124
PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN … · diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April

  • Upload
    phamdat

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)

DARI METIL ESTER STEARIN

RENNY UTAMI SOMANTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Suhu Input pada Proses Pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Stearin” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011 Renny Utami Somantri F351080111

ABSTRACT

RENNY U SOMANTRI. F351080111. The Effects of Input Temperature on Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) Production from Palm Stearin Methyl Ester. Under Supervision of ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI.

Methyl ester sulfonic acid (MESA) is an intermediate product that synthesized during methyl ester sulfonates (MES) production by continuous sulfonation of fatty acid methyl ester (FAME) using SO3 as reactant in a falling-film reactor. MES is an anionic surfactant that has been widely used in detergent products. Surfactant or surface-active agent is a compound having both polar and non-polar groups in the same molecule and forming head-tail configuration, thus able to reduce surface and interfacial tensions also to increase the stability of dispersed particle.

There is a growing interest in MES hence its feedstock availability and appreciation for excellent surfactant and environment. MES has several outstanding surfactant properties: excellent resistance to water hardness and excellent detergency for carbon chains C14 to C18. Palm stearin methyl ester is a potential material as MES feedstock in Indonesia as the country with the largest palm oil producer in the world. Palm stearin is renewable, biodegradable and rich of C16 and C18 fatty acids which have good detergency and tolerant to Ca ion.

The study was aimed to obtain information on the effect of input temperature during sulfonation of palm stearin ME to the physicochemical properties of MESA produced and to determine steady state condition during continous sulfonation of palm stearin ME on the best input temperature. The result showed MESA that produced by input temperature of 100 oC by 6 hours of sulfonation time exhibited properties better than other treatments. MESA’s physicochemical properties obtained were pH 0,71, acid value 23,43 mg KOH/g, viscosity 88,44 cP, density 0,9957 g/cm3, iodine value 14,89 mg I/g, active matter 21,08% and average surface tension of 33,73 dyne/cm. The steady state condition was obtained after 4 hours of sulfonation time. It showed by its stability on active matter and the ability to reduce surface tension.

Keywords: palm stearin methyl ester, MESA, MES and sulfonation

RINGKASAN

RENNY U SOMANTRI. F351080111. Pengaruh Suhu Input pada Proses Pembuatan Surfaktan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Stearin. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI. Methyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses produksi methyl ester sulfonates (MES) melalui sulfonasi metil ester secara sinambung pada reaktor falling-film. MES merupakan surfaktan anionik yang sejak tahun 1990an mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri detergen bubuk (Mazzanti 2008). Surfaktan adalah senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang memiliki gugus polar dan non-polar pada molekul yang sama dan membentuk konfigurasi kepala-ekor sehingga memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka, serta meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Selain digunakan pada industri pencucian dan pembersihan, surfaktan juga digunakan pada industri pangan, farmasi, cat, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan. Surfaktan MES berbasis minyak nabati menarik untuk dikembangkan karena adanya kebutuhan akan surfaktan yang ramah lingkungan. MES memiliki sifat-sifat yang sangat baik terutama dalam hal ketahanan pada air sadah dan tingkat detergensi yang baik karena mengandung asam lemak C14 sampai C18. ME stearin dari minyak sawit berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES karena bersifat terbarukan, dapat teruraikan secara alami dan ketersediaannya melimpah di Indonesia yang merupakan negara produsen minyak sawit utama di dunia. Proses produksi surfaktan MES dapat dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya H2SO4, NaHSO3, oleum, dan gas SO3. Penggunaan SO3 sebagai agen sulfonasi lebih banyak mendapat perhatian karena zero waste. Disamping itu, SO3 memiliki reaktivitas tinggi sehingga reaksi berlangsung cepat dan sulfonasi dengan gas SO3 ini dapat dilakukan secara sinambung pada reaktor singletube falling-film. Kelemahan proses sulfonasi menggunakan gas SO3 adalah diperlukan peralatan dan kontrol proses yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pengaruh suhu input selama proses sulfonasi ME stearin terhadap sifat fisikokimia methyl ester sulfonic acid (MESA) yang dihasilkan dan menghasilkan MESA dari kondisi tunak proses sulfonasi ME stearin dengan STFR pada suhu input terbaik.

Pada penelitian ini diketahui, proses sulfonasi pada STFR yang dilakukan selama 6 jam dan peningkatan suhu input dari 80 ke 100 oC, berpengaruh terhadap sifat fisikokimia MESA yang dihasilkan. Dengan bertambahnya lama proses sulfonasi dan meningkatnya suhu input maka pH MESA yang dihasilkan semakin turun dan bilangan asam terukur meningkat, densitas dan viskositas MESA akan meningkat, juga meningkatkan kadar bahan aktif dan kemampuan MESA dalam menurunkan tegangan permukaan. Sedangkan sifat kimia yang tidak berubah dengan peningkatan suhu input adalah bilangan iod. Hasil penelitian ini menunjukkan MESA yang diproduksi melalui suhu input ME sebesar 100 oC memiliki sifat fisikokimia yang lebih baik dibandingkan

dengan suhu input 80 dan 90 oC. MESA yang dihasilkan memiliki rata-rata pH 0,75, bilangan asam 18,08 mgNaOH/g, viskositas 62,72 cP, densitas 0,9776 g/cm3, bilangan iod 17,68 mg I/g, kadar bahan aktif 16,15% dan tegangan permukaan 35,13 dyne/cm. MESA dengan sifat fisikokimia dan kinerja terbaik diperoleh dari suhu input 100 oC dengan lama sulfonasi 6 jam. MESA yang dihasilkan memilliki rata-rata pH 0,71, bilangan asam 23,43 mgNaOH/g, viskositas 88,44 cP, densitas 0,9957 g/cm3, bilangan iod 14,89 mg I/g, kadar bahan aktif 21,08% dan tegangan permukaan 33,73 dyne/cm. Proses sulfonasi dengan suhu input 100 oC selama 6 jam mencapai kondisi tunak pada jam ke-4. Setelah mencapai kondisi tunak, nilai rata-rata kandungan bahan aktif dan kemampuan dalam menurunkan tegangan permukaan tidak berubah. Kata kunci : metil ester stearin, MESA, MES, SO3 dan sulfonasi.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)

DARI METIL ESTER STEARIN

RENNY UTAMI SOMANTRI

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pengaruh Suhu Input pada Proses Pembuatan Surfaktan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Stearin

Nama : Renny Utami Somantri NIM : F351080111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ani Suryani, DEA

Ketua

Prof. Dr. Erliza Hambali

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 8 Maret 2010 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Pengaruh Suhu

Input pada Proses Pembuatan Surfaktan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari

Metil Ester Stearin”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan

dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr.

Erliza Hambali selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan

dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM IPB,

PT. Mahkota Indonesia dan di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian IPB

yang telah membantu selama penelitian; rekan-rekan di Program Studi Teknologi

Industri Pertanian angkatan 2008. Ungkapan terima kasih juga disampaikan

kepada orang tua serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan,

oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan

tulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga

karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2011

Renny Utami Somantri

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10 Pebruari 1980.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah

Menengah Atas (SMA) di Bogor. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 1

Bogor dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

PMDK di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

serta meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (S.TP) di Institut Pertanian Bogor

pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis mulai aktif bekerja di Badan Litbang

Pertanian dan ditempatkan di UPT BPTP Sumatera Selatan, sebelumnya penulis

sempat bekerja di kantor HKI-IPB. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan

pendidikan program S2 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Litbang

Pertanian.

iii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix

1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2 Tujuan .......................................................................................................... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5 2.1 Stearin Sawit ................................................................................................. 5 2.2 Metil Ester .................................................................................................... 6 2.3 Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ........................................................... 8 2.4 Proses Sulfonasi .......................................................................................... 13

3 METODOLOGI ............................................................................................ 17 3.1 Kerangka Pemikiran ................................................................................... 17 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 18 3.3 Bahan dan Alat ........................................................................................... 18 3.4 Metode ....................................................................................................... 19

3.4.1 Persiapan Bahan Baku dan Karakterisasi ME Stearin ................... 19 3.4.2 Proses Sulfonasi ME Stearin Menggunakan Reaktor STFR ........... 20 3.4.3 Penentuan Kondisi Terbaik ........................................................... 22

3.5 Rancangan Percobaan ................................................................................. 23 3.6 Hipotesis ..................................................................................................... 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 27 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin ...................................................................... 27 4.2 Proses Sulfonasi ME Stearin menjadi MESA .............................................. 30 4.3 Sifat Fisikokimia MESA ............................................................................. 35

4.3.1 Viskositas ..................................................................................... 35 4.3.2 Densitas ........................................................................................ 37 4.3.3 Bilangan Iod ................................................................................. 38 4.3.4 Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 40 4.3.5 Bilangan Asam ............................................................................. 42 4.3.6 Kadar Bahan Aktif ........................................................................ 44 4.3.7 Tegangan Permukaan.................................................................... 47

iv

Halaman

4.4 Penentuan kondisi terbaik ....................................................................... 51 Kadar bahan aktif dan tegangan permukaan MES ......................................... 52

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 57

5.1 Kesimpulan............................................................................................. 57 5.2 Saran ...................................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 59

v

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi asam lemak beberapa produk sawit ............................................... 5

2 Perbandingan kualitas metil ester ................................................................... 8

3 Karakteristik metil ester yang baik untuk dijadikan bahan baku surfaktan untuk aplikasi sabun dan detergen ................................................. 11

4 Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) dari ME stearin .............. 13

5 Hasil analisis sifat fisikokimia ME stearin .................................................... 28

6 Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) tegangan permukaan akibat dari perbedaan suhu input dan konsentrasi MESA ............................................... 49

vi

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol dan katalis NaOH ................................................................................................ 7

2 Mekanisme reaksi sulfonasi ME asam lemak jenuh pada reaktor falling film ...................................................................................... 14

3 Proses transesterifikasi stearin .................................................................... 19

4 Skema proses sulfonasi ME menjadi MESA ............................................... 21

5 Diagram alir penelitian ............................................................................... 23

6 Skema aliran metil ester dan gas SO3 di dalam reaktor STFR...................... 31

7 Reaktor STFR yang digunakan dalam penelitian ......................................... 32

8 Mekanisme reaksi sulfonasi ME ................................................................. 33

9 Methyl ester sulfonic acid (MESA) stearin .................................................. 34

10 Mekanisme reaksi terbentuknya senyawa kromofor .................................... 34

11 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan viskositas MESA ............................................. 36

12 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan densitas MESA................................................ 38

13 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan bilangan iod MESA ......................................... 39

14 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan pH MESA ....................................................... 41

15 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan bilangan asam MESA ...................................... 43

16 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan kadar bahan aktif MESA ................................. 45

17 Interpretasi stokiometri proses sulfonasi ME .............................................. 47

18 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi dan konsentrasi MESA dalam larutan dengan tegangan permukaan air ................................ 50

19 Nilai indeks gabungan kriteria dari masing-masing suhu input .................... 51

20 Kadar bahan aktif MESA dan MES pada suhu input 100 oC ...................... 53

viii

Halaman

21 Reaksi reesterifikasi senyawa sulfonat anhidrida (1) dan

netralisasi MESA menjadi MES (2) ........................................................... 54

22 Tegangan permukaan MESA dan MES pada konsentrasi surfaktan dalam larutan 0,5%................................................................................................ 54

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur analisis metil ester stearin ........................................................... 65

2. Prosedur analisis surfaktan MESA dan MES ............................................. 70

3. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap viskositas MESA....................................................................................... 76

4. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap densitas MESA ........................................................................... 78

5. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap bilangan iod MESA .................................................................... 80

6. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap pH MESA ................................................................................................. 82

7. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap bilangan asam MESA ................................................................. 84

8. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap kadar bahan aktif MESA ............................................................. 86

9. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap tegangan permukaan MESA ....................................................... 88

10. Penentuan perlakuan terbaik sulfonasi ME menjadi MESA melalui pembobotan parameter sifat fisikokimianya .................................. 92

11. Data hasil penelitian kadar bahan aktif MES pada suhu input 100 oC ...................................................................................... 94

12. Data hasil penelitian tegangan permukaan MES pada suhu input 100 oC ...................................................................................... 96

x

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan (surface active agent) yang

dapat mempengaruhi serta menurunkan tegangan permukaan dan tegangan

antarmuka suatu media. Surfaktan mempunyai kemampuan untuk

menggabungkan bagian antar fase yang berbeda seperti udara-air, atau fase yang

memiliki derajat polaritas yang berbeda seperti minyak-air. Sifat unik ini

disebabkan oleh struktur ampifilik surfaktan, yaitu pada satu molekul surfaktan

terdapat gugus hidrofilik (polar) dan gugu hidrofobik (nonpolar).

Surfaktan telah diaplikasikan secara luas pada berbagai industri. Saat ini,

pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan

(washing and cleaning applications), contohnya yaitu sebagai bahan utama pada

industri deterjen, serta bahan pembusaan dan pengemulsi pada industri sabun.

Pemanfaatan surfaktan pada berbagai industri lainnya diantaranya adalah pada

industri kosmetika, farmasi, cat dan pelapis, pangan, pertambangan, kertas, tekstil,

kulit, produk kosmetika dan produk perawatan diri (personal care products),

karet, plastik, logam, perminyakan dan bahan kontruksi. Dalam industri-industri

tersebut surfaktan digunakan sebagai komponen bahan adhesif, pembasah,

pembusa atau bahan pengemulsi (Rosen dan Dahanayake 2000).

Surfaktan dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan muatan

ion pada gugus hidrofiliknya, yaitu anionik, nonionik, kationik dan amfoterik.

Kelompok surfaktan yang paling banyak diproduksi dan diaplikasikan secara luas

pada berbagai industri adalah surfaktan anionik. Jenis surfaktan anionik yang

banyak terdapat di pasaran antara lain Linear-alkyl Benzene Sulfonates (LAS),

yang disintesis secara kimia dari minyak bumi (petroleum).

Berdasarkan Statistik Industri Menengah Besar, Badan Pusat Statistik

(2007), surfaktan anionik digunakan oleh sekitar 39 kelompok industri.

Kelompok industri yang menggunakan surfaktan paling banyak adalah kelompok

industri sabun dan bahan pembersih keperluan rumah tangga termasuk pasta gigi.

Tahun 2007 Indonesia mengekspor 162.119 ton surfaktan, dimana lebih dari 30

2

persennya atau sekitar 48.971 ton berupa surfaktan anionik. Pada tahun yang

sama jumlah impor surfaktan di Indonesia sebesar 65.134 ton, dengan 44,4%

berupa surfaktan anionik (29.476 ton) (BPS 2007, data diolah).

Minyak bumi (petroleum) merupakan salah satu bahan baku yang umum

digunakan dalam produksi surfaktan. Selain itu surfaktan juga dapat diproduksi

menggunakan bahan baku berupa minyak nabati, karbohidrat, ekstrak alami, dan

biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme. Isu gencar mengenai produk

ramah lingkungan dan penggunaan sumberdaya terbarukan berperan dalam

meningkatkan produksi surfaktan berbasis bahan alami. Surfaktan anionik

berbasis petroleum seperti LAS dapat disubsitusi secara bertahap dengan

surfaktan anionik berbasis minyak nabati.

Surfaktan MES (methyl ester sulfonates) merupakan surfaktan anionik,

yang dapat dibuat dengan menggunakan metil ester dari minyak sawit. Sejak

tahun 1990an, MES mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri deterjen

bubuk (Mazzanti 2008). Potensi bahan baku minyak sawit di Indonesia

mengalami peningkatan setiap tahunnya dan pada tahun 2009, total produksi

minyak sawit mencapai 20,2 juta ton (Departemen Perindustrian 2009).

Fraksi stearin dari minyak sawit merupakan bahan baku potensial dalam

produksi surfaktan MES. Selain bersifat terbarukan, surfaktan berbasis stearin

minyak sawit juga lebih ramah lingkungan dalam proses produksi dan aplikasi

dan kadang memiliki karakteristik lebih baik dibandingkan menggunakan berbasis

petrokimia (Foster 1996). Disamping itu, pemanfaatan minyak sawit sebagai

bahan baku surfaktan dapat meningkatkan nilai tambah dari minyak sawit sebesar

795 persen, dibandingkan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku margarin

(180 persen), alkohol lemak (295 persen) dan metil ester (500 persen) (MAKSI

2003). Sedangkan menurut Hui (1996), stearin minyak sawit mengandung alkil

ester asam lemak C14, C16 dan C18 yang baik digunakan sebagai bahan baku

surfaktan karena mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, mampu

mempertahankan aktivitas enzim dan memiliki toleransi terhadap ion Ca lebih

baik.

Pemanfaatan MES pada beberapa produk adalah karena MES

memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik

3

terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), pada

konsentrasi MES yang lebih rendah daya detergensinya sama dengan petroleum

sulfonat, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan

garam (disalt) lebih rendah (Matheson 1996).

Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976) proses produksi surfaktan

MES dapat dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya

H2SO4, NaHSO3, oleum, dan gas SO3. Penggunaan SO3 sebagai agen sulfonasi

lebih banyak mendapat perhatian karena menghasilkan reaksi sulfonasi yang zero

waste. Menurut Watkins (2001), proses produksi MES dengan gas SO3 sebagai

reaktan dapat dilakukan dalam falling film reactor pada suhu 80-90 oC. Kontak

antara gas SO3 dan metil ester (ME) pada reaktor ini berlangsung cepat dan

mengubah molekul ME menjadi asam metil ester sulfonat (MESA), sedangkan

sisa gas SO3 yang tidak bergabung akan dikembalikan lagi ke dalam sistem reaksi.

Untuk memperoleh kinerja surfaktan MES yang tinggi, maka sangat

ditentukan kesempurnaan reaksi dalam tahapan proses sulfonasi SO3. Sulfonasi

ME untuk menghasilkan MES merupakan proses yang cukup kompleks. Terdapat

tiga tahap proses yang penting dalam sulfonasi ME secara sinambung, yaitu :

(1) tahap kontak ME dengan SO3, pada tahap ini diperlukan rasio mol SO3 yang

lebih besar dibandingkan bahan baku ME; (2) tahap aging untuk

menyempurnakan konversi ME; dan (3) tahap netralisasi (Roberts et al. 2008).

Menurut Watkins (2001), proses sulfonasi ME dengan reaktan gas SO3

dapat dilakukan pada falling film reactor dengan suhu 80-90 oC. Penelitian ini

mengkaji pengaruh suhu input bahan baku ME stearin. Selama proses sulfonasi,

peningkatan suhu input bahan baku akan menurunkan viskositas bahan baku ME

stearin. Dengan demikian diharapkan pembentukan film pada tube reaktor akan

semakin tipis dan kontak antara gas SO3 dengan ME menjadi lebih baik sehingga

peluang terikatnya gugus SO3 pada produk tersulfonasi akan semakin besar.

4

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mendapatkan informasi pengaruh suhu input selama proses sulfonasi ME

stearin terhadap sifat fisikokimia methyl ester sulfonic acid (MESA) yang

dihasilkan

2. Menghasilkan MESA dari kondisi tunak proses sulfonasi ME stearin dengan

STFR pada suhu input terbaik

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stearin Sawit

Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya,

yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari

biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan

crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut minyak inti sawit atau palm

kernel oil (PKO).

Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada CPO dapat dilakukan

dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi minyak

sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate

(PFAD) dan 0,5% limbah. Stearin sawit merupakan fraksi padat yang dihasilkan

dari proses fraksinasi CPO setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik stearin

sawit bersifat padat pada suhu ruang, berbeda dengan olein sawit yang bersifat

cair pada suhu ruang. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi asam lemak beberapa produk sawit

Asam Lemak Jenis Bahan

CPO a) PKO b) Olein c) Stearin c) PFAD d) Laurat (C12:0) < 1,2 40 – 52 0,1 – 0,5 0,1 – 0,6 0,1 - 0,3 Miristat (C14:0) 0,5 – 5,9 14 – 18 0,9 – 1,4 1,1 – 1,9 0,9 - 1,5 Palmitat (C16:0) 32 – 59 7 – 9 37,9 – 41,7 47,2– 73,8 42,9 -51,0 Palmitoleat(C16:1) < 0,6 0,1 – 1 0,1 – 0,4 0,05 – 0,2 - Stearat (18:0) 1,5 – 8 1 – 3 4,0 – 4,8 4,4 – 5,6 4,1 - 4,9 Oleat (18:1) 27 – 52 11 – 19 40,7 – 43,9 15,6 –37,0 32,8-39,8 Linoleat (C18:2) 5,0 – 14 0,5 – 2 10,4 – 13,4 3,2 – 9,8 8,6-11,3 Linolenat (C18:3) < 1,5 0,1 – 0,6 0,1 – 0,6 Arachidat (C20:0) 0,2 – 0,5 0,1 – 0,6

Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992) b) Swern (1979) c) Basiron (1996) d) Hui (1996)

Tabel 1 menunjukkan bahwa stearin sawit lebih didominasi oleh C16

sebesar 47,2-73,8 % dan C18:1 sebesar 15,6-37 %. Diketahui bahwa surfaktan dari

C16 dan C18 dari minyak sawit mempunyai daya detergensi yang tinggi dan

6

aktivitas permukaan yang baik (Hui 1996). Menurut Swern (1979), panjang

molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan

lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi

ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau

terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh

keterbatasan kelarutan didalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai

hidrofobiknya terlalu pendek, akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam

minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak

dengan 10-18 atom karbon.

