40
Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan LAPORAN UTAMA Membangun Kesiapan, Wujudkan Kesejahteraan pembaharuan dari desa Banjarnegara Musyawarah Desa Jatilawang Rancang BUMDesa Takalar Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa Wonosobo Forum Kesehatan Desa Keseneng: Mendorong Pelayanan Kesehatan Warga Malang Inovasi dan Potensi Desa Jambearjo Malang BERITA DESA WAWANCARA Saatnya Desa Menjadi Subyek Farid Hadi Rahman Merayakan UU Desa Bersama Desa Adat OPINI Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa Peta Apresiatif dan Indikator Kesejahteraan Lokal sebagai Titik Tolak Pembangunan Desa KISAH PANDUAN KEBIJAKAN Peluang dan Tantangan Desa PERSPEKTIF Pentingnya Pendidikan Berdesa Yando Zakaria E D I S I 1 | A g u s t u s 2015 CATATAN PENGETAHUAN Perluasan Penerapan Peta Kesejahteraan Lokal Desa di Kabupaten Wonosobo Perempuan Pembaharu Desa: Maju Memberdayakan Diri dan Lingkungan Penerapan Keterbukaan Informasi dan Transparansi Keuangan Desa di Kabupaten Malang Desa Potensi Pemetaan Aset

Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Untuk pertama kalinya Merdesa hadir menyapa Anda. Layaknya perkenalan, nama menjadi hal penting untuk diulas. Apa dan mengapa Merdesa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Merdesa berarti layak; patut; sopan; beradab. Merdesa juga kerap dipakai sebagai salam para pejuang desa: Merdeka Desa. Kami sendiri memaknai Merdesa dalam dua pengertian. Pertama, Merdesa menyiratkan semangat kolektivitas masyarakat dan kekuatan sosial di desa. Kebersamaan masyarakat desa telah lama tumbuh dan terus hidup hingga saat ini, seperti gotong royong dan kemandirian. Kedua, Merdesa juga menyiratkan semangat kolektivitas desa dalam konteks bernegara, seperti keterbukaan, bertanggungjawab, demokratisasi, dan inklusif. Tema-tema seputar perdesaan kami sajikan sebagai ikhtiar kami untuk turut serta dalam mewujudkan desa yang kuat dan mandiri. Untuk edisi perdana ini, kami memilih tema “Merayakan Undang-undang Desa.” Perjuangan panjang seluruh elemen, mulai dari pemerintah desa, aktivis, akademisi, para pegiat

Citation preview

Page 1: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Maju Perempuan Indonesiauntuk Penanggulangan Kemiskinan

LAPORAN UTAMA

Membangun Kesiapan,Wujudkan Kesejahteraan

p e m b a h a r u a n d a r i d e s a

BanjarnegaraMusyawarah Desa Jatilawang Rancang BUMDesa

Takalar Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa

WonosoboForum Kesehatan Desa Keseneng: Mendorong Pelayanan Kesehatan Warga

MalangInovasi dan Potensi Desa Jambearjo Malang

BERITA DESA

WAWANCARA

Saatnya Desa Menjadi Subyek

Farid Hadi Rahman

Merayakan UU Desa Bersama Desa Adat

OPINI

Memahami Sistem Informasidalam Konteks UU Desa

Peta Apresiatif dan Indikator Kesejahteraan Lokal sebagai Titik Tolak Pembangunan Desa

KISAH

PANDUAN KEBIJAKANPeluang dan Tantangan Desa

PERSPEKTIF

Pentingnya Pendidikan Berdesa

Yando Zakaria

E D I S I 1 | A g u s t u s 2 0 1 5

CATATAN PENGETAHUAN

Perluasan Penerapan Peta

Kesejahteraan Lokal Desa di

Kabupaten Wonosobo

Perempuan Pembaharu Desa:

Maju Memberdayakan Diri dan

Lingkungan

Penerapan Keterbukaan Informasi

dan Transparansi Keuangan Desa

di Kabupaten Malang

DesaPotensi

Pemetaan Aset

Page 2: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Diterbitkan oleh :

Salam jumpa dan salam kenal para pembaca..

Untuk pertama kalinya Merdesa hadir menyapa Anda. Layaknya

perkenalan, nama menjadi hal penting untuk diulas. Apa dan

mengapa Merdesa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Merdesa berarti layak; patut; sopan; beradab. Merdesa juga

kerap dipakai sebagai salam para pejuang desa: Merdeka Desa.

Kami sendiri memaknai Merdesa dalam dua pengertian.

Pertama, Merdesa menyiratkan semangat kolektivitas

masyarakat dan kekuatan sosial di desa. Kebersamaan

masyarakat desa telah lama tumbuh dan terus hidup hingga saat

ini, seperti gotong royong dan kemandirian. Kedua, Merdesa

juga menyiratkan semangat kolektivitas desa dalam konteks

bernegara, seperti keterbukaan, bertanggungjawab,

demokratisasi, dan inklusif.

Tema-tema seputar perdesaan kami sajikan sebagai ikhtiar kami

untuk turut serta dalam mewujudkan desa yang kuat dan

mandiri. Untuk edisi perdana ini, kami memilih tema

“Merayakan Undang-undang Desa.” Perjuangan panjang seluruh

elemen, mulai dari pemerintah desa, aktivis, akademisi, para

pegiat masyarakat sipil, hingga pemerhati desa telah

mewujudkan “kemenangan” saat pengesahan Undang-undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemenangan tersebut patut

dirayakan.

Namun demikian, perayaan tidak harus dipahami sebagai pesta

atau luapan kegembiraan yang bersifat sementara. Merayakan

kemenangan dalam konteks perjuangan sudah sepantasnya

disambut dengan kesiapan. Karena itulah kami menyuguhkan

tulisan pembuka berjudul “Membangun Kesiapan, Mewujudkan

Kesejahteraan” untuk menggugah kesiapan kita dalam

menerapkan UU Desa.

Selamat membaca.

Pengantar Redaksi

Majalah ini dikembangkan dan diterbitkan oleh INFEST dengan dukungan dari Program Maju Perempuan Indonesia Untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU). Program Mampu merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan.

Informasi yang disampaikan dalam majalah ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab tim penyusun dan tidak serta merta mewakili pandangan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Australia.

Didukung oleh :

Maju Perempuan Indonesiauntuk Penanggulangan Kemiskinan

REDAKSI

Penanggungjawab :

Muhammad Irsyadul Ibad

Redaktur :

Budhi Hermanto

Farid Hadi Rahman

Redaktur Pelaksana :

Sofwan Hadi; A. Pambudi

Anggota Tim Redaksi:

Alimah; Frisca Nilawati;

Ninik Handayani; Borni Alan;

Ananto Sulistyo; Khayat

Kontributor Daerah :

Edi Purwanto; Syahribulan

Editor

Heru Prasetya

Tata Letak dan Ilustrasi :

Akbar Binbachrie (KAF media)

ALAMAT REDAKSI

Warungboto UH IV/734

Umbul Harjo Yogyakarta

Telp: 0274 417004

Email: [email protected]

Portal: www.sekolahdesa.or.id

twitter: @sekolahdesa

p e m b a h a r u a n d a r i d e s a

Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.

Page 3: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Desa Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo sedang mengembangkan potensi pariwisata untuk olahraga paralayang. Wilayah Kabupaten Wonosobo memang terkenal dengan pariwisata alam dan budaya, begitu pula dengan Desa Lengkong. Menurut Kepala Desa Lengkong, Sahro Sigit Raharjo, Desa Lengkong dianugerahi pemandangan alam yang apik dan udara yang sejuk. Wilayah desa yang terletak di ketinggian 1.294 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini diapit oleh tiga gunung, yakni Gunung Arum, Gunung Sindoro, dan Gunung Kembang. []

Sebagai bagian dari implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo telah menyiapkan rencana aksi “Menuju Desa Mandiri” sejak 2014 . Hal tersebut disampaikan oleh Plt Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermasdes) Kabupaten Wonosobo Drs Amin Suradi dalam pembahasan rancangan nota kesepahaman program Penguatan Kapasitas Pemerintahan Desa dan Kelompok Perempuan untuk Pembangunan di Desa antara Pemkab Wonosobo dengan Infest Yogyakarta, Kamis (26/3/2015). []

Tim Pembaharu Desa Gondang, Kecamatan Watumalang menggali indikator kesejahteraan lokal bersama seluruh elemen masyarakat dalam temu warga, Kamis (30/7/2015). Temu warga kali ini dihadiri oleh 73 orang. Selain Tim Pembaharu Desa dan Pemerintah Desa Gondang, kegiatan temu warga ini juga diikuti oleh Ketua RT, RW, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), PKK, Fatayat, Muslimat, dan beberapa elemen lainnya.

Dalam temu warga yang dipandu oleh Toni, salah satu kader Pembaharu Desa Gondang, mampu menggali sembilan indikator kesejahteraan lokal antara lain pendapatan/penghasilan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan, kepemilikan aset lain, kepemilikan kendaraan, kepemilikan hewan ternak, dan keluarga harmonis. []

Kamis (9/4/2015) Desa Jambearjo menjadi ruang belajar para kepala desa di Jawa Timur. Menurut Endang Sri W, selaku Kepala Bidang Diklat Fungsional Provinsi Jawa Timur, kunjungan ke Desa Jambearjo menjadi proses pembelajaran dalam rangka penguatan kepala desa. Endang menambahkan, Desa Jambearjo memiliki beragam potensi yang bisa menjadi bahan rujukan dan inspirasi bagi desa lainnya.

