92
FILSAFAT MANUSIA SERMADA KELEN DONATUS, M.A. SVD SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI WIDYA SASANA MALANG 2010

Filsafat Manusia 2010 (2004)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Filsafat Manusia 2010 (2004)

FILSAFAT MANUSIA

SERMADA KELEN DONATUS, M.A. SVD

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGIWIDYA SASANA

MALANG2010

Page 2: Filsafat Manusia 2010 (2004)

1

Syllabus:

FILSAFAT MANUSIA

Pengantar ke dalam Filsafat Manusia.

1. Pertanyaan tentang pendekatan yang tepat.

1. 1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.1. 1. 1. Keistimewaan anatomis-morfoloGis.1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.1. 1. 3. Keistimewaan struktur sikap.

1. 2. Problematika Pendekatan.

1. 3. Pengertian tentang Subjek.1. 3. 1. Subjektivitas sebagai bentuk kesatuan.1. 3. 2. Subjektivitas sebagai “Berada dalam dunia”.

1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang Manusia.1. 4. 1. Kesatuan hakikat?1. 4. 2. Universalitas dalam hal mengerti?

2. Dimensi dasar Realitas “Manusia” sebagai realitas “Ada”.

2. 1. Bahasa.2. 1. 1. Lahirnya bahasa dan sistem bahasa.2. 1. 2. Prestasi bahasa.2. 1. 3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.

2. 2. Sosialitas.2. 2. 1. Fenomen sosial.2. 2. 2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.2. 2. 3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrim.2. 2. 4. Aku dan Yang Lain.

2. 3. Kesejarahan atau Historisitas2. 3. 1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.2. 3. 2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif2. 3. 3. Kesejarahan sendiri.

Page 3: Filsafat Manusia 2010 (2004)

2

2. 4. Kejasmanian.2. 4. 1. Prapengertian tentang kejasmanian yang bertolak dari bahasa.2. 4. 2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Körper).2. 4. 3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.2. 4. 4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).

3. Elemen rohaniah dari perwujudan keberadaan manusia.

3. 1. Kesadaran rohaniah.3. 1. 1. Fenomen Kesadaran.3. 1. 2. Dimensi-dimensi Kesadaran.3. 1. 3. Pengandaian ontologis Kesadaran.

3. 2. Kebebasan kehendak.3. 2. 1. Isi pernyataan “Kebebasan Kehendak”.3. 2. 2. Bukti positif tentang eksistensi Kebebasan.3. 2. 3. Ketiadaan dasar dari paham Determinisme mekanis.3. 2. 4. Ketiadaan dasar dari paham Determinisme teleologis.

4. Kesatuan Manusia sebagai Realitas “Ada” dan pertanyaan tentang maknarealitasnya.

4. 1. Ketegangan dasariah dalam realitas manusia.4. 1. 1. Ketegangan kebebasan antara akhir dan tak berakhir.4. 1. 2. Usaha melepaskan ketegangan secara berat sebelah.

4. 2. Hidup yang betolak dari ketegangan dasariah.4. 2. 1. Persyaratan-persyaratan tentang penerimaan diri.4. 2. 2. Problem kematian.

4. 3. Antropologi Filsafat dan Theologi.

&&&& Rm. Sermada Kelen Donatus, SVD.

Page 4: Filsafat Manusia 2010 (2004)

3

PENGANTAR KE DALAM FILSAFAT MANUSIA

Sejak manusia menyibukkan diri dengan kegiatan berpikirnya, pertanyaan-

pertanyaan tentang manusia ditonjolkan kembali, seperti pertanyaan tentang hakikat

manusia, tentang asal usul manusia dan tentang nasib manusia serta tentang ketentuan

hidupnya. Pasti pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam banyak cara dan orang juga

berusaha menjawabnya dengan banyak cara pula. Tetapi dalam waktu yang agak lama

pertanyaan-pertanyaan tentang itu tidak mendapat perhatian, karena ada soal lain yang lebih

mendesak. Meskipun demikian pertanyaan tentang manusia tidak pernah akan hilang,

karena manusia sendiri adalah makhluk yang merasa senantiasa “tidak pasti”; ia tetap

bertanya tentang dirinya. Ia adalah satu makhluk yang bertanya

Salah satu jawaban terhadap pertanyaan tentang diri manusia ialah bahwa manusia

adalah satu hakikat yang aneh. Di satu pihak ia bersifat luhur, agung dan mulia, tetapi di

pihak lain ia juga bersifat hina rendah dan tak berarti. Apabila orang mengamati pemakaian

sehari-hari dengan menyebut kata bendanya “manusia” (Mensch) atau kata sifatnya

“manusiawi”, maka orang dapat menemukan arti yang luhur, tetapi juga dalam konteks

tertentu orang dapat menemukan arti yang hina dan rendah. Kalau orang mengatakan

“seorang penjahat juga manusia”, atau “sikapnya betul tidak manusiawi”, maka arti dan

nilai dari “manusia” betul bersifat agung dan luhur. Tetapi bila orang menemukan bahwa

seorang imam yang jatuh dengan wanita lalu orang mengatakan “imam juga seorang

manusia” atau juga uskup adalah seorang manusia, bila uskup salah dan keliru”, maka

keagungan dan keluhuran manusia tidak boleh disanjung berlebih-lebihan. Nilai dan artinya

perlu diturunkan dan direndahkan. Dengan demikian manusia menyandang nama yang kaya

dan mulia sekaligus juga miskin dan hina. Apakah itu kebetulan?

Dalam lingkungan kebudayaan Eropa ada dua teks yang menarik perhatian para

pengamat filsafat manusia. Teks itu menggerakkan kita untuk melacak artinya. Teks

pertama berasal dari satu nyanyian yang diangkat dari “Antigone” Sophocles. Nyanyian ini

dalam terjemahan Holderlin (penyair Jerman 1770- 1843) bermula dengan

Page 5: Filsafat Manusia 2010 (2004)

4

“Ungeheuer ist viel” (Sang raksasa adalah banyak). Sang raksasa itu dimaksudkan

“manusia”. Dan teks nyanyian itu menunjukkan di satu pihak keheranan atau kekaguman

atas manusia. Manusia itu lebih dari binatang-binatang, dan di pihak lain menunjukkan

kedahsyatan atau kegentaran (Schrecken) tentang manusia. Manusia itu menakutkan dan

menggentarkan (homo homini lupus). Teks yang kedua berasal dari Mz.8 yang berbicara

tentang kesadaran akan kekecilan manusia dan kefanaannya jika dibandingkan dengan

peredaran bintang yang berjalan kekal. Dalam kekecilan itu, pertanyaan diajukan kepada

Penciptanya: “Apakah itu manusia atau apa artinya manusia, sehingga Engkau

memperhatikannya?” Hidup manusia: sikap, kemampuan dan seluruh keberadaannya

merentang dari yang paling rendah sampai kepada hal yang saling bertentangan di dalam

dirinya. Dalam lingkungan kebudayaan kita, kita bisa mengambil ajaran Paguyuban

Sumarah, salah satu aliran Kebatinan yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh

dokter Soerono Prodjohoesodo. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia itu terdiri dari

badan wadag (jasmani), badan Nafsu dan Jiwa atau Roh. Penjelasannya dapat dilihat dalam

buku “Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa”, oleh Dr. Harun Hadiwijono

(p.104-105).

Persoalan hidup manusia dewasa ini adalah bahwa manusia sampai kini “belum

mengenal diri” secara penuh. Hal ini dikaitkan dengan persoalan kodrat manusia itu sendiri.

Apa kodrat manusia yang sebenarnya? Duluh “Natur atau Kodrat” dialami sebagai sesuatu

yang harus dijinakkan. Kodrat itu begitu berkuasa dan ganas sehingga manusia perlu

mengolahnya secara lebih baik. Sekarang ketika kodrat manusia diatasi dan ditaklukkan

untuk menjamin keberadaan manusia, kodrat itu sendiri yang melingkupi kita dialami

sebagai satu gudang persediaan yang hampir habis. Ilmu pengetahuan dan teknik membuka

eksplorasi dan eskperimen besar-besaran tentang lingkungan kodrat manusia. Lingkungan

kodrati diatur, diciptakan dan direkayasa menurut kemampuan dan kemauan manusia.

Penciptaan bayi dengan “cloning” merupakan bagian dari ekploitasi, eksplorasi dan

eksperimen terhadap kodrat manusia. Pertanyaan etis terhadap semua percobaan ini ialah

bahwa apakah percobaan-percobaan itu yang bisa dikenakan pada manusia dapat

Page 6: Filsafat Manusia 2010 (2004)

5

dipertanggungjawabkan secara etis, dan apakah dengan itu manusia dapat menemukan jati-

dirinya yang sesungguhnya. Ada jawaban pro-kontra, tetapi persoalan filosofis aktual akan

menjadi muncul ketika kita bertanya “siapa itu manusia dan apa hakikatnya”? Apakah

manusia itu memiliki unsur kerohanian? Kekejaman di abad 20, genoside dan peperangan-

peperangan yang membawa korban jutaan orang menimbulkan kesadaran manusia kembali

untuk bertanya tentang dirinya. Manusia ragu-ragu tentang gambaran yang ia miliki

sekarang tentang dirinya. Dia sebetulnya tiba pada satu kesadaran diri yang menetapkan

bahwa dia sendiri sebenarnya “tidak tahu” apa-apa tentang hakikat dirinya atau jati-dirinya,

tidak tahu untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus hidup.

Dengan bertolak dari kesadaran diri itu, pertanyaan tentang “hakikat” manusia

sendiri lalu menjadi pertanyaan sentral dari filsafat: Apa yang menjadi hakikat manusia?

Semula pertanyaan filosofis ini hanya terbatas pada satu bidang kecil yang memuat

informasi tentang manusia. Tetapi lama kelamaan dengan pesatnya perkembangan

pengetahuan, penelitian tentang manusia berkembang pesat menunit sudut pandangan yang

berbeda-beda dari ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya bangkit juga minat untuk

mempersoalkan “Ada” dari manusia. Tematisasi tentang problem “Ada” dari manusia ini

justru berjalan melampaui penelitian-penelitian empiris yang digeluti selama ini. Justru

usaha untuk beranjak keluar dari bidang empiris ini menghantar orang untuk menggeluti

manusia dalam perspektif “filsafat” yang disebut “Filsafat Manusia atau Antropologi

Filsafat”. Filsafat Manusia lalu menjadi salah satu disiplin filsafiah. Objek filsafat manusia

lalu tidak hanya berpusat pada hakikat manusia yang mau diteliti seeskstensif mungkin dan

seintensif mungkin, yaitu bentuk khas realitas “adanya”, struktur batiniah dan dinamikanya,

tetapi juga sistematisasi seluruh pengetahuan tentang manusia seperti kritik pengetahuan,

metafisika pengetahuan, pendasaran etik dsb. Satu pendekatan yang tidak boleh diabaikan

dalam filsafat manusia ini juga yaitu pendekatan ontologis yang berusaha mensintesekan

semua pengetahuan manusia itu secara sistematis dengan merujuk kepada apa yang menjadi

inti atau hakikat dari manusia.

Page 7: Filsafat Manusia 2010 (2004)

6

Diktat kuliah ini berjudul “Antropologi Filsafat”. Ia memuat cara-cara pengenalan

yang berpusat sekitar persoalan tentang “hakikat manusia”: bentuk khas dari realitas “Ada”

manusia; struktur dalamnya dan dinamikanya dsb. Judul itu tidak mewakili aliran tertentu

seperti aliran terkemuka dari filsuf Max Scheler (1928); Helmuth Plesner (1928) dan

Arnold Gehlen (1940), tetapi terbuka untuk semua pendekatan yang bergelut tentang

kekhasan manusia sedari penelitian biologis tentang manusia sampai kepada pertanyaan

sentral tentang manusia dalam filsafat. Tentu dengan jelas harus dibedakan Antropologi

Filsafat dan Antropologi sendiri. Antropologi sendiri berhubungan dengan kegiatan

penelitian empiris-positif semata tentang bidang tertentu seperti Antropologi ragawi

tentang tubuh manusia dan Antropologi Budaya yang meneliti kebudayaan manusia dan

Etnologi yang meneliti ras dan suku tertentu.

Pertanyaan antropologis di dalam diktat kuliah diolah menurut pertanyaan-

pertanyaan yang bertolak dari satu bidang kepada bidang yang lain, tetapi tetap selalu

disadari bahwa jawaban terhadap pertanyaan yang satu selalu berakhir dengan jawaban

yang tidak memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu menyentuh juga pertanyaan ilmu

pengetahuan. Kesulitan pendekatan itu menunjuk kepada perlunya ada teori pendekatan

ontologis di satu pihak dan di pihak lain refleksi pndekatan pragmatis-ilmiah (bagian

pertama). Kedua momen pendekatan ini bertemu di dalam unsur subjektivitas yang

hendaknya menjadi prinsip untuk mengorganisir seluruh perlukisan tentang manusia. Dan

ini hanya tercipta di dalam usaha untuk memperjelas dan menginterpretasi dimensi dasar

manusia yang berada di dalam dunia (In-der-Welt-Sein). Interpretasi dan penjelasan

tentang dimensi dasar ini ditelaah dalam model-teori dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang

dipilih (bagian kedua). Lebih dalam dari pada itu, lebih masuk ke dalam intisarinya

diperkenalkan satu analisa terhadap cara-cara dasar dari subjektivitas manusia yang

dituangkan dalam ungkapan “kesadaran dan kebebasan kehendak” (bagian ketiga).

Akhirnya pertanyaan itu berpusat pada usaha untuk mencari kesatuan yang paling mendasar

dan mencari makna yang dapat direalisir dalam keseluruhan Realitas keberadaan manusia

(bagian keempat).

Page 8: Filsafat Manusia 2010 (2004)

7

Karena manusia dalam gambaran tua merupakan mikrokosmos, maka usaha untuk

mengungkapkan gagasan dasar yang menyangkut pertanyaan antropologis tidak dilihat

sebagai satu yang mendesak. Bukan juga dituntut bahwa orang harus memberi sumbangan

penelitiannya, tetapi diharapakan bahwa pembaca yang menggunakan buku kecil dapat

bertanya lebih lanjut lagi secara kritis dan dapat menemukan jawabannya sendiri dan

mengenalnya. Tidaklah cukup orang hanya bergelut satu kali tentang soal-soal itu, tetapi

selalu berulang menggelutinya supaya si pembaca secara sadar dengan penuh gembira

dapat menemukan jawabannya sendiri. Yang diutamakan di sini adalah usaha bersama dari

yang lain untuk turut memberi pertimbangan tentang masalah kemanusiaan.

1. PERTANYAAN TENTANG PENDEKATAN YANG TEPAT.

Situasi atau keadaan yang menjadi titik tolak pertanyaan kita tentang manusia adalah

ketidak-tahuan, yaitu satu kekurangan pengetahuan kita tentang diri kita, entah kekurangan

pengetahuan yang bersifat eksistensial atau hipotetis. Kita tidak tahu tentang diri kita. Kita

mempersoalkan pengetahuan tentang diri kita. Dari mana kita tahu tentang diri kita.

Bagaimana kita tahu tentang diri kita? Bidang pertama yang menjadi sasaran perhatian kita

adalah Ilmu Pengetahuan dan dalam arti yang sempit Ilmu Pengetahuan alam, karena Ilmu

Pengetahuan alam menggeluti dunia kodrat termasuk kodrat manusia secara objektif, teliti

dan tepat.

1.1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.

Ilmu pengetahuan alam yang berbicara tentang manusia dapat kita temui dalam ilmu

Biologi, Fisika dan ilmu Kimia. Kalau kita mengurutkan ilmu pengetahuan alam tersebut

menurut derajat penelitian terhadap manusia, maka tampaklah bahwa ilmu pengetahuan

pertama yang berbicara tentang manusia adalah “Biologi”. Di dalam Fisika dan ilmu Kimia,

manusia hanya bisa tampil sebagai objek penelitian, sejauh manusia merupakan satu tubuh

dalam ruang (Fisika), yaitu bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dsb,

atau satu kompleksitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimiawi (ilmu Kimia).

Kedua bidang ini ternyata lebih sempit dari pada Biologi, karena keduanya berfokus pada

Page 9: Filsafat Manusia 2010 (2004)

8

penelitian terhadap realitas manusia sebagai satu benda fisis dan kemis. Objek dari Biologi

adalah makhluk hidup, yaitu satu realitas kehidupan dari makhluk-makhluk hidup; bidang

ini menyentuh seluruh bidang kehidupan makhluk hidup yang sudah dikelompokkan

menurut posisinya dalam ruang. Salah satu dari keseluruhan realitas kehidupan yang

menempati satu posisi tertentu dalam ruang disebut atau memikul nama “manusia” (homo

sapiens). Pada taraf berikut, pertanyaan lebih lanjut ialah bahwa sejauh mana semua hasil

penelitian biologis yang ditunjang oleh penelitian ilmu pengetahuan Fisika dan Kimiawi

dapat memberikan gambaran yang tepat tentang realitas manusia? Apakah realitas ontologis

makhluk hidup yang tidak dapat direduksi kepada sesuatu yang anorganis dapat sesuai

dengan kekhususan metodologis biologis dalam hadapannya dengan ilmu Kimiawi dan

Fisika.

Dengan bantuan metode Biologi yang berbicara tentang manusia, kita dapat

menemukan perbandingan antara individu dari satu jenis atau spesies dengan individu dari

spesies yang lain. Tapi dengan cara tertentu hasil perbandingan itu akan menunjukkan

bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada ditemui satu kesamaan yang besar sekali atau

keserupaan yang jelas dari antara spesies itu. Dan bila kita memperhatikan secara teliti

kesamaan dan keserupaan spesies itu, kita bisa melihat keistimewaan yang memperlihatkan

perbedaan antara mereka juga.

Penetapan pertama tentang manusia, tentang siapa dia, justru terletak dalam

ketermasukan manusia ke dalam sistem dari makhluk hidup. Bila kita menempatkan

manusia dalam konteks makhluk hidup, maka dia bisa digolongkan sebagai binatang

menyusu (tidak seperti binatang amfibi), dan dalam kelompok binatang menyusu, manusia

tergolong dalam binatang menyusu tingkat tertinggi (bukan seperti binatang pengerat), dan

dalam kelompok binatang menyusu tingkat tertinggi, manusia termasuk dalam kelompok

manusia kera (antropoide) dan tidak seperti binatang menyusu tingkat tertinggi lain seperti

kera. Dan dalam kekerabatan yang lebih dekat dengan antropoide manusia tergolong ke

dalam cimpase, Gorilla atau Orang-Utan. Dengan penelitian metodis tentang

pengelompokkan seperti ini kita makin lama makin menemukan keistimewaan manusia dan

Page 10: Filsafat Manusia 2010 (2004)

9

mengartikan keistimewaan itu secara analogis. Bila kita perlahan melepaskan kesamaan,

keserupaan dan kekerabatan biologis itu, kita menemukan juga kekhasan serta

keistimewaan tertentu dalam spesies tadi. Kekhasan yang terpenting dalam manusia sejauh

penelitian biologis dapat ditonjolkan dalam tiga titik tolak berikut ini: titik-tolak anatomis-

morfologis; titik tolak ontogenitis dan titik tolak ethologis.

1.1.1. Keistimewaan anatomis-morfologis.

Keistimewaan anatomis-morfologis terletak dalam anatomi tubuh dan postur atau

bentuk tubuh. Keistimewaan anatomi tubuh dan bentuk tubuh manusia hanya bisa

ditangkap bila dibandingkan dengan anatomi tubuh dan bentuk tubuh binatang yang

menyerupai manusia. Binatang yang menyerupai manusia dalam penelitian biologis adalah

manusia-kera dan secara lebih khusus Simpase. Menurut penelitian biologi-molekular,

jumlah kromosom simpase berangka 48, sedangkan pada manusia 46. Perbedaan struktur

biomolekular antara manusia dan simpase hanyalah 1, 5 persen (Franz Dähler: Pijar

Peradaban manusia, hh. 41-42). Manusia-kera memiliki ciri-ciri yana dapat kita saksikan

demikian: tulang punggung berbentuk “S”, dan tulang punggung yang berbentuk demikian

berada pada sisi bawah bagian tubuh; pinggul kurang tegak; persendian pangkal paha dan

sendi lutut tidak merentang secara penuh; kaki melengkung dsb. Semua itu sesuai dengan

sikap tegak yang dimiliki secara tetap oleh manusia sebagai satu-satunya binatang

menyusu. Korelasi sikap yang tegap itu tidak lain dari pada satu pembebasan bagian tubuh

paling depan untuk bergerak sendiri dan pembentukan kaki untuk berdiri tegak. Sesuai

dengan cara hidup manusia-kera di atas pohon-pohon, tangan manusia-kera (dalam

perbandingannya dengan manusia) berbentuk seperti kait dan agak menyorok serta

dilengkapi dengan ibu jari yang kecil dan yang tidak dapat melawan secara baik.

Sebaliknya, tangan manusia tampak kurang terspesialisir dan terdiferensiasir dengan

bergerak maju secara ringan. Tangan manusia tidak cocok untuk menerkam dengan sekuat

tenaga, tapi cocok dan peka untuk bekerja trampil dan tepat.

Tangan manusiayang bergerak bebas - oleh Aristoteles disebut “alat kerja dari alat

kerja” - mempunyai hubungan erat dengan pembentukan tengkorak. Mata yang melihat ke

Page 11: Filsafat Manusia 2010 (2004)

10

depan dan sering membelalak serta dahi dengan moncong khas pada wajah manusia-kera

masih tampak teraksentuir juga pada manusia. Itu berarti bahwa muka dan alat peraba

manusia masih punya arti yang dominan melebihi indra pencium. Gigi geraham tetap

tumpul, begitu juga urat-urat untuk rahang yang sangat kuat. Kekuatan-kekuatan ini

terkompensir dengan kemampuan tangan untuk membawa atau mengangkut benda-benda

objek dari satu tempat ke tempat yang lain dan kemampuan untuk menghasilkan alat dan

senjata. Melalui itu kompleksitas dari organ-organ tubuh yang menghasilkan suara berubah

sedemikian sehingga terjadi kemungkinan pembentukan suara yang akhirnya tampil dalam

bentuk “bahasa” pada manusia. Dahi yang tampak tidak lagi berfungsi untuk memperkuat

daya pengunyah “tidak mengancing”. Tengkorak dahi dapat membesar dan memberi tempat

untuk bentuk dahi yang lebih besar.

Otak yang merupakan bagian terpenting dari seluruh sistem syaraf sentral

memainkan peranan yang menentukan untuk struktur organisasi makhluk hidup yang lebih

tinggi. Peranan itu sejalan dengan evolusi yang mencakup proses penyempurnaan peranan

itu. Manusia tidak lagi memiliki bagian-bagian otak seperti pada manusia kera. Tetapi

volume dari otak manusia lebih besar dari otak manusia kera. Volume atau isi otak manusia

sekitar 1300cm3 kalau dibandingkan dengan Gorilla yang memiliki isi otak sekitar 500

cm3. Lebih jelas lagi dalam hal berat otak. Ada perbedaan yang mencolok antara manusia

dan manusia kera. Pada manusia, otak utama (otak kecil) yang lebih tua dan yang

bertanggung jawab untuk reaksi afektif dan instinktif mempunyai arti yang sudah teredusir,

jika dibandingkan dengan otak besar yang relatif muda dan yang memungkinkan fungsi-

fungsi yang lebih tinggi. Otak besar yang relatif muda ini berkembang luar biasa kuat.

Teristimewa jaringan jaringan saraf yang kuat menjadi tebal. Informasi lain diminta untuk

lihat dalam literatur-literatur lain.

Keistimewaan anatomi dan bentuk tubuh manusia dalam perbandingannya dengan

manusia-kera menunjukkan adanya evolusi perkembangan makhluk hidup. Anatomi dan

bentuk tubuh manusia dalam perspektif filsafat manusia hanyalah jenjang-jenjang;

perkembangan yang belum menyimpulkan adanya keluarbiasaan dan kelebihan kedudukan

Page 12: Filsafat Manusia 2010 (2004)

11

manusia dalam skala evolusi. Evolusi manusia dapat dilambangkan sebagai panah yang

terlepas dan bergerak menuju sasaran, yaitu masa depan. Tidak ada sesuatu pun yang

berhenti di masa lampau, masa sekarang, tetapi senantiasa berkembang ke depan. Masa

depan adalah bahasa evolusi.

1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.

Posisi khas ontogenetis pada manusia dalam perbandingan dengan binatang

menyusu terlihat dalam fase kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai kepada masa

awal sesudah kelahiran. Kelahiran merupakan saat peralihan kehidupan dari kehidupan

dalam kandung ibu kepada keterpisahannya dari kandungan ibu untuk masuk ke dalam

dunia dan memiliki “Dasein” (realitas “ada”) tersendiri. Semua binatang menyusu lain

memiliki masa mengandung yang agak lama sesuai dengan tingkat perkembangannya yang

berbeda-beda. Biasanya masa mengandung berlangsung 21 dan 22 bulan; manusia

sebetulnya memiliki masa mengandung seperti ini, tapi sampai sekarang yang diketahui,

manusia dikandung selama 9 bulan. Pengamatan yang lain lagi selain masa mengandung ini

tertuju kepada saat langsung sesudah kelahiran. Hampir semua binatang mengalami

kematangan segera untuk berdiri sendiri sesudah lahir. Mereka memiliki kematangan yang

cepat dengan perkembangan kemampuan yang perlu untuk berada sendiri. Pada bayi

manusia, organisasi otot dan saraf berkembang perlahan dan bisa berlangsung sampai

sekitar satu tahun. Portmann melukiskan tahun-tahun pertama hidup manusia sebagai

,”tahun ekstra-uterin embrio”. Arti dari anomalitas ini terletak di dalam kenyataan bahwa

dengan cara itu penempaan sosio-kultural dari bayi bersangkutan merasuk masuk ke dalam

stadium embrional yang belum lengkap. Di dalam waktu 9 sampai 11 bulan dari tahun

pertama terbentuk tiga unsur penting secara serempak untuk hidup manusia: kesanggupan

untuk menggunakan alat; bahasa yang khas dan sikap yang tegap. Dalam semua usaha ini

pembawaan lahir dan dorongan alamiah berpengaruh satu sama lain untuk meniru keadaan

sekitarnya dengan cara meresapkannya secara membatin. Hal serupa tidak mungkin berlaku

untuk binatang menyusu dalam tingkat lebih tinggi selain manusia. Fase di dalam

kandungan ibu itu sudah merupakan fase penentu untuk mengorganisir sistem urat- saraf,

Page 13: Filsafat Manusia 2010 (2004)

12

dan dalam situasi yang jauh dari kontaknya dengan dunia luar, seluruh organisasi instink

diatur dan dibangun secara kokoh.

Posisi khas ontogenetis yang ditemui pada manusia tidak menyelesaikan persoalan

juga tentang kekhasan manusia, karena posisi khas ontogenetis bisa ditemui juga pada

gorila. Fakta biologis yang memperlihatkan kekhasan ontogenetis pada manusia, gorilla,

kera, babi dsb. belum memberi kesimpulan bahwa hakikat manusia berbeda dengan

binatang.

1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap.

Biologi perbandingan coba menyoroti struktur tingkah laku pada binatang dan

struktur tingkah laku pada manusia. Struktur tingkah laku pada binatang dan pada manusia

memiliki struktur dasar yang sama. Dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya setiap

makhluk hidup (binatang dan manusia) menjawabi situasi yang punya arti tertentu dan yang

dirangsang secara biologis dari luar tanpa pengalaman sebelumnya, tanpa percobaan dan

kekeliruan. Makhluk hidup menjawabi itu dengan cara yang berarti, dan menerima

rangsangan itu dengan cara khas dan jelas. Mereka mempunyai kemampuan untuk

membentuk dan mengatur semua data pengalaman indrawi ke dalam satu reaksi tertentu,

dan hal ini justru memungkinkan satu kesempatan optimal dalam setiap situasi untuk

bertindak secara tepat. Apakah struktur dasar ini dilengkapi juga dengan keistimewaan

struktur tingkah laku pada masing-masingnya, baik pada binatang maupun pada manusia?

