22
PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN DI INONESIA Afifah Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia 08122030427 , [email protected]@gmail.com Abstrak Pekerja memiliki hak istimewa, dimana haknya harus didahulukan dari pada kreditor lainnya. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/20013 yang menjelaskan bahwa upah pekerja yang belum diberikan maka harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini posisi/kedudukan yang diprioritaskan adalah pekerja/buruh dimana perusahaan yang mengalami pailit dari pelunasan terhadap kreditor lainnya, akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 21 menjelaskan bahwa tagiahan negara harus didahulukan maka dimana isi undang-undang tersebut bertentangan dengan putusan yang telah di tetapkan oleh hakim mahkamah konstitusi. Dalam hal tidak terpenuhinya hak pekerja pada perusahaan yang pailit pekerja dapat mengajukan gugatan ke pengadilan penyelesaian hubungan industrial sebagai bentuk upaya hukum akan tetapi bila mana putusan tersebut tidak mendaptkan hasil maka harus dirundingkan secara benar agar upah pekerja terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Kata Kunci :Hak Istimewa, Upaya Hukum, Penyelesaian Hubungan Industrial A.Pendahuluan 1.Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seuntuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejaterah, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. 1 Upah menjadi tujuan buruh/pekerja dalam melakuakn pekerjaan. Setiap butruh/pekerja selalu mengharapkan upah yang adil sesuai dengan pekerjaan yang dilakukanan dan berusahaan meningkatkan kinerjanya, dimana upah adalah salah satu sarana yang digunakan pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Didalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak mampu mebayar utang- utangnya. Hal demikian dapat pua terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi 1 Asri Wijayati, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, Sinar Grafik, Jakarta, 2009, h. 06.

PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA

DALAM PERATURAN DI INONESIA

Afifah

Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945

Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia

08122030427 , [email protected]@gmail.com

Abstrak Pekerja memiliki hak istimewa, dimana haknya harus didahulukan dari pada kreditor lainnya. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/20013 yang menjelaskan bahwa upah pekerja yang belum diberikan maka harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini posisi/kedudukan yang diprioritaskan adalah pekerja/buruh dimana perusahaan yang mengalami pailit dari pelunasan terhadap kreditor lainnya, akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 21 menjelaskan bahwa tagiahan negara harus didahulukan maka dimana isi undang-undang tersebut bertentangan dengan putusan yang telah di tetapkan oleh hakim mahkamah konstitusi. Dalam hal tidak terpenuhinya hak pekerja pada perusahaan yang pailit pekerja dapat mengajukan gugatan ke pengadilan penyelesaian hubungan industrial sebagai bentuk upaya hukum akan tetapi bila mana putusan tersebut tidak mendaptkan hasil maka harus dirundingkan secara benar agar upah pekerja terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya.

Kata Kunci :Hak Istimewa, Upaya Hukum, Penyelesaian Hubungan Industrial A.Pendahuluan

1.Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seuntuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat

yang sejaterah, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995. Dalam pelaksanaan pembangunan

nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan

tujuan pembangunan.1

Upah menjadi tujuan buruh/pekerja dalam melakuakn pekerjaan. Setiap butruh/pekerja selalu

mengharapkan upah yang adil sesuai dengan pekerjaan yang dilakukanan dan berusahaan

meningkatkan kinerjanya, dimana upah adalah salah satu sarana yang digunakan pekerja untuk

mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaannya dan untuk meningkatkan

kesejahteraannya.

Didalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan

keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak mampu mebayar utang-

utangnya. Hal demikian dapat pua terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi

1Asri Wijayati, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, Sinar Grafik, Jakarta, 2009, h. 06.

Page 2: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan lain menurun, begitu seterusnya,

sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang menaik dan menurun seperti grafik.2

Sebab risiko yang dapat timbul dari perusahaan, baik itu risiko investasi, risiko pembiayaan dan

risiko operasi. Dari semua risiko semua itu dapat mengancam kesinambungan dari keuangan

perusahaan dan yang paling fatal dimana perusahaan bisa mengalami bangkrut (pailit) karena

perusahaan tidak dapat membayar semua kewajiban utang perusahaan, kepailitan merupakan proses

dimana :

1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar untangnya

dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor

tersebut tidak dapat membayar utangnya.

2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan kepailitan.

Proses kepailitan pada umumnya adalah proses panjang yang melelahkan. Disatu sisi akan

banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan

oleh Pengadilan Niaga pasti memiliki utang lebih dari satu, sedangkan disisi lain belum tentu harta

pailit mencukupi untuk membayar tagihan yang ditunjukan kepada debitor.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1131, hukum memberikan keistimewaan

pada umumnya kepada kreditor bahwa apabila kreditor kerena suatu hal tidak dapat melunasi

hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka harta kekayaan debitor baik yang bergerak

maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, akan

menjadi tanggungan untuk pelunasan pinjaman atau kredit yang diberikan kreditor.

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa memberikan jaminan

kedudakan yang sama atau seimbang bagi kreditor dimana dalam hal ini kreditor lebih dari satu.

Kedudukan yang sama atau seimbang dalam kreditor dapat dikecualikan apabila diatur oleh

Undang-Undang dengan karena alasan-alasan yang sah untuk didahulakan kereditor lainnya.

Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa kreditor dapat di

dahulukan dari kreditor lainnya apabila kreditor yang bersangkurtan merupakan:

1. Tagihan yang terbit dari pihak istimewa;

2. Tagihan yang dijaminkan dengan hak gadai;

3. Tagihan yang dijaminkan dengan hipotik.

Dimana masing-masing kreditor akan berusaha untuk secepat-cepatnya mendaptkan pembayaran

atas putang mereka masing-masing. Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya aturan-

aturan yang mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur pembagian harta pailit di bawah

kendali kurator disertai pengawasan hakim pengawas.

Buruh atau karyawan merupakan bagian penting dari sebuah perusahaan, dan buruh atau

karyawan juga merupakan salah satu pihak pada saat suatu perusahaan dipailitkan, yakni sebagai

2Victor M.Situmorang dan Hendri Soekarso, pengantar hukum kepailitan di Indonesia, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h.

01.

Page 3: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

kreditor yang juga memiliki hak atas debitor pailit. Tetapi seringkali pada saat suatu perusahan yang

mengalami kepailitan, hak-hak konstitusional dari buruh terabaikan atau tidak dipenuhi demikian

juga kesejahteraan pribadi dan keluarganya. Dalam hal ini kedudukan buruh sangat lemah, pada hal

fungsi dan perenan tenaga kerja dalam suatu perusahaan sangat penting guna kelancaran produksi

dan pertumbuhan perusahaan yang bersangkutan, sering kali terjadinya perselisihaan pekerja dengan

pihak perusahaan yang diwakili oleh kurator.