“Harapannya ada nilai positif yang bisa diambil oleh para peserta (kepala desa) yang bisa diimplementasikan di wilayahnya,” terang Endang. []

Wonosobo Siapkan Rencana Aksi Menuju Desa Mandiri

Desa Gondang Menggali Indikator Kesejahteraan Lokal

Desa Lengkong Kembangkan Potensi Wisata

Desa Jambearjomenjadi Tempat Belajar 40 Kepala Desa

Kegiatan “in house training” di Desa Tunjungtirto, (4/7/2015), di Balai Desa Tunjungtirto Kabupaten Malang. Pertemuan yang diadakan bersamaan dengan buka puasa bersama ini diikuti oleh 20 orang yang terdiri dari pemerintah desa, kader desa, tokoh PKK, LPMD, BPD, dan Karang Taruna Desa Tunjungtirto. Kegiatan bertujuan pendalaman dan kajian terhadap aset dan potensi desa. Tim aset desa telah bertugas mengidentifikasi seluruh aset yang ada di Desa Tunjungtirto. Pemerintah Desa Tunjungtirto sendiri telah membentuk Tim Sebelas yang terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat dan unsur dari pemuda. []

Desa Tunjungtirto Melanjutkan Kinerja Tim Sebelas

1LINTAS DESA

WonosoboWonosobo

Wonosobo

Malang

Malang

Page 4: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Desa Kucur, Kecamatan Dau membentuk tim untuk mengawal data dan aset desa menjadi dokumen desa hingga Peraturan Desa (Perdes). Pembentukan tim bersamaan dengan kegiatan “In house training” pemetaan aset dan potensi desa (5/6/2015). Tim diketuai oleh Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kucur, Sangaji. Anggota tim berjumlah 20 orang. Tugas pertama mereka ialah merapikan data dan potensi aset desa. []

Senin (2/3/2015), Infest Yogyakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menggelar sosialisasi Undang-undang Desa (UU Desa) bertajuk “Menempatkan Desa sebagai Ujung Tombak Pelayanan Publik”. Acara yang berlangsung di Gedung PKK Kabupaten Takalar ini dibuka langsung oleh Bupati Takalar, DR. H. Burhanuddin Baharuddin, SE, M.Si. Dalam sambutannya, Burhanuddin menekankan pentingnya keselarasan perencanaan antara desa dengan daerah. “Perencanaan kabupaten tidak boleh bertentangan dengan perencanaan desa,” tegasnya di hadapan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), para Kepala Desa, dan Kader Kabupaten Takalar. []

Rabu (8/4/2015), bertempat di Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, digelar diskusi penyusunan regulasi kabupaten untuk implementasi Undang-undang (UU) Desa. Diskusi kali ini digelar untuk memetakan regulasi yang perlu dipersiapkan di tingkat Kabupaten untuk implementasi UU Desa. Dalam diskusi kali ini muncul beberapa kebutuhan regulasi di tingkat kabupaten yang dibutuhkan oleh desa. Regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum implementasi UU Desa, antara lain Perbup tentang Kewenangan Desa, Perbup tentang Perencanaan Desa Perbup tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Perbup tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang meliputi Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Retribusi, besaran alokasi dan mekanisme penyaluran Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), serta Penghasilan Tetap (Siltap) Perangkat Desa. []

Desa Kucur Bentuk Tim untuk Mengawal Perdes Aset Desa

Sosialisasi UU Desa di Kabupaten Takalar

Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa

Para kader Pembaharu Desa dari lima kabupaten yakni Banjarnegara, Malang, Wonosobo, Poso, dan Takalar saling bertukar pengalaman dan pembelajaran dalam Temu Kader Pembaharu Desa bertajuk “Desa Mandiri Menuju Kabupaten Impian”, (25-27/5/2015). Selama tiga hari, para kader Pembaharu Desa menajamkan mimpi dan strategi untuk mewujudkan desa mandiri. Selain itu, para kader Pembaharu Desa dibekali pengetahuan dan kemampuan untuk mengorganisir diri serta warga di desanya. []

Temu Kader Pembaharu Desa

Infest Yogyakarta menggelar lokakarya bertajuk “Tata Kelola Keuangan Desa” (9-10/3/2015). Menurut Muhammad Khayat selaku Koordinator Tim Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Infest Yogyakarta, lokakarya ini bertujuan untuk memetakan beberapa regulasi tata kelola keuangan dan memahami alur pengelolaan keuangan berdasar kewenangan desa pasca UU Desa. Dengan demikian, diharapkan ada pengetahuan dasar tentang pengelolaan keuangan desa pasca UU Desa. Acara yang diselenggarakan selama dua hari ini dihadiri oleh perwakilan tiga desa yakni Lengkong (Wonosobo), Panggungharjo (Bantul), dan Wiladeg (Gunung Kidul). Hadir sebagai pembicara Yusuf Murtiono dan Mustika Aji dari Formasi, Kebumen. []

Lokakarya Tata Kelola Keuangan Desa

2 LINTAS DESAMerdesa | Edisi I | Agustus 2015

Takalar Malang

Yogyakarta

Yogyakarta

Takalar

Dok. Infest

Dok. Infest

Dok. Infest

Dok. Infest

Dok. Infest

Page 5: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Proses pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk terlibat. Sehingga kebijakan pembangunan desa mempunyai visi keadilan gender dan inklusif. Hal tersebut muncul saat diskusi pembahasan modul Sekolah Perempuan, Sabtu (2/5/2015). Arrum Widyatasari dari Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria (KARSA) mengungkapkan pentingnya pengetahuan tentang pasal-pasal dalam UU Desa yang membuka partisipasi. Lian Gogali dari Institut Mosintuwu Poso mengisahkan cara sekolah perempuan di Poso belajar dari pengalaman. Misalnya, dalam memahami UU Desa, para perempuan menuliskan sendiri bagaimana pengalaman mereka dalam musyawarah desa. []

Jumat (5/06/2015), para kader Sekolah Perempuan di Desa Jatilawang berkumpul untuk melakukan pemetaan apresiatif desa. Para kader Pembaharu Desa yang sebagian besar ibu-ibu, belajar memetakan aset dan potensi desa mereka. Dalam pertemuan tersebut hadir pula perwakilan dari Pemerintah Desa (Pemdes) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Jatilawang. Mereka mengapresiasi adanya Sekolah Perempuan dan pemetaan aset desa karena bertujuan menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera. “Saya sangat berharap peran dan keikutsertaan seluruh perempuan Desa Jatilawang demi kemajuan dan tercapainya tujuan desa, yakni menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera,” ujar Gunawan, perwakilan BPD Jatilawang. []

Sekolah Perempuan di Kabupaten Poso mulai digelar, bertempat di Institut Mosintuwu (13/4/2015). Pembukaan Sekolah Perempuan ini pun dihadiri oleh anggota DPRD Kabupaten Poso. Melalui Sekolah Perempuan ini, tema Kepemimpinan Perempuan dalam Reformasi Pemerintahan Desa menjadi fokus utama. Pada pertemuan awal, para perempuan dari tiga desa (Trimulya, Didiri, dan Dulumai) belajar tentang perencanaan dan penganggaran desa yang berkeadilan jender. “Ketika ibu-ibu mendapatkan ilmu, mari kita bersama membangun desa,” ujar Yoksan, selaku Sekretaris Desa Dulumai. []

Informasi menjadi salah satu kebutuhan manusia. Ketersediaan informasi penting dalam pengambilan keputusan oleh individu ataupun kelompok masyarakat. Informasi yang tepat akan menghasilkan keputusan yang tepat pula. Sebaliknya, keterbatasan informasi akan menghambat pengambilan keputusan dan pengembangan diri. Pada Rabu hingga Jumat (12-14/8/2015), diselenggarakan lokakarya Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh 20 kader Pembaharu Desa Kalukubodo. Hadir sebagai pembicara Mujtaba Hamdi (MediaLink) dan Yudi Setiyadi (Komunitas Pena Desa). Masing-masing menyampaikan pengetahuan tentang KIP dan Jurnalisme Warga. []

Rabu (12/8/2015) bertempat di Bangsal Kepatihan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta warga desa dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dan berbagi dalam dialog "Mengawal Dana Hingga Ke Desa". Dialog ini diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK-RI) bekerjasama dengan Jaringan Radio Radio Komunitas Indonesia (JRKI) dan Forum Desa Nusantara (FDN), jaringan gerakan

pembaharuan desa terdiri organisasi masyarakat sipil di Indonesia, akademisi, pegiat informasi dan media, serta warga desa di seluruh Indonesia. Hadir sebagai pembicara Arifin Nata, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri dan Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, dan Johan Budi, Komisioner KPK RI. "Dialog ini sengaja dilaksanakan di Jogja karena Jogja adalah wilayah yang telah lebih siap dalam implementasi UU desa," kata Johan Budi Sapto Pribowo, membuka dialog. Selain itu, Johan juga mengungkap beberapa potensi persoalan korupsi dari kajian KPK terhadap UU Desa. "Salah satunya adalah tentang pengawasan, tidak optimalnya sarana pengaduan masyarakat," kata Johan. []

Perempuan dan Pembangunan Desa

Lokakarya Keterbukaan Informasi Publik di Kalukubodo

Pembukaan Sekolah Perempuan di Poso

Mengawal Dana Hingga ke Desa

Menemukenali Aset dan Potensi Desa Jatilawang

3

Dok. Infest

Dok. Infest

Dok. Infest

Dok. Infest

LINTAS DESA Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

YogyakartaPoso

Yogyakarta

Banjarnegara

Takalar

Dok. Infest

Page 6: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

MEMBANGUN KESIAPANWUJUDKAN KESEJAHTERAAN

Disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi tonggak sejarah baru bagi

seluruh desa di Indonesia. Bukan karena nilai dana desa yang menggiurkan, tetapi melalui UU ini, desa

menemukan muruahnya kembali. Setelah lebih dari tiga dekade menjadi obyek pembangunan, kini desa menjadi

subyek pembangunan.

alam sebuah diskusi di Universitas Andalas,

DJanuari 2014, Yando Zakaria pegiat Lingkar Pembaharu Desa dan Agraria (KARSA) sekaligus

mantan anggota Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa, mengungkapkan bahwa UU Desa merupakan UU pertama pasca-pencabutan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sesuai amanat Reformasi. Semangat Reformasi, menurutnya, bisa terpenuhi apabila mampu mewujudkan tiga hal, yakni pengakuan hak asal-usul, istimewa di hadapan hak-hak negara, dan keberagaman.

Hal senada juga diungkapkan oleh Farid Hadi dari Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD). Menurutnya, UU Desa memberikan landasan hukum b a g i d e s a u n t u k m e n g g e n g g a m k e m b a l i kewenanganya dalam mengelola aset, potensi, dan anggaran demi kesejarahteraan. Salah satu penyebab kenapa desa lambat berkembang, salah satunya karena desa tidak mempunyai kewenangan dalam

mengelola aset serta anggaran. “Kondisi tersebut menyebabkan 63 persen kemiskinan di desa,” ujarnya dalam sebuah lokakarya tentang UU Desa, Senin (2/3/2015). Selain itu, UU Desa juga menegaskan pengakuan negara terhadap keberagaman desa. Menurut Farid, dari latar sosio-historis desa sudah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Di sana juga terdapat kesatuan masyarakat adat yang telah ada dengan sebutan lain seperti gampong, nagari, lembang dan lain sebagainya. UU Desa juga mengembalikan kewenangan desa dalam konsolidasi dan reformasi tata kelola keuangan, perencanaan pembangunan dan demokratisasi desa.

Pengakuan terhadap kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan NKRI mengandung asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas rekognisi berarti pengakuan terhadap hak asal usul. Sementara, asas subsidiaritas berarti pengakuan terhadap kewenangan

LAPORAN UTAMA4 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 7: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

Pentingnya Kesiapan Daerah

Berlakunya UU Desa seyogyanya juga direspons aktif oleh pemerintah daerah. Menurut Frisca Arita Nilawati, selaku Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, pemerintah kabupaten idealnya lekas menyiapkan regulasi sebagai payung bagi desa dalam menerapkan UU Desa. Peraturan tersebut berupa Peraturan Bupati. Peraturan di tingkat kabupaten inilah yang akan menjadi payung hukum bagi pemerintah desa dan menetapkan Peraturan Desa (Perdes). Setidaknya ada empat Peraturan Bupati yang wajib disediakan oleh pemerintah kabupaten untuk mengimplementasikan UU Desa, yakni Peraturan Bupati tentang Perencanaan Desa; Peraturan Bupati tentang Pengelolaan Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi; Peraturan Bupati tentang Penghasilan Tetap, Tunjangan Kepala Desa dan Perangkat; serta, Peraturan Bupati tentang Pengadaan Barang dan Jasa. “Kalau (peraturan bupati) tidak disediakan, untuk desa menjadi satu persoalan di kemudian hari apabila ada pengawasan dari luar desa. Sebab, dalam setiap peraturan, selalu dilihat dasar hukumnya,” terang Frisca.

Hal senada juga diungkapkan oleh Mustika Aji dari Formassi Kebumen. Dalam sebuah lokakarya tentang tata kelola keuangan desa, pertengahan Maret lalu, Aji menggarisbawahi pentingnya peraturan bupati tentang kewenangan desa. Menurutnya, peraturan tentang kewenangan desa seharusnya menjadi yang paling utama. Sebab, dalam UU Desa, kewenangan menjadi titik tolak perencanaan program desa. Sehingga, program yang direncanakan oleh desa tidak melampaui batas kewenangan yang seharusnya. “Dalam menyusun kewenangan desa, harusnya daerah ataupun kabupaten harus melibatkan desa. Yang tahu desa ya orang desa, yang tahu asal-usulnya. Tidak ada jalan lain, percepat peraturan kewenangan desa,” tegas Aji.

Di samping regulasi yang harus dipersiapkan, kabupaten

juga perlu menjelaskan serta memfasil itasi perencanaan desa karena dalam peraturan yang baru terdapat banyak hal yang berubah, terutama mengenai kewenangan desa. Bagi pemerintah desa yang akan menjabat tentu diperlukan perencanaan yang baru. Sementara, bagi kepala desa yang sudah berjalan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) perlu ditinjau kembali dan disesuaikan. Di sinilah posisi strategis kecamatan dalam memfasilitasi desa, khususnya dalam pembinaan dan pengawasan.

Sementara itu, Frisca menambahkan, pemerintah desa juga harus bisa memperkuat diri dan melakukan advokasi kebijakan. Dalam memperkuat diri, desa dituntut mandiri dan aktif mencari informasi serta belajar segala hal yang berhubungan dengan UU Desa. Pengetahuan tidak hanya di level pemerintahan desa tetapi juga seluruh entitas yang ada di desa. Dalam mengadvokasi kebiijakan, desa bisa menggalang kekuatan dengan desa lain untuk mendorong pemerintah daerah atau kabupaten menyediakan regulasi yang dibutuhkan.

Lantas, bagaimana jika pemerintah kabupaten belum menyiapkan peraturan tentang kewenangan desa? Bagaimana caranya?

D e s a b i s a m e l a k u k a n t e r o b o s a n d e n g a n mengidentifikasi kewenangannya. Syaratnya, pemerintah desa harus membuka seluas-luasnya ruang partisipasi warga dalam musyawarah desa. Hal tersebut menjadi kunci demokratisasi di tingkatan desa serta membantu pemerintah desa dalam mengidentifikasi kewenanganya. Musyawarah desa harus melibatkan semua elemen warga mulai dari perempuan, pemuda, dan berbagai lembaga kemasyarakatan di desa. “Ini semangat yang didorong, selain kewenangan dan a lokas i anggaran, proses musyawarah dan partisipasinya menjadi syarat utama,” terang Frisca.

Menyusun Peta Apresiatif Desa ( Dok. Infest)

“Dalam menyusun kewenangan

desa, harusnya daerah ataupun

kabupaten harus melibatkan

desa. Yang tahu desa ya orang

desa, yang tahu asal-usulnya.

Tidak ada jalan lain, percepat

peraturan kewenangan desa,”

tegas Aji.

LAPORAN UTAMA 5Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 8: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Kesiapan Menyambut Implementasi UU Desa

Setahun setelah ditetapkannya UU Desa, semua desa mulai bersiap. Dana desa sebesar Rp 20,7 triliun akan dicairkan dalam tiga tiga tahap untuk 74 ribu desa di Indonesia. Untuk yang satu ini, hampir semua desa telah menyiapkan dokumen-dokumen RPJMDesa, Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) sebagai syarat pencairan dana desa. Mekanisme pencairan dana desa juga didukung dengan Peraturan Bupati tentang besaran dan mekanisme pembagian dana desa sebagai payung hukum.

Pada 2014, Pemerintah Kabupaten Wonosobo telah bersiap-siap dengan menyusun “Rencana Aksi Menuju Desa Mandiri.” Rencana aksi tersebut menjadi panduan kerja antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan pemerintah desa di kabupaten tersebut untuk mewujudkan desa yang mandiri. Komponen dalam rencana aks i te r sebut mel iput i peny iapan penga lokas ian dan penya luran dana desa , perencanaan, penganggaran, mekanisme tata kelola pemerintahan desa, pengelolaan aset masyarakat, hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Amin Suradi yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wonosobo menerangkan bahwa tahun 2015 menjadi masa transisi implementasi UU Desa di Wonosobo. Rencananya, pada 2016, desa-desa akan mantap untuk implementasi UU Desa. “Selain sosialisasi, pemerintah kabupaten juga berusaha memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan desa dalam menyambut implementasi UU Desa,” terang Amin yang saat ini menjabat sebagai Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan.

Sejak awal 2015, sebagai bagian dari rencana aksinya, pemerintah Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan Infest Yogyakarta menyelenggarakan Sekolah Pembaharuan Desa. Kegiatan ini menjadi media belajar rutin bagi perangkat desa dan masyarakat tentang isu-isu yang berhubungan dengan desa. Sekolah Pembaharuan Desa juga dirancang untuk memunculkan aktor-aktor organik dari desa yang disebut Tim Pembaharu Desa. Tim yang terdiri dari pemerintah desa, kader desa, serta masyarakat ini akan menjadi mitra pemerintah desa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa berbasis potensi dan aset.

Sebagai purwarupa, Sekolah Pembaharuan Desa dilakukan di tiga desa, yakni Desa Gondang, Tracap, dan Wulungsari. Selama satu tahun, aparat pemerintah, kader, dan masyarakat desa mengidentifikasi aset dan potensi desa. Mereka juga menyusun sendiri ukuran kesejahteraan lokal sebagai acuan dalam program-program pembangunannya. Kemudian menyusun perencanaan pembangunan desa yang berbasis pada potensi dan aset desa. Desa juga mempunyai peta sosial yang berisi informasi detail tentang jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan, hingga potensi-potensi yang dimiliki.

Hal serupa juga mulai dilakukan di beberapa kabupaten seperti Banjarnegara, Malang, Poso, dan Takalar. Tahun ini, Infest Yogyakarta bekerja bersama dengan lima belas desa di lima kabupaten, termasuk Wonosobo, mulai mempersiapkan diri untuk menjadi desa mandiri. Proses dimulai dengan memahami hak dan kewenangan desa dalam UU Desa serta peraturan-peraturan turunannya hingga mengindentifikasi aset dan potensi desa sebagai basis perencanaan pembangunan desa. [Sofwan]

LAPORAN UTAMA6 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Kader Pembaharu Desa Gentasari menyusun peta aset dan potensi desa. (Dok. Infest)

Peta potensi Desa Gentasari disusun berdasarkan hasil identifikasi (Dok. Infest)

Page 9: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Tahun ini adalah titik awal pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).

Ibarat merayakan sebuah kemenangan, implementasi UU Desa mendapat sambutan luar biasa dari banyak

pihak. Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah melahirkan kementerian yang secara khusus mengelola

kebijakan dan program yang berorientasi pencapaian desa mandiri, sejahtera dan demokratis. Tidak

hanya itu, amanat UU Desa tentang transfer fiskal dari pusat ke desa yang disebut Dana Desa (DD) dan

Alokasi Dana Desa (ADD) juga siap diluncurkan.

Merayakan UU Desa Bersama Desa Adat

oleh: Borni Kurniawan*

erkait dengan rencana pemerintah tersebut, saat

Tini desa-desa sedang bergerak memenuhi

berbagai prasyarat pencairan DD dan ADD.

Sebagaimana digariskan dalam UU Desa, desa harus

memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Desa (RPJMDesa), Rencana Kegiatan

Pembangunan Desa (RKPDesa) serta Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Demi

memenuhi prasyarat tersebut, beberapa pemerintah

kabupaten dan desa membangun kemitraan dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk

menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan

pembuatan RPJMDesa dan APBDesa. Desa-desa di

Kebumen, Wonosobo, Banjarnegara, Sleman,

Gunungkidul, Magelang, dan beberapa desa di

kabupaten lain sudah siap dengan dokumen

perencanaan dan penganggaran.

Membaca sekilas upaya-upaya penguatan kapasitas

dalam rangka menyambut pencairan DD dan ADD di atas

menyiratkan sebuah proses pereduksian UU Desa.

Pemaknaan UU Desa menjadi sempit karena hanya

berkutat pada perencanaan pembangunan dan

keuangan untuk desa dinas atau administratif saja.

Padahal ada sisi lain dari amanat UU Desa yang perlu

mendapat perhatian serius yaitu asas rekognisi. Asas ini

merupakan pengakuan negara terhadap keberagaman

desa di Indonesia yang terdiri dari Desa dan Desa Adat.

OPINI 7Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 10: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Tapi, mengapa seluruh persiapan implementasi UU Desa

lebih asyik pada agenda-agenda kebijakan yang

ditujukan untuk desa-desa dinas? Sementara,

keberadaan Desa Adat kurang diperhatikan. Memang

kalau ditelisik, jumlah desa dinas jauh lebih banyak dari

pada Desa Adat. Namun, dalam konteks fasilitasi

pembangunan, kapasitas teknokratis yang diterima Desa

Adat lebih lamban dan mungkin sepi daripada Desa

Dinas.

Berangkat dari refleksi tersebut, tulisan ini mencoba

mengajak para pembaca untuk mengalihkan perhatian

sejenak pada sudut lain dari UU Desa yaitu soal kaitan

pengaturan Desa Adat dengan perencanaan dan

penganggaran desa tersebut. Bagi Desa Dinas, membut

RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa mungkin bukan

perkara baru. Tetapi, bagi Desa Adat mungkin berbeda.

Pertanyaanya, dimana posisi Desa Adat dalam

implementasi perencanaan dan penganggaran

sebagaimana digariskan oleh UU Desa? Bagaimana

metode dan pendekatan yang potensial untuk

diterapkan agar Desa Adat bisa memiliki kemampuan

sejajar -tapi bukan berarti harus seragam- dengan Desa

Dinas?

Mengakomodasi Perjuangan Masyarakat Adat

Model pembangunan yang diterapkan pada era Orde

Baru sangat mengedepankan paradigma penghancuran

kekuatan sosial masyarakat lokal. Orde Baru adalah

rezim pemerintahan di Indonesia yang berkeyakinan

bahwa negara akan mencapai kemajuan dalam

penyelenggaraan pembangunan jika keberagaman

entitas bangsa dihilangkan. Karenanya, pemerintah

Orde Baru menggerus heterogenitas bangsa dengan cara

melahirkan regulasi yang menyeragamkan tatanan

budaya, struktur sosial, politik, dan tata pemerintahan

lokal.

Adat, sebagai bagian integral kehidupan masyarakat

lokal menjadi salah satu entitas bangsa yang paling

terkena dampak. Padahal dengan adat, masyarakat

Indonesia mampu membentuk komunitas yang memiliki

keaslian. Tidak hanya dalam aspek simbol budaya tetapi

juga keaslian dari segi kemampuannya membentuk tata

pemerintahan sebagai upaya menjawab kebutuhan

hidup bersama dalam suatu wilayah (self governing

community). Kemampuan masyarakat adat membangun

self governing community tersebut hadir jauh sebelum

kelembagaan negara dan pasar lahir sebagai paradigma

pembangunan. Akan tetapi, kehadiran negara dan pasar

yang datang belakangan tersebut justru meminggirkan

masyarakat adat. Sehingga masyarakat adat yang

sebagian besar berada di pedalaman mengalami

keterasingan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan

(Hudayana, 2005).

Praktik marjinalisasi terhadap masyarakat adat pada era

Orde Baru dapat ditelusuri dari dikeluarkannya Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5

Tahun 1960 tentang Pertanahan, Undang-undang Pokok

Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967, Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dan

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah

Orde Baru tersebut telah menghilangkan bentuk-bentuk

pemerintahan lokal yang memiliki kekuatan hukum yang

sebelumnya berlaku di masyarakat Indonesia.

Diubahnya nagari, dusun, marga, gampong, huta, sosor,

lumban, kuta, jorong, kampung, temukung dan yo

menjadi desa telah mengakibatkan kesatuan

masyarakat hukum tersebut tidak berhak lagi mengurus

dan mengatur dan hanya diberi sekadar hak untuk

menyelenggarakan rumah tangga sendiri (Bahtiar,

2005).

Salah satu kesempatan politik yang memberi peluang

bagi perjuangan masyarakat adat adalah penetapan UU

Desa pada 18 Desember 2013. Pada Bab II pasal 6 ayat 1

negara mengakui adanya keragaman desa dengan

menyebutkan bahwa desa terdiri atas Desa dan Desa

Adat. Pada ayat berikutnya dipertegas kembali bahwa

penyebutan Desa Adat disesuaikan dengan penyebutan

yang berlaku pada daerah setempat. Sesuai dengan asas

rekognisi dan keberagaman, pasal 6 menegaskan

jaminan negara atas keanekaragaman jenis dan

penyebutan desa di Indonesia. Dari asas kesetaraan, UU

Desa juga tidak lagi memandang secara dikotomis

antara Desa Dinas dengan Desa Adat, meskipun

keduanya memiliki perbedaan baik pada aspek struktur

pemerintahan maupun kelembagaan sosialnya.

Bentuk pengakuan kesetaraan yang lainnya antara Desa

Dinas dengan Desa Adat dapat ditelusuri pada pasal 95.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah desa,

dalam arti Desa Dinas, dan masyarakat desa dapat

membentuk lembaga adat desa yang nantinya memiliki

peran menjalankan fungsi adat istiadat desa sekaligus

menjadi bagian dari susunan asli desa yang tumbuh dan

berkembang atas prakarsa masyarakat desa. Pasal ini

membuka peluang bagi Desa Dinas yang selama ini sudah

kehilangan ciri khas adat istiadatnya memugar kembali

kelembagaan adatnya sebagai mitra pemerintah desa

yang akan memiliki peran besar dalam upaya

pemberdayaan, pengembangan dan pelestarian adat

istiadat setempat sebagai bentuk pengakuat atas

OPINI6 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 11: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

geneaologis desa yang awal mulanya tumbuh dari

komunitas adat (pasal 95 ayat 3).

Bentuk lain dari pengakuan UU Desa ini atas hak

komunitas adat tercermin pada mandat yang

dilekatkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota sebagaimana termaktub pada Bab XIII

tentang Ketentuan Khusus Desa Adat pasal 96-111.

Beberapa pengertian penting yang terkandung dalam

sejumlah pasal tersebut antara lain; 1) Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan

masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa

Adat (pasal 96); 2) Pembentukan Desa Adat dapat

di lakukan sepanjang memperhatikan faktor

penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan

pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa,

serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana

prasarana pendukung; 3) UU Desa menjamin

perubahan status Desa menjadi Desa Adat dan

sebaliknya, Desa Adat menjadi Desa. Perubahan status

tersebut harus dibarengi dengan perubahan seluruh

status kepemilikan aset dari Desa ke Desa Adat.

Demikian pula sebaliknya, Desa Adat yang berubah

menjadi Desa juga seluruh status kepemilikan asetnya

berubah menjadi milik desa (pasal 100 ayat 1 dan 2).

Perencanaan pembangunan untuk Desa Adat

Dari pemaparan di atas, sudah jelas bahwa UU Desa

memberi porsi pengaturan dan hak yang kurang lebih

sama antara Desa Adat dengan Desa Dinas. Berkaitan

dengan kebijakan pemerintah tentang DD dan ADD

yang akan dilaksanakan, sejauh pengetahuan penulis,

pemerintah belum memiliki seperangkat aturan teknis

yang menjadi referensi pengelolaan perencanaan,

penganggaran dan keuangan Desa Adat. Tidak hanya

itu, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat

sipil juga belum memiliki metode dan pendekatan

penguatan kapasitas bagi desa-desa adat untuk

merespon kebijakan DD dan ADD.

Untuk menyiapkan kapasitas Desa Adat menyambut

implementasi UU Desa diperlukan suatu metode dan

pendekatan yang berbeda dengan penguatan kapasitas

yang ditujukan untuk Desa Dinas. Ada beberapa

tantangan di sini. Pertama, struktur pemerintah asli

Desa Adat masih kental dengan karakter parochial atau

ikatan kekerabatan. Karakter ini identik pada sistem

feodal dan praktik nepotisme. Kedua, Desa Adat sejak

lama tidak mendapat perhatian serius dari negara akan

mengakibatkan Desa Adat dalam kondisi kesendirian.

Terlebih, Desa Adat selalu dianggap hanya memiliki

kemampuan mengurus tentang tradisi dan kebiasaan

hidup masyarakat terpencil seperti persoalan agama,

perkawinan, dan pertahanan kuasa adat karena

pertalian darah (parochial). Ketiga, pengelolaan

pembangunan yang diselenggarakan oleh Desa Adat

belum dipandu dengan berbagai perangkat

perencanaan kebijakan pembangunan seperti forum

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa, RPJMDesa,

APBDesa dan perangkat peraturan-peraturan desa

lainnya sebagaimana lazim diterapkan pada Desa

Dinas. Nihilnya kapasitas teknokratis tersebut oleh

sebagian kalangan dipandang sebagai titik lemah Desa

Adat dalam sistem perencanaan pembangunan

modern.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis pada para

pegiat desa yang saat ini getol membangun kapasitas

pemerintahan yang berlokus di Desa Dinas, ada

baiknya, lokus penguatan kapasitas dapat dilanjutkan

ke Desa Adat. Ada beberapa langkah yang mungkin pas

dilakukan agar Desa Adat juga dapat memiliki

perencanaan pembangunan yang terencana dan

terstruktur. Pertama, mengarusutamakan tata kelola

pemerintahan yang demokratis ke dalam struktur

p e m e r i n t a h a n a d a t . S e k a l i p u n m e m i l i k i

kecenderungan parochial. Kedua, mendorong

kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah adat

untuk mengoptimalkan aset Desa Adat yang pada

umumnya berada di tangan ketua adat sebagai sumber

daya membangun kesejahteraan dan keberdayaan

masyarakat. Ketiga, mengapresiasi dan mengadaptasi

sistem perencanaan pembangunan Desa Adat sebagai

fondasi membuat RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa

yang responsif wong ndeso. Gampangnya, perlu

kecerdasan meramu modal sosial Desa Adat sebagai

model membangun arah dan kebijakan desa yang

partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan dasar

dan prioritas masyarakat, bukan elit desa. []

Borni Kurniawan

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)

dan Forum Desa Nusantara (FDN)

OPINI 9Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 12: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Pengakuan Atas Desa

Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

PERSPEKTIF

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari "pengaturan desa" dalam UU Desa mencakup:

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa

UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan

Oleh: M. Irsyadul Ibad

Memahami Sistem Informasidalam Konteks UU Desa

10 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.

1.2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Page 13: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa. UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan "desa membangun" keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal un tuk men jad i a cuan da l am pe rencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa

Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.

Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan

Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

PERSPEKTIF 11Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 14: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai "pengumpul data" atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya, desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah "disetorkan" kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota.

Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standarisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa

Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara

Muhammad Irsyadul Ibad Direktur Lembaga Kajian

Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan (infest)

PERSPEKTIF

Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan

bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang

termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi

prasyarat dasar untuk memastikannya.

12 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di t ingkat Kabupaten/ Kota;Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;Penerapan S i s tem In formas i Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Page 15: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

"Ini tidak main-main. Menentukan indikator

kesejahteraan adalah kepentingan warga Desa

Wulungsari."

ernyataan itu diungkapkan oleh salah satu peserta

PSekolah Pembaharuan Desa di Wulungsari, Kecamatan

Selomerto, Kabupaten Wonosobo saat berdiskusi

tentang indikator kesejahteraan lokal. Diskusi sempat

memanas ketika Eko Prayitno, Kepala Dusun (Kadus)

Mranggen dengan Anggi perserta dari unsur pemuda berdebat

tentang indikator kesejahteraan. Menurut sang Kadus,

kepemilikan mobil dan sepeda motor merupakan indikator

utama untuk menentukan kesejahteraan. Ia berpendapat

bahwa masyarakat miskin pun sudah memiliki sepeda motor

dengan takaran harganya berkisar Rp 10.000.000.

Di lain sisi, Anggi berpendapat bahwa indikator utama

kemiskinan adalah pemilikan lahan atau rumah. Namun

pernyataan ini disanggah kembali oleh Kepala Dusun. Masing-

masing saling mempertahankan, hingga nyaris tidak ada titik

temu. Perdebatan berujung dengan mendiskusikan kembali

"Siapa orang yang sejahtera di desa Wulungsari?" Pendapat

yang muncul pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa

sejahtera itu ketika terpenuhinya sandang, pangan, dan

papan. Ada juga yang berpendapat bahwa sejahtera itu

apabila pendidikan dan kesehatannya terjamin. Ada pula

yang bertahan dengan pendapat bahwa keharmonisan

hubungan antara suami-istri dalam rumah tangga juga bagian

dari sejahtera. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari

Sekolah Pembaharuan Desa yang diinisiasi oleh Infest

Yogyakarta bekerjasama dengan lima Pemerintah Daerah

yakni Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Malang, Poso,

dan Takalar. Di masing-masing kabupaten dipilih tiga desa

sebagai model dalam mengimplementasikan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).

Sekolah Pembaharuan DesaAldhiana Kusumawati, Kepala Bagian Pertanahan Sekretaris

Daerah Wonosobo menjelaskan Sekolah Pembaharuan Desa

merupakan ruang belajar bagi desa dan warganya untuk

menuju desa “baru”. Poin penting dalam Sekolah Desa ialah

menitikberatkan peningkatan pengetahuan dan kapasitas

sumber daya manusia sebagai kunci menuju desa mandiri.“Kami (Pemkab Wonosobo), ingin menghindari isu dana

dalam UU Desa. Yang terpenting adalah kemampuan

mengenali aset dan kemampuan desa serta apa yang

dibayangkan tentang desa ke depan,” terang Dhina.

Menurut Frisca Arita Nilawati, selaku Manajer Program Desa

Infest Yogyakarta, Sekolah Pembaharuan Desa menggunakan

pendekatan apresiatif sebagai model pembanguan desa.

Perencanaan apresiatif desa sendiri merupakan pendekatan

yang mengedepankan aset dan potensi desa dalam

penyusunan perencanaan pembangunan desa. Perencanaan

model ini berbeda dengan pendekatan perencanaan

pembangunan yang berorientasi pada penyelesaian masalah.

Perencanaan apresiatif bertujuan untuk menggerakkan

warga desa serta menyiapkan perencanaan yang berorientasi

pada kesejahteraan warga dan mengedepankan

pemerintahan yang demokratis.

Proses yang dilakukan dalam Sekolah Pembaharuan Desa

diantaranya sosialisasi UU Desa, pemetaaan dan

pengorganisasian aset desa, temu warga untuk menetapkan

kesejahteraan menurut ukuran lokal, membuat sketsa desa,

sensus untuk menemukan sendiri kluster rumah tangga sesuai

ukuran lokal, eksplorasi kisah-kisah sukses, dan membangun

komitmen para pihak di desa. Awalnya, di masing-masing

desa dibentuk Tim Pembaharu Desa. Tim ini berjumlah 25

orang yang terdiri dari perangkat desa, anggota Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), kader desa, pemuda, dan

perempuan. Prosesnya dimulai dengan memahami substansi

UU Desa. Melalui pembelajaran mandiri, pemerintah desa

dan masyarakat mempunyai pemahaman yang sama tentang

isi UU Desa. Sehingga, pemahaman tentang UU Desa dapat

menyeluruh serta menyentuh hal-hal yang substantif, salah

satunya mengidentifikasi kewenangan-kewenangan desa.

Sangaji, Ketua BPD Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang

mengungkapkan bahwa model pembelajaran UU Desa

mampu mempertemukan dan menggali keterlibatan

Aktivitas kader Pembaharu Desa Gentansari saat

menyusun peta aset dan potensi desa.

Peta desa membantu warga untuk mengenali

desa sendiri, apa, dimana, dan

bagaimana kondisi aset serta

pembangunan di desa.(Dok.Infest)

Perencanaan Apresiatif dalam Pembangunan Desa

KISAH 13Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 16: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

masyarakat desa dalam membangun desa. Sebab,

menurutnya baik pemerintah desa, pemuda, kelompok

perempuan, dan organisasi sosial di desa menjadi bagian

penting dalam pelaksanaan UU Desa. “UU Desa ini memang

memaksa kita untuk belajar lebih giat lagi terkait dengan

desa kita sendiri,” ujar Sangaji.

Pemetaan aset dan kesejahteraan lokalTahap selanjutnya, Tim Pembaharu Desa melakukan

pemetaan aset serta potensi lokal. Penggalian potensi dan

aset bertujuan untuk menemukenali potensi desa sebagai

kekuatan pendorong kemandirian desa. Terdapat tujuh

kategori potensi desa antara lain sumber daya alam, sumber

daya manusia, sosial, kebudayaan, kelembagaan, fisik,

finansial, dan religius. Untuk memudahkan pembacaan, hasil

penggalian data kemudian divisualkan dalam peta desa.

“Pelatihan pemetaan salah satunya memetakan potensi dan

aset yang ada di desa. Di mana dari hasil pemetaan aset

kemudian memvisualkan lokasi aset. Juga untuk mengetahui

jenis-jenis aset desa, selama ini digunakan untuk apa?, apa

hasilnya?, bagaimana pengelolaannya?, dan di mana

lokasinya,” terang Frisca. Partisipasi warga dalam melakukan penggalian dan analisis aset desa menjadikan warga mengenal dengan baik desanya. Sebab, tidak sedikit warga desa yang tidak mengenal potensi desanya sendiri. Lutfi, salah satu Kader Pembaharu Desa Wulungsari mengaku kaget saat mengetahui hasil pemetaan aset desanya. Setelah melakukan pemetaan aset dan potensi desa bersama kader pembaharu desa lainnya, ternyata Desa Wulungsari mempunyai potensi yang besar. Ia juga mampu melihat bentuk-bentuk pembangunan desa yang selama ini terbengkalai.

"Awalnya saya mengira (Wulungsari) biasa-biasa saja. Ternyata Desa Wulungsari mempunyai potensi besar," ujarnya. Ungkapan Lutfi dapat dipahami, sebab model perencanan pembangunan desa selama ini bercorak sentralistik. Desa selama ini diposisikan sebagai obyek. Alih-alih untuk melibatkan warga, hampir sebagian besar program-program pembangunan di desa sudah dirancang dari balik meja. Sementara desa hanya menjadi pelaksananya. Hal tersebut lambat laun menumpulkan daya kreasi warga dan aparatur dalam proses pembangunan desa. Rasa kepemilikan warga terhadap pembangunan di desa pun semakin terkikis.

Proses selanjutnya, dilanjutkan dengan pemetaan kesejahteraan warga berdasarkan ukuran lokal. Menurut Frisca, perencanaan pembangunan tidak semata-mata berorientasi pada aset, melainkan perlu juga berorientasi pada persoalan kesejahteraan. Pemetaan kesejahteraan lokal berdasarkan standar masing-masing desa. Selama ini, indikator kesejahteraan ditentukan oleh pusat tanpa melihat keberagaman kondisi desa di Indonesia. Sayangnya, indikator

kesejahteraan yang ditentukan dari luar desa menjadi pegangan dalam perencanaan pembangunan desa. Kondisi tersebut ser ingkal i mengakibatkan perencanaan pembangunan tidak menyentuh pemenuhan kebutuhan dasar.

Dalam pemetaan kesejahteraan, penentuan ukuran kesejahteraan d i lakukan secara par t is ipat i f dan dikonsultasikan kepada masyarakat desa. Dengan melihat definisi kesejahteraan masing-masing desa, ukurannya pun beragam. Secara umum, dari proses yang berjalan ada beberapa ukuran kesejahteraan seperti kepemilikan aset tanah, kepemilikan/ukuran bangunan rumah, kepemilikan hewan ternak, pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Masing-masing indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda. Setelah menemukan ukuran kesejahteraan di masing-masing desa, Tim Pembaharu Desa kemudian menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci. Instrumen inilah yang menjadi pegangan Tim Pembaharu Desa dalam melakukan sensus kesejahteraan warga.

Menurut Muhammad Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta, salah satu fungsi pemetaan apresiatif desa adalah untuk menemukenali potensi desa. Kemudian, peta potensi desa juga memudahkan siapapun untuk membaca data. Peta potensi desa juga bisa dipadupadankan dengan tiga peta lainnya untuk melihat kondisi sosial di desa. Sehingga, pemerintah desa dan warga mempunyai basis data untuk menentukan program prioritas dan pelayanan dasar.

"Yang paling penting setelah pemetaan sosial adalah kalau sudah punya data dan peta kita mau apa?" ujar Ibad.

Dokumen-dokumen hasil pemetaan apresiatif kemudian menjadi panduan dalam penyusunan perencanaan pembangunaan desa. Rencana pembangunan desa berbasis potensi lokal dan dilakukan secara partisipatif ini akan menjadi acuan pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan. Dengan begitu, perencanaan desa dapat memenuhi akses pelayanan dasar dan menyejahterakan warga.

[Sofwan, Frisca]

KISAH

Seorang Kader Pembaharu Desa Wulungsari sedang melakukan survei kesejahteraan lokal

di salah satu rumah warga. (Dok. Kader Pembaharu Desa)

“Awalnya saya mengira (Wulungsari) biasa-biasa saja. Ternyata Desa

Wulungsari mempunyai potensi besar,” ujar Lutfi.

Dok. Infest

14 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 17: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Apa dan bagaimana latarbelakang lahirnya Undang-undang Desa?

Desa merupakan modal sosial paling besar di negeri yang semakin terkikis habis dengan dalih pemberdayaan. Pengaturan desa selama ini menempatkan desa sebagai obyek dan lokasi proyek semata. Inilah situasi yang tidak dapat dibiarkan terjadi terus menerus. Sebab, kondisi tersebut akan menjadikan desa pasif dan hanya mengharapkan bantuan. Pola pemberdayaan dan pembangunan desa semacam itu sangat merugikan desa sendiri dan negara ini. Itulah sebabnya kemiskinan di desa tidak pernah menurun.

Kedua, arus urbanisasi semakin besar karena desa dianggap tidak menjanjikan masa depan. Setiap tahun semakin banyak orang desa yang berpindah ke kota. Sumber dana pembangunan yang dikelola desa hanyalah sisa-sisa uang daerah, yang disebut ADD (Alokasi Dana Desa) itu. Bahkan, masih ada daerah yang belum memberikan ADD.

Momentum apa yang bisa menjelaskan lahirnya UU Desa? Kenapa, UU Desa baru lahir di tahun 2014, bukan tahun-tahun sebelumnya?

Reformasi nasional memang disadari menyisakan PR (Pekerjaan Rumah) tentang pengaturan desa. Desa yang memiliki sejarah asal usul tidak serta merta langsung

menjadi bagian dari kabupaten. Dalam hal ini kita memang berkepentingan menjaga nilai Bhineka Tunggal Ika yang irisannya sangat besar dengan pengaturan desa. Keragaman adalah kekayaan yang luar biasa di negeri ini, sehingga selain membangun kesejahteraan desa di masa depan, ada kebanggaan ragam budaya yang mengitari nusantara ini. Soal tahun itu hanya soal waktu. Memang, memberikan pemahaman tentang desa kepada semua pihak bukan sesuatu yang mudah. Sampai hari ini pun PR ini belum selesai benar.

Apa yang membedakan UU Desa 2014 dengan peraturan-peraturan atau produk hukum sebelumnya yang mengatur tentang desa? Bisa dijelaskan?

Undang-undang Desa memberikan ruang bagi desa untuk mewujudkan kemandir ian. Undang-undang Desa menempatkan desa sebagai subyek melalui kejelasan kewenangan dan transfer keuangan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang lebih pasti. Kejelasan alokasi dana ini akan memudahkan desa dalam menyusun perencanaan desa. Kalau dulu perencanaan desa hanya berisi usulan ke kabupaten, mulai saat ini perencanaan desa harus ia laksanakan sendiri. Desa dapat mengusulkan ke kabupaten hanya untuk kepentingan antar desa. Sedangkan program berskala desa harus diselesaikan sendiri. Inilah makna pemberdayaan desa yang sebenanrnya, yakni memberikan kepercayaan kepada desa.

WAWANCARA

isahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan wujud kemenangan bagi desa. Melalui

DUU ini, negara mengakui keberagaman dan kewenangan desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas. Berikut adalah petikan wawancara dengan Farid Hadi Rahman, pegiat Forum Desa Nusantara (FDN) dan Forum

Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Forum-forum ini terdiri dari berbagai kalangan baik akademisi, lembaga pemerintahan desa maupun kabupaten, lembaga swadaya masyarakat, media komunitas, warga desa, dan lain-lain yang menaruh perhatian pada isu-isu desa sekaligus getol mendorong disahkannya UU Desa melalui berbagai saluran dan pengorganisasian.

Saatnya Desa Menjadi Subyek

15Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

wawancara

dengan

Farid Hadi Rahman

Page 18: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Asas rekognisi yang menjadi dasar pengaturan desa artinya itu tadi, mengakui keragaman desa, termasuk cara dan nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap desa. Jadi tidak boleh ada lagi pola seragam dalam memberdayakan desa. Asas subsidiaritas juga memberikan ruang kepada desa untuk semakin kreatif mengurus urusan yang skala lokal. Apa yang bisa diselesaikan melalui musyawarah, maka (kewenangan) desa menyelesaikannya. Dua asas ini tidak ada dalam

pengaturan desa sebelumnya. Dua asas ini berimplikasi pada cara pemberdayaan yang lebih beragam dan berbasis pada aset dan kekuatan dari dalam desa. Membangun emansipasi dari dalam desa. Yang akan menjadi kendala adalah masih banyak yang tidak percaya kepada desa sehingga semua desa mau didampingi. Pendamping itu diperlukan hanya untuk desa yang belum berdaya, jadi tidak semua desa membutuhkannya. Jenis dampingannya pun berbeda-beda. Karena pemberdayaan itu salah satu kewenangan desa, maka sebaiknya desa mencari pendamping dari dalam. Pendamping organik yang mengenal desanya dengan baik.

Apakah Anda setuju, bahwa UU Desa menjadi jawaban atau solusi strategis bagi persoalan-persoalan di desa? Mengapa?

Pesoalan desa itu ada karena pengaturan desa tidak tepat selama ini. Ada pola ketergantungan yang sengaja dibangun oleh supra desa dengan dalih pemberdayaan. Kegiatan proyek sektoral yang tersegmentasi dan tidak tersistem di bawah itulah yang menjadikan masalah semakin komplek di desa. Undang-undang Desa berupaya mengkonsolidasikan berbagai pengalaman penataan desa selama ini menjadi satu sistem. Desa mengelola kewenangannya dan supra desa memfasilitasi pembangunan skala kawasan. Mengelola artinya mengatur dan mengurus. Kalau UU Desa dilaksanakan secara konsisten, saya yakin persoalan desa akan berangsur selesai. Pemerintah desa dan warga akan semakin berdaya dan scara bertahap akan meningkat kemampuan dan kepercayaannya untuk mengelola kewenangannya.

Dalam beberapa pemberitaan hingga obrolan di warung kopi, pemahaman tentang UU Desa adalah dana desa yang besar. Apakah dana desa memang kunci dari UU Desa?

Salah satu kunci iya, tetapi satu-satunya kunci tentu tidak. Undang-undang Desa mendorong asas rekognisi dan subsidiaritas sehingga desa wajib melaksanakan kewenangan

asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Mengurus pemerintahan, pelayanan, kemasyarakatan, pemberdayaan dan pembangunan. Termasuk menata aset dan ekonomi desa. Untuk melaksanakan tugas itulah, maka desa mempunyai hak atas uang yang dikelola pemerintah. Tidaklah mungkin tugas tersebut dapat dilaksanakan oleh desa tanpa kapasitas sumber dana. Masalah kelembagaan jauh lebih utama daripada soal uang, tetapi tanpa uang yang jelas dikelola desa, desa akan tetap hanya menjadi obyek seperti selama ini.

Atau, Anda mempunyai pandangan lain tentang dana desa? Misalnya, bagaimana dana desa seharusnya dikelola dan digunakan untuk prioritas apa saja?

Prioritasnya ya sesuai dengan perencanaan desa.

Bagaimana mekanisme penggunaan dana desa menurut Anda?

Ini pertanyaan teknis. Intinya, dana desa itu bagian dari pendapatan desa dalam APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Sedangkan APBDesa tersebut disusun berdasarkan perencanaan desa.

Apa saja yang perlu dipersiapkan desa untuk implementasi UU Desa?

Desa harus memahami isi UU Desa itu sendiri. Desa yang dimaksud adalah semua elemen meliputi pemerintah desa, organisasi warga, lembaga adat, dan warga sendiri. Sosialisasi di dalam desa adalah tugas kepala desa agar warganya memahami dan ikut melaksanakannya. Kedua, segera menetapkan kewenangan desa dan menyusun perencanaan, termasuk menetapkan APBDesa. Ketiga, pemerintah desa melaksanakannya secara partisipatif dan t r a n s p a r a n . K e e m p a t , k e p a l a d e s a m e m b u a t pertanggungjawaban atas apa yang dimandatkan dalam peraturan desa. Dalam hal ini, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) memastikan semua itu berjalan baik, ikut menyusun regulasi, mengawasi, dan mengapresiasi atau mengoreksi atas pelaksanaan dan pertanggunjawaban penyelenggaraan desa. [*]

“Asas rekognisi yang menjadi dasar pengaturan desa, mengakui keragaman desa, termasuk cara dan nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap desa. Jadi tidak boleh ada lagi pola

seragam dalam memberdayakan desa. Asas subsidiaritas juga memberikan ruang kepada desa

untuk semakin kreatif mengurus urusan yang skala lokal."

WAWANCARA

Dok. Pribadi

16 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 19: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Apa latar belakang dan urgensi UU Nomor 6 tahun

2014 tentang Desa?

Adanya kebutuhan tentang undang-undang yang baru

dan benar, itu sudah dimulai sejak lama. Sekitar

pertengahan 90-an atau bahkan lebih awal. Karena

Undang-undang Desa yang berlaku pada saat itu,

Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan amanat

konstitusi. Pada saat itu gerakan masyarakat sipil lebih

banyak bicara soal masalah lingkungan yang kaitannya

dengan pemanfaatan sumberdaya alam. Nah, pada saat

itu ada dua masalah yang menonjol, pertama, banyak

sumberdaya alam yang diserahkan oleh negara kepada

dunia usaha, terutama kehutanan dan pertambangan.

Kedua, pemerintahan desa sendiri dianggap tidak

berpihak kepada masyarakat dalam kasus-kasus seperti

itu. Pada 1993, orang-orang sudah bicara hak-hak

masyarakat lokal atau saat itu juga disebut masyarakat

terasing. Dalam laporan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun

1989 yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia (LBHI), saya menulis tentang hak-hak budaya.

Kok ada masyarakat di wilayah Indonesia yang hak-

haknya terhadap sumberdaya lingkungan, alam, dan

struktur pemerintahan tidak diakui.

Di konstitusi kita pasal 18 menyatakan di Indonesia

mengakui masyarakat adat atau Volsgemeenschappen,

atau yang disebut desa di Jawa dan Bali, Nagari di

Minangkabau, Marga di Palembang dan seterusnya.

Berdasarkan itulah semakin jelas bahwa banyak

peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya

alam dan juga pemerintahan tidak sesuai. Karena

k o n s t i t u s i s e n d i r i m e n y a t a k a n b a h w a

Volsgemeenschappen yaitu desa atau dengan nama lain

mempunyai hak asal-usul. Negara harus menghormati.

Dilihat faktanya bahwa masyarakat tersingkir di dalam

hak terhadap tanah dan dalam struktur pemerintahan

desa, tentu itu tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

Oleh sebab itu, sejak itu advokasi tentang menegakkan

hak-hak masyarakat adat, atau masyarakat hukum

adat, atau desa itu semakin gencar. Pada kongres

masyarakat adat yang pertama, salah satu tuntutan

yang diajukan adalah dicabutnya UU Nomor 5 tahun

1979. Ketika Reformasi bergulir, undang-undang

tersebut termasuk yang dicabut pemberlakuannya

karena dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

Tahun 2000 pasal 18 itu diamandemen. Hasilnya

menegaskan kembali pengakuan hak masyarakat adat

itu di dalam Pasal 18 B ayat 2. Nah, ketika UU Otonomi

Daerah muncul, sebenarnya pengaturan hak-hak asal-

usul itu diakui. Tetapi bagaimana pengakuan itu

dijabarkan, itu yang belum jelas. Baik di UU Nomor 22

Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah berikut penjabarannya masing-

masing melalui Peraturan Pemerintah (PP) 76 Tahun

2001 dan PP 72 Tahun 2005. Itulah latarbelakangnya.

Jadi kalau kita mencoba memahami bagaimana

Undang-undang hari ini, kita harus berangkat dari sana.

Apa yang membedakan UU Desa Nomor 6 tahun 2014

dengan UU sebelumnya?

Dengan cara berpikir yang baru, hari ini kita menemui

UU Desa yang sama sekali berbeda rohnya dengan

undang-undang pengaturan desa yang lama. Dengan UU

yang baru, ada dua asas utama yang selama ini belum

pernah digunakan dalam hukum tatanegara kita yaitu

rekognisi atau pengakuan dan subsidiatritas. Jadi

dengan pengakuan itu maka otonomi desa tidak lagi

dikembangkan sebagai hasil turunan dari politik

desentralisasi yang diterima oleh daerah, tetapi itu

adalah otonomi desa yang sendiri. Bukan bagian dari

desentralisasi, tapi dia otonomi desa yang diturunkan

langsung dari konstitusi berdasarkan prinsip rekognisi

itu tadi.

Pentingnya Pendidikan Berdesa

Yando Zakaria, mantan anggota Tim Ahli Panitia Kerja RUU Desa mengakui bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun

2014 memberikan ruang yang luas bagi seluruh warga untuk terlibat dalam pembangunan desa. Hal terpenting

adalah melakukan pendidikan ulang tentang makna Berdesa. Menurutnya, inti dari UU Desa berada pada

kewenangan desa dan keterbilatan warganya. Berikut ulasan wawancaranya:

Dok. Infest

WAWANCARA 17Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

wawancara

dengan

Yando Zakaria

Page 20: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Ada yang menganggap dampak kemunculan UU Desa

adalah munculnya, dalam tanda kutip, raja-raja kecil

di desa. Apakah ketakutan tersebut bisa diamini?

Saya kira harus dipisahkan antara menjabarkan amanat

konstitusi dan dampak. Yang satu adalah prinsip dan tidak

boleh dilanggar, kecuali itu dicabut dari undang-undang.

Tetapi bahwa kemudian prinsip itu menimbulkan “raja-

raja kecil” sebenarnya itu adalah distorsi dari pengakuan

itu sendiri. Kedua, harus dipisahkan karena itu adalah

dampak . Ha l i t u b i ca ra ten tang baga imana

mengimplementasikan amanat konstitusi. Munculnya

“raja-raja kecil” itu menurut hemat saya akibat dari

terabainya pada masa lalu. Kemudian saat sekarang

diakui, menjadi euforia. Di sisi lain pemerintah tidak

sanggup mengawasi pelaksanaannya.

Kemudian, orang ketika bicara UU Desa itu selalu

bicara tentang dana desa. Dalam penjelasan tadi,

sepertinya dana desa itu bukan suatu yang utama

sebetulnya?

Bukan. Sebenarnya dana desa itu hanya muara dari prinsip

rekognisi dan subsidiaritas. Dan jangan lupa, angka yang

dianggap besar sekarang itu tidak berbeda dari angka

masa lalu. Hasil survei dari temen-temen Sekolah Tinggi

Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD), kesimpulanya

adalah pada saat UU Desa disusun, uang di desa sudah

mencapai 1,2 Miliar. Riset tersebut melibatkan 135 desa

dari Sabang sampai Merauke, dengan kategori yang bisa

mewakili. Jadi tidak ada yang baru. Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) berapa uangnya. Iya

kan?

Yang baru, kalau sebelumnya dana-dana itu dikomisi oleh

berbagai tangan, ada yang Depdagri untuk PNPM, ada yang

PU, ada yang dari Dinas, Kabupaten, akhirnya dana yang

banyak tadi sebenarnya penggunaannya menjadi

fragmented. Orang desa tidak pernah tahu bahwa di

desanya ada 1,2 M. Coba ikuti berita, orang desa itu hanya

tahu ADD. ADD itu tidak lebih dari 15 persen dana di desa.

(Selebihnya) 85 persen itu dana pusat, dana provinsi, dana

kabupaten.

Nah, dulu itu masuk dikelola oleh banyak program. Ada

pengawasan, ada keuntungan, ada pengawasan dari

banyak pimpro. Tapi pada saat yang sama ada

kelemahan, kita tidak tahu efektifitas masing-masing

cost itu. bagaimana hubungan antar pos, bagaimana

sinergi antara PNPM dengan ADD, sinergi proyek fisik

dari PU dengan ADD tidak ada yang tahu.

Sekarang uangnya sama dan itu hanya satu posnya,

masuk di dalam APBDesa. Tantangannya adalah dengan

satu pos, maka terbuka peluang untuk memikirkan

sinergisitas antara berbagai sektor. Tantangannya

adalah pengawasan. Tetapi, pengawasan juga

bukannya tidak diurus UU Desa. Ada 6 pasal yang bicara

soal hak partisipasi masyarakat dalam UU Desa.

Sekarang, apakah masyarakat desa mampu

memanfaatkan peluang-peluang untuk pengawasan

yang ada di UU Desa?. Dana ini akan efektif tergantung

dari dua hal: perencanaan yang baik dan pengawasan

yang kuat.

Menurut Anda, apa tantangannya sekarang?

Menurut saya tantangan dari UU Desa itu berada di

tingkat desa sendiri. Tingkat desa itu sudah terlanjur

apatis akibat dari politik perencanaan dan anggaran

masa lalu. Sekarang terjadi perubahan sementara

masyarakatnya masih apatis. Nah, ini harusnya

membutuhkan pendidikan ulang di masyarakat, yang

mengatakan bahwa, kalau dulu kita berpartisipasi itu

kita bodoh karena kita akan jadi objek penipuan saja.

Objek untuk justifikasi kepentingan orang lain. Tapi hari

ini anda harus terlibat secara partisipatif, karena Anda

rugi kalau tidak partisipatif. Karena Anda tidak akan

menentukan perencanaan uang yang ada.

Kemudian, di UU Desa ada soal pembentukan desa

adat yang baru atau menjadi desa. Apakah

dimungkinkan dalam konteks kita saat ini?

Cara berpikirnya harus diubah. Pengakuan adat itu

bukan pengakuan adat pada masa lalu, melainkan

bagaimana wujudnya pada hari ini. Yang namanya sosial

pasti berubah lah. Jadi nggak bisa dilihat adat sebagai

masa lalu, tapi adat itu dilihat sebagai tatanan yang

memang dibangun seiring dengan pertumbuhan

masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, berbeda dengan

peraturan perundangan yang lain, UU Desa

memperlakukan kriteria pengakuan desa adat itu

relatif lebih longgar. Karena biasanya ada lima kriteria

untuk pengakuan yang dilihat. Bahwa ada masyarakat

yang masih guyub, pemerintahan adat, masyarakat

adat, kekayaan adat, dan hukum adatnya. Ini sudah

berubah. Misalnya soal pemerintahan adat, nggak

pernah diakui, ya mati lah. Sudah digantikan oleh

pemerintahan yang lain. Kalau lima ini diperlakukan

secara akumulatif, pasti tidak akan banyak masyarakat

adat yang bisa mendirikan desa adat.

Dok. Infest

WAWANCARA18 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 21: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Nah, UU Desa menerapkan pendekatan affirmative

action. Lima ini tidak bersifat akumulatif, melainkan

fakultatif. Yang penting syarat pertama, wilayahnya

jelas. Karena kita akan mengatur pemerintahan dan

pembangunan, maka wilayah menjadi penting.

Kemudian salah satu dari yang empat yang lain,

terserah yang mana saja. Dengan cara itu sebenarnya

desa adat akan muncul sesuai perkembangan adat pada

masyarakat adat pada hari ini.

Bagaimana Anda melihat kesiapan desa adat dalam

implementasi UU Desa?

Begini, tatanan adat di berbagai pelosok negeri ini kan

nggak sama derajatnya. Jadi nggak bisa kita pukul rata

masyarakat adat itu. Di Indonesia kalau kita bicara

masyarakat hukum adat itu juga berada dalam rentang

yang berbeda. Mulai dari yang tidak mengenal sampai

yang sudah mengenal sebuah sistem yang disebut

dengan republik kecil seperti Minangkabau. Mungkin

ada yang pernah mengenal tapi hancur lebur atau

pernah mengenal tapi tidak punya basis. Jangan lupa,

beberapa susunan asli, misalnya Kedamangan dan

Ketemenggungan di Kalimantan Tengah perlu

direnungkan apakah betul susunan asli atau tidak?. Di

beberapa daerah di Kalimantan Tengah mungkin ada

Kedemangan yang mengakar tetapi ada wilayah-

wilayah tertentu yang tidak.

Jadi menurut saya, UU Desa juga tidak melakukan

pemaksaan. Yang penting negara mengamalkan amanat

konstitusinya dan hak masyarakat hukum adat diakui.

Hak itu antara lain untuk memerintah dirinya sendiri.

Bahwa itu tidak diambil oleh masyarakat hukum adat

yang lain itu urusan mereka.

Makanya undang-undang kan menyatakan boleh sejauh

prakarsa masyarakat. Negara sudah memberikan hak

itu melalui UU Desa, silahkan berunding. Jadi

penerapan desa adat sangat tergantung pada masing-

masing konteks masyarakat hukum adat di Indonesia.

Kalau dalam konteks konsolidasi aset dan sumber

daya alam, bagaimana caranya agar desa

mengkonsolidasikan aset-asetnya demi

kesejahteraan bersama?

Yang penting dalam UU Desa, kita harus melakukan

pendidikan di tingkat desa. Perlu dibangkitkan kembali

makna berdesa, memerintah diri sendiri, ada aset

sendiri, kewenangan sendiri, dan seterusnya. Perlu

dibangkitkan suatu cara pandang baru terhadap desa.

Jangan terlena dengan cara pandang yang kadung salah

sampai hari ini bahwa desa atau pemerintahan desa

bukan bagian dari kehidupan masyarakat. Karena

memang posisi pemerintahan desa diposisikan bukan

sebagai instrumen kehidupan komunitas, tetapi

instrumen pengawasan dari atas.

UU Desa menyiapkan instrumen untuk mengatur

kepentingan bersama dan strategis melalui Musdes.

Musdes hanya akan bermanfaat kalau pemerintahan

desa dan masyarakat mempunyai pandangan baru

tentang berdesa atau kