Author
infest-yogyakarta
View
247
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pengelolaan Keuangan Desa Sahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan. Dalam kurun waktu itu, banyak energi dan perhatian dicurahkan untuk urusan pengelolaan keuangan. Mulai tahun ini, sebagai bagian dari amanat UU Desa, pemerintah menyalurkan dana desa. Alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ini sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434 kabupaten/kota di Indonesia. Namun demikian, tata kelola keuangan desa tidak berhenti pada urusan uang. Dasar dari asas subsidiaritas ialah pengakuan kewenangan desa oleh negara untuk mengelola urusannya sendiri, termasuk pengelolaan anggaran. Tentu, muara yang dituju ialah kesejahteraan rakyat. Tata kelola keuangan desa terkait mulai dari perencanaan hingga penganggaran, ketersediaan regulasi dan kualitas sumber daya manusia. Tulisan Darwanto berjudul “Mengukur Akuntabilitas Keuangan Desa” menegaskan tiga prinsip pengelolaan keuangan desa yang tak dapat dipisahkan
Maju Perempuan Indonesia
untuk Penanggulangan Kemiskinan
WAWANCARA
Dana Desa Harus bisa
Menyejahterakan Rakyat
Johan Budi
Mengukur Akuntabilitas
Pengelolaan Keuangan Desa
OPINI
Dari Desa Wujudkan
Indonesia Bersih
Tanpa Partisipasi Desa Impian Hanya
Omong Kosong Belaka
Ahmad Erani Yustika
CATATAN PENGETAHUAN
Berjibaku dengan Kebiasaan Lama
Banjarnegara
Pemda Banjarnegara siap kawal
pemetaan kesejahteraan
Wonosobo
Pemanfaatan Aplikasi Mitra
Desa dan Keuangan Desa di
Kabupaten Wonosobo
Malang
Praktik Mengulas dan Simulasi
Pelaksanaan APBDesa
Takalar
Mengaji Pengelolaan
Keuangan Desa Kalukubodo
BERITA DESA
PANDUAN KEBIJAKAN
Mendorong Pengelolaan Dana Desa
Untuk Mengefektifkan Program
Berbasis Desa
Meningkatnya Peran Perempuan
dalam Perencanaan
Pembangunan Desa Wulungsari
Mengenal Pengelola
Keuangan Desa
Silang Sengkarut
Pengelolaan Keuangan Desa
LAPORAN UTAMA
p e m b a h a r u a n d a r i d e s a
E D I S I 2 | N o v e m b e r 2 0 1 5
Diterbitkan oleh :
Majalah ini dikembangkan dan diterbitkan oleh INFEST
dengan dukungan dari Program Maju Perempuan Indonesia
Untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU). Program
Mampu merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya
pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan
perempuan.
Informasi yang disampaikan dalam majalah ini sepenuhnya
merupakan tanggung jawab tim penyusun dan tidak serta
merta mewakili pandangan Pemerintah Indonesia maupun
Pemerintah Australia.
Didukung oleh :
Maju Perempuan Indonesia
untuk Penanggulangan Kemiskinan
REDAKSI MAMPU
Penanggungjawab :
Muhammad Irsyadul Ibad
Redaktur :
Budhi Hermanto
Redaktur Pelaksana :
Sofwan Hadi
A. Pambudi
Anggota Tim Redaksi:
Alimah; Frisca Nilawati;
Borni Alan; Ananto Sulistyo,
Khayat ; A. Affandi
Kontributor Daerah :
Edi Purwanto; Syahribulan
Editor
Heru Prasetya
Tata Letak
Akbar Binbachrie (KAF media)
ALAMAT REDAKSI
Warungboto UH IV/734
Umbul Harjo Yogyakarta
Telp: 0274 417004
Email: [email protected]
Portal: www.sekolahdesa.or.id
twitter: @sekolahdesa
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam
bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip,
menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan
tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi
yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.
ampir satu tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Hdiimplementasikan. Dalam kurun waktu itu, banyak energi dan perhatian dicurahkan untuk urusan pengelolaan keuangan. Mulai tahun ini, sebagai bagian dari amanat UU Desa, pemerintah menyalurkan
dana desa. Alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) ini sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434
kabupaten/kota di Indonesia.
Namun demikian, tata kelola keuangan desa tidak berhenti pada urusan
uang. Dasar dari asas subsidiaritas ialah pengakuan kewenangan desa oleh
negara untuk mengelola urusannya sendiri, termasuk pengelolaan
anggaran. Tentu, muara yang dituju ialah kesejahteraan rakyat.
Tata kelola keuangan desa terkait mulai dari perencanaan hingga
penganggaran, ketersediaan regulasi dan kualitas sumber daya manusia.
Tulisan Darwanto berjudul Mengukur Akuntabilitas Keuangan Desa
menegaskan tiga prinsip pengelolaan keuangan desa yang tak dapat
dipisahkan: transparansi, partisipasi,dan akuntabilitas. Akuntabilitas bisa
dilihat secara administratif dan substantif. Administratif menunjukkan
sistem pengelolaan keuangan desa sesuai dengan prosedur yang ada.
Sementara, substantif menegaskan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, dan realisasi.
Akuntabilitas dapat terwujud apabila didukung oleh dua unsur, transparansi
dan partisipasi. Tulisan Sinam M Sutarno berjudul Dari Desa Wujudkan
Indonesia Bersih, menujukkan pentingnya partisipasi masyarakat. Peran
aktif masyarakat dalam pengawasan menjawab keraguan desa dalam
mengelola keuangan. Hal tersebut menegaskan, sebagai subjek
pembangunan dan berdaulat, desa mampu mewujudkan tata kelola
keuangan yang berorientasi kesejahteraan.
Pentingnya pengawasan dan partisipasi masyarakat juga muncul dalam
wawancara dua tokoh: Johan Budi SP dan Ahmad Erani Yustika. Keduanya
bersepakat bahwa partisipasi masyarakat dan pengawasan mutlak
dilakukan, selain kemampuan tata kelola. Tidak sedikit desa ataupun
supradesa yang ketakutan untuk mengelola dana desa yang bersumber dari
APBN. Padahal, sebagai wujud dari asas subsidiaritas, dana desa merupakan
hak desa yang harus dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
Tak lupa, kabar inovasi dari desa yang bisa menjadi pembelajaran bagi para
pembaca. Desa-desa mulai bergerak untuk memahami pengelolaan
keuangan desa yang transparan, akuntabel, partisipatif dan disiplin
anggaran. Sehingga, optimisme untuk mewujudkan desa yang berdaya,
mandiri dan berdaulat terus menggelora. Terakhir, kami berharap Merdesa
mampu menjadi ruang dialog dan berbagi pengetahuan. Selamat membaca
Salam Merdesa.
LINTAS DESA
LAPORAN UTAMA
OPINI
WAWANCARA
CATATAN PENGETAHUAN
BERITA DESA
PANDUAN KEBIJAKAN
INFOGRAFIS
Pengelolaan
Keuangan Desa
Pengantar Redaksi
1
3
5
9
13
18
19
25
p e m b a h a r u a n d a r i d e s a
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Minggu (13/9/2015), seluruh anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten
Malang berkumpul di Kantor Desa.
Tujuh anggota BPD bersepakat untuk
mendiskusikan kewenangan BPD sesuai
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang desa. Diskusi ini juga
dihadiri oleh perwakilan BPD Desa
Jambearjo, Kecamatan Tajinan. Materi
diskusi meliputi tata cara pembuatan
peraturan kepala desa, perencanaan
desa, tugas perangkat desa, tata cara
membuat peraturan desa, serta hak
dan kewajiban kepala desa. []
Kader Pembaharu dari tiga desa di Kabupaten Malang berkumpul di Balai Desa
Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Rabu (5/8/2015). Acara yang dikemas dalam
tajuk Silaturahmi dan Reorientasi Implementasi UU Desa di Kabupaten Malang ini
turut dihadiri oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Drs. Eko
Suswanto. Dalam sambutannya, Eko menyampaikan pentingnya berbagi
pengalaman dalam mengelola pemerintahan desa. Oleh karena itu, dengan diskusi
dan berbagi pengalaman akan berdampak pada perbaikan pelayanan di masing-
masing desa.
Hanik Martya, Kepala Desa Tunjungtirto selaku tuan rumah, berharap pertemuan
ini menjadi pemantik awal dalam melakukan perbaikan pemerintahan desa.
Forum-forum seperti ini menjadi ruang bersama dalam bertukar pengalaman dan
saling mengisi kekurangan satu dan lainnya. Kepala Desa Tunjungtirto ini berharap
pertemuan semacam ini bisa dilakukan sesering mungkin dan tempatnya bisa
bergiliran di masing-masing desa. []
Setelah melewati proses panjang dalam
penggalian indikator kesejahteraan lokal,
Tim Pembaharu Desa Tracap mulai
mengerjakan sensus di seluruh dusun.
Sensus bertujuan untuk mendapatkan data
desa yang valid. Sehingga perencanaan
pembangunan yang disusun dapat
mengakomodasi kelas sosial yang selama
ini termarginalkan. Menurut Siti Muntiah,
Kader Pembaharu Desa Tracap, sensus
mulai dilakukan pada bulan Agustus.
Setelah sensus selesai, Tim Pembaharu
Desa dan perangkat desa akan melangkah
ke tahap entri data. Setelah itu, kami akan
bersiap untuk melakukan evaluasi
perencanaan desa dengan data yang kami
dapatkan melalui sensus ini, ungkap
Muntiah, (16/8). []
ua desa di Kabupaten Wonosobo,
Dyaitu Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah dan Desa Lengkong, Kecamatan Garung berkontribusi dalam
merumuskan rekomendasi peraturan
bupati tentang pengelolaan keuangan. Hal
tersebut dibahas berbarengan dengan
pelatihan pengelolaan keuangan desa yang
diselenggarakan Infest Yogyakarta di
Kantor Bupat i Wonosobo, (29/9-
2/10/2015). Pelatihan ini bertujuan untuk
mendorong desa agar mampu mengelola
keuangan desa, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
dan pe r tanggung jawaban seca ra
transparan, partisipatif, akuntabel serta
disiplin anggaran. Kami sedang berproses
menyusun draf Perbup Pengelolaan
Keuangan Desa. Hasil dari empat hari ini
akan menjadi rekomendasi bagi kami di
bagian pemerintahan, tutur Aldhiana
Kusumawati dari perwakilan Sekretaris
Daerah Pemkab Wonosobo. []
Temu Kader Pembaharu Desa Kabupaten Malang
Semangat Pendataan
Kesejahteraan Desa Tracap
BPD Kucur Diskusikan
Kewenangannya dalam UU Desa
Kader Desa Wonosobo
Usulkan Rekomendasi
Peraturan Bupati
Desa Tunjungtirto, Kecamatan
Singosari menjadi tuan rumah studi
lapang Pelatihan Keuangan Desa,
(17/9/2015). Studi lapang yang
digagas oleh Balai Besar Pember-
dayaan Masyarakat dan Desa
Kabupaten Malang bekerjasama
dengan Badan Pemberdayaan
Masyarakat Provinsi Sulawesi Utara
ini diikuti oleh 60 orang dari dua
kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara
yakni Kabupaten Minahasa dan
Bolaang Mongondow Selatan. Desa
Tunjungtirto menjadi tuan rumah
k a r e n a d i a n g g a p b e r h a s i l
menjalankan tata kelola keuangan
desa dengan baik. []
Studi Lapang Pelatihan
Manajemen Keuangan Desa di Tunjungtirto
LINTAS DESA
WonosoboMalang
Malang
Malang
Wonosobo
Dok. Infest
Dok. Infest Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
1
Dalam konteks bernegara, layanan
dasar merupakan hak warga negara.