Melihat ke dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

menyatakan “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain”, Pengertian tentang pernyataan pasal tersebut memang sangat umum akan tetapi

faktor dan makna tersebut sangat luas dimana setiap orang yang diberi pekerja bukan hanya

perseorangan, bisa juga persekutuan, badan hukum dan badan lainnya yang menerima imbalan upah

yang berbentuk uang akan tetapi ada juga yang menerima imbalan berbentuk barang, dan semua

orang akan bekerja didalam nauangan perusahan sedangkan pengertian perusahaan dalam pasal 1

angka 6 huruf a Undang-Undang nomor 13 tentang ketenagakerjaan menyatakan “Setiap bentuk

usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik

badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan

membayar upah atau imabalan berbentuk lain”, Maka dari itu hubungan pengusaha/perusahaan

dengan buruh/pekerja yang berdasarkan perjanjian kerja dimana mempunyai unsur pekerjaan dan

upah/imbalan.

Didalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketanagakerjaan dengan secara jelas

mengatur tentang upah yang akan diberikan kepada Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan telah mengatur tentang ketentuan upah ketika terjadi kepailitan dalam Pasal 95 ayat

(4) yaitu dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan

perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan

utang yang didahulukan pembayarannya.

Tetapi pada kenyataannya posisi utang kepada buruh/pekerja tidak pernah didahulukan

pembayaran utang atau upah yang harusnya mereka dapat disaat setelah melakukan sebuah

pekerjaan, bila mana perusahaan yang mengalami pailit hartanya tidak mencukupi sehingga

perusahaan tidak dapat memeberi upah kepada buruh/pekerja sekalipun hak pesangon telah dijamin

oleh Undang-Undang yang ada di Indonesia.

Maka dari ketidakmampuan negara memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, khususnya dalam

memenuhi hak-hak dasarnya (Upah) dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pailit,

terindikasinya dengan adanya aksi unjuk rasa dan mogok kerja bagi buruh/pekerja yang dari tahun

ke tahun jumlahnya semakin meningkat tajam, dikarenakan rendahnya perlindungan terhadap

buruh/pekerja yang menjamin terpenuhnya hak-hak dasar yang sah.

Dalam hal ini buruh/pekerja ingin sekali memperjuangkan hak-haknya atas upah dan/atau

pesangon yang seringkali sulit didapat karena keberadaan kreditor separatis (kreditor yang memiliki

hak jaminan hutang kebendaan), sebagai pihak yang menjadi prioritas dalam pembagian harta ketika

terjadi kepailitan .

Page 4: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kedudukan hak normatif pekerja pada peraturan di Indonesia dalam perusahan pailit?

b. Bagaimana upaya hukum pekerja pada perusahaan yang pailit dalam hal tidak terpenuhinya hak

pekerja dalam peraturan di Indonesia?

3. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan-

bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Dalam hal ini penelitian hukum normatif merupakan

penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif yang berupa perundang-

undangan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari hukum positif Indonesia yang berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat hukum ahli hukum dalam literatur,

jurnal, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet (website) terkait Perlindungan hukum terhadap

hak-hak Pekerja/ Buruh Dalam hal perusahaan yang terkena pailit.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini disesuaikan dengan tipe penelitian yang

penulis ambil. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan mencakup pendekatan perundang-

undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

- Pendekatan Perundang-undangan (Statute Aprroach)

Metode pendekatan perundang-undangan digunakan untuk memahami hirarki perundang-

undangan dan asas-asas yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan pendektan Kitab Undang–undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang

nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Kitab Undang-

Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Karena saya meneliti mengenai hak-hak yang

dapat diperoleh untuk para buruh/pekerja dimana perusahaan yang mereka naungi mengalami

pailit.

- Pendekatan Kasus (Case Apporoach)

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan teliti pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

hukum yang dihadapi. Kasus-Kasus yang di teliti merupakan yang telah memperoleh putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kasus yang

telah pernah terjadi yaitu kasus perusahan adam air yang mengalami kepailitan dan meninggalkan

hutang yang sangat banyak dan dimana mantan pekerja adam air melakukan yudicial review dalam

Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar hak yang harusnya diperoleh

mejadi sangat jelas.

3. Sumber dan jenis bahan hukum

Sumber dan bahan hukum yang digunakan dalan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Page 5: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

a) Bahan hukum primer

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang nomer 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan

3. Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat, tetapi menjelaskan

mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau

ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana

akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini adalah doktrin–doktrin yang ada di

dalam buku, jurnal hukum dan internet.

4. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Apabila penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach), maka yang

harus penulis lakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang

berkaitan dengan hal tersebut.Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa

legislation maupun regulation bahkan juga delegeted legislation dan delegeted regulation.Oleh karena itu

memecahkan suatu isu hukum, peneliti mungkin harus menelusuri sekian banyak berbagai produk

peraturan perundang-undangan termasuk produk-produk zaman Belanda.Bahkan undang-undang

yang tidak langsung berkaitan tentang isu hukum yang hendak dipecahkan ada kalanya harus juga

menjadi bahan hukum bagi penelitian tersebut.3

B. Pembahasan

Hak-hak normatif pekerja merupakan salah satu hak asasi manusia, karena bekerja berkaitan

dengan kelangsungan hidup manusia, bahkan hak atas hidup yang layak seperti yang diatur di

dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjurnya disebut UUD NRI

1945), dimana hak-hak normatif pekerja/buruh merupakan hak-hak yang wajib di peroleh atau

didapat oleh pekerja/buruh yang dimana diatur dalam Undang-Undang, Pasal 27 ayat (2) UUD

NRI 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. Hak asasi manusia tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau tidak

diperdulikan dalam keadaan apapun, maka dari pengertian diatas dimana seharusnya perusahaan

yang mengalami pailit harusnya terlebih dahulu mendahulukan hak-hak normatif perkerja yang

belum mendapatkan hak tersebut karena didalam pekerjaan memiliki perjajia kerja dan didalam

perjanjian kerja pasti tertulis atau terterah hak-hak yang harus di dapat oleh pekerja/buruh

bilamana pekerja/buruh telah melakukan kewajibannya dalam bekerja. Dimana upah dan pesangon

merupakan hak normatif pekerja yang di peroleh pekerja bilamana pekerja telah melakukan

kewajibannya, guna melindungi hak-hak dasar pekerja/buruh sesuai dengan amanat konstitusi

telah ditetapkan kebijakan pengupahan yang dimana dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh,

Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya

disebut dengan UUK).

3Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 194.

Page 6: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Dimana pengaturan upah yang bila mana pekerja tidak mendapatkan upah juga diatur dalam Pasal

93 (2) UUK meliputi :

a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga

tidak dapat melakukan pekerjaan;

c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,

mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami

atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam

satu rumah meninggal dunia;

d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban

terhadap negara;

e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang

diperintahkan agamanya;

f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak

mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat

dihindari pengusaha;

g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;

dan

i) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Dimana peraturan pengupahan tersebut merupakan perjanjian bersama dimana perjanjian tersebut

telah disepakati kedua belah pihak dan telah terterah dalam perjanjian kerja, kemudian adapula

peraturan pengupahan yaitu Pasal 94 UUK “Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan

tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari

jumlah upah pokok dan tunjangan tetap”. Selain perselisihan hak dan kepentingan dalam hubungan

industrial, juga dikenal adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut dengan

PHK)4, dimana UUK selai mengatur tentang upah UUK juga memberikan perlindungan terhadap hak

normatif pekerja/buruh bilamana pekerja/buruh di PHK oleh pengusaha tanpa ada alasan tertentu

diatur dalam Pasal 153 ayat (1).

Ketika pekerja/buruh yang bekerja dalam perusahan tiba-tiba harus berhenti atau keluar

dikarenakan perusahan tersebut mengalami kepailitan maka pengusaha tidak semata-mata

menghentikan pekerja/buruh tersebuh akan tetapi pengusaha/perusahaan harus memehuni hak

normatif yang harusnya diperoleh pekerja/buruh yang telah melakukan kewajibannya, dimana

pengusaha harus memenuhi kewajibannya kepada pekerja/buruh diatur dalam Pasal 156 UUK.

Dari pengertian diatas maka sudah sangat jelas bagaimana seharusnya pekerja/buruh

mendapatkan hak-hak normatifnya selain upah, akan tetapi dalam penerapan hak-hak normatif

pekerja dimana pekerja dapat mendapatkan hak-hak normatif setalah kreditor separatis telah

diselsaikan diatur dalam Pasal 1149 ayat (1 s/d 4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya disebut KUHPer) menyatakan :

4R. Joni Bambang, Op.,Cit., h. 292.

Page 7: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Piutang-piutang atas segala barang bergerak dan barang tak bergerak pada umumnya adalah

yang disebut di bawah ini, dan ditagih menurut urutan berikut ini :

1. biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan putusan atas

tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan harta benda; ini didahulukan

daripada gadai dan hipotek;

2. biaya penguburan, tanpa mengurangi wewenang Hakim untuk menguranginya, bila biaya itu

berlebihan;

3. segala biaya pengobatan terakhir;

4. upah para buruh dari tahun yang lampau dan apa yang masih harus dibayar untuk tahun

berjalan, serta jumlah kenaikan upah menurut Pasal 160 q; jumlah pengeluaran buruh yang

dikeluarkan/dilakukan untuk majikan; jumlah yang masih harus dibayar oleh majikan kepada

buruh berdasarkan Pasal 1602 v alinea keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini atau

Pasal 7 ayat (3) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan"; jumlah yang masih harus

dibayar oleh majikan pada akhir hubungan kerja berdasarkan Pasal 1603 s bis kepada buruh;

jumlah yang masih harus dibayar majikan kepada keluarga seorang buruh karena kematian buruh

tersebut berdasarkan Pasal 13 ayat (4) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan"; apa

yang berdasarkan "Peraturan Kecelakaan 1939" atau "Peraturan Kecelakaan Anak Buah Kapal

1940" masih harus dibayar kepada buruh atau anak buah kapal itu atau ahli waris mereka beserta

tagihan utang berdasarkan "Peraturan tentang Pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan

di Luar Negeri";

Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pekerja/buruh merupakan kreditor preferen

terhadap pemberi kerja atas hak normatif yang belum dibayar oleh pengusaha (pemberi pekerja),

dimana kreditor preferen akan mendapatkan hak normatif bilamana kreditor separatis telah

dibayar piutangnya oleh debitor, keadaan seperti ini merupakan suatu keadaan yang akan

rawan/merugikan bagi pekerja/buruh. Karena bilamana harta pailit habis dibagi kepada kreditor

separatis tentunya pekerja/buruh tidak akan mendapatkan hak normatif yang harus didapat

dimana telah dipaparkan dalam Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang berlaku di

Indonesia, Kemudia juga menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) yang membagi

golongan kreditur menjadi :

1. Kreditur yang memiliki kedudukan di atas kreditur pemegang hak kebendaan (seperti utang

pajak) dimana dasar hukumnya diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUTCP) jo Pasal

1137 KUHPer

2. Kreditur pemegang hak kebendaan/ jaminan kebendaan yang disebut dengan kreditur

separatis (dasar hukum Pasal 1134 ayat (2) KUHPer) , dimana dalam peraturan tersebut

meliputi hak kebendaan/jaminan kebendaan :

a) Gadai;

b) Fidusia;

c) Hak Tanggungan;

d) Hipotik.

Page 8: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

3. Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit antara lain sebagai berikut:

a) Biaya kepailitan dan fee kurator;

b) Upah buruh, baik untuk waktu sebelum debipur mengalami pailit maupun sesudah pailit

(Pasal 39 ayat (2) UU KPKPU); dan

c) Sewa gedung sesudah debitur pailit dan seterusnta (Pasal 38 ayat (4) UU KPKPU)

4. Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat diatur dalam Pasal 1139 KUHPer, dan

kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat diatur dalam Pasal 1149 KUHPer; dan

5. Kreditur konkuren, kreditur golongan terebut adalah semua kreditur yang tidak termasuk

kreditur separatis dan tidak termasuk kreditur preferan khusus maupun umum (Pasal 11131 jo

Pasal 1132 KUHPer)5

Dari penjelasan diatas ada beberapa golongan kurator dimana ada prioritas utama yang

didahulukan, ketika melihat beberapa urutan tersebut diatas dari penamaparan diatas dimana UU

KPKUP posisi/kedudukan kreditur pekerja yakni berada dalam urutan keempat dimana posisi

pekerja/buruh dibahwa urutan fee kurator. Dan didalam kedudukan yang pertama adalah uatang

pajak, dimana dasar hukum mengenai mengapa utang pajak menjadi lebih utama/prioritas ada

dalam Pasal 21 UU KUTCP jo Pasa 1137 KHUHPer. Diaman utang pajak mempunyai kedudukan

lebih tinggi karena mempunyai hak istimewa yang dimana telah diatur dalam Pasal 21 UU KUTCP,

dimana Pasal 21 ayat (1) UU KUTCP menenyatakan “Negara mempunyai hak mendahulu untuk

utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak”, kemudian di dalam Passal 1137 KUHPer

menyatakan “Hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan

oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai

undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan

atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian mendapat hak untuk memungut bea-

bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan”. Utang

pajak mempunyai hak istimewa yag dimana hutang tersebut harus dibayar terlebih duluh, hal ini

didukung dengan adanya aturan khusus dari Undang-Undang yang berlaku khusus menurut Pasal

1134 KUHPer yang menyatakan “Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-

undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang

lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak

istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.

Tentunya hal ini seharusnya berlaku terhadap kedudukan pekerja sebagai kreditur yang harus

dibayar terlebih dahulu, dimana telah di tentukan dala peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan

pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-

hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”, yang dimana

harusnya pembayaran kepada hak-hak pekerja/buruh harusnya dibayar lebih duluh maka dalam hal

ini sesungguhnya UUK meberikan posisi pembayaran upah karyawan untuk didahulukan

pembayarannya dari kreditur lainnya dengan adanya pasal 95 ayat (4) UUK. Dimana ketentuan Pasal

tersebut menimbulkan tidak pastian hukum dalam penerapannya, karena adanya multitafsir didalam

peraturan yang berlaku, dengan adanya frasa yang multitafsir tersebut mempuat sembilan mantan

5Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 121-122.

Page 9: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

karyawan PT Pertamina melakukan uji materiil terhadap Pasal 95 ayat (4) UUK kepada Mahkamah

Konstitusi (MK), didalam pengujian permohonan tersebut mereka mengajukan surat permohonan

tanggal 17 juli 2013. Kepanitaraan Mahkamah Konstitusi meregistrasi permohonan pada 27 Juni 2013

dengan Nomor 67/PUU-XI/2013.

Kasus Kesembilan mantan karyawan PT Pertamina memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK)

agar menguji konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4)

UUK tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit yang tidak dapat

mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melaikan mendahulukan pembayaran utang

kepada negara dan biaya kurator, kreditor separatis adalah kreditur pemegang hak istimewa yang

oleh Undang-Undang diberikan keduduka, dalam hal ini lebih didahulukan dari pada para kreditur

konkuren maupun kreditur saparatis6. Para Pemohon mempunyai alasan pengujian permohonan uji

materiil terhadap Pasal 95 ayat (4) UUK bertententang dengan:

a. Pasal 95 ayat (4) UUK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) karena berpotensi

menimbulkan tidak pastian hukum.

b. Pasal 95 ayat (4) UUK bertentangan dengan P 28D (2) UUD NRI 1945 karena berpotensi

menimbulkan pelanggaran hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara

hukum.

para Pemohon mencoba menguraikan alasan-alasan kenapa pekerja yang menjadi prioritas

sebagai berikut:

1. Bahwa pekerja merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya

kepada perusahaan tempat dia bekerja dan hampir semua pekerja yang dikenakan pemutusan

hubungan kerja tidak dapat lagi bekerja di perusahaan lain yang di sebabkan oleh beberapa hal

seperti masalah umur dan lapangan kerja yang terbatas, yang artinya hak-hak pekerja seperti

pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup untuk kehidupan pekerja dan

keluarganya;

2. Bahwa bila dibandingkan dengan pemegang polis asuransi, maka ketergantungan pemegang

polis asuransi terhadap dana asuransi tidaklah se-vital pesangon atau hak-hak buruh bagi buruh

dikarenakan asuransi di peruntukkan untuk meng-cover risiko yang mungkin terjadi bagi

pemegang asuransi sementara pesangon di pergunakan untuk penghidupan pekerja

3. Bila di bandingkan dengan pemegang hak tanggungan dan pemegang fidusia, kedudukan dari

pekerja jauh lebih lemah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pemegang hak

tanggungan yang tentunya mempunyai dana dan kemampuan lebih untuk hidup dibandingkan

dengan pekerja.

4. Bila dibandingkan dengan piutang-piutang negara seperti pajak, tentunya posisi pekerja sangat

lebih lemah dan lebih penting untuk didahululan bagi pekerja, mengingat pajak itu pun secara

hukum akan tetap dikembalikan untuk kepentingan masyarakat yang tentunya termasuk pekerja

di dalamnya. Sangat tidak logis piutang Negara diutamakan di banding pekerja karena

6Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Salemba, Jakarta, 2011, h. 69.

Page 10: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

bagiamanapun Negara bertanggung jawab secara konstitusional terhadap jaminan hidup yang

layak bagi warga negara termasuk pekerja.

Kemudian (poin 3.16 dimana putusan mahkamah konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013) dalam hal

sebelum menimbang Mahkamah Konstitusiperlu mengemukakan terlebih dahulu hal-hal sebagai

berikut:

Bahwa berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tujuan negara ini dibentuk, antara lain, adalah untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum [Pembukaan UUD 1945 alinea keempat]. Pasal-pasal UUD 1945 mengatur lebih

lanjut tujuan tersebut, yaitu menentukan secara konstitusional hak setiap orang untuk hidup serta hak

mempertahankan hidup dan kehidupannya [Pasal 28A] dan hak untuk bekerja serta mendapat

imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)] serta

menentukan secara konstitusional bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,

namun hak asasi tersebut dapat dibatasi dan tidak boleh bertentangan dengan hak asasi orang lain

dengan nilai-nilai moral, agama, serta diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan,

yang oleh karenanya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama Pemerintah dan secara konstitusional menentukan bahwa untuk

menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang

demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan [Pasal 28I ayat (1), ayat (4), dan ayat (5)];

Bahwa politik hukum pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang secara khusus terkait

ketenagakerjaan adalah untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta

mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Oleh

karena itu, pengaturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang a quo harus memenuhi hakhak dan

perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang sama harus

dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha. Selain itu, pembinaan

hubungan industrial harus diarahkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,

dinamis, dan berkeadilan [vide Penjelasan UU 13/2003];

Bahwa pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan

substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal

138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008,

tanggal 23 Oktober 2008. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengutip beberapa pertimbangan dalam

putusan tersebut, pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan sita umum (algemene

beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya adalah supaya dapat

membayar semua tagihan kreditor secara adil, merata, dan seimbang. Pembayaran tagihan

Page 11: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

kreditor dilakukan berdasarkan prinsip paripassu prorate parte, karena memang kedudukan

kreditor pada dasarnya adalah sama, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya diatur

berdasarkan peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dahulu yang diatur

dalam Undang-Undang terkait dengan jaminan terhadap pinjaman yang diberikan kreditor

terhadap seorang debitor. Kreditor yang demikian sejak awal diperjanjikan untuk diselesaikan

tagihannya lebih dahulu dan secara terpisah (separate) dengan hak untuk melakukan eksekusi

terhadap harta yang dijaminkan. kreditor yang dijamin dengan hipotek, gadai, fidusia, dan hak

tanggungan lainnya. Dalam urutan berikutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan,

adalah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kemudian

upah buruh. Padahal, penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Yang dimaksud didahulukan

pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang

lainnya”;

2. Bahwa pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga mempertimbangkan, tidak dapat

disangkal bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang

sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan

usaha bergerak adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Masing-masing unsur

tersebut diikat dengan perjanjian, yang karena isinya menjadikan unsur-unsur tersebut tidak

memiliki kedudukan yang sama dilihat dari ukuran kepastian, jaminan, dan masa depan jika

timbul risiko yang berada di luar kehendak semua pihak. Pengakuan tetap harus

mempertimbangkan kedudukan yang berbeda dan risiko dalam kehidupan ekonomi berbeda

yang tidak selalu dapat diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam membuat kebijakan hukum, hak-

hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh

mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan

baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.

Kemudian (poin 3.18 dimana putusan mahkamah konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013)

Menimbang bahwa mengenai yang menjadi dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing

kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara. Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi

pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum

kewajiban kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar hukum bagi

adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-

VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi

perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor

separatis dan pekerja/buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat

dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara

keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan;

Bahwa dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia serta perjanjian

tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum, yaitu pengusaha dan

pemodal, yang secara sosial ekonomis para pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi

pemodal, yang boleh jadi adalah pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian

yang dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Pengusaha

dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar, melainkan pihak yang satu, sebagai

pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila dibandingkan pekerja/buruh, karena pekerja/buruh

Page 12: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

secara sosial ekonomis jelas lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha, meskipun antara

pengusaha dan pekerja/buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan berproduksi tanpa

pekerja/buruh dan pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha. Berdasarkan

pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, oleh karena pekerja/ buruh secara sosial ekonomis

berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan pengusaha dan hak-hak pekerja/buruh

telah dijamin oleh UUD 1945 maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk

dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut;

Bahwa dalam aspek objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia, dan perjanjian tanggungan

lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja yang menjadi

objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam kerangka untuk

memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh, sehingga antara keduanya

dalam aspek ini memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya

adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya dilindungi oleh hukum.

Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kasus ini

manakah yang seharusnya menjadi prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau

kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran

upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan

pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah pekerja/buruh sesungguhnya

adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering

keringatnya. Dalam perspektif tujuan negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional

sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.16], menurut Mahkamah kepentingan manusia terhadap

diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum

kreditor separatis;

Bahwa dalam aspek risiko, bagi pengusaha risiko merupakan bagian dari hal yang wajar

dalam pengelolaan usahanya, selain keuntungan dan/atau kerugian. Oleh karena itu, resiko

merupakan hal yang menjadi ruang lingkup pertimbangannya ketika melakukan usaha, bukan ruang

lingkup pertimbangan pekerja/buruh. Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana

untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak tepat manakala

upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan argumentasi yang

dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya. Adalah tidak adil

mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha. Selain itu,

hidup dan mempertahankan kehidupan, berdasarkan Pasal 28A UUD 1945 adalah hak konstitusional

dan berdasarkan Pasal 28I ayat (1) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,

yang oleh karenanya berdasarkan ayat (4) dan ayat (5) pasal tersebut, negara dalam hal ini

Pemerintah, harus melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya dalam peraturan

perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.

Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa antara upah dan hak pekerja lainnya tidaklah sama

dengan hak-hal lainnya maka wajar bila dibayar setalah kreditor separatis. Kemudia didalam amar

putusannya memutus sebagai berikut:

AMAR PUTUSAN

Page 13: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

MENGADILI

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang

didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara,

kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak

pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang,

dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;

1.2 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

“pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk

atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk

Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan

termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali

tagihan dari kreditur separatis”;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana

mestinya;

3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Bahwa dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Reg 67/PUU-XI/2013 yang terkait

dengan pentingnya kedudukan pekerja, dapat disimpulkan bahwa upah pekerja yang terhutang

didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara,

kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk Pemerintah. Sehingga dalam posisi prioritas pekerja

sebagai kreditor dalam pailit menepati tinggat tertinggi dari kreditor lainnya. Akan tetapi ada

perbedaan dalam posisi/kedudukan pekerja/buruh sebagai kreditor dalama pailit dimana dalam hal

pembayaran /pemenuhan hak pekerja lainnya, yang dimana kedudukannya dibawah kreditur

separatis dan diatas tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dinaungi oleh

Pemerintah sehingga dalam pemenuhan hak normatif pekerja selain upah dll harus menunggu

barisan kreditor separatis telah diselesaikan.

Hal-hal tersebut telah dijelaskan mengenai kreditor preferen yakni kreditor yang mempunyai

hak istimewa atau hak yang diberikan oleh undang-undang. Dengan adanya putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 maka dimana kreditor preferen tersebut telah

ditentukan/diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yang dimana hal tersebut sebenernya telah

menggangu kedudukan kreditor preferen tersebut selain upah pekerja. Akan tetapi dimana putusan

Mahkamah Konstitusi ialah bersifat final dan mengikat, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Page 14: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

67/PUU-XI/2013 yang dikaitkan dengan urutan kreditor pailit menurut Jono dalam bukunya Hukum

Kepailitan (121-122: 2010), maka urutan kreditor dalam pailit tersebut dapat digambarkan sebagai

beriku.

Akan tetapi didalam urutan kedudukan hukum hak normatif pekerja selain upah masih

berada dibawah pemengang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agungan atas

kebendaan lainnya . berdasarkan Pasal 55 ayat 1 UU KPKPU yang menyatakan bahwa setiap kreditor

yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dimana dapat

mengksekusi haknya bila mana perusahaan tersebut mengalami kepailitan, Separatis dapat diartikan

terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki oleh debitor

yang dipailitkan oleh pengadilan niaga, sehingga kreditur speratis dapat mengeksekusi sendiri

benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki oleh dibetor yang dipailitkan dan dilakukan

hanya untuk melunasi utang kepada kreditor speratis dan hal tersebut dapat merugikan

pekerja/buruh dimana pekerja/buruh tidak mendapatkan hak normatifnya yang selain upah.

Harusnya perusahaan yang mengalami pailit harus mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut karena Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum mengikat dan final.

Sebagaimana berdasarkan dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Mahkama Konstitusi:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat,

pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan

undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita

Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Secara tioritis, final bermakna putusan MK berkukatan hukum tetap setelah diucapkan didalam

sidang yang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap

putusan itu, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi

seluruh masyarakat Indonesia. Aturan-aturan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap

seharusnya perlu disadari atau menjadi dasar bagi parah yang berkaitan dengan kasus diatas,

khususnya bagi kurator dalam melakukan pemberesan harta pailit, agar memberikan keadilan,

kepastian dan kemanfaatan bagi semua pihak yang bersangkutan. Pengurusan harta pailit harusnya

benar-benar mengetahui apa yang harus dilakukan dengan baik dalam pelaksanaannya sehingga hak

normatif pekerja lainnya selain upah dapat dipenuhi .

Dimana Undang-Undang telah tegas mengatur kedudukan masingmasing kreditur akan tetapi

potensi akan adanya multi tafsir untuk memenuhi hak tersebut dapat pula terjadi mengingat adanya

kemungkinan jumlah kreditur yang banyak, potensi akan tidak terpenuhnya hak kreditur dapat

terjadi mengingat dari jumlah harta boedel pailit tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran

Page 15: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

utang debitur kepada kreditur. Undang-undang kepailitan yang dibuat berdasarkan beberapa asas

yang ada diatas menjadi tujuan serta landasan dari keseluruhan pasal yang ada pada peraturan

perundang-undangan tersebut yang menjelaskan arah dari fungsi dan manfaat dari undang-undang

tersebut.

Menurut Muhammad Hatta ketakutan pekerja/buruh untuk mendapatkan hak-haknya

bukanlah permasalahan kedudukan mereka sebagai kreditur, akan tetapi. Ketakutan yang paling

terbesar yaitu apabila kemungkinan jika harta boedel pailit ternyata tidak mencukupi untuk

dibagikan kepada para kreditur serta rentang waktu yang harus pekerja/buruh tunggu hingga

keseluruhan dari hak-hak mereka terpenuhi. Ketakutan tersebut berimbas kepada desakan para

pekerja/buruh untuk memperoleh hak mereka secepatnya. Walupun hak-hak pekerja pada

perusahaan pailit seharusnya tidak perlu menjadi sebuah masalah yang besar jika penerapaan

Undang-Undang ketenagakerjaan undang-undang No. 13 tahun 2003 pasal 95 ayat 4 di

implementasikan kedalam perkara kepailitan dalam menetapkan pekerja/buruh sebagai salah satu

kreditur.

Pekerja /buruh sebagai salah satu kreditor yang di istimewakan/preferen pemenuhan haknya di

landasi oleh prinsip utama penyelesaian utang prinsip penyelesaian utang tersebut berlaku untuk

para kreditur secara umum. Terdapat tiga prinsip dalam penyelesaian utang debitor kepada kreditur.

yaitu:

a. Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur

mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat

membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur.7 Prinsip paritas

creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitur baik berupa barang bergerak

maupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-

barang dikemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.8

Filosofi dari prinsip paritas kreditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidak adilan jika

debitur memiliki harta benda sementara utang debitur terhadap para krediturnya tidak

terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitur demi hukum

menjadi jaminan terhadap utangutangnya meskipun harta debitur tersebut tidak berkaitan

langsung dengan utang-utang tersebut. Dengan demikian, prinsip paritas creditorium berangkat

dari fenomena ketidakadilan jika debitur masih memiliki harta sementara utang debitur terhadap

para kreditur tidak terbayarkan. Makna lain dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang

menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitur hanya terbatas pada harta kekayaannya

saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan hak-hak lainnya diluar harta kekayaan sama

sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitur tersebut.

Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk

membayar lunas semua kreditor, maka kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang

halal maupun tidak halal, untuk mendapatkan pelunasaan tagihannya terlebih dahulu, kreditor

yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis.

7Mahadi, Flasafah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung, 2003, h. 135.

8Kartini Mulyadi, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta, 2000, h. 168.

Page 16: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Hal ini sangat tidak adil dan merugikan, berdasarkan alasan tersebut timbullah lembaga

kepailitan yang mengatur tat cara yang adil mengenai pembyaran tagihan-tagihan para kreditor.9

b. Prinsip paripassu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama

untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antar mereka, kecuali jika

antara kreditur itu ada menurut undang-undang harus di dahulukan dalam menerima

pembayaran tagihannya.10 Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi

utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan

proporsinya dan bukan secara sama rata. Jika prinsip paritas creditorium bertujuan untuk

memberikan keadilan kepada semua kreditor tanpa membedakan kondisinya terhadap harta

kekayaan debitor kedantipun harta kekyaan debitor tersebut tidak berkaitan langsung dengan

transaksinya yang dilakukan, maka prinsip paripassu parte memberikan keadilan kepada kreditor

yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendaptkan porsi pembayaran lebih kecil

dari padanya. Seandainya kreditor disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya

piutang, maka akan menimbulkan seuatu tidak pastian.11

c. Prinsip structured creditors Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip

paripassu prorate parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika diantara

kreditur tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama

kedudukannya karena ada sebagian kreditur yan memegang jaminan kebendaan dan atau

kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.12

Apabila kreditor yang memegang jaminan kebendaan disamakan dengan kreditor yang tidak

memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah ketidajadilan. Bukankah maksud adanya

lembaga jaminan untuk memeberikan perlindungan hukum terhadap pemgang jaminan tersebut, jika

pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan

dengan kreditor yang tidak memiliki jaminan kebedaan, maka adanya lembaga hukum jaminan

menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan

keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutanngnya jika kedudukannya

disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa

undang-undanf melakukan pengaturan terhadapt kreditor-kreditor tertentu dapat memiliki

kedudukan istimewa dan karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-

piutangnya. Ketidakadilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured creditors

(ada yag menyebut dengan nama prinsip structured prorata).

Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan

mengelompokan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan

kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Kreditor separatis;

2. Kreditor preferen;

3. Kreditor konkuren.

9Kartini Mulyadi, Op.Cit., h. 1-2.

10Kartini Mulyadi, Op.Cit., h. 300.

11M.Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 30.

12M.Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 31.

Page 17: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Pembagian kreditor menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditor

pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditor hanya

dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor konkuren. Kreditor preferen dalam hukum perdata

umum dapat mencaku kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditor yang menurut

undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang

dimaksud dengan kreditor preferen hsnys kreditor yang menurut undang-undang harus didahulukan

pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privileg, pemegang hak retensi, dan lain sebagainnya.

