27
pencemaran limbah detergent DAMPAK DAN PENANGANAN LIMBAH DETERJEN Oleh : Platika Widiyani PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 BAB I PENDAHULUAN Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat digunakan oleh manusia,

Pencemaran Limbah Detergent

Embed Size (px)

DESCRIPTION

limbah loundry sebagai sumber pencemaran

Citation preview

Page 1: Pencemaran Limbah Detergent

pencemaran limbah detergentDAMPAK DAN PENANGANAN LIMBAH DETERJEN

Oleh :Platika Widiyani

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

BAB I

PENDAHULUAN

Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi

kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat

digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga menghasilkan produk lain yang belum

begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah. Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan

terjadi peningkatan jumlah limbah.

Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber daya

alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan pengurasan sumber daya alam,

yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan antara lain pencemaran tanah, air, dan

Page 2: Pencemaran Limbah Detergent

udara jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu. Bermacam limbah industri yang dapat

mencemari lingkungan antara lain limbah industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa

sawit, limbah industri karet remah dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan limbah

pabrik pulp dan kertas), limbah industri farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri,

diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah

yang dihasilkan oleh komponen kegiatan yang disebut di atas adalah limbah padat dan limbah

cair. Limbah padat dan cair yang dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan

keseimbangan alam terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah pH

tanah, kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk kehidupan tumbuhan

serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air dapat mengganggu biota air, perubahan

BOD, COD serta DO, disamping itu dampak psikologis akibat dari pencemaran lingkungan

yang tidak kalah berbahayanya jika dibandingkan dengan dampak secara fisik.

Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak di

masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan, baik

bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi deterjen di Indonesia rata-rata per

tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang

dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-

rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009). Perkembangan usaha binatu atau laundry yang

sebelumnya hanya dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami

pergeseran hingga harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini

menyebabkan limbah deterjen semakin banyak kuantitasnya.

Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari lingkungan  karena

didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan

deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme

(nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Anonimous,

2009).

Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia yang

sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan sebagai bahan

utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak

digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun

tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi.

Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan

permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini

membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri sabun,

deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis,

Page 3: Pencemaran Limbah Detergent

kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J,

2004).

Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia

maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan.Limbah yang dihasilkan dari deterjen dapat

menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu

atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani dan Puji, 2008).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran dan Air Limbah

Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak

alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya

masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang

telah tercemar oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi

organisme yang hidup di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di

sekitar sungai tersebut (Anonimous, 2009).Standar Nasional Indonesia (SNI) mengatakan

bahwa air limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud air.

Notoadmojo (2007) mendefinisikan bahwa air buangan / air limbah adalah air yang

tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti

industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar,

karena lebih kurang 80% dan air yang digunakan bagi kegiatan – kegiatan manusia sehari –

hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya

akan mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh karena itu, air buangan

ini harus dikelola dan diolah secara baik.

Page 4: Pencemaran Limbah Detergent

Gambar 1. Pencemaran Air oleh Limbah Deterjen

B. Detergen

Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari

kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain,

detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm

function) atau daya kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang

rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006)

Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan

tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di

wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009).

Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan

antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.

Pada umumnya detergen bersifat surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati

atau minyak bumi        (Chantraine F et all, 2009).

Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan gugus utama

surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di biodegradabel, maka pada

tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama

surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen

Page 5: Pencemaran Limbah Detergent

Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl

benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai

lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan  ABS antara lain karena harganya murah,

stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS

lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS

telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai

larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam

produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta

dan busanya melimpah (Anonimous, 2009).

Bahan – bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :

1.         Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung

berbeda yaitu hydrophile (suka air) danhydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi

menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel

pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene

Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS),

sedangkan jenis kedua bersifat kationik (Garam Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat

non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines).

2.         Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara

menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, dapat berupa Phosphates (Sodium Tri Poly

Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA),

Silikat (Zeolit),  dan Sitrat (asam sitrat).