Kita melihat lebih dahulu struktur tingkah laku pada binatang. Untuk binatang

perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidup, yaitu perubahan yang ada di dalam

dirinya sendiri, dikenal melalui skemata-skemata yang menimbulkan reaksinya secara

sesuai, karena di dalamnya sudah terdapat kesediaan batiniah-naluriah yang dikendalikan

secara hormonal. Reaksi bagian yang satu terintegrir ke dalam reaksi bagian yang lain, dan

hal itu membangun satu mata rantai tindakan yang punya arti tertentu. Setiap bagian reaksi

yang terintegrir satu sama lain itu justru menghantar kepada tujuan akhir tertentu yang

sementara sifatnya seperti pemuasan, perkawinan, penetapan posisi dsb. Setiap bagian

reaksi ini dihasilkan lagi oleh satu rangsangan atau stimulus baru. Jadi terdapat satu

Page 14: Filsafat Manusia 2010 (2004)

13

hierarki: Dari tujuan umum yang meliputi segalanya seperti tujuan pengakuan atau

pertahanan diri dan jenisnya, sampai kepada tujuan khusus seperti pemuasan terhadap

kebutuhan pokok dan pengembangbiakan dsb; untuk pemenuhan kebutuhan dasar ini

sebagian tujuan khusus harus dicapai, misalnya untuk pengembang biakan si jantan harus

mengalahkan saingannya dengan cara mengejar-ngejar, mengancam atau menggigit dsb.

Faktor yang menentukan di sini ialah bahwa setiap binatang tidak pertama-tama “harus”

belajar membuat seleksi terhadap tingkah laku yang berarti di dalam setiap situasi, tetapi

setiap binatang semacam “sudah” tahu secara hormonal, yaitu bertindak seakan-akan dia

sudah selalu tahu bagaimana dia harus memberi reaksi dan bertingkah laku. Dengan

demikian tidaklah tertutup kemungkinan bahwa tingkah laku binatang itu dapat juga

ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak berasal dari warisan kelahiran; hal ini misalnya

terdapat pada binatang verterbrata (binatang yang beruas tulang belakang), terutama pada

jenisnya yang lebih tinggi. Pada binatang itu terdapat faktor “penempaan” atau

penggemblengan dan faktor “belajar”. Faktor penempaan atau penggemblengan terjadi

ketika kesan-kesan indrawi mempunyai pengaruh, dan dampak pada organ tertentu dari

tubuh di dalam satu fase kehidupan tertentu yang sensibel. Dampaknya ialah bahwa kesan-

kesan indrawi itu akan tetap menjadi ransangan yang menimbulkan reaksi dalam tempat-

tempat rangsangan tertentu pada tubuh. Ahli etologi (ahli tentang tingkah laku binatang)

menjelaskan bahwa melalui “proses tempaan itu” misalnya hubungan antara anak-induk

menjadi stabil, orientasi seksual ditetapkan (tipe-tipe persahabatan: heteroseksualitas dan

homoseksualitas). Cara-cara untuk memberi reaksi baru dapat diperoleh, ketika cara-cara

bereaksi itu bersenyawa satu sama lain sesuai dorongan-dorongan melalui rasa sakit dan

nafsu yang selalu terulang. Semakin tinggi berkembangnya jenis binatang tertentu, semakin

mampu dia mengumpulkan pengalaman-pengalaman melalui “percobaan dan kekeliruan”,

begitu juga semakin mampu dia mengubah tingkah lakunya lewat “belajar”, yaitu dengan

cara mengambil alih tingkah laku dari yang lain. Perlengkapan instink menjadi kaku dan

diperluas oleh peristiwa tempaan itu dan oleh tingkah laku yang dipelajari itu.

Page 15: Filsafat Manusia 2010 (2004)

14

Pada manusia ikatan automatis antara stimulus dan response berada di bawah

pengawasan akal. Memang di satu pihak di dalam diri manusia tidaklah dapat dibedakan

dengan jelas mana kerja instink dan mana rangsangan yang ditimbulkan oleh objek dari

luar, tapi instink dan rangsangan dari luar dapat ditransformir oleh akal sedemikian

sehingga pada tingkat tertentu manusia dapat membedakan dorongan-dorongan yang

bekerja pada bidang yang berbeda-beda seperti dorongan makan untuk pertahanan hidup,

dorongan seksual untuk pengembangbiakkan dsb. Tapi satu kenyataan yang harus diakui

ialah bahwa semua dorongan yang bekerja dalam bidang yang berbeda-beda itu tidak dapat

ditaksir dan tidak dapat diperhitungkan, sebab semua dorongan itu selalu terselimut dengan

motif-motif tertentu yang berpengaruh dalam seluruh tingkah laku seperti dorongan seksual

diselimuti juga oleh motif-motif prestise dana.

Perbedaan utama yang terpenting adalah unsur terbaru baik dari pihak dorongan-

dorongan maupun dari pihak objek-objek yang berkorespondensi dengan dorongan-

dorongan itu. Manusia mampu bukan hanya untuk merasakan objek-objek yang berhadapan

atau bersentuhan dengannya sebagai., kompleksitas rangsangan-rangsangan, tetapi juga

untuk mengartikan dan menghargai objek-objek itu menurut realitas “Ada” yang melekat

padanya, realitas apa adanya. Sampai pada taraf itu, manusia jtistru membangunkan satu

etik dan satu ontologi yang kritis. Kemampuan dan dorongan untuk ,tingkah laku semacam

itu berhubungan dengan satu tujuan yang berada melampaui tujuan dirinya sendiri dan

melampaui tujuan untuk mempertahankan jenisnya. Karena itu manusia dapat mengelakkan

perkembangbiakan demi kepentingan tujuan-tujuan yang lain; manusia dapat dengan sadar

mengakhiri hidupnya atau dengan sadar mengarahkan perhatiannya pada hal-hal penting

lainnya.

Biologi perbandingan menunjukkan keistimewaan struktur tingkah laku pada

manusia bahwa struktur tingkah laku manusia berada di bawah pengawasan akal.

Kenyataan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa realitas manusia sudah memiliki

(perbedaan hakiki dari binatang meskipun ada kesamaan dan keserupaan mendasar antara

keduanya dalam menjawab rangsangan dari luar secara intinktif. Tetapi kekhasan yang

Page 16: Filsafat Manusia 2010 (2004)

15

dilukiskan itu belum juga menyelesaikan persoalan tentang akal manusia itu sendiri, apakah

akal itu bersifat material atau tidak. Di antara binatang ada juga semacam “akal” yang

menjadi pengawas tingkah laku mereka ketika kita memperhatikan bahwa mereka

mempunyai kemampuan “belajar” dan dapat keliru seperti yang dilukiskan tadi.

1.2. Problematika pendekatan.

Melalui tiga jalan pendekatan biologis yang disebutkan sebelumnya untuk masuk ke

dalam pemahaman tentang hakikat manusia, orang dapat membuat satu kesimpulan umum

bahwa biologi perbandingan justru menempatkan manusia sederajat dengan binatang.

Memang ada perbedaan-perbedaan khas pada manusia seperti yang ditunjuk dalam ketiga

pendekatan itu, tetapi hasil-hasil penelitian biologis memperlihatkan tidak adanya

perbedaan esensial yang menyangkut hakikat hidup makhluk hidup seperti binatang dan

manusia. Pertanyaan filosofis; muncul untuk mengkonfrontir metode pendekatan biologi

perbandingan, yaitu bahwa apakah hakikat manusia itu sama dengan binatang; apakah

manusia sederajat dengan binatang atau lain dari binatang. Di sanalah letak paradoksnya,

yaitu bahwa manusia sederajat dengan binatang, di satu pihak dalam konteks biologi

perbandingan dan di pihak lain berbeda dengan binatang dalam konteks penelitian terhadap

keistimewaan-keistimewaan yang disebut di atas.

Orang coba memecahkan paradoks yang disebut terakhir itu (sederajat dengan

binatang atau berbeda dengan binatang?) dengan merujuk kembali pada data-data yang

dihasilkan biologi perbandingan, khususnya data-data tentang usaha makhluk hidup seperti

manusia dan binatang, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan untuk mencapai tujuan

pertahanan diri dan jenisnya. Pendekatan pertama untuk mengatasi paradoks itu berpusat

pada konsepsi yang melihat manusia sebagai “hakikat yang cacat” sebagaimana

ditandaskan oleh Arnold Gehlen. Bila manusia itu dilihat sebagai satu “hakikat yang

cacat”, maka seluruh kekurangan atau cacat cela yang melekat padanya dikompensasikan

oleh kemampuan dirinya untuk menutup kembali cacat celanya itu. Misalnya, manusia

mengkompensir kekurangan-kekurangan dengan berpakaian untuk menutup tubuhnya yang

kekurangan buluh, dengan bersenjata seperti pentungan dan senjata atom manusia

Page 17: Filsafat Manusia 2010 (2004)

16

mengkompensir senjata gigi yang tidak tajam dan mengambil alih ketrampilan “mencuri”

pada binatang, atau dengan membentuk institut sosial ia (manusia) sebetulnya

mengkompensir daya-daya instink yang terorganisir di dalam dirinya seperti yang terjadi

dalam binatang. Tentu saja cacat yang digambarkan itu berhubungan dengan perlengkapan-

perlengkapan yang ada pada binatang dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok dan

pertahanan dirinya serta jenisnya. Tampak bahwa memang kompensasi itu tidak berjalan

menurut satu norma khas manusia, tetapi satu daya pengimbang yang harus ada demi

pemenuhan kebutuhan pokok dan pertahanan diri manusia. Dengan demikian di balik

konsepsi tentang manusia sebagai hakikat yang cacat ini terletak satu pemahaman bahwa

sebetulnya manusia itu sederajat dengan binatang. Kekhasan-kekhasan yang dimilikinya

tidak lain dari pada kompensasi terhadap kekurangan-kekurangan yang ia miliki dalam

proses pemenuhan kebutuhan, pertahanan diri dan jenisnya. Kelemahan dari konsepsi

manusia sebagai hakikat yang cacat ialah bahwa konsepsi ini justru menempatkan cara

binatang sebagai ukuran yang dikenakan pada manusia. Ukuran itu ditarik dari cara

binatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mempertahankan hidupnya dan

melanjutkan turunannya. Kita menafsirkan tingkah laku dan susunan badan dari binatang

dengan ungkapan-ungkapan yang antropomorfisme, yaitu ungkapan-ungkapan tentang

binatang seakan-akan binatang itu adalah manusia; dengan ungkapan-ungkapan itu pula kita

mendapat kesulitan untuk secara kritis menentukan batas-batas antropomorfisme.

Sebaliknya juga, kita coba mengartikan tingkah laku manusia dengan merujuk kepada

tingkah laku yang telah ditafsirkan dari dunia binatang. Atas cara ini terciptalah pengertian

kita tentang binatang dan juga pengertian kita tentang manusia tanpa satu pengetahuan yang

diteliti secara objektif. Juga indikasi tentang asal usul yang sama antara manusia dan

manusia-kera dengan bertolak dari satu ikatan jenis yang sama hanya menjamin identitas

kedua bentuk kehidupan itu menurut hakikatnya. Itu hanya bisa diandaikan bila dalam

perjalanan evolusi tak terjadi sesuatupun yang baru. Karena itu orang mau tidak mau

menyetujui pendapat W. Schulz: “Dorongan untuk mempertahankan diri menurut pendapat

Gehlen pada dasarnya berfungsi sebagai satu prinsip abstrak yang menjadi titik tolak dan

Page 18: Filsafat Manusia 2010 (2004)

17

sasaran untuk interpretasi”. Secara lebih tajam dikatakan: “Gehlen bertolak dari satu

metafisika biologis.”

Pendekatan kedua dari paradoks tersebut, bahwa manusia merupakan satu dari

binatang dan secara serempak berbeda dari binatang, berasal dari pandangan Dualisme yang

melihat manusia sebagai yang terdiri dari dua komponen, yaitu tubuh yang dikendalikan

oleh dorongan-dorongan naluri seperti pada binatang dan Roh yang merupakan

kekhususannya. Pandangan Dualisme ini coba diperlunak oleh gagasan Max Scheler dalam

karyanya “Die Stellung des Menschen im Kosmos”. Max Scheler berpendapat bahwa

kekhususan atau kekhasan pada manusia ialah kemampuannya untuk mengatakan “Tidak”

kepada dorongan-dorongan naluriah. Kemampuan untuk mengatakan “tidak” kepada

dorongan-dorongan itu adalah Roh yang keberadaannya sudah terserap di dalam dorongan

dan naluri-naluri. Karena itu di dalam lapisan terdalam dari eksistensi manusia, di dalam

lapisan tersebut yang menjadi milik bersama dari semua dorongan hidup, manusia justru

sudah memiliki kemampuan vital roh. Eksistensi roh ini merentang dari ruang lingkup yang

gelap di dalam lapisan terdalam dari manusia menuju tingkat kesadaran sampai ke tingkat

kesadaran yang paling cerah pada puncak tertinggi yang disebut ‘PRIBADI” sebagai bentuk

eksistensi yang menjadi milik khas manusia. Tempat metafisis yang melingkupi realitas

hakikat manusia menurut Scheler terletak di antara dua ujung kutub, yaitu antara realitas

ilahi dan realitas kebinatangan atau antara dunia ilahi dan dunia binatang. Manusia bcrdiri

sebagai jembatan penghubung antara kedua realitas itu, dan satu fenomen yang

menunjukkan bidang kontak itu adalah rasa malu. Rasa malu hanya secara hakiki terdapat

pada manusia. Dunia binatang dan dunia ilahi tidak mengenal rasa malu. Namun pandangan

Max Scheler tidak menghilangkan sama sekali unsur dualistis dalam konsep tentang

manusia, karena tubuh dan roh masih merupakan dua unsur yang dapat dibedakan. Problem

Dualisme tidak membantu kita untuk menangkap kesatuan manusia itu secara utuh.

Dualisme sering meremehkan kenyataan bahwa tubuh manusia sama sekali lain dari pada

binatang, baik dalam bentuk atau figurnya yang khas, yang di dalamnya “jiwa” manusia

menemukan ungkapannya yang luar biasa, maupun dalam caranya yang khas untuk

Page 19: Filsafat Manusia 2010 (2004)

18

memiliki satu badan. Manusia bukanlah setengah binatang, setengah malaikat, tetapi

“manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh.”

Untuk melihat manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh itu, cara penglihatan

biologis (optik biologis) harus direlativir untuk mengesampingkan cara pendekatan yang

mereduksi realitas manusia kepada realitas makhluk hidup lain seperti manusia-kera. Cara

pendekatan seperti itu bukanlah satu-satunya pendekatan dan juga, bukanlah satu cara

utama yang kita pakai untuk melukiskan hakikat manusia. Dari sisi fenomen-fenomen

masih terdapat banyak pendekatan ilmu pengetahuan tentang manusia, pendekatan-

pendekatan yang harus diperhatikan seperti Ethnologi, Psikologi, Medizin, Sosiologi, Ilmu

Agama, Ilmu Musik dsb. Ilmu-ilmu pengetahuan ini mempelajari bentuk-bentuk dan dasar-

dasar perbuatan manusia, bentuk-bentuk dan dasar-dasar dari pergaulan manusia satu

dengan yang lain, hasil usahanya, dan juga struktur batiniah dari hasil-hasil ciptaannya yang

khas, juga struktur batiniah si ilmiawan sendiri. Kalau kita berpegang teguh pada ilmu-ilmu

pengetahuan itu, maka kita harus melakukan itu dengan kesadaran bahwa ilmu-ilmu

pengetahuan itu menyusun juga apa yang perlu untuk interpretasinya, yaitu menyusun

pengalaman-pengalaman hidup yang biasa. Dari sisi gejala-gejala yang dapat dimengerti

haruslah ditemukan satu bidang yang bisa lolos dari dilemma yang dilukiskan itu, karena

dilema itu didasarkan pada pandangan bahwa baik manusia maupun manusia-kera (dan

binatang-binatang serupa) dimengerti dalam konteks pengertian umum tentang dunia

binatang dengan tidak memperhitungkan lebih dahulu elemen khas manusia, sehingga

untuk menentukan hakikat manusia terjadilah proses reduksionisme biologis atau Dualisme

sebagai jalan pemecahannya.

Bidang teoretis yang menjadi dasar untuk pengolahan tentang hakikat manusia

secara adekuat adalah bidang Ontologi. Bidang ini membicarakan manusia sebagai “satu

realitas Ada” secara tersendiri. Realitas “Ada” dari manusia berbeda dari realitas “ada” dari

binatang. Karena itu pendekatan ontologis tentang manusia justru mengalahkan pendekatan

biologi perbandingan yang diuraikan sebelumnya. Di dalam bidan ontologis haruslah

dipenuhi tiga tuntutan berikut.

Page 20: Filsafat Manusia 2010 (2004)

19

a. Harus ada satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang dengan cara

hidupnya yang berbeda-beda maupun dunia manusia dengan kekhasannya. Pengertian

umum itu hanya dapat dikonstruksikan dari pengertian ontologis yaitu pengertian yang

dirumuskan dalam bentuk satu kata, term atau rumusan, tapi pengertian yang

dirumuskan itu harus mewakili segala bidang kehidupan. Satu pengertian umum yang

mencakup baik dunia binatang maupun dunia manusia dapat ditemui dalam rumusan

bahasa Indonesia “lmakhluk hidup”. Malaikat dan roh tidak tercakup dalam pengertian

itu. Sedangkan kata “zoon” dalam bahasa Yunani menunjuk kepada dunia binatang,

dunia manusia bahkan dunia ilahi, tetapi tidak termasuk dunia tumbuh-tumbuhan.

Dalam bahasa Jerman, kata “Lebewesen” (makhluk hidup) cuma mencakup dunia

tumbuh-tumbuhan, binatang dan dunia manusia, sedangkan dunia ilahi cuma dimengerti

dalam arti metaphoris. Kedua pengertian itu (Zoon dan Lebewesen) tidak cocok untuk

diterima sebagai satu pengertian ontologis, karena pengertian ontologis justru menuntut

pemahaman yang memperlihatkan pembedaan ontologis antara makhluk-makhluk hidup

itu, juga pembedaan ontologis antara manusia dan binatang. Karena itu orang memilih

saja ungkapan yang berasal dari satu kata buatan yang diciptakan sendiri oleh para

pengamat filsafat manusia, yaitu Subjek dan subjektivitas, yang akan dibicarakan

kemudian.

b. Pertanyaan tentang hakikat dari sesuatu hal harus berkaitan dengan pertanyaan tentang

ada tidaknya pembatasan antara hakikat sesuatu hal dengan hakikat hal yang lain,

misalnya antara hakikat seekor binatang dan hakikat seorang manusia. Dengan kata

lain, apakah realitas “Ada” pada satu makhluk berbeda dengan realitas “Ada” pada

makhluk lain. Ontologi berusaha menggeluti soal itu, dan kalau ada perbedaan antara

realitas “Ada”, maka dalam Ontologi orang perlu merefleksikan juga apakah ada ide

terakhir yang mencakup segala-galanya. Ide terakhir itu adalah ide tentang Realitas

“Ada”, yang berdiri melampaui semua penampilan lahiriah dari realitas “Ada” yang

berbeda-beda itu. Dan kalau tidak ada perbedaan antara Realitas “Ada” dalam setiap

makhluk, maka pertanyaan lebih lanjut dalam Ontologi ialah bahwa Realitas “Ada”

macam mana yang dapat direfleksikan pada manusia. Ontologi yang berbicara tentang

Page 21: Filsafat Manusia 2010 (2004)

20

hakikat makhluk hidup atau Realitas “Ada” dalam makhluk hidup tentu berhubungan

erat dengan Filsafat Antropologi, dan bila Ontologi bergelut tentang hakikat atau

Realitas “Ada” dalam diri manusia, Ontologi semacam ini merupakan bagian dari

Filsafat Antropologi .

c. Pengertian tentang hakikat manusia merupakan hasil dari satu penafsiran tentang

fenomen-fenomen (gejala-gejala) yang tampak dari manusia. Dengan demikian kegiatan

menafsir yang dijalankan oleh manusia yang satu hanya terbatas pada daya teropongnya

yang bersifat sebagian. Kegiatan menafsir itu selalu bergantung kepada situasi dan

kondisi si penafsir. Justru keterbatasan kegiatan menafsir inilah yang mencerminkan

masalah “Fenomenologi” dan “Ontologi”: Sejauh mana penafsiran terhadap fenomen-

fenomen yang tampak dalam diri manusia menyentuh sesuatu yang menjadi inti atau

hakikat atau Realitas “Ada” dalam manusia itu.

1.3. Pengertian tentang Subjek.

Kata “Subjek” berasal dari bahasa Latin: Sub + iacere (di bawah + melemparkan,

menundukkan). Kata jadian yang berasal dari “sub+iacere” adalah “subicere”:

melemparkan atau meletakkan ke bawah. Dalam pengertian filosofis kata “subjek”

dikenakan kepada manusia sebagai satu hakikat yang memiliki realitas keberadaan (das

Seiende) tersendiri. Dengan bertolak dari pengertian bahasa dan pengertian ontologis

tentang realitas keberadaannya, kita coba memperkenalkan satu pengertian tentang

Subjektivitas sebagai realisasi kesatuan dan Subjektivitas sebagai “Sesuatu yang berada

dalam dunia”.

1.3.1. Subjektivitas sebagai satu realisasi kesatuan.

Subjektivitas bertolak dari ide tentang sesuatu sebagai satu realitas “ada” (das Sein

= Realitas “Ada” = Realitas yang benar) dan tentang kesatuan yang melengkapi dan

mengokohkan realitas “ada” itu. Antara realitas “ada” dan kesatuan terjalin hubungan yang

saling mendukung. Di mana kita menemukan “realitas ada”, di sana kita juga menemukan

kesatuan, begitu juga sebaliknya, di mana kita menemukan “kesatuan”, di sana kita

menemukan “realitas ada”. Semakin sedikit sesuatu itu tampil sebagai sesuatu yang real,

semakin kurang hal itu menemukan kesatuan yang asli. Bila kita berbicara tentang “satu

Page 22: Filsafat Manusia 2010 (2004)

21

kesatuan”, maka kita pertama-tama berpikir tentang unsur jumlah: 1+1+1+1........Satu

kesatuan memang terbentuk atas cara ini, bahwa unsur-unsurnya memiliki sesuatu yang

menjadi milik bersama dan serempak menjadi satu ketersendirian yang unik. Dengan

demikian, setiap unsur yang membentuk satu kesatuan itu memiliki “keterpaduan”

(Geschlossenheit) yang memperlihatkan ketersendiriannya yang unik dan serempak

keterbukaan terhadap yang lain untuk diterima ke dalam satu kesatuan yang lebih besar dari

unsur itu. Melalui kedua sifat ini setiap elemen dapat “diterima” semata-mata sebagai

“satu”; ia terpadu secara ke dalam dan terbuka untuk dapat bersatu dan bergabung dengan

yang lain. Kesatuan yang terbentuk itu dapat saja mengalami perubahan “jati-diri” yang

berasal dari dalam dirinya sendiri atau juga yang berasal dari kemungkinan peleburan

bagian-bagiannya ke dalam satu keseluruhan yang lebih besar dari kesatuannya. Bila kita

menganalis satu benda atau satu makhluk hidup seperti binatang dan manusia sebagai

realitas “ada” dalam terang ide satu kesatuan itu - seperti sebuah batu yang ditemukan di

satu tempat, sebuah objek yang dapat dipakai, seekor anjing, seorang manusia - maka

tampaklah satu kesatuan yang terwujud secara intens dan padat, yaitu satu intensitas yang

tampil sejalan dengan urutan jenjang-tingkatan yang dikenal di dalam tata tertib realitas

“Ada”, seperti satu kesatuan yang tenvujud secara intens pada sebuah batu tentu lain dari

satu satu kesatuan yang terwujud secara intens pada seekor anjing. Melalui contoh itu,

pengertian tentang subjektivitas sebagai realisasi kesatuan menerima arti menunit bentuk

luar dan menurut ketahanan hasil keterpaduannya. Dengan bertolak dari paham tentang

kesatuan (keterpaduan dan keterbukaan terhadap yang lain), sebagaimana elemen-elemen

ini menampilkan diri kepada pengamatnya, kita berangkat menuju pembahasan tentang dua

sifat dari kesatuan yang disebut di bawah ini.

a. Jenjang pembentukan jati-diri objektif dan keseluruhan.

Saya memegang “satu” batu di tangan saya. Kita bertanya: “Apa yang menjadi dasar

kesatuan batu ini? Sifat kesatuan atau unsur khas dari bahan-bahan materialnya hampir

tidak memainkan peranan. Hal yang lebih penting adalah keterpaduan bentuknya (bahwa

orang dapat memperhatikan permukaannya dari satu sisi ke sisi yang lain secara

Page 23: Filsafat Manusia 2010 (2004)

22

keseluruhan, atau bahwa batu ini dapat berguling dalam kesatuan). Apakah orang

memperhatikannya dalam waktu yang agak lama atau sekilas, batu itu toh tetap

memperlihatkan keseluruhannya. Satu bentuk geometris yang teratur memudahkan kita

untuk menjatuhkan penilaian kita terhadapnya, apabila kita memecahkan batu itu menjadi

dua bagian lalu mempertanyakan apakah batu yang satu itu menjadi dua keping batu dari

satu batu yang sama atau dua buah batu yang berbeda. Dengan mengamati, memperhatikan

dan mengukurnya menjadi pentinglah kegiatan menafsir kita untuk mendekatinya menurut

tujuan dan model penggunaan benda itu. Tujuan dan model penggunaan benda itu

dimengerti sebagai tujuan dan model yang secara jelas menunjuk kepada satu kesatuan

yang jelas atau satu keterpaduan yang tampak dalam keseluruhan bentuknya (mis. bola atau

pisau), kesatuan yang mendapat pembatasan tajam oleh karena tujuan penggunaannya.

Tujuan penggunaan dari benda itulah yang menentukan kesatuannya dan oleh karena tujuan

tertentulah benda itu dibuat. Dari pengertian tentang tujuan itulah kita dapat mengenal

bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat

menyatu juga ke dalam keseluruhannya; dari situ kita dapat menilai bahwa perubahan

macam mana dapat mengancam identitas benda itu dan perubahan-perubahan macam mana

tidak menghilangkan identitas benda itu. Dari itu pulalah kita dapat melihat keadaan

keseluruhan dari benda itu sebagai sesuatu yang penuh cacat dan retak. Pengertian tentang

tujuan justru berfungsi sebagai prinsip kesatuan satu benda atau objek.

Ide tentang prinsip kesatuan itu dikenakan juga pada interpretasi kita tentang

makhluk hidup. Di dalam makhluk hidup terdapat tujuan di dalam dirinya sendiri.