Menurut Hui (1996) karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari

metil ester C16-C18, maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang

sesuai dan murah untuk memproduksi MES. Karakteristik deterjensi MES yang

berbahan baku stearin diketahui mirip dengan (linier alkil benzene sulfonat) LAS.

Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C16 hingga C18

sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai Kraft point

minimum 17 °C dan ini merupakan nilai maksimum kelarutan dibandingkan

dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya. MES dengan karakteristik ini sangat

berguna untuk menghasilkan detergen pada suhu rendah (Sheats dan MacArthur

2002).

2.2 Metil Ester

Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi

trigliserida (TG) minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak

jarak pagar, minyak kedelai, dan lainnya. Transesterifikasi merupakan reaksi

kimia antara trigliserida dan alkohol dengan adanya katalis untuk menghasilkan

mono-ester atau biodisel (Sharma dan Singh 2009). Molekul TG pada dasarnya

merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak.

Alkohol yang biasa digunakan pada proses transesterifikasi misalnya

etanol dan metanol. Metanol lebih disukai karena berharga lebih murah. Selain

itu viskositas etil ester yang dihasilkan cenderung lebih tinggi dibandingkan

dengan metil ester (Sharma dan Singh 2009).

7

Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk

mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu

digunakan alkohol dalam jumlah berlebih. Rasio molar alkohol : minyak/lemak

bervariasi antara 6:1 sampai dengan 13:1. Rasio molar yang terlalu tinggi akan

mengurangi yield dan sulit dalam pemisahan gliserol (Sharma et al. 2008).

Pada reaksi transesterifikasi, katalis berperan untuk mempercepat reaksi

dan meningkatkan yield metil ester yang dihasilkan. Menurut Vicente et al.

(2004) katalis KOH memberikan yield lebih tinggi yaitu sekitar 91,67%

dibandingkan dengan katalis NaOH (85,9%). Jumlah katalis yang diperlukan

dalam proses transesterifikasi adalah sebesar 0,7% sampai dengan 1,5% dan

menurut Leung dan Guo (2006) jumlah katalis KOH yang diperlukan sebanyak

1,1% sedangkan katalis NaOH yang diperlukan sebanyak 1,5%. Pada Gambar 1

disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol dan katalis basa

untuk menghasilkan metil ester (biodiesel) (Meher et al. 2006)

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung

kondisi reaksinya. Faktor tersebut diantaranya adalah kandungan asam lemak

bebas (FFA) dan kadar air pada minyak, jenis katalis dan konsentrasinya,

perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan jenis alkoholnya, suhu dan

Gambar 1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol dan katalis NaOH

8

lamanya reaksi, pengadukan dan pemurnian produk akhir (Sharma dan Singh

2009). Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh: kualitas minyak (feedstock),

komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang

digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan

(Gerpen 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan,

air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen

2004). Tabel 2 memperlihatkan kualitas metil ester yang dihasilkan dari bahan

baku berbeda

Tabel 2 Perbandingan kualitas metil ester

ME PKOa ME Stearina ME CPOb ME Oleinc

Bilangan Iod (mg I/ g ME)

1,4 0,3 50,72 47,77

Asam karboksilat (wt%) 0,2 n/a - - Bilangan Asam (mg KOH/gr ME)

0,5 0,4 0,16 0,21

Bilangan Penyabunan (mg KOH/gr ME)

240 n/a 204,8 -

Titik beku (oC) 18 26 - - Moisture (wt%) 0,03 0,02 0,08 0,13 Panjang rantai karbon (wt%)

<C10 5,2 0,0 - - C10 4,4 0,0 - - C12 51,0 0,2 0,08 0,21 C14 15,1 1,5 1,39 1,01 C16 7,2 65,4 42,63 40,99 C18 17,2 32,2 54,2 5,66 >C18 0,0 0,7 - - (Sumber: aSheats dan MacArthur 2002; bSulastri 2010; cMujdalipah 2008)

2.3 Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)

Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk

menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan

menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fasa yang berbeda

derajat polaritasnya (Perkins 1988). Istilah antarmuka menunjuk pada sisi antara

dua fasa yang tidak saling melarutkan, sedangkan istilah permukaan menunjuk

pada antarmuka dimana salah satu fasanya berupa udara (gas) (Rosen 2004).

9

Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas permukaan

yang tinggi. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh

struktur molekulnya yang tidak seimbang. Molekul surfaktan terdiri dari bagian

kepala yang bersifat hidrofilik dan sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat

hidrofobik, merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau

nonion, sedangkan ekor dapat berupa hidrokarbon rantai linier atau cabang.

Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang

beragam di industri (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).

Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai

bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan

emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat,

serta bahan emulsifier pada industri pangan (Hui 1996). Flider (2001)

menyebutkan pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan

pembersihan (washing and cleaning applications), namun surfaktan banyak pula

digunakan pada industri pertambangan, cat, kertas, tekstil, serta produk

kosmetika dan produk perawatan diri (personal care products).

Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok

dasar, yaitu: (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida,

poligliserol ester, MES, dietanolamida, dan sukrosa ester, (b) berbasis

karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan

alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh

mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida dan

threhaloslipida (Flider 2001).

Surfaktan berbasis minyak-lemak (oleokimia) merupakan kelompok

surfaktan berbasis bahan alami yang paling banyak dihasilkan. Minyak dan lemak

yang biasanya digunakan untuk memproduksi surfaktan diantaranya yaitu tallow,

minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak kelapa dan minyak sawit.

Umumnya bahan baku minyak dan lemak tersebut harus diproses terlebih dahulu

menjadi senyawa oleokimia dasar sebelum digunakan untuk memproduksi

surfaktan. Oleokimia dasar yang dihasilkan dari minyak dan lemak adalah asam

lemak, gliserol, metil ester, dan alkohol lemak. Kebutuhan untuk memproses

10

minyak dan lemak terlebih dahulu sebelum memproduksi surfaktan tersebut

berpengaruh nyata terhadap biaya produksi produk akhir (Flider 2001).

Berdasarkan muatan ion gugus hidrofiliknya setelah terdisosiasi dalam

media cair, surfaktan diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu: (1) anionik:

gugus hidrofiliknya bermuatan negatif; (2) kationik: gugus hidrofiliknya

bermuatan positif; (3) nonionik: gugus hidrofiliknya hampir tidak bermuatan dan

(4) amfoterik: molekul pada gugus hidrofiliknya bermuatan positif atau negatif

tergantung kepada pH medium (Perkins 1989).

Sifat-sifat surfaktan dipengaruhi oleh adanya bagian hidrofilik dan

hidrofobik pada molekul surfaktan. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik

yang berada dalam satu molekul, menyebabkan pembagian surfaktan cenderung

berada pada antarmuka antara fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan

hidrogen seperti minyak/air atau udara/air. Pembentukan film pada antar muka ini

mampu menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas pada

molekul surfaktan (Georgiou et al. 1992).

Karakteristik utama surfaktan adalah pada aktivitas permukaannya.

Surfaktan mampu meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan

dan antarmuka suatu cairan, meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi

minyak dalam air, mengubah kecepatan agregasi partikel terdispersi yaitu dengan

menghambat dan mereduksi flokulasi dan penggabungan (coalescence) partikel

yang terdispersi, sehingga kestabilan partikel yang terdispersi makin meningkat.

Surfaktan mampu mempertahankan gelembung atau busa yang terbentuk lebih

lama. Sebagai perbandingan gelembung atau busa yang terbentuk pada air yang

dikocok hanya bertahan beberapa detik. Namun dengan menambahkan surfaktan

maka gelembung atau busa tersebut bertahan lebih lama (Bergenstahl 1997).

Ditambahkan oleh Hui (1996) bahwa surfaktan merupakan komponen yang paling

penting pada sistem pembersih, sehingga menjadi bahan utama pada deterjen.

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan

kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu

panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus

minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan

ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan didalam air. Demikian juga sebaliknya,

11

apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen akan memiliki

keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik

untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Pada Tabel 3

disajikan kualitas metil ester dari asam lemak C12-14, C16, dan C18 sebagai bahan

baku pembuatan surfaktan untuk aplikasi sabun dan detergen.

Tabel 3 Karakteristik metil ester yang baik untuk dijadikan bahan baku surfaktan

untuk aplikasi sabun dan detergen

Karakteristik Metil Ester

C12-14 C16 C18 Bilangan iod (cg I/g ME) 2,1 5,5 4,8 Asam karboksilat (% b/b) 0,46 0,18 0,23 Fraksi tidak tersabunkan (% b/b) 0,10 0,04 0,02 Bilangan asam (mg KOH/g ME) 14,0 0,7 1,8 Bilangan penyabunan (mg KOH/ g ME) 2,6 3,2 3,9 Kadar air (% b/b) 0,16 0,29 0,29 Komposisi asam lemak (% b/b) <C12 0,85 0,00 0,00 C12 72,59 0,28 0,28 C14 26,90 2,56 1,55 C16 0,51 48,36 60,18 C18 0,00 46,24 35,68 >C18 0,00 0,74 1,01 Sumber: Sheats dan MacArthur 2002

Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan

anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau

bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat

(MES) adalah sebagai berikut (Watkins 2001) :

MES yang merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik

telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan

pembersih (washing and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).

Pemanfaatan surfaktan MES sebagai bahan aktif pada deterjen telah banyak

12

dikembangkan karena prosedur produksinya mudah, memperlihatkan karakteristik

dispersi yang baik, sifat detergensinya tinggi walaupun pada air dengan tingkat

kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, mempunyai asam

lemak C16 dan C18 yang mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik,

memiliki sifat toleransi terhadap ion Ca yang lebih baik, memiliki tingkat

pembusaan yang lebih rendah dan memiliki stabilitas yang baik terhadap pH.

Bahkan MES C16-C18 memperlihatkan aktivitas permukaan yang baik, yaitu

sekitar 90 persen dibandingkan linier alkil benzen sulfonat (LABS) (de Groot

1991; Hui 1996b; Matheson 1996). Hal tersebut menyebabkan metil ester

sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang

paling penting (Watkins 2001).

Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan

karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air

dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester

asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat

mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat,

surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada

konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum

sulfonat, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan

garam (disalt) lebih rendah.

Menurut Hui (1996), MES dari minyak nabati dengan atom C10, C12 dan

C14 biasa digunakan untuk light duty diswashing detergent. Sementara itu MES

dari minyak nabati dengan atom C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk

deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent). Pada Tabel 4

disajikan karakteristik surfaktan MES dari ME stearin yang telah dihidrogenasi.

Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester

dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi

yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum

(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H.

Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang

harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang

13

ditambahkan, lama netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu

netralisasi (Foster, 1996).

Tabel 4 Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) dari ME stearin

Analisa Nilai Metil ester sulfonat (MES) (% b/b) 83 Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (% b/b) 3,5 Metanol (% b/b) 0,07 Hidrogen Peroksida (% b/b) 0,13 Air (% b/b) 2,3 pH 5,3 Klett color 5 % aktif 310 Sodium metil sulfat (%) 7,2 Petroleum ether extractables (PEX) (% b/b) 2,4 Sodium karboksilat (% b/b) 0,3 Sodium sulfat (% b/b) 7,2 Sumber: Sheats dan McArthur (2002)

2.4 Proses Sulfonasi

Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES antara

lain telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Menurut Bernardini (1983) dan Pore

(1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat,

sulfit, oleum, sulfur trioksida (SO3) dan NaHSO3. Pore (1993) melakukan reaksi

sulfonasi alkil α-sulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit (NaHSO3)

pada suhu antara 60- 100oC dengan lama reaksi 3 sampai 6 jam, tanpa pemurnian

menghasilkan tegangan permukaan 40,2 mN/m dan tegangan antarmuka

9,7mN/m.

Smith dan Stirton (1967) diacu dalam Kapur et al. (1976) mensulfonasi

metil, etil, dan isopropil ester asam palmitat dan stearat secara langsung melalui

penambahan SO3 cair pada rasio molar 2,4 : 1 pada suhu 0 oC dan mereesterifikasi

menggunakan metil, etil, atau isopropil alkohol sebelum netralisasi untuk

meningkatkan rendemen alpha sulfo fatty acid hingga 70 – 80% dan menurunkan

produk samping disodium sulfofatty acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan

pembentukan komplek SO3 dengan ester. Pembentukan komplek ini mengaktifkan

atom H pada posisi alpha. Kondisi sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk

sulfonat menggunakan bahan baku metil stearat yaitu pelarut CCl4 1 gram, suhu

14

sulfonasi 60 oC, lama sulfonasi 1 jam, dan re-esterifikasi menggunakan 40 ml

alkohol selama 4 jam. Produk yang dihasilkan terdiri dari 90 % sodium alpha

sulfonat dan 1 % garam disodium.

Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh

melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap

reaksi. Menurut MacArthur (2008) reaksi sulfonasi ME yang telah dihidrogenasi

terjadi dalam beberapa tahap (Gambar 2).

Gambar 2 Mekanisme reaksi sulfonasi ME asam lemak jenuh pada reaktor falling

film (MacArthur et al. 2008)

Reaksi I menunjukkan bahwa pada awal proses sulfonasi, gas SO3 diserap

oleh ME dan secara cepat membentuk senyawa sulfonat anhidrid sebagai produk

intermediet (II). Senyawa sulfonat anhidrid dapat bereaksi kembali dengan

molekul SO3 kedua. Molekul senyawa sulfonat anhidrid yang membawa dua unit

SO3, dapat kehilangan satu unit SO3 yang dapat bereaksi dengan molekul ME

lainnya. Untuk itu perlu digunakan SO3 berlebih. Intermediet (II) di dalam

keseimbangan mengaktifkan C-α menuju reaksi sulfonasi seperti tergambar pada

reaksi 2 untuk membentuk produk intermediet (III). Reaksi 3 menggambarkan

produk Intermediet (III) akan mengalami rearrangement untuk melepaskan SO3

dan membentuk asam metil ester sulfonat (MESA) yang diinginkan (IV). Gas

SO3 yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk intermediet (II)

membentuk produk intermediet (III).

Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan

dengan cara melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan

secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Menurut Gupta dan

15

Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah molar SO3 dan metil ester dikontrol

antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa

menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna.

Suhu reaktor dikontrol antara 110-150 °F (43-65 °C). Sebelum proses sulfonasi

dilakukan, terlebih dahulu gas SO3 dicampur dengan udara kering hingga

konsentrasinya menjadi 4-8%. Proses netralisasi dapat dilakukan dengan

menggunakan pelarut KOH, HN4OH, NaOH atau alkanolamin.

Stein dan Baumann (1974) mensulfonasi ester asam lemak jenuh C8-C22

secara sinambung pada reaktor thin film dengan tinggi reaktor 1 m dan diameter

dalam 6 mm, dilengkapi dengan jaket pendingin. Laju alir bahan baku 600 g/jam,

konsentrasi gas SO3 sebesar 5%, suhu reaksi 80-90 oC, dan rasio mol ester : SO3

adalah 1:1,2. Waktu tinggal ester pada reaktor yaitu selama beberapa detik

menghasilkan produk tersulfonasi dengan konversi yang rendah, sehingga

dilakukan reaksi tahap kedua pada suhu yang sama selama 10-20 menit. Produk

tersulfonasi kemudian dipucatkan menggunakan H2O2 sebanyak 1,5-3,5%. Proses

pemucatan berlangsung pada suhu 60 oC selama 10 menit sampai dengan 1 jam.

Netralisasi dilakukan dengan penambahan NaOH dan prosesnya berlangsung pada

suhu 45 oC. Produk yang dihasilkan berupa slurry dengan konversi ester menjadi

α-MES mencapai 95%, disalt 2,9% dan bahan tidak tersulfonasi sebesar 1,4%.

Menurut Watkins (2001), proses produksi metil ester sulfonat dilakukan

dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu

80-90 °C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap,

sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk

mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan

H2O2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan

menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahapan

netralisasi, produk yang terbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang

dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula (Watkins 2001).

Baker (1995) telah memperoleh paten (US Patent No. 5.475.134) tentang

proses pembuatan sulfonated fatty acid alkil ester dengan tingkat kemurnian yang

tinggi. Bahan baku yang digunakan dari asam lemak minyak nabati komersial.

Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam

16

falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu

1,1 : 1 hingga 1,4 : 1, pada suhu proses antara 75-95 °C dan lama reaksi antara

20-90 menit. Produk yang dihasilkan biasanya masih mengandung bahan

pengotor, termasuk di-salt sehingga diperlukan proses pemurnian.

Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi

MES skala pilot secara sinambung dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu proses

sulfonasi dimulai dengan pemasukkan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke

reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging, tahap pemucatan, tahap

netralisasi, dan tahap pengeringan. Proses sulfonasi yang diteliti dilakukan pada

beragam bahan baku metil ester yang berasal dari minyak kelapa, minyak inti

sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan tallow. Bahan baku metil ester

dimasukkan ke reaktor pada suhu 40-56 °C, dengan konsentrasi gas SO3 adalah

7% dan suhu gas SO3 sekitar 42 °C. Nisbah molar antara reaktan SO3 dan metil

ester sekitar 1,2 – 1,3. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu

85 °C, dengan lama waktu pencampuran adalah 0,7 jam (42 menit). Untuk

pemurnian digunakan metanol sekitar 31-41% (b/b, MES basis) dengan suhu

95 sampai 100 °C selama 1 sampai 1,5 jam. Metanol berfungsi untuk mengurangi

pembentukkan di-salt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatan transfer

panas dalam proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan

mencampurkan MES yang telah dipucatkan dengan pelarut NaOH 50% pada suhu

55 °C. Selanjutnya produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 °C

dan tekanan 120-200 Torr agar diperoleh produk berupa powder atau flakes.

Sherry et al. (1995) melakukan proses pemurnian palm C16-18 kalium metil

ester sulfonat (KMES) yang diteliti tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian

produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen

metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa

penambahan KOH 50%.

17

3 METODOLOGI

3.1 Kerangka Pemikiran

Metil ester sulfonat (MES) termasuk dalam kelompok surfaktan anionik

dan telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih

(washing and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996). Pemanfaatan MES

pada beberapa produk adalah karena MES memperlihatkan karakteristik dispersi

yang baik dan sifat detergensi yang baik pada air dengan tingkat kesadahan yang

tinggi (hard water). MES yang mempunyai asam lemak C16 dan C18 mampu

memberikan tingkat detergensi yang terbaik, memiliki sifat toleransi terhadap ion

Ca yang lebih baik, memiliki tingkat pembusaan yang lebih rendah dan memiliki

stabilitas yang baik terhadap pH. Pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya

detergensinya sama dengan petroleum sulfonat (de Groot 1991, Hui 1996;

Matheson 1996). Adanya isu produk ramah lingkungan sangat mendorong

pengembangan surfaktan berbasis alam termasuk dari stearin minyak sawit.

Pemanfaatan ME stearin sebagai bahan baku MES dapat meningkatkan nilai

tambah dari stearin minyak sawit.

Penggunaan gas SO3 sebagai agen pensulfonasi dikarenakan sifatnya yang

reaktif, menghasilkan konversi yang sempurna dan menghasilkan reaksi sulfonasi

yang zero waste (Sheats dan MacArthur 2008). Proses sulfonasi dengan reaktan

gas SO3 dilakukan pada reaktor falling-film, yang sedang berkembang adalah

multitube falling-film reactors. Berdasarkan hasil wawancara dengan produsen

surfaktan anionik pengguna teknologi ini, proses sulfonasi untuk mendapatkan

waktu start-up reaktor untuk menghasilkan produk yang konsisten dan homogen

adalah selama 6 jam. Saat ini SBRC-LPPM-IPB telah mengembangkan proses

sulfonasi dengan gas SO3 dengan menggunakan singletube falling-film reactor

(STFR), dengan tinggi reaktor 6 m. Kelebihan reaktor singletube dibandingkan

dengan reaktor multitube antara lain kapasitas produksi yang lebih rendah

sehingga kebutuhan bahan baku ME lebih sedikit.

Kajian penelitian ini dilakukan pada proses sulfonasi dari ME stearin

menggunakan reaktan gas SO3 untuk menghasilkan MES. Hal ini didasarkan

pada pertimbangan belum berkembangnya teknologi sulfonasi di Indonesia, maka

18

perlu dilakukan pengembangan penelitian untuk memperbaiki proses sulfonasi

secara curah dan sinambung. Sutanto (2007) mensulfonasi ME PKO dengan

pereaksi Na2HSO3 secara curah. Mujdalipah (2008) menggunakan gas SO3

sebagai reaktan untuk mensulfonasi ME olein menggunakan falling film reaktor

dengan tinggi reaktor satu meter sebagai reaktor sulfonasi.

