Upload
olivia-ekaputri
View
158
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pbl
Makalah PBL
Hepatits Akut ec Drug Induced
Disusun oleh :
Olivia Ekaputri
10-2009-077 / B5
Email : [email protected]
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No.6
Jakarta
11510
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Hati merupakan pusat metabolisme obat, terutama obat yang diberikan peroral. Dan organ
hati sendiri adalah organ terbesar di tubuh dan mempunyai aliran darah yang cukup
sehinga hati sanggup melaksanakan metabolisme obat dan bahan makanan yang masuk
peroral.1
Organ hati sendiri dapat mengalamai berbagai kelainan, dari yang primer sampai sekunder.
Kelainan hati adalah radang hati atau yang dikenal dengan hepatitis, hepatoma. Dengan
adanya kelainan hati maka tugas metabolisme yang diembannya sebagai pusat
metabolisme baik obat-obatan dan makanan akan terganggu. Kelainan ini dapat terjad dari
ringan hingga berat, dari akut – kronis, bahkan tidak dipungkiri kadang kelainan hati dapat
berujung pada gagal hati, dan kematian si empunya organ tersebut.
1
Tujuan
Dengan adanya makalah ini, para pembaca dapat memahami apa yang terjadi, mekanisme,
dan terapi apa yang sesuai bagi kelainan hati tertama radang hepar (hati) yang kita sering
sebut dengan hepatitis. Tak hanya itu, para pembaca pun dapat menambah wawasan
mengenai hepatitis yang selama ini sering disalah-artikan oleh masyarakat awam.
2
BAB II
Pembahasan
Skenario
Nn. A, 25 tahun, datang ke UGD dengan keluhan demam mendadak, sejak 4 hari yang
lalu, disertai rasa mual dan muntah 3-5x/hari berisi makanan. Pasien sedang menjalani
pengobatan TBC sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol sejak 2 tahun yang lalu,
kira-kira 34 botol bir/ bulan. Pemeriksaan fisik KU : Tampak sakit sedang, kesadaran :
Compos Mentis, Nadi : 98x/menit, Frekuensi napas : 24x/menit, TD : 120/90 mmHg, Suhu
: 38,6ºC, Mata : konjungtiva ikterik +/+, Anemis -/-, Hati teraba 1 jari dibawah arcus
costae, 2 jari bawah processus xiphoideus, Lien tidak teraba, nyeri tekan regio epigastrium
(+).
Anamnesis
Pada anamnesis berkaitan dengan penyakit pada hepar, tanyakan :
1. Apakah kulit kuning : ikterus / jaundice?
2. Apakah pasien demam, merasa fatigue, myalgia, malaise, sakit kepala, cepat lelah,
lemas, anoreksi, nausea atau bahkan vomit?
3. Apakah pasien mengalami hematemesis – melena?
4. Adakah sakit perut di kuadran kanan atas?
5. Adakah bengkak-edema di kaki, perut yang mebuncit (Ascites), berat badan
menurun, gatal-gatal?
6. Apakah warna urin pasin gelap seperti air teh dan warna tinja apakah seperti
dempul atau pucat?
Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam
beberapa hari-minggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini,
gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan penderita hepatitis
sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.
3
Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan dalam 2 cara, yaitu :
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dengan 4 cara yakni, Inspeksi, Palpasi, Perkusi, dan Auskultasi.
Inspeksi
Inspeksi dilakukan dengan melihat pasien.
1. Pada pasien dengan hepatitis ditemukan kulit yang kuning (ikterus), selain dari
kulit, ikterus juga dapat terlihat dari konjungtiva.
2. Abdomen pasien, apabila hepatitis sudah berlanjut ditemukan bentuk perut
yang membuncit (asites)
3. Apakah ditemukannya pembuluh darah kolateral pada abdomen, Caput
Medusa, tanda ini merupakan tanda dari kelainan hati.
4. Tampaknya benjolan/massa di abdomen (misal Hepatoma)
Palpasi
→ Palpasi Umum
Pada palpasi umum, pemeriksa melakukan palpasi superficial dan palpasi
dalam yang dilakukan secara sistematis sesuai kuadran dan apabila ditemukan
bagian yang sakit, bagian tersebut dipalpasi paling terakhir. Apabila menemuka
benjolan / massa (hepatoma) pastikan dengan Carnett sign.
Carnett sign adalah suatu cara untuk memastikan benjolan terletak di
superficial atau berada didalam. Dilakukan dengan mengangkat kepala pasien
untuk melihat benjolan yang ada semakin jelas/ semakin menghilang.
→ Palpasi Khusus
1. Palpasi Hati
Pemeriksaan palpasi hati bertujuan untuk mencari perbesaran hati dari RLQ
menuju ke arah inferior arcus costae dextra saat pasien inspirasi. Selain itu,
dilakukan juga dari regio Suprapubic menuju ke Processus Xyphoideus saat
pasien inspirasi. Pemeriksaan khusus ini dilakukan dengan pinggir tangan.
4
Bila terdapat perbesaran hati, pastikan pemeriksa mengetahui ukuran
perbesaran (jari/cm) di bawah arcus costae kanan / dibawah processus
xyphoideus, tepi hati (tajam pada hepatitis akut dan tumpul pada hepatitis
kronis), konsistensi hepar (lunak/ kenyal (normal), atau keras pada tumor),
permukaan hepar (normal licin, berbenjol-benjol), dan ada nyeri atau tidak.
Bila terdapat nyeri kemungkinan terdapat abses hati.2
2. Palpasi Limpa
Palpasi dilakukan berdasarkan garis Schuffner I-VIII. Apabila ditemukan
perbesaran dari limpa , pastikan letak berdasarkan garis Schuffner,
konsistensi limpa, dan ada nyeri atau tidak.
3. Ascites
Pemeriksaan ascites dilakukan apabila pada inspeksi, ada indikasi asites
yang terlihat dari bentuk abdomen yang membuncit. Pemeriksaan dilakukan
dengan 2 cara yakni Undulasi, dan Shifting Dulness.
Perkusi
Dengan perkusi, kita dapat meencari batas paru-hati yang diperiksa dengan
melakukan perkusi di linea midclavicula kanan ke arah bawah di bagian
intercostalis. Selain batas antara paru dan hati, kita juga dapat mengetahui
peranjakkan hati.
Ukur rentang vertikal pekak hati pada linea midklavikularis kanan. Dimulai pada
ketinggian di bawah umbilikus (pada daerah timpani, bukan pada daerah redup),
lakukan perkusi ringan ke arah atas menuju daerah hati. Pastikan lokasi bunyi
redup yang menunjukkan tepi bawah hati (margo inferior hepar) pada linea
midklavikularis tersebut.
Selanjutnya, kenali tepi atas daerah pekak hati pada linea midklavikularis. Lakukan
perkusi ringan mulai dari daerah sonor paru ke bawah menuju daerah pekak hati.
Jika perlu, sisihkan payudara pada pasien wanita secara hati-hati agar pemeriksa
merasa yakin bahwa perkusi benar-benar dimulai di daerah sonor.
5
Lalu, ukur dalam satuan sentimeter jarak antara dua titik yang ditemukan-jarak ini
adalah rentang vertikal pekak hati. Rentang hati yang normal, umumnya berukuran
lebih besar pada pria daripada wanita dan pada orang bertumbuh tinggi
dibandingkan dengan orang yang bertubuh pendek. Rentang pekak hati (liver
dullness) akan bertambah apabila hepar membesar.
Auskultasi
Pada dasarnya, hati adalah organ padat dan tidak berongga, jadi tidak dapat
ditemukan bunyi yang pasti. Akan tetapi apabila ditemukan bunyi Bruit Hepar,
yaitu bunyi seperti murmur( turbulensi air) dalam abdomen kanan atas, hal ini
mengindikasikan terdapat Hepatoma.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada hepar meliputi :
Pemeriksaan Radiologi
1. Plain Film
Gambar 1. Plain film Hepatomegaly3
2. Ultrasound
Pemeriksaan ultrasound adalah pemeriksaan yang cepat, relatif terjangkau, dan
memiliki sensitifitas yang tinggi, pada kista 100%. akan tetapi, penggunaan
ultrasound sangat tergantung pada operator yang menjalankan.
6
Pemeriksaan jenis ultrasound sering digunakan pada pemeriksaan awal karena
sifatnya yang non-invasive dan murah. Sensitifitasnya sangat tinggi terutama
pada fluid filled lesion seperti kista atau abses. Akan tetapi, kurang kaurat untuk
solid lesion dibandingkan dengan CT Scan.
Gambar 2. Ultrasound scan menunjukkan massa (panah) di hati yang leih gelap
dari jaringan hati sekitarnya.4
3. CT SCAN
CT atau Computed Tomogrpahy, merupakan pemeriksaan radiologi yang akurat
untuk lokalisasi anatomi dan karakteristik massa seperti kistik, fat, dan
kalsifikasi. Dengan pemberian kontras teknik tertentu dapat melihat berbagai
fase pada seluruh liver.
Pemeriksaan menggunakan CT sangat spesifik dan sensitif, akan tetapi biayanya
relatif mahal. CT menggunakan metode 3 fase, yakni :
- Tanpa kontras
- Arteri hepatica
- Vena portal
7
Gambar 3. Hasil CT scan hati4
4. MRI
MRI atau Magnetic Resonance Imaging, sekarang ini sering digunakan untuk
deteksi dan karakteristik. MRI sama halnya dengan CT dapat memeriksa
berbagai fase. MRI tidak mengandung radiasi, menggunakan bahan aktif
GADOLINEUM. MRI sendiri lebih superior dibanding dengan CT. hal ini
dimungkinkan karena MRI membantu memberi informasi karakteristik
tambahan bagi pemeriksaan CT atau USG, misalnya membedakan hemangioma
dengan maligna. Khusus untuk pemeriksaan Hepar dengan MRI diperlukan
kontras khusus.
5. Invasif
Terdiri atas :
5.1 Angiografi : visualisasi pembuluh darah
5.2 Portografi Direct dan Indirect : visualisasi vena porta
5.3 Retrograde Phlebography
Kateter yang dipasang melalui Vena Femoralis ke Vena Cava
( retrograde). Dengan pemasangan ini dapat mengukur tekanan pada
vena portal. Selain untuk rekam vena, dapat juga digunakan untuk
Portal Embolization.
8
5.4 Embolisasi : Tace dan Yirtium
5.5 TIPS
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt, pemeriksaan ini
dilakukan pada pasien dengan cirrhosis hepar. TIPS dilakukan bertujuan
untuk mengurangi tekanan vena portal. Shunting vena hepatica dengan
vena portal intrahepatik.
6. Pet Scan
Positron Emission Tomography, memakai 5 FDG. Pemeriksaan PET sangat
mahal. Pemeriksaan ini berdasar pada sintesa glukosa. Pemeriksaan PET sering
dikombinasikan dengan modalitas lain : PET-CT / PET-MRI.
7. Spect Scan /Scintigraphy
Single Positron Emission Tomography, adalah suatu jenis pemeriksaan yang
sering dikombinasikan dengan CT atau MRI. Spect memakai Tc 99m
(Technesium) dan dengan pembawa yaitu colloid. Bekerja pada retikulo-
endotelial. Spect sensitif namun kurang spesifik. Red cell Tc99 dapat
memastikan Hemangioma. Sulfur colloid labelled Tc99 dapat memastikan fokal
nodular hyperplasia yang mengandung sel Kupffer.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit hati terdiri dari :
1. Darah tepi : dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia : infestasi
cacing, leukositosis : infeksi bakteri.
2. Urin : bilirubin urin
3. Biokimia hati, tes biokimia hati adalah pemeriksaan sejumlah parameter zat-zat
kimia maupun enzim yang dihasilkan jaringan hati. Dari tes biokimia hati
inilah dapat diketahui derajat keparahan atau kerusakan sel dan selanjutnya
fungsi hati dapat dinilai.
a. Serum bilirubin direk dan indirek
b. ALT (SGPT) dan AST (SGOT)
9
c. Albumin, globulin
d. Glukosa darah
e. Koagulasi : faal hemostasis terutama waktu protrombin
4. Petanda serologis, tes serologi adalah pemeriksaan kadar antigen maupun
antibodi terhadap virus penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui
jenis virus penyebab hepatitis (IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti
HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk leptospira, kultur darah-
empedu (Gal)).
Beberapa jenis parameter biokimia yang diperiksa adalah AST (aspartat
aminotransferase), ALT (alanin aminotransferase), alkalin fosfate, bilirubin,
albumin dan waktu protrombin. Pemeriksaan ini biasa dilakukan secara berkala
untuk mengevaluasi perkembangan penyakit maupun perbaikan sel dan jaringan
hati.
- Aminotransferase (transminase). Ada dua parameter berupa enzim yang
dapat dijadikan sebagai indikator terhadap adanya kerusakan sel hati.
Keduanya sangat membantu dalam mengenali adanya penyakit pada hati.
Enzim-enzim tersebut adalah aspartat aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT/SGPT). Peningkatan kadar enzim-enzim
tersebut mencerminkan adanya kerusakan sel-sel hati. Namun demikian
derajat ALT lebih dipercaya dalam menentukan adanya kerusakan sel hati
dibanding AST.
ALT ditemukan terutama di hati , sedangkan AST selain dapat ditemukan di
hati juga dapat ditemukan di otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas,
otak, paru, sel darah putih dan sel darah merah. Jika terjadi peningkatan
kadar AST bisa jadi yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lain
yang mengandung AST. Pada penyakit hati akut, kadar ALT lebih tinggi
atau sama dengan kadar AST.
10
- Alkalin fosfate (ALP). Enzim ALP ditemukan pada sel-sel hati yang
berada di dekat saluran empedu. Peningkatan kadar ALP menunjukkan
adanya penyumbatan atau pada saluran empedu. Peningkatan kadar ALP
biasanya disertai dengan gejala fisik yaitu warna kuning pada kulit, kuku
ataupun bagian putih bola mata.
- Serum protein. Ada beberapa serum protein yang dihasilkan oleh hati.
Serum-serum tersebut antara lain albumin, globulin dan faktor pembekuan
darah. Pemeriksaan serum-serum protein tersebut dilakukan untuk
mengetahui fungsi biosistesis hati.
Adanya gangguan fungsi sintesis hati ditunjukkan dengan menurunnya
kadar albumin. Namun karena usia albumin cukup panjang (15-20 hari),
serum protein ini kurang sensitif untuk digunakan sebagai indikator
kerusakan hati.
Globulin adalah protein yang membentuk gammaglobulin. Kadar
gammaglobulin meningkat pada pasien penyakit hati kronis ataupun sirosis.
Gammaglobulin mempunyai beberapa tipe, yaitu Ig G, Ig M dan Ig A.
Masing-masing tipe sangat membantu pendeteksian penyakit hati kronis
tertentu.
Sebagian besar faktor-faktor pembekuan darah disintesis di hati. Umur
faktor-faktor pembekuan darah lebih singkat dibanding albumin, yaitu 5
hingga 6 hari. Pengukuran faktor-faktor pembekuan darah lebih efektif
untuk menilai fungsi sintesis hati. Ada lebih dari 13 jenis protein yang
terlibat dalam pembekuan darah, salah satunya adalah protrombin. Adanya
kelainan pada protein-protein pembekuan darah dapat dideteksi dengan
menilai waktu protrombin. Waktu protrombin adalah ukuran kecepatan
perubahan protrombin menjadi trombin. Lamanya waktu protrombin ini
tergantung pada fungsi sintesis hati serta asupan vitamin K. Adanya
kerusakan sel-sel hati akan memperpanjang waktu protrombin. Hal ini
dikarenakan adanya gangguan pada sintesis protein-protein pembekuan
11
darah. Dengan demikian, pada kasus hepatitis kronis dan sirosis waktu
protrombin menjadi lebih panjang.
- Bilirubin. Bilirubin adalah pigmen kuning yang dihasilkan oleh
pemecahan hemoglobin (Hb) di dalam hati. Bilirubin dikeluarkan melalui
empedu dan dibuang melalui feses.
Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan
bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan
melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat
pada albumin. Bilirubin total merupakan penjumlan bilirubin direk dan
indirek.
Adanya peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya penyakit
pada hati atau saluran empedu. Sedangkan peningkatan bilirubin indirek
jarang terjadi pada penyakit hati.
Differential Diagnosis
1. Hepatitis viral akut
Hepatitis infeksi dapat disebabkan oleh virus. Virus hepatitis adalah penyebab terbanyak
hepatitis infeksi. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah membantu pengenalan dan
pengertian patogenesa dari tujuh virus penyebab hepatitis sebagai manifestasi penyakit
utama. Virus-virus tersebut dinamakan virus hepatotropik, yang ditandai denagn urutan
abjad yaitu A, B, C, D, E, G, dan terakhir virus TT. Virus-virus lain yang juga memberi
gejala hepatitis sebagai bagian dari gejala klinisnya, bukan disebut virus hepatotropik.
Seperti virus herpes simplex (HSV), cytomegalo (CMV), epsteinbarr, varicella, rubella,
adeno, entero, parvo B19, arbo dan HIV, gejala-gejala hepatologi pada infeksi virus-virus
ini hanya merupakan bagian dari penyakit sistemik. Virus A dan E tidak menyebabkan
penyakit kronis, virus B, C, D merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
karena penyakit kronis. Virus G dapat memberi infeksi kronis, tetapi tidak menimbulkan
gejala klinis yang jelas, sedang virus TT walaupun prevalensinya tinggi, tidak memberi
gejala baik akut maupun kronis.
12
Gejala biasanya muncul secara tiba-tiba, berupa:
penurunan nafsu makan
merasa tidak enak badan
mual
muntah
demam.
Kadang terjadi nyeri sendi dan timbul biduran (gatal-gatal kulit), terutama jika
penyebabnya adalah infeksi oleh virus hepatitis B.
Beberapa hari kemudian, air kemih warnanya berubah menjadi lebih gelap dan timbul
kuning (jaundice). Pada saat ini gejala lainnya menghilang dan penderita merasa lebih
baik, meskipun sakit kuning semakin memburuk.
Bisa timbul gejala dari kolestasis (terhentinya atau berkurangnya aliran empedu) yang
berupa tinja yang berwarna pucat dan gatal di seluruh tubuh.
Jaundice biasanya mencapai puncaknya pada minggu ke 1-2, kemudian menghilang pada
minggu ke 2-4.
A. Hepatitis A
Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran/tinja
penderita biasanya melalui makanan (fecal - oral), bukan melalui aktivitas seksual
atau melalui darah. Hepatitis A paling ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan
C).5
Waktu terekspos sampai kena penyakit kira-kira 2 sampai 6 minggu. penderita akan
mengalami gejala gejala seperti demam, lemah, letih, dan lesu, pada beberapa
kasus, seringkali terjadi muntah muntah yang terus menerus sehingga menyebabkan
seluruh badan terasa lemas. Demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus,
tidak seperti demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll.
Seringkali tidak ada bagi anak kecil; demam tiba-tiba, hilang nafsu makan, mual,
muntah, penyakit kuning (kulit dan mata menjadi kuning), air kencing berwarna tua,
tinja pucat. Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium: (1) pendahuluan
13
(prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan selera makan dan mual;
(2) stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik); dan (3) stadium kesembuhan
(konvalesensi). Gejala kuning tidak selalu ditemukan. Untuk memastikan diagnosis
dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT, SGOT. Karena pada hepatitis A juga bisa
terjadi radang saluran empedu, maka pemeriksaan gama-GT dan alkali fosfatase
dapat dilakukan di samping kadar bilirubin.
B. Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B"
(VHB), suatu anggota Hepadnavirus. Yang dapat menyebabkan peradangan hati
akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi
hati atau kanker hati.5
Dibandingkan virus HIV, virus Hepatitis B (HBV) seratus kali lebih
ganas (infectious), dan sepuluh kali lebih banyak (sering) menu-
larkan. Kebanyakan gejala Hepatitis B tidak nyata
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati
yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B persisten. Hepatitis
B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam
serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses
nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai
infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan Hep-
atitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai
dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai nor-
mal (BANN). Diagnosis infeksi Hepatitis B kronis didasarkan pada
pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histology.
Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis
dan evaluasi infeksi. Hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg,
anti HBe dan HBV DNA (4,5). Pemeriksaan virologi, dilakukan un-
tuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena da-
pat menggambarkan tingkat replikasi virus. Pemeriksaan biokimi-
awi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah
kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktiv-
14
itas kroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertim-
bangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan
kadar ALT yang menunjukkan proses nekroinflamasi yang lebih
berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar
ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi
antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal diper-
timbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan
histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif. Sedangkan tu-
juan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat
kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, progno-
sis dan menentukan manajemen anti viral.
Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala terse-
but dapat berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut,
mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang disertai ny-
eri sendi dan bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu
minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata
tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni
berwarna seperti teh
Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh
tubuh terhadap virus Hepatitis B pasca periode akut. Kemungki-
nan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka
akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tang-
gapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan men-
jadi carrier inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat interme-
diate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang
menjadi hepatitis B kronis.
C. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis
C. Infeksi virus ini dapat menyebabkan peradangan hati atau
15
hepatitis yang biasanya asimtomatik, tetapi hepatitis kronik yang
berlanjut dapat menyebabkan sirosis dan kanker hati.
Virus Hepatitis C menyebar dengan kontak darah-ke-darah dari
darah seseorang yang terinfeksi. Gejala dapat secara medis ditan-
gani, dan proporsi pasien dapat dibersihkan dari virus oleh pengo-
batan anti virus jangka panjang. Walaupun intervensi medis awal
dapat membantu, orang yang mengalami infeksi virus hepatitis C
sering mengalami gejala ringan, dan sebagai sebab dari tidak
melakukan perawatan.
D. Hepatitis D
Tipe D (hepatitis delta) merupakan 50% hepatitis tiba-tiba dan parah, dengan angka
kematian yang tinggi. Di Amerika serikat, 1% dari penderita hepatitis D mati
dengan gagal hati dalam waktu 2 minggu dan infeksi kebanyakan menyerang para
pemakai obat-obatan intravena dan penderita hemofilia. Masa inkubasi adalah 1-90
hari. Tingkat keparahan mencapai 2-70%.
Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yang tidak
lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis B. Penularan
melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi darah. Gejala penyakit
hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau
amat progresif (superinfeksi).
E. Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam pegel linu, lelah, hilang nafsu makan dan sakit
perut. Penyakit yang akan sembuh sendiri ( self-limited ), keculai bila terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan melalui air
yang terkontaminasi feces.
F. Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B dan/atau
C. Tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis kronik. Penularan
16
melalui transfusi darah jarum suntik.
G. Hepatitis TT
Hepatitis TT virus pertama dijelaskan oleh sebuah kelompok Jepang telah
dilaporkan parenteral dikirim dan selanjutnya, telah terdeteksi pada pasien dengan
hepatitis etiologi tidak diketahui. Oleh karena itu, dalam penelitian ini prevalensi
diselidiki dalam kelompok berisiko tinggi untuk tertular darah-borne virus, seperti
individu dengan penyakit hati kronis, pengguna narkoba intravena dan penerima
produk darah dan darah, dibandingkan dengan donor darah sukarela dan wanita
hamil .
Untuk itu, DNA diekstraksi dari sera diperoleh dari pasien masing-masing dan
sasaran PCR menggunakan primer semi-bersarang. Frekuensi TTV DNA terdeteksi
dalam kelompok risiko tinggi, seperti sembilan dari 50 pasien dengan kronis non-A-
to-G penyakit hati (18%), sembilan dari 98 kasus karsinoma hepatoseluler (9,2%),
17 dari 52 pengguna narkoba intravena (32,7%), 15 dari 80 pasien talasemia dengan
transfusi darah beberapa (18,8%) dan tiga dari 31 pelacur (9,7%) melebihi bahwa di
antara donor darah sukarela dan wanita hamil, yang berjumlah 14 dari 200 (7%) dan
tujuh dari 103 (6,8%), masing-masing. Penelitian molekuler tambahan harus
dilakukan untuk menentukan pendek, serta jangka panjang signifikansi klinis.
2. Alcoholic Hepatitis
Hepatitis alkoholik adalah sindrom dari luka hati yang progresif yang terkait dengan
inflamasi jangka panjang asupan berat etanol. Pasien yang terkena dampak parah hadir
dengan onset subakut demam, hepatomegali, leukositosis, gangguan fungsi hati
ditandai (misalnya, penyakit kuning, koagulopati), dan manifestasi dari hipertensi
portal (misalnya, asites, ensefalopati hepatik, perdarahan varises). Namun, bentuk
lebih ringan dari hepatitis alkoholik sering tidak menimbulkan gejala apapun.
Setelah pemeriksaan mikroskopis, yang ditunjukkan di bawah, hati pameran balon
nekrosis hepatosit centrilobular karakteristik, infiltrasi neutrophilic,
megamitochondria, dan inklusi hialin Mallory. Steatosis (fatty liver) dan sirosis
hepatitis alkoholik sering menyertai.
17
Penyakit yang cukup parah untuk menyebabkan pengembangan ensefalopati akut
berhubungan dengan kematian dini substansial, yang dapat diperbaiki dengan
pengobatan dengan glukokortikoid.
Hepatitis alkoholik biasanya berlangsung dan berkembang menjadi sirosis jika
penggunaan alkohol yang berat terus. Jika berhenti menggunakan alkohol, hepatitis
alkoholik sembuh perlahan-lahan selama minggu ke bulan, kadang-kadang tanpa
gejala sisa permanen tetapi seringkali dengan sirosis sisa.
Gambar 4. Liver biopsy sample shows typical findings of perivenular
polymorphonuclear infiltrate and ballooning degeneration of hepatocytes (hematoxylin
and eosin stain).6
Diperkirakan bahwa 15 sampai 20 tahun minum berlebihan yang diperlukan untuk
berkembang pada hepatitis alkoholik. Namun, dalam orang-orang seperti fitur klinis
dari hepatitis alkoholik tampil relatif akut, biasanya setelah sekitar minum berat.
18
Gambar 5. Badan Mallory6
Beberapa tanda dan perubahan patologis pada histologi hati termasuk:
Mallory hialin - kondisi di mana pra-filamen keratin terakumulasi dalam hepatosit.
Tanda ini tidak terbatas pada penyakit hati alkoholik, tetapi sering karakteristik.
Degenerasi Ballooning - hepatosit dalam pengaturan perubahan alkohol sering
membengkak dengan lemak berlebih, air dan protein; biasanya protein ini diekspor
ke dalam aliran darah. Disertai dengan balon, ada kerusakan nekrotik.
Pembengkakan mampu memblokir saluran empedu di dekatnya, yang mengarah ke
kolestasis menyebar.
Peradangan - invasi neutrophilic dipicu oleh perubahan nekrotik dan adanya puing-
puing selular dalam lobulus. Biasanya jumlah puing-puing dihapus oleh sel
Kupfer, meskipun dalam pengaturan peradangan mereka menjadi kelebihan beban,
yang memungkinkan sel darah putih lainnya tumpah ke dalam parenkim. Sel-sel
ini untuk hepatosit dengan tubuh Mallory.
Jika penyakit hati kronis juga hadir:
- Fibrosis
- Sirosis - tipe progresif dan permanen degenerasi jaringan fibrosis hati.
3. Kolesistitis
Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya
merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara tiba-
tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa.7
Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan
bagian atas. Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering
menjalar ke bahu kanan. Biasanya terdapat mual dan muntah. Jika dokter menekan
perut kanan sebelah atas, penderita akan merasakan nyeri tajam.
Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku. Pada mulanya,
timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi. Biasanya serangan
19
nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.
Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke dalam
hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu empedu
atau oleh peradangan.
4. Malaria
Malaria adalah suatu infeksi sel darah merah oleh Plasmodium.
Malaria disebarkan melalui:
Gigitan nyamuk betina Anopheles
Transfusi darah yang terkontaminasi
Suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan oleh penderita malaria.
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 10-35 hari setelah parasit masuk ke dalam
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.Gejala awalnya seringkali berupa demam
ringan yang hilang-timbul, sakit kepala, sakit otot dan menggigil, bersamaan dengan
perasaan tidak enak badan (malaise). Kadang gejalanya diawali dengan menggigil
yang diikuti oleh demam. Gejala ini berlangsung selama 2-3 hari dan sering diduga
sebagai gejala flu.
Gejala berikutnya dan pola penyakitnya pada keempat jenis malaria ini berbeda:
Pada malaria falciparum bisa terjadi kelainan fungsi otak, yaitu suatu komplikasi yang
disebut malaria serebral. Gejalanya adalah demam minimal 40?Celsius, sakit kepala
hebat, mengantuk, delirium (mengigau) dan linglung. Malaria serebral bisa berakibat
fatal. Paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil dan pelancong yang baru datang
dari daerah malaria. Pada malaria vivax, mengigau bisa terjadi jika demamnya tinggi,
sedangkan gejala otak lainnya tidak ada.