Keberadaannya memiliki karakter yang bersifat ganda, yaitu sebagai satu individuum dan

sebagai makhluk dari satu jenis atau spesies. Individuum menunjuk kepada jati-diri objektif

dari satu makhluk, dan jenis atau spesies yang disandangnya menunjuk kepada keseluruhan

yang di dalamnya individuum termasuk. Dalam keseluruhan kodratnya makhluk hidup

tidak terlepas dari tempat dan fungsinya untuk membangun keseluruhannya. Jika

seandainya arti keberadaan makhluk itu terletak dalam fungsinya, maka keseluruhan yang

menjadi sasaran jalinan antara jenis jenisnya tidak punya arti, sebab keseluruhannya

Page 24: Filsafat Manusia 2010 (2004)

23

hanya dapat memiliki satu eksistensi yang real di dalam setiap makhluk hidup dari jenis

yang sama. Tetapi arti keberadaan makhluk hidup tidak terletak dalam fungsinya. Setiap

makhluk hidup memikul di dalam dirinya satu prinsip kediriannya (prinsip jati-diri objektif)

yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti memnertahankan diri, mengembangkan

diri melalu metamorfose, pertukaran zat-zat kimiawi, pengembangan diri atau

perubahan lainnya. Serempak pula, makhluk hidup ini juga memiliki di dalam dirinya

dan melalui dirinya prinsip keseluruhan, dan prinsip ini bukan hanya terwujud di dalam

proses pengembangan struktur kodrati dari keberadaan makhluk itu sendiri, yang mencakup

juga unsur-unsur atau bagian-bagian yang tidak lagi ada, tetapi juga terwujud sedemikian

rupa sehingga prinsip itu sendiri merupakan asal usul dinamis untuk perkembangan dari

bagian-bagian yang termasuk dalam keseluruhan itu (seperti organ-organ dan fungsi-

fungsinya), yaitu untuk regenerasi (regenerasi untuk bagian-bagian lama yang harus

diganti) dan kompensasi (kompensasi untuk bagian-bagian yang tak berfungsi) dari bagian-

bagian itu.

b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek.

Kita mengambil contoh dengan menderetkan benda dan makhluk hidup: batu,

pohon, binatang dan seorang manusia. Tampaklah pada kita bahwa prinsip kesatuan pada

batu berbeda dengan prinsip kesatuan pada pohon, dst. Pertanyaan kita ialah bahwa di mana

letak perbedaan prinsip antara mereka itu. Prinsip kesatuan apa yang berbeda? Prinsip

kesatuan batu tidak memiliki prinsip kesatuan batiniah; yang ada di sana adalah prinsip

kesatuan yang bersifat instrumentalis seperti yang sudah ditunjuk sebelumnya. Sedangkan

prinsip kesatuan makhluk hidup memiliki prinsip kesatuan batiniah, meskipun prinsip

kesatuan sebatang pohon lebih kecil dari binatang, dan prinsip kesatuan seekor binatang

lebih kecil dari manusia.

Mengapa benda-benda material seperti batu tidak memiliki kesatuan batiniah dan

hanya kesatuan yang bersifat instrumentalis? Benda-benda material seperti batu tidak

berada untuk dirinya. Hakikatnya hanyalah satu kesatuan tertutup yang berada di tempat ini

dan serempak merupakan sesuatu yang bukan benda yang lain. Hakikat keberadaan model

Page 25: Filsafat Manusia 2010 (2004)

24

ini sebetulnya hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakikat keberadaannya

sendiri sebagai “kemampuan berada untuk” atau “kemampuan untuk mempunyai tujuan di

dalam dirinya” tidak ada. Pengamat menaruh tujuan penggunaan benda material itu.

Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk memiliki tujuan di dalam dirinya

hanya berlaku untuk makhluk hidup. Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk

memiliki tujuan di dalam dirinya diartikan sebagai kemampuan refleksivitas yang dimiliki

makhluk hidup sebagai satu realitas “Ada”. Kegiatan refleksivitas ini tercermin dalam

kegiatan aktif-pasif dari makhluk hidup itu sendiri. Kegiatan refleksivitas dengan daya

aktif-pasif ini terserap di dalam dinamika dorongan kehidupan makhluk hidup itu sendiri.

Daya “aktif” terarah kepada aktivitas gerak-laku ketika berhadapan dengan rangsangan dari

luar seperti ketika berhadapan dengan musuh atau berhadapan dengan pasangannya,

sedangkan daya “pasif” terarah kepada posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan

refleksivitas aktif-pasif ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika dorongan-

dorongan itu, dan perkembangan korelasi aktif-pasif itu bersifat evolutif dan ontogenitis,

dalam arti bahwa pada tumbuhan misalnya dinamika dorongan yang berpusat pada

refleksivitas pasif lebih menonjol dari pada aktif. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas

berbeda dan terpisah.

Indikasi refleksivitas yang bersifat aktif-pasif pada binatang kita kenakan pada

manusia dalam tingkat tertentu. Pada manusia kegiatan refleksivitas yang bersifat aktif-

pasif berkembang pesat dan khas. Identitas individual pada manusia menonjol. Tidak lagi

ditekankan arti dari spesies tertentu, tetapi arti individual dan arti sosial dari realitas

manusia. Dalam lingkungan sosial, manusia memainkan peranan yang bermacam-macam,

membentuk hubungan dan fungsi yang beragam, tetapi dalam lingkungan individual dia

tetap menyandang identitas yang sama. Prinsip identitas ini otonom, dan dari sana

beraksilah pusat atau sentrum untuk segala macam kegiatan dan fungsi. Dalam prinsip

individual yang otonom dan sosial ini tugas manusia adalah senantiasa untuk

mengintegrasikan dan memperjuangkan keseluruhan dirinya, dan tugas ini justru

melampaui tugas biologis semata-mata seperti pada makhluk hidup lain (mempertahankan

Page 26: Filsafat Manusia 2010 (2004)

25

hidup dan melanjutkan keturunan). Karena tugasnya ini melampaui tugas biologis,

maka tugas ini menyentuh satu bidang yang melampaui dunia fisis, dan itu hanya

tercermin dalam ide atau gagasan tentang tugas untuk memperjuangkan dan mencapai satu

“hidup yang penuh arti”. Di dalam horison hidup yang berarti inilah tugas pengintegrasian

itu terlaksana. Proses ini mau tidak mau harus melibatkan juga “realitas ada” yang lain,

yaitu realitas manusia yang lain. Mengintegrasikan diri untuk membangun keseluruhan

berarti berusaha untuk mengenal “realitas lain”, dalam hal ini manusia lain sebagai individu

sekaligus realitas lain yang berhadapan dengan kita. Dalam mengenal yang lain sebagai

satu realitas keberadaan yang berbeda, maka diri sendiri atau jati diri juga “dikenal”.

Dengan demikian dalam proses mengenal dan dikenal, dalam proses mewujudkan jati diri

dan realitas yang lain, kegiatan mengenal dan dikenal itu, menghargai dan dihargai itu,

mencintai dan dicintai itu adalah identis. Di sinilah letak penghayatan kesatuan dalam

jenjang yang tertinggi, yaitu mengenal di dalam yang mengenal, mencintai di dalam yang

dicintai.

Dalam penghayatan kesatuan yang dilukiskan di atas, baik orang yang mengenal

maupun orang yang dikenal berdiri dalam satu kesatuan yang terpisah. Jati diri individu

yang satu berbeda dari jati diri individu yang lain, tapi hubungan keduanya membanguni

satu kesatuan tanpa peleburan. Keberadaan seperti itu atau kesadaran seperti itu kita sebut

“subjek”, yaitu satu keberadaan yang menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi orang

lain. Kata “subjek” ini lalu menjadi satu “lintas-pengertian” yang dalam kategori ontologis

dapat menjadi satu tanda pengenal hakikat manusia. Persoalannya ialah bahwa para filsuf

belum memecahkan apakah kata “subjek” dapat dikenakan kepada binatang dan tumbuh-

tumbuhan (persoalan filsafat pengetahuan alam). Tetapi untuk seorang pakar filsafat

manusia kata “subjek” sudah bisah dijadikan ide penuntun untuk analisa tentang realitas

manusia.

Di dalam pokok di atas disebut jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada

sifat subjek. “Yang melekat pada, sifat subjek” tidak disamakan dengan “subjektif”.

Subjektif berkonotasi, dengan semau hati atau tidak objektif. Yang melekat pada sifat

Page 27: Filsafat Manusia 2010 (2004)

26

subjek berarti sifat yang berpautan dengan “subjektivitas”, dan subjektivitas itu sendiri

berarti “cara berada dari realitas manusia”, yaitu cara berada yang melipiiti baik kesadaran

maupun ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.

1.3.2. Subvjktivitas sebagai “Berada-dalam-dunia” (In-der-Wett-Sein).

Manusia dan binatang membangun satu lingkungan hidup yang di dalamnya

manusia dan binatang serta makhluk-makhluk hidup lainnya ada bersama dan

berdampingan. Tetapi lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang berbeda,

meskipun dalam tingkat tertentu untuk lingkungan hidup keduanya sudah tersedia prasyarat

yang sama untuk peristiwa kehidupan yang bersifat intra-organis. Perbedaan yang

mencolok antara lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang ialah makna

kata “subjek” yang melekat pada manusia. Benda-benda dan makhluk hidup lain adalah

sesuatu apa adanya, sedangkan subjek yang melekat pada manusia adalah pelaku yang

menjawabi pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Pengertian “dunia”

bertolak dari sikap subjek ini, karena itu kita bisa memahami sikap subjek yang mengerti

dunia dalam arti keseluruhan, seperti dunia manusia, dunia binatang dan dalam arti tertentu

seperti dunia orang tua, dunia remaja dsb.

Pengertian “dunia” yang terakhir ini merupakan satu pengertian antropologis yang

harus dibedakan dari pengertian kosmologis. Secara formal, dunia berarti totalitas atau

keseluruhan. Dalam arti kosmologis dunia berarti keseluruhan realitas yang ada

sebagaimana adanya an sich dan yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi.

Dalam arti antropologis, dunia berarti keseluruhan realitas yang berhubungan dengan

subjek dan mempunyai arti tertentu untuk subjek. Secara konkret dan linguistis, dunia ini

ditandai dengan atau dihubungkan dengan bentuk Genitif substantif seperti dunia buruh

(“buruh” adalah Kata benda yang berbentuk Genitif dalam kaca mata bahasa barat), dunia

perempuan, dunia anak-anak, dsb. Dengan demikian secara formal arti dunia dalam

pengertian antropologis dan kosmologis berbeda. Dunia dalam pengertian antropologis

bukan cuma sebagian dunia dalam arti kosmologis, tetapi satu realitas relasi antara tindak-

tanduk tertentu dari subjek dengan dunia di luar subjek. Dan ungkapan relasi ini tentu

Page 28: Filsafat Manusia 2010 (2004)

27

terbatas dan relatif, sebab tindak-tanduk dan cara si subjek dalam membentuk relasi

tergantung pada apakah dunia di luar subjek punyai arti tertentu untuk subjek yang

bersangkutan. Dalam arti ini, pengertian dunia semakin lebih sempit, karena subjek-subjek

yang hidup dalam dunia itu memiliki dunianya sendiri. Dunia si A berbeda dengan dunia

si B.

Meskipun dunia si A berbeda dengan dunia si B atau dunia dari subjek yang satu

berbeda dari dunia dari subjek yang lain, namun semua manusia dalam proses

perkembangannya memiliki alur atau jalan hidup yang sama. Alur hidup itu adalah dunia

manusia sendiri, yang bercirikan kesadarannya yang terbuka terhadap dunia yang lain,

terutama terhadap dunia manusia yang lain. Kesadaran yang terbuka ini tercermin dalam

sikap “merasa senasib” dengan manusia lain dalam dunia yang sama, menaruh empati

terhadap yang lain, solider, bersikap sosial bahkan mampu merobah atau memodifisir

dunianya sendiri. Subjektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia tidak lain dari

pada “dunia manusia” yang tidak hanya tinggal dalam dunia ini, tapi yang bertanggung

jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.

1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang manusia.

Kita mencari pengertian tentang hakikat manusia. Ada dua persoalan yang mau

digeluti di sini. Apakah manusia yang berbeda-beda itu memiliki hakikat yang sama?

Karena pengertian tentang manusia selalu bergantung kepada cara berpikir, kebudayaan dan

sejarah peradaban dsb., maka persoalan kedua yang hendak digeluti ialah bahwa apakah ada

pengertian universal tentang manusia?

1.4.1. Kesatuan hakikat?

Pengertian tentang hakikat hendaknya digunakan untuk semua unsur dari satu kelas

makhluk hidup, dan dibuat sedemikian sehingga pengertian itu memberikan satu iktisar

dasar tentang realitas hidup makhluk yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan usaha

untuk memberi pengertian tentang hakikat manusia. Pengertian ini harus menyentuh hal

yang hakiki pada manusia, dan perlu dirumuskan melalui “definisi” yang jelas tentang

Page 29: Filsafat Manusia 2010 (2004)

28

realitas makhluk manusia. Defenisi yang jelas ini harus memuat satu identitas tetap di

dalam semua keanekaragaman manusia dan satu realitas yang tetap di dalam proses hidup

manusia sejak kelahirannya sampai kematiannya.

Realitas yang tetap ini dapat kita amati sejak dulu sampai sekarang. Unsur-unsur

yang sama itu adalah seperti bahasa, teknik, cara berpikir abstrak dan lain-lain. Manusia

zaman kuno, kecuali manusia-kera, sampai manusia dewasa ini mempunyai kemampuan-

kemampuan yang mendasar itu. Kemampuan-kemampuan yang mendasar itu merupakan

bagian dari definisi tentang hakikat manusia.

Tese tentang realitas manusia, yaitu satu realitas yang tinggal tetap sejak dulu

sampai sekarang, dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, tidak ada sama sekali kesatuan

hakikat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahirah yana coba dianalogikan sebagai

gejala-gejala sama yang memberi kesan seakan-akan ada hakikat yang sama. Kedua, ada

pendapat bahwa memang ada kesatuan hakikat yang dijenjangkan secara analog pada

realitas manusia. Dari semua manifestasi terdapat derajat yang sama, dan itu hanya dapat

dipahami bila manifestasi-manifestasi itu berasal dari hakikat yang sama.

Penjelasan tentang tese pertama bahwa tidak ada sama sekali kesatuan hakikat

manusia adalah demikian. Peralihan dari unsur-unsur hakiki pada binatang menuju unsur-

unsur hakiki pada manusia tampak tidak jelas. Begitu pula pembedaan unsur-unsur hakiki

pada manusia yang satu dengan manusia yang lain tampak tidak jelas. Pembagian yang

telah dibuat dalam pengelompokkan jenis makhluk hidup, termasuk juga manusia, dibuat

sewenang-wenang, karena orang tidak bisa menentukan sejenak kapan sesuatu makhluk

disebut “manusia”. Juga pengelompokkan manusia berdasarkan kulit, ras, suku dsb.;

pembagian ini juga bersifat sewenang-wenang, karena hal ini hanya menyentuh gejala

lahiriah dan penampilan lahiriah manusia yang satu dengan manusia yang lain. Orang tidak

boleh dengan mudah menyimpulkan bahwa ada perbedaan hakikat; penetapan yang tampak

sewenang-wenang itu hanya menunjuk kepada cara-cara berada dan gejala-gejala lahiriah

dari realitas makhluk hidup dan realitas manusia. Perbedaan-perbedaan ini juga sama sekali

tidak menunjukkan perbedaan hakikat atau kesatuan hakikat.

Page 30: Filsafat Manusia 2010 (2004)

29

Penjelasan tentang tese kedua bahwa memang ada kesatuan hakikat pada manusia

adalah demikian. Semua manifestasi kehidupan manusia berasal dari satu hakikat yang

sama. Ada kesatuan hakikat. Hal ini dapat diphat dari perkembangan daya-daya manusia

yang menunjuk kepada pembentukan hakikat yang sama. Daya-daya itu terwujud

umpamanya melalui teknik. Dalam pengembangan teknik, mulai dari teknik yang paling

sederhana sampai kepada teknik yang paling canggih, sudah tersirat adanya satu daya untuk

memenuhi tujuan yang sama, yaitu untuk menjawabi tantangan dunia. Teknik merupakan

hasil kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia itu. Melalui teknik realitas

hakiki manusia diungkapkan; semacam tercermin adanya kesatuan hakikat melalui

“kemampuan-kemampuan” yang terwujud dalam pengembangan teknik serempak pula

kemungkinan-kemungkinan baru untuk penemuan teknik. Dengan tese yang kedua ini

muncullah kritik tajam terhadap penilaian sementara orang bahwa oleh karena perbedaan

perkembangan teknik kebudayaan sebelumnya lebih rendah dari pada kebudayaan

sesudahnya. Atas kriteria apa penilaian semacam itu dibuat? Dalam sejarah kebudayaan

ternyata ada jalur jalur tetap yang bertahan, jalur yang menunjukkan kesatuan realitas

manusia, meskipun jalur-jalur tetap itu terperangkap dalam perubahan waktu. Jalur tetap itu

adalah kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan

pengembangan teknik.

1.4.2. Universalitas Dalam Hal Mengerti tentang manusia. (Kesatuan Pengertian

tentang Manusia)?

Kita bermaksud untuk mencari satu kesatuan pengertian tentang manusia. Kesatuan

pengertian yang dimaksud hendaknya memuat satu pemahaman utama tentang realitas

manusia. Tetapi masalahnya ialah bahwa ketika kita mengolah pengertian kita tentang

manusia dengan bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman umum, ketika itu pula

pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita. Karena

itu tak bisa pengertian yang kita olah itu ditetapkan begitu saja kepada lingkungan, sejarah

dan kebudayaan dari orang-orang lain di luar lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita.

Page 31: Filsafat Manusia 2010 (2004)

30

Disposisi negatif yang muncul dari usaha untuk menetapkan pengertian kita kepada

lingkungan kebudayaan lain adalah disposisi ethnosentrisme dan disposisi relativisme.

Disposisi ethnosentrisme adalah disposisi (sikap batin) yang memandang kebudayaan kita

sendiri, adat istiadat, pandangan hidup, institusi sosial, norma-norma hidup sebagai yang

sungguh-sungguh manusiawi dan benar. Karena itu kelompok sosial dari lingkungan

budaya dan pandangan hidup yang lain perlu dituntut untuk mengakui norma, nilai dan

ideologi yang kita miliki. Kelompok sosial lain perlu dituntun untuk menghayati norma,

nilai dan ideologi yang kita miliki. Disposisi ethnosentrisme ini memandang kebudayaan

sendiri lebih tinggi dari pada kebudayaan lain. Sementara itu, disposisi relativisme adalah

disposisi yang memandang sama saja semua pengertian dan pemahaman, baik pengertian

dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan sendiri, maupun pengertian dan

pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan lain. Tidak ada satu kebenaran

mutlak yang terkandung dalam pengertian dan pemahaman itu! Di satu pihak para penganut

paham relativisme bersikap toleran terhadap orang yang berpendirian lain, tetapi di lain

pihak para penganut paham itu bersikap acuh tak acuh dan kurang peduli akan tuntutan

kebenaran yang mungkin diperoleh dari kebudayaan sendiri atau dari kebudayaan orang

lain.

Kedua disposisi itu jelas tidak menjawabi persoalan apakah ada kesatuan pengertian

tentang manusia. Keduanya bertolak dari pengandaian yang keliru bahwa haruslah adn

perumusan satu kebenaran absolut melalui satu pengenalan objektif, sehingga perbedaan-

perbedaan antara subjek diperlunak untuk menonjolkan kebenaran absolut itu. Pada hal

kenyataannya, bahwa, meskipun terdapat begitu banyak subjek dalam arti kuantitatif,

semua subjek yang berbeda memiliki satu subjek, yaitu satu subjek transendental, subjek

yang mengatasi subjek-subjek konkret. Satu subjek yang transendental itu mengandaikan

pengetahuan objektif tentang kebenaran dan tentang pemahaman diri yang tidak dapat

direduksikan kepada subjek-subjek konkret.

Dari pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan itu, tampak jelas bahwa untuk

mencari kesatuan pengertian tentang manusia diperlukan dialog terus menerus untuk

Page 32: Filsafat Manusia 2010 (2004)

31

menemukan dan memecahkan kesulitan dalam soal pengertian dan pengetahuan tentang

manusia dan untuk memajukan proses pengenalan diri. Dialog semacam ini tidak akan

berdiri di atas dasar, norma, cara berpikir dan nilai dari satu pasangan-dialog, tetapi berdiri

di atas prinsip “kesetaraan dan kesederajatan” pasangan-bicara dengan kita. Prinsip ini

justru memungkinkan kita untuk saling memberi pengertian dan pengetahuan tentang

sesuatu hal termasuk tentang realitas manusia, karena pengertian dan pengetahuan objektif

universal tentang sesuatu hal termasuk tentang manusia bukanlah sesuatu yang telah

tersedia, tetapi harus digeluti.

Page 33: Filsafat Manusia 2010 (2004)

32

2. DIMENSI-DIMENSI DASAR DARI MANUSIA SEBAGAI

REALITAS “ADA”.

Untuk menandai kekhasan keberadaan manusia di dalam dunia dan subjektivitasnya,

perlulah kita mengukur realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” menurut beberapa

unsur hakiki manusia dalam seluruh rentangan sejarah hidupnya. Unsur-unsur hakiki tidak

lain dari pada dimensi-dimensi dasar tertentu yang telah tersedia, dimensi-dimensi dasar

yang memperlihatkan aspek-aspek tertentu pada manusia. Dimensi-dimensi dasar itu adalah

bahasa, sosialitas, kesejarahan dan kejasmanian manusia. Kita coba membahas keempat

dimensi dasar ini secara terpisah.

2.1. Bahasa.

“Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki bahasa (Logos) dan

akal budi.” Kalimat ini yang berasal dari Aristoteles (Politik 1, 2 1253 a 10) dan yang

kemudian ditempa dalam bahasa Latin sebagai “homo est animal rationale” masih berlaku

hingga kini. Apa artinya kemampuan manusia untuk berbahasa itu? Untuk menjawab

pertanyaan ini ilmu bahasa pada umumnya dan filsafat bahasa memberi sumbangan

tertentu.

2. 1. 1. Peristiwa teriadinya bahasa dan sistem bahasa.

Di dalam pembicaraan dan percakapan yang bermacam-macam selalu muncul

elemen-elemen tetap: seluruh kalimat, ungkapan-ungkapan, kata-kata, akar kata dan bunyi

suara. Munculnya eleme-elemen ini menampakkan adanya banyak kombinasi, tetapi

kombinasi-kombinasi itu ditentukan oleh aturan-aturan tertentu. Dari pengamatan ini orang

melihat adanya kemungkinan untuk menemukan gudang persediaan yang memuat unsur-

unsur dan aturan-aturan yang dapat dipelajari untuk melukiskan proses pembentukan satu

bahasa. Di sana di dalam gudang persediaan itu orang dapat mempelajari bagaimana

tersusun sejumlah bentuk dan aturan, apakah sejumlah bentuk dan aturan ini didasarkan

Page 34: Filsafat Manusia 2010 (2004)

33

pada salah satu sistem atau tidak. Dari dalam gudang persediaan ini yang disebut “bahasa”,

setiap pembicaraan dan percakapan dsb. dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa tertentu

yang terwujud oleh karena penggunaan unsur-unsur dan aturan yang dimungkinkan oleh

gudang persediaan tadi. Dengan demikian ditemui perbedaan yang memberi dasar terhadap

ilmu bahasa, yaitu perbedaan antara sistem bahasa dan peristiwa terjadinya bahasa.

Unsur-unsur bahasa - orang dapat menyebutnya “tanda” dalam arti bahwa unsur-

unsur itu memiliki arti tertentu ketika orang menggunakannya atau ketika orang berbicara -

berada dalam satu hubungan yang sistematis paling kurang antara satu dengan yang lain.

Hubungan sistematis antara elemen yang satu dengan yang lain ini memiliki struktur yang

dapat diselidiki. Karena sistem bahasa berubah secara historis, maka orang harus

membedakan cara pandang yang bersifat sinkronistis yaitu cara pandang yang berhubungan

dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, dan cara pandang yang bersifat

diakronis, yaitu cara pandang yang melukiskan perubahan itu. Kedua cara pandang ini

membantu orang untuk mengenal perubahan bahasa itu sendiri, baik perubahan yang

bergantung kepada faktor-faktor luar maupun perubahan-perubahan yang berasal dari

faktor-faktor dalam bahasa itu sendiri. Karena itu perlulah orang membedakan struktur

dasar satu bahasa dari struktur faktis bahasa itu yang justru tertempa pada satu waktu

tertentu. Struktur dasar adalah struktur dalam, sedangkan struktur faktis adalah struktur

permukaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Karena terdapat begitu banyak bahasa-

sejumlah bahasa mempunyai stntktur dasar yang berbeda dan di dalam bahasa yang berbeda

itu isi yang sama (pesan atau warta) diungkapkan dengan tanda yang sangat berbeda pula -

maka orang berusaha untuk menemukan struktur yang mendasari struktur dalam pada

semua bahasa dengan tujuan antara lain untuk menemukan basis netral bagi perbandingan

bahasa dan juga untuk datang lebih dekat kepada hakikat semua bahasa.

Penelitian terhadap unsur-unsur bahasa tadi menghantar kita kepada pemahaman

bahwa setiap bahasa merupakan satu sistem diferensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara

hierarkis. Pesan yang berbeda-beda dapat dirumuskan dengan tanda yang sangat sedikit

jumlahnya pada jenjang pertama, lalu tanda yang relatif sedikit pada jenjang kedua, lalu

Page 35: Filsafat Manusia 2010 (2004)

34

tanda-tanda yang agak banyak sampai kepada tanda-tanda yang sangat banyak dan

kompleks pada jenjang yang berikutnya dan seterusnya. Prinsip diferensiasi mengatakan

bahwa arti dari satu tanda tertentu terletak dalam perbedaan antara tanda yang satu dengan

tanda-tanda yang lain dalam satu sistem yang sama. Tanda-tanda itu berada pada tempat

tertentu sesuai dengan tandanya dalam sistem itu. Perbedaan itu terjadi sedemikian

sehingga terwujudlah pesan-pesan yang berbeda.

Setiap sistem bahasa merupakan satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem. Kalau kita

memperhatikan dua fonem yang berbeda seperti fonem “m” dan fonem “k”, maka fonem itu

turut membentuk perbedaan arti bila “m” dihubungkan dengan kata “mata” dan “k” di

hubungkan dengan kata “kata”. Fonem-fonem yang membentuk kata “mata” dan “kata”

bukan hanya sekedar pengeluaran bunyi suara, tetapi merupakan unsur-unsur bunyi suara

yang dimiliki dalam satu sistem bahasa. Perbedaan fonem-fonem itu tidak semata-mata

terletak pada perbedaan akustik, tetapi perbedaan itu terjadi oleh karena adanya satu sistem

fonologis yang menjadi milik setiap bahasa. Fonem-fonem itu justru membangun satu

lapisan hierarkis yang paling bawah, dan pada gilirannya membentuk kata dan kalimat

dengan arti tertentu dalam satu sistem bahasa.

Arti memang termuat dalam tanda bahasa yang tidak berasal dari dirinya sendiri.

Begitu juga bahasa yang mengandung arti tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri. Tanda

dan bahasa hanya terjadi dan tercipta. Peristiwa terjadinya bahasa ini dapat diamati melalui

prinsip diferensiasi yang disinggung sebelumnya. Prinsip diferensiasi itu hanya

menjelaskan bagaimana satu tanda memiliki satu arti tersendiri, tetapi tidak dapat

menjelaskan apakah satu tanda memiliki cuma satu arti saja. Tanda-tanda yang

mengungkapkan arti itu disebut tanda-tanda bahasa. Arti dari tanda-tanda bahasa itu diberi

berdasarkan situasi kontekstual kehidupan yang nyata. Situasi kontekstual kehidupan nyata

inilah yang merupakan peristiwa-peristiwa terjadinya bahasa yang hidup. Bahasa dan tanda-

tanda bahasa tersusun satu sama lain. Bahasa dilihat sebagai satu gudang persediaan yang

memungkinkan terciptanya tanda-tanda bahasa, dan dengan terciptanya tanda-tanda bahasa

inilah satu peristiwa terjadinya bahasa dapat dilukiskan.

Page 36: Filsafat Manusia 2010 (2004)

35

2.1.2. Prestasi bahasa.

Apa yang menjadi prestasi bahasa dapatlah dibaca pada peristiwa terjadinya bahasa.