3.         Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan

meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan

memantapkan sehingga dapat menurunkan harga, misal Sodium sulfate

4.          Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya

pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung

dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi

produk. Contohnya enzyme, borax, sodium chloride, Carboxy Methyl

Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan

tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi – wangian atau

parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.

Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai deterjen jenis

keras dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun

Page 6: Pencemaran Limbah Detergent

bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang

menyebabkan pencemaran air. Salah satu contohnya adalah Alkil Benzena

Sulfonat (ABS).Sedangkan detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya

mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai,

misalnya Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).

Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dan

ditambahkan dalam berbagai bentuk produk sepertipersonal cleaning product (sampo, sabun

cuci tangan), laundry sebagai pencuci pakaian merupakan produk deterjen yang paling

populer di masyarakat, dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk

penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai pembersih

rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas

(Arifin, 2008).

Tabel 1. Banyaknya produksi barang yang mengandung B3 Tahun 2004-2006

Uraian Satuan 2004 2005 2006

Deterjen Kg - - 1.860.770

Deterjen padat untuk keperluan

Rumah Tangga

Kg 5.731.000 5.783.071 -

Deterjen bubuk untuk keperluan

Rumah Tangga

Ton 227.152 227.191 91.003

Deterjen cream untuk keperluan

Rumah Tangga

Ton 240.528 950.295 6.773

Deterjen cair untuk keperluan

Rumah Tangga

Ton 30.472 30.472 646

Deterjen lainnya Lusin 7.052.436 4.955.057 -

Sumber : Statistik Lingkungan Hidup, 2009, BPS, 2009

C. Dampak Limbah Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan

Lingkungan

Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada

kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi

dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah

lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen

Page 7: Pencemaran Limbah Detergent

sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat

modern.

Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,

harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak

negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk

deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak

langsung terhadap manusia dan lingkungannya.

Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry merupakan

deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada deterjen anionik sering

ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener

(alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium

phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl

sulfate(SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate(LAS).

Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa

nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.

Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit,

memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.

Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya,

mengandung tingkat polutan organik yang tinggi sertamempengaruhi kesesuaian air sungai

untuk digunakan manusia danmerangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air

lainnya. Selain itu deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan

yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah

menjadi menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/

liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati,

tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang.

Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik,

sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan

nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen

terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan

kerang akan mati.

 Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak

udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan

menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan et

al, 2005).

Page 8: Pencemaran Limbah Detergent

Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk.

Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan

organik lanjutan oleh bakteri anaerob.

Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air

dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion

kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen

meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak

memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang

dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat

menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air

sungai/danau, yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara

tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa,

penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih

ramah lingkungan (Anonimous, 2009).

Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat dapat dilakukan

dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion fosfat dengan concentrate

menurun dengan peningkatan suhu, sementara peningkatan suhu pada shell (kerang)

cenderung dapat meningkatkan efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu,

penghilangan ion fosfat dengan shell dilakukan  pada suhu yang relatif tinggi.

Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan

bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen,

misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan

detergen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik

memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik

ataupun non ionik).

Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk-produk

kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai

(biodegradable). ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah,

sehingga deterjen ini dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.

Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan

aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat

menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air sehingga pada

perkembangannnya digantikan dengan  LAS mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun

belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak

bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh mikroorganisme.

Page 9: Pencemaran Limbah Detergent

LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi

sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian

ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi,

karena itu perlu waktu. Penelitian Heryani dan  Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam

membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS.

 Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai

oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan

tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh

ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali

dari gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang

berguna, penyumbatan pada pori – pori media filtrasi.

Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di

perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi

menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan

pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi

pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH)

antara 10 – 12 (Ahsan S et al, 2005).

Gambar 2. Pertumbuhan Eceng Gondok Akibat Pencemaran Limbah Deterjen

Page 10: Pencemaran Limbah Detergent

Gambar 3. Eutrofikasi Sungai/Danau yang Tercemar Deterjen

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM

(mg/liter) (kg/hari.Hari)BOD5 50 4.3COD   100 8.6TSS     200 17.2pH       6.0 - 9.0

Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.3/MENLH/1/1998                 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

D. Bahaya Surfactan

Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga 15-40 %

dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk

terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan

tegangan permukaan. Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan

yang menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil (Scheibel,

2004).

