi (menghambat

perkecambahan). Normalnya, biji yang matang mengalami desikasi (kekurangan air) dari

yang asalnya 80-90 % menjadi hanya 5%. Desikasi ini diinisiasi oleh hormon asam

absisat. Biji yang kekurangan air ini akan terus dorman sampai terdapat faktor-faktor

yang memicu  perkecambahan. Faktor yang memicu perkecambahan salah satunya

adalah air yang cukup untuk mengisi kembali kekurangan air  pada jaringan biji

(Hopkins, 2008).

Proses rehidrasi jaringan dinamakan imbibisi. Tekanan imbibisi oleh biji yang

berkecambah mengakibatkan kulit biji pecah, sehingga embrio (radikula) bisa keluar.

Imbibisi diikuti oleh aktivasi metabolisme  biji beberapa menit setelah air masuk

(Hopkins, 2008). Jadi, adanya air dapat membuat radikula dapat keluar menembus kulit

biji dan mengaktifkan metabolisme sehingga embrio dapat tumbuh. Tidak adanya air

menyebabkan biji terus mengalami desikasi dan akan tetap mengalami dormansi.

Pada percobaan kedua yaitu pengaruh berbagai zat kimia terhadap perkecambahan

biji selada (Letuca sativa. L). Perlakuan pertama adalah menggunakan 2,4 Dinitropenol,

pada hari 1 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 1, pada ulangan

kedua 4. Pada hari 2 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 4,

ulangan kedua 18. Pada hari 3 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah

ada 9, ulangan kedua 23. Pada hari 4 ulangan pertama biji selada yang mampu

berkecambah ada 12, ulangan kedua 24. Pada hari 5 ulangan pertama biji selada yang

mampu berkecambah ada 20, pada ulangan kedua 32. Pada hari 6 ulangan pertama biji

selada yang mampu berkecambah ada 35, ulangan kedua 43. Pada hari 7 ulangan

pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 50, ulangan kedua 48. Pada hari

pertama hingga 7 mengalami peningkatan jumlah biji selada yang mengalami

perkecambahan. Hal ini dikarenakan penambahan 2,4 Dinitrophenol merupakan salah

satu hormon auksin sintetik yang berfungsi merangsang pertmubuhan akar ( Cistopher,

1992 ). 2,4 2,4- dinitrophenol ( 2,4- DNP ) adalah auksin sintetis, seperti halnya 2,4-

dinitrofenol (2,4-D) sering digunakan secara meluas sebagai  herbisida  tumbuhan.  Pada

Monocotyledoneae, misalnya  :  jagung  dan  rumput lainnya  dapat  dengan  cepat  men

ginaktifkan  auksin  sintetik  ini,  tetapi  pada Dicotyledoneae  tidak  terjadi, bahkan 

tanamannya  mati  karena  terlalu  banyak  dosis hormonalnya. Menyemprot beberapa

tumbuhan serialia ataupun padang rumput dengan 2,4-D, akan mengeliminir gulma

berdaun lebar seperti dandelion.  Auksin akan menstimulasi pertumbuhan hanya pada

kisaran konsentrasi tertentu; yaitu antara : 10-8 M sampai 10-4 M. Pada konsentrasi yang

lebih tinggi; auksin akan menghambat perpanjangan sel, mungkin dengan menginduksi

produksi etilen, yaitu suatu hormon yang pada umumnya berperan sebagai inhibitor pada

perpanjangan sel (George, L.W. 1995).

Auksin akan meningkatkan potensial membran (tekanan melewati membran) dan

menurunkan pH di dalam dinding sel. Pengasaman dinding sel ini, akan mengaktifkan

enzim yang disebut ekspansin; yang memecahkan ikatan hidrogen antara mikrofibril

sellulose, dan melonggarkan struktur dinding sel. Ekspansin dapat melemahkan integritas

kertas saring yang dibuat dari sellulose murni. Penambahan potensial membran, akan

meningkatkan pengambilan ion ke dalam sel, yang menyebabkan pengambilan air secara

osmosis. Pengambilan air, bersama dengan penambahan plastisitas dinding sel,

memungkinkan sel untuk memanjang. Auksin juga mengubah ekspresi gen secara cepat,

yang menyebabkan sel dalam daerah perpanjangan, memproduksi protein baru, dalam

jangka waktu beberapa menit. Beberapa protein, merupakan faktor transkripsi yang

secara menekan ataupun mengaktifkan ekspresi gen lainnya. Untuk pertumbuhan

selanjutnya, setelah dorongan awal ini, sel akan membuat lagi sitoplasma dan bahan

dinding sel. Auksin juga menstimulasi respon pertumbuhan selanjutnya (Anna Kasvaa.