Tetapi apa yang terjadi sebetulnya dalam peristiwa terjadinya bahasa itu? Pertanyaan ini

biasanya berkaitan erat dengan “fungsi bahasa”. Di dalam fungsi bahasa kita dapat

membaca hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh cara-cara berbahasa. Memang ada

banyak fungsi bahasa, tetapi di sini kita membataskan diri pada pembagian klasik yang

dibuat berdasarkan aspek-aspek pokok yang bersifat konstitutif, seperti pembagian Psikolog

Karl Bühler. Menurutnya bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu bahasa sebagai simbol untuk

melukiskan fakta atau keadaan sesuatu hal; bahasa sebagai symptom untuk memaklumkan

keadaan batiniah si pembicara, dan bahasa sebagai sinyal untuk mengundang atau memberi

apel pada pasangan bicara agar pasangan bicara memberi reaksi tertentu. Fungsi-firngsi

yang disebut ini dapat dirumuskan secara lain, yaitu presentasi; komunikasi dan

pengungkapan diri.

a. Presentasi

Bahasa menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu. Sesuatu di sini berupa

barang, hal atau keadaan memiliki cara berada yang berbeda-beda. Bahasa menghadirkan

cara berada benda, barang atau keadaan semacam itu. Kita mengambil contoh sederhana

tentang fungsi ini. Meja yang berada di hadapan kita berwarna coklat. Keadaan meja itu

sudah tersedia dengan bentuk, warna dan coraknya. Dengan membahasakan “meja ini

coklat”, kita menghadirkan kembali cara berada meja ini dengan membuat batasan-batasan

yang didasarkan pada tanggapan indrawi kita seperti melihat, meraba dan sebagainya.

Dari contoh yang konkret ini kita beranjak kepada fungsi yang sama secara lebih

abstrak. Bahasa bukan hanya menghadirkan sesuatu yang ada, tetapi menghadirkan sesuatu

yang sudah tidak ada lagi dan sesuatu yang belum ada. Bahasa memungkinkan manusia

untuk membuat sesuatu yang tidak ada atau yang belum ada menjadi hadir di hadapannya.

Sesuatu yang dibahasakan itu adalah sesuatu yang sudah terjadi dan sesuatu yang belum

terjadi. Sesuatu yang sudah terjadi dengan bantuan “bahasa” diingat kembali seperti -

ceritera-ceritera tentang masa lampau satu bangsa atau satu suku. Sesuatu yang belum

Page 37: Filsafat Manusia 2010 (2004)

36

terjadi dengan bantuan “bahasa” diantisipasi keberadaannya, seperti ramalan-ramalan dan

futurologi. Penilaian, pertimbangan, teori dan rencana serta proyek tentang sesuatu itu baik

sesuatu yang sudah terjadi maupun sesuatu yang belum terjadi melalui “bahasa” mengalami

keluasan, ketajaman dan objektivitasnya; dengan kata lain, bahasa justru menghadirkan

sesuatu itu secara luas, tajam dan objektif.

Akhirnya bahasa juga berfungsi untuk menghadirkan sesuatu yang tidak pernah

merupakan sesuatu yang real secara objektif. Fungsi bahasa seperti ini terlihat umpamanya

dalam syair-syair dan puisi. Di sana fungsi bahasa bukan untuk menyampaikan satu berita

atau informasi objektif tentang sesuatu. Realitas sesuatu hal dilukiskan dalam bahasa

figuratif, dalam ungkapan-ungkapan peribahasa, dalam perumpamaan-perumpamaan dan

pepatah-pepatah. Realitas yang sesungguhnya hanya dapat ditangkap dan dipahami tetapi

tidak ditunjuk secara matematis dan pasti. Bahasa-bahasa ilmiah tentu tidak memainkan

fungsi seperti ini.

b. Komunikasi.

Bahasa berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada yang lain baik secara

verbal (dengan kata-kata dan ucapan) maupun secara non-verbal seperti isyarat-isyarat

yang dikembangkan untuk komunikasi para bisu-tuli. Sesuatu yang dikomunikasikan

melalui bahasa hendaknya sedapat mungkin identis dengan sesuatu itu dalam kenyataannya.

Tapi di sini haruslah diakui keterbatasan dari komunikasi verbal, bahwa kata yang

diucapkan tidak mengkomunikasikan kenyataan real secara penuh dan lengkap. Satu

pengalaman yang dikomunikasikan dan yang dibagi kepada orang lain dalam bahasa selalu

lebih sempit, jika dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya dalam pengalaman

orang bersangkutan.

Bahasa yang berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu tidak hanya terbatas pada

komunikasi individual. Bahasa menjadi alat komunikasi dari kelompok-kelompok sosial.

Hal ini kentara dalam kontrak-kontrak kerja, kontrak perkawinan, kontrak negara, dalam

organisasi-organisasi sosial. Bahasa yang dipakai di sana sudah merupakan hasil dari

kesepakatan bersama dalam konteks sosial tertentu. Perumusannya dan terminologi-

Page 38: Filsafat Manusia 2010 (2004)

37

terminologi yang dipakai di sana berasal dari hasil kesepakatan itu. Begitu juga perubahan

dan penciptaan bentuk-bentuk baru komunikasi haruslah melewati proses persetujuan dan

persepakatan itu. Fungsi komunikasi bahasa ini justru mengingatkan dan menyadarkan

manusia akan kenyataan bahwa bahasa termasuk dalam satu institusi sosial yang paling

mendasar, karena di dalam realitas sosial bahasa merupakan alat primer untuk menjalin dan

membentuk hubungan sosial. Interaksi sosial hanya berarti melalui komunikasi bahasa.

Kesewenang-wenangan individual dibatasi. Malah, setiap individu sudah tercabut dari

dunia dan bahasa pribadinya dan sedari kecil sudah terikat ke dalam bahasa ibu yang sudah

tersedia baginya. Begitu juga dalam hukum kemasyarakatan dan negara, setiap individu

sudah masuk ke dalam rumusan bahasa-bahasa yang sudah baku untuk memberi tuntunan

pada manusia apabila manusia masuk ke dalam bidang tertentu, seperti bidang hukum,

bidang kedokteran dan sebagainya.

Salah satu segi lain dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi adalah satu corak

khas komunikasi yang mencerminkan status sosial dalam lembaga kemasyarakatan.

Komunikasi seorang murid dengan gurunya berbeda dengan komunikasinya dengan

rekannya. Arti dan maksud yang sama dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda dalam

komunikasi itu. Begitu juga seorang yang berkasta rendah akan menyapa seseorang yang

berkasta tinggi dengan bahasa yang lain dari pada bahasa yang digunakan untuk menyapa

orang berkasta sama. Meskipun demikian corak khas ini tidak dapat menghilangkan fungsi

hakiki dari bahasa sebagai alat komunikasi melalui satu bahasa yang menjadi milik

bersama.

c. Pengungkapan diri.

Bahasa berfungsi sebagai alat untuk pengungkapan diri. Melalui bahasa seorang

anak pada usia awal berusaha mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dan

keinginannya. Ia melatih untuk mengucapkan kata sebagai ekspresi pernyataan dirinya.

Begitu pula, baik orang yang berbicara maupun orang yang memberi reaksi terhadap

sesuatu hal menyangkut dirinya, menggunakan hahasa untuk mengeskpresikan kehendak

dan pikirannya. Pengungkapan diri melalui bahasa ini sering muncul secara spontan oleh

Page 39: Filsafat Manusia 2010 (2004)

38

karena bakat alamiah, tetapi juga sering “dipelajari” melalui latihan-latihan bicara atau

disiplin-disiplin penuntun seperti latihan berpidato, menulis dan lain-lain.

Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada ungkapan kata-kata,

karena dimensi bahasa lebih luas dari kata-kata. Misalnya, manusia dapat mengungkapkan

rasa sakitnya dengan muka yang menggeliat sambil menjerit jerit, mengeluh dan berteriak-

teriak. Bahasa kesakitan ini ditunjuk dengan ekspresi diri yang sama, tetapi ucapan-ucapan

jeritan sering berbeda-beda seperti wau, hei, ai, sakit...dsb. Seruan-seruan ini tidak

mengandung susunan gramatis yang jelas. Meskipun susunan kata dan kalimat tidak

mengikuti pola kalimat serta tata aturan bahasa tertentu, tetapi seruan-seruan itu turut

mempertegas fungsi bahasa tubuh yang menunjuk kepada pengungkapan diri dalam situasi

kesakitan. Sering situasi kesakitan dan kesedihan dipoles dengan kata-kata dan kalimat-

kalimat yang indah dan teratur rapih, seperti nyanyian ratapan (cf. Jes. 38, 10-16), puisi

atau bahasa syair, tarian-tarian yang diiringi oleh bahasa-bahasa puitis dsb. Semuanya

memperlihatkan cara pengungkapan diri baik secara perorangan seperti penyair, pemikir,

penulis dsb. maupun secara kolektif seperti tarian-tarian adat, nyanyian-nyanyian rakyat

dsb. Dalam budaya modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknik, alat-alat

ungkapan lewat tarian, nyanyian, puisi, drama, pantun dsb. sudah menciut dan berkurang,

karena alat pengungkapan sekarang sudah dimonopoli oleh bahasa-bahasa ilmiah yang

berisikan hasil pengamatan objektif.

2.1.3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.

Bahasa sebagai alat untuk menghadirkan diri menyentuh realitas manusia itu

sendiri. Bahasa merupakan bagian yang hakiki dari realitas manusia sebagai manusia yang

“berbahasa”. Apabila manusia sadar akan realitas dirinya sebagai realitas yang memiliki

bahasa, maka dia akan mengembangkan realitas dirinya ini dengan menjalankan fungsi

bahasa sebagai “pengantara atau jembatan” secara tepat dan benar. Apa yang dimaksudkan

dengan “menjalankan fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan secara tepat dan

benar? Yang dimaksudkan dengan fungsi pengantara atau jembatan dari bahasa adalah

fungsi bahasa yang menjadi penghubung antara realitas diri sendiri dan realitas yang berada

Page 40: Filsafat Manusia 2010 (2004)

39

di luar dirinya. Bahasa menjadi jembatan antara realitas diri dan realitas di luar diri. Di

sinilah letak fungsi bahasa sebagai alat pengantara.

Ada beberapa situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara.

Dalam hal menipu. Dalam hal menipu, bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran.

Bahasa tidak mengungkapkan kebenaran realitas diri yang mau disalurkan kepada orang

lain. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan di sana menyembunyikan dan

mengelabui realitas diri yang sesungguhnya. Dalam konteks ini muncul persoalan bahwa

bagaimana kita dapat yakin bahwa bahasa yang disusun secara teratur dan bagus sungguh

menghadirkan kebenaran seutuhnya.

Dalam cara bicara yang melantur-lantur. Cara bicara yang melantur-lantur adalah cara

bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang

jelas. Kata-kata sangat sering dibebani dengan arti-arti sampingan yang bersifat banal atau

dengan istilah-istilah asing yang mengaburkan isi pembicaraan. Dalam situasi ini, fungsi

bahasa sebagai pengantara atau jembatan menjadi kabur.

Bahasa asing. Pengalaman dengan satu pembicaraan yang diarahkan kepada saya dalam

bahasa asing dapat diciptakan dalam dua situasi yang berbeda: hal itu bergantung kepada

apakah saya mengerti bahasa asing itu secara salah atau secara tepat. Kalau saya tidak

cukup menguasai bahasa asing itu, maka arti dan maskud yang mau saya ungkapkan lewat

bahasa sebagai jembatan atau pengantara tidak ditangkap atau dimengerti secara baik. Itu

berati bahwa dalam situasi penggunaan bahasa asing ini, fungsi bahasa sebagai pengantara

terganggu. Sebaliknya bila saya mengerti sangat baik bahasa asing, maka saya perlahan-

lahan menjadi sadar bahwa isi atau sesuatu yang dibicarakan dalam bahasa asing hanya

dapat diterjemahkan secara “tidak memuaskan atau tidak mencukupi” ke dalam isi atau

sesuatu yang dibicarakan dari bahasa saya sendiri. Dalam situasi ini, fungsi bahasa sebagai

jembatan atau pengantara hanya dapat dipahami menurut pola penafsiran yang berkaitan

dengan lingkungan hidup masyarakat yang menggunakan bahasa asing itu.

Sebagai kesimpulan, karena bahasa merupakan bagian yang hakiki dari manusia,

maka dia secara hakiki pula membentuk dunia manusia, baik dunia manusia dalam

Page 41: Filsafat Manusia 2010 (2004)

40

komunikasi dengan dirinya dan dengan sesamanya maupun dunia manusia dalam

komunikasinya dengan dunia sekitarnya.

2.2. Sosialitas.

Dimensi dasar lain dari realitas manusia adalah sosialitas. Realitas “Ada”nya

manusia termasuk realitas sosial. Filsafat berusaha untuk merefleksikan realitas sosial ini.

Di sini tidaklah dimaksudkan untuk merefleksikan struktur kehidupan bersama dalam

masyarakat, tetapi arti dari realitas “Ada” sebagai satu kebersamaan antar individu dan

sebagai pusat pertemuan antar individu. Karena cara hidup bersama dalam satu kehidupan

bermasyarakat berbeda dari satu budaya ke budaya lain dan juga berbeda dari satu masa ke

masa yang lain, maka dalam refleksi filosofis ini coba dicapai satu rumusan abstrak dari

umum tentang bentuk-bentuk lahiriah dari realitas sosial ini. Di dalam refleksi ini kita

menyebut ungkapan “sosialitas”; hal ini tidak lain dari pada hidup dan berada dalam satu

kebersamaan, dalam satu masyarakat, dalam satu kelompok, dalam satu kontak satu sarna

lain, pendeknya cara-cara berada yang menunjukkan kehidupan bersama dalam satu

masyarakat, dalam satu kelompok atau dalam satu kontak satu dengan yang lain.

2.2.1. Fenomen sosial.

Adalah satu fakta universal bahwa setiap orang hidup dalam satu relasi dengan

manusia yang lain. Sebelum kita mempertanyakan arti dan makna dari relasi sosial ini,

baiklah kita menyadari bahwa relasi sosial itu beraneka ragam benhiknya dan tak terhitung

jumlahnya. Dari kesadaran akan fakta ini terbuktilah bahwa relasi sosial yang beraneka

ragam bentuk ini bukanlah satu hal tambahan yang muncul kemudian. Bukan demikian.

Hampir semua relasi sosial itu ternyata berkembang dengan sendirinya dari satu tata tertib

sosial tertentu yang sudah ada. Tata tertib sosial yang sudah ada itulah yang disebut sistem

sosial. Di dalam sistem sosial itu sudah terdapat satu struktur stabil yang di dalamnya relasi

dan interaksi sosial terjalin. Struktur sosial yang stabil ini menjadi tempat terciptanya relasi

dan interaksi sosial dari setiap individu.

Sistem-sistem sosial yang meliputi berbagai macam relasi dan interaksi sosial

dapatlah kita sebutkan seperti keluarga, kekerabatan, persahabatan, desa, kelompok kerja,

Page 42: Filsafat Manusia 2010 (2004)

41

perusahan, tetangga, paroki, kecamatan, negara dsb. Setiap orang terlibat dalam berbagai

macam relasi sosial dalam sistem-sistem sosial yang disebutkan ini. Ia adalah anggota satu

keluarga, dan pada waktu yang sama ia merupakan anggota dari salah satu masyarakat desa;

ia juga adalah anggota persekutuan gereja. Bila ia seorang pegawai negri, ia pada waktu

yang sama menjadi anggota satu perkumpulan pegawai pemerintah, dan rupa-rupa

organisasi lainnya. Untuk memahami perbedaan bentuk relasi seseorang dengan

perkumpulan sosial yang ia miliki pada waktu yang sama ini, perlulah kita mengamati cara

khas macam apa yang ia kembangkan dalam membentuk jalinan sosial di dalam organisasi

itu. Cara khas itu tampil biasanya dalam dua tipe ideal yang terbentuk dari dua kutub yang

saling berlawanan, yaitu relasi sosial yang tumbuh secara kodrati seperti keluarga dan relasi

sosial yang dibangun secara sengaja seperti persekutuan buruh, relasi sosial dalam satu

sistem yang stabil seperti anggota sebuah desa dan yang tidak stabil, relasi sosial yang

mempunyai tujuan dari dirinya sendiri dan yang bertujuan rasional, relasi sosial yang

dibangun berdasarkan persahabatan dan yang berdasarkan struktur hirarkis. Cara khas

dalam mengembangkan jalinan sosial ini dapat saja memperlihatkan perbedaan apakah

jalinan sosial yang satu ini bersifat kodrati atau buatan, bersifat stabil atau tidak stabil dan

sebagainya.

Relasi sosial tidak terjadi di dalam satu ruang tanpa udara, dalam arti bahwa relasi

sosial itu bagaimanapun juga selalu memuat harapan-harapan dan memperlihatkan peranan-

peranan yang dimainkan seseorang dalam kehidupan bersama. Dan harapan dan peranan itu

bisa terbaca pada bagaimana caranya seseorang membentuk jalinan sosial itu, entah dalam

cara yang relatif berlangsung lama seperti seorang bapa, seorang guru, seorang pedagang

dsb, entah dalam satu cara yang sementara seperti wasit, kepala desa, gubernur, camat,

presiden. Pendeknya, relasi sosial yang memuat harapan dan yang memperlihatkan

peranan-peranan bukanlah tanpa bentuk. Relasi itu selalu mengambil bentuk-bentuk

tertentu yang merujuk kepada pertanyaan pokok ini: dengan siapa, kapan, atas cara apa,

kemampuan dan keinginan macam apa relasi sosial seseorang dibentuk? Bentuk-bentuk

hubungan sosial yang merujuk kepada pertanyaan ini ditempa oleh dua aspek mendasar dari

relasi sosial, yaitu secara objektif sudah ada “pola” tingkah laku sosial yang diikuti oleh

Page 43: Filsafat Manusia 2010 (2004)

42

setiap individu dan secara subjektif struktur tingkah laku individu sendiri yang turut

memberi warna terhadap relasi sosialnya. Bentuk-bentuk relasi sosial itu mengandaikan

bagaimana si individu berhubungan dengan manusia lain dan serempak pula bagaimana

yang lain berhubungan dengan dirinya. Di dalam bentuk hubungan sosial ini pulalah

kualitas hubungan sosial itu bisa diukur: apakah diskriminatif, setara, benci, acuh tak acuh,

cinta, enggan, malu dsb. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan fakta

sosial seperti yang dilukiskan dalam pokok ini merupakan fenomen sosial yang menuntun

kita untuk mengerti realitas sosial.

2.2.2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.

Baik Sosiobiologi, maupun Sosiologi dan Filsafat Sosial menggeluti manusia

sebagai satu realitas sosial. Sosiobiologi dan Sosiologi sebagai ilmu empiris memusatkan

perhatian pada penelitian terhadap gejala-gejala faktis yang tampak pada realitas sosial

manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Filsafat Sosial menggeluti secara

kritis-filosofis hakikat, makna, teori pengetahuan sosial, struktur-dalam dari realitas sosial

itu. Kesulitannya ialah bahwa tidak ada batas yang tajam antara ketiga sistem pengetahuan

itu. Filsafat sosial yang merefleksikan realitas sosial tidak mungkin tidak mempunyai

hubungan dengan Sosiobiologi dan Sosiologi, begitu juga Sosiologi yang berbicara juga

tentang tingkah laku manusia umpamanya tidak mungkin tidak menyentuh kenyataan faktis

tingkah laku lahiriah manusia dalam relasi sosial itu, begitu juga sebaliknya. Karena itu,

pentinglah di sini untuk membuat pembatasan yang jelas antara ketiga sistem pengetahuan

itu yang sama-sama membicarakan tema yang sama, yaitu tema tentang fenomen sosial.

Sosiobiologi adalah satu teori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak

dari Biologi. Dengan kata lain, Sosiobiologi merupakan satu interpretasi ilmiah tentang

populasi dan asal usul tingkah laku biologis baik yang terdapat pada hewan maupun yang

terdapat pada manusia. Populasi di sini tidak lain dari pada kumpulan individu-individu

yang tercipta dalam satu ruang lingkup geografis tertentu oleh karena perkawinan dan

perkembangbiakan. Dalam penelitian sosiobiologis binatang-binatang yang berasal dari

Page 44: Filsafat Manusia 2010 (2004)

43

induk yang sama memiliki separuh dari gen-gennya yang sama (Chromosom). Bukan hanya

binatang yang berasal dari induk yang sama, juga turunan dari binatang-binatang yang

bersangkutan. Turunannya yang dalam kategori kekerabatan manusia seperti keponakan,

kemanakan, juga mewarisi seperempat gen-gen dari gen induk yang sama, sedangkan

turunan tingat ke dua dalam kekerabatan manusia seperti cucu masih mewarisi

seperdelapan gen-gen yang sama dengan induk sebelumnya. Penelitian sosiobiologis ini

menunjukkan juga bahwa tingkah laku binatang dalam konteks kehidupan kelompok secara

genetis sudah terprogram sedemikian rupa sehingga arah tingkah laku mereka bisa menuju

ke dalam diri (egosentris) dan bisa juga kepada yang lain. Peneliti tingkah laku singa

berkesimpulan bahwa seekor singa jantan pada umumnya membunuh anak singa yang tidak

berasal dari darahnya sendiri (egosentris) dan melindungi anak singa yang berasal dari

darahnya (altruistis), meskipun anak-anak singa itu berasal dari induk yang sama. Penelitian

sosiobiologis ini diterapkan juga dalam penelitian terhadap gen-gen dan tingkah laku

biologis pada manusia. Dapatlah dipastikan bahwa saudara-saudari kandung memiliki di

dalam dirinya separuh gen-gen yang dimiliki orang tuanya, dan kemanakan dan keponakan

memiliki seperempat dari gen-gen orang tua, sedangkan di dalam diri cucu masih tertinggal

seperdelapan gen-gen yang becasal dari nenek dan kakeknya. Juga dalam tingkah laku

biologis sudah terdapat reaksi genetis yang bersifat egosentris dan altruistis seperti yang

diamati dalam tingkah laku seorang ibu terhadap anak kandungnya dan terhadap anak

tirinya atau juga sebaliknya. Penelitian sosiobiologis memusatkan perhatian pada penelitian

gen-gen dan tingkah laku yang merupakan warisan kodrati, dan pengembangan lebih lanjut

dari ilmu ini bisa ditemui dalam Biochemi, Genetik dan Fisika.

Kelemahan dari penellitian sosiobiologis ini ialah bahwa titik tolak penelitiannya

berasal dari premisa filosofis yang memandang asal-usul dan tingkah laku sosial manusia

sebagai yang diwariskan secara biologis semata-mata dari nenek moyangnya. Kodrat sosial

manusia tidak lain dari pada kodrat biologisnya. Karena itu, asal usul dan tingkah laku

sosial manusia sudah terprogram secara genetis tanpa muatan rohaniah-kultural yang turut

membentuknya. Kelemahan ini diisi oleh satu disiplin ilmu lain yang melihat bahwa realitas

Page 45: Filsafat Manusia 2010 (2004)

44

sosial yang tercermin dalam tingkah laku sosial tidak semata-mata diwariskan, tetapi

dibentuk secara “kultural” melalui kemampuan “belajar” manusia. Disiplin ilmu ini adalah

Sosiologi. Sosiologi meneliti, fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial,

tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial, pendeknya realitas

sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material. Dengan demikian,

premisa filosofis yang mendasari penelitian sosiologis bukanlah satu filsafat materialisme,

melainkan satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai macam pendekatan dan

berbagai macam tematisasi filsafiah terhadap realitas sosial. Beberapa aliran Sosiologi

justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan tematisasi terhadap fakta sosial

itu seperti teori konflik Karl Marx dan pengikut-pengikutnya, teori positivisme Augus

Comte, teori pemberian arti terhadap struktur masyarakat yang ideal (Popper dan H.Albert)

analisa terhadap tingkah laku sosial yang berkuasa dalam kaitannya dengan satu masyarakat

yang baik (Adorno, Habermas) dsb.

Penelitian biologis ini dapat menghantar kita kepada pemahaman terhadap Filsafat

Sosial. Dengan adanya penelitian sosiologis, kita dapat memperoleh kesimpulan-

kesimpulan teoretis yang menyumbangkan lahirnya beberapa teori ilmu pengetahuan sosial.

Teori-teori ini menyentuh apa yang dapat menjadi sasaran pergelutan Filsafat Sosial seperti

yang sudah kita sebut sebelumnya. Sasaran pergelutan Filsafat Sosial tersebut berhubungan

dengan kompleksitasnya masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan

berikut. Sejauh mana aku termasuk dalam dunia orang lain atau sejauh mana dunia orang

lain termasuk dalam aku? Sejauh mana masyarakat membentuk satu unsur konstitutif untuk

setiap individuum atau sebaliknya? Apa yang menjadi persyaratan untuk terciptanya satu

tingkah laku sosial secara berhasil? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu untuk memberi

arah terhadap penelitian-penelitian empiris dari disiplin Sosiologi sendiri.

2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem.

Satu persoalan Filsafat Sosial yang mau dipecahkan ialah persoalan tentang “aku,

engkau dan kita”. Sejauh mana “engkau dan kita” sama-sama termasuk dalam “aku”?

Page 46: Filsafat Manusia 2010 (2004)

45

Untuk menjelaskan hal ini terdapat dua model yang memperlihatkan dua posisi utama. Dua

posisi utama ini merujuk kepada pemikiran J.J. Rousseau tentang pengertian Individualisme

dan Kolektivisme.

a. Individualisme dan kritik terhadap Individualisme.

Individualisme merupakan satu bentuk kehidupan bersama yang dibangun

berdasarkan atas persetujuan dari individu-individu yang bergabung di dalamnya dengan

tujuan tertentu yang mau dicapai secara bersama-sama dari para anggotanya. Dia bukan

satu bentuk kehidupan bersama yang bersifat kodrati seperti keluarga. Kalau pun tidak ada

persetujuan yang dirumuskan, bentuk kehidupan bersama ini tetap ditafsir sebagai satu

kumpulan individu-indvidu yang tercipta seakan-akan ada kesepakatan antara mereka untuk

ada bersama-sama di satu tempat. Realitas “Ada” sebagai satu realitas sosial dan nilai dari

kebersamaan model ini bersifat sekunder, sebab nilai utamanya adalah individuum.

Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendukung konsep Individualisme itu. Argumentasi

ontologis dari konsep Individualisme ini adalah bahwa realitas yang sesungguhnya adalah

individu. Individu-individu merupakan realitas “Ada” yang bersifat awali dan hakiki,

sedangkan kehidupan bersama dan masyarakat hanya dibangun di atas hubungan antara

individu yang satu dan individu yang lain, dan bentuk hubungan itu bersifat sekunder dan

aksidental. Argumentasi ethis yang mendasari konsep Individualisme ini ialah bahwa

individu sebagai pribadi merupakan nilai tertinggi. Setiap orang mempunyai hak untuk

menentukan dirinya dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan di atas hak-hak

yang lain.

Kritik terhadap konsep Individualisme seperti yang disebut di atas ialah bahwa

penafsiran individualistis itu telah mengabaikan struktur-dalam dari setiap bentuk

kehidupan bersama, struktur-dalam yang tidak boleh direduksi atau diperkecil nilainya. Di

dalam bentuk kehidupan bersama itu tidak hanya terdapat individu-individu, tetapi

persetujuan dan kesepakatan yang sudah mengikat indvidu-individu untuk berada bersama

dalam satu cara hidup bersama. Hubungan antara individu yang satu dengan individu yang

lain dalam bentuk kehidupan ini bersifat “hakiki”; dengan kata lain, hubungan “aku”

Page 47: Filsafat Manusia 2010 (2004)

46

sebagai satu individu dengan “engkau” telah terikat secara hakiki menjadi “kita” oleh

karena persetujuan dan kesepakatan. Karena itu, kebersamaan di sana bukanlah terdiri dari

individu-individu yang bebas mutlak, tapi yang terikat satu sama lain melalui hak dan

kewajiban sebagai konsekuensi dari persetujuan dan kesepakatan mereka. Di dalam konteks

ini bagaimana pun juga terdapat fenomen otoritas yang berfungsi untuk mengatur hak dan

kewajiban para anggota yang terlibat dalam persekutuan bersama. Hak dan kewajiban yang

sudah diatur itu menunjukkan satu bentuk kehidupan sosial yang hanya bertumbuh dalam

kebersamaan dan bukannya bertumbuh oleh karena jasa setiap individu. Otoritas sosial

yang mempunyai fungsi itu bukanlah satu yang muncul kemudian, tetapi sudah ada secara

hakiki, ketika tercipta bentuk kehidupan bersama ini.

b. Kolektivisme dan kritik terhadap kolektivisme.