Sedangkan kreditor yang memiliki jaminan kebendaan, dalam hukum kepailitan, diklasifikasikan

dengan sebutan kreditor separatis.13

Menurut Pudjo Hunggul mengenai pendistibusian hak pekerja/buruh sebagai kreditur istimewa

sepenuhnya ada pada kurator, dan jika kurator dalam memenuhi hak para kreditur mengalami

masalah terhadap adanya harta boedel pailit yang seharusnnya pemberesannya berada di bawah

tanggungannya dapat menempuh upaya hukum Actio pauliana.

Action pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak

diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh dibitor

perbuatan tersebut merugikan kreditor. Hak tersebut merupakan perlindungan yang diberikan oleh

hukum kepada kreditor atas perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor. Hak tersebut diatur

oleh KUHPerdata dalam Pasal 1341.

Menurut Pasal 1341 KUHPerdata :

Meskipun demikian, setiap kreditor dapat mengajukan permohonan pembatalan atas segala

perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor dengan nama apa pun, yang

merugikan para kreditor, sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbustsn itu dilakukan,

baik debitor maupun orang dengan atau untuk siapa debitor itu melakukan perbuatan itu,

mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan kreditor.

Selanjutnya Kartini Muljadi menyatakan, tidak perlu diajukan gugatan untuk menyatakan

suatu tindakan paulinan batal, tetapi jukup kurator menyatakan (inroepen) bahwa tindakan itu batal,

asalkan kurator dapat membuktikan bahwa pada saat debitor melakukan tindakan hukum tersebut,

kurator dan pihak degan siapa debitor melakukan tindakan tersebut mengetahui atau sepatutnya

mengetahui bahwa perbuatannya itu akan merugikan kreditor (Kartini Muljadi, dalam Lontoh

dkk.,2001: 301-303)

Action Paulina yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata memperoleh letentuan

pelaksanaannya dalam Pasal 41-50 UU KPKPU, sebagaimana telah dikemukakan Pasal 1341

KUHPedata menentukan setiap kreditor dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang

tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apa pun yang merugikan para kreditor sepanjang

dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitir maupun pihak dengan atau

untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor.

13M. Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 33.

Page 18: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Menurut Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU, Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan

dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang

merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 41 ayat (2), Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,

Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya

mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Menurut

penjelasan Pasal 41 ayat (2) UU KPKPU, yang dimaksud degan “pihak dengan siapa perbuatan itu

dilakukan” dalam ketentuan ini, termasuk pihak untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut

diadakan.

Menurut 41 ayat (3) UU KPKPU, Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau

karena undang-undang. Contohnya dalam penjelasan Pasal 41 ayat (3) UU KPKPU bahwa dimana

perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak.

Menurut Fred B.G. Tumbuan, dimana Pasal 41 UU No.4 Tahun 1998 (yang dimana isi Pasal

tersebut sama dengan isi Pasal 41 UU KPKPU) ada lima persyaratan yang harus dipenuhi (agar actio

paulina itu berlaku), persyaratan tersebut ialah :

a. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;

b. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan kreditor;

c. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditor;

d. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui

bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditor; dan

e. Pasa saat melakukan perbuatan hukum itu dilakukan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan

mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan

kerugian bagi kreditor.

Dalam hal demikianpun, Actio pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan

putusan hakim pengadilan. Dengan demikian berarti setiap pembatalan perjanjian, apapun juga

alasanya, pihak manapun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan. Dengan

dijatuhkannya putusan yang membatalkan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan

kreditur (khususnya harta kekayaan debitur), maka seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan

seperti semula.14

Berdasarkan penjelasan Pudjo Hunggul terhadap terjadinya penggelapan oleh debitur terhadap

harta boedel pailit yang seharusnya berada di bawah kepengurusan kurator. Maka hal tersebut telah

bertentangan dengan isi Pasal 98 undang-undang kepailitan yaitu: “Sejak mulai pengangkatanya,

kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua

surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lain nya dengan memberikan tanda

terima.”

14Kartini muljadi, pedoman menangani perkara kepailitan, h. 44.

Page 19: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

Dimana upaya untuk mengaburkan/menjual harta pailit tersebut oleh debitur sebelum adanya

putusan pailit oleh pengadilan niaga kepada debitur, sehingga walaupun kurator dengan wewenang

yang diberikan oleh undang-undang kepadanya akan tetapi dalam kenyataannya kurator berhadapan

dengan debitur yang dimana debitur bersifat tidak koperatif dikarenakan tindakan debitur yang

dengan sengaja menjual harta yang seharusnya menjadi harta boedel pailit nantinya ketika terjadi

putusan pailit dimana debitur mengetahui potensi atas kepailitan yang akan terjadi pada

perusahaannya.

Pada kemungkinan yang kedua dimana dalam tahap pemberesan harta pailit dimana harta pailit

tidak dapat mencukupi untuk melunasi seluruh utang-utang yang ditinggalkan pada para

kreditornya secara tuntas. Maka dalam kondisi tersebut dapat berakibat hukum dibubarkannya

perseroan terbatas tersebut, sehingga hukum akan beranggapan sisa utang yang belum terbayar

menjadi lunas/tidakada dengan tiadakan eksistensi kebadan hukumannya dari perseroan terbatas

tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan kepailitan terhadap subjek hukum orang yang dimana

bukan badan hukum, maka dimana jika harta kekayaan orang perorangan (natuurlijk person) yang

pailit tidak dapat mencukupi untuk membayar utang yang ditinggalkan saat perusahaan mengalami

kepailitan maka tidak boleh orang pailit yang bersangkutan harus dibubarkan/dianggap tidak ada,

sedangkan sisa utang yang belum terbayar akan tetap mengikuti debitor pailit tersebut meninggal

dunia, dimana kewajiban pembayaran sisa utang akan beralih kepada ahli warisnya dan bahkan

dalam bagian kesembilan UU KPKPU 2004 mengatur khusus mengenai Kepailitan Harta

Peninggalan.

Kecmudian rehabilitasi kepailitan dimana harus dibedakan dengan pencabutan kepailitan. Dalam

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat pranata hukum

pencabutan kepailitan terhadap perseroan terbatas. Dimana pencabutan kepailitan juga merupakan

salah satu pranata hukum pengakhiran kepailitan. Dalam Pasal 18 Undang-Undang KPKPU

dikatakan bahwa dalam hal harta pailit yang tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, maka

pengadilan atas usul hakim pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada,

serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar debitor, dapat memutuskan pencabutan

putusan pernyataan pailit. Ketentuan pencabutan kepailitan ini tidak bisa diberlakukan kepada

debitor pailit yang bersifat badan hukum. Sehingga dimana sangat disesalkan dimana undang-

undang tidak mencamtumkan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang KPKPU. Dimana peraturan

tentang pembedaan pencabutan kepailitan antara subjek hukum badan hukum bisa menimbulkan

salah penafsiran dan bahkan bisa disalahgunakan di dalam praktiknya bila tidak diatur secara tegas,

yang pada akhirnya nanti semakin membuat jauh pergeseran makna kepailitan yang sebenarnya.

Dimana argumentasi yuridis tidak dapatnya diberlakukan ketentuan pencabutan kepailitan dalam

Undang-Undang KPKUP terhadap debitor paillit perseroan terbatas adalah bahwa apabila debitor

pailitnya adalah badan hukum dalam hal ini perseroan terbatas, maka jika harta kekayaan perseroan

tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang para kreditornya jalan satu-satunya adalah

membubarkan perseroan tersebut dan tidak dapat dicabut kepailitan perseroan.

Di samping akibat pencabutan kepailitan terhadap perseroan terbatas yang pailit dimana tidak

diatur dalam Undang-Undang KPKPU, dan didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga tidak

diatur mengenai hal ini. Pasal 142 UUPT menyatakan :

Page 20: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

a. berdasarkan keputusan RUPS;

b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

c. berdasarkan penetapan pengadilan;

d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang; atau

f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, akan dating dimasukannya ketentuan hal ini, yakni bahwa perseroan terbatas

bubar karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang disebabkan boedel

pailit dari perseroan terbatas yang pailit tidak cukup untuk melunasi utang-utang perseroan terbatas

beserta biaya-biaya yang timbul karena kepailitan perseroan.15

Menurut penulis berdasarkan penjelasan Hadi Subhan dimana yang menjelaskan bahwa upah

pekerja/buruh dianggap sebagai biaya kepailitan yang harus dibayar sebelum di distribuskan kepada

kreditur, maka terhadap harta perusahaan yang tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran

terhadap para kreditur tidak berimbas besar kepada para pekerja/buruh sebagai salah satu kreditur

hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 18 UU

1. Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul

Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada, serta setelah

memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan

pernyataan pailit.

2. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

3. Majelis hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan

imbalan jasa Kurator.

4. Jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dibebankan kepada Debitor.

5. Biaya dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didahulukan atas semua utang

yang tidak dijamin dengan agunan.

6. Terhadap penetapan majelis hakim mengenai biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat diajukan upaya hukum.

7. Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan

Kurator yang diketahui Hakim Pengawas.

Namun menurut penulis dari keseluruhan Pasal 18 UU KPKPU hanya menyebutkan biaya

kepailitan dan imbalan jasa kurator. Bukanlah secara jelas mengatakan upah pekerja/buruh

walaupun di telah klasifikasikan dianggap upah pekerja/buruh adalah biaya kepaiiltan, seharusnya

15M. Hadi Shubhan, Op.,Cit., h. 222.

Page 21: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

apabila dalam undang-undang telah menyatakan bahwa menggunakan kata jasa terhadap peran dan

fungsi kurator, maka pekerja/buruh juga merupakan orang yang menerima berhak menerima upah

atas jasa dan tenaga yang mereka keluarkan selama mengabdi pada perusahaan tempat mereka

bekerja sebelum perusahaan tersebut mengalami kepailitan.

Akan tetapi ketika pekerja/buruh sebagai kreditur tidak memperoleh haknya dikarenakan oleh

kurator maka pekerja/buruh dapat melakukan tuntutan sebagaimana di atur dalam undang

kepailitan pasal 72 UU Kepailitan yang menyatakan sebagai berikut “Kurator bertanggung jawab

terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan

yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”.16

Merupakan tugas dan tanggung jawab dari kurator yang di tunjuk dan ditetapkan oleh

pengadilan, lebih lanjut mengenai kreditur ketika terdapat benturan dengan kreditur lainnya dapat

mengajukan upaya hukum berupa gugatan lainnya kepada hakim pemutus.

C. PENUTUP

Keduduka hukum dimana pekerja sebagai kreditor pada perusahaan pailit berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/20013 yakni bahwa upah pekerja yang belum diberikan

maka harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan

hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini

posisi/kedudukan yang diprioritaskan adalah pekerja/buruh dimana perusahaan yang mengalami

pailit dari pelunasan terhadap kreditor lainnya. Sedangkan hak-hak pekerja selain upah berada

dibawah/didahului oleh kreditor separatis dan diatas semua tagihan termasuk tagihan hak negara,

kantor lelang, dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, Hak-hak normatif pekerja pada

perusahaan yang mengalami pailit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Pasal 156.

Dari posisi dimana kedudukan pekerja pada perusahaan yang mengalami pailit, dimana pekerja

diberikan hak istimewa sebagai kreditor istimewa yang dimana pemenuhan haknya merupakan

prioritas pertama apabila didasarkan pada prinsip paripassu pro rata parte yang berarti “bahwa harta

kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan

secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-

undang harus di dahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.”(kartini muljadi (2001),‟‟

Actio pauliana dan pokok-pokok tentang pengadilan niaga” ) pengertian kata di dahulukan

menerima pembayarannya menurut undang-undang merupakan kata kunci bagi pemenuhan hak

pekerja, sebagai relevansi dari UUK pasal 95 ayat 4. Jika terdapat hal hak pekerja tidak tertagih

disebabkan menyusutnya harta pailit/ boedel pailit ternyata habis disebabkan oleh perbuatan

debitur, maka pekerja melalui kurator dapat mengajukan gugatan lain kepada hakim pemutus dan

Actio pauliana.

DAFTAR BACAAN 1Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Jakarta:

2007

16Jono, Op.,Cit., h.151.

Page 22: PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA DALAM PERATURAN …

1Adrian Sutedi, hukum perburuan, Bogor:2009

1Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta: 2011

1Asri Wijayati, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, Jakarta: 2009

1Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: 2012

1Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: 2006

1Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: 2010

1Kartini muljadi, Pedoman Mengenai Perkara Pailit

1Kartini Mulyani, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta:2000

1M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan prinsip Norma dan Praktek di Peradilan, Jakarta: 2008

1Mahadi, Flasafah Hukum:Suatu Pemgantar, Bandung:2003

1Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Jakarta: 2005

1Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2005

1R.Joni Bambang, hukum ketenagakerja, Bandung: 2013

1Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: 2017

1Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta

1Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailutan, Jakarta:2010

1Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, pengantar hukum kepailitan di Indonesia, Jakarta:1994