Sifat fisikokimia dan kinerja surfaktan MES yang baik ditentukan pada

kesempurnaan reaksi yang terjadi antara bahan baku ME dan agen pensulfonasi

gas SO3 dalam tahapan proses sulfonasi. Produk yang dihasilkan pada proses

sulfonasi ini berupa metil ester sulfonic acid (MESA) yang apabila dilanjutkan

oleh proses netralisasi akan menghasilkan MES. Tingkat konversi ME stearin

menjadi MESA diantaranya dipengaruhi oleh rasio mol SO3 dan bahan baku,

suhu sulfonasi serta lama reaksi sulfonasi. Semakin tinggi konversi ME menjadi

MESA, akan dihasilkan surfaktan MES dengan kinerja yang tinggi.

Dengan diketahuinya lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak,

diduga dapat mengoptimalkan reaksi antara ME dan reaktan gas SO3.

Peningkatan suhu pada bahan baku ME akan menurunkan viskositas dari ME

sehingga pembentukan lapisan film dalam reaktor akan semakin tipis. Hal ini

diduga akan menyebabkan kontak antara ME dan gas SO3 dapat berlangsung lebih

optimal.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Nopember 2010 di

Laboratorium dan pilot plant SBRC-LPPM-IPB di Kampus Baranang Siang,

Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA-IPB di Kampus

IPB Dramaga dan PT. Mahkota Indonesia di Jakarta.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah RBD stearin sawit,

KOH, Metanol, dan gas SO3. Bahan kimia untuk analisa yaitu etanol 95%, KOH,

NaOH, H2SO4, HCl, Na2SO4, xylene, toluene, asam asetat glasial, sikloheksan,

kalium dikromat, KI, reagen Wijs, buffer pH 4.0 dan 7.0, N-cetyl pyridinium

chloride, indikator pati, indikator penolpthalein dan akuades.

19

Peralatan yang digunakan seperangkat reaktor esterifikasi/transesterifikasi

kapasitas 100 L, seperangkat alat sulfonasi Singletube Falling-film Sulfonation

Reactor (STFR) tinggi 6 m, diameter tube 25 mm dengan sistem sinambung

menggunakan reaktan gas SO3, GC, tensiometer Du Nuoy, spektrofotometer,

magnetic stirrer, mixer vortexer, buret, timbangan analitik dan glassware.

3.4 Metode

3.4.1 Persiapan Bahan Baku dan Karakterisasi ME Stearin

Metil ester (ME) stearin yang digunakan sebagai bahan baku dalam

sintesis metil ester sulfonat (MES) diperoleh melalui proses transesterifikasi

stearin minyak sawit. Gambar 3 menyajikan proses transesterifikasi stearin untuk

menghasilkan ME stearin.

Pada proses transesterifikasi, stearin yang berbentuk padat pada suhu

ruangan dicairkan melalui pemanasan. Stearin cair kemudian dimasukkan ke

Gambar 3 Proses transesterifikasi stearin

20

dalam tangki transesterifikasi dan dipanaskan hingga suhu 60 oC. Setelah suhu

tersebut dicapai, dilakukan penambahan larutan metoksida (metanol 15% (v/v)

dan KOH 1% (b/v) dengan pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan

ke dalam tangki settling (pengendapan) dan diendapkan selama 24 jam untuk

memisahkan gliserol. Gliserol dipisahkan kemudian dilakukan pencucian

menggunakan air minimal 3-4 kali untuk menghilangkan gliserol dan sabun yang

terbentuk. Proses selanjutnya pengeringan ME dengan pemanasan dan

pengadukan hingga tidak terlihat lagi adanya gelembung air pada permukaan ME.

ME yang dihasilkan kemudian dilakukan analisa bilangan asam

(SNI 04-7182-2006), gliserol total, bebas dan terikat di dalam biodiesel ester

alkil: metode iodometri-asam periodat (SNI 04-7182-2006), bilangan iod

(SNI 04-7182-2006), bilangan penyabunan (SNI 04-7182-2006) dan ester asam

lemak dominan (GCMS). Prosedur analisis terhadap bahan baku ME stearin

disajikan pada Lampiran 1.

3.4.2 Proses Sulfonasi ME Stearin Menggunakan Reaktor STFR

Pada proses ini ME dialirkan ke reaktor STFR diikuti dengan mengalirkan

gas SO3 ke dalam reaktor. Tahap ini dilakukan untuk memperoleh surfaktan

MESA berbahan baku ME stearin. Sulfonasi gas SO3 pada ME stearin

menggunakan reaktor STFR dengan tinggi reaktor 6 m, diameter 25 mm, dan gas

SO3 sebagai agen pensulfonasi. Kontak antara gas SO3 dan ME stearin dilakukan

pada kondisi proses sebagai berikut: laju alir ME 100 ml/menit dan gas SO3 full

valve. Gambar 4 menyajikan skema proses sulfonasi ME menjadi MESA pada

penelitian ini.

Suhu input ME stearin pada penelitian ini adalah 80, 90 dan 100 oC.

Pemanasan dilakukan selam 2 jam kemudian valve by-pass dibuka sehingga ME

stearin diumpankan menuju tube dengan laju alir sebesar 100 ml/menit. Ketika

ME dialirkan di dalam tube, suhu ME akan turun, sehingga dilakukan sirkulasi di

dalam tube sampai suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu yang diinginkan

dicapai, gas SO3 sebagai agen sulfonasi dialirkan melalui bagian atas tube. Produk

tersulfonasi akan mengalir di sepanjang tube reaktor selama kurang dari 5 menit.

Produk MESA yang dikeluarkan dari bagian bawah tube ditampung sebanyak

21

300 ml. MESA yang dihasilkan kemudian dibagi menjadi 2 bagian, satu bagian

dilakukan proses netralisasi menggunakan NaOH 50% sehingga diperoleh MES

(MESA netral) dengan kisaran pH 6-8 sedangkan bagian yang lain langsung

dilakukan analisa sifat fisikokimia MESA.

Gambar 4 Skema proses sulfonasi ME menjadi MESA

Proses sulfonasi dilakukan selama 6 jam kemudian ditentukan lama proses

sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak melalui analisa contoh produk. Lama

proses sulfonasi dihitung sejak dialirkannya gas SO3 ke dalam tube dan terjadi

kontak dengan ME stearin sampai dilakukannya pengambilan contoh produk

selama berlangsungnya proses sulfonasi. MESA dan MES yang dihasilkan

dianalisa meliputi kadar bahan aktif (Ephton 1948), bilangan asam (Epthon 1948),

bilangan iod (AOAC 1995), pH (Chemiton), densitas (AOAC 1995), viskositas

(Brookfield viscosimeter) dan tegangan permukaan metode du Nouy (ASTM

D1331 2001). Prosedur analisis MESA dan MES disajikan pada Lampiran 2.

Kondisi tunak proses sulfonasi dilihat dari tidak berubahnya kadar bahan

aktif dan kemampuan MESA yang dihasilkan selama proses sulfonasi dalam

menurunkan tegangan permukaan.

22

3.4.3 Penentuan Kondisi Terbaik

Perlakuan terbaik ditentukan melalui Teknik Perbandingan Indeks Kinerja

(Comparative Performance Index, CPI) yang merupakan indeks gabungan

(composite index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau

peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j) (Marimin

2005). Formula yang digunakan dalam teknik CPI adalah sebagai berikut:

Aij = Xij(min) x 100 / Xij(min)

A(i+1.j) = (X(I+1.j)) / (Xij(min) x 100

Iij = Aij x Pj

Ii = � �I����

���

Keterangan:

Aij = Nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j

Xij(min) = Nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j

A(i+1.j) = Nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria ke-j

X(I+1.j) = Nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria awal ke-j

Pj = Bobot kepentingan kriteria ke-j

Iij = Indeks alternatif ke-I

Ii = Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-I

i = 1, 2, …..21

j = 1, 2, … 7

Bobot kepentingan sifat fisikokimia MESA yang dianggap paling penting

dalam penentuan kondisi tunak proses sulfonasi adalah kadar bahan aktif. Oleh

karena itu, kadar bahan aktif mempunyai bobot paling tinggi (25%), parameter

lain yaitu bilangan asam MESA dan tegangan permukaan air masing-masing

diberikan bobot 20%, sedangkan pH dan viskositas mempunyai bobot 10%, dan

densitas serta bilangan iod mempunyai bobot masing-masing 7,5%. Perlakuan

dengan nilai indeks gabungan paling tinggi dianggap sebagai perlakuan terbaik.

Analisis terhadap kadar bahan aktif dan tegangan permukaan dilakukan pada MES

23

yang dihasilkan dari perlakuan terbaik. Gambar 5 menyajikan diagram alir

penelitian.

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini melibatkan pengamatan berulang sehingga memerlukan

penanganan model analisis yang lain dari model rancangan percobaan dasar agar

informasi yang diperoleh lebih luas. Disamping perlakuan yang dicobakan, juga

diharapkan mampu melihat perkembangan/pertumbuhan respon selama penelitian

berlangsung. Sehingga selain pengaruh perlakuan, pengaruh waktu juga perlu

dikaji. Rancangan dasar yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, maka

rancangan dengan pengamatan berulang disebut RAL dalam waktu (RAL in time)

(Mattjik dan Sumertajaya 2002).

Gambar 5 Diagram alir penelitian

24

Model linier dari rancangan ini sama seperti model linier dari rancangan

dasar yang digunakan ditambahkan pengaruh waktu dan interaksinya dengan

perlakuan mengikuti model linier rancangan blok terbagi (split blok).

Menggunakan disain eksperimen split blok, variabel yang dikaji adalah suhu

input ME stearin dan lama proses sulfonasi.

Suhu input ME stearin terdiri dari 3 taraf, yaitu:

T1 : 80 oC

T2 : 90 oC

T3 : 100 oC

Lama proses sulfonasi terdiri dari 7 taraf, yaitu:

W1 : 0 jam

W2 : 1 jam

W3 : 2 jam

W4 : 3 jam

W5 : 4 jam

W6 : 5 jam

W7 : 6 jam

Analisis ragam dilakukan pada data yang diperoleh untuk mengetahui

perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Terkecil

(BNT) pada taraf 5%.

Model matematika dalam percobaan ini adalah sebagai berikut:

Yijk = µ+ K + αi + δik + ωj + γjk + αωij + �ijk

Keterangan:

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan karena pengaruh besarnya

faktor α taraf ke-i dan faktor ω taraf ke-j pada ulangan/blok ke-k;

dengan i= 1, 2, 3; j=1, 2, 3, 4, 5, 6, 7; dan k=1,2

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

K = Pengaruh dari blok/ulangan ke-k (k=1,2)

αi = Pengaruh dari faktor α taraf ke-i, ulangan ke-k (i= 1, 2, 3; k= 1, 2)

25

δik = Galat faktor α

ωj = Pengaruh faktor ω taraf ke-j, ulangan ke-k (j= 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7;

k = 1, 2)

γjk = Galat faktor ω

αωij = Pengaruh interaksi faktor α dengan faktor ω

�ijk = Galat interaksi faktor α dengan faktor ω

Parameter yang diamati meliputi pH, bilangan asam, viskositas, densitas, kadar

bahan aktif, bilangan iod dan tegangan permukaan.

3.6 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sampai batas tertentu, suhu input ME pada proses sulfonasi berpengaruh

positif terhadap kinerja surfaktan yang dihasilkan dimana semakin tinggi suhu

input maka semakin tinggi suhu proses sulfonasi maka gugus alkil sulfonat

yang terikat semakin banyak sehingga kadar bahan aktif dan kinerja surfaktan

terutama dalam menurunkan tegangan antarmuka akan semakin tinggi

2. Lama proses sulfonasi pada suhu tertentu diduga akan mengoptimumkan

kontak antara umpan metil ester dan reaktan gas SO3, dan kestabilan kualitas

dan kinerja surfaktan yang dihasilkan

26

27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin

Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari

kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

atau tidak jenuh yang terdapat dalam minyak/lemak tetapi tidak terikat pada

gliserol (Sharma dan Singh 2009). Menurut Ma dan Hanna (1999) dan Freedman

et al. (1984), minyak dengan FFA kurang dari 1% dapat dikonversi menjadi metil

ester menggunakan katalis basa. Sedangkan Ramadhas et al (2005) dan Sahoo et

al. (2007) mensyaratkan FFA kurang dari 2%.

Apabila FFA bahan baku lebih besar dari 2% maka proses konversi

minyak/lemak menjadi metil ester dilakukan dengan dua tahap, yaitu proses

esterifikasi dengan katalis asam dan proses transesterifikasi menggunakan katalis

basa. FFA dikonversi menjadi ester pada proses esterifikasi, kemudian pada pada

proses transesterifikasi, trigliserida dikonversi menjadi ester.

Minyak/lemak dengan FFA tinggi dapat dikonversi menjadi ester melalui

proses esterifikasi dengan katalis asam. Reaksi ini menghasilkan yield yang tinggi

namun berlangsung lambat. Meher et al. (2006) menyebutkan proses esterifikasi

minyak kedelai menggunakan katalis H2SO4 sebanyak 1% dan rasio molar

metanol/minyak sebesar 30:1 berlangsung selama 20 jam pada suhu proses 65 oC.

Minyak/lemak dengan FFA tinggi yang dikonversi menjadi ester menggunakan

katalis basa (transesterifikasi) tanpa melalui proses esterifikasi, akan

menyebabkan reaksi penyabunan antara FFA dan katalis basa. Sabun yang

terbentuk kemudian akan mempersulit proses pemisahan produk dan berpotensi

mengurangi yield.

Pada penelitian ini bahan baku RBD stearin sawit mempunyai bilangan

asam sebesar 1,078 mg KOH/g dan FFA 0,493%. Oleh karena itu proses konversi

stearin menjadi metil ester dilakukan satu tahap melalui proses transesterifikasi

menggunakan katalis basa.

Analisis sifat fisikokimia metil ester (ME) stearin dilakukan untuk

mengetahui sifat-sifat fisikokimia ME stearin yang dihasilkan melalui proses

transesterifikasi stearin sawit serta menunjukkan keberhasilan dari proses yang

28

telah dilakukan. Sifat-sifat ini juga mempengaruhi karakteristik methyl ester

sulfonic acid (MESA) yang dihasilkan. Sifat fisikokimia yang dianalisis meliputi

bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar gliserol bebas, terikat

dan total, serta ester asam lemak dominan penyusun ME stearin. Hasil analisis

sifat fisikokimia ME stearin disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis sifat fisikokimia ME stearin

Sifat fisikokimia Metil ester stearin Referensi Bilangan asam (mg KOH/ g ME) 0,28 Maks. 0,8* Bilangan iod (mg I/g ME) 30,05 Maks. 115* Kadar gliserol total (%b) 0,20 Maks. 0,24* Kadar gliserol bebas (%b) 0,018 - Kadar gliserol terikat (%b) 0,19 - Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) 207,39 - Komposisi asam lemak (%): -

C12:0 laurat 0,07 - C14:0 miristat 1,12 - C16:0 palmitat 51,05 - C18:0 stearat 2,27 - C18:1 oleat 25,19 - C18:2 linoleat 10,31 -

Keterangan: *SNI 04-7182-2006

Menurut Hovda (1996), karakteristik bahan baku memberikan pengaruh

terhadap kualitas produk MES yang dihasilkan. Karakteristik terpenting untuk

diketahui adalah tingkat ketidakjenuhan yang menunjukkan distribusi rantai

karbon didalamnya.

Hasil analisis sifat fisikokimia ME seperti pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

ME stearin mempunyai kualitas yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku

dalam proses sulfonasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai bilangan asam ME yang

memenuhi persyarataan SNI 04-7182-2006. Terjadi penurunan bilangan asam

dari bahan baku stearin minyak sawit sebesar 1,078 mg KOH/g menjadi

0,28 mg KOH/g. Rendahnya bilangan asam ME menunjukkan keberhasilan

proses transesterifikasi stearin minyak sawit menjadi ME stearin. Bilangan asam

merupakan jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-

asam lemak bebas dari satu gram minyak/lemak (Ketaren 1986).

29

Kadar gliserol ME stearin yang diperoleh dapat memenuhi persyaratan

kadar gliserol ME untuk bahan bakar menurut SNI 04-7182-2006. Kadar gliserol

terikat menunjukkan gliserol yang masih terikat pada molekul minyak/lemak.

Angka ini juga dapat digunakan untuk melihat keberhasilan proses

transesterifikasi yang telah dilakukan. Rendahnya kadar gliserol terikat pada ME

stearin, yaitu sebesar 0,19%, menunjukkan bahwa proses transesterifikasi telah

berhasil mengkonversi molekul TG menjadi ME. Apabila proses transesterifikasi

tidak optimal, akan ditemukan kadar gliserol terikat yang tinggi, menunjukkan

masih ada monogliserida, digliserida atau trigliserida yang belum terkonversi

menjadi ME.

Proses transesterifikasi TG menghasilkan produk berupa metil ester dan

gliserol. Gliserol yang dihasilkan kemudian dipisahkan dari metil esternya

melalui proses pengendapan dan pencucian metil ester. Oleh karena itu, apabila

terdapat gliserol bebas di dalam metil ester, maka gliserol tersebut berasal dari

proses pemisahan yang tidak sempurna antara ester dan gliserol yang diperoleh

dari proses transesterifikasi. Rendahnya kadar gliserol terikat pada ME, yaitu

sebesar 0,018% menunjukkan bahwa proses pemisahan antara gliserol dan metil

ester melalui proses pengendapan dan pencucian dengan air telah berlangsung

efektif.

Tingkat kejenuhan bahan baku MES akan memberikan pengaruh terhadap

pembentukan warna produk sulfonasi yang dihasilkan (Hovda, 1996). Analisis

bilangan iod dapat memberikan gambaran tingkat kejenuhan ME stearin yang

akan digunakan sebagai bahan baku dalam produksi MES. Hasil analisis

menunjukkan ME stearin memiliki bilangan iod 30,05 mg I/g ME. Nilai ini masih

lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang digunakan Chemiton yaitu sebesar

0,3 cg I/g ME atau setara dengan 3 mg I/g ME. Perbedaan nilai bilangan iod ini

terjadi karena pada penelitian ini ME stearin tidak dilakukan proses hidrogenasi,

sedangkan pada ME yang digunakan oleh Chemiton dilakukan proses hidrogenasi.

Tingginya bilangan iod pada bahan baku akan menyebabkan warna lebih gelap

pada MES yang dihasilkan (Sheats dan MacArthur 2002).

Warna gelap pada MES selalu menjadi permasalahan dalam aplikasi MES

sebagai detergen. MES yang dihasilkan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

30

aplikasi EOR (Enhanced Oild Recovery), sehingga tidak dilakukan proses

hidrogenasi ME untuk mengurangi ikatan rangkap pada ME. Proses sulfonasi

pada penelitian ini mengharapkan terjadinya pengikatan SO3 pada ikatan rangkap

ME. Hal ini dimaksudkan agar lebih banyak SO3 yang terikat dalam struktur

MESA dengan harapan meningkatkan kadar bahan aktif. Meningkatnya kadar

bahan aktif pada produk diharapkan mampu meningkatkan kemampuan MESA

yang dihasilkan dalam menurunkan tegangan permukaan.

Komposisi rantai karbon ME stearin didominasi oleh C16:0 dan C18:1 yang

jumlahnya berturut-turut sebesar 51,05% dan 25,19%. Distribusi asam lemak

yang beragam dan tingginya komponen asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat

sekitar 25,19%, menyebabkan tingginya peluang SO3 melekat pada ikatan

rangkap ME. Berger (2009) menyebutkan surfaktan yang paling sesuai untuk

aplikasi EOR adalah surfaktan anionik yang diturunkan dari asam lemak tidak

jenuh, karena efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka dan tahan terhadap

suhu dan salinitas tinggi serta mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi pada

batuan reservoir.

4.2 Proses Sulfonasi ME Stearin menjadi MESA

Pada penelitian ini digunakan reaktor singletube falling film dengan tinggi

reaktor 6 m dan diameter dalam 25 mm yang dikembangkan oleh Hambali et al.

(2009). Gas SO3 sebagai agen pensulfonasi diperoleh dari PT. Mahkota Indonesia.

Gas SO3 dihasilkan kemudian digunakan sebagai bahan baku asam sulfat. Gas

SO3 diperoleh melalui pembakaran sulfur pada suhu 900 oC dan tekanan 3500

mmHg untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO2). Gas SO2 tersebut

dikonversikan menjadi gas SO3 melalui empat tahapan oksidasi. Proses konversi

berlangsung pada suhu 400-600 oC menggunakan katalis V2O5 dan menghasilkan

gas SO3 dengan konsentrasi 25-26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi

pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO3 mejadi 4-7% agar dapat

digunakan dalam proses sulfonasi ME.