Efek negatif  dari Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya

kelembaban alami yamg ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas

permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu

memiliki toleransi kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan

akibat iritasi ‘sedang’ pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan

dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen

dapat membentuk chlorbenzenepada proses klorinisasi pengolahan air minum

PDAM. Chlorbenzenemerupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi

Page 11: Pencemaran Limbah Detergent

kesehatan. Pengaruh lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan,

dan budding dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga dapat

mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat – zat dan surfaktan subletal

menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan memperkuat toksisitas zat ini.

Air yang mengandung surfaktan (2 – 4  ppm) tidak dapat dideteksi perubahannya(Heryani

dan Puji, 2008).

E. Sabun

Lain halnya dengan deterjen, sabun relatif mudah tersuspensi dalam air karena

membentuk micelles, yakni kumpulan (50 – 150) molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya

mengelompok dengan ujung – ujung ionnya menghadap ke air.  Sabun yang masuk kedalam

buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya langsung terendap sebagai garam – garam

kalsium dan magnesium. Oleh karena itu beberapa pengaruh dari sabun dalam larutan dapat

dihilangkan. Sehingga dengan biodegradasi, sabun secara sempurna dapat dihilangkan dari

lingkungan. Sabun pertamakali diciptakan sekitar 2700 SM, terbuat dari berbagai lemak

dengan menggunakan kaustik dari abu kayu untuk menghidrolisis ester (Scheibel, 2004).

Page 12: Pencemaran Limbah Detergent

BAB III

PEMBAHASAN

A. Manajemen Pengolahan Limbah Deterjen

Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya

menyebabkan meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological

Oxigen Demand) dan angka permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok

menggunakan teknik biologi.

Proses biologis dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem

pertumbuhan, proses operasi. Ditinjau dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk

mengolah air limbah deterjen dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu

proses aerobic, proses anaerobic, proses anoksid dan kombinasi antara proses aerobik dengan

salah satu proses tersebut.

Page 13: Pencemaran Limbah Detergent

Proses biologis dapat pula dikelompokkan atas dasar proses operasinya yaitu proses

kontinu dengan atau tanpa daur ulang, proses batch, proses semi batch. Proses kontinu biasa

digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses batch atau semi batch lebih banyak

digunakan untuk sistem anaerobic. Apabila BOD tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob

masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob.  Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l,

proses anaerob menjadi lebih ekonomis.

BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan

jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk

mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Bahan organik yang

terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily

decomposable organic matter). BOD merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang

digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap

masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa

walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan

sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di

perairan. Sedangkan COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang

diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena

bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat

kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga

segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai,

akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan

gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD

sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan

jumlah total bahan organik yang ada. Air yang bersih kandungan BOD kurang dari 1 mg/l

atau 1ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm maka air dikatakan tercemar (Hariyadi, 2004).

Pada  beberapa penelitian membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat (ABS) dapat

diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus

aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas euruginosa, Kurthia

zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan merombak detergen yang juga merupakan zat organik

sebagai bahan makanan menjadi energi.

Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk meningkatkan kontak dari air

limbah dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan organik yang mengambil oksigen

untuk metabolismenya dapat dipergunakan sebagai pengolahan limbah deterjen skala rumah

tangga. Diawali dengan mengembangbiakkan bakteri pada media pecahan genteng selama 40

hari dalam limbah rumah tangga yang ada di selokan, kemudian dilakukan treatment/sirkulasi

Page 14: Pencemaran Limbah Detergent

terhadap limbah deterjen sintetik padaTrickling Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS

dengan pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan

mikroorganisme adalah pecahan genteng yang direndam dalam selokan 40 hari. Jenis

mikroorganisme yang ada di selokan antara lain Crenothrix & Sphaerotilus, Chromatium &

