104
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN MODUL 1 PENGERTIAN FILSAFAT MANUSIA Tujuan Instruksional Umum Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis pengertian filsafat manusia. Tujuan Instruksional Khusus Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis filsafat manusia yang meliputi sebagai berikut: Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia Ciri-ciri filsafat manusia Kedudukan manusia dalam humanisme (filsafat humanistik) Materi Pembahasan Pengertian Manusia Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatar belakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi transendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999) Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosuf. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyataan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus 1

Modul filsafat manusia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 1PENGERTIAN FILSAFAT MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis pengertian filsafat manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis filsafat manusia yang

meliputi sebagai berikut:

Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia

Ciri-ciri filsafat manusia

Kedudukan manusia dalam humanisme (filsafat humanistik)

Materi Pembahasan

Pengertian Manusia

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang

berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena

manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.

Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam

kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan hakekat

manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dalam

memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatar

belakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.

Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang

sesudahnya dengan melengkapi sisi transendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan

pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat

Islam, 1999)

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang

mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosuf. Sedangkan

yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyataan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan

bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia

adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.

Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia

memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus

menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif

memiliki akal budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut

dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia

juga disebut sebagai homo ludens (makhluk yang senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri khasnya dalam

suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan dalam sejarahnya

juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai

ritual suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)

Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung

menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan

kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya dan keturunannya,

sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya

dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut

ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang

inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan

1

Page 2: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

universal, bebas dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai

beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah

satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan

manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal. (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx,

1999).

Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia

dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian

menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan

mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna

keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno

seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap

tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam sekeliling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak

berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Manusia menurut Paulo Freire merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki hubungan dengan dunia.

Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak

tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya

untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan transendensi) yang

menjadikan makhluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan

kesadaran manusia bersifat historis. Manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan

disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. Manusia

menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan

Pemikirannya, 2002).

Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi

makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat

manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan

bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang

mengitari matahari.

Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-

operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan transendensi) yang menjadikan makhluk berelasi dikarenakan

kapasitasnya untuk menyampaikan hubungan dengan dunia.

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya. Manusia secara individu tidak

pernah menciptakan dirinya, akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentuk jalan hidup setelah kelahirannya

dan eksistensinya dalam kehidipan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil

atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa asy’ari,

Filsafat Islam,. 1999).

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan

monoteisme, yang mencari unsur pokok yang menentukan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan

materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang

menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan yaitu materi dan rohani, nyakni

pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya

mencerminkan unsur yang ada dalam macro kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada

kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang

membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak

dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan

dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya

dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Hakekat Manusia

2

Page 3: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme,

martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian

manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memaksa ketika berhadapan dengan

kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah

bersifat bebas unifed dan immortal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat

tersebut adalah membantah tesis yang dikemukakan oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak

ditemukan dalam pengalaman konkrit namun secara logis harus dapat dijadikan postulat bagi kepentingan moral. Hal ini

dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan

kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan

rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego

absolut. Tetapi bagi Iqbal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia

bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih

berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan

panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal

tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh melalui penalaran dubium

methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas

keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego

pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergerak

pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak

ditetapkan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal

Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)

Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur

membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang berada dalam

perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual

manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal,

karya dan perbuatannya, sedangkan pada tauhid hakekat manusia dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan

kesatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari,

Filsafat Islam, 1999)

Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya.

Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat

tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan

didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunia dan hubungannya dengan dunia

manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasitasnya dapat mengetahui,

mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran

atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi

dunia yang terpusat oleh refleksi kritis serta kemampuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini

manusia sebagai suatu proses dan ia adalah makhluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki

kemampuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih,

Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)

Manusia dalam konsep Al-Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian Adam

mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah

dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah Adam dapat diredusir menjadi rumus;

Keberadaan Manusia

Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir yang ada pada dirinya. Manusia

menghasilkan pertanyaan tentang segala sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh manusia.

Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat manusia lahir dan mempertanyakan,“Siapakah Kamu

Manusia?” Manusia bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya. Keberadaan dirinya

diantara yang lain yang membuat menusia perlu mendefinisikan keberadaan dirinya. Apabila pernyataan bahwa manusia

3

Page 4: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri

manusia. Hakikat diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar dirinya. Sesuatu yang baik dan

buruk pada manusia menunjukkan dirinya ada dinilai diantara keberadaan yang lain. Watak manusia merupakan suatu

kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkaian bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada

manusia. Manusia berada dengan yang lain menciptakan kebudayaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada

tanpa bahasa. Bahasa melakukan nilai tentang keberdaan manusia berupa wujud yang dapat diterjemahkan melalui kata-

kata. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup karena terdapat penilaian

dari yang lain sebagai pembanding. Pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada

setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama malakukan penilaian diantara individu manusia.

Menurut Adelbert Snijders, filsafat manusia adalah suatu refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan dengan

rasional, kritis serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang paling asasi. Sedangkan

tujuan filsafat manusia adalah untuk memahami diri manusia dari segi yang paling dasar. Dengan demikian, Adelbert

Snijders, mengajak kepada manusia untuk mengetahui apa dan siapa sebenarnya manusi. Manusia adalah makhluk unik

yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini dikarenakan, manusia selain dibekali dengan nafsu juga dibekali dengan

akal pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Watak Sifat Manusia

Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan atau corak-corak yang khas, atau

rangkaian bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara

fundamental dari semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa.

Semua kebudayaan diatur untuk dapat menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan yang

di ajukan oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan

vital mereka.

Filsafat Manusia

Fisafat manusia atau antropologi filsafat adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik

menyoroti hakikat atau esensi manusia. Secara ontologisme filsafat manusia sangat penting karena mempersoalkan

secara spesifik persoalan asasi mengenai esensi manusia.

Filsafat manusia sebagaimana juga ilmu-ilmu tentang manusia mengkaji secara material gejala-gejala manusia,

yaitu menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekpresi manusia. Ini berarti bahwa gejala

atau ekspresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.

Setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala-gejala empiris, yang

bersifat objektif dan bisa diukur dan gejala itu kemudian diselidiki dengan menggunakan metode yang bersifat

observasional dan atau eksperimental. Sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau

jenis gejala apapun tentang manusia sejauh bisa dipikirkan dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa

menjadi bahan kajian filsafat manusia.

Aspek-aspek, dimensi-dimensi atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spritual dan universal dari manusia yang

tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat

manusia. Aspek itu suatu hal yang hendak dipikirkan, dipahami dan diungkap maknanya oleh filsafat manusia.

Filsafat manusia tidak mungkin hanya menggunakan metode yang bersifat obsrervasional dan eksperimental

karena luas cakupannya. Observasi dan eksperimentasi hanya mungkin dilakukan, kalau gejalanya bisa diamati (empiris),

bisa diukur (misalnya dengan menggunakan metode statistik) dan bisa dimanupulasi (misalnya di dalam eksperimen-

eksperimen di laboratorium). Sedangkan aspek dan dimensi metafisis, spritual dan universal hanya bisa diselidiki dengan

menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi.

Sintesis dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh

lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di

dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau

teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.

4

Page 5: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Filsafat Manusia secara umum bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-gejala atau

ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies). Adapun secara

spesifik bermaksud memahami hakikat atau esensi manusia. Jadi, mempelajari filsafat manusia sejatinya adalah upaya

untuk mencari dan menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu.

Filsafat manusia suatu cara atau metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakekat dari berbagai

kenyataan yang tampil dimuka kita. Filsafat mencoba menerangi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apa arti hidup

dan kegiatan, kebebasan dan cita? Apakah yang dikatakan kalau bicara tentang dunia, alam semesta, manusia dan

Allah? Filsafat manusia adalah bagian filsafat yang mengupas apa arti manusia sendiri. Filsafat manusia disebut juga

antropologi filosofis yang mempelajari manusia sepenuhnya, roh serta badannya, jiwa serta dagingnya. Apakah alasan

mempelajari filsafat manusia.

manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menyelidiki arti yang dalam dari ”yang

ada” . ”kenalilah dirimu sendiri”. Ia mengerti dirinya secara mendalam sebelum mengatur sikapnya dalam hidup ini. Ia

harus memiliki pandangan yang cukup tentang apa hakikat kodrat manusia itu. Apa sebenarnya manusia itu, apa yang

menjadi khas dari sifat manusiawi, apa yang menjadikan manusia itu berkedudukan di atas makhluk-makhluk lain dan apa

yang merupakan martabatnya.

Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu lain

Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, miring dengan ilmu tentang alam, berusaha menemukan hukum-

hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara inderawi atau dapat dijadikan objek introspeksi.

Filsafat mengarah kepada penyelidikan terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia.

Kesenian, kesusasteraan dan sinema mempergunakan bahasa yang lebih konkret daripada ilmu-ilmu

pengetahuan dan filsafat. Sejarah mengisahkan kepada kita bagaimana orang-orang zaman dahulu hidup. Teologi

mengajarkan kita banyak tentang manusia, sejarahnya, tujuannya karena ia bertugas untuk meneruskan dan memperjelas

apa yang Tuhan sabdakan tentang Diri-Nya sendiri dan tentang asal dan tujuan akhir manusia.

Obyek kajiannya tidak terbatas pada gejala empiris yang bersifat observasional dan atau eksperimental, tetapi

menerobos lebih jauh hingga kepada gejala apapun tentang manusia selama bisa atau memungkinkan untuk dipikirkan

secara rasional.

Metodenya: (1) Sintesis, yakni mensintesakan pengetahuan dan pengalaman kedalam satu visi yang

menyeluruh tentang manusia; (2) Refleksi, yakni mempertanyakan esensi sesuatu hal yang tengah direnungkan sekaligus

menjadikannya landasan bagi proses untuk memahami diri sendiri (self understanding).

Cirinya: (1) Ekstensif, yakni mencakup segala aspek dan ekspresi manusia, lepas dari kontekstualitas ruang

dan waktu. Jadi merupakan gambaran menyeluruh (universal) tidak fragmentaris tentang realitas manusia; (2) Intensif,

yakni bersifat mendasar dengan mencari inti, esensi atau akar yang melandasi suatu kenyataan; dan (3) Kritis, atau tidak

puas pada pengetahuan yang sempit, dangkal dan simplistis tentang manusia. Orientasi telaahnya tidak berhenti pada

“kenyataan sebagaimana adanya” (das Sein) tetapi juga berpretensi untuk mempertimbangkan “kenyataan yang

seharusnya atau yang ideal (das Sollen).

Manfaatnya, secara: (1) Praktis, mengetahui tentang apa atau siapa manusia dalam keutuhannya, serta

mengetahui tentang apa dan siapa diri kita ini dalam pemahaman tentang manusia tersebut; dan (2) secara Teoritis, untuk

meninjau secara kritis beragam asumsi-asumsi yang berada di balik teori-teori dalam ilmu-ilmu tentang manusia.

Jadi, objek formal filsafat itu adalah inti manusia, strukturnya yang fundamental. Ia hanya diketahui melalui

usaha daya pikir saja. Manusia yang dimaksud adalah struktur metafisiknya, yaitu semua yang terbentuk dari badan dan

jiwa.

Diharapkan dengan mempelajari filsafat manusia, seseorang akan menyadari dan memahami tentang

kompleksitas manusia yang takkan pernah ada habisnya untuk senantiasa dipertanyakan tentang makna dan hakikatnya.

Sejauh “misteri” dan “ambiguitas” manusia ini disadari dan dipahami, seseorang akan menghindari sikap sempit dan tinggi

hati.

5

Page 6: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah arti Manusia secara filsafat

2. Apakah arti filsafat manusia yang batasan kajiannya?

3. Apakah perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia?

4. Jelaskanlah tentang hakekat manusia ?

5. Apakah watak dan keberadaan manusia ?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Franz Magnis Suseno. 2009. Menjadi Manusia. Jokyakarta. Kanisius.

3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.

6

Page 7: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 2METODE DAN KEDUDUKAN

FILSAFAT MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis metode dan kedudukan filsafat manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis metode dan kedudukan

filsafat manusia yang meliputi sebagai berikut:

Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia

Ciri-ciri filsafat manusia

Mengenal manusia melalui filsafat

Materi Pembahasan

Filsafat Manusia dan Ilmu Tentang Manusia

Perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu tentang manusia tidak mampu

menjawab pertanyaan–pertanyaan mendasar tentang manusia, seperti: Apakah esensi atau hakikat manusia itu bersifat

material atau spiritual? Siapakah sesungguhnya manusia itu dan bagaimana kedudukannya di dalam alam semesta raya

yang maha luas ini? Apakah arti, nilai atau makna hidup manusia itu? Apakah ada kebenaran pada manusia? Kalau ada,

sampai sejauh mana pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh manusia itu? Apakah sebenarnya yang menjadi tujuan

asasi dari hidup manusia itu? Apakah yang sebenarmya dilakukan manusia di dalam dunia yang serba tidak menentu ini?

Bagaimana sebaiknya manusia bersikap dan berperilaku, sehingga bukan saja tidak merugikan diri sendiri tetapi juga

tidak merugikan orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan masih banyak lagi pertanyaan mendasar lainnya.

Metode Filsafat

Filsafat bersifat interogatif. Ia mengajukan persoalan-persoalan dan mempertanyakan apa yang tampak sebagai

sudah jelas. Ilmu pengetahuan mengemukakan pertanyaan. Filosuf memberikan pertanyaan ke jantung hal-hal atau

sampai ke akar persoalan. Metodenya bersifat diagonal atau menurut ungkapan dialektik. Plato melalui diskusi antara

guru dan murid kemudian dikemukaan persoalan yang setapak demi setapak demi mencapai pemecahan. Dialektik

merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan, dan penilaian kritik dari semua opini yang didapatkan dari sesuatu masalah

yang telah dikemukaan. Aristoteles selalu memulai dulu dengan mengemukaan apa yang telah dia katakan tentang

masalah oleh para pendahulunya. Pada Hegel, dialektik menjadi cara yang mulai dengan memperlawankan dua ide yang

saling bertentangan lalu mendamaikan mereka dengan unsur ketiga yang mengandung kedua ide itu dan merupakan

sintesis daripadanya. Metode filosuf pada aliran Descartes disebut aliran filsafat bersifat refleksif. Sang filosuf hendaknya

penuh perhatian terhadap gejala-gejala terutama dalam arti luas. Mulai dari Husserl di Jerman, metode filsafat

diklasifikasikan fenomologis. Filsafat ingin menjelaskan gejala-gejala secara objektif mungkin menurut bagaimana gejala

itu menampilkan diri terhadap kesadaran.

Keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk

melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek dan bagian tertentu manusia yang bisa disentuh oleh

ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia

sebagai suatu organisme dan tidak bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman subjektif, spritual dan eksistensional.

Antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan tidak bersentuhan

dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan dalam suatu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi-

spesialisasi dalam menelaah sub-sub aspek gejala manusia.

7

Page 8: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Banyak aspek positif yang bisa dipetik dari hasil penelitian ilmu tentang manusia, baik secara praktis maupuan

secara teoritis. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, Filsafat manusia yang menggunakan metode sintesis dan

reflektif itu mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia yang

mensistensiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam satu visi. Penggunaan metode refleksi dalam filsafat manusia

tampak dari pemikiran filsafat dasar yang menunjukan dua hal, yaitu :

1. pertanyaan tentang esensi suatu hal, misalnya apakah esensi keindahan itu, apakah esensi kebenaran itu, apakah

esensi manusia itu dst.

2. pada proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang

sedang direnungkannya.

Dengan demikian ada kemungkinan dalam filsafat manusia terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman

subjektif dari beberapa filosuf tertentu pada setiap apa yang dipikirkannya dan bersikap objektif. Tugas seorang ilmuan

adalah mengamati, mengukur (dengan statistik), menjelaskan dan memprediksikan dalam bentuk bahasa ilmiah,

ditambah dengan angka-angka, tabel-tabel atau grafik-grafik. Kemungkinan untuk terlibat atau tidak netral, relatif sangat

kecil karena nilai-nilai yang sifatnya subjektif dan manusiawi tidak dapat dirumuskan secara statistik dalam bentuk angka

atau grafik.

Ada suatu yang khusus dari filsafat manusia yang tidak dapat di dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau ilmu

adalah netral dan bebas nilai, ilmu berkenaan dengan das sain (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai dari manapun

asalnya dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan keilmuan. Nilai dipandang sebagai

suatu yang "subjektif" dan "tidak bisa diukur", sehingga keberadaannya dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

Sebaliknya, dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tapi juga das Sollen

(kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai selain dipandang subjektif tapi juga ide, mewarnai kegiatan filsafat

manusia. Nilai-nilai, apakah itu nilai personal, sosial, moral, religius ataupun kemanusiaan, bukan barang haram atau

terlarang di dalam filsafat manusia. Itulah sebabnya kita tidak perlu heran kalau Karl Marx menganjurkan kepada para

filosul bahwa tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan dunia (das sein), tetapi mengubah dunia (das sollen). Kita

tidak perlu heran kalau Nietzsche mengajak kita untuk mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh dan cepat

puas diri (berasal dari moral budak), dan menggantinya dengan kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa,

hebat dan berani (berasal dari moral Tuhan)

Menurut aliran Descartes, banyak orang beranggapan bahwa metode filsafat harus bersifat terutama reflektif,

artinya sang filsul hendaknya penuh perhatian terhadap fenomena-fenomena, khususnya kehidupan psikologis, sebab

tidak hanya mepertimbangkan fenomena-fenomena tetapi ia juga mengerti kodrat dasar-dasar yang mungkin tanpak dari

fenomena itu.

Husserl, mengklasifikasikan metode filsafat fenomenologis, yang ingin menjelaskan secara objektif

menampilkan diri terhadap kesadaran. Disamping itu metode filsafat juga dikatakan induktif, abstraktif dan eidetik. Disebut

induktif karena ia menyimpulkan dari suatu fenomena atau beberapa fenomena struktur yang dasariah. Disebut abstraktif

karena dalam suatu fenomena atau beberapa fenomena ia membedakan apa yang esensial dari apa yang tidak esensial.

Disebut eidetik sejauh hasil dari pemahaman itu adalah persis kodrat atau bentuk fenomena itu (eidos).

Ciri-ciri Filsafat Manusia

Ciri filsafat manusia adalah ekstensif, intensif dan kritis. Ciri ekstensif dapat disaksikan dari luasnya

jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian, gambaran menyeluruh atau sinopsis tentang realitas manusia. Filsafat

manusia mencakup segenap aspek dan eksistensi manusia serta lepas dari kontektualitas ruang dan waktu (universal),

maka ia tidak mungkin bisa mendeskripsikan semuanya itu secara rinci dan detail. Tidak mungkin, misalnya filsafat

manusia mengurai sampai sekecil-kecilnya perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara

kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain. Filsafat manusia hanya menggambarkan realitas

manusia secara garis besarnya saja, ia cukup puas dengan gambaran umum tentang manusia dan gambaran

menyeluruh tentang dimensi-dimensi tertentu dari manusia. Dalam filsafat manusia terdapat dua aliran, yaitu aliran

materialisme dan spiritualisme.

8

Page 9: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Materialisme adalah secara tegas menyatakan bahwa manusia pada asasnya adalah materi sehingga kita

dapat menjelaskan setiap gejala dan pengalaman manusia berdasarkan hukum-hukum alam, mekanika, kimia, biologi

dan lain-lain sebaiknya, filsafat spiritualisme mengajarkan bahwa hakikat manusia berdasarkan jiwa dan roh dan tidak

bisa diukur dengan mengacu kepada hukum alam, hanya melalui interpretasi-interpretasi yang murni kualitatif dan

introspektif untuk memahami gejala dan esensi manusia secara benar.

Dalam perkembangan filsafat manusia mengalami perubahan sehingga menerima aliran baru filsafat

eksistensialisme dan vitalisme Henry Bergson, yang juga memasukan aspek manusia sebagai makhluk sosial,

makhluk biologis dan makhluk budaya yang mendasari keberadaan alam semesta dan manusia.

Ciri kedua filsafat manusia adalah Intensif (mendasar) yaitu mencari inti, hakikat, akar, struktur dasar yang

melandasi kenyataan manusia. Sebagaimana pendapat Leenhouwers " walaupun ilmu pengetahuan mencari

pengertian dengan menerobos realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu

pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena langsung atau tidak langsung yang dialami oleh

pancaindera, ia tidak memberi jawaban perihal kausalitas yang paling dalam.

Ciri kritis dari filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakai (sintesa dan refleksi) dan dua

ciri yang terdapat dari hasil filsafat (ekstensif dan intensif). Karena itu tujuan filsafat manusia adalah untuk memahami

diri manusia sendiri (pemahaman diri), maka hal apa saja (apakah berupa ilmu pengatahuan, kebudayaan dan ideologi)

tak luput dari kritik filsafat. Filsafat manusia akan berusaha membongkar kekuatan-kekuatan yang ada di balik

kecenderungan tersebut. Ia sangat peka pada masalah-masalah yang berkenaan dengan (pemahaman diri) manusia.

Ciri khas filsafat manusia seringkali menimbulkan kesan, bahwa para filosuf yang membahas hakikat

manusia adalah "tukang kecam" yang gemar menentang ilmu pengetahuan. Ilmu, dimata filsafat merupakan

pengetahuan yang dangkal dan keliru, namun tidak sepenuhnya benar karena filsafat manusia menempatkan informasi

ilmiah sebagai titik tolak pemikirannya.

Filsafat manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif dan memiliki ekstensif,

intensif dan kritis. Kalau betul demikian, maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti kita dibawa ke dalam suatu

panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam dan kritis yang menggambarkan esensi manusia. Panorama

pengetahuan seperti itu paling tidak mempunyai manfaat ganda yakni manfaat praktis dan teoritis.

Secara praktis filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara

menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia

yang menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil

keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

Dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani, dalam menentukan arah

dan tujuan hidup kita yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan secara pasti. Sedangkan secara teoritis

filsafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada

gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik teori-teori yang terdapat di dalam

ilmu – ilmu tentang manusia.

Kedudukan Manusia dan Humanisme

Humanis akan lebih mudah dipahami kalau kita meninjaunya dari dua sisi; sisi historis dan sisi aliran filsafat.

Humanisme dari sisi historis berari suatu gerakan intelektual dan kesusasteraan yang pertama kali muncul di Italia pada

abad ke-14. Gerakan ini sebagai motor pengerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan Eropa, seperti tokohnya

Dante, Petrarca, Boccaceu dll.

Dari sisi kedua humanisme berarti paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia

sehingga manusia sentral dan penting. Manusia dipandang sebagai ukuran dari penilaian dan referensi utama dari

setiap kejadian.

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusasteraan merupakan aspek dasar gerakan

renaissance (abad ke-14-ke-16) untuk membangun manusia dari tidur panjang abad pertengahan yang dikuasai oleh

dogma-dogma gerejani. Pikiran manusia yang menyimpang dari dogma tersebut adalah pikiran sesat dan harus

dicegah dan dikendalikan. Oleh sebab itulah gerakan humanisme muncul yang bertujuan melepaskan diri dari belenggu

gereja dan membebaskan akal budi dari kukungan yang mengikat. Melalui pendidikan liberal mereka mengajarkan

9

Page 10: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa

depannya. Maka dalam batas-batas tertentu kekuatan-kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia

harus dipatahkan.

Humanisme menempatkan pendidikan liberal yang ditandai dengan kehidupan demokratis (pada abad

pertengahan dianggap kaum kafir). Kendati kebebasan menjadi tema penting humanisme tapi bukan kebebasan

absolut melainkan kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan, kebebasan yang berkarakter

manusiawi dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat. Konsep kebebasan aliran naturalisme. Kendati mereka

menentang kekuatan gereja tidak berarti mereka anti agama, semangat menjunjung nilai, martabat dan kebebasan

manusia disertai dengan kesadaran bahwa mereka tidak mungkin bisa menolak keluhuran dan kekuasaan Tuhan.

Yang terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukan dengan mengacu kepada ajaran gereja, melainkan pada

eksperimentasi dan perhitungan-perhitungan matematis. Manusia ditinjau dari aspek naturallistik (tubuh) yaitu makhluk

alamiah (fisis) yang dikuraniai pancaindera sehingga mampu mengadakan observasi empiris. Ditinjau dari aspek

rohaniah manusia mempunyai akal budi sehingga sanggup mengadakan perhitungan matematis.

Humanisme adalah aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia. Realitas,

manusia adalah hak milik manusia sehingga setiap kejadian, gejala dan penilaian apapun harus selalui dikaitkan

dengan keberadaan, kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia adalah pusat realitas sehingga segala sesuatu

yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan kepada manusia. Jika humanisme diartikan sebagai aliran filsafat,

maka marxisme, pragmatisme dan eksistensialisme dapat dikatgorikan dalam humanisme.

Sesungguhnya gejala dan kejadian manusia adalah kaya akan ketidak terbatasan. Berkembangnya ilmu-ilmu

tentang manusia yang diikuti oleh munculnya spesialisasinya menjadi bukti dari "kekayaan" manusia yang tidak terbatas.

Kritik Scheler, sangat relevan sampai sekarang. Pemahaman tentang manusia memang tidak akan pernah tuntas.

Manusia seperti yang diungkapkan oleh filosuf modern Prancis, Merleau Ponty, adalah makhluk "ambigu", yaitu makhluk

yang bermakna ganda. Setiap kali kita mengungkap satu aspek atau dimensi dari gejala manusia, setiap kali pula kita

luput melihat aspek-aspek lain dari gejala itu. Setiap kali kita berhasil menjawab sebuah pertanyaan tentang dimensi

manusia, setiap kali itu pula muncul pertanyaan-pertanyaan baru tentang dimensi lain yang juga menuntut segera kita cari

jawabannya.

Mengenal Manusia Melalui Filsafat

Filsafat ialah tertib atau metode pemikiran yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan

hakikat berbagai kenyataan yang tampil dimuka. Filsafat manusia merupakan bagian dari filsafat yang mengupas apa

artinya manusia. Filsafat manusia mempelajari manusia sepenuhnya, sukma serta jiwanya.

Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan hak istimewa

dari sampai batas tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam. Manusia dapat mengatur dirinya untuk

dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia.

Kesulitan Bagi Suatu Filsafat

Manusia Filsafat berpretensi mengatakan apa yang paling penting bagi manusia. Para filosuf mangatakan dan

menimbulkan berbagai pendapat. Bagi Platon dan Platin misalnya, manusia adalah suatu makhluk ilahi. Bagi Epicura dan

Lekritius sebaliknya manusia yang berumur pendek lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa. Descartes

mengambarkan manusia sebagai terbetuk dari campuran antara dua macam bahan yang terpisah, badan dan jiwa.

Perlunya dan Kemungkinan Filsafat Manusia, Filsafat mengajukan pertanyaan dan mengupasnya. Filsafat

bertanya pada diri sejak ribuan tahun apakah manusia itu, dan darimana datangnya manusia, tempat apakah yang

didudukinya dalam alam semesta yang luas, darimana manusia datang dan untuk apakah ia ditakdirkan.

Watak Sifat Manusia, Obyek Filsafat Manusia

Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkaian

bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara fundamental dari

semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Semua

kebudayaan diatur untuk dapat menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan yang diajukan

10

Page 11: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan vital

mereka.

Perbedaan Filsafat Manusia dengan Ilmu-Ilmu yang Bersangkut-paut Dengannya

Ilmu yang mengemukakan kesimpulan-kesimpulan dengan bahasa matematika, yang menunjukkan bahwa

mereka dalam objeknya mencapai secara langsung hanya apa yang dapat diukur dan dapat dihitung jumlahnya. Filsafat

mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup. Filsafat bertanya apakah yang paling

mendasar memberi corak yang khas pada manusia, apakah yang menyebabkan ia bertindak sebagaimana yang ia

lakukan .

Titik Tolak dan Objek yang Tepat pada Filsafat Manusia

Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun dia tetap merupakan

sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak

dituntut untuk mempergunakan kesimpulan-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka

seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu

yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah metode filsafat manusia yang digunakan! Jelaskan

2. Apakah kedudukan manusia dan humanisme?

3. Apakah perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia?

4. Jelaskanlah ciri-ciri filsafat manusia tersebut?

5. Apakah paham humanisme itu

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Franz Magnis Suseno. 2009. Menjadi Manusia (Aristoteles). Jokyakarta. Kanisius.

3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.

11

Page 12: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 3TUJUAN MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis tujuan manusia secara filsafat.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis tujuan manusia secara

filsafat yang meliputi sebagai berikut:

Hakikat tujuan manusia

Mencari nikmat sebanyak-banyaknya

Materi Pembahasan

Tujuan Manusia

Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila

manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah: Apakah tujuan manusia itu?

Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal dan setiap tindapan yang tidak menunjang

tercapainya tujuan manusia tidak masuk akal. Inilah prinsip Filosul Aristoteles.

Hidup kita akan terarah apabila kita melakukan sedemikian rupa hingga kita mencapai tujuan kita. Kehidupan

modern ditentukan oleh agama, apa yang diperintahkan oleh agama dilaksanakan sedangkan yang dilarang dihentikan.

Sedangkan filosuf Aristoteles berpendapat bahwa dia tidak menolak ajaran agama, Namun Aritoteles memiliki

pertimbangan bahwa ia tidak berspekulasi, tidak berandai-andai dan tidak mengandaikan ajaran apapun termasuk agama.

Menurut Aristoteles, manusia sebagai makhluk berpikir dapat mengetahui bagaimana dia seharusnya hidup,

melalui pendekatan analitis dan langkah-langkah logis. Dia bertolak dari sebuah fakta: Apapun yang dilakukan manusia

selalu dilakukan demi tujuan. Kita melakukan sesuatu dengan satu maksud. Kita makan untuk menghilangkan rasa lapar,

kita nonton TV karena hiburan, kita nipu untuk dapat uang dll. Dapat juga manusia melakukan dua tujuan yang

kontradiksi, seperti kita merasa lapar, mau makan tapi puasa karena itu tidak makan.

Menurut Aristoteles tujuan manusia itu ada dua, yaitu:

1. Tujuan manusia sementara: tujuan ini hanyalah sarana untuk lebih lanjut, seperti orang mengikuti kuliah untuk

lulus sarjana sedangkan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan pekerjaan atau meningkatkan jabatan

kerja.

2. tujuan akhir manusia, adalah suatu tujuan apabila kita dapat mencapainya kita akan merasakan kepuasan.

Tujuan akhir mestinya sesuatu yang kalau tercapai tidak ada lagi yang masih diminati, selama belum tercapai,

manusia belum akan puas dan tetap masih mencari.

Apakah tujuan akhir itu? Menurut Aristoteles adalah "Kebahagiaan" kalau seseorang sudah bahagia tidak ada

yang masih diinginkan selebihnya. Sebaliknya ia belum bahagia apapun yang diperolehnya dia tidak akan merasa puas.

Disatu pihak, kebahagiaan selalu dicari demi dirinya sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain. Dipihak lain kebahagiaan

mencukupi dirinya sendiri, kalau sudah bahagia tidak ada yang perlu ditambah.

Aristoteles seorang filosuf yang pertama mengkaji tentang tujuan manusia, yaitu "kebahagiaan", etikanya

disebut "eudemonisme", dalam bahasa Yunani "eudaimonia" = bahagia). Pertanyaan selanjutnya adalah Bagaimana

manusia harus hidup, jawabannya adalah manusia harus menata kehidupannya sedemikian rupa hingga ia menjadi

semakin bahagia. Aristoteles memberi tolak ukur yang jelas secara akal, aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat

dimengerti, sesuatu yang diharuskan diluar, melainkan sesuatu yang sangat masuk akal, yang perlu kita perhatikan agar

kita dapat mencapai apa yang menjadi tujuan terakhir kita, kebahagiaan. Kita hendaknya hidup secara bermoral karena

itulah jalan ke pada kebahagiaan. Tujuan moralitas adalah mengantar manusia ke tujuan akhirnya, kebahagiaan. Apakah

hidup yang kita jalani berhasil dapat diukur pada tingkat kebahagiaan yang kita capai di dalamnya. Berdasarkan pendapat

filosuf Aristoteles ada tiga hal yang harus kita perhatikan, yaitu:

Pertama, kebahagian sebagai tujuan manusia tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Agama sendiri justru

menegaskan bahwa tujuan akhir itu menghasilkan kebahagiaan. Orang masuk sorga atau dekat dengan Tuhan adalah

12

Page 13: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

orang yang mendapatkan kebahagiaan, khususnya agama Timur. Agama Budha misalnya mau menunjukkan jalan

mengurangi penderitaan. Lao-Tzu mengajarkan bahwa manusia harus mencapai dao-nya, jalannya dan implikasinya

adalah bahwa ia akan bahagia semakin ia menemukannya. Ki Suryamentaram memahami etikanya sebagai ngelmu

kebegdjan, sebagai ilmu yang menuju ke kebahagiaan.

Kedua, kalau kebagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa beberapa hal

yang umumnya dianggap menjadi tujuan tidak memadai. Aristoteles menyatakan dua tujuan akhir yang salah, yaitu;

"Uang dan Nama tersohor". Uang atau kekayaan hanyalah sarana untuk bisa bebas dari kekurangan dan lebih

menguasai hidupnya sendiri dan mudah memenuhi segala yang diinginkan. Kekayaan merupakan sarana bukan tujuan

pada dirinya sendiri. Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Maka, orang yang mengarahkan seluruh hidupnya dengan

uang tidak mencapai tujuan. Ia justru tidak bahagia. Nama tersohor agak berbeda. Sepintas nama tersohor kelihatan

seperti tujuan pada dirinya sendiri, tetapi Aristoteles menegaskan bahwa mendapat nama tersohor merupakan sesuatu

dalam pandangan orang lain, bukan sesuatu pada diri orang yang bersangkutan. Orang bisa tersohor meskipun kurang

bermutu. Kalau dia tersohor karena bermutu dan prestasinya, maka mutu dan prestasi itu yang perlu diusahakan, buka

nama tersohor. Tersohor tergantung pada adanya ciri-ciri yang ada pada kita, maka tidak merupakan tujuan, yang

diusahakan adalah ciri-ciri yang dikagumi itu dan bukan agar kita tersohor.

Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagian tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagian itu bukan sasaran

yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah suatu yang lebih bersifat "diberikan" daripada direbut. Hidup macam

apakah yang menghasilkan kebahagiaan? Apakah kebahagaan dapat dicapai dengan mengejar rasa nikmat dan

menghindari rasa sakit. Berikutnya kita akan lihat cara hidup yang mana yang oleh Aristoteles secara positif dianggap

menghasilkan kebahagiaan.