Pada proses sulfonasi, gas SO3 dialirkan dalam tube, dimana di dinding

bagian dalam reaktor dialirkan ME stearin dalam bentuk film tipis. Kedua bahan

tersebut mengalir. Skema aliran ME dan gas SO3 di dalam reaktor STFR

disajikan pada Gambar 6.

31

Reaktor yang digunakan dilengkapi dengan tangki penampung bahan

organik kapasitas 8 L terbuat dari stainless steel yang dilengkapi dengan lubang

pengeluaran bahan dan pemanas, sistem by-pass input bahan, saluran gas SO3 dan

udara kering, saluran tempat pengambilan contoh, pompa input bahan dan sistem

pengatur input gas SO3 dan udara kering.

Bahan baku ME dipompakan ke head reactor atau puncak reaktor dengan

laju alir bahan baku 100 ml/menit, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun

membentuk lapisan tipis dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong

head. Laju alir ME di sepanjang reaktor dipertahankan konstan dengan

menggunakan sistem by-pass yang akan mengembalikan ME ke tangki

penampungan bahan baku. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan kekuatan

pompa pensuplai bahan baku dan laju alir bahan baku yang diinginkan. Gas SO3

dialirkan melalui absorber terlebih dahulu untuk memisahkan oleum yang terdapat

dalam gas SO3 sebelum masuk ke dalam tube.

Terdapat tiga interaksi yang terjadi pada reaktor STFR, yaitu kontak antara

fase gas SO3 dan cairan ME, penyerapan gas SO3 dan reaksi yang terjadi dalam

fase liquid ME yang menghasilkan MESA. Reaktor STFR yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Kontak antara ME stearin dan gas SO3 dimulai dari puncak reaktor dan

mengalir membentuk film tipis ke seluruh permukaan menuruni reaktor.

Karakteristik reaktor harus dapat menghasilkan ketebalan film ME yang tepat dan

konstan, sehingga kontak dengan gas SO3 terjadi merata di sepanjang tube.

Ketebalan lapisan film harus dijaga konstan sepanjang tube ketika dilakukan

Gambar 6 Skema aliran metil ester dan gas SO3 di dalam reaktor STFR

32

sulfonasi. Apabila film yang terbentuk menebal pada beberapa tempat dan

menipis di tempat lain, ME akan mengalir melalui lintasan tertentu di dalam

dinding reaktor. Lapisan film yang menipis pada bagian reaktor mungkin akan

mengering dan terbentuk kerak. Pembentukan kerak menyebabkan MESA yang

tidak dapat dikeluarkan dan dapat pula menghambat aliran bahan baku. Hal ini

menjadi penyebab kinerja reaktor kurang efisien.

Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh

melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap

reaksi. Menurut Lewandowski dan Schwuger (2003), pada tahap pertama atom O

pada gugus karbonil bersifat sangat elektromagnetik, menarik semua elektron ke

arahnya sehingga atom C pada gugus karbonil menjadi kekurangan elektron.

Atom O pada molekul SO3 juga bersifat sangat elektronegatif sehingga mudah

berikatan dengan C pada karbonil. Atom S yang kekurangan elektron dengan

mudah berikatan dengan gugus -OCH3 pada ester sehingga membentuk senyawa

alfa keto enol berupa asam sulfat anhidrid (I). Senyawa berupa alfa keto enol

dapat mengalami toutomerisasi sehingga senyawa anhidrid ini berada dalam

keadaan setimbang dengan bentuk enolnya (II), dimana ikatan rangkapnya

diserang oleh molekul SO3 kedua. Molekul SO3 terikat pada ikatan π di ikatan

rangkap dan terbentuk ikatan hidrogen antara atom H dan atom O pada gugus

Gambar 7 Reaktor STFR yang digunakan dalam penelitian

33

SO3 sebelumnya (III). Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa anhidrid

dengan dua gugus sulfonat yang terikat pada Cα dan pada gugus karboksil (IV).

Pada tahap kedua yang berlangsung lebih lambat, senyawa sulfonat anhidrid ini

mengalami penyusunan kembali membentuk ester sulfonat dan melepaskan satu

molekul SO3 yang pada awalnya terikat pada gugus karboksil. SO3 yang

dilepaskan ini akan mensulfonasi molekul ME yang lain dan menghasilkan

MESA. Agen pensulfonasi pada ME yang sebenarnya bukan molekul SO3 tapi

senyawa anhidrid sulfonat yang terbentuk. Mekanisme reaksi sulfonasi ini

disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Mekanisme reaksi sulfonasi ME menurut Lewandowski dan Schwuger (2003)

Produk MESA yang diperoleh bersifat sangat asam, memiliki viskositas

yang lebih tinggi dibandingkan dengan ME stearin dan berwarna gelap

(700 oKlett) (Gambar 9). Warna hitam merupakan sifat yang dihasilkan oleh

34

proses sulfonasi ME. Umpan ME yang mengandung asam lemak tidak jenuh

menghasilkan produk berwarna hitam, karena terbentuknya senyawa polisulfonat

yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi.

Gambar 9 Methyl ester sulfonic acid (MESA) stearin

Reaksi utama yang terjadi adalah konversi senyawa sulfonat anhidrid

menjadi MESA dan SO3 yang bereaksi dengan ME yang belum terkonversi.

Mekanisme reaksi yang terjadi yaitu melalui reaksi bolak-balik pembentukan

senyawa β-sulfonat anhidrid siklik dan metil sulfonat (CH3OSO3H). Reaksi

minor yang terjadi yaitu senyawa β-sulfonat anhidrid siklik mengalami reaksi

bolak-balik cincin unimolekular terbuka menjadi zwitterion dengan melepaskan

karbon monoksida. Asam sulfonat alkena yang terbentuk ini berperan sebagai

kromofor yang menyebabkan warna gelap. Mekanisme reaksi terbentuknya

senyawa kromofor dalam proses sulfonasi ME menurut Roberts et al. (2008)

disajikan pada Gambar 10.

R C

O

OCH3CH SO2O

SO

O

OH

R C+ OCH3CH OSO2

SO

O

O-

O H

CH2 CCH

SO

O

O

O

CH3OSO2OH

C OCH

SO3-

R

CH2CH2

CHR

H

R CH OHCH S

O

O

lepas

Gambar 10 Mekanisme reaksi terbentuknya senyawa kromofor

35

Produk MESA yang diperoleh dari proses sulfonasi kemudian dianalisis

sifat fisikokimianya untuk mengetahui pengaruh suhu input terhadap tingkat

keberhasilan proses sulfonasi dan juga untuk mengetahui lama proses sulfonasi

agar dihasilkan produk yang stabil. Parameter uji yang dilakukan meliputi derajat

keasaman (pH), bilangan asam, bilangan iod, viskositas, densitas, kadar bahan

aktif dan tegangan permukaan.

4.3 Sifat Fisikokimia MESA

4.3.1 Viskositas

Proses sulfonasi ME stearin menghasilkan produk berupa MESA berwarna

hitam gelap dengan kekentalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekentalan

ME stearin yang digunakan sebagai bahan bakunya. Bertambahnya tingkat

kekentalan dapat digunakan sebagai salah satu indikator bahwa selama proses

sulfonasi telah terjadi konversi ME menjadi MESA.

Kekentalan suatu cairan atau viskositas merupakan sifat fluida yang

dipengaruhi oleh ukuran molekul dan gaya antarmolekul. Terikatnya gugus

sulfonat pada ME menjadikan MESA cenderung memiliki ukuran molekul yang

lebih besar sehingga memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan bahan

bakunya (ME). Analisis viskositas MESA yang diperoleh menunjukkan variasi

rata-rata 12,35 cP sampai dengan 88,44 cP. Data hasil analisis viskositas MESA

pada kondisi proses yang diujikan disajikan pada Lampiran 3A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input, lama

proses sulfonasi dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap rata-

rata viskositas MESA. Hasil analisis ragam viskositas MESA selengkapnya

disajikan pada Lampiran 3B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) pada Lampiran 3C menunjukkan rata-rata

viskositas MESA suhu input 80, 90 dan 100 oC berbeda nyata satu sama lainnya.

Rata-rata viskositas MESA lama sulfonasi 0 jam, 1 jam 2 jam dan 6 jam berbeda

nyata dengan lama sulfonasi lainnya. Rata-rata viskositas lama sulfonasi 4 jam

tidak berbeda nyata dengan 3 jam dan 5 jam, sedangkan lama sulfonasi 3 jam

berbeda dengan viskositas lama sulfonasi 5 jam.

36

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-rata viskositas MESA

suhu input 80 oC dengan lama proses sulfonasi 0 dan 1 jam tidak berbeda namun

berbeda nyata dengan yang lainnya. Rata-rata viskositas MESA lama proses

sulfonasi 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 6 jam tidak berbeda nyata.

Pada suhu input 90 oC, rata-rata viskositas MESA yang diperoleh dari

lama proses sulfonasi 2 jam, 1 jam dan 0 jam berbeda nyata dengan yang lainnya.

Sedangkan viskositas pada lama proses sulfonasi 6 jam tidak berbeda nyata

dengan lama proses sulfonasi 4 dan 5 jam.

Pada suhu input 100 oC, viskositas MESA yang diperoleh dari lama proses

sulfonasi 2 jam, 1 jam dan 0 jam berbeda nyata dengan yang lainnya. Viskositas

pada lama proses sulfonasi 3 jam, 4 jam dan 5 jam tidak berbeda nyata, sedangkan

rata-rata viskositas MESA pada lama proses sulfonasi 6 jam tidak berbeda nyata

dengan lama proses sulfonasi 5 jam. Gambar 11 memperlihatkan perubahan rata-

rata viskositas MESA pada masing-masing suhu input akibat dari lama proses

sulfonasi yang berbeda.

Gambar 11 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan viskositas MESA

(Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Gambar 11 menunjukkan pada masing-masing suhu input, rata-rata

viskositas MESA meningkat dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Pada

gambar tersebut juga terlihat dengan bertambahnya suhu input dari 80 ke 100 oC

akan meningkatkan viskositas MESA. Viskositas MESA pada suhu input 100 oC

lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas MESA pada suhu input 80 dan 90 oC.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

0 1 2 3 4 5 6

Vis

kosi

tas

MES

A (

cP)

Lama proses sulfonasi (jam)

37

Hal ini diduga pada suhu input yang lebih tinggi, pembentukan lapisan film pada

tube reaktor akan semakin tipis, yang menyebabkan kontak antara gas SO3

dengan bahan baku ME semakin optimal dan meningkatkan pembentukan MESA.

Peningkatan viskositas MESA disebabkan oleh terikatnya gugus sulfonat pada

rantai hidrokarbon ME. Dengan semakin banyaknya gugus SO3 terikat pada ME,

mengakibatkan peningkatan bobot molekul. Semakin besar bobot molekul,

viskositas cairan akan menjadi lebih tinggi. Menurut Takeuchi (2008) viskositas

tinggi disebabkan adanya gaya tarik menarik antar molekul yang besar dalam

cairan, rantai molekul yang tidak teratur, serta suhu sehingga molekul menjadi

lebih sulit bergerak.

4.3.2 Densitas

Densitas termasuk salah satu sifat dasar fluida, merupakan perbandingan

berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 °C dengan berat air pada volume

dan suhu yang sama. Pengaruh suhu terhadap densitas suatu zat cair tidak dapat

diabaikan karena dengan peningkatan suhu, cairan akan meregang mengikuti

perubahan suhu. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas dimana cairan

yang lebih padat akan mempunyai viskositas yang lebih tinggi. Hasil analisis

densitas MESA pada berbagai kondisi proses menunjukkan variasi rata-rata antara

0,8877 g/cm3 sampai dengan 0,9957 g/cm3. Data hasil analisis densitas MESA

pada kondisi proses yang diujikan disajikan pada Lampiran 4A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input dan

lama proses sulfonasi berpengaruh nyata terhadap rata-rata densitas MESA,

sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap densitas

MESA. Hasil analisis ragam densitas MESA selengkapnya disajikan pada

Lampiran 4B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) pada Lampiran 4C menunjukkan rata-rata

densitas MESA pada suhu input 90 oC tidak berbeda nyata dengan densitas suhu

input 80 dan 100 oC. Namun rata-rata densitas suhu 80 oC berbeda nyata dengan

suhu 100 oC. Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) juga menunjukkan rata-rata densitas

MESA pada lama proses sulfonasi 3 jam tidak berbeda dengan densitas lama

proses sulfonasi 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Sedangkan rata-rata densitas lama proses

38

sulfonasi 2 jam, 0 jam dan 1 jam berbeda nyata dengan yang lainnya. Gambar 12

memperlihatkan perubahan rata-rata densitas MESA pada masing-masing suhu

input akibat dari lama proses sulfonasi yang berbeda.

Gambar 12 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan densitas MESA

(Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Rata-rata densitas MESA meningkat dengan bertambahnya suhu input dan

lama proses sulfonasi. Peningkatan densitas terjadi karena semakin banyaknya

gugus SO3 yang terikat pada ME, sehingga meningkatkan pembentukan MESA.

Menurut MacArthur et al. (2008), mekanisme reaksi bertahap pembentukan

MESA pada reaktor sulfonasi akan mempengaruhi penambahan gugus SO3H-

yang terbentuk, sehingga menambah berat molekul senyawa dan meningkatkan

densitas. Rata-rata densitas MESA berkorelasi positif dengan viskositas MESA.

MESA dengan densitas tinggi akan memiliki viskositas yang tinggi pula.

4.3.3 Bilangan Iod

Bilangan iod menunjukkan tingkat ketidakjenuhan atau jumlah ikatan

rangkap pada suatu bahan. Adanya perubahan pada nilai bilangan iod

menunjukkan adanya perubahan pada ikatan rangkap. Bilangan iod menunjukkan

banyaknya garam iodin yang diserap oleh 100 gram bahan. Besarnya jumlah iod

yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren

1986). Analisis bilangan iod MESA yang diperoleh bervariasi yaitu dengan nilai

rata-rata 14,88 mg I/g MESA sampai dengan 27,47 mg I/g MESA. Data hasil

0.88

0.9

0.92

0.94

0.96

0.98

1

0 1 2 3 4 5 6

De

nsi

tas

(gr/

cm3 )

Lama proses sulfonasi (jam)

39

analisis bilangan iod MESA pada kondisi proses yang diuji disajikan pada

Lampiran 5A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input dan

interaksi antara suhu input dan lama proses sulfonasi tidak mempengaruhi

bilangan iod MESA, sedangkan lama proses sulfonasi berpengaruh nyata terhadap

bilangan iod MESA. Hasil analisis ragam bilangan iod MESA selengkapnya

disajikan pada Lampiran 5B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) pada Lampiran 5C menunjukkan rata-rata

bilangan iod MESA pada lama proses sulfonasi 0 jam tidak berbeda nyata dengan

1 jam, rata-rata bilangan iod pada lama proses sulfonasi 2 jam tidak berbeda

dengan rata-rata bilangan iod MESA dengan lama proses sulfonasi 3 jam, 4 jam

dan 5 jam dan bilangan iod MESA pada lama proses sulfonasi 6 jam tidak

berbeda dengan 5 jam, 4 jam dan 3 jam. Gambar 13 memperlihatkan perubahan

rata-rata bilangan iod MESA pada masing-masing suhu input akibat dari lama

proses sulfonasi yang berbeda.

Gambar 13 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu

input dengan bilangan iod MESA (Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Nilai bilangan iod MESA cenderung menurun dengan bertambahnya lama

proses sulfonasi dan bertambahnya suhu input. Penurunan bilangan iod diduga

disebabkan oleh terikatnya SO3 pada ikatan rangkap yang terdapat pada struktur

ME.

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

0 1 2 3 4 5 6Bil.

Iod

MES

A (

mg

Iod

/g M

ESA

)

Lama proses sulfonasi (jam)

40

4.3.4 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran tingkat keasaman suatu larutan.

Nilai pH dapat menentukan suatu larutan bersifat asam atau basa. Pada MESA,

pH dapat menggambarkan keberadaan terikatnya gugus sulfonat yang bersifat

asam kuat pada struktur ME selama berlangsungnya proses sulfonasi. Analisis pH

MESA yang diperoleh bervariasi yaitu dengan nilai rata-rata pH 0,60 sampai

dengan pH 1,38. Data nilai pH MESA pada kondisi proses yang diuji dapat

dilihat pada Lampiran 6A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input, lama

proses sulfonasi dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap pH

MESA. Hasil analisis ragam pH MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran

6B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-rata pH MESA suhu

input 90 oC sama dengan 100 oC, dan keduanya berbeda dengan pH MESA suhu

input 80 oC. Rata-rata pH MESA lama sulfonasi 2 jam tidak berbeda dengan

3 jam, 5 jam dan 6 jam. Sedangkan rata-rata pH MESA lama sulfonasi 0 jam,

1 jam dan 4 jam berbeda nyata dengan yang lainnya.

Pada suhu input 80 oC, hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-

rata pH MESA lama proses sulfonasi 0 jam berbeda nyata dengan yang lainnya.

pH MESA lama proses sulfonasi 6 jam tidak berbeda nyata dengan 5 jam, dan

keduanya juga tidak berbeda nyata dengan 1 jam dan 2 jam. Sedangkan pH

MESA lama proses sulfonasi 3 jam tidak berbeda nyata dengan lama proses

sulfonasi 4 jam dan 5 jam.

Pada suhu input 90 oC, hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-

rata pH MESA pada lama proses sulfonasi 0 jam tidak berbeda nyata dengan

lama proses sulfonasi 1 jam. Sedangkan rata-rata pH MESA pada lama proses

sulfonasi 2 jam tidak berbeda dengan 3 jam. Pada suhu input 90 oC. Rata-rata pH

MESA lama proses sulfonasi 4 sampai dengan 6 jam juga tidak berbeda nyata.

Walaupun menunjukkan kecenderungan menurun, rata-rata pH MESA

pada suhu input 100 oC lama proses sulfonasi 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan

6 jam tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNT (α=0,05). Sedangkan rata-rata

pH MESA pada lama proses sulfonasi 0 jam dan 1 jam berbeda nyata dengan

41

yang lainnya. Hasil uji BNT (α=0,05) pH MESA disajikan pada Lampiran 6C.

Gambar 14 memperlihatkan perubahan pH MESA pada masing-masing suhu

input akibat dari lama proses sulfonasi yang berbeda.

Gambar 14 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu

input dengan pH MESA (Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Gambar 14 menunjukkan pada masing-masing suhu input, rata-rata pH

MESA menurun dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Suhu input yang

semakin tinggi cenderung menurunkan rata-rata pH pada MESA disebabkan oleh

reaksi sulfonasi yang terjadi antara ME dan SO3 yang berikatan asam. Nilai pH

MESA berkaitan dengan terikatnya SO3 sebagai reaktan pada proses sulfonasi

yang bersifat asam kuat, sehingga produk MESA yang dihasilkan bersifat asam.

Pada peningkatan suhu input dari 80 ke 90 oC, rata-rata pH MESA turun sebesar

25,6% dan pada peningkatan suhu input dari 80 ke 100 oC, rata-rata pH MESA

turun sebesar 40,0%. Hal ini diduga dengan semakin tipis dan meratanya

pembentukan film pada reaktor, kontak antara SO3 dengan ME menjadi semakin

lebih baik dan semakin banyak gugus SO3 yang terikat pada ME.

Nilai pH juga berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian

komponen keasaman dan konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen

kebasaan. Pada kondisi pH netral maka konsentrasi kedua ion menjadi seimbang,

namun jika konsentrasi ion hidrogen lebih besar dari ion hidroksil maka pH akan

cenderung rendah (asam) (Rondinini et al. 2001). Pada proses sulfonasi, gugus

sulfur pada SO3 akan berikatan langsung pada rantai karbon ME dan membentuk

asam metil ester sulfonat (MESA) yang mengandung gugus SO3H dan di dalam

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

0 1 2 3 4 5 6

pH

MES

A

Lama proses sulfonasi (jam)

42

air akan terdisosiasi menjadi SO3- dan H+. Dengan semakin lamanya dilakukan

proses sulfonasi, akan semakin banyak gugus SO3H yang terikat pada molekul

ME dan akan menurunkan nilai pH. Terdapat korelasi negatif antara nilai pH

MESA yang diperoleh dengan bilangan asam MESA. Ketika nilai pH menurun

maka bilangan asam pada MESA akan semakin tinggi dan apabila nilai pH

meningkat maka bilangan asam MESA akan terukur semakin rendah.

4.3.5 Bilangan Asam

Bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk

menetralisasi asam lemak bebas dalam satu gram bahan. Produk MESA bersifat

asam karena selama proses sulfonasi, SO3 yang bersifat asam terikat pada rantai

karbon ME. Analisis bilangan asam MESA yang diperoleh bervariasi yaitu

dengan nilai rata-rata 3,12 mg KOH/g sampai dengan 23,43 mg KOH/g. Data

nilai bilangan asam MESA pada kondisi proses yang diuji disajikan pada

Lampiran 7A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input, lama

proses sulfonasi dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap

bilangan asam MESA. Hasil analisis ragam bilangan asam MESA selengkapnya

disajikan pada Lampiran 7B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) bilangan asam MESA suhu input 80, 90 dan

100 oC berbeda nyata satu sama lainnya. Rata-rata bilangan asam MESA lama

sulfonasi 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 6 jam berbeda nyata satu sama lain,

sedangkan bilangan asam lama sulfonasi 4 jam tidak berbeda dengan 5 jam.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) bilangan asam MESA suhu input 80 oC

dengan lama proses sulfonasi 0 jam tidak berbeda dengan 1 jam. Rata-rata

bilangan asam lama sulfonasi 6 jam tidak berbeda dengan 5 jam, 4 jam dan 3 jam.

Pada suhu input 90 oC, rata-rata bilangan asam yang diperoleh dari lama

proses sulfonasi 0 jam dan 1 jam berbeda nyata dengan yang lainnya. Rata-rata

bilangan asam lama sulfonasi 6 jam tidak berbeda nyata dengan bilangan asam

lama sulfonasi 5 jam dan 4 jam.

Pada suhu input 100 oC, bilangan asam lama proses sulfonasi 0 jam dan

3 jam berbeda nyata dengan yang lainnya. Bilangan asam lama proses sulfonasi

43

1 jam tidak berbeda dengan 2 jam. Rata-rata bilangan asam lama proses sulfonasi

6 jam tidak berbeda nyata dengan 5 jam dan 4 jam. Hasil uji BNT (α=0,05)

bilangan asam MESA disajikan pada Lampiran 7C. Gambar 15 memperlihatkan

perubahan rata-rata bilangan asam MESA pada masing-masing suhu input akibat

dari lama proses sulfonasi yang berbeda.

Gambar 15 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu input dengan bilangan asam MESA (Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Suhu input yang semakin tinggi cenderung meningkatkan rata-rata

bilangan asam MESA. Pada peningkatan suhu input dari 80 ke 90 oC, bilangan

asam meningkat sebesar 43,4%, peningkatan suhu input dari 90 ke 100 oC

menaikkan bilangan asam sebesar 18,0%, sehingga peningkatan suhu input dari

80 sampai dengan 100 oC dapat meningkatkan rata-rata bilangan asam sebesar

69,1%.

Peningkatan suhu input dari 80 ke 100 oC akan menyebabkan peningkatan

jumlah energi bagi molekul reaktan gas SO3 sehingga tumbukan antar molekul per

waktu lebih produktif. Oleh karena itu proses sulfonasi dengan pemanasan bahan

ME berada pada kisaran suhu ini akan meningkatkan jumlah molekul SO3 yang

terikat di Cα, ikatan rangkap dan gugus karboksil pada rantai karbon ME.

Jumlah SO3 terikat yang semakin banyak akan meningkatkan bilangan asam

MESA.

Hasil penelitian menunjukkan bilangan asam MESA berkorelasi negatif

dengan nilai pH MESA. Kedua parameter ini berhubungan dengan terikatnya SO3

0.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

0 1 2 3 4 5 6

Bila

nga

n a

sam

(mg

NaO

H/g

)

Lama proses sulfonasi (jam)

44

yang bersifat asam dalam struktur molekul produk yang tersulfonasi.

Meningkatnya bilangan asam akan ditandai dengan meningkatnya jumlah SO3

yang terikat pada molekul ME dan ditunjukkan dengan nilai pH yang rendah.

Demikian pula ketika jumlah SO3 yang terikat pada ME ini berkurang, maka nilai

pH menjadi tinggi.

4.3.6 Kadar Bahan Aktif

Bahan aktif dapat menunjukkan jumlah surfaktan anionik pada MESA

yang dihasilkan. Terdapat sejumlah metode yang dikembangkan untuk

pengukuran bahan aktif surfaktan, salah satunya adalah metode visual melalui

teknik titrasi menggunakan surfaktan kationik sebagai penitran, yang dikenal

dengan teknik titrasi dua fasa (Schmitt 2001).

Menurut Battaglini et al. (1986), penentuan tiga jenis gugus sulfonat aktif

pada surfaktan anionik berbahan baku metil tallow dapat dilakukan dengan

beberapa cara yaitu : (1) titrasi kationik dua fasa menggunakan indikator phenol

red. Titrasi ini menentukan gugus fungsi sulfonat dan karboksilat; (2) titrasi

kationik dua fasa menggunakan indikator methylene blue, yang mentitrasi hanya

gugus sulfonatnya; (3) penentuan bilangan asam; (4) Minyak bebas yang

terekstrak pada petroleum eter.

Metode titrasi dua fasa menggunakan surfaktan kationik

N-cetyl pyridinium chloride sebagai penitran. Semua titrasi surfaktan berdasarkan

pada reaksi antagonis dimana surfaktan ionik bereaksi dengan surfaktan yang

memiliki muatan yang berlawanan untuk membentuk garam yang tidak larut air

(pasangan ion) (Matesic-Puac et al. 2005) Garam yang terbentuk diekstrak

menuju lapisan kloroform sehingga membentuk warna biru pada lapisan

kloroform. Campuran kemudian dititrasi menggunakan

N-cetyl pyridinium chloride. Pada permulaan, warna biru tua berada pada lapisan

kloroform, kemudian selama titrasi warna biru akan bergerak menuju lapisan

cairan (larutan surfaktan dalam akuades) secara perlahan. Perpindahan warna

terjadi secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua

lapisan memiliki intensitas yang hampir sama. Hasil analisis kadar bahan aktif

MESA pada berbagai kondisi proses bervariasi antara 5,48% sampai dengan

45

21,08 %. Data hasil analisis kadar bahan aktif MESA pada kondisi proses yang

diujikan disajikan pada Lampiran 8A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input dan

lama proses sulfonasi berpengaruh nyata terhadap rata-rata kadar bahan aktif

MESA, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata. Hasil

analisis ragam kadar bahan aktif MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran

8B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-rata kadar bahan aktif

MESA suhu input 90 oC tidak berbeda nyata dengan kadar bahan aktif suhu input

100 oC. Sedangkan kadar bahan aktif MESA suhu input 80 oC berbeda nyata

dengan kadar bahan aktif suhu input 90 dan 100 oC.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-rata kadar bahan aktif

MESA lama proses sulfonasi 0 jam, 1 jam, 2 jam dan 3 jam berbeda nyata dengan

yang lainnya. Sedangkan rata-rata kadar bahan aktif MESA lama proses 4 jam

sampai dengan 6 jam tidak berbeda nyata. Hasil uji BNT (α=0,05) kadar bahan

aktif MESA disajikan pada Lampiran 8C. Gambar 16 memperlihatkan perubahan

rata-rata kadar bahan aktif MESA pada masing-masing suhu input akibat dari

lama proses sulfonasi yang berbeda.

Gambar 16 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi pada berbagai suhu

input dengan kadar bahan aktif MESA (Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

Kadar bahan aktif MESA rata-rata meningkat dengan bertambahnya suhu

input dan lama proses sulfonasi. Peningkatan suhu input dari 80 ke 90 oC

meningkatkan rata-rata kadar bahan aktif sebesar 16,7%. Hal ini diduga karena

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0 1 2 3 4 5 6

Ka

dar

bah

an

akt

if (

%)

Lama proses sulfonasi (jam)

46

pada suhu input bahan yang semakin tinggi maka akan semakin banyak gugus

SO3 yang terikat pada struktur ME. Menurut Moretti et al. (2001) total bahan

aktif pada MES pasta berkisar antara 30-60%, untuk mencapainya diperlukan

perbaikan proses diantaranya kontrol yang akurat terhadap rasio mol metil ester

terhadap gas SO3, konsentrasi gas SO3, kualitas bahan baku dan kondisi reaktor.

Rendahnya kadar bahan aktif yang diperoleh pada penelitian ini apabila

dibandingkan dengan Moretti et al. (2001), diduga disebabkan tidak dilakukannya

proses aging yang dapat menyempurnakan konversi senyawa sulfonat anhidrid

menjadi MESA.

Pada awal proses sulfonasi, gas SO3 diserap oleh ME secara cepat

membentuk produk intermediet berupa senyawa sulfonat anhidrid

RCH2COO(SO3)R. Senyawa sulfonat anhidrid ini mengikat SO3 pada gugus

oksigen karbonilnya, bersifat tidak stabil dan berperan dalam pengaktifan gugus

Cα. Senyawa sulfonat anhidrid bereaksi kembali mengikat SO3 pada gugus Cα,

sehingga terdapat dua gugus SO3 pada satu senyawa. Senyawa sulfonat anhidrid

RCH(SO3H)COOSO3R yang memiliki dua gugus SO3 ini, kemudian mengalami

rearrangement, kehilangan satu gugus SO3 pada oksigen karbonilnya dan

membentuk MESA RCH(SO3H)COOR. SO3 yang lepas pada saat rearrangement

akan mengkonversi senyawa sulfonat anhidrid RCH2COOSO3R menjadi

RCH(SO3H)COOSO3R yang kemudian akan dikonversi menjadi MESA.

Sehingga selain MESA, produk lain yang diperoleh dari proses sulfonasi adalah

senyawa intermediet berupa senyawa sulfonat anhidrid yang masih dapat

dikonversi menjadi MESA. Proses konversi senyawa intermediet menjadi MESA

ini terjadi pada tahap aging. Pada tahap ini, senyawa sulfonat anhidrid

RCH(SO3H)COOSO3R akan bereaksi dengan ME yang tersisa dan menghasilkan

MESA. Pada tahap netralisasi MESA akan menjadi MES, sedangkan senyawa

sulfonat anhidrid yang juga terbentuk pada proses sulfonasi akan menjadi disalt

dan sodium metil sulfat. Roberts et al. (2008) menggambarkan stokiometri

proses sulfonasi ME seperti disajikan pada Gambar 17.

47

Gambar 17 Interpretasi stokiometri proses sulfonasi ME (Roberts et al. 2008)

4.3.7 Tegangan Permukaan

Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang dibutuhkan untuk

memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan

disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik dari molekul cairan. Tegangan

permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan

dalam dyne/cm atau mN/m.

Tegangan permukaan merupakan fenomena akibat adanya

ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang

berada di permukaan antara molekul-molekul cairan dengan udara akibat gaya

tarik menarik antara molekul-molekul cairan lebih besar dibanding pada gas.

Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung

menggerakkan molekul-molekul tersebut menuju pusat cairan sehingga

menyebabkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis yang menyelimuti

seperti kulit (Rosen 2004).

Besarnya kadar bahan aktif pada surfaktan MESA akan diiringi dengan

peningkatan kemampuan surfaktan MESA untuk menurunkan tegangan

permukaan. Pada penelitian ini pengujian tegangan permukaan dilakukan

menggunakan pelarut air dengan beberapa konsentrasi surfaktan yang dilarutkan

di dalamnya, kemudian ditentukan konsentrasi minimum dimana surfaktan

mampu menurunkan tegangan permukaan optimum. Konsentrasi surfaktan yang

diujikan terdiri atas 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7% dan 1,0%.

Tegangan permukaan air sebelum ditambahkan surfaktan MESA adalah

sebesar 72,40 dyne/cm. Hasil analisis tegangan permukaan air dengan beberapa

konsentrasi surfaktan MESA pada berbagai kondisi proses bervariasi antara

32,33-42,63 dyne/cm. Rata-rata tegangan permukaan air yang telah ditambahkan

MESA mengalami penurunan sekitar 41,40-55,33% dibandingkan tanpa

48

penambahan surfaktan. Data hasil analisis tegangan permukaan air dengan

beberapa konsentrasi surfaktan MESA pada masing-masing perlakuan disajikan

pada Lampiran 9A.

Hasil analisis ragam (α=0,05) menunjukkan bahwa faktor suhu input,

konsentrasi MESA dan lama proses sulfonasi berpengaruh nyata terhadap rata-

rata tegangan permukaan air. Interaksi antara faktor suhu dan konsentrasi MESA

serta interaksi antara faktor suhu dan lama proses sulfonasi juga berbeda nyata.

Sedangkan interaksi antara faktor konsentrasi MESA dan lama proses sulfonasi

serta interaksi antara faktor suhu, konsentrasi dan lama proses tidak berbeda

nyata. Hasil analisis ragam tegangan permukaan air selengkapnya disajikan pada

Lampiran 9B.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) menunjukkan rata-rata tegangan permukaan

air yang telah ditambahkan MESA suhu input 90 oC tidak berbeda nyata dengan

suhu 100 oC. Namun keduanya berbeda nyata dengan suhu input 80 oC. Rata-rata

tegangan permukaan lama sulfonasi 0 jam berbeda nyata dengan lama sulfonasi

lainnya, sedangkan tegangan permukaan lama sulfonasi 6 jam tidak berbeda nyata

dengan 5 jam, 4 jam, 3 jam dan 2 jam. Penambahan MESA ke dalam larutan

sebesar 0,1% dan 0,3% menyebabkan rata-rata tegangan permukaan yang berbeda

dengan konsentrasi lainnya. Rata-rata tegangan permukaan dari konsentrasi

surfaktan 0,7% tidak berbeda nyata dengan 0,5% dan 1,0%, namun konsentrasi

0,5% berbeda nyata dengan 1,0%.

Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) tegangan permukaan setiap suhu input

akibat perbedaan konsentrasi MESA disajikan pada Tabel 6. Gambar 18

memperlihatkan perbedaan tegangan permukaan yang telah ditambahkan MESA

pada masing-masing suhu input dan lama sulfonasi akibat perbedaan konsentrasi

MESA.

Pada Tabel 6 terlihat pada masing-masing suhu input, rata-rata tegangan

permukaan menurun dengan bertambahnya konsentrasi MESA dalam larutan.

Pada tabel tersebut dapat diamati tegangan permukaan terbesar diperoleh dari

kombinasi perlakuan suhu 90 oC dan konsentrasi MESA 0,1%. Nilai ini tidak

berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan suhu 80 oC dan konsentrasi MESA

0,1% serta perlakuan suhu 100 oC dengan konsentrasi MESA yang sama.

49

Tabel 6 Hasil uji lanjut BNT (α=0,05) tegangan permukaan akibat dari perbedaan suhu input dan konsentrasi MESA

Suhu (oC)

Konsentrasi MESA (%)

Tegangan permukaan (dyne/cm)

Kelompok BNT (α=0,05)

80 0.1 40.64 a 80 0.3 38.98 b 80 0.5 37.38 c 80 0.7 37.32 c 80 1 36.75 cd 90 0.1 40.87 a 90 0.3 36.30 de 90 0.5 35.42 ef 90 0.7 34.81 fg 90 1 34.59 fg

100 0.1 39.97 a 100 0.3 36.48 cd 100 0.5 35.13 f 100 0.7 34.82 fg 100 1 34.05 g

Keterangan : Kelompok dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Rata-rata tegangan permukaan paling rendah diperoleh dari kombinasi

perlakuan 100 oC dan konsentrasi MESA 1,0%. Nilai ini tidak berbeda nyata

dengan kombinasi perlakuan suhu 100 oC dan konsentrasi MESA 0,7%, serta

kombinasi perlakuan suhu 90 oC dan konsentrasi MESA 0,7% dan 1,0%.

Pada Tabel 6 dapat dilihat pada suhu input 80 dan 90 oC rata-rata tegangan

permukaan pada konsentrasi MESA 0,5% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi

MESA 0,7% dan 1,0%. Pada suhu input 100 oC, tegangan permukaan pada

konsentrasi MESA 1,0% berbeda dengan konsentrasi MESA 0,5%, namun

demikian kedua perlakuan ini tidak berbeda dengan rata-rata tegangan permukaan

pada konsentrasi MESA 0,7%.

Gambar 18 memperlihatkan rata-rata tegangan permukaan menurun

dengan bertambahnya konsentrasi MESA dalam larutan. Pada ketiga suhu input

yaitu 80, 90 dan 100 oC, penurunan tegangan permukaan paling tajam terjadi

dengan meningkatnya konsentrasi MESA dari 0,1% menjadi 0,5%. Penurunan

tegangan permukaan tidak terlalu besar dengan meningkatnya konsentrasi MESA

dari 0,7% menjadi 1,0%. Pada gambar tersebut juga dapat diamati kemampuan

50

MESA suhu input 80 oC dalam menurunkan tegangan permukaan air paling

rendah dibandingkan dengan suhu 90 dan 100 oC.

Gambar 18 Grafik hubungan antara lama proses sulfonasi dan konsentrasi MESA

dalam larutan dengan tegangan permukaan air (Konsentrasi 0,1%(�);0,3%(�); 0,5%(�); 0,7% (�) dan 1,0% (�))

Gambar 18 memperlihatkan perubahan tegangan permukaan pada masing-

masing suhu input akibat perbedaan lama proses sulfonasi. Gambar tersebut

menunjukkan pada masing-masing suhu input, rata-rata tegangan permukaan yang

menurun dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Hal tersebut diduga karena

30.00

32.00

34.00

36.00

38.00

40.00

42.00

44.00

0 1 2 3 4 5 6

Te

ga

ng

an

pe

rmu

ka

an

(dyn

e/c

m2)

Lama proses sulfonasi (jam)

30.00

32.00

34.00

36.00

38.00

40.00

42.00

44.00

0 1 2 3 4 5 6

Te

gan

ga

n p

erm

uk

aa

n

(dyn

e/c

m2)

Lama proses sulfonasi (jam)

30.00

32.00

34.00

36.00

38.00

40.00

42.00

44.00

0 1 2 3 4 5 6Te

ga

nga

n p

erm

uka

an

(dyn

e/c

m2)

Lama proses sulfonasi (jam)

(a) Suhu input 80 oC

(b) Suhu input 90 oC

(b) Suhu input 100 oC

51

dengan bertambah lamanya proses sulfonasi dilakukan, gas SO3 yang berada pada

reaktor akan semakin banyak dan jenuh sehingga peluang SO3 untuk terikat pada

struktur ME akan semakin besar. Dengan semakin banyak SO3 pada MESA yang

dihasilkan, kemampuan MESA tersebut dalam menurunkan tegangan permukaan

semakin besar.

4.4 Penentuan kondisi terbaik

Penentuan suhu input terbaik dilakukan dengan Teknik Perbandingan

Indeks Kinerja (Comparative Performance Index, CPI) dari sifat fisikokimia

MESA. Sifat fisikokimia terdiri atas viskositas, densitas, bilangan iod, pH,

bilangan asam, kadar bahan aktif dan tegangan permukaan. Berdasarkan

wawancara dengan ahli, parameter kadar bahan aktif MESA memiliki bobot

kepentingan kriteria tertinggi yaitu 25%, karena kinerja MESA yang dihasilkan

ditentukan dari banyaknya gugus sulfonat pada produk dan terdeteksi melalui

kadar bahan aktif. Berdasarkan tingkat kepentingannya dibandingan dengan sifat

fisikokimia yang lain, tegangan permukaan dan bilangan asam memperoleh nilai

bobot yang sama yaitu 20%, pH dan viskositas mempunyai nilai bobot 10%

sedangkan bobot kepentingan untuk bilangan iod dan densitas yaitu 7,5%.

Matriks awal dan hasil transformasi penilaian alternatif pemilihan suhu input

terbaik dari sifat fisikokimia MESA dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai indeks

gabungan kriteria dari masing-masing alternatif suhu input disajikan pada Gambar

19.

Gambar 19 Nilai indeks gabungan kriteria dari masing-masing suhu input (Suhu input 80 °C(�); 90 °C(�) dan 100 ° C(�))

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

0 1 2 3 4 5 6

Nila

i in

de

ks g

abu

nga

n

Lama proses sulfonasi (jam)

52

Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa suhu input 100 oC dengan lama

proses sulfonasi 6 jam adalah perlakuan terbaik untuk proses sulfonasi ME

menjadi MESA. Perlakuan ini memiliki nilai indeks gabungan tertinggi yaitu

372,5 dibandingan dengan perlakuan lainnya. Matriks hasil transformasi melalui

Teknik Perbandingan Indeks Kinerja dari sifat fisikokimia MESA tiap sampel

suhu input 100 oC menunjukkan kadar bahan aktif, tegangan permukaan, bilangan

asam, pH, viskositas, densitas dan bilangan iod yang sama atau lebih baik

dibandingkan suhu lainnya. MESA yang diperoleh dari suhu input 100 oC

kemudian dinetralkan menggunakan NaOH 50% sampai pH MES yang diperoleh

berkisar antara 6-8. MES ini kemudian dilakukan analisis kadar bahan aktif dan

tegangan permukaan.

Lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak ditentukan dengan

membandingkan waktu yang diperlukan pada parameter uji kadar bahan aktif dan

tegangan permukaan sampai nilainya tidak berubah. Pada penelitian ini waktu

yang diperlukan untuk mencapai nilai stabil tidak seragam pada setiap perlakuan

suhu input dan pada sifat fisikokimia yang diiujikan.

Pada perlakuan suhu input 100 oC, nilai pH cenderung tidak berubah pada

lama proses sulfonasi 2 jam sampai dengan 6 jam. Rata-rata bilangan asam

MESA tidak berubah pada lama proses sulfonasi 4 jam sampai dengan 6 jam.