Thiobacillus, mikroalgae hijau & biru, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella

shigae, Eschericia Coli. Pengamatan langsung dengan menggunakan mikroskop dan

pengecatan gram menunjukkan bahwa komunitas mikroba didominasi oleh bakteri gram

negatif, menemukan komunitas bakteri dari golongan Proteobacteriamendominasi komunitas

bakteri yang mampu mendegradasi deterjen. Pertumbuhan mikroorganisme ini berlangsung

cukup lama karena dipengaruhi oleh suhu dan nutrisi yang diperlukannya. Deterjen akan

mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan

mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang terkandung dalam deterjen. Kemampuan

mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen sebagai sumber karbon utama

menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting. Deterjen dengan kadar LAS yang

besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih lama dan deterjen dengan kadar LAS yang

kecil akan lebih cepat terurai. Dan  semakin lama waktu sirkulasi limbah deterjen maka kadar

LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin mengalami penurunan, karena

waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme aerob semakin lama sehingga

memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri untuk menguraikan deterjen(Heryani

dan Puji, 2008).

Penanganan dengan cara lumpur aktif juga dapat dikembangkan , dan dapat

menurunkan COD, BOD 30 – 70 %, bergantung pada karakteristik air limbah yang, diolah

dan kondisi proses lumpur aktif yang dilakukan. Proses lumpur aktif terus berkembang

dengan berbagai modifikasinya, antara lain oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.

Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditchmempunyai beberapa

kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-

85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit.  Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-

95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total

lebih pendek (4-6 jam). 

Dengan tangki septic-filter up flow  yang berisi pecahan batu bata sebagai media

hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau MBAS

(untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen. Dari

sampel, air limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS sekitar 2,7

mg per liter. Setelah keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter,

atau lebih rendah dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang

Page 15: Pencemaran Limbah Detergent

didapat adalah 483,75 mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter (setelah proses)

atau kandungan BOD berkurang 40 persen lebih.

Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah

karena detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air sangat

dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi bermuatan negative.

Cara mendestabilkan atau merusak kestabilan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama

dengan mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari

koloid, proses ini lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan

kepada partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan

cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.

Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC.

Di dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan zeta

potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang,

akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya

tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan

membentuk flok yang berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi

maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara

koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak 40-70

%.

Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi sehingga dapat

diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti kapur dan soda. Buih yang

terbentuk akan dapat dihilangkan dengan proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi.

Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung

juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau

pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air

flotation).

Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi

detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh karbon aktif dan

melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia.

Karbon aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah

bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil.Zeolit dapat

menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.

Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan

tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan

trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2008).

Page 16: Pencemaran Limbah Detergent

Air limbah deterjen tidak dapat dibuang ke septic tank seperti pada

kotoran manusia (black water) karena memiliki kandungan detergen yang

dapat membunuh bakteri pengurai yang dibutuhkan septic tank. Karena itu,

diperlukan pengolahan khusus yang dapat menetralisasi kandungan

detergen dan juga menangkap lemak.

Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran air

limbah adalah dengan menanami selokan dengan tanaman air yang bisa

menyerap zat pencemar. Tanaman yang bisa digunakan, antara lain

jaringao, Pontederia cordata (bunga ungu), lidi air, futoy ruas, Thypa

angustifolia (bunga coklat), melati air, dan lili air. Cara ini sangat mudah,

tapi hanya bisa menyerap sedikit zat pencemar dan tak bisa menyaring

lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang ke selokan.

Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan yang

sering disebut dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara

mudah, bahan murah dan tidak sulit diterapkan di rumah Anda. Instalasi

SPAL terdiri dari dua bagian yaitu bak pengumpul dan tangki resapan. Di

dalam bak pengumpul terdapat ruang untuk menangkap sampah yang

dilengkapi dengan kasa 1 cm persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan

ruang untuk menangkap pasir. Tangki resapan dibuat lebih rendah dari bak

pengumpul agar air dapat mengalir lancar. Di dalam tangki resapan ini

terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk menyaring zat-zat

pencemar yang ada dalam air limbah deterjen(greywater). Mekanisme

kerja SPAL dengan cara air bekas deterjen atau bekas sabun dialirkan ke

ruang penangkap sampah yang telah dilengkapi dengan saringan di bagian

dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir masuk ke ruang di

bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar

ruang ini, sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan,

akan mengambang di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari

pasir, sampah, dan lemak akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-

tengah tangki resapan. Bagian bawah pipa tersebut diberi lubang sehingga

air akan keluar dari bagian bawah. Sebelum air menuju ke saluran

pembuangan, air akan melewati penyaring berupa batu koral dan batok

kelapa. Limbah deterjen atau air sabun yang telah diolah dapat digunakan

lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur kloset, dan untuk mencuci

Page 17: Pencemaran Limbah Detergent

mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi menjadi

air minum (Anonimous, 2009).

Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan di

perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air limbah sisa

deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa celup yang harus

terendam air untuk menghindari terbentuknya gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini

berfungsi sebagai sirkulasi limbah. Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil

dan pompa dosing yang berisi larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang

banyak mengandung deterjen anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen

kationik sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan anti deterjen

ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses penetralan. Pada proses

penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam bak penampungan dengan analisis

deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin

yang secara khusus untuk mengetahui kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat

dilakukan uji coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan

pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).  

Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan

kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi pencemaran air disekitarnya. Serta dapat

melakukan pengelolaan limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak

penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).     

B. Biosurfactan

Savarino et al (2010) pada penelitian terbarunya membandingkan antara biosurfactan,

yang merupakan perkembangan terbaru dari formula deterjen dengan surfaktan anionik/non

ionik yang sering dipakai perusahaan deterjen. Biosurfactan diisolasi dari residu makanan dan

limbah hijau yang disimpan pada kondisi aerobik selama 0-60 hari dan diteliti komposisi

kimia,aktivitas sifat permukaan (surface activity) dan daya kerja deterjen dalam mencuci

kain. Limbah perkotaan merupakan sumber yang kaya bahan organik dengan sifat surfaktan

yang sangat baik. Bahan ini sudah tersedia dari fasilitas perkotaan dengan biodegradasi

aerobik residu biomassa. Khususnya, untuk dua biosurfaktan terisolasi dari limbah,

yaitucHAL (compost humic acid-like matter) yang terisolasi dari campuran makanan dan

residu kompos hijau (green residues) selama 15 hari dan cHAL 2 terisolasi hanya dari residu

hijau segar (fresh green residue). Kedua biosurfactan tersebut mengandung rantai alifatik

panjang, gugus aromatik, asam karboksilat dan kelompok fenol.

Page 18: Pencemaran Limbah Detergent

Biosurfactan menghasilkan berbagai macam komposisi kimia dan aktivitas sifat

permukaan yang erat kaitannya dengan sumber biomassa yang berbeda.

Ditemukan bahwa biosurfactan memiliki kinerja yang sama dengancommercial

surfactan yang umum digunakan (anionik maupun non ionik) ketika digunakan secara murni,

jika pada campuran 1:1 biosurfactan dancommercial surfactan menghasilkan sinergi yang

signifikan. Sangat sensitivitas terhadap kesadahan air dan menyebabkan kain menjadi kuning

merupakan kekurangan utama untuk biosurfactan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa bila digunakan di atas konsentrasi micelles tidak ada perbedaan kinerja yang

signifikan pada seluruh kelompok biosurfactan atau campuran antara biosurfactan

dan commercial surfactan. Fakta ini memberikan harapan bagi produksi industri dan

komersialisasi Biosurfactan sebagai komponen dari formulasi deterjen. Serta penggunaan

surfaktan yang ramah lingkungan yang berasal dari sumber daya terbaru yang murah dalam

komposisi deterjen bagi tren industri deterjen.

            Isolasi biosurfactan diperoleh dari limbah green atau dari 1:1 limbah makanan dan

green fresh residue yangdikumpulkan dan disimpan selama 0-60 hari secara aerobik. sampel

sampah yang terkumpul diteliti selama 24 jam pada 650C dengan perbandingan N2 dan

NaOH 0.1 mol-1 L dan 0,1 mol L-1 Na4P2O7. Selanjutnya suspensi yang dihasilkan

didinginkan sampai suhu kamar dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm. Residu padat

dipisahkan dan

dicuci berulang kali dengan air suling sampai terpisah cair supernatannya.Semua cairan

supernatan dikumpulkan dan diasamkan dengan asam sulfat 50%

pada pH  1.5. Endapan padat disentrifugasi seperti cara di atas, dicuci dengan air sampai

akhir pH netral, dikeringkan pada 600C dan ditimbang. Produk akhir (cHALi) menghasilkan

adalah 12-15% dari bahan kering sampah awal. Dari hasil percobaan biosurfactan mampu

menurunkan tegangan permukaan hampir 50% lebih rendah dibandingkan commercial

surfactan.

C. Biofilter

Limbah domestik baik rumah tangga atau limbah usaha skala kecilseperti air sisa

deterjen dan air sisa sabun mandi harus diolah dan tidak boleh membuangnya melalui septic-

tank, guna mengindari pencemaran air tanah disekitarnya.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, mengisyaratkan warga agar

menyediakan alat pengolahan limbah, yaitu Biofilter. Alat ini mampu menghasilkan air

olahan sesuai dengan baku mutu, dan aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan sistem

biofilter, dan umumnya terbuat dari fiberglass. maka limbah cucian dan limbah septic tank

Page 19: Pencemaran Limbah Detergent

sudah terolah hingga mencapai baku mutu. Dan menggantikan septic tank yang cara kerjanya

merembeskan limbah ke tanah sehingga tidak ada lagi ada rembesan. Namun masih

diperlukan sosialisasi kepada pemilik rumah yang sudah memiliki septic tank, subsidi alat

bagi perumahan kumuh dan harga alat yang mahal (Anonimous, 2009). 

Gambar 3. Biofilter

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan atau diminimalisir

penggunaannya. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal

bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan

produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini

memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk

penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin

parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen

berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian

deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk

senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin

terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya

terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi

pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum

mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.

Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di

perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi

Page 20: Pencemaran Limbah Detergent

menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan

pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi

pada tangan dan kaustik karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH)

antara 10 – 12.

B. SARAN

Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai

pengganti fosfat (builder) dalam deterjen karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur

hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat

dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan dan pada akhirnya justru

membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya.

Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam teknik

misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon

aktif, lumpur aktif, khlorinasi dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif

(Arifin, 2008).

Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan

kandungan fosfat yang rendah serta mengelola limbah deterjen secara sederhana dengan

pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous,

2010).

Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak untuk

memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih dan hak untuk

menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak sesuai dengan klaimnya

Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan transparansi dari produsen mengenai

kandungan produk deterjen yang dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan

baku.

Penggunaan deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak lebih parah

diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan.

Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen, walaupun

untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus melalui uji

laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian

dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.

Meluruskan persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah

mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut,

diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumen

harus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak,

Page 21: Pencemaran Limbah Detergent

produsen seharusnya tidak lagi menggunakan ‘busa melimpah’ dalam mempromosikan

produknya.

Daftar Pustaka

Ahsan S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste Materials [Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.

Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8Desember 2010].

                    . 2009. Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter.http://www.greenradio.fm. [8 Desember 2010].

                    . 2009. Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan Limbah B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Chantraine, F et all. 2009. Drawbacks of Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical Properties of Detergent Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization. Journal of Surfactan and Detergent. 12:59-71.

Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter [Makalah Penelitian]  http://eprints.undip.ac.id [8 Desember 2010].

Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard Surface in a Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol. 9. Qtr 1.

Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the Requirement of the Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5.

Sigid hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah.

Soekidjo Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit PT Rineka Cipta.(614.78NOT k)

Savarino. P, Motoneri. G, Musso. G, Boffe. V.  2010. Biosurfactan from urban waste for detergent formulation : surface activity and washing performance. Journal Surfactant Detergent. 13:59-68