2007).

Perlakuan kedua yaitu menggunakan urea, pada hari 1 ulangan pertama biji selada

tidak ada yang berkecambah, pada ulangan kedua juga tidak ada yang berkecambah.

Pada hari 2 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 44, ulangan

kedua 45. Pada hari 3 ulangan pertama biji selada yang mampu berkecambah ada 50 dan

ulangan kedua 50. Pupuk urea mengandung banyak sekali kandungan nitrogen, yaitu

sebanyak 46 %. Nitrogen yaitu zat yang dapat membantu pertumbuhan tumbuhan.

Pemberian pupuk urea dapat mempengaruhi sifat kimia dan hayati (biologi) tanah.

Fungsi kimia dan hayati yang penting diantaranya adalah selaku penukar ion dan

penyangga kimia, sebagai gudang hara N, P, dan S, pelarutan fosfat dengan jalan

kompleksasi ion Fe dan Al dalam tanah dan sebagai sumber energi mikroorganisme

tanah (Notohadiprawiro, 1998).

Dormansi dapat dikatakan sebagai mekanisme biologis dalam menjamin

perkecambahan biji yang berlangsung pada kondisi dan waktu yang tepat untuk

mendukung pertumbuhan yang tepat. Dormansi bisa diakibatkan karena

ketidakmampuan embrio dalam mengatasi hambatan (Dwidjoseputro, 1983). Dormansi

merupakan suatu keadaan pertumbuhan yang terhambat, dapat disebabkan oleh kondisi

yang kurang baik atau oleh faktor dari dalam tumbuhan itu sendiri. Dormansi dapat

dikatakan sebagai suatu keadaan dimana pertumbuhan tidak dapat terjadi walaupun

kondisi lingkungan mendukung terjadinya perkecambahan (Dartius, 1991).

Dormansi dapat terjadi dalam banyak tipe dan bentuk. Banyak biji dorman untuk

suatu periode tertentu setelah keluar dari buah. Contoh lain dari dormansi adalah

gugurnya daun untuk menghindari terjadinya bahaya waktu udara berubah menjadi

dingin ataupun kemarau. Tanaman bagian atas banyak yang mati selama periode musim

dingin atau kekeringan (Filter & Hay, 1991).

Dormansi benih berhubungan dengan usaha benih untuk menunda perkecambahan,

sehingga waktu dan kondisi lingkungan memungkinkan melangsungkan proses tersebut.

Dormansi dapat terjadi pada kulit biji maupun pada embrio. Biji yang telah masak dan

siap untuk berkecambah membutuhkan kondisi klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai

untuk dapat mematahkan dormansi dan memulai proses perkecambahannya. Teknik

skarifikasi, biasa digunakan untuk mematahkan dormansi kulit biji, sedangkan

stratifikasi digunakan dalam mengatasi dormansi embrio (Heddy, 1990).

Dalam Lakitan ( 2007 ) dormansi biji dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk

dormansinyai, yaitu :

a. Dormansi akibat kulit biji impermeabel terhadap air (H2O)

b. Dormansi disebabkan embrio belum masak

c. Biji membutuhkan pemasakan sempuna, sehingga setelah panen dormansi terjadi

dalam penyimpanan kering

d. Biji membutuhkan suhu rendah

e. Biji bersifat sensitif terhadap cahaya

f. Kuantitas cahaya

g. Kualitas cahaya

h. Adanya zat kimia sehingga terjadi dormansi biji

Gejala morfologi dengan pemunculan radikula tersebut, terjadi proses fisiologi-

biokemis yang kompleks, yang dikenal dengan perkecambahan fisiologis.  Secara

fisiologis, proses perkecambahan berlangsung dalam beberapa tahapan penting, meliputi

(Sitompul & Guritno, 1995):

a. Absorpsi air

b. Metabolisme pemecahan materi cadanagan makanan

c. Transport materi hasil pemecahan dari endosperm ke embrio yang aktif bertumbuh.

d. Proses-proses pembentukan kembali materi-materi baru.

e. Respirasi dan pertumbuhan

Faktor yang mengontrol proses perkecambahan  biji, dapat dibedakan secara

internal dan eksternal. Faktor internal, perkecambahan biji ditentukan oleh keseimbangan

antara promotor dan inhibitor perkecambahan, terutama giberelin (GA) dan asam absisat

(ABA). Faktor eksternal meliputi faktor ekologi yaitu air, suhu, kelembapan, cahaya dan

senyawa-senyawa kimia yang mendukung perkecambahan (Tjitrosoepomo, 1998).

2. Biji Padi

Biji merupakan bagian alat reproduksi. Perkecambahan termasuk proses dimana

dimulainya dengan proses imbibisi air oleh dorman, biasanya kering, biji dan berakhir dengan

proses elongasi dari axis embrionik (H. Lambers et al., 2008). Biji memiliki cadangan

makanan yang membuatnya independen secara luas dari sumber daya lingkungan untuk

bertahan hidup. Perubahan drastis tersebut dalam proses autotropik yang bergantung kepada

suplai cahaya, CO2, air dan nutrisi anorganik dari sekelilingnya untuk pertumbuhan

autotropik. Perkecambahan adalah proses ketika bagian dari embrio, biasanya radikula,

memasuki kulit biji dan mungkin berproses dengan air dan O2 dan pada temperatur yang

stabil.

Dormansi dapat didefiniskan suatu keadaan pertumbuhan dan metabolisme yang

terpendam, dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak baik atau oleh faktor dari

dalam tumbuhan itu sendiri. Dormansi merupakan suatu mekanisme mempertahankan diri

terhadap suhu yang sangat rendah atau kekeringan di musin panas. Kurangnya air penting

dalam memulai dormansi untuk mempertahankan hidup pada keadaan kering dan panas,

selanjutnya berkurangnya nutrien terutama nitrogen, dapat merupakan penyebab terjadinya

dormansi pada beberapa tumbuhan ( Dahlia, dkk, 2001 ).

Pada percobaan ini bertujuan untuk memecah dormansi pada biji padi dengan

perlakuan perendaman biji padi dengan aquades dengan 3 pengulangan. Pertama biji padi

direndam dalam air selama 1 jam, kemudian menyediakan 6 cawan petri yang telah dialasi

kertas saring untuk 2 perlakuan, pertama 3 pengulangan direndam dengan aquades dan 3

pengulangan tanpa direndam aquades. Setiap pengulangan diletakkan dalam cawan petri

dengan memasukkan 50 butir biji padi. Kemudian cawan petri ditutup dengan meletakkannya

dalam tempat yang gelap.

Pada perlakuan pertama, biji padi direndam dengan aquades. Diamati setiap minggu

perkecambahan biji padi tersebut. Hasilnya pada minggu pertama ( 8 Oktober 2014 )

perendaman diperoleh hasil pada pengulangan 1 ( N1 ), 11 biji padi yang tumbuh dan 39 biji

padi yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 2 ( N2 ), 12 biji padi tumbuh dan 38 biji padi

yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 3 ( N3 ), 15 biji padi tumbuh dan 35 biji padi yang

tidak tumbuh. Sehingga didapatkan rata-rata biji yang tumbuh pada minggu pertama adalah

13 biji dengan presentase 26 % dari keseluruhan biji yang direndam. Pada minggu kedua ( 15

Oktober 2014 ) perendaman diperoleh hasil pada pengulangan 1 ( N1 ), 24 biji padi yang

tumbuh dan 26 biji padi yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 2 ( N2 ), 22 biji padi tumbuh

dan 28 biji padi yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 3 ( N3 ), 27 biji padi tumbuh dan 23

biji padi yang tidak tumbuh. Sehingga didapatkan rata-rata biji yang tumbuh pada minggu

kedua adalah 24 biji dengan presentase 48 % dari keseluruhan biji yang direndam. Pada

minggu ketiga ( 22 Oktober 2014 ) perendaman diperoleh hasil pada pengulangan 1 ( N1 ),