Pelayanan dasar adalah tanggung jawab
perangkat pemerintahan, mulai dari
pusat hingga desa. Untuk itu, sebagai
tahap awal digelar pelatihan Perbaikan
Pelayanan Publik di Desa Jatilawang,
Kecamatan Wanayasa, (29-30/9/2015).
Pelatihan dua hari ini dipandu oleh
Mujtaba Hamdi dari Medialink Jakarta.
Pertemuan in i bertujuan untuk
memahami pentingnya perbaikan serta
menemukenali jenis layanan dasar di
desa. Forum ini juga menyepakati
instrumen yang digunakan untuk survei
perbaikan pelayanan dasar di desa.
Menurut Mujtaba Hamdi, kata kunci
dalam pelayanan dasar ialah publik.
Artinya, pelayanan harus bisa diakses
oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
terkecuali. Ada tiga bentuk pelayanan
publik di desa yakni barang publik, jasa
publik, dan layanan administratif.
Ketiga bentuk tersebut harus didasar-
kan pada prinsip transparansi, akunta-
bilitas, dan partisipasi. []
Kader Pembaharu Desa, perangkat
desa dan Badan Permusyawaratan
D e s a ( B P D ) G u m e l e m Ku l o n ,
Kecamatan Susukan mengikut i
pelatihan Pemetaan Kesejahteraan
Lokal, (27-28/9/2015). Pelatihan yang
digelar di Balai Desa Gumelem Kulon
ini merupakan tindak lanjut dari
kegiatan Sekolah Perempuan dan
bekerjasama dengan Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara. Pelatihan
pemetaan kesejahteraan lokal
menjadi tahap lanjutan dari proses
pemetaan aset dan potensi desa. []
Kader Pembaharu Desa Gentansari
belajar pentingnya data kesejahteraan
lokal sebagai basis data perencanaan
desa. Selama dua hari, (16-17/9/2015),
mereka mengidentikasi jenis data,
pendataan, dan menyepakati indikator
kesejahteraan lokal di Desa Gentansari.
Setelah itu, Kader Pembaharu Desa
bersama Pemerintah Desa Gentansari
akan melakukan serangkaian pendataan
dan olah data sebagai basis perencanaan
desa. []
Mendorong Perbaikan
Pelayanan Dasar di Desa
Data Kesejahteraan Milik DesaDesa Gentansari
Gali Indikator Kesejahteraan
Pembaharu Desa Soreang, Kecamatan
Mappakasunggu mengidentikasi
jenis-jenis informasi publik milik desa,
(8-9/9/2015). Kegiatan ini diikuti oleh
18 Kader Pembaharu Desa Soreang.
Setelah menemukenali jenis-jenis
informasi publik, peserta kemudian
mengidentikasi bukti sik dari
masing-masing informasi. Sekaligus,
membuat daftar informasi publik
dalam bentuk dokumen, foto, dan
papan informasi yang ada di desa. []
Pembaharu Desa Soreang
Identikasi Jenis Informasi Publik
Belajar Jurnalisme Warga
di Desa Kalukubodo
2 LINTAS DESA
Banjarnegara
Takalar
Takalar
Banjarnegara
Dok. Infest
Dok. Infest
Banjarnegara
Jurnalisme warga merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif warga dalam
pengelolaan informasi di desa. Jumat (14/8/2015), Kader Pembaharu Desa
Kalukubodo, Kabupaten Takalar, belajar mengenai Jurnalisme Warga. Kegiatan ini
menjadi rangkaian pembelajaran tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di
Desa Kalukubodo. Pelatihan Jurnalisme Warga difasilitasi oleh Yudi Setiyadi,
Koordinator Pena Desa, sebuah komunitas jurnalis warga di Kabupaten Banyumas. []
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Dok. Infest
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
ulianti, Sekretaris Desa Tunjung-
Ytirto, Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang mengaku
ke su l i t an dengan s i s tem
pengelolaan keuangan desa yang baru.
Menurutnya, pemahaman masing-
masing perangkat tentang peraturan
teknis mulai dari peraturan menteri
hingga peraturan bupati belum sama.
Bahkan, di antara perangkat desa masih
mera sa keb i ngungan . Dengan
peraturan baru, prosedurnya panjang.
Penatausahaan dan lain-lain alurnya
panjang. Lebih rumit tetapi lebih
tertata. Kalau SDM-nya tidak menguasai
alur termasuk teori dan praktiknya bisa
kesulitan, terang Yuli.
Pemahaman perangkat dipengaruhi oleh
faktor kebiasaan. Dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDesa) t im penyusun mas ih
mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan
dalam penyusunan APBDesa sebelumnya,
tim penyusun terbiasa menggunakan
angka perkiraan. Sementara sekarang
nominal pada APBDesa harus mengacu
pada angka riil. Artinya, sebelum
menyusun nominal yang masuk dalam
APBDesa, tim penyusun harus melakukan
survei harga terlebih dahulu.
Tantangan kapasitas sumber daya
manusia menjadi tantangan di level
desa. Hal senada juga diakui oleh Agus
Martono Kepala Desa Wulungsari,
Kecamatan Selomerto, Kabupaten
Wonosobo. Peralihan sistem pengelola-
an keuangan menuntut perangkat desa
untuk banyak belajar dan beradaptasi.
D ia mengaku t idak mudah bagi
perangkat desa untuk menyesuaikan diri
dengan pola dan sistem yang baru.
Selain prosedur teknis penatausahaan,
pemahaman peran masing-masing
perangkat atau struktur pengelola
keuangan belum dipahami. Menurut Roy
Salam, peneliti di Indonesia Budget
Center (IBC) Jakarta, kondisi tersebut
terjadi karena proses pengelolaan
LAPORAN UTAMA
Mengeja
Pengelolaan
Keuangan Desa
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (UU Desa), terdapat perubahan mekanisme tata
kelola keuangan desa. Di samping besaran dana yang diterima
lebih besar, kewenangan desa dalam pengelolaan keuangan juga
lebih leluasa, mulai dari perencanaan, penganggaran, realisasi,
pelaporan hingga pertanggungjawaban.
keuangan selama ini membuat pasif
perangkat desa. Peran kepala desa
dalam pengelolaan keuangan desa masih
sangat sentral. Sehingga pelaksana
teknis keuangan atau perangkat desa
hanya menunggu instruksi kepala desa.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 113 Tahun 2014, tim
pengelola keuangan terbagi menjadi dua
yakni pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan desa (PKPD) dan pelaksana
teknis pengelolaan keuangan desa
(PTPKD). Pemegang kekuasaan dijabat
oleh kepala desa selaku pemimpin di
desa yang dipilih secara demokratis.
Sementara, pelaksana teknis diisi oleh
unsur perangkat sesuai bidangnya yang
dikoordinasikan sekretaris desa. Masing-
masing mempunyai tugas dan kewe-
nangannya. Di salah satu desa di
Kabupaten Takalar, kepala desa
menyusun seluruh dokumen perencana-
an keuangan desa. Sementara perangkat
yang lain belum mengetahui tugas dan
Dok. Infest
3Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan
Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa setidaknya mengatur
mekanisme pertanggungjawaban dalam pengelolaan
keuangan desa. Mekanisme yang dimaksud dapat
dikelompokkan menjadi t iga model, yaitu model
pertanggungjawaban di internal perangkat desa, model
pertanggungjawaban kepada pemerintah kabupaten, dan
model pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Model akuntabilitas internal adalah yang seperti dimaksud
Pasal 32 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa. Pasal tersebut mengatur model
akuntabilitas yang harus dilaksanakan oleh seluruh Pelaksanan
Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD). Di dalamnya
menyatakan bahwa bendahara dalam melakukan transaksi
pengeluaran satu rupiah pun harus melalui Rencana Anggaran
Biaya (RAB)yang diajukan oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dan sudah disahkan oleh kepala desa.
RAB tersebut juga sebelumnya diverifikasi oleh sekretaris desa
selaku Koordinator PTPKD. Tidak cukup RAB yang disahkan
oleh kepala desa, tetapi harus ada pengajuan Surat
Permintaan Pembayaran (SPP) dari TPK yang disetujui oleh
kepala desa selaku Pengguna Anggaran Desa dan sebelumnya
sudah dilakukan verifikasi oleh sekretaris desa. Dengan dasar
itu maka kepala desa baru bisa memerintahkan kepada
Bendahara untuk melakukan pembayaran sejumlah yang
diajukan.
Mekanisme ini mengatur bahwa bendahara tidak boleh
melakukan transaksi pengeluaran tanpa ada pengajuan dari
TPK yang diverifikasi oleh Sekdes dan disahkan serta disetujui
oleh kepala desa. Bendahara desa haram mengeluarkan
uang desa tanpa ada perintah dari kepala desa. Kepala desa
juga haram memberikan perintah membayar kepada
bendahara desa tanpa proses pengajuan dari TPK yang
diverifikasi oleh sekretaris desa.
Pengelolaan keuangan desa yang transparan dan partisipatif sejak
perencanaan hingga pertanggungjawaban, berpengaruh terhadap akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan desa. Masyarakat tidak akan terlibat dalam
pengelolaan keuangan desa jika pemerintah desa tidak transparan dalam
pengelolaan keuangan. Begitu juga akuntabilitas tidak akan terwujud jika tidak
ada transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan keungan desa. Artinya tiga
prinsip tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri dengan urutan:
transparansi partisipasi akuntabilitas.
Mengukur Akuntabilitas
Pengelolaan Keuangan Desaoleh: Darwanto*
OPINI
Dok. Infest
5Merdesa | Edisi 2 | November 2015
kewenangannya. Seharusnya, pengaku-
an kewenangan diatur melalui surat
keputusan (SK) kepala desa, terang Roy.
Selain kewenangan perangkat di tingkat
desa, peran Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) pun masih jauh dari yang
diharapkan. Padahal BPD mempunyai
peran besar dalam rangkat mendukung
dan mengawasi pembangunan di desa,
khususnya dalam pengelolaan keuangan.
Sebagai representasi warga, BPD
bersama kepala desa membahas dan
menyepakati perencanaan keuangan
desa.
Tantangan di Tingkat Supradesa
Tidak hanya di tingkat desa, tantangan
pengelolaan keuangan juga terjadi di
tingkat supradesa, baik kecamatan
maupun kabupaten . Se r i ngka l i
tantangan yang dihadapi di tingkat
supradesa berdampak langsung kepada
pengelolaan keuangan di desa.
Menurut Aldhiana Kusumawati, Kasubag
Pertanahan di Bagian Pemerintahan
Setda Kabupaten Wonosobo, dinamika
kebijakan tentang desa pada kurun
waktu 2015 membuat daerah harus
responsif dan cepat dalam memfasilitasi
petunjuk teknis bagi desa. Peraturan dan
petunjuk pelaksanaan dalam UU Desa
yang bersifat teknis terkadang mem-
batasi kreativitas daerah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua
Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten
Seluruh Indonesia, Mardani H Maming. Ia
menyoroti perubahan regulasi tentang
penyaluran Dana Desa di tingkat pusat.
Kondisi tersebut menyebabkan ter-
hambatnya proses penyaluran Dana Desa
dari kabupaten ke desa karena
kabupaten harus menyusun ulang
perubahan pendapatan dan belanja
daerah.
Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta
pertengahan Agustus lalu, Johan Budi,
Komisioner Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), menyebutkan aspek
terpenting dalam pengelolaan keuangan
ialah pengawasan. Juni lalu, KPK merilis
kajian tentang potensi masalah dalam
pengelolaan Dana Desa. Lebih lanjut,
Johan menjelaskan ada tiga tantangan
dalam pengelolaan keuangan desa, yakni
regulasi, kapasitas perangkat di setiap
desa, dan mekanisme pengelolaan
keuangan. Masih sedikit kabupaten
yang mengelola layanan pengaduan
masyarakat. Layanan ini seharusnya bisa
menjadi alat kontrol yang efektif.
Sehingga publik bisa mengetahui untuk
apa dan bagaimana APBDesa diguna-
kan, terang Johan.
Selain tantangan di tingkat regulasi,
proses fasi l i tasi kabupaten dan
kecamatan belum berlangsung lancar.
Selain kurangnya penguasaan dan
pemahaman teknis pengelolaan
keuangan, pendekatan yang dilakukan
supradesa seringkali menimbulkan
kegalauan perangkat di tingkat desa.
Kami sering diweden-wedeni (ditakut-
takut i ) . Ka lau desa mengalami
kebingungan, konsultasi di kecamatan.
Ternyata, (kecamatan) juga tidak
menguasai. Kalau pehamanan kurang
sreg, kami cari tahu di kabupaten.
Kondisi sama, entah karena beban
pekerjaan atau penguasaan, keluh Yuli.
Pentingnya Partisipasi
Dalam UU Desa disebutkan bahwa
keuangan desa merupakan semua hak
dan kewajiban desa yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu berupa
uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
di desa. Sementara pengelolaan
keuangan desa merupakan keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan
dan pertanggungjawaban di desa.
Pengelolaan keuangan desa didasarkan
pada empat asas yakni transparansi,
akuntabilitas, partisipasi, dan tertib
anggaran. Transparansi atau keterbuka-
LAPORAN UTAMA 4
an bermakna bahwa masyarakat berhak
untuk mengetahui dan mendapatkan
akses informasi seluas-luasnya tentang
anggaran desa. Keduanya turut
mendukung akuntabilitas pengeolaan
keuangan desa.
Yando Zakaria dari Karsa Yogyakarta
mengungkapkan bahwa yang terpenting
dalam pengelolaan keuangan ialah
perencanaan dan pengawasan. Dalam
perencanaan, masyarakat mempunyai
hak penuh untuk terlibat dalam
menentukan arah pembangunan di desa.
Begitu pula dalam proses pengawasan.
Masyarakat desa mampu memanfaat-
kan peluang untuk pengawasan. Dana itu
akan efektif tergantung dua hal:
perencanaan yang baik dan pengawasan
yang kuat, terang Yando.
Hal senada juga diungkapkan oleh Frisca
Arita Nilawati, Manajer Program Desa
Infest Yogyakarta. Mandat UU Desa ialah
menyejahterakan warga. UU Desa
memberikan ruang bagi warga untuk
terlibat dalam perencanaan desa.
Khususnya, untuk mengawal program-
program pembangunan yang berpihak
kepada masyarakat dan inklusif. Ruang-
ruang seperti musyawarah desa sangat
strategis untuk mengawal program
pembangunan desa.
Salah satu problem pembangunan,
menurut Fr i sca, adalah karena
ketidakhadiran negara. Program-
program pelayanan dasar seringkali
menimbulkan problem di kalangan
masyarakat karena ketidakakuratan
data. Sementara UU Desa ini bisa
menjamin kewenangan lokal skala desa,
termasuk dalam melakukan pendataan.
Hal itu memungkinkan desa untuk
melibatkan warga dalam proses
pendataan sebagai basis perencanaan
desa. Pemerintah desa juga berkewajib
-an untuk rutin memberikan informasi
perencanaan dan pertanggungjawaban
APBDesa. Hal itu penting untuk proses
pengawasan oleh warga, terang Frisca.
[Sofwan]
Dinamika kebijakan tentang desa pada kurun waktu 2015
membuat daerah harus responsif dan cepat dalam
memfasilitasi petunjuk teknis bagi desa. Peraturan dan
petunjuk pelaksanaan dalam UU Desa bersifat sangat
teknis terkadang membatasi kreativitas daerah.
Aldhiana Kusumawati,
Kasubag Pertanahan di Bagian Pemerintahan
Setda Kabupaten Wonosobo
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Mekanisme lainnya di internal PTPKD adalah adanya
kewajiban bendahara desa yang harus membuat laporan
bulanan terkait perkembangan pengelolaan keuangan desa
paling lambat tanggal 10 pada bulan berikutnya. Model
akuntabilitas pengelolaan keuangan desa ini menuntut
kerjasama yang baik dan pemahaman yang sama di antara
pelaku pengelola keuangan desa. Salah satu pihak pelaku
pengelola keuangan desa yang tidak bisa bekerjasama dapat
menghambat terwujudnya akuntabilitas pengelolaan
keuangan di desa. Sehingga seluruh pihak PTPKD dituntut
untuk memahami tugas dan fungsi masing-masing serta
kerjasama yang kompak.
Model akuntabilitas kepada pemerintah kabupaten
sebagaimana yang diatur pada pasal 37 Permendagri 113/2014
mewajibkan pemerintah desa untuk memberikan laporan
realisasi pelaksanaan APBDesa pada semester I paling lambat
pada bulan Juli dan laporan realisasi semester akhir tahun
paling lambat pada bulan Januari tahun berikutnya. Bahkan,
Pasal 38 mewajibkan pemerintah desa melalui kepala desa
membuat peraturan desa tentang laporan pertanggung-
jawaban APBDesa kepada bupati paling lambat bulan Januari
pada tahun berikutnya.
Model akuntabilitas kepada masyarakat diatur dalam Pasal 38
Permendagri 113/2014 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa. Pemerintah desa wajib melaporkan kepada
masyarakat terkait pelaksanaan APBDesa secara tertulis dengan medium informasi yang mudah diakses oleh
masyarakat. Ini juga masuk dalam bentuk transparansi
pengelolaan keuangan di desa. Selain itu masyarakat juga
memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap
kegiatan pengelolaan keuangan desa khususnya pada
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang bersumber dari APBDesa.
Pemerintah desa juga wajib menyediakan ruang-ruang
pengaduan masyarakat dan membuat mekanisme pengaduan
yang sistematis sampai tersedianya mekanisme keluhan
(complain mechanism).
Akuntabilitas Administratif VS Substantif
Akuntabilitas administratif (administrative accountability)dapat diartikan sebagai pengelolaan keuangan desa harus
dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.
Pertanggungjawaban administratif menuntut pengelolaan
keuangan desa harus dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
lengkap dan sah. Penerimaan dan pengeluaran harus sesuai
dengan prosedur yang ada dengan bukti-bukti yang lengkap
dan dicatat sebagaimana mestinya.
Misalnya dalam kegiatan pengadaan laptop untuk menunjang
sistem informasi desa, TPK harus dapat membutikan kuitansi
atau nota/faktur atas pembelian barang tersebut. Dalam
mekanisme pendanaannya pun sudah melalui prosedur dengan
pengesahan RAB oleh kepala desa dan persetujuan pembelian
barang tersebut sesuai dengan pos anggaran yang ada dalam
APBDesa.
Akuntabilitas substantif dapat diartikan bahwa pengelolaan
keuangan desa harus dapat dipertanggungjawab sesuai dengan
realisasi. Di samping administrasinya lengkap dan sah, tapi
perlu dibuktikan dengan realisasi yang sebenarnya. Kuitansi,
nota, serta faktur merupakan kelengkapan secara
administratif yang sah, namun tidak menjamin bahwa
pelaksanaan kegiatan itu sudah berjalan sebagaimana
mestinya. Sehingga perlu ada pemeriksaan investigatif yang
dilakukan oleh lembaga berwenang untuk melakukan
pemeriksaan secara mendalam. Berbagai kasus yang terjadi
dalam pengelolaan keuangan di lembaga pemerintah terjadi
karena hanya memenuhi kebutuhan akuntabilitas secara
administratif saja, namun mengabaikan akuntabilitas secara
substantif.
Tantangan terbesar bagi pengelolaan keuangan desa
mewujudkan pengelolaan yang akuntabel, baik secara
administratif maupun substantif. Dibutuhkan keseriusan
semua pihak Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Daerah
(PTPKD), mulai dari kepala desa selaku Pengguna Anggaran
Desa, sekdes selaku koordinator PTPKD, hingga bendahara
desa dan Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Di samping itu,
dibutuhkan pua keseriusan dari lembaga pemeriksa di daerah.
Masyarakat juga harus ikut serta mengawasi pelaksanaan
pengelolaan keuangan desa. Dengan pengelolaan keuangan
desa yang akuntabel secara administratif maupun substantif,
maka akselerasi pembangunan di desa akan cepat tercapai
sesuai dengan ruh dan semangat UU Desa.
Darwanto,Law and Budget Politics Coordinator
Indonesia Budget Center
Pemerintah desa wajib
melaporkan kepada masyarakat
terkait pelaksanaan APBDesa
secara tertulis dengan medium
informasi yang mudah diakses
oleh masyarakat. Ini juga masuk
dalam bentuk transparansi
pengelolaan keuangan di desa.
Selain itu masyarakat juga
memiliki hak untuk melakukan
pengawasan terhadap kegiatan
pengelolaan keuangan desa
khususnya pada pelaksanaan
kegiatan-kegiatan yang
bersumber dari APBDesa.
OPINI 6Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Saat Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa) disahkan, tidak sedikit
pihak yang ragu dan pesimis.
Bahkan, ada yang dengan tegas
mengatakan dana desa hanya akan
mengalihkan korupsi dari pusat dan
daerah ke desa. Namun, saya menjadi
bagian dari banyak orang yang memiliki
optimisme bahwa UU Desa adalah jalan
mewujudkan kesejahteraan masyarakat
desa. Sekaligus jalan bagi pemberan-
tasan korupsi itu sendiri. Keyakinan ini
didasarkan pada esensi demokrasi yang
meletakkan kedaulatan rakyat sebagai
sarana mewujudkan cita-cita keadilan
sosial.
Kalau ingin menyejahterakan rakyat
maka rakyat harus menjadi subjek
pembangunan; kalau ingin memberan
tas korupsi maka bangkitkan kekuatan
rakyat. Sebab, rakyat adalah aktor
utama dalam perencanaan, penganggar
-an, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi.
Menjawab Pesimisme
Tidak dipungkiri bahwa praktik-praktik
korupsi terjadi di desa. Pesimisme itu
OPINI
akan terjadi kalau kita hanya berpangku
tangan. Tak sedikit inisiatif desa yang
diniatkan untuk pengelolaan keuangan
yang transparan dan akuntabel. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
desa siap melaksanakan mandat UU Desa.
Usaha itu terus berjalan, baik yang
diinisiasi oleh warga, LSM, Perguruan
tinggi maupun pemerintah. Untuk
memperkuat keyakinan itu, maka perlu
memperluas ruang partisipasi untuk
mendorong transparansi dan membangun
akun tabilitas keuangan desa.
Perluasan ruang partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan dan
pengelolaan keuangan desa mutlak
dilakukan. Tak kalah penting, pema-
haman kepada masyarakat bahwa UU
Desa tidak hanya perkara uang, tetapi
juga pengakuan kewenangan desa untuk
meningkatkan kesejah teraan. Sejumlah
uang yang dikelola desa adalah sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan.
Sehingga, semakin efektif dan efisien
pengelolaan Dana Desa, maka proses
kemajuan dan pemerataan kesejahteraan
bisa lebih cepat. Tentu saja, bermodalkan
gotong royong dan musyawarah.
Oleh: Sinam M. Sutarno
Meningkatnya alokasi anggaran yang dikelola desa adalah salah satu upaya
untuk memaksimalkan kewenangan desa dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Makin dekatnya kewenangan dan anggaran ke tangan rakyat membuka
peluang luas bagi terwujudnya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas
keuangan desa sebagai perwujudan semangat gotong royong di desa. Indonesia
bersih bisa kita mulai dari desa.
Apatisme menjadi tantangan untuk
mendorong partisipasi. Selain itu,
terbatasnya ruang bagi tumbuhnya ide
dan gagasan. Kondisi tersebut diperburuk
dengan ketidakpercayaan pemerintah
desa kepada warga ataupun sebaliknya.
Maka, pendekatan harus dimulai dari
manusianya. Aparat pemerintah desa
harus membuka diri terhadap ide,
gagasan, dan kritik masyarakat. Ruang-
ruang diskusi tentang arah pembangunan
desa harus diperbanyak dan tentu dengan
bahasa yang mudah dipahami.
Banyak organisasi kemasyarakatan desa,
baik yang didirikan oleh pemerintah desa,
pemerintah pusat, LSM maupun yang
tumbuh alami seperti LPM/LKMD, karang
taruna, PKK, kelompok tani, kelompok
nelayan, koalisi perempuan, posyandu,
klub sepakbola, koperasi, rukun tetangga
(RT), rukun warga (RW), forum
keagamaan, dan lain-lain merupakan
potensi desa. Organisasi-organisasi
tersebut dapat menjadi wadah partisipasi
warga serta ujung tombak proses
pembangunan di desa. Tugas pemerintah
desa bisa dimulai dengan merevitalisasi
organisasi kemasyarakatan yang ada di
desa.
Dok. Infest
7Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Untuk memperkuat organisasi masyarakat di desa ini setidaknya
ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, memfasilitasi
organisasi di desa untuk merumuskan cita-cita dan merencakan
program kerja yang diselaraskan dengan perencanaan
pembangunan desa. Memastikan semua organisasi terlibat
dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan desa. Kedua,
mengalokasikan anggaran bagi organisasi desa secara rutin
untuk menjalankan program-programnya. Alokasi ini bukan
bantuan melainkan berbasis perencanaan program masing-
masing organisasi. Ketiga, membangun komitmen antikorupsi di
semua organisasi desa.
Transparansi Keuangan Desa
Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang bersih,
transparansi atau keterbukaan menjadi syarat utamanya.
Karena dengan transparansi semua orang akan tahu dan bisa
tergerak untuk menjadi bagian penting dalam pembangunan
desa. Pengelolaan keuangan desa yang transparan menjadi
kewajiban pemerintah desa. Semua masyarakat berhak tahu
dan tugas pemerintah menjamin semua orang bisa tahu.
Untuk menjamin transparansi keuangan setidaknya dibutuhkan
beberapa hal. Pertama, komitmen kuat dari penyelenggara
pemerintah desa untuk menerapkan prinsip-prinsip anti korupsi.
Diikuti dengan pembuatan regulasi dan sistem yang menjamin
pelaksanaanya. Misalnya, kebijakan tentang pengelolaan
keuangan terbuka, membuat laporan berkala, APBDesa on line,
dan lain sebagainya.
Kedua, meningkatkan efektifitas pengawasan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Selama ini, peran pengawasan
yang dilakukan BPD belum maksimal. Fungsi ini harus diperkuat
agar keseimbangan penyelenggaraan pemerintahan desa bisa
terwujud. Efektivitas fungsi pengawasan tidak lepas dari proses
pemilihan anggota BPD yang baik sehingga menghasilkan
anggota yang memiliki kepedulian, kemampuan dan komitmen.
Ketiga, sistem informasi pengelolaan keuangan yang menjamin
dan memudahkan warga untuk mengetahui dan memahami.
Pasal 82 ayat (4) UU No 6 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan
kewajiban pemerintah desa untuk menginformasikan
perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan keuangan desa
kepada masyaraat melalui layanan informasi paling sedikit satu
tahun sekali. Kewajiban menginformasikan ini harus
dilaksanakan secara serius dan bukan sekadar menggugurkan
kewajiban. Transparansi harus bisa membangun suasana dialog.
Maka, pemerintah desa sebaiknya memilih media yang tepat,
baik yang bersifat off air (temu warga, koran desa, papan
informasi, pertunjukan), on air (siaran di radio komunitas atau
televisi komunitas) maupun on line (Website Desa, Facebook,
Youtube).
Keempat, memfasilitasi terselenggaranya pengawasan oleh
masyarakat. Maka perlu ditanamkan pemahaman dan kesadaran
bahwa Dana Desa adalah hak masyarakat. Tidak kalah penting
adalah menumbuhkembangkan nilai-nilai anti korupsi,
kejujuran, dan integritas. Pemberantasan korupsi bukan hanya
soal penindakan, tetapi juga pencegahan. Kuncinya, pemerintah
desa harus terbuka terhadap kritik, sekalipun pahit tetapi akan
menyehatkan.
Akuntabilitas Dana Desa
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penyelenggara
pemerintahan desa kepada masyarakat. Secara administratif,
pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa sudah diatur
melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri maupun
peraturan daerah. Bahkan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) pun sudah meluncurkan satu aplikasi
sistem tata kelola keuangan desa. Beberapa desa yang dibantu
oleh teman teman LSM juga sudah mulai mengembangkan
sistem pengelolaan keuangan desa agar transparan dan
akuntabel. Namun perlu diingat bahwa berjalannya sistem tidak
terlepas dari kapasitas manusianya. Sebab, akuntabilitas tidak
sekedar administratif.
Pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan keuangan
desa harus bisa disajikan dalam laporan yang akurat, efektif,
efisien, serta bermanfaat. Jadi juga harus dilihat manfaat yang
diterima masyarakat dan kontribusinya bagi visi misi
pembangunan desa. Efektif dan efisien berarti keuangan desa
digunakan sesuai prioritas dan kebutuhan.
Kepala desa memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban program dan keuangan kepada BPD,
masyarakat, dan pemerintah kabupaten. Seyogyanya
pemerintah desa kreatif menyajikan laporan sehingga mudah
dipahami oleh masyarakat, Seperti pengalaman Radio
Komunitas Wiladeg di GunungKidul yang memanfaatkan acara
tradisional Rasulan. Di acara ini kepala desa membacakan
perkembangan desa di hadapan warga dan disiarkan melalui
radio komunitas.
Desa yang dekat dengan nilai moral, etik, dan gotong royong
sangat mendukung implementasi UU Desa serta pengelolaan
keuangan desa yang transparan dan akuntabel. Nilai-nilai itu
menjadi modal untuk mewujudkan desa bersih dan budaya anti
korupsi. Semua bertumpu pada kekuatan dan kesadaran rakyat
desa. Mari kita mulai pemberantasan korupsi dari desa.
Keberhasilan UU Desa bisa terwujud manakala semua rakyat
desa bergerak membangun desanya. Dana Desa harus
digerakkan dan menggerakkan. Dana Desa menjadi medan bagi
rakyat desa untuk menyatakan perang terhadap korupsi.
OPINI8
Sinam M Sutarno
Ketua Jaringan Radio
Komunitas Indonesia (JRKI),
Anggota Forum Desa Nusantara
Dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa yang bersih,
transparansi atau keterbukaan
menjadi syarat utamanya.
Karena dengan transparansi
semua orang akan tahu dan bisa
tergerak untuk menjadi bagian
penting dalam pembangunan
desa.
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Juni lalu, KPK merilis kajian tentang 14 potensi persoalan
dalam pengelolaan Dana Desa. Sejauh mana usaha yang
akan dan sudah dilakukan untuk mencegah potensi itu
terjadi?
Kajian KPK terkait pelaksanaan UU Desa berkaitan dengan
pengelolaan sekaligus pengawasan Dana Desa dan Alokasi
Dana Desa. Beberapa hal yang sudah dilakukan oleh KPK
yakni pertama, memberikan rekomendasi dari hasil kajian
tersebut kepada Kementerian Desa, Kementerian Dalam
Negeri , Kementerian Keuangan dan juga bekerjasama
dengan BPKP. Pelaksanaan rekomendasi ini dalam bentuk
action plan yang dilakukan oleh Kementerian melalui
pantauan KPK. Kedua, bekerja sama dengan komponen
masyarakat lain dalam kaitan dengan pengawasan dengan
melibatkan secara aktif baik itu LSM maupun Jaringan
Komunitas Radio yang ada di Indonesia. Ketiga, melakukan
kampanye dan sosialisasi secara bersama sama dengan
Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, pemerintah
daerah, dan komponen masyarakat lainnya.
Bagaimana KPK mengantisipasi praktik-praktik atau
proyek-proyek titipan kecamatan, titipan kabupaten
seiring dengan besarnya dana di desa?
Tentu KPK tidak melakukan pengawasan secara langsung
dengan menerjunkan personil tetapi melalui peningkatan
pemahaman teknis maupun peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan Dana Desa melalui kampanye, pendidikan, dan
sosialisasi kepada pelaksana di lapangan atau birokrasi.
Melibatkan peran serta masyarakat dalam arti luas untuk ikut
mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan dana desa
tersebut.
Menurut Anda, apa tantangan pengelolaan keuangan bagi
Desa pasca UU Desa disahkan?