Manusia Mencari Nikmat Sebanyak-banyaknya : Persahabatan

Etika Aristoteles bukan yang bernada egois, yang tidak mengatakan kita hendaknya selalu berusaha untuk

menjadi bahagia. Kita sudah melihat bahwa kebahagiaan justru tidak dapat diusahakan secara langsung. Kebahagiaan

tercapai dengan mengambil cara hidup yang mengembangkan kerohanian dan keterlibatan sosial manusia. Bukan

dengan sikap egois, melainkan dengan komitmen pada komunitas, dengan bersedia bertanggung jawab atas kemajuan

masyarakat manusia akan menjadi bahagia.

Tak mungkin orang melibatkan diri dalam urusan masyarakat dan hanya memikirkan dampaknya pada dirinya

sendiri. Tentu ia harus meminati masyarakat dalam bahasa kita sekarang, ia harus seorang nasionalis dan seorang yang

sosial, yang mau memajukan masyarakatnya ke dalam dan ke luar. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dialektis. Apabila

langsung diusahakan, kebahagiaan mengelak. Tetapi orang yang tampa pamrih melibatkan diri dalam memajukan atau

menyelamatkan sesama, dialah yang akan bahagia. Jadi etika kebahagiaan, "eudemonisme" Aristoteles , justru tidak

egosentris.

Aristoteles membedakan persahabatan pada tiga macam, yaitu persahabatan atas dasar saling

menguntungkan, atas dasar saling menikmati, dan atas dasar saling menyenangi dan mencintai. Dua bentuk pertama

belum melampaui egoisme. Apabila dua orang bersahabat karena persahabatan itu menguntungkan keduanya atau

karena masing-masing memperoleh nikmat daripadanya, persahabatan hanya merupakan sarana saja. Persahabatan

semacam ini bisanya tidak bertahan dan rawan pertengkaran dan perasaan tidak puas.

Persahabatan dari arti sebenarnya adalah persahabatan demi sahabat. Persahabatan karena dua sehabat

saling mencintai. Aristoteles menulis bahwa "rupa-rupanya keutamaan di antara pada sahabat adalah cinta”. Baru dalam

persahabatan atas dasar cinta manusia betul-betul membuka diri kepada orang lain dan justru di dalam keterbukaan itu

menjadi diri, manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia memerlukan orang lain, ia adalah makhluk sosial, berbeda dari ternak

yang bersama-sama berada direrumputan. Begitu dari sahabat harus disadari bahwa ia ada dan itu terdiri dalam hidup

bersama dan dalam kebersamaan dalam bicara dan berpikir. Sebagai makhluk yang secara hakiki sosial manusia

masing-masing hanya mencapai dirinya sendiri apabila ia tidak hanya berkisar pada dirinya sendiri, melainkan meminati

orang lain, hal mana juga dijelaskan mengapa berpolitik membawa manusia ke kebahagiaan. Dalam persahabatan orang

meminati orang lain demi dia sendiri dan bukan hanya sebagai sarana bagi nikmatnya sendiri.

Dalam cinta tumbuh persahabatan sejati, kita menjadi diri kita yang sebenarnya, mengembangkan diri bukan

dengan mengitari diri kita sendiri, dengan memikirkan kita sendiri dan dengan prihatin atas segala hal yang kita alami atau

13

Page 14: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

yang lepas dari tangan kita, melainkan dengan mencintai. Mencintai orang lain memang amat penting bagi perkembangan

kita sendiri, tetapi cinta yang mengembangkan itu hanya nyata dan demikian hanya mengembangkan kita, apabila cinta

itu sungguh-sungguh. Aristoteles menegaskan bahwa persahabatan mendalam tidak mungkin dan tidak perlu dengan

banyak orang. Itulah perbedaan dengan kebaikan hati yang tidak perlu terbatas, namun merupakan sikap sepihak.

Kemampuan untuk mencintai bagi Aristoteles merupakan tanda bahwa orang memiliki keutamaan tinggi bahwa ia seorang

utama. Orang berbudi luhur tidak mencari untung atau nikmat dari persahabatan. Ia lebih bahagia memberikan kepada

sahabat daripada menerima darinya. Meskipun dalam situasi sulit ia tentu akan menerima bantuannya.

Persahabatan dan Cinta Diri

Apakah persahabatan harus dipertahankan apabila sahabat berubah. Apabila sahabat yang dahulunya berbudi

luhur menjadi orang bersemangat rendah dan buruk, persahabatan tidak mungkin dipertahankan. Begitu pula,

persahabatan waktu mereka masih anak-anak belum tentu bisa, lalu juga tidak perlu dipertahankan apabila mereka

menjadi dewasa. Karena mereka berubah dalam proses menjadi dewasa. Dari situ Aristoteles mempertanyakan "Cinta

Diri"

Dua macam cinta diri, Yang pertama adalah kalau orang menginginkan uang, kedudukan terhormat dan nikmat

jasmani bagi dirinya sendiri. Cinta diri semacam ini sudah pantas mendapat nama buruk. Kerana cinta seperti itu adalah

cinta orang buruk. Tetapi Aristoteles memperlihatkan bahwa orang yang bersikap demikian sebenarnya justru tidak

mencintai dirinya karena dengan mengejar tiga hal itu ia justru tidak beruntung, melainkan merugi. Orang itu "melayani

nafsu-nafsunya dan bagian jiwa yang tidak berakal". Orang yang berkeutamaan mencintai yang luhur dan indah dan ini

diarahkan oleh akal budi, tentu ia menginginkan yang luhur dan indah itu bagi dirinya sendiri dan itu baik

Persahabatan dan Ketaktergantungan

Persahabatan mengurangi independensi kita, ini berlaku bagi dewa bukan manusia kata Aristolteles. Manusia

tidak seluruhnya mandiri dan kerana itu kebahagian tidak diperoleh dengan berusaha untuk sama sekali mandiri, justru

orang berbuat baik membutuhkan orang lain. Manusia berarti bahwa mamahami hidupnya, yang perlu berkomunikasi

dengan orang lain. Manusia tidak mungkin bahagia sendirian, dia perlu sahabat.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah tujuan manusia menurut Aristoteles?

2. Bagaimana pendapat Arsitoles bahwa kebahagian menjadi tujuan hidup manusia?

3. Apakah hubungan tujuan moralitas dengan kebahagiaan?

4. Apakah yang perlu diperhatikan untuk menca[ai tujuan kebahagiaan?

5. Kenapa kita harus mencari nikmat sebanayk-banyaknya sebagai tujuan manusia?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah.

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.

14

Page 15: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 4

FILSAFAT MANUSIA DAN KEBIJAKSANAAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis hubungan filsafat manusia dan kebijaksanaan.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis hubungan filsafat

manusia dan kebijaksanaan yang meliputi sebagai berikut:

Filsafat manusia dan politik

Kebijakan dan rasionalitas

Materi Pembahasan

Filsafat dan Politik

Ada tiga cara hidup yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri, yaitu: hidup yang mengejar nikmat, filsafat dan

politik. Nikmat sebagai tujuan hidup ditolak oleh Aristoteles maka tinggal hidup berfilsafat dan hidup berpolitik. Anggapan

ini kelihatan kurang masuk akal. Hanya segelintir di antara kita yang sempat berpolitik aktif dan lebih sedikit sekali yang

berfilsafat. Apakah itu berarti orang lain tidak bisa bahagia atau hidup mereka salah arah. Menurut Aristoteles pada saat

menulis buku Etika Nikomacheia, politik dalam arti yang dia maksud sudah merupakan sebuah nostalgia. Yang dimaksud

adalah berpolitik dalam polis, dalam negara kota Yunani, dimana orang masih dapat saling mengenal. Padahal, waktu

Aristoteles mengajar di Athena, seluruh Yunani hanya menjadi sebuah propinsi dalam kerajaan raksasa Iskandar Agung.

Jadi, Aristoteles memang tidak dapat diikuti secara harfiah. Tetapi itu tidak berarti bahwa keyakinan Aristoteles

bisa dilupakan. Sebaliknya, apabila kita berusaha mengerti apa yang sebenarnya dia maksud, kita akan melihat bahwa ia

tetap masih memberikan petunjuk amat berharga kepada kita di abad ke 21 ini.

Pengembangan Diri

Manusia tidak menjadi bahagia dengan malas-malas mau menikmati, melainkan dengan berbuat sesuatu.

Manusia menjadi bahagia melalui aktivitasnya, dengan menggerakkan diri untuk mencapai sesuatu dengan bertindak.

Kalau kita menggantikan kata ”bahagia” dengan ”bermakna”, maka menurut Aristoteles manusia akan mengalami hidup

bermakna dan itulah ini kebahagiaan yang dapat dicapai dalam hidup ini, bukan apabila ia pasif-pasif saja, apabila segala

apa telah tersedia baginya tinggal menikmati, melainkan dengan mengembangkan diri dan manusia mengembangkan diri

dalam tindakan. Namun, bagaimana manusia bertindak? Bukan dengan membatasi diri pada fungsi yang juga dimiliki

kambing, melainkan dengan bertindak sesuai dengan kekhasannya sebagai manusia.

Manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri, dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya.

Misalnya apabila ia berbakat musik dan bila melalui latihan keras dan tertib, maka ia akan berhasil menjadi pemusik yang

unggul. Jadi, menurut Aristoteles, kita hendaknya hidup sedemikian rupa hingga kita mengembangkan diri.

Pengembangan diri sampai hari ini merupakan tujuan penting pendidikan yang bermutu. Mengembangkan diri berarti:

Dengan menghadapi tantangan yang membuat diri kita menjadi nyata dari sesuatu yang hanya mungkin kita menjadi

nyata. Identitas kita terbangun, kita menjadi orang, kita memperoleh profil yang khas. Barangkali itu berat, sekurang-

kurangnya sering tidak mudah, tetapi mengembangkan diri berhadapan dengan segala macam tantangan terasa amat

memuaskan dan penuh makna. Maka, Aristoteles menyarankan agar bahwa kita hendaknya senantiasa berusaha untuk

mengembangkan diri.

Manusia tidak berkembang dengan merancang kehidupannya sebagaimana kita merencana studi kita. Kita kan

belum mengetahui diri kita. Tentu, apabila kita merasa mempunyai bakat menjadi penyanyi, maka sebaiknya kita

mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan kemampuan menyanyi kita secara profesional. Tetapi kita tidak

hanya berkembang menurut rencana kita. Persoalannya hidup tidak dapat seluruhnya direncanakan dan apabila itu

dicoba, kita berada dalam bahaya menjadi sempit, karena fokus ekslusif pada sebuah rencana kita sendiri membatasi diri

15

Page 16: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

pada suatu yang sudah kita pahami. Jadi tidak ada yang baru. Yang betul-betul mengembangkan kita adalah tantangan

yang kita hadapi. Tantangan itu tidak pernah dapat kita rencanakan atau kita pilih saja. Tantangan dapat muncul dalam

segala situasi. Berhadapan dengan tantangan itu kita teransang untuk mengambil sikap, dan sikap itulah yang

mengambangkan kita, yang membuat kita sadar akan kemampuan baru kita. Bukan dengan memandang pusarnya sediiri

manusia berkembang, melainkan dengan berani berhadapan dengan apa yang menantangnya, yang menuntut

keterlibatan, dimana kita harus membuktikan diri. Tantangan itu dapat muncul dalam hidup kita sebagai mahasiswa atau

sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga kita atau sebagai warga negara ataupun di tengah jalan. Orang tidak

menjadi pemimpin dengan membaca buku ”how to become e leader” melainkan dengan melakukan tugas-tugasnya

secara terbuka dan dengan berani menghadapi tantangan yang mau menggagalkannya. Lama kelamaan kemampuan

untuk memimpin akan berkembang dan menjadi nyata. Suatu tantangan merangsang kemampuan kita yang masih

tersembunyi, yang tentu lantas perlu kita kembangkan secara aktif. Yang penting hanya ini: Orang tidak berkembang

dengan memandang, merenungkan dan merefleksikan diri (meskipun kadang-kadang perlu) melainkan dengan melihat ke

luar dengan menjawab apa yang dalam situasi tertentu diharapkan dari kita.

Mengembangkan diri juga berarti menerima diri. Kita akan mengalami bahwa kita mempunyai keterbatasan.

Kita tentu akan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan diri, tetapi kita juga perlu menerima bahwa ada

kemungkinan kita dibatasi baik oleh situasi di luar diri kita, maupun oleh keterbatasan kita sendiri. Oleh sebab itu orang

diajari sikap menurut falsafat Jawa ”narima” adalah tanda watak yang kuat, ulet dan tidak cepat putus asa. Orang yang

tahu ”narima” tahu diri, tetapi akan berusaha ke depan begitu situasi mengizinkannya.

Manusia Berfilsafat

Mengapa Aristoteles berpendapat bahwa filsafat dan kehidupan politik merupakan kegiatan yang

membahagiakan manusia? Filsafat adalah kegiatan orang yang ber-theoria. Tetapi kita harus berhati-hati. Bagi

Aristoteles, seperti juga Plato, kata theoria bukanlah teori dalam arti modern, sebagai pandangan ”teoretis” tentang salah

satu masalah, seperti teori evolusi adalah pandangan tersusun tentang evolusi, melainkan bagi orang Yunani theoria

berati ”memandang”, merenungkan realitas yang abadi dan realitas yang tak berubah, realitas ilahi. Jadi, dalam theoria

manusia mengarahkan diri ke realitas yang abadi, realitas yang mengatasinya. Dengan ber-theoria manusia memperoleh

”sophia”, kebijaksanaan. Jadi manusia yang ber-theoria mencintai (philei) kebijaksanaan, karena itu ia adalah seorang

”phi-sophos” seorang pencita kebijaksanaan, seorang filosof, Jadi filsafat adalah kegiatan memandang penuh kagum hal

yang abadi-ilahi. Mengapa memandang yang abadi adalah khas bagi manusia? Karena manusia beda dari binatang,

memiliki logos, akal budi, yang terungkap dalam bahasa. Logos itu adalah unsur ilahi dalam manusia. Dalam bagian

terakhir bukunya Etika Nikomacheia, Aristoteles menjelaskan mengapa orang menjadi bahagia dalam filsafat. Filsafat

adalah tempat di mana manusia mengangkat rohnya di atas alam yang berubah, melampaui wilayah keniscayaan fisik.

Jadi mengatai keterbatasannya sebagai makhluk di waktu dan tempat tertentu. Orang yang berfilsafat, yang merenungkan

yang abadi tak berubah, amat bahagia karena ia membuat nyata unsur ilahi yang ada di dalamnya.

Bagi Aristoteles filsafat memenuhi fungsi yang sekarang kita berikan kepada agama, tetapi perlu diperhatikan

bahwa filsafat Timur tidak mengenal perpisahan tajam antara agama dan filsafat. Kesatuan itu memang pecah karena

munculnya agama monoteis, Yahudi, Kristen dan Islam di panggung dunia. Terhadap wahyu Allah, spekulasi filsosofis

manusia yang terpandaipun kalah. Maka, bagi manusia Barat (Yahudi dan Kristiani) dan dunia Islam, renungan filosofis

tentang yang ilahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup pada wahyu yang diberikan Allah kepada

manusia. Apalagi, monoteisme membuka perspekstif yang sama sekali baru dengan penegasan bahwa hidup tidak

selesai dengan kematian, melainkan masing-masing orang beda dari binatang, diciptakan untuk mencapai eksistensi yang

mantap dan definitif sesudah kematian, entah di surga atau di neraka.

Menurut Jurgen Habermas, munculnya agama monoteisme secara definitif memotong sebagian dari fungsi

filsafat. Orang tidak lagi lari ke filsafat untuk mencari makna hidupnya maupun penjelasan tentang tujuan manusia pada

umumnya. Ia merasa telah menemukannya dalam agama. Filsafat sudah sejak ratusan tahun menerima keterbatasannya

itu dan sekarang tidak lagi mengklaim bisa memberikan arahan dasar bagi manusia dalam mencari makna hidupnya.

Apakah itu berarti bahwa Aristoteles pada filsafat sudah usang? Sebetulnya filsafat menurutnya lebih daripada

renungan hal-hal ilahi. Filsafat adalah usaha roh manusia untuk memahami eksistensi, dunia dan untuk menjalani

kehidupannya tidak seperti kerbau, tanpa tahu dan peduli, melainkan dengan peduli, kritis, bermoral, cerdas. Manusia

16

Page 17: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

hanya manusia apabila ia merefleksikan eksistensinya apabila ia mengadapi kuasa yang ada, baik kuasa politik maupun

kuasan agama, ideologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain secara dewasa, rasional, kritis dalam perspektif penegakan

keadilan dan pemanusiaan kondisi masyarakat. Seluruh alam ilmu pengetahuan, lalu komunikasi tentang kehidupan

dalam semua dimensi (keluarga, kampung, negara dan dunia) seperti terjadi dalam media (pers, radio, TV dan internet)

merupakan dimensi khas manusia.

Sikap filosofis Aristoteles menuntut keterbukaan, keinginan untuk belajar terus dan tak pernah berhenti ingin tahu, sikap

kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus dengan semua yang terlibat dan sikap rendah hati

karena seorang ”filosof” selalu akan tahun bahwa banyak sekali yang belum dipahaminya.

Politik

Dimensi kedua yang khas bagi manusia adalah politik. Disini pun dunia kita jauh berbeda dari dunia Arsitoteles.

Dia memikirkan ”polis”, negara-negara kota khas Yunani. Dalam polis setiap warga negara dapat ikut serta mengurus

masyarakat. Karena itu dalam polis kegiatan politik memang terbuka bagi segenap warga. Bagi laki-laki Yunani, terjun

dalam pengurusan polis menjadi puncak cita-citanya untuk menjadi seorang terhormat.

Mengapa Aristoteles menganggap kegiatan berpolis itu khas bagi manusia? Karena berpolitk merupakan

puncak kesosialan manusia dan kesosialan merupakan ciri yang khas bagi manusia. Manusia dan hanya manusia adalah

zoon politikon, makhluk sosial. Tuhan (theos) tidak sosial (karena Tuhan hanya satu dan mencukup diri), tetapi binatang

pun tidak sosial melainkan hanya hidup sesuai dengan insting dan dorongan indvidualnya masing- masing. Sosial bagi

Aristoteles berarti lebih daripada sekedar ada kerja sama, seperti halnya semut dan banyak jenis binatang lain. Hidup

secara sosial bagi Aristoteles berarti bekerja sama berdasarkan diskursus rasional bersama, pertimbangan dan debat, jadi

dalam kesadaran kritis. Dalam arti ini memang hanya manusialah yang sosial. Maka, untuk menjadi bahagia manusia

perlu membuat nyata hakekat sosialnya itu.

Politik bukan bidang di mana kita menyatakan sifat sosial kita, melainkan bidang yang justru abstrak. Hanya

segelintir warga masyarakat dapat berpolitik dalam arti yang sebenarnya. Kita yang kebanyakan, kecuali berpartisipasi

dalam beberapa tindakan demokratis dan mengikuti perkembangan politik dengan prihatin melalui media, hampir tidak

bisa dikatakan berpolitik. Tetapi, Aristoteles tidak boleh dimengerti dalam arti terlalu sempit. Yang mau dikatakannya

adalah: manusia adalah makhluk yang dapat menjalankan kehidupannya hanya dalam kebersamaan, dalam berpikir dan

berefleksi bersama, dalam perdebatan rasional dan dalam bertindak berdasarkan pertimbangan kritis bersama.

Kesepakatan kita sekarang bahwa suatu negara harus diatur secara demokratis masih tetap berdasarkan pertimbangan

itu. Karena kita semua secara kodrati terdorong untuk menyelesaikan masalah kita bersama-sama, maka tidak pantas

kalau warga negara kebanyakan hanya menjadi objek penentuan beberapa elit. Maka, yang sebenarnya dimaksud

Aristoteles adalah keterlibatan penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi-dimensi yang terbuka

baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun mereka yang tidak langsung berpolitik tetap diharapkan

memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Itu pun dengan penuh tanggung jawab.

Epikuros pernah mengajar bahwa orang untuk bisa bahagia harus menarik diri dari urusan publik dan

mengembangkan diri dalam lingkungan akrab teman sealiran. Berlawanan dengan privatisme itu, Aristoteles menegaskan

bahwa manusia karena hakekatnya yang sosial perlu melibatkan diri dalam urusan masyarakat bahwa ia harus berani

memikul tanggung jawab demi kemajuan masyarakat dan bahwa keterlibatan yang tentu tidak tanpa risiko itu justru

membahagiakan. Berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam semua dimensi kehidupan masyarakat tentu sesuai

dengan kemungkinan kita masing-masing yang sangat berbeda. Itu juga cita-cita demokrasi deliberatif yang dipaparkan

Habermas.

Ada dua dimensi hakiki kehidupan manusia, yaitu dimensi roh atau rasionalitas dan dimensi sosial. Dimensi

rasionalitas dikembangkan dengan menjalankan hidup kita dalam semua segi dengan sadar, reflektif, terbuka dan kritis.

Dimensi sosialitas kita kembangkan dengan ikut bertanggung jawab dalam urusan masyarakat.

Kebijaksanaan dan Rasionalitas

Dalam bahasa Yunani ”Kebijaksanaan” berasal dari kata ”sophia” dan ”phronesis”. Sophia yang artinya

kebijaksanaan dalam arti kemampuan manusia untuk memandang yang ilahi, yang abadi. Sedangkan ”phronesis” adalah

17

Page 18: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari dalam arti kelakuan yang bijaksana, kemampuan untuk memecahkan

masalah yang dihadapi secara bijaksana.

Sophia tumbuh dari perhatian pada idea-idea, kemampuan untuk memahami hakekat realitas dan tidak pada

lahiriah belaka, bagaimana tatanan yang seharusnya yang mampu melihat ide dan memimpin masyarakat yang

sebenarnya. Phronesis disebut juga kebijaksanaan praktis tidak terkait dengan sophia (kebijaksanaan akibat filsafat) dan

negara jangan dipimpin oleh para filsosof. Negara harus dipimpin oleh orang yang bijaksana dalam menjalankan urusan

antar manusia, khususnya urusan negara dan kebijaksanaan dalam kehidupan nyata, phronesis tidak ada kaitan dengan

sophia.

Phronesis, juga dibedakan dengan Episteme. Episteme adalah ketajaman pengetahuan ilmiah, mampu menghitung,

berkalkulasi, menarik kesimpulan logis. Maka Episteme membutuhkan sikap eksak ketepatan ilmu-ilmu alam, ketajaman

berpikir yang dibutuhkan dalam sains. Sedangkan phronesis adalah kebijaksanaan manusia dalam bertindak yang tidak

dapat dipastikan secara sains. Manusia bertindak menurut pertimbangannya dalam masalah baik dan buruk bagi

manusia, bukan menurut hukum alam.

Orang menjadi bijaksana karena belajar dari pengalaman dan kebiasaan dalam bertindak, Phronesis membuat

manusia menjadi pandai dan benar dalam membawa diri dan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah gunanya berfilsafat menurut Aristoteles?

2. Apakah arti berpolitik menurut Aristoteles dan bagaimana dengan kondisi sekarang?

3. Apakah kebijaksanaan itu! Jelaskanlah menurut pendapat Aristoteles?

4. Bagaimana kedudukan rasionalitas dan fungsi manusia?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Franz Magnis-Suseno. 2009. Menjadi Manusia. Jokyakarta. Kanisius.

3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah.

4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.

18

Page 19: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 5

ESENSI MANUSIA: FILSUF ATHUR SCHOPENHAUR

(1788-1868)

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis esensi manusia menurut filsuh Athur Schopenhauer

(1788-1868)..

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis esensi manusia

menurut filsuh Athur Schopenhauer (1788-1868)..

yang meliputi sebagai berikut:

Dunia sebagai kehendak

Kebijaksanaan hidup

Kebijaksanaan dari kematian dan tragedy wanita

Evaluasi kritis terhadap pemikiran Schopenhauer

Materi Pembahasan

Dunia sebagai kehendak

Filsafat Schopenhauer adalah kejelasan dan kekonkretannya. Kita harus hidup terlebih dahulu, baru kemudian

berfilsafat (prium vivere, deinde philosophary). Dia mengomentasi filsafat Hegel yang mengabaikan kekuatan irrasional

(nonrasio atau nonintelek), yakni kehendak. Dimata, Hegel, katanya "hidup tidak membiarkan kita berkata sepatah pun

selain tentang kebaikan" (de vivis nil nisi bonum). Akan tetapi dia memuji semangat Hegel dalam mencari kebenaran.

Katanya "hidup teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang, oleh sebab itu, mari kita bicara

tentang kebenaran"

Schopenhauer pun menyerang materialisme. Ia tidak henti-hentinya bertanya, "bagaimana kita bisa

menjelaskan bahwa jiwa adalah materi, kalau kita mengetahui materi melalui jiwa, melalui diri kita sendiri? Dunia sebagai

kehendak dilihat sebagai berikut.

1. Kehendak Untuk Hidup

Hampir tanpa kecuali, semua filosuf sebelum Schopenhauer memandang kesadaran atau intelek atau rasio

sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut hewan yang berakal, sebagai "animale rarionale". Schopenhauer mengkritik

anggapan tersebut. Kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya merupakan permukaan jiwa kita. Seperti dulu banyak

orang tidak mengetahui hakikat bumi kecuali permukaanya, demikian pula filosuf sampai sekarang baru mengetahui

permukaan jiwa, yakni intelek atau kesadaran, tetapi tidak mengetahui hakikat jiwa yang sesungguhnya.

Dibawah intelek sesungguhnya terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup abadi,

suatu kehendak dari keinginan yang kuat. Intelek kadang-kadang memang mengendalikan kehendak, tapi hanya sebagai

pembantu yang mengantar tuannya. "Kehendak adalah orang kuat yang buta mengendong orang lumpuh yang melek"

Orang yang berebut makanan, mengadakan hubungan seksual atau perbuatan anak-anak misalnya, mereka

tidak mengandalkan refleksi. Sumber dari perbuatan mereka adalah kehendak yang setengah sadar untuk hidup.

"Manusia kelihatannya saja ditarik dari depan, yang benarnya, mereka didorong dari belakang". Mereka mengira

dibimbing oleh apa yang mereka lihat: kenyataannya mereka didorong oleh apa yang mereka rasakan – yakni, oleh naluri-

naluri yang beradanya tidak mereka sadari. Intelek hanyalah "the minister of foreign affairs", alam menciptakan intelek

untuk melayani kehendak individu. Oleh sebab itu, intelek dirancang hanya untuk mengetahui hal-hal yang bersangkut-

paut dengan kehendak. Kehendak adalah satu-satunya unsur yang permanen dan tidak dapat berubah di dalam jiwa.

Kehendak merupakan pemersatu kesadaran, pemersatu ide-ide dan pemikiran-pemikiran serta mengikatnya dalam satu

kesatuan yang harmonis. Kehendak adalah pusat organ pikiran".

19

Page 20: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Karakter atau watak merupakan kontinuitas tujuan dan sikap dan ia terletak di dalam kehendak, bukan di dalam

intelek. Bahasa sehari-hari dengan tepat sekali menunjukkan pada "hati" dan bukannya pada "kepala" Kehendak baik

lebih mendalam dan lebih dapat dipercaya daripada "pikiran yang jernih" Semua agama menjanjikan ganjaran untuk

keunggulan kehendak atau hati, tapi tidak untuk keunggulan kepala dan intelek.

Tubuh pun merupakan hasil dari kehendak. Darah yang didorong oleh kehendak, kehendak untuk mengetahui

untuk membangun otak. Intelek bisa letih, kehendak selalu terjaga. Intelek perlu tidur, kehendak bekerja dalam tidur.

Letihnya intelek karena ia berada di dalam otak, tetapi bagi urat-urat yang tidak berhubungan dengan hati, tidak pernah

merasakan rasanya lelah. Dalam tidur otak memerlukan makanan, namun kehendak tidak memerlukan apapun untuk

dimakan. Dalam tidur segenap kekuatan kekuatan dari kehendak diarahkan untuk melindungi dan memperbaiki

organisme. Tidur adalah sepenggal kematian yang dipinjam untuk menjaga dan memperbaharui bagian-bagian dari

kehidupan kita yang sudah aus. Jadi, Kehendak adalah hakikat manusia, akan tetapi apakah kehendak pun merupakan

hakikat dari segala-galanya, yakni segalanya yang ada di permukaan bumi ini?

Semakin rendah bentuk kehidupan, semakin kecil peran intelek. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan

kehendak. Intelek mengejar segenap tujuannya melalui cahaya pengetahuan, tapi tidak demikian halnya dengan

kehendak, kehendak berusaha secara buta dan tuli. Ketidaksadaran, bagaimanapun adalah kondisi asli dan alami dari

segala sesuatu. Hewan perilaku mereka secara kebetulan bukan hasil penalaran. Perilaku-perilaku mereka adalah

ekspresi-ekspresi dari kehendak, bukan dari intelek. Kehendak, tentu saja adalah kehendak untuk hidup dan kehendak

untuk memaksimumkan kehidupan. Sedangkan musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Akan tetapi

bisakah kehendak untuk hidup mengalahkan kematian.

2. Kehendak Untuk Reproduksi

Kehendak tidak memerlukan pengetahuan, ia bekerja dalam kegelapan, karena pada dasarnya ia tidak sadar,

demikian organ-organ reproduktif sesungguhnya merupakan titik pusat dari kehendak dan membentuk kutub yang

berlawanan dengan otak yang diwakili oleh pengetahuan. Kehendak adalah prinsip yang menopang kehidupan, ia

menjamin kehidupan abadi.

Kebijaksanaan Hidup

Orang yang mengejar kekayaan seringkali diejek dengan berbagai sebutan: mata duitan, serakah, perampok.

Adalah alamiah kalau manusia mengejar seuatu yang gampang dipertukarkan dengan benda-benda karena akan

mempermudah kehidupannya. Hanya saja kehidupan yang sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kekayaan pada

prinsipnya kehidupan yang tidak berguna, kecuali bagaimana kekayaan itu diubah menjadi kenikmatan. Hal itu tidak

mudah karena memerlukan seni, peradaban dan kebijaksanaan. Mengejar kepuasan indrawi tidak akan memberikan

kenikmatan untuk jangka panjang, orang perlu paham tentang tujuan hidup, disamping seni untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut.

Laki-laki seribu kali lebih bergairah untuk menjadi kaya dibandingkan untuk menjadi berbudaya, meskipun

sangat pasti bahwa keberadaannya (is) jauh lebih bisa memberikan kebahagiaan daripada apa yang dimilikinya (have).

Seorang manusia yang tidak mempunyai kebutuhan mental dinamakan tidak berbudaya, ia tidak tahu apa yang harus

dilakukan dengan waktu luangnya, ia bingung mencari sensasi-sensai baru dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya

ia ditaklukkan oleh kebosanan yang selalu membayang-bayanginya.

Bukan kekayaan melainkan kebijaksanaanlah yang merupakan jalan. Manusia adalah makhluk yang

berkehendak (yang sumbernya terletak pada sistem reproduksi) dan baru kemudian sebagai subjek dari pengetahuan

murni (yang sumbernya adalah otak). Filsafat berfungsi sebagai alat untuk memurnikan kehendak, hiduplah sebelum

membaca buku-buku, bacalah teks sebelum membaca komentar, satu karya tulis jenius lebih baik daripada seribu

komentar. Sangat berguna mengejar peradaban karena kebahagian kita tergantung pada apa yang ada dalam kepala

kita, bukan pada apa yang kita miliki di dalam kantong kita. Menurut Aristoteles " bahagia berarti menjadi diri yang

sederhana".

Jenius adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan yang tidak banyak unsur kehendaknya (will-less knowledge).

Bentuk paling rendah dari seluruh kehidupan berasal dari kehendak, tampa pengetahuan manusia kebanyakan adalah

sebagian besar kehendak sedikit pengetahuan, jenius adalah sebagian besar pengetahuan dan sedikit kehendak. Pada

20

Page 21: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

manusia jenius, aktivitas reproduktif berada jauh di luar aktivitas intelektual. Jenius adalah keunggulan yang tidak normal

dari perasaan dan sikap lekas marah terhadap kekuatan reproduktif. Itulah sebabnya ada permusuhan yang sengit antara

jenius dengan wanita, Wanita merupakan simbol dari reproduksi dari tunduknya intelek pada kehendak. Wanita bisa saja

punya bakat, tapi tidak jenius karena selalu tetap subjektif. Bersama wanita segala sesuatu adalah personal dan

dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, sebaliknya, jenius adalah objektivitas yang paling lengkap. Jenius

adalah daya atau kekuatan yang meninggalkan kepentingan sendiri, menghapus keinginan dan tujuan sendiri, menunda

keperibadiannya untuk sementara waktu, sehingga bisa menjadi subjek yang sungguh-sungguh mengatahui dan visinya

tentang dunia yang jelas. Oleh sebab itu ekspresi dari seorang jenius adalah : pada wajah jenius unggulnya pengetahuan

atas kehendak.

Kebijaksanaan dari Kematian dan Tragedi Wanita

Satu-satunya penakluk akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yaitu

kehendak untuk reproduksi. Kepuasan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu

merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup. Beranak pinak dengan demikian bisa disebut kejahatan.

Jika kita berpikir tentang rusuhnya kehidupan, maka kita melihat bahwa semuanya itu bersumber dari keinginan

dan kesengsaraan, yang memaksa seluruh kekuatannya untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas, dan untuk

menangkis penderitaannya yang bermacam-macam.

Yang terutama melakukan kejahatan itu adalah wanita, karena ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya

kehendak, persona yang bodoh dari perempuan menggoda lagi laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak

cukup cerdas untuk melihat betapa singkatnya pesona wanita tersebut dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah

lama terperosok.

Pemujaan terhadap wanita merupakan produk dari Kristianitas dan sentimentalitas Jerman. Sebaliknya,

pemujaan itu merupakan sebab dari gerakan romantik yang memuja perasaan, naluri dan kehendak di atas intelek. Orang

Asia tahu lebih baik tentang inferioritas wanita dan mereka tidak menutup-nutupi kenyataan itu. Kalau undang-undang

memberi hak yang sama dengan laki-laki, mereka pun seharusnya mempunyai intelek-intelek yang maskulin. Orang-

orang Asia pun menunjukkan keunggulan dalam masalah perkawinan daripada orang-orang Eropa, mereka menerima

poligami sebagai suatu yang normal dan wajar, sementara orang-orang Eropa, meskipun mempraktikkannya, menutup-

nutupi kenyataan itu dengan pelbagai alasan dan ungkapan yang tidak masuk akal. Sungguh absurd memberikan kepada

perempuan hak yang sama dengan laki-laki, khususnya dalam bidang kekayaan. Semua wanita dengan sedikit

pengecualian, cenderung untuk menghambur-hamburkan uang, karena mereka hidup untuk hari ini, olah raga mereka

adalah adalah berbelanja. Mereka mengira bahwa bekerja adalah tugas laki-laki sedangkan tugas mereka hanya

membelanjakan hasil keringat suaminya. Korupsi besar-besaran yang memuncak dalam bentuk revolusi Perancis

disebabkan oleh kemewahan dan keroyalan wanita pada masa Louis XII.

Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan wanita, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa

lebih aman, lebih menyenangkan dan lebih halus tanpa wanita. Biarkanlah para lelaki memahami jerat yang dipasang

pada kecantikan wanita, maka komedi absurd reproduksi (pasti) akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan

memperlemah kehendak untuk bereproduksi dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu,

penderitaan hidup akan berakhir.

Evaluasi kritis terhadap pemikiran Schopenhauer

Tanggapan terhadap pemikiran Schopenhauer berkisar pada diagnosa medis terhadap zaman dan manusianya

sendiri. Zaman dimana dia hidup adalah zaman setelah Aleksander Agung (Yunani) dan setelah Caesar (Romawi)

meninggal, pada zaman itu Eropa (Yunani – Romawi) dibanjiri keyakinan dan sikap Oriental (Timur). Ciri utama keyakinan

dan sikap Timur adalah tekanan kepada kehendak sebagai suatu kekuatan eksternal, yang kekuatannya lebih besar di

dalam alam ketimbang di dalam manusia. Keyakinan dan sikap ini pada akhirnya membawa kita kepada doktrin tentang

ketidakberdayaan dan keputusasaan manusia. Perang Napoleon membuat lelah jiwa Eropa, yang ekspresi kelelahannya

disuarakan oleh Schopenhauer. Eropa menderita sakit yang sangat pada pada tahun 1815.

21

Page 22: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Diagnosa terhadap manusianya bisa dimulai dari pengakuan Schopenhauer bahwa kebahagiaan manusia

tergantung pada keberadaannya dan bukan pada lingkungan luarnya. Pesimisme adalah tuduhan yang dilancarkan oleh

orang-orang yang pesimis.

Pesimisme berhubungan dengan usia, setelah berusia tiga puluhan tidak ada pemisisme, hanya terdapat pada

diri anak-anak yang merasa mewah dan dirinya penting. Dengan sendirinya akan hilang begitu anak dewasa. Bagaimana

mungkin seorang laki-laki bisa menolak feminisme yang telah hidup dan berkembang hampir sepanjang hidup umat

manusia?

Schopenhauer berhasil mengajarkan kepada kita tentang keniscayaan jenius dan nilai seni, ia melihat bahwa

kebaikan yang tertinggi adalah keindahan dan bahwa kenikmatan yang paling mendalam terletak pada penciptaan karya

seni dan kesenangan pada yang indah. Bersama Goethe dan Carlyle, ia menentang usaha Hegel, Marx dan Buckle untuk

menhapuskan jenius sebagai faktor fundamental dalam sejarah manusia. Dalam suatu zaman ketika semua orang besar

hendak dikubur, ia justru mengajarkan sekali lagi pemujaan pada para pahlawan dan dengan segala kegagalannya ia

berhasil menambahkan nama lain kepada mereka.

Yang sangat mengesankan adalah kemampuan Schopenhauer dalam membuka mata para psikolog pada

kekuatan naluri yang paling dalam, halus dan ada di mana-mana. Intelektualisme yakni konsepsi tentang manusia

sebagai hewan yang melulu berpikir, hewan yang mampu hanya menggunakan rasio atau intelek dalam mengejar setiap

tujuan hidupnya – jatuh sakit bersama Rouusseaum terbujur kaku bersama Kant dan kehilangan jiwa bersama

Schopenhauer. Setelah dua abad analisis introspektif, filsafat akhirnya menemukan adanya deminasi keinginan,

dibelakang pemikiran dan dibelakang intelek. Filsafat menemukan naluri dan setelah satu abad materialisme, fisika

menemukan energi, dibelakang materi. Kita berhutang budi pula pada Schopenhauer, karena ia berhasil mengungkapkan

rahasia hati kepada kita, menunjukkan bahwa filsafat adalah keinginan kita dan pemikiran bukanlah perhitungan abstrak

semata-mata tentang peristiwa inpersonal, melainkan alat tindakan dan keinginan yang fleksibel.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Gambarkanlah tentang dunia sebagai suatu kehendak dalam pandangan berbagai filsuf?

2. Jelaskanlah apa arti dan makna kebijaksaaan dalam filsafat manusia?

3. Bagaimana fenomena wanita menurt filsuf Schopenhauer?

4. Jelaskanlah sedikit kritik tehadap pemikiran Schopenhauer?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

22

Page 23: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 6BAHASA DAN KEHIDUPAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis bahasa dan kehidupan manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis bahasa dan kehidupan

manusia meliputi sebagai berikut:

Arti isyarat, lambang dan struktur internnya

Perbedaan fundamental bahasa binatang dengan manusia

Asimilasi, memulihan dan repruduksi merupakan kegiatan-kegiatan yang khas makhluk hidup

Perbedaan sehubungan dengan reaksi, antara makhluk hidup dengan mesin

Makhluk hidup bukanlah suatu yang sederhana.

Arti dualisme Plato dan tantangan Aristoteles?

Tanggapan filosuf abad pertengahan dan kontemporer tentang badan dan jiwa

Badan manusia didefinisikan

Materi Pembahasan

Bahasa

Berbicara adalah suatu gejala yang sudah dikenal dengan dan jelas sehingga secara relatif mudah dipelajari

oleh setiap orang baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Kita tetap sedang berbicara dengan seseorang

ataupun mendengarkan seseorang sedang berbicara. Bahkan apabila kita sedang mendengarkan apa-apa, kita tak henti-

hentinya berbicara dalam diri kita sendiri. Perkuliahan yangan ejekan-ejekan yang kita ucapkan dalam hati kita sendiri

yang terjadi pada waktu kita sedang membaca dengan berdialog intensif dan tanpa suara dengan sang penulis .

Bila kita sedang sendirian kita tidak hentinya berbicara di dalam hati. Meskipun dalam lamunan itu kita tidak

bicara dengan orang lain, setidaknya kita berbicara dengan diri sendiri untuk menyalahkan, membenarkan, memuji atau

menentramkan diri. Demikian pembicaraan menyertai segala aktivitas kita, mengemukan atau menafsirkan setiap gerak

kita, memenuhi saat istirahat kita dan bergema sampai ke dalam liku-liku bawah sadar kita.

Karena berbicara mengisi eksistensi manusia dan memberi ciri khas kepadanya, daya bicara itu selalu menjadi

objek observasi serta refleksi bagi filosuf. Manusia telah diciptakan menurut Tuhan agar menguasai bumi, manusia bisa

berbicara dengan lidahnya serta isyarat dengan tangannya, maka ia melebihi binatang-binatang. Kemampuan berbicara

pada manusia merupakan lambang atau alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk mengukur segala benda dan

mengisyaratkan segala realitas.

Pada zaman ini penuturan serta bahasa, seperti halnya mitos dan simbol telah menjadi pokok-pokok

pengamatan yang sangat disukai dalam berbagai penyelidikan dan pembahasan, bukan saja di kalangan para filosuf

tetapi juga dikalangan para psikolog dan antropolog. Para filosuf komtemporer, seperti M. Merleau Ponty dan Paul

Ricoveur (Leahy: 208:40-42) menjelaskan bahwa bahasa tidak hanya mengemukan pikiran, tetapi juga membentuknya,

mempelajari bermacam-macam lambang yang dapat dipakai untuk mengutarakan pengalaman.

Manusia hidup dalam suatu alam semesta simbolik. Bahasa, mitos, seni dan agama merupakan bagian-bagian

dari semesta itu. Perilaku manusia memang telah didefinisikan sebagai ”perilaku simbolik”, menggunakan simbol-simbol

manusia memberikan arti kepada hidupnya, serta secara kultural mendefinisikan pengalaman-pengalamannya yang diatur

dengan kelompok tempat dia dilahirkan dan tempat dia menjadi anggota aktif melalui proses penerimaan pengatahuan.

Berkat bahasalah manusia menghadiri dunia dan dunia menghadiri pikiran. Bahasa mewahyukan ”ada” dari dunia. ”ada”

dari manusia dan ”ada dari pikiran (2008:41).

Sigmund Freud telah membuktikan bahwa manusia tidak hanya mengemukan dirinya secara sadar dan sengaja

dengan mempergunkan bermacam-macam sistem tanda, melainkanbahwa ia juga mengemukan diri tampa

23

Page 24: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

sepengatahuannya, secara tidak sadar dan tanpa sekehendaknya. Manusia membeberkan aktifitasnya yang dalam,

menjelmakan kecenderungan-kecenderungannya yang berkaitan dengan agresifitasnya. Menurut filosuf Andre Marc

bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan filsafat manusia dari suatu reflek berbicara adalah memberikan corak

khas terhadap ”ada”nya manusia, keadaan itu untuk mengerti manusia dalam ”kesatuan” dimanisnya dan sekaligus dalam

kompleksitasnya sebagai satu kesatuan yang hidup yang terbawa kearah dunia dan berhubungan dengan sesamanya.

Ada tiga macam keuntungan kalau kita memulai filsafat manusia dengan studi tentang perbuatan berbicara

yang dianggap sebagai tipe yang paling tepat dari perbuatan mengisyaratkan pada umumnya, yaitu:

1) berbicara adalah suatu gejala yang terang.

2) Berbicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan disukai oleh pemikiran kontemporer,

3) Berbicara mengambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara keseluruhan.

Berbicara dan Mengisyaratkan

Percakapan adalah perbuatan yang menimbulkan kata-kata yang saling berangkai untuk menghasilkan suatu signifikansi

global. Sebuah bahasa adalah kumpulan kata-kata yang merupakan suatu sistem khusus dari pengungkapan, seperti

misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Bahasa juga berarti bagaimana sesorang menggunakan bahasa itu atau suatu

kelompok tanda atau ungkapan yang dimiliki oleh seseorang pribadi atau sebuah kelompok khusus. Berdasarkan itu

terdapat ragam bahasa, misalnya bahasa kanak-kakak, para pelajar, para cendikiawan, para pekerja, para pengrajin dan

sebagainya.

Bahasa adalah keseluruhan hukum-hukum umum yang merupakan unsur-unsur pembentuk dari setiap bahasa.

Perbuatan berbicara serta mengisyaratkan telah dianggap sebagai pernyataan keunggulan manusia terhadap binatang.

Perbedaan tersebut adalah:

1). Bahasa binatang adalah diberikan bersamaan dengan kelahirannya yang bukan hasil belajar yang berkembang

sejalan dengan perkembangan organismenya, sedangkan anak manusia memerlukan seseorang yang yang mengajarkan

untuk berbicara, seorang anak manusia yang sejak lahirnya sama sekali tidak berhubungan dengan orang lain,

seandainya ia mampu bertahan, tidak akan pernah dapat berbicara dan juga tidak akan dapat benar-benr sebagai

makhluk manusia. Manusia percakapan bukanlah hasil perkembangan fisiknya saja, juga anak manusia harus

mempelajarinya dengan orang lain pada waktunya dan juga pelajaran tersebut merupakan suatu faktor yang mutlak

dibutuhkan bagi perkembangan yang sungguh manusiawi.

Tiap anak normal berhasil menjadikan sebuah bahasa menjadi miliknya melalui banyak usaha aktif yang

menyenangkan maupun yang mungkin juga berat. Prestasi intelektual yang mengiringinya sangat besar. Usaha tersebut

tentu saja mempunyai pengaruh balik yang kuat terhadap kepribadian si anak, terhadap hubungannya dengan orang lain

dan terhadap hubungannya dengan lingkungan matarialnya.

Peristiwa mulainya seekor anak binatang berteriak atau seekor anak burung berkicau tidak diikuti oleh suatu

perubahan spektakuler. Sebaliknya pelajaran pertama anak manusia merupakan titik keingintahuan dan kreativitas yang

timbul secara tiba-tiba tampak secara luar biasa. Semua orang normal dapat berbicara dan kemampuan bicara itu sangat

penting bagi manusia, sehingga seorang gadis kecil yang bisu, tuli dan buta, seperti Helen Keller dengan semangat dan

cepat mendapatkan pengganti kemampuan bicara dan menguasai bahasa dan kesusasteraan Inggris.

Pada suatu ketika, binatang lebih cepat dan pandai dari anak manusia kerana naluri-naluri dan pancaindra

binatang jauh lebih peka daripada yang ada pada anak manusia, tetapi suatu saat dimana anak manusia ini melewati

binatang secara definitif, karena kilat pikiran dalam kepala anak yangmenggangtikan usaha indrawi dan mereka meraba-

raba saja dengan mencari sebab-sebab. Ketika ia bisa mencari dan menemukan suatu penjelasan dengan menggunakan

bahasa atau suatu macam isyarat formal.

2). Bahasa hewan tidak berkembang sama sekali, maka bahasa manusiawi maju terus tanpa batas. Sejak turun –

menurun anjik selalu menyalak dengan cara hampir sama, tetapi anak manusia mulai dengan bahasa ibunya dapat

belajar dengan bahasa-bahasa lain mengasimilasi, mengekpresi dan menciptakan yang baru. Oleh sebab itu bahasa dan

tulisan berkembang secara terus menerus.

Teriakan dari jenis binatang tidak dapat dialih bahasakan ke dalam teriakan jenis binatang lain. Sebaliknya, sebuah

bahasa manusiawi dapat diterjemahkan ke dalam semua bahasa lain, dengan cara-cara manusia untuk mengekspresikan

dirinya sampai batas tertentu.

24

Page 25: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Manusia cenderung menyimpan ucapan-ucapan yang dikemukakannya, tulisan-tulisan yang disusunya dan karya-karya

seni yang diciptakan untuk mencurahkan perasaannya supaya semua itu dapat dimanfaatkannya secara terus-menerus,

sedangkan binatang tidak mempedulikan hal itu. Penyimpanan itulah manusia dapat menhasilkan kebudayaan.

Teriakkan binatang adalah pengungkapan dari suatu keperluan dan perasaannya , sedangkan manusia dapat menahan

diri untuk tidak berterik secara spontan. Diantara afektif pada manusia dan ucapannya yang dikeluarkan terdapat

kemungkinan untuk berpikir sejenak dan membuat pertimbangan yang objektif. Jika ia seorang normal, maka ia tidak akan

bicara tanpa berpikir. Namun bagaimanapun manusia dengan binatang mempunyai hubungan persamaan dengan

binatang dalam banyak hal seperti apabila manusia melakukan aktifitas seperti mesin atau instingtif, sikapnya kadang-

kadang mirip binatang. Keunggulan manusia yang mutlak ia mampu menghentikan diri, menguasai diri, berpikir,

mempertimbangan situasi dan menilainya.

Kemampuan berpikir merupakan prinsip kebebasan serta pertanggung jawaban. Keunggulan manusia itu

bersifat esensial dan definitif dalam arti bahwa pada manusia terdapat kesanggupan-kesanggupan yang sama sekali tidak

ditemukan pada binatang. Manusia dapat menaruh perhatian terhadap segala hal dan dapat maju secara terus menerus

tanpa batas karena ia mampu berpikir dan bebas dan secara lebih asasi lagi, karena ia mampu mengabstraksikan dan

mengobjektifkan, semua itu mengandalkan adanya bahasa.

Berbicara Kodrat Manusia

Perbuatan berbicara dan mengisyaratkan itu dilakukan secara sadar dan bebas. Ucapan itu secara psikoanalis

menemukan pantulan tak sadar dari efektifitas yang dalam, lebih lanjut lagi ucapan itu dipikirkan yang disengaja.

Perbuatan berbicara ditemukan bahwa dalam diri orang berbicara terdapat sejumlah karakter sebagai kodrat manusia.

Makhluk yang berbucara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial di bawah banyak

perbuatan yang dilakukannya. Sambil memperhatikan keterbukaannya terhadap dunia serta kehadirannya pada orang-

orang lain, ia menunjukkan bahwa ia memiliki interioritas dan memiliki kemampuan menerima memiliki kreativitas, maka ia

menunjukkan bahwa ia sesuatu yang hidup. Ia mampu mengenal dan memiliki kreatifitas. Ia terdiri dari badan dan jiwa.

Dengan objektifitas, pemikiran dan kebenasan yang menampilkan diri sebagai suatu pribadi (2001: 53).

Si pribadi yang berbicara, selama ia berbicara berlangsung, terbuka terhadap dunia dan hadir pada orang-orang

lain, terlebih dahulu ia memiliki interioritas. Berbicara menunjukan orang hadir dalam dunia dan tampil ditengah orang

yang mendiaminya. Apa yang dikemukannya tentang dunia terlebih dahulu dipikirkannya dan terkandung dalam dirinya

sendiri. Pikiran merupakan dasar dari prinsip ucapan, orng selalu meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau

ditulisnya untuk menjelaskan dan membetulkannya. Hal itu dapat dilakukan melalui cahaya suatu pikiran. Legitimasi dari

metode linguistik tidak bisa disangkal yang harus dipelajari secara realitas yang selalu sudah tersusun.

Salah satu aspek istimewa manusia adalah kemampuannya untuk memandng sesuatu secara objektif, supaya

dapat menilai hal-hal dalam dan untuk dirinya sendiri, agar kita selalu menjumpai kembali kebenaran , supaya terbuka

kepada dunia dan hadir pada orang-orang lain, orang yang berbicara haruslah hadir pada dirinya sendiri. Lalu orang yang

berbicara memperlihatkan adanya kemampuan untuk menerima dan untuk bersifat kreatif yang menunjukkan bahwa ia

adalah sesuatu yang hidup. Belajar suatu bahasa berarti menempatkan diri di bawah pengaruh dari mereka yang

mengajarkan kepada kita, berarti menyatukan diri pada suatu tradisi kebidayaan, menerima suatu cara tertentu untuk

mengamati dunia dan merasakannya.

Menggunakan suatu bahasa berarti tundung kepada sejumlah besar hukum fonetik dan aturan sintaksis, juga

meneyrahkan pikiran dan organismenya sendiri kepada suatu cara tertentu untuk berkomunikasi serta bertingkah laku.

Belajar bahasa juga berarti memiliki sebuah alat yang dapat kita manfaatkan tanpa henti-hentinya. Berbicara dalam suatu

bahasa berarti menciptakan hubungan-hubungan yang banyak sekali, membuat sejumlah besar kontak, tukar menukar

gagasan serta informasi tanpa hentinya. Berbicara dlam suatu bahasa berarti juga menempatkan diri ke dalam suatu

dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpartisipasi dengan eksistensinya, memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan

dan menikmati kekayaannya, berarti bersikap sebagai sesuatu yang hidup.

Subjek yang berbicara serta mengisyaratkan dengan memperlihatkan objektifitas, menunjukkan ia mampu

berpikir dan berkebebasan, mengemukakan hal-hal dengan cara objektif. Sesungguhnya berbicara dan mengisyaratkan

merupakan penggunaan-pengguanaan dinamisme-dinamisme yang terpenting dari kodrat manusia.

25

Page 26: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Kehidupan: Kegiatan Ciri Khas Makhluk Hidup

Karakter umum makhluk hidup adalah merealisir gagasan hidup menurut caranya masing-masing yang khusus.

Kita harus menentukan kegiatan bersifak khas bagi makhluk hidup sehingga tidak bisa direduksi kepada kepamampuan

masin. Kegiatan utama dari ciri khas makhluk hidup adalah asimilasi yaitu mengubah dan mengembangkan sendiri.

Makhluk hidup juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya, tidak demikian halnya mesin.

Makhluk hidup mempunyai kemampuan luar biasa memproduksikan dan melipatgandakan dirinya sebagai

penerus spesiesnya. Makhluk hidup juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan keadaan-

keadaan yang menkondisikan eksistensinya (2001:63). Sesungguhnya manusialah yang mampu menentukan tujuannya

sendiri, sedangkan mesin tidak bisa, akan tetapi makhluk hidup menjadikan tujuan-tujuan bagi dirinya sendiri. Orang yang

ahli kibernetik membatasi dirinya dalam bidang teknik, dia tidak menyentuk moral dan tidak pernah menentukan tujuan-

tujuan. Perbedaan radikal antara mesin dan makhluk hidup (manusia dengan mesin), kegiatan-kegiatan yang termasuk

bidang mekanik dan instrumental, seperti dalam hubungan dengan perhitungan dan penalaran yang dapat dikerjakan oleh

sebuah mesin jauh lebih baik dari manusia, itulah yang dibuktikan oleh ahli kibernetika. Akan tetapi kegiatan lain yang

hanya dapat dilaksanakan oleh makhluk hidup, ialah : asimilasi, penyembuhan diri, reproduksi diri, adaptasi dan

readaptasi terus menerus dan menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini manusia menentukan sendiri cita-cita dan

tujuannya.

Menurut Soehakso bahwa walaupun suatu komputer dapat menyelesaikan secara cepat sekali hitungan-

hitungan yang memakan waktu lama jikalau dikerjakan oleh ratusan orang, namun ada suatu persoalan yang dapat

dipecahkan manusia tetapi tidak dapat oleh komputer. Komputer statis, terkonstruksi berbeda dengan pikiran manusia

yang dinamis.

Kodrat Makhluk Hidup

Makhluk hidup secara esensial adalah yang mampu menyempurnakan dirinya sendiri. Makhluk hidup dapat

melakukan kegiatan transitif yaitu kegiatan yang memproduksi suatu efek diluar dari perilakunya, seperti melukis kain

kanvas, dan kegiatan imanen yaitu kegiatan yang efeknya tetap di dalam makhluk itu, seperti mengerti sesuatu,

mengambil suatu keputusan, asimilasi, pembiakan dan reproduksi. Makhluk hidup hadir pada dirinya sendiri, kegiatannya

menyempurnakan diri.

Semua makhluk hidup ada dua aspek/unsur yang esensial, yaitu:

1). Keseluruhan yang berorgan dan tersusun yang dinamakan badan.

2). Kesatuan substansial yang disebut jiwa.

Badan dan jiwa bersama-sama suatu makhluk hidup, merupakan substansi natural yang terbentuk dari badan dan jiwa

dari keseluruhan organ dan kesatuan fundamental dari kesatuan indrawi dan subjektivitas metaindrawi. Menurut

Tresmontan menyebutkan bahwa manusia suatu sutruktur yang subsisten, dari segi biologis manusia sama dengan

makhluk hidup, manusia adalan unsur yang bentuk yang tetap pada unsur-unsur materialnya mengalami pembaruan.

Manusia adalah makhluk yang kompleks sebagar puncak evolusi.

Jiwa Makhluk Hidup

Jiwa atau prinsip vital adalah suatu elemen yang indrawi, halus, panas dan dinamis seperti nafas atau darah

yang terdapat dalam oragisme secara total dan definitif. Dalam pandangan tulisan kuno nafas dianggap sebagai lawan

jiwa atau roh dan darah menjadi lambang hidup sendiri. Nafas dan darah dapat melambangkan jiwa, tetapi tidak dapat

merupakannya. Pemikir - pemikir Yunani melihat jiwa bukan suatu elemen dari organisme, tetapi keseimbangan harmonis

dari organisme itu dimana seluruh kegiatan bersinergis yang mampu dilaksanakan oleh makhluk hidup saja. Jiwa

merupakan unsur pokok yang pertama dan merupakan dinamisme primordial makhluk hidup. Jiwa lebih unggul dari

badan, prinsip kesadaran, interioritas, pemikiran dan kebebasan.

Plato mengajarkan tentang jiwa dan badan suatu ajaran yang disebut dualisme. Jiwa merupakan “aku”

sedangkan badan adalah sesuatu yang asing bagi “aku” benar saya. Pandangan Plato ditolak oleh Arsitoteles, ia setuju

dengan Plato bahwa jiwa manusia termasuk jenis realitas yang lain dengan badan, setiap makhluk hidup merupakan satu

substansi saja, jiwa bukanlah suatu substansi. Jadi Aristoteles adalah monis, bukan dualistis. Jiwa bukanlah suatu

substansi, ia tidak bereksistensi terpisah dari badan, ia bukan makhluk hidup yang lengkap. Jiwa hanya prinsip konstitutif

26

Page 27: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

esensial makhluk hidup. Ialah yang “mengstrukturkan-nya’ menjadi sesuatu yang hidup, dinamisme yang primordial,

“aktus”-nya yangpertama, bentuk substansialnya. Adapun badan pemerima dinamisme primordial itu yang dengannya ia

distrukturkan dan dihidupkan, yang berkatnya ia menjadi suatu keseluruhan organisasi ssecara tetap, yang memapu

melakukan kegiatan-kegiatan hidup. Badan disebut subjek bagi jiwa. Menurut Aristoteles badan dan jiwa merupakan dua

unsur metaindera dan metafisik. Apa yang menjadi indrawi dan fisik adalah makhluk hidup sendiri (2001:73).

Pokok pikiran Aristoteles adalah penekanan akan kesatuan makhluk hidup dan penjelasaannya bagaimana

kelirunya kalau dibicarakan mengenai jiwa dan badan seperti dua ”ada’. Jiwa dan badan adalah dua unsure esensial yang

saling melengkapi dalam suatu substansi yang sama.

Filosuf abad pertengahan, seperti Thomas Aquinas berpendapat bahwa jiwa hanyalah satu fenomena organic

(aktifitas otak saja), atau jiwa adalah suatu substansi spiritual yang dapat bereksistensi tanpa ikatan material karena

sudah lengkap, atau jiwa adalah suatu prinsip konstitutif yang bersifat metafisik, tetapi berhubungan secara esensial

dengan badan. Banyaknya konsepsi tentang jiwa kurang lebih mirip dengan satu dari ketiga paham tersebut.

Filosuf kontenporer biasanya mereka kurang suka membicarakan hal badan dan jiwa, mereka lebih suka

membicarakan kesatuan tingkah laku manusiawi dan menyatakan bahwa manusia yang pertama-tama adalah suatu

badan, tetapi suatu badan yang hidup, bersifat perseptif, afektif yang berdasarkan dan yang mempunyai interiritas atau

suatu badan yang dipersonalisasikan.

Realitas Jiwa

Badan hidup tidak bias bersifat objektif semata-mata, tapi bias direduksi pada apa yang bias diobservasikan. Ia

harus bersifat subjektif, mempunyai interioritas dan semacam subjektivitas. Ia tidak bias bersifat organic semata-mata,

seperti yang instrumental saja, tapi ia harus mempunyai juga sesuatu yang menyerupai “aku” yang mempergunakan apa

yang organik dan instrumental. Menurut Dr. Jean Lhermite mengatakan bahwa meskipun otak bisa dibandingkan

dengansebuah mesin yang terdiri dari semua alat elektronik yang paling sempurna dan dari saklear-sakelar yang paling

teratur, namun masih perlu ditambahkan suatu ”operator”. Menurut H. Bergson menyatakan isi kesadaran manusiawi jauh

lebih kaya dari otak yang berhubungan dengannya (2001:77). Otak tidak lebih daripada alat aktualisasi dan seleksi

kehidupan mental, ingat dan pikiran termasuk tingkat lain.

Jiwa tak bisa dilihat atau diverifikasi dengan pancaindra, jiwa bersolider secara esensial dengan badan, maka

reinkarnasi perindahan jiwa (metempsikose) adalah mustahil (absurd). Setiap jiwa seimbang dengan satu badan saja.

Namun para penyanggah roh (jiwa) mengatakan bahwa jiwa hanya satu gejala organik. Ahli biologi dan psikologi

menjelaskan pembentukan dan tingkah laku makhluk hidup bukan hanya tanpa malihat di dalamnya apa yang disebut jiwa

itu. Biologi membicarakan makhluk hidup tanpa memperhitungkan apa yang disebut jiwa.

Karakter Spesifik Badan Manusia

Badan tidak itu tidak berapa di luar intimitas kita dan juga tidak sama secara total dengan keakuan kita yang

paling dalam, bahwa ia tidak merupakan suatu objek saja maupun suatu subjektivitas semata-mata. Badan didefinisikan

melalui hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Seperti semua badan, juga tidak

berjiwa, badan manusia menduduki sebuah tempat di dunia, mempunyai bentuk material yang tertentu, dapat diukur dan

dihitung dan terikat pada perubahan waktu. Semua badan yang hidup, tumbuh-tumbuhan dan hewani, ia memiliki suatu

kumpulan organ yang memungkinkannya untuk memperbarui dan mereproduksi diri. Semua badan dilengkapi pancaindra

yang membuat sadar akan sekelilingnya dan beraksi secara afektif, sehingga merasakan kenikmatan dan penderitaan.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apa arti isyarat, lambang dan struktur internnya?

2. Apakah perbedaan fundamental bahasa binatang dengan manusia?

3. Jelaskanlah bagaimana asimilasi, memulihan dan repruduksi merupakan kegiatan-kegiatan yang khas makhluk

hidup ?

4. Jelaskanlah perbedaan yang paling penting, sehubungan dengan reaksi, antara makhluk hidup dengan mesin?

5. Makhluk hidup bukanlah suatu yang sederhana. Jelaskanlah!

27

Page 28: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

6. Apa arti dualisme Plato dan bagaimana tantangan Aristoteles?

7. Bagaimana tanggapan filosuf abad pertengahan dan kontemporer tentang badan dan jiwa?

8. Bagaimana badan manusia didefinisikan?

Daftar Pustaka:

Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

Leahy, louis. 2001. Siapakah Manusia. Yokyakarta. Kanisius.

28

Page 29: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 7PENGETAHUAN DAN PENGERTIAN

DALAM MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis pengetahuan dan pengertian dalam manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis pengetahuan dan

pengertian manusia, yang meliputi sebagai berikut:

Kompleksitas pengetahuan manusia

Pengertian pengetahuan manusia

Apa yang diandaikan oleh pengetahuan

Apa yang bukan intelegensi manusia

Apa yang bukan seluruh intelegensi manusia

Sifat-sifat dan objek intelegensi manusia

Kegiatan-kegiatan intelegensi manusia

Kodrat intelegensi manusia

Materi Pembahasan

Kompleksitas Pengetahuan Manusia

Pengetahuan merupakan nilai bagi makhluk yang mempunyainya baik bagi manusia, malaikat ataupun

binatang, pengetahuan adalah suatu kekayaan dan kesempurnaan. Bagi manusia seseorang yang tahu lebih banyak

adalah lebih baik kalau dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa, dengan pengetahuan menjadikan dia berprestasi

secara lebih baik dan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Ada suatu korelasi antara pengetahuan dan “ada”,

antara tingkat pengetahuan suatu “pengada” dan tingkat kepenuhan yang dapat diberikannya kepada sksistensinya

(Leahy.2001:95).

Berkat pengetahuanlah semua yang terdapat di dalam dan di luar kita dapat menjadi nyata. Pengetahuan kita

adalah sekaligus inderawi dan intelektif. Ia dikatakan inderawi lahir atau luar kalau ia mencapai secara langsung, melalui

penglihatan, teliga, penciuman, perasaan dan perabaan, kenyataan yang mengelilingi kita. Ia dinamakan indrawi batin

ketika ia memperlihatkan pada kita, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah

ada maupun yang terdapat di luar jangkauan kita.

Pengetahuan adalah perseptif ketika sampib muncul secara spontan, ia memungkinkan kita untuk

menyesuaikan diri kita secara langsung dengan situasi yang disajikan dan ia menyatakan dirinya lebih melalui gerakan

tangan, tingkah laku, gerakan-gerakan, sikap-sikap, tindakan dan jerit teriakan daripada dengan perkataan yang dipikirkan

dan keterangan yang jelas.

Pengetahuan adalah reflektif ketika ia membuat objektif kodrat dari manusia realitas apa pun juga, dan

mengungkapkannya baik dalam bentuk ide, konsep, definisi dan putusan maupun bentuk lambing, mitos atau karya seni.

Pengetahuan adalah diskursif ketika ia memperhatikan suatu objek dari benda, kemudian suatu aspek yang

lain, ketika ia pergi dan dating dari keseluruhan ke bagian-bagian dan dari bagian-bagian ke seluruhan, dari akibat ke

sebab dan dari seba ke akibat, dari prinsip ke konsekwensi dan dari konsekwensi ke prinsip dan sebagainya.

Pengetahuan adalah induitif ketika ia menangkap atau memahami secara langsung benda atau situasi dalam salah satu

aspeknya, keseluruhan dalam suatu bagian, sebab dalam akibat, konsekwensi dan prinsip dan sebagainya. Berintiusi

biasanya berarti melompat dari suatu unsure atau tanda langsung ke kesimpulan. Langkah-langkah yang harus dilewati

berkat refleksi, deduksi dan analisis, antara titik tolak suatu maslah dan pemecahannya, dilompati. Misalnya, ahli

matematika sering melihat dengan segera dan langsung kosekwensi terakhir yang bias ditarik dari suatu postulat, tanpa

perlu menjelajahi tahap-tahap antara titik tolak dan kesimpulan.

Pegetahuan adalah induktif ketika ia menarik yang universal dari yang individual. Ia adalah deduktif ketika,

sebaliknya, ia manarik yang individual dari yang umum atau universal. Pengetahuan adalah kontemplatif ketika ia

29

Page 30: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

mempertimbangkan hal-hal dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Pengetahuan adalah spekulatif ketika ia

mempertibangkan hal-hal dalam ide-ide atau konsep-konsep tentang hal-hal itu. Pengetahuan adalah praktis kalau ia

mempertimbangkan hal-hal menurut bagaimana mereka bias digunakan.

Pengetahuan juga bersifat sinergis apabila ia menggunakan seluruh keadaan dari subjek (yang sedang

mengetahui), keseluruhan yang dikoordinasikan dari anggota-anggotanya, organ-organya, kemampuan-kemampuannya

yang indrawi Karena kompleksitas pengetahaun maka tidak baik kalau pengetahuan manusia direduksikan kepada salah

satu caranya atau menekankan kepada salah satu caranya.

Suatu deskripsi pengetahuan dari semua macam pengetahuan. Pengetahuan bagi subjek secara hakiki berupa

bereksistensinya subjek dalam hubungan dengan sebuah objek, sehingga objek itu dengan eksistensi dan kodratnya,

menjadi hadir dan nyata pada subjek. Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu realitas itu. Akibatnya

pengetahuan lebih merupakan hubungan dengan suatu subjek suatu objek yang berbeda darinya, dari keakuannya,

sedangkan kesadaran lebih bersrti hubungan subjek yang mengetahuan dengan dirinya atau kehadiran subjek pada

dirinya.

Arti Pengetahuan

Arti pengetahuan adalah suatu kegiatan yang mempengaruhi subjek (yang mengetahui) dalam dirinya.

Pengetahuan adalah suatu ketentuan yang memperkaya eksistensi subjek. Pengetahua adalah suatu kesempurnaan

yang mengembangkan eksistensi. Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi secara

dinamis dengan eksistensi dan kondrat dari “ada” benda-benda. Pengetahuan dapat dikatakan pula relasional karena

lewatnyalah saya masuk ke dalam hubungan, saya ada dalam hubungan dengan sesuatu yang lain. Pengetahuan bias

dikatakan pula trans-subjektif dengan pengertian bahwa pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan orang keluar dari

keterbatasan-keterbatasannya dan mentransendensikan keakuan subjektivitasnya.

Andaikan Pengetahuan

1. dari Segi Subjek

Supaya makhluk hidup itu bias mempunyai kesempurnaan yang dinamakan pengetahuan, ia harus

dikarakterisasikan oelh keterbukaan, kemempuan menyambut dan interioritas.

a. Keterbukaan, si pengenal bisa menjadi sadar akan eksistensi dan kodrat realitas.

b. Kemampuan menyambut, objek yang dikenal mempengaruhi eksistensi subjek sendiri dan tinggal

dalam bentuk gambar, ingatan dan ide.

c. Interioritas, adanya tempat dalam si pengenal dalam dirinya, maka ia mempunyai interioritas, semakin

banyak interioritas semakin banyak ia bias mengetahui.

Akar asal semua karakter itu adalah dimensi supramaterial (immaterialitas) si pengenal. Karena satu pihak

materi adalah apa yang membatasi, dilain pihak sebaliknya, subjek yang mengetahui mengatasi, dalam

kegiatan pengetahuan, batas-batas jasmaniahnya. Makin “bukan materi saja” suatu subjek, makin besar jumlah

objek yang bias diketehuinya. Maka, Immaterialitas yang dinikmati suatu “pengada” merupakan akar dan ukuran

dari pengetahuan yang dikuasainya.

2. Dari Segi Objek

Apakah yang diandaikan oleh pengetahuan dari objek yang dikenal? Bagaimana suatu benda atau realitas

seharusnya dibentuk, untuk dikenal? Untuk menjadi objek yang dikenal, untuk menyatakan dirinya pada sri satu

pihak membuat kesan (atau mempengaruhi) subjek. Dan dipihak lain ditankap oleh subjek itu. Suatu realitas

bias mempengaruhi lainnya, hanya sejauh ia distruktur, ditentukan, sejauh ia mempunyai bentuk yang

memberikan kepada fisionomi khasnya dan menyebabkan adanya perbendaan dari yang bukan ia.

Apakah yang menyebabkan sesuatu menjadi diketahui, ialah bentuk atau esidosnya atau morphe (Yunani) ,

species (Ltn), yang berarti aspek dri satu benda dan apa yang dibentuk oleh benda itu dan apa yang

memberikan kepadanya dalam keadaan khas.

Bentuk daru suatu benda menunjukkan kepada kita orientasi, tujuan dan arti benda itu. Bentuk suatu benda

adalah bukan hanya apa yang memberi kodrat, tetapi juga memberikan kegiatan dan tujuan tertentu

kepadanya. Dari bentunya benda menerima baik “ada” maupun donamisme dari tujuan khas. Akibatnya

30

Page 31: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

mengerti bentuk dalam arti eidos (konsep, gagasan) suatu objek adalah juga menangkap orientasi dan

signifikasi, adalah mengerti mengapa dan untuk apa dia dibuat. Misalnya, menangkap eidos (konsep, gagasan)

pisau berarti mengerti sekaligus untuk apa pisau dibuat.

Filosuf kontemporer lebih suka mendefinisikan pengetahuan sebagai tangkapan arti atau signifikansi suatu

keadaan, daripada tangkapan bentuknya, akan tetapi dua segi itu, tidak saling bertentangan, melainkan saling

melengakapi , tujuan, arti atau signifikansi suatu benda tergantungm akhirnya pada bentuknya.

Karakter progresif pengetahuan tidak harus dilupakan. Dalam kenyataan, benda-benda dan terutama orang-

orang, bias saya mengerti dengan dalam, hanya sedikit demi sedikit saja. Mengani orang-orang, pengalam

sehari-hasri membuktikan bahwa mereka tidak bias kita mengerti, kalau mereka tidak kita dekati dengan hormat

dan simpati.

Melalui pengetahuanlah manusia bias berada secara lebih tinggi dan sekaligus mengatasi batas-batas badan

itu yang diperlukan supaya pengetahuan bias terjadi. Watak kodrati pengetahuan manusia yang paling tinggi,

yaitu pengetahuan intelektif, maka perlu dilengkapi dengan “manusia mengerti”.

Pengertian

Pengertian membicarakan apa yang bukan intelegensi manusia dan apa yang bukan intelegensi manusia, sifat-

sifat dan objek intelegensi manusia, kegiatan-kegiatan intelegensi manusia dan kodrat intelegensi manusia.

Bukan Intelegensi Manusia

Pengetahuan manusia adalah sekaligus indrawi dan intelektif. Akulah yang berintelegensi dengan melihat dan

yang melihat dengan intelegensi. Pengetahuan lewat akal budi, dilawankan dengan pengetahuan lewat

pancaindera (C.A. van Peursen), melalui memandang dan memegang dengan tanganlah ia mengerti.

Pengetahuan inderawi dan pengetahuan intelektif bersifat sinergis, berkat inderawi pengetahuan manusia

menyerupai pengetahuan hewan dan berkat keduanya (inderawi dan intelektif) ia melebihi secara esensial.

Jikalau pancaindera sama sekali tidak berfungsi, maka juga intelegensi tidak dapat berfungsi dan tinggal

lumpuh(Leahy. 2001: 114)

Manusia itu mampu mengenal segala hal bagi dan dalam dirinya dan bukan dalam hubungan dengan

kebutuhan-kebutuhannya yang pribadi dan langsung. Ia berhasil menerangkan hal-hal itu dengan berbagai

macam cara dan cara tak terbatas, mengikat tanda kepada tanda dan uraian kepada uraian lain. Objektivitas,

kreativitas, pengertian dan transedensi ini terhadap ruang dan waktu dapat dianggap kepada sekian banyak

manifestasi dan intelegensi manusia.

Intelegensi adalah salah satu gagasan yang begitu banyak dibicarakan orang. Namun pada waktu

membahas pengetahuan dan aktivitas, kita membedakan apa yang bukan intelegensi, kita coba menentukan

objeknya, maka kita menempuh cara dengan lebih memikirkan perilaku orang dewasa daripada mengusut asal-

usul intelegensi itu pada anak.

Apa yang merupakan pengetahuan intelektif, harus dibedakan dengan pengetauan inderawi, yaitu

dari pengetahuan yang dihasilkan oleh indera eksten kita saja. Kita melihat sesuatu objek tetapi tanpa

mengenal kodratnya bahkan tanpa memcoba mengerti. Sifak khas dari pancaindera adalah mencapai langsung

kualitas ini atau itu dari objek konkret yang sedang ditunjukkan kepadanya, sedangkan sifat dari intelegensi

menangkap kodrat objek dan tetap menyimpanya dalam dirinya sehingga dapat dipertimbangkan objek itu bagi

dirinya baik objeknya masih ada atau tidak ada.

Perbedaan radikal antara pengetahuan manusia inderawi hewan dengan pengetahua inderawi

manusia terletak dalam fakta structural, mengetahuan inderawi manusia lebih diilhami oleh intelegensi sebagai

tujuan. Misalnya saya mau mengerti justru karena saya berintelegensi. Persepsi inderawi manusia selalu sudah

dialami dan dimengerti dalam kesadaran, diterima dan diolah dalam pikiran (E. Coreth). Pikiran merupakan

bagian dari hakikat kita, melihat dan mendengar juga melibatkan pikiran (Laehy: 2001: 142).

Inderawi batin adalah ingatan dan imajinasi (daya membayangkan), keduanya merupakan

intelegensi, namun Pancaindera hanya mengambarkan segi-segi material dan konkret serta individualisasikan,

31

Page 32: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

sedangkan itu mengankap, menyatakan, menyimpan, membangkitkan dan mempertimbangkan (konsep atau

ide) struktur esensial, susunan metafisik, eidos dari objek itu.

Perbedaan intelegensi dengan indera batin lainnya disebut sebagai estimasi dan kogitatif.

Menangkap sesuatu objek berguna atau merugikan, bila melihat objek itu dengan menangkat tanpa arti

fundamental itulah yang dilakukan oleh binatang dan anak kecil, sedangkan menangkap arti fundamentalnya

itulah karakteristik intelegensi manusia dewasa.

Binatang tidak mampu pelampaui tahapan generalisasi stimulus untuk mencapai pembentukan

konsep-konsep akstrak, serta menerapkan mereka pada situasi-situasi yang baru. Ia hanya mampu

menerapkan symbol-simbol itu pada situasi-situasi yang mirip dengan situasi semula. Insight yang dapat dilihat

seekor Kera sama sekali tergantung pada situasi di mana muncul masalah. Ilmu yang disebut psikologi

binatang berbicara tentang practical intelligence yang berkatnya hewan dapat memecahkan beberapa masalah

yang melampaui kemampuan naluruinya. Ia tak sampai pada tingkat intelegensi konseptual.

Apa yang Bukan Seluruh Intelegensi Manusia

Intelegensi tidak bisa diidentikasikan dengan insight, yang terdiri dari apersepsi atau aprehensi tentang apa

yang esensial dalam suatu realitas atau yang perlu dalam gejala. Insight bukanlah merupakan keseluruhan kegiatan

intelektual. Sbeleum apa yang ditangkap dalam suatu insight boleh ditegaskan secra sah, maka hal itu harus dibuktikan

dan diverifikasikan melalui jalan penalaran atau refleksi. Penalaran sendiri bukanlah keseluruhan intelegensi, bila bersifat

induktif maka dia mulai dari satu atau banyak fakta untuk sampai kepada satu esensi atau hokum. Bila bersifat deduktif,

maka ia mulai dari suatu prinsip untuk mencapai kesimpulan. Maka dalam segala hal, ia mulai dari suatu putusan

(judgment) untuk sampai pada suatu putusan (judgment) lain.

Intelegensi bukan direduksi dengan kecakapan mengukur dan menghitung, intelegensi dan lawan intuisi, dalam

arti suatu partisipasi dengan intim makhluk-makhluk, sesungguhnya intelegensi manusia meliputi integensi dan intuisi.

Intelegensi tidak dapat diidentifikasi secara mutlak dengan kemampuan untu memulihkan keseimbangannya melalui

readaptasi diri dengan kenyataan, sebagai warisan bagi semua makhluk hidup dan dimiliki secara maksimal.

Sifat dan Objek Intelegensi Manusia

Intelegensi manusia dewasa terletak pada objektivitasnya, orang dapat melihat hal-hak yang dalam padadirinya

sendiri. Menurut Decartes bahwa rohjustru memungkin untuk mencapai hakiakt sendiri dari realitas, sedangkan panca

indera hanya memberitahukan kepada kita yang apa yang berguna atau apa yang merugikan dari hal-hal tersebut.

Menurut Psikologi kontemporer yang tidak memtentangkan intelegensi dengan pancaindera, tetapi

membandingkan intelegensi orang dewasa dengan intelegensi anak, intelegensi orang dewasa dapat dikenal dengan

objeknya, sedangkan intelegensi anak bersifat egosentris. Sebelum berumur 7 tahun anak mengarahkan segala sesuatu

pada dirinya dan menafsirkan segala sesuatu dalam hubungannya dengan dirinya, ia menangkap realitas melalui prisma

hasrat-hasrat dan ketakutan-ketakutannya yang mendeformasikan.

Tapi, belum cukup intelegensi orang dewasa bercorak khas karena kemampuannya terhadap objektivitas.

Intelegensi dapat mengenal hal-hal sebagaimana mereka ada dalam diri mereka sendiri, karena ia mencapai mereka

secra mendalam dan buka secara superficial.

Intelligere berasal dari kata “intus” berarti dalam. Legere berarti membaca dan menangkap. Sehingga

intellegere berarti “membaca “ dimensi dalam segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Insight yaitu mengenal

sebagai cirri khas dari intelegensi. Menjadi inteligen sesungguhnya berarti menangkap apa yang fundamental pada jenis

yang ini atau macam “ada” yang itu (mesin, makhluk hidup, binatang, manusia), berarti menangkap apa yang esensial dari

suatu gejala (dari gerhana, daya sentrifugal, pasang surut), melihat apa yang hakiki dalam kegiatan ini atau itu (menahan,

mengurangi, mengalihkan dan membagi).

Intelek itu mencapai yang universal sedangkan pncaindera menyangkut hal-hal yang individual (Aristoteles).

Intelegensi orang dewasa secara terus menerus untuk menemukan secara mendalam bagaimana realitas tersebar dalam

alam semesta, bagaimana kejadiannya, bagaima pengaruh saling keterkaitan dari berbagai factor yang melahirkan suatu

peradaban dan bagaimana urutannya melahirkan suatu sejarah yang merupakan cirri khas roh manusia.

32

Page 33: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Disamping bersifat objektif, mendalam, terstruktur, objek khas dari intelegensi manusia dewasa ini juga bersifat

tak terbatas. Ia memperhitungkan pelajaran masa lampau, kemungkinan masa depan. Semakin dalam refleksinya maka

semakin luaslah objeknya. Ia berpikir secara terus menerus semakin dalam semakin luas, maka manusia modern penuh

antusias untuk penemuan, pencitaan semakin cepat.

Semua kita mengetahui baha kita tidak pernah puas dengan pengetahuan kita, betapa pun tinggi dan banyaknya, tak ada

selesainya, meski besar sekali pengetahuan seseorang, namun munkin besar juga kehausannya untuk meneruskannya.

Objek dari intelegensi ialah “ada” yakni segala sesuatu ada, yang pernah ada dan mungkin akan ada baik berupaka

kenyataan maupun khalayan atau hanya dikonsepsi saja.

Intelegensi manusia benar-benar memahami segala-galanya, lebih lebih segalanya secara sempurna, artinya

tidak ad realitas apa pun yang secara principal tak dapat dicapainya dan bahwa tidak ada apa pun yang sedikitnya tak

dapat menjadi objek penyelidikannya. Jika “tendensi alamiah” intelegensi untuk “ada” untuk menghadapi segala sesuatu

yang mempunyai suatu hubungan dengan eksistensi, hendak diingkari, maka haruslah diandaikan suatu realitas yang

karena kodratnya secara mutlak berada diluar jangkauan intelegensi manusia. Sekaligus membuat suatu objek bagi

intelegensi yang membuat mengandaian itu dan menunjukkan bahwa yang yang katanya tak dapat dimasuki itu, tetap

dapat dimasuki oleh intelegensi, sedikitnya dari pihak itu.

“Ada” menarik perhatian intelegensi dengan mempertimbangkan bahwa setiap kegiatan intelegensi mencapai

objek-objek sejauh mereka menyangkut “ada”. Bila intelegensi ingin mengerti sesuatu, maka penyelidikannya akan

mengenai “ada” (eksistensi) atau bagaimana objek itu ber-ada (esensi). Apakah itu sesuatu yang ada? Bila intelegensi

mengerti, maka ia menangkap objeknya itu ada atau ia adalah begini atau begitu. Bila ia mendefinisikan, maka

menempatkan objek itu dalam suatu jenis dan spesies eksistensi tertentu. Bilamana ia menilai, maka ia menegaskan

bahwa objek itu adalah seperti apa yang digambarkan dan dikatakannya. Bilamana ia bernalar, maka ia menunjukkan

mengapa objeknya adalah sebagaimana adanya.

Segala penegasan, penilaian, kesimpulan dan penalaran kita didasarkan kepada beberapa prinsip:

1. prinsip identitas,

2. prinsip alasan yang mencukupi,

3. prinsip kausalitas efisien,

Prinsip-prinsip tersebut bersifat eviden dari dirinya sendiri karena mereka tidak bisa disangkal tanpa dipergunakan

sebagai alasan sangkalannya, mereka juga tidak bisa dibuktikan karena untuk membuktikan sesuatu harus digunakan

suatu prinsip lebih fundamental daripada apa yang mau dibuktikan. Prinsip-prinsip di atas merupakan ”dinamisme dari

’ada’ dalam kegiatan intelektual kita. Seluruh aktivitas intelegensi kita tergantung pada prinsip-prinsip itu. Intelegensi kita

menggunakan mereka lebih dari pada melihat mereka, dari aspek roh bisa dikatakan prinsip itu merupakan kehadiran

yang menerangi intelegensi.

Kegiatan Intelegensi Manusia

Kondisi apakah suatu intelegensi yang terjelma berkegiatan:

a) intelegensi merupakan salah satu kemampuan manusia dan beroperasi dengan partisipasi semua

kemampuan lain.

b) Apa yang dimengertinya selalu dipahami.

c) Tak bisa memahami sesuatu secara mendalam dengan seketika, melainkan secara progresif,

memerlukan waktu dan mengandaikan adanya intervensi yang konstan dari daya ingat.

d) Intelegensi melalui aktivitas dinamisme intelektual saja, perlu kehendak, keyakinan, keberanian dan

kesabaran.

e) Untuk dapat mengerti dibutuhkan bantuan dan kolaborasi, perlu informasi terhadap suatu objek,

bimbingan penelitian, berpikir dalam hubungan dengan orang-orang lain.

Persepsi yaitu semacam pengetahuan sepontan prasadardan pra-pribadi tentang dunia di maka kita berada.

Kegiatan kognitif yang disadari adalah munculnya pikiran dalam diri. Kegiatan yang terjadi di dalam dan di sekeliling

dinamakan aprehensi. Agar intelegensi bngkit sama sekali dan mulai benar berfungsi, maka diperlukan sesuatu menjadi

masalah bagi diri sendiri, memulai dengan suatu pertanyaan dalam diri untuk memaksa untuk memperhatikan dan

berpikir. Kebanyakan pertanyaan tak terjawab karena belum menemukan jawaban yang cocok, tetapi bila diadakan

33

Page 34: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

penelitian yang menghasilkan suatu insight yaitu suatu penangkapan suatu intuisi mengenai jawaban yang dicari. Insight

berarti : ”aku telah menemukan, telah mengerti sakarang”. Dalam bahasa Archimedes ”Eureka!!”.

Insight adalah intelegensi yang berhasil menembus suatu data, menangkap eidosnya, bahwa intelegensi

mampu mengandaian atau mengabstraksikan untuk menerangkan data sehingga jelas ciri-ciri pokoknya. Mengetahui

segala hal sedalam mungkin, ia hendak memverifikasikan insight-nya (seperti memverifikasi suatu hitotesa). Dalam

verifikasi inilah intelegensi manusia tampak bersifat diskursif, bernalar dan berpikir. Diskursif ” dis-currere” berarti berlari

ke berbagai arah, Bernalar ”raisonner, to reason” berarti mengukur, menghitung, mengkalkulasikan. Berpikir ”penser”

berarti menimbang, menyelidiki, membandingkan, menilai. Gerakan intelegensi terjadi menurut dua arah induksi dan

deduksi. Penalaran mencapai tahan suatu putusan (seperti hakim membutusan perkara) ia bersifat autentik, maka

putusan merupakan kegiatan pokok intelegensi.

Putusan lebih direfleksikan daripada persepsi, aprehensi dan insight, sebab tiada putusan autentik kecuali telah

menyadari dasar pembenarannya. Salah satu tindakan refleksi yang paling menakjubkan dari intelegensi manusia adalah

tindakan menyadari bahwa ia memiliki norma-norma yang berkatnya ia mampu mengeluarkan putusan-putusan tentang

segala sesuatu. Bagi para psikolog beriteligensi berarti mampu untuk menggunakan jenis bahasa, bahasa konseptual

yang mengungkapkan nama-nama benda atau simbol matematik dan ilmiah. Bahasa itu akan digunakan setiap kali

orang mengungkapkan apa yang unit dan khas pada dirinya.

Penelitian tentang intelegensi manusia membahasa kita pada pokok pangkal masalah, yaitu bahasa dan

isyarat. Kata dan isyarat bagi kita tampak sebagai sarana komunikasi dan manifestasi diri terhadap orang lain, maka

sekarang kita melihatnya sebagai sarana untuk mengungkapkan terhadap diri kita sendiri dan sebagai apa yang dituntut

oleh status kita sebagai roh yang terjelmakan.

Kodrat Intelegensi Manusia

Menurut aliran sensualisme atau empirisme psikologi masukan informasi lewat indralah tempat bergantungnya

pengetahuan kita dan intelegensi kita. Sifat immaterial atau karakter transeden intelegensi terhadap inderawi buka hanya

muncul sebagai kesimpulan analisis filosofis, karena roh bukanlah sesuatu yang bersifat material. Berdasarkan penelitian

K.S Lashley, dkk. Tentang otak manusia menyatakan bahwa otak tak lebih dari alat aktualisasi dan seleksi kehidupan

mental: ingatan dan pikiran. Bahkan menurut Eccless menyatakan bahwa imajinasi kreatif terjadi tanpa tergantung pada

otak .

Intelegensi melewati batas-batas organis selalu diakui oleh filosuf besar. Keunggulan itu disebabkan karena

intelegensi merupakan suatu keterbukaan dan kemampuan menerima yang murni, ia bersifat tak berubah dan

mengandung norma-norma yang stabil. Roh membanjiri secara total otak yang digunakan sebagai alat menggoreskan

kegiatannya di dunia. Jiwa ada dalam badan tetapi badanlah yang dikandung jiwa (Platinos). Tingkat tertinggi

immaterialitas itu yang membedakan intelegensi secara esensial dari yang indrawi dinamakan spiritualistas, yang semula

berarti hembusan dan angin, kemudian pernafasan, akhirnya menunjukkan kecakapan yang merupakan ciri khas

intelegensi, untuk masuk dan menembus dimana-mana, untuk mencapai apa yang halus dan mendalam, untuk

menjelajahi dunia dan mengisi ruang angkasa dan bahkan membawa diri manusia sampai ke yang mutlak.

Intelegensi suatu kemampuan yang dapat diisolir suatu penentuan aksidental atau sekunder, ia meresapi,

mengkarakterisasikan dan mengspesialisasikan substansi. Jika setiap kemampuan untuk mengenal, mengandung pada

subjek yang mengenal, keterbukaan dan kedalaman, maka haruslah diakui bahwa berkat intelegensilah manusia

merupakan ”ada” yang terbuka dan tanpa batas. Intelegensilah yang mendasari martabat yaitu kemampuan mutlak, yang

mendasari otonomi dan kebebasannya. Manusia mampu untuk mengambil jarak terhadap sesuatu, menjatuhkan

pendapat, menilai, memilih dan mengambil sikap dengan mengenal sebabnya.

Intelegensi adalah prinsip kekekalan dalam diri kita, kematian bukanlah kehancuran total, karena adanya roh

yang tidak musnah bersama dengan daging. Jika kehidupan mental membanjiri kehidupa otak, jika otak itu hanya

mengungkapkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang terjadi dalam kesadaran, maka hidup sesudah mati menjadi suatu

yang mungkin sekali.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

34

Page 35: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

1. Apakah perbedaan pengetahuan diskursif dengan intuitif?

2. kegiatan pengetahuan bisa disebut kualitas dari subjek. Jelaskanlah!

3. jelaskan hubungan pengetahuan dengan kesadaran?

4. jelaskan bahwa pengetahuan manusia adalah indrawi dan intelektif?

5. Apakah artinya insight?Jelaskanlah!

6. bagaimana perbandingan intelegensi orang dewasa dengan anak-anak?

7. bagaimana intelegensi menjangkau realitas?

8. jelaskanlah tentang refleksi?

Daftar Pustaka:

Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

Leahy, louis. 2001. Siapakah Manusia. Yokyakarta. Kanisius.

35

Page 36: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 8

KEHENDAK BERKUASADAN MANUSIA UNGGUL

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis kehendak berkuasa dan manusia unggul.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis kehendak berkuasa

dan manusia unggul. yang meliputi sebagai berikut:

Hidup Nietzsche

Moralitas

Manusia unggul

Dekadensi

Evaluasi kritis

Materi Pembahasan

Hidup Nietzsche

Nietzsche adalah seorang pendeta terkemuka, teman sekolahnya memangggil dia sebagai "Pendeta Cilik".

Pada usia delapan belas tahun dia kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan menghabiskan sisa hidupnya untuk

mencari Tuhan Yang baru, ia menemukan Tuhan yang baru dalam manusia unggul (Ubermensch).

Tahun 1865, ia menemukan karya Schopenhauer "Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan". Makna yang

diambil dari karya Schopenhauer adalah keteduhan jiwa dari kebijaksanaan dan ketenangan hati dan roh yang seimbang

tidak pernah terpantul dalam sikap dan tindakannya. Pada usianya kedua puluh ia bergabung dengan angkatan

bersenjata dan memuja perilaku militer. Dia mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Hidup adalah

perjuangan untuk bereksistensi di mana organisme yang paling pantas untuk hiduplah seterusnya, maka kekuatan adalah

kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang mamalukan. Yang baik adalah yang mampu

melangsungkan kehidupan, yang berjaya dan menang. Yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk dan

kalah.

Hidup adalah medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar terus melangsungkan hidupnya. Dalam

pertarungan tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan, yang dibutuhkan bukanlah kerendahan hati melainkan

kebanggaan diri, bukan altrusmisme , melainkan kecerdasan yang amat tajam. Dalam hidup bukan hukum yang dibuat

manusia tapi yang dibuat oleh alam. Kesamaan dan demokrasi bertentangan dengan kenyataan seleksi alam dan

kelangsungan hidup, keadilan berlawanan dengan kekuasaan.

Nietzsche seorang rohaniawan, seluruh kehidupannya dihabiskan untuk mencari "perlengkapan" fisikal dan

intelektual agar idealisnya semakin kuat dan kokoh. Pada tahun 1885, ia menemukan karya Schopenhauer "dunia

sebagai kehendak dan gagasan" dan menemukan didalamnya "sebuah cermin yang memantulkan dunia, kehidupan dan

hakikat diri sendiri. Dia pernah terlibat dalam militer sehingga membawa dirinya disiplin yang tinggi serta mengagungkan

serdadu karena kesehatannya. Dari kehidupan militer yang keras beralih ke dalam kehidupan akademis sebagai ahli

bahasa (fisiolog). Nietzsche pernah terpengaruh dengan musik sehingga mengarang buku drama Yunani Kuno.

Nietzsche, merasakan sukar hidup bersama manusia karena keheningan merupakan sesuatu yang asing bagi

mereka, kemudian dia mengasingkan diri ke Italia dengan harapan menemukan manusia Unggul. Kalau Tuhan telah mati

sehingga tidak satupun yang tersisa, bagaimana manusia menanggung dirinya dan hidup sendiri? Nietzsche merasakan

menyatu dengan "semua orang yang, seperti diriku, menderita dari kebencian yang hebat,sehingga dari kebencian itu

Tuhan Yang lama mati, tapi Tuhan yang baru belum muncul..." yang kemudian dia mengumumkan Tuhan yang Baru,

yakni Manusia Unggul (superman) dengan segala tabiat yang harus ada padanya. Nietzsche tidak puas hanya dengan

menciptakanTuhan dalam imajinasinya, ia pun membuat dirinya kekal. Setelah Manusia unggul lahir, datanglah

Kebangkitan Yang Abadi. Segala-galanya akan kembali lagi, berulang-ulang tanpa batas. Nietzsche, dunia dan segala

36

Page 37: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

isinya dan roh umat manusia yang melahirkan Zarathustra. Segenap unsur dalam kenyataan adalah terbatas, akan tetapi

waktu tidak terbatas, suatu hari kehidupan dan materi akan musnah dan kembali seperti sediakala, dalam pengulangan itu

sejarah pasti berulang lagi. Nietzsche meninggal pada tahun 1900, dan kita harus mengakui kejeniusannya. Sedikit sekali

manusia yang berani membayar mahal untuk kejeniusannya dan di antara yang sedikit itu, Nietzsche adalah salah

satunya.

Moralitas

Nietzsche menulis dua buku yang berisi menghancurkan moralitas lama, dan mempersiapkan jalan untuk

moralitas Manusia Unggul. Dia menilai tingkah laku manusia dengan dua titik pandang, yaitu: Herren moral dan heerden

moral, moral tuan dan moral budak. Moral tuan adalah standar yang diterima diantara orang-orang Romawi, kebajikan

adalah virtus kejantanan, keberanian dan kerja keras. Di Asia (Yahudi) standar lain yang mana penaklukan melahirkan

kerendahan hati yang merupakan upaya meminta pertolongan. Di bawah moralitas budak cinta pada bahaya, kekuasaan

membuka jalan untuk cinta pada keamanan dan kedamaian, keberanian diagantikan oleh kelicikan, balas dendan secara

terbuka diganti dengan balas dendam diam-diam.

Setiap manusia memiliki kebijaksanaan yang sama dan mempunyai hak yang sama. Di luar agama, muncul

demokrasi, utilitarianisme, sosialisme. Dibalik semua "moralitas" adalah kehendak rahasia untuk berkuasa. Cinta itu

sendiri hanyalah keinginan untuk memiliki pertempuran. Banyak orang membayangkan bahwa kalau jatuh cinta mereka

tidak memikirkan diri sendiri melainkan mementringkan orang lain, agar orang lain tersebut bahagia, meskipun seringkali

harus berlawanan dengan kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi, dalam melakukan itu, mereka sebenarnya memiliki

orang lain (cinta adalah segenap perasaan yang sangat egoistik dan konsekwensinya, kalau sedang berselisih, ia sangat

tidak bermurah hati). Cinta kepada kebenaranpun adalah keinginan untuk memiliki kebenaran, barangkali untuk menjadi

pemilik pertamanya untuk menemukan keasliannya. Kerendahan hati adalah cara untuk melindungi kehendak untuk

berkuasa.

Rasio dan moralitas tidak berdaya melawan nafsu untuk berkuasa. Rasio dan moralitas hanyalah senjata yang

digengam nafsu dan menjadi barang mainannya. Bagian terbear dari aktivitas intelektual kita berlangsung tanpa disadari

dan tidak dirasakan, manusia berusaha menyembunyikan keinginan di bawah lindungan rasio, argumen sederhana yang

selalu mereka kemukakan hanyalah "saya berkehendak demikian". Yang terbaik bagi manusia adalah kekuatan

kehendak, kekuasan dan daya tahan nafsu, manusia sama dengan sapi perah, tidak mampu berbuat menurut kehendak

hati.

Etika yang sejati bersifat biologis, kita harus menilai segala sesuatu berdasarkan pada maknanya untuk hidup,

kita membutuhkan suatu "lintas penilaian yang bersifat fisiologis terhadap semua nilai yang ada". Ujian nyata bagi setiap

manusia, kelompok atau spesies adalah energi, kemampuan, kekuasaan. Jiwa dipastikan merupakan fungsi dari

organisme.

Manusia Unggul

Manusia ungul tidak dilahirkan oleh alam, Proses biologis sering tidak adil terhadap individu-individu yang luar

biasa, alam sangat kejam terhadap produknya yang yang paling baik, alam lebih mencintai dan melindungi manusia yang

rata-rata, dalam alam terdapat penyimpangan yang terus menerus pada "jenis-jenis manusia”. Oleh sebab itu, manusia

unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia (human selection), melalui perbaikan kecerdasan

(eugenic foresight) dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan individu-individu.

Amatlah absurd kalau membiarkan individu-individu yang lebih tinggi derajatnya melakukan perkawinan karena

cinta–misalnya para pahlawan dengan gadis-gadis pelayan, para jenius dengan tukang jahit perempuan. Kalau orang

manusia sedang jatuh cinta, jangan biarkan dia membuat keputusan-keputusan yang bisa mempengaruhi seluruh

hidupnya. Tidak mungkin bagi manusia bercinta dan bijaksana sekaligus. Kita wajib menyatakan "tidak sah" pada janji-

janji yang diucapkan oleh seorang yang sedang kasmaran, kita harus memandang cinta sebagai rintangan berat untuk

perkawinan. Yang terbaik harus mengawini yang terbaik, cinta harus kita tinggalkan hanya untuk orang papa, untuk

golongan tertindas. Tujuan perkawinan bukanlah semata-mata reproduksi, tetapi juga harus ditujukan untuk

perkembangan. "Perkawinan : saya akan menamakannnya kehendak dari dua orang untuk menciptakan satu kesatuan

37

Page 38: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

yang lebih daripada mereka yang menciptakannya. Saya namakan perkawinan sebagai penghormatan satu sama lain

setelah saling menghendaki.

Calon Manusia Unggul yang baru lahir membutuhkan peningkatan kecerdasan. Intelek melulu tidak membuat

manusia jadi mulia. Sebaliknya, selalu perlu suatu untuk memuliakan intelek."Lalu apa yang dibutuhkan? Darah ...."

setelah itu, diperlukan pendidikan yang keras, di mana kesempurnaan merupakan materi utamanya dan tubuh dilatih

untuk menderita dalam keheningan yang diam, sedangkan kehendak dilatih untuk memerintah dan mematuhi perintah".

Pendidikan untuk manusia-manusia unggul haruslah sedemikian keras, sehingga mereka mampu membuat tragedi

menjadi komedi. Ia yang berjalan menyusuri gunung-gunung tertinggi akan menertawakan semua tragedi.

Energi, intelek dan kehormatan atau kebanggan diri – ini semua membuat manusia unggul. Namun harus

selaras. Manusia dungu, lemah kurang memiliki kekuatan untuk bertahan hidup, hal yang terbaik adalah mendisiplinkan

diri, berbuat atas diri sendiri. Kita harus keras pada orang lain, terutama pada diri sendiri, kita mampu mempunyai tujuan

dalam menghendaki apa saja, kecuali berkhianat pada teman sendiri itulah tanda kemuliaan. Rumus akhir Manusia

Unggul.

Dekadensi

Jalan menuju manusia unggul melalui aristokrasi. Demokrasi harus dilenyapkan sebelum terlambat. Langkah

pertama adalah menghancurkan Kristianitas. Kemenangan Kristus adalah permulaan demokrasi, karena tujuannya adalah

menolak hak istimewa dan berjuang untuk persamaan hak. Setelah Eropa ditaklukan oleh Kristianitas, berakhir aristokrasi

kuno, lahirlah akar aristokrasi modern. Mereka tidak dibebani oleh "moral", bebas dari batasan sosial.

Demokrasi berarti penyimpangan, berarti pemujaan terhadap orang-orang banyak dan kebencian terhadap

orang unggul. Dalam demokrasi tidak mungkin lahir Manusia Unggul dan bangsa besar. Masyarakat demokrasi adalah

masyarakat yang tanpa karakter, yang menjadi figur dan model bukan manusia superior, melainkan manusia mayoritas,

setiap orang berusaha menyerupai orang-orang lain, juga dalam hal seks – laki-laki menjadi perempuan dan perempuan

menjadi laki-laki.

Feminisme adalah akibat langsung dari demokrasi. Emansipasi tidak mungkin karena perang antara laki dan

perepuan tidak akan pernah berakhir. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Sungguh kasian tulang rusukku

kata laki-laki. ".. {Laki-laki bagi perempuan adalah alat, tujuan akhirnya adalah anak. Akan tetapi perempuan adalah

mainan yang berbahaya. Laki-laki akan dididik untuk berperang dan perempuan untuk hiburan para prajurit perang.