34 biji padi yang tumbuh dan 16 biji padi yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 2 ( N2 ), 36

biji padi tumbuh dan 14 biji padi yang tidak tumbuh. Pada pengulangan 3 ( N3 ), 32 biji padi

tumbuh dan 18 biji padi yang tidak tumbuh. Sehingga didapatkan rata-rata biji yang tumbuh

pada minggu ketiga adalah 34 biji dengan presentase 68 % dari keseluruhan biji yang

direndam. Pada minggu keempat ( 29 Oktober 2014 ) perendaman diperoleh hasil pada

pengulangan 1 ( N1 ), 48 biji padi yang tumbuh dan 2 biji padi busuk. Pada pengulangan 2

( N2 ), 46 biji padi tumbuh dan 4 biji padi yang busuk. Pada pengulangan 3 ( N3 ), 45 biji

padi tumbuh dan 5 biji padi yang busuk. Sehingga didapatkan rata-rata biji yang tumbuh pada

minggu keempat adalah 46 biji dengan presentase 92 % dari keseluruhan biji yang direndam.

Pada perlakuan kedua, biji padi yang sudah direndam selama 1 jam kemudian dimasukkan ke

dalam cawan petri dengan tanpa perendaman lagi. Hasilnya diperoleh, tidak ada biji padi

yang tumbuh atau berkecambah.

Dalam percobaan pada biji padi yang direndam dengan air dapat tumbuh hingga 92 %.

Hal ini membuktikan bahwa dormansi pada biji padi dapat dipatahkan oleh perlakuan

perendaman dengan aquades. Hal ini sesuai dengan Sutopo ( 1988 ), bahwa faktor–faktor

yang meyebabkan hilangnya dorminasi pada benih sangat bervariasi tergantung  pada jenis

tanaman dan tentu saja tipe dormansinya, antara lain: karena temperatur, hilangnya

kemampuan untuk menghasilkan zat – zat penghambat perkecambahan, dan imbibisi yang

terjadi pada biji saat direndam. Selain itu terdapat biji padi yang membusuk saat direndam hal

ini disebabkan karena terlalu banyaknya air yang diserap oleh biji. Sedangkan pada biji padi

yang tidak direndam tidak terjadi pertumbuhan atau perkecambahan dari biji padi, hal ini

karena tidak ada faktor yang mematahkan dormansi seperti yang disebutkan dalam Sutopo

(1988) faktor–faktor yang meyebabkan hilangnya dorminasi pada benih sangat bervariasi

tergantung  pada jenis tanaman dan tentu saja tipe dormansinya, antara lain: karena

temperatur, hilangnya kemampuan untuk menghasilkan zat–zat penghambat perkecambahan,

dan imbibisi yang terjadi pada biji saat direndam.

Sedangkan tujuan dari penyimpanan ditempat gelap adalah untuk mempercepat proses

perkecambahan dari biji. Sehingga hubungan antara dormansi dengan penyimpanan yaitu

dormansi pada beberapa spesies dapat menghilang apabila disimpan dalam kondisi suhu dan

kelembaban lingkungan yang terkendali. Tempat yang gelap umumnya memiliki tingkat

kelembapan yang tinggi. Ahli fisiologi benih paham benar akan metode-metode terbaik yang

digunakan untuk mematahkan dormansi pada benih yaitu dengan jalan menyimpan pada suhu

lembab ( Jumin, 2002 ).

Dalam perkecambahan biji padi ini memerlukan waktu yang cukup lama. Karena

struktur dari biji padi yang keras. Biji yang mengalami dormansi biasanya disebabkan oleh

rendahnya / tidak adanya proses imbibisi air yang disebabkan oleh struktur benih (kulit

benih) yang keras, sehingga mempersulit keluar masuknya air kedalam benih. Respirasi yang

tertukar, karena adanya membrane atau pericarp dalam kulit benih yang terlalu keras,

sehingga pertukaran udara dalam benih menjadi terhambat dan menyebabkan rendahnya

proses metabolisme dan mobilisasi cadangan makanan dalam benih. Kulit biji yang keras dan

kedap menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas-gas kedalam bij, yang

menyebabkan impermeabilitas kulit biji terhadap air. Kulit biji yang cukup kuat akan

menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit biji dihilangkan, maka embrio akan tumbuh

dengan segera. Pada tanama, dormansi sering dijumpai pada benih padi (Salisbury, 1995).