Tantangan kedepan berkaitan dengan pemahaman dan teknis
penggunaan Dana Desa di tingkat Desa. Dari pengamatan
KPK, kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di masing-masing
daerah, letak geografis serta budaya (local wisdom) akan
WAWANCARA
Dana Desa Harus Bisa
Menyejahterakan Rakyat
wawancara
dengan
Johan Budi
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI)
gencar melakukan kampanye tentang pengawasan Dana Desa.
Johan Budi, Komisioner KPK, selalu mengungkapkan bahwa Dana
Desa harus bisa menyejahterakan rakyat. Untuk itu, ia mengajak
seluruh elemen negeri, khususnya warga desa, untuk aktif dalam
mengawasi penggunaan Dana Desa.
9Merdesa | Edisi 2 | November 2015
ikut menentukan keberhasilan pengelolaan Dana Desa yang
bisa dinikmati untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Disamping itu, aturan pelaksanaan yang sampai saat ini
belum selesai baik yang berkaitan dengan UU maupun
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU, akan juga
ikut menentukan keberhasilan pelaksanaan di tingkat Desa.
Di sisi lain, aparatur desa juga diberi tanggung jawab untuk
menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran (Dana
Desa). Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat tidak
seragamnya kualitas SDM di masing-masing desa di Indonesia.
Terkait kajian KPK tentang potensi persoalan Dana Desa
dalam aspek regulasi dan kelembagaan, misalnya soal
potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian
Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri,
komunikasi macam apa yang sudah dilakukan KPK
terhadap pihak tersebut? Apa respon dan tindakan dua
pihak terkait?
Dari hasil kajian, beberapa rekomendasi telah disampaikan
KPK kepada pihak pemerintah. Rekomendasi tersebut diikuti
langkah dengan melakukan program kerja (action plan) yang
masing-masing Kementerian akan dipantau oleh KPK. Ada
progress report (laporan perkembangan) yang disampaikan
Kementerian kepada KPK. Misalnya usulan perubahan PP
yang pernah disampaikan oleh KPK. Hasil tersebut dievaluasi
secara reguler. Saat ini kegiatan tersebut masih berlangsung.
Bagaimana sebaiknya praktik pengawasan yang bisa
dilakukan warga dan pemerintah supra desa terhadap
besarnya Dana Desa?
Pengawasan penggunaan dan pengelolaan Dana Desa dan
Alokasi Dana Desa harus dilakukan secara simultan dari pihak
pemerintah (lembaga auditor) dan masyarakat. Dari pihak
auditor tentu melakukan audit terkait pelaksanaan dan
pengelolaan Dana Desa. Sementara dari sisi masyarakat bisa
secara langsung terlibat ikut menentukan ke mana dana itu
digunakan sekaligus melakukan pengawasan di tingkat
lapangan, apakah benar dana tersebut digunakan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat desa. Penyimpangan ini bisa
dilaporkan kepada penegak hukum sesuai tugas, pokok, dan
fungsinya (tupoksi).
September lalu tiga kementerian menandatangani surat
keputusan bersama untuk mempercepat proses transfer
Dana Desa dengan memangkas persyaratan dokumen
perencanaan desa seperti RPJMDesa dan RKPDesa.
Bagaimana tanggapan KPK mengenai regulasi ini?
KPK tentu tidak bisa masuk ke detail pelaksanaan teknis yang
memang menjadi kewenangan pemerintah baik di tingkat
pusat maupun daerah. Bagi KPK, yang penting adalah Dana
Desa dan Alokasi Dana Desa itu tepat sasaran dan tepat guna.
Artinya, dana itu dikelola memang sebesar-besarnya untuk
kemakmuran atau kebutuhan masyarakat desa.
Menurut Anda, apa saja yang harus dilakukan Kepala Desa
untuk terhindar dari jerat praktik tindak pidana korupsi?
Kepala Desa harus benar-benar memahami proses maupun
pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa dan secara aktif
berkomunikasi dengan komponen desa baik itu LKMD, Karang
Taruna atau komponen masyarakat yang lain. Selain itu,
berdiskusi dan berkoordinasi dengan auditor di daerah
menjadi salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam
menerapkan atau menggunakan Dana Desa tersebut.
Dalam beragam diskusi dengan Kepala Desa dan warga,
banyak yang d iantaranya yang mengutarakan
ketakutannya untuk menggunakan Dana Desa karena takut
terjerat korupsi. Bagaimana tanggapan Anda mengenai
ketakutan ini?
Seringkali ketakutan untuk menggunakan Dana Desa adalah
terjerat korupsi atau berurusan dengan penegak hukum.
Ketakutan ini sebenarnya tidak beralasan meskipun memang
tidak bisa disalahkan, sepanjang penggunaan Dana Desa dan
alokasi Dana Desa dilakukan memang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan tidak ada
niat untuk mengorupsi maka tidak perlu ada ketakutan.
Salah satu kajian KPK juga menyoroti potensi pelanggaran
Pendamping Desa. Apa yang telah dilakukan KPK, dalam
hal ini dengan Kementerian terkait, dalam mengantisipasi
hal tersebut?
Soal tenaga pendamping sepenuhnya memang menjadi
domain dari Kementerian Desa dan PDT, KPK dalam konteks
ini lebih pada kebijakan makronya.
Menurut Anda, apa saja yang dapat dilakukan untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawasi
keuangan desa?
Peran masyarakat dalam hal ini harus terlibat sejak mulai
penyusunan RAPBDesa sampai pengawasan di tingkat
lapangan dalam penggunaan Dana Desa.
Apa seruan Anda, sebagai pimpinan KPK, terhadap warga
desa khususnya, dalam fungsinya sebagai pengawas
Pemerintah Desa atas kuasa pengelolaan keuangan desa?
Harus dipahami bahwa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa
dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat desa. Warga
desa punya hak untuk menanyakan, mengawasi sekaligus
juga berperan secara aktif dalam penggunaan Dana Desa dan
Alokasi Dana Desa. []
WAWANCARA10
Peran masyarakat dalam hal
ini harus terlibat sejak mulai
penyusunan RAPBDesa
sampai pengawasan di
tingkat lapangan dalam
penggunaan Dana Desa.
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Menurut Anda, bagaimana konsep Desa Impian atau
Desa Mandiri?
Saya biasanya menganalogikan Desa Impian itu seperti pulau
harapan. Di dalamnya ada penghuni yang mampu
menentukan ingin bekerja sebagai apa dan hidup bagaimana.
Kemudian, di dalam pulau itu ada kerjasama kolektif yang
dilakukan secara gotong-royong. Terakhir, penghuni pulau itu
juga mampu menghidupi dir inya sendir i dengan
mengandalkan potensi sumber daya yang mereka miliki.
Gambaran ini sebetulnya menyiratkan tiga hal penting
mengenai visi desa impian itu. Pertama, dari sisi manusianya,
masyarakat desa adalah masyarakat yang memiliki stok
pengetahuan yang cukup dan kondisi kesehatan yang baik dan
memungkinkan mereka menentukan pilihan atas jalan hidup
mereka masing-masing. Kedua, secara sosial, masyarakat
desa adalah subjek yang ikut terlibat aktif dalam
pembangunan di desanya. Ketiga, secara ekonomi,
masyarakat desa hidup dalam keadaan sejahtera karena ada
aktivitas ekonomi yang dinamis dengan memanfaatkan
potensi sumber daya lokal.
Bagaimana cara mewujudkan Desa Impian itu?
Mewujudkan Desa Impian hanya bisa dilakukan dengan cara
menerapkan strategi pembangunan dari bawah (bottom-up
strategy). Artinya, masyarakatlah yang harus menjadi aktor
utama pembangunan. Tugas pemerintah selanjutnya adalah
memfasilitasi, memberikan jaminan dan perlindungan, serta
menciptakan ruang yang memungkinkan bagi jalannya
partisipasi di tingkat masyarakat.
Apa saja prasyarat yang dibutuhkan untuk
mewujudkan Desa Impian?
Saya kira yang pertama adalah adanya political will dari
pemerintah untuk mendelegasikan pengambilan keputusan
kunci pada masyarakat desa. Sebab, tanpa prasyarat ini
masyarakat desa akan terus terkungkung dan tidak memiliki
ruang untuk menyalurkan apa yang sebenarnya mereka
inginkan. Kedua, partisipasi aktif dari masyarakat. Tanpa
partisipasi, cita-cita untuk mewujudkan Desa Impian hanya
akan menjadi omong kosong belaka.
Siapa yang harus menyiapkan prasyarat itu?
Masyarakat bersama pemerintahlah yang harus menyiapkan
semua prasyarat itu. Masyarakat sebagai aktor utama
pembangunan harus berperan aktif mewujudkan apa yang
mereka inginkan. Sedangkan pemerintah berperan
menciptakan ruang dan mendorong agar partisipasi itu dapat
berjalan. Persoalannya, partisipasi hanya dapat berjalan jika
masyarakat merasa bahwa hal itu penting bagi mereka. Selain
itu, partisipasi juga mensyaratkan keberdayaan masyarakat
untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan. Di sinilah
relevansi peran pemerintah untuk ikut memberdayakan
masyarakat melalui program pendampingan yang saat ini
sedang dijalankan.
Apa tantangannya?
Pertama, masyarakat desa sudah terbiasa dengan praktik
pembangunan lama yang serba sentralistik. Kedua, sudah
mulai pudarnya nilai-nilai lokal termasuk nilai kebersamaan
dan gotong royong yang dulu masih dipegang teguh oleh
masayarakat desa. Ketiga, cara berpikir masyarakat yang
sudah mulai bergeser pada logika hitung dagang yang
memudarkan kelekatan sosial.
Dana Desa ramai menjadi perbincangan. Seberapa
penting Dana Desa bagi Desa?
Kalau dilihat dari segi nominal, jumlah Dana Desa yang
diterima tiap-tiap Desa sebenarnya tidak terlalu besar. Dana
Desa hanyalah salah satu bentuk armasi pemerintah kepada
desa untuk menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dalam
UU Desa. Tetapi dengan dana yang cukup terbatas itu, ada
harapan besar dari pemerintah agar dana tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk kegiatan pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga ke depan,
desa diharapkan menjadi mandiri.
KPK telah mengeluarkan kajian tentang potensi
penyelewengan penggunaan Dana Desa. Bagaimana
Kementerian Desa merespon dan mengantisipasi?
Kementerian Desa tentu saja sangat mengapresiasi upaya KPK
dalam memetakan potensi penyalahgunaan Dana Desa. Sejak
Tanpa Partisipasi,
Desa Impian Hanya
Omong Kosong Belaka
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi bersama Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan telah menandatangani Keputusan
Bersama tentang Percepatan Penyerapan, Penyaluran, dan
Penggunaan Dana Desa. Selain Dana Desa, Kementerian
Desa juga telah melakukan rekrutmen pendamping desa. Apa
dan bagaimana latar belakang serta urgensi dari kedua hal
tersebut? Berikut petikan wawancara Merdesa dengan Ahmad
Erani Yustika, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi.
wawancara
dengan
Ahmad Erani
Yustika
WAWANCARA 11Merdesa | Edisi 2 | November 2015
awal kami juga sudah mengantisipasi hal itu, di antaranya
melalui penetapan prioritas penggunaan Dana Desa,
bekerjasama dengan LKPP dan Kemendagri untuk monitoring
pro-aktif, serta menyiapkan tenaga pendamping. Peran
pendamping sangat penting untuk membantu dan memfasilitasi
desa dalam menggunakan Dana Desa secara benar, tepat
sasaran, dan tentu saja agar tidak melanggar hukum.
Dana Desa dipercaya dapat meningkatkan ekonomi
desa dan geliat ekonomi kerakyatan. Bagaimana
seharusnya Dana Desa digunakan?
Kementerian Desa telah mengeluarkan PermenDesa No.5/2015
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Dalam peraturan menteri tersebut telah diatur prioritas
penggunaan Dana Desa untuk dua hal: pertama, pembangunan
desa; dan yang kedua untuk pemberdayaan masyarakat desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan desa
dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan Desa. Tujuan
pembangunan di desa yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan
potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Sedangkan untuk
pemberdayaan masyarakat desa, Dana Desa difokuskan pada
peningkatan capacity building masyarakat desa.
Tiga kementerian telah menandatangani SKB untuk
mempercepat penyerapan, penyaluran, dan
penggunaan Dana Desa. Seberapa mendesak?
Sangat mendesak, mengingat bahwa hingga 11 September 2015
kemarin masih terdapat kurang lebih 29.000 desa yang sama
sekali belum menerima Dana Desa. Nah, SKB tersebut
dikeluarkan dalam rangka untuk mengatasi masalah itu.
Apa yang mendasari dikeluarkannya SKB itu?
Ada kendala penyaluran Dana Desa yang sifatnya birokrasi
prosedural yang terlalu rumit. Beberapa desa tidak bisa
melengkapi dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Selain
itu, kendala utama penyaluran Dana Desa ada di tingkat
Kabupaten/Kota, di mana masih banyak Kabupaten/Kota yang
belum mengeluarkan Perbup/Perwali mengenai penetapan
alokasi Dana Desa, Perbup tentang Pengelolaan Keuangan Desa,
Perbup tentang pengadaan barang dan jasa di desa, dan Perbup
tentang Penetapan Kewenangan Desa.
Masalah lainnya adalah beberapa Kabupaten/Kota belum
mencantumkan akun Dana Desa dalam APBD Kabupaten/Kota,
sehingga perlu dikeluarkan Perda tentang revisi APBD
kabupaten/Kota. Terakhir, cukup banyak desa yang belum
memiliki Rekening Kas Desa, sehingga menghalangi transfer dari
Kabupaten/Kota ke Desa. Substansi SKB adalah penyederhanaan
aturan dan syarat penyaluran Dana Desa. Untuk mencairkan
Dana Desa, desa cukup membuat APBDesa dan Peraturan Desa
tentang penetapan APBDesa yang template-nya sudah disiapkan
dalam lampiran SKB tersebut.
Adapun syarat-syarat lainnya, seperti RPJMDesa dan RKPDesa
dapat menyusul kemudian. Bagi Kabupaten/Kota yang belum
mencantumkan akun Dana Desa dalam APBD Kabupaten/Kota,
maka solusinya bisa dijalankan dengan cara segera
menganggarkannya mendahului penetapan Peraturan Daerah
tentang Perubahan APBD dengan cara menetapkan
Perbup/Perwali tentang Perubahan Penjabaran APBD tahun
2015. Dan masih banyak penyederhanaan lainnya yang bisa
dilihat dalam SKB tersebut.
Apakah hal tersebut tidak mereduksi UU Desa tentang
semangat perencanaan untuk Desa yang mandiri?
Sama sekali tidak. Karena SKB tidak membatalkan kewajiban
desa untuk membuat RPJMDesa dan RKPDesa. Yang
dinyatakan dalam SKB itu adalah bahwa RPJMDesa dan
RKPDesa dapat menyusul kemudian. Buktinya, dalam SKB itu
dinyatakan:
Dalam hal Pemerintah Desa belum menetapkan RPJMDesa
dan RKPDesa sebagai dasar penyusunan APBDesa,
Bupati/Walikota memerintahkan Camat dan aparat
kecamatan selaku pendamping aparat Pemerintah Desa serta
Pendamping Desa untuk segera memfasilitasi penyelesaian
Peraturan Desa tentang RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa.
Adapun jika RPJMDesa dan RKPDesa yang tersusun kemudian
menetapkan kebijakan baru tentang penggunaan Dana Desa
di tingkat desa lokal setempat, maka desa yang bersangkutan
dapat mengeluarkan Peraturan Desa baru tentang revisi
APBDesa yang telah dibuat sebelumnya.
Dalam sebuah diskusi di Kepatihan Yogyakarta,
muncul pendapat bahwa persoalannya karena
kurang padunya koordinasi antara Kementerian
Desa dengan kementerian Dalam Negeri. Bagaimana
menurut Anda?
Bisa jadi koordinasi yang berjalan selama ini memang belum
terlalu optimal. Tetapi kalau dikatakan kurang padu, saya kira
itu juga tidak sepenuhnya tepat. Buktinya SKB tiga
kementerian yang baru saja dikeluarkan merupakan bukti
koordinasi yang baik antara Kementerian Desa, Kemenkeu,
dan Kemendagri.
Di dalam SKB juga memutuskan percepatan pendamping
desa. Bagaimana konsep pendamping desa?
Begini konsepnya, pendampingan desa adalah bagian
kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi,
pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi desa yang
dilakukan oleh Kementerian Desa. Esensi kegiatan
pemberdayaan adalah adanya proses interaktif antara orang
yang mempunyai kekuatan dan pengetahuan dengan orang
yang kekuatan dan pengetahuannya lemah. Harapannya, akan
terjadi perubahan di mana pihak yang lemah bisa menjadi
lebih kuat baik secara individu maupun kolektif.
Apa saja kewenangan Pendamping Desa?
Pendamping desa berwenang mendampingi desa dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap
pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Pendamping Desa yang berwenang memast ikan
penyelenggaraan pembangunan desa sesuai dengan amanat
UU Desa.
Seberapa penting Pendamping Desa bagi proses
pembangunan dan kemandirian desa?
Sangat penting. Sebab esensi pembangunan berbasis
pemberdayaan adalah adanya proses interaktif antara orang
yang mempunyai kekuatan dan pengetahuan dengan orang
yang kekuatan dan pengetahuannya lemah. Harapannya, akan
terjadi perubahan di mana pihak yang lemah bisa menjadi
lebih kuat baik secara individu maupun kolektif. Nah, posisi
Pendamping Desa adalah sebagai pihak yang mempunyai
pengetahuan untuk membantu masyarakat mengembangkan
kapasitas dan daya inisiatifnya. []
WAWANCARA12 Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Beberapa hal menarik muncul
dalam Pelatihan Tata Kelola
Keuangan Desa yang dilaksana-
kan di Kabupaten Malang pada 3
6 september 2015. Pelatihan yang
bertempat di Desa Tunjungtirto ini
melibatkan tiga desa di Kabupaten
Malang, yaitu Desa Kucur, Jambearjo,
dan Tunjungtirto. Para kader Pembaharu
Desa mengungkapkan perbedaan
pemahaman tentang regulasi yang ada.
Kondisi tersebut menimbulkan pro dan
kontra dari beberapa pihak berkaitan
dengan implementasi UU Desa. Bahkan,
pembelajaran yang mereka dapatkan
sangat berbeda dengan pelaksanaannya
di lapangan yang setiap hari mereka
hadapi.
Dalam penatausahaan keuangan desa,
perangkat desa mengaku mas ih
kebingungan dengan regulasi yang ada,
Berjibaku dengan
Kebiasaan LamaOleh: Yudi Setiadi
CATATAN
PENGETAHUAN
Semangat kemandirian dan
kedaulatan desa
sebagaimana semangat
Undang-Undang (UU) Desa,
belum banyak dipahami
sebagai kewenangan desa
untuk mengurus
rumahtangganya sendiri.
Mentalitas sebagai obyek
pembangunan menjadikan
desa lebih banyak
menunggu kebijakan dan
instruksi dari
supradesa.Alih-alih untuk
bermimpi besar, desa masih
takut salah ketika hendak
menjalankan
kewenangannya. Selain
pemahaman yang masih
kurang pada level desa,
penghargaan terhadap
kedaulatan desa belum
sepenuhnya dipahami oleh
pemerintah supradesa, baik
di tingkat kecamatan
maupun kabupaten.
baik dari Peraturan Menteri (Permen)
maupun Peraturan Bupati (Perbup)
Kabupaten Malang. Pasal-pasal dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa belum bisa dipahami
sepenuhnya oleh pemerintah desa,
bahkan membingungkan. Salah satu poin
yang membingungkan ialah tentang
sumber penerimaan desa yang berasal
dari swadaya masyarakat yang harus
Dok. Infest
13Merdesa | Edisi 2 | November 2015
CATATAN
PENGETAHUAN14
dinilai dengan jumlah uang dan masuk
dalam pencatatan Pendapatan Asli
Desa.
Ketidakjelasan aturan ini menjadikan
pemerintah desa tidak memiliki
pedoman dan takut salah ketika hendak
melaksanakan kegiatan pembangunan
di desa. Pada pasal lain disebutkan
bahwa semua pendapatan dan belanja
desa harus tercatat dalam buku
rekening bank yang dimiliki desa. Aturan
ini tidak bisa dilaksanakan oleh
pemerintah desa karena swadaya
masyarakat tidak semuanya dalam
bentuk uang. Tenaga kerja misalnya,
yang dilakukan dengan cara gotong-
royong oleh masyarakat tidak bisa
tercatat dalam buku rekening bank yang
dimiliki oleh desa.
Kebingungan tersebut diungkapkan oleh
Abdul Karim, Kepala Desa Kucur. Selain
Permendagri 113, Perbup Kabupaten
Malang Nomor 17 yang mengatur
tentang pengadaan barang dan jasa
t idak mengatur secara spes ik
pelaksanaan kegiatan di desa. Padahal,
pelaksanaan kegiatan di desa ada yang
dilakukan dengan swakelola. Ada pula
yang dilakukan dengan melibatkan
pihak ketiga melalui tender. Selain
Perbup, dalam aturan yang lain pun
tidak ada yang mengatur tentang
batasan nilai berapa boleh melaksana
kan kegiatan dengan swakelola dan
pada batasan nilai kegiatan berapa
harus dilakukan dengan melibatkan
pihak ketiga. Ketidakjelasan aturan ini
menjadikan pemerintah desa tidak
memiliki pedoman dan takut salah
ketika hendak melaksanakan kegiatan
pembangunan di desa.
Bukan hanya kabupaten
Selain tidak jelasnya beberapa aturan
dalam penatausahaan keuangan desa,
para Kader Pembaharu Desa mengeluh
kan kebiasaan lama yang masih
dilakukan oleh pemerintah kecamatan
terkait evaluasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBDesa). Mereka
menganggap pemerintah kecamatan
masih menggunakan cara-cara lama
yang saat ini sudah tidak relevan untuk
digunakan.