Sisanya adalah kebodohan. Namun perempuan yang sempurna merupakan jenis kemanusiaan yang lebih tinggi dari laki-

laki yang sepmpurna, meskipun kita jarang menjumpai perempuan yang demikian.

Bersama feminisme datanglah sosialisme dan anarkhisme adalah sampah demokrasi. Manusia adalah makhluk

yang tidak sama, alam benci pada kesamaan, alam menyukai perbedaan. Persoalan politik yang sebenarnya adalah

bagaimana menghindari pengusaha menjadi pemimpin, menjadi orang yang mengatur. Pengusaha mempunyai

pandangan yang pendek dan pikiran yang sempit. Ia tidak seperti aristokrat yang dilatih untuk menjadi negarawan, yang

berwawasan luas dan pemikiran yang mendalam, merekalah sebelulnya mempunyai hak untuk mengatur untuk menjadi

penguasa.

Evaluasi Kritis

Filsafat Nietzsche lebih tepat disebut syair ketimbang filsafat. Nietzsche berpendapat kecerdasan disebabkan

kemampuan yang berlebihan, egoisme yang menarik, pembalikan setiap fakta yang telah diterima umum, menafikan

kebajikan.

Pandangannya tentang politik lebih bergema daripada tentang moral. Aristokrasi adalah pemerintahan yang

ideal. Aristokrasi tidak menyukai univikasi, cenderung nasionalisme sempit, mereka akan menghilangkan sumber utama

kekuatannya – manipulasi hubungan luar negeri. Negara dunia tidak menguntung bagi kebudayaan seperti yang

dipikirkan oleh Nietzsche. Ada zaman pergerakan dan perubahan yang merangsang penciptaan kebudayaan.. Rumus

yang terbaik adalah " karir hanya terbuka bagi orang yang berbakat" Aristokrasi hanya baik kalau ia merupakan kumpulan

manusia yang berkualitas yang berhak untuk berkuasa, bukan terletak pada kelahiran melainkan kepada kemampuan.

Aritokrasi hanya baik kalau ia merupakan sekumpulan manusia berkualitas yang haknya untuk berkuasa terletak bukan

karena kelahirannya melainkan karena kemampuannya.

38

Page 39: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Intensitas pemikiran Nietzsche telah menghancurkan dirinya secara perlahan. Perang melawan zamannya

membuat jiwanya tidak seimbang "Sungguh mengerikan menabuh genderang perang terhadap sistem moral yang berlaku

pada zaman kita sendiri – pembalasannya pasti datang dari segenap penjuru" kata Ellis. Hingga akhir hidupnya, karya

Nietzsche tidak pernah surut dari kebencian, ia menyerang orang-orang seperti halnya ia menyerang gagasan-gagasan

filsuf terdahulu.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Bagaimanakah hidup Nietzsche. Jelaskan dengan ringkas!

2. Bagaimana pandangan Nietzsche tentang moral? Jelaskan!

3. Apakah yang dimaksud dengan manusia Unggul menurut Nietzsche?

4. Apakah kritik terhadap Nietzsche?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

39

Page 40: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 9DARI MANUSIA MISTIK KE MANUSIA ILMIAH

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan dari manusia mistis ke manusia ilmiah

sebagai perkembangan akal budi manusia menurut Filsafat Positivisme.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan dari

manusia mistis ke manusua manusia ilmiah sebagai perkembangan akal budi manusia menurut Filsafat Positivisme.. yang

meliputi sebagai berikut:

Perkembangan akal budi manusia

Ilmu pengetahuan positif

Pengaruh positivisme Auguste Comte

Permasalahan praktis seputar positivisme

Materi Pembahasan

A. Perkembangan Akal Budi Manusia

Istilah positivisme mengacu kepada dua hal:

a. Teori pengetahuan (epistemologi)

b. Teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia.

Sebagai teori perkembangan sejarah manusia, positivisme identik dengan tesis Comte mengenai tahap-tahap

perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergerak berurutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula

dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis dan akhirnya pada tahap yang paling tinggi, yakni tahap positif..

Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam filsafat

Barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif dan fakta-fakta tersebut

harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yaitu metode eksperimentasi, observasi dan komparasi.

Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata, pasti, berguna, jelas dan yang langsung dapat diamati dan

dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan menilainya. Oleh Comte, fakta

serupa itu dilawankan secara tegas dengan kejadian yang bersifat khayal, meragukan, ilusi dan kabur.

Setiap pengetahuan yang tidak mendasarkan kepada fakta positif atau melampaui fakta positif dan

mendekatinya tidak dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan tidak bisa lain dari fantasi atau spekulasi liar. Jenis

pengetahuan ini menurut Comte terdiri dari teologi dan metafisika, lambat tapi pasti akan tersingkir dan digantikan oleh

ilmu pengetahuan positif.

Dalam dunia intelektual, tesis Comte sangat berpengaruh saat ini, Asumsi-asumsi dasar dalam ilmu

pengetahuan modern tampaknya membenarkan tesis Comte tentang perlunya menggunakan metode-metode ilmiah dan

menghapus spekulasi-spekulasi liar. Zaman bertahtanya ilmu pengetahuan positif di dalam berbagai ilmu pengetahuan

sosial dan politik.

Tahap-tahap Perkembangan Akal Budi Manusia melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisika dan

tahap positif

1. Tahap Teologis

Tahap ini tahap paling awal dari perkembangan akal budi manusia, yang mana manusia berusaha berusaha

menerangkan fakta kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapmnya berupa misteri, segalanya

dikaitan dengan hubungan misterius. Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional yang selalu

40

Page 41: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

diliputi rahasia yang tak terpecahkan oleh pikiran sederhana. Tahap ini dijumpai oleh manusia-manusia Purba. Dalam

tahap teologis dijumpai beberapa bentuk cara berpikir, yaitu:

a) Cara berpikir fetivisme dan animisme, manusia purba tidak mengenal konsep abstrak, benda tidak dimengerti dalam

konsepnya yang umum, pohon beringin boleh jadi menjadi sakral dan khas yang lain dari pohon yang lain. Manusia

mempunyai jiwanya sendiri, keris, batu cincin, kereta kencana, rumah kuno, dsb mempunyai roh dan keperibadiannya

sendiri-sendiri.

b) Cara berpikir politeisme, cara ini lebih maju dari yang pertama yang sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas

dasar persamaan dan kemiripan. Individualitas dan partikularitas benda atau kejadian diganti oleh kelas-kerlas benda atau

kejadian dan kemudian diekspresikan dalam bentuk konsep umum dan abstrak, seperti jika animisme setiap sawah dihuni

oleh roh leluhur, maka dalam cara berpikir politeisme semua sawah di huni oleh Dewi Sri.

c) Cara berpikir monoteisme, tidak lagi mengakui banyak roh dari benda dan kejadian tapi hanya satu roh saja yakni

Tuhan, yang menguasai langit dan bumi. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang

kemudian menjadi pedoman hidup dalam masyarakat. Peran rohaniwan atau termasuk dukun sangat menentukan yang

diyakini mampu memperantarai antara manusia dengan Tuhan. Raja sebagai pejabat negara mempunyai legitimasi

teologis, baik sebagai wakil Tuhan di bumi maupun sebagai titisan dewata yang suci.

2. Tahap Metafisis

Tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan cara membuat abstrak dan konsep

metafisik. Manusia pada tahap ini berusaha mencari hakekat dan esensi dari segala sesuatu. Dogma agama mulai

ditinggalkan dan akal budi mulai dikembangkan, iirasional disingkirkan dan analisis dikembangkan.

Perbedaan berpikir teologis dengan metafisika terletak dari cara menerangkan kenyataan, alam yang semula berasal dari

Dewa atau Tuhan kini diterapkan dengan konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, tuntutan hati

nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral dsb. Konsep itu hanya pengandaian a priori, tanpa penelitian yang sungguh-

sungguh dan ilmiah. Pengetahuan metafisis tidak mencari informasi baru tapi merupakan nama baru pada konsep lama.

3. Tahap Positif

Untuk menerangkan proses perkembangan akal budi manusia secara individual, Comte menulis "sebagai anak kita

menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai orang dewasa kita menjadi ahli ilmu

alam". Tahap positif berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Akal mencoba

mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum hukum yang mengatur gejala

dan kejadian itu yang bersumber dari gejala dan kejadian positif yang dapat dialami oleh setiap orang. Hukum harus

dipertanggungjawabkan yang dibuktikan dengan metode.

Ilmu pengetahuan membawa manusia dari perasan terkungkung oleh kekuatan magis, ilmu pegetahuan dengan

sendirinya membawa moralitas dan humanisme sendiri dan mampu mencegak kita dari keinginan yang tidak rasional

untuk berperang dan menindas alam dan manusia.

B. Ilmu Pengetahuan Positif

Comte menunjuk pada rasionalisme Descartes, Galileo Galilei, Isaac Newton dan Francis Bacon, inilah model

ilmu pengetahuan positif. Bangun ilmu pngetahuan positif dapat dirumuskan:

i. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Hanya objek pengetahuan dalam keadaan

bersih dari setiap pengaruh subjektif si ilmuwan sajalah yang boleh dituangkan dalam laporan-laporan, teori-teori dan

hukum ilmiah, laporan yang tidak bisa diukur dengan observasi tidak dapat ditolerir keberadaannya.

ii. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi.Ramalan (prediksi)

merupakan salah tujuan terpenting dari ilmu pengetahuan. Setiap penjelasan (teori dan hukum) ilmiah sudah

terkandung prediksi.

iii. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar

hubungnya dengan fenomena-fenomena atau kejadian lain. Hubungan relasi sebab akibat, atara benda, gejala atau

kejadian

41

Page 42: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Ketiga asumsi tersebut di atas pada prinsipnya dilandasi oleh kenyataan ontologis Comte yang bersifat

naturalistik dan deterministik yakni segenap gejala dan kejadian tunduk pada hukum alam yang berjalan secara mekanis

dan menentukan yang bersifat psikis dan organis

Selain itu, Comte-pun mempunyai keyakinan epistemologis dan atau metodologis yang semakin kuat.

Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan

positif yang bersifat objektif, ilmiah, dan universal, pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti (the scince of

number). Studinya yang mendalam mengenai ilmu ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai

tingkat kebenaran yang sangat tinggi (the truth of number are true of all things, and depend only on their on laws), bebas

dari penilaian-penilaian subjektif dan berlaku universal. Oleh sebab itu, suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai

perhitungan ilmu pasti adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti (matematika dan atau statistika) ilmu pengetahuan

akan kembali menjadi metafisika.

C. Pengaruh Positivisme Auguste Comte

Pengaruh ilmu pengetahuan positif Comte terhadap filsafat Barat menurut Koento Wibisono adalah:

a. Semakin tebalnya optimisme masyarakat Barat yang telah timbul sejak jaman Aufklarung mengenai hari depan umat

manusia yang semakin baik dan maju.

b. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa sehingga mendorong lahirnya model-model ilmu

pengetahuan yang positif yang lepas dari muatan-muatan spekulatif.

c. Konsepsi yang semakin melaus tentang kemajuan atau modernisasi yang menitik beraktkan pada kemajuan dan

modernisasi dalambidang ekonomi, fisik dan teknologi (masyarakat industri).

d. Menguatnya golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.

Beberapa pengaruh yang baru disebut diluar pengaruh positivisme Comte di dalam sejarah filsafat yang

melahirkan pengetahuan fisika sosial atau sosiologi serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

D. Permasalahan Praktis Seputar Positivisme

Dalam ilmu pengetahuan dan industri, jika ilmu pengetahuan satu-satunya penggerak kemajuan dan industri

wujud nyata dari kemajuan, maka bangunan fisik materrial apa akhirnya merupakan tolak ukur dari keberhasilan atau

kemajuan pembangunan. Orientasi utama pembangunan adalah fisik material, sedangkan pembangunan mental spritual

diandaikan dengan sendirinya akan mengikuti pembangunan fisik material.

Jika tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material, maka sasaran atau

orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material. Pruduct – minded,

demikian sering disebut-sebut orang kaya, memenuhi benak hampir setiap orang yang hidup di masa kini.

Maka.konsekuensi etis dan psikologisnya pun bisa kita saksikan dalam masyarakat kita. Kebutuhan manusia digiring pada

– meninjau terminologi Max Weber "orientasi tujuan" sehingga etika dan moral menjadi marginal.

Tujuan hidup kita bukan pada kebahagiaan dan kenikmatan kerja, melainkan pada perolehan sebanyak-

banyaknya hasil dalam waktu yang singkat. Jalan pintas dan perilaku amoral, dengan demikian dipermaklumkan oleh

masyarakat. Harga diri dan martabat seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi

ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa itu. Semakin besar, semakin besar pul;a harga diri dan

martabat orang atau bangsa itu. Kualitas pribadi dan kemanusiaan hanya merupakan nilai yang bersifat periferal.

Persoalan lainnya berkenaan dengan nilai dan kesenian. Nilai estetik suatu karya seni lukis misalnya, tidak lagi

karena nilai intrinsiknya, melainkan karena nilai ekonomisnya. Bukan lagi lukisan secara inheren berbnilai estetika tinggi

yang dihargai mahal secara ekonomis, melainkan lukisan yang secara ekonomis mahal yang dianggap bernilai estetika

tinggi. Ada kecenderungan penilaian yang berorientasi ekonomi tentang indah dan yang buruk: yang glamour itu indah,

sedangkan yang bersahaja, tidak.

Konsep Comte tentang bersatunya kemajuan (progress) dan ketertiban (order) menimbulkan permasalahan lain lagi.

Mungkin saja negara maju kemajuan dalam industri membawa ketertiban dalam sosial. Namun, jika tidak timbul

ketertiban, maka the ruler class seolaholah mendapatkan jastifikasi dalam memaksakan ketertiban, kalau perlu secara

represif.

42

Page 43: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Kenyataan di negara berkembang kita temukan pelanggaran HAM, disebabkan oleh keinginan para penguasa

untuk menciptakan kemajuan dan ketertiban (pembangunan dan stabilitas) sekaligus, yakni cita-cita yang sudah lama

digagaskan oleh pemikiran positivistik Comte.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskanlah bagaimana perkembangan akal budi manusia?

2. Apakah yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan positif? Jelaskan!

3. Bagaimana pengaruh positivisme Auguste Comte dalam perubahan pandangan manusia?

4. Jelaskanlah kritik terhadap dampak pelaksanaan teori positivisme dalam ilmu pengetahuan?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Mnusia. Cet Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

43

Page 44: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 10EKSISTENSI MANUSIA

SEBAGAI MAKHLUK SUBJEKTIF DAN INDIVIDUAL

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan eksistensi manusia sebagai makhluk

subjektif dan individual.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan

eksistensi manusia sebagai makhluk subjektif dan individual yang meliputi sebagai berikut:

Tahap estetis

Tahap etis

Tahap religius

Materi Pembahasan

Eksistensi manusia sebagai makhluk subjektif dan individual telah dikemukankan oleh filsuf Soren Aabye

Kierkegaard (1813-1855) yang menitik beratkan kepada kajian tentang eksistensi manusia dan tahap-tahap

perkembangnya.. Kierkegaard pada akhirnya menyadari akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan

hidup yang lebih konkret dan faktual, yang dialami oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan-persoalan

seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan dan sebagainya adalah

persoalan hidup yang harus dicari jawabannya atau maknanya. Filsul Hegel tidak dapat menjawab persoalan seperti itu,

oleh sebab itu dia menentang filsafat Hegel dalam mengamati perkembangan sejarah ide manusia. Dia mengkritik Hegel

lewat sebuah tansil : "mengira dirinya sebagai penonton sebuah pertunjukan teater dunia. Ia hanya mengamati dan

memberi komentar di sana-sini atas kejadian-kejadian historis yang terjadi atas teater itu. Padahal manusia adalah aktor

yang langsung atau tidak langsung mengambil bagian dari peranan penting di dalam setiap alur cerita yang dimainkan

dalam pertunjukan itu”.

Setiap individu menurut Kierkegaard pada asasnya harus mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada

setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif,

melainkan sekaligus adalah seorang aktor yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat dan dialaminya.

Dalam ilmu pengetahuan objektifitas merupakan salah satu kriteria paling penting untuk mencapai "kebenaran

ilmiah". Suatu proposisi atau teori ilmiah mempunyai nilai kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu kepada

realitas "objektif". Adapun syarat utama mencapai hal itu adalah : Kita (observer) harus bersikat objektif, hanya

mendeskripsikan dan menjelaskan setiap kejadian "apa adanya". Setiap bentuk pertimbangan dan penilaian subjektif dari

pihak pengamat (observer), dianggap bisa merusak objektifitas (kebenaran yang objektif). Oleh sebab itui sikap kita

sebetulnya tidak jauh berbeda dari sikap Hegel, yang mengira menjadi penonton pentas dunia. Dengan sinis Kierkegaard

menulis: "...kecenderungan yang menyarankan kita agar menjadi pengamat objektif pada dasarnya sama dengan

menyarankan kita untuk menjadi seorang hantu”.

Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada penggunaan abstraksi atau

generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses dan atau produk pemikiran manusia yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari

kenyataan konkret dan individual, untuk melihat ciri-ciri umumnya saja. Dengan cara ini kita diharapkan mampu

memperoleh hukum-hukum umum dibalik kenyataan yang konkret individual. Ada penghubung erat antara objektifitas,

generalisasi dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu hukum atau teori, maka semakin berlaku umum hukum atau

teori itu, dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa dipertahankan.

Menurut Kierkegaard, sangat berbahaya objektifitas sepertti itu diterapkan pada ilmu-ilmu tentang manusia.

Kalau hukum-hukum yang umum itu kita gunakan untuk menerangkan gejala-gejala manusiawi yang konkret dan

individual, maka segala kekonkretan dan individualitas manusia akan lenyap tanpa bekas. Pengalaman unik setiap

individu akan terabaikan. Maka ia menolak segala macam ilmu-ilmu tentang manusia, kalau ilmu-ilmu itu justru

44

Page 45: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

mengorbankan keunikan dan individualitas subjek kajiannya (manusianya). Ilmu-ilmu seperti sosiologi dan psikologi

misalnya, ditentang keras, karena kedua itu tersebut dianggap telah menerapkan pola seperti itu.

Menurut Kierkegaard, persoalan objektifitas dan abstraksi seperti itu pada akhirnya bukan hanya menghinggapi

pikiran Hegel dan para ilmuwan, tetapi juga telah menular kepada masyarakat luas, khususnya dalam menilai masalah-

masalah moral. Moralitas dalam masyarakat telah diobjektifkan. Objektifitas dalam moral tampak dari kecenderungan

masyarakat menerima begitu saja tanpa kritik, norma-norma atau hukum moral yang diberlakukan secara umum. Tetapi

objektifitas dalam hal moralitas pada dasarnya tidak seperti bahwa terdapat kesesuaian hukum dengan kenyataan, atau

adanya jarak antara pengamat dengan objek yang diamati, melainkan berarti "konsensus bersama".

Penilaian baik terhadap sesuatu perbuatan, tidak berarti bahwa perbuatan itu pada dirinya baik, melainkan

karena ada "kesepakatan bersama" atau ada pendapat umum yang mengatakan bahwa perbuatan yang demikian adalah

baik. Demikian juga jika perbuatan itu dianggap buruk, hal itu disebabkan oleh pendapat umum yang mengatakan bahwa

perbuatan demikian adalah buruk.

Kierkegaard hanya mengkritik efek negatif dari kesepakatan bersama, yang sering menjadi tameng atau kedok

murahan, agar terhindar dari tanggung jawab pribadi. Atas nama hukum dan kepentingan umum, kita telah membunuh

hati nurani sendiri. Di balik tameng kepentingan nasional, kita rela memanipulasi kebenaran. Atas nama konsensus, kita

merasa sah menjadi manusia massa. Kita selalu melepaskan tanggung jawab pribadi dan mengalihkan kepada tanggung

jawab bersama.

Eksistensi manusia pada prinsipnya adalah individual, personal dan subjektif. Manusia tidak bisa dijelaskan

dalam kerangka ide, teori-teori umum atau objektifitas pendekatan ilmiah, hal itu hanya cocoki untuk menjelaskan esensi

dan struktur dasariah gejala-gejala infra-human (realitas di luar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik. Peristiwa dan

pengalaman eksistensi manusia yang konkret, individual, subjektif dan faktual memerlukan pendekatan yang khas,

spesifik dan bersifat human (manusiawi)

Menurut Kierkegaard pada kenyataannya segenap tindakan dan peristiwa manusia tidak selalu didasarkan

pada rasio (intelek), tetapi juga pada pilihan bebas dan emosi spontannya.. Bahkan sering menyaksikan bahwa tindak

tanduk manusia itu didasari oleh pilihan-pilihan dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak rasional. Dengan itu manusia

tidak murni rasional atau yang mampu menjadi pengamat objektif atau sanggup mengambil jarak dari segala kejadian,

tetapi manusia adalah makhluk yang mempunyai pertimbangabn emosional dan praktis (in action). Adanya keterlibatan

dan komitmen pada manusia, yang memungkinkan manusia menjadi aktor dalam panggung kehidupan yang maha luas

ini terutama disebabkan oleh afeksi dan kehendak yang bebas.

Manusia pada prinsip adalah individu yang identik dengan kebebasan, manusia terlepas dari tuntutan keluarga

yang otoriter, sistem politik yang represif atau sistem sosial budaya yang ketat dan kaku. Eksistensi aktual seorang

individu adalah eksistensi yang bersumber dari satu inti, yaitu eksistensi dirinya. Realitas diluar diri individu boleh

mempunyai kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber keputusan

untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri.

Suatu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab yang merupakan dua sisi satu mata uang.

Orang lain bisa saja mengambil alih tanggung jawab, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung

jawab yang bersifat pribadi itu tidak bisa dialihkan oleh siapapun.

Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah fundamental dan krusial yang menjadi sumber utama

eksistensi manusia. Kebebasan bisa mendatangkan persoalan, menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Manusia cemas

yang akibat pilihan itu akan mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan, menyakitkan dan membahayakan. Untuk itu

kebebasan diperlukan kebijaksanaan, berupa suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat dan keyakinan pribadi

yang dilandasi kehendak bebas dan afeksi (emosi).

Terdapat tiga tahap eksistensi manusia, yaitu;

A. Tahap estetis

Tahap estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan

kesenangan. Manusia dikuasai oleh naluri seksual (libido),oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik dan

biasanya bertindak menurut suasana hati (mood). Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan

kepentingan pribadinya.

45

Page 46: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Manusia estetis adalah manusia yang hidup tanpa jiwa yang tidak punya akar dan isi dalam jiwanya. Kemauaannya

adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Apa yang menjadi tren dalam masyarakat

menjadi petunjuk hidupnya yang diikutinya secara saksama. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam

pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Pandangan hidup dan moralitrasnya ada pada masyarakat dan

kecenderungan zamannya.

Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja, bisa wujud pada siapa saja termasuk pada filsuf dan ilmuwan,

sejauh mereka tidak mempunyai antusiasme, komitmen dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Jiwa estetis

mereka tampak dan pretensi mereka untuk menjadi "penonton objektif" kehidupan.. Mereka sebetulnya tidak

sungguh-sungguh hidup, karena mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang

sesungguhnya kalau manusia hidup secara hedonis dan apa yang terjadi pada jiwanya. Manusia estetis tidak

mempunyai pegangan yang bisa menjadi akar yang kokoh dalam menjalankan hoidupnya. Manusia estetis adalah

mansia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin banyak alternatif yang

ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua: bunuh diri atau lari dalam kegilaan atau

masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.

B. Tahap etis

Perubahan hidup dari estetis menjadi etis merupakan semacam pertobatan, dimana individu mulai menerima

kebajikan-kebajikan moral dan memilih memngikatkan diri pada nya. Mereka mulai menerima nilai-nilai yang bersifat

universal. Dalam kaitannya dengan perkawinan, manusia etis telah menerimanya. Perkawinan merupakan langkah

awal dari manusia estetis mejadi manusia etis.

Prinsip kesenangan dan naluri seksual tidak dipeoyeksikan langsung dalam pertualangan dengan wanita, melainkan

disublimasikan untuk tugas-tugas kemanusiaan. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan

demi nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.

Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi bergantung pada masyarakat dan zamannya.

Akar-akar keperibadiannya cukup kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada dalam dirinya sendiri dan pedoman

hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka dengan berani dan percaya diri, ia akan mampu

mengatakan tidak pada setiap tren yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan zamannya, sejauh tren itu

tidak sesuai dengan suara hati dan kepribadiaannya.

Manusia etis akan sanggup menolak tirani dan kuasa dari luar. Oleh sebab itu Kierkegaard menyatakan sebagai

model hidup etis adalah Socrates. Karena dia sudi mengorbankan dirinya dengan minum racun untuk

mempertahankan keyakinannya mengenai nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Berdasarkan keyakinannya ia

menolak setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

bersifat universal.

Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi sesungguhnya, ia tidak berhasil memenuhi panggilan

kemanusiaannya, ia belum sampai pada tahap yang paling tinggi yakni tahap religius, di mana manusia mulai

dihadapkan dengan Tuhan dan kegagalan diterima sebagai "dosa".

C. Tahap religius

Lompatan dari tahap etis kepada tahap religius lebih sulit, karena tdak perlu pertimbangan rasional melainkan

keyakinan subjektif berdasarkan pada iman.

Perbedaan terletak pada objektifitas dan subjektifitas nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat

objektif (universal), sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara common sense.

Sebaliknya nilai-niliai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak

mengeherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius sering dicap "tidak masuk akal", nyentrik atau bahkan

"gila".

Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektifitas transedent, tanpa rasionalisasi atau tanpa ikatan kepada

sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Individu yang memilih jalan religius tidak bisa lain kecuali berani menerima

subjektifitas transedentnya itu, subjektifitas hanya menbgikuti jalan Tuhan dan tidak ada terikat pada nilai-nilai

kemanusiaan yang bersifat universal (eksistensi etis) dan tuntutan pribadi masyarakat atrau zamannya.

46

Page 47: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Hambatan pertama dijumpai individu saat memutuskan untuk lebur dalam kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang

terdapat dalam Tuhan itu sensdiri. Tuhan dan perintah-perintahnya adalah suatu yang paradoks. Persoalan ada atau

tidak adamya Tuhan, peroalan sifat-sifat baik Tuhan (misalnya: Tuhan ada dan maha baik kenapa ada kejahatan).

Tidak mungkin ada penjelasan rasional untuk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan suatu yang

dipikirkan secara rasional, hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan kepada iman.

Sosok Ibrahim, oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai manusia religius ideal, dapat membantu kita mamahami apa

yang dimaksudkan dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya

atas dasar keyakinan pribadinya, bahkan Tuhanlah yang memerintahkan untuk mengorbankan anaknya itu. Apa

yang mundane harus dikorbankan untuk suatu yang lebih tinggi, sesuatu yang transeden, yaitu perintah Tuhan.

Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang

mencekam dan mengetarkan (Angst). Berbeda dari ketakutan, kecemasan bersifat metafisik. Kecemasan terarah

pada sesuatu yang tidak nyata, tidak pasti dan tidak berketentuan, tidak berujung pangkal. Memutuskan untuk

masuk dalam paradoks Tuhan ibarat memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah hutan perawan raya, yang tidak

bertuan dan tidak pernah terjamah oleh tangah manusia. Oleh sebebab itu timbul was-was, rasa cemas. Hanya

dengan keyakinan pribadi yang kuat dan teguh saja kita berani memasukinya, keyakinan prribadi yang belandaskan

iman, kita berani menceburkan diri dalam Tuhan dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir

dalam kebagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam eksistensi yang religius.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskanlah bagaimana kritik Kierkekegaard terhadap filsuf Hegel?

2. Apakah yang termasuk dengan eksistensi menurut Kierkegaard? Jelaskan!

3. Bagaimana perkembangan eksistensi manusia pada tahap estetis? Jelaskan!

4. Jelaskanlah bagaimana perubahan eksistensi mansuia dari estetis mejadi etis?

5. Bagaimana eksistensi manusia pada tahap religius? Jelaskanlah

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1.Jokyakarta. Kanisius.

47

Page 48: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 11STRUKTUR

KESADARAN MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan struktur kesadaran mnausia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan struktur

kesadaran manusia yang meliputi sebagai berikut:

Eksistensi kesadaran dan aktivitas–aktivitasnya

Dunia yang dihayati Eksistensialisme

Eksistensi manusia

Pengaruh Hursserl kepada Martin Heidegger

Materi Pembahasan

1. Esensi Kesadaran dan Aktivitas-Aktivitasnya

Husserl menemukan adanya esensi kesadaran yang disebut intensionalitas. Pengertian ”kesadaran” oleh

Husserl selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari. Kesadaran adalah ”kesadaran akan ...”.

Penyelidikan Husserl berikutnya mengenai struktur intensionalitas kesadaran, berhasil menemukan adanya empat

aktiovitas yang melekat (inheren) dalam kesadaran yaitu objektivitas, identifikasi, korelasi dan konstitusi.

a. Intensionalitas adalah objektifikasi

Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data ( yang sudah terdapat di dalam aliran kesadaran) dengan

objek (yang bukan merupakan bagian dari kesadaran).

Husserl melihat dalam pengarahan intensional itu adanya suatu struktur kompleks dan di dalam struktur

tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan diintegrasikan ke dalam objek yang membentuk ktub

objektifnya.

b. Intensionalitas adalah identifikasi

Setelah mengadakan objektivikasi, intensionalitas selanjutnya sebagai data yang datang dari berbagai

peristiwa kemudian kepada objek hasil objektifikasi. Identitifikasi banyak dipengaruhi oleh pelbagai aspek dari

dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan (baik emiosional maupun intelektual).

c. Intensionalitas adalah menghubung-hubungkan

Bagian depan sebuah onjek menunjuk pada bagian-bagian samping, muka , bawah dan belakang. Namun yang

jelas adalah bahwa aspek identik yang sudah tampat lebih awal.

d. Intensionalitas adalah konstitusi (menciptakan)

Prestasi sesungguhnya dari intensionalitas terletak pada konstitusi (menciptakan). Objek intensinal sebenarnya

berasal dari endapan-endapan aktivitas –aktivitas intensional.

2. Dunia Yang Dihayati

Penyelidikan Husserl selanjutnya berhasil menemukan ”dunia yang dihayati” (Lebenswelt) oleh subjek atau

kesadaran. Lebenswetl, maka semakin terbukalah jalan baru bagi Husserl menuju fenonenologi murni atau transedental.

Lebenswetl adalah prasangka – prasangka yang berasal dari ilmu. Lebenswetl adalah struktur – strukturnya

hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri kita dari pransangka-prasangka teoritis yang berasal dari ilmu.

Menurut pengamatan Husserl, setiap subjek transedental mengkonstitusikan (menciptakan) dunianya sendiri-sendiri

menurut prespektifnya sendiri yang unik dan klhas. ”Dunia” ini tentunya bukan dunia objektif dalam pengerttian dunia fisik

suatu pribadi. Oleh sebab itu dunia merupakan dunia subjektif dan sekaligus relatif. Namun demikian, justru itulah dunia

yang sesuangghnya bagi seorang pribadi. Dalam dunia yang dihayati itulah manusia menjadi manusia.

48

Page 49: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Baik krisis eksternal ilmu (kritis dalam hubungan dengan personal nilai dan makna ) maupun krisis internal ilmu (krisis

dalam hubungan nya dengan landasan ilmu) akan dapat diatasi kalau ilmu memberi perhatian pada lebeswetl ini.

3. Pengaruh Husserl Pada Martin Herdegger dan Jean Paul Sartre

Pengaruh husserl pada Heidegger dan Sartre bukan hanya pada penggunaan metode, tetapi kepada

konsepnsi tentang struktur kesadaran (intensionalitas ) dan Lebenswetl.

Mereka berdua mengkritik ”idealisme” yang melekat pada fenemenologi Husserl dan mengembalikannya ke tujuan

Husserl yang semula. Yakni ”kembali” kepada realitas sendiri. Yang terdapat pada ”objek” bukan pada ”subjek”.

Sartre mengikuti Heidegger membuat fenomenologi Husserl menjadi realistik, juga fenonemenologi digunakannya untuk

menelaah struktur kesadaran manusia dalam kaitanyya dengan Ada dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya

Analisa Ekssistensial atau psikoanalisis eksistensional.

Pengaruh konsepsi Husserl tentang intensionallitas kesadaran pada Heidegger dan Sartre, tampak dari pemahaman

mereka mengenai aktifitas – aktivitas atau karakter –karakter manusia dalam hubungnya dengan real;itas dan dunianya.

Konsepsi Husserl tentang Lebenswetl yang menghenai kedudukan sentral dalam pemikiran filsafatnya pada periode-

periode akhirnya hidupnya. Maka Heidegger dan Sartre berhasil menguak tabir kehidupan menusia yang selama ini

terkubur dalam dalam di bawah permukaan teori-teori ”ilmiah” tentang manusia.

Kritik Heidegger Terhadap Fenomenologi Husserl

Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik. Seruannya untuk ”kembali kepada sumber”, yang

semula terdapat pada objek, kemudian diarahkan pada ”sumber” yang lain, yakni ”subjek”. Kembali kepada ’sumber’,

pada akhirnya sama dengan”kembali kepada ”subjek” ada kesadaran. Melalui prosedur redaksi transendental, Husserl

terus bergelut dengan masalah esensi dan aktivitas kesadaran.

Apa yang telah dilakukan Husserl sebetulnya sebetulnya sah-sah saja. Masalah kesadaran adalah masalah

yang sangat mendasar dan penting untuk dipahami. Pahaman tentang esensi kesadaran dan aktivitasnya memang bisa

dijadikan sebagai alternatif solusi untuk menghadapi ”krisis ilmu pengetahuan”, misalnya dengan jalan menjadikan

pemahaman tentang esensi dan aktifitas kesadaran (manusia) sebagai landasan untuk dibangunnya teori-teori ilmiah

tentang manusia. Ilmu pengetahuan tentang manusia akan mendapatkan landasannya yang kokoh kalau asumsi-asumsi

ontologis dan epistemologisnya didasarkan pada pengetahuan tentang esensi kesadaran dan aktivitas – aktivitasnya

secara fenomenologis. Namun, manakala kita terlampau asyik bergelut dengan masalah kesadaran, sambil melupakan

eksistensi yang konkret, yang diperoleh adalah gambaran ideal dan abstrak tentang manusia.

Eksistensi manusianya sendiri yang konkret, unik dan aktual, luput dari perhatian. Konsepsi Husserl tentang

”aku transendental’ membuktikan hal ini. Aku Transedental oleh Husserl dipahami sebagai Subjek Absolut, yang segenab

aktivitas atau kegiatannya adalah mengkonstitusikan (menciptakan) dunia. Namun Husserl lupa bahwa didalam

kehidupan yang sesungguhnya subjek atau kesadaran (manusia) itu sendiri, selain mengkonstitusikan dunia, juga

dikonstitusikan oleh dunianya.

Heidegger, yang menyadari kenyataan itu, tidak mau mengikuti anjuran Husserl untuk ”kembali kepada subjek”,

”kembali kepada subjek sambil melupakan objek”, demikian Heidegger, ”berarti mengulang kesulitan yang sama seperti

yang dihadapi oleh idealisme”. Dalam idealisme, subjek ditempatkan sebagai sentral atau pusatnya dunia, menjadi asal-

usul terciptanya dunia. Namun babagimana dunianya sendiri menciptakan subjek, luput dari perhatian idealisme. Yang

menarik justru perhatian Heidegger adalah sebuah realitas yang lain, realitas yang bukan murni objek dan bukan pula

murni subek, melainkan sistesis dari subjek dan objek. Siontesis dari subjek dan objek itu adalah berupa ”dunia –

manusia”, yang oleh Heidegger disebut Ada Dalam Dunia (in-der-welt-sein).

Ada Dalam Dunia perlu diungkap dan dipahami maknanya, akarena merupakan realitas asli manusia.

Pemahaman kita tentang Ada-Dalam Dunia merupakan jalan menuju pemahaman tentang eksistensi manusia. Jalan yang

pertama-tama harus ditempuh untuk memahami manussia , bukanlah mengamati struktur kesadaran Subjek

Transendental (seperti hanya dalam idealisme Husserl) atau mengukur lingkungan alam sebagai objek ”di luar” manusia

(seperti naturalisme dan atau positivisme). Jalan yang harus ditempuh adalah memahami realitas dunia manusia sendiri,

”tempat” manusia menciptakan diri dan dunianya serta diciptakan oleh diri dan dunianya itu. ”Krisis ilmu pengetahuan”

49

Page 50: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

seperti yang diusulkan Husserl, sebetulnya lebih bisa di cari sumber dan alternatif solusinya di dalam realitas Ada –

Dalam Dunia.

Eksistensialisme

Kritik Heiodegger atas Husserl disebut terdapat dalam salah satu karya yang sangat terkenal, yakni ”Sain und

Zeit” (”Ada dan Waktu”). Heidegger mensinyalir bahwa manusia modern telah dihinggapi suatu gejala yang disebut ”Lupa

akan makna Ada”. Lupa akan makna Ada itu bersifat menyeluruh dan berlangsung pada berbagai tingkatan aktivitas

manusia. Pada tingkat teoritis, lupa akan makna Ada di tandai oleh keeengganan pada ahli dalam bidang filsafat dan ilmu

pengetahuan untuk mempertimbangkan masalah nilai dan makna eksistensi manusia dalam asumsi-asumsi filsafat dan

teori-teori ilmiah mereka. Filsafat dan ilmu menjadi ”kering tanpa jiwa” dan manusia semata-mata dijadikan oebjek kajian,

yang kurang lebih sama dengan alam fisik. Pada tingkat praktis atau kehidupan sehari-hari, lupa akan makna Ada bisa

kita amati dari gejala rutinitas dan kedangkalan hidup manusia, yang ditandai oleh ketidakotensikan dalam menjalankan

tugas eksistensinya.

Atas dasar kenyataan tersebut, Heidegger bermaksud mengembangkan suatu metode khusus yang disebut

Fenomenologi. Tujuan fenomenologi Heidegger adalah ”mengajukan pertanyaan tentang dan mencari jawaban atas,

makna Ada” – sebuah pertanyaan yang telah ”dilupakan” orang. Filsafat Heidegger disebut Ontologi Fundamental (Ilmu

Dasar Tengtang Makna Ada). Namun, karena dalam penyelidikannya ia menemukan fakta bahwa ”Ada” (Sein) ternyata

adalah suatu yang mengada ”disitu” (da), maka penyelidikan tidak secara langsung diarahkan pada makna Ada sendiri,

melainkan pada ”makna Ada yang mengadakan di situ” (Dasein), yang tidak lain adalah eksistensi manusia itu sendiri.

Persoalan tentang eksistensi manusialah yang kemudian menjadi perhatian dan ”unit analisis” filsafat Heidegger. Oleh

sebab itu, filsafat fenomenologinya sering fidrbut juga ”Analisis Eksistensial”.

Sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi manusia, pada

mengadanya manusia (Dasein). Itulah sebabnya filsafat Heidegger dianggap sebagai bagian dari eksistensialisme.

Sekalipun ia sendiri dengan tegas menolak angggapan itu, tetapi Ontologi Fundamental atau Analisa Eksistensialnya,

yang mengungkapkan cara-cara manusia di dalam bereksistensi, membuatnya sulit untuk mengelak dari anggapan itu.

Cara-cara manusia bereksistensi secara de facto merupakan lahan kajian filsuf yang berasalh dari aliran eksistensialisme.

Anggapan bahwa filsafat Heidegger merupakan bagian dari aloiran eksistensislaisme itu pu didukung oleh

definisi yang diberikan oleh Heidegger sendiri untuk istilah ”eksistensi”. Eksistensi diartikan olehnya sebagai kemungkinan

manusia untuk ”menjadi” atau ”tidak menjadi” dirinya sendiri. Definisi ini mengacu pada kemungkinan eksistensi manusia

untuk memilih hidup secara ”Otentik (menjadri dirinya sendiri”), atau tidak – otentik (Tidak menjadi dirinya sendiri), Dengan

cara yang berbeda, tetapi mempunyai arti yang sama, masalah pilihan tentang kemungkinan eksistensi ini pernah

diungkap maknanya oleh tokoh-tokoh awal eksistensialisme, yakni Soren Aabey Kierkegaard dan kemudian dilanjutkan

oleh tokoh eksistensialisme lainnya yang paling terkenal yakni jean Paul Sartre.

Ciri Fenomenologi Heidegger

Urgensi untuk mengajukan pertanyaan tentang dan mencari jawab atas makna Ad telah mendorong Heidegger

untuk merancang statu pendekatan yang disebut sendiri olehnya “Destruksi fenomenologis”. Menurut pendapatnya belum

pernah ada suatu pendekatan yang cocok untuk mendekati Ada. Ada masih tetap merupakan suatu fenomena yang

tersembunyi dan terlupakan. Berbagai pendekatan di dalam ilmu dan filsafat yang selama ini digunakan, tidak pernah

lepas dari asumsi-asumsi metafisis yang mengasalkan ”Ada” (Sein) dari ”ada” (seiende). Istilah-istilah, seperti Subjek,

kesadaran, substansi, amteri, organisme dan masih banyak istilah lain dalam filsafat dan ilmu, dianggap sebagai istilah-

isyilah yang mengambarkan asal usul Ada (Sein) daripada (seiende). Pendekatan fenomenologis Husserl pun, yang

mengangap subjek (Aku Transedental) sebagai asal usul objek atau dunia, tidak luput dari asumsi tersebut. Oleh sebab

itu, diperlukan destruksi fenomenologis atau suatu pembongkaran motodis, yang tujuannya adalah untuk membersihkan

kabut matefisika tradisional itu. Tujuan itu sejalan dengan seruan Husserl untuk ”kembali kepada real;itasnya sendiri”.

Yang oelh Heidegger diartikan sebagai ”kembali kepada gejala pertama dan sebenarnya”, yakni gejala Ada. Suatu

fenomena disebut ”pertama” dan sebenarnya”, yakni gejala Ada. Suatu fenomena disebut ”pertama” sejauh mendahului

setiap asumsi atau prakarsa pengamat, dan disebut ”sebenarnya” sejauh fenomena itu tetap tinggal sebagai makna,

50

Page 51: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

meskipun kehadiran gejala fenomena atau prasangka itu tetap tinggal sebagai makna, meskipun kehadiran gejala itu

kerap kali tersembunyi.

Untuk sampai pada fenomena semacam itu ( yakni, fenomena Ada) diperlukan ”Logos” dalam menanganinya.

Logos yang dimaksud adalah suatu metode khusus yang disebut interpretasi (Auslegung). Metode ini dipakai untuk

mengali dan mengangkat ke permukaan setiap makna dari gelaja Ada. Dalam arti inilah Heidegger menamakan metode

itu sebagai ”Fenomenologi”, yakni interpretasi atas makna tersembunyi dario setiap gelaja Ada.

Namun karena gejala Ada yang hendak diungkap maknyanya oleh Heidegger tidak lain adalah mengadanya

manusia. ””Ada yang mengada ”hermeneutika”). Istilah yang sebenarnya, berarti ”interpretasi atas naskah-naskah klasik”

itu kemudian diartikan oleh Heidegger sebagai ”interpretasi atas fakta-fakta eksistensial manusia (dasein) dalam

kehidupannya yang pertama dan sebenarnya. Dengan demikian, fenomenologinya bisa disebut fenomenologi

Hermeneutik, yakni suatu metode yang dipakai untuk mengungkap makna tersembunyi dari mengadanya manusia.

Tema-Tema Esistensi Manusia

Jika fenomenologi hermeneutik dimaksudkan untuk mengungkapkan atau mengintrepratasikan makna tersembunyi Ada

melalui mengadanya manusia (Dasein), maka itu berarti bahwa baik Ada maupun Dasein sudah mempunyai makna,

bahkan sebelum seorang interpreter ata fenomenolog menginterpretasikannya. Hal ini perlu diingat untuk menghidarkan

salah pengertian bahwa makna seakan-akan berasal dari interpretasi. Makna dasein terdapat di luar interpreter atau

fenomenolog dan makna itu berhubungan dengan waktu, khususnya waktu yang akan datang, ”Makna Dasein menurut

Heidegger bertautan dengan orientasinya, denga trujuan-tujuannya dengan kemungkinan-kemungkinannya di msa depan.

Hal ti akan tampak dari beberapa tema yang diungkap Heidegger dan Sein und Zeit-nya.

Eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan Berada Dalam Waktu

Hasil awal penyelidikan Heidegger atas Dasein, menunjukkan bahwa Ada ternyata mempunyai karakter

personalnya (Gemeneigkeit) dan Dasein, sehingga setiap Dasein mempunyai status personal atau individualnya karena

Adfa-nya itu. Dio samping itu waktu pun mempunyai peran dalam menjadikan Dasein sebagai individualitas. Waktu adalah

dimensi eksistensi, yang memungkinkan Dasein menuju Ada-nya sendiri, menuju eksistensinya sendiri. Namun,

konsekwensi dari individulitas Dasein adalah fakta, bahwa apapun yang terdapat pada Dasein, dan apapun yang dialami

oleh Dasein, adalah ”milik pribadi” Dasein.

Amatlah sukar menyederhanakan pemikiran Heidegger yang sarat dengan penggunaan bahasa yang ”tidak

lazim” itu. Namun kita bisa membuatnya mudah dengan menggunakan sebuah contoh dalam perpepsi. Meskipoun,

misalnya saja, di Didi bersama dengan teman-temannya melihat setangkai bunga ros berwarna merah, tetapi pengalaman

si Didi pada sat itu berbeda dari pengalaman teman-temannya. Apa yang dialami oleh di Didi pada saat itu adalah ”milik

pribadi” si Didi, yang tentunya berbeda dari apa yang dialami oleh teman-temannya. Mungkin saja ada beberapa teman di

Didi yang secara empatik berusaha keras untuk bisa mengambilalih atau menggantikan pengalaman di Didi itu.

Akan tetapi, usaha itu pasti tidak akan berhasil. Ada penjelasan yang berbau ”psikologis” yang bisa menjelaskan gejala

itu, misalnya saja dengan mengkaitkannya dengan pengalaman masa lalu si Didi. Katakan saja, misalnya, Si Didi pernah

mengalami masa-masa pahit dan menyakitkan pada masa lalu, yakni ketika ia mengungkapkan cintanya yang pertama.

Pada saat itu ia memberikan setangkai bunga ros berwarna merah kepada seorang gadis yang dicintainya, tetapi sang

gadis tegas-tegas menolak pemberian (cinta) si Didi. Maka ketiak si Didi di kemudian melihat bunga ros berwarna merah,

meskipun bunga itu bunga ros yang dulu, pengalamannya itu muncul kembali dalam ingatannya dan memberi ”bentuk”

pada bunga ros yang lain dalam persepsinya yang sekarang.

Namun, lebih dari pengalannya di masa lalu, menurut analisa Heidegger, prientasi di Didi pada masa dengan

jauh lebih ”dominan” dalam memberik bentuk pada bunga yang dilihatnya itu. Setelah gadis itu memberi bentuk pada

bunga yang dilihatnya itu. Setelah gadis itu menolak pemberian bunga dari si Didi. Si Didi sudah mengantisipasi untuk

menghidar agar tidak (jangan) terjadi kontak dengan bunga ros berwarna merah, Karena, kalu sampai terjadi kontak,

bukan saja pengalaman masa lalunya akan ”terulang” kembali, tetapi yang terutama karena ia sudah mengetahui

pengalaman apa yang Akan terjadi nanti misalnya saja perasaan tidak senang atau sakit. Dengan perkataan lain,

sebelum terjadi kontak dengan bunga ros berwarna merah itu, SI Didi sudah mengalami dan memberi ”Bentuk” terlebih

dahulu pada bunga itu, yaitu lewat Antisipasi atau Orientasi pada masa depannya.

51

Page 52: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Maksud dari ”Milik Sendiri” tentu saja lebih dari sekedar di dalam persepsi. Totalitas mengadanya si Didi

(misalnya dalam bentuk permikiran, imajinasi, khayalan, cinta, benci) adalah juga milik pribadi si Didi. Demikian juga

halnya dengan segala bentuk perbuatan fisik atau tingkah laku si Didi (baik yang dilakukan atas inisiatif sendiri maupun

atas paksaan orang lain) serta konsekuensi-konsekuensinya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan atau

mengambil alih ”milik” si Didi itu.

Dalam konteks yang lebih luas, fakta milik sendiri itu pada asasnya sering merupakan beban yang teramat berat dan

beban itu harus dipikul sendirian. Milik sendiri identik dengan kesendirian total manusia, kesendirian yang sangat

mencekam. Kecemasan, sebuah tema yang kelak akan diungkap maknanya di dalam Analisa Eksistensial, sedikit banyak

dipengaruhi oleh kesadaran manusia akan fakta kesendirian dirinya. Kesendirian adalah fakta yang tidak dapat dihindari

oleh siapapun, karena fakta itu berasal dari karakter personal Ada, dari status manusia ”menuju Ada-nya sendiri ’ (zu-

sein).

Soal / Tugas

1. Jawablah pertanyaan berikut ini! Jelaskanalah kritik Heidegger terhadap Fenomenalogi Hussrl?

2. Bagaimana metode fenomenologi nya Heidegger?

3. Apakah sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger tentang eksistensi manusia?

4. Apakah ciri-ciri fenomenologi Heidegger?

5. Jelaskanlah ”eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan berada dalam waktu?

6. Jelaskanalah kritik Heidegger terhadap Fenomenalogi Hussrl?

7. Bagaimana metode fenomenologi nya Heidegger?

8. Apakah sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger tentang eksistensi manusia?

9. Apakah ciri-ciri fenomenologi Heidegger?

10. Jelaskanlah ”eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan berada dalam waktu?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

52

Page 53: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 12KONFLIK EKSISTENSI MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis konflik eksistensi manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis konflik eksistensi

manusia yang meliputi sebagai berikut:

Dua tema utama filsafat Sartre "kebebasan dan Ada"

Ilustrasi gejala manusia.

Peranan fenomenologi dalam perkembangan pemikiran Sartre.

Beberapa karakteristik utama fenomenologi Sartre

Tema-tema penyelidikan Sartre

Periode Eksistensi Fenomenologis

Materi Pembahasan

Meskipun tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog Sartre mengaku pemikirannya banyak

dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenalogi Husserl paling tidak Sartre melihat dua hal

penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-

penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk "kembali kepada realitasnya sendiri. Sartre dengan gemilang

membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan membuka jalan untuk mengadakan studi-studi

tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa dan tanpa teori-teori

prafenomenologis. Gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi dan fantasi memang harus diselidiki

secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teiri-teori prafenomenologi yang deterministik dan mekanistik.

Sartre memberi ilustrasi tentang gejala emosi, yang menurut teori-teori psikologi tentang emosi dari James – Lange

diartikan sebagai bagian yang pasif dari perilaku manusia, yakni sebagai suatu respons pada suatu stimulus tertentu.

Kritik Sastre atau teori itu cukup menohok. Menurut pendapatnya, teori James – Lange bukan hanya terlalu akstrak.

Tetapi juga determinisme pada manusia. Dalam penyelidikan fenomenologis, teori seperti itu harus "direkduksi" (ditunda)

terlebih dahulu dan kita mengamati saja gejala emosi itu secara langsung tanpa perantara asumsi atau teori. Emosi dalam

penyelidikan fenomenologis yang dijalankan oleh Sartre, ternyata merupakan perilaku yang bertujuan, berlandaskan pada

harapan-harapan atau motif-motif tertentu. "Emosi", kata Sastre, "bukan saja aktif, tetapi juga menunjukkan pada perilaku

manusia yang bebas, yang tidak dedeterminir.

Akan, tetapi pengakuan akan penting dan bermanfaatnya fenomenologi Husserl, bukan tanpa kritik sama sekali

dari Sartre. Sartre dalam beberapa karyanya, mengecam idealisme Husserl yang "tidak realistik". Karena konsepsinya

tentang kesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia. Kesadaran diandaikan begitu saja oleh Husserl, tanpa ada

landasan yang menopangnya (Ada). Dunia (dan eksistensi) oleh Husserl justru direduksi (ditunda) dan tidak pernah

ditempatkan lagi sebagai realitas yang menopang kesadaran.

Oleh Sartre, yang menggunakan fenomenologi secara lebih "realistik" kesadaran dihubungkan dengan dunia,

"Menyelidiki kesadaran pasti bertautan dengan menyelidiki dunia", akunya. Dalam arti ini fenomenologi Sartre lebih dekat

dengan fenomenologi hermeneutik Heidegger. Bukan hanya dalam hal "realistiknya" kedua fenomenologi tersebut,

melainkan juga dalam hal analog-analog yang terdapat di dalam pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang

dikemukakan oleh Sartre. Beberap[a konsepsi Heidegger coba diambil alih dan "dimodifikasi" oleh Sartre. Misalnya, "Ada

Dalam Dunia" diugunakan Sastre untuk mendiskripsikan "struktur dunia imajiner"; "keterlemparan" untuk haram.

Dua Tema Utama Filsafat Sartre "Kebebasan dan Ada"

Rumusan filsafat Sartre adalah " merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek". Usaha ini barangkali

didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai "subjek") dan tentang Benda ("objek").

53

Page 54: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Kedua pengamalan ini dalam pandangan Sartre, merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) mengalami

dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pula pada kuasa atau daya tarik Benda. Paradoks

dari pengalaman tentang kebebasan itu secara orisinal dillukiskan dalam novel-novelnya, seperti "Rasa Muak (La nausee)

dan Lalat – Lalat (Les mouches).

Pengamalan tentang kebebasan secara paradoks dihubungkan dengan penindasan Nazi Jerman dan

kesendirian menyeluruh manusia: " Tidak pernah kita merasa lebih bebas ketimbang ketika kita berada di bawah

pendudukan Jerman... Pertanyaan yang sesungguhnya tentang kebebasan dengan begitu, terungkap sudah dan kita

berada di ambang pengetahuan yang sebenarnya tentang kebebasan kita sendiri ... Pertanggungjawaban mutlak dalam

kesendirian yang menyeluruh .. bukanlah itu merupakan berkah dari kebebasan kita?"

Dalam pandangan Sartre pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran sendiri, bukanlah

pengalaman yang mudah dan mengenakan. Kebebasan ternyata penuh dengan paradoks dan sekaligus menyesakkan.

Kebebasan "dibebankan" kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya

begitu saja. Selain itu, kebebasan bukanlah sesuatu yang mapan dan padat (masif), yang bisa kita andalkan sebagai

sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sebaliknya, kebebasan itu amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi

yang rentan dan terancam.

Ancaman itu sesungguhnya berasal dari Benda. Benda mempunyai daya tarik dan daya pikat yang luar biasa

besar, yang mampu menyerat dan menghancurkan kebebasan. Kebebasan merupakan sasaran empuk dari kuasaan

Benda, yang keberadaannnya luar biasa masif dan melimpah ruah ( de trop). La nausee berisi ilustrasi tentang ancaman

Benda terhadap kebebasan. Benda telah menyebabkan kedangkalan jiwa manusia, Persona benda lebih menggoda dari

kebabasan yang tidak menyenangkan itu, Maka sang tokoh kita akhirnya memilih untuk menajiskan kebebasannya dan

tunduk pada persona dan kelimpahan Benda.

Memilih untuk menyangkal kebebasan dan berserah diri kepada Benda, ternyata tidak berarti bisa lepas begitu saja dari

kebebasan dan tanggung jawab. Kekebasan tidak bisa kita nafikan atau kita najiskan begitu saja, karena dia adalah

"takdir" yang telah ada dan akan selalu memburu kita.

Pengalaman tentang kebebasan dan Benda tersebut mewarnai pemikiran Sartre yang membawa pandangan

dualistik : Dualisme antara Ada yang subjektif dan ada yang objektif. Antara kebebasan dan Ada. Antagonisme dari

kedua "instansi" tersebut pulalah Sartre untuk direkonsiliasikan dalam filsafatnya. Apakah yang menjadi akar

pertentangan Subjek dengan Objek, antara Kebebasan dan Benda itu ? Francis Jeanson, telah mengadakan penelaahan

atas karya Sartre, dengan jawabannya yakni "Haram Jadah" (Bastardy) dan Kebanggaan (Pride).

Dalam biografi Sartte dinyatakan bahwa dia dibesarkan sebagai anak yatim oleh kakeknya yang meyakinkan

dirinya bahwa eksistensi tidak sah, tidak pada tempatbnya dan tidak dikehendaki atau "Aku adalah Haram Jadah yang

Konyol". Pengalaman ini meyakinkan dirinya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah sia-sia, absurd, penuh

permusuhan dan sakwasangka. Pendiriaan ini makin memdapatkan pembenarannya di dalam pengalaman Heidegger

tentang "Keterlemparan", dimana kita sebaga manusia sesungguhnya tidak mengetahui asal-usul dan alasan keberadaan

kita hidup sendiri.

Petunjuk kedua dalam tema "Kebanggan" yakni sebuah tema Sartre pada humanisme eksistensi: " Kebanggan"

bahwa manusia adalah satu-satunya pusat dari realitas. Dan atas dasar "Kebnggaan" itu Sastre, mengikuti Husserl,

hendak menghapuskan benda-benda dari kesadarannya. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan.

Peranan Fenomenologi dalam Perkembangan Pemikiran Sartre.

Sartre mengakui usaha merekonsiliasikan antara subjek dan objek, (kebneasan dan benda) ternyata bukan

merupakan usaha yang gampang. Dia telah mengalami percobaan, kegagalan dan perubahan jalan tenpuh, menuju

kesulitan yang dihadapi. Bagaimana fenomenologi berperan dalam memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh Sartre.

Periode Prafenomenologis

Menurut sartre ada paradoks dari semangat manusia .. bahwa manusia yang hampir seluruh perbuatannya

dimaksudkan untuk mewujudkan kemampanan, untuk menciptakan kamasifan, sesungguhnya tidak pernah beranjak dan

mengangkat dirinya ke taraf Ada. Karena alasan itulah saya melihat akar kesia-siaan dan kejemuan baik pada manusia

maupun pada alam. Hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak memikirkan dirinya sebagai sesuatu yang ada (un etre).

54

Page 55: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Sebaliknya, ia mengarahkan segenap usahanya untuk bersatu dengan Ada. Gagasan –gagasan menusia tentang

Kebaikan dan Kejahatan adalah simbolik dari gagasan-gagasan tenang Ada, yang keberadaannya tidak dapat digapai

manusia. Gagasan itu adalah gagasan yang sia-sia. Semua sis-sianya dengan determinisme yang paling radikal, yang

mengasalkan eksistensi dari Ada. Kita, manusia, sebenarnya bebas sebebasanya , tapi tidak berdaya ... Segala-galanya

terlalu lemah, segala-galanya terlampu rapuh.

Salah satu ilustrasi yang diberikan Sarttre untuk menunjukkan paradoks manusia untuk menunjukkan

kebabasan dan Ada – adalah sikap atau tindakan manusia relijius. "Sikap teologis manusia relijius" dilandasi oleh

kepercayaan bahwa manusia baru menjadi manusia, jika ia mampu membebaskan diri dari kondisi relatif kemanusiaanya

dan bersatu dengan Ada absolut. Manusia relijius memandang dirinya sebagai Kehadiran Yang Absolut dalam situasi

yang relatif.

Sikap itu menambah sikap yang dilandasi oleh keprcayaan yang ansurd dan sia-sia. Kekabasan (manusia) dan

Ada tidak dapat dipadukan atau direkonsiliasikan. Masing-masing mempunyai cara beradanya sendiri, masing-masing

mempunyai karakteristik sendiri, maka dari itu, tanpa ragu-ragu Sartre memandang manusia sebagai " nafsu yang tidak

berguna" sebagai "gairah yang sia-sia. (Man is a useless passion).

Periode Psikologi Fenomenologis

Periode psikologi fenomenologis, pendekatan Sartre bukan saja ilmiah dan konkret, tetapi bebas dari

pesimisme, yang memberi permulaan baru yang dibayangi dengan filsafat dan psikolgi tradisional. Sudah ada alternatif

untuk perlindungan dan kebabasan dari rasa muak karena Ada, dengan jalan masuk kepada dimensi Keindahan. , setelah

gagal bersatu dengan Ada dengan menghibur diri dengan musik jazz, dengan puncaknya menciptakan ",.. sesuatu yang

indah.." yang membuat manusia mau dengan eksistensinya sendiri. Menurut Sartre keindahan itu sebagai "daerah yang

bebas dari kenyataan yang memuakkan, sesuatu wilayah tempat kita bernaung dan membaskan diri dari perasaan mau

muntah".

Minat Sartre pada masalah psikologi fenomenologis seperti emosi dan imajinasi, pun, dapat kita tempatkan di

dalam konteks rekonsiliasi antara kebabasan dan Ada. Emosi mempunyai makna, merupakan perilaku yang berlandaskan

pada pilihan-pilihan dan motof-motif dan pada harapan-harapan tertentu. Emosi merupakan kesadaran spontan. Melalui

"emosi" kesadaran berusaha mempunyai sasarannya secara "magis" yaitu dengan cara melarikkan diri dari realitas.

Kesimpulan ini bukan hanya bertentangan dengan teori-teori psikologi tradfisional, yang memandang manusia

sebagai makhluk yang tunduk pada nafsu-nafsu hewani, melainkan juga memperkokoh pendapatnya tentang kebebasan

mutlak yang terdapat pada manusia. Emosi adalah perilaku yang dipilih, yang berasal dari kebebasan manusia.

Konsekwensinya, manusia tidak dapat menghidar dari resiko atau tanggung jawab yang mungkin ditimbulkan oleh emosi

atau perilaku atau tanggung jawab yang mungkin ditimbulkan oleh emosi atau perilaku emosional, karena dilandasi oleh

motif dan harapan pelakuknya, jadi berasal dari kebebasan absolutnya.

Imajinasi, sebagai tindakan menarik diri dari kenyataan kausal" mempunyai makna, karena ditujukan untuk

melepaskan diri dari determinisme Ada. Fungsi negatif dari imajinasi disebabkan oleh fakta, bahwa ia merupakan fungsi

dan kesadaran yang tidak dimasukkan kepada kenyataan kausal. Imajinasi dapat membebaskan diri dari kausalitas dan

pertualangan secara tidak terhingga. Sedangkan fungsi "menidak" pada realitas menyebabkan dunia yang imajinasikan

berada dalam posisi sebagai perlawanan terhadap dunia nyata. Jadi, tidak bersentuhan dengan kauslaitas alami yang

deterministik.

Periode Ontologi Fenomenologis

Dimulai dengan terbitnya Ada dan Tiada (L'etre et le meant), perpaduan antara ontologi dengan berbagai

bentuk baru psikoanalisis yang kemudian disebut Psikoanalisis Eksistensial, merupakan analisis eksistensialatas manusia

(Dasein),berkenaan dengan kesadaran. Deskripsi tentang Ada-pada dirinya hanya mnyita empat bagian penting dalam

Ada dan Tiada, yaitu.

a. Keindahan dengan struktur kesadaran, kesadaran nmerupakan gerbang menuju ketiadaan dan tanpa kesadaran,

tidak mungkin ada ketiadaan, selanjutnya karena kesadaran melaui menindak, menutup dari terhadap Ada.maka

kesimpulannya sumber negasi itu adaah kesadaran dan kesadaran pada prinsipnya adalah ketiadaan.

55

Page 56: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

b. Struktur kesadaran dalam faktisitasnya, kemudian dalam temporalitas dan dalam tyransendensinya ke arah Ada

(jadi: sangat dekat dengan Analisis eksistensial Heidegger).

c. Perubaan antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain., "ada bagi orang lain" , terlihat dalam tatapan,

sorot mata kta diarahkan ke sorot mata yang lain. Sartre secara intens mengamati gejala tubuh menurut pengalaman

diri sendiri dan menurut pengalaman orang lain. Hasilnya dari pengalaman ini berupa anggapan Sartre tentang

konflik: Perhubungan antara kesadaran yang satu dengan yang lain adalah konflik, suatu pertentangan yang tidak

bisa diperdamaikan.

d. Deskripsi tentang esensi kesadaran sebagai suatu aktifitas dan kebebasan. Berbeda dari Heidegger, Sartre sangat

menekankan peranan aktif eksistensi manusia. Dasar dari aktifitas itu adalah kebebasan absolut dan pertanggung

jawaban manusia yang tidak bisa ditawar-tawar.

Interpretasi tentang kesadaran memperkokoh keyakinan Sartre, bahwa kesadaran pada prinsipnya kurang

terang dan kurang masif, sedangkan Ada adalah gelap, masif dan melimpah ruah. Karena itu kesaadaran adalah

kekurangan Ada. Sistesis (rekonsiliasi) baru tercapai dengan cara mengorbankan Ada bagi kesadaran.. Kesadran juga

memiliki aktivitas yang positif, yakni memberi makna pada semesta Ada. Yang membuka kemungkinan memaknaai yang

Ada, tanpa kesadaran tidak ada makna.

Karakter positif kesadaran bereksistensi yang berarti pemberian makna pada Ada. Yang berada dalam Dunia.

Dalam setiap kontak antara kesadaran dan dunianya, kita temui rekonsiliasi dari subjektif (kesadaran) dan yang objektif

(Ada) berdasarkan pada kegiatan aktif kesadaran dalam menembus balantara Ada.

Pembahasan selanjtan tentang periode Eksistensialisasisme fenomenologis, beberapa karakteristik utama fenomenologi

Sartre dan tema-tema penyelidikannya serta beberapa ilustrasi gejala manusia dilanjutkan pada modul berikutnya.

Peranan Eksistensialisme Fenomenologis

Eksistensialisme Sartre terkenal melalui suatu faham humanisme. Humanisme eksistensialisme bisa dikatakan

bentuk humanisme baru karena dasarnya yang khas. Yaitu tidak ada universum apapun di luar universum manusia.

Universum manusia adalah universum hasil dari proyek transedensi diri dan proyek aktif subjektifitas

manusia”.

Humanisme Sartre masih tetap mempertahankan atheismenya. Beberapa interpretasinya tentang manusia

(kesadaran) mengalami perubahan yang cukup berarti. Pandangannya yang semula muram tentang manusia, kini

menunjukan tanda-tanda optimistik. Manusia tidak lagi dipandang sebagai ”gairah yang sia-sia”, melainkan dipandangnya

sebagai ”anugrah”. ”Menjadi manusia”, tulis Sartre tidalk lain adalah anugrah, suatu berkah yang luar biasa, hanya jika

manusia itu sendiri mengakui kebebasan absolutnya dan pertanggungjawaban yang menyeluruh.

Perubahan juga terjadi berubahan adalah tentang hidup bersama atau realasi antara manusia. Dasar dari

penghubung antar manusia tidak lagi dinterpretasikan sebagai konflik, melainkan kebersamaan”. Dalam memeilih dan

memep[erjuangkan klebebasan manusia tidak harus melakukannya untuk kebaikan diri sendiri, melainkan kebaikan untuk

segenab umat manusuia. Ini adalah periode ketika pemikiran Sartre mulai akrab dengan Marxisme. Ketika dia aktif dalam

politik internasional. Dan ketika eksistensialisme dipandang sebagai filsafat yang mempunyai komitmen politik. Dalam

periode ini ”pembebasan” eksistensi manusia bukan lagi dengan cara berlindung di bawah naungan keindahan dan

penciptaan artistik, melainkan dalam bentuk perjuangan sosial dan komitmen yang tiggi pada revolusi sosial kaum

proletar.

Minat Sartre terus dilanjutkan pada penyelidikan fenomenologis, yaitu merekonsiliasikan subjek dengan objek.

Hanya saja yang dirensiliasi lebih menitik beratkan pada metode atau pendekatannya, yakni pendekatan ”objektif” dan

pendekatan yang ”Subjektif”, yaitu untuk menunjukkan batas-batas interpretasi psiko-analisis dan batas-batas penjelasan

Marxis, serta membuktikan gagasan bahwa kebebasamn itu sebetulnya merupakan suatu kepribadian.

Dalam pandangan Sartre, kita perlu ” mencegah pendekatan yang terlalu subjektif (yang berasal dari

psikoanalisis) dan sekaligus menghindar dari pendekatan yang terlalu objektif (yang berasal dari Marxisme) pada gejala

manusia. Dengan demikian usaha ini sebetulnya menghubungkan kesadaran (subjek) dengan dunianya (objek). Hanya

saja di dalam Jean Genet Sartre menyebut pendekatan ”Psikoanalisis Eksistensial”, kendati dalam banyak hal

sebenarnya adalam fenomenologi, khususnya Feneomenologi Hermeneutik.

56

Page 57: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Karakteristik Utama Fenomenologi dan Tema Penyelidikannya.

Mengamati perkembangan pemikiran Sartre yang begitu panjang dan tidak ada konsepsi yang tertulis sendiri

olehnya tentang fenomenologi, maka sulit bagi kita untuk mengidentifikasikan esensi fenomenologi yang pas menurut

rumusan Sartre sendiri. Oleh sebab itu, tugas kita hanyalah memilih beberapa kkarakteristik utama dari fenomenologi

Sartre dan bagaimana hasil penyelidikan fenomenologinya pada gejala menusiawi yang telah diselidiki. Dengan begitu,

kita dapat mecermati di mana sebenarnya letak orisinalitas fenomenologi Sartre dibandingkan dengan fenomenologi dari

dua fenomenologi sebelumnya yakni Husserl dan Heidegger.