Pada semua jenis malaria, jumlah sel darah putih total biasanya normal tetapi jumlah
limfosit dan monosit meningkat. Jika tidak diobati, biasanya akan timbul jaundice
ringan (sakit kuning) serta pembesaran hati dan limpa. Kadar gula darah rendah dan
hal ini lebih berat pada penderita yang di dalam darahnya mengandung lebih banyak
parasit. Kadar gula darah bahkan bisa turun lebih rendah pada penderita yang diobati
20
dengan kuinin.
Jika sejumlah kecil parasit menetap di dalam darah, kadang malari bersifat menetap.
Gejalanya adalah apati, sakit kepala yang timbul secara periodik, merasa tidak enak
badan, nafsu makan berkurang, lelah disertai serangan menggigil dan demam.
Gejala tersebut sifatnya lebih ringan dan serangannya berlangsung lebih pendek dari
serangan pertama.
Blackwater fever adalah suatu komplikasi malaria yang jarang terjadi.
Demam ini timbul akibat pecahnya sejumlah sel darah merah. Sel yang pecah
melepaskan pigmen merah (hemoglobin) ke dalam aliran darah. Hemoglobin ini
dibuang melalui air kemih dan merubah warna air kemih menjadi gelap.
Blackwater fever hampir selalu terjadi pada penerita malaria falciparum menahun,
terutama yang mendapatkan pengobatan kuinin.
Working Diagnosis - Hepatitis Akut ec Drug Induced
Hepatitis Akut
Penyakit ini merupakan peradangan hati disertai sedikit atau tanpa disertai fibrosis dan
sedikit atau tanpa regenerasi nodular. Bisa ada sedikit distrosi arsitektur lobular. Jika
terjadi fibrosis yang luas dan regenerasi nodular ( sehingga terjadi distorsi arsitektur)
timbul keadaan yang disebut sirosis. Diagnosis ini ditegakkan secara histologis dan
mungkin atau mungkin juga tidak ada bukti klinis akan penyakit hati sebelumnya.
Peradangan nekrosis sel-sel hati terjadi akibat : 5
Infeksi, yang tersering adalah infeksi A akut, namun juga dengan virus hepatitis B,
C, D, E, G, TT, mononucleosis infeksiosa, cytomegalovirus, dan yellow fever
virus, serta berhubungan dengan septicemia dan leptospirosis. Hepatitis ameba
banyak ditemukan diseluruh dunia, dan biasanya datang dengan adanya abses hati
atau ameboma.
Keracunan bahan kimia dan obat-obatan. Bahan kimia yang toksis diantaranya
adalah karbon tetraklorida, vinil klorida, dan etilen glikol serta pelarut yang sejenis
( menghirup lem). Obat yang toksis diantaranya adlah alcohol ( etanol dan
21
methanol), halotan (setelah paparan berulang), isoniazid, dan rifampisin,
parasetamol, metotreksat, klorpromazin, dan inhibitor monoamin oksidase.
Kehamilan (jarang), jika pasien pulih biasanya sempurna, tetapi walaupun jarang,
bisa terjadi nekrosis progresif yang hampir mengenai seluruh hati ( gagal hati
fulminan atau nekrosis massif akut) yang menyebabkan koma hepatikum.
Gejala klinis pada hepatitis akut, antara lain : 8
Malaise
Jaundice
Peningkatan serum bilirubin dan enzim transamninase
Pada kasus berat, terdapat gagal hati
Hepatitis Imbas Obat ( Drug Induced Hepatitis)
Hati merupakan pusat metabolisme obat, terutama obat yang diberikan peroral. Organ hati
merupakan organ terbesar ditubuh dan mempunyai aliran darah yang cukup, sehingga hati
mampu melaksanakan metabolisme obat dan bahan makanan yang masuk peroral.
Metabolisme obat-obatan ini terjadi di mikrosom sel hati dan enzim yang terlibat adalah
sitokrom C-reduktase dan sitokrom P450.1
Tujuan metabolisme obat ini adalah untuk mengubah bahan larut lemak setelah diserap
usus untuk menjadi bahan larut dalam air, agar bisa dibuang melalui urin atau empedu.
Obat yang telah larut dalam air tentu tidak lagi memerlukan banyak metabolisme di hati.
Sebagian besar obat masuk melalui saluran cerna, dan hati terletak diantara permukaan
absortif saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan sentral dalam
metabolisme obat. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potential yang
hampir selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupaka pusat disposisi
metabolic dari semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh.
Implikasi Klinik
Gambaran klinik hepatotoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinik
dengan penyakit hepatitis atau kholestasis dengan etiologi yang lain. Riwayat
22
pemakaian obat atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap.
Onset umumnya cepat, Malaise dan Ikterus, serta dapat terjadi gagal hati kaut
yang berat apabila pasien masih meminum obat tersebut setelah onset
hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka kadar
aminotranferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas normal,
sedangkan kenaikan kadar fosfatase alkali dan bilirubin menonjol pada
kholestasis.
Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh
lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasusini
gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak
muliaminum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya.
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti phenytoin
yang berhubungan dengan Demam, Limfadenopati, Rash, dan jejeas
hepatosit yang berat. Pemuliham reaksi imunoalergik umumnya lambat
sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan.
Berdasarkan International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat berdasarkan :9
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi
nyata adalaah “sugestif” ( 5-90 hari dari awal minum obat) atau
“compatible” (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai
minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk
reaksi hepatoselular dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat
untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah “ sangat sugestif”
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar diatas batas atas
normal dalam 8 hari) atau “sugestif” (penurunan kadar enzim hati
paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi “hepatoselular” dan 180
23
hari untuk reaksi “kholestatik”) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebeb lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan
teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama
(paling tidak kenaikan 2 kali lipat enzim hati)
Dikatakan drug-related jika semua 3 kriteria pertama terpenuhi atau jika 2 dari
3 kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
Selain menggunakan data klinis dan laboratorium, pola histologi hati dapat
diklasifikasikan ke dalam kategori seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Hepatoseluler cedera akut: Manifestasi dari luka hati akut dapat berkisar dari nekrosis
jerawatan ke kegagalan hati fulminan. Nekrosis jerawatan menyerupai hepatitis virus
klasik dan melibatkan semua zona asinar. Cedera hepatoseluler terdiri dari degenerasi
balon atau apoptosis dengan eosinofil, terutama dalam kasus-kasus eosinofilia perifer.
Obat yang dapat menyebabkan jenis cedera yang INH, halotan, fenilbutazon, indometasin,
dan disulfiram. Nekrosis Submassive, seperti namanya, dapat mempengaruhi zona 1
(periportal) atau zona 3 (pusat nekrosis).
Periportal perubahan terjadi dengan keracunan besi sulfat, keracunan fosfor, dan toksisitas
kokain. Nekrosis sentral terjadi dengan asetaminofen, halotan, methoxyflurane,
trovafloxacin, ketoconazole, dihydralazine, tacrine, dan keracunan jamur. Nekrosis masif
merupakan perpanjangan dari nekrosis submassive dan bermanifestasi sebagai gagal
fulminan.
Epidemiologi9
Hepatotoksisitas yang diinduksi obat merupakan penyebab yang sering dari cedera hati
akut keparahan yang luar biasa, yang terdiri lebih dari 50% dari semua kasus gagal hati
akut di Amerika Serikat. Hepatotoksisitas telah dijelaskan untuk sejumlah besar obat,
meskipun jumlah kasus rendah mengingat jumlah resep yang ditulis.
Agen yang berbeda menyebabkan kerusakan hati dengan cara yang berbeda pada tingkat
24
yang berbeda. Kebanyakan reaksi diarahkan terhadap hepatosit tapi cedera empedu, serta
cedera hepatosit / empedu dikombinasikan atau kerusakan organel spesifik, menghasilkan
pola penyakit yang berbeda diamati. Sementara beberapa agen seperti luka hati
menyebabkan isoniazid sebanyak 1 dalam 100 orang dan kematian pada 1 : 10.000,
lainnya akan menghasilkan agen kerusakan hati pada hanya 1 dari 50.000 atau mungkin
tidak pernah menyebabkan kerusakan hati.
Hepatotoksisitas yang diinduksi obat merupakan penyebab yang sering dari cedera hati
akut keparahan yang luar biasa, yang terdiri lebih dari 50% dari semua kasus gagal hati
akut di Amerika Serikat. Hepatotoksisitas telah dijelaskan untuk sejumlah besar obat,
meskipun jumlah kasus rendah mengingat jumlah resep yang ditulis.
Agen yang berbeda menyebabkan kerusakan hati dengan cara yang berbeda pada tingkat
yang berbeda. Kebanyakan reaksi diarahkan terhadap hepatosit tapi cedera empedu, serta
cedera hepatosit / empedu dikombinasikan atau kerusakan organel spesifik, menghasilkan
pola penyakit yang berbeda diamati. Sementara beberapa agen seperti luka hati
menyebabkan isoniazid sebanyak 1 dalam 100 orang dan kematian pada 1 : 10.000,
lainnya akan menghasilkan agen kerusakan hati pada hanya 1 dari 50.000 atau mungkin
tidak pernah menyebabkan kerusakan hati.
Etiopatogenesis
1. Etiologi
Hepatotoksisitas obat :
1. Paracetamol1
Obat ini sebagai analgetik dan antipiretik banyak dipergunakan oleh para
dokter dan masyarakat sendiri. Akhir-akhir ini obat paracetamol banyak
dipergunakan untuk uasah bunuh diri di negara Barat. Bila ditelan sebanyak
10 g parasetamol (20 tablet) bisa menyebabkan nekrosis hati.
2. Obat anti tuberculosis
Obat anti tuberculosis terdiri dari rifampisisn, isoniazid, pirazinamid, dan
ethambutol/streptomycin, dan 3 obat yang disebut pertama bersifat
hepatotoksik.10
25
Sekitar 10% pasien TBC yang mendapat (H) mengalami kenaikan
aminotransferase dalam minggu pertama terapi menunjukkan respon adaptif
terhadap metabolit toksik obat. (H) dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi
penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam
beberapa minggu. Hanya ± 1% berkembang menjadi hepatitis virus; 50%
kasus terjadi pada bulan pertama dan sisanya muncul dalam beberapa bulan
kemudian.
- Isoniazid (INH)
Dalam sekitar 10 persen orang dewasa diobati dengan isoniazid agen
antituberkulosis, peningkatan kadar aminotransferase serum
berkembang selama beberapa minggu pertama terapi, ini muncul untuk
mewakili respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Apakah atau
tidak isoniazid dilanjutkan, nilai-nilai (biasanya di bawah 200 unit)
kembali normal dalam beberapa minggu. 10
Pada sekitar 1 persen pasien yang diobati, penyakit berkembang yang
tidak dapat dibedakan dari hepatiti virus; sekitar setengah dari kasus-
kasus ini terjadi dalam 2 bulan pertama pengobatan, sedangkan di
sisanya, penyakit klinis mungkin tertunda selama berbulan-bulan.
Biopsi hati menunjukkan perubahan morfologi yang sama dengan virus
hepatitis atau bridging nekrosis hati. 10
Penyakit ini bisa berat, dengan tingkat kematian kasus 10 persen. Luka
hati yang penting tampaknya berkaitan dengan usia, meningkatkan
secara substansial dalam frekuensi setelah usia 35; frekuensi tertinggi
pada pasien di atas usia 50, yang terendah di bawah usia 20. Demam,
ruam, eosinofilia, dan manifestasi alergi lainnya jelas obat biasa.
Sebuah metabolit reaktif acetylhydrazine, suatu metabolit od isoniazid,
mungkin bertanggung jawab untuk cedera hati. Sebuah gambar yang
menyerupai hepatitis aktif kronis telah diamati pada beberapa pasien. 10
Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi antara 4-8 minggu setelah
pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid pada pasien dengan riwayat
26
penyakit hati harus dilakukan dengan hati-hati.11
- Rifampicin11
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis
biasa kurang dari 4 % pasien tuberculosis mengalami efek toksis. Yang
paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Pada
pemberian selang dengan dosis lebih besar sering terjadi flu like
syndrome, nefritis interstisial, nekrosis tubular akut, dan
trombositopenia.
Yang menjadi masalah adalah ikterus. Hepatitis sendiri jarang
ditemukan dengan fungsi hepar yang normal. Pada pasien dengan
penyakit hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut membuat insisend
ikterus bertambah. Pemberian rifampisin intermitten dihubungkan
dengan timbulnya sindrom hepatorenal.
Rifampisisn sering diberikan bersama sebagai terapi kombinas, dan
rifampicin sendiri tampaknya meningkatkan hepatotoksisitas dari INH
terutama pada asetilator lambat.
- Pirazinamid
Efek samping paling umum dan serius adalah kelainan hati. Bila
pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala penyakit hati
yang muncul pada kira-kira 15% , dengan ikterus pada 2-3% pasien dan
kematian akibat nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama
adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Oleh karena itu hendaknya
dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum pengobatan dengan
pirazinamid dimulai, dan pemantauan terhadap transaminase serum
dilakukan secara berkala selama pengobatan berlangsung.
Jika jelas timbul kerusakan hati terapi dengan pirazinamid harus
dihentikan. Pirazinamid tidak boleh diberikan kepada pasien
dengan kelainan fungsi hati. Obat ini menghambat ekskresi asam urat
27
dan dapat menyebabkan kambuhnya pirai. Efek samping lain ialah
artralfia, anoreksia, mual, dan muntah, juga disuria, malaisa, dan
demam.
- Etionamid
Efek samping yang paling sering terjadi adalah anoreksia, mual,
muntah. Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang menggunakan
obat ini. Gejala hepatotoksis hilang bila pengobatan dihentikan.
3. Obat anti inflamasi non steroid12
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang
sering diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran.
Hepatotoksisitas karena OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat
diminum, tetapi efek samping berat sangat sering terjadi dalam 6-12
minggu dari awal pengobatan.
Ada 2 pola klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah
hepatitis akut dengan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi
dan kadang-kadang dijumpai eosinifilia. Pola yang lain adalah dengan
gambaran serologic dan histologik dari hepatitis kronik aktif.
4. Obat psikotropik1
Golongan obat ini banyak dipakai oleh para dokter dan yang penting
bersifat hepatotoksisitas adalah golongan fenotiazin terutama
klorpromazin. Inhibitor monoksidase pada saat terakhir ini sudah jarang
dipakai dan obat ini bisa menyebabkan kerusakan hati fatal. Golongan
trisiklik dan ansiolitik (bendzodiazepin) jarang menyebabkan kerusakan
hati. Pada pemberian klorpromazin bisa menyebabkan ikterus kolestatik dan
biasanya terjadi selama pemakaian obat satu bulan. Dalam hal ini
pengobatan harus dihentikan.
5. Obat kemoterapi12
Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas obat bersifat idiosinkratik, melalui
28
mekanisme imunologik atau variasi pada respons metabolic hospes.
Azatriopin peningkatan bilirubin serum dan fosfatase alkali dengan
peningkatan sedang kadar aminotransferase dan secara histologik berupa
kholestasis dengan nekrosis parenkim hati yang bervariasi, Siklosfosfamid
hanya menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati, 6-Mercaptopurine
bersifat hepatotoksik berupa hepatoselular atau kholestatik, Metotreksat
dapat menimbulkan fibrosis dan sirosis hati, MTX juga dapat meningkatkan
aminotransferase dan lactate dehy-drogenase (LDH). Pemakaian MTX
dosis rendah jangka panjang juga dapat menyebabkan fibrosis/ sirosis,
sedang dosis tinggi menyebabkan perubahan tes fungsi hati.
6. Obat kardiovaskuler1
Metildopa dipakai untuk pengobatan hipertensi. Isiden hepatotoksisitas
oleh obat ini dilaporkan sebanyak 1,2-35%, dan biasanya terjadi setelah
pengobatan selama 3 bulan. Reaksi yang terjadi adalah hepatitis akut. Saat
terakhir ini metildopa jarang dipakai.
Quinidin dipakai untuk aritmia jantung. Bisa menyebabkan
hipersensitivitas, terjadi, ruam kulit, edema angioneurotik, muntah, purpura,
dan anemia hemolitik. Reaksi hati jarang terjadi, disangka sebanyak 6,5%
penderita yang memakai obat ini. Disini terjadi nekrosis hati dengan ikterus
dan hepatomegali dan kenaikan alkali fosfatase serta transaminase.
Hidralazin bisa menyebabkan hepatotoksisitas walalupun jarang.
Hidralazin ini secara kimiawi mempunyai hubungan dengan isoniazid,
sehingga reaksi yang terjadi merupakan hepatitis isoniazid.
7. Obat penyakit endokrinologi1
Untuk pengobatan diabetes mellitus telah lama dikenal obat klorpropamid
yang merupakan obat hipoglisemik oral. Isiden hepatotoksisitas hanya kecil
yaitu 0.5% berupa hepatitis kolestatik yang biasanya terjadi setelah
pemkaian obat 2 bulan. Demam, ruam kulit, dan eosinofilia merupakan
gejala yang sering dan gejala kolestatik makin berat apabila pemakaian obat
29
tidak dihentikan.
Obat anti tiroid yang bersifat hepatotksisitas adalah metimazol, tiourasil,
dan propilitiourasil yang kadang-kadang dapat menyebabkan keadaan
hepatotoksisitas dengan gejala kolestasis. Karbimazol dan neo-merkazol
nampaknya tidak heaptotoksis.
8. Obat kontraseptif1
Biasanya obat kontraseptif oral merupakan gabungan dari etiniloestradiol
dan progestogen atau progrestogen saja. Obat ini dipakai oleh berjuta-juta
wanita sebagai kontraseptif dan jarang terjadi dampak samping yang tidak
baik. Salah satu dampak samping adalah gangguan system hepatobillier.
Gejala yang bisa terjadi adalah pruritus dan ikterus yang timbul setelah
pemakaina obat 3 bulan atau lebih. Akan terjadi kenaikkan bilirubin darah,
alkali fosfatase serta transaminase. AST dan ALT dapat meninggi, sampai
100U/1 atau lebih. Ikterus akan hilang bila pemakaina obat dihentikan
seketika. Bila wanita tersebut hamil dikemudian hari, ia akan mengalami
keadaan “recurrent jaundice of regnancy”.
9. Obat Antiretroviral12
Obat-obat anti retroviral yang biasa digunakan untuk penanganan penyakit
AIDS juga sering menimbulkan jejas pada hati dan diistilahkan sebagai
antiretroviral drug-related liver injury (ARLI). ARLI didefinisikan sebagai
peningkatan enzim-enzim hati dalam serum, dengan ditandai kadar ALT
yang lebih tinggi dariAST. Pada pasien yang sebelum terapi kadar ALT dan
AST normal, maka penigkatan 5 kali termasuk sedang dan peningkatan 10
kali termasuk berat. Bila pasien sebelum terapi ditemukan kadar ALT dan
AST abnormal, peningkatan 3,5 kali termasuk sedang dan peningkatan 5
kali termasuk berat.
2. Patogenesis (Mekanisme perjalanan penyakit)
30
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam
empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan
transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran
plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu
kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler
melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-
reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga
menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.13
Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk
berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang
respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-
obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi
dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam
empedu dapat merusak epitel saluran empedu.
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang
terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang dipengaruhi
melalui 6 cara (Gambar 6).13
a. Kerusakan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat
menyebabkan penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan
perakitan benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya
membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport : obat yang mempengaruhi protein transport di
membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses
pembentukan vili dan gangguan pompa transport misal multidrug resistance–
associated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan
kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik : ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap
imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun
multifaset.
31
d. Apoptosis hepatosit : aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-?
menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian
sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria : beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan
efek ganda pada ?-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara
menghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide
adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai
respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris : metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat
menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris.
Gambar 6. Mekanisme hepatotoksisitas13
Pembagian reaksi obat menjadi setidaknya 2 kelompok utama, (1) obat yang secara
langsung mempengaruhi hati dan (2) obat yang memediasi respon imun.9
Reaksi obat intrinsik atau ditebak: Obat yang masuk dalam kategori ini
menyebabkan cedera direproduksi pada hewan, dan cedera adalah dosis terkait.
Cedera dapat disebabkan oleh obat itu sendiri atau ke metabolit. Asetaminofen
adalah contoh klasik dari hepatotoxin intrinsik atau diprediksi dikenal pada
dosis supertherapeutic. Contoh lain yang klasik adalah karbon tetraklorida.9
32
Reaksi Idiosyncratic: reaksi idiosyncratic dapat dibagi menjadi sebagai
hipersensitivitas atau immunoallergic dan orang-orang yang metabolisme-
aneh.9
1. Hipersensitivitas: Fenitoin adalah klasik, jika tidak umum,
menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Respon ini ditandai dengan
demam, ruam, dan eosinofilia dan merupakan respon imun yang
berhubungan dengan periode laten yang khas singkat 1-4 minggu.
2. Metabolik Idiosyncratic: Jenis reaksi terjadi melalui metabolit tidak
langsung dari obat menyinggung. Tidak seperti hepatotoxins intrinsik,
tingkat respon adalah variabel dan dapat terjadi dalam waktu seminggu
atau sampai satu tahun kemudian. Ini terjadi pada sebagian kecil pasien
yang mengonsumsi obat, dan tidak ada manifestasi klinis
hipersensitivitas dicatat. INH toksisitas dianggap jatuh ke dalam kelas
ini. Tidak semua obat jatuh rapi ke dalam salah satu kategori ini, dan
mekanisme tumpang tindih dapat terjadi dengan beberapa obat
(misalnya, halotan).
33
Tabel 1. Reaksi obat dan sel yang dipengaruhinya.14
Faktor Risiko
a. Ras : beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras
kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme dikontrol
oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu
b. Umur : reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat
pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran
darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi,
kurangnya asupan makanan, infeksi, dan sering mondok di rumah sakit menjadi alasan
penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat.
c. Jenis Kelamin : walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih
banyak pada wanita.
d. Konsumsi alkohol : peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena
alkohol menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang
menyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas obat12
e. Penyakit hepar : pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya
memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi
dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim
spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B
atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien
dengan sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat
f. Faktor genetik : gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada
enzim P-450 menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi
idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan
amplifikasi PCR dari gen mutasi.
34
g. Penyakit lain : seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap
reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation
h. Formulasi obat : obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar
dibandingkan dengan obat-obatan short-acting
i. Host factors yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat, mungkin
menginduksi penyakit hati15
Wanita - Halothane, nitrofurantoin, sulindac
Pria - Amoksisilin-klavulanat acid (Augmentin)
Usia Tua - Asetaminofen, halotan, INH, amoksisilin klavulanat-asam
Usia Muda - Salisilat, asam valproik
Puasa atau malnutrisi – Asetaminofen
Tubuh besar indeks massa / obesitas – Halothane
Diabetes mellitus - Metotreksat, niasin
Gagal ginjal - Tetrasiklin, allopurinol
AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
Sudah ada penyakit hati - Niasin, tetrasiklin, metotreksat
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan spesifik diindikasikan untuk obat-induced penyakit hati. Pengobatan
sebagian besar mendukung dan berdasarkan simtomatologi. Langkah pertama adalah
menghentikan obat yang dicurigai. Terapi spesifik terhadap obat-diinduksi luka hati
terbatas untuk penggunaan N-acetylcysteine dalam fase awal toksisitas asetaminofen. L-
karnitin berpotensi berharga dalam kasus toksisitas valproate. Secara umum,
kortikosteroid tidak memiliki peran dalam pengobatan definitif. Mereka mungkin
menekan fitur sistemik yang berhubungan dengan hipersensitivitas atau reaksi alergi.
Pengelolaan yang berlarut-larut obat-induced kolestasis adalah serupa dengan primary
biliary cirrhosis. Cholestyramine dapat digunakan untuk pengentasan pruritus. Asam
ursodeoxycholic dapat digunakan. Terakhir, konsultasi hepatologi yang juga sangat
membantu.12
35
Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin berhubungan
dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah
pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala.
Tidak ada obat penawar khusus tersedia untuk sebagian besar agen hepatotoksik. Darurat
transplantasi hati telah meningkatkan utilitas dalam pengaturan obat-induced kerusakan
hati fulminan. Menimbang transplantasi hati awal adalah penting. Model untuk Tahap
Akhir Penyakit Hati skor dapat digunakan untuk mengevaluasi kelangsungan hidup jangka
pendek pada orang dewasa dengan stadium akhir penyakit hati. Hal ini dapat membantu
stratifikasi kandidat untuk transplantasi hati. Parameter yang digunakan adalah kreatinin
serum, bilirubin total, rasio normalisasi internasional, dan penyebab sirosis. 15
Komplikasi
Untuk manifestasi parah, penyakit hati lanjut dengan sirosis dapat menghasilkan gejala
dan tanda-tanda yang berkaitan dengan sirosis; gejala ini meliputi:
Akumulasi cairan di kaki (edema) dan abdomen (asites)
Mental kebingungan atau koma,
Gagal ginjal,
Kerentanan terhadap infeksi bakteri, dan
Pencernaan perdarahan.
Pencegahan
Pencegahan yang terbaik adalah menghindari sedikit mungkin pemakaian obat tersebut.
Akan tetapi apabila pasien diharuskan menjalani pengobatan dengan obat-obat yang
hepatotoksik, pastikan memeriksa fungsi hati, kontrol serum aminotransferase, bilirubin
secara berkala. Selain itu yang penting juga adalah pemberian informasi yang jelas kepada
pasien agar menggunakan obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Selain dosis, factor risiko lain yang dapat memperberat pasien juga harus diperhatikan
seperti gaya hidup meminum alcohol, merokok dan sebagainya.
36
Prognosis
Prognosis sangat bervariasi tergantung pada presentasi pasien dan tahap kerusakan hati.
Dalam sebuah penelitian prospektif yang dilakukan di Amerika Serikat dari 1998-2001,
tingkat kelangsungan hidup keseluruhan dari pasien (termasuk mereka yang menerima
transplantasi hati) adalah 72%. Hasil dari gagal hati akut ditentukan oleh etiologi, derajat
ensefalopati hepatik ini, setelah masuk, dan komplikasi seperti infeksi.12
Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas
lebih dari 80%.13
Bab III
Kesimpulan
Kerusakan hati terdiri dari beberapa jenis seperti radang, perlemakan, pengerasan, dan
tumor. Salah satu kelainan tersebut yaitu radang dapat disebabkan oleh obat yang
digunakan baik karena suatu sebab maupun sengaja (usaha bunuh diri). Obat-obat yang
secara umum sudah terkenal adalah acetaminofen, obat antituberkulosis, bahkan obat
kontraseptif.
Mekanisme dari kerusakan hai yang ditimbulkan bisa terjadi karena dosis maupun
idiosyncratic (tidak diketahui). Akan tetapi dengan banyak factor risiko yang terlibat
kejadian dan manifestasi patologi dapat terjadi. Untuk terapi dari hepatitis jenis ini tidak
ada yang spesifik, jalan terbaik adalah menghentikan penggunan obat yang menimbulkan
manifestasi klinik tersebut.
Daftar Pustaka
1. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology. In: Disorders of hepatobilliary and exocrine
pancreas function. 8th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health – Lippincott
Williams & Wilkins; 2009.p.957-67.
37
2. Bickle LS. Bate’s guide to physical examination & history making. In: Pemeriksaan
fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2009.p.344-47.
3. Plain film hepatomegaly. Diunduh dari http://radiopaedia.org/images/25420, 16 Juni
2011.
4. Ultrasound liver. Diunduh dari http://www.canliv.org/making-the-diagnosis, 16 Juni
2011.
5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. In: Penyakit hati. Edisi 6.
Jakarta: Erlangga; 2009.p.243-45.
6. Liver. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/170539-overview, 17 juni
2011.
7. Kolesistitis. Diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/607/Kolesistitis_Akut.html,
17 Juni 2011.
8. Underwood JCE, editor. General and systematic pathology. In: Liver, biliary system,
and axocrine pancreas. 4th edition. USA: Churchill Livingston – Elsevier; 2005.p.408-
14.
9. Yamada T, Alpers DH, Kalloo AN, Kaplowitz N, Omyang C, Powell DW. Textbook of
gastroenterology. In: Drug-induced liver disease. 5th edition. UK: Blackwell
Publishing; 2009.p.2167-179.
10. Braunwald E, Isselbacher KJ, Petersdorf RG, Wilson JD, Martin JB, Fauci A, editors.
Harrison’s principles of internal medicine. In: Acute hepatitis. 11th edition. USA: Mc-
Graw Hill Company; 1987.p.1325-337.
11. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan terapi. In:
Tuberkulostatik. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.613-25.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penuakit dalam. In: Hepatotoksisitas imbas obat. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2010.p.708-13.
13. Drug-induced hepatitis. Diunduh dari http://doctorology.net/?p=31, 17 Juni 2011.
14. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins’s basic pathology. In: Alcohol
and drug-induced disase. 8th edition. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007.p.648-54.
15. Drug-induced hepatitis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/169814-
overview, 17 Juni 2011.
38