3. Umbi Kentang

Dormansi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan pertumbuhan dan metabolisme

yang terpendam, dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak baik atau oleh

faktor dari dalam tumbuhan itu sendiri (Sasmitamihardja, 1990). Sedangkan

Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio. Hasil

perkecambahan ini adalah munculnya tumbuhan kecil dari dalam biji. Proses perubahan

embrio saat perkecambahan adalah plumula tumbuh dan berkembang menjadi batang, dan

radikula tumbuh dan berkembang menjadi akar (Syamsuri, 2004). 

Pada praktikum ini kami menggunakan 15 umbi kentang (Solanum tuberosum L.),

aquadest, larutan 2% thiourea dan larutan 1% NAA. Menurut Soegihartono (2008 Dalam

Ratnasari, 2010) Solanum tuberosum L. atau yang dikenal dengan kentang merupakan

satu dari lima makanan pokok dunia sebagai sumber karbohidrat. Kelima makanan pokok

tersebut adalah beras, gandum, kentang, sorgum, dan jagung. Disamping beras sebagai

bahan pangan utama, kentang merupakan komoditas pangan yang penting di Indonesia

dan dibutuhkan sepanjang tahun.

Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang

memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Tanaman ini

berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang

cocok untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian

1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata

harian 18-21oC, serta kelembaban udara 80-90 persen (Gklinis, 2009 Dalam Ratnasari,

2010).

Perlakuan yang dilakukan adalah sebagai berikut 5 buah umbi kentang dimasukkan

ke dalam kantung plastik kemudian diberi aquades, 5 umbi kentang lainnya diberi larutan

2% thiourea dan larutan 1% NAA. Umbi umbi kentang direndam dalam larutan tersebut

selama 2 jam dan kemudian dikeluarkan dari kantung plastik di anginkan baru setelah itu

dibungkus rapat menggunakan kertas. Pengamatan dilakukan setiap 2 seminggu sekali

selama 4 minggu.

Perlakuan pertama adalah umbi kentang direndam dalam aquades, kemudian

dibungkus dengan kertas, pengamatan pertama dilakukan saat minggu kedua dan

pengamatan kedua saat minggu ke 4. Pada pengamatan pertama kentang 1 menunjukkan

pertumbuhan 2 tunas kecil, sedangkan pada pengamatan kedua tunas bertambah menjadi

4 dan ukurannya bertambah besar. Pada pengamatan pertama kentang ke 2 jumlah

tunasnya 3 dan ukuran tunas kecil, sedangkan pada pengamatan kedua diamati ada 4

tunas dengan ukuran yang lebih besar. Pada pengamatan pertama kentang ke 3 muncul

3 tunas dengan ukuran yang kecil, kemudian setelah diamati pertumbuhan tunas pada

pengamatan kedua ukurannya lebih besar dan jumlah tunas sebanyak 5. Pada pengamatan

pertama kentang ke 4 tunas muncul sebanyak 2 dengan ukuran yang relatif kecil,

kemudian pada pengamatan kedua jumlah tunas menjadi 4 dengan ukuran tunas yang

tidak besar dan tidak kecil (sedang). Sedangkan pada pengamatan pertama kentang ke 5

jumlah tunas hanya 1 dengan ukuran yang kecil, pengamatan kedua menunjukkan

perubahan jumlah tunas menjadi 3 dengan ukuran sedang. Dari hasil pengamatan

menunjukkan bahwa umbi kentang mengalami pertumbuhan, ditandai dengan

bertambahnya jumlah tunas dan ukuran tunas yang bertambah lebih besar.

Perlakuan merendam biji di dalam air yaitu mengkondisikan daerah di luar biji

potensial airnya tinggi, sedangkan potensial air di dalam biji sendiri rendah. Maka akan

terjadi perpindahan osmosis dari potensial air tinggi ke potensial rendah. Perpindahan ini

akan mengakibatkan lapisan kulit biji yang bersifat keras akan lembek, sehingga yang

semula biji tidak bisa berkecambah akibat terhalang lapisan kulit biji yang keras akan bisa

melakukan fase differensiasi dan fase tumbuh (Campbell, 2002).

