Upload
suher-lambang
View
8.497
Download
9
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 1PENGERTIAN FILSAFAT MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis pengertian filsafat manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis filsafat manusia yang
meliputi sebagai berikut:
Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia
Ciri-ciri filsafat manusia
Kedudukan manusia dalam humanisme (filsafat humanistik)
Materi Pembahasan
Pengertian Manusia
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang
berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.
Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam
kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan hakekat
manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dalam
memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatar
belakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.
Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang
sesudahnya dengan melengkapi sisi transendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan
pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat
Islam, 1999)
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang
mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosuf. Sedangkan
yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyataan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan
bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia
adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia
memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus
menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif
memiliki akal budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia
juga disebut sebagai homo ludens (makhluk yang senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri khasnya dalam
suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan dalam sejarahnya
juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai
ritual suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung
menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan
kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya dan keturunannya,
sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya
dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut
ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang
inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan
1
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
universal, bebas dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai
beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah
satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan
manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal. (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx,
1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia
dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian
menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan
mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna
keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno
seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap
tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam sekeliling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak
berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki hubungan dengan dunia.
Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak
tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya
untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan transendensi) yang
menjadikan makhluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan
kesadaran manusia bersifat historis. Manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan
disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. Manusia
menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan
Pemikirannya, 2002).
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi
makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat
manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan
bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
mengitari matahari.
Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-
operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan transendensi) yang menjadikan makhluk berelasi dikarenakan
kapasitasnya untuk menyampaikan hubungan dengan dunia.
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya. Manusia secara individu tidak
pernah menciptakan dirinya, akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentuk jalan hidup setelah kelahirannya
dan eksistensinya dalam kehidipan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil
atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa asy’ari,
Filsafat Islam,. 1999).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan
monoteisme, yang mencari unsur pokok yang menentukan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan
materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang
menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan yaitu materi dan rohani, nyakni
pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya
mencerminkan unsur yang ada dalam macro kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada
kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang
membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak
dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan
dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya
dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Hakekat Manusia
2
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme,
martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian
manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memaksa ketika berhadapan dengan
kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah
bersifat bebas unifed dan immortal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat
tersebut adalah membantah tesis yang dikemukakan oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak
ditemukan dalam pengalaman konkrit namun secara logis harus dapat dijadikan postulat bagi kepentingan moral. Hal ini
dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan
kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan
rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego
absolut. Tetapi bagi Iqbal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia
bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih
berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan
panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal
tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh melalui penalaran dubium
methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas
keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego
pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergerak
pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak
ditetapkan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal
Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur
membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang berada dalam
perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual
manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal,
karya dan perbuatannya, sedangkan pada tauhid hakekat manusia dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan
kesatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari,
Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya.
Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat
tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan
didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunia dan hubungannya dengan dunia
manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasitasnya dapat mengetahui,
mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran
atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi
dunia yang terpusat oleh refleksi kritis serta kemampuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini
manusia sebagai suatu proses dan ia adalah makhluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki
kemampuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih,
Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep Al-Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian Adam
mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah
dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah Adam dapat diredusir menjadi rumus;
Keberadaan Manusia
Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir yang ada pada dirinya. Manusia
menghasilkan pertanyaan tentang segala sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh manusia.
Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat manusia lahir dan mempertanyakan,“Siapakah Kamu
Manusia?” Manusia bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya. Keberadaan dirinya
diantara yang lain yang membuat menusia perlu mendefinisikan keberadaan dirinya. Apabila pernyataan bahwa manusia
3
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri
manusia. Hakikat diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar dirinya. Sesuatu yang baik dan
buruk pada manusia menunjukkan dirinya ada dinilai diantara keberadaan yang lain. Watak manusia merupakan suatu
kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkaian bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada
manusia. Manusia berada dengan yang lain menciptakan kebudayaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada
tanpa bahasa. Bahasa melakukan nilai tentang keberdaan manusia berupa wujud yang dapat diterjemahkan melalui kata-
kata. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup karena terdapat penilaian
dari yang lain sebagai pembanding. Pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada
setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama malakukan penilaian diantara individu manusia.
Menurut Adelbert Snijders, filsafat manusia adalah suatu refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan dengan
rasional, kritis serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang paling asasi. Sedangkan
tujuan filsafat manusia adalah untuk memahami diri manusia dari segi yang paling dasar. Dengan demikian, Adelbert
Snijders, mengajak kepada manusia untuk mengetahui apa dan siapa sebenarnya manusi. Manusia adalah makhluk unik
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini dikarenakan, manusia selain dibekali dengan nafsu juga dibekali dengan
akal pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Watak Sifat Manusia
Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan atau corak-corak yang khas, atau
rangkaian bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara
fundamental dari semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa.
Semua kebudayaan diatur untuk dapat menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan yang
di ajukan oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan
vital mereka.
Filsafat Manusia
Fisafat manusia atau antropologi filsafat adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Secara ontologisme filsafat manusia sangat penting karena mempersoalkan
secara spesifik persoalan asasi mengenai esensi manusia.
Filsafat manusia sebagaimana juga ilmu-ilmu tentang manusia mengkaji secara material gejala-gejala manusia,
yaitu menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekpresi manusia. Ini berarti bahwa gejala
atau ekspresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.
Setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala-gejala empiris, yang
bersifat objektif dan bisa diukur dan gejala itu kemudian diselidiki dengan menggunakan metode yang bersifat
observasional dan atau eksperimental. Sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau
jenis gejala apapun tentang manusia sejauh bisa dipikirkan dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa
menjadi bahan kajian filsafat manusia.
Aspek-aspek, dimensi-dimensi atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spritual dan universal dari manusia yang
tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat
manusia. Aspek itu suatu hal yang hendak dipikirkan, dipahami dan diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Filsafat manusia tidak mungkin hanya menggunakan metode yang bersifat obsrervasional dan eksperimental
karena luas cakupannya. Observasi dan eksperimentasi hanya mungkin dilakukan, kalau gejalanya bisa diamati (empiris),
bisa diukur (misalnya dengan menggunakan metode statistik) dan bisa dimanupulasi (misalnya di dalam eksperimen-
eksperimen di laboratorium). Sedangkan aspek dan dimensi metafisis, spritual dan universal hanya bisa diselidiki dengan
menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi.
Sintesis dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh
lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di
dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau
teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
4
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Filsafat Manusia secara umum bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-gejala atau
ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies). Adapun secara
spesifik bermaksud memahami hakikat atau esensi manusia. Jadi, mempelajari filsafat manusia sejatinya adalah upaya
untuk mencari dan menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu.
Filsafat manusia suatu cara atau metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakekat dari berbagai
kenyataan yang tampil dimuka kita. Filsafat mencoba menerangi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apa arti hidup
dan kegiatan, kebebasan dan cita? Apakah yang dikatakan kalau bicara tentang dunia, alam semesta, manusia dan
Allah? Filsafat manusia adalah bagian filsafat yang mengupas apa arti manusia sendiri. Filsafat manusia disebut juga
antropologi filosofis yang mempelajari manusia sepenuhnya, roh serta badannya, jiwa serta dagingnya. Apakah alasan
mempelajari filsafat manusia.
manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menyelidiki arti yang dalam dari ”yang
ada” . ”kenalilah dirimu sendiri”. Ia mengerti dirinya secara mendalam sebelum mengatur sikapnya dalam hidup ini. Ia
harus memiliki pandangan yang cukup tentang apa hakikat kodrat manusia itu. Apa sebenarnya manusia itu, apa yang
menjadi khas dari sifat manusiawi, apa yang menjadikan manusia itu berkedudukan di atas makhluk-makhluk lain dan apa
yang merupakan martabatnya.
Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu lain
Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, miring dengan ilmu tentang alam, berusaha menemukan hukum-
hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara inderawi atau dapat dijadikan objek introspeksi.
Filsafat mengarah kepada penyelidikan terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia.
Kesenian, kesusasteraan dan sinema mempergunakan bahasa yang lebih konkret daripada ilmu-ilmu
pengetahuan dan filsafat. Sejarah mengisahkan kepada kita bagaimana orang-orang zaman dahulu hidup. Teologi
mengajarkan kita banyak tentang manusia, sejarahnya, tujuannya karena ia bertugas untuk meneruskan dan memperjelas
apa yang Tuhan sabdakan tentang Diri-Nya sendiri dan tentang asal dan tujuan akhir manusia.
Obyek kajiannya tidak terbatas pada gejala empiris yang bersifat observasional dan atau eksperimental, tetapi
menerobos lebih jauh hingga kepada gejala apapun tentang manusia selama bisa atau memungkinkan untuk dipikirkan
secara rasional.
Metodenya: (1) Sintesis, yakni mensintesakan pengetahuan dan pengalaman kedalam satu visi yang
menyeluruh tentang manusia; (2) Refleksi, yakni mempertanyakan esensi sesuatu hal yang tengah direnungkan sekaligus
menjadikannya landasan bagi proses untuk memahami diri sendiri (self understanding).
Cirinya: (1) Ekstensif, yakni mencakup segala aspek dan ekspresi manusia, lepas dari kontekstualitas ruang
dan waktu. Jadi merupakan gambaran menyeluruh (universal) tidak fragmentaris tentang realitas manusia; (2) Intensif,
yakni bersifat mendasar dengan mencari inti, esensi atau akar yang melandasi suatu kenyataan; dan (3) Kritis, atau tidak
puas pada pengetahuan yang sempit, dangkal dan simplistis tentang manusia. Orientasi telaahnya tidak berhenti pada
“kenyataan sebagaimana adanya” (das Sein) tetapi juga berpretensi untuk mempertimbangkan “kenyataan yang
seharusnya atau yang ideal (das Sollen).
Manfaatnya, secara: (1) Praktis, mengetahui tentang apa atau siapa manusia dalam keutuhannya, serta
mengetahui tentang apa dan siapa diri kita ini dalam pemahaman tentang manusia tersebut; dan (2) secara Teoritis, untuk
meninjau secara kritis beragam asumsi-asumsi yang berada di balik teori-teori dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Jadi, objek formal filsafat itu adalah inti manusia, strukturnya yang fundamental. Ia hanya diketahui melalui
usaha daya pikir saja. Manusia yang dimaksud adalah struktur metafisiknya, yaitu semua yang terbentuk dari badan dan
jiwa.
Diharapkan dengan mempelajari filsafat manusia, seseorang akan menyadari dan memahami tentang
kompleksitas manusia yang takkan pernah ada habisnya untuk senantiasa dipertanyakan tentang makna dan hakikatnya.
Sejauh “misteri” dan “ambiguitas” manusia ini disadari dan dipahami, seseorang akan menghindari sikap sempit dan tinggi
hati.
5
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah arti Manusia secara filsafat
2. Apakah arti filsafat manusia yang batasan kajiannya?
3. Apakah perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia?
4. Jelaskanlah tentang hakekat manusia ?
5. Apakah watak dan keberadaan manusia ?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Franz Magnis Suseno. 2009. Menjadi Manusia. Jokyakarta. Kanisius.
3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.
6
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 2METODE DAN KEDUDUKAN
FILSAFAT MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis metode dan kedudukan filsafat manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis metode dan kedudukan
filsafat manusia yang meliputi sebagai berikut:
Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia
Ciri-ciri filsafat manusia
Mengenal manusia melalui filsafat
Materi Pembahasan
Filsafat Manusia dan Ilmu Tentang Manusia
Perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu tentang manusia tidak mampu
menjawab pertanyaan–pertanyaan mendasar tentang manusia, seperti: Apakah esensi atau hakikat manusia itu bersifat
material atau spiritual? Siapakah sesungguhnya manusia itu dan bagaimana kedudukannya di dalam alam semesta raya
yang maha luas ini? Apakah arti, nilai atau makna hidup manusia itu? Apakah ada kebenaran pada manusia? Kalau ada,
sampai sejauh mana pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh manusia itu? Apakah sebenarnya yang menjadi tujuan
asasi dari hidup manusia itu? Apakah yang sebenarmya dilakukan manusia di dalam dunia yang serba tidak menentu ini?
Bagaimana sebaiknya manusia bersikap dan berperilaku, sehingga bukan saja tidak merugikan diri sendiri tetapi juga
tidak merugikan orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan masih banyak lagi pertanyaan mendasar lainnya.
Metode Filsafat
Filsafat bersifat interogatif. Ia mengajukan persoalan-persoalan dan mempertanyakan apa yang tampak sebagai
sudah jelas. Ilmu pengetahuan mengemukakan pertanyaan. Filosuf memberikan pertanyaan ke jantung hal-hal atau
sampai ke akar persoalan. Metodenya bersifat diagonal atau menurut ungkapan dialektik. Plato melalui diskusi antara
guru dan murid kemudian dikemukaan persoalan yang setapak demi setapak demi mencapai pemecahan. Dialektik
merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan, dan penilaian kritik dari semua opini yang didapatkan dari sesuatu masalah
yang telah dikemukaan. Aristoteles selalu memulai dulu dengan mengemukaan apa yang telah dia katakan tentang
masalah oleh para pendahulunya. Pada Hegel, dialektik menjadi cara yang mulai dengan memperlawankan dua ide yang
saling bertentangan lalu mendamaikan mereka dengan unsur ketiga yang mengandung kedua ide itu dan merupakan
sintesis daripadanya. Metode filosuf pada aliran Descartes disebut aliran filsafat bersifat refleksif. Sang filosuf hendaknya
penuh perhatian terhadap gejala-gejala terutama dalam arti luas. Mulai dari Husserl di Jerman, metode filsafat
diklasifikasikan fenomologis. Filsafat ingin menjelaskan gejala-gejala secara objektif mungkin menurut bagaimana gejala
itu menampilkan diri terhadap kesadaran.
Keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk
melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek dan bagian tertentu manusia yang bisa disentuh oleh
ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia
sebagai suatu organisme dan tidak bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman subjektif, spritual dan eksistensional.
Antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan tidak bersentuhan
dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan dalam suatu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi-
spesialisasi dalam menelaah sub-sub aspek gejala manusia.
7
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Banyak aspek positif yang bisa dipetik dari hasil penelitian ilmu tentang manusia, baik secara praktis maupuan
secara teoritis. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, Filsafat manusia yang menggunakan metode sintesis dan
reflektif itu mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia yang
mensistensiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam satu visi. Penggunaan metode refleksi dalam filsafat manusia
tampak dari pemikiran filsafat dasar yang menunjukan dua hal, yaitu :
1. pertanyaan tentang esensi suatu hal, misalnya apakah esensi keindahan itu, apakah esensi kebenaran itu, apakah
esensi manusia itu dst.
2. pada proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang
sedang direnungkannya.
Dengan demikian ada kemungkinan dalam filsafat manusia terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman
subjektif dari beberapa filosuf tertentu pada setiap apa yang dipikirkannya dan bersikap objektif. Tugas seorang ilmuan
adalah mengamati, mengukur (dengan statistik), menjelaskan dan memprediksikan dalam bentuk bahasa ilmiah,
ditambah dengan angka-angka, tabel-tabel atau grafik-grafik. Kemungkinan untuk terlibat atau tidak netral, relatif sangat
kecil karena nilai-nilai yang sifatnya subjektif dan manusiawi tidak dapat dirumuskan secara statistik dalam bentuk angka
atau grafik.
Ada suatu yang khusus dari filsafat manusia yang tidak dapat di dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau ilmu
adalah netral dan bebas nilai, ilmu berkenaan dengan das sain (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai dari manapun
asalnya dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan keilmuan. Nilai dipandang sebagai
suatu yang "subjektif" dan "tidak bisa diukur", sehingga keberadaannya dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Sebaliknya, dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tapi juga das Sollen
(kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai selain dipandang subjektif tapi juga ide, mewarnai kegiatan filsafat
manusia. Nilai-nilai, apakah itu nilai personal, sosial, moral, religius ataupun kemanusiaan, bukan barang haram atau
terlarang di dalam filsafat manusia. Itulah sebabnya kita tidak perlu heran kalau Karl Marx menganjurkan kepada para
filosul bahwa tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan dunia (das sein), tetapi mengubah dunia (das sollen). Kita
tidak perlu heran kalau Nietzsche mengajak kita untuk mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh dan cepat
puas diri (berasal dari moral budak), dan menggantinya dengan kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa,
hebat dan berani (berasal dari moral Tuhan)
Menurut aliran Descartes, banyak orang beranggapan bahwa metode filsafat harus bersifat terutama reflektif,
artinya sang filsul hendaknya penuh perhatian terhadap fenomena-fenomena, khususnya kehidupan psikologis, sebab
tidak hanya mepertimbangkan fenomena-fenomena tetapi ia juga mengerti kodrat dasar-dasar yang mungkin tanpak dari
fenomena itu.
Husserl, mengklasifikasikan metode filsafat fenomenologis, yang ingin menjelaskan secara objektif
menampilkan diri terhadap kesadaran. Disamping itu metode filsafat juga dikatakan induktif, abstraktif dan eidetik. Disebut
induktif karena ia menyimpulkan dari suatu fenomena atau beberapa fenomena struktur yang dasariah. Disebut abstraktif
karena dalam suatu fenomena atau beberapa fenomena ia membedakan apa yang esensial dari apa yang tidak esensial.
Disebut eidetik sejauh hasil dari pemahaman itu adalah persis kodrat atau bentuk fenomena itu (eidos).
Ciri-ciri Filsafat Manusia
Ciri filsafat manusia adalah ekstensif, intensif dan kritis. Ciri ekstensif dapat disaksikan dari luasnya
jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian, gambaran menyeluruh atau sinopsis tentang realitas manusia. Filsafat
manusia mencakup segenap aspek dan eksistensi manusia serta lepas dari kontektualitas ruang dan waktu (universal),
maka ia tidak mungkin bisa mendeskripsikan semuanya itu secara rinci dan detail. Tidak mungkin, misalnya filsafat
manusia mengurai sampai sekecil-kecilnya perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara
kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain. Filsafat manusia hanya menggambarkan realitas
manusia secara garis besarnya saja, ia cukup puas dengan gambaran umum tentang manusia dan gambaran
menyeluruh tentang dimensi-dimensi tertentu dari manusia. Dalam filsafat manusia terdapat dua aliran, yaitu aliran
materialisme dan spiritualisme.
8
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Materialisme adalah secara tegas menyatakan bahwa manusia pada asasnya adalah materi sehingga kita
dapat menjelaskan setiap gejala dan pengalaman manusia berdasarkan hukum-hukum alam, mekanika, kimia, biologi
dan lain-lain sebaiknya, filsafat spiritualisme mengajarkan bahwa hakikat manusia berdasarkan jiwa dan roh dan tidak
bisa diukur dengan mengacu kepada hukum alam, hanya melalui interpretasi-interpretasi yang murni kualitatif dan
introspektif untuk memahami gejala dan esensi manusia secara benar.
Dalam perkembangan filsafat manusia mengalami perubahan sehingga menerima aliran baru filsafat
eksistensialisme dan vitalisme Henry Bergson, yang juga memasukan aspek manusia sebagai makhluk sosial,
makhluk biologis dan makhluk budaya yang mendasari keberadaan alam semesta dan manusia.
Ciri kedua filsafat manusia adalah Intensif (mendasar) yaitu mencari inti, hakikat, akar, struktur dasar yang
melandasi kenyataan manusia. Sebagaimana pendapat Leenhouwers " walaupun ilmu pengetahuan mencari
pengertian dengan menerobos realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu
pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena langsung atau tidak langsung yang dialami oleh
pancaindera, ia tidak memberi jawaban perihal kausalitas yang paling dalam.
Ciri kritis dari filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakai (sintesa dan refleksi) dan dua
ciri yang terdapat dari hasil filsafat (ekstensif dan intensif). Karena itu tujuan filsafat manusia adalah untuk memahami
diri manusia sendiri (pemahaman diri), maka hal apa saja (apakah berupa ilmu pengatahuan, kebudayaan dan ideologi)
tak luput dari kritik filsafat. Filsafat manusia akan berusaha membongkar kekuatan-kekuatan yang ada di balik
kecenderungan tersebut. Ia sangat peka pada masalah-masalah yang berkenaan dengan (pemahaman diri) manusia.
Ciri khas filsafat manusia seringkali menimbulkan kesan, bahwa para filosuf yang membahas hakikat
manusia adalah "tukang kecam" yang gemar menentang ilmu pengetahuan. Ilmu, dimata filsafat merupakan
pengetahuan yang dangkal dan keliru, namun tidak sepenuhnya benar karena filsafat manusia menempatkan informasi
ilmiah sebagai titik tolak pemikirannya.
Filsafat manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif dan memiliki ekstensif,
intensif dan kritis. Kalau betul demikian, maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti kita dibawa ke dalam suatu
panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam dan kritis yang menggambarkan esensi manusia. Panorama
pengetahuan seperti itu paling tidak mempunyai manfaat ganda yakni manfaat praktis dan teoritis.
Secara praktis filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara
menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia
yang menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil
keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
Dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani, dalam menentukan arah
dan tujuan hidup kita yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan secara pasti. Sedangkan secara teoritis
filsafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada
gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik teori-teori yang terdapat di dalam
ilmu – ilmu tentang manusia.
Kedudukan Manusia dan Humanisme
Humanis akan lebih mudah dipahami kalau kita meninjaunya dari dua sisi; sisi historis dan sisi aliran filsafat.
Humanisme dari sisi historis berari suatu gerakan intelektual dan kesusasteraan yang pertama kali muncul di Italia pada
abad ke-14. Gerakan ini sebagai motor pengerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan Eropa, seperti tokohnya
Dante, Petrarca, Boccaceu dll.
Dari sisi kedua humanisme berarti paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia
sehingga manusia sentral dan penting. Manusia dipandang sebagai ukuran dari penilaian dan referensi utama dari
setiap kejadian.
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusasteraan merupakan aspek dasar gerakan
renaissance (abad ke-14-ke-16) untuk membangun manusia dari tidur panjang abad pertengahan yang dikuasai oleh
dogma-dogma gerejani. Pikiran manusia yang menyimpang dari dogma tersebut adalah pikiran sesat dan harus
dicegah dan dikendalikan. Oleh sebab itulah gerakan humanisme muncul yang bertujuan melepaskan diri dari belenggu
gereja dan membebaskan akal budi dari kukungan yang mengikat. Melalui pendidikan liberal mereka mengajarkan
9
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa
depannya. Maka dalam batas-batas tertentu kekuatan-kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia
harus dipatahkan.
Humanisme menempatkan pendidikan liberal yang ditandai dengan kehidupan demokratis (pada abad
pertengahan dianggap kaum kafir). Kendati kebebasan menjadi tema penting humanisme tapi bukan kebebasan
absolut melainkan kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan, kebebasan yang berkarakter
manusiawi dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat. Konsep kebebasan aliran naturalisme. Kendati mereka
menentang kekuatan gereja tidak berarti mereka anti agama, semangat menjunjung nilai, martabat dan kebebasan
manusia disertai dengan kesadaran bahwa mereka tidak mungkin bisa menolak keluhuran dan kekuasaan Tuhan.
Yang terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukan dengan mengacu kepada ajaran gereja, melainkan pada
eksperimentasi dan perhitungan-perhitungan matematis. Manusia ditinjau dari aspek naturallistik (tubuh) yaitu makhluk
alamiah (fisis) yang dikuraniai pancaindera sehingga mampu mengadakan observasi empiris. Ditinjau dari aspek
rohaniah manusia mempunyai akal budi sehingga sanggup mengadakan perhitungan matematis.
Humanisme adalah aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia. Realitas,
manusia adalah hak milik manusia sehingga setiap kejadian, gejala dan penilaian apapun harus selalui dikaitkan
dengan keberadaan, kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia adalah pusat realitas sehingga segala sesuatu
yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan kepada manusia. Jika humanisme diartikan sebagai aliran filsafat,
maka marxisme, pragmatisme dan eksistensialisme dapat dikatgorikan dalam humanisme.
Sesungguhnya gejala dan kejadian manusia adalah kaya akan ketidak terbatasan. Berkembangnya ilmu-ilmu
tentang manusia yang diikuti oleh munculnya spesialisasinya menjadi bukti dari "kekayaan" manusia yang tidak terbatas.
Kritik Scheler, sangat relevan sampai sekarang. Pemahaman tentang manusia memang tidak akan pernah tuntas.
Manusia seperti yang diungkapkan oleh filosuf modern Prancis, Merleau Ponty, adalah makhluk "ambigu", yaitu makhluk
yang bermakna ganda. Setiap kali kita mengungkap satu aspek atau dimensi dari gejala manusia, setiap kali pula kita
luput melihat aspek-aspek lain dari gejala itu. Setiap kali kita berhasil menjawab sebuah pertanyaan tentang dimensi
manusia, setiap kali itu pula muncul pertanyaan-pertanyaan baru tentang dimensi lain yang juga menuntut segera kita cari
jawabannya.
Mengenal Manusia Melalui Filsafat
Filsafat ialah tertib atau metode pemikiran yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan
hakikat berbagai kenyataan yang tampil dimuka. Filsafat manusia merupakan bagian dari filsafat yang mengupas apa
artinya manusia. Filsafat manusia mempelajari manusia sepenuhnya, sukma serta jiwanya.
Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan hak istimewa
dari sampai batas tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam. Manusia dapat mengatur dirinya untuk
dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia.
Kesulitan Bagi Suatu Filsafat
Manusia Filsafat berpretensi mengatakan apa yang paling penting bagi manusia. Para filosuf mangatakan dan
menimbulkan berbagai pendapat. Bagi Platon dan Platin misalnya, manusia adalah suatu makhluk ilahi. Bagi Epicura dan
Lekritius sebaliknya manusia yang berumur pendek lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa. Descartes
mengambarkan manusia sebagai terbetuk dari campuran antara dua macam bahan yang terpisah, badan dan jiwa.
Perlunya dan Kemungkinan Filsafat Manusia, Filsafat mengajukan pertanyaan dan mengupasnya. Filsafat
bertanya pada diri sejak ribuan tahun apakah manusia itu, dan darimana datangnya manusia, tempat apakah yang
didudukinya dalam alam semesta yang luas, darimana manusia datang dan untuk apakah ia ditakdirkan.
Watak Sifat Manusia, Obyek Filsafat Manusia
Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkaian
bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara fundamental dari
semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Semua
kebudayaan diatur untuk dapat menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan yang diajukan
10
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan vital
mereka.
Perbedaan Filsafat Manusia dengan Ilmu-Ilmu yang Bersangkut-paut Dengannya
Ilmu yang mengemukakan kesimpulan-kesimpulan dengan bahasa matematika, yang menunjukkan bahwa
mereka dalam objeknya mencapai secara langsung hanya apa yang dapat diukur dan dapat dihitung jumlahnya. Filsafat
mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup. Filsafat bertanya apakah yang paling
mendasar memberi corak yang khas pada manusia, apakah yang menyebabkan ia bertindak sebagaimana yang ia
lakukan .
Titik Tolak dan Objek yang Tepat pada Filsafat Manusia
Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun dia tetap merupakan
sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak
dituntut untuk mempergunakan kesimpulan-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka
seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu
yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah metode filsafat manusia yang digunakan! Jelaskan
2. Apakah kedudukan manusia dan humanisme?
3. Apakah perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia?
4. Jelaskanlah ciri-ciri filsafat manusia tersebut?
5. Apakah paham humanisme itu
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Franz Magnis Suseno. 2009. Menjadi Manusia (Aristoteles). Jokyakarta. Kanisius.
3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.
11
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 3TUJUAN MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis tujuan manusia secara filsafat.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis tujuan manusia secara
filsafat yang meliputi sebagai berikut:
Hakikat tujuan manusia
Mencari nikmat sebanyak-banyaknya
Materi Pembahasan
Tujuan Manusia
Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila
manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah: Apakah tujuan manusia itu?
Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal dan setiap tindapan yang tidak menunjang
tercapainya tujuan manusia tidak masuk akal. Inilah prinsip Filosul Aristoteles.
Hidup kita akan terarah apabila kita melakukan sedemikian rupa hingga kita mencapai tujuan kita. Kehidupan
modern ditentukan oleh agama, apa yang diperintahkan oleh agama dilaksanakan sedangkan yang dilarang dihentikan.
Sedangkan filosuf Aristoteles berpendapat bahwa dia tidak menolak ajaran agama, Namun Aritoteles memiliki
pertimbangan bahwa ia tidak berspekulasi, tidak berandai-andai dan tidak mengandaikan ajaran apapun termasuk agama.
Menurut Aristoteles, manusia sebagai makhluk berpikir dapat mengetahui bagaimana dia seharusnya hidup,
melalui pendekatan analitis dan langkah-langkah logis. Dia bertolak dari sebuah fakta: Apapun yang dilakukan manusia
selalu dilakukan demi tujuan. Kita melakukan sesuatu dengan satu maksud. Kita makan untuk menghilangkan rasa lapar,
kita nonton TV karena hiburan, kita nipu untuk dapat uang dll. Dapat juga manusia melakukan dua tujuan yang
kontradiksi, seperti kita merasa lapar, mau makan tapi puasa karena itu tidak makan.
Menurut Aristoteles tujuan manusia itu ada dua, yaitu:
1. Tujuan manusia sementara: tujuan ini hanyalah sarana untuk lebih lanjut, seperti orang mengikuti kuliah untuk
lulus sarjana sedangkan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan pekerjaan atau meningkatkan jabatan
kerja.
2. tujuan akhir manusia, adalah suatu tujuan apabila kita dapat mencapainya kita akan merasakan kepuasan.
Tujuan akhir mestinya sesuatu yang kalau tercapai tidak ada lagi yang masih diminati, selama belum tercapai,
manusia belum akan puas dan tetap masih mencari.
Apakah tujuan akhir itu? Menurut Aristoteles adalah "Kebahagiaan" kalau seseorang sudah bahagia tidak ada
yang masih diinginkan selebihnya. Sebaliknya ia belum bahagia apapun yang diperolehnya dia tidak akan merasa puas.
Disatu pihak, kebahagiaan selalu dicari demi dirinya sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain. Dipihak lain kebahagiaan
mencukupi dirinya sendiri, kalau sudah bahagia tidak ada yang perlu ditambah.
Aristoteles seorang filosuf yang pertama mengkaji tentang tujuan manusia, yaitu "kebahagiaan", etikanya
disebut "eudemonisme", dalam bahasa Yunani "eudaimonia" = bahagia). Pertanyaan selanjutnya adalah Bagaimana
manusia harus hidup, jawabannya adalah manusia harus menata kehidupannya sedemikian rupa hingga ia menjadi
semakin bahagia. Aristoteles memberi tolak ukur yang jelas secara akal, aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat
dimengerti, sesuatu yang diharuskan diluar, melainkan sesuatu yang sangat masuk akal, yang perlu kita perhatikan agar
kita dapat mencapai apa yang menjadi tujuan terakhir kita, kebahagiaan. Kita hendaknya hidup secara bermoral karena
itulah jalan ke pada kebahagiaan. Tujuan moralitas adalah mengantar manusia ke tujuan akhirnya, kebahagiaan. Apakah
hidup yang kita jalani berhasil dapat diukur pada tingkat kebahagiaan yang kita capai di dalamnya. Berdasarkan pendapat
filosuf Aristoteles ada tiga hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
Pertama, kebahagian sebagai tujuan manusia tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Agama sendiri justru
menegaskan bahwa tujuan akhir itu menghasilkan kebahagiaan. Orang masuk sorga atau dekat dengan Tuhan adalah
12
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
orang yang mendapatkan kebahagiaan, khususnya agama Timur. Agama Budha misalnya mau menunjukkan jalan
mengurangi penderitaan. Lao-Tzu mengajarkan bahwa manusia harus mencapai dao-nya, jalannya dan implikasinya
adalah bahwa ia akan bahagia semakin ia menemukannya. Ki Suryamentaram memahami etikanya sebagai ngelmu
kebegdjan, sebagai ilmu yang menuju ke kebahagiaan.
Kedua, kalau kebagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa beberapa hal
yang umumnya dianggap menjadi tujuan tidak memadai. Aristoteles menyatakan dua tujuan akhir yang salah, yaitu;
"Uang dan Nama tersohor". Uang atau kekayaan hanyalah sarana untuk bisa bebas dari kekurangan dan lebih
menguasai hidupnya sendiri dan mudah memenuhi segala yang diinginkan. Kekayaan merupakan sarana bukan tujuan
pada dirinya sendiri. Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Maka, orang yang mengarahkan seluruh hidupnya dengan
uang tidak mencapai tujuan. Ia justru tidak bahagia. Nama tersohor agak berbeda. Sepintas nama tersohor kelihatan
seperti tujuan pada dirinya sendiri, tetapi Aristoteles menegaskan bahwa mendapat nama tersohor merupakan sesuatu
dalam pandangan orang lain, bukan sesuatu pada diri orang yang bersangkutan. Orang bisa tersohor meskipun kurang
bermutu. Kalau dia tersohor karena bermutu dan prestasinya, maka mutu dan prestasi itu yang perlu diusahakan, buka
nama tersohor. Tersohor tergantung pada adanya ciri-ciri yang ada pada kita, maka tidak merupakan tujuan, yang
diusahakan adalah ciri-ciri yang dikagumi itu dan bukan agar kita tersohor.
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagian tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagian itu bukan sasaran
yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah suatu yang lebih bersifat "diberikan" daripada direbut. Hidup macam
apakah yang menghasilkan kebahagiaan? Apakah kebahagaan dapat dicapai dengan mengejar rasa nikmat dan
menghindari rasa sakit. Berikutnya kita akan lihat cara hidup yang mana yang oleh Aristoteles secara positif dianggap
menghasilkan kebahagiaan.
Manusia Mencari Nikmat Sebanyak-banyaknya : Persahabatan
Etika Aristoteles bukan yang bernada egois, yang tidak mengatakan kita hendaknya selalu berusaha untuk
menjadi bahagia. Kita sudah melihat bahwa kebahagiaan justru tidak dapat diusahakan secara langsung. Kebahagiaan
tercapai dengan mengambil cara hidup yang mengembangkan kerohanian dan keterlibatan sosial manusia. Bukan
dengan sikap egois, melainkan dengan komitmen pada komunitas, dengan bersedia bertanggung jawab atas kemajuan
masyarakat manusia akan menjadi bahagia.
Tak mungkin orang melibatkan diri dalam urusan masyarakat dan hanya memikirkan dampaknya pada dirinya
sendiri. Tentu ia harus meminati masyarakat dalam bahasa kita sekarang, ia harus seorang nasionalis dan seorang yang
sosial, yang mau memajukan masyarakatnya ke dalam dan ke luar. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dialektis. Apabila
langsung diusahakan, kebahagiaan mengelak. Tetapi orang yang tampa pamrih melibatkan diri dalam memajukan atau
menyelamatkan sesama, dialah yang akan bahagia. Jadi etika kebahagiaan, "eudemonisme" Aristoteles , justru tidak
egosentris.
Aristoteles membedakan persahabatan pada tiga macam, yaitu persahabatan atas dasar saling
menguntungkan, atas dasar saling menikmati, dan atas dasar saling menyenangi dan mencintai. Dua bentuk pertama
belum melampaui egoisme. Apabila dua orang bersahabat karena persahabatan itu menguntungkan keduanya atau
karena masing-masing memperoleh nikmat daripadanya, persahabatan hanya merupakan sarana saja. Persahabatan
semacam ini bisanya tidak bertahan dan rawan pertengkaran dan perasaan tidak puas.
Persahabatan dari arti sebenarnya adalah persahabatan demi sahabat. Persahabatan karena dua sehabat
saling mencintai. Aristoteles menulis bahwa "rupa-rupanya keutamaan di antara pada sahabat adalah cinta”. Baru dalam
persahabatan atas dasar cinta manusia betul-betul membuka diri kepada orang lain dan justru di dalam keterbukaan itu
menjadi diri, manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia memerlukan orang lain, ia adalah makhluk sosial, berbeda dari ternak
yang bersama-sama berada direrumputan. Begitu dari sahabat harus disadari bahwa ia ada dan itu terdiri dalam hidup
bersama dan dalam kebersamaan dalam bicara dan berpikir. Sebagai makhluk yang secara hakiki sosial manusia
masing-masing hanya mencapai dirinya sendiri apabila ia tidak hanya berkisar pada dirinya sendiri, melainkan meminati
orang lain, hal mana juga dijelaskan mengapa berpolitik membawa manusia ke kebahagiaan. Dalam persahabatan orang
meminati orang lain demi dia sendiri dan bukan hanya sebagai sarana bagi nikmatnya sendiri.
Dalam cinta tumbuh persahabatan sejati, kita menjadi diri kita yang sebenarnya, mengembangkan diri bukan
dengan mengitari diri kita sendiri, dengan memikirkan kita sendiri dan dengan prihatin atas segala hal yang kita alami atau
13
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
yang lepas dari tangan kita, melainkan dengan mencintai. Mencintai orang lain memang amat penting bagi perkembangan
kita sendiri, tetapi cinta yang mengembangkan itu hanya nyata dan demikian hanya mengembangkan kita, apabila cinta
itu sungguh-sungguh. Aristoteles menegaskan bahwa persahabatan mendalam tidak mungkin dan tidak perlu dengan
banyak orang. Itulah perbedaan dengan kebaikan hati yang tidak perlu terbatas, namun merupakan sikap sepihak.
Kemampuan untuk mencintai bagi Aristoteles merupakan tanda bahwa orang memiliki keutamaan tinggi bahwa ia seorang
utama. Orang berbudi luhur tidak mencari untung atau nikmat dari persahabatan. Ia lebih bahagia memberikan kepada
sahabat daripada menerima darinya. Meskipun dalam situasi sulit ia tentu akan menerima bantuannya.
Persahabatan dan Cinta Diri
Apakah persahabatan harus dipertahankan apabila sahabat berubah. Apabila sahabat yang dahulunya berbudi
luhur menjadi orang bersemangat rendah dan buruk, persahabatan tidak mungkin dipertahankan. Begitu pula,
persahabatan waktu mereka masih anak-anak belum tentu bisa, lalu juga tidak perlu dipertahankan apabila mereka
menjadi dewasa. Karena mereka berubah dalam proses menjadi dewasa. Dari situ Aristoteles mempertanyakan "Cinta
Diri"
Dua macam cinta diri, Yang pertama adalah kalau orang menginginkan uang, kedudukan terhormat dan nikmat
jasmani bagi dirinya sendiri. Cinta diri semacam ini sudah pantas mendapat nama buruk. Kerana cinta seperti itu adalah
cinta orang buruk. Tetapi Aristoteles memperlihatkan bahwa orang yang bersikap demikian sebenarnya justru tidak
mencintai dirinya karena dengan mengejar tiga hal itu ia justru tidak beruntung, melainkan merugi. Orang itu "melayani
nafsu-nafsunya dan bagian jiwa yang tidak berakal". Orang yang berkeutamaan mencintai yang luhur dan indah dan ini
diarahkan oleh akal budi, tentu ia menginginkan yang luhur dan indah itu bagi dirinya sendiri dan itu baik
Persahabatan dan Ketaktergantungan
Persahabatan mengurangi independensi kita, ini berlaku bagi dewa bukan manusia kata Aristolteles. Manusia
tidak seluruhnya mandiri dan kerana itu kebahagian tidak diperoleh dengan berusaha untuk sama sekali mandiri, justru
orang berbuat baik membutuhkan orang lain. Manusia berarti bahwa mamahami hidupnya, yang perlu berkomunikasi
dengan orang lain. Manusia tidak mungkin bahagia sendirian, dia perlu sahabat.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah tujuan manusia menurut Aristoteles?
2. Bagaimana pendapat Arsitoles bahwa kebahagian menjadi tujuan hidup manusia?
3. Apakah hubungan tujuan moralitas dengan kebahagiaan?
4. Apakah yang perlu diperhatikan untuk menca[ai tujuan kebahagiaan?
5. Kenapa kita harus mencari nikmat sebanayk-banyaknya sebagai tujuan manusia?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah.
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.
14
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 4
FILSAFAT MANUSIA DAN KEBIJAKSANAAN
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis hubungan filsafat manusia dan kebijaksanaan.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis hubungan filsafat
manusia dan kebijaksanaan yang meliputi sebagai berikut:
Filsafat manusia dan politik
Kebijakan dan rasionalitas
Materi Pembahasan
Filsafat dan Politik
Ada tiga cara hidup yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri, yaitu: hidup yang mengejar nikmat, filsafat dan
politik. Nikmat sebagai tujuan hidup ditolak oleh Aristoteles maka tinggal hidup berfilsafat dan hidup berpolitik. Anggapan
ini kelihatan kurang masuk akal. Hanya segelintir di antara kita yang sempat berpolitik aktif dan lebih sedikit sekali yang
berfilsafat. Apakah itu berarti orang lain tidak bisa bahagia atau hidup mereka salah arah. Menurut Aristoteles pada saat
menulis buku Etika Nikomacheia, politik dalam arti yang dia maksud sudah merupakan sebuah nostalgia. Yang dimaksud
adalah berpolitik dalam polis, dalam negara kota Yunani, dimana orang masih dapat saling mengenal. Padahal, waktu
Aristoteles mengajar di Athena, seluruh Yunani hanya menjadi sebuah propinsi dalam kerajaan raksasa Iskandar Agung.
Jadi, Aristoteles memang tidak dapat diikuti secara harfiah. Tetapi itu tidak berarti bahwa keyakinan Aristoteles
bisa dilupakan. Sebaliknya, apabila kita berusaha mengerti apa yang sebenarnya dia maksud, kita akan melihat bahwa ia
tetap masih memberikan petunjuk amat berharga kepada kita di abad ke 21 ini.
Pengembangan Diri
Manusia tidak menjadi bahagia dengan malas-malas mau menikmati, melainkan dengan berbuat sesuatu.
Manusia menjadi bahagia melalui aktivitasnya, dengan menggerakkan diri untuk mencapai sesuatu dengan bertindak.
Kalau kita menggantikan kata ”bahagia” dengan ”bermakna”, maka menurut Aristoteles manusia akan mengalami hidup
bermakna dan itulah ini kebahagiaan yang dapat dicapai dalam hidup ini, bukan apabila ia pasif-pasif saja, apabila segala
apa telah tersedia baginya tinggal menikmati, melainkan dengan mengembangkan diri dan manusia mengembangkan diri
dalam tindakan. Namun, bagaimana manusia bertindak? Bukan dengan membatasi diri pada fungsi yang juga dimiliki
kambing, melainkan dengan bertindak sesuai dengan kekhasannya sebagai manusia.
Manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri, dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya.
Misalnya apabila ia berbakat musik dan bila melalui latihan keras dan tertib, maka ia akan berhasil menjadi pemusik yang
unggul. Jadi, menurut Aristoteles, kita hendaknya hidup sedemikian rupa hingga kita mengembangkan diri.
Pengembangan diri sampai hari ini merupakan tujuan penting pendidikan yang bermutu. Mengembangkan diri berarti:
Dengan menghadapi tantangan yang membuat diri kita menjadi nyata dari sesuatu yang hanya mungkin kita menjadi
nyata. Identitas kita terbangun, kita menjadi orang, kita memperoleh profil yang khas. Barangkali itu berat, sekurang-
kurangnya sering tidak mudah, tetapi mengembangkan diri berhadapan dengan segala macam tantangan terasa amat
memuaskan dan penuh makna. Maka, Aristoteles menyarankan agar bahwa kita hendaknya senantiasa berusaha untuk
mengembangkan diri.
Manusia tidak berkembang dengan merancang kehidupannya sebagaimana kita merencana studi kita. Kita kan
belum mengetahui diri kita. Tentu, apabila kita merasa mempunyai bakat menjadi penyanyi, maka sebaiknya kita
mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan kemampuan menyanyi kita secara profesional. Tetapi kita tidak
hanya berkembang menurut rencana kita. Persoalannya hidup tidak dapat seluruhnya direncanakan dan apabila itu
dicoba, kita berada dalam bahaya menjadi sempit, karena fokus ekslusif pada sebuah rencana kita sendiri membatasi diri
15
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
pada suatu yang sudah kita pahami. Jadi tidak ada yang baru. Yang betul-betul mengembangkan kita adalah tantangan
yang kita hadapi. Tantangan itu tidak pernah dapat kita rencanakan atau kita pilih saja. Tantangan dapat muncul dalam
segala situasi. Berhadapan dengan tantangan itu kita teransang untuk mengambil sikap, dan sikap itulah yang
mengambangkan kita, yang membuat kita sadar akan kemampuan baru kita. Bukan dengan memandang pusarnya sediiri
manusia berkembang, melainkan dengan berani berhadapan dengan apa yang menantangnya, yang menuntut
keterlibatan, dimana kita harus membuktikan diri. Tantangan itu dapat muncul dalam hidup kita sebagai mahasiswa atau
sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga kita atau sebagai warga negara ataupun di tengah jalan. Orang tidak
menjadi pemimpin dengan membaca buku ”how to become e leader” melainkan dengan melakukan tugas-tugasnya
secara terbuka dan dengan berani menghadapi tantangan yang mau menggagalkannya. Lama kelamaan kemampuan
untuk memimpin akan berkembang dan menjadi nyata. Suatu tantangan merangsang kemampuan kita yang masih
tersembunyi, yang tentu lantas perlu kita kembangkan secara aktif. Yang penting hanya ini: Orang tidak berkembang
dengan memandang, merenungkan dan merefleksikan diri (meskipun kadang-kadang perlu) melainkan dengan melihat ke
luar dengan menjawab apa yang dalam situasi tertentu diharapkan dari kita.
Mengembangkan diri juga berarti menerima diri. Kita akan mengalami bahwa kita mempunyai keterbatasan.
Kita tentu akan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan diri, tetapi kita juga perlu menerima bahwa ada
kemungkinan kita dibatasi baik oleh situasi di luar diri kita, maupun oleh keterbatasan kita sendiri. Oleh sebab itu orang
diajari sikap menurut falsafat Jawa ”narima” adalah tanda watak yang kuat, ulet dan tidak cepat putus asa. Orang yang
tahu ”narima” tahu diri, tetapi akan berusaha ke depan begitu situasi mengizinkannya.
Manusia Berfilsafat
Mengapa Aristoteles berpendapat bahwa filsafat dan kehidupan politik merupakan kegiatan yang
membahagiakan manusia? Filsafat adalah kegiatan orang yang ber-theoria. Tetapi kita harus berhati-hati. Bagi
Aristoteles, seperti juga Plato, kata theoria bukanlah teori dalam arti modern, sebagai pandangan ”teoretis” tentang salah
satu masalah, seperti teori evolusi adalah pandangan tersusun tentang evolusi, melainkan bagi orang Yunani theoria
berati ”memandang”, merenungkan realitas yang abadi dan realitas yang tak berubah, realitas ilahi. Jadi, dalam theoria
manusia mengarahkan diri ke realitas yang abadi, realitas yang mengatasinya. Dengan ber-theoria manusia memperoleh
”sophia”, kebijaksanaan. Jadi manusia yang ber-theoria mencintai (philei) kebijaksanaan, karena itu ia adalah seorang
”phi-sophos” seorang pencita kebijaksanaan, seorang filosof, Jadi filsafat adalah kegiatan memandang penuh kagum hal
yang abadi-ilahi. Mengapa memandang yang abadi adalah khas bagi manusia? Karena manusia beda dari binatang,
memiliki logos, akal budi, yang terungkap dalam bahasa. Logos itu adalah unsur ilahi dalam manusia. Dalam bagian
terakhir bukunya Etika Nikomacheia, Aristoteles menjelaskan mengapa orang menjadi bahagia dalam filsafat. Filsafat
adalah tempat di mana manusia mengangkat rohnya di atas alam yang berubah, melampaui wilayah keniscayaan fisik.
Jadi mengatai keterbatasannya sebagai makhluk di waktu dan tempat tertentu. Orang yang berfilsafat, yang merenungkan
yang abadi tak berubah, amat bahagia karena ia membuat nyata unsur ilahi yang ada di dalamnya.
Bagi Aristoteles filsafat memenuhi fungsi yang sekarang kita berikan kepada agama, tetapi perlu diperhatikan
bahwa filsafat Timur tidak mengenal perpisahan tajam antara agama dan filsafat. Kesatuan itu memang pecah karena
munculnya agama monoteis, Yahudi, Kristen dan Islam di panggung dunia. Terhadap wahyu Allah, spekulasi filsosofis
manusia yang terpandaipun kalah. Maka, bagi manusia Barat (Yahudi dan Kristiani) dan dunia Islam, renungan filosofis
tentang yang ilahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup pada wahyu yang diberikan Allah kepada
manusia. Apalagi, monoteisme membuka perspekstif yang sama sekali baru dengan penegasan bahwa hidup tidak
selesai dengan kematian, melainkan masing-masing orang beda dari binatang, diciptakan untuk mencapai eksistensi yang
mantap dan definitif sesudah kematian, entah di surga atau di neraka.
Menurut Jurgen Habermas, munculnya agama monoteisme secara definitif memotong sebagian dari fungsi
filsafat. Orang tidak lagi lari ke filsafat untuk mencari makna hidupnya maupun penjelasan tentang tujuan manusia pada
umumnya. Ia merasa telah menemukannya dalam agama. Filsafat sudah sejak ratusan tahun menerima keterbatasannya
itu dan sekarang tidak lagi mengklaim bisa memberikan arahan dasar bagi manusia dalam mencari makna hidupnya.
Apakah itu berarti bahwa Aristoteles pada filsafat sudah usang? Sebetulnya filsafat menurutnya lebih daripada
renungan hal-hal ilahi. Filsafat adalah usaha roh manusia untuk memahami eksistensi, dunia dan untuk menjalani
kehidupannya tidak seperti kerbau, tanpa tahu dan peduli, melainkan dengan peduli, kritis, bermoral, cerdas. Manusia
16
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
hanya manusia apabila ia merefleksikan eksistensinya apabila ia mengadapi kuasa yang ada, baik kuasa politik maupun
kuasan agama, ideologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain secara dewasa, rasional, kritis dalam perspektif penegakan
keadilan dan pemanusiaan kondisi masyarakat. Seluruh alam ilmu pengetahuan, lalu komunikasi tentang kehidupan
dalam semua dimensi (keluarga, kampung, negara dan dunia) seperti terjadi dalam media (pers, radio, TV dan internet)
merupakan dimensi khas manusia.
Sikap filosofis Aristoteles menuntut keterbukaan, keinginan untuk belajar terus dan tak pernah berhenti ingin tahu, sikap
kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus dengan semua yang terlibat dan sikap rendah hati
karena seorang ”filosof” selalu akan tahun bahwa banyak sekali yang belum dipahaminya.
Politik
Dimensi kedua yang khas bagi manusia adalah politik. Disini pun dunia kita jauh berbeda dari dunia Arsitoteles.
Dia memikirkan ”polis”, negara-negara kota khas Yunani. Dalam polis setiap warga negara dapat ikut serta mengurus
masyarakat. Karena itu dalam polis kegiatan politik memang terbuka bagi segenap warga. Bagi laki-laki Yunani, terjun
dalam pengurusan polis menjadi puncak cita-citanya untuk menjadi seorang terhormat.
Mengapa Aristoteles menganggap kegiatan berpolis itu khas bagi manusia? Karena berpolitk merupakan
puncak kesosialan manusia dan kesosialan merupakan ciri yang khas bagi manusia. Manusia dan hanya manusia adalah
zoon politikon, makhluk sosial. Tuhan (theos) tidak sosial (karena Tuhan hanya satu dan mencukup diri), tetapi binatang
pun tidak sosial melainkan hanya hidup sesuai dengan insting dan dorongan indvidualnya masing- masing. Sosial bagi
Aristoteles berarti lebih daripada sekedar ada kerja sama, seperti halnya semut dan banyak jenis binatang lain. Hidup
secara sosial bagi Aristoteles berarti bekerja sama berdasarkan diskursus rasional bersama, pertimbangan dan debat, jadi
dalam kesadaran kritis. Dalam arti ini memang hanya manusialah yang sosial. Maka, untuk menjadi bahagia manusia
perlu membuat nyata hakekat sosialnya itu.
Politik bukan bidang di mana kita menyatakan sifat sosial kita, melainkan bidang yang justru abstrak. Hanya
segelintir warga masyarakat dapat berpolitik dalam arti yang sebenarnya. Kita yang kebanyakan, kecuali berpartisipasi
dalam beberapa tindakan demokratis dan mengikuti perkembangan politik dengan prihatin melalui media, hampir tidak
bisa dikatakan berpolitik. Tetapi, Aristoteles tidak boleh dimengerti dalam arti terlalu sempit. Yang mau dikatakannya
adalah: manusia adalah makhluk yang dapat menjalankan kehidupannya hanya dalam kebersamaan, dalam berpikir dan
berefleksi bersama, dalam perdebatan rasional dan dalam bertindak berdasarkan pertimbangan kritis bersama.
Kesepakatan kita sekarang bahwa suatu negara harus diatur secara demokratis masih tetap berdasarkan pertimbangan
itu. Karena kita semua secara kodrati terdorong untuk menyelesaikan masalah kita bersama-sama, maka tidak pantas
kalau warga negara kebanyakan hanya menjadi objek penentuan beberapa elit. Maka, yang sebenarnya dimaksud
Aristoteles adalah keterlibatan penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi-dimensi yang terbuka
baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun mereka yang tidak langsung berpolitik tetap diharapkan
memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Itu pun dengan penuh tanggung jawab.
Epikuros pernah mengajar bahwa orang untuk bisa bahagia harus menarik diri dari urusan publik dan
mengembangkan diri dalam lingkungan akrab teman sealiran. Berlawanan dengan privatisme itu, Aristoteles menegaskan
bahwa manusia karena hakekatnya yang sosial perlu melibatkan diri dalam urusan masyarakat bahwa ia harus berani
memikul tanggung jawab demi kemajuan masyarakat dan bahwa keterlibatan yang tentu tidak tanpa risiko itu justru
membahagiakan. Berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam semua dimensi kehidupan masyarakat tentu sesuai
dengan kemungkinan kita masing-masing yang sangat berbeda. Itu juga cita-cita demokrasi deliberatif yang dipaparkan
Habermas.
Ada dua dimensi hakiki kehidupan manusia, yaitu dimensi roh atau rasionalitas dan dimensi sosial. Dimensi
rasionalitas dikembangkan dengan menjalankan hidup kita dalam semua segi dengan sadar, reflektif, terbuka dan kritis.
Dimensi sosialitas kita kembangkan dengan ikut bertanggung jawab dalam urusan masyarakat.
Kebijaksanaan dan Rasionalitas
Dalam bahasa Yunani ”Kebijaksanaan” berasal dari kata ”sophia” dan ”phronesis”. Sophia yang artinya
kebijaksanaan dalam arti kemampuan manusia untuk memandang yang ilahi, yang abadi. Sedangkan ”phronesis” adalah
17
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari dalam arti kelakuan yang bijaksana, kemampuan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi secara bijaksana.
Sophia tumbuh dari perhatian pada idea-idea, kemampuan untuk memahami hakekat realitas dan tidak pada
lahiriah belaka, bagaimana tatanan yang seharusnya yang mampu melihat ide dan memimpin masyarakat yang
sebenarnya. Phronesis disebut juga kebijaksanaan praktis tidak terkait dengan sophia (kebijaksanaan akibat filsafat) dan
negara jangan dipimpin oleh para filsosof. Negara harus dipimpin oleh orang yang bijaksana dalam menjalankan urusan
antar manusia, khususnya urusan negara dan kebijaksanaan dalam kehidupan nyata, phronesis tidak ada kaitan dengan
sophia.
Phronesis, juga dibedakan dengan Episteme. Episteme adalah ketajaman pengetahuan ilmiah, mampu menghitung,
berkalkulasi, menarik kesimpulan logis. Maka Episteme membutuhkan sikap eksak ketepatan ilmu-ilmu alam, ketajaman
berpikir yang dibutuhkan dalam sains. Sedangkan phronesis adalah kebijaksanaan manusia dalam bertindak yang tidak
dapat dipastikan secara sains. Manusia bertindak menurut pertimbangannya dalam masalah baik dan buruk bagi
manusia, bukan menurut hukum alam.
Orang menjadi bijaksana karena belajar dari pengalaman dan kebiasaan dalam bertindak, Phronesis membuat
manusia menjadi pandai dan benar dalam membawa diri dan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah gunanya berfilsafat menurut Aristoteles?
2. Apakah arti berpolitik menurut Aristoteles dan bagaimana dengan kondisi sekarang?
3. Apakah kebijaksanaan itu! Jelaskanlah menurut pendapat Aristoteles?
4. Bagaimana kedudukan rasionalitas dan fungsi manusia?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Franz Magnis-Suseno. 2009. Menjadi Manusia. Jokyakarta. Kanisius.
3. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah.
4. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
5. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.
18
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 5
ESENSI MANUSIA: FILSUF ATHUR SCHOPENHAUR
(1788-1868)
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis esensi manusia menurut filsuh Athur Schopenhauer
(1788-1868)..
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis esensi manusia
menurut filsuh Athur Schopenhauer (1788-1868)..
yang meliputi sebagai berikut:
Dunia sebagai kehendak
Kebijaksanaan hidup
Kebijaksanaan dari kematian dan tragedy wanita
Evaluasi kritis terhadap pemikiran Schopenhauer
Materi Pembahasan
Dunia sebagai kehendak
Filsafat Schopenhauer adalah kejelasan dan kekonkretannya. Kita harus hidup terlebih dahulu, baru kemudian
berfilsafat (prium vivere, deinde philosophary). Dia mengomentasi filsafat Hegel yang mengabaikan kekuatan irrasional
(nonrasio atau nonintelek), yakni kehendak. Dimata, Hegel, katanya "hidup tidak membiarkan kita berkata sepatah pun
selain tentang kebaikan" (de vivis nil nisi bonum). Akan tetapi dia memuji semangat Hegel dalam mencari kebenaran.
Katanya "hidup teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang, oleh sebab itu, mari kita bicara
tentang kebenaran"
Schopenhauer pun menyerang materialisme. Ia tidak henti-hentinya bertanya, "bagaimana kita bisa
menjelaskan bahwa jiwa adalah materi, kalau kita mengetahui materi melalui jiwa, melalui diri kita sendiri? Dunia sebagai
kehendak dilihat sebagai berikut.
1. Kehendak Untuk Hidup
Hampir tanpa kecuali, semua filosuf sebelum Schopenhauer memandang kesadaran atau intelek atau rasio
sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut hewan yang berakal, sebagai "animale rarionale". Schopenhauer mengkritik
anggapan tersebut. Kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya merupakan permukaan jiwa kita. Seperti dulu banyak
orang tidak mengetahui hakikat bumi kecuali permukaanya, demikian pula filosuf sampai sekarang baru mengetahui
permukaan jiwa, yakni intelek atau kesadaran, tetapi tidak mengetahui hakikat jiwa yang sesungguhnya.
Dibawah intelek sesungguhnya terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup abadi,
suatu kehendak dari keinginan yang kuat. Intelek kadang-kadang memang mengendalikan kehendak, tapi hanya sebagai
pembantu yang mengantar tuannya. "Kehendak adalah orang kuat yang buta mengendong orang lumpuh yang melek"
Orang yang berebut makanan, mengadakan hubungan seksual atau perbuatan anak-anak misalnya, mereka
tidak mengandalkan refleksi. Sumber dari perbuatan mereka adalah kehendak yang setengah sadar untuk hidup.
"Manusia kelihatannya saja ditarik dari depan, yang benarnya, mereka didorong dari belakang". Mereka mengira
dibimbing oleh apa yang mereka lihat: kenyataannya mereka didorong oleh apa yang mereka rasakan – yakni, oleh naluri-
naluri yang beradanya tidak mereka sadari. Intelek hanyalah "the minister of foreign affairs", alam menciptakan intelek
untuk melayani kehendak individu. Oleh sebab itu, intelek dirancang hanya untuk mengetahui hal-hal yang bersangkut-
paut dengan kehendak. Kehendak adalah satu-satunya unsur yang permanen dan tidak dapat berubah di dalam jiwa.
Kehendak merupakan pemersatu kesadaran, pemersatu ide-ide dan pemikiran-pemikiran serta mengikatnya dalam satu
kesatuan yang harmonis. Kehendak adalah pusat organ pikiran".
19
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Karakter atau watak merupakan kontinuitas tujuan dan sikap dan ia terletak di dalam kehendak, bukan di dalam
intelek. Bahasa sehari-hari dengan tepat sekali menunjukkan pada "hati" dan bukannya pada "kepala" Kehendak baik
lebih mendalam dan lebih dapat dipercaya daripada "pikiran yang jernih" Semua agama menjanjikan ganjaran untuk
keunggulan kehendak atau hati, tapi tidak untuk keunggulan kepala dan intelek.
Tubuh pun merupakan hasil dari kehendak. Darah yang didorong oleh kehendak, kehendak untuk mengetahui
untuk membangun otak. Intelek bisa letih, kehendak selalu terjaga. Intelek perlu tidur, kehendak bekerja dalam tidur.
Letihnya intelek karena ia berada di dalam otak, tetapi bagi urat-urat yang tidak berhubungan dengan hati, tidak pernah
merasakan rasanya lelah. Dalam tidur otak memerlukan makanan, namun kehendak tidak memerlukan apapun untuk
dimakan. Dalam tidur segenap kekuatan kekuatan dari kehendak diarahkan untuk melindungi dan memperbaiki
organisme. Tidur adalah sepenggal kematian yang dipinjam untuk menjaga dan memperbaharui bagian-bagian dari
kehidupan kita yang sudah aus. Jadi, Kehendak adalah hakikat manusia, akan tetapi apakah kehendak pun merupakan
hakikat dari segala-galanya, yakni segalanya yang ada di permukaan bumi ini?
Semakin rendah bentuk kehidupan, semakin kecil peran intelek. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan
kehendak. Intelek mengejar segenap tujuannya melalui cahaya pengetahuan, tapi tidak demikian halnya dengan
kehendak, kehendak berusaha secara buta dan tuli. Ketidaksadaran, bagaimanapun adalah kondisi asli dan alami dari
segala sesuatu. Hewan perilaku mereka secara kebetulan bukan hasil penalaran. Perilaku-perilaku mereka adalah
ekspresi-ekspresi dari kehendak, bukan dari intelek. Kehendak, tentu saja adalah kehendak untuk hidup dan kehendak
untuk memaksimumkan kehidupan. Sedangkan musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Akan tetapi
bisakah kehendak untuk hidup mengalahkan kematian.
2. Kehendak Untuk Reproduksi
Kehendak tidak memerlukan pengetahuan, ia bekerja dalam kegelapan, karena pada dasarnya ia tidak sadar,
demikian organ-organ reproduktif sesungguhnya merupakan titik pusat dari kehendak dan membentuk kutub yang
berlawanan dengan otak yang diwakili oleh pengetahuan. Kehendak adalah prinsip yang menopang kehidupan, ia
menjamin kehidupan abadi.
Kebijaksanaan Hidup
Orang yang mengejar kekayaan seringkali diejek dengan berbagai sebutan: mata duitan, serakah, perampok.
Adalah alamiah kalau manusia mengejar seuatu yang gampang dipertukarkan dengan benda-benda karena akan
mempermudah kehidupannya. Hanya saja kehidupan yang sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kekayaan pada
prinsipnya kehidupan yang tidak berguna, kecuali bagaimana kekayaan itu diubah menjadi kenikmatan. Hal itu tidak
mudah karena memerlukan seni, peradaban dan kebijaksanaan. Mengejar kepuasan indrawi tidak akan memberikan
kenikmatan untuk jangka panjang, orang perlu paham tentang tujuan hidup, disamping seni untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Laki-laki seribu kali lebih bergairah untuk menjadi kaya dibandingkan untuk menjadi berbudaya, meskipun
sangat pasti bahwa keberadaannya (is) jauh lebih bisa memberikan kebahagiaan daripada apa yang dimilikinya (have).
Seorang manusia yang tidak mempunyai kebutuhan mental dinamakan tidak berbudaya, ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan dengan waktu luangnya, ia bingung mencari sensasi-sensai baru dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya
ia ditaklukkan oleh kebosanan yang selalu membayang-bayanginya.
Bukan kekayaan melainkan kebijaksanaanlah yang merupakan jalan. Manusia adalah makhluk yang
berkehendak (yang sumbernya terletak pada sistem reproduksi) dan baru kemudian sebagai subjek dari pengetahuan
murni (yang sumbernya adalah otak). Filsafat berfungsi sebagai alat untuk memurnikan kehendak, hiduplah sebelum
membaca buku-buku, bacalah teks sebelum membaca komentar, satu karya tulis jenius lebih baik daripada seribu
komentar. Sangat berguna mengejar peradaban karena kebahagian kita tergantung pada apa yang ada dalam kepala
kita, bukan pada apa yang kita miliki di dalam kantong kita. Menurut Aristoteles " bahagia berarti menjadi diri yang
sederhana".
Jenius adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan yang tidak banyak unsur kehendaknya (will-less knowledge).
Bentuk paling rendah dari seluruh kehidupan berasal dari kehendak, tampa pengetahuan manusia kebanyakan adalah
sebagian besar kehendak sedikit pengetahuan, jenius adalah sebagian besar pengetahuan dan sedikit kehendak. Pada
20
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
manusia jenius, aktivitas reproduktif berada jauh di luar aktivitas intelektual. Jenius adalah keunggulan yang tidak normal
dari perasaan dan sikap lekas marah terhadap kekuatan reproduktif. Itulah sebabnya ada permusuhan yang sengit antara
jenius dengan wanita, Wanita merupakan simbol dari reproduksi dari tunduknya intelek pada kehendak. Wanita bisa saja
punya bakat, tapi tidak jenius karena selalu tetap subjektif. Bersama wanita segala sesuatu adalah personal dan
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, sebaliknya, jenius adalah objektivitas yang paling lengkap. Jenius
adalah daya atau kekuatan yang meninggalkan kepentingan sendiri, menghapus keinginan dan tujuan sendiri, menunda
keperibadiannya untuk sementara waktu, sehingga bisa menjadi subjek yang sungguh-sungguh mengatahui dan visinya
tentang dunia yang jelas. Oleh sebab itu ekspresi dari seorang jenius adalah : pada wajah jenius unggulnya pengetahuan
atas kehendak.
Kebijaksanaan dari Kematian dan Tragedi Wanita
Satu-satunya penakluk akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yaitu
kehendak untuk reproduksi. Kepuasan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu
merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup. Beranak pinak dengan demikian bisa disebut kejahatan.
Jika kita berpikir tentang rusuhnya kehidupan, maka kita melihat bahwa semuanya itu bersumber dari keinginan
dan kesengsaraan, yang memaksa seluruh kekuatannya untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas, dan untuk
menangkis penderitaannya yang bermacam-macam.
Yang terutama melakukan kejahatan itu adalah wanita, karena ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya
kehendak, persona yang bodoh dari perempuan menggoda lagi laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak
cukup cerdas untuk melihat betapa singkatnya pesona wanita tersebut dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah
lama terperosok.
Pemujaan terhadap wanita merupakan produk dari Kristianitas dan sentimentalitas Jerman. Sebaliknya,
pemujaan itu merupakan sebab dari gerakan romantik yang memuja perasaan, naluri dan kehendak di atas intelek. Orang
Asia tahu lebih baik tentang inferioritas wanita dan mereka tidak menutup-nutupi kenyataan itu. Kalau undang-undang
memberi hak yang sama dengan laki-laki, mereka pun seharusnya mempunyai intelek-intelek yang maskulin. Orang-
orang Asia pun menunjukkan keunggulan dalam masalah perkawinan daripada orang-orang Eropa, mereka menerima
poligami sebagai suatu yang normal dan wajar, sementara orang-orang Eropa, meskipun mempraktikkannya, menutup-
nutupi kenyataan itu dengan pelbagai alasan dan ungkapan yang tidak masuk akal. Sungguh absurd memberikan kepada
perempuan hak yang sama dengan laki-laki, khususnya dalam bidang kekayaan. Semua wanita dengan sedikit
pengecualian, cenderung untuk menghambur-hamburkan uang, karena mereka hidup untuk hari ini, olah raga mereka
adalah adalah berbelanja. Mereka mengira bahwa bekerja adalah tugas laki-laki sedangkan tugas mereka hanya
membelanjakan hasil keringat suaminya. Korupsi besar-besaran yang memuncak dalam bentuk revolusi Perancis
disebabkan oleh kemewahan dan keroyalan wanita pada masa Louis XII.
Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan wanita, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa
lebih aman, lebih menyenangkan dan lebih halus tanpa wanita. Biarkanlah para lelaki memahami jerat yang dipasang
pada kecantikan wanita, maka komedi absurd reproduksi (pasti) akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan
memperlemah kehendak untuk bereproduksi dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu,
penderitaan hidup akan berakhir.
Evaluasi kritis terhadap pemikiran Schopenhauer
Tanggapan terhadap pemikiran Schopenhauer berkisar pada diagnosa medis terhadap zaman dan manusianya
sendiri. Zaman dimana dia hidup adalah zaman setelah Aleksander Agung (Yunani) dan setelah Caesar (Romawi)
meninggal, pada zaman itu Eropa (Yunani – Romawi) dibanjiri keyakinan dan sikap Oriental (Timur). Ciri utama keyakinan
dan sikap Timur adalah tekanan kepada kehendak sebagai suatu kekuatan eksternal, yang kekuatannya lebih besar di
dalam alam ketimbang di dalam manusia. Keyakinan dan sikap ini pada akhirnya membawa kita kepada doktrin tentang
ketidakberdayaan dan keputusasaan manusia. Perang Napoleon membuat lelah jiwa Eropa, yang ekspresi kelelahannya
disuarakan oleh Schopenhauer. Eropa menderita sakit yang sangat pada pada tahun 1815.
21
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Diagnosa terhadap manusianya bisa dimulai dari pengakuan Schopenhauer bahwa kebahagiaan manusia
tergantung pada keberadaannya dan bukan pada lingkungan luarnya. Pesimisme adalah tuduhan yang dilancarkan oleh
orang-orang yang pesimis.
Pesimisme berhubungan dengan usia, setelah berusia tiga puluhan tidak ada pemisisme, hanya terdapat pada
diri anak-anak yang merasa mewah dan dirinya penting. Dengan sendirinya akan hilang begitu anak dewasa. Bagaimana
mungkin seorang laki-laki bisa menolak feminisme yang telah hidup dan berkembang hampir sepanjang hidup umat
manusia?
Schopenhauer berhasil mengajarkan kepada kita tentang keniscayaan jenius dan nilai seni, ia melihat bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah keindahan dan bahwa kenikmatan yang paling mendalam terletak pada penciptaan karya
seni dan kesenangan pada yang indah. Bersama Goethe dan Carlyle, ia menentang usaha Hegel, Marx dan Buckle untuk
menhapuskan jenius sebagai faktor fundamental dalam sejarah manusia. Dalam suatu zaman ketika semua orang besar
hendak dikubur, ia justru mengajarkan sekali lagi pemujaan pada para pahlawan dan dengan segala kegagalannya ia
berhasil menambahkan nama lain kepada mereka.
Yang sangat mengesankan adalah kemampuan Schopenhauer dalam membuka mata para psikolog pada
kekuatan naluri yang paling dalam, halus dan ada di mana-mana. Intelektualisme yakni konsepsi tentang manusia
sebagai hewan yang melulu berpikir, hewan yang mampu hanya menggunakan rasio atau intelek dalam mengejar setiap
tujuan hidupnya – jatuh sakit bersama Rouusseaum terbujur kaku bersama Kant dan kehilangan jiwa bersama
Schopenhauer. Setelah dua abad analisis introspektif, filsafat akhirnya menemukan adanya deminasi keinginan,
dibelakang pemikiran dan dibelakang intelek. Filsafat menemukan naluri dan setelah satu abad materialisme, fisika
menemukan energi, dibelakang materi. Kita berhutang budi pula pada Schopenhauer, karena ia berhasil mengungkapkan
rahasia hati kepada kita, menunjukkan bahwa filsafat adalah keinginan kita dan pemikiran bukanlah perhitungan abstrak
semata-mata tentang peristiwa inpersonal, melainkan alat tindakan dan keinginan yang fleksibel.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Gambarkanlah tentang dunia sebagai suatu kehendak dalam pandangan berbagai filsuf?
2. Jelaskanlah apa arti dan makna kebijaksaaan dalam filsafat manusia?
3. Bagaimana fenomena wanita menurt filsuf Schopenhauer?
4. Jelaskanlah sedikit kritik tehadap pemikiran Schopenhauer?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
22
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 6BAHASA DAN KEHIDUPAN
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis bahasa dan kehidupan manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis bahasa dan kehidupan
manusia meliputi sebagai berikut:
Arti isyarat, lambang dan struktur internnya
Perbedaan fundamental bahasa binatang dengan manusia
Asimilasi, memulihan dan repruduksi merupakan kegiatan-kegiatan yang khas makhluk hidup
Perbedaan sehubungan dengan reaksi, antara makhluk hidup dengan mesin
Makhluk hidup bukanlah suatu yang sederhana.
Arti dualisme Plato dan tantangan Aristoteles?
Tanggapan filosuf abad pertengahan dan kontemporer tentang badan dan jiwa
Badan manusia didefinisikan
Materi Pembahasan
Bahasa
Berbicara adalah suatu gejala yang sudah dikenal dengan dan jelas sehingga secara relatif mudah dipelajari
oleh setiap orang baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Kita tetap sedang berbicara dengan seseorang
ataupun mendengarkan seseorang sedang berbicara. Bahkan apabila kita sedang mendengarkan apa-apa, kita tak henti-
hentinya berbicara dalam diri kita sendiri. Perkuliahan yangan ejekan-ejekan yang kita ucapkan dalam hati kita sendiri
yang terjadi pada waktu kita sedang membaca dengan berdialog intensif dan tanpa suara dengan sang penulis .
Bila kita sedang sendirian kita tidak hentinya berbicara di dalam hati. Meskipun dalam lamunan itu kita tidak
bicara dengan orang lain, setidaknya kita berbicara dengan diri sendiri untuk menyalahkan, membenarkan, memuji atau
menentramkan diri. Demikian pembicaraan menyertai segala aktivitas kita, mengemukan atau menafsirkan setiap gerak
kita, memenuhi saat istirahat kita dan bergema sampai ke dalam liku-liku bawah sadar kita.
Karena berbicara mengisi eksistensi manusia dan memberi ciri khas kepadanya, daya bicara itu selalu menjadi
objek observasi serta refleksi bagi filosuf. Manusia telah diciptakan menurut Tuhan agar menguasai bumi, manusia bisa
berbicara dengan lidahnya serta isyarat dengan tangannya, maka ia melebihi binatang-binatang. Kemampuan berbicara
pada manusia merupakan lambang atau alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk mengukur segala benda dan
mengisyaratkan segala realitas.
Pada zaman ini penuturan serta bahasa, seperti halnya mitos dan simbol telah menjadi pokok-pokok
pengamatan yang sangat disukai dalam berbagai penyelidikan dan pembahasan, bukan saja di kalangan para filosuf
tetapi juga dikalangan para psikolog dan antropolog. Para filosuf komtemporer, seperti M. Merleau Ponty dan Paul
Ricoveur (Leahy: 208:40-42) menjelaskan bahwa bahasa tidak hanya mengemukan pikiran, tetapi juga membentuknya,
mempelajari bermacam-macam lambang yang dapat dipakai untuk mengutarakan pengalaman.
Manusia hidup dalam suatu alam semesta simbolik. Bahasa, mitos, seni dan agama merupakan bagian-bagian
dari semesta itu. Perilaku manusia memang telah didefinisikan sebagai ”perilaku simbolik”, menggunakan simbol-simbol
manusia memberikan arti kepada hidupnya, serta secara kultural mendefinisikan pengalaman-pengalamannya yang diatur
dengan kelompok tempat dia dilahirkan dan tempat dia menjadi anggota aktif melalui proses penerimaan pengatahuan.
Berkat bahasalah manusia menghadiri dunia dan dunia menghadiri pikiran. Bahasa mewahyukan ”ada” dari dunia. ”ada”
dari manusia dan ”ada dari pikiran (2008:41).
Sigmund Freud telah membuktikan bahwa manusia tidak hanya mengemukan dirinya secara sadar dan sengaja
dengan mempergunkan bermacam-macam sistem tanda, melainkanbahwa ia juga mengemukan diri tampa
23
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
sepengatahuannya, secara tidak sadar dan tanpa sekehendaknya. Manusia membeberkan aktifitasnya yang dalam,
menjelmakan kecenderungan-kecenderungannya yang berkaitan dengan agresifitasnya. Menurut filosuf Andre Marc
bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan filsafat manusia dari suatu reflek berbicara adalah memberikan corak
khas terhadap ”ada”nya manusia, keadaan itu untuk mengerti manusia dalam ”kesatuan” dimanisnya dan sekaligus dalam
kompleksitasnya sebagai satu kesatuan yang hidup yang terbawa kearah dunia dan berhubungan dengan sesamanya.
Ada tiga macam keuntungan kalau kita memulai filsafat manusia dengan studi tentang perbuatan berbicara
yang dianggap sebagai tipe yang paling tepat dari perbuatan mengisyaratkan pada umumnya, yaitu:
1) berbicara adalah suatu gejala yang terang.
2) Berbicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan disukai oleh pemikiran kontemporer,
3) Berbicara mengambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara keseluruhan.
Berbicara dan Mengisyaratkan
Percakapan adalah perbuatan yang menimbulkan kata-kata yang saling berangkai untuk menghasilkan suatu signifikansi
global. Sebuah bahasa adalah kumpulan kata-kata yang merupakan suatu sistem khusus dari pengungkapan, seperti
misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Bahasa juga berarti bagaimana sesorang menggunakan bahasa itu atau suatu
kelompok tanda atau ungkapan yang dimiliki oleh seseorang pribadi atau sebuah kelompok khusus. Berdasarkan itu
terdapat ragam bahasa, misalnya bahasa kanak-kakak, para pelajar, para cendikiawan, para pekerja, para pengrajin dan
sebagainya.
Bahasa adalah keseluruhan hukum-hukum umum yang merupakan unsur-unsur pembentuk dari setiap bahasa.
Perbuatan berbicara serta mengisyaratkan telah dianggap sebagai pernyataan keunggulan manusia terhadap binatang.
Perbedaan tersebut adalah:
1). Bahasa binatang adalah diberikan bersamaan dengan kelahirannya yang bukan hasil belajar yang berkembang
sejalan dengan perkembangan organismenya, sedangkan anak manusia memerlukan seseorang yang yang mengajarkan
untuk berbicara, seorang anak manusia yang sejak lahirnya sama sekali tidak berhubungan dengan orang lain,
seandainya ia mampu bertahan, tidak akan pernah dapat berbicara dan juga tidak akan dapat benar-benr sebagai
makhluk manusia. Manusia percakapan bukanlah hasil perkembangan fisiknya saja, juga anak manusia harus
mempelajarinya dengan orang lain pada waktunya dan juga pelajaran tersebut merupakan suatu faktor yang mutlak
dibutuhkan bagi perkembangan yang sungguh manusiawi.
Tiap anak normal berhasil menjadikan sebuah bahasa menjadi miliknya melalui banyak usaha aktif yang
menyenangkan maupun yang mungkin juga berat. Prestasi intelektual yang mengiringinya sangat besar. Usaha tersebut
tentu saja mempunyai pengaruh balik yang kuat terhadap kepribadian si anak, terhadap hubungannya dengan orang lain
dan terhadap hubungannya dengan lingkungan matarialnya.
Peristiwa mulainya seekor anak binatang berteriak atau seekor anak burung berkicau tidak diikuti oleh suatu
perubahan spektakuler. Sebaliknya pelajaran pertama anak manusia merupakan titik keingintahuan dan kreativitas yang
timbul secara tiba-tiba tampak secara luar biasa. Semua orang normal dapat berbicara dan kemampuan bicara itu sangat
penting bagi manusia, sehingga seorang gadis kecil yang bisu, tuli dan buta, seperti Helen Keller dengan semangat dan
cepat mendapatkan pengganti kemampuan bicara dan menguasai bahasa dan kesusasteraan Inggris.
Pada suatu ketika, binatang lebih cepat dan pandai dari anak manusia kerana naluri-naluri dan pancaindra
binatang jauh lebih peka daripada yang ada pada anak manusia, tetapi suatu saat dimana anak manusia ini melewati
binatang secara definitif, karena kilat pikiran dalam kepala anak yangmenggangtikan usaha indrawi dan mereka meraba-
raba saja dengan mencari sebab-sebab. Ketika ia bisa mencari dan menemukan suatu penjelasan dengan menggunakan
bahasa atau suatu macam isyarat formal.
2). Bahasa hewan tidak berkembang sama sekali, maka bahasa manusiawi maju terus tanpa batas. Sejak turun –
menurun anjik selalu menyalak dengan cara hampir sama, tetapi anak manusia mulai dengan bahasa ibunya dapat
belajar dengan bahasa-bahasa lain mengasimilasi, mengekpresi dan menciptakan yang baru. Oleh sebab itu bahasa dan
tulisan berkembang secara terus menerus.
Teriakan dari jenis binatang tidak dapat dialih bahasakan ke dalam teriakan jenis binatang lain. Sebaliknya, sebuah
bahasa manusiawi dapat diterjemahkan ke dalam semua bahasa lain, dengan cara-cara manusia untuk mengekspresikan
dirinya sampai batas tertentu.
24
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Manusia cenderung menyimpan ucapan-ucapan yang dikemukakannya, tulisan-tulisan yang disusunya dan karya-karya
seni yang diciptakan untuk mencurahkan perasaannya supaya semua itu dapat dimanfaatkannya secara terus-menerus,
sedangkan binatang tidak mempedulikan hal itu. Penyimpanan itulah manusia dapat menhasilkan kebudayaan.
Teriakkan binatang adalah pengungkapan dari suatu keperluan dan perasaannya , sedangkan manusia dapat menahan
diri untuk tidak berterik secara spontan. Diantara afektif pada manusia dan ucapannya yang dikeluarkan terdapat
kemungkinan untuk berpikir sejenak dan membuat pertimbangan yang objektif. Jika ia seorang normal, maka ia tidak akan
bicara tanpa berpikir. Namun bagaimanapun manusia dengan binatang mempunyai hubungan persamaan dengan
binatang dalam banyak hal seperti apabila manusia melakukan aktifitas seperti mesin atau instingtif, sikapnya kadang-
kadang mirip binatang. Keunggulan manusia yang mutlak ia mampu menghentikan diri, menguasai diri, berpikir,
mempertimbangan situasi dan menilainya.
Kemampuan berpikir merupakan prinsip kebebasan serta pertanggung jawaban. Keunggulan manusia itu
bersifat esensial dan definitif dalam arti bahwa pada manusia terdapat kesanggupan-kesanggupan yang sama sekali tidak
ditemukan pada binatang. Manusia dapat menaruh perhatian terhadap segala hal dan dapat maju secara terus menerus
tanpa batas karena ia mampu berpikir dan bebas dan secara lebih asasi lagi, karena ia mampu mengabstraksikan dan
mengobjektifkan, semua itu mengandalkan adanya bahasa.
Berbicara Kodrat Manusia
Perbuatan berbicara dan mengisyaratkan itu dilakukan secara sadar dan bebas. Ucapan itu secara psikoanalis
menemukan pantulan tak sadar dari efektifitas yang dalam, lebih lanjut lagi ucapan itu dipikirkan yang disengaja.
Perbuatan berbicara ditemukan bahwa dalam diri orang berbicara terdapat sejumlah karakter sebagai kodrat manusia.
Makhluk yang berbucara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial di bawah banyak
perbuatan yang dilakukannya. Sambil memperhatikan keterbukaannya terhadap dunia serta kehadirannya pada orang-
orang lain, ia menunjukkan bahwa ia memiliki interioritas dan memiliki kemampuan menerima memiliki kreativitas, maka ia
menunjukkan bahwa ia sesuatu yang hidup. Ia mampu mengenal dan memiliki kreatifitas. Ia terdiri dari badan dan jiwa.
Dengan objektifitas, pemikiran dan kebenasan yang menampilkan diri sebagai suatu pribadi (2001: 53).
Si pribadi yang berbicara, selama ia berbicara berlangsung, terbuka terhadap dunia dan hadir pada orang-orang
lain, terlebih dahulu ia memiliki interioritas. Berbicara menunjukan orang hadir dalam dunia dan tampil ditengah orang
yang mendiaminya. Apa yang dikemukannya tentang dunia terlebih dahulu dipikirkannya dan terkandung dalam dirinya
sendiri. Pikiran merupakan dasar dari prinsip ucapan, orng selalu meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau
ditulisnya untuk menjelaskan dan membetulkannya. Hal itu dapat dilakukan melalui cahaya suatu pikiran. Legitimasi dari
metode linguistik tidak bisa disangkal yang harus dipelajari secara realitas yang selalu sudah tersusun.
Salah satu aspek istimewa manusia adalah kemampuannya untuk memandng sesuatu secara objektif, supaya
dapat menilai hal-hal dalam dan untuk dirinya sendiri, agar kita selalu menjumpai kembali kebenaran , supaya terbuka
kepada dunia dan hadir pada orang-orang lain, orang yang berbicara haruslah hadir pada dirinya sendiri. Lalu orang yang
berbicara memperlihatkan adanya kemampuan untuk menerima dan untuk bersifat kreatif yang menunjukkan bahwa ia
adalah sesuatu yang hidup. Belajar suatu bahasa berarti menempatkan diri di bawah pengaruh dari mereka yang
mengajarkan kepada kita, berarti menyatukan diri pada suatu tradisi kebidayaan, menerima suatu cara tertentu untuk
mengamati dunia dan merasakannya.
Menggunakan suatu bahasa berarti tundung kepada sejumlah besar hukum fonetik dan aturan sintaksis, juga
meneyrahkan pikiran dan organismenya sendiri kepada suatu cara tertentu untuk berkomunikasi serta bertingkah laku.
Belajar bahasa juga berarti memiliki sebuah alat yang dapat kita manfaatkan tanpa henti-hentinya. Berbicara dalam suatu
bahasa berarti menciptakan hubungan-hubungan yang banyak sekali, membuat sejumlah besar kontak, tukar menukar
gagasan serta informasi tanpa hentinya. Berbicara dlam suatu bahasa berarti juga menempatkan diri ke dalam suatu
dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpartisipasi dengan eksistensinya, memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan
dan menikmati kekayaannya, berarti bersikap sebagai sesuatu yang hidup.
Subjek yang berbicara serta mengisyaratkan dengan memperlihatkan objektifitas, menunjukkan ia mampu
berpikir dan berkebebasan, mengemukakan hal-hal dengan cara objektif. Sesungguhnya berbicara dan mengisyaratkan
merupakan penggunaan-pengguanaan dinamisme-dinamisme yang terpenting dari kodrat manusia.
25
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Kehidupan: Kegiatan Ciri Khas Makhluk Hidup
Karakter umum makhluk hidup adalah merealisir gagasan hidup menurut caranya masing-masing yang khusus.
Kita harus menentukan kegiatan bersifak khas bagi makhluk hidup sehingga tidak bisa direduksi kepada kepamampuan
masin. Kegiatan utama dari ciri khas makhluk hidup adalah asimilasi yaitu mengubah dan mengembangkan sendiri.
Makhluk hidup juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya, tidak demikian halnya mesin.
Makhluk hidup mempunyai kemampuan luar biasa memproduksikan dan melipatgandakan dirinya sebagai
penerus spesiesnya. Makhluk hidup juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan keadaan-
keadaan yang menkondisikan eksistensinya (2001:63). Sesungguhnya manusialah yang mampu menentukan tujuannya
sendiri, sedangkan mesin tidak bisa, akan tetapi makhluk hidup menjadikan tujuan-tujuan bagi dirinya sendiri. Orang yang
ahli kibernetik membatasi dirinya dalam bidang teknik, dia tidak menyentuk moral dan tidak pernah menentukan tujuan-
tujuan. Perbedaan radikal antara mesin dan makhluk hidup (manusia dengan mesin), kegiatan-kegiatan yang termasuk
bidang mekanik dan instrumental, seperti dalam hubungan dengan perhitungan dan penalaran yang dapat dikerjakan oleh
sebuah mesin jauh lebih baik dari manusia, itulah yang dibuktikan oleh ahli kibernetika. Akan tetapi kegiatan lain yang
hanya dapat dilaksanakan oleh makhluk hidup, ialah : asimilasi, penyembuhan diri, reproduksi diri, adaptasi dan
readaptasi terus menerus dan menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini manusia menentukan sendiri cita-cita dan
tujuannya.
Menurut Soehakso bahwa walaupun suatu komputer dapat menyelesaikan secara cepat sekali hitungan-
hitungan yang memakan waktu lama jikalau dikerjakan oleh ratusan orang, namun ada suatu persoalan yang dapat
dipecahkan manusia tetapi tidak dapat oleh komputer. Komputer statis, terkonstruksi berbeda dengan pikiran manusia
yang dinamis.
Kodrat Makhluk Hidup
Makhluk hidup secara esensial adalah yang mampu menyempurnakan dirinya sendiri. Makhluk hidup dapat
melakukan kegiatan transitif yaitu kegiatan yang memproduksi suatu efek diluar dari perilakunya, seperti melukis kain
kanvas, dan kegiatan imanen yaitu kegiatan yang efeknya tetap di dalam makhluk itu, seperti mengerti sesuatu,
mengambil suatu keputusan, asimilasi, pembiakan dan reproduksi. Makhluk hidup hadir pada dirinya sendiri, kegiatannya
menyempurnakan diri.
Semua makhluk hidup ada dua aspek/unsur yang esensial, yaitu:
1). Keseluruhan yang berorgan dan tersusun yang dinamakan badan.
2). Kesatuan substansial yang disebut jiwa.
Badan dan jiwa bersama-sama suatu makhluk hidup, merupakan substansi natural yang terbentuk dari badan dan jiwa
dari keseluruhan organ dan kesatuan fundamental dari kesatuan indrawi dan subjektivitas metaindrawi. Menurut
Tresmontan menyebutkan bahwa manusia suatu sutruktur yang subsisten, dari segi biologis manusia sama dengan
makhluk hidup, manusia adalan unsur yang bentuk yang tetap pada unsur-unsur materialnya mengalami pembaruan.
Manusia adalah makhluk yang kompleks sebagar puncak evolusi.
Jiwa Makhluk Hidup
Jiwa atau prinsip vital adalah suatu elemen yang indrawi, halus, panas dan dinamis seperti nafas atau darah
yang terdapat dalam oragisme secara total dan definitif. Dalam pandangan tulisan kuno nafas dianggap sebagai lawan
jiwa atau roh dan darah menjadi lambang hidup sendiri. Nafas dan darah dapat melambangkan jiwa, tetapi tidak dapat
merupakannya. Pemikir - pemikir Yunani melihat jiwa bukan suatu elemen dari organisme, tetapi keseimbangan harmonis
dari organisme itu dimana seluruh kegiatan bersinergis yang mampu dilaksanakan oleh makhluk hidup saja. Jiwa
merupakan unsur pokok yang pertama dan merupakan dinamisme primordial makhluk hidup. Jiwa lebih unggul dari
badan, prinsip kesadaran, interioritas, pemikiran dan kebebasan.
Plato mengajarkan tentang jiwa dan badan suatu ajaran yang disebut dualisme. Jiwa merupakan “aku”
sedangkan badan adalah sesuatu yang asing bagi “aku” benar saya. Pandangan Plato ditolak oleh Arsitoteles, ia setuju
dengan Plato bahwa jiwa manusia termasuk jenis realitas yang lain dengan badan, setiap makhluk hidup merupakan satu
substansi saja, jiwa bukanlah suatu substansi. Jadi Aristoteles adalah monis, bukan dualistis. Jiwa bukanlah suatu
substansi, ia tidak bereksistensi terpisah dari badan, ia bukan makhluk hidup yang lengkap. Jiwa hanya prinsip konstitutif
26
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
esensial makhluk hidup. Ialah yang “mengstrukturkan-nya’ menjadi sesuatu yang hidup, dinamisme yang primordial,
“aktus”-nya yangpertama, bentuk substansialnya. Adapun badan pemerima dinamisme primordial itu yang dengannya ia
distrukturkan dan dihidupkan, yang berkatnya ia menjadi suatu keseluruhan organisasi ssecara tetap, yang memapu
melakukan kegiatan-kegiatan hidup. Badan disebut subjek bagi jiwa. Menurut Aristoteles badan dan jiwa merupakan dua
unsur metaindera dan metafisik. Apa yang menjadi indrawi dan fisik adalah makhluk hidup sendiri (2001:73).
Pokok pikiran Aristoteles adalah penekanan akan kesatuan makhluk hidup dan penjelasaannya bagaimana
kelirunya kalau dibicarakan mengenai jiwa dan badan seperti dua ”ada’. Jiwa dan badan adalah dua unsure esensial yang
saling melengkapi dalam suatu substansi yang sama.
Filosuf abad pertengahan, seperti Thomas Aquinas berpendapat bahwa jiwa hanyalah satu fenomena organic
(aktifitas otak saja), atau jiwa adalah suatu substansi spiritual yang dapat bereksistensi tanpa ikatan material karena
sudah lengkap, atau jiwa adalah suatu prinsip konstitutif yang bersifat metafisik, tetapi berhubungan secara esensial
dengan badan. Banyaknya konsepsi tentang jiwa kurang lebih mirip dengan satu dari ketiga paham tersebut.
Filosuf kontenporer biasanya mereka kurang suka membicarakan hal badan dan jiwa, mereka lebih suka
membicarakan kesatuan tingkah laku manusiawi dan menyatakan bahwa manusia yang pertama-tama adalah suatu
badan, tetapi suatu badan yang hidup, bersifat perseptif, afektif yang berdasarkan dan yang mempunyai interiritas atau
suatu badan yang dipersonalisasikan.
Realitas Jiwa
Badan hidup tidak bias bersifat objektif semata-mata, tapi bias direduksi pada apa yang bias diobservasikan. Ia
harus bersifat subjektif, mempunyai interioritas dan semacam subjektivitas. Ia tidak bias bersifat organic semata-mata,
seperti yang instrumental saja, tapi ia harus mempunyai juga sesuatu yang menyerupai “aku” yang mempergunakan apa
yang organik dan instrumental. Menurut Dr. Jean Lhermite mengatakan bahwa meskipun otak bisa dibandingkan
dengansebuah mesin yang terdiri dari semua alat elektronik yang paling sempurna dan dari saklear-sakelar yang paling
teratur, namun masih perlu ditambahkan suatu ”operator”. Menurut H. Bergson menyatakan isi kesadaran manusiawi jauh
lebih kaya dari otak yang berhubungan dengannya (2001:77). Otak tidak lebih daripada alat aktualisasi dan seleksi
kehidupan mental, ingat dan pikiran termasuk tingkat lain.
Jiwa tak bisa dilihat atau diverifikasi dengan pancaindra, jiwa bersolider secara esensial dengan badan, maka
reinkarnasi perindahan jiwa (metempsikose) adalah mustahil (absurd). Setiap jiwa seimbang dengan satu badan saja.
Namun para penyanggah roh (jiwa) mengatakan bahwa jiwa hanya satu gejala organik. Ahli biologi dan psikologi
menjelaskan pembentukan dan tingkah laku makhluk hidup bukan hanya tanpa malihat di dalamnya apa yang disebut jiwa
itu. Biologi membicarakan makhluk hidup tanpa memperhitungkan apa yang disebut jiwa.
Karakter Spesifik Badan Manusia
Badan tidak itu tidak berapa di luar intimitas kita dan juga tidak sama secara total dengan keakuan kita yang
paling dalam, bahwa ia tidak merupakan suatu objek saja maupun suatu subjektivitas semata-mata. Badan didefinisikan
melalui hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Seperti semua badan, juga tidak
berjiwa, badan manusia menduduki sebuah tempat di dunia, mempunyai bentuk material yang tertentu, dapat diukur dan
dihitung dan terikat pada perubahan waktu. Semua badan yang hidup, tumbuh-tumbuhan dan hewani, ia memiliki suatu
kumpulan organ yang memungkinkannya untuk memperbarui dan mereproduksi diri. Semua badan dilengkapi pancaindra
yang membuat sadar akan sekelilingnya dan beraksi secara afektif, sehingga merasakan kenikmatan dan penderitaan.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apa arti isyarat, lambang dan struktur internnya?
2. Apakah perbedaan fundamental bahasa binatang dengan manusia?
3. Jelaskanlah bagaimana asimilasi, memulihan dan repruduksi merupakan kegiatan-kegiatan yang khas makhluk
hidup ?
4. Jelaskanlah perbedaan yang paling penting, sehubungan dengan reaksi, antara makhluk hidup dengan mesin?
5. Makhluk hidup bukanlah suatu yang sederhana. Jelaskanlah!
27
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
6. Apa arti dualisme Plato dan bagaimana tantangan Aristoteles?
7. Bagaimana tanggapan filosuf abad pertengahan dan kontemporer tentang badan dan jiwa?
8. Bagaimana badan manusia didefinisikan?
Daftar Pustaka:
Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
Leahy, louis. 2001. Siapakah Manusia. Yokyakarta. Kanisius.
28
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 7PENGETAHUAN DAN PENGERTIAN
DALAM MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis pengetahuan dan pengertian dalam manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis pengetahuan dan
pengertian manusia, yang meliputi sebagai berikut:
Kompleksitas pengetahuan manusia
Pengertian pengetahuan manusia
Apa yang diandaikan oleh pengetahuan
Apa yang bukan intelegensi manusia
Apa yang bukan seluruh intelegensi manusia
Sifat-sifat dan objek intelegensi manusia
Kegiatan-kegiatan intelegensi manusia
Kodrat intelegensi manusia
Materi Pembahasan
Kompleksitas Pengetahuan Manusia
Pengetahuan merupakan nilai bagi makhluk yang mempunyainya baik bagi manusia, malaikat ataupun
binatang, pengetahuan adalah suatu kekayaan dan kesempurnaan. Bagi manusia seseorang yang tahu lebih banyak
adalah lebih baik kalau dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa, dengan pengetahuan menjadikan dia berprestasi
secara lebih baik dan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Ada suatu korelasi antara pengetahuan dan “ada”,
antara tingkat pengetahuan suatu “pengada” dan tingkat kepenuhan yang dapat diberikannya kepada sksistensinya
(Leahy.2001:95).
Berkat pengetahuanlah semua yang terdapat di dalam dan di luar kita dapat menjadi nyata. Pengetahuan kita
adalah sekaligus inderawi dan intelektif. Ia dikatakan inderawi lahir atau luar kalau ia mencapai secara langsung, melalui
penglihatan, teliga, penciuman, perasaan dan perabaan, kenyataan yang mengelilingi kita. Ia dinamakan indrawi batin
ketika ia memperlihatkan pada kita, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah
ada maupun yang terdapat di luar jangkauan kita.
Pengetahuan adalah perseptif ketika sampib muncul secara spontan, ia memungkinkan kita untuk
menyesuaikan diri kita secara langsung dengan situasi yang disajikan dan ia menyatakan dirinya lebih melalui gerakan
tangan, tingkah laku, gerakan-gerakan, sikap-sikap, tindakan dan jerit teriakan daripada dengan perkataan yang dipikirkan
dan keterangan yang jelas.
Pengetahuan adalah reflektif ketika ia membuat objektif kodrat dari manusia realitas apa pun juga, dan
mengungkapkannya baik dalam bentuk ide, konsep, definisi dan putusan maupun bentuk lambing, mitos atau karya seni.
Pengetahuan adalah diskursif ketika ia memperhatikan suatu objek dari benda, kemudian suatu aspek yang
lain, ketika ia pergi dan dating dari keseluruhan ke bagian-bagian dan dari bagian-bagian ke seluruhan, dari akibat ke
sebab dan dari seba ke akibat, dari prinsip ke konsekwensi dan dari konsekwensi ke prinsip dan sebagainya.
Pengetahuan adalah induitif ketika ia menangkap atau memahami secara langsung benda atau situasi dalam salah satu
aspeknya, keseluruhan dalam suatu bagian, sebab dalam akibat, konsekwensi dan prinsip dan sebagainya. Berintiusi
biasanya berarti melompat dari suatu unsure atau tanda langsung ke kesimpulan. Langkah-langkah yang harus dilewati
berkat refleksi, deduksi dan analisis, antara titik tolak suatu maslah dan pemecahannya, dilompati. Misalnya, ahli
matematika sering melihat dengan segera dan langsung kosekwensi terakhir yang bias ditarik dari suatu postulat, tanpa
perlu menjelajahi tahap-tahap antara titik tolak dan kesimpulan.
Pegetahuan adalah induktif ketika ia menarik yang universal dari yang individual. Ia adalah deduktif ketika,
sebaliknya, ia manarik yang individual dari yang umum atau universal. Pengetahuan adalah kontemplatif ketika ia
29
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
mempertimbangkan hal-hal dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Pengetahuan adalah spekulatif ketika ia
mempertibangkan hal-hal dalam ide-ide atau konsep-konsep tentang hal-hal itu. Pengetahuan adalah praktis kalau ia
mempertimbangkan hal-hal menurut bagaimana mereka bias digunakan.
Pengetahuan juga bersifat sinergis apabila ia menggunakan seluruh keadaan dari subjek (yang sedang
mengetahui), keseluruhan yang dikoordinasikan dari anggota-anggotanya, organ-organya, kemampuan-kemampuannya
yang indrawi Karena kompleksitas pengetahaun maka tidak baik kalau pengetahuan manusia direduksikan kepada salah
satu caranya atau menekankan kepada salah satu caranya.
Suatu deskripsi pengetahuan dari semua macam pengetahuan. Pengetahuan bagi subjek secara hakiki berupa
bereksistensinya subjek dalam hubungan dengan sebuah objek, sehingga objek itu dengan eksistensi dan kodratnya,
menjadi hadir dan nyata pada subjek. Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu realitas itu. Akibatnya
pengetahuan lebih merupakan hubungan dengan suatu subjek suatu objek yang berbeda darinya, dari keakuannya,
sedangkan kesadaran lebih bersrti hubungan subjek yang mengetahuan dengan dirinya atau kehadiran subjek pada
dirinya.
Arti Pengetahuan
Arti pengetahuan adalah suatu kegiatan yang mempengaruhi subjek (yang mengetahui) dalam dirinya.
Pengetahuan adalah suatu ketentuan yang memperkaya eksistensi subjek. Pengetahua adalah suatu kesempurnaan
yang mengembangkan eksistensi. Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi secara
dinamis dengan eksistensi dan kondrat dari “ada” benda-benda. Pengetahuan dapat dikatakan pula relasional karena
lewatnyalah saya masuk ke dalam hubungan, saya ada dalam hubungan dengan sesuatu yang lain. Pengetahuan bias
dikatakan pula trans-subjektif dengan pengertian bahwa pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan orang keluar dari
keterbatasan-keterbatasannya dan mentransendensikan keakuan subjektivitasnya.
Andaikan Pengetahuan
1. dari Segi Subjek
Supaya makhluk hidup itu bias mempunyai kesempurnaan yang dinamakan pengetahuan, ia harus
dikarakterisasikan oelh keterbukaan, kemempuan menyambut dan interioritas.
a. Keterbukaan, si pengenal bisa menjadi sadar akan eksistensi dan kodrat realitas.
b. Kemampuan menyambut, objek yang dikenal mempengaruhi eksistensi subjek sendiri dan tinggal
dalam bentuk gambar, ingatan dan ide.
c. Interioritas, adanya tempat dalam si pengenal dalam dirinya, maka ia mempunyai interioritas, semakin
banyak interioritas semakin banyak ia bias mengetahui.
Akar asal semua karakter itu adalah dimensi supramaterial (immaterialitas) si pengenal. Karena satu pihak
materi adalah apa yang membatasi, dilain pihak sebaliknya, subjek yang mengetahui mengatasi, dalam
kegiatan pengetahuan, batas-batas jasmaniahnya. Makin “bukan materi saja” suatu subjek, makin besar jumlah
objek yang bias diketehuinya. Maka, Immaterialitas yang dinikmati suatu “pengada” merupakan akar dan ukuran
dari pengetahuan yang dikuasainya.
2. Dari Segi Objek
Apakah yang diandaikan oleh pengetahuan dari objek yang dikenal? Bagaimana suatu benda atau realitas
seharusnya dibentuk, untuk dikenal? Untuk menjadi objek yang dikenal, untuk menyatakan dirinya pada sri satu
pihak membuat kesan (atau mempengaruhi) subjek. Dan dipihak lain ditankap oleh subjek itu. Suatu realitas
bias mempengaruhi lainnya, hanya sejauh ia distruktur, ditentukan, sejauh ia mempunyai bentuk yang
memberikan kepada fisionomi khasnya dan menyebabkan adanya perbendaan dari yang bukan ia.
Apakah yang menyebabkan sesuatu menjadi diketahui, ialah bentuk atau esidosnya atau morphe (Yunani) ,
species (Ltn), yang berarti aspek dri satu benda dan apa yang dibentuk oleh benda itu dan apa yang
memberikan kepadanya dalam keadaan khas.
Bentuk daru suatu benda menunjukkan kepada kita orientasi, tujuan dan arti benda itu. Bentuk suatu benda
adalah bukan hanya apa yang memberi kodrat, tetapi juga memberikan kegiatan dan tujuan tertentu
kepadanya. Dari bentunya benda menerima baik “ada” maupun donamisme dari tujuan khas. Akibatnya
30
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
mengerti bentuk dalam arti eidos (konsep, gagasan) suatu objek adalah juga menangkap orientasi dan
signifikasi, adalah mengerti mengapa dan untuk apa dia dibuat. Misalnya, menangkap eidos (konsep, gagasan)
pisau berarti mengerti sekaligus untuk apa pisau dibuat.
Filosuf kontemporer lebih suka mendefinisikan pengetahuan sebagai tangkapan arti atau signifikansi suatu
keadaan, daripada tangkapan bentuknya, akan tetapi dua segi itu, tidak saling bertentangan, melainkan saling
melengakapi , tujuan, arti atau signifikansi suatu benda tergantungm akhirnya pada bentuknya.
Karakter progresif pengetahuan tidak harus dilupakan. Dalam kenyataan, benda-benda dan terutama orang-
orang, bias saya mengerti dengan dalam, hanya sedikit demi sedikit saja. Mengani orang-orang, pengalam
sehari-hasri membuktikan bahwa mereka tidak bias kita mengerti, kalau mereka tidak kita dekati dengan hormat
dan simpati.
Melalui pengetahuanlah manusia bias berada secara lebih tinggi dan sekaligus mengatasi batas-batas badan
itu yang diperlukan supaya pengetahuan bias terjadi. Watak kodrati pengetahuan manusia yang paling tinggi,
yaitu pengetahuan intelektif, maka perlu dilengkapi dengan “manusia mengerti”.
Pengertian
Pengertian membicarakan apa yang bukan intelegensi manusia dan apa yang bukan intelegensi manusia, sifat-
sifat dan objek intelegensi manusia, kegiatan-kegiatan intelegensi manusia dan kodrat intelegensi manusia.
Bukan Intelegensi Manusia
Pengetahuan manusia adalah sekaligus indrawi dan intelektif. Akulah yang berintelegensi dengan melihat dan
yang melihat dengan intelegensi. Pengetahuan lewat akal budi, dilawankan dengan pengetahuan lewat
pancaindera (C.A. van Peursen), melalui memandang dan memegang dengan tanganlah ia mengerti.
Pengetahuan inderawi dan pengetahuan intelektif bersifat sinergis, berkat inderawi pengetahuan manusia
menyerupai pengetahuan hewan dan berkat keduanya (inderawi dan intelektif) ia melebihi secara esensial.
Jikalau pancaindera sama sekali tidak berfungsi, maka juga intelegensi tidak dapat berfungsi dan tinggal
lumpuh(Leahy. 2001: 114)
Manusia itu mampu mengenal segala hal bagi dan dalam dirinya dan bukan dalam hubungan dengan
kebutuhan-kebutuhannya yang pribadi dan langsung. Ia berhasil menerangkan hal-hal itu dengan berbagai
macam cara dan cara tak terbatas, mengikat tanda kepada tanda dan uraian kepada uraian lain. Objektivitas,
kreativitas, pengertian dan transedensi ini terhadap ruang dan waktu dapat dianggap kepada sekian banyak
manifestasi dan intelegensi manusia.
Intelegensi adalah salah satu gagasan yang begitu banyak dibicarakan orang. Namun pada waktu
membahas pengetahuan dan aktivitas, kita membedakan apa yang bukan intelegensi, kita coba menentukan
objeknya, maka kita menempuh cara dengan lebih memikirkan perilaku orang dewasa daripada mengusut asal-
usul intelegensi itu pada anak.
Apa yang merupakan pengetahuan intelektif, harus dibedakan dengan pengetauan inderawi, yaitu
dari pengetahuan yang dihasilkan oleh indera eksten kita saja. Kita melihat sesuatu objek tetapi tanpa
mengenal kodratnya bahkan tanpa memcoba mengerti. Sifak khas dari pancaindera adalah mencapai langsung
kualitas ini atau itu dari objek konkret yang sedang ditunjukkan kepadanya, sedangkan sifat dari intelegensi
menangkap kodrat objek dan tetap menyimpanya dalam dirinya sehingga dapat dipertimbangkan objek itu bagi
dirinya baik objeknya masih ada atau tidak ada.
Perbedaan radikal antara pengetahuan manusia inderawi hewan dengan pengetahua inderawi
manusia terletak dalam fakta structural, mengetahuan inderawi manusia lebih diilhami oleh intelegensi sebagai
tujuan. Misalnya saya mau mengerti justru karena saya berintelegensi. Persepsi inderawi manusia selalu sudah
dialami dan dimengerti dalam kesadaran, diterima dan diolah dalam pikiran (E. Coreth). Pikiran merupakan
bagian dari hakikat kita, melihat dan mendengar juga melibatkan pikiran (Laehy: 2001: 142).
Inderawi batin adalah ingatan dan imajinasi (daya membayangkan), keduanya merupakan
intelegensi, namun Pancaindera hanya mengambarkan segi-segi material dan konkret serta individualisasikan,
31
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
sedangkan itu mengankap, menyatakan, menyimpan, membangkitkan dan mempertimbangkan (konsep atau
ide) struktur esensial, susunan metafisik, eidos dari objek itu.
Perbedaan intelegensi dengan indera batin lainnya disebut sebagai estimasi dan kogitatif.
Menangkap sesuatu objek berguna atau merugikan, bila melihat objek itu dengan menangkat tanpa arti
fundamental itulah yang dilakukan oleh binatang dan anak kecil, sedangkan menangkap arti fundamentalnya
itulah karakteristik intelegensi manusia dewasa.
Binatang tidak mampu pelampaui tahapan generalisasi stimulus untuk mencapai pembentukan
konsep-konsep akstrak, serta menerapkan mereka pada situasi-situasi yang baru. Ia hanya mampu
menerapkan symbol-simbol itu pada situasi-situasi yang mirip dengan situasi semula. Insight yang dapat dilihat
seekor Kera sama sekali tergantung pada situasi di mana muncul masalah. Ilmu yang disebut psikologi
binatang berbicara tentang practical intelligence yang berkatnya hewan dapat memecahkan beberapa masalah
yang melampaui kemampuan naluruinya. Ia tak sampai pada tingkat intelegensi konseptual.
Apa yang Bukan Seluruh Intelegensi Manusia
Intelegensi tidak bisa diidentikasikan dengan insight, yang terdiri dari apersepsi atau aprehensi tentang apa
yang esensial dalam suatu realitas atau yang perlu dalam gejala. Insight bukanlah merupakan keseluruhan kegiatan
intelektual. Sbeleum apa yang ditangkap dalam suatu insight boleh ditegaskan secra sah, maka hal itu harus dibuktikan
dan diverifikasikan melalui jalan penalaran atau refleksi. Penalaran sendiri bukanlah keseluruhan intelegensi, bila bersifat
induktif maka dia mulai dari satu atau banyak fakta untuk sampai kepada satu esensi atau hokum. Bila bersifat deduktif,
maka ia mulai dari suatu prinsip untuk mencapai kesimpulan. Maka dalam segala hal, ia mulai dari suatu putusan
(judgment) untuk sampai pada suatu putusan (judgment) lain.
Intelegensi bukan direduksi dengan kecakapan mengukur dan menghitung, intelegensi dan lawan intuisi, dalam
arti suatu partisipasi dengan intim makhluk-makhluk, sesungguhnya intelegensi manusia meliputi integensi dan intuisi.
Intelegensi tidak dapat diidentifikasi secara mutlak dengan kemampuan untu memulihkan keseimbangannya melalui
readaptasi diri dengan kenyataan, sebagai warisan bagi semua makhluk hidup dan dimiliki secara maksimal.
Sifat dan Objek Intelegensi Manusia
Intelegensi manusia dewasa terletak pada objektivitasnya, orang dapat melihat hal-hak yang dalam padadirinya
sendiri. Menurut Decartes bahwa rohjustru memungkin untuk mencapai hakiakt sendiri dari realitas, sedangkan panca
indera hanya memberitahukan kepada kita yang apa yang berguna atau apa yang merugikan dari hal-hal tersebut.
Menurut Psikologi kontemporer yang tidak memtentangkan intelegensi dengan pancaindera, tetapi
membandingkan intelegensi orang dewasa dengan intelegensi anak, intelegensi orang dewasa dapat dikenal dengan
objeknya, sedangkan intelegensi anak bersifat egosentris. Sebelum berumur 7 tahun anak mengarahkan segala sesuatu
pada dirinya dan menafsirkan segala sesuatu dalam hubungannya dengan dirinya, ia menangkap realitas melalui prisma
hasrat-hasrat dan ketakutan-ketakutannya yang mendeformasikan.
Tapi, belum cukup intelegensi orang dewasa bercorak khas karena kemampuannya terhadap objektivitas.
Intelegensi dapat mengenal hal-hal sebagaimana mereka ada dalam diri mereka sendiri, karena ia mencapai mereka
secra mendalam dan buka secara superficial.
Intelligere berasal dari kata “intus” berarti dalam. Legere berarti membaca dan menangkap. Sehingga
intellegere berarti “membaca “ dimensi dalam segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Insight yaitu mengenal
sebagai cirri khas dari intelegensi. Menjadi inteligen sesungguhnya berarti menangkap apa yang fundamental pada jenis
yang ini atau macam “ada” yang itu (mesin, makhluk hidup, binatang, manusia), berarti menangkap apa yang esensial dari
suatu gejala (dari gerhana, daya sentrifugal, pasang surut), melihat apa yang hakiki dalam kegiatan ini atau itu (menahan,
mengurangi, mengalihkan dan membagi).
Intelek itu mencapai yang universal sedangkan pncaindera menyangkut hal-hal yang individual (Aristoteles).
Intelegensi orang dewasa secara terus menerus untuk menemukan secara mendalam bagaimana realitas tersebar dalam
alam semesta, bagaimana kejadiannya, bagaima pengaruh saling keterkaitan dari berbagai factor yang melahirkan suatu
peradaban dan bagaimana urutannya melahirkan suatu sejarah yang merupakan cirri khas roh manusia.
32
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Disamping bersifat objektif, mendalam, terstruktur, objek khas dari intelegensi manusia dewasa ini juga bersifat
tak terbatas. Ia memperhitungkan pelajaran masa lampau, kemungkinan masa depan. Semakin dalam refleksinya maka
semakin luaslah objeknya. Ia berpikir secara terus menerus semakin dalam semakin luas, maka manusia modern penuh
antusias untuk penemuan, pencitaan semakin cepat.
Semua kita mengetahui baha kita tidak pernah puas dengan pengetahuan kita, betapa pun tinggi dan banyaknya, tak ada
selesainya, meski besar sekali pengetahuan seseorang, namun munkin besar juga kehausannya untuk meneruskannya.
Objek dari intelegensi ialah “ada” yakni segala sesuatu ada, yang pernah ada dan mungkin akan ada baik berupaka
kenyataan maupun khalayan atau hanya dikonsepsi saja.
Intelegensi manusia benar-benar memahami segala-galanya, lebih lebih segalanya secara sempurna, artinya
tidak ad realitas apa pun yang secara principal tak dapat dicapainya dan bahwa tidak ada apa pun yang sedikitnya tak
dapat menjadi objek penyelidikannya. Jika “tendensi alamiah” intelegensi untuk “ada” untuk menghadapi segala sesuatu
yang mempunyai suatu hubungan dengan eksistensi, hendak diingkari, maka haruslah diandaikan suatu realitas yang
karena kodratnya secara mutlak berada diluar jangkauan intelegensi manusia. Sekaligus membuat suatu objek bagi
intelegensi yang membuat mengandaian itu dan menunjukkan bahwa yang yang katanya tak dapat dimasuki itu, tetap
dapat dimasuki oleh intelegensi, sedikitnya dari pihak itu.
“Ada” menarik perhatian intelegensi dengan mempertimbangkan bahwa setiap kegiatan intelegensi mencapai
objek-objek sejauh mereka menyangkut “ada”. Bila intelegensi ingin mengerti sesuatu, maka penyelidikannya akan
mengenai “ada” (eksistensi) atau bagaimana objek itu ber-ada (esensi). Apakah itu sesuatu yang ada? Bila intelegensi
mengerti, maka ia menangkap objeknya itu ada atau ia adalah begini atau begitu. Bila ia mendefinisikan, maka
menempatkan objek itu dalam suatu jenis dan spesies eksistensi tertentu. Bilamana ia menilai, maka ia menegaskan
bahwa objek itu adalah seperti apa yang digambarkan dan dikatakannya. Bilamana ia bernalar, maka ia menunjukkan
mengapa objeknya adalah sebagaimana adanya.
Segala penegasan, penilaian, kesimpulan dan penalaran kita didasarkan kepada beberapa prinsip:
1. prinsip identitas,
2. prinsip alasan yang mencukupi,
3. prinsip kausalitas efisien,
Prinsip-prinsip tersebut bersifat eviden dari dirinya sendiri karena mereka tidak bisa disangkal tanpa dipergunakan
sebagai alasan sangkalannya, mereka juga tidak bisa dibuktikan karena untuk membuktikan sesuatu harus digunakan
suatu prinsip lebih fundamental daripada apa yang mau dibuktikan. Prinsip-prinsip di atas merupakan ”dinamisme dari
’ada’ dalam kegiatan intelektual kita. Seluruh aktivitas intelegensi kita tergantung pada prinsip-prinsip itu. Intelegensi kita
menggunakan mereka lebih dari pada melihat mereka, dari aspek roh bisa dikatakan prinsip itu merupakan kehadiran
yang menerangi intelegensi.
Kegiatan Intelegensi Manusia
Kondisi apakah suatu intelegensi yang terjelma berkegiatan:
a) intelegensi merupakan salah satu kemampuan manusia dan beroperasi dengan partisipasi semua
kemampuan lain.
b) Apa yang dimengertinya selalu dipahami.
c) Tak bisa memahami sesuatu secara mendalam dengan seketika, melainkan secara progresif,
memerlukan waktu dan mengandaikan adanya intervensi yang konstan dari daya ingat.
d) Intelegensi melalui aktivitas dinamisme intelektual saja, perlu kehendak, keyakinan, keberanian dan
kesabaran.
e) Untuk dapat mengerti dibutuhkan bantuan dan kolaborasi, perlu informasi terhadap suatu objek,
bimbingan penelitian, berpikir dalam hubungan dengan orang-orang lain.
Persepsi yaitu semacam pengetahuan sepontan prasadardan pra-pribadi tentang dunia di maka kita berada.
Kegiatan kognitif yang disadari adalah munculnya pikiran dalam diri. Kegiatan yang terjadi di dalam dan di sekeliling
dinamakan aprehensi. Agar intelegensi bngkit sama sekali dan mulai benar berfungsi, maka diperlukan sesuatu menjadi
masalah bagi diri sendiri, memulai dengan suatu pertanyaan dalam diri untuk memaksa untuk memperhatikan dan
berpikir. Kebanyakan pertanyaan tak terjawab karena belum menemukan jawaban yang cocok, tetapi bila diadakan
33
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
penelitian yang menghasilkan suatu insight yaitu suatu penangkapan suatu intuisi mengenai jawaban yang dicari. Insight
berarti : ”aku telah menemukan, telah mengerti sakarang”. Dalam bahasa Archimedes ”Eureka!!”.
Insight adalah intelegensi yang berhasil menembus suatu data, menangkap eidosnya, bahwa intelegensi
mampu mengandaian atau mengabstraksikan untuk menerangkan data sehingga jelas ciri-ciri pokoknya. Mengetahui
segala hal sedalam mungkin, ia hendak memverifikasikan insight-nya (seperti memverifikasi suatu hitotesa). Dalam
verifikasi inilah intelegensi manusia tampak bersifat diskursif, bernalar dan berpikir. Diskursif ” dis-currere” berarti berlari
ke berbagai arah, Bernalar ”raisonner, to reason” berarti mengukur, menghitung, mengkalkulasikan. Berpikir ”penser”
berarti menimbang, menyelidiki, membandingkan, menilai. Gerakan intelegensi terjadi menurut dua arah induksi dan
deduksi. Penalaran mencapai tahan suatu putusan (seperti hakim membutusan perkara) ia bersifat autentik, maka
putusan merupakan kegiatan pokok intelegensi.
Putusan lebih direfleksikan daripada persepsi, aprehensi dan insight, sebab tiada putusan autentik kecuali telah
menyadari dasar pembenarannya. Salah satu tindakan refleksi yang paling menakjubkan dari intelegensi manusia adalah
tindakan menyadari bahwa ia memiliki norma-norma yang berkatnya ia mampu mengeluarkan putusan-putusan tentang
segala sesuatu. Bagi para psikolog beriteligensi berarti mampu untuk menggunakan jenis bahasa, bahasa konseptual
yang mengungkapkan nama-nama benda atau simbol matematik dan ilmiah. Bahasa itu akan digunakan setiap kali
orang mengungkapkan apa yang unit dan khas pada dirinya.
Penelitian tentang intelegensi manusia membahasa kita pada pokok pangkal masalah, yaitu bahasa dan
isyarat. Kata dan isyarat bagi kita tampak sebagai sarana komunikasi dan manifestasi diri terhadap orang lain, maka
sekarang kita melihatnya sebagai sarana untuk mengungkapkan terhadap diri kita sendiri dan sebagai apa yang dituntut
oleh status kita sebagai roh yang terjelmakan.
Kodrat Intelegensi Manusia
Menurut aliran sensualisme atau empirisme psikologi masukan informasi lewat indralah tempat bergantungnya
pengetahuan kita dan intelegensi kita. Sifat immaterial atau karakter transeden intelegensi terhadap inderawi buka hanya
muncul sebagai kesimpulan analisis filosofis, karena roh bukanlah sesuatu yang bersifat material. Berdasarkan penelitian
K.S Lashley, dkk. Tentang otak manusia menyatakan bahwa otak tak lebih dari alat aktualisasi dan seleksi kehidupan
mental: ingatan dan pikiran. Bahkan menurut Eccless menyatakan bahwa imajinasi kreatif terjadi tanpa tergantung pada
otak .
Intelegensi melewati batas-batas organis selalu diakui oleh filosuf besar. Keunggulan itu disebabkan karena
intelegensi merupakan suatu keterbukaan dan kemampuan menerima yang murni, ia bersifat tak berubah dan
mengandung norma-norma yang stabil. Roh membanjiri secara total otak yang digunakan sebagai alat menggoreskan
kegiatannya di dunia. Jiwa ada dalam badan tetapi badanlah yang dikandung jiwa (Platinos). Tingkat tertinggi
immaterialitas itu yang membedakan intelegensi secara esensial dari yang indrawi dinamakan spiritualistas, yang semula
berarti hembusan dan angin, kemudian pernafasan, akhirnya menunjukkan kecakapan yang merupakan ciri khas
intelegensi, untuk masuk dan menembus dimana-mana, untuk mencapai apa yang halus dan mendalam, untuk
menjelajahi dunia dan mengisi ruang angkasa dan bahkan membawa diri manusia sampai ke yang mutlak.
Intelegensi suatu kemampuan yang dapat diisolir suatu penentuan aksidental atau sekunder, ia meresapi,
mengkarakterisasikan dan mengspesialisasikan substansi. Jika setiap kemampuan untuk mengenal, mengandung pada
subjek yang mengenal, keterbukaan dan kedalaman, maka haruslah diakui bahwa berkat intelegensilah manusia
merupakan ”ada” yang terbuka dan tanpa batas. Intelegensilah yang mendasari martabat yaitu kemampuan mutlak, yang
mendasari otonomi dan kebebasannya. Manusia mampu untuk mengambil jarak terhadap sesuatu, menjatuhkan
pendapat, menilai, memilih dan mengambil sikap dengan mengenal sebabnya.
Intelegensi adalah prinsip kekekalan dalam diri kita, kematian bukanlah kehancuran total, karena adanya roh
yang tidak musnah bersama dengan daging. Jika kehidupan mental membanjiri kehidupa otak, jika otak itu hanya
mengungkapkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang terjadi dalam kesadaran, maka hidup sesudah mati menjadi suatu
yang mungkin sekali.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
34
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
1. Apakah perbedaan pengetahuan diskursif dengan intuitif?
2. kegiatan pengetahuan bisa disebut kualitas dari subjek. Jelaskanlah!
3. jelaskan hubungan pengetahuan dengan kesadaran?
4. jelaskan bahwa pengetahuan manusia adalah indrawi dan intelektif?
5. Apakah artinya insight?Jelaskanlah!
6. bagaimana perbandingan intelegensi orang dewasa dengan anak-anak?
7. bagaimana intelegensi menjangkau realitas?
8. jelaskanlah tentang refleksi?
Daftar Pustaka:
Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
Leahy, louis. 2001. Siapakah Manusia. Yokyakarta. Kanisius.
35
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 8
KEHENDAK BERKUASADAN MANUSIA UNGGUL
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis kehendak berkuasa dan manusia unggul.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis kehendak berkuasa
dan manusia unggul. yang meliputi sebagai berikut:
Hidup Nietzsche
Moralitas
Manusia unggul
Dekadensi
Evaluasi kritis
Materi Pembahasan
Hidup Nietzsche
Nietzsche adalah seorang pendeta terkemuka, teman sekolahnya memangggil dia sebagai "Pendeta Cilik".
Pada usia delapan belas tahun dia kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan menghabiskan sisa hidupnya untuk
mencari Tuhan Yang baru, ia menemukan Tuhan yang baru dalam manusia unggul (Ubermensch).
Tahun 1865, ia menemukan karya Schopenhauer "Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan". Makna yang
diambil dari karya Schopenhauer adalah keteduhan jiwa dari kebijaksanaan dan ketenangan hati dan roh yang seimbang
tidak pernah terpantul dalam sikap dan tindakannya. Pada usianya kedua puluh ia bergabung dengan angkatan
bersenjata dan memuja perilaku militer. Dia mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Hidup adalah
perjuangan untuk bereksistensi di mana organisme yang paling pantas untuk hiduplah seterusnya, maka kekuatan adalah
kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang mamalukan. Yang baik adalah yang mampu
melangsungkan kehidupan, yang berjaya dan menang. Yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk dan
kalah.
Hidup adalah medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar terus melangsungkan hidupnya. Dalam
pertarungan tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan, yang dibutuhkan bukanlah kerendahan hati melainkan
kebanggaan diri, bukan altrusmisme , melainkan kecerdasan yang amat tajam. Dalam hidup bukan hukum yang dibuat
manusia tapi yang dibuat oleh alam. Kesamaan dan demokrasi bertentangan dengan kenyataan seleksi alam dan
kelangsungan hidup, keadilan berlawanan dengan kekuasaan.
Nietzsche seorang rohaniawan, seluruh kehidupannya dihabiskan untuk mencari "perlengkapan" fisikal dan
intelektual agar idealisnya semakin kuat dan kokoh. Pada tahun 1885, ia menemukan karya Schopenhauer "dunia
sebagai kehendak dan gagasan" dan menemukan didalamnya "sebuah cermin yang memantulkan dunia, kehidupan dan
hakikat diri sendiri. Dia pernah terlibat dalam militer sehingga membawa dirinya disiplin yang tinggi serta mengagungkan
serdadu karena kesehatannya. Dari kehidupan militer yang keras beralih ke dalam kehidupan akademis sebagai ahli
bahasa (fisiolog). Nietzsche pernah terpengaruh dengan musik sehingga mengarang buku drama Yunani Kuno.
Nietzsche, merasakan sukar hidup bersama manusia karena keheningan merupakan sesuatu yang asing bagi
mereka, kemudian dia mengasingkan diri ke Italia dengan harapan menemukan manusia Unggul. Kalau Tuhan telah mati
sehingga tidak satupun yang tersisa, bagaimana manusia menanggung dirinya dan hidup sendiri? Nietzsche merasakan
menyatu dengan "semua orang yang, seperti diriku, menderita dari kebencian yang hebat,sehingga dari kebencian itu
Tuhan Yang lama mati, tapi Tuhan yang baru belum muncul..." yang kemudian dia mengumumkan Tuhan yang Baru,
yakni Manusia Unggul (superman) dengan segala tabiat yang harus ada padanya. Nietzsche tidak puas hanya dengan
menciptakanTuhan dalam imajinasinya, ia pun membuat dirinya kekal. Setelah Manusia unggul lahir, datanglah
Kebangkitan Yang Abadi. Segala-galanya akan kembali lagi, berulang-ulang tanpa batas. Nietzsche, dunia dan segala
36
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
isinya dan roh umat manusia yang melahirkan Zarathustra. Segenap unsur dalam kenyataan adalah terbatas, akan tetapi
waktu tidak terbatas, suatu hari kehidupan dan materi akan musnah dan kembali seperti sediakala, dalam pengulangan itu
sejarah pasti berulang lagi. Nietzsche meninggal pada tahun 1900, dan kita harus mengakui kejeniusannya. Sedikit sekali
manusia yang berani membayar mahal untuk kejeniusannya dan di antara yang sedikit itu, Nietzsche adalah salah
satunya.
Moralitas
Nietzsche menulis dua buku yang berisi menghancurkan moralitas lama, dan mempersiapkan jalan untuk
moralitas Manusia Unggul. Dia menilai tingkah laku manusia dengan dua titik pandang, yaitu: Herren moral dan heerden
moral, moral tuan dan moral budak. Moral tuan adalah standar yang diterima diantara orang-orang Romawi, kebajikan
adalah virtus kejantanan, keberanian dan kerja keras. Di Asia (Yahudi) standar lain yang mana penaklukan melahirkan
kerendahan hati yang merupakan upaya meminta pertolongan. Di bawah moralitas budak cinta pada bahaya, kekuasaan
membuka jalan untuk cinta pada keamanan dan kedamaian, keberanian diagantikan oleh kelicikan, balas dendan secara
terbuka diganti dengan balas dendam diam-diam.
Setiap manusia memiliki kebijaksanaan yang sama dan mempunyai hak yang sama. Di luar agama, muncul
demokrasi, utilitarianisme, sosialisme. Dibalik semua "moralitas" adalah kehendak rahasia untuk berkuasa. Cinta itu
sendiri hanyalah keinginan untuk memiliki pertempuran. Banyak orang membayangkan bahwa kalau jatuh cinta mereka
tidak memikirkan diri sendiri melainkan mementringkan orang lain, agar orang lain tersebut bahagia, meskipun seringkali
harus berlawanan dengan kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi, dalam melakukan itu, mereka sebenarnya memiliki
orang lain (cinta adalah segenap perasaan yang sangat egoistik dan konsekwensinya, kalau sedang berselisih, ia sangat
tidak bermurah hati). Cinta kepada kebenaranpun adalah keinginan untuk memiliki kebenaran, barangkali untuk menjadi
pemilik pertamanya untuk menemukan keasliannya. Kerendahan hati adalah cara untuk melindungi kehendak untuk
berkuasa.
Rasio dan moralitas tidak berdaya melawan nafsu untuk berkuasa. Rasio dan moralitas hanyalah senjata yang
digengam nafsu dan menjadi barang mainannya. Bagian terbear dari aktivitas intelektual kita berlangsung tanpa disadari
dan tidak dirasakan, manusia berusaha menyembunyikan keinginan di bawah lindungan rasio, argumen sederhana yang
selalu mereka kemukakan hanyalah "saya berkehendak demikian". Yang terbaik bagi manusia adalah kekuatan
kehendak, kekuasan dan daya tahan nafsu, manusia sama dengan sapi perah, tidak mampu berbuat menurut kehendak
hati.
Etika yang sejati bersifat biologis, kita harus menilai segala sesuatu berdasarkan pada maknanya untuk hidup,
kita membutuhkan suatu "lintas penilaian yang bersifat fisiologis terhadap semua nilai yang ada". Ujian nyata bagi setiap
manusia, kelompok atau spesies adalah energi, kemampuan, kekuasaan. Jiwa dipastikan merupakan fungsi dari
organisme.
Manusia Unggul
Manusia ungul tidak dilahirkan oleh alam, Proses biologis sering tidak adil terhadap individu-individu yang luar
biasa, alam sangat kejam terhadap produknya yang yang paling baik, alam lebih mencintai dan melindungi manusia yang
rata-rata, dalam alam terdapat penyimpangan yang terus menerus pada "jenis-jenis manusia”. Oleh sebab itu, manusia
unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia (human selection), melalui perbaikan kecerdasan
(eugenic foresight) dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan individu-individu.
Amatlah absurd kalau membiarkan individu-individu yang lebih tinggi derajatnya melakukan perkawinan karena
cinta–misalnya para pahlawan dengan gadis-gadis pelayan, para jenius dengan tukang jahit perempuan. Kalau orang
manusia sedang jatuh cinta, jangan biarkan dia membuat keputusan-keputusan yang bisa mempengaruhi seluruh
hidupnya. Tidak mungkin bagi manusia bercinta dan bijaksana sekaligus. Kita wajib menyatakan "tidak sah" pada janji-
janji yang diucapkan oleh seorang yang sedang kasmaran, kita harus memandang cinta sebagai rintangan berat untuk
perkawinan. Yang terbaik harus mengawini yang terbaik, cinta harus kita tinggalkan hanya untuk orang papa, untuk
golongan tertindas. Tujuan perkawinan bukanlah semata-mata reproduksi, tetapi juga harus ditujukan untuk
perkembangan. "Perkawinan : saya akan menamakannnya kehendak dari dua orang untuk menciptakan satu kesatuan
37
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
yang lebih daripada mereka yang menciptakannya. Saya namakan perkawinan sebagai penghormatan satu sama lain
setelah saling menghendaki.
Calon Manusia Unggul yang baru lahir membutuhkan peningkatan kecerdasan. Intelek melulu tidak membuat
manusia jadi mulia. Sebaliknya, selalu perlu suatu untuk memuliakan intelek."Lalu apa yang dibutuhkan? Darah ...."
setelah itu, diperlukan pendidikan yang keras, di mana kesempurnaan merupakan materi utamanya dan tubuh dilatih
untuk menderita dalam keheningan yang diam, sedangkan kehendak dilatih untuk memerintah dan mematuhi perintah".
Pendidikan untuk manusia-manusia unggul haruslah sedemikian keras, sehingga mereka mampu membuat tragedi
menjadi komedi. Ia yang berjalan menyusuri gunung-gunung tertinggi akan menertawakan semua tragedi.
Energi, intelek dan kehormatan atau kebanggan diri – ini semua membuat manusia unggul. Namun harus
selaras. Manusia dungu, lemah kurang memiliki kekuatan untuk bertahan hidup, hal yang terbaik adalah mendisiplinkan
diri, berbuat atas diri sendiri. Kita harus keras pada orang lain, terutama pada diri sendiri, kita mampu mempunyai tujuan
dalam menghendaki apa saja, kecuali berkhianat pada teman sendiri itulah tanda kemuliaan. Rumus akhir Manusia
Unggul.
Dekadensi
Jalan menuju manusia unggul melalui aristokrasi. Demokrasi harus dilenyapkan sebelum terlambat. Langkah
pertama adalah menghancurkan Kristianitas. Kemenangan Kristus adalah permulaan demokrasi, karena tujuannya adalah
menolak hak istimewa dan berjuang untuk persamaan hak. Setelah Eropa ditaklukan oleh Kristianitas, berakhir aristokrasi
kuno, lahirlah akar aristokrasi modern. Mereka tidak dibebani oleh "moral", bebas dari batasan sosial.
Demokrasi berarti penyimpangan, berarti pemujaan terhadap orang-orang banyak dan kebencian terhadap
orang unggul. Dalam demokrasi tidak mungkin lahir Manusia Unggul dan bangsa besar. Masyarakat demokrasi adalah
masyarakat yang tanpa karakter, yang menjadi figur dan model bukan manusia superior, melainkan manusia mayoritas,
setiap orang berusaha menyerupai orang-orang lain, juga dalam hal seks – laki-laki menjadi perempuan dan perempuan
menjadi laki-laki.
Feminisme adalah akibat langsung dari demokrasi. Emansipasi tidak mungkin karena perang antara laki dan
perepuan tidak akan pernah berakhir. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Sungguh kasian tulang rusukku
kata laki-laki. ".. {Laki-laki bagi perempuan adalah alat, tujuan akhirnya adalah anak. Akan tetapi perempuan adalah
mainan yang berbahaya. Laki-laki akan dididik untuk berperang dan perempuan untuk hiburan para prajurit perang.
Sisanya adalah kebodohan. Namun perempuan yang sempurna merupakan jenis kemanusiaan yang lebih tinggi dari laki-
laki yang sepmpurna, meskipun kita jarang menjumpai perempuan yang demikian.
Bersama feminisme datanglah sosialisme dan anarkhisme adalah sampah demokrasi. Manusia adalah makhluk
yang tidak sama, alam benci pada kesamaan, alam menyukai perbedaan. Persoalan politik yang sebenarnya adalah
bagaimana menghindari pengusaha menjadi pemimpin, menjadi orang yang mengatur. Pengusaha mempunyai
pandangan yang pendek dan pikiran yang sempit. Ia tidak seperti aristokrat yang dilatih untuk menjadi negarawan, yang
berwawasan luas dan pemikiran yang mendalam, merekalah sebelulnya mempunyai hak untuk mengatur untuk menjadi
penguasa.
Evaluasi Kritis
Filsafat Nietzsche lebih tepat disebut syair ketimbang filsafat. Nietzsche berpendapat kecerdasan disebabkan
kemampuan yang berlebihan, egoisme yang menarik, pembalikan setiap fakta yang telah diterima umum, menafikan
kebajikan.
Pandangannya tentang politik lebih bergema daripada tentang moral. Aristokrasi adalah pemerintahan yang
ideal. Aristokrasi tidak menyukai univikasi, cenderung nasionalisme sempit, mereka akan menghilangkan sumber utama
kekuatannya – manipulasi hubungan luar negeri. Negara dunia tidak menguntung bagi kebudayaan seperti yang
dipikirkan oleh Nietzsche. Ada zaman pergerakan dan perubahan yang merangsang penciptaan kebudayaan.. Rumus
yang terbaik adalah " karir hanya terbuka bagi orang yang berbakat" Aristokrasi hanya baik kalau ia merupakan kumpulan
manusia yang berkualitas yang berhak untuk berkuasa, bukan terletak pada kelahiran melainkan kepada kemampuan.
Aritokrasi hanya baik kalau ia merupakan sekumpulan manusia berkualitas yang haknya untuk berkuasa terletak bukan
karena kelahirannya melainkan karena kemampuannya.
38
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Intensitas pemikiran Nietzsche telah menghancurkan dirinya secara perlahan. Perang melawan zamannya
membuat jiwanya tidak seimbang "Sungguh mengerikan menabuh genderang perang terhadap sistem moral yang berlaku
pada zaman kita sendiri – pembalasannya pasti datang dari segenap penjuru" kata Ellis. Hingga akhir hidupnya, karya
Nietzsche tidak pernah surut dari kebencian, ia menyerang orang-orang seperti halnya ia menyerang gagasan-gagasan
filsuf terdahulu.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Bagaimanakah hidup Nietzsche. Jelaskan dengan ringkas!
2. Bagaimana pandangan Nietzsche tentang moral? Jelaskan!
3. Apakah yang dimaksud dengan manusia Unggul menurut Nietzsche?
4. Apakah kritik terhadap Nietzsche?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
39
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 9DARI MANUSIA MISTIK KE MANUSIA ILMIAH
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan dari manusia mistis ke manusia ilmiah
sebagai perkembangan akal budi manusia menurut Filsafat Positivisme.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan dari
manusia mistis ke manusua manusia ilmiah sebagai perkembangan akal budi manusia menurut Filsafat Positivisme.. yang
meliputi sebagai berikut:
Perkembangan akal budi manusia
Ilmu pengetahuan positif
Pengaruh positivisme Auguste Comte
Permasalahan praktis seputar positivisme
Materi Pembahasan
A. Perkembangan Akal Budi Manusia
Istilah positivisme mengacu kepada dua hal:
a. Teori pengetahuan (epistemologi)
b. Teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia.
Sebagai teori perkembangan sejarah manusia, positivisme identik dengan tesis Comte mengenai tahap-tahap
perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergerak berurutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula
dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis dan akhirnya pada tahap yang paling tinggi, yakni tahap positif..
Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam filsafat
Barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif dan fakta-fakta tersebut
harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yaitu metode eksperimentasi, observasi dan komparasi.
Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata, pasti, berguna, jelas dan yang langsung dapat diamati dan
dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan menilainya. Oleh Comte, fakta
serupa itu dilawankan secara tegas dengan kejadian yang bersifat khayal, meragukan, ilusi dan kabur.
Setiap pengetahuan yang tidak mendasarkan kepada fakta positif atau melampaui fakta positif dan
mendekatinya tidak dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan tidak bisa lain dari fantasi atau spekulasi liar. Jenis
pengetahuan ini menurut Comte terdiri dari teologi dan metafisika, lambat tapi pasti akan tersingkir dan digantikan oleh
ilmu pengetahuan positif.
Dalam dunia intelektual, tesis Comte sangat berpengaruh saat ini, Asumsi-asumsi dasar dalam ilmu
pengetahuan modern tampaknya membenarkan tesis Comte tentang perlunya menggunakan metode-metode ilmiah dan
menghapus spekulasi-spekulasi liar. Zaman bertahtanya ilmu pengetahuan positif di dalam berbagai ilmu pengetahuan
sosial dan politik.
Tahap-tahap Perkembangan Akal Budi Manusia melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisika dan
tahap positif
1. Tahap Teologis
Tahap ini tahap paling awal dari perkembangan akal budi manusia, yang mana manusia berusaha berusaha
menerangkan fakta kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapmnya berupa misteri, segalanya
dikaitan dengan hubungan misterius. Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional yang selalu
40
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
diliputi rahasia yang tak terpecahkan oleh pikiran sederhana. Tahap ini dijumpai oleh manusia-manusia Purba. Dalam
tahap teologis dijumpai beberapa bentuk cara berpikir, yaitu:
a) Cara berpikir fetivisme dan animisme, manusia purba tidak mengenal konsep abstrak, benda tidak dimengerti dalam
konsepnya yang umum, pohon beringin boleh jadi menjadi sakral dan khas yang lain dari pohon yang lain. Manusia
mempunyai jiwanya sendiri, keris, batu cincin, kereta kencana, rumah kuno, dsb mempunyai roh dan keperibadiannya
sendiri-sendiri.
b) Cara berpikir politeisme, cara ini lebih maju dari yang pertama yang sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas
dasar persamaan dan kemiripan. Individualitas dan partikularitas benda atau kejadian diganti oleh kelas-kerlas benda atau
kejadian dan kemudian diekspresikan dalam bentuk konsep umum dan abstrak, seperti jika animisme setiap sawah dihuni
oleh roh leluhur, maka dalam cara berpikir politeisme semua sawah di huni oleh Dewi Sri.
c) Cara berpikir monoteisme, tidak lagi mengakui banyak roh dari benda dan kejadian tapi hanya satu roh saja yakni
Tuhan, yang menguasai langit dan bumi. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang
kemudian menjadi pedoman hidup dalam masyarakat. Peran rohaniwan atau termasuk dukun sangat menentukan yang
diyakini mampu memperantarai antara manusia dengan Tuhan. Raja sebagai pejabat negara mempunyai legitimasi
teologis, baik sebagai wakil Tuhan di bumi maupun sebagai titisan dewata yang suci.
2. Tahap Metafisis
Tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan cara membuat abstrak dan konsep
metafisik. Manusia pada tahap ini berusaha mencari hakekat dan esensi dari segala sesuatu. Dogma agama mulai
ditinggalkan dan akal budi mulai dikembangkan, iirasional disingkirkan dan analisis dikembangkan.
Perbedaan berpikir teologis dengan metafisika terletak dari cara menerangkan kenyataan, alam yang semula berasal dari
Dewa atau Tuhan kini diterapkan dengan konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, tuntutan hati
nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral dsb. Konsep itu hanya pengandaian a priori, tanpa penelitian yang sungguh-
sungguh dan ilmiah. Pengetahuan metafisis tidak mencari informasi baru tapi merupakan nama baru pada konsep lama.
3. Tahap Positif
Untuk menerangkan proses perkembangan akal budi manusia secara individual, Comte menulis "sebagai anak kita
menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai orang dewasa kita menjadi ahli ilmu
alam". Tahap positif berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Akal mencoba
mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum hukum yang mengatur gejala
dan kejadian itu yang bersumber dari gejala dan kejadian positif yang dapat dialami oleh setiap orang. Hukum harus
dipertanggungjawabkan yang dibuktikan dengan metode.
Ilmu pengetahuan membawa manusia dari perasan terkungkung oleh kekuatan magis, ilmu pegetahuan dengan
sendirinya membawa moralitas dan humanisme sendiri dan mampu mencegak kita dari keinginan yang tidak rasional
untuk berperang dan menindas alam dan manusia.
B. Ilmu Pengetahuan Positif
Comte menunjuk pada rasionalisme Descartes, Galileo Galilei, Isaac Newton dan Francis Bacon, inilah model
ilmu pengetahuan positif. Bangun ilmu pngetahuan positif dapat dirumuskan:
i. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Hanya objek pengetahuan dalam keadaan
bersih dari setiap pengaruh subjektif si ilmuwan sajalah yang boleh dituangkan dalam laporan-laporan, teori-teori dan
hukum ilmiah, laporan yang tidak bisa diukur dengan observasi tidak dapat ditolerir keberadaannya.
ii. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi.Ramalan (prediksi)
merupakan salah tujuan terpenting dari ilmu pengetahuan. Setiap penjelasan (teori dan hukum) ilmiah sudah
terkandung prediksi.
iii. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar
hubungnya dengan fenomena-fenomena atau kejadian lain. Hubungan relasi sebab akibat, atara benda, gejala atau
kejadian
41
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Ketiga asumsi tersebut di atas pada prinsipnya dilandasi oleh kenyataan ontologis Comte yang bersifat
naturalistik dan deterministik yakni segenap gejala dan kejadian tunduk pada hukum alam yang berjalan secara mekanis
dan menentukan yang bersifat psikis dan organis
Selain itu, Comte-pun mempunyai keyakinan epistemologis dan atau metodologis yang semakin kuat.
Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan
positif yang bersifat objektif, ilmiah, dan universal, pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti (the scince of
number). Studinya yang mendalam mengenai ilmu ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai
tingkat kebenaran yang sangat tinggi (the truth of number are true of all things, and depend only on their on laws), bebas
dari penilaian-penilaian subjektif dan berlaku universal. Oleh sebab itu, suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai
perhitungan ilmu pasti adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti (matematika dan atau statistika) ilmu pengetahuan
akan kembali menjadi metafisika.
C. Pengaruh Positivisme Auguste Comte
Pengaruh ilmu pengetahuan positif Comte terhadap filsafat Barat menurut Koento Wibisono adalah:
a. Semakin tebalnya optimisme masyarakat Barat yang telah timbul sejak jaman Aufklarung mengenai hari depan umat
manusia yang semakin baik dan maju.
b. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa sehingga mendorong lahirnya model-model ilmu
pengetahuan yang positif yang lepas dari muatan-muatan spekulatif.
c. Konsepsi yang semakin melaus tentang kemajuan atau modernisasi yang menitik beraktkan pada kemajuan dan
modernisasi dalambidang ekonomi, fisik dan teknologi (masyarakat industri).
d. Menguatnya golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.
Beberapa pengaruh yang baru disebut diluar pengaruh positivisme Comte di dalam sejarah filsafat yang
melahirkan pengetahuan fisika sosial atau sosiologi serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
D. Permasalahan Praktis Seputar Positivisme
Dalam ilmu pengetahuan dan industri, jika ilmu pengetahuan satu-satunya penggerak kemajuan dan industri
wujud nyata dari kemajuan, maka bangunan fisik materrial apa akhirnya merupakan tolak ukur dari keberhasilan atau
kemajuan pembangunan. Orientasi utama pembangunan adalah fisik material, sedangkan pembangunan mental spritual
diandaikan dengan sendirinya akan mengikuti pembangunan fisik material.
Jika tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material, maka sasaran atau
orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material. Pruduct – minded,
demikian sering disebut-sebut orang kaya, memenuhi benak hampir setiap orang yang hidup di masa kini.
Maka.konsekuensi etis dan psikologisnya pun bisa kita saksikan dalam masyarakat kita. Kebutuhan manusia digiring pada
– meninjau terminologi Max Weber "orientasi tujuan" sehingga etika dan moral menjadi marginal.
Tujuan hidup kita bukan pada kebahagiaan dan kenikmatan kerja, melainkan pada perolehan sebanyak-
banyaknya hasil dalam waktu yang singkat. Jalan pintas dan perilaku amoral, dengan demikian dipermaklumkan oleh
masyarakat. Harga diri dan martabat seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi
ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa itu. Semakin besar, semakin besar pul;a harga diri dan
martabat orang atau bangsa itu. Kualitas pribadi dan kemanusiaan hanya merupakan nilai yang bersifat periferal.
Persoalan lainnya berkenaan dengan nilai dan kesenian. Nilai estetik suatu karya seni lukis misalnya, tidak lagi
karena nilai intrinsiknya, melainkan karena nilai ekonomisnya. Bukan lagi lukisan secara inheren berbnilai estetika tinggi
yang dihargai mahal secara ekonomis, melainkan lukisan yang secara ekonomis mahal yang dianggap bernilai estetika
tinggi. Ada kecenderungan penilaian yang berorientasi ekonomi tentang indah dan yang buruk: yang glamour itu indah,
sedangkan yang bersahaja, tidak.
Konsep Comte tentang bersatunya kemajuan (progress) dan ketertiban (order) menimbulkan permasalahan lain lagi.
Mungkin saja negara maju kemajuan dalam industri membawa ketertiban dalam sosial. Namun, jika tidak timbul
ketertiban, maka the ruler class seolaholah mendapatkan jastifikasi dalam memaksakan ketertiban, kalau perlu secara
represif.
42
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Kenyataan di negara berkembang kita temukan pelanggaran HAM, disebabkan oleh keinginan para penguasa
untuk menciptakan kemajuan dan ketertiban (pembangunan dan stabilitas) sekaligus, yakni cita-cita yang sudah lama
digagaskan oleh pemikiran positivistik Comte.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskanlah bagaimana perkembangan akal budi manusia?
2. Apakah yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan positif? Jelaskan!
3. Bagaimana pengaruh positivisme Auguste Comte dalam perubahan pandangan manusia?
4. Jelaskanlah kritik terhadap dampak pelaksanaan teori positivisme dalam ilmu pengetahuan?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Mnusia. Cet Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
43
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 10EKSISTENSI MANUSIA
SEBAGAI MAKHLUK SUBJEKTIF DAN INDIVIDUAL
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan eksistensi manusia sebagai makhluk
subjektif dan individual.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan
eksistensi manusia sebagai makhluk subjektif dan individual yang meliputi sebagai berikut:
Tahap estetis
Tahap etis
Tahap religius
Materi Pembahasan
Eksistensi manusia sebagai makhluk subjektif dan individual telah dikemukankan oleh filsuf Soren Aabye
Kierkegaard (1813-1855) yang menitik beratkan kepada kajian tentang eksistensi manusia dan tahap-tahap
perkembangnya.. Kierkegaard pada akhirnya menyadari akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan
hidup yang lebih konkret dan faktual, yang dialami oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan-persoalan
seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan dan sebagainya adalah
persoalan hidup yang harus dicari jawabannya atau maknanya. Filsul Hegel tidak dapat menjawab persoalan seperti itu,
oleh sebab itu dia menentang filsafat Hegel dalam mengamati perkembangan sejarah ide manusia. Dia mengkritik Hegel
lewat sebuah tansil : "mengira dirinya sebagai penonton sebuah pertunjukan teater dunia. Ia hanya mengamati dan
memberi komentar di sana-sini atas kejadian-kejadian historis yang terjadi atas teater itu. Padahal manusia adalah aktor
yang langsung atau tidak langsung mengambil bagian dari peranan penting di dalam setiap alur cerita yang dimainkan
dalam pertunjukan itu”.
Setiap individu menurut Kierkegaard pada asasnya harus mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada
setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif,
melainkan sekaligus adalah seorang aktor yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat dan dialaminya.
Dalam ilmu pengetahuan objektifitas merupakan salah satu kriteria paling penting untuk mencapai "kebenaran
ilmiah". Suatu proposisi atau teori ilmiah mempunyai nilai kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu kepada
realitas "objektif". Adapun syarat utama mencapai hal itu adalah : Kita (observer) harus bersikat objektif, hanya
mendeskripsikan dan menjelaskan setiap kejadian "apa adanya". Setiap bentuk pertimbangan dan penilaian subjektif dari
pihak pengamat (observer), dianggap bisa merusak objektifitas (kebenaran yang objektif). Oleh sebab itui sikap kita
sebetulnya tidak jauh berbeda dari sikap Hegel, yang mengira menjadi penonton pentas dunia. Dengan sinis Kierkegaard
menulis: "...kecenderungan yang menyarankan kita agar menjadi pengamat objektif pada dasarnya sama dengan
menyarankan kita untuk menjadi seorang hantu”.
Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada penggunaan abstraksi atau
generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses dan atau produk pemikiran manusia yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari
kenyataan konkret dan individual, untuk melihat ciri-ciri umumnya saja. Dengan cara ini kita diharapkan mampu
memperoleh hukum-hukum umum dibalik kenyataan yang konkret individual. Ada penghubung erat antara objektifitas,
generalisasi dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu hukum atau teori, maka semakin berlaku umum hukum atau
teori itu, dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa dipertahankan.
Menurut Kierkegaard, sangat berbahaya objektifitas sepertti itu diterapkan pada ilmu-ilmu tentang manusia.
Kalau hukum-hukum yang umum itu kita gunakan untuk menerangkan gejala-gejala manusiawi yang konkret dan
individual, maka segala kekonkretan dan individualitas manusia akan lenyap tanpa bekas. Pengalaman unik setiap
individu akan terabaikan. Maka ia menolak segala macam ilmu-ilmu tentang manusia, kalau ilmu-ilmu itu justru
44
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
mengorbankan keunikan dan individualitas subjek kajiannya (manusianya). Ilmu-ilmu seperti sosiologi dan psikologi
misalnya, ditentang keras, karena kedua itu tersebut dianggap telah menerapkan pola seperti itu.
Menurut Kierkegaard, persoalan objektifitas dan abstraksi seperti itu pada akhirnya bukan hanya menghinggapi
pikiran Hegel dan para ilmuwan, tetapi juga telah menular kepada masyarakat luas, khususnya dalam menilai masalah-
masalah moral. Moralitas dalam masyarakat telah diobjektifkan. Objektifitas dalam moral tampak dari kecenderungan
masyarakat menerima begitu saja tanpa kritik, norma-norma atau hukum moral yang diberlakukan secara umum. Tetapi
objektifitas dalam hal moralitas pada dasarnya tidak seperti bahwa terdapat kesesuaian hukum dengan kenyataan, atau
adanya jarak antara pengamat dengan objek yang diamati, melainkan berarti "konsensus bersama".
Penilaian baik terhadap sesuatu perbuatan, tidak berarti bahwa perbuatan itu pada dirinya baik, melainkan
karena ada "kesepakatan bersama" atau ada pendapat umum yang mengatakan bahwa perbuatan yang demikian adalah
baik. Demikian juga jika perbuatan itu dianggap buruk, hal itu disebabkan oleh pendapat umum yang mengatakan bahwa
perbuatan demikian adalah buruk.
Kierkegaard hanya mengkritik efek negatif dari kesepakatan bersama, yang sering menjadi tameng atau kedok
murahan, agar terhindar dari tanggung jawab pribadi. Atas nama hukum dan kepentingan umum, kita telah membunuh
hati nurani sendiri. Di balik tameng kepentingan nasional, kita rela memanipulasi kebenaran. Atas nama konsensus, kita
merasa sah menjadi manusia massa. Kita selalu melepaskan tanggung jawab pribadi dan mengalihkan kepada tanggung
jawab bersama.
Eksistensi manusia pada prinsipnya adalah individual, personal dan subjektif. Manusia tidak bisa dijelaskan
dalam kerangka ide, teori-teori umum atau objektifitas pendekatan ilmiah, hal itu hanya cocoki untuk menjelaskan esensi
dan struktur dasariah gejala-gejala infra-human (realitas di luar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik. Peristiwa dan
pengalaman eksistensi manusia yang konkret, individual, subjektif dan faktual memerlukan pendekatan yang khas,
spesifik dan bersifat human (manusiawi)
Menurut Kierkegaard pada kenyataannya segenap tindakan dan peristiwa manusia tidak selalu didasarkan
pada rasio (intelek), tetapi juga pada pilihan bebas dan emosi spontannya.. Bahkan sering menyaksikan bahwa tindak
tanduk manusia itu didasari oleh pilihan-pilihan dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak rasional. Dengan itu manusia
tidak murni rasional atau yang mampu menjadi pengamat objektif atau sanggup mengambil jarak dari segala kejadian,
tetapi manusia adalah makhluk yang mempunyai pertimbangabn emosional dan praktis (in action). Adanya keterlibatan
dan komitmen pada manusia, yang memungkinkan manusia menjadi aktor dalam panggung kehidupan yang maha luas
ini terutama disebabkan oleh afeksi dan kehendak yang bebas.
Manusia pada prinsip adalah individu yang identik dengan kebebasan, manusia terlepas dari tuntutan keluarga
yang otoriter, sistem politik yang represif atau sistem sosial budaya yang ketat dan kaku. Eksistensi aktual seorang
individu adalah eksistensi yang bersumber dari satu inti, yaitu eksistensi dirinya. Realitas diluar diri individu boleh
mempunyai kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri.
Suatu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab yang merupakan dua sisi satu mata uang.
Orang lain bisa saja mengambil alih tanggung jawab, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung
jawab yang bersifat pribadi itu tidak bisa dialihkan oleh siapapun.
Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah fundamental dan krusial yang menjadi sumber utama
eksistensi manusia. Kebebasan bisa mendatangkan persoalan, menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Manusia cemas
yang akibat pilihan itu akan mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan, menyakitkan dan membahayakan. Untuk itu
kebebasan diperlukan kebijaksanaan, berupa suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat dan keyakinan pribadi
yang dilandasi kehendak bebas dan afeksi (emosi).
Terdapat tiga tahap eksistensi manusia, yaitu;
A. Tahap estetis
Tahap estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan. Manusia dikuasai oleh naluri seksual (libido),oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik dan
biasanya bertindak menurut suasana hati (mood). Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan
kepentingan pribadinya.
45
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Manusia estetis adalah manusia yang hidup tanpa jiwa yang tidak punya akar dan isi dalam jiwanya. Kemauaannya
adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Apa yang menjadi tren dalam masyarakat
menjadi petunjuk hidupnya yang diikutinya secara saksama. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam
pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Pandangan hidup dan moralitrasnya ada pada masyarakat dan
kecenderungan zamannya.
Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja, bisa wujud pada siapa saja termasuk pada filsuf dan ilmuwan,
sejauh mereka tidak mempunyai antusiasme, komitmen dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Jiwa estetis
mereka tampak dan pretensi mereka untuk menjadi "penonton objektif" kehidupan.. Mereka sebetulnya tidak
sungguh-sungguh hidup, karena mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang
sesungguhnya kalau manusia hidup secara hedonis dan apa yang terjadi pada jiwanya. Manusia estetis tidak
mempunyai pegangan yang bisa menjadi akar yang kokoh dalam menjalankan hoidupnya. Manusia estetis adalah
mansia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin banyak alternatif yang
ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua: bunuh diri atau lari dalam kegilaan atau
masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.
B. Tahap etis
Perubahan hidup dari estetis menjadi etis merupakan semacam pertobatan, dimana individu mulai menerima
kebajikan-kebajikan moral dan memilih memngikatkan diri pada nya. Mereka mulai menerima nilai-nilai yang bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan perkawinan, manusia etis telah menerimanya. Perkawinan merupakan langkah
awal dari manusia estetis mejadi manusia etis.
Prinsip kesenangan dan naluri seksual tidak dipeoyeksikan langsung dalam pertualangan dengan wanita, melainkan
disublimasikan untuk tugas-tugas kemanusiaan. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan
demi nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi bergantung pada masyarakat dan zamannya.
Akar-akar keperibadiannya cukup kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada dalam dirinya sendiri dan pedoman
hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka dengan berani dan percaya diri, ia akan mampu
mengatakan tidak pada setiap tren yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan zamannya, sejauh tren itu
tidak sesuai dengan suara hati dan kepribadiaannya.
Manusia etis akan sanggup menolak tirani dan kuasa dari luar. Oleh sebab itu Kierkegaard menyatakan sebagai
model hidup etis adalah Socrates. Karena dia sudi mengorbankan dirinya dengan minum racun untuk
mempertahankan keyakinannya mengenai nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Berdasarkan keyakinannya ia
menolak setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
bersifat universal.
Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi sesungguhnya, ia tidak berhasil memenuhi panggilan
kemanusiaannya, ia belum sampai pada tahap yang paling tinggi yakni tahap religius, di mana manusia mulai
dihadapkan dengan Tuhan dan kegagalan diterima sebagai "dosa".
C. Tahap religius
Lompatan dari tahap etis kepada tahap religius lebih sulit, karena tdak perlu pertimbangan rasional melainkan
keyakinan subjektif berdasarkan pada iman.
Perbedaan terletak pada objektifitas dan subjektifitas nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat
objektif (universal), sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara common sense.
Sebaliknya nilai-niliai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak
mengeherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius sering dicap "tidak masuk akal", nyentrik atau bahkan
"gila".
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektifitas transedent, tanpa rasionalisasi atau tanpa ikatan kepada
sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Individu yang memilih jalan religius tidak bisa lain kecuali berani menerima
subjektifitas transedentnya itu, subjektifitas hanya menbgikuti jalan Tuhan dan tidak ada terikat pada nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal (eksistensi etis) dan tuntutan pribadi masyarakat atrau zamannya.
46
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Hambatan pertama dijumpai individu saat memutuskan untuk lebur dalam kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang
terdapat dalam Tuhan itu sensdiri. Tuhan dan perintah-perintahnya adalah suatu yang paradoks. Persoalan ada atau
tidak adamya Tuhan, peroalan sifat-sifat baik Tuhan (misalnya: Tuhan ada dan maha baik kenapa ada kejahatan).
Tidak mungkin ada penjelasan rasional untuk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan suatu yang
dipikirkan secara rasional, hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan kepada iman.
Sosok Ibrahim, oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai manusia religius ideal, dapat membantu kita mamahami apa
yang dimaksudkan dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya
atas dasar keyakinan pribadinya, bahkan Tuhanlah yang memerintahkan untuk mengorbankan anaknya itu. Apa
yang mundane harus dikorbankan untuk suatu yang lebih tinggi, sesuatu yang transeden, yaitu perintah Tuhan.
Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang
mencekam dan mengetarkan (Angst). Berbeda dari ketakutan, kecemasan bersifat metafisik. Kecemasan terarah
pada sesuatu yang tidak nyata, tidak pasti dan tidak berketentuan, tidak berujung pangkal. Memutuskan untuk
masuk dalam paradoks Tuhan ibarat memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah hutan perawan raya, yang tidak
bertuan dan tidak pernah terjamah oleh tangah manusia. Oleh sebebab itu timbul was-was, rasa cemas. Hanya
dengan keyakinan pribadi yang kuat dan teguh saja kita berani memasukinya, keyakinan prribadi yang belandaskan
iman, kita berani menceburkan diri dalam Tuhan dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir
dalam kebagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam eksistensi yang religius.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskanlah bagaimana kritik Kierkekegaard terhadap filsuf Hegel?
2. Apakah yang termasuk dengan eksistensi menurut Kierkegaard? Jelaskan!
3. Bagaimana perkembangan eksistensi manusia pada tahap estetis? Jelaskan!
4. Jelaskanlah bagaimana perubahan eksistensi mansuia dari estetis mejadi etis?
5. Bagaimana eksistensi manusia pada tahap religius? Jelaskanlah
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1.Jokyakarta. Kanisius.
47
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 11STRUKTUR
KESADARAN MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis perkembangan struktur kesadaran mnausia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis perkembangan struktur
kesadaran manusia yang meliputi sebagai berikut:
Eksistensi kesadaran dan aktivitas–aktivitasnya
Dunia yang dihayati Eksistensialisme
Eksistensi manusia
Pengaruh Hursserl kepada Martin Heidegger
Materi Pembahasan
1. Esensi Kesadaran dan Aktivitas-Aktivitasnya
Husserl menemukan adanya esensi kesadaran yang disebut intensionalitas. Pengertian ”kesadaran” oleh
Husserl selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari. Kesadaran adalah ”kesadaran akan ...”.
Penyelidikan Husserl berikutnya mengenai struktur intensionalitas kesadaran, berhasil menemukan adanya empat
aktiovitas yang melekat (inheren) dalam kesadaran yaitu objektivitas, identifikasi, korelasi dan konstitusi.
a. Intensionalitas adalah objektifikasi
Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data ( yang sudah terdapat di dalam aliran kesadaran) dengan
objek (yang bukan merupakan bagian dari kesadaran).
Husserl melihat dalam pengarahan intensional itu adanya suatu struktur kompleks dan di dalam struktur
tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan diintegrasikan ke dalam objek yang membentuk ktub
objektifnya.
b. Intensionalitas adalah identifikasi
Setelah mengadakan objektivikasi, intensionalitas selanjutnya sebagai data yang datang dari berbagai
peristiwa kemudian kepada objek hasil objektifikasi. Identitifikasi banyak dipengaruhi oleh pelbagai aspek dari
dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan (baik emiosional maupun intelektual).
c. Intensionalitas adalah menghubung-hubungkan
Bagian depan sebuah onjek menunjuk pada bagian-bagian samping, muka , bawah dan belakang. Namun yang
jelas adalah bahwa aspek identik yang sudah tampat lebih awal.
d. Intensionalitas adalah konstitusi (menciptakan)
Prestasi sesungguhnya dari intensionalitas terletak pada konstitusi (menciptakan). Objek intensinal sebenarnya
berasal dari endapan-endapan aktivitas –aktivitas intensional.
2. Dunia Yang Dihayati
Penyelidikan Husserl selanjutnya berhasil menemukan ”dunia yang dihayati” (Lebenswelt) oleh subjek atau
kesadaran. Lebenswetl, maka semakin terbukalah jalan baru bagi Husserl menuju fenonenologi murni atau transedental.
Lebenswetl adalah prasangka – prasangka yang berasal dari ilmu. Lebenswetl adalah struktur – strukturnya
hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri kita dari pransangka-prasangka teoritis yang berasal dari ilmu.
Menurut pengamatan Husserl, setiap subjek transedental mengkonstitusikan (menciptakan) dunianya sendiri-sendiri
menurut prespektifnya sendiri yang unik dan klhas. ”Dunia” ini tentunya bukan dunia objektif dalam pengerttian dunia fisik
suatu pribadi. Oleh sebab itu dunia merupakan dunia subjektif dan sekaligus relatif. Namun demikian, justru itulah dunia
yang sesuangghnya bagi seorang pribadi. Dalam dunia yang dihayati itulah manusia menjadi manusia.
48
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Baik krisis eksternal ilmu (kritis dalam hubungan dengan personal nilai dan makna ) maupun krisis internal ilmu (krisis
dalam hubungan nya dengan landasan ilmu) akan dapat diatasi kalau ilmu memberi perhatian pada lebeswetl ini.
3. Pengaruh Husserl Pada Martin Herdegger dan Jean Paul Sartre
Pengaruh husserl pada Heidegger dan Sartre bukan hanya pada penggunaan metode, tetapi kepada
konsepnsi tentang struktur kesadaran (intensionalitas ) dan Lebenswetl.
Mereka berdua mengkritik ”idealisme” yang melekat pada fenemenologi Husserl dan mengembalikannya ke tujuan
Husserl yang semula. Yakni ”kembali” kepada realitas sendiri. Yang terdapat pada ”objek” bukan pada ”subjek”.
Sartre mengikuti Heidegger membuat fenomenologi Husserl menjadi realistik, juga fenonemenologi digunakannya untuk
menelaah struktur kesadaran manusia dalam kaitanyya dengan Ada dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya
Analisa Ekssistensial atau psikoanalisis eksistensional.
Pengaruh konsepsi Husserl tentang intensionallitas kesadaran pada Heidegger dan Sartre, tampak dari pemahaman
mereka mengenai aktifitas – aktivitas atau karakter –karakter manusia dalam hubungnya dengan real;itas dan dunianya.
Konsepsi Husserl tentang Lebenswetl yang menghenai kedudukan sentral dalam pemikiran filsafatnya pada periode-
periode akhirnya hidupnya. Maka Heidegger dan Sartre berhasil menguak tabir kehidupan menusia yang selama ini
terkubur dalam dalam di bawah permukaan teori-teori ”ilmiah” tentang manusia.
Kritik Heidegger Terhadap Fenomenologi Husserl
Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik. Seruannya untuk ”kembali kepada sumber”, yang
semula terdapat pada objek, kemudian diarahkan pada ”sumber” yang lain, yakni ”subjek”. Kembali kepada ’sumber’,
pada akhirnya sama dengan”kembali kepada ”subjek” ada kesadaran. Melalui prosedur redaksi transendental, Husserl
terus bergelut dengan masalah esensi dan aktivitas kesadaran.
Apa yang telah dilakukan Husserl sebetulnya sebetulnya sah-sah saja. Masalah kesadaran adalah masalah
yang sangat mendasar dan penting untuk dipahami. Pahaman tentang esensi kesadaran dan aktivitasnya memang bisa
dijadikan sebagai alternatif solusi untuk menghadapi ”krisis ilmu pengetahuan”, misalnya dengan jalan menjadikan
pemahaman tentang esensi dan aktifitas kesadaran (manusia) sebagai landasan untuk dibangunnya teori-teori ilmiah
tentang manusia. Ilmu pengetahuan tentang manusia akan mendapatkan landasannya yang kokoh kalau asumsi-asumsi
ontologis dan epistemologisnya didasarkan pada pengetahuan tentang esensi kesadaran dan aktivitas – aktivitasnya
secara fenomenologis. Namun, manakala kita terlampau asyik bergelut dengan masalah kesadaran, sambil melupakan
eksistensi yang konkret, yang diperoleh adalah gambaran ideal dan abstrak tentang manusia.
Eksistensi manusianya sendiri yang konkret, unik dan aktual, luput dari perhatian. Konsepsi Husserl tentang
”aku transendental’ membuktikan hal ini. Aku Transedental oleh Husserl dipahami sebagai Subjek Absolut, yang segenab
aktivitas atau kegiatannya adalah mengkonstitusikan (menciptakan) dunia. Namun Husserl lupa bahwa didalam
kehidupan yang sesungguhnya subjek atau kesadaran (manusia) itu sendiri, selain mengkonstitusikan dunia, juga
dikonstitusikan oleh dunianya.
Heidegger, yang menyadari kenyataan itu, tidak mau mengikuti anjuran Husserl untuk ”kembali kepada subjek”,
”kembali kepada subjek sambil melupakan objek”, demikian Heidegger, ”berarti mengulang kesulitan yang sama seperti
yang dihadapi oleh idealisme”. Dalam idealisme, subjek ditempatkan sebagai sentral atau pusatnya dunia, menjadi asal-
usul terciptanya dunia. Namun babagimana dunianya sendiri menciptakan subjek, luput dari perhatian idealisme. Yang
menarik justru perhatian Heidegger adalah sebuah realitas yang lain, realitas yang bukan murni objek dan bukan pula
murni subek, melainkan sistesis dari subjek dan objek. Siontesis dari subjek dan objek itu adalah berupa ”dunia –
manusia”, yang oleh Heidegger disebut Ada Dalam Dunia (in-der-welt-sein).
Ada Dalam Dunia perlu diungkap dan dipahami maknanya, akarena merupakan realitas asli manusia.
Pemahaman kita tentang Ada-Dalam Dunia merupakan jalan menuju pemahaman tentang eksistensi manusia. Jalan yang
pertama-tama harus ditempuh untuk memahami manussia , bukanlah mengamati struktur kesadaran Subjek
Transendental (seperti hanya dalam idealisme Husserl) atau mengukur lingkungan alam sebagai objek ”di luar” manusia
(seperti naturalisme dan atau positivisme). Jalan yang harus ditempuh adalah memahami realitas dunia manusia sendiri,
”tempat” manusia menciptakan diri dan dunianya serta diciptakan oleh diri dan dunianya itu. ”Krisis ilmu pengetahuan”
49
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
seperti yang diusulkan Husserl, sebetulnya lebih bisa di cari sumber dan alternatif solusinya di dalam realitas Ada –
Dalam Dunia.
Eksistensialisme
Kritik Heiodegger atas Husserl disebut terdapat dalam salah satu karya yang sangat terkenal, yakni ”Sain und
Zeit” (”Ada dan Waktu”). Heidegger mensinyalir bahwa manusia modern telah dihinggapi suatu gejala yang disebut ”Lupa
akan makna Ada”. Lupa akan makna Ada itu bersifat menyeluruh dan berlangsung pada berbagai tingkatan aktivitas
manusia. Pada tingkat teoritis, lupa akan makna Ada di tandai oleh keeengganan pada ahli dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan untuk mempertimbangkan masalah nilai dan makna eksistensi manusia dalam asumsi-asumsi filsafat dan
teori-teori ilmiah mereka. Filsafat dan ilmu menjadi ”kering tanpa jiwa” dan manusia semata-mata dijadikan oebjek kajian,
yang kurang lebih sama dengan alam fisik. Pada tingkat praktis atau kehidupan sehari-hari, lupa akan makna Ada bisa
kita amati dari gejala rutinitas dan kedangkalan hidup manusia, yang ditandai oleh ketidakotensikan dalam menjalankan
tugas eksistensinya.
Atas dasar kenyataan tersebut, Heidegger bermaksud mengembangkan suatu metode khusus yang disebut
Fenomenologi. Tujuan fenomenologi Heidegger adalah ”mengajukan pertanyaan tentang dan mencari jawaban atas,
makna Ada” – sebuah pertanyaan yang telah ”dilupakan” orang. Filsafat Heidegger disebut Ontologi Fundamental (Ilmu
Dasar Tengtang Makna Ada). Namun, karena dalam penyelidikannya ia menemukan fakta bahwa ”Ada” (Sein) ternyata
adalah suatu yang mengada ”disitu” (da), maka penyelidikan tidak secara langsung diarahkan pada makna Ada sendiri,
melainkan pada ”makna Ada yang mengadakan di situ” (Dasein), yang tidak lain adalah eksistensi manusia itu sendiri.
Persoalan tentang eksistensi manusialah yang kemudian menjadi perhatian dan ”unit analisis” filsafat Heidegger. Oleh
sebab itu, filsafat fenomenologinya sering fidrbut juga ”Analisis Eksistensial”.
Sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi manusia, pada
mengadanya manusia (Dasein). Itulah sebabnya filsafat Heidegger dianggap sebagai bagian dari eksistensialisme.
Sekalipun ia sendiri dengan tegas menolak angggapan itu, tetapi Ontologi Fundamental atau Analisa Eksistensialnya,
yang mengungkapkan cara-cara manusia di dalam bereksistensi, membuatnya sulit untuk mengelak dari anggapan itu.
Cara-cara manusia bereksistensi secara de facto merupakan lahan kajian filsuf yang berasalh dari aliran eksistensialisme.
Anggapan bahwa filsafat Heidegger merupakan bagian dari aloiran eksistensislaisme itu pu didukung oleh
definisi yang diberikan oleh Heidegger sendiri untuk istilah ”eksistensi”. Eksistensi diartikan olehnya sebagai kemungkinan
manusia untuk ”menjadi” atau ”tidak menjadi” dirinya sendiri. Definisi ini mengacu pada kemungkinan eksistensi manusia
untuk memilih hidup secara ”Otentik (menjadri dirinya sendiri”), atau tidak – otentik (Tidak menjadi dirinya sendiri), Dengan
cara yang berbeda, tetapi mempunyai arti yang sama, masalah pilihan tentang kemungkinan eksistensi ini pernah
diungkap maknanya oleh tokoh-tokoh awal eksistensialisme, yakni Soren Aabey Kierkegaard dan kemudian dilanjutkan
oleh tokoh eksistensialisme lainnya yang paling terkenal yakni jean Paul Sartre.
Ciri Fenomenologi Heidegger
Urgensi untuk mengajukan pertanyaan tentang dan mencari jawab atas makna Ad telah mendorong Heidegger
untuk merancang statu pendekatan yang disebut sendiri olehnya “Destruksi fenomenologis”. Menurut pendapatnya belum
pernah ada suatu pendekatan yang cocok untuk mendekati Ada. Ada masih tetap merupakan suatu fenomena yang
tersembunyi dan terlupakan. Berbagai pendekatan di dalam ilmu dan filsafat yang selama ini digunakan, tidak pernah
lepas dari asumsi-asumsi metafisis yang mengasalkan ”Ada” (Sein) dari ”ada” (seiende). Istilah-istilah, seperti Subjek,
kesadaran, substansi, amteri, organisme dan masih banyak istilah lain dalam filsafat dan ilmu, dianggap sebagai istilah-
isyilah yang mengambarkan asal usul Ada (Sein) daripada (seiende). Pendekatan fenomenologis Husserl pun, yang
mengangap subjek (Aku Transedental) sebagai asal usul objek atau dunia, tidak luput dari asumsi tersebut. Oleh sebab
itu, diperlukan destruksi fenomenologis atau suatu pembongkaran motodis, yang tujuannya adalah untuk membersihkan
kabut matefisika tradisional itu. Tujuan itu sejalan dengan seruan Husserl untuk ”kembali kepada real;itasnya sendiri”.
Yang oelh Heidegger diartikan sebagai ”kembali kepada gejala pertama dan sebenarnya”, yakni gejala Ada. Suatu
fenomena disebut ”pertama” dan sebenarnya”, yakni gejala Ada. Suatu fenomena disebut ”pertama” sejauh mendahului
setiap asumsi atau prakarsa pengamat, dan disebut ”sebenarnya” sejauh fenomena itu tetap tinggal sebagai makna,
50
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
meskipun kehadiran gejala fenomena atau prasangka itu tetap tinggal sebagai makna, meskipun kehadiran gejala itu
kerap kali tersembunyi.
Untuk sampai pada fenomena semacam itu ( yakni, fenomena Ada) diperlukan ”Logos” dalam menanganinya.
Logos yang dimaksud adalah suatu metode khusus yang disebut interpretasi (Auslegung). Metode ini dipakai untuk
mengali dan mengangkat ke permukaan setiap makna dari gelaja Ada. Dalam arti inilah Heidegger menamakan metode
itu sebagai ”Fenomenologi”, yakni interpretasi atas makna tersembunyi dario setiap gelaja Ada.
Namun karena gejala Ada yang hendak diungkap maknyanya oleh Heidegger tidak lain adalah mengadanya
manusia. ””Ada yang mengada ”hermeneutika”). Istilah yang sebenarnya, berarti ”interpretasi atas naskah-naskah klasik”
itu kemudian diartikan oleh Heidegger sebagai ”interpretasi atas fakta-fakta eksistensial manusia (dasein) dalam
kehidupannya yang pertama dan sebenarnya. Dengan demikian, fenomenologinya bisa disebut fenomenologi
Hermeneutik, yakni suatu metode yang dipakai untuk mengungkap makna tersembunyi dari mengadanya manusia.
Tema-Tema Esistensi Manusia
Jika fenomenologi hermeneutik dimaksudkan untuk mengungkapkan atau mengintrepratasikan makna tersembunyi Ada
melalui mengadanya manusia (Dasein), maka itu berarti bahwa baik Ada maupun Dasein sudah mempunyai makna,
bahkan sebelum seorang interpreter ata fenomenolog menginterpretasikannya. Hal ini perlu diingat untuk menghidarkan
salah pengertian bahwa makna seakan-akan berasal dari interpretasi. Makna dasein terdapat di luar interpreter atau
fenomenolog dan makna itu berhubungan dengan waktu, khususnya waktu yang akan datang, ”Makna Dasein menurut
Heidegger bertautan dengan orientasinya, denga trujuan-tujuannya dengan kemungkinan-kemungkinannya di msa depan.
Hal ti akan tampak dari beberapa tema yang diungkap Heidegger dan Sein und Zeit-nya.
Eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan Berada Dalam Waktu
Hasil awal penyelidikan Heidegger atas Dasein, menunjukkan bahwa Ada ternyata mempunyai karakter
personalnya (Gemeneigkeit) dan Dasein, sehingga setiap Dasein mempunyai status personal atau individualnya karena
Adfa-nya itu. Dio samping itu waktu pun mempunyai peran dalam menjadikan Dasein sebagai individualitas. Waktu adalah
dimensi eksistensi, yang memungkinkan Dasein menuju Ada-nya sendiri, menuju eksistensinya sendiri. Namun,
konsekwensi dari individulitas Dasein adalah fakta, bahwa apapun yang terdapat pada Dasein, dan apapun yang dialami
oleh Dasein, adalah ”milik pribadi” Dasein.
Amatlah sukar menyederhanakan pemikiran Heidegger yang sarat dengan penggunaan bahasa yang ”tidak
lazim” itu. Namun kita bisa membuatnya mudah dengan menggunakan sebuah contoh dalam perpepsi. Meskipoun,
misalnya saja, di Didi bersama dengan teman-temannya melihat setangkai bunga ros berwarna merah, tetapi pengalaman
si Didi pada sat itu berbeda dari pengalaman teman-temannya. Apa yang dialami oleh di Didi pada saat itu adalah ”milik
pribadi” si Didi, yang tentunya berbeda dari apa yang dialami oleh teman-temannya. Mungkin saja ada beberapa teman di
Didi yang secara empatik berusaha keras untuk bisa mengambilalih atau menggantikan pengalaman di Didi itu.
Akan tetapi, usaha itu pasti tidak akan berhasil. Ada penjelasan yang berbau ”psikologis” yang bisa menjelaskan gejala
itu, misalnya saja dengan mengkaitkannya dengan pengalaman masa lalu si Didi. Katakan saja, misalnya, Si Didi pernah
mengalami masa-masa pahit dan menyakitkan pada masa lalu, yakni ketika ia mengungkapkan cintanya yang pertama.
Pada saat itu ia memberikan setangkai bunga ros berwarna merah kepada seorang gadis yang dicintainya, tetapi sang
gadis tegas-tegas menolak pemberian (cinta) si Didi. Maka ketiak si Didi di kemudian melihat bunga ros berwarna merah,
meskipun bunga itu bunga ros yang dulu, pengalamannya itu muncul kembali dalam ingatannya dan memberi ”bentuk”
pada bunga ros yang lain dalam persepsinya yang sekarang.
Namun, lebih dari pengalannya di masa lalu, menurut analisa Heidegger, prientasi di Didi pada masa dengan
jauh lebih ”dominan” dalam memberik bentuk pada bunga yang dilihatnya itu. Setelah gadis itu memberi bentuk pada
bunga yang dilihatnya itu. Setelah gadis itu menolak pemberian bunga dari si Didi. Si Didi sudah mengantisipasi untuk
menghidar agar tidak (jangan) terjadi kontak dengan bunga ros berwarna merah, Karena, kalu sampai terjadi kontak,
bukan saja pengalaman masa lalunya akan ”terulang” kembali, tetapi yang terutama karena ia sudah mengetahui
pengalaman apa yang Akan terjadi nanti misalnya saja perasaan tidak senang atau sakit. Dengan perkataan lain,
sebelum terjadi kontak dengan bunga ros berwarna merah itu, SI Didi sudah mengalami dan memberi ”Bentuk” terlebih
dahulu pada bunga itu, yaitu lewat Antisipasi atau Orientasi pada masa depannya.
51
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Maksud dari ”Milik Sendiri” tentu saja lebih dari sekedar di dalam persepsi. Totalitas mengadanya si Didi
(misalnya dalam bentuk permikiran, imajinasi, khayalan, cinta, benci) adalah juga milik pribadi si Didi. Demikian juga
halnya dengan segala bentuk perbuatan fisik atau tingkah laku si Didi (baik yang dilakukan atas inisiatif sendiri maupun
atas paksaan orang lain) serta konsekuensi-konsekuensinya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan atau
mengambil alih ”milik” si Didi itu.
Dalam konteks yang lebih luas, fakta milik sendiri itu pada asasnya sering merupakan beban yang teramat berat dan
beban itu harus dipikul sendirian. Milik sendiri identik dengan kesendirian total manusia, kesendirian yang sangat
mencekam. Kecemasan, sebuah tema yang kelak akan diungkap maknanya di dalam Analisa Eksistensial, sedikit banyak
dipengaruhi oleh kesadaran manusia akan fakta kesendirian dirinya. Kesendirian adalah fakta yang tidak dapat dihindari
oleh siapapun, karena fakta itu berasal dari karakter personal Ada, dari status manusia ”menuju Ada-nya sendiri ’ (zu-
sein).
Soal / Tugas
1. Jawablah pertanyaan berikut ini! Jelaskanalah kritik Heidegger terhadap Fenomenalogi Hussrl?
2. Bagaimana metode fenomenologi nya Heidegger?
3. Apakah sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger tentang eksistensi manusia?
4. Apakah ciri-ciri fenomenologi Heidegger?
5. Jelaskanlah ”eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan berada dalam waktu?
6. Jelaskanalah kritik Heidegger terhadap Fenomenalogi Hussrl?
7. Bagaimana metode fenomenologi nya Heidegger?
8. Apakah sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger tentang eksistensi manusia?
9. Apakah ciri-ciri fenomenologi Heidegger?
10. Jelaskanlah ”eksistensi sebagai ”Milik Pribadi” dan berada dalam waktu?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
52
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 12KONFLIK EKSISTENSI MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis konflik eksistensi manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis konflik eksistensi
manusia yang meliputi sebagai berikut:
Dua tema utama filsafat Sartre "kebebasan dan Ada"
Ilustrasi gejala manusia.
Peranan fenomenologi dalam perkembangan pemikiran Sartre.
Beberapa karakteristik utama fenomenologi Sartre
Tema-tema penyelidikan Sartre
Periode Eksistensi Fenomenologis
Materi Pembahasan
Meskipun tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog Sartre mengaku pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenalogi Husserl paling tidak Sartre melihat dua hal
penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-
penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk "kembali kepada realitasnya sendiri. Sartre dengan gemilang
membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan membuka jalan untuk mengadakan studi-studi
tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa dan tanpa teori-teori
prafenomenologis. Gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi dan fantasi memang harus diselidiki
secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teiri-teori prafenomenologi yang deterministik dan mekanistik.
Sartre memberi ilustrasi tentang gejala emosi, yang menurut teori-teori psikologi tentang emosi dari James – Lange
diartikan sebagai bagian yang pasif dari perilaku manusia, yakni sebagai suatu respons pada suatu stimulus tertentu.
Kritik Sastre atau teori itu cukup menohok. Menurut pendapatnya, teori James – Lange bukan hanya terlalu akstrak.
Tetapi juga determinisme pada manusia. Dalam penyelidikan fenomenologis, teori seperti itu harus "direkduksi" (ditunda)
terlebih dahulu dan kita mengamati saja gejala emosi itu secara langsung tanpa perantara asumsi atau teori. Emosi dalam
penyelidikan fenomenologis yang dijalankan oleh Sartre, ternyata merupakan perilaku yang bertujuan, berlandaskan pada
harapan-harapan atau motif-motif tertentu. "Emosi", kata Sastre, "bukan saja aktif, tetapi juga menunjukkan pada perilaku
manusia yang bebas, yang tidak dedeterminir.
Akan, tetapi pengakuan akan penting dan bermanfaatnya fenomenologi Husserl, bukan tanpa kritik sama sekali
dari Sartre. Sartre dalam beberapa karyanya, mengecam idealisme Husserl yang "tidak realistik". Karena konsepsinya
tentang kesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia. Kesadaran diandaikan begitu saja oleh Husserl, tanpa ada
landasan yang menopangnya (Ada). Dunia (dan eksistensi) oleh Husserl justru direduksi (ditunda) dan tidak pernah
ditempatkan lagi sebagai realitas yang menopang kesadaran.
Oleh Sartre, yang menggunakan fenomenologi secara lebih "realistik" kesadaran dihubungkan dengan dunia,
"Menyelidiki kesadaran pasti bertautan dengan menyelidiki dunia", akunya. Dalam arti ini fenomenologi Sartre lebih dekat
dengan fenomenologi hermeneutik Heidegger. Bukan hanya dalam hal "realistiknya" kedua fenomenologi tersebut,
melainkan juga dalam hal analog-analog yang terdapat di dalam pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang
dikemukakan oleh Sartre. Beberap[a konsepsi Heidegger coba diambil alih dan "dimodifikasi" oleh Sartre. Misalnya, "Ada
Dalam Dunia" diugunakan Sastre untuk mendiskripsikan "struktur dunia imajiner"; "keterlemparan" untuk haram.
Dua Tema Utama Filsafat Sartre "Kebebasan dan Ada"
Rumusan filsafat Sartre adalah " merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek". Usaha ini barangkali
didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai "subjek") dan tentang Benda ("objek").
53
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Kedua pengamalan ini dalam pandangan Sartre, merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) mengalami
dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pula pada kuasa atau daya tarik Benda. Paradoks
dari pengalaman tentang kebebasan itu secara orisinal dillukiskan dalam novel-novelnya, seperti "Rasa Muak (La nausee)
dan Lalat – Lalat (Les mouches).
Pengamalan tentang kebebasan secara paradoks dihubungkan dengan penindasan Nazi Jerman dan
kesendirian menyeluruh manusia: " Tidak pernah kita merasa lebih bebas ketimbang ketika kita berada di bawah
pendudukan Jerman... Pertanyaan yang sesungguhnya tentang kebebasan dengan begitu, terungkap sudah dan kita
berada di ambang pengetahuan yang sebenarnya tentang kebebasan kita sendiri ... Pertanggungjawaban mutlak dalam
kesendirian yang menyeluruh .. bukanlah itu merupakan berkah dari kebebasan kita?"
Dalam pandangan Sartre pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran sendiri, bukanlah
pengalaman yang mudah dan mengenakan. Kebebasan ternyata penuh dengan paradoks dan sekaligus menyesakkan.
Kebebasan "dibebankan" kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya
begitu saja. Selain itu, kebebasan bukanlah sesuatu yang mapan dan padat (masif), yang bisa kita andalkan sebagai
sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sebaliknya, kebebasan itu amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi
yang rentan dan terancam.
Ancaman itu sesungguhnya berasal dari Benda. Benda mempunyai daya tarik dan daya pikat yang luar biasa
besar, yang mampu menyerat dan menghancurkan kebebasan. Kebebasan merupakan sasaran empuk dari kuasaan
Benda, yang keberadaannnya luar biasa masif dan melimpah ruah ( de trop). La nausee berisi ilustrasi tentang ancaman
Benda terhadap kebebasan. Benda telah menyebabkan kedangkalan jiwa manusia, Persona benda lebih menggoda dari
kebabasan yang tidak menyenangkan itu, Maka sang tokoh kita akhirnya memilih untuk menajiskan kebebasannya dan
tunduk pada persona dan kelimpahan Benda.
Memilih untuk menyangkal kebebasan dan berserah diri kepada Benda, ternyata tidak berarti bisa lepas begitu saja dari
kebebasan dan tanggung jawab. Kekebasan tidak bisa kita nafikan atau kita najiskan begitu saja, karena dia adalah
"takdir" yang telah ada dan akan selalu memburu kita.
Pengalaman tentang kebebasan dan Benda tersebut mewarnai pemikiran Sartre yang membawa pandangan
dualistik : Dualisme antara Ada yang subjektif dan ada yang objektif. Antara kebebasan dan Ada. Antagonisme dari
kedua "instansi" tersebut pulalah Sartre untuk direkonsiliasikan dalam filsafatnya. Apakah yang menjadi akar
pertentangan Subjek dengan Objek, antara Kebebasan dan Benda itu ? Francis Jeanson, telah mengadakan penelaahan
atas karya Sartre, dengan jawabannya yakni "Haram Jadah" (Bastardy) dan Kebanggaan (Pride).
Dalam biografi Sartte dinyatakan bahwa dia dibesarkan sebagai anak yatim oleh kakeknya yang meyakinkan
dirinya bahwa eksistensi tidak sah, tidak pada tempatbnya dan tidak dikehendaki atau "Aku adalah Haram Jadah yang
Konyol". Pengalaman ini meyakinkan dirinya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah sia-sia, absurd, penuh
permusuhan dan sakwasangka. Pendiriaan ini makin memdapatkan pembenarannya di dalam pengalaman Heidegger
tentang "Keterlemparan", dimana kita sebaga manusia sesungguhnya tidak mengetahui asal-usul dan alasan keberadaan
kita hidup sendiri.
Petunjuk kedua dalam tema "Kebanggan" yakni sebuah tema Sartre pada humanisme eksistensi: " Kebanggan"
bahwa manusia adalah satu-satunya pusat dari realitas. Dan atas dasar "Kebnggaan" itu Sastre, mengikuti Husserl,
hendak menghapuskan benda-benda dari kesadarannya. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan.
Peranan Fenomenologi dalam Perkembangan Pemikiran Sartre.
Sartre mengakui usaha merekonsiliasikan antara subjek dan objek, (kebneasan dan benda) ternyata bukan
merupakan usaha yang gampang. Dia telah mengalami percobaan, kegagalan dan perubahan jalan tenpuh, menuju
kesulitan yang dihadapi. Bagaimana fenomenologi berperan dalam memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh Sartre.
Periode Prafenomenologis
Menurut sartre ada paradoks dari semangat manusia .. bahwa manusia yang hampir seluruh perbuatannya
dimaksudkan untuk mewujudkan kemampanan, untuk menciptakan kamasifan, sesungguhnya tidak pernah beranjak dan
mengangkat dirinya ke taraf Ada. Karena alasan itulah saya melihat akar kesia-siaan dan kejemuan baik pada manusia
maupun pada alam. Hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak memikirkan dirinya sebagai sesuatu yang ada (un etre).
54
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Sebaliknya, ia mengarahkan segenap usahanya untuk bersatu dengan Ada. Gagasan –gagasan menusia tentang
Kebaikan dan Kejahatan adalah simbolik dari gagasan-gagasan tenang Ada, yang keberadaannya tidak dapat digapai
manusia. Gagasan itu adalah gagasan yang sia-sia. Semua sis-sianya dengan determinisme yang paling radikal, yang
mengasalkan eksistensi dari Ada. Kita, manusia, sebenarnya bebas sebebasanya , tapi tidak berdaya ... Segala-galanya
terlalu lemah, segala-galanya terlampu rapuh.
Salah satu ilustrasi yang diberikan Sarttre untuk menunjukkan paradoks manusia untuk menunjukkan
kebabasan dan Ada – adalah sikap atau tindakan manusia relijius. "Sikap teologis manusia relijius" dilandasi oleh
kepercayaan bahwa manusia baru menjadi manusia, jika ia mampu membebaskan diri dari kondisi relatif kemanusiaanya
dan bersatu dengan Ada absolut. Manusia relijius memandang dirinya sebagai Kehadiran Yang Absolut dalam situasi
yang relatif.
Sikap itu menambah sikap yang dilandasi oleh keprcayaan yang ansurd dan sia-sia. Kekabasan (manusia) dan
Ada tidak dapat dipadukan atau direkonsiliasikan. Masing-masing mempunyai cara beradanya sendiri, masing-masing
mempunyai karakteristik sendiri, maka dari itu, tanpa ragu-ragu Sartre memandang manusia sebagai " nafsu yang tidak
berguna" sebagai "gairah yang sia-sia. (Man is a useless passion).
Periode Psikologi Fenomenologis
Periode psikologi fenomenologis, pendekatan Sartre bukan saja ilmiah dan konkret, tetapi bebas dari
pesimisme, yang memberi permulaan baru yang dibayangi dengan filsafat dan psikolgi tradisional. Sudah ada alternatif
untuk perlindungan dan kebabasan dari rasa muak karena Ada, dengan jalan masuk kepada dimensi Keindahan. , setelah
gagal bersatu dengan Ada dengan menghibur diri dengan musik jazz, dengan puncaknya menciptakan ",.. sesuatu yang
indah.." yang membuat manusia mau dengan eksistensinya sendiri. Menurut Sartre keindahan itu sebagai "daerah yang
bebas dari kenyataan yang memuakkan, sesuatu wilayah tempat kita bernaung dan membaskan diri dari perasaan mau
muntah".
Minat Sartre pada masalah psikologi fenomenologis seperti emosi dan imajinasi, pun, dapat kita tempatkan di
dalam konteks rekonsiliasi antara kebabasan dan Ada. Emosi mempunyai makna, merupakan perilaku yang berlandaskan
pada pilihan-pilihan dan motof-motif dan pada harapan-harapan tertentu. Emosi merupakan kesadaran spontan. Melalui
"emosi" kesadaran berusaha mempunyai sasarannya secara "magis" yaitu dengan cara melarikkan diri dari realitas.
Kesimpulan ini bukan hanya bertentangan dengan teori-teori psikologi tradfisional, yang memandang manusia
sebagai makhluk yang tunduk pada nafsu-nafsu hewani, melainkan juga memperkokoh pendapatnya tentang kebebasan
mutlak yang terdapat pada manusia. Emosi adalah perilaku yang dipilih, yang berasal dari kebebasan manusia.
Konsekwensinya, manusia tidak dapat menghidar dari resiko atau tanggung jawab yang mungkin ditimbulkan oleh emosi
atau perilaku atau tanggung jawab yang mungkin ditimbulkan oleh emosi atau perilaku emosional, karena dilandasi oleh
motif dan harapan pelakuknya, jadi berasal dari kebebasan absolutnya.
Imajinasi, sebagai tindakan menarik diri dari kenyataan kausal" mempunyai makna, karena ditujukan untuk
melepaskan diri dari determinisme Ada. Fungsi negatif dari imajinasi disebabkan oleh fakta, bahwa ia merupakan fungsi
dan kesadaran yang tidak dimasukkan kepada kenyataan kausal. Imajinasi dapat membebaskan diri dari kausalitas dan
pertualangan secara tidak terhingga. Sedangkan fungsi "menidak" pada realitas menyebabkan dunia yang imajinasikan
berada dalam posisi sebagai perlawanan terhadap dunia nyata. Jadi, tidak bersentuhan dengan kauslaitas alami yang
deterministik.
Periode Ontologi Fenomenologis
Dimulai dengan terbitnya Ada dan Tiada (L'etre et le meant), perpaduan antara ontologi dengan berbagai
bentuk baru psikoanalisis yang kemudian disebut Psikoanalisis Eksistensial, merupakan analisis eksistensialatas manusia
(Dasein),berkenaan dengan kesadaran. Deskripsi tentang Ada-pada dirinya hanya mnyita empat bagian penting dalam
Ada dan Tiada, yaitu.
a. Keindahan dengan struktur kesadaran, kesadaran nmerupakan gerbang menuju ketiadaan dan tanpa kesadaran,
tidak mungkin ada ketiadaan, selanjutnya karena kesadaran melaui menindak, menutup dari terhadap Ada.maka
kesimpulannya sumber negasi itu adaah kesadaran dan kesadaran pada prinsipnya adalah ketiadaan.
55
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
b. Struktur kesadaran dalam faktisitasnya, kemudian dalam temporalitas dan dalam tyransendensinya ke arah Ada
(jadi: sangat dekat dengan Analisis eksistensial Heidegger).
c. Perubaan antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain., "ada bagi orang lain" , terlihat dalam tatapan,
sorot mata kta diarahkan ke sorot mata yang lain. Sartre secara intens mengamati gejala tubuh menurut pengalaman
diri sendiri dan menurut pengalaman orang lain. Hasilnya dari pengalaman ini berupa anggapan Sartre tentang
konflik: Perhubungan antara kesadaran yang satu dengan yang lain adalah konflik, suatu pertentangan yang tidak
bisa diperdamaikan.
d. Deskripsi tentang esensi kesadaran sebagai suatu aktifitas dan kebebasan. Berbeda dari Heidegger, Sartre sangat
menekankan peranan aktif eksistensi manusia. Dasar dari aktifitas itu adalah kebebasan absolut dan pertanggung
jawaban manusia yang tidak bisa ditawar-tawar.
Interpretasi tentang kesadaran memperkokoh keyakinan Sartre, bahwa kesadaran pada prinsipnya kurang
terang dan kurang masif, sedangkan Ada adalah gelap, masif dan melimpah ruah. Karena itu kesaadaran adalah
kekurangan Ada. Sistesis (rekonsiliasi) baru tercapai dengan cara mengorbankan Ada bagi kesadaran.. Kesadran juga
memiliki aktivitas yang positif, yakni memberi makna pada semesta Ada. Yang membuka kemungkinan memaknaai yang
Ada, tanpa kesadaran tidak ada makna.
Karakter positif kesadaran bereksistensi yang berarti pemberian makna pada Ada. Yang berada dalam Dunia.
Dalam setiap kontak antara kesadaran dan dunianya, kita temui rekonsiliasi dari subjektif (kesadaran) dan yang objektif
(Ada) berdasarkan pada kegiatan aktif kesadaran dalam menembus balantara Ada.
Pembahasan selanjtan tentang periode Eksistensialisasisme fenomenologis, beberapa karakteristik utama fenomenologi
Sartre dan tema-tema penyelidikannya serta beberapa ilustrasi gejala manusia dilanjutkan pada modul berikutnya.
Peranan Eksistensialisme Fenomenologis
Eksistensialisme Sartre terkenal melalui suatu faham humanisme. Humanisme eksistensialisme bisa dikatakan
bentuk humanisme baru karena dasarnya yang khas. Yaitu tidak ada universum apapun di luar universum manusia.
Universum manusia adalah universum hasil dari proyek transedensi diri dan proyek aktif subjektifitas
manusia”.
Humanisme Sartre masih tetap mempertahankan atheismenya. Beberapa interpretasinya tentang manusia
(kesadaran) mengalami perubahan yang cukup berarti. Pandangannya yang semula muram tentang manusia, kini
menunjukan tanda-tanda optimistik. Manusia tidak lagi dipandang sebagai ”gairah yang sia-sia”, melainkan dipandangnya
sebagai ”anugrah”. ”Menjadi manusia”, tulis Sartre tidalk lain adalah anugrah, suatu berkah yang luar biasa, hanya jika
manusia itu sendiri mengakui kebebasan absolutnya dan pertanggungjawaban yang menyeluruh.
Perubahan juga terjadi berubahan adalah tentang hidup bersama atau realasi antara manusia. Dasar dari
penghubung antar manusia tidak lagi dinterpretasikan sebagai konflik, melainkan kebersamaan”. Dalam memeilih dan
memep[erjuangkan klebebasan manusia tidak harus melakukannya untuk kebaikan diri sendiri, melainkan kebaikan untuk
segenab umat manusuia. Ini adalah periode ketika pemikiran Sartre mulai akrab dengan Marxisme. Ketika dia aktif dalam
politik internasional. Dan ketika eksistensialisme dipandang sebagai filsafat yang mempunyai komitmen politik. Dalam
periode ini ”pembebasan” eksistensi manusia bukan lagi dengan cara berlindung di bawah naungan keindahan dan
penciptaan artistik, melainkan dalam bentuk perjuangan sosial dan komitmen yang tiggi pada revolusi sosial kaum
proletar.
Minat Sartre terus dilanjutkan pada penyelidikan fenomenologis, yaitu merekonsiliasikan subjek dengan objek.
Hanya saja yang dirensiliasi lebih menitik beratkan pada metode atau pendekatannya, yakni pendekatan ”objektif” dan
pendekatan yang ”Subjektif”, yaitu untuk menunjukkan batas-batas interpretasi psiko-analisis dan batas-batas penjelasan
Marxis, serta membuktikan gagasan bahwa kebebasamn itu sebetulnya merupakan suatu kepribadian.
Dalam pandangan Sartre, kita perlu ” mencegah pendekatan yang terlalu subjektif (yang berasal dari
psikoanalisis) dan sekaligus menghindar dari pendekatan yang terlalu objektif (yang berasal dari Marxisme) pada gejala
manusia. Dengan demikian usaha ini sebetulnya menghubungkan kesadaran (subjek) dengan dunianya (objek). Hanya
saja di dalam Jean Genet Sartre menyebut pendekatan ”Psikoanalisis Eksistensial”, kendati dalam banyak hal
sebenarnya adalam fenomenologi, khususnya Feneomenologi Hermeneutik.
56
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Karakteristik Utama Fenomenologi dan Tema Penyelidikannya.
Mengamati perkembangan pemikiran Sartre yang begitu panjang dan tidak ada konsepsi yang tertulis sendiri
olehnya tentang fenomenologi, maka sulit bagi kita untuk mengidentifikasikan esensi fenomenologi yang pas menurut
rumusan Sartre sendiri. Oleh sebab itu, tugas kita hanyalah memilih beberapa kkarakteristik utama dari fenomenologi
Sartre dan bagaimana hasil penyelidikan fenomenologinya pada gejala menusiawi yang telah diselidiki. Dengan begitu,
kita dapat mecermati di mana sebenarnya letak orisinalitas fenomenologi Sartre dibandingkan dengan fenomenologi dari
dua fenomenologi sebelumnya yakni Husserl dan Heidegger.
Tema Penyelidikan Sartre
1. Penolakan atas Ego Transedental Hurssel dan Intrepretasi Sartre tentang Fenomenologi Eksistensi Manusia
Pada prinsipnya Sartre menyetujui ajakan Husserl, baginya kesadaran gejala sangat menarik, akan tetapi dia tidak mau
mengulang apa yang telah dilakukan Husserl, yaitu untuk menempatkan ego pada tingkat transedental. Bagi Sartre
alasannya sangat jelas yang berarti masuk kepada dunia idealisme. Dia mencoba menurunkannya pada tingkat
eksistensial (realita humanisme). Kesadaran haruslah kesadaran eksistensial, fenomenologi bukan transedental
melainkan fenomenologi eksistensi manusia.
Interpretasi Sartre tentang Ego dan kesadaran dihubungkan dengan eksistensi berkaitan dengan eksistensi Heiddegger.
Perbedaan hanya pada mengartikan ”eksistensi” bahwa manusia adalah ahasil dari perbuatan bebas manusia. Eksistensi
untuk menunjukan pada kesadaran konkret manusia dalam aktifitas bebasnya. Hedegger eksistensi dihubungkan dengan
temporaltas (masa depan). Jadi eksistensi dalam interpretasi Heidegger, bukan suatu yang mendahului esensi, karena
baru akan wujud pada masa yang akan datang dari hidup manusia.
Sartre menggunakan kata kerja transitif ”bereksistensi”, berarti eksistensi manusia selalu melibatkan tubuh. Kita hidup di
dalam dan melalui tubuh kita , Setiap perhubungan kita dengan dunia adalah perhubungan kita melalui media kesadaran
akan tubuh kita. Melalui tubuh dan karena kesadaran kita akan tubuh kita sendirilah, maka aktivitas kita dimungkinkan.
Sartre menjlaskan eksistensi bukan hanya cara berada yang khas manusia, tetapi juga perilaku sadar dan konkret
manusia dalam dunia dan bersesuaian dengan dunia yang dialaminya.
2. Kesadaran dan Fenomenologi
Salah satu sumbangan terpenting Sartre pada perkembangan fenomenologi adalah konsepsinya tentang kesadaran. Ia
membedakan antara kesadaran reflektif dan kesadaran pra-reflektif untuk memp[erluas pengertiannya tentang kesadaran.
Menurutnya adalah sebagai berikut:
a) Kesadaran Reflektif, adalah kesadaran yang memnbuat kesadaran pra-reflektif menjadi tematik (kesadaran yang
membuat kesadaran yang tidak disadarai menjadi ”kesadaran yang disadarai”).
Contoh: (dalam refleksi – kesadaran reflektif). Kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang tadi saya baca,
melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku (kesadaran yang tidak disadarai).
b) Kesadaran pra-reflektif, adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian kita (baik objek dalam
kehidupan sehari-hari kita maupun objek dalam pemikiran atau penelitiann kita).
Contoh: Ketika saya membaca buku, kesadaran saya tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang membaca,
melainkan pada bahan (isi buku) yang sedang saya baca (kesadaran yang tidak disadarai).
Titik tolak fenomenologi Sartre dan sekaligus tema utama penyelidikan Sartre adalah kesadaran yang pada prinsipnya
adalah kesadaran pra-reflektif. Hidup keseharian dan eksistensi sehari-hari adalah hidup dan eksistensi melalui pra-
reflektif. Pada kesadaran pra-reflektif, ego (subjek) bukanlah ego yang mengarahkan kesadarannya pada perbuatannya.
Kesadaran pra-reflektif menopang kesadaran reflektif secara bersamaan.
Tugas Fenomenologi dalam hubungannya dengan kesadaran pra-reflektif adalah mereflektif kesadaran pra-reflektif
(membuat tematik kesadaran ”yang tidak disadari”)
Dalam fenomenologi, kesadaran pra-reflektif , kita refleksikan atau kita buat menjadi tematik, sehingga kita menjadi
paham apa makna sesungguhnya dari perbuatan kita dan bagaimana objek dari perbuatan itu kita maknakan.
3. Karakter Negatif Kesadaran
57
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Yang paling orisinal dari konsepsi Sartre tentang kesadaran adalah tekanan pada karakter negatifnya. Fungsi negatif
kesadaran tidak kita temukan baik pada Husserl maupun pada Heidegger. Kajian awal Sartre dalam feneomenologiis,
khususnya adalam tentang imajinasi, yang sudah memperlihatkan perhatiannya pada karakter negatif kesadaran ”terarah
pada objek yang tidak ada”. Pada obejk yang dimanapun tidak menampakkan kehadirannya. Dalam Ada dan Tiada,
fungsi negatif kesadaran itu lebih diberikan tekanan lagi. Sartre menganalisa kesadaran dalam hubungannya dengan
ketiadaan . Hasilnya memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok dari analisis Heidegger dalam Ada dan Waktu.
Menurut analisanya kesadaran adalah sumber yang menciptakan ketiadaan. Ini berarti bahwa berbeda dari
analisa Heidegger, yang tidak menempatkan dasein sebagai sumber dari ketiadaan – kesadaran tidak lain dan tidak buka
adalah sumber atau asal-usul yang melahirkan ketiadaan. Yang dimaksud Sartre dengan ”Ketiadaan” wujud sebenarnya
dari ketiadaan adalah ketidakhadiran dari bagian-bagian yang hilang dalam totalitas Ada. Akan tetapi yang hilang dalam
totalitas Ada sebetulnya tidak bersumber dari Ada sendiri, melainkan dari negativitas kesadaran, yakni dalam perbuatan
”menindak” terhadap Ada.
Berbeda dengan Heidegger yang menempatkan ketiadaan sebagai ancaman terhadap dan sekaligus sebagai latar
belakang dari - Ada. Bagi Sartre, ada adalah penuh, masif, padat, dan melimpah ruah sehingga tidak ada tempat bagi
ketiadaan. Ketiadaan adalah suatu yang ”mendunia” dan terbentuk karena harapan-harapan yang berasal dari kesadaran
– kesadaranlah yang menciptakan ketiadaan.
”Saya mempunyai janji pada Piere ubtuk bertemu di sebuah Cafe pada pukul 4 sore. Saya baru tiba 4 lewat, biasanya
Piere selalu tepat waktu. Apakah ia akan menunggu saya. Ketiadakhadiran iere hanya mungkin dengan mengatakan
”tidak” terhadap Ada yang menjadi latarbelajkangnya.
Dibalik negativitas kesadaran itu terkandung harapan atau pengharapan. Kitiadaan berhubungan dengan harapan
kesadaran kemudian ditarik kesimpulan demikian.
Sudah pasti, bnahwa ketiadakhadiran Piere mengandaikan hubungan yang asasi antara saya dengan cara ini. Ada
banyak sekali orang yang tidak menghubungkan dengan negatif, seandainya mereka mengharapkan untuk membangun
ketidakhadioran rekan-rekan mereka. Akan tetapi saya berharap melihat Piere dan harapan saya menyebabkan
ketidakhadiran Piere terjadi secara nyata di kafe ini.
4. Kebebasan
Aspek negatif kesadaran berhubungan erat dan esensi kesadaran itu sendiri, yakni kebebasan. Sartre seringkali
menggunakan istlah kebebasan yang menimbulkan kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan. Dalam kajian
fenomenologisnya tentang imajinasi, ia coba membuktikan bahwa kesadaran imajinatif mengandaikan kapasitas
manusia , menjauh dari kausalitas dunia, sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya.
Setiap bentuk kesadaran dan hubungannya dengan dunia selalui dilandasi oleh terputusnya ”negasi terhadap relasi”
kausal. Bahkan yang menjadi dirinya sendiri, kesadaran harus bebas terlebih dahulu dari kausalitas tersebut.
Dalam pandangan Sartre tentang kebebasan, kita bisa melihat ada dua unsur positif, unsur positif itu dikaitkan dengan
pilihan dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sensiri. Kendati kebebasan pada prinsipnya dan pada awalnya
”dibebankan” pada manusia dalam suatu situasi yang sudah tentu dan bukan merupakan pilihannya, tapi manusia bebas
sebebasnya untuk mengubah makna situasinya itu, yakni melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan
ditentukan oelh dirinya seniri. Contoh: lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, kebebasan tidak mungkin terwujud
tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia tanpa situasi-situai yang tidak dipilihnya sendiri.
5. Kecemasan
Heidegger, menyatakan keadaan mencekam di sebabkan oleh ancaman dari ketiadaan. Sartre, dihubungkan dengan
kebebasan dan tanggung jawab, Kalau kesadaran identik dengan kebebasan maka jaminan keberadaan dan
kelangsungan hidup diri dan eksistensinya tergantung pada kebebasannnya dengan demikian kebebasan dan tanggung
jawab bukan sesuatu yang menggembierakan justru menimbulkan kecemasan.
Kecemasan adalah gejala universal dan terjadi pada setiap manusia saat manusia tsb menyadari akan kesendiriannya
dan harus memikul dipundaknya sendiri seluruh tanggung jawan yang bersumber dari kebebasan.
58
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Kecemasan konsekwensi dari kebebasan tsb dipikul sendiri dan bisa menggoyahkan eksistensi individu itu sendiri.
Misalnya keputusan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan. Melibatkan diri dalam suatu organidsasi politik
yang radikal.
6. Malafide
Sartre mengakui bahwa kecemasan tidak sungguh-sungguh tidak selamanya disadari manusia. Kecemasan datang begitu
saja pada situasi tertentu dan berlangsung pada taraf kesadaran pra-reflektif. Namun tidak berarti bahwa kita sama sekali
tidak menyadari kecemasan kita dan kebebasan yang melatarbelakangi.
Mengingklari kebebasan kita sendiri, seperti hanlnya dalam gejala malafide (bad faith) adalah bukti dari adanya kesadaran
akan kebebasan dan kecemasan kita. Tapi dalam malafide kenyataan itu tidak diakui . dalam malafide m,anusia menipu
dirinya dengan cara menyangkal kebebasan dan menutupi kecemasannya. Manusia mengidentifikasikan diri dengan
obejek dan tidak mengakui dirinya sebagai subjek.
Manusia malafeide sering memberikan pernyataan sebagai berikut:
”Sifat saya memang begitu mau apa lagi”
”Itu sudah menjadi ketentuan pemimpin kita, sehingga adil atau tidak adil harus kita lakukan”
”semua itu bukan kemauan saya, jadi apapun yang terjadi bukan tanggung jawab saya”
Tapi manusia malafide juga bisa tampil dalam bentuk lain. Misalnya: orang-orang yang tidak tanduknya bukan ditentukan
oleh pendapat atau kehendak umum, tapi dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan citra yang dibentuk oleh orang
lain terhadap dirinya. Contohnya seorang pelayan yang sangat lihai membawa sampan, manusia malafide bisa saja tampil
pada ilmuan / psikolog yang menyakini teori-teori deterministik dan menjadikan teori tersebut sebagai alasan menyangkal
kebebasan dan tanggung jawabnya. Beberapa ilustrasi tentang gejala manusia, hasil dari praktek fenomenologi
eksistensial Sartre.
A. Imajinasi
Sartre mengadakan studi kritis tentang imajinasi dan menyorotinya dalam cahaya fenomenologi. Sartre memuji
analisa Husserl tentang gejala imajinasi yang mampu membedakan antara imajinasi dengan persepsi dan
pernbuatan imajinasi yang bersifat imanaen danobjek yang diimajinasikan bersifat transenden.
Fenomenologi Sartre tentang imajinasi dituangkan dalam ”psikologi fenomenologis tentang imajinasi” dengan
meninggalkan karya yang sangat orisinil dan membatasi perhatian pada perbedaan antara persepsi dan imajinasi
menurut empat karakteristik dasarnya, yaitu:
1. Perbedaan persepsi antara persepsi dan imajinasi tidak terletak pada kehadiran dan ketidahadiran suatu citra,
tetapi pada cara terarahnya kesadaran kita pada objek intensionalnya. Tidak ada perbedaan asasi antara objek
yang diimajinasikan dengan yang dipersepsi, baik sifat atau tempat, melainkan cara menyadarinya.
2. Melibatkan cara kita mengalami objek. Dalam persepsi sepenuhnya tergantung pada observasi, tetapi imajinasi
pada quasi – imajinasi. Dalam persepsi pengamatan membawa pada hal baru. Imajinasi tidak terjadi, kendati
quasi observasi pada objek yang diimajinasikan terus berlanjut. Karena quasi observasi steril sehingga sekali
imajinasi berhenti, maka berikutnya menjadi tidak berguna.
3. Imajinasi menghadirkan objeknya dengan karakter negatif, sebagai sesuatu yang tidak ada. Dibandingkan
dengan perspektif, imajinatif selalui kekurangan objek.
4. Imajinasi jauh lebih spontan, keretif dan produktif dibandingkan dengan persepsi.
B. Emosi
Dalam teori emosi, Sartre mengajukan pertanyaan ”Apakah fungsi emosi dalam eksistensi manusia?. Di belakang
pertanyaan ini terkandung pengertian bahwa emosi mempunyai struktur teleologisnya (telos = bertujuan) sendiri dan
sama sekali bukan hasil sampingan atau gangguan yang tidak mengandung arti bagi kehidupan rasional kita. Emosi
dipastikan merupakan suatu bentuk perilaku yang bermakna dan bertujuan. Maka dalam beberapa hal ia setuju
dengan para psikolog Gestalbis, yang menginterpretasikan emosi sebagai ”penjelasaan yang masih” kasar” atas
Konflik” atau ”suatu cara mengambil keputusan secara tergesa-gesa, untuk mengakhiri keraguan.
Ambisi Sartre adalah menghapus konsepsi mekanis tersebut. Berdasarkan pada konsepsinya tentang kesadaran
prareflekstif, ia mengubah bentuk hipotesis tentang ketidaksadaran dalam suatu cara yang sedemikian rupa
sehingga ia mampu menerangkan irrasionalitas kehidupan emosi kita. Sartre menemukan fakta bahwa bentuk-
59
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
bentuk perilaku emosional sesungguhnya menunjuk pada posisi kita dalam dunia sebagai suatu keseluruhan.
Kualitas-kualitas tersebut tentu saja kurang realistik dibandingkan dengan apa yang biasa kita hadapi dalam dunia
nyta karena kualitas2 tersebut adalah bagian dari dunia ”magis” kita.
C. Tatapan
Salah satu deskripsi fenomenologis Sartre yang juga cukup orisinal antara lain mengenai tatapan manusia. Ia
memasuki diskusi tentang ”orang lain” tentang dunia sosial. Sartre memperkenalkan masalah ”tatapan” dengan
mengajak kita untukl merenungkan kasus penglihatan kita pada seseorang yang tidak kita kenal, yang lewat dimuka
kita. Pertama-tama orang itu mungkin tidak kita acuhkan, seolah-olah ia adalah objek yang tidak bernyawa, seperti
halnya patung atau boneka. Kita memandang dan mempertimbangkan orang itu sebagai manusia. Mulai saat ini kita
memandangnya sebagai seorang manusia dengan tatapan yang terarah pada objek-objek yang sama seperti yang
kita lihat.
Saat-saat menentukan ketika kita menjadi subjek bagi saya adalah manakala tatapannya yang semula terarah pada
objek-objek yang sama-sama kami lihat. Ini adalah pengalaman yang menjadikan eksistensi ”oang lain” sebagai
sesuatu yang pasti, yang tidak dapat diragukan keberadaannya.
Tanpa memberikan deskripsi lengkap, Sartre menunjukkan beberapa karakteristik yang menarik dari gejala tatapan.
Ciri utama dari tatapan adalah bahwa ia mempunyai akibat nyata pada kesadaran, yang mengalami dirinya ditatap
oleh orang lain. Tatapan mampu ”membekukan” Objeknya, tatapan ”memperkuat” atau membuat kaku ”apa yang
akan ditatapnya. Relasi antar manusia, dalam pandangan Sartre tidak lain adalah suatu perseteruan suatu usaha
untuk saling mengobjekkan atau menjadikan diri sendiri sebagai subjek bagi orang lain.
Tatapan pun merupakan dasar bagi interpretasi Sartre yang kemudian tentang drama atau tragedi sosial, setiap
upaya untuk menyelesaikan konflik antar manusia tidak lain adalah usaha yang sia-sia karena setiap penyelsaian,
pada akhirnya bakal mengorbankan manusia yang satu atau manusia yang lain.
D. Tubuh
Gejala tubuh oleh Sartre dilihat dalam perspektif filsafat sosial. Oleh sebab itu, perhatian Sartre tidak diarahkan pada
tubuh sebagai objek penilaian ilmiah, seperti di dalam ilmu anatomi atau fisiologi.
Tubuh sebagaimana dialami langsung secara sadar oleh kita dan fungsi tubuh dalam kaitannya dengan relasi kita
dengan ”orang lain”. Aktivitas otak dan kelenjar endoktrin yang bekerja dalam tubuh kita, melainkan kita mengalami
tubuh sendiri sebagai tubuh – subjek yang diselidiki 3 dimensi / segi, seperti berikut:
1. Tubuh saya bagi saya sendiri, pengamatan Sartre pada tubuh menghasilkan kesimpulan bahwa pada tingkat
kesadaran pra-reflektif kita ”mengada” Pada – atau ”menghidupi” tubuh kta bahwa kesadaran kita secara
otonomtis ”terlihat” dalam tubuh kita ”melepaskan” diri dari tubuh kita.
2. Tubuh saya bagi orang lain, tubuh kita sebagaimana tampak bagi orang lain pada dasarnya merupakan gejala
tubuh yang sangat kaya pandangan orang lain tentang tubuh kita. Sebagai darah dan daging yang tergeletak di
meja, operasi, sebagai objek pemuas nafsu seks, sebagai bahan cemoohan karena kekurangan.
3. Tubuh bagi saya yang menyadari adanya sinergi kesadaran orang lain akan tubuh saya.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah yang dimaksud dengan merekonsiliasikan antara subjek dengan objek? Jelaskan!
2. Bagaimana Pandangan Sartre tentang "kebebasan"?
3. Apakah yang dimaksud dengan tentang benda (objek) dalam filsafat Sartre?
4. Apakah peranan fenomenologi dalam perkembangan pemikiran Sartre?
5. Bagaimana fenomenologi berperanan dalam memecahkan kesulitan yang diadapi Sartre?
6. Apakah pemikiran Sartre pada peride Prafenonologis?
7. Apakah yang dimaksud psikolgi fenomenologis menurut filsafat Sartre?
8. Terdapat empat penting dalam "Ada dan Tiada " peride Ontologi fenomenologis menurut filsafat Sartre.
jelaskanlah
9. Jelaskanalah kritik Sartre terhadap filsafat Heidegger dan Hussrl?
10. Bagaimana penolakan Sartre terhadap filsafat Husserl ?
60
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
11. Apakah yang dimaksud kesadaran dan fenomenologi menurut Sartre?
12. Apakah yang dimaksud Karakter Negatif kesadran menurut Sartre?
13. Bagaimana tanggapan Sartre tentang Kebebasan ?
14. Bagaimana kecemasan Sartre ?
15. Apakah yang dimasuk Malafide oleh Sartre?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius.
61
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 13
AFEKTIVITAS DAN KEBEBASAN MANUSIA
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis afektifitas dan kebebasan manusia.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis afektivitas dan
kebebasanmanusia yang meliputi sebagai berikut:
Kekayaan dan kompleksitas manusia
Apa yang bukan perbuatan afektif
Apa yang merupakan perbuatan afektif
Kondisi-kondisi afektifitas manusia
Kesenangan harus dicurigai?
Cinta akan diri, sesama dan Tuhan
Objek dan watak kodrati kehendak
Keaslian kehendak
Alasan membenarkan kebebasan
Dasar ontologis kebebasan
Materi Pembahasan
Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia
Manusia mempunyai kemampuan mengenal dan afektivitas. Kita dianugrahi afektivitas, maka kita tidak merasa
puas dengan memandang alam semesta saja, hal-hal menarik perhatian kita, menggerakkan hati kita. Afektivitaslah yang
menjadi pangkal kita bicara, tanda-tanda yang saling kita berikan atau ekspresi muda dan dialog. Oleh karena itu sering
bericara dengan orang-orang tentang hal yang menarik perhatian kita. Afektivitaslah yang memperlihatkan diri dalam
berbagai kelakuan kita termasuk kelakuan seksual. Melalui afektivitas kita didorong untuk mengikatkan diri pada sesuatu
atau seseorang, mengabdi untuk menjadi kreatif, membela diri, menyerang, dan bertempur.
Afektivitas manusia menyangkut kegiatan kompleks, sebelum kita sampai menyatakan secara tepatapa
afektivitas itu, kita memperhatikan kekayaan dan menjelaskan yang paling penting dari afektivitas. Seluruh kegiatan
afektivitas bersandar pada dua hal, yaitu mencintai dan mencintai Cinta sebagai akibat afektivitas yang baik disebut
afektivitas positif, sedang benci sebagai akibat dari sesuatu yang jelek yang disebut afektifitas negatif. Jadi, pada
hakikatnya cintalah yang berada pada asal mula dari seluruh hidup afektif, sekurang-kurangnya rasa cinta pada diri
sendiri.
Suasan hati dasariah, entah normal atau patologis, itulah yang menentukan bagaimana setiap orang berbeda
dalam dunia, yang memberikan kepadanya gaya kelakukan yang mewarnai seluruh kehidupan afektifnya. Suasana hati
dasariah setiap orang, ”lengkung intensionalnya” adalah yang merupakan akar kehidupan afektifnya, dimana perpaduan
antara tubuh dan rohnya, antara yang organis dan yang psikolog.
Apa yang bukan perbuatan afektif
Sejauh kita mengenal seseorang kita dapat mencintainya, dan hanya dengan mencintainya sungguh-sungguh
kita dapat mengertinya. Namun, mencintai bukanlah mengerti dan mengerti bukanlah mencintai. Buktinya, seseorang
yang mempertimbangkan atau cara tentang kebenaran, keadilan, cinta dan kesetiaan tidak selalu cenderung, secara
afektif, bersikap baik terhadap nilai-nilai itu, meskipun pengetahuan atau kefasihannya memberi kesan demikian. Sering
juga sesorang yang dengan berapi-api dan mengabdikan diri sekuat tenaga tidak selalu berbuat secara inteligen.
Cinta pada umumnya cenderung kesatuan afektif, yang terdiri dari kecenderungan, gerakan hati, proporsi,
persesuain, kecocokan dan kerelaan. Kehidupan afektif disebut ”affectueux” artinya lembuh dan ramah. Afektivitas dan
62
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
kehidupan afektif, harus meliputi semua sikap jiwa dari mana subjek didorong yang mendekatan dari mana baginya
merupakan sesuatu yang baik, atau dengan melarikan diri dari atau melawan apa yang baginya adalah sesuatu yang
buruk.
Istilah ”Affect” juga mengandung arti, semua keadaan afektif, menyusahkan atau menyenangkan. Afektif
disamakan denga kesanggupan merasa, yaitu keseluruhan kecenderungan yang berbeda dari aspirasi-aspirasi yang
betul-betul rohaniah dan malah mereka atau kesanggupan merasa. Demikian pula kehidupan afektif kita bersifat
jasmaniah dan dapat di rasa saja, tetapi kearah inteligebel dan spiritual. Afektivitas manusia tidak terbatas pada gerakan-
gerakan naluriah, tetapi juga pengaruh kebebasan. Oleh sebab itu, afektivitas termasuk dalam unsur-unsur pokok
dasariah kita berada di dunia dan dimensi-dimensi esensial roh kita.
Apa yang merupakan perbuatan afektif
Hidup afektif atau afektivitas adalah keseluruhan dari perbuatan afektif yang dialami oleh subjek dan juga
dinamisme-dinamisme perbuatan-perbuatannya. Perbuatan harus dimengerti sebagai segala pergerakan batin yang
akrena subjek ditarik oleh objek atau sebaliknya. Akan tetapi perbuatan afektif sungguh berbeda dari perbuatan
mengenal. Penyebabnya adalah:
1) perbuatan afektif itu lebih pasif dari perbuatan mengenal. Perbuatan afektif subjek lebih dipengaruhi/dikuasai
oleh objek. Akibatnya dalam perbuatan subjek lebih dikenal oleh pihak objek,
2) sejauh si subjek dikenal secara lebih intensif oleh objek, maka perbuatan afektif bisa disebut lebih ekstatis
daripada perbuatan mengenal. Karena lebih dinamis dan lebih afektif daripada perbuatan mengenal, maka
perbuatan afektif juga lebih bersifat realistis, karena subjek lebih dihunungkan dengan apa yang khusus dan
nyata dalam objek itu, berkat perbuatan itu, subjek cenderung mendekati atau menghindari objek justru
sebagaimana adanya, apakah menggunakan atau mengabdi kepadanya atau juga menolongnya untuk maju
atau sebaliknya menghancurkannya.
3) Perbuatan afektif lebih bersikap partisipasi dan kesatuan daripada perbuatan mengenal. Ini menjadi nyata
dalam cinta, cinta kesarakahan atau cinta keuntungan pertama-tama cenderung memakai objeknya, cari untung
itu atau nikmat, tetapi cita kerelaan lain, itu adalah persesuaian si subjek dengan objek.
Jadi, Perbuatan afektif berbeda dengan perbuatan mengenal sejauh yang pertama mengarahkan kita lebih kepada
dunia dan membuat kita berada secara lebih langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal, jadi bersifat lebih
eksistensial.
Kondisi-kondisi afektifitas manusia
Supaya ada afektifitas harus ada suatu daya tarik-menarik atau suatu ikatan kesamaan atau gabungan tertentu
antara si subjek dan objek perbuatan afektifnya. Akan menjadi nyata bila dibicarakan itu cinta dan perasaan-perasaan
yang berhubungan dengan cita karena jelaslah cita secara intisariah adalah persesuaian dan penelanan (sintonisasi),
kesatuan dan dua pihak yang ada persamaannya dan saling melengkapapi. Secara Psikologi juga menyangsikan bahwa
permusuhan dari seseorang menjadi makin sukar bagi kita, bila yang bermusuhan itu makin berikatan dengan kita.
Plato dan Aristoteles mendefinisikan kebaikan atau yang baik itu sebagai apa-apa yang dapat dijadikan objek
dari keinginan atau dari kecenderungan, sebagai apa-apa yang dapat cocok, karena alasan ini atau itu, dengan sesuatu
atau dengan seseorang. Mereka membedakan antara sesuatu yang baik karena berguna (bonum utile), sesuatu baik
karena enak atau menyenangkan (bonum delectabile) dan sesuatu baik karena pantas (bonum honestum).
Pengertian nilai, apa yang pantas diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti hidup, cinta, kebenaran,
keindahan, keadilan, kebebasan, kreativitas dan lain-lain. Di tinjau dari sudut subjek, maka nilai itu membangkitkan dalam
dirinya rasa hormat dan kekaguman, menimbulkan persetujuan dan keterlibatannya dan sebagai gantinnya menjanjikan
kepadanya penyempurnaan bagi dirinya sendiri. Dipandang dari dalam diri sendiri nilai itu adalah sesuatu yang betul-betul
berharga, yang pantas diperoleh dengan perjuangan keras dan makin orang dengan sepenuh hati memperjuangkan itu
makin itu atau menyamakan diri sebagai lebih kaya, nilai bersandar pada Yang Mutlak atau menyamakan diri dengan-
Nya yang melebihi semua objek dimana nilai direalisir untuk sebagi saja. Akan tetapi yang baik dan bernilai
berhubungan dengan subjek.
63
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Cinta akan diri sendirilah yang selalu ditemukan pada pangkal segala afektivitas sesuatu makhluk. Untuk
terjadinya perbuatan afektif tidak cukup bahwa subjek itu mengenal apa yang menarik baginya atau menyenangkan, tetapi
ia juga secara fundamental dan langsung siap sedia untuk mengalaminya sebagai suatu yang diinginkan atau ditolak. Ia
secara fundamental disiap-siagakan oleh keadaannya sendiri yaitu karena hidup atau karena manusiawi, oleh karena
alam yang telah melengkapinya dengan dinamisme-dinamisme afektif yang ini atau itu.
Ia disiap-siagakan secara langsung dengan kurang lebih baik menurut perkembangan yang telah dialaminya
atau pendidikan yang telah diterimanya. Orang-orang memutuskan pekerjaannya, kita tahu sekarang bahwa pengalaman-
pengalaman afektif pertama pada masa kanak-kanak sangat menentukan untuk keseimbangan kepribadian dewasa.
Kesenangan harus dicurigai?
Dari semua afektif, mungkin kesenanganlah yang merupakan cara yang paling sesuai dengan kodrat kita.
Sekurang-kurangnya, kesenanganlah yang kita cari secara paling spontan. Pentinglah ditinjau peranannya dalam
kehidupan afektif dan diakui betapa kesenangan itu perlu dalam kehidupan kita, tetapi juta kita harus memberi perhatian
kepada apa yang ambigu di dalamnya.
Kesenangan (plaisir, pleasure) adalah perasaan yangdialami oleh suatu subjek kalau ia didalangi atau
dihinggapi oleh suatu ”berada lebih intensif” atau ”berada lebih baik”, sebagai hasil dari ”bertindak dengan baik” atau
”mengalami dengan baik”.
Lawan dari kesenangan, penderitaan (douleur, sorrow) adalah cara afektif yang timbul dalam diri kita oleh
karena salah satu kecenderungan-kecenderungan kita dilawan, dirintangi, digagalkan, entah karena objek kecenderungan
itu luput atau ditarik kembali dari kita, entah kita tidak sampai mencapainya, mempergunakannya, atau berkomunikasi
dengannya. Untuk lebih tepat kita dapat memberdakan penderitaan (duleur, sorrow) dan sengsara (souffrance, pain).
Penderitaan mengandung arti penolakan atau protes si subjek terhadap suatu pengecilan dari keperibadiannya,
sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkan pengecilan itu sendiri.
Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terpenuhi atau tidaknya suatu
kebutuhan jenis biologis, tetapi juga tentang terkabul atau tidanya suatu kecenderungan jenis rohaniah. Kesenangan dan
penderitaan yangdapat dialami setiap orang ditentukan sifatnya dan diukur oleh sifat jiwanya yang dasariah. Akan tetapi,
jelas juga bahwa kesenangan dan penderitaan yang dialami setiap insan juga mempengaruhi sifat jiwanya dan sampai
batas tertentu mengubahnya.
Kecurigaandari para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan mereka terhadap
orang-orang yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka, tidak tanpa dasar. Sebab manusia
dari satu pihak berusaha mencari ”yang mutlak” dan kerinduan akan yang tak terbatas dan sebab dari lain pihak ia adalah
jasmani dan terbatas, maka secara spontan ia dapat cenderung untuk memenuhi kebuhtuhannya akan yang mutlak
dengan memakai hal-hal yang nisbi dan untuk memproyeksikan keinginannya akan yang tak terbatas di dalam realitas
terbatas ditemukan dan dilaksanakannya. Keberatan pokok terhadap perbuatan itu adalah mempersempit cakrawala dari
subjek dan mengurangi jangkauan afektivitasnya.
Dapat dimengerti relavansi seruan-seruan untuk hidup sederhana dan menguasai diri. Ajakan itu masih
bergema dalam anjuran-anjuran rohaniawan dari semua agama yang besar. Sesungguhnya sengsara itu mencegah kita
menghendaki yang kurang dan membawa kita sampai menghendaki yang lebih. Orang tidak memperoleh yang tak
terbatas seperti memperoleh suatu barang, orang hanya dapat memperolehnya dengan membuka diri kepada yang abadi,
mengosongkan diri dan mati raga.
Bersedia menjawab dengan seluruh kepribadian panggilan dan Sang Nilai, itulah sifat khas bagi hati besar.
Itulah puncak dari kehidupan efektif. Itulah yang memperbolehkn manusia untuk mencapai bukan hanya kesenangan dan
kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan.
Cinta akan diri, sesama dan Tuhan
Makin saya mencintai diri saya sendiri, makin saya tidak mencintai yang lain karena cinta akan diri sendiri sama
dengan egoisme. Jika mencintai sesama, karena ia adalah makhluk manusiawi, merupakan suatu kebajikan, maka
mencintai diri sendiri, karena diri sendiri juga makhluk manusiawi, tentu saya suatu kebajikan bukan kecelaan. Ajaran
64
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
agama mengatakan ” cintailah sesamamu seperti kamu sendiri. Ini berarti hormat kepada keutuhan dan kekhususaan diri
sendiri, cinta dan pengertian akan dirinya sendiri, tidak terpisah dari hormat, cinta dan pengertian akan orang lain.
Pada hakikatnya, cinta tak terbagikan dari pihak hubungan antara orang-orang lain dan dirinya sendiri. Kita
mengatakan keakuan sendiri harus menjadi objek dari cinta kita dengan alasan yang sama untuk mencintai siapapun.
Penegasan dari kehidupan, kebahagiaan, pertumbuhan dan kebebasan kita, berakar dalam kecakapan kita untuk
mencintai, artinya dalam pengertian, hormat, tanggung jawab dan pengenalan. Jika seseorang dapat memberi cinta
produktif, ia mencintai diri sendiri, tidak diri sendiri, juga tidak orang lain.
Cinta akan diri sendiri dan cinta tak berkepentingan akan secara manusiawi dapat dicocokan atau didamaikan
karena ciri khas dari makhluk rohaniah justru adalah menyempurkan diri lewat keterbukaannya kepada orang-orang lain.
Keterbukaan ini secara konkret menjadi nyata dalam dimensi-dimensi cinta yang disebut ”perhatian sungguh-sungguh”,
”hormat, tanggung jawab dan pengenalan”. Itulah kegiatan yang mengagumkan yang bernilai.
Jika kita harus mencintai Tuhan di atas segala-galanya dengan seluruh jiwanya, dengan seluruh hatinya dan
tenaganya, maka itu sama dengan mengasingkan diri dari diri sendiri dan berhenti mencintai diri? Tidak. Menyerahkan
kepribadian kita kepada Tuhan, kita tidak mengasingkannya. Tuhan bukan melawan kita, Tuhan adalah pokok pangkal
dari keperibadian kita masing-masing.’
Cinta yang paling dalam berasal kebebasan yang luhur, paling dalam yang membuat kita menjadi pokok
pangkal dari pembentukan sebagai manusia autentik. Melalui itu kita bisa menangkap hubungan-hubungan erat yang
mempersatukan cinta dan kebebasan, yang mengikat cita kepada kehematan dan kesederhanaan. Secara rela
melepaskan diri dari apa-apa yang merintangi kita untuk memberikan diri adalah suatu prinsip kemajuan dalam cinta
dalam kebebasan.
Melepaskan dengan rela, bersikap positif karena melepaskan diri dari keterbatasan dan kekakuan-
kekakuannya, kecongkakan dan prasangka-prasangkanya merupakan suatu keuntungan atau kemajuan. Pengorbanan
(sacrificium) membuat kita masuk dalam suasana suci (sacrum facere). Dengan membuat kita jadi rela akan sesuatu cinta
murni yang tidak mencari keuntungan diri , pengorbanan itu membuat kita lebih mengabil bagian dalam cinta yang
menghidupkan dan yang berbalas kasihan.
Objek dan watak kodrati kehendak
Yang dikehendai oleh manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Sepanjang hidup ini,
Tuhan tidak dikenal secara lengkap. Itu sebabnya mengapa manusia bisa tidak cenderung kepada-Nya pada taraf
kesadaran jernihnya. Ia dapat menyimpang dari kebaikan ilahi. Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena
manusia dapat berpaling secara eskplisit ke arah objek-objek lain seperti: kehormatan, kesenangan, kesehatan,
kekuasaan dan sebagainya.
Manusia mutlak ingin bahagia, secara objektif, kebahagiaan berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna dan
kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif, manusia
membunyai kemampuan untuk meletakkan kebahagiaannya dalam realitas-realitas lain, yang akhirnya mengarah atau
tidak mengarah kepada Tuhan. Kesempurnaan moral terdiri persis dari menetapkan keserasian yang sebaik mungkin
antara kedua aspek (objektif dan subjektif) dari kehendak itu.
Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan. Ini senantiasa adalah suatu
kebaikan. Kebaikan ini berujud material atau non-material, fisik atau moral, riil atau semua. Kebaikan fisik adalah kebaikan
yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme dalam cosmos. Kebaikan moral adalah kebaikan yang baik untuk
manusia sebagai ”ada” yang bebas. Kebaikan semu sesungguhnya adalah sesuatu yang jahat, tetapi tampak sebagai
kebaikan. Kebaikan semu itu adalah kejahatan untuk manusia kalau ia dipandang dalam keseluruhannya, tetapi kejahatan
itu tampak sebagai kebaikan untuk suatu tendensi yang lebih rendah.
Tujuan termasuk dalam bidang nafsu, sedangkan nilai tergolong dalam afektivitas. Tujuan adalah yang memikat
saya, nilai lebih merupakan sebabnya, mengapa yang memikat saya menimbulkan daya tarik terhadap saya. Orang
melihat dengan jelas konsep tentang nilai tidak tanpa guna di dalam filsafat. Justru oleh karena interaksi terus menerus
antara inteligensi dan kehendak itulah, maka manusia adalah suatu makhluk yang bebas. Hubungan antara kehendak dan
intelegensi dapat diperbantingan dengan hubungan yang ada antara pengerak dan cahaya yang memimpin melalui
65
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
terangnya. Kehendaklah yang cenderung kearah kebaikan dan intelegensilah yang menentukan jenis kebaikan kearah
mana kehendak cenderung dalam suatu hal yang konkret.
Peranan kehendak adalam memperhatikan bahwa perumusan itu dibawahi oleh kebaikan bagi manusia sebagai
keseluruhan. Kecenderungan fisilogis (kelaparan, kehausan, seksualitas) peranan kehendak terutama adalam peranan
pengarahan dan kontrol. Kecenderungan lain (keingintahuan, sosiabilitas, ambisi, naluri) dapat digunakan secara
langsung oleh kehendak. Ia tidak hanya sekedar manuasai mereka tetapi harus menjiwai mereka dan memanfaatkan
tenaga-tenaga mereka untuk mencapai secara lebih lengkap kebaikan dari manusia secara keseluruhan.
Keaslian kehendak
Keaslian itu adalah keaslian pengetahuan intelektual, walau tidak dapat berada tanpa pengetahuan inderawi,
namun sifat lebih tinggi dan tidak bisa direduksikan kepadanya. Semua perbuatan penguasaan diri (self control) adalah
perwujudan kehendak. Dalam kegiatan jenis itu, kita sadar akan kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu
kecenderungan lebih tinggi yang menguasai kecenderungan-kecenderungan yang lain.
Orang dapat menunjukkan perhatian sengaja yang jelas dapat dibedakan dengan perhatian spontan. Perhatian
spontan ada pada binatang. Ini adalah pemusatan indera dan otak pada suatu objek yang menguntungkan bagi suatu
kecenderungan tertentu. Pada perhatian sengaja, kita memusatkan indera pada perhatian sadar kita pada suatu objek
yang tidak secara spontan menarik perhatian kita. Kita memusatkan diri kita kerana kita menghendakinya, kita
memutuskan untuk berbuat begitu. Kita menhendakinya karena inteligensi kita mengatakan kepada kita bahwa itu adalah
sesuatu yang baik untuk dilakukan. Bandingkan , misalnya perhatian yang diberikan pada sebuat film polisi yang
menegangkan, dengan perhatian yang berdasarkan keputusan dan ditujukan pada sebuak teks penting dan sulit (untuk
mempersiapkan sebuah kursus atau ujian).
Alasan membenarkan kebebasan
Kebebasan berarti ketidakpaksaan. Ada macam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah
ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral buka atau kewajiaban. Kebebasan psikologis
adalah ketiadaan paksaan psikologis, suatu paksaan psikologis berupa kecenderungan yang memaksa seseorang untuk
melakukan perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih antara berbagai tindakan
yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak.
Beberapa pemikir modern dan ahli psikologi menginkari kebebasan kehendak itu. Tiga argumen klasik mengeni
kehendak, yaitu:
1) argumen persetujuan umum, sebagian besar manusia percaya bahwa mereka dilengkapi dengan kehendak
bebas, kehendak manusia adalah bebas. Pikiran sehat (common sense) menyatakan kebabasan itu,
kebebasan itu adalah kehendak manusia. Cara orang bertingkah laku sangat mempengaruhi sikapnya terhadap
doktrin kebebasan. Sesungguhnya bertingkah laku seperti mereka yang mengakui kebebasan kehendak,
kehendak mereka dan kehendak orang lain membawa kita kepada argumen kedua.
2) argumen psikologis, sebagian besar manusia secara spontan mengakui kebebasan, sebagai hasil pengalaman.
Secara langsung atau tidak langsung menyadari itu. Kesadaran langsung akan kebebasan, muncul dari ”aku”
saya yang dalam, dari dasar kepribadian saya, dari kehendak saya yang bebas, kalau saya mengambil suatu
keputusan, terutama untuk sesuatu yang penting dari pihak moral, saya sadar bahwa keputusan itu bebas.
Bagaimana proses kita menjadi sadar tentang siapa itu kita, itu sesuatu yang sangat berbeda dengan
pengetahuan ilmiah atau pengalaman kita sehari-hari. Kesadaran tak langsung, akan kebebasan keputusan
kita. Beberapa tindakan kita sehari-hari benar-benar kita sedari tidak dapat diterangkan seandainya kita tidak
bebas. Kita berunding sebelum mengambil keputusan, kita mempertimbangan pro dan kontra, kita menyesalkan
keputusan yang lalu ini berarti kita bebas berbuat yang lain. Kita mengagumi, memuji dan menghadiahi
perbuatan baik dan heroik secara implisit kita menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak
dipaksa untuk berbuat demikian. Kebebasan itu justru terdiri atas penguasaan rintangan – rintangan sejenis itu.
Kita mempunyai kesan bahwa kita bebas karena kita tidak sadar akan motif-motif yang menentukan kita. Suatu
66
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
keputusan yang tampak diambil oleh si subjek secara terpaksa , tanpa diketahuinya motif yang menekannya,
bukanlah pilihan bebas, tetapi suatu tindakan komplusif.
3) argumen etis, seandainya tidak ada kebebasan, tidak akan ada juga tanggung jawab moral, kebajikan, jasa,
keharusan moral, kewajiban. Hubungan yang kuat antara kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas
dan salah satu tugas dari etika adalam memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat karena rasa kewajiban moral
adalah sangat wajar pada manusia. Bahkan mereka yang menyangkal realitas-realitas itu dalam teori kelakukan
dalam kehidupan konkret seakan-akan realitas itu memang ada. Kebebasan adalah suatu pengabdian dari
pelaksanaan penilaian rasional, pembedaan antara yang benar dan yang salah, tetapi kebebasan adalah suatu
mengandaian kehidupan moral. Kita mengakui bertanggung jawab terhadap perbuatan kita, kita pun
berpendapat bahwa orang lain bertanggung jawab terhadap perbuatan sendiri dan akan tiada artinya kita
bersikap demikian seandainya kita tidak percaya bahwa perbuatan-perbuatan itu sungguh perbuatan seorang
pelaku moral.
Tidak ada kehidupan sosial apa pun tanpa ada keharusan dan kewajiban. Dalam hubungan dengan orang-orang lain, kita
sadar akan keharusan tertentu yang kita punyai terhadap mereka. Sama halnya bahwa kita sadar akan keharusan-
keharusan yang mereka miliki terhadap kita. Jadi, kita dapat menganggap secara umum manusia bebas.
Sebagai kosenkwensi bisa terjadi bahwa suatu kelompok mayoritas akan memutuskan pembinasaan suatu
minoritas sebagai suatu kebaikan dan diperbolehkan. Rasa moralah yang membrontak terhadap kedahsyatan sebesar itu.
Pendekatan empiris, argumen psikologis dan argumen etis, berdasarkan atas semacam pengalan pribadi dan
oleh sebab itu akan mempunyai nilai hanya bagi mereka yang pernah berkelakuan secara bebas dalam kehidupan
mereka. Tidak mustahil bahwa beberapa orang tak pernah membuat suat kegiatan pun yang memang bebas dalam
keseluruhan kehidupan mereka. Bagi mereka argumen tersebut tidak sesuai dengam pengalaman mereka dan karena itu
tidak relevan.
Dasar ontologis kebebasan
Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya. Manusia tidak
berbuat apa yang diingininya, tetapi juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya: ini atau itu. Apa yang ingin
diperbuatnya tergantung padanya dan ia tidak dikendalikan oleh suatu paksaan intern. Coba kita melihat tiga tahap yang
merupakan suatu yang kontinuitas yang dinamis yaitu:
1) mari kita tanya, kebaikan manakah akan dapat memenuhi secara total aspirasi-aspirasi manusia? Semua orang
bijaksana akan setuju menjawab bahwa satu-satunya hal yang akan dapat memuaskan tuntutan itu adalah yang
baik, kebaikan total, sempurna dan tak terbatas . itulah yang merupakan cita-cita manusia. Keinginan
fundamental dari manusia pada akhirnya adalah kebaikan sempurna atau total.
2) Mari kita bertanya, objek manakah yang dalam kehidupan ini, yang akan dapat seimbang dengan cita-cita
tersebut (objek formal kehendak)? Kebahagiaan yang sempurna tidak terdapat di atas bumi ini, manusia hanya
menemukan kebaikan-kebaikan yang selalu kurang.
3) Oleh sebab itu, tidak ada suatu kebaikan terbatas pun yang dapat memaksa manusia untuk mengikutinya.
Jadi, kita bebas menghendaki atau tidak menhendaki kebaikan-kebaikan konkret yang kita hadapi karena tentang mereka
semua dapat kita katakan: ini adalah suatu yang baik, tapi tidak baik secara sempurna. Kita bisa mengucapkan itu sebab
kita melihat bahwa diantara semua hal yang baik itu tak ada satupun yang seimbang dengan kebaikan sempurna. Lalu
apa yang menyadarkan kita tentang ketidak cukupan tersebut, ialah keterbukaan dinamisme intelektual kita terhadap
keseluruhan yang ”ada”, ”ada” yang mutlak (aspek cognitif) yang dikumandangkan oleh kebaikan total. Dinamisme
lengkap bersifat intelektual dan tendensial (berkat kehendak), berbentuk spritual (non-material), maka kita bebas karena
kita bersifat roh.
Dalam dimanisme total itu, intelegensi dn kehendak saling berintegrasi secara vital, berkat itulah kita bersifat
roh. Pasti kita adalah roh yang terbatas, namun roh kita, melalui keterbukaannya yang tak terbatas, menikmati semacam
keterbatasan tendensial, itulah alasan mengapa kita adalah bebas. Manusia tidak akan dapat menyadari relativitas dari
semua yang dialaminya, seandainya ia tidak mempunyai tututan yang untuk”yang mutlak”. Tuntutan itu memerlukan
kehadiran dalam manusia, ”Yang Mutlak” yang menjamin autentisitasnya.
67
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Saat-saat dari Suatu Pilihan Yang Bebas
Dalam sutu pilihan bebas, orang dapat membedakan berbagai saat, keputusan diambil cepat tanpa
disadari,saat itu selalu tampil kalau pilihan adlah benar-benar bebas.
1) daya tarik dijalankan oleh suatu hal baik atas kehendak, daya tarik seperti itu meskipun normal atau spontan,
akan dinamakan godaan jikalau kebaikan itu sekaligus bersifat jeleh dari pihak kewajiban saya.
2) Saat ini adalah untuk memeriksa hak baik itu yang menarik perhatian.
3) Saat ini adalah saat mempertimbangkan, pro dan kontra suatu tindakan dibawah cahaya intelegensi. Nonton
atau belajar? Pertimbangandilihat aspek positif dan negatif.
4) Cepat atau lambat, kita memutuskan: saya memilih kebaikan ini.keputusan ini bersifat intelektual. Penenryuan
final muncul dari intervensi kita, dari ”aku”kita yang paling dalam, dimana intelegensi dan kehendak menemukan
sumber umumnya. Itulah suatu pilihan yang bebas.
Kecenderungan yang Dominan
Baik atau Kebaikan, adalah istilah relatif, sesuatu dikatakan baik sehubungan dengan seseorang. Aspek
kebaikan berubah bukan hanya jika objek berubah, tetapi juga kalau subjek berubah. Perubahan yang lain yang
mempengaruhi kita secara lebih dalam. Ini adalah keputusan-keputusan bebas kita sendiri, kita memilih kebaikan moral
dan kita memperbaiki sendiri secara moral. Maka kecenderungan dominan yang terdiri dari pengaruh yang semakin besar
dari pilihan-pilihan lampau atau pilihan-pilihan sekarang. Sebagian besar dari kegiatan-kegiatan kita bersumber dari watak
kita, bukan watak spontan yang ditentukan, tetapi dimensi watak yang dikontrol, yang terhadapnya kita bertanggung
jawab sebagian besar, karena dimensi itu adalah hasil rangkaian pilihan bebas.
Suatu kecenderungan dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasikan. Meskipun
kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun tidak pernah dapat
memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan secara
bebas, demikian dia juga dapat dibantah setiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Itulah sebabnya orang dapat
membedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
1) kegiatan bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan.
2) Kegiatan bebas yang bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang kontra kecenderungan
dominan, biasa bersifat egoisme antara positif dan negatif. Penyelewengan dari garis pokok dalam kehidupan
seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan.
3) Kegiatan-kegiatan yang terpenting, tidak hanya ada penyelewengan kepada kecenderungan dominan, tetapi
pemisahan total dari kecenderungan dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa dan
mengubah orientasi fundamental kehidupannya.
Kebebasan Horizontal dan kebebasan Vertikal
Suatu pilihan moral harus dibuat, keputusan kita tidak akan tergantung hanya dari kepuasan atau keuntungan
yang paling besar. Dalam hal ini, umumnya pilihan akan diambil antara apa yang paling memuaskan kepentingan kita dan
apa yang paling sesuai dengan suara hati kita yang spritual, antara egoisme dan kemurahan hati, harus memutuskan
pada tingkat mana ia harus hidup. Jenis kebebasan ini disebut ”kebebasan Vertikal”. Kebebasan vertikal, tujuan sendirilah
yang dipertimbangkan, tujuan adalah kebahagiaan.
Pilihan-pilihan (antara A atau B) itu ditentukan oleh faktor-faktor yang tak terbilang banyaknya, yang timbul dari
pendidikan dan lingkungan. Kebebasan vertikal menyangkut tingkatn di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya.
Kekebasan dalam arti yang sebenarnya, menurut arti sepenuhnya kata itu, hanyalah jikalau nilai-nilai moral dilibatkan, jika
berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan, sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita
Kebebasan adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga hanya dapat diberikan
kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan sejati, kita membagi, dalam arti tertentu, kekuasaan
mencipta sendiri dari Tuhan. Namun, satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri dan
tampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.
Kebebasan dihadapapkan kepada determinisme-determinisme, pembicaraan menyangkut sebagai berikut:
68
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
1) ada suatu bentuk determinisme yang disebut determinisme fisik, ialah determinisme hukum-hukum alam
semesta sebagai sistem dunia material. Berbentuk rangkaian kuasa-kuasa dan akibat-akibat, sehingga manusia
tak dapat melepaskan dirinya, pandangan ini mungkin tidaklah benar, karena kebebasan diletakkan secara
salah. Kebebasan terjadi pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif dan bukan pada tingkat sebab – sebab
fisik yang ada.
2) Suatu konsepsi yang lebih mendasarkan biologi daripada fisik, berpendapat bahwa manusia telah diprogramkan
sebelumnya secara begitu luas oleh berbagai faktor gen-gen (hereditas) , sehingga tidk ada tempat untuk
kegiatan-kegiatan yang memang bersifat bebas.
3) Dari sudut, yang mana manusia begitu diterminasikanoleh berbagai faktor sosial sehingga ia tidak lain daripada
hasil hubungan sosial. Itulah yang dinamakan determinisme sosiologis. Keputusan yang dianggap sebagai
paling pribadi ditentukan oleh lingkungan sosialnya.
4) Kadng-kadang bukan hanya ilmu-ilmu pengetahuan manusia saja yang menyangkal kebebasan, terdapat juga
determinisme teologis tertentu. Manusia sama sekali determinasikan oleh Allah, kemahatahuan Allah,
kemahakuasaan Allah. Jadi tak mungkin manusia bebas.
5) Determinisme yang muncul dari ketidak sadaran. Psikologi menjelaskan bahwa manusia tekanan dari
ketidaksadaran dan pentingnya kekuatan irrasional dalam aktivitas manusia.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Keseluruhan kehidupan afektif bersandar kepada apa? Jelaskanlah!
2. Kecenderungan yang menjiwai subjek dan objek, sikap manakan yang diambil afektivitas?
3. bagaimana si subjek menguasai objek? Jelaskanlah!
4. Syarat fundamental apakah yang harus ada supaya perbuatan afektif bisa terjadi?
5. apa yang khas bagi nilai dibandingkan kebaikan?
6. Apakah psikologi membenarkan pendapat ada perlawanan antara cinta akan diri dan cinta akan sesama?
7. apa hubungan kehendak dengan intelegensi?
8. jelaskan arti kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis?
9. ada tiga argumen klasik mengenai kebebasan. Jelaskanlah
10. Jelaskanlah dasar ontologis dari kebebasan?
11. Kapan saat-saat dari suatu pilihan yang bebas? Jelaskanlah?
12. Apakah yang dimaksud kecenderungan dominan?
13. jelaskanlah tiga jenis kegiatan bebas?
14. Apakah yang dimaksud kebebasan vertikal?
15. Jelaskanlah arti kebebasan bila dihadapkan kepada determinisme tertentu?
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
5. leahy, Louis. 2001. Siapakan Manusia. Jokyakarta. Kanisius.
69
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
MODUL 14MANUSIA DALAM STRUKTURAL DAN MODERNITAS
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis manusia dalam struktural.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis manusia
dalamstruktural, yang meliputi sebagai berikut:
Strukturalisme John Strurrock
Pengaruh linguistik Saussure pada strukturalisme
modernitas
Posmodernitas
Materi Pembahasan
Strukturalisme John Sturrock
John Sturrock mengemukakan gagasan-gagasan strukturalisme, sebagaimana yang dikemukakan oleh lima
orang strukturalisme terkemukan Perancis, yairtu Levi-Strauss, Barthes, Faoucault, Lacan dan Derrida. Meskipun tidak
dijelaskan secara rinci dan ekplisit anda akan menemukan salah satu kesamaan pandangan dari kelima strukturalis itu,
yaitu pandangnya tentang manusia sebagai makhluk yang terkungkung dalam struktur atau sistem, terutama struktur atau
sistem bahasa dan kuasa simbolik. Disebabkan oleh struktur atau sistem tersebut, para strukturalis menolak dominasi
ego, kesadaran, individu, kemauan bebas, humanisme sebagaimana yang dikemukakan, misalnya oleh filsafat-filsafat
eksistensialisme dan rasionalisme.
Banyak sekali ide-ide yang berasal dari keempat pemikir tersebut, yang sangat eksostik dan tidak mudah
diterima oleh iklim intelektual di Perancis pada waktu itu. Masyarakat Perancis, mau tidak mau, harus siap menyongsong
ide-ide mereka, yang akan membawa ke wilayah-wilayah baru, wilayah di mana selama ini kaki-kaki kita barangkali tidak
pernah menginjaknya.
Pengaruh aliran strukturalisme mendapat pengaruh di Perancis disebabkan oleh:
1. Kemunduran eksistensialisme Perancis setelah PD II, yang telah berada diambang kematian.
2. Kecuali Marxisme, strukturalisme mulai terbentuk untuk membedakan fenomena sosiologis yang merupakan metode
(bukan Iman) penyelidikan suatu cara menguraikan data-data yang tengah diselidiki
Strukturlisme adalah sebuah metode yang dipercayai sanggup menjadikan data-data empiris tentang institusi-
institusi kekerabatan. Dari data itu mengidentifikasi sifat –sifat dasar spesifik dan universal dari pemikiran manusia itu
sendiri.
Perbedaan pemikiran filsuf yaitu:
Levi – Strauss dan Lacan adalah dua pemikir universalist, dibalik berbagai fakta empiris yang beragam, terdapat satu
struktur mental yang universal. Lacan seorang psikoanalis yang bergulat dengan berbagai teori dan bukan dengan
pengalaman-pengalaman khusus dalam ruang konsultasi atau terapi pada pasien-pasien individual – juga mengklem
adanya kuasa yang mengatur berfungsinya psike manusia pada umumnya.
Sebaliknya Barthes, Foucault dan Derrida tampil sebagai tiga realis yang bergelut dengan dimensi-dimensi historis
pemikiran, evolusi pemikiran dalam waktu dan implikasi dari pemikran bagi masyarakat tertentu,.
Kelima pemikir di dalam buku ini adalah juga para penulis. Mereka sadar akan bentuk apa yang sedang mereka
tulis, dan tahu banyak mengenai alat-alat untuk, serta akibat-akibat dari, retorikanya. Hanya karya Levi-Strauss yang patut
disebut disiplin akademis dan tradisional, sedangkan karya-karya dari penulis lainnya berada di antara kesusastraan dan
kritisme, sejarah, psikoanalisa, atau filsafat.pada prinsipnya, mereka hendak menghilangkan perbedaan-perbedaan antara
penulisan kreatif dan kritisme (Barthes), antara puisi dan penulisan psikoanalisa (Lacan), atau antara kesusasteraan da
filsafat (Foucault dan Derrida). Gaya bahasa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari usaha mereka. Mereka menolak
dikurung di dalam terali besi stilistik yang sangat sempit, yang berasal dari diskursus akademis yang ortodoks.
70
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
Melimpahnya gaya bahasa mereka tentunya merupakan daya tarik, dan bukannya merupakan hambatan, buat kita. Itu
merupakan tantangan yang pantas diuperhitungkan oleh kita sebagai pembaca sejarah, filsafat, kritik sastra atau apa saja
yang kita pilih untuk menamai mereka.
Pengaruh Lingusistik Saussure pada Strukturalisme
Pengaruh lingusitik Saussure pada strukturalisme tidak hanya masalah kosa kata, tapi sangat mendalam yang
sulit dimengerti. Premis utama terori Saussure tentang bahasa adalah :”Bahasa pada asasnya bersifat sewenang-wenang
(arbitrary) dalam dua cara: penanda sewenang-wenang sejauh tida ada hubungan natural – melainkan konvensional –
antara penanda dan dimaknakannya.
Konsekwensi yang ditarik oleh Saussure dari kesewenangan bahasa adalah bahwa bahasa bukanlah sistem esensi-
esensi yang kokoh kuat, yang tak dapat berubah melainkan sistem yang labil. Bahasa merupakan sistem relasi-relasi
diantara masing-masing unsur. Bahasa adalah bentuk bukan substansi, merupakan asumsi terkenal paling mendasar
tentang bahasa. Ini tanpa bahasa tidak ada karya-karya
Menyelidiki gejala-gejala antroplogis sama halnya dengan sistem bahasa, sistem kekerabatan, mite dsb. Yang
menarik adalah ketika sampai pada interpretasi mengenai unsur-nunsur simbol-simbol yang merupakan kuantitas-kuatitas
yang tetap. Dimana dalam sistem mana pun simbol bercokol, mereka mempunyai makna setiap simbol yang ditentukan
oleh tempat terjadinya dalam ekonomi tertentu yang khas.
Posmodernisme yaitu dekonstruksi yang dijalankan oleh para posmodernis tidak hanya ditujukan pada narasi-
narasi filsafat, tapi juga pada narasi-narasi diluar filsafat seperti tata kota da arsitektur, jender, sosial politik dan lain-lain
yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosioal-budaya. Proyek dekonstruksi yang dilakukan di dalam wacana
filsafat sendiri di antaranya menghasilkan pandangan yang menghancurkan konsepsi tentang manusia sebagai makhluk
yang rasional,humanistik,dan universal. Rujukan untuk tulisan ini terutama adalah: Roy Boyne and Ali Rattansi
(eds.),1990, Postmodernism and Society, London: Macmillan Eds.Ltd ; Charles Jenck, 1986, What Is Post-Modernism?,
London: Academy Editions; “The crisis of the subject. From Baroque to postmodernism,” dalam Philosophy Today, Winter
1992, p,310-23; dan beberapa artikel tentang posmodernisme di dalam majalah kebudayaan Kalam, edisi 1, 1994. Untuk
memudahkan kita memahami postmodernisme, ada baiknya kita mengkontraskan “isme” ini dengan lawan sejarah dan
nuansa berpikirnya, yakni modernisme. Mengkontraskan kedua “isme” tersebut dipandang perlu karena posmodernisme,
dalam banyak hal, bias dikatakan sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme. Dengan demikian, mengetahui apa
yang membuat suatu isme direaksi (modernisme) akan membantu kita untuk memahami dengan lebih baik ’siapa” atau
”apa” yang bereaksi (posmodernisme).
Modernitas
Apakah modernisme? Tergantung dari mana, dan sebagai apa, kita menafsirkannya. Didalam tulisan ini, saya akan
membatasi diri hanya pada pengertian modernisme msnurut perspektif kaum posmodernis,baik itu sebagai posmodernis
dalam bidang filsafat dan epistemologi maupun posmodernis dalam bidang-bidang lainnya (misalnya arsitektur, kesenian,
feminisme). Dengan demikian, di dalam tulisan ini istilah modernisme mempunyai pengertian yang agak ”miring”.
Dalam perspektif seorang posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, modernisme bisa disebut sebagai semangat
(elan) yang diandaikan ada pada (dan menyemangati) masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad ke-18)
hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progres--- semangat untuk meraih
kemajuan --- dan untuk humanisasi manusia. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat optimistik dari kaum
modernis akan kekuatan rasio manusia.
Rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas; untuk membangun ilmu
pengetahuan dan tehnologi, moralitas, dan estetika; untuk menetukan arah hidup dan perkembangan sejarah; untuk
memecahkan persoalan-persoalan ekonomi; untuk mengendalikan sistem sosial, politik, dan budaya; dan seterusnya.
Rasio, pendek kata, dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya! Betapa besarnya kekuatan
rasio dalam kehidupan, bisa kita saksikan dari ”narasi-narasi agung” (metarrative) para eksponen modernisme. Dengan
pernyataan Hegel yang terkenal bahwa ”apa yang nyata (real) adalah rasional dan apa yang rasional adalah nyata (real),
sehingga dengan mengandalkan kemampuan berpikir rasional, kita akan dapat menghetahui segenap realitas, mulai dari
yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Kita pun pasti teringat dengan teori Max Weber, yang menekankan
71
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
pada rasionalitas dalam pembangunan dan teknologi manusiawi (realitas nilai dan realitas komunikasi0. Mereka memang
adalah eksponen-eksponen modernisme yang menekakankan dominasi rasio dalam segenap aktivitas manusia.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas jarkat dan martabat
manusia. Tidak ada makhluk, selain manusia (dan Tuhan, tentu saja) yang dianggap memiliki kemampuan berpikir
rasional. Manusia, dengan rasionya, tentu saja, adalah subjek dalah pemberi bentuk dan warna pada realitas adalah
penentu arah perkembangan sejarah adalah pusatnya kehidupan (menggantikan posisi Tuhan) dalam jagad raya.
Modernisme salah satu bentuk dari humanisme, humanisme adalah narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari
kapitalisme humanisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidakbisa lain membuktikan hal ini.
Dalam perspektif seorang posmodernis yang banyak bergelut dengan masalah epistemologi, modernisme bisa
diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, kebenaran universal.
Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasart yang
esensial dan universal dari kenyataan.
Modernisme dalam perspektif kaum posmodernis yang lebih luas bisa diartikan sebagai semangat (elan) yang
mendorong masyarakat sejak zaman renaissance hingg abad ke-20 untuk menyusun secara hirarki besar kaum modernis.
Hirarkhi adalah sistem atata urutan wewenang atau otortas mulai dari yang paling bawah sampai paling atas. Dalam suatu
hirarakhis terdapat suatu ”puncak” kekuasaan sebagai sentral dan penentu suatu sistem (the One) dan dibawahnya
terdapat suatu yang sifat ”rendahan” atau : pinggiran” (the others). The One adalah suatu yang dominan yang penting,
yang berada dalam posisi sentral, yang rasional, yang sama dan seragam (singular), yang perlu diperhitungkan, dikagumi,
bersifat mendalam, sedangkan The Others adalah sesuaut yang dangkal , yang berbeda (plural), yang tidak rasionbal
(sehingga tidak masuk hitungan), yang marginal, yang berada di luar pusat kekuasaan, yang kurang mempunyai makna
strategis dsb.
Adanya hiraraki seperti itu ”paradoks modernisme” bisa kita saksikan dalam berbagai narasi agung
modernisme> Dalam bidang kesenian: hanya kesenian ”adi ulung” (musik klasik) yang bisa dikatakan memenuhi kriteria
estetika, sedangkan kesenian pop, secara massal tidak masuk hitungan. Dalam bidang Gender, hanya laki-laki yang
disebut manusia, sedangkan perempuan , lesbian, gay hanya setengah manusia.
Pos-modernitas
Dalam modernis , rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan menentukan, rasio dalam perspektif kaum
modernis adalah suatu yang sangat vital, sentral, dominan, paling utama dalam menentrukan wajah peradaban umat
manusia. Konsekwensi logi yang muncul dari anggapan itu adalah manusia yang tidalk rasional berada diluar hitungan
(the othjers)
Usaha untukm mendekonstruksi Rasio, mau tak mau, berarti usaha untuk mensubordinasikan ”pemilik ” Rasio, yakni
Subjek. Dalam modernis, subjek dijunjung tinggi nilai dan martabatnya, dianggap sebagai pusat segala bentuk gejala dan
peristiwa, sebagai agen murni sejarah kehidupan. Akan tetapi Foucault menyatakan bahwa subjek justru dibentuk dan
ditentukan oleh mekanisme dan kontrol kekuasaan, baik yang berasal dari institusi negara, budaya, bahasa, sosial
ekonomi, keluarga dan bahkan dari iirasionalitas dirinya sendiri.
Anggapan kaum modrrnis bahwa realitas adalah suatu totalitas, sesuatu kesatuan organis dimama unsur-
unsurnya satu sama lain dianggap tidak berbeda secara prinsip yang masing2 saling berhubungan secara kausal.
Realitas bukanlah kesatuan tunggal, melainkan terbagi ke dalam fragme-fragmen. Realitas bukan suatu yang singular,
yang homogen melainkan plural, heterogen, fragmentaris.
Kaum posmodernis mngadakan dekonstruksi pada salah satu ideologi besar di dalam modernisme, yakni
kapitalisme yang telah melahirkan impperislisme. Bentuk dekonstruksi kaum pos modernis terhadap kapitalis kuranh lebih
adalah: Muncul modrrnis dalam bentuk industrislisme kapitalis di Barat bertepatan dengan ekspansi imperislis dan
kolonialis yang mengeploitasi dan memundukkan wilayah-wilayah yang luas dari dunia non-barat. Dominasi politik dan
ekonomi yang merupakan unsur penting dari imperialisme dan kolonialisme pad abad ke – 18 dan 19 seslalu diikuti oleh
pempentukan dis-kursus yang mensahkan mereka ntuk menjajah bagngsa-bangsa Aisa dan Afrika yang berbeda atau lain
dari mereka. Diskussus itupun membentuk perasaan superioritas budaya dan moral pada kekuatan imperial Barat yang
setiap saat selalu dipertegas tanpa batas. Superioritas yang dibangun secara budaya ini pada akhirnya mendorong
72
Dr. Syahrial Syarbaini, MA., Modul FIl-MAN
bangsa Inggris atau Perancis atau Jerman yang ekspansif untuk memaksakan dominasi politik dan budaya terhadap
bangsa-bangsa Timur, Afrika dan bangsa lainnya.
Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Apakah strukturalisme Jiohn Strurrock?
2. Apakah pengaruh Lingusitik Saussure pada strukturalisme?
3. Bagamana peran rasio dalam modernisme?
4. Apakah yang dimaksud The One dan The Others?
5. Bagaimana “Hirarki” dalam filsafat rasional?
6. Apakah pos-modernis itu?
Daftar Pustaka
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
Bio Data PenulisDr. Syahrial Syarbaini, Ph.D, MA.Lahir di Bukittinggi, 20 November 1956. S1 (Drs.) Civics/Hukum IKIP (UPI) Bandung 1982. (MA) Political History, Institute of Postgraduate Studies and Research, University of Malaya (1996), Ph.D. Political Science, di Universiti Kebangsaan Malaysia (2005). Kursus Dosen pendidikan Kewarganegaraan Angkatan I Tahun 2005 . Karya Tulis yang pernah diterbitkan: Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (2001) dan Sosiologi dan Politik. Ghalia Indonesia. Jakarta. Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. (2006) Graha Ilmu. Yokyakarta. Dasar-Dasar Sosisologi (2009) Graha Ilmu. Jokyakarta. Pendidikan Falsafah Pancasila. 2011. Jakarta. Ghalia Indonesia. Implentasi Pancasila dalam PKn. 2009. Graha Ilmu. Jokyakarta. Dasar-Dasar Pengetahuan Politik. 2011. Jakarta. Ghalia Indoneia. Dosen di perguruan tinggi swasta Jakarta dengan kepangkatan Lektor Kepala.
73