Rata-rata viskositas MESA tidak berubah pada lama proses sulfonasi 5 jam dan

6 jam, namun rata-rata viskositas MESA pada lama proses sulfonasi 5 jam tidak

berbeda dengan viskositas MESA lama proses sulfonasi 3 jam dan 4 jam. Rata-

rata tegangan permukaan cenderung tidak berubah pada lama proses sulfonasi

2 jam sampai dengan 6 jam. Waktu paling lama untuk tidak berubah terdapat

pada kadar bahan aktif, yang memerlukan lama proses sulfonasi selama 4 jam

sampai nilainya tidak berubah sampai dengan 6 jam.

Kadar bahan aktif dan tegangan permukaan MES

Hasil analisis kadar bahan aktif MES dengan suhu input 100oC bervariasi

antara 5,91% sampai dengan 22,15 %. Data hasil analisis kadar bahan aktif MES

pada suhu input 100 oC disajikan pada Lampiran 11. Hasil analisis ragam

(α=0,05) menunjukkan bahwa kadar bahan aktif MESA dan MES pada suhu input

100 oC adalah berbeda. Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan perbedaan kadar

53

bahan aktif MESA dan MES dengan lama sulfonasi yang sama adalah tidak

signifikan. Gambar 20 memperlihatkan perubahan kadar bahan aktif MESA dan

MES dengan suhu input 100 oC selama proses sulfonasi.

Gambar 20 Kadar bahan aktif MESA ( ) dan MES ( ) pada suhu input 100 oC

Pada Gambar 20 terlihat terdapat kenaikan rata-rata kadar bahan aktif

MES dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Proses sulfonasi menghasilkan

produk berupa MESA dan senyawa sulfonat anhidrid yang berpeluang untuk

dikonversikan menjadi MESA dan menjadi MES setelah dilakukan proses

netralisasi. Pada proses netralisasi derajat keasaman dikontrol berada disekitar pH

6-8 untuk mencegah terjadinya hidrolisis menjadi disalt RCH(COONa)SO3Na dan

sodium metil sulfat Me3OSO2Na. Senyawa disalt ini juga termasuk surfaktan

namun keberadaanya tidak diharapkan karena akan mengurangi kinerja MES.

Disalt lebih sensitif terhadap air sadah.

Pada Gambar 20 juga dapat diamati kadar bahan aktif MES cenderung

lebih tinggi dibandingkan dengan MESA, hal ini diduga berhubungan dengan

kondisi asam pada MESA (dengan pH kurang dari 1). MESA terhidrolisis dan

menurunkan kadar bahan aktif dibandingkan MES dengan pH sekitar 6-8.

Rendahnya kadar bahan aktif MES yang diperoleh pada penelitian ini

dibandingkan dengan Moretti et al. (2001) diduga karena pada proses netralisasi

tidak dilakukan proses reesterifikasi menggunakan metanol untuk mengkonversi

senyawa sulfonat anhidrid RCH(SO3H)COOSO3R menjadi MESA sehingga jika

dinetralkan dengan NaOH akan diperoleh MES (Gambar 21). Proses

0

5

10

15

20

25

0 1 2 3 4 5 6

Ka

dar

bah

an

akt

if M

ES (

%)

Lama proses sulfonasi (jam)

54

reesterifikasi ini akan mengurangi kandungan disalt pada produk akhir (Roberts et

al. 2008).

Gambar 21 Reaksi reesterifikasi senyawa sulfonat anhidrida (1) dan netralisasi MESA menjadi MES (2) (Roberts et al. 2008)

Hasil analisis terhadap tegangan permukaan MES pada suhu input 100 oC

bervariasi antara 28,75 dyne/cm sampai dengan 41,78 dyne/cm. Data hasil

analisis tegangan permukaan MES pada suhu input 100 oC disajikan pada

Lampiran 12.

Gambar 22 Tegangan permukaan MESA ( ) dan MES ( ) pada konsentrasi

surfaktan dalam larutan 0,5%

Pada konsentrasi surfaktan 0,5%, hasil analisis ragam (α=0,05)

menunjukkan tegangan permukaan MESA dan MES pada suhu input 100 oC

berbeda nyata. Terdapat penurunan rata-rata kadar bahan aktif pada MES

dibandingkan dengan MESA pada lama proses sulfonasi yang sama. Hasil uji

BNT (α=0,05) menunjukkan tegangan permukaan MES pada lama proses

sulfonasi 0 jam, 1 jam dan 2 jam tidak berbeda nyata dengan tegangan permukaan

30

32

34

36

38

40

42

44

0 1 2 3 4 5 6

Teg

anga

n p

erm

uka

an

(dyn

e/cm

)

Lama proses sulfonasi (jam)

55

MESA pada lama proses yang sama. Sedangkan pada lama proses sulfonasi

3 jam, 4 jam, 5 jam dan 6 jam tegangan permukaan MES berbeda dengan

tegangan permukaaan MESA. Menurunnya tegangan permukaan MES dengan

bertambahnya lama proses sulfonasi berhubungan dengan meningkatnya kadar

bahan aktif pada MES dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Gambar 22

menyajikan perubahan tegangan permukaan dengan penambahan MESA dan

MES (suhu input 100 oC) sebesar 0,5%.

Pada Gambar 22 terlihat tegangan permukaan MESA dan MES menurun

dengan bertambahnya lama proses sulfonasi. Kemampuan MES dalam

menurunkan tegangan permukaan lebih besar dibandingkan dengan MESA. Hal

ini disebabkan kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan

berkorelasi positif dengan kadar bahan aktif surfaktan tersebut.

56

57

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan:

1. MESA dengan sifat fisikokimia dan kinerja terbaik diperoleh dari suhu input

100 oC dengan lama sulfonasi 6 jam. MESA yang dihasilkan memilliki rata-

rata pH 0,71, bilangan asam 23,43 mg KOH/g, viskositas 88,44 cP, densitas

0,9957 gr/cm3, bilangan iod 14,89 mg I/g MESA, kadar bahan aktif 21,08%

dan tegangan permukaan 33,73 dyne/cm.

2. Proses sulfonasi dengan suhu input 100 oC selama 6 jam mencapai kondisi

tunak pada jam ke-4. Setelah mencapai kondisi tunak, nilai rata-rata

kandungan bahan aktif dan tegangan permukaan pada MESA yang dihasilkan

tidak berubah.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan kajian optimasi proses sulfonasi ME stearin menggunakan

reaktor single tube falling film, dengan suhu input 90-100 oC.

2. Untuk meningkatkan kinerja proses sulfonasi terhadap peningkatan kualitas

MESA perlu dilakukan pengendalian yang lebih baik terhadap laju alir bahan

baku dan gas SO3. Agar reaksi sulfonasi berlangsung maksimal, laju alir

bahan baku diperlambat.

58

59

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical

Chemist. 1995. Washington: AOAC.

[ASTM] American Society for Testing and Material D 1331 2000. Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM.

Baker J, penemu. The Procter & Gamble Company. 16 Desember 1993. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US Patent 5 475 134.

Battaglini GT, JL Larzen-Zabus, dan TG Baker. 1986. Analytical Methodes for Alpha Sulfo Methyl Tallowate. JAOCS. 63 (8) : 1073-1077.

Bergenstahl B. 1997. Physcochemical Aspects of an Emulsifier Functionality. In: Food Emulsifier and Their Aplications. G.L. Hasenhuettl dan R.W. Hartel (Eds.). New York : Champman & Hall.

Berger P. 2009. Surfactants Based on Monounsaturated Fatty Acids for Enhanced Oil Recovery. Inform 20:682-685

Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Interstampa, Rome.

Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Perdagangan Ekspor-Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

De Groot WH. 1991. Sulphonation Technology in the Detergent House, Netherland: Kluwer Academic Publisher.

Flider FJ. 2001. Commercial Considerations and Markets for Naturally Derived Biodegradable Surfactants. Inform 12(12): 1161-1164.

Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. In : Spitz, L. (Ed). Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. AOCS Press, Champaign, Illinois.

Foster NC dan Rollock MW. 1997. Medium to Very High Active Single Step Neutralization.(terhubung berkala).www.chemithon.com.

Freedman B, EH Pryde dan TL Mounts. 1984. Variable Affecting the Yield of Fatty Ester from Transesterified Vegetable Oil. In: Mittelbach M dan C Remschmidt. 2006. Biodiesel the Comprehensive Handbook. Martin Mittelbach Publisher. Am Blumenhang. Austria.

Georgeiou G, C Lsung dan MM Shara. 1992. Surface Active Compounds from Microorganism. Biotech 10:60-65.

Gerpen JHV, B Shanks, R Pruszko, D Clements and G Knothe. 2004. Biodiesel Production Technology. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. 106 p.

60

Gupta S, D Wiese. 1992. Soap, Fatty Acids, and Synthetic Detergent. In: Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th Editon. Kent JA (Ed.). Van Nostrand Reinhold. New York.

Hambali E, M Rivai, P Suarsana, Sugihardjo dan E Zulchaidir, peneliti. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff dan Puff. Buku Catatan Harian Peneliti Periode Juni-Oktober 2009. SBRC LPPM-IPB: Bogor

Hasenhuettl GL. 1997. Overview of Food Emulsifier. In: Food Emulsifier and Their Applications. GL Hasenhuettl dan RW Hartel (Eds). Chapman & Hall, New York.

Hovda K. 1996. The Chalenge of Methyl Ester Sulfonation.[terhubung berkala]. www.chemithon.com

Hui YH, editor. 1996. Bailey’s Industrial oil and Fat Products. 5th Ed., Vol 2, 3, 4, 5. John Wiley & Sons Inc., New York.

Jungermann E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4, Volume ke-1. New York: John Willey and Son.

Kapur BL, JM Solomon dan BR Bluestein. 1975. Summary of the Technology for the Manufacture of Higher Alpha-Sulfo Fatty Acid Esters. SD&C Technical. AOCS meeting, New Orleans.

Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press

Leung DYC dan Y Guo. 2006. Transesterification of Neat and Used Frying: Optimization for Biodiesel Production. Fuel Processing Technology 87: 883-90

Lewandowski H dan MJ Schwuger. 2003. α-Sulfomonocarboxylic Esters. Di dalam Novel Surfactants: Preparations, Applications, and Biodegradibility 2nd Edition Revised and Expanded. Holmberg K (ed). Marcel Dekker Inc, New York.

Ma F dan MA Hanna. 2001. Biodiesel Production : A Review. Bioresource Technology 70: 77-82.

MacArthur BW, B Brooks, WB Sheat dan NC Foster. 2008. Meeting The Challenge of Methyl Ester Sulphonate. The Chemithon Corporation, USA.

Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo, Jakarta.

Matesic-Puac R, Sak-Bosnarb M, Bilica M dan Grabaricc BS. 2004. Potensiometric Determination of Anionic Surfactants using a New Ion-Pair-Based All-Solid-State Surfactants Sensitive Electrode. Elsevier B.V.

Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois.

61

Mattjik AA dan M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. IPB Press, Bogor

Mazzanti C. 2008. Introduction: Surfactants from Biorenewable Sources. Biorenewable Sources 5

Meher LC, D Vidya Sagar dan SN Naik. 2006. Technical Aspects of Biodiesel Production by Transesterification – a review. Renewable and Sustainable Review Energy Reviews 10:248-268

Moretti GF dan Adami I. 2001. Evolution of Processing Design as a Function of Update Feedstock and Surfactant Quality Specifications. Milano. Italy : Ballestra Spa.

Moretti GF, Adami I, Nava F dan Molteni E. 2001. The Multitube Film Sulfonation Reactor for The 21st Century. Milano. Italy : Ballestra Spa

Mujdalipah S. 2008. Proses Produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Olein Sawit menggunakan Single Tube Falling-Film Reactor (STFR).[Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Perkins WS. 1988. Surfactants-A Primer. [terhubung berkala]. www.p2pays.org/ref/03/02960.pdf

Pore J. 1976. Oil and Fats Manual. Intercept Ltd, Andover, New York.

Ramadhas AS, S Jayaraj, C Muraleedharan. 2005. Biodiesel production from high FFA rubber seed oil. Fuel 84 : 335-40

Roberts DW. 2001. Manufacture of Anionic Surfactans. Di dalam : F D Gunstone, RJ Hamilton (eds). Oleochemical Manufacture and Applications. Sheffield Academia Press, Sheffield, UK p 55-73.

Roberts DW, L Giusti dan A Forcella. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5 : 2-19.

Rondinini S, Buck RP, dan Covington AK. 2001. The Measurement of pH-Definition, Standards and Producers. IUPAC Provisional Recommendations.

Rosen MJ dan Dahanayake. 2000. Industrial Utilization of Surfactants: Principles and Practice. AOCS Press, Champaign, Illinois.

Rosen MJ. 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena. 3rd Edition. John Wiley & Sons, Inc.New jersey

Sahoo PK, LM Das, MKG Babu, SN Naik. 2007. Biodiesel Development from High Acid Value Polanga Seed Oil and Performance Evaluation in a Cl engine. Fuel 86 : 448-54.

Schmitt TM. 2001. Analysis of Surfactant. Edisi ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc.

Sharma YC dan B Singh. 2009. Development of biodiesel: Current scenario. Renewable and Sustainable Energy Reviews 13 : 1646-1651

62

Sharma YC, B Singh, SN Upadhyay. 2008. Advancements in Development and Characterization of Biodiesel: a review. Fuel 87 : 2355-73

Sheats WB dan BW MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation.

Sherry AE, BE Chapman, MT Creedon. 1995. Nonbleach Process for the Purification of Palm C16-18 Methyl Ester Sulfonates. AOCS Press.

SNI. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Sulastri Y. 2010. Sintesis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Crude Palm Oil (CPO) menggunakan Singletube Falling Film Reactor. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Sutanto AI. 2007. Sintesa Metil Ester Sulfonat dari Metil Ester Berbahan Baku PKO pada Skala Pilot Plant. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Stein W dan Bauman H. 1975. α-Sulfonated Fatty Acid and Esters: Manufacturing Process, Properties and Aplications. Journal of The American Oil Chemistry Society 50:322-329

Swern D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John Willey and Son, New York.

Vicente G, M Martinez, J Aracil. 2004. Integrated biodiesel production : a comparison of different homogenous catalysts systems. Bioresource Technology 92 : 297-305

Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159.

63

L A M P I R A N

64

65

Lampiran 1 Prosedur analisis metil ester stearin

1. Bilangan Asam (SNI 04-7182-2006)

Sampel alkil ester ditimbang 19–21 + 0,05 g ke dalam labu erlenmeyer

250 ml. Kemudian ditambahkan 100 ml pelarut alkohol 95% yang telah

dinetralkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat,

titrasi larutan isi labu erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol sampai

berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran

pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan

paling sedikit 15 detik. Volume titran yang dibutuhkan kemudian dicatat.

Perhitungan nilai bilangan asam sebagi berikut:

Angka asam (Aa) = 56,1 x V x N mg KOH/g biodiesel

m FFA (%) = BM as. Lemak dominan x V x N 10 m Keterangan:

V = volume larutan KOH dalam alkhohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml)

N = normalitas larutan KOH dalam alkohol

m = berat sampel alkil ester (g)

BM asam lemak dominan stearin adalah 256 (asam palmitat)

2. Kadar Gliserol Total, Bebas, dan Terikat di Dalam Biodiesel Ester Alkil:

Metode Iodometri – Asam Periodat (SNI 04-7182-2006)

Analisis Kadar Gliserol Total

Sampel alkil ester ditimbang 9,9–10,01 g ke dalam sebuah labu

erlenmeyer. Ditambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik, labu disambungkan

dengan kodensor berpendingin udara dan didihkan isi labu perlahan selama 30

menit untuk mensaponifikasi ester-ester. Ditambahkan 91+0,2 ml kloroform dari

sebuah buret ke dalam labu takar 1 L. Kemudian ditambahkan 25 ml asam asetat

glasial dengan menggunakan gelas ukur.

Labu saponifikasi disingkirkan dari pelat pemanas atau bak kukus, bilas

dinding dalam kondensor dengan sedikit akuades. Kondensor dilepaskan dan

dipindahkan isi labu saponifikasi secara kuantitatif ke dalam labu takar dengan

menggunakan 500 ml akuades. Labu takar ditutup rapat dan isinya dikocok kuat-

kuat selama 30-60 detik. Akuades ditambahkan sampai ke batas takar, tutup lagi

66

labu rapat-rapat dan dicampurkan baik-baik isinya dengan membolak-balikkan

dan sesudah dipandang tercampur dengan baik, biarkan tenang sampai lapisan

kloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna.

Kemudian masing-masing dipipet 6 ml larutan asam periodat ke dalam 2

atau 3 gelas piala 400-500 ml dan disiapkan dua blanko dengan mengisi masing-

masing 50 ml akuades. Lalu dipipet 100 ml lapisan akuatik yang telah diperoleh

ke dalam gelas piala berisi larutan asam periodat dan kemudian gelas piala ini

dikocok perlahan supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, gelas piala ditutup

dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Jika lapisan akuatik termaksud

mengandung bahan tersuspensi, disaring terlebih dahulu sebelum pemipetan

dilakukan.

Ditambahkan 3 ml larutan KI, dicampurkan dengan pengocokan perlahan

dan kemudian dibiarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tidak boleh lebih dari 5

menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang isinya akan dititrasi ini tidak boleh

ditempatkan di bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Isi

gelas piala dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah distandarkan

(diketahui normalitasnya). Titrasi diteruskan sampai warna cokelat iodium hampir

hilang. Setelah ini tercapai, ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan

diteruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium-pati persis sirna. Buret

titran dibaca sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus.

Dilakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah yang sama pada dua gelas

piala berisi larutan blanko.

Analisis Kadar Gliserol Bebas

Sampel alkil ester ditimbang 9,9–10,1 + 0,01 g dalam sebuah botol

timbang. Sampel ini dibilas ke dalam labu takar 1 liter dengan menggunakan

91 + 0,2 ml kloroform yang diukur dengan buret. Ditambahkan kira-kira 500 ml

akuades, ditutup rapat labu, dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 30-60 detik.

Ditambahkan akuades sampai ke garis batas takar, ditutup lagi labu rapat-rapat

dan dicampurkan baik-baik isinya dengan membolakbalikkan, dan sesudah

dipandang tercampur dengan baik, dibiarkan tenang sampai lapisan kloroform dan

lapisan akuatik memisah sempurna.

67

Dipipet masing-masing 2 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas

piala 400 – 500 ml dan disiapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing

100 ml akuades. Selanjutnya dipipet 300 ml lapisan akuatik yang diperoleh tadi ke

dalam gelas piala berisi larutan asam periodat dan kemudian dikocok gelas piala

ini perlahan supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, gelas piala ditutup dengan

kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Jika lapisan akuatik termaksud

mengandung bahan tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan.

Larutan KI ditambahkan sebanyak 2 ml, dicampurkan dengan pengocokan

perlahan dan kemudian dibiarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tidak lebih dari

5 menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang isinya akan dititrasi ini tidak boleh

ditempatkan di bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Isi

gelas piala dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat yang telah distandarkan

(diketahu normalitasnya). Titrasi diteruskan sampai warna cokelat iodium hampir

hilang. Setelah ini tercapai, ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan

diteruskan titrasi sampai warna biru kompleks-pati persis sirna. Buret titran dibaca

sampai ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus. Langkah-langkah

tersebut diulangi untuk mendapatkan duplo dan jika mungkin triplo. Analisis

blanko dilakukan dengan menerapkan langkah yang sama pada dua gelas piala

berisi larutan blanko (yaitu akuades).

Perhitungan

Menghitung kadar gliserol total (Gttl, %-b) dengan rumus:

Gttl (%-b) = 2,302 (B-C) x N

W

dengan:

C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi sampel, ml

B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blanko, ml

N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat

W = berat sampela x ml sampelb

900

Kadar gliserol bebas (Gttl, %-b) dihitung dengan rumus yang serupa dengan di

atas, tetapi menggunakan nilai-nilai yang diperoleh pada pelaksanaan prosedur

68

analisis kadar gliserol bebas. Kadar gliserol terikat (Gttl, %-b) adalah selisih antara

kadar gliserol total dengan kadar gliserol bebas Gikt = Gttl - Gbbs

3. Bilangan Penyabunan (SNI 04-7182-2006)

Sampel alkil ester ditimbang 4-5 + 0,005 g ke dalam sebuah labu

erlenmeyer 250 ml berleher tebal. Kemudian ditambahkan 50 ml larutan KOH

alkoholik dengan pipet yang dibiarkan terkosongkan secara alami. Disiapkan dan

dilakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh alkil ester

dengan langkah yang persis sama tetapi tidak mengikutsertakan sampel alkil ester.

Labu erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara

dan didihkan perlahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna. Ini

biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada akhir

penyabunan harus jernih dan homogen. Jika tidak, waktu penyabunan

diperpanjang. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu

dingin hingga membentuk jeli), dinding dalam kondensor dibilas dengan sejumlah

kecil aquades. Kondensor dilepaskan dari labu, lalu ditambahkan 1 ml larutan

indikator fenoplhtalein ke dalam labu. Isi labu kemudian dititrasi dengan HCl

0,5 N sampai warna merah jambu persis sirna. Volume asam klorida yang

dihabiskan untuk ditrasi kemudian dicatat.

Angka penyabunan, As (%-b) = 56,1 (B – C) x N mg KOH/g biodiesel

m

Keterangan:

B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blanko (ml)

C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi sampel (ml)

N = normalitas larutan HCl (0,5 N)

W = berat sampel alkil ester yang ditimbang untuk analisis (g)

4. Bilangan Iod (SNI 04-7182-2006)

Sampel alkil ester ditimbang 0,13-0,15 + 0,001 g ke dalam labu iodium.

Kemudian ditambahkan 15 ml larutan karbon tetraklorida (atau 20 ml campuran

50%-v sikloheksan – 50%-v asam asetat) dan kocok-putar labu untuk menjamin

contoh sampel larut sempurna ke dalam pelarut. Lalu ditambahkan 25 ml reagen

69

Wijs dengan pipet seukuran dan tutup labu. Kocok-putar labu agar isinya

tercampur sempurna dan kemudian segera simpan di tempat gelap bertemperatur

25 + 5 oC selama 1 jam.

Sesudah periode penyimpanan usai, labu diambil kembali, dan

ditambahkan 20 ml larutan KI serta kemudian 150 ml aquades. Sambil selalu

teraduk baik, larutan uji dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang

sudah distandarkan (diketahui normalitas yang tepat) sampai warna cokelat

iodium hampir hilang. Kemudian tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan titrasi

diteruskan sampai warna biru kompleks iodium-pati persis sirna. Lalu dicatat

volume titran yang dihabiskan untuk titrasi. Dilakukan hal sama terhadap blanko,

tanpa mengikutsertakan sampel.

Angka iodium dihitung dengan rumus:

Angka iodium, Ai (%-b) = 12,69 (B – C) x N

W

Keterangan:

C = Volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi sampel (ml)

B = Volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blanko (ml)

N = Normalitas larutan natrium tiosulfat (N)

W = Berat sampel alkil ester yang ditimbang untuk analisis (g)

5. Analisis Metil Ester Menggunakan Gas Kromatografi (AOAC 1995)

Dua gram minyak ditambahkan ke dalam labu didih, kemudian

ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol, dipanaskan sampai tersabunkan lebih

kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya ditambahkan 10 ml BF3

dan dipanaskan kira-kira dua menit. Dalam keadaan panas ditambahkan 5 ml n-

heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl jenuh.

Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan dipindahkan ke

dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 g Na2SO4. Larutan tersebut

siap diinjeksikan pada suhu detektor 230 oC, suhu injektor 225 oC, suhu awal

70 oC, pada suhu awal selama 2 menit, menggunakan glass coloumn dengan

panjang 2 meter dan diameter 2 mm, gas pembawa adalah helium dan fasa diam

dietilen glikol suksinat. Jenis detektor yang digunakan adalah jenis FID (Flame

Ionization Detector).

70

Lampiran 2 Prosedur analisis surfaktan MESA dan MES

1. pH (Chemithon)

Sekitar 2,5 g sampel (± 0,0001) ditimbang dalam gelas piala 50 ml dan

tambahkan aqudes hingga 25 g (b/b). Larutkan kemudian distirer hingga

tercampur merata. Nilai pH larutan diukur menggunakan pH meter. Nilai pH

dibaca pada saat pH meter menunjukkan nilai stabil.

2. Bilangan Asam (Epthon 1948)

Surfaktan MES yang akan diuji ditimbang sebanyak 1 ± 0,0010 g dalam

gelas piala 100 ml dan ditambahkan 30 ml aquades, lalu panaskan selama

7–10 menit dalam penangas. Kemudian, larutan ditambahkan 3 tetes indikator

penolptalein 1% larutan dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N dengan faktor

1,0603 sampai berwarna merah jambu atau pH 7. Selanjutnya dihitung bilangan

asam surfaktan MES dengan menggunakan persamaan seperti dibawah ini :

Bilangan asam =� �� ���� � ������ ����

����� ������

3. Penentuan Kadar Surfaktan Anionik dengan Titrasi Kationik (Ephton,

1948)

Surfaktan ditimbang 1 ± 0,003 g dengan neraca analitik dalam gelas piala

250 ml. Tambahkan 30 ml aquades ke dalam gelas piala. Larutan dipanaskan di

atas water bath dengan suhu 100 oC sampai larut semua. Setelah larutan dingin

lalu ditambahkan indikator phenoplthalein 3 tetes, kemudian dititrasi dengan

larutan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. Volume penitaran dicatat.

Larutan sampel kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 1000 ml.

Methylen blue dipipet sebanyak 3 ml dengan pipet ukur ke dalam gelas ukur

bertutup. Larutan sampel dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet gondok ke dalam

gelas ukur bertutup. Larutan kloroform dipipet 10 ml dengan pipet gondok ke

dalam gelas ukur sambil dibilas. Larutan dalam gelas ukur dititrasi dengan

n-Cetylpyridium Chloride hingga warna biru antara dua fase sama. Titrasi diakhiri

dan volume n-Cetylpyridium Chloride dicatat sebagai volume (B) kationik.

Bahan Aktif (%) = � �� �������� � �,� � ������ �������� � �� ���

����� ������ � �,��

71

Penetapan faktor 0,002 M N-Centryltrimethylammonium Bromide (kationik)

Ditimbang ± 0,8-1 g dodecyl sulfat dan kemudian ditambahkan 30 ml

aquadest dan dipanaskan di atas waterbath. Sample didinginkan dan ditambahkan

1 – 2 tetes pp. Sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terlihat warna

pink (merah muda). Sampel kemudian diencerkan di dalam labu ukur 1.000 ml.

Dipipet 3 ml methylene blue dengan pipet ukur ke dalam gelas ukur bertutup asah.

Kemudian dipipet 5 ml larutan sampel dan larutan kloroform 10 ml dengan pipet

gondok ke dalam gelas ukur tutup asah berisi methylene blue sambil dibilas.

Dititar larutan dengan N-Centryltrimethylammonium Bromide hingga warna biru

antara dua lapisan menjadi sama. Jika kondisi ini telah tercapai, berarti titrasi

berakhir dan catat volume N-Centryltrimethylammonium Bromide yang

digunakan.

Faktor kationik = ������� ������ ����� ����������%�� �,��

��� .�������� ����� �,� � �� ������� ������

BM dodecyl sulfat : 228,38

4,95 : jumlah ml larutan dodecyl sulfat terkoreksi

Pembuatan Reagent

a. N-Centryltrimethylammonium Bromide. Ditimbang ± 7,1602 g

n-Centryltrimethyl ammonium bromide dengan aquadest hingga 10 L dan

kemudian kocok hingga homogen.

b. Indikator metilen blue. Dilarutkan 12 g H2SO4 dengan aquadest 500 ml dalam

erlenmeyer 1.000 ml secara hati-hati. Kemudian ditambahkan 0,03 g

methylene blue dengan 50 g Na2SO4 anhidrat lalu aduk sampai larut. Jadikan

volume larutan 1.000 ml dengan aquadest. Larutan disimpan pada wadah

gelap.

c. Indikator pp. Ditimbang 10 g pp lalu larutkan dengan alohol 95% (C2H5OH)

hingga volume menjadi 1.000 ml

d. Indikator bromthymol blue. Ditimbang 0,1 g bromthymol blue dan tambahkan

0,8 ml NaOH 0,1 N. Ditambahkan aquadest hingga volume 100 ml.

e. Indikator campuran. Ditimbang 0,5 g phenol red dan 0,5 g bromthymol blue.

Dilarutkan campuran dengan 250 ml methanol (CH3OH). Ditambahkan

aquadest hingga volume 1.000 ml.

72

4. Bilangan Iod (AOAC 1995)

Sampel MESA/MES ditimbang 0,13-0,15 + 0,001 g ke dalam erlemeyer

300 ml, lalu dilarutkan dengan 20 ml larutan campuran sikloheksan-asam asetat

hingga larut. Larutan kemudian ditambahkan 25 ml pereaksi hanus hingga semua

bahan larut. Sampel kemudian disimpan di dalam ruangan gelap selama 1 jam.

Sesudah penyimpanan, kemudian kedalamnya ditambahkan 25 ml larutan KI

15 % serta kemudian 150 ml aquades. Sambil selalu teraduk baik, larutan uji

dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang sudah distandarkan (diketahui

normalitas yang tepat) sampai warna kuning hamper hilang. Selanjuntnya

ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan titrasi diteruskan sampai warna biru

kompleks iodium-pati hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa

menggunakan sampel.

Bilangan Iod = ������ � � ��,��

Keterangan:

S = volume larutan natrium tiosulfat sampel (ml)

B = volume larutan natrium tiosulfat blanko (ml)

N = normalitas larutan natrium tiosulfat (N)

W = berat sampel (g)

5. Tegangan Permukaan Metoda du Nouy (ASTM D 1331, 2000)

Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan

larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan

wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah

yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar

dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromic-sulfuric acid, kemudian

dibilas dengan air destilata. Cincin platinum merupakan bagian dari alat

Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci

terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu

dikeringkan.

Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada

tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan

panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan

73

(platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya

cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup

3-5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform).

Skala vernier Tensiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada

pada posis berimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya platform diturunkan

perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa

sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini

diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan

dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran dilakukan paling sedikit

dua kali. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat

dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam

air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali.

Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah

ditambahkan surfaktan.

6. Densitas (AOAC 1995)

Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada

suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang

digunakan adalah piknometer 5 ml.

Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian

dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0).

Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan

dan didinginkan pada suhu 20oC dan piknometer disimpan dalam water bath

(penangas air) pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer berisi air

diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W1).

Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam

piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu

ditutup. Keringkan bagian luar piknometer, kemudian piknometer berisi sampel

dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25oC selama 30 menit.

Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W2).

74

Perhitungan:

Densitas = (W2-W0)

(W1-W0)

Keterangan :

W0 = bobot piknometer kosong

W1 = bobot piknometer beserta air

W2 = bobot piknometer beserta sampel

7. Pengukuran Viskositas (Brookfield Viscometer)

Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian

sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan

viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika

menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer.

Pastikan steker telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada

viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off

untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset untuk

4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset

untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA

dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam

rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang

diinginkan.

Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan

30 rpm. Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas

di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah

berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental

sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke

dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai

menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala

berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama. Tombol

kontrol off setelah pembacaan dan ditepatkan agar jarum merah dapat terhimpit

kembali ke angka nol.

Viskositas (cP atau mPa.S) = Skala terbaca x Faktor

75

Ukuran kekentalan diperoleh dengan perhitungan di atas dan tabel berikut.

76

Lampiran 3 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap viskositas MESA

A. Data hasil uji viskositas MESA

Perlakuan Viskositas MESA (cP)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD T1W1 13,75 11,50 12,63 1,59

T1W2 23,50 19,50 21,50 2,83

T1W3 31,25 36,88 34,06 3,98

T1W4 33,75 39,75 36,75 4,24

T1W5 38,88 35,50 37,19 2,39

T1W6 36,75 37,88 37,31 0,80

T1W7 42,75 45,00 43,88 1,59

T2W1 12,50 10,50 11,50 1,41

T2W2 35,25 30,875 33,06 2,83

T2W3 46,88 50,88 48,88 2,83

T2W4 60,88 55,50 58,19 3,80

T2W5 64,75 60,45 62,60 3,04

T2W6 68,88 66,44 67,66 1,72

T2W7 72,88 68,00 70,44 3,45

T3W1 17,50 15,00 16,25 1,77

T3W2 40,75 45,88 43,31 3,62

T3W3 60,25 56,25 58,25 2,83

T3W4 70,50 77,50 74,00 4,95

T3W5 72,75 80,88 76,82 5,75

T3W6 78,75 85,25 82,00 4,60

T3W7 82,88 94,00 88,44 7,86

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

77

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp 1 17,544 17,544 1,614 4,75 9,33

Suhu (A) 2 6734,827 3367,413 109,58** 19,00 99,01

Galat (a) 2 61,463 30,731

Waktu (B) 6 13233,952 2205,659 198,12** 4,28 8,47

Galat (b) 6 66,798 11,133

AB 12 1463,755 121,980 11,224** 2,69 4,22

Galat (ab) 12 130,412 10,868

Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT (α=0,05) (α=0,05)

Suhu input (°C) Interaksi

80 31,90 a (80,2) 34,07 b 90 50,33 b (80,3) 36,75 b

100 62,72 c (80,4) 37,19 b Lama proses sulfonasi (jam) (80,5) 37,32 b

0 13,46 a (100,1) 43,32 bc 1 32,63 b (80,6) 43,88 bc 2 47,07 c (90,2) 48,88 cd 3 56,31 d (90,3) 58,19 de 4 58,87 de (100,2) 58,25 de 5 62,33 e (90,4) 62,60 ef 6 67,59 f (90,5) 67,66 efg

Interaksi (90,6) 70,44 fg (90,0) 11,50 a (100,3) 74,00 gh (80,0) 12,63 a (100,4) 76,82 ghi

(100,0) 16,25 a (100,5) 82,00 hi (80,1) 21,50 a (100,6) 88,44 i (90,1) 33,06 b

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

78

Lampiran 4 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap densitas MESA

A. Data hasil uji densitas MESA

Perlakuan Densitas MESA (gr/cm3)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD

T1W1 0,8893 0,8861 0,8877 0,0023

T1W2 0,9132 0,9275 0,9204 0,0101

T1W3 0,9681 0,9360 0,9521 0,0227

T1W4 0,9679 0,9460 0,9570 0,0155

T1W5 0,9746 0,9650 0,9698 0,0068

T1W6 0,9717 0,9690 0,9704 0,0019

T1W7 0,9655 0,9801 0,9728 0,0103

T2W1 0,9193 0,9161 0,9177 0,0023

T2W2 0,9299 0,9353 0,9326 0,0038

T2W3 0,9389 0,9699 0,9544 0,0219

T2W4 0,9777 0,9786 0,9781 0,0006

T2W5 0,9717 0,9798 0,9757 0,0058

T2W6 0,9816 0,9860 0,9838 0,0031

T2W7 0,9894 0,9795 0,9845 0,0070

T3W1 0,9236 0,9220 0,9228 0,0011

T3W2 0,9599 0,9598 0,9599 0,0001

T3W3 0,9968 0,9713 0,9840 0,0180

T3W4 0,9988 0,9896 0,9942 0,0065

T3W5 0,9891 0,9951 0,9921 0,0043

T3W6 0,9901 0,9982 0,9942 0,0057

T3W7 0,9949 0,9966 0,9957 0,0012

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

79

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp 1 0,000014 0,000014 0,120 4,75 9,33

Suhu (A) 2 0,006493 0,003246 28,23* 19,00 99,01

Galat (a) 2 0,000230 0,000115

Waktu (B) 6 0,028794 0,004799 80,76** 4,28 8,47

Galat (b) 6 0,000357 0,000059

AB 12 0,000880 0,000073 0,61 2,69 4,22

Galat (ab) 12 0,001431 0,000119

Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan (gr/cm3)

Kelompok BNT (α=0,05)

Suhu input (°C)

80 0,9471 a 90 0,9610 ab 100 0,9776 b

Lama proses sulfonasi (jam) 0 0,9094 a 1 0,9376 b 2 0,9635 c 3 0,9764 d 4 0,9792 d 5 0,9828 d 6 0,9843 d

80

Lampiran 5 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap bilangan iod MESA

A. Data hasil uji bilangan iod MESA

Perlakuan Bilangan Iod MESA (mg I/g sampel)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD T1W1 28,63 25,79 27,21 2,01

T1W2 27,73 24,99 26,36 1,94

T1W3 24,13 20,20 22,17 2,78

T1W4 20,06 17,38 18,72 1,90

T1W5 20,60 17,26 18,93 2,36

T1W6 19,50 16,77 18,14 1,93

T1W7 18,56 16,03 17,30 1,79

T2W1 26,06 28,88 27,47 1,99

T2W2 23,73 26,92 25,33 2,26

T2W3 20,07 18,58 19,33 1,05

T2W4 18,95 16,90 17,93 1,45

T2W5 17,33 15,22 16,28 1,49

T2W6 17,68 14,03 15,86 2,58

T2W7 16,59 14,84 15,72 1,24

T3W1 25,50 28,55 27,03 2,16

T3W2 24,20 26,21 25,21 1,42

T3W3 17,39 13,94 15,67 2,44

T3W4 16,21 14,17 15,19 1,44

T3W5 16,96 14,86 15,91 1,48

T3W6 15,92 13,83 14,88 1,48

T3W7 15,93 13,85 14,89 1,47

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

81

B. Tabel analisis ragam

Sumber keragaman

db JK KT F-

Hitung F-Tabel

(0,05) (0,01) Kelp 1 47,212 47,212 55,476** 4,75 9,33 Suhu (A) 2 57,611 28,806 5,385 19,00 99,01 Galat (a) 2 10,699 5,349 Waktu (B) 6 785,029 130,838 29,856** 4,28 8,47 Galat (b) 6 26,294 4,382 AB 12 28,425 2,369 2,127 2,69 4,22 Galat (ab) 12 13,367 1,114 Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan Kelompok BNT

(α=0,05) Lama proses sulfonasi (jam)

6 15,97 a 5 16,29 ab 4 17,04 ab 3 17,28 ab 2 19,05 b 1 25,63 c 0 27,24 c

82

Lampiran 6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap pH MESA

A. Data hasil uji pH MESA

Perlakuan pH MESA

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD T1W1 1,36 1,40 1,38 0,03

T1W2 1,27 1,40 1,33 0,09

T1W3 1,25 1,35 1,30 0,07

T1W4 1,14 1,20 1,17 0,04

T1W5 1,08 1,18 1,13 0,07

T1W6 1,15 1,28 1,22 0,09

T1W7 1,21 1,29 1,25 0,06

T2W1 1,26 1,21 1,23 0,04

T2W2 1,16 1,04 1,10 0,08

T2W3 0,85 0,80 0,82 0,03

T2W4 0,90 0,85 0,88 0,04

T2W5 0,84 0,81 0,82 0,02

T2W6 0,92 0,81 0,86 0,08

T2W7 0,80 0,77 0,78 0,02

T3W1 1,19 1,23 1,21 0,03

T3W2 0,80 0,86 0,83 0,04

T3W3 0,70 0,64 0,67 0,04

T3W4 0,59 0,69 0,64 0,07

T3W5 0,54 0,67 0,60 0,09

T3W6 0,60 0,64 0,62 0,03

T3W7 0,75 0,67 0,71 0,06

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

83

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp 1 0,004 0,004 2,675 4,75 9,33

Suhu (A) 2 1,803 0,901 42,726* 19,00 99,01

Galat (a) 2 0,042 0,021

Waktu (B) 6 0,809 0,135 132,940** 4,28 8,47

Galat (b) 6 0,006 0,001

AB 12 0,184 0,015 9,580** 2,69 4,22

Galat (ab) 12 0,019 0,002

Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT (α=0,05) (α=0,05)

Suhu input (°C) Interaksi 100 0,75 a (90,6) 0,78 bcde 90 0,93 a (90,4) 0,82 cde 80 1,25 b (90,2) 0,82 cde

Lama proses sulfonasi (jam) (100,1) 0,83 cde 4 0,85 a (90,5) 0,86 de 3 0,90 b (90,3) 0,88 e 5 0,90 b (90,1) 1,10 f 6 0,91 b (80,4) 1,13 f 2 0,93 b (80,3) 1,17 fg 1 1,09 c (100,0) 1,21 fgh 0 1,27 d (80,5) 1,22 fgh

Interaksi (90,0) 1,23 fgh (100,4) 0,60 a (80,6) 1,25 gh (100,5) 0,62 ab (80,2) 1,30 gh (100,3) 0,64 ab (80,1) 1,33 h (100,2) 0,67 abc (80,0) 1,38 i (100,6) 0,71 abcd

84

Lampiran 7 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap bilangan asam MESA

A. Data hasil uji bilangan asam MESA

Perlakuan Bilangan Asam MESA (mg KOH/g)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD T1W1 5,465 5,585 5,53 0,08

T1W2 6,881 5,90 6,39 0,69

T1W3 9,94 11,76 10,85 1,29

T1W4 12,49 11,05 11,77 1,02

T1W5 12,33 13,51 12,92 0,83

T1W6 12,26 13,88 13,07 1,15

T1W7 13,47 15,20 14,34 1,22

T2W1 3,20 3,04 3,12 0,11

T2W2 9,43 10,81 10,12 0,97

T2W3 16,26 14,81 15,53 1,02

T2W4 16,50 15,12 15,81 0,98

T2W5 18,30 19,48 18,89 0,83

T2W6 19,99 19,09 19,54 0,64

T2W7 22,09 20,66 21,38 1,01

T3W1 7,47 7,99 7,73 0,37

T3W2 15,36 13,66 14,51 1,20

T3W3 15,050 16,483 15,77 1,01

T3W4 19,00 20,14 19,57 0,81

T3W5 21,61 23,50 22,56 1,34

T3W6 22,11 23,91 23,01 1,28

T3W7 22,39 24,48 23,43 1,48

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

85

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp. 1 0,187 0,187 0,13 4,75 9,33