Perkecambahan biji tergantung pada imbibisi, penyerapan air akibat potensial air

yang rendah pada biji yang kering. Air yang berimbibisi menyebabkan biji mengembang

dan memecahkan kulit pembungkusnya dan juga memicu perubahan metabolik pada

embrio yang menyebabkan biji tersebut melanjutkan pertumbuhan. Enzim-enzim akan

mulai mencerna bahan-bahan yang disimpan pada endosperma atau kotiledon, dan nutrien-

nutriennya dipindahkan ke bagian embrio yang sedang tumbuh (Campbell, 2002). Dari

teori tersebut dapat diketahui bahwa masuknya air akibat dari perendaman umbi kentang

dalam aquades menyebabkan rusaknya kulit biji sehingga memicu perubahan metabolik,

hal ini menyebabkan pertumbuhan pada embrio yang ditandai dengan munculnya tunas.

Pelakuan kedua dengan merendam umbi kentang didalam larutan thiourea 2%,

seperti pada perlakuan pertama setelah umbi kentang direndam kemudian umbi kentang

dibungkus menggunakan kertas. Pengamatan pertama dilakukan pada minggu ke 2 dan

pengamatan kedua dilakukan pada minggu ke 4. Pada pengamatan pertama umbi kentang

ke 1 menunjukkan tidak munculnya tunas, dan pada pengamatan kedua tunas juga masih

belum tumbuh. Pengataman pertama umbi kentang ke 2 belum ada tunas yang tumbuh,

sedangkan pada pengamatan kedua tunas umbi kentang mulai tumbuh 1 tunas kecil. Pada

pengamatan pertama umbi kentang ke 3 tidak ada tunas yang tumbuh, sedangkan

pengataman kedua umbi kentang menunjukkan ada pertumbuhan 1 tunas yang kecil.

Pengamatan pertama umbi kentang ke 4 menunjukkan belum ada pertumbuhan umbi

kentang yang ditandai tidak munculnya tunas, pada pengamatan kedua juga masih belum

ada pertumbuhan karena masih belum tumbuh tunas. Sedangkan pada pengamatan

pertama umbi kentang ke 5 muncul 3 tunas dengan ukuran yang kecil dan pada

pengamatan kedua menunjukkan bahwa tidak ada pertambahan jumlah tunas tapi ada

perubahan ukuran tunas umbi kentang menjadi lebih besar.

Pada penggunaan thiourea diketahui bahwa umbi kentang ke 1 dan ke 4 tidak

menunjukkan perubahan apapun, atau bisa disebut tidak adanya pertumbuhan pada

umbi tersebut. Menurut Haber (1960) Thiourea menghambat mitosis pada percobaan

ini meskipun merangsang perkecambahan, kami menyimpulkan thiourea adalah

inhibitor mitosis dalam biji karena mitosis tidak menyebabkan pertumbuhan dan

perkembangan sel. Dari pernyataan tersebut meskipun thiourea menyebabkan

perkecambahan tetapi thiourea juga menghambat proses mitosis sehingga

perkecambahan yang terjadi tidak begitu maksimal.

Perlakuan ketiga sama dengan perlakuan pertama dan kedua hanya beda pada

larutan yang digunakan, pada perlakuan ketiga larutan yang digunakan adalah larutan

1% NAA. NAA (napthalene acetic acid) merupakan auksin sintetik (Dewi, 2008).

Pengamatan pertama umbi kentang ke 1 menunjukkan adanya pertumbuhan 8 tunas

dengan ukuran kecil, sedangkan pada pengamatan kedua jumlah tunas umbi kentang

tidak berubah dan ukurannya masih sama. Pengamatan pertama umbi kentang ke 2

menunjukkan muncul 4 tunas dengan ukuran yang besar, dan pada pengamatan kedua

hasil pengamatan kedua sama dengan pengamatan pertama yaitu tunas umbi umbi

kentang yang muncul ada 4 dengan ukuran tunas yang besar. Pengamatan pertama

umbi kentang ke 3 muncul 4 tunas dengan ukuran yang kecil, pada pengamatan kedua

tidak ada perubahan pada tunas umbi kentang.,Pengamatan pertama umbi kentang ke 4

muncul 6 tunas dengan ukuran yang kecil, pada pengamatan kedua masih sama dengan

pengamatan pertama muncul 4 tunas kecil. Sedangkan pada pengamatan pertama umbi

kentang ke 5 menunjukan munculnya 6 tunas dengan ukuran yang kecil, dan saat

pengamatan kedua dilakukan tidak ada perubahan pada umbi kentang tunas yang

muncul masih 6 dan ukurannya masih kecil.