Tema Penyelidikan Sartre

1. Penolakan atas Ego Transedental Hurssel dan Intrepretasi Sartre tentang Fenomenologi Eksistensi Manusia

Pada prinsipnya Sartre menyetujui ajakan Husserl, baginya kesadaran gejala sangat menarik, akan tetapi dia tidak mau

mengulang apa yang telah dilakukan Husserl, yaitu untuk menempatkan ego pada tingkat transedental. Bagi Sartre

alasannya sangat jelas yang berarti masuk kepada dunia idealisme. Dia mencoba menurunkannya pada tingkat

eksistensial (realita humanisme). Kesadaran haruslah kesadaran eksistensial, fenomenologi bukan transedental

melainkan fenomenologi eksistensi manusia.

Interpretasi Sartre tentang Ego dan kesadaran dihubungkan dengan eksistensi berkaitan dengan eksistensi Heiddegger.

Perbedaan hanya pada mengartikan ”eksistensi” bahwa manusia adalah ahasil dari perbuatan bebas manusia. Eksistensi

untuk menunjukan pada kesadaran konkret manusia dalam aktifitas bebasnya. Hedegger eksistensi dihubungkan dengan

temporaltas (masa depan). Jadi eksistensi dalam interpretasi Heidegger, bukan suatu yang mendahului esensi, karena

baru akan wujud pada masa yang akan datang dari hidup manusia.

Sartre menggunakan kata kerja transitif ”bereksistensi”, berarti eksistensi manusia selalu melibatkan tubuh. Kita hidup di

dalam dan melalui tubuh kita , Setiap perhubungan kita dengan dunia adalah perhubungan kita melalui media kesadaran

akan tubuh kita. Melalui tubuh dan karena kesadaran kita akan tubuh kita sendirilah, maka aktivitas kita dimungkinkan.

Sartre menjlaskan eksistensi bukan hanya cara berada yang khas manusia, tetapi juga perilaku sadar dan konkret

manusia dalam dunia dan bersesuaian dengan dunia yang dialaminya.

2. Kesadaran dan Fenomenologi

Salah satu sumbangan terpenting Sartre pada perkembangan fenomenologi adalah konsepsinya tentang kesadaran. Ia

membedakan antara kesadaran reflektif dan kesadaran pra-reflektif untuk memp[erluas pengertiannya tentang kesadaran.

Menurutnya adalah sebagai berikut:

a) Kesadaran Reflektif, adalah kesadaran yang memnbuat kesadaran pra-reflektif menjadi tematik (kesadaran yang

membuat kesadaran yang tidak disadarai menjadi ”kesadaran yang disadarai”).

Contoh: (dalam refleksi – kesadaran reflektif). Kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang tadi saya baca,

melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku (kesadaran yang tidak disadarai).

b) Kesadaran pra-reflektif, adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian kita (baik objek dalam

kehidupan sehari-hari kita maupun objek dalam pemikiran atau penelitiann kita).

Contoh: Ketika saya membaca buku, kesadaran saya tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang membaca,

melainkan pada bahan (isi buku) yang sedang saya baca (kesadaran yang tidak disadarai).

Titik tolak fenomenologi Sartre dan sekaligus tema utama penyelidikan Sartre adalah kesadaran yang pada prinsipnya

adalah kesadaran pra-reflektif. Hidup keseharian dan eksistensi sehari-hari adalah hidup dan eksistensi melalui pra-

reflektif. Pada kesadaran pra-reflektif, ego (subjek) bukanlah ego yang mengarahkan kesadarannya pada perbuatannya.

Kesadaran pra-reflektif menopang kesadaran reflektif secara bersamaan.

Tugas Fenomenologi dalam hubungannya dengan kesadaran pra-reflektif adalah mereflektif kesadaran pra-reflektif

(membuat tematik kesadaran ”yang tidak disadari”)

Dalam fenomenologi, kesadaran pra-reflektif , kita refleksikan atau kita buat menjadi tematik, sehingga kita menjadi

paham apa makna sesungguhnya dari perbuatan kita dan bagaimana objek dari perbuatan itu kita maknakan.

3. Karakter Negatif Kesadaran

57

Page 58: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Yang paling orisinal dari konsepsi Sartre tentang kesadaran adalah tekanan pada karakter negatifnya. Fungsi negatif

kesadaran tidak kita temukan baik pada Husserl maupun pada Heidegger. Kajian awal Sartre dalam feneomenologiis,

khususnya adalam tentang imajinasi, yang sudah memperlihatkan perhatiannya pada karakter negatif kesadaran ”terarah

pada objek yang tidak ada”. Pada obejk yang dimanapun tidak menampakkan kehadirannya. Dalam Ada dan Tiada,

fungsi negatif kesadaran itu lebih diberikan tekanan lagi. Sartre menganalisa kesadaran dalam hubungannya dengan

ketiadaan . Hasilnya memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok dari analisis Heidegger dalam Ada dan Waktu.

Menurut analisanya kesadaran adalah sumber yang menciptakan ketiadaan. Ini berarti bahwa berbeda dari

analisa Heidegger, yang tidak menempatkan dasein sebagai sumber dari ketiadaan – kesadaran tidak lain dan tidak buka

adalah sumber atau asal-usul yang melahirkan ketiadaan. Yang dimaksud Sartre dengan ”Ketiadaan” wujud sebenarnya

dari ketiadaan adalah ketidakhadiran dari bagian-bagian yang hilang dalam totalitas Ada. Akan tetapi yang hilang dalam

totalitas Ada sebetulnya tidak bersumber dari Ada sendiri, melainkan dari negativitas kesadaran, yakni dalam perbuatan

”menindak” terhadap Ada.

Berbeda dengan Heidegger yang menempatkan ketiadaan sebagai ancaman terhadap dan sekaligus sebagai latar

belakang dari - Ada. Bagi Sartre, ada adalah penuh, masif, padat, dan melimpah ruah sehingga tidak ada tempat bagi

ketiadaan. Ketiadaan adalah suatu yang ”mendunia” dan terbentuk karena harapan-harapan yang berasal dari kesadaran

– kesadaranlah yang menciptakan ketiadaan.

”Saya mempunyai janji pada Piere ubtuk bertemu di sebuah Cafe pada pukul 4 sore. Saya baru tiba 4 lewat, biasanya

Piere selalu tepat waktu. Apakah ia akan menunggu saya. Ketiadakhadiran iere hanya mungkin dengan mengatakan

”tidak” terhadap Ada yang menjadi latarbelajkangnya.

Dibalik negativitas kesadaran itu terkandung harapan atau pengharapan. Kitiadaan berhubungan dengan harapan

kesadaran kemudian ditarik kesimpulan demikian.

Sudah pasti, bnahwa ketiadakhadiran Piere mengandaikan hubungan yang asasi antara saya dengan cara ini. Ada

banyak sekali orang yang tidak menghubungkan dengan negatif, seandainya mereka mengharapkan untuk membangun

ketidakhadioran rekan-rekan mereka. Akan tetapi saya berharap melihat Piere dan harapan saya menyebabkan

ketidakhadiran Piere terjadi secara nyata di kafe ini.

4. Kebebasan

Aspek negatif kesadaran berhubungan erat dan esensi kesadaran itu sendiri, yakni kebebasan. Sartre seringkali

menggunakan istlah kebebasan yang menimbulkan kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan. Dalam kajian

fenomenologisnya tentang imajinasi, ia coba membuktikan bahwa kesadaran imajinatif mengandaikan kapasitas

manusia , menjauh dari kausalitas dunia, sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya.

Setiap bentuk kesadaran dan hubungannya dengan dunia selalui dilandasi oleh terputusnya ”negasi terhadap relasi”

kausal. Bahkan yang menjadi dirinya sendiri, kesadaran harus bebas terlebih dahulu dari kausalitas tersebut.

Dalam pandangan Sartre tentang kebebasan, kita bisa melihat ada dua unsur positif, unsur positif itu dikaitkan dengan

pilihan dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sensiri. Kendati kebebasan pada prinsipnya dan pada awalnya

”dibebankan” pada manusia dalam suatu situasi yang sudah tentu dan bukan merupakan pilihannya, tapi manusia bebas

sebebasnya untuk mengubah makna situasinya itu, yakni melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan

ditentukan oelh dirinya seniri. Contoh: lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, kebebasan tidak mungkin terwujud

tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia tanpa situasi-situai yang tidak dipilihnya sendiri.

5. Kecemasan

Heidegger, menyatakan keadaan mencekam di sebabkan oleh ancaman dari ketiadaan. Sartre, dihubungkan dengan

kebebasan dan tanggung jawab, Kalau kesadaran identik dengan kebebasan maka jaminan keberadaan dan

kelangsungan hidup diri dan eksistensinya tergantung pada kebebasannnya dengan demikian kebebasan dan tanggung

jawab bukan sesuatu yang menggembierakan justru menimbulkan kecemasan.

Kecemasan adalah gejala universal dan terjadi pada setiap manusia saat manusia tsb menyadari akan kesendiriannya

dan harus memikul dipundaknya sendiri seluruh tanggung jawan yang bersumber dari kebebasan.

58

Page 59: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Kecemasan konsekwensi dari kebebasan tsb dipikul sendiri dan bisa menggoyahkan eksistensi individu itu sendiri.

Misalnya keputusan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan. Melibatkan diri dalam suatu organidsasi politik

yang radikal.

6. Malafide

Sartre mengakui bahwa kecemasan tidak sungguh-sungguh tidak selamanya disadari manusia. Kecemasan datang begitu

saja pada situasi tertentu dan berlangsung pada taraf kesadaran pra-reflektif. Namun tidak berarti bahwa kita sama sekali

tidak menyadari kecemasan kita dan kebebasan yang melatarbelakangi.

Mengingklari kebebasan kita sendiri, seperti hanlnya dalam gejala malafide (bad faith) adalah bukti dari adanya kesadaran

akan kebebasan dan kecemasan kita. Tapi dalam malafide kenyataan itu tidak diakui . dalam malafide m,anusia menipu

dirinya dengan cara menyangkal kebebasan dan menutupi kecemasannya. Manusia mengidentifikasikan diri dengan

obejek dan tidak mengakui dirinya sebagai subjek.

Manusia malafeide sering memberikan pernyataan sebagai berikut:

”Sifat saya memang begitu mau apa lagi”

”Itu sudah menjadi ketentuan pemimpin kita, sehingga adil atau tidak adil harus kita lakukan”

”semua itu bukan kemauan saya, jadi apapun yang terjadi bukan tanggung jawab saya”

Tapi manusia malafide juga bisa tampil dalam bentuk lain. Misalnya: orang-orang yang tidak tanduknya bukan ditentukan

oleh pendapat atau kehendak umum, tapi dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan citra yang dibentuk oleh orang

lain terhadap dirinya. Contohnya seorang pelayan yang sangat lihai membawa sampan, manusia malafide bisa saja tampil

pada ilmuan / psikolog yang menyakini teori-teori deterministik dan menjadikan teori tersebut sebagai alasan menyangkal

kebebasan dan tanggung jawabnya. Beberapa ilustrasi tentang gejala manusia, hasil dari praktek fenomenologi

eksistensial Sartre.

A. Imajinasi

Sartre mengadakan studi kritis tentang imajinasi dan menyorotinya dalam cahaya fenomenologi. Sartre memuji

analisa Husserl tentang gejala imajinasi yang mampu membedakan antara imajinasi dengan persepsi dan

pernbuatan imajinasi yang bersifat imanaen danobjek yang diimajinasikan bersifat transenden.

Fenomenologi Sartre tentang imajinasi dituangkan dalam ”psikologi fenomenologis tentang imajinasi” dengan

meninggalkan karya yang sangat orisinil dan membatasi perhatian pada perbedaan antara persepsi dan imajinasi

menurut empat karakteristik dasarnya, yaitu:

1. Perbedaan persepsi antara persepsi dan imajinasi tidak terletak pada kehadiran dan ketidahadiran suatu citra,

tetapi pada cara terarahnya kesadaran kita pada objek intensionalnya. Tidak ada perbedaan asasi antara objek

yang diimajinasikan dengan yang dipersepsi, baik sifat atau tempat, melainkan cara menyadarinya.

2. Melibatkan cara kita mengalami objek. Dalam persepsi sepenuhnya tergantung pada observasi, tetapi imajinasi

pada quasi – imajinasi. Dalam persepsi pengamatan membawa pada hal baru. Imajinasi tidak terjadi, kendati

quasi observasi pada objek yang diimajinasikan terus berlanjut. Karena quasi observasi steril sehingga sekali

imajinasi berhenti, maka berikutnya menjadi tidak berguna.

3. Imajinasi menghadirkan objeknya dengan karakter negatif, sebagai sesuatu yang tidak ada. Dibandingkan

dengan perspektif, imajinatif selalui kekurangan objek.

4. Imajinasi jauh lebih spontan, keretif dan produktif dibandingkan dengan persepsi.

B. Emosi

Dalam teori emosi, Sartre mengajukan pertanyaan ”Apakah fungsi emosi dalam eksistensi manusia?. Di belakang

pertanyaan ini terkandung pengertian bahwa emosi mempunyai struktur teleologisnya (telos = bertujuan) sendiri dan

sama sekali bukan hasil sampingan atau gangguan yang tidak mengandung arti bagi kehidupan rasional kita. Emosi

dipastikan merupakan suatu bentuk perilaku yang bermakna dan bertujuan. Maka dalam beberapa hal ia setuju

dengan para psikolog Gestalbis, yang menginterpretasikan emosi sebagai ”penjelasaan yang masih” kasar” atas

Konflik” atau ”suatu cara mengambil keputusan secara tergesa-gesa, untuk mengakhiri keraguan.

Ambisi Sartre adalah menghapus konsepsi mekanis tersebut. Berdasarkan pada konsepsinya tentang kesadaran

prareflekstif, ia mengubah bentuk hipotesis tentang ketidaksadaran dalam suatu cara yang sedemikian rupa

sehingga ia mampu menerangkan irrasionalitas kehidupan emosi kita. Sartre menemukan fakta bahwa bentuk-

59

Page 60: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

bentuk perilaku emosional sesungguhnya menunjuk pada posisi kita dalam dunia sebagai suatu keseluruhan.

Kualitas-kualitas tersebut tentu saja kurang realistik dibandingkan dengan apa yang biasa kita hadapi dalam dunia

nyta karena kualitas2 tersebut adalah bagian dari dunia ”magis” kita.

C. Tatapan

Salah satu deskripsi fenomenologis Sartre yang juga cukup orisinal antara lain mengenai tatapan manusia. Ia

memasuki diskusi tentang ”orang lain” tentang dunia sosial. Sartre memperkenalkan masalah ”tatapan” dengan

mengajak kita untukl merenungkan kasus penglihatan kita pada seseorang yang tidak kita kenal, yang lewat dimuka

kita. Pertama-tama orang itu mungkin tidak kita acuhkan, seolah-olah ia adalah objek yang tidak bernyawa, seperti

halnya patung atau boneka. Kita memandang dan mempertimbangkan orang itu sebagai manusia. Mulai saat ini kita

memandangnya sebagai seorang manusia dengan tatapan yang terarah pada objek-objek yang sama seperti yang

kita lihat.

Saat-saat menentukan ketika kita menjadi subjek bagi saya adalah manakala tatapannya yang semula terarah pada

objek-objek yang sama-sama kami lihat. Ini adalah pengalaman yang menjadikan eksistensi ”oang lain” sebagai

sesuatu yang pasti, yang tidak dapat diragukan keberadaannya.

Tanpa memberikan deskripsi lengkap, Sartre menunjukkan beberapa karakteristik yang menarik dari gejala tatapan.

Ciri utama dari tatapan adalah bahwa ia mempunyai akibat nyata pada kesadaran, yang mengalami dirinya ditatap

oleh orang lain. Tatapan mampu ”membekukan” Objeknya, tatapan ”memperkuat” atau membuat kaku ”apa yang

akan ditatapnya. Relasi antar manusia, dalam pandangan Sartre tidak lain adalah suatu perseteruan suatu usaha

untuk saling mengobjekkan atau menjadikan diri sendiri sebagai subjek bagi orang lain.

Tatapan pun merupakan dasar bagi interpretasi Sartre yang kemudian tentang drama atau tragedi sosial, setiap

upaya untuk menyelesaikan konflik antar manusia tidak lain adalah usaha yang sia-sia karena setiap penyelsaian,

pada akhirnya bakal mengorbankan manusia yang satu atau manusia yang lain.

D. Tubuh

Gejala tubuh oleh Sartre dilihat dalam perspektif filsafat sosial. Oleh sebab itu, perhatian Sartre tidak diarahkan pada

tubuh sebagai objek penilaian ilmiah, seperti di dalam ilmu anatomi atau fisiologi.

Tubuh sebagaimana dialami langsung secara sadar oleh kita dan fungsi tubuh dalam kaitannya dengan relasi kita

dengan ”orang lain”. Aktivitas otak dan kelenjar endoktrin yang bekerja dalam tubuh kita, melainkan kita mengalami

tubuh sendiri sebagai tubuh – subjek yang diselidiki 3 dimensi / segi, seperti berikut:

1. Tubuh saya bagi saya sendiri, pengamatan Sartre pada tubuh menghasilkan kesimpulan bahwa pada tingkat

kesadaran pra-reflektif kita ”mengada” Pada – atau ”menghidupi” tubuh kta bahwa kesadaran kita secara

otonomtis ”terlihat” dalam tubuh kita ”melepaskan” diri dari tubuh kita.

2. Tubuh saya bagi orang lain, tubuh kita sebagaimana tampak bagi orang lain pada dasarnya merupakan gejala

tubuh yang sangat kaya pandangan orang lain tentang tubuh kita. Sebagai darah dan daging yang tergeletak di

meja, operasi, sebagai objek pemuas nafsu seks, sebagai bahan cemoohan karena kekurangan.

3. Tubuh bagi saya yang menyadari adanya sinergi kesadaran orang lain akan tubuh saya.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah yang dimaksud dengan merekonsiliasikan antara subjek dengan objek? Jelaskan!

2. Bagaimana Pandangan Sartre tentang "kebebasan"?

3. Apakah yang dimaksud dengan tentang benda (objek) dalam filsafat Sartre?

4. Apakah peranan fenomenologi dalam perkembangan pemikiran Sartre?

5. Bagaimana fenomenologi berperanan dalam memecahkan kesulitan yang diadapi Sartre?

6. Apakah pemikiran Sartre pada peride Prafenonologis?

7. Apakah yang dimaksud psikolgi fenomenologis menurut filsafat Sartre?

8. Terdapat empat penting dalam "Ada dan Tiada " peride Ontologi fenomenologis menurut filsafat Sartre.

jelaskanlah

9. Jelaskanalah kritik Sartre terhadap filsafat Heidegger dan Hussrl?

10. Bagaimana penolakan Sartre terhadap filsafat Husserl ?

60

Page 61: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

11. Apakah yang dimaksud kesadaran dan fenomenologi menurut Sartre?

12. Apakah yang dimaksud Karakter Negatif kesadran menurut Sartre?

13. Bagaimana tanggapan Sartre tentang Kebebasan ?

14. Bagaimana kecemasan Sartre ?

15. Apakah yang dimasuk Malafide oleh Sartre?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.

61

Page 62: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 13

AFEKTIVITAS DAN KEBEBASAN MANUSIA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis afektifitas dan kebebasan manusia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis afektivitas dan

kebebasanmanusia yang meliputi sebagai berikut:

Kekayaan dan kompleksitas manusia

Apa yang bukan perbuatan afektif

Apa yang merupakan perbuatan afektif

Kondisi-kondisi afektifitas manusia

Kesenangan harus dicurigai?

Cinta akan diri, sesama dan Tuhan

Objek dan watak kodrati kehendak

Keaslian kehendak

Alasan membenarkan kebebasan

Dasar ontologis kebebasan

Materi Pembahasan

Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia

Manusia mempunyai kemampuan mengenal dan afektivitas. Kita dianugrahi afektivitas, maka kita tidak merasa

puas dengan memandang alam semesta saja, hal-hal menarik perhatian kita, menggerakkan hati kita. Afektivitaslah yang

menjadi pangkal kita bicara, tanda-tanda yang saling kita berikan atau ekspresi muda dan dialog. Oleh karena itu sering

bericara dengan orang-orang tentang hal yang menarik perhatian kita. Afektivitaslah yang memperlihatkan diri dalam

berbagai kelakuan kita termasuk kelakuan seksual. Melalui afektivitas kita didorong untuk mengikatkan diri pada sesuatu

atau seseorang, mengabdi untuk menjadi kreatif, membela diri, menyerang, dan bertempur.

Afektivitas manusia menyangkut kegiatan kompleks, sebelum kita sampai menyatakan secara tepatapa

afektivitas itu, kita memperhatikan kekayaan dan menjelaskan yang paling penting dari afektivitas. Seluruh kegiatan

afektivitas bersandar pada dua hal, yaitu mencintai dan mencintai Cinta sebagai akibat afektivitas yang baik disebut

afektivitas positif, sedang benci sebagai akibat dari sesuatu yang jelek yang disebut afektifitas negatif. Jadi, pada

hakikatnya cintalah yang berada pada asal mula dari seluruh hidup afektif, sekurang-kurangnya rasa cinta pada diri

sendiri.

Suasan hati dasariah, entah normal atau patologis, itulah yang menentukan bagaimana setiap orang berbeda

dalam dunia, yang memberikan kepadanya gaya kelakukan yang mewarnai seluruh kehidupan afektifnya. Suasana hati

dasariah setiap orang, ”lengkung intensionalnya” adalah yang merupakan akar kehidupan afektifnya, dimana perpaduan

antara tubuh dan rohnya, antara yang organis dan yang psikolog.

Apa yang bukan perbuatan afektif

Sejauh kita mengenal seseorang kita dapat mencintainya, dan hanya dengan mencintainya sungguh-sungguh

kita dapat mengertinya. Namun, mencintai bukanlah mengerti dan mengerti bukanlah mencintai. Buktinya, seseorang

yang mempertimbangkan atau cara tentang kebenaran, keadilan, cinta dan kesetiaan tidak selalu cenderung, secara

afektif, bersikap baik terhadap nilai-nilai itu, meskipun pengetahuan atau kefasihannya memberi kesan demikian. Sering

juga sesorang yang dengan berapi-api dan mengabdikan diri sekuat tenaga tidak selalu berbuat secara inteligen.

Cinta pada umumnya cenderung kesatuan afektif, yang terdiri dari kecenderungan, gerakan hati, proporsi,

persesuain, kecocokan dan kerelaan. Kehidupan afektif disebut ”affectueux” artinya lembuh dan ramah. Afektivitas dan

62

Page 63: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

kehidupan afektif, harus meliputi semua sikap jiwa dari mana subjek didorong yang mendekatan dari mana baginya

merupakan sesuatu yang baik, atau dengan melarikan diri dari atau melawan apa yang baginya adalah sesuatu yang

buruk.

Istilah ”Affect” juga mengandung arti, semua keadaan afektif, menyusahkan atau menyenangkan. Afektif

disamakan denga kesanggupan merasa, yaitu keseluruhan kecenderungan yang berbeda dari aspirasi-aspirasi yang

betul-betul rohaniah dan malah mereka atau kesanggupan merasa. Demikian pula kehidupan afektif kita bersifat

jasmaniah dan dapat di rasa saja, tetapi kearah inteligebel dan spiritual. Afektivitas manusia tidak terbatas pada gerakan-

gerakan naluriah, tetapi juga pengaruh kebebasan. Oleh sebab itu, afektivitas termasuk dalam unsur-unsur pokok

dasariah kita berada di dunia dan dimensi-dimensi esensial roh kita.

Apa yang merupakan perbuatan afektif

Hidup afektif atau afektivitas adalah keseluruhan dari perbuatan afektif yang dialami oleh subjek dan juga

dinamisme-dinamisme perbuatan-perbuatannya. Perbuatan harus dimengerti sebagai segala pergerakan batin yang

akrena subjek ditarik oleh objek atau sebaliknya. Akan tetapi perbuatan afektif sungguh berbeda dari perbuatan

mengenal. Penyebabnya adalah:

1) perbuatan afektif itu lebih pasif dari perbuatan mengenal. Perbuatan afektif subjek lebih dipengaruhi/dikuasai

oleh objek. Akibatnya dalam perbuatan subjek lebih dikenal oleh pihak objek,

2) sejauh si subjek dikenal secara lebih intensif oleh objek, maka perbuatan afektif bisa disebut lebih ekstatis

daripada perbuatan mengenal. Karena lebih dinamis dan lebih afektif daripada perbuatan mengenal, maka

perbuatan afektif juga lebih bersifat realistis, karena subjek lebih dihunungkan dengan apa yang khusus dan

nyata dalam objek itu, berkat perbuatan itu, subjek cenderung mendekati atau menghindari objek justru

sebagaimana adanya, apakah menggunakan atau mengabdi kepadanya atau juga menolongnya untuk maju

atau sebaliknya menghancurkannya.

3) Perbuatan afektif lebih bersikap partisipasi dan kesatuan daripada perbuatan mengenal. Ini menjadi nyata

dalam cinta, cinta kesarakahan atau cinta keuntungan pertama-tama cenderung memakai objeknya, cari untung

itu atau nikmat, tetapi cita kerelaan lain, itu adalah persesuaian si subjek dengan objek.

Jadi, Perbuatan afektif berbeda dengan perbuatan mengenal sejauh yang pertama mengarahkan kita lebih kepada

dunia dan membuat kita berada secara lebih langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal, jadi bersifat lebih

eksistensial.

Kondisi-kondisi afektifitas manusia

Supaya ada afektifitas harus ada suatu daya tarik-menarik atau suatu ikatan kesamaan atau gabungan tertentu

antara si subjek dan objek perbuatan afektifnya. Akan menjadi nyata bila dibicarakan itu cinta dan perasaan-perasaan

yang berhubungan dengan cita karena jelaslah cita secara intisariah adalah persesuaian dan penelanan (sintonisasi),

kesatuan dan dua pihak yang ada persamaannya dan saling melengkapapi. Secara Psikologi juga menyangsikan bahwa

permusuhan dari seseorang menjadi makin sukar bagi kita, bila yang bermusuhan itu makin berikatan dengan kita.

Plato dan Aristoteles mendefinisikan kebaikan atau yang baik itu sebagai apa-apa yang dapat dijadikan objek

dari keinginan atau dari kecenderungan, sebagai apa-apa yang dapat cocok, karena alasan ini atau itu, dengan sesuatu

atau dengan seseorang. Mereka membedakan antara sesuatu yang baik karena berguna (bonum utile), sesuatu baik

karena enak atau menyenangkan (bonum delectabile) dan sesuatu baik karena pantas (bonum honestum).

Pengertian nilai, apa yang pantas diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti hidup, cinta, kebenaran,

keindahan, keadilan, kebebasan, kreativitas dan lain-lain. Di tinjau dari sudut subjek, maka nilai itu membangkitkan dalam

dirinya rasa hormat dan kekaguman, menimbulkan persetujuan dan keterlibatannya dan sebagai gantinnya menjanjikan

kepadanya penyempurnaan bagi dirinya sendiri. Dipandang dari dalam diri sendiri nilai itu adalah sesuatu yang betul-betul

berharga, yang pantas diperoleh dengan perjuangan keras dan makin orang dengan sepenuh hati memperjuangkan itu

makin itu atau menyamakan diri sebagai lebih kaya, nilai bersandar pada Yang Mutlak atau menyamakan diri dengan-

Nya yang melebihi semua objek dimana nilai direalisir untuk sebagi saja. Akan tetapi yang baik dan bernilai

berhubungan dengan subjek.

63

Page 64: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Cinta akan diri sendirilah yang selalu ditemukan pada pangkal segala afektivitas sesuatu makhluk. Untuk

terjadinya perbuatan afektif tidak cukup bahwa subjek itu mengenal apa yang menarik baginya atau menyenangkan, tetapi

ia juga secara fundamental dan langsung siap sedia untuk mengalaminya sebagai suatu yang diinginkan atau ditolak. Ia

secara fundamental disiap-siagakan oleh keadaannya sendiri yaitu karena hidup atau karena manusiawi, oleh karena

alam yang telah melengkapinya dengan dinamisme-dinamisme afektif yang ini atau itu.

Ia disiap-siagakan secara langsung dengan kurang lebih baik menurut perkembangan yang telah dialaminya

atau pendidikan yang telah diterimanya. Orang-orang memutuskan pekerjaannya, kita tahu sekarang bahwa pengalaman-

pengalaman afektif pertama pada masa kanak-kanak sangat menentukan untuk keseimbangan kepribadian dewasa.

Kesenangan harus dicurigai?

Dari semua afektif, mungkin kesenanganlah yang merupakan cara yang paling sesuai dengan kodrat kita.

Sekurang-kurangnya, kesenanganlah yang kita cari secara paling spontan. Pentinglah ditinjau peranannya dalam

kehidupan afektif dan diakui betapa kesenangan itu perlu dalam kehidupan kita, tetapi juta kita harus memberi perhatian

kepada apa yang ambigu di dalamnya.

Kesenangan (plaisir, pleasure) adalah perasaan yangdialami oleh suatu subjek kalau ia didalangi atau

dihinggapi oleh suatu ”berada lebih intensif” atau ”berada lebih baik”, sebagai hasil dari ”bertindak dengan baik” atau

”mengalami dengan baik”.

Lawan dari kesenangan, penderitaan (douleur, sorrow) adalah cara afektif yang timbul dalam diri kita oleh

karena salah satu kecenderungan-kecenderungan kita dilawan, dirintangi, digagalkan, entah karena objek kecenderungan

itu luput atau ditarik kembali dari kita, entah kita tidak sampai mencapainya, mempergunakannya, atau berkomunikasi

dengannya. Untuk lebih tepat kita dapat memberdakan penderitaan (duleur, sorrow) dan sengsara (souffrance, pain).

Penderitaan mengandung arti penolakan atau protes si subjek terhadap suatu pengecilan dari keperibadiannya,

sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkan pengecilan itu sendiri.

Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terpenuhi atau tidaknya suatu

kebutuhan jenis biologis, tetapi juga tentang terkabul atau tidanya suatu kecenderungan jenis rohaniah. Kesenangan dan

penderitaan yangdapat dialami setiap orang ditentukan sifatnya dan diukur oleh sifat jiwanya yang dasariah. Akan tetapi,

jelas juga bahwa kesenangan dan penderitaan yang dialami setiap insan juga mempengaruhi sifat jiwanya dan sampai

batas tertentu mengubahnya.

Kecurigaandari para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan mereka terhadap

orang-orang yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka, tidak tanpa dasar. Sebab manusia

dari satu pihak berusaha mencari ”yang mutlak” dan kerinduan akan yang tak terbatas dan sebab dari lain pihak ia adalah

jasmani dan terbatas, maka secara spontan ia dapat cenderung untuk memenuhi kebuhtuhannya akan yang mutlak

dengan memakai hal-hal yang nisbi dan untuk memproyeksikan keinginannya akan yang tak terbatas di dalam realitas

terbatas ditemukan dan dilaksanakannya. Keberatan pokok terhadap perbuatan itu adalah mempersempit cakrawala dari

subjek dan mengurangi jangkauan afektivitasnya.

Dapat dimengerti relavansi seruan-seruan untuk hidup sederhana dan menguasai diri. Ajakan itu masih

bergema dalam anjuran-anjuran rohaniawan dari semua agama yang besar. Sesungguhnya sengsara itu mencegah kita

menghendaki yang kurang dan membawa kita sampai menghendaki yang lebih. Orang tidak memperoleh yang tak

terbatas seperti memperoleh suatu barang, orang hanya dapat memperolehnya dengan membuka diri kepada yang abadi,

mengosongkan diri dan mati raga.

Bersedia menjawab dengan seluruh kepribadian panggilan dan Sang Nilai, itulah sifat khas bagi hati besar.

Itulah puncak dari kehidupan efektif. Itulah yang memperbolehkn manusia untuk mencapai bukan hanya kesenangan dan

kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan.

Cinta akan diri, sesama dan Tuhan

Makin saya mencintai diri saya sendiri, makin saya tidak mencintai yang lain karena cinta akan diri sendiri sama

dengan egoisme. Jika mencintai sesama, karena ia adalah makhluk manusiawi, merupakan suatu kebajikan, maka

mencintai diri sendiri, karena diri sendiri juga makhluk manusiawi, tentu saya suatu kebajikan bukan kecelaan. Ajaran

64

Page 65: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

agama mengatakan ” cintailah sesamamu seperti kamu sendiri. Ini berarti hormat kepada keutuhan dan kekhususaan diri

sendiri, cinta dan pengertian akan dirinya sendiri, tidak terpisah dari hormat, cinta dan pengertian akan orang lain.

Pada hakikatnya, cinta tak terbagikan dari pihak hubungan antara orang-orang lain dan dirinya sendiri. Kita

mengatakan keakuan sendiri harus menjadi objek dari cinta kita dengan alasan yang sama untuk mencintai siapapun.

Penegasan dari kehidupan, kebahagiaan, pertumbuhan dan kebebasan kita, berakar dalam kecakapan kita untuk

mencintai, artinya dalam pengertian, hormat, tanggung jawab dan pengenalan. Jika seseorang dapat memberi cinta

produktif, ia mencintai diri sendiri, tidak diri sendiri, juga tidak orang lain.

Cinta akan diri sendiri dan cinta tak berkepentingan akan secara manusiawi dapat dicocokan atau didamaikan

karena ciri khas dari makhluk rohaniah justru adalah menyempurkan diri lewat keterbukaannya kepada orang-orang lain.

Keterbukaan ini secara konkret menjadi nyata dalam dimensi-dimensi cinta yang disebut ”perhatian sungguh-sungguh”,

”hormat, tanggung jawab dan pengenalan”. Itulah kegiatan yang mengagumkan yang bernilai.

Jika kita harus mencintai Tuhan di atas segala-galanya dengan seluruh jiwanya, dengan seluruh hatinya dan

tenaganya, maka itu sama dengan mengasingkan diri dari diri sendiri dan berhenti mencintai diri? Tidak. Menyerahkan

kepribadian kita kepada Tuhan, kita tidak mengasingkannya. Tuhan bukan melawan kita, Tuhan adalah pokok pangkal

dari keperibadian kita masing-masing.’

Cinta yang paling dalam berasal kebebasan yang luhur, paling dalam yang membuat kita menjadi pokok

pangkal dari pembentukan sebagai manusia autentik. Melalui itu kita bisa menangkap hubungan-hubungan erat yang

mempersatukan cinta dan kebebasan, yang mengikat cita kepada kehematan dan kesederhanaan. Secara rela

melepaskan diri dari apa-apa yang merintangi kita untuk memberikan diri adalah suatu prinsip kemajuan dalam cinta

dalam kebebasan.

Melepaskan dengan rela, bersikap positif karena melepaskan diri dari keterbatasan dan kekakuan-

kekakuannya, kecongkakan dan prasangka-prasangkanya merupakan suatu keuntungan atau kemajuan. Pengorbanan

(sacrificium) membuat kita masuk dalam suasana suci (sacrum facere). Dengan membuat kita jadi rela akan sesuatu cinta

murni yang tidak mencari keuntungan diri , pengorbanan itu membuat kita lebih mengabil bagian dalam cinta yang

menghidupkan dan yang berbalas kasihan.

Objek dan watak kodrati kehendak

Yang dikehendai oleh manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Sepanjang hidup ini,

Tuhan tidak dikenal secara lengkap. Itu sebabnya mengapa manusia bisa tidak cenderung kepada-Nya pada taraf

kesadaran jernihnya. Ia dapat menyimpang dari kebaikan ilahi. Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena

manusia dapat berpaling secara eskplisit ke arah objek-objek lain seperti: kehormatan, kesenangan, kesehatan,

kekuasaan dan sebagainya.

Manusia mutlak ingin bahagia, secara objektif, kebahagiaan berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna dan

kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif, manusia

membunyai kemampuan untuk meletakkan kebahagiaannya dalam realitas-realitas lain, yang akhirnya mengarah atau

tidak mengarah kepada Tuhan. Kesempurnaan moral terdiri persis dari menetapkan keserasian yang sebaik mungkin

antara kedua aspek (objektif dan subjektif) dari kehendak itu.

Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan. Ini senantiasa adalah suatu

kebaikan. Kebaikan ini berujud material atau non-material, fisik atau moral, riil atau semua. Kebaikan fisik adalah kebaikan

yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme dalam cosmos. Kebaikan moral adalah kebaikan yang baik untuk

manusia sebagai ”ada” yang bebas. Kebaikan semu sesungguhnya adalah sesuatu yang jahat, tetapi tampak sebagai

kebaikan. Kebaikan semu itu adalah kejahatan untuk manusia kalau ia dipandang dalam keseluruhannya, tetapi kejahatan

itu tampak sebagai kebaikan untuk suatu tendensi yang lebih rendah.

Tujuan termasuk dalam bidang nafsu, sedangkan nilai tergolong dalam afektivitas. Tujuan adalah yang memikat

saya, nilai lebih merupakan sebabnya, mengapa yang memikat saya menimbulkan daya tarik terhadap saya. Orang

melihat dengan jelas konsep tentang nilai tidak tanpa guna di dalam filsafat. Justru oleh karena interaksi terus menerus

antara inteligensi dan kehendak itulah, maka manusia adalah suatu makhluk yang bebas. Hubungan antara kehendak dan

intelegensi dapat diperbantingan dengan hubungan yang ada antara pengerak dan cahaya yang memimpin melalui

65

Page 66: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

terangnya. Kehendaklah yang cenderung kearah kebaikan dan intelegensilah yang menentukan jenis kebaikan kearah

mana kehendak cenderung dalam suatu hal yang konkret.

Peranan kehendak adalam memperhatikan bahwa perumusan itu dibawahi oleh kebaikan bagi manusia sebagai

keseluruhan. Kecenderungan fisilogis (kelaparan, kehausan, seksualitas) peranan kehendak terutama adalam peranan

pengarahan dan kontrol. Kecenderungan lain (keingintahuan, sosiabilitas, ambisi, naluri) dapat digunakan secara

langsung oleh kehendak. Ia tidak hanya sekedar manuasai mereka tetapi harus menjiwai mereka dan memanfaatkan

tenaga-tenaga mereka untuk mencapai secara lebih lengkap kebaikan dari manusia secara keseluruhan.

Keaslian kehendak

Keaslian itu adalah keaslian pengetahuan intelektual, walau tidak dapat berada tanpa pengetahuan inderawi,

namun sifat lebih tinggi dan tidak bisa direduksikan kepadanya. Semua perbuatan penguasaan diri (self control) adalah

perwujudan kehendak. Dalam kegiatan jenis itu, kita sadar akan kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu

kecenderungan lebih tinggi yang menguasai kecenderungan-kecenderungan yang lain.

Orang dapat menunjukkan perhatian sengaja yang jelas dapat dibedakan dengan perhatian spontan. Perhatian

spontan ada pada binatang. Ini adalah pemusatan indera dan otak pada suatu objek yang menguntungkan bagi suatu

kecenderungan tertentu. Pada perhatian sengaja, kita memusatkan indera pada perhatian sadar kita pada suatu objek

yang tidak secara spontan menarik perhatian kita. Kita memusatkan diri kita kerana kita menghendakinya, kita

memutuskan untuk berbuat begitu. Kita menhendakinya karena inteligensi kita mengatakan kepada kita bahwa itu adalah

sesuatu yang baik untuk dilakukan. Bandingkan , misalnya perhatian yang diberikan pada sebuat film polisi yang

menegangkan, dengan perhatian yang berdasarkan keputusan dan ditujukan pada sebuak teks penting dan sulit (untuk

mempersiapkan sebuah kursus atau ujian).

Alasan membenarkan kebebasan

Kebebasan berarti ketidakpaksaan. Ada macam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah

ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral buka atau kewajiaban. Kebebasan psikologis

adalah ketiadaan paksaan psikologis, suatu paksaan psikologis berupa kecenderungan yang memaksa seseorang untuk

melakukan perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih antara berbagai tindakan

yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak.

Beberapa pemikir modern dan ahli psikologi menginkari kebebasan kehendak itu. Tiga argumen klasik mengeni

kehendak, yaitu:

1) argumen persetujuan umum, sebagian besar manusia percaya bahwa mereka dilengkapi dengan kehendak

bebas, kehendak manusia adalah bebas. Pikiran sehat (common sense) menyatakan kebabasan itu,

kebebasan itu adalah kehendak manusia. Cara orang bertingkah laku sangat mempengaruhi sikapnya terhadap

doktrin kebebasan. Sesungguhnya bertingkah laku seperti mereka yang mengakui kebebasan kehendak,

kehendak mereka dan kehendak orang lain membawa kita kepada argumen kedua.

2) argumen psikologis, sebagian besar manusia secara spontan mengakui kebebasan, sebagai hasil pengalaman.

Secara langsung atau tidak langsung menyadari itu. Kesadaran langsung akan kebebasan, muncul dari ”aku”

saya yang dalam, dari dasar kepribadian saya, dari kehendak saya yang bebas, kalau saya mengambil suatu

keputusan, terutama untuk sesuatu yang penting dari pihak moral, saya sadar bahwa keputusan itu bebas.

Bagaimana proses kita menjadi sadar tentang siapa itu kita, itu sesuatu yang sangat berbeda dengan

pengetahuan ilmiah atau pengalaman kita sehari-hari. Kesadaran tak langsung, akan kebebasan keputusan

kita. Beberapa tindakan kita sehari-hari benar-benar kita sedari tidak dapat diterangkan seandainya kita tidak

bebas. Kita berunding sebelum mengambil keputusan, kita mempertimbangan pro dan kontra, kita menyesalkan

keputusan yang lalu ini berarti kita bebas berbuat yang lain. Kita mengagumi, memuji dan menghadiahi

perbuatan baik dan heroik secara implisit kita menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak

dipaksa untuk berbuat demikian. Kebebasan itu justru terdiri atas penguasaan rintangan – rintangan sejenis itu.

Kita mempunyai kesan bahwa kita bebas karena kita tidak sadar akan motif-motif yang menentukan kita. Suatu

66

Page 67: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

keputusan yang tampak diambil oleh si subjek secara terpaksa , tanpa diketahuinya motif yang menekannya,

bukanlah pilihan bebas, tetapi suatu tindakan komplusif.

3) argumen etis, seandainya tidak ada kebebasan, tidak akan ada juga tanggung jawab moral, kebajikan, jasa,

keharusan moral, kewajiban. Hubungan yang kuat antara kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas

dan salah satu tugas dari etika adalam memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat karena rasa kewajiban moral

adalah sangat wajar pada manusia. Bahkan mereka yang menyangkal realitas-realitas itu dalam teori kelakukan

dalam kehidupan konkret seakan-akan realitas itu memang ada. Kebebasan adalah suatu pengabdian dari

pelaksanaan penilaian rasional, pembedaan antara yang benar dan yang salah, tetapi kebebasan adalah suatu

mengandaian kehidupan moral. Kita mengakui bertanggung jawab terhadap perbuatan kita, kita pun

berpendapat bahwa orang lain bertanggung jawab terhadap perbuatan sendiri dan akan tiada artinya kita

bersikap demikian seandainya kita tidak percaya bahwa perbuatan-perbuatan itu sungguh perbuatan seorang

pelaku moral.

Tidak ada kehidupan sosial apa pun tanpa ada keharusan dan kewajiban. Dalam hubungan dengan orang-orang lain, kita

sadar akan keharusan tertentu yang kita punyai terhadap mereka. Sama halnya bahwa kita sadar akan keharusan-

keharusan yang mereka miliki terhadap kita. Jadi, kita dapat menganggap secara umum manusia bebas.

Sebagai kosenkwensi bisa terjadi bahwa suatu kelompok mayoritas akan memutuskan pembinasaan suatu

minoritas sebagai suatu kebaikan dan diperbolehkan. Rasa moralah yang membrontak terhadap kedahsyatan sebesar itu.

Pendekatan empiris, argumen psikologis dan argumen etis, berdasarkan atas semacam pengalan pribadi dan

oleh sebab itu akan mempunyai nilai hanya bagi mereka yang pernah berkelakuan secara bebas dalam kehidupan

mereka. Tidak mustahil bahwa beberapa orang tak pernah membuat suat kegiatan pun yang memang bebas dalam

keseluruhan kehidupan mereka. Bagi mereka argumen tersebut tidak sesuai dengam pengalaman mereka dan karena itu

tidak relevan.

Dasar ontologis kebebasan

Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya. Manusia tidak

berbuat apa yang diingininya, tetapi juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya: ini atau itu. Apa yang ingin

diperbuatnya tergantung padanya dan ia tidak dikendalikan oleh suatu paksaan intern. Coba kita melihat tiga tahap yang

merupakan suatu yang kontinuitas yang dinamis yaitu:

1) mari kita tanya, kebaikan manakah akan dapat memenuhi secara total aspirasi-aspirasi manusia? Semua orang

bijaksana akan setuju menjawab bahwa satu-satunya hal yang akan dapat memuaskan tuntutan itu adalah yang

baik, kebaikan total, sempurna dan tak terbatas . itulah yang merupakan cita-cita manusia. Keinginan

fundamental dari manusia pada akhirnya adalah kebaikan sempurna atau total.

2) Mari kita bertanya, objek manakah yang dalam kehidupan ini, yang akan dapat seimbang dengan cita-cita

tersebut (objek formal kehendak)? Kebahagiaan yang sempurna tidak terdapat di atas bumi ini, manusia hanya

menemukan kebaikan-kebaikan yang selalu kurang.

3) Oleh sebab itu, tidak ada suatu kebaikan terbatas pun yang dapat memaksa manusia untuk mengikutinya.

Jadi, kita bebas menghendaki atau tidak menhendaki kebaikan-kebaikan konkret yang kita hadapi karena tentang mereka

semua dapat kita katakan: ini adalah suatu yang baik, tapi tidak baik secara sempurna. Kita bisa mengucapkan itu sebab

kita melihat bahwa diantara semua hal yang baik itu tak ada satupun yang seimbang dengan kebaikan sempurna. Lalu

apa yang menyadarkan kita tentang ketidak cukupan tersebut, ialah keterbukaan dinamisme intelektual kita terhadap

keseluruhan yang ”ada”, ”ada” yang mutlak (aspek cognitif) yang dikumandangkan oleh kebaikan total. Dinamisme

lengkap bersifat intelektual dan tendensial (berkat kehendak), berbentuk spritual (non-material), maka kita bebas karena

kita bersifat roh.

Dalam dimanisme total itu, intelegensi dn kehendak saling berintegrasi secara vital, berkat itulah kita bersifat

roh. Pasti kita adalah roh yang terbatas, namun roh kita, melalui keterbukaannya yang tak terbatas, menikmati semacam

keterbatasan tendensial, itulah alasan mengapa kita adalah bebas. Manusia tidak akan dapat menyadari relativitas dari

semua yang dialaminya, seandainya ia tidak mempunyai tututan yang untuk”yang mutlak”. Tuntutan itu memerlukan

kehadiran dalam manusia, ”Yang Mutlak” yang menjamin autentisitasnya.

67

Page 68: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Saat-saat dari Suatu Pilihan Yang Bebas

Dalam sutu pilihan bebas, orang dapat membedakan berbagai saat, keputusan diambil cepat tanpa

disadari,saat itu selalu tampil kalau pilihan adlah benar-benar bebas.

1) daya tarik dijalankan oleh suatu hal baik atas kehendak, daya tarik seperti itu meskipun normal atau spontan,

akan dinamakan godaan jikalau kebaikan itu sekaligus bersifat jeleh dari pihak kewajiban saya.

2) Saat ini adalah untuk memeriksa hak baik itu yang menarik perhatian.

3) Saat ini adalah saat mempertimbangkan, pro dan kontra suatu tindakan dibawah cahaya intelegensi. Nonton

atau belajar? Pertimbangandilihat aspek positif dan negatif.

4) Cepat atau lambat, kita memutuskan: saya memilih kebaikan ini.keputusan ini bersifat intelektual. Penenryuan

final muncul dari intervensi kita, dari ”aku”kita yang paling dalam, dimana intelegensi dan kehendak menemukan

sumber umumnya. Itulah suatu pilihan yang bebas.

Kecenderungan yang Dominan

Baik atau Kebaikan, adalah istilah relatif, sesuatu dikatakan baik sehubungan dengan seseorang. Aspek

kebaikan berubah bukan hanya jika objek berubah, tetapi juga kalau subjek berubah. Perubahan yang lain yang

mempengaruhi kita secara lebih dalam. Ini adalah keputusan-keputusan bebas kita sendiri, kita memilih kebaikan moral

dan kita memperbaiki sendiri secara moral. Maka kecenderungan dominan yang terdiri dari pengaruh yang semakin besar

dari pilihan-pilihan lampau atau pilihan-pilihan sekarang. Sebagian besar dari kegiatan-kegiatan kita bersumber dari watak

kita, bukan watak spontan yang ditentukan, tetapi dimensi watak yang dikontrol, yang terhadapnya kita bertanggung

jawab sebagian besar, karena dimensi itu adalah hasil rangkaian pilihan bebas.

Suatu kecenderungan dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasikan. Meskipun

kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun tidak pernah dapat

memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan secara

bebas, demikian dia juga dapat dibantah setiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Itulah sebabnya orang dapat

membedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.

1) kegiatan bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan.

2) Kegiatan bebas yang bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang kontra kecenderungan

dominan, biasa bersifat egoisme antara positif dan negatif. Penyelewengan dari garis pokok dalam kehidupan

seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan.

3) Kegiatan-kegiatan yang terpenting, tidak hanya ada penyelewengan kepada kecenderungan dominan, tetapi

pemisahan total dari kecenderungan dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa dan

mengubah orientasi fundamental kehidupannya.

Kebebasan Horizontal dan kebebasan Vertikal

Suatu pilihan moral harus dibuat, keputusan kita tidak akan tergantung hanya dari kepuasan atau keuntungan

yang paling besar. Dalam hal ini, umumnya pilihan akan diambil antara apa yang paling memuaskan kepentingan kita dan

apa yang paling sesuai dengan suara hati kita yang spritual, antara egoisme dan kemurahan hati, harus memutuskan

pada tingkat mana ia harus hidup. Jenis kebebasan ini disebut ”kebebasan Vertikal”. Kebebasan vertikal, tujuan sendirilah

yang dipertimbangkan, tujuan adalah kebahagiaan.

Pilihan-pilihan (antara A atau B) itu ditentukan oleh faktor-faktor yang tak terbilang banyaknya, yang timbul dari

pendidikan dan lingkungan. Kebebasan vertikal menyangkut tingkatn di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya.

Kekebasan dalam arti yang sebenarnya, menurut arti sepenuhnya kata itu, hanyalah jikalau nilai-nilai moral dilibatkan, jika

berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan, sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita

Kebebasan adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga hanya dapat diberikan

kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan sejati, kita membagi, dalam arti tertentu, kekuasaan

mencipta sendiri dari Tuhan. Namun, satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri dan

tampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.

Kebebasan dihadapapkan kepada determinisme-determinisme, pembicaraan menyangkut sebagai berikut:

68

Page 69: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

1) ada suatu bentuk determinisme yang disebut determinisme fisik, ialah determinisme hukum-hukum alam

semesta sebagai sistem dunia material. Berbentuk rangkaian kuasa-kuasa dan akibat-akibat, sehingga manusia

tak dapat melepaskan dirinya, pandangan ini mungkin tidaklah benar, karena kebebasan diletakkan secara

salah. Kebebasan terjadi pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif dan bukan pada tingkat sebab – sebab

fisik yang ada.

2) Suatu konsepsi yang lebih mendasarkan biologi daripada fisik, berpendapat bahwa manusia telah diprogramkan

sebelumnya secara begitu luas oleh berbagai faktor gen-gen (hereditas) , sehingga tidk ada tempat untuk

kegiatan-kegiatan yang memang bersifat bebas.

3) Dari sudut, yang mana manusia begitu diterminasikanoleh berbagai faktor sosial sehingga ia tidak lain daripada

hasil hubungan sosial. Itulah yang dinamakan determinisme sosiologis. Keputusan yang dianggap sebagai

paling pribadi ditentukan oleh lingkungan sosialnya.

4) Kadng-kadang bukan hanya ilmu-ilmu pengetahuan manusia saja yang menyangkal kebebasan, terdapat juga

determinisme teologis tertentu. Manusia sama sekali determinasikan oleh Allah, kemahatahuan Allah,

kemahakuasaan Allah. Jadi tak mungkin manusia bebas.

5) Determinisme yang muncul dari ketidak sadaran. Psikologi menjelaskan bahwa manusia tekanan dari

ketidaksadaran dan pentingnya kekuatan irrasional dalam aktivitas manusia.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Keseluruhan kehidupan afektif bersandar kepada apa? Jelaskanlah!

2. Kecenderungan yang menjiwai subjek dan objek, sikap manakan yang diambil afektivitas?

3. bagaimana si subjek menguasai objek? Jelaskanlah!

4. Syarat fundamental apakah yang harus ada supaya perbuatan afektif bisa terjadi?

5. apa yang khas bagi nilai dibandingkan kebaikan?

6. Apakah psikologi membenarkan pendapat ada perlawanan antara cinta akan diri dan cinta akan sesama?

7. apa hubungan kehendak dengan intelegensi?

8. jelaskan arti kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis?

9. ada tiga argumen klasik mengenai kebebasan. Jelaskanlah

10. Jelaskanlah dasar ontologis dari kebebasan?

11. Kapan saat-saat dari suatu pilihan yang bebas? Jelaskanlah?

12. Apakah yang dimaksud kecenderungan dominan?

13. jelaskanlah tiga jenis kegiatan bebas?

14. Apakah yang dimaksud kebebasan vertikal?

15. Jelaskanlah arti kebebasan bila dihadapkan kepada determinisme tertentu?

Daftar Pustaka:

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

5. leahy, Louis. 2001. Siapakan Manusia. Jokyakarta. Kanisius.

69

Page 70: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

MODUL 14MANUSIA DALAM STRUKTURAL DAN MODERNITAS

Tujuan Instruksional Umum

Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis manusia dalam struktural.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis manusia

dalamstruktural, yang meliputi sebagai berikut:

Strukturalisme John Strurrock

Pengaruh linguistik Saussure pada strukturalisme

modernitas

Posmodernitas

Materi Pembahasan

Strukturalisme John Sturrock

John Sturrock mengemukakan gagasan-gagasan strukturalisme, sebagaimana yang dikemukakan oleh lima

orang strukturalisme terkemukan Perancis, yairtu Levi-Strauss, Barthes, Faoucault, Lacan dan Derrida. Meskipun tidak

dijelaskan secara rinci dan ekplisit anda akan menemukan salah satu kesamaan pandangan dari kelima strukturalis itu,

yaitu pandangnya tentang manusia sebagai makhluk yang terkungkung dalam struktur atau sistem, terutama struktur atau

sistem bahasa dan kuasa simbolik. Disebabkan oleh struktur atau sistem tersebut, para strukturalis menolak dominasi

ego, kesadaran, individu, kemauan bebas, humanisme sebagaimana yang dikemukakan, misalnya oleh filsafat-filsafat

eksistensialisme dan rasionalisme.

Banyak sekali ide-ide yang berasal dari keempat pemikir tersebut, yang sangat eksostik dan tidak mudah

diterima oleh iklim intelektual di Perancis pada waktu itu. Masyarakat Perancis, mau tidak mau, harus siap menyongsong

ide-ide mereka, yang akan membawa ke wilayah-wilayah baru, wilayah di mana selama ini kaki-kaki kita barangkali tidak

pernah menginjaknya.

Pengaruh aliran strukturalisme mendapat pengaruh di Perancis disebabkan oleh:

1. Kemunduran eksistensialisme Perancis setelah PD II, yang telah berada diambang kematian.

2. Kecuali Marxisme, strukturalisme mulai terbentuk untuk membedakan fenomena sosiologis yang merupakan metode

(bukan Iman) penyelidikan suatu cara menguraikan data-data yang tengah diselidiki

Strukturlisme adalah sebuah metode yang dipercayai sanggup menjadikan data-data empiris tentang institusi-

institusi kekerabatan. Dari data itu mengidentifikasi sifat –sifat dasar spesifik dan universal dari pemikiran manusia itu

sendiri.

Perbedaan pemikiran filsuf yaitu:

Levi – Strauss dan Lacan adalah dua pemikir universalist, dibalik berbagai fakta empiris yang beragam, terdapat satu

struktur mental yang universal. Lacan seorang psikoanalis yang bergulat dengan berbagai teori dan bukan dengan

pengalaman-pengalaman khusus dalam ruang konsultasi atau terapi pada pasien-pasien individual – juga mengklem

adanya kuasa yang mengatur berfungsinya psike manusia pada umumnya.

Sebaliknya Barthes, Foucault dan Derrida tampil sebagai tiga realis yang bergelut dengan dimensi-dimensi historis

pemikiran, evolusi pemikiran dalam waktu dan implikasi dari pemikran bagi masyarakat tertentu,.

Kelima pemikir di dalam buku ini adalah juga para penulis. Mereka sadar akan bentuk apa yang sedang mereka

tulis, dan tahu banyak mengenai alat-alat untuk, serta akibat-akibat dari, retorikanya. Hanya karya Levi-Strauss yang patut

disebut disiplin akademis dan tradisional, sedangkan karya-karya dari penulis lainnya berada di antara kesusastraan dan

kritisme, sejarah, psikoanalisa, atau filsafat.pada prinsipnya, mereka hendak menghilangkan perbedaan-perbedaan antara

penulisan kreatif dan kritisme (Barthes), antara puisi dan penulisan psikoanalisa (Lacan), atau antara kesusasteraan da

filsafat (Foucault dan Derrida). Gaya bahasa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari usaha mereka. Mereka menolak

dikurung di dalam terali besi stilistik yang sangat sempit, yang berasal dari diskursus akademis yang ortodoks.

70

Page 71: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

Melimpahnya gaya bahasa mereka tentunya merupakan daya tarik, dan bukannya merupakan hambatan, buat kita. Itu

merupakan tantangan yang pantas diuperhitungkan oleh kita sebagai pembaca sejarah, filsafat, kritik sastra atau apa saja

yang kita pilih untuk menamai mereka.

Pengaruh Lingusistik Saussure pada Strukturalisme

Pengaruh lingusitik Saussure pada strukturalisme tidak hanya masalah kosa kata, tapi sangat mendalam yang

sulit dimengerti. Premis utama terori Saussure tentang bahasa adalah :”Bahasa pada asasnya bersifat sewenang-wenang

(arbitrary) dalam dua cara: penanda sewenang-wenang sejauh tida ada hubungan natural – melainkan konvensional –

antara penanda dan dimaknakannya.

Konsekwensi yang ditarik oleh Saussure dari kesewenangan bahasa adalah bahwa bahasa bukanlah sistem esensi-

esensi yang kokoh kuat, yang tak dapat berubah melainkan sistem yang labil. Bahasa merupakan sistem relasi-relasi

diantara masing-masing unsur. Bahasa adalah bentuk bukan substansi, merupakan asumsi terkenal paling mendasar

tentang bahasa. Ini tanpa bahasa tidak ada karya-karya

Menyelidiki gejala-gejala antroplogis sama halnya dengan sistem bahasa, sistem kekerabatan, mite dsb. Yang

menarik adalah ketika sampai pada interpretasi mengenai unsur-nunsur simbol-simbol yang merupakan kuantitas-kuatitas

yang tetap. Dimana dalam sistem mana pun simbol bercokol, mereka mempunyai makna setiap simbol yang ditentukan

oleh tempat terjadinya dalam ekonomi tertentu yang khas.

Posmodernisme yaitu dekonstruksi yang dijalankan oleh para posmodernis tidak hanya ditujukan pada narasi-

narasi filsafat, tapi juga pada narasi-narasi diluar filsafat seperti tata kota da arsitektur, jender, sosial politik dan lain-lain

yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosioal-budaya. Proyek dekonstruksi yang dilakukan di dalam wacana

filsafat sendiri di antaranya menghasilkan pandangan yang menghancurkan konsepsi tentang manusia sebagai makhluk

yang rasional,humanistik,dan universal. Rujukan untuk tulisan ini terutama adalah: Roy Boyne and Ali Rattansi

(eds.),1990, Postmodernism and Society, London: Macmillan Eds.Ltd ; Charles Jenck, 1986, What Is Post-Modernism?,

London: Academy Editions; “The crisis of the subject. From Baroque to postmodernism,” dalam Philosophy Today, Winter

1992, p,310-23; dan beberapa artikel tentang posmodernisme di dalam majalah kebudayaan Kalam, edisi 1, 1994. Untuk

memudahkan kita memahami postmodernisme, ada baiknya kita mengkontraskan “isme” ini dengan lawan sejarah dan

nuansa berpikirnya, yakni modernisme. Mengkontraskan kedua “isme” tersebut dipandang perlu karena posmodernisme,

dalam banyak hal, bias dikatakan sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme. Dengan demikian, mengetahui apa

yang membuat suatu isme direaksi (modernisme) akan membantu kita untuk memahami dengan lebih baik ’siapa” atau

”apa” yang bereaksi (posmodernisme).

Modernitas

Apakah modernisme? Tergantung dari mana, dan sebagai apa, kita menafsirkannya. Didalam tulisan ini, saya akan

membatasi diri hanya pada pengertian modernisme msnurut perspektif kaum posmodernis,baik itu sebagai posmodernis

dalam bidang filsafat dan epistemologi maupun posmodernis dalam bidang-bidang lainnya (misalnya arsitektur, kesenian,

feminisme). Dengan demikian, di dalam tulisan ini istilah modernisme mempunyai pengertian yang agak ”miring”.

Dalam perspektif seorang posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, modernisme bisa disebut sebagai semangat

(elan) yang diandaikan ada pada (dan menyemangati) masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad ke-18)

hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progres--- semangat untuk meraih

kemajuan --- dan untuk humanisasi manusia. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat optimistik dari kaum

modernis akan kekuatan rasio manusia.

Rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas; untuk membangun ilmu

pengetahuan dan tehnologi, moralitas, dan estetika; untuk menetukan arah hidup dan perkembangan sejarah; untuk

memecahkan persoalan-persoalan ekonomi; untuk mengendalikan sistem sosial, politik, dan budaya; dan seterusnya.

Rasio, pendek kata, dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya! Betapa besarnya kekuatan

rasio dalam kehidupan, bisa kita saksikan dari ”narasi-narasi agung” (metarrative) para eksponen modernisme. Dengan

pernyataan Hegel yang terkenal bahwa ”apa yang nyata (real) adalah rasional dan apa yang rasional adalah nyata (real),

sehingga dengan mengandalkan kemampuan berpikir rasional, kita akan dapat menghetahui segenap realitas, mulai dari

yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Kita pun pasti teringat dengan teori Max Weber, yang menekankan

71

Page 72: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

pada rasionalitas dalam pembangunan dan teknologi manusiawi (realitas nilai dan realitas komunikasi0. Mereka memang

adalah eksponen-eksponen modernisme yang menekakankan dominasi rasio dalam segenap aktivitas manusia.

Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas jarkat dan martabat

manusia. Tidak ada makhluk, selain manusia (dan Tuhan, tentu saja) yang dianggap memiliki kemampuan berpikir

rasional. Manusia, dengan rasionya, tentu saja, adalah subjek dalah pemberi bentuk dan warna pada realitas adalah

penentu arah perkembangan sejarah adalah pusatnya kehidupan (menggantikan posisi Tuhan) dalam jagad raya.

Modernisme salah satu bentuk dari humanisme, humanisme adalah narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari

kapitalisme humanisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidakbisa lain membuktikan hal ini.

Dalam perspektif seorang posmodernis yang banyak bergelut dengan masalah epistemologi, modernisme bisa

diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, kebenaran universal.

Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasart yang

esensial dan universal dari kenyataan.

Modernisme dalam perspektif kaum posmodernis yang lebih luas bisa diartikan sebagai semangat (elan) yang

mendorong masyarakat sejak zaman renaissance hingg abad ke-20 untuk menyusun secara hirarki besar kaum modernis.

Hirarkhi adalah sistem atata urutan wewenang atau otortas mulai dari yang paling bawah sampai paling atas. Dalam suatu

hirarakhis terdapat suatu ”puncak” kekuasaan sebagai sentral dan penentu suatu sistem (the One) dan dibawahnya

terdapat suatu yang sifat ”rendahan” atau : pinggiran” (the others). The One adalah suatu yang dominan yang penting,

yang berada dalam posisi sentral, yang rasional, yang sama dan seragam (singular), yang perlu diperhitungkan, dikagumi,

bersifat mendalam, sedangkan The Others adalah sesuaut yang dangkal , yang berbeda (plural), yang tidak rasionbal

(sehingga tidak masuk hitungan), yang marginal, yang berada di luar pusat kekuasaan, yang kurang mempunyai makna

strategis dsb.

Adanya hiraraki seperti itu ”paradoks modernisme” bisa kita saksikan dalam berbagai narasi agung

modernisme> Dalam bidang kesenian: hanya kesenian ”adi ulung” (musik klasik) yang bisa dikatakan memenuhi kriteria

estetika, sedangkan kesenian pop, secara massal tidak masuk hitungan. Dalam bidang Gender, hanya laki-laki yang

disebut manusia, sedangkan perempuan , lesbian, gay hanya setengah manusia.

Pos-modernitas

Dalam modernis , rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan menentukan, rasio dalam perspektif kaum

modernis adalah suatu yang sangat vital, sentral, dominan, paling utama dalam menentrukan wajah peradaban umat

manusia. Konsekwensi logi yang muncul dari anggapan itu adalah manusia yang tidalk rasional berada diluar hitungan

(the othjers)

Usaha untukm mendekonstruksi Rasio, mau tak mau, berarti usaha untuk mensubordinasikan ”pemilik ” Rasio, yakni

Subjek. Dalam modernis, subjek dijunjung tinggi nilai dan martabatnya, dianggap sebagai pusat segala bentuk gejala dan

peristiwa, sebagai agen murni sejarah kehidupan. Akan tetapi Foucault menyatakan bahwa subjek justru dibentuk dan

ditentukan oleh mekanisme dan kontrol kekuasaan, baik yang berasal dari institusi negara, budaya, bahasa, sosial

ekonomi, keluarga dan bahkan dari iirasionalitas dirinya sendiri.

Anggapan kaum modrrnis bahwa realitas adalah suatu totalitas, sesuatu kesatuan organis dimama unsur-

unsurnya satu sama lain dianggap tidak berbeda secara prinsip yang masing2 saling berhubungan secara kausal.

Realitas bukanlah kesatuan tunggal, melainkan terbagi ke dalam fragme-fragmen. Realitas bukan suatu yang singular,

yang homogen melainkan plural, heterogen, fragmentaris.

Kaum posmodernis mngadakan dekonstruksi pada salah satu ideologi besar di dalam modernisme, yakni

kapitalisme yang telah melahirkan impperislisme. Bentuk dekonstruksi kaum pos modernis terhadap kapitalis kuranh lebih

adalah: Muncul modrrnis dalam bentuk industrislisme kapitalis di Barat bertepatan dengan ekspansi imperislis dan

kolonialis yang mengeploitasi dan memundukkan wilayah-wilayah yang luas dari dunia non-barat. Dominasi politik dan

ekonomi yang merupakan unsur penting dari imperialisme dan kolonialisme pad abad ke – 18 dan 19 seslalu diikuti oleh

pempentukan dis-kursus yang mensahkan mereka ntuk menjajah bagngsa-bangsa Aisa dan Afrika yang berbeda atau lain

dari mereka. Diskussus itupun membentuk perasaan superioritas budaya dan moral pada kekuatan imperial Barat yang

setiap saat selalu dipertegas tanpa batas. Superioritas yang dibangun secara budaya ini pada akhirnya mendorong

72

Page 73: Modul filsafat manusia

Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN

bangsa Inggris atau Perancis atau Jerman yang ekspansif untuk memaksakan dominasi politik dan budaya terhadap

bangsa-bangsa Timur, Afrika dan bangsa lainnya.

Soal / Tugas

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Apakah strukturalisme Jiohn Strurrock?

2. Apakah pengaruh Lingusitik Saussure pada strukturalisme?

3. Bagamana peran rasio dalam modernisme?

4. Apakah yang dimaksud The One dan The Others?

5. Bagaimana “Hirarki” dalam filsafat rasional?

6. Apakah pos-modernis itu?

Daftar Pustaka

1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah

3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.

4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..

Bio Data PenulisDr. Syahrial Syarbaini, Ph.D, MA.Lahir di Bukittinggi, 20 November 1956. S1 (Drs.) Civics/Hukum IKIP (UPI) Bandung 1982. (MA) Political History, Institute of Postgraduate Studies and Research, University of Malaya (1996), Ph.D. Political Science, di Universiti Kebangsaan Malaysia (2005). Kursus Dosen pendidikan Kewarganegaraan Angkatan I Tahun 2005 . Karya Tulis yang pernah diterbitkan: Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (2001) dan Sosiologi dan Politik. Ghalia Indonesia. Jakarta. Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. (2006) Graha Ilmu. Yokyakarta. Dasar-Dasar Sosisologi (2009) Graha Ilmu. Jokyakarta. Pendidikan Falsafah Pancasila. 2011. Jakarta. Ghalia Indonesia. Implentasi Pancasila dalam PKn. 2009. Graha Ilmu. Jokyakarta. Dasar-Dasar Pengetahuan Politik. 2011. Jakarta. Ghalia Indoneia. Dosen di perguruan tinggi swasta Jakarta dengan kepangkatan Lektor Kepala.

73