Kolektivisme bertolak dari pemahaman bahwa keselunrhan tidak dimengerti sebagai

yang terdiri dari bagian-bagian. Keseluruhan itu merupakan satu yang absolut dan tidak

terbagi dalam bagian-bagian; keseluruhan ada lebih dahulu dari bagian-bagian. Model dasar

dari paham ini adalah organisme yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-

anggotanya. Masyarakat dalam arti ini menjadi satu “korpus sosial atau satu organ sosial”.

Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendasari pemahaman Kolektivisme ini.

Argumentasi ontologisnya ialah bahwa realitas sosial sebagai realitas “Ada” tidak dapat

diasalkan dari kumpulan individu-individu yang berdiri terisolir satu dengan yang lain.

Realitas sosial ini memiliki hukumnya sendiri. Dia memiliki adanya sendiri dan tidak

berasal dari realitas “Ada” setiap individu. Memang bisa dimengerti bahwa individu-

individu itu merupakan unsur-unsur penting dari satu masyarakat, tetapi kedudukan dan

keberadaan masyarakat lebih diutamakan dari pada individu. Dengan demikian,

argumentasi etisnya mendukung pemahaman ontologis itu, yaitu bahwa kesejahteraan

bersama mendahului kepentingan diri. Bila kesejahteraan bersama tercapai, maka

kesejahteraan dan pemenuhan diri juga terjamin.

Kritik terhadap kolektivisme terletak dalam kritik melawan interpretasi

Kolektivisme yang menempatkan hakikat kebersamaan lebih tinggi dan lebih bernilai dari

Page 48: Filsafat Manusia 2010 (2004)

47

pada individu-individu yang tergabung di dalamnya. Pandangan Kolektivisme justru tidak

memberi ruang kebebasan untuk setiap individu. Akibatnya ialah bahwa individu yang

bergabung di dalamnya tidak memiliki keputusan penuh untuk menentukan diri. Hak-hak

individu diatur sejalan dengan tuntutan kehidupan bersama. Konsensus bebas tidak terjamin

baik, karena peraturan kehidupan bersama sudah tercipta lebih dahulu. Dalam paham

Kolektivisme ini para pemegang kuasa atau autoritas harus berusaha memenangkan setiap

individu yang bergabung di dalamnya untuk mengidentifisir diri mereka dengan bentuk

hidup bersama yang diterimanya. Hal ini tentu bukanlah satu hal yang mudah, karena setiap

individu memiliki kemauan dan kehendak bebas untuk menerima atau menolak tuntutan

hidup bersama itu. Tuntutan setiap individu untuk memiliki kebutuhan dasar dan hak dasar

di dalam bentuk kehidupan bersama bukanlah satu hal yang tidak hakiki. Tetapi paham

Kolektivisme kurang memungkinkan pemenuhan tuntutan individu itu, karena tuntutan

masyarakat yang terwujud dalam hukum dan peraturan masyarakat lebih tinggi dari pada

tuntutan individu. Paham Kolektivisme ini mempunyai dampak negatif juga terhadap dunia

pendidikan. Pendidikan anak dalam konteksnya, lalu menjadi satu pendidikan yang

membatasi kebebasan dan ekspresi anak dengan berbagai macam peraturan dan hukum

yang dianuti masyarakat. Anak dipaksa untuk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa untuk

melawan apa yang diajarkan guru. Anak dilihat sebagai objek pendidikan, dan bukannya

subjek yang dicintai dalam proses pendidikan itu.

Kedua model yang disebut itu hanya menyadarkan manusia akan hakikat sosial dari

manusia sendiri. Sedari mula manusia sudah menyandang realitas sosial ini sebagai satu

yang hakiki dalam hidupnya. Realitas ini hendaknya diwujudkan sedemikian sehingga

setiap individu dalam penghayatan akan realitas sosialnya senantiasa bertumbuh mandiri

menuju pencapaian jati diri yang utuh bersama dengan yang lain.

2.2.4. Aku dan Yang Lain.

Secara objektif ungkapan “Aku dan Yang Lain” menunjukkan adanya satu

hubungan antara “aku” sebagai satu realitas dengan yang lain sebagai satu realitas yang

lain. Entah hubungan ini bersifat berat sebelah, entah hubungan ini bersifat seimbang, entah

Page 49: Filsafat Manusia 2010 (2004)

48

hubungan ini bersifat timbal balik, tapi hubungan semacam ini tetap berakar dalam

hubungan antara realitas yang berbeda. Hubungan ini mempunyai makna yang berbeda

dengan hubungan yang dibentuk berdasarkan fungsi dan posisi subjek yang mewakili Kata

Ganti Diri, sebab ketika “aku” bercakap-cakap dan berbicara dengan “engkau”, aku dan

engkau merupakan satu Kata Ganti Diri yang menduduki posisi dan memainkan fungsi

tertentu; keduanya membentuk satu hubungan tertentu dalam konteks realitas mereka yang

berbeda. Bentuk hubungan seperti ini belum mencerminkan hubungan yang sesungguhnya

antara “Aku dan Yang Lain”. Hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain”

adalah hubungan yang mengatasi hubungan subjek-objek, dalam arti bahwa Yang Lain

menjadi sasaran dan objek yang berhadapan dengan aku atau aku sebagai objek yang

berhadapan dengan yang lain. Hubungan yang sesungguhnya itu adalah hubungan yang

bersifat antar-subjek dan antar-personal. Karena itu, di bawah ini perlu dibicarakan tentang

pemahaman akan arti “Intersubjektivitas, interpersonalitas dan Yang Lain.”

a. Intersubjektivitas dan interpersonalitas.

Berbicara tentang intersubjektivitas berarti berbicara tentang kebenaran dan tentang

objektivitas. Kebenaran tidak terlepas dari pengenalan subjek akan kebenaran. Tetapi

karena pengenalan akan kebenaran dapat saja berbeda dari subjek yang satu dengan subjek

yang lain, maka setiap pengenalan harus diuji apakah pengenalan itu sesuai dengan

kebenaran objektif atau tidak. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang ada dalam dirinya

sendiri dan menjadi sasaran rujukan pernyataan yang benar. Kebenaran yang objektif

menjadi prinsip dan tuntutan yang berlaku untuk semua subjek agar dalam setiap

pernyataan subjek kebenaran itu sendiri menjadi tolok ukur untuk semua tanggapan dan

pikiran subjektif. Intersubjektivitas terwujud dalam pengenalan dan pengakuan semua

subjek akan kebenaran objektif itu.

Intersubjektivitas tidak berarti soal hubungan antara subjek yang satu dengan

subjek yang lain. Intersubjektivitas adalah keterkaitan atau jalinan antara subjek yang satu

dengan subjek yang lain di atas dasar satu subjek transendental, yaitu satu subjek ideal

yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subjek-subjek konkret.

Page 50: Filsafat Manusia 2010 (2004)

49

Semua subjek yang mempunyai kemampuan “mengenal” mengambil bagian dalam subjek

ideal ini. Dengan demikian, ketika subjek menjalankan kegiatan untuk mengenal

kebenaran, pengenalannya dengan sendirinya memuat ide tentang subjek ideal ini yang

mengenal kebenaran objektif. Dari subjek ideal ini bergantunglah subjek-subjek konkret,

karena subjek ideal itu merupakan kesatuan batiniah untuk semua subjek konkret.

Kalau demikian, bagaimana hubungan antara intersubjektivitas dan interpersonalitas

dapat dijelaskan? Interpersonalitas hanya menjadi mungkin, apabila intersubjektivitas

terwujud. Intersubjektivitas dalam arti di atas tidak lain dari pada interpersonalitas.

Maksudnya, hubungan antar subjek tidak sekedar hubungan antar subjek-subjek konkret,

tetapi hubungan antar pribadi yang tersirat dalam setiap subjek. Subjek sendiri mewakili

pribadi. Dengan demikian, interpersonalitas mengandaikan intersubjektivitas. Ideal dari

hubungan antar subjek dalam kehidupan bersama adalah hubungan antar pribadi (persona)

atau interpersonalitas. Subjek-subjek yang terlibat dalam percakapan, dalam pertemuan,

dalam diskusi, dalam kesempatan-kesempatan khusus dan sebagainya sedapat mungkin

mencerminkan hubungan antar pribadi atau interpersonalitas itu.

b. Yang Lain.

Kita bertolak dari pengalaman konkret. Dalam kehidupan bersama, kenyataannya

ialah bahwa diri saya berhubungan dengan orang pertama, orang kedua, orang ketiga,

pendeknya diri saya menjalin kontak dengan begitu banyak orang. Yang lain di sini

mewakili orang pertama, orang kedua, orang ketiga. Tetapi Yang Lain adalah diri saya

sendiri, ketika orang lain berhadapan dengan saya. Aku menyebut mereka sebagai “Yang

Lain”, dan sebaliknya mereka menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” pula.

Apa yang menjadi milik dari “Yang Lain”? Ciri khas macam mana yang dimiliki

oleh, “Yang Lain”. Untuk menunjukkan kekhasan dari “Yang Lain”, kita beranjak dari

pengalaman diri kita sendiri. Kita mengalami diri ketika kita menyatakan “aku” dalam

relasi kita dengan diri kita sendiri dan dalam relasi kita dengan yang lain. Dengan menyebut

“aku”, kita memperlihatkan dunia “aku” dan mengalaminya “dari dalam”. Pengalaman

Page 51: Filsafat Manusia 2010 (2004)

50

diriku bukanlah satu pengalaman yang lengkap, karena, semakin kita mengalami diri,

semakin kita tahu sedikit sekali tentang diri kita. Kita tidak mengenal siapa kita, siapa

“aku” sesungguhnya. Usaha untuk mengenal diri hanya mungkin apabila kita berjumpa

dengan “Yang Lain”. Dengan kata lain, aku hanya dapat mengenal diriku, ketika aku yang

tahu sedikit sekali tentang diriku berhadapan dengan “Yang Lain” yang menjelma dalam

tubuhnya, dalam perkataannya dan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian terjalin

hubungan “Aku dan Yang Lain”. Tetapi hubungan ini adalah satu hubungan yang sama

sekali tidak lengkap, karena “Yang Lain” juga tidak tampil seluruhnya; ia hanya menjelma

sedikit dalam penampilan-penampilan lahiriah yang disebutkan itu. “Yang Lain” dalam

pengalamanku akhirnya menjadi “Yang Lain” sama sekali, begitu juga “Yang Lain” ketika

berhadapan denganku menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” sama sekali juga.

Hubunganku dengan diriku sendiri dan dengan “Yang Lain” memperlihatkan ciri

khas tertentu. Hal itu bergantung kepada cara kita menilai. Satu fakta yang tak dapat

disangkal ialah bahwa setiap orang mencintai dirinya. Aku mencintai diriku. Sesuatu yang

paling dekat dengan diriku adalah diriku sendiri, hidupku, cintaku, kegemaranku, pikiran

dan perasaanku, pendeknya “duniaku”. Pengalaman awalku terhadap “Yang Lain”

mencerminkan penilaianku terhadap “Yang Lain”. Yang Lain ternyata tidak tampil ramah

terhadapku. Dalam lubuk hati terdalamku, aku melihat “Yang Lain” atau sebagai ancaman

terhadap duniaku atau sebagai pemenuhan duniaku. Karena itu, aku sedapat mungkin

menaklukkan “Yang Lain” agar Yang Lain bertindak baik terhadapku dan tidak menipuku.

Aku menghendaki agar Yang Lain menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif

seperti ini menjadi perspektif “Yang Lain” juga, ketika Yang Lain itu berhadapan

denganku. Yang Lain dapat saja melihatku sebagai ancaman atau sebagai pemenuhan

dirinya. Yang Lain ingin menaklukkanku agar aku bertindak baik terhadap Yang Lain dan

tidak menipunya. Dalam usaha untuk membangun satu relasi yang saling menghargai dan

menerima ini perlu ada ruang “kepercayaan” yang harus ditempa, agar Yang Lain dapat

masuk dengan leluasa ke dalam duniaku dan begitu juga “aku” dapat masuk ke dalam

Page 52: Filsafat Manusia 2010 (2004)

51

dunia Yang Lain dengan leluasa pula. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan

dan risiko.

Aku dan Yang Lain sebetulnya berdiri di atas basis yang sama yaitu Selbst atau

Diri. Aku adalah Diriku sendiri dan Yang Lain adalah Dirinya sendiri. Hubungan “Aku dan

Yang Lain” hanya memperkokoh jati diri masing-masing, yaitu bahwa Yang Lain tetap

menjadi Yang Lain sama sekali, ketika dia berhadapan denganku (Diriku menjadi Yang

Lain sama sekali untuk dia) atau ketika aku berhadapan dengan Yang Lain (Dirinya

menjadi Yang Lain sama sekali untuk aku).

1.2.3. Kesejarahan atau Historisitas

Bila kita berbicara tentang kesejarahan atau historisitas sebagai salah satu dimensi

dasar dari realitas manusia, maka refleksi kita terarah kepada dua hal ini. Di satu pihak

kesejarahan atau historisitas dipandang sebagai faktor penghalang setiap usaha manusia

untuk menetapkan satu pengertian tentang realitas manusia yang tidak terikat pada waktu.

Pikiran dan pemikiran manusia senantiasa terikat erat dengan situasi historis. Manifestasi

pikiran dan pemikiran manusia juga tampil sangat berbeda dalam perjalanan sejarah.

Adalah satu hal yang sangat sulit untuk menemukan satu pemikiran tentang manusia

terlepas dari konteks historisnya. Di pihak lain, historisitas atau kesejarahan ini dilihat

sebagai satu faktor pendukung, karena di dalam historisitas terlaksana realisasi diri manusia

yang khas untuk menempatkan diri manusia ke dalam masa sekarang ini melalui hubungan

antara masa sekarang dengan masa depan dan masa lampau. Manusia adalah satu hakikat

yang hidup dalam sejarah atau satu hakikat yang menyejarah. Dengan kenyataan ini, kita

ingin mendekati beberapa tema yang menyangkut historisitas seperti kesejarahan dari

penulisan sejarah, ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif dan kesejarahan atau

historisitas itu sendiri.

2.3.1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.

Ilmu Sejarah sebagai satu ilmu yang meneliti, menulis dan melukiskan sejarah

adalah sama seperti ilmu pengetahuan empiris yang lain. Dia harus tunduk pada hukum

Page 53: Filsafat Manusia 2010 (2004)

52

objektivitas. Karena itu ideal dari penulisan sejarahnya adalah bahwa pemberitaan tentang

sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau harus sesuai dengan apa yang sudah terjadi

sebagaimana adanya. Penulisan sejarah bukanlah satu penulisan ceritera dongeng atau

legenda. Tetapi masalahnya ialah bahwa apa yang diteliti dan ditulis tidak menghadirkan

objektivitas seluruhnya dari apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Penulis sejarah

bagaimanapun juga tidak mengenal seluruhnya apa yang sudah terjadi. Dengan demikian

penulisan sejarah bukanlah satu pekerjaan yang sekali dibuat. Sejarah tentang apa yang

sudah terjadi di masa lampau selalu perlu dikonstniksi lagi dan ditulis ulang.

Ada dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode

pendekatannya harus senantiasa diperbaharui. Alasan pertama ialah bahwa dengan

penemuan sumber-sumber baru seperti penemuan arsip-arsip atau penyingkapan arti dari

banyak teka-teki yang menyangkut huruf dan bahasa serta penemuan alat-alat baru dalam

menulis sejarah, diperkayalah pengetahuan sejarah. Pengetahuan tentang sesuatu hal atau

peristiwa di masa lampau dengannya diperluas dan membutuhkan pengkajian ulang.

Dengan penemuan-penemuan seperti itu ternyata bahwa ada beberapa periode atau

penggalan sejarah tertentu dilupakan, dikesampingkan atau tidak mendapat perhatian

seperlunya. Penulisan dan pengkajian ulang peristiwa sejarah itu menghindari kesimpulan-

kesimpulan yang ditarik secara gegabah atau secara tergesa-tegesa karena sumber-sumber

tentang itu kurang sekali atau sempit. Alasan yang kedua adalah bahwa setiap sumber

tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai menyampaikan

sesuatu. Sumber itu memuat semacam satu objektivitas yang tidak terkait pada waktu.

Karena sumber-sumber itu memuat kenyataan dan tidak pernah selesai disingkapkan, maka

kegiatan penafsiran terhadapnya menjadi penting dan harus dijalankan secara terus

menerus. Kenyataannya ialah bahwa sumber-sumber tertulis itu juga merupakan hasil dari

satu penafsiran terhadap kenyataan masa lampau, lalu sumber ini juga kemudian perlu

ditafsir lagi sesuai dengan problem-problem baru yang aktual. Karena itu sering kita

menemukan bahwa penafsiran terhadap sumber-sumber tertulis itu dapat menggeserkan

tekanan tertentu sesuai dengan problem-problem baru. Hal itu bergantung kepada si penulis

,

Page 54: Filsafat Manusia 2010 (2004)

53

sejarah yang hidup dalam epoche tertentu dengan persoalan tertentu. Tentang satu tema

yang sama, seorang penulis sejarah di masa lampau melihat dan menafsirnya secara lain

dari pada penulis sejarah yang melihat hal itu menurut problem aktual sekarang.

Cara perlukisan sejarah senantiasa berubah. Perubahan perlukisan sejarah ini

mencerminkan adanya perubahan dalam cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara

lebih tepat. Apakah orang menemukan masa sekarang yang penuh dengan problem-

problem? Apakah orang mengalami masa sekarang secara tidak menyenangkan? Apakah

orang terpaksa harus menerima situasi sekarang yang tidak bisa dielakkannya? Bila

perubahan dalam cara-cara perlukisan sejarah terjadi, maka kita dapat berbicara tentang

kemajuan dalam pengetahuan historis. Kemajuan ini dalam kaca mata sejarawan bukanlah

menunjuk kepada dunia fisika yang memiliki struktur peraturannya, tetapi menunjuk

kepada jaringan yang beranekaragam dari semua peristiwa konkret. Peristiwa-peristiwa

konkret ini bisah dilihat dari berbagaimacam pendekatan ilmiah (psikologis, sosiologis,

ekonomis, politis dsb.). Tetapi untuk seorang sejarawan, jaringan yang beranekaragam dari

peristiwa-peristiwa konkret ini coba ditempatkan ke dalam satu situasi historis masa lampau

yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa-peristiwa konkret ini. Usaha untuk

menempatkan jaringan peristiwa-peristiwa konkret ini dijalankan melalui tematisasi bagian-

bagian tertentu dari peristiwa-peristiwa itu dalam situasi historis tertentu atau juga

tematisasi titik tolak pendekatan tertentu dalam konteks historis tertentu. Justru usaha inilah

yang menempatkan setiap penulisan sejarah dan penulis sendiri ke dalam satu latar

belakang sejarah dan ideologi sejarah tertentu yang mewarnai penulisannya. Dengan itu kita

berkesimpulan bahwa penulisan sejarah tentang satu hal berbeda dari penulis yang satu

dengan penulis yang lain, dan kenyataan ini merangsang setiap sejarawan untuk senantiasa

bersikap kritis terhadap penulisan sejarah yang dibuat oleh orang lain atau juga

menjalankan kritik-diri terhadap penulisan sejarah yang dibuat sendiri.

Kesejarahan menjadi sasaran penulisan sejarah. Kesejarahan sendiri tentu berbeda

dengan sejarah. Kesejarahan tidak lain dari pada segala sesuatu yang terjadi di masa lampau

sebagaimana adanya; segala sesuatu itu menyangkut satu bangsa, agama, situasi sosial,

Page 55: Filsafat Manusia 2010 (2004)

54

kebudayaan, singkatnya keseluruhan kemanusiaan dengan segala macam aspeknya. Sejarah

adalah di satu pihak usaha untuk menghadirkan kembali realitas di masa lampau secara

objektif mungkin dan di pihak lain satu bentuk hidup yang menjadi tanggung jawab budaya

sendiri. Kesejarahan merupakan keseluruhan realitas masa lampau yang terkristalisir dalam

sejarah. Manusia menulis sejarah dan bukan menulis kesejarahan. Motif dasar penulisan

sejarah ini adalah minat dasar terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi untuk

menghadirkannya kembali ke dalam masa sekarang dengan tujuan untuk mengatasi

persoalan-persoalan tertentu masa sekarang atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang

tidak dimiliki pada masa sekarang. Tanpa minat dasar itu tidak ada usaha untuk menulis

sejarah.

2.3.2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif.

Penelitian ilmiah tentang peristiwa masa lampau merupakan satu cara untuk

menyoroti masa sekarang yang terbuka terhadap masa depan dan masa sekarang yang sudah

terbentuk oleh masa lampau. Sejarah sendiri dimungkinkan oleh kesejarahan atau

historisitas dari penghayatan realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” dan dalam ukuran

historis tertentu sejarah itu diperlukan oleh historisitas penghayatan manusia ini.

Bila peristiwa masa lampau diamati dan diteliti, maka itu berarti bahwa kita

menempatkan peristiwa masa lampau ke dalam kesadaran kita. Peristiwa masa lampau yang

dihadirkan kembali pada masa sekarang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh satu ide

tentang waktu objektif, yaitu satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-garis yang diberi

ciri khas sebagai yang terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali atau yang paling

akhir, pendeknya satu struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi

satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu objektif ini dapat ditentukan secara

pasti menurut hukum fisika, khususnya Astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu

kodrati karena perjalanan waktu didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang,

malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati masih lagi dilengkapi dengan

waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai titik referensi

untuk pembagian waktu. Penanggalan dan kalender dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa

Page 56: Filsafat Manusia 2010 (2004)

55

tertentu ini yang disepakati sebagai satu penentuan dan perhitungan waktu, misalnya

peristiwa kelahiran Yesus, peristiwa Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa kemerdekaan

bangsa Indonesia dan lain-lain. Pembagian waktu yang berdasarkan atas peristiwa-peristiwa

tertentu itu bisa juga memperlihatkan satu periode, satu epoche atau zaman seperti

pembagian sejarah Indonesia atau sejarah satu bangsa. Waktu hasil kesepakatan yang

berdasarkan peristiwa penting tertentu itu disebut sebagai waktu sejarah. Pembagian waktu

seperti ini masih tetap didasarkan pada waktu kodrat dan merupakan kosekuensi yang tak

terulang dari perjalanan waktu kodrati. Gambaran waktu yang dikaitkan dengan waktu

kodrati ini menjadi perhatian para pakar sejarawan.

Tetapi bagaimanapun juga gambaran waktu seperti itu hanya mungkin ada, karena

ia didasarkan pada satu cara awal kesejarahan yang terkait sangat erat dengan karakter

Subjek dari manusia itu sendiri. Si penulis sejarah sendiri juga merupakan bagian dari

kesejarahan, hidup dalam sejarah dan turut memberi karakter terhadap kesejarahan itu

sendiri. Konsep inilah yang menghantar kita kepada ide tentang waktu subjektif, yaitu

kesejarahan yang melekat pada subjek itu sendiri. Tanpa subjek, tidak ada gambaran

tentang waktu. Kenyataan ini dapat dijelaskan lebih lanjut tentang arti waktu berikut ini.

Tidak dapat disangkal bahwa waktu merupakan kesatuan antara masa lampau, masa

sekarang dan masa depan. Pernyataan ini dapat dimengerti menurut tiga arti mendasar yang

berbeda.

Pertama. Waktu merupakan keseluruhan dari semua momen atau saat, momen

masa lampau, momen sekarang dan momen yang akan datang. Keseluruhan ini merupakan

kesatuan dari satu gambaran tentang waktu itu sendiri, yaitu masa lampau dan masa depan

disintesekan dengan masa sekarang menjadi satu waktu. Waktu adalah sintese masa lampau

dan masa depan dengan masa sekarang. Tapi bagaimana ini dapat dijelaskan? Waktu

lampau merupakan satu yang sudah tidak terjadi lagi atau satu yang terlupa, tapi

dibangkitkan kembali oleh “kenangan” dan melalui kenangan, waktu lampau dihantar

untuk masuk ke dalam masa sekarang. Waktu lampau adalah masa sekarang yang

menghadirkan kembali masa lampau. Begitu juga masa depan. Masa depan adalah sesuatu

Page 57: Filsafat Manusia 2010 (2004)

56

yang belum terjadi, tetapi dihadirkan lebih dahulu melalui “antisipasi” dan dihantar masuk

ke dalam masa sekarang. Masa depan adalah masa sekarang yang mengantisipasi sesuatu

yang belum terjadi. Dengan gambaran ini, masa sekarang mendapat tekanan istimewa.

Kedua dimensi yang lain, yaitu masa lampau dan masa depan, tersintese dalam masa

sekarang. Tetapi mengapa masa sekarang mendapat tekanan istimewa dalam gambaran

waktu yang demikian? Alasanya ialah Subjek sendiri atau waktu yang terikat erat dengan

subjek. Waktu Sekarang adalah Kekinian dari Subjek yang sedang ingat akan sesuatu,

subjek yang sedang berantisipasi dan subjek yang sedang menyibukkan diri dengan sesuatu.

Waktu sekarang adalah aktivita subjek. Hal ini berarti ganda. Di satu pihak, masa sekarang

merupakan titik tolak untuk dua dimensi yang berjalan bertolak belakang, yaitti dimensi

masa lampau dan masa depan. Masa lampau dan masa depan berakar pada masa sekarang.

Masing-masingnya, baik masa lampau maupun masa depan, adalah masa sekarang yang

terhayati dari subjek. Dengan kata lain, tanpa subjek ketiga masa itu tidak punya arti. Di

pihak lain di dalam Subjek terdapat jelas korelasi antara masa lampau dan kenangan

akannya, masa depan dan antisipasi akannya, masa sekarang dan kepasrahan atau

penyerahan diri ke dalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Agustinus dalam

Confessiones XI, 14 dst., bahwa masa lampau, masa depan dan masa sekarang hanya ada

untuk satu “hakikat” yang mampu ingat, mampu berantisipasi dan yang mampu memberi

perhatian. Penjelasan di atas menghantar kita kepada kesimpulan bahwa waktu bukanlah

produk dari kegiatan subjek, tapi waktu tidak bisa ada tanpa subjek.

Kedua. Bagaimana masa depan, masa sekarang dan masa lampau selalu ada di

dalam satu kesatuan: antisipasi untuk masa depan, perhatian untuk masa sekarang dan

kenangan untiik masa lampau? Kita mengambil contoh sebuah melodi. Satu melodi

merupakan satu kesatuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengar beberapa

nada dari satu melodi yang kita kenal, maka pada waktu yang sama kita “terarah tetap pada

atau menaruh perhatian pada” nada itu dan serempak “mengharapkan” munculnya nada-

nada lain yang membangun melodi itu. Dengan mendengar, memperhatikan dan

mengharapkan, terciptalah satu gambaran keseluruhan dari melodi itu. Keseluruhan itulah

yang adalah peristiwa melodi sendiri. Keseluruhan peristiwa itu sendiri menempati masa

Page 58: Filsafat Manusia 2010 (2004)

57

sekarang yang meliputi peralihan nada yang satu ke nada yang lain. Dengan demikian masa

sekarang adalah momen ketika setiap nada terdengar pada saat itu di dalam perwujudan

melodi itu, tapi juga keseluruhan peristiwa melodi. Keseluruhan itu mencakup juga

antisipasi menuju pemenuhan keseluruhan melodi dan sekaligus juga momen dari sebagian

nada yang sudah terdengar. Dari contoh ini kegiatan “menaruh perhatian” yang dijalankan

pada masa sekarang mendasari kenangan akan satu peristiwa yang sudah terjadi dan

antisipasi akan satu peristiwa yang akan terjadi. Tindakan itu dilihat sebagai korelasi yang

membangun satu kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Tindakan

itu sendiri adalah bentuk batiniah atau bentuk dalam dari peristiwa-peristiwa yang berjalan

secara objektif di hadapan seluruh perhatian dan kesadaran manusia.