Dari ketiga perendaman yang digunakan dalam praktikum ini NAA sangat

efektif dalam memecahkan dormansi dalam hal ini diketahui banyaknya tunas yang

tumbuh setelah direndam dalam larutan 1% NAA. Tetapi data pengamatan

menunjukkan bahwa tidak ada perubahan baik jumlah maupun ukuran pada

pengamatan pertama dan kedua. Hal ini kemungkinan ada satu zat yang perlu

menunjang pemecahan dormansi selain menggunakan NAA, hal ini merujuk pada

pernyataan Santoso (2003) yang menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh adalah

senyawa organik ataupun anorganik yang hanya dibutuhkan tanaman dalam

konsentrasi yang sangat sedikit. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk

menginduksi pertumbuhan pada teknik mikropropagasi adalah kombinasi golongan

auksin dan sitokinin dimana pada penelitian ini jenis yang digunakan adalah NAA

yang dikombinasikan dengan BAP.

Pada praktikum ini ditemui adanya beberapa ganjalan seperti ada umbi

kentang yang tidak tumbuh dan pertumbuhan pada umbi yang tidak terlihat nyata

seperti tidak bertambahnya jumlah tunas dan ukuran tunas. Kami memperkirakan hal

ini disebabkan karena bebapa hal :

a. Umbi kentang yang digunakan belum memenuhi kematangan yang sesuai, hal ini

bisa dilihat dengan ukuran umbi kentang yang relatif masih kecil.

b. Berat benih dalam hal ini merujuk pada pernyataan Sutopo (2002) yang

menyatakan bahwa Berat benih berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan

dan produksi karena berat benih menentukan besarnya kecambah pada saat

permulaan dan berat tanaman pada saat dipanen

c. Adanya zat penghambat (inhibitor) Menurut Kuswanto (1996), penghambat

perkecambahan benih dapat berupa kehadiran inhibitor baik dalam benih maupun

di permukaan benih, adanya larutan dengan nilai osmotik yang tinggi serta bahan

yang menghambat lintasan metabolik atau menghambat laju respirasi.

d. Suhu saat perkecambahan yang kurang optimal. Menurut Sutopo (2002) Suhu

optimal adalah yang paling menguntungkan berlangsungnya perkecambahan

benih dimana presentase perkembangan tertinggi dapat dicapai yaitu pada kisaran

suhu antara 26.5 sd 35°C

e. Oksigen, Menurut Sutopo (200) Saat berlangsungnya perkecambahan, proses

respirasi akan meningkat disertai dengan meningkatnya pengambilan oksigen dan

pelepasan CO2, air dan energi panas. Terbatasnya oksigen yang dapat dipakai

akan menghambat proses perkecambahan benih. Pada perkecambahan karena

pada waktu mematahkan dormansi umbi kentang dibungkus dengan kertas

sehingga kemungkinan pertumbuhan tunas umbi kentang menjadi terhambat.

f. Cahaya, menurut Kamil (1979) Adapun besar pengaruh cahanya terhadap

perkecambahan tergantung pada intensitas cahaya, kualitas cahaya, lamanya

penyinaran

g. Medium, Medium yang baik untuk perkecambahan haruslah memiliki sifat fisik

yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerap air dan bebas dari

organisme penyebab penyakit terutama cendawan (Sutopo, 2002).

F. KESIMPULAN

Dormansi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan pertumbuhan dan metabolisme

yang terpendam, dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak baik atau oleh

faktor dari dalam tumbuhan itu sendiri.

Perkecambahan biji tergantung pada imbibisi, penyerapan air akibat potensial air yang

rendah pada biji yang kering

Air yang berimbibisi menyebabkan biji mengembang dan memecahkan kulit

pembungkusnya dan juga memicu perubahan metabolik pada embrio yang

menyebabkan biji tersebut berkecambah.

Dormansi dapat dipatahkan dengan memberikan perlakuan perendaman biji dengan

aquades atau dengan larutan kimia lainnya ( larutan thiourea, larutan urea).

Tanda dormansi dapat dipatahkan dengan tumbuhnya kecambah pada biji yang

diberikan perlakuan.

Pematahan dormansi pada biji padi lebih lama dibandingkan dengan pematahan

dormansi pada biji selada, hal ini disebabkan struktur dari kulit biji padi lebih keras.