Kewenangan evaluasi APBDesa sebagai
pelimpahan kewenangan dari pihak
kabupaten kepada kecamatan hingga
saat ini masih dilakukan dengan asal-
asalan. Dokumen APBDesa masih
dianggap sebagai dokumen formalitas
yang hanya digunakan sebagai syarat
pencairan Dana Desa (DD) dan Alokasi
Dana Desa (ADD). Bahkan, masih banyak
terjadi dokumen APBDesa dihasilkan
dari menyalin dokumen APBDesa desa
lain atau contoh APBDesa yang sudah
ada. Hal seperti itu justru dianjurkan
oleh pemerintah kecamatan kepada
desa dengan alasan yang penting cair.
Intervensi pihak kecamatan kepada
desa dengan argumentasi yang penting
cair masih dilakukan dalam proses
evaluasi APBDesa. Yuli, Sekretaris Desa
Tunjungtirto mengeluhkan bahwa hal
tersebut menjadikan pemerintah desa
tidak tahu mana yang salah dan mana
yang benar dalam pembuatan APBDesa.
Bahkan, ketika dalam dokumen APB
Desa terdapat jenis kegiatan yang salah
pos anggaran, pemerintah kecamatan
t idak melakukan evaluas i yang
semestinya. Sehingga APBDesa terkesan
dibuat buru-buru dan hanya digunakan
sebagai syarat pencairan dana.
Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh
pihak kecamatan tidak jelas untuk apa
dan untuk siapa, bahkan tidak ada bukti
sah yang diterima oleh desa setiap kali
pihak kecamatan melakukan pemotong
an.
Penatausahaan keuangan desa yang
partisipatif, transparan, akuntabel dan
tertib administrasi, bukan hanya
menjadi tantangan bagi pemerintah
desa. Ketika desa telah bergerak untuk
memperbaiki dir i dan membuat
inisiatif-inisiatif baru yang selama ini
bukan menjadi kebiasaan mereka.
Pemerintah dan kader pembaharu desa
sangat berharap respon dari pemerintah
supradesa yang tepat sesuai dengan apa
yang telah mereka lakukan.
Jika dokumen APBDesa telah dibuat
oleh desa dan sudah siap pada akhir
tahun, adakah jaminan desa bisa
mencairkan anggaran setiap awal tahun
pada bulan januari? pertanyaan kritis
dari Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.
Ketika perbaikan yang telah dilakukan
oleh desa tidak mendapatan respon
seperti yang diharapkan, atau bahkan
pemerintah supradesa tetap mengguna
kan cara lama, dengan intervensi dan
argumentasi yang penting cair, maka
bukan tidak mungkin, pengetahuan dan
proses pembelajaran bagi para Kader
Pembaharu Desa hanya akan menjadi
milik mereka pribadi tanpa ada
implementasi yang berarti. Keinginan
dan gagasan untuk memperbaharui desa
menjadi lebih baik akan berhadapan
dengan kenyataan dan kebiasaan dari
pemerintah supradesa yang masih
menggunakan cara-cara lama. Karena
itu, pemerintah kecamatan dan
pemerintah kabupaten juga harus
didorong untuk memperbaiki diri,
m e m a h a m i d a n m e n j a l a n k a n
kewenangannya. [Yudi Setiyadi]
Dokumen APBDesa masih
dianggap sebagai dokumen
formalitas yang hanya digunakan
sebagai syarat pencairan Dana
Desa (DD) dan Alokasi Dana
Desa (ADD). Bahkan, masih
banyak terjadi dokumen
APBDesa dihasilkan dari
menyalin dokumen APBDesa
desa lain atau contoh APBDesa
yang sudah ada. Hal seperti itu
justru dianjurkan oleh pemerintah
kecamatan kepada desa dengan
alasan yang penting cair.
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
CATATAN
PENGETAHUAN
ecara losos, Undang-Undang
SNomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU Desa) berbeda dengan
ketentuan tentang desa pada
tahun sebelumnya, 1965, 1979, 1999, dan
2004. UU Desa menekankan desa sebagai
subjek pembangunan dan mempunyai
otoritas dalam pengelolaan keuangan
desa. Nilai prakarsa, rekognitif dan
subsidiaritas menjadi ruh kedaulatan
desa.
Sebagai bagian dari pengakuan asas
subsidiaritas dan amanat UU Desa,
pemerintah menyalurkan dana desa
tahun ini. Dana desa bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Total alokasi dana desa pada 2015
sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa
di 434 kabupaten/kota di Indonesia.
Tahun pertama implementasi UU Desa,
peyaluran dana desa mendapat porsi
perhatian yang besar. Hal ini tidak
terlepas dari berbagai kendala yang
menyertai penyaluran dana desa. Ahmad
Erani, Direktur Jenderal Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi menyebut
banyak energi terbuang untuk penyaluran
dana desa.
Dalam diskusi tentang Perencanaan
Berbasis Data dan Pengelolaan Keuangan,
kerjasama Infest Yogakarta dan Harian
Kompas, (2/11) Erani menyebutkan
berdasarkan data yang dikumpulkan dari
403 kabupaten/kota, dana desa yang
telah disalurkan ke desa per tanggal 31
Oktober 2015 sebesar Rp 10,13 triliun
atau 48,93 persen dari total anggaran
dana desa tahun 2015.
Tumpang tindih kewenangan
Mantan Ketua Panitian Khusus Rancangan
UU Desa DPR, Akhmad Muqowwam
mengatakan regulasi tentang desa dari
beberapa kementerian sering tidak
sinkron. Hal ini menyebabkan pemerintah
desa b ingung dan terhambatnya
penyaluran dana desa. Tumpang tindih
kewenangan antara Kementerian Desa
dan Kemente r i an Da lam Nege r i
ditengarai turut menghambat penyaluran
dana desa.
Ahmad Muqowwam, menerangkan, sesuai
dalam UU Desa pasal 1 ayat 16 hanya
menyebut kementerian yang mengurusi
persoalan desa. Hanya saja, menurutnya,
dalam Peraturan Presiden Nomor 11 dan
12 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa
terkait pelaksanaan UU Desa dapat
dilakukan oleh dua kementerian, yakni
Kementerian Desa dan Kementerian
D a l a m N e g e r i . Tu m p a n g t i n d i h
kewenangan dua kementerian turut
membingunkan pemerintah kabupaten.
Aldhiana Kusumawati, dari Kabupaten
Wonosobo mengaku kerap kebingungan
ketika berkonsultasi ke Kementerian Desa
dan Kementerian Dalam Negeri tentang
p e m b u a t a n r e g u l a s i d i t i n g k a t
kabupaten.
Hal senada diungkapkan Syaiful Huda,
Staf Khusus Menteri Desa. Ia mengakui
bahwa ada pe rdebatan ten tang
kewenangan dua kementerian. Regulasi
yang mengatur tentang kementerian
tersebut menimbulkan masalah karena
masih menggunakan paradigma kontrol,
menganggap desa masih menjadi sub
pemerintah kabupaten. Di sisi lain, UU
Desa mempunyai semangat yang
berbeda.
Silang Sengkarut
Pengelolaan Keuangan DesaOleh: Sofwan Hadi
Efek dari ini dalah akhirnya panjang,
beberapa peraturan menteri yang
semestinya bisa dilahirkan di satu
kementrian. Sempat ada Permen yang
double. Kemendesa dan Kemendagri
membuat peraturan yang substansinya
sama tentang pembangunan desa,
terang Huda.
Salah satu dampak dari tumpang tindih
kewenangan juga menjadi penyebab
terhambatnya penyaluran dana desa.
Sebagai titik tengah, tiga kementerian,
yakn i Kementer ian Desa PDTT,
Kementerian Dalam Negeri, dan
Kementerian Keuangan menyepakati
Surat Keputusan Bersama tentang
Percepatan Penyaluran, Pengelolaan
dan Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Kendala penyaluran dana desa
Di level desa salah satu tantangannya
terkait dengan kualitas perangkat desa.
Kondisi tersebut menurut Erani,
menyebabkan kurang lengkapnya
dokumen perencanan sebagai syarat
penyaluran dana desa. Kadang,
program yang disusun pun tidak sesuai
dengan mandat UU Desa, terangnya.
Dalam tahap perencanaan di desa, salah
satu tantangannya karena ketiadaan
dasar hukum. Kepala Desa Tunjungtirto,
Kabupaten Malang, Hanik Martya
mengungkapkan, ketiadaan payung
hukum membuat program tidak dapat
dilakukan.
Komioner Komisi Pemberantasan
Ko r u p s i ( K P K ) J o h a n B u d i S P
menyatakan bahwa setiap daerah
mempunyai karakteristik yang berbeda,
antara lain kualitas sumber daya
manusia, geogras, dan demograsi.
Salah satu masalah serius ialah kualitas
perangkat desa, khususnya di wilayah
minim akses. Di Nusa Tenggara Timur,
saya ketemu kepala desa yang tidak
mengerti penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Itu yang kadang tidak dipikirkan orang
pusat, ujarnya.
Beberapa kendala minimnya pencairan
dana desa di tingkat kabupaten salah
satunya disebabkan karena kesalahan
prosedur dalam transfer Dana Desa dan
konteks politik lokal. Erani mencontoh-
kan beberapa kasus, di mana Dana Desa
diterima dan dikelola oleh Dinas
Pemakaman, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa, atau pada dinas lain
yang tidak ada kaitannya dengan
penge lo laan keuangan daerah.
[Sofwan]
Dok. Infest
15Merdesa | Edisi 2 | November 2015
CATATAN
PENGETAHUAN16
Struktur Tim Pengelola
Struktur organisasi pengelola keuangan desa secara
hirarkis tidak terlepas dari jabatan yang melekat pada
sistem organisasi pemerintah desa. Artinya,
kedudukan dan tugas dalam pengelola keuangan desa
tetap mengacu pada jabatan masing-masing unsur
aparat pemerintah desa. Secara organisasional tim
pengelola keuangan desa terdiri dari dua unsur yakni
Pemegang Kekuasaan Pengelola Keuangan Desa
(PKPKD) dan Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan
Desa (PTPKD).
A. Pemegang Kekuasaan
Pengelola Keuangan Desa (PKPKD)
Tanggung jawab PKPKD dipegang oleh Kepala Desa,
selaku pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Sebagai
PKPKD, Kepala Desa mempunyai kewenangan antara
lain:
1. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan
2. APBDesaMenetapkan PTPKD
3. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan
penerimaan desa
4. Menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang
ditetapkan
dalam APBDesa
5. Melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban APBDesa
B. Pelaksana Teknis
Pengelola Keuangan Desa (PTPKD)
Tugas utama PTPKD ialah membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan pengelo laan keuangan desa.
Koordinator PTPKD dipegang oleh Sekretaris Desa dan
dibantu oleh dua unsur yakni kepala urusan (kaur) dan
bendahara. Kepala urusan bertanggungjawab sebagai
pelaksana kegiatan yang sesuai bidangnya. Sementara
bendahara merupakan unsur staf sekretariat desa yang
membidangi urusan administrasi keuangan untuk
menatausahakan keuangan desa.