Suhu (A) 2 390,28 195,14 39,98* 19,00 99,01

Galat (a) 2 9,76 4,88

Waktu (B) 6 988,89 164,81 282,48** 4,28 8,47

Galat (b) 6 3,50 0,58

AB 12 95,78 7,98 5,77** 2,69 4,22

Galat (ab) 12 16,60 1,38

Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT

Perlakuan Rataan Kelompok

BNT (α=0,05) (α=0,05)

Suhu input (°C) Interaksi

80 10,69 a (80,2) 10,85 de 90 15,32 b (80,3) 11,77 def

100 18,08 c (80,4) 12,92 defg Lama proses sulfonasi (jam) (80,5) 13,07 efg

0 5,46 a (80,6) 14,34 fg 1 10,34 b (100,1) 14,51 fg 2 14,05 c (90,2) 15,53 g 3 15,72 d (100,2) 15,77 g 4 19,07 e (90,3) 15,81 g 5 18,54 e (90,5) 19,54 h 6 19,72 f (100,3) 19,57 h

Interaksi (90,6) 21,38 h (90,0) 3,12 a (90,4) 21,73 hi (80,0) 5,53 ab (100,4) 22,56 i (80,1) 6,39 b (100,5) 23,01 i (100,0) 7,73 bc (100,6) 23,43 i (90,1) 10,12 cd

86

Lampiran 8 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap kadar bahan aktif MESA

A. Data hasil uji bahan aktif MESA

Perlakuan Bahan Aktif MESA (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD T1W1 6,53 5,85 6,19 0,48

T1W2 10,42 11,97 11,20 1,10

T1W3 10,60 12,06 11,33 1,03

T1W4 16,06 17,40 16,73 0,95

T1W5 17,14 16,04 16,59 0,78

T1W6 18,16 16,68 17,42 1,04

T1W7 16,61 17,80 17,21 0,84

T2W1 7,05 7,81 7,43 0,54

T2W2 13,34 11,78 12,56 1,10

T2W3 17,18 15,80 16,49 0,98

T2W4 19,68 18,22 18,95 1,03

T2W5 18,23 19,59 18,91 0,96

T2W6 18,56 20,00 19,28 1,02

T2W7 18,26 19,99 19,12 1,22

T3W1 5,91 5,06 5,48 0,60

T3W2 14,90 12,50 13,70 1,70

T3W3 14,70 16,70 15,70 1,41

T3W4 16,45 14,82 15,64 1,15

T3W5 19,31 21,59 20,45 1,61

T3W6 20,15 21,89 21,02 1,23

T3W7 20,08 22,07 21,08 1,41

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

87

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp 1 0,945 0,945 4,75 9,33

Suhu (A) 2 50,28130 25,141 275,25** 19,00 99,01

Galat (a) 2 0,183 0,091

Waktu (B) 6 798,107 133,018 115,20** 4,28 8,47

Galat (b) 6 6,928 1,155

AB 12 45,242 3,770 2,60 2,69 4,22

Galat (ab) 12 17,393 1,449

Keterangan: * Berpengaruh nyata (α=0,05) ** Berpengaruh sangat nyata (α=0,01)

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan Kelompok BNT

(α=0,05) Suhu input (°C)

80 13,81 a 90 16,11 b 100 16,15 b

Lama proses sulfonasi (jam) 0 6,37 a 1 12,49 b 2 14,51 c 3 17,10 d 4 18,65 e 6 19,14 e 5 19,24 e

88

Lampiran 9 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut BNT terhadap tegangan permukaan MESA

A. Data hasil uji tegangan permukaan air

Konsentrasi surfaktan

0,1% 0,3% 0,5% 0,7% 1,0%

T1 ; jam ke-0 43,00 41,95 41,25 40,00 40,05 42,25 41,25 40,65 39,50 35,35

rataan 42,63 41,60 40,95 39,75 37,70 STDEV 0,53 0,49 0,42 0,35 3,32 T1 ; jam ke-1 41,85 39,00 37,25 36,20 36,00

40,80 40,50 38,00 38,00 37,00 rataan 41,33 39,75 37,63 37,10 36,50 STDEV 0,74 1,06 0,53 1,27 0,71 T1 ; jam ke-2 41,15 39,50 37,00 36,60 35,85

40,45 38,60 37,45 39,10 38,50 rataan 40,80 39,05 37,23 37,85 37,18 STDEV 0,49 0,64 0,32 1,77 1,87 T1 ; jam ke-3 41,00 38,00 36,00 35,00 34,55

40,95 40,50 38,15 39,50 39,00 rataan 40,98 39,25 37,08 37,25 36,78 STDEV 0,04 1,77 1,52 3,18 3,15 T1 ; jam ke-4 40,95 38,45 36,10 36,00 37,00

40,55 38,90 37,50 38,25 37,35 rataan 40,75 38,68 36,80 37,13 37,18 STDEV 0,28 0,32 0,99 1,59 0,25 T1 ; jam ke-5 39,55 36,90 36,25 36,45 36,00

39,00 35,35 35,05 35,15 34,90 rataan 39,28 36,13 35,65 35,80 35,45 STDEV 0,39 1,10 0,85 0,92 0,78 T1 ; jam ke-6 38,45 38,25 35,85 36,00 36,30

39,00 38,50 36,85 36,70 36,65 rataan 38,73 38,38 36,35 36,35 36,48 STDEV 0,39 0,18 0,71 0,49 0,25 T2 ; jam ke-0 43,55 41,15 42,05 40,90 40,15

42,85 40,85 40,45 39,80 39,20 rataan 43,20 41,00 41,25 40,35 39,68 STDEV 0,49 0,21 1,13 0,78 0,67 T2 ; jam ke-1 42,00 40,00 37,00 37,30 35,80

40,90 38,00 36,00 34,00 33,65 rataan 41,45 39,00 36,50 35,65 34,73 STDEV 0,78 1,41 0,71 2,33 1,52

89

Konsentrasi surfaktan

0,1% 0,3% 0,5% 0,7% 1,0%

T2 ; jam ke-2 40,70 37,45 35,25 35,05 38,00 41,35 33,25 32,80 32,90 31,60

rataan 41,03 35,35 34,03 33,98 34,80 STDEV 0,46 2,97 1,73 1,52 4,53 T2 ; jam ke-3 41,50 36,70 33,80 32,30 31,05

40,55 35,35 34,85 35,65 34,75 rataan 41,03 36,03 34,33 33,98 32,90 STDEV 0,67 0,95 0,74 2,37 2,62 T2 ; jam ke-4 41,00 32,75 31,75 31,80 31,75

39,85 35,55 34,45 34,00 34,35 rataan 40,43 34,15 33,10 32,90 33,05 STDEV 0,81 1,98 1,91 1,56 1,84 T2 ; jam ke-5 40,50 34,15 34,15 33,15 34,85

39,05 35,50 35,10 33,60 31,65 rataan 39,78 34,83 34,63 33,38 33,25 STDEV 1,03 0,95 0,67 0,32 2,26 T2 ; jam ke-6 39,65 31,90 32,45 32,05 33,65

38,75 35,55 35,75 34,80 33,70 rataan 39,20 33,73 34,10 33,43 33,68 STDEV 0,64 2,58 2,33 1,94 0,04 T3 ; jam ke-0 42,55 39,25 39,46 38,50 37,50

42,00 38,35 38,75 35,90 35,90 rataan 42,28 38,80 39,11 37,20 36,70 STDEV 0,39 0,64 0,50 1,84 1,13 T3 ; jam ke-1 41,55 37,65 36,05 36,75 34,45

40,55 38,10 35,80 34,25 34,85 rataan 41,05 37,88 35,93 35,50 34,65 STDEV 0,71 0,32 0,18 1,77 0,28 T3; jam ke-2 39,95 37,00 35,80 36,05 33,50

40,45 36,30 34,75 34,90 34,95 rataan 40,20 36,65 35,28 35,48 34,23 STDEV 0,35 0,49 0,74 0,81 1,03 T3 ;j am ke-3 39,70 36,20 34,80 33,80 33,00

40,00 36,70 33,80 34,30 33,70 rataan 39,85 36,45 34,30 34,05 33,35 STDEV 0,21 0,35 0,71 0,35 0,49 T3 ; jam ke-4 38,95 35,50 33,60 33,40 32,15

39,25 37,00 34,30 36,80 37,15 rataan 39,10 36,25 33,95 35,10 34,65 STDEV 0,21 1,06 0,49 2,40 3,54

90

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC

T2 = Suhu input 90 oC

T3 = Suhu input 100 oC

B. Tabel analisis ragam

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Kelp 1 0,785 0,785 0,56 3,96 6,96

Suhu (A) 2 184,738 92,369 59,15** 3,68 6,36

% MESA (B) 4 780,961 195,240 125.11** 3,06 4,89

A*B 8 42,264 5,283 3,39* 2,64 4

Galat (a) 14 21.847 1.561

Waktu (C ) 6 476,996 79,499 8,36** 3,87 7,19

Galat (b) 6 57.025 9.504

A*W 12 62,595 5,216 3.75** 1,68 2,41

B*W 24 39,556 1,648 1,18 1,65 2,03

A*B*W 48 29,867 0,622 0,45 1,51 1,78

Galat (c ) 84 116,909 1,392

Konsentrasi

surfaktan 0.1% 0.3% 0.5% 0.7% 1.0%

T3 ; jam ke-5 39,25 35,00 33,20 33,00 31,30 37,90 34,75 34,05 32,90 33,55

rataan 38,58 34,88 33,63 32,95 32,43 STDEV 0,95 0,18 0,60 0,07 1,59 T3 ; jam ke-6 38,30 34,80 34,25 33,00 31,75

39,15 34,00 33,20 33,95 32,90 rataan 38,73 34,40 33,73 33,48 32,33 STDEV 0,60 0,57 0,74 0,67 0,81

91

C. Uji lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan

TP (dyne/cm)

Kelompok BNT

Perlakuan Rataan

TP (dyne/cm)

Kelompok BNT

(α=0,05) (α=0,05) Suhu input (oC) Interaksi (Suhu dan Waktu)

80 38,213 a (90; 0) 41,095 a 90 36,395 b (80; 0) 40,525 ab

100 36,087 b (100; 0) 38,815 bc Konsentrasi MESA (%) (80; 1) 38,460 cd

0,1 40,493 a (80; 2) 38,420 cd 0,3 37,248 b (80; 3) 38,265 cde 0,5 35,976 c (80; 4) 38,105 cde 0,7 35,649 cd (90; 1) 37,465 cdef 1,0 35,126 d (80; 6) 37,255 cdef

Lama proses sulfonasi (jam) (100; 1) 37,000 cdefg 0 40,145 a (80; 5) 36,460 defgh 1 37,642 b (100; 2) 36,365 efgh 2 36,873 bc (90; 2) 35,835 fgh 3 36,505 bc (100; 4 35,810 fgh 4 36,213 bc (90; 3) 35,650 fgh 5 35,537 c (100; 3) 35,600 fgh 6 35,373 c (90; 5) 35,170 gh

Interaksi (Suhu dan Kons) (90; 6) 34,825 h (90; 0,1) 40,870 a (90; 4) 34,725 h (80; 0,1) 40,640 a (100; 6) 34,530 h

(100; 0,1) 39,970 a (100; 5) 34,490 h (80; 0,3) 38,975 b (80; 0,5) 37,380 c (80; 0,7) 37,320 c (80; 1,0) 36,750 cd

(100; 0,3) 36,475 cd (90; 0,3) 36,295 de (90; 0,5) 35,420 ef

(100; 0,5) 35,130 f (100; 0,7) 34,820 fg (90; 0,7) 34,805 fg (90; 1,0) 34,585 fg

(100; 1,0) 34,045 g

92

Lampiran 10 Penentuan perlakuan terbaik sulfonasi ME menjadi MESA melalui Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance Index, CPI)

Matriks awal penilaian alternatif pemilihan suhu input terbaik

Perlakuan Viskositas Densitas B.Iod pH B. Asam K. Bhn Aktif

Penurunan TP

T1W1 12.63 0.8877 27.21 1.38 5.53 6.19 43.44

T1W2 21.5 0.9204 26.36 1.33 6.39 11.2 48.03

T1W3 34.06 0.9521 22.17 1.3 10.85 11.33 48.58

T1W4 36.75 0.957 18.72 1.17 11.77 16.73 48.79

T1W5 37.19 0.9698 18.93 1.13 12.92 16.59 49.17

T1W6 37.31 0.9704 18.14 1.22 13.07 17.42 50.76

T1W7 43.88 0.9728 17.3 1.25 14.34 17.21 49.79

T2W1 11.5 0.9177 27.47 1.23 3.12 7.43 43.02

T2W2 33.06 0.9326 25.33 1.1 10.12 12.56 49.59

T2W3 48.88 0.9544 19.33 0.82 15.53 16.49 53.00

T2W4 58.19 0.9781 17.93 0.88 15.81 18.95 52.59

T2W5 62.6 0.9757 16.28 0.82 18.89 18.91 54.28

T2W6 67.66 0.9838 15.86 0.86 19.54 19.28 52.18

T2W7 70.44 0.9845 15.72 0.78 21.38 19.12 52.90

T3W1 16.25 0.9228 27.03 1.21 7.73 5.48 45.99

T3W2 43.31 0.9599 25.21 0.83 14.51 13.7 50.38

T3W3 58.25 0.984 15.67 0.67 15.77 15.7 51.28

T3W4 74 0.9942 15.19 0.64 19.57 15.64 52.62

T3W5 76.82 0.9921 15.91 0.6 22.56 20.45 53.11

T3W6 82 0.9942 14.88 0.62 23.01 21.02 53.56

T3W7 88.44 0.9957 14.89 0.71 23.43 21.08 53.42

Bobot Kriteria

0.1 0.075 0.075 0.1 0.2 0.25 0.2

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

93

Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja

Perlakuan Viskositas Densitas B.Iod pH B.

Asam K. Bhn Aktif

Penurunan TP

Nilai Peringkat

T1W1 109.8 100.0 54.7 43.5 177.2 113.0 101.0 110.8 20

T1W2 187.0 103.7 56.4 45.1 204.8 204.4 111.6 149.6 18

T1W3 296.2 107.3 67.1 46.2 347.8 206.8 112.9 191.1 17

T1W4 319.6 107.8 79.5 51.3 377.2 305.3 113.4 225.6 15

T1W5 323.4 109.2 78.6 53.1 414.1 302.7 114.3 233.1 14

T1W6 324.4 109.3 82.0 49.2 418.9 317.9 118.0 238.6 12

T1W7 381.6 109.6 86.0 48.0 459.6 314.1 115.7 251.2 11

T2W1 100.0 103.4 54.2 48.8 100.0 135.6 100.0 100.6 21

T2W2 287.5 105.1 58.7 54.5 324.4 229.2 115.2 191.7 16

T2W3 425.0 107.5 77.0 73.2 497.8 300.9 123.2 263.1 10

T2W4 506.0 110.2 83.0 68.2 506.7 345.8 122.2 284.1 8

T2W5 544.3 109.9 91.4 73.2 605.4 345.1 126.2 309.4 7

T2W6 588.3 110.8 93.8 69.8 626.3 351.8 121.3 318.6 5

T2W7 612.5 110.9 94.7 76.9 685.3 348.9 123.0 333.2 4

T3W1 141.3 104.0 55.0 49.6 247.8 100.0 106.9 126.9 19

T3W2 376.6 108.1 59.0 72.3 465.1 250.0 117.1 236.4 13

T3W3 506.5 110.8 95.0 89.6 505.4 286.5 119.2 271.6 9

T3W4 643.5 112.0 98.0 93.8 627.2 285.4 122.3 310.7 6

T3W5 668.0 111.8 93.5 100.0 723.1 373.2 123.4 354.8 3

T3W6 713.0 112.0 100 96.8 737.5 383.6 124.5 365.2 2

T3W7 769.0 112.2 99.9 84.5 751.0 384.7 124.2 372.5 1 Bobot

Kriteria 0.1 0.075 0.075 0.1 0.2 0.25 0.2

Keterangan:

T1 = Suhu input 80 oC W1 = Lama proses sulfonasi 0 jam

T2 = Suhu input 90 oC W2 = Lama proses sulfonasi 1 jam

T3 = Suhu input 100 oC W3 = Lama proses sulfonasi 2 jam

W4 = Lama proses sulfonasi 3 jam

W5 = Lama proses sulfonasi 4 jam

W6 = Lama proses sulfonasi 51 jam

W7 = Lama proses sulfonasi 6 jam

94

Lampiran 11 Data hasil penelitian kadar bahan aktif MES pada suhu input 100 oC

A. Data hasil uji bahan aktif MES (suhu input 100 oC)

Suhu

(oC)

Jam

ke-

Bahan aktif MES (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD

100 0 5,67 6,14 5,91 0,33

100 1 12,82 15,24 14,03 1,71

100 2 17,1 15,67 16,39 1,01

100 3 14,88 17,2 16,04 1,64

100 4 19,96 22,2 21,08 1,58

100 5 21,04 22,87 21,96 1,29

100 6 21,2 23,09 22,15 1,34

B. Tabel analisis ragam bahan aktif MESA dan MES (suhu input 100 oC)

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Model 13 777,380 59,798 32,98** 2,48 3,75

Galat 14 25,384 1,813

95

C. Uji Lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan Kelompok BNT

(α=0,05)

MES_6 22,145 a

MES_5 21,955 a

MES_4 21,080 a

MESA_6 21,075 a

MESA_5 21,020 a

MESA_4 20,450 a

MES_2 16,385 b

MES_3 16,040 b

MESA_2 15,700 b

MESA_3 15,635 b

MES_1 14,030 b

MESA_1 13,700 b

MES_0 5,905 c

MESA_0 5,485 C

96

Lampiran 12 Data hasil penelitian tegangan permukaan MES pada suhu input 100 oC

A. Data hasil uji tegangan permukaan MES (suhu input 100 oC)

Konsentrasi surfaktan

0,1% 0,3% 0,5% 0,7% 1,0%

T100 ; jam ke-0 42,55 39,25 39,15 37,50 36,50 41,00 38,95 38,10 36,90 35,90 rataan 41,78 39,10 38,63 37,20 36,20 STDEV 1,10 0,21 0,74 0,42 0,42 T100 ; jam ke-1 41,50 38,60 37,00 35,80 34,75 40,90 37,90 35,65 35,30 34,25 rataan 41,20 38,25 36,33 35,55 34,50 STDEV 0,42 0,49 0,95 0,35 0,35 T100; jam ke-2 37,95 37,55 35,75 35,05 34,45 36,45 36,30 34,90 35,50 34,00 rataan 37,20 36,93 35,33 35,28 34,23 STDEV 1,06 0,88 0,60 0,32 0,32 T100 ; jam ke-3 38,00 37,20 32,90 32,80 31,80 36,70 35,70 32,65 32,00 31,20 rataan 37,35 36,45 32,78 32,40 31,50 STDEV 0,92 1,06 0,18 0,57 0,42 T100 ; jam ke-4 36,75 34,60 32,50 32,00 32,15 37,25 35,70 31,25 31,80 31,25 rataan 37,00 35,15 31,88 31,90 31,70 STDEV 0,35 0,78 0,88 0,14 0,64 T100 ; jam ke-5 36,00 31,30 30,25 30,65 30,00 34,80 33,55 31,00 30,20 29,50 rataan 35,40 32,43 30,63 30,43 29,75 STDEV 0,85 1,59 0,53 0,32 0,35 T100 ; jam ke-6 34,30 33,30 30,25 30 28,75 31,15 30,50 30,5 29,95 29,90 rataan 32,73 31,90 30,38 29,98 29,33 STDEV 2,23 1,98 0,18 0,04 0,81

97

B. Tabel analisis ragam tegangan permukaan MESA dan MES (suhu input 100 oC) dengan konsentrasi surfaktan dalam larutan 0,5%

Sumber

keragaman db JK KT F-Hitung

F-Tabel

(0,05) (0,01)

Model 13 176,745 13,596 34,98* 2,48 3,75

Galat 14 5,440 0,389

C. Uji Lanjut BNT

Keterangan : Kelompok BNT dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak beda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok BNT dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda.

Perlakuan Rataan Kelompok BNT

(α=0,05)

MESA_0 39,105 a

MES_0 38,625 a

MES_1 36,325 b

MESA_1 35,925 b

MES_2 35,325 b

MESA_2 35,275 bc

MESA_3 34,300 cde

MESA_4 33,950 def

MESA_6 33,725 ef

MESA_5 33,625 ef

MES_3 32,775 fg

MES_4 31,875 gh

MES_5 30,625 hi

MES_6 30,375 i

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������