Pada biji padi mengalami dormansi disebabkan oleh rendahnya / tidak adanya proses

imbibisi air yang disebabkan oleh struktur benih (kulit benih) yang keras, sehingga

mempersulit keluar masuknya air kedalam benih.

Faktor yang mengontrol proses perkecambahan  biji yaitu, faktor internal meliputi

perkecambahan biji ditentukan oleh keseimbangan  antara promotor dan inhibitor

perkecambahan, terutama giberelin (GA) dan asam absisat (ABA) dan faktor eksternal

meliputi faktor ekologi yaitu air, suhu, kelembapan, cahaya dan senyawa-senyawa

kimia yang mendukung perkecambahan

Pada perendaman umbi kentang dengan larutan thiourea. Thiourea menghambat

mitosis pada percobaan ini meskipun merangsang perkecambahan, kami

menyimpulkan thiourea adalah inhibitor mitosis sehingga perkecambahan tidak

maksimal.

Pada perendaman umbi kentang dengan aquades, larutan Thiourea, dan larutan NAA.

NAA sangat efektif dalam memecahkan dormansi dalam hal ini diketahui banyaknya

tunas yang tumbuh setelah direndam dalam larutan 1% NAA.

DAFTAR RUJUKAN

Anna Kasvaa. 2007. The growth enhancing effects of triacontanol. Online (htttp://www.carbonkick.fi) Diakses tanggal 11 November 2014.

Campbell, Neil A. 2002. Biologi. Jakarta : Erlangga

Cistopher, T. K . H. 1992. Pengenalan teknologi kultur tisu tumbuhan. Pusat kajian sains Hayat. Universiti Sains Malaysia.

Dahlia, Betty Lukiaty, Leily T. Kusumaputri. 2001. Petunjuk Praktikum Fisiologi Tumbuhan. FMIPA : Universitas Negeri Malang. Malang

Dartius. 1991. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. USU-Press. Medan.

Dewi, Intan Ratna. 2008. Peranan Dan Fungsi Fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman. Bandung : Universitas Padjajaran

Dwijoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.

Filter, A. H. dan R. K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

George, L.W. 1995.  Teknik Kultur In Vitro dalam Holtikultura. Penebar Swadaya. Jakarta

Haber, Alan H. & Luippold, Helen J. 1960. Effects Of Gibberellin, Kinetin, Thiourea, And Photomorphogenic Radiation On Mitotic Activity In Dormant Lettuce Seed. (Online) Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pmc/Articles/Pmc405991/Pdf/Plntphys00473-0074.Pdf Diakses Pada 10 November 2014

Heddy, S. 1990. Biologi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta.

Hopkins, William. 2008. Introduction to Plant Physiology Fourth Edition. London

Jumin, Hasan Basri. 2002. Dasar-Dasar Agronomi. Edisi Revisi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Kamil. 1979. Teknologi Benih 1. Padang : Angkasa Raya

Kuswanto H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi Dan Sertifikasi Benih. Yogyakarta : Andi

Lakitan, B. 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lambers, H; Chapin III S. F. And Pons L.T.2008. Plant Physiology Ecology 2rd Edition. 2008 Springer Science and Business Media, LLC. Shanmugavalli, M; Renganayaki, PR; Menka, C. Seed Dormancy and Germination Improvement Treatment in Fodder Sorghum. An open access journal published by ICRISAT. Seed Germination and Dormancy

Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta.

Ratnasari, Tuti. 2010. Kajian Pembelahan Umbi Benih Dan Perendaman Dalam Giberelin Pada Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kentang (Universitas Sebelas Maret (Solanum Tuberosum L.). Solo : Universitas Sebelas Maret

Salisbury.1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 3. Bandung : ITB.Santoso, U. Dan Nursandi, F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang : Universitas

Muhammadiyah Malang

Sasmitamihardja, dkk., 1990, Fisiologi Tumbuhan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, FMIPA-ITB, Bandung.

Sitompul, S. M. dan Guritno. B. 1995. Pertumbuhan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Sutopo L. 1988. Teknologi Benih. Jakarta : Rajawali

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi. Jakarta : Erlangga

Tjitrosoepomo, H.S. 1998. Botani Umum. UGM Press. Yogyakarta.