Tugas Sekretaris Desa selaku koordinator
PTPKD antara lain:
1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan APBDesa
2. Menyusun rancangan peraturan desa tentang
APBDesa, perubahan APBDesa, dan
pertanggungjawaban APBDesa
3. Melakukan pengendalian terhadap
pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan
dalam APBDesa
4. Menyusun pelaporan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa
5. Melakukan verikasi terhadap bukti-bukti
penerimaan dan pengeluaran APBDesa
Sementara kepala urusan bertugas untuk:
1. Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan yang
menjadi tanggungjawabnya
2. melaksanakan kegiatan dan/atau bersama
Lembaga Kemasyarakatan Desayang telah
ditetapkan dalam APBDesa
3. Melakukan tindakan pengeluaran yang
menyebabkan atas bebas beban anggaran
belanja kegiatan
4. Mengendalikan pelaksanaan kegiatan
5. Melaporkan perkembangan pelaksanaan
kegiatan kepada Kepala Desa
6. Menyiapkan dokumen anggaran atas beban
pengeluaran pelaksanaan kegiatan
Dan, tugas Bendahara Desa antara ialah menerima,
menyimpan, menyetorkan/membayar, menatausaha-
kan dan mempertanggungjawabkan penerimaan
pendapatan desa dan pengeluaran pendapatan desa
dalam rangka pelaksanaan APBDesa.
Masing-masing pihak yang terlibat langsung dalam tim
pengelola keuangan desa dituntut untuk mampu
membangun mekanisme koordinasi yang dapat
menghindari tumpang tindihnya tugas dan tanggung
jawab. Hal penting yang harus diperhatikan dalam
upaya pengangkatan pengelola keuangan desa ialah
proporsi keterwakilan perempuan. Untuk itu, apabila
aparatur pemerintah didominasi oleh laki-laki maka
dalam mengangkat anggota pelaksana kegiatan dari
unsur masyarakat diprioritaskan dari kelompok
perempuan. [Sofwan]
Mengenal Pengelola Keuangan Desa
Pengelolaan keuangan desa merupakan tugas yang melekat pada seluruh aparatur pemerintah desa mulai dari
Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bendahara Desa sampai dengan perangkat desa lain. Tanggung jawab utama dari
tim ini ialah menjaga kelancaran dan ketertiban pengelolaan keuangan desa mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan sampai pelaporan dan pertanggunjawaban. Artinya, pengelolaan keuangan desa
adalah tugas kolektif. Resiko apabila terjadi kemacetan pada satu atau dua orang akan menjadi beban kerja
yang membuka peluang penyimpangan dan hambatan pengelolaan keuangan.
Merdesa | Edisi 2 | November 2015
CATATAN
PENGETAHUAN
Selama dua bulan, terhitung sejak
Agustus hingga Oktober, Tim
Pembaharu Desa (TPD) Wulungsari,
Kecamatan Selomerto, Kabupaten
Wonosobo telah bekerja keras melakukan
sensus kesejahteraan warga berdasarkan
indikator lokal di seluruh dusun. Indikator
lokal yang digunakan adalah indikator
kesejahteraan yang ditentukan melalui
Musyawarah Desa yang melibatkan
seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Agus Martono, Kepala Desa
Wulungsari, keterlibatan masyarakat
dalam menentukan indikator lokal
tersebut merupakan salah satu sejarah
penting bagi desa. Dalam pertemuan itu,
kelompok-kelompok warga marginal
menjadi prioritas untuk diundang dan
paling penting untuk didengarkan
suaranya. Dengan demikian, menurut
Agus, data sensus kesejahteraan yang
dihasilkan bukan hanya sekedar menjadi
valid, namun juga telah mencerminkan
kepentingan kelompok warga miskin.
Total warga desa Wulungsari adalah 516
Kepala Keluarga (KK).
Kamis (8/10/2015), TPD Wulungsari
kembali berkumpul untuk melakukan
musyawarah di gedung balai desa.
Musyawarah kali ini untuk membahas dan
memverikasi hasil data sensus yang
sudah dikerjakan. Dari proses sensus dan
entri data yang sudah dikerjakan oleh
anggota TPD, terdapat beberapa temuan
dan catatan menarik, di antaranya:
Masih banyaknya warga yang tidak
mengisi formulir sensus dengan
lengkap.
Ada anggapan bahwa sensus yang
dilakukan oleh TPD merupakan
sensus untuk menyalurkan bantuan.
Terdapat beberapa kelompok warga
yang tidak acuh terhadap kedatang-
an anggota tim TPD.
Dari temuan tersebut, TPD menyadari
bahwa mereka belum sepenuhnya
menjadi milik warga desa. Hal inilah yang
menyebabkan munculnya beberapa
respon yang tidak positif dari sebagian
kelompok warga. Selain itu, TPD juga
menyadari bahwa pendekatan yang
dilakukan seharusnya menggunakan
pendekatan kultural agar terjadi dialog
yang lebih cair antara TPD dan warga saat
sensus. Terkait temuan in i , TPD
rencananya akan merombak beberapa
pendekatan untuk kegiatan sensus di
tahun mendatang.
Perempuan dan TPD Wulungsari
Catatan menarik selama proses sensus
yang dilakukan oleh anggota TPD
menunjukkan bahwa proses yang
dilakukan oleh perempuan cenderung
lebih lancar. Menurut Soa, anggota TPD
Wulungsari, hal itu dipengaruhi oleh
pendekatan yang dilakukan oleh kaum
perempuan biasanya lebih cair dan lebih
diterima oleh warga. Selain itu, tidak bisa
dipungkir i bahwa peran anggota
perempuan TPD Wulungsari lebih
signikan dan lebih aktif daripada
anggota TPD kaum laki-laki. Sehingga
dalam proses sensus di lapangan anggota
TPD perempuan lebih memiliki peran
penting.
Pasca verikasi data oleh anggota TPD ini,
rencananya TPD akan melanjutkannya
dengan kegiatan verikasi yang lebih luas
yaitu melibatkan masyarakat dalam
musyawarah desa. Proses ini, menurut
Soa, akan mengundang kelompok
perempuan dari beberapa kelas sosial,
khu su snya ke l ompok m i s k i n . I a
menyatakan bahwa verikasi yang akan
mengikutsertakan warga nanti bertujuan
agar rencana pembangunan Desa
Wulungsari ke depan benar-benar dapat
menyerap beberapa kepentingan dan
perlindungan terhadap kaum perempuan.
Ia dan beberapa anggota TPD perempuan
lainnya akan bekerja keras untuk
mewujudkan hal tersebut.
Soa menambahkan bahwa sensus
kesejahteraan dengan indikator lokal ini
sudah sangat baik sebagai langkah awal
untuk menekan beberapa konik sosial
yang sering muncul di desa. Karena
dalam prosesnya warga desa benar-
benar mulai diajak untuk berdialog
dalam melihat kondisi sosial desanya
sendiri.
Anggota TPD perempuan lainnya, Ning,
juga berpendapat tak kalah penting. Ia
mengatakan bahwa tanpa keterlibatan
perempuan da lam perencanaan
pembangunan desa, maka pembangunan
yang akan di lakukan t idak akan
mendalam. Baginya, kaum perempuan
memi l i k i pena la ran yang l eb ih
mendalam karena peran gandanya
selama ini, yaitu mengurusi wilayah
domestik dan perekonomian rumah
tangga.
Di sela-sela kegiatan verikasi ini,
anggota TPD juga mulai memeriksa
kembali dokumen aset dan kewenangan
yang telah mereka susun. Dokumen-
dokumen tersebut akan digunakan dalam
persiapan review Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).
Mereka menjadwalkan akhir bulan
Oktober review RPJMDesa sudah bisa
dilakukan dengan pra-kegiatan berupa
menyebarkan beberapa formulir usulan
program pembangunan dan beberapa
pertemuan langsung dengan warga
melalui Musyawarah Desa. [Fandi]
Dok. Infest
17Merdesa | Edisi 2 | November 2015
Meningkatnya Peran Perempuan
dalam Perencanaan Pembangunan
Desa Wulungsari
Dok. Infest
BERITA DESA
Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Ban j a rnega r a menya takan
komitmennya untuk mengawal
proses pemetaan kesejahteraan yang
akan dilaksanakan di Desa Gumelem
Kulon, Gentansari, dan Jatilawang.
Menurut Kepala Kantor Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa (KPMD) Banjar-
negara, Imam Purwadi, sumber daya
manusia (SDM) di desa saat ini benar-
benar membutuhkan pendam pingan
termasuk dalam proses menyusun
Rencana Pembangunan J angka
Menengah Desa (RPJMDesa). Untuk
menyusun RPJMDesa, perangkat desa di
Kabupaten Banjarnegara masih banyak
yang belum mumpuni, termasuk tidak
didukungnya data kemiskinan yang
valid. Dari program yang pernah ada di
desa,transfer knowledge-nya juga
masih belum sampai sehingga di desa
memang membutuhkan pendam
pingan, ungkap Imam Purwadi dalam
pertemuan bersama Infest Yogyakarta
terkait rencana pelaksanaan pemetaan
kesejahteraan, di kantor KPMD, pada
Senin (7/9/15).
Dalam pertemuan itu, Infest menawar
kan rencana pemetaan kesejahteraan di
tiga desa tersebut. Rencana tersebut
mengacu pada hasil Musyawarah Desa
(Musdes) yang diusulkan peserta
Sekolah Perempuan di desa Gumelem
Kulon, Gentansari, dan Jatilawang,
pada Jumat-Minggu (28-30/8/2015).
Dalam Musdes juga terungkap beberapa
persoalan mendasar terkait dengan
data kemiskinan dan pelayanan dasar
terhadap masyarakat miskin, seperti
akurasi data kemiskinan di tingkat desa
yang masih diragukan. Salah satu
pemerintah desa (Pemdes) mengakui
bahwa masih banyak keluarga miskin
yang belum terdaftar sebagai keluarga
miskin. Termasuk survei terakhir yang
dilakukan pada tahun 2012 mengguna
kan standar BPS dan dilakukan oleh
pihak dari luar desa. Diperkirakan
terdapat pelbagai kesalahan dalam
pendataan tersebut. Infest ingin
menawarkan bagaimana memetakan
kesejahteraan itu berdasarkan indikator
lokal. Jadi kesepakatan indikatornya
yang menentukan warga sendiri, karena
jika berdasarkan indikator nasional
seringnya tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat setempat, papar Frisca
Arita Nilawati, Manajer Program Desa
Infest Yogyakarta.
Mengutamakan Aksi
Kelompok Perempuan
Mengacu pada Musdes, maka peserta
Sekolah Perempuan (SP) bersama
pemerintahan desa merencanakan
adanya perbaikan akses masyarakat
miskin terhadap layanan kesehatan.
Upaya ini diterjemahkan dengan
m e n g u p a y a k a n k e a n g g g o t a a n
masyarakat miskin dalam layanan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Salah satunya, melalui perbaikan
akurasi data. Untuk itu, SP akan
menjadi motor penggerak dalam
pelaksanaan survei kesejahteraan di
tingkat lokal desa bersama deng