Ketiga. Arti ketiga dikaitkan dengan persoalan: Apakah bentuk waktu untuk satu

perlukisan objektif tentang sesuatu yang terjadi sudah selalu dan hanis merupakan waktu

batiniah (waktu objektif) dari peristiwa yang terjadi. Memang terdapat perbedaan antara

waktu yang termasuk dalam proses yang digambarkan secara objektif dan waktu yang

termasuk dalam peristiwa-peristiwa subjek. Bila waktu itu termasuk dalam peristiwa

subjek, maka bagaimanapun juga waktu termasuk dalam kehidupan subjek sebagaimana

tersedia dalam kesadaran subjek sendiri. Kita mengambil contoh ketika kita berhadapan

dengan sebuah drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita

yang terdiri dari fase awal, tengah dan akhir. Perjalanan hidup itu merupakan satu

keseluruhan. Tetapi kita bukan hanya memperhatikan fase hidup kita sendiri, melainkan

momen-momen hidup yang sering kita lupa atau tidak kita sadari justru masuk dalam

perhatian orang lain. Mereka turut memberi gambaran terhadap sejarah hidup kita. Dengan

demikian kita melihat bahwa ada perbedaan antara waktu sebagai bentuk gambaran (baik

gambaran yang saya buat sendiri maupun gambaran yang dibuat orang lain tentang saya)

dan waktu sebagai bentuk kehidupan yang memiliki struktur dan realitasnya sendiri yang

terpisah dari subjek. Persoalannya ialah bahwa sejauh mana saya menghidupi waktuku.

Sejauh saya memiliki kemungkinan dan dapat rtirjudkan kemungkinan itu, maka sejauh itu

Page 59: Filsafat Manusia 2010 (2004)

58

pula saya mengalami masa depan. Dan sejauh saya tahu bahwa saya atas cara tertentu sudah

ada dan kemungkinan-kemungkinan tertentu sudah terwujud dalam diri saya, sejauh itu

pula saya mengalami masa lampau. Begitu pula, sejauh saya menggenggam dan menangkap

kemungkinan-kemungkinan tertentu, sejauh itu saya mengalami masa sekarang. Masa

depan saya adalah kemungkinan bagi saya, masa lampau adalah satu keharusan, dan masa

sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap.

2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas.

Kesejarahan menandai pengertian dasar tentang manusia dan dunianya. Kesejarahan

dalam arti ini adalah kesejarahan dalam arti antropologis. Selain itu, kesejarahan menandai

juga karakter dari satu budaya yang khas. Dalam arti yang kedua, kesejarahan adalah

kesejarahan dalam arti budaya. Kita cuma membahas kesejarahan dalam arti antropologis.

Kesejarahan dalam arti antropologis memperlihatkan “dialektika” kesejarahan sendiri:

dialektika antara masa lampau dan masa depan dengan masa sekarang. Ungkapan

“kesejarahan” dari realitas manusia dimaksudkan kenyataan bahwa manusia yang hidup di

saat ini tidak hanya memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan di hadapannya,

tetapi juga selalu mengembangkan satu hubungan bagaimana ia memiliki masa lampau di

belakangnya, masa depan di hadapannya dan masa sekarang di dalamnya. Hubungan itu

terdiri dari tanggapan-tanggapan, pertimbangan, penilaian serta keputusan-keputusan dan

kegiatan konkret sekarang entah secara sadar atau tidak, entah secara bebas atau tidak.

Hubungan itu menyangkut baik sejarah kehidupan individual maupun kolektif.

Kita hidup dalam masa sekarang ini. Masa sekarang ini pada hakikatnya merupakan

satu aktus atau kegiatan yang memiliki masa lampau dan masa depan. Dari ini dapatlah

dibedakan dua hal: menempatkan penghayatan masa sekarang ke dalam gambaran masa

lampau atau masa depan dan merintangi penghayatan masa sekarang dengan

menghilangkan masa lampau atau masa depan. Dalam hal pertama, manusia

memindahkan atau memasukkan diri ke dalam masa lampau atau masa depan. Ia tidak

hidup dalam masa sekarang. Orang hidup dalam khayalan dan menecnukan nilai hidupnya

di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau di masa depan (impian masa depan). Sejauh

Page 60: Filsafat Manusia 2010 (2004)

59

hal ini mempunyai pengaruh positif terhadap tindakan masa sekarang, sejauh itu pula ia

menemukan nilai masa sekarang yang punyai arti. Tetapi apabila khayalan itu tetap ada

tanpa punya hubungan yang berarti dengan masa sekarang, maka sebetulnya masa lampau

atau masa depan menutupi realitas hidup yang sekarang. Orang lari kepada dunia khayalan.

Pada hal, masa sekarang merupakan masa yang konkret dan penting; ia punya nilai yang

berbeda dengan masa lampau dan masa depan. Karena itu keputusan untuk menghayati

masa sekarang secara tepat dan bijaksana adalah keputusan untuk memanfaatkan

kesempatan dan kemungkinan yang sudah berbeda dengan yang sebelumnya dan yang akan

datang. Masa sekarang akhirnya menjadi medium perbuatan dan hidup konkret seseorang,

ketika seseorang memutuskan untuk mengisinya secara menguntungkan atau

membahagiakan. Dalam hal kedua, masa sekarang yang sejati tidak hanya ditentukan oleh

pembedaannya dengan masa lampau dan masa depan, tetapi juga oleh kenyataan bahwa

masa lampau dan masa depan “terputus”dari penghayatan terhadap masa sekarang. Masa

sekarang yang sejati kehilangan masa lampau dan masa depan. Itu berarti bahwa dengan

kehilangan dimensi itu semua perbuatan yang konkret senantiasa berada dalam atau masuk

ke dalam sesuatu yang baru; perbuatan itu turut memberi arti baru terhadap masa lampau

dan masa depan. Ungkapan “kehilangan masa lampau” tidak lain dari pada satu fenomen

yang menunjukkan bahwa masa lampau terputus dari penghayatan terhadap masa sekarang,

atau dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa lampau tidak diperlukan.

Manusia memberi penilaian negatif terhadap pengalaman masa lampaunya yang buruk dan

tidak mau mengintegrirnya ke dalam kehidupannya yang sekarang. Dengan pengalaman

masa lampau yang buruk, ia seakan-akan memulai “nol” untuk satu hidup baru. Bila ia

melihat kenyataan masa lampau itu dengan mata positif, maka ia mulai berpikir dan

merenung kembali untuk melangkah maju dengan perasaan terbuka. Begitu juga, ungkapan

“kehilangan masa depan” dimaksudkan fenomen yang menunjukkan bahwa hubungan

antara masa sekarang dan masa depan menjadi terputus, atau dengan kata lain, untuk

menghayati masa sekarang masa depan tidak diperlukan. Manusia tidak memiliki masa

depan; ia kehilangan harapan. Masa sekarang menjadi satu masa yang tertutup.

Page 61: Filsafat Manusia 2010 (2004)

60

Konsekuensinya ialah bahwa manusia tidak menemukan arti terhadap hidup, kerja dan

perjuangannya di masa sekarang. Konsekuensi lebih lanjut juga ialah bahwa hubungan

masa depan dengan masa lampau terputus, karena tidak ada jembatan antara masa lampau

dan masa depannya.

Dialektika kesejarahan di sini dapatlah disimpulkan dari kenyataan bahwa di dalam

diri subjek, hubungan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan dikembangkan,

dan masing-masingnya hanya punya arti apabila masa sekarang meresapi dua dimensi yang

lain dan serempak pula diresapi oleh dua dimensi yang lain. Masa sekarang tidak punya arti

tanpa masa lampau dan masa depan, begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya

arti tanpa masa sekarang.

2.4. Kejasmanian

Ide penuntun yang menentukan penafsiran kita tentang fenomen antropologis

“kejasmanian” adalah ide tentang, subjektivitas. Subjektivitas adalah penghayatan relasi

terhadap diri sendiri dan serempak relasi terhadap yang lain. Yang lain bisa berupa manusia

lain, makhluk hidup lain atau bisa juga benda-benda lain. Sejauh yang lain itu, misalnya

manusia lain, tetap berada sebagai yang lain, sejauh itu pula yang lain tetap berada sebagai

yang lain untuk saya. Tetapi ada sesuatu yang tidak jelas baik bila dilihat dari yang lain

maupun dilihat dari sudut saya; hal itu adalah tubuh. Untuk mengartikan kejasmanian

tubuh, kita perlu bertolak dari “subjektivitas”.

2.4.1. Prapengertian tentang kejasmanian dengan bertolak dari bahasa.

Bila kita berbicara tentang tubuh jasmani, kita perlu memiliki gambaran tentang satu tubuh

jasmani yang tidak terpisah-pisahkan dari anggota-anggota tubuh yang lain. Seluruh

anggota tubuh membangun satu tubuh jasmani yang hidup, yaitu satu figur tubuh jasmani

yang hidup-hidup. Itulah letak realitas tubuh jasmaniah. Karena itu, gambaran kita tentang

realitas itu menjadi berarti apabila kita menganalisa realitas itu melalui prapengertian

tentangnya. Prapengertian ini memberi kita arah jelas yang dapat kita tematisir menurut

bahasa, yaitu a). Bahasa metaforis tubuh; b). penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa;

Page 62: Filsafat Manusia 2010 (2004)

61

c). ruang lingkup pemahaman tentang “tubuh”; d). problematika metodologis tentang

misteri kejasmanian: seberapa jauh tubuh merupakan satu fenomen?

a). Bahasa Metaforis tentang tubuh.

Kita menemukan begitu banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian dari

tubuh, bahkan gerak-gerik tubuh. Kata-kata itu menunjuk kepada berbagai macam realitas

yang memperlihatkan fungsi dan cara beradanya. Kita menyebut beberapa contoh. Kata-

kata yang menunjuk kepada bagian-bagian tubuh: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb. dan

kata-kata yang menunjuk kepada gerak-gerik tubuh: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb.

Kata-kata yang memiliki arti dasar ini dapat saja berarti banyak, jika kata-kata itu dipakai

dalam arti metaforis. Contoh: kepala suku, kepala pasukan, kepala pemerintahan dsb; begitu

juga gerak-gerik tubuh mempunyai arti metaforis seperti misalnya melarikan diri,

memperdirikan rumah, meniduri perempuan, menjalani hukuman, mendudukkan perkara

dsb. Kata-kata yang mengungkapkan arti metaforis disebut bahasa metaforis (meta-phora:

pengalihan). Di dalam bahasa metaforis arti dasar tentang tubuh sama sekali tidak hilang,

meskipun artinya sudah menunjuk kepada kenyataan atau barang lain. Arti yang berbeda-

beda itu dalam bahasa metaforis tubuh sama sekali tidak hanya memperlihatkan adanya

struktur analogi antara arti dasar dan arti-arti lain yang diperoleh dari bahasa metaforis

tubuh, juga tidak hanya memperlihatkan betapa mudahnya arti dasar dari kata tertentu

untuk tubuh dapat dialihkan ke dalam arti lain melalui bahasa metaforis, tetapi juga

mempertegas bahwa justru di dalam perbedaan-perbedaan arti yang diperoleh dari bahasa

metaforis arti dasarnya tetap menjadi prinsip kesatuannya.

b). Penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa.

Dengan bertolak dari analisa bahasa, kita dapat menangkap satu kesatuan antara

tubuh dan roh. Setiap kata merupakan susunan dari fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf

mewakili satu bunyi suara tertentu) dan monem (kesatuan terkecil yang punya arti tertentu

dan yang turut membentuk fonem-fonem). Bila orang mengtingkapkan bunyi suara tertentu,

maka orang terus menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu; demikian

halnya juga ketika orang mengucapkan satu kata sebagai hasil bentukan bunyi suara itu.

Page 63: Filsafat Manusia 2010 (2004)

62

Orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam kata itu. Kesatuan antara tanda

yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalamnya begitu erat sehingga

menghilangkan tanda berarti menghilangkan artinya. Keduanya merupakan satu mata uang

dengan sisi yang berbeda: Kesatuan seperti inilah yang dapat kita bayangkan tentang

kesatuan tubuh dan roh. Bila kita menyebut nama seorang yang kita kenal seperti presiden

“Abdurahman Wahid”, maka nama ini menunjuk kepada satu figur jasmaniah yang

sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniah orang

itu.

Pertanyaan lebih lanjut tentang “tubuh” ialah bahwa apakah “tubuh” merupakan

satu-fenomen dan sejauh mana “tubuh” merupakan satu fenomen? Tubuh memang jelas

merupakan satu fenomen seperti benda-benda lain. Orang bisa memandang tubuh dan

berbicara tentang tubuh sebagai sesuatu yang memiliki ukuran “besar, tinggi, rendah,

pendek dsb.”, dan juga sebagai sesuatu yang tampak indah, jelek, tampan, cantik dsb. Yang

pertama merupakan fenomen ukuran fisik, dan yang kedua merupakan fenomen estetis.

Tetapi bagaimana “tubuh” itu menjadi satu fenomen? Bila orang berkata dalam ungkapan

“dia adalah orang yang ringan tangan”, maka ungkapan “ringan tangan” sebagai bagian dari

tubuh menunjukkan perbuatan dan sikap dari keseluruhan manusia yang suka menolong

sesama. Fenomen “tubuh” – dalam hal ini “ringan tangan” – mengungkapkan sikap suka

menolong, meskipun dalam fakta fisis tidak ada gejala itu. Si pengamat mengatakan orang

yang demikian sebagai orang yang “ringan tangan”, ketika dia memperoleh pengalaman

akan sikap atau perbuatan manusia yang “ringan tangan” itu dan ketika dia bertemu dengan

orang bersangkutan yang berada di sana dengan figur tubuh tertentu. Fenomen “tubuh”

akhimya menunjuk kepada kehadiran keseluruhan pribadi tertentu.

2.4.2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Korper).

Dalam pemakaian bahasa sehari-hari tidak ada pembedaan tajam dan tetap antara

tubuh dan badan. Arti keduanya sering dicampur baurkan dalam pemakaian. Misalnya,

tubuhnya mengandung penyakit atau badannya penuh dengan penyakit. Meskipun

Page 64: Filsafat Manusia 2010 (2004)

63

demikian, keduanya menunjuk kepada realitas yang berbeda. Badan merupakan bagian dari

ruang yang dapat diukur dalam Geometri atau dapat dipelajari dalam dunia fisik. Badan

terbentuk dari berbagai macam sel-sel, molekul-molekul dan zat-zat kimiawi lainnya, dan

unsur-unsur ini membangun satu figur atau raut muka yang tetap atau dapat berubah sesuai

dengan usia. Gejala-gejala badan, strukturnya dan bentuk badan dapat diteliti, diamati dan

ditafsir dalam dunia ilmu pengetahuan seperti geometri, antropologi ragawi, fisika, biologi,

ilmu kimiawi dsb. Hakikat badan adalah satu hakikat kodrati yang menjadi objek penelitian

ilmu pengetahuan. Tubuh merupakan keseluruhan manusia yang tampak dalam struktur

jasmaniahnya. Tetapi pengertian ini sering hilang karena tubuh sering diidentikan dengan

badan. Pengertian tubuh direduksikan kepada pengertian badan.

Beberapa pemikir yang berbicara tentang kejasmanian manusia memberi

pemahaman kepada kita bahwa reduksi tubuh kepada badan dapat dicermati dalam

pemikiran filsafiah mereka. Descartes mengerti tubuh dan badan dalam konteks materi.

Hakikat dari materi adalah merentang atau keluasan (rex extensa) dan gerakan. Sifat

kerentangan dan gerakan dari materi itu dapat diamati dalam matematika dan geometri.

Segala sifat khas itu hanya masuk dalam dunia indra kita dan mempenganihi dunia indra

kita, tetapi tidak bisa ditangkap ke dalam satu sistem rasional kita. Kita hanya dapat

memandang, mengamati dan menangkapnya dalam hal raut muka, bentuk, warna, bau, dsb.

Tidak heran bahwa Descartes membedakan dua cara penerimaan atau tanggapan yang

berkenaan dengan tubuh manusia: memandang dengan pikiran (imaginare) dan menanggapi

dengan indra (sentire). Materi dipertentangkan dengan Roh (Geist). Tidak ada satu ruang

kosong untuk materi, tetapi tidak punya sifat khas batiniah di dalam materi, yaitu sifat khas

atau daya yang menjadi prinsip penyatuan dari dalam. Gerakan materi hanya berjalan secara

mekanis seperti angin puting beliung (Cf. Emerich Coreth, p. 30.). Dalam konteks

pemahaman tentang materi ini, tubuh dan badan termasuk dalam materi yang bergerak

secara mekanis, tetapi katena ada unsur jiwa (kesadaran atau res cogitans), maka terjalin

hubungan antara jiwa-badan yang mempunyai penjelasan tersendiri menurutnya. Satu

kesimpulan yang ditarik dari konsep Descartes ialah bahwa bagaimanapun juga tubuh

Page 65: Filsafat Manusia 2010 (2004)

64

dan badan diidentikan dengan mesin yang berfungsi secara mekanis, dan kedua-duanya

berhubungan dengan jiwa (jiwa-badan) dalam satu hubungan timbal balik dengan pusatnya

pada otak.

Kritik terhadap pemikiran Descartes terletak dalam pemisahan yang tajam antara

“adanya” manusia dengan realitas materi yang dikenakan pada tubuh dan badan manusia.

Faktor budi pada manusia yang memiliki kemampuan kritis untuk melihat dirinya dan

menyadari dirinya memperlihatkan adanya perbedaan jelas bahwa gerakan dan rentangan

yang terdapat dalam materi sama sekali tidak sama dengan gerakan dan rentangan pada

tubuh manusia. Gerakan dan proses rentangan pada tubuh manusia selalu berada dalam

kombinasi atau hubungan dengan jiwa. Hubungan itu begitu intim dalam diri manusia,

sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanis pada materi diidentikan dengan tipe

motorik dan mekanis pada tubuh manusia. Bagaimana hubungan yang saling

mempengaruhi tubuh dan jiwa dapat dijelaskan secara rasional, Descartes tidak

menjelaskannya secara tepat. Meskipun demikian, sumbangan luar biasa dari paham

Descartes untuk perkembangan ekplorasi terhadap tubuh manusia luar biasa. Penelitian

terhadap tubuh manusia sebagai satu materi membawa kemajuan di bidang obat-obatan

yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.

Paham Descartes tentang jiwa-badan mempengaruhi juga paham filsafiah Spinoza

tentang tubuh manusia. Dalam pandangan Spinoza paham dualistis jiwa-badan pada

Descartes dijelaskan secara lain dan agak lunak. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu

“Substansi” yang merangkum seluruh realitas (Anton Bakker, p. 96 bdk. Coreth, p. 43-44

Substansi itu hanyalah Allah saja. Substansi itu memiliki atribut-atribut yang dari

padanya keluarlah modus-modus (cara-cara berada). Modus-modus itu berparalel satu

sama lain secara mekanis. Tubuh merupakan satu modus rentangan atau perluasan,

sedangkan jiwa juga merupakan satu modus berpikir. Tubuh dan jiwa memiliki kegiatan

yang tidak punya sangkut paut satu dengan yang lain, tetapi paralel secara otomatis di

bawah satu substansi yang mempersatukan keduanya. Pandangan Spinoza berhaluan

monistis dalam konsepnya tentang jiwa-badan, tetapi kritik yang ditujukan kepada

Page 66: Filsafat Manusia 2010 (2004)

65

Descartes berlaku juga untuk Spinoza. Reduksi realitas tubuh kepada badan masih nyata

dalam konsep jiwa-badannya. Tubuh dan badan adalah sama dalam arti bahwa keduanya

merupakan materi itu sendiri sebagai satu modus dari substansi yang satu.

2.4.3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.

Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subjek”. Di dalam

aku, keduanya terbentuk dalam satu kesatuan yang erat. Hal ini digambarkan sebagai

seorang pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut bersatu erat dengan kapalnya,

tapi memiliki distansi dengan kapalnya. Dia bisa mengamati-amati kapalnya apakah ada

beberapa bagian kapal yang telah rusak. Atau juga satu kesatuan antara tubuh dan badan di

dalam aku sebagai subjek digambarkan sebagai subjek yang merasa lapar, sakit atau haus

dsb. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalui pernyataan atau tanggapan tubuh.

Kodrat tubuh mengajarkan bahwa si subjek merasa lapar, haus atau sakit. Dengan

demikian, rasa lapar atau sakit itu menjadi satu sinyal atau tanda agar si subjek mengambil

tindakan yang perlu untuk menjawabinya. Si subjek memperoleh pengenalan bahwa

badannya sakit, meskipun dia sendiri bukan seorang dokter. Reintegrasi itu dimungkinkan

oleh salah satu gejala yang disebut “Mekanisme badan sebagai spiritualisme

tekhnomorfis”.

Aku sebagai subjek memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan

kodrat materi yang melekat pada badan kita. Kekuasaan kodrat materi ini merupakan satu

kekuatan gelap yang menguasai manusia. Kekuatan ini dengan sendirinya berjalan secara

mekanis sesuai dengan hukum kodrat materi itu sendiri. Dengan demikian badan kita yang

adalah kodrat alamiah tidak luput dari proses mekanis material yang dapat saja berbahaya

dan dapat saja berguna. Itulah hukum mekanisme alam yang merupakan bagian integral

dari manusia. Tetapi berkat kemampuan dan kehendak manusia, teknik dan ilmu

pengetahuan yang secara langsung berhubungan dengan kodrat alamiah badan kita, dapat

dikembangkan untuk membebaskan mekanisme kodrat material alamiah yang mengancam

hidup manusia. Ketika teknik dan ilmu pengetahuan tercipta untuk pembebasan itu, ketika

itu pula teknik dan ilmu itu jatuh ke dalam proses mekanis-material yang berfungsi menurut

hukum kodrat materi juga. Teknik itu sendiri tidak memiliki hakikat, tetapi hasil dari proses

Page 67: Filsafat Manusia 2010 (2004)

66

aku sebagai subjek dalam mengenal dan membebaskan diri dari genggaman mekanisme

materi yang melekat pada badan. Proses mekanisme materi pada badan ini hanya mungkin

didasarkan pada satu elemen rohaniah yang berdiri di luar kerja materi. Seandainya tidak

ada elemen ini, maka mekanisme itu berjalan buta, dan manusia tidak mungkin

menciptakan teknik dan instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan

bahwa mekanisme itu sendiri adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-

perubahan bentuk dan teknik yang dihasilkan oleh kesanggupan subjek melahirkan

mekanisme material alamiah baru, dan hal ini pun hanya menjadi mungkin oleh karena

kesanggupan subjek itu yang dikarakterisir dengan kesanggupan rohaniah.

2.4.4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).

Realitas kejasmanian berlaku hanya untuk pengertian realitas tubuh dan bukan

untuk pengertian badan, karena realitas tubuh berkaitan erat dengan subjek dan

subjektivitas. Realitas tubuh menghadirkan seluruh kepribadian subjek. Hal ini berarti

bahwa realitas tubuh bersifat unik dan individual, sedangkan realitas badan yang disamakan

dengan benda dan mesin dapat saja bersifat kolektif. Realitas tubuh hanya merupakan

realitas “aku sebagai subjek yang menjasmani”.

Untuk mentematisir secara filsafiah realitas kejasmanian yang ditujukan kepada

realitas tubuh, perlulah diperhatian dua bidang ini, yaitu di bidang perlukisan terhadap cara-

cara bagaimana realitas tubuh dialami, dan di bidang pemberian arti ontologis terhadap

pengalaman realitas yang demikian.

Dimensi kejasmanian dalam ruang.

Berbicara tentang dimensi kejasmanian dalam ruang berarti berbicara tentang cara-

cara bagaimana realitas tubuh atau realitas kejasmanian dialami. Realitas kejasmanian yang

berada dalam waktu sudah dibicarakan dalam tema tentang historisitas. Di sini kita

mentematisir realitas kejasmanian yang berada dalam ruang.

Ruang dialami bukan sebagai sesuatu yang mutlak dan yang memiliki satu kesatuan.

Ruang dialami sebagai yang banyak. Ruang berhubungan dengan sesuatu yang ada di

Page 68: Filsafat Manusia 2010 (2004)

67

dalamnya atau sesuatu yang dapat ada di dalamnya. Ruang ada untuk sesuatu. Dengan

demikian, bila sesuatu itu adalah aku sebagai subjek, maka ruang itu ada untuk aku sebagai

subjek. Perlukisan tentang ruang untuk subjek lalu tidak sama dengan perlukisan ilmiah

tentang ruang seperti dalam Geometri dan Physik, karena perlukisan ruang dalam Geometri

dan Physik tidak mengenal ruang atas, ruang bawah, kiri, kanan, luas, sempit, dekat atau

jauh. Ruang dalam Geometri dan Physik tidak dibedakan dari ruang yang satu dan ruang

yang lain. Ruang semacam ini berada di luar pembedaan ruang, di dalam dan di luar.

Pemahaman ruang seperti,ini tidak sama dengan pemahaman ruang satu subjek.

Pemahaman ruang satu subjek berarti pemahaman tentang cara bagaimana si subjek

berada dan hidup dalam ruang. Bagi si subjek – tentu bagi kita semua sebagai subjek –

setiap titik pusat yang dapat membangun satu hubungan bertolak dari titik pijak yang

dilambangkan dengan titik nol, tempat dia berdiri dan berada. Titik pijak ini memungkinkan

adanya satu sistem koordinasi semua dimensi, karena titik pijak itu sendiri mengarah ke

banyak dimensi. Dimensi-dimensi yang keluar dari titik pijak tempat berdirinya si subjek

bisa saja mengarah ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke luar. Arah-arah

yang berbeda-beda, bahkan arah-arah yang saling bertentangan seperti kiri dan kanan, atas

dan bawah, justru mempunyai arti mendasar untuk pembentukan ruang, karena dengan

adanya arah-arah itu si subjek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga

mengukur ruang gerak itu, baik ruang gerak yang menyentuh luasnya maupun isinya.

Realitas kejasmanian si subjek memang mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda itu

dan serempak pula memberi arah atau orientasi keberadaan jasmaniahnya.

Bila kita berpikir tentana ruang, maka kita pertama-tama terfiksir pada kesadaran

kita akan ruang yang kita alami, ruang yang kita rasakan atau juga ruang yang kita ukur.

Kita dapat mengalami ruang sebagai yang sangat luas atau juga yang sangat sempit. Kita

dapat mengalami ruang sebagai yang berbentuk segi empat atau ruang yang bersudut-sudut.

Bukan hanya ruang yang kita alami secara konkret, tetapi juga ruang yang dapat kita

bayangkan dalam imaginasi kita, misalnya satu ruang yang kita bayangkan sebagai ruang

gerak ideal bila kita berdoa atau bekerja atau juga hidup. Pendeknya, terdapat banyak ruang

Page 69: Filsafat Manusia 2010 (2004)

68

yang di dalamnya kita hidup. Banyak ruang yang kita alami mengandaikan batas-batas

pengalaman akan ruang saya dan ruang hidupmu. Batas-batas ini baik bersifat fisis seperti

bilik saya dan bilikmu, atau ruang ibadat kristen dan ruang ibadat muslim, maupun juga

bersifat simbolik seperti ruang hidup pribadi saya yang tidak dimasuki oleh siapapun dan

ruang hidup pribadimu yang tidak bisa saya masuki, atau ruang hidup keluarga yang satu

dengan yang lain dsb. Batas-batas ruang ini baik yang bersifat fisis maupun simbolis

menunjukkan bahwa di dalam batas-batas itu ruang tersebut hanyalah milik dari subjek

yang mengalaminya.

Pengalaman ruang seperti di atas baik secara fisis maupun dalam imaginasi tidak

lagi terbatas pada kehadiran fisis dalam arti kehadiran badan saya di satu tempat.

Pengalaman ruang si subjek mencakup juga kehadiran seluruh dimensi kejasmanian subjek.

Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi pengalaman saya akan ruang jauh lebih

luas dari ruang tempat badan saya berada. Hal ini kentara misalnya, ketika saya

merencanakan untuk membuat satu perjalanan ke tempat lain. Ketika saya membuat

rencana itu, pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan

perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang tempat badan saya

berada.

Ruang dikaitkan dengan pengalaman subjek di dalam tubuhnya. Subjek berada

dalam tubuhnya. Melalui tubuhnya si subjek mengalami bahwa dia bergerak dari satu titik

pusat tertentu menuju arah-arah tertentu. Tetapi titik pusat itu tidak berada secara otomatis.

Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan agar si subjek mempunyai satu sistem ruang

gerak yang dapat menampilkan dirinya secara transparan. Melalui tubuh jasmaniah, di

dalam tubuh jasmaniah dan dengan tubuh itu si subjek dapat menyembunyikan diri, tetapi

juga dapat mengungkapkan diri secara jelas. Juga si subjek yang sakit payah dan si subjek

yang sehat walafiat dapat memperlihatkan pengalamannya di dalam tubuh kejasmaniannya

secara transparan. Subjek yang sakit berada di dalam tubuh yang tampak kurus, pucat dsb.,

sedangkan subjek yang sehat walafiat berada di dalam tubuh yang tampak segar, bugar,

kuat dsb. Pengalaman subjek di dalam tubuhnya termasuk pengalaman subjek sebagai

Page 70: Filsafat Manusia 2010 (2004)

69

pengalaman akan ruang. Tubuh subjek merupakan satu tempat atau ruang yang harus selalu

sudah diterimanya untuk dapat menerima ruang-ruang lain. Karena si subjek pada akhirnya

berada di dalam tubuhnya sedemikian sehingga dia sendiri adalah tubuhnya sendiri, maka

dia dapat berada di dalam banyak ruangan.

Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.

Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menyibukkan diri dengan tubuh manusia

adalah ilmu pengetahuan obat-obatan atau farmasi. Perkembangan pengetahuan di bidang

ini begitu pesat sehingga penyakit-penyakit yang dulunya dipandang sebagai penyakit

turunan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan kini dengan bantuan obat-obatan dapat

dengan mudah disembuhkan. Tetapi betapapun canggihnya perkembangan pengetahuan

obat-obatan, pengetahuan semacam ini hanya berhenti pada usaha untuk mengobati tubuh

yang sakit. Objek dari ilmu pengetahuan obat-obatan adalah satu organisme yang sakit atau

tubuh jasmaniah yang sakit; itu berarti bahwa tubuh jasmaniah yang demikian dapat diteliti,

diraba, dipegang, dioperasi, disuntik, ditambal dsb.; pendeknya, satu tubuh jasmaniah yang

diperlakukan sebagai satu benda, satu mesin atau juga satu kumpulan unsur kimiawi. Teori-

teori tentang pengobatan dan tentang struktur fisis tubuh jasmaniah tidak mengungkapkan

korelasi antara tubuh jasmaniah itu dengan keseluruhan subjek yang menyandang tubuh

jasmaniahnya. Teori-teori itu hanya merupakan teori fisio-biologis yang belum menyentuh

dimensi realitas kejasmanian sebagai satu realitas “ada” secara jasmaniah dari realitas

manusia.

Pemahaman di atas berakar pada filsafat Descartes yang masih menonjolkan

dualisme antara “res extensa” yang dikenakan pada tubuh jasmaniah dan “res cogitans”

yang ditujukan kepada kesadaran. Ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu obat-obatan dan

biologi, belum berhasil mengkonstruksikan hubungan antara keduanya itu. Masih tinggal

satu problem filosofis yang harus direfleksikan. Problem filosofisnya terletak dalam usaha

untuk mentematisir satu bidang yang merupakan campuran antara res extensa dan res

cogitansnya; problem itu tidak lain dari pada menyentuh apa yang menjadi hakikat terdalam

yang dapat mempersatukan kedua unsur itu. Di sinilah letak pentingnya ontologi yang

Page 71: Filsafat Manusia 2010 (2004)

70

berasaha untuk merefleksikan satu inti sari yang menjadi basis untuk rex extensa dan res

cogitans. Inti sari itu ditemukan dalam fenomen “aku sebagai subjek yang

mengkonstitusikan diri”.

Aku sebagai subjek mengkonstitusikan dirinya melalui satu realitas kejasmanian dalam dua

aspek, yaitu aku sebagai “yang mempunyai tubuh” (das Leib-Haben) dan aku sebagai “yang

adalah tubuh (das Leib-Sein). Aku sebagai yang mempunyai tubuh berakar di dalam aku

sebagai yang adalah tubuh. Yang pertama – sebagai yang mempunyai tubuh – berhubungan

dengan tubuh dalam fungsi fisio-biologisnya, sedangkan yang kedua – aku yang adalah

tubuh – berhubungan dengan seluruh realitas subjek yang adalah realitas tubuh jasmaniah.

Justru di dalam satu kesatuan antara “aku sebagai yang mempunyai tubuh” dan “aku

sebagai yang adalah tubuh” terletak realitas kejasmanian subjek. Penetapan arti ontologis

terhadap realitas kejasmanian dibuat dan direfleksikan dalam usaha untuk mensistematisir

satu kesatuan antara aku sebagai subjek yang mempunyai tubuh dan yang adalah tubuh.

Page 72: Filsafat Manusia 2010 (2004)

71

3. ELEMEN ROHANIAH DARI PERWUJUDAN KEBERADAAN

MANUSIA.

Kerohanian manusia merupakan satu kemampuan konstitutif dalam relasi manusia

baik dalam relasi manusia dengan dirinya maupun dalam relasi manusia dengan dunia di

luarnya. Kemampuan konstitutif dalam relasi ini ditandai dengan apa yang disebut

“kesadaran dan kebebasan”; kedua unsur inilah yang mau dibahas dalam seluruh bab ini.

3.1. Kesadaran rohaniah.

3.1.1. Fenomen Kesadaran.

Langkah untuk menafsirkan fenomen kesadaran diawali dengan pengalaman akan

fenomen kesadaran itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kesadaran merupakan satu

fakta atau kenyataan, yaitu bahwa kesadaran itu sendiri memang ada. Kita memang tidak

langsung mentematisir fenomen ini; kita hanya memahaminya dengan cara menanalisa

pengalaman “ketidaksadaran”, menganalisa struktur tanggapan kesadaran dan menganalisa

penolakan terhadap kesalahan penafsiran.

Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran.

Manusia mengalami bahwa dia tidak sadar, ketika dia sedang tidur, atau ketika dia

sedang dibius untuk menjalani satu operasi tubuh atau juga ketika dia jatuh pingsan dengan

tidak sadarkan diri. Dalam keadaan yang demikian, dia tidak tahu apa-apa tentang segala

sesuatu yang melingkupinya. Dari keadaan dan tingkah laku yang tidak sadar, orang lain

mengalami bahwa dia memang tidak sadar. Dengan pengalaman seperti ini, kita belum bisa

menjelaskan hakikat dari kesadaran, tetapi kita dapat menunjukkan fenomen kesadaran

dengan menyaksikan terjadinya peralihan dari keadaan tidak sadar kepada keadaan sadar.

Peralihan itu dapat kita alami langsung ketika kita terjaga dari tidur nyenyak atau ketika

kita mengalami bahwa orang yang jatuh pingsan tiba-tiba menjadi sadar lagi. Kita

mengalami sesuatu secara sadar. Dengan pengalaman ini, kita dapat merumuskan apa itu

kesadaran.

Page 73: Filsafat Manusia 2010 (2004)

72

Kesadaran pada dasarnya merupakan satu cara hidup manusia. Dia mirip dengan kekuasaan

dan tampil secara tidak menonjol. Sebagaimana udara penting untuk pernapasan kita, begitu

juga kesadaran penting untuk hidup kita. Kesadaran tidak dapat ditangkap dengan indra,

dan munculnya di hadapan kita seakan-akan muncul dari ketiadaan.

Di sanalah justru letak keajaiban kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang

sangat mengagumkan. Mengapa dikatakan demikian? Apa yang dapat kita tangkap dan

amati adalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran sendiri. Isi-isi kesadaran itu berbeda

satu dengan yang lain dan terdiri dari berbagai macam hal. Misalnya, saya sadar akan

kehadiran seseorang yang berada berhadapan dengan saya. Kehadiran seseorang di hadapan

saya merupakan isi dari kesadaran saya. Begitu juga, saya sadar bahwa saya sedang

membaca buku. Isi kesadaran saya adalah kegiatan saya dalam membaca buku. Isi

kesadaran tidak lain dari pada sasaran atau objek-objek kesadaran. Isi-isi kesadaran ini

selain berasal dari saya dan disatukan oleh aku sebagai subjek, juga dapat ditemui dalam

subjek-subjek yang lain. Dengan demikian ada isi-isi kesadaran yan, saya miliki dan isi-isi

kesadaran yang dimiliki oleh subjek yang lain. Di sinilah komunikasi dan hubungan antara

isi-isi kesadaran subjek yang satu dengan subjek yang lain terbentuk, dan pada akhirnva isi-

isi kesadaran itu menjadi satu kesadaran kolektif yang dapat diamati sebagai satu fenomen

kesadaran. Justru di sinilah letak keajaibannya bahwa isi-isi kesadaran itu dapt ditematisir,

tetapi si subjek tidak dapat menangkap secara jelas kesadaran itu sendiri.

Bila isi-isi kesadaran itu dapat ditangkap, pertanyaan kita ialah bahwa apa itu

realitas sesungguhnya. Apakah realitas itu adalah keseluruhan segala sesuatu sebagaima

adanya dan berhubungan satu sama lain tanpa keterkaitannya dengan kesadaran si subjek,

atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kesadaran si subjek? Dengan kata lain,

apakah realitas itu adalah objek di dalam dirinya (realitas an sich) atau objek yang masuk

dalam kesadaran subjek? Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk mensistematisirnya,

tetapi dalam hubungan dengan filsafat antropologi pertanyaan-pertanyaan itu merupakan

alat bantuan manusia untuk menggeluti persoalan kesadaran, atau lebih luas dikatakan,

pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan persoalan dunia si subjek yang sadar. Kita

Page 74: Filsafat Manusia 2010 (2004)

73

tidak bisa menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subjek; realitas itu hanya masuk

perlahan-lahan atau si subjek menjadi sadar perlahan-lahan akan realitas di luar. Dalam

proses “menjadi sadar perlahan-lahan” realitas yang sesungguhnya menurut filsafat

manusia adalah realitas yang ada untuk si subjek. Realitas ini tidak pernah berada di luar

subjek, dan dengan demikian menjadi sadar terhadapnya adalah satu proses kesadaran

untuk mengalami realitas itu, menanggapinya dan mengamatinya. Proses menjadi sadar ini

hanya bisa berfitngsi sebagai penggambaran terhadap satu kesadaran yang bersifat formal.

Di sinilah letak keagungan dan keajaiban kesadaran bahwa proses menjadi sadar diberi

bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain, “menjadi sadar dan sadar akan”

(bewußt-werden dan bewußt-sein atau to become conscious dan to be cunscious) bersatu

erat, dan kedua elemen itu memperlihatkan satu cara berada dari realitas kesadaran itu

sendiri.

Struktur tanggapan kesadaran.

Kita bertolak dari satu objek yang ditanggapi oleh kesadaran si subjek. Tanggapan

kesadaran itu bersifat visual, yaitu ketika si subjek melihat sesuatu benda, ia memberi

tanggapan visual terhadap benda itu secara sadar. Si subjek melihat sebuah objek, misalnya

sekuntum bunga mawar yang sedang mekar. Ketika si subjek melihat dan menyaksikan hal

itu, si subjek menjadi sadar akan objek yang berhadapan dengan subjek. Itulah bentuk

pertama kesadaran. Dengan cara ini, si subjek berada dekat dengan objek dan menjadi sadar

akan adanya objek. Di dalam proses “menjadi sadar” akan objek, kesadaran si subjek

muncul. Bila tidak ada objek yang berhadapan dengan subjek, maka tentu tidak ada

tanggapan kesadaran. Begitu juga sebaliknya, bila tidak ada intensionalitas (kesadaran yang

bersifat intensional) kesadaran, maka tidak terjadi juga proses menjadi sadar akan objek

yang berhadapan dengan subjek. Objek yang ditanggapi dan kesadaran yang bersifat

intensional merupakan dua elemen yang konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Dari

proses ini dapatlah tercipta hubungan yang berkembang menjadi satu refleksi kesadaran diri

si subjek.

Page 75: Filsafat Manusia 2010 (2004)

74

Tetapi kesadaran diri subjek tidak hanya berhenti pada refleksi subjek tentang

objek yang berhadapan langsung dengan dirinya. Refleksi kesadaran diri subjek dapat

menyentuh ingatan atau kenangan si subjek akan objek yang sudah dilihatnya dulu.

Misalnya, si subjek telah melihat kapal tertentu itu di pelabuhan. Si subjek sekarang ingat

bahwa dia melihat kapal tertentu itu di pelahuhan itu. Isi kesadaran di satu pihak adalah

kapal itu dulu dan di lain pihak adalah perbuatan melihat kapal itu dulu. Kapal dan

perbuatan melihat kapal itu dulu merupakan satu hubungan yang dibangun di atas dasar

refleksi kesadaran atas objek kapal yang ditanggapi, tetapi refleksi kesadaran ini adalah

refleksi kesadaran atas satu realitas objek yang sudah menjadi pusat perhatian utama di

dalam diri subjek sendiri.

Proses refleksi kesadaran atas realitas objek yang sudah mendapat perhatian utama

di dalam diri subjek hanya menjadi mungkin, karena ada sesuatu unsur hakiki awali yang

termasuk dalam kesadaran itu sendiri. Unsur awali itu adalah satu gejala “ada dekat dengan

dirinya sendiri” (das Bei-sich-sein). Apa yang dimaksukan dengan “ada dekat dengan

dirinya sendiri”? Dalam tata urutan waktu, kesatuan dengan sesuatu objek yang sudah

ditanggapi selalu terjadi lebih dahulu dari pada perbuatan tanggapan atau perbuatan

melihat. Bila kita rujuk kepada contoh di atas, maka kesatuan subjek dengan kapal yang

ditanggapi secara visual terjadi atau terbentuk lebih dahulu dari pada perbuatan melihat

kapal itu. Tetapi dalam tata urutan realitas subjek sebagai realitas “ada”, perbuatan

tanggapan didasarkan pada “ada dekat dengan dirinya” dari subjek yang menanggapi objek,

karena si subjek sendiri memasukkan diri baik ke dalam objek yang dapat ditanggapi

maupun dalam refleksi dirinya sendiri.

Gejala “berada dekat dengan dirinya sendiri” merupakan akar kesadaran. Realitas

gejala ini dari dirinya sendiri bukan sesuatu yang sadar, bukan juga termasuk dalam ciri-ciri

khas phisis dan psikis tertentu yang dimiliki si subjek. Kesadaran diri terisi oleh realitas

gejala ini, dan bersama dengannya kesadaran diri merupakan bentuk tertentu dari kesadaran

yang dalam keseluruhannya hanya dapat dimungkinkan oleh realitas “berada dekat dengan

dirinya”. Dengan kata lain, realitas “berada dekat dengan dirinya” memungkinkan semua

Page 76: Filsafat Manusia 2010 (2004)

75

kesadaran yang konkret. Dia sendiri bukanlah objek dari proses “menjadi sadar”, melainkan

objek dari satu pengenalan atau pengetahuan abstrak-spekulatif yang bergerak maju

secara halus dari sesuatu yang didasari kepada sesuatu yang mendasari (Bdk. Teori

pengetahuan menurut Platon, cf. Coreth, pp. 73 dst.)

Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.

Di dalam proses tanggapan terdapat kesatuan antara objek yang ditanggapi dan

subjek yang menanggapi, atau kesatuan antara objek dan subjek. Dengan menyebutkan kata

“tanggapan” tersirat korelasi pengertian antara subjek yang menanggapi dan objek yang

ditanggapi. Korelasi ini terjadi dalam satu peristiwa ketika subjek berhadapan dengan objek

dan membangun sahi kesatuan identitas yang mengagumkan, yaitu identitas subjek

sebagaimana adanya dan identitas objek sebagaimana adanya. Persoalannya ialah bahwa

sejauh mana identitas keduanya dapat dikenal sebagaimana-mestinya dalam relasi subjek-

objek itu? Subjek yang menanggapi selalu melibatkan objek yang menjadi sasaran

keterarahan kesadaran subjek, dan objek yang ditanggapi selalu melibatkan kegiatan

tanggapan si subjek. Untuk mengerti sesungguhnya dan menafsir identitas subjek dan

identitas objek, kita perlu menanggalkan hubungan antara subjek dan objek, karena baik

subjek maupun objek mempunyai cara tertentu dalam membangun relasi satu sama lain.

Tetapi kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai kekeliruan pemberian arti atau

kekeliruan interpretasi yang objektivistis dan subjektivistis. Dalam terminologi umum kita

tersandung dalam apa yang disebut objektivisme dan subjektivisme.

Objektivisme merupakan satu proses pemahaman dan penafsiran bahwa objek yang

ditanggapi subjek itu adalah objek dalam realitasnya yang sesungguhnya. Hal ini sangat

kentara dalam teori-teori ilnu pengetahuan, terutama dalam physika, kimiawi dan

physiologi. Teori-teori ilmu pengetahuan tentang tanggapan si subjek terhadap objek,

terutama biologi, fisika, kimiawi dsb. seperti penjelasan optik seluibungan dengan fungsi

mata. Penjelasan biologis tentang struktur tubuh dan fungsi-fungsi organ tubuh, hanya

menjelaskan fungsi dan proses kerja organ-organ tubuh, tetapi tidak menjelaskan realitas

objektif yang termuat dalam tanggapan si subjek itu sendiri. Kita mengambil contoh

Page 77: Filsafat Manusia 2010 (2004)

76

tentang seorang yang melihat “sebatang pohon pisang”. Ketika pengalaman indrawi

subjek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas “pisang”, lensa mata yang

mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon “pisang” dan lensa ini

membangun jaringan dengan sistem saraf sentral di otak, kemudian realitas pisang itu

terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi si subjek yang pada gilirannya

membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas “pisang”. Hasil kerja tanggapan

optik dan hasil berfungsinya seluruh sistem saraf dan kerja organ tubuh ketika berhadapan

dengan realitas pisang pada akhirnya membentuk gambaran tentang “pisang”. Dengan

demikian pengetahuan objektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk

dalam proses tanggapan subjek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.

Pengaruh terhadap pemberian arti yang keliru terhadap objek, atau objektivisme

dalam terminologi di atas, dapat kita simak dari filsafat empirisme David Hume (1711-

1776). Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang disebutnya

“kesan-kesan dan ide-ide” (cf. Harry Hamersma: Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern dan

Emerich Coreth, p.70 dst.). Kesan-kesan adalah hasil rekaman pengalaman indrawi yang

langsung ketika subjek menanggapi sebuah objek yang dilihat, dipegang atau diraba atau

dirasa secara langsung. Ide-ide bukanlah hasil dari satu pengertian yang diolah oleh akal

budi, tetapi gambaran lebih lanjut yang berasal dari pengenalan indrawi. Gambaran ini

sebetulnya diciptakan kembali oleh karena ingatan (kumpulan kesan) si subjek dan

kemampuan kesadaran untuk menciptakan gambaran. Kesadaran sendiri adalah deretan

kontinu dari kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam

pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang satu objek,

gambaran yang tersusun dari kumpulan ide-ide, sedangkan asosiasi merupakan gambaran-

gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita

ialah bahwa apakah objek dalam arti realnya dapat dirumuskan seobjektif mungkin?

Lawan dari objektivisme adalah subjektivisme. Subjektivisme merupakan satu

proses pemahaman dan penafsiran bahwa realitas objek yang ditanggapi bukanlah objek

dalam arti sesungguhnya, tapi semata-mata gambaran subjek tentang objek. Gambaran

Page 78: Filsafat Manusia 2010 (2004)

77

tentang objek ini hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subjek, peristiwa psikis yang

membangun satu realitas objek yang mirip dengan realitas objek sebagaimana adanya.

Dengan demikian objek yang benar sama sekali berbeda dengan objek yang ditanggapi

subjek. Ada dua argumentasi subjektif yang membenarkan atau mempertegas pendirian itn.

Pertama, objek yang ditanggapi subjek sesungguhnya terjebak di dalam penipuan indrawi

(kamuflase pengalaman indrawi), dan dari itu disimpulkan bahwa sudah ada pembauran

antara gambaran yang dihasilkan oleh pengalaman indrawi tentang objek itu dan objek yang

digambarkan dalam refleksi budi. Hal inilah yang membuat kita ragu-ragu untuk

memperlihatkan apa objek itu dalam realitas sesungguhnya. Idealnya bahwa kita coba

menghilangkan balutan-balutan atau penipuan indrawi untuk mencapai realitas objek

sesungguhnya. Tapi apakah hal ini mungkin? Kedua, ketika objek itu ditanggapi oleh

subjek, ketika itu pula objek itu bergantung kepada cara-cara bagaimana organ-organ

indrawi kita menanggapinya. Organ-organ indrawi kita sudah secara physis-biologis

teroganisir dan terkonsolidir untuk memberi respons terhadap objek yang ditanggapi itu.

Dengan cara ini, kita perlu membedakan cara-cara penampilan realitas objektif dalam

organ-organ indrawi kita dari cara-cara realitas objektif yang dijamin dalam organ-organ

indrawi kita. Dengan kata lain, ada beda antara cara organ-organ indrawi dalam menangkap

realitas objektif dan cara-cara realitas objektif untuk terserap dalam organ-organ indrawi.

Dua argumen ini memang tajam, tetapi bisa menghantar orang untuk bersikap skeptis

bahwa apa ada realitas objek sesungguhnya atau apa ada realitas objek in sich.

Untuk menjembatani objektivisme dan subjektivisme, kita merujuk kepada satu

fenomen kesadaran yang mampu membuat refleksi tentang hubungan antara objek yang

ditanggapi dengan subjek yang menanggapi. Objek yang ditanggapi dan subjek yang

ditanggapi harus dipahami sebagai yang identik. Kesatuan identitas antara kedua dalam

refleksi kesadaran bisa membawa kesimpulan bahwa objek yang ditanggapi dan subjek

yang menanggapi adalah identik. Hal ini dijelaskan demikian, bahwa kesadaran sendiri

besifat immanen dan transenden. Kesadaran bersifat imanen, ketika kesadaran itu yang

dilengkapi dengan organ-organ indrawi melekat dan terikat pada objek yang berhadapan

Page 79: Filsafat Manusia 2010 (2004)

78

dengannya. Ketika itu, kesadaran memberi tempat atau membiarkan diri diisi oleh objek

yang ditanggapi. Ia menjadi satu dengan objek yang ditanggapi. Tetapi ketika dia immanen

di dalam objek, ketika itu pula kesadaran membebaskan diri dari keterikatannya dengan

objek yang ditanggapi. Inilah sifat transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu untuk

keluar dari kurungan objek yang ditanggapi; ia mentransendir objek yang ditanggapi itu.

3.1.2. Dimensi-dimensi kesadaran.

Beberapa fenomen kesadaran yang disebut sebelumnya perlu dilengkapi lagi dengan

menyebutkan beberapa dimensi kesadaran. Dimensi-dimensi ini adalah spontanitas dan

rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan kesadaran praktis; jenjang-jenjang

kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran terhadap yang lain. Kita coba menjelaskan

dimensi-dimensi itu pada bagian berikutnya.

Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.

Proses tanggapan terhadap objek dan pengetahuan tentang objek itu berjalan

bersamaan. Pengetahuan tentang objek itu tidak mungkin ada bila tidak ada tanggapan,

begitu juga tanggapan hanya bisa dipahami melalui pemahaman dan pengenalan terhadap

objek. Proses tanggapan dan pengenalan dilukiskan sebagai satu proses kesadaran untuk

menerobos masuk ke dalam realitas objek yang sesungguhnya. Realitas objek sebagaimana

adanya tampil atau masuk ke dalam daya tanggap dan pengenalan si subjek. Di dalam

proses ini terjadilah apa yang disebut “rezeptivitas” (passivitas) dan “spontanitas”

(aktivitas).

Rezeptivitas adalah proses penerimaan kesadaran terhadap realitas objek yang

berhadapan dengan subjek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif dari kesadaran,

karena sebelum subjek mengenal objek, objek itu sudah mengimbas kesadaran melalui

satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara

tidak terelakkan (pasif) oleh objek. Ketika kesadaran terkena imbas oleh objek, pada

waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan,

menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap objek yang ditanggapi. Dalam proses

Page 80: Filsafat Manusia 2010 (2004)

79

selanjutnya objek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan untuk selanjutnya objek

itu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran. Kegiatan kesadaran inilah yang disebut

“spontanitas”. Pengertian tentang kebenaran dan kepalsuan atau tentang keadekuatan dan

ketidakadekuatan terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan

spontanitas, untuk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas objek di dalanl

kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas objek sebagairnana adanya.

Untuk menjelaskan rezeptivitas dan spontanitas dalam kesadaran, kita boleh

merujuk kepada filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Kritik Budi

Murni” (Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant dalam uraian filsafiah

tentang ajaran-ajaran pokok transendental yang dituangkan dalam tema “estetika

transendental dan logik transendental” berpendapat bahwa pengenalan manusia terhadah

sesuatu memiliki tiga kemampuan utama: pertama, kemampuan rezeptivitas atau

keindrawian; kedua, kemampuan spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi

murni. Rezeptivitas adalah kemampuan subjek untuk menerima gambaran dengan cara

bagaimana si subjek terimbas oleh objek-objek. Objek-objek yang mengimbasi subjek

terjadi melalui pandangan atau penglihatan subjek, dan ketika subjek memandang objek,

pada saat yang sama secara serempak kemampuan kedua, yaitu daya nalar, menciptakan

“pengertian”. Ada satu kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan

daya nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori yang muncul

dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan kemampuan spontanitas didasarkan

pada budi murni yang menghantar manusia dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat

kesimpulan-kesimpulan. Kemampuan ketiga sebetulnya kemampuan budi untuk membuat

kesimpulan. Memang ada ulasan panjang lebar dari Kant tentang hubungan antar,

rezeptivitas, spontanitas dan daya akal budi untuk membuat kesimpulan, tetapi untuk pokok

kita di sini, dimensi kesadaran subjek itu memuat daya rezeptivitas melalui pengalaman

indrawi, daya spontanitas dan daya penyimpulan melalui pengenalan budi. Heideggcr

kemudian menjabarkan pengertian subjek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku

Page 81: Filsafat Manusia 2010 (2004)

80

mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral (Cf. Heidegger, Martin: Die

Grundprobleme der Phänomenologie, p.172-219.)

Kemampuan rezeptivitas dan spontanitas dapat dipahami dalam proses kegiatan

“tanya-jawab”. Bila kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sendiri sudah

mengandaikan adanya bahan atau objek atau sesuatu hal yang ingin diketahui. Pertanyaan

sendiri mendapat arah tertentu, dan ke arah itu, sebuah jawaban diharapkan. Jawaban-

jawaban terhadap pertanyaan itu berupa kemungkinan-kemungkinan atau hipotese-hipotese.

Ada hipotese-hipotese yang kebenarannya teruji dalam jawaban-jawaban pasti, tetapi ada

hipotese-hipotese yang tetap tinggal sebagai kemungkinan yang tidak terealisir. Yang

pertama lebih menyangkut hipotese yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman

konkret, sedangkan yang kedua lebih menyangkut hipotese yang melekat pada objek sendiri

yang sebagiannya tak dapat terjangkau oleh subjek; dengan kata lain, dalam hipotese jenis

kedua tinggal curna pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh si subjek. Pertanyaan

lebih menunjukkan kemampuan rezeptivitas subjek, karena objek terimbas pada subjek dan

memukau subjek untuk ingin tahu tentang objek, sedangkan jawaban lebih menunjukkan

kemampuan spontanitas subjek, karena objek yang terimbas pada subjek mau dipahami dan

dijelaskan. Proses tanya jawab ini secara ontologis tetap berjalan sejauh subjek ada dan

bergiat.

Kesadaran Teoretis dan Kesadaran Praktis.

Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi

yang berasal dari kesadaran sendiri. Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan

pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis lebih berkaitan dengan baik-

buruknya sesuatu untuk subjek. Kesadaran teoretis berasal dari kegiatan subjek untuk

memperoleh pengetahuan dan pengenalan akan sesuatu. Dasar dari pengetahuan dan

pengenalan ini menurut Aristoteles adalah tanggapan indrawi, terutama pengalaman yang

dihasilkan oleh kegiatan “melihat dan mendengar”. Pengetahuan dan pengenalan termuat di

dalam tanggapan indrawi, terutama ketika si subjek memandang atau mendengar sesuatu.

Kesadaran teoretis yang berpusat pada kegiatan subjek untuk tahu tentang sesuatu tidak

Page 82: Filsafat Manusia 2010 (2004)

81

selamanya berorientasi pada kegunaan dan tujuan dari pengetahuan itu. Kegiatan untuk

mengetahui dan mengenal objek berjalan otonom, dalam arti bahwa proses pencaharian

pengetahuan dan pencapaian pengetahuan yang benar tidak bergantung pada apakah

pengetahuan itu punya manfaat atau tidak. Proses ini lebih tertuju kepada usaha untuk

mengenal dan mengatahui “mengapa” (alasan, dasar, sebab) sesuatu terjadi dan dialami.

Kesadaran teoretis merupakan kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan mengenal hakikat

sesuatu, dengan kata lain untuk mengetahui dan mengenal “apa itu sesuatu di dalam

dirinya”.

Di samping kesadaran teoretis terdapat pula kesadaran praktis. Kesadaran praktis

berorientasi pada usaha untuk mengalami apakah sesuatu itu baik atau buruk untuk saya,

berkenan atau tidak berkenan untuk saya. Kesadaran praktis tidak mempersoalkan apakah

sesuatu ada sebagaimana adanya. Dalam kesadaran semacam ini muncullah kemungkinan-

kemungkinan dan kewajiban-kewajiban untuk mempertanyakan apakah sesuatu itu berguna

dan bermanfaat untuk saya. Si subjek ketika berhadapan dengan objek tidak berdiri sebagai

penonton saja, tetapi terlibat di dalam objek, malah mengalami objek sebagai satu

kesempatan, ancaman, tawaran atau juga sebagai satu situasi yang berbahaya. Si subjek

menjadi sadar akan tertimpanya objek ke atas dirinya. Kualitas sesuatu yang disadari tidak

terletak di dalam realitas objek sebagaimana adanya, tetapi di dalam baik-buruknya atau

berkenan tidaknya objek itu untuk diri si subjek.

Kesadaran praktis, yang memiliki kutub objektif dan subjektif seperti pada

kesadaran teoretis, bergiat dalam dua cara yang mendasar; dua cara ini dalam situasi konret

meresap satu sama lain. Dua cara itu adalah cara teknis-praktis (pragmatis) dan cara moral-

praktis. Cara teknis-praktis – disebut juga kesadaran teknis-praktis – berhuhungan dengan

teknik “know-how”. Di dalam cara “know-how” ini realitas objek diketahui untuk tujuan

tertentu di masa depan. Pengetahuan terhadapnya dengan tujuan tertentu itu melibatkan alat

untuk mencapai tujuan dan cara-cara untuk merealisir tujuan itu. Dengan demikian, melalui

kesadaran teknis-praktis, si subjek perlu menanggapi situasi, memahami kesanggupan diri

untuk bertindak secara tepat agar tujuannya dapat tercapai sesuai dengan harapan dan

keinginan. Kesadaran teknis-praktis diperluas dan dikembangkan melalui usaha untuk

Page 83: Filsafat Manusia 2010 (2004)

82

memperoleh pengetahuan dan menerapkan pengetahuan untuk tujuan tertentu. Cara moral-

teknis – disebut juga kesadaran moral-teknis – berhubungan dengan penilaian terhadap

tujuan perbuatan yang hendak dicapai. Kesadaran semacam ini mengambil bentuk dasar

dalam apa yang disebut “suara hati”; suara hati berfungsi untuk menawarkan, mengundang,

memerintahkan dan melarang subjek bertindak.

Baik kesadaran teknis-praktis maupun kesadaran moral-praktis dapat

mengungkapkan diri dalam kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menurut

strukturnya tidak memperlihatkan perbedaannya dengan kalimat-kalimat atau pernyataan-

pernyataan teoretisnya. Hal ini tidak berarti bahwa orang mengabaikan adanya perbedaan

antara kalimat-kalimat teoretis dan kalimat-kalimat praktis. Kalimat-kalimat teoretis lebih

mengungkapkan pengetahuan dan pemahaman teoretis, sedangkan kalimat-kalimat praktis

lebih menonjolkan pengetahuan dan pemahaman akan hal-hal praktis. Bisa saja terjadi

bahwa seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi tentang hal-hal

tertentu secara teoretis, tidak mampu bergaul secara luwes dengan orang-orang sekitar atau

tidak mampu mengerti hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang

ahli di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis, tetapi tidak pandai untuk membuat

operasi atau menyembuhkan orang sakit. Contoh-contoh yang disebut di atas mau

menunjukkan kepada kita bahwa ada orang yang trampil dalam bidang kesadaran teknis-

praktis, tetapi belum tentu maju di bidang kesadaran teoretis, atau juga berkembang di

bidang kesadaran moral-teknis. Karena itu penting sekali adanya pendidikan kesadaran

dalam dimensi-dimensi itu menuju pembentukan satu budaya kesadaran yang bersifat

seimbang antara kesadaran teoretis dan kesadaran praktis-teknis dan kesadaran praktis-

moral.

Jenjang-jenjang penyadaran.

Pada bagian sebelumnya, kita sudah membicarakan soal struktur kesadaran.

Psikoanalisa, khususnya psikologi Jung dan Freud, menemukan satu struktur dasar untuk

psike atau jiwa manusia, yaitu psike tak-sadar dan psike yang sadar. Kesadaran manusia

Page 84: Filsafat Manusia 2010 (2004)

83

menurut mereka berakar pada psike tak-sadar. Baik psike tak-sadar maupun psike yang

sadar (kesadaran) memang merupakan dimensi rohaniah kesadaran manusia dan memberi

satu dimensi esensial pada realitas manusia sebagai satu realitas “ada”. Dimensi ini disebut

saja sebagai “aku sebagai subjek yang sadar”.

Dalam pokok ini, kita menyoroti kegiatan kesadaran dalam arti sempit, yaitu terbatas pada

proses kegiatan psike yang sadar. Kegiatan yang paling sentral dari kesadaran dalam level

ini adalah kegiatan “mengerti” dan kegiatan “menghendaki”. Dalam ungkapan sederhana,

soal mengerti adalah soal “tahu dan paham”, sedangkan soal “menghendaki” adalah soal

“mau”. Mengerti dan menghendaki meliputi semua unsur yang terdapat dalam diri subjek:

unsur badaniah, otak, pencernaan, naluri, nafsu-nafsu, afektivitas, ingatan, imaginasi, akal

budi, ide, cinta, bahasa dsb. Semua aspek ini memiliki satu inti, suatu cakrawala atau satu

struktur pokok yang menempatkan semuanya ke dalam satu perspektif. Dalam refleksi

filosofis, coba diselidiki apa yang menjadi struktur dasar pengertian dan struktur dasar

kehendak. Mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan pengertian secara hakiki dan

mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan kehendak secara hakiki, terutama bila

kegiatan keduanya bersentuhan dengan soal pengertian yang benar dan yang salah atau juga

kehendak yang baik dan kehendak yang jahat. Di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan)

direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk kegiatan pengertian dan di

dalam filsafat moral direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk

kegiatan kehendak.

Pengertian dan penghendakan itu merupakan inti sari dari kegiatan kesadaran.

Karena kegiatan keduanya melibatkan semua unsur dalam diri subjek, maka prosesnya

berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam perkembangan subjek, mulai

dari kesadaran yang samar-samar menuju kepada taraf kesadaran yang paling cerah. Empat

taraf itu adalah taraf anorganis atau fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis

atau sensitif; taraf formal-manusiawi kesadaran (Antropologi Metafisik, Anton Baker, p.

188-200). Pada taraf anorganis atau fisiko-kemis, kegiatan-kegiatan dalam diri subjek

mengikuti garis-garis aksi-reaksi fisiko kemis. Proses ini meliputi dunia atom-atom, kerja

Page 85: Filsafat Manusia 2010 (2004)

84

molekul-molekul seperti proses fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak dan kelenjar-

kelenjar yang dimiliki si subjek. Pada taraf biotos atau vegetatif, kegiatan-kegiatan berjalan

seperti kegiatan dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Proses kegiatannya berpusat pada aksi-

reaksi pada bidang sel-sel yang membawa hidup, jaringan dan organ tubuh, seperti

peredaran darah, urat syaraf, pernafasan, lebih-lebih reaksi-reaksi biotis dalam panca indra

ketika berhadapan dengan dunia di luar dirinya. Dalam taraf psikis atau sensitif, kegiatan-

kegiatan berpusat pada aksi-reaksi naluri, persepsi dan nafsu-nafsu seperti yang ditemukan

pada binatang. Kegiatan kesadaran terjadi dalam proses instinktif dan emosional yang

sudah berdiri melampaui reaksi-reaksi panca indra. Daya hidup sensitivitas digiatkan.

Dalam taraf formal-manusiawi kesadaran, kegiatan-kegiatan terarah kepada refleksi dan

penghendakan. Refleksi lebih merupakan kegiatan, “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman.

Pikiran, akal, budi, intelek tidak boleh dipisahkan dari kegiatan pemahaman. Penghendakan

lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan

keutamaan-keutamaan seperti cinta, kebaikan, kelembutan hati, kesetiaan dsb. dan yang

dapat menghasilkan kejahatan-kejahatan seperti benci, iri hati, ketakutan, cemburu dsb.

Kegiatan dalam taraf keempat inilah yang menjadi kekhasan manusia.

Keempat taraf itu dalam proses kegiatan kesadaran tidak berjalan secara terpisah,

tetapi berjalan dalam satu kesatuan. Kegiatan dalam taraf yang paling rendah, yaitu

kegiatan anorganis atau fisiko-kernis melibatkan juga kegiatan dalam taraf tertinggi, yaitu

kegiatan formal-manusiawi kesadaran; begitu juga kegiatan kesadaran dalam taraf tertinggi

mengikutsertakan juga kegiatan dalam taraf yang lebih rendah. Meskipun demikian, setiap

kegiatan kesadaran yang dilakukan oleh subjek yang sadar menonjolkan satu kegiatan yang

dominan dalam taraf tertentu. Keempat taraf itu dalam proses kesadaran manusia

merupakan bagian yang integral dari realitas manusia sebagai satu subjek yang sadar.

Fungsi-fungsi dari masing-masing bidang dari taraf yang paling rendah sampai yang paling

tinggi dapat dikatakan sebagai fungsi yang saling berintegrasi. Bila melihat seorang yang

sedang senyum, maka kegiatan kesadarannya melibatkan seluruh kontraksi otot dan bentuk

muka yang membentuk satu senyuman dan sekaligus juga memantulkan perasaan dan

Page 86: Filsafat Manusia 2010 (2004)

85

kesadaran dalam taraf yang tertinggi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan

kesadaran subjek memuat hubungan yang intrinsik antara taraf-taraf itu, dalam arti bahwa

taraf yang paling tinggi hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar

dalam taraf yang paling rendah, dan taraf yang paling rendah hanya dapat berfungsi

semaksimal dan seoptimal karena dia diresapi dan dijiwai oleh taraf yang paling tinggi.

Mana dari keempat taraf itu dianggap paling penting? Itu bergantung pada sudut pandangan

si subjek yang sadar. Taraf yang paling rendah dapat saja dipandang sebagai yang paling

penting, karena dia merupakan landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak. “Tetapi

juga taraf yang paling tinggi dapat saja dipandang sebagai yang paling penting karena dia

menjiwai dan mewarnai segala taraf yang lain dan memberi ciri manusiawi kepada semua

taraf yang lain.

Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.

Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain mengandaikan adanya subjek-

subjek yang sadar. Kesadaran dari diri yang lain sebetulnya bentuk kesadaran diri dalam

arti tertentu, yaitu ketika subjek yang lain memandang dirinya dalam relasinya dengan

subjek di luar dirinya. Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain hanya terwujud

dalam satu relasi dan komunikasi antar kesadaran, dan relasi dan komunikasi ini

dimungkinkan oleh intensionalitas kesadaran itu sendiri. Kesadaran sendiri bersifat terbuka

dan terarah, dan dalam disposisi yang demikian kegiatannya dapat mentransendir diri untuk

keluar dari dirinya dan membangun komunikasi dengan subjek lain di luarnya. Dalam

relasi dan komunikasi antar subjek, kegiatan keempat taraf dalam subjek berjalan secara

menyatu.

Pengertian dan penghendakan yang merupakan inti dari kegiatan kesadaran

berfungsi secara khas dalam relasi dan komunikasi antar subjek itu. Pengertian lebih

terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah

kepada kegiatan untuk menghargai yang lain. Dengan kata yang lain, kegiatan pengertian

dan penghendakan dalam relasi dan komunikasi dengan yang lain berpusat pada kegiatan

untuk “mengakui dan menerima yang lain”. Ketika aku menyadari diriku, ketika itu pula

Page 87: Filsafat Manusia 2010 (2004)

86

aku mengakui dan menerima subjek yang lain. Mengerti dan menerima diriku berarti

mengerti dan menerima diri yang lain. Karakter-karakter khas yang mernberi warna pada

relasi seperti ini dapat ditemui dalam satu relasi dan dalam satu komunikasi yang bersifat

timbal-balik, bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam relasi subjek-

objek, bersifat universal dan singular, bersifat bersatu dalam perbedaan dan perhedaan

dalam persatuan.

Komunikasi yang bersifat timbal-balik berarti bahwa subjek yang satu dan subjek

yang lain berdiri sejajar sebagai partner yang saling memberi response terhadap satu sama

lain. Yang satu bertindak sebagai agen yang aktif dan yang lain berlaku sebagai penerima

yang pasif, tetapi pada gilirannya yang satu berlaku sebagai penerima yang pasif dan yang

lain bertindak sebagai agen yang aktif. Hubungan timbal-balik mencerminkan huhungan

yang saling mengakui dan saling menerima. Hubungan ini dikarenakan oleh kesadaran

masing-masing yang memiliki sifat intensional, imanen-transenden, reseptif dan spontan,

aktif dan pasif.

Komunikasi yang bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam

relasi subjek-objek berarti bahwa subjek yang lain diakui dan diterima sebagai realitas

objek yang lain sama sekali dengan seluruh arti dan harga dirinya ketika berhadapan

dengan aku sebagai subjek, dan pada gilirannya otonomitas yang lain dengan seluruh

realitas dirinya hanya dapat saya akui dan terima ketika saya terlibat secara aktif

menangkap, mengerti dan menghargai subjek yang lain dan ketika itu pula subjek yang lain

mengakui dan menerima diri saya sebagai realitas objek yang lain dari padanya. Dalam

komunikasi ini, aku sebagai subjek mengkonstitusikan keberadaan yang lain sebagai

subjek, dan dalam hubungan subjek dengan subjek, karakter hubungan subjek-objek

saling termuat: aku menerima yang lain sebagai realitas objek sebagaimana adanya dan

begitu pula dia sebagai subjek yang lain menerima saya sebagai realitas objek sebagaimana

adanya saya.

Komunikasi yang bersifat universal dan singular berarti bahwa subjek-subjek yang

membangun relasi dan komunikasi tetap memiliki karakter universal dan singular. Dalam

Page 88: Filsafat Manusia 2010 (2004)

87

komunikasi singularitas setiap subjek tetap ada; keunikannya diakui dan bertahan. Begitu

pula dalam relasi itu, ketermasukan si subjek dalam keseluruhan kemanusiaan diterima dan

dipertahankan. Ketika subjek mengakui dan menerima subjek yang lain, ketika itu pula

subjek mengakui dan menerima keunikan masing-masing dan serentak pula menerima dan

mengakui ketermasukan masing-masing subjek dalam keseluruhan realitas kemanusiaan.

Komunikasi yang bersifat bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan

berarti bahwa komunikasi yang dibangun antar subjek mencerminkan kesatuan antara

mereka dengan tidak menghilangkan perbedaan antara mereka. Perbedaan lebih

menekankan otonomitas, kemandirian, jati diri yang unik, sedangkan kesatuan lebih

menonjolkan saling ketermuatan antara subjek dengan objek atau kesatuan dalam identitas.

Saling mengakui dan menerima antar subjek berarti saling mengintegrasikan diri ke dalam

satu kesatuan yang lebih penuh dengan tidak melenyapkan jati diri yang unik dari masing-

masing.

Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain dipahami dalam relasi dan

komunikasi antara subjek, relasi dan komunikasi antar pribadi. Pengembangan dan

pemenuhan relasi seperti ini dapat menghantar kepada pemahaman tentang komunikasi

subjek-subjek konkret kepada subjek transendental yang memiliki juga satu kesadaran

imanen-transenden, dan dalam bahasa religius subjek transendental itu dikenakan kepada

realitas ilahi.

3.1.3 Pengandaian ontologis kesadaran.

Di dalam kesadaran realitas “ada” (das Sein atau Being) menjadi sadar sendiri.

Realitas “ada” sendiri menjadi sumber kesadaran. Realitas “ada” menjadi sadar, aktif dan

bergiat. Heidegeer mencirikan realitas “ada” itu sebagai “yang menampakkan diri” dan

sekaligus “yang menyembunyikan diri”. Ia hadir tetapi juga tersembunyi. Baru di dalam

eksistensi manusia, realitas “ada” menjadi hadir dan menampakkan diri. Tugas filsafat

adalah untuk menemukan secara konkret makna realitas “ada” dan membiarkan realitas

“ada” berbicara, karena realitas “ada” ini merupakan satu kebenaran.

Page 89: Filsafat Manusia 2010 (2004)

88

Kesadaran termasuk dalam realitas “ada”. Tetapi dia tidak identik dengan realitas,

“ada”, karena manusia sebagai subjek yang sadar cuma modus dari “yang ada” dan disebut

sebagai “Das Dasein”, yang berarti bahwa realitas “ada” hadir di sana, di dalam dunia.

Manusia adalah realitas “ada” yang sedang hadir di sana di dalam dunia dan mampu untuk

sadar akan realitas adanya (eksistensi) dan bertanya tentang makna realitas adanya sebagai

manusia. Justru inilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran hanya

ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran bersama dengan segala macam kegiatan

dan tingkatan kesadaran merupakan eksplisitasi yang nyata dari realitas “ada”. Kesadaran

subjek memiliki kemampuan untuk menempatkan seluruh subjek ke bawah realitas “ada”.

Dia berada di dalam lingkungan realitas “ada”.

Pertanyaan pokok ialah bahwa bagaimana si subjek berada dalam lingkungan

realitas “ada” seperti itu supaya jati diri kesadaran dengan segala macam kegiatan dan

tingkatannya dapat terealisir di dalam lingkungan realitas “ada” itu? Jawabannya ialah

bahwa harus ada satu prinsip yang secara hakiki melandasi subjek untuk termasuk ke dalam

lingkungan realitas “ada”; atau untuk menjadikan realitas “ada” sebagai milik subjek.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa realitas ada berkarakter ganda, yaitu

menampakkan diri dan serempak menyembunyikan diri. Tugas si subjek adalah untuk

mengusahakan agar realitas ada menjadi semakin tampak dalam diri subjek dan serempak

pula untuk mempertahankan agar realitas ada tetap tersembunyi. Kenyataannya bahwa si

subjek selalu berada dalam satu perspektif yang terbatas baik dalam kegiatan kesadaran

teoritis menyangkut pengetahuan dan pengenalan maupun dalam kegiatan kesadaran praktis

menyangkut etika dan keyakinan. Tetapi karena setiap subjek adalah satu hakikat yang

mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri ke dalam realitas “ada”, maka dia juga

mempunyai kemampuan untuk menembus masuk melihat realitas “ada” melalui perspektif

yang terbatas itu, bahkan melalui perspektif-perspektif yang dangkal dan tak berarti

sekalipun. Dalam proses untuk melihat secara lebih mendalam realitas “ada” melalui

perspektif keberadaan manusia, manusia sebagai subjek justru berusaha selalu untuk

memberi makna terhadap realitas “ada”.

Page 90: Filsafat Manusia 2010 (2004)

89

3.2. Kebebasan kehendak.

3.2.1. Isi ungkapan “kebebasan kehendak”.

Ada begitu banyak diskusi tentang ada tidaknya kebebasan. Orang sering

mencampuradukkan pengertian kebebasan dengan kehendak bebas (kebebasan kehendak)

Pada mulanya kata “bebas” mengandung arti sosial. Kata sifat “bebas” dan kata benda

“kebebasan” menunjuk kepada status atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Kata itu

dikenakan untuk kelompok bangsawan dan tuan-tuan penguasa dalam masyarakat. Mereka

adalah kelompok elit masyarakat. Mereka bertindak bebas, dalam arti bahwa mereka

bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sernentara rakyat biasa, khususnya para

budak, “harus” bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan atasan atau majikannya. Dari

sana terciptalah pengertian kebebasan sebagai “menjadi tuan atas diri sendiri dengan

mengikuti hukumnya sendiri”.

a. Pengertian yang berbeda tentang kebebasan.

Kata “kebebasan” menandakan adanya kuasa subjek untuk bertindak. Dalam

pengertian ini kebebasan memiliki tiga arti yang dapat kita bedakan. Pertama kebebasan

berarti bertindak menurut kemauan dan kehendak sendiri, dengan kata lain bisa bertindak

sesuka hati. Bila kita berkata kepada seseorang: “Anda bebas menaruh sepeda anda di

tempat ini”, itu berarti bahwa dia boleh bertindak menurut apa yang dia kehendaki untuk

menempatkan sepedanya di tempat ini. Dia mempunyai hak untuk bertindak. Tidak ada satu

hukum moralis atau satu ketentuan yuristis yang membatasi perbuatannya. Kebebasan pers,

kebebasan beragama, kebebasan berkoalisi, kebebasan berorganisasi dsb. termasuk dalam

bidang ini.

Kedua, kebebasan berarti kebebasan bertindak. Orang yang bebas tidak merasa

terhalang untuk melakukan apa yang sudah menjadi tekadnya untuk dilakukan. Paksaan

lahiriah dan paksaan batiniah tidak lagi dialami oleh orang yang bersangkutan. Kebebasan

merupakan satu pelepasan dari tekanan lahiriah atau juga dari tekanan batiniah, atau juga

dari tekanan yang bersifat legal seperti penjara atau juga tekanan yang bersifat ilegal seperti

Page 91: Filsafat Manusia 2010 (2004)

90

korban perang pada rakyat sipil. Dalam arti ini untuk orang yang meringkuk dalam penjara

atau untuk orang yang ditangkap dalam perang dsb. kebebasan dialami sebagai tindakan

pelepasan tekanan itu. Dengan tindakan pelepasan tekanan itu, orang yang bersangkutan

menjadi orang yang bebas.

Ketiga, kebebasan berarti kehendak atau kemauan. Kehendak perlu kita bedakan

dari keharusan dan keinginan. Keharusan tampil dalam dua bentuk, yaitu keharusan yang

bersyarat dan keharusan yang tak bersyarat. Keharusan bersyarat secara relatif dapat

dihadapkan dengan kemauan. Contoh: Saya harus membayar pajak. Jika saya tidak

membayar pajak, maka saya akan dikena denda karena saya tidak mempunyai andil untuk

membangun kesejahteraan bersama. Keharusan di sini tidak berasal dari kehendakku, tetapi

dari satu kerugian yang bakal menimpa saya jika saya tidak membayar pajak. Keharusan

tak bersyarat selalu dipertentangkan dengan kehendak. Contoh: Saya harus mengendarai

mobil di sebelah kiri di Indonesia. Keharusan yang demikian berada di luar lingkungan

kekuasaan kehendak saya. Tidak ada jalan lain selain harus bertindak demikian. Keinginan

berbeda dari kehendak. Keinginan merupakan tahap pendahulu menuju kehendak.

Keinginan bermain dengan kemungkinan-kemungkinan untuk berusaha mencapai sesuatu

atau untuk mengusahakan sesuatu yang dapat dicapai. Bila sesuatu itu berkenan untuk saya,

saya ingin memperolehnya, dan sesuatu yang ingin diperoleh itu belum tentu sesuatu yang

dapat dicapai dalam realitas hidup. Keinginan memang tidak sama dengan kehendak, tetapi

kehendak adalah sesuatu yang lebih dari pada keinginan semata, meskipun dalam bahasa

sehari-hari, kehendak dan keinginan disamakan. Kehendak selalu berhubungan dengan

perbuatan yang punya arti untuk subjek entah langsung atau tidak langsung, dan kehendak

itu tampaknya menuntun perbuatan saya. Kehendak yang asli selalu mengarah kepada

perbuatan sejauh kehendak itu sama sekali tidak terkena paksaan.

Dengan demikian, kehendak pada tingkat tertentu mempunyai sisi ganda. Di satu

pihak, kehendak merupakan sikap keberpalinganku yang aktif ke arah satu nilai atau

sebaliknya, sikap keberpalinganku yang aktif untuk menjauhi satu nilai. Di dalam

keterbukaanku yang terarah ke nilai yang merebut perhatianku justru terciptalah keputusan

Page 92: Filsafat Manusia 2010 (2004)

91

yang merupakan perbuatan kehendak itu sendiri. Di pihak lain, kehendak merupakan

gerakan otomatis tubuh yang mengungkapkan atau menyalurkan satu keputusan, misalnya

mengacungkan tangan ke atas untuk mengungkapkan kehendak untuk mulai berbicara, dsb.

Kehendak ini bukanlah satu perbuatan, tetapi berhubungan dengan tindakan atau perbuatan.

Atas cara ini, sava tidak lagi mempunyai sikap kesediaan yang diantarai oleh kehendak,

karena sikap kesediaan ini tidak menghantar saya kepada perbuatan. Kehendak adalah satu

modifikasi langsung dari cara saya berada baik secara aktif maupun secara pasif; dia tidak

pernah merupakan satu tindakan aktif yang langsung, tetapi cuma alat bantuan, sama seperti

kedudukannya dalam kalimat hanya sebagai kata kerja “bantu” (wollen, müssen, können,

sollen).

b. Kebebasan Kehendak.

Apa yang dimaksudkan dengan kebebasan kehendak? Kebebasan kehendak adalah

satu kemampuan prinsipiil dalam diri manusia untuk mengambil keputusan sendiri atau

menentukan sikap tertentu, dan kemampuan ini keluar dari kesadaran bebas atau

persetujuan bebas yang mengarah semata-mata kepada kebaikan. Kebebasan kehendak

sering diartikan sebagai pilihan bebas (kebebasan untuk memilih), kebabasan untuk

bersikap sewenang-wenang, putusan bebas, atau juga kebebasan psikologis dsb. Tidak ada

keseragaman terminologi dalam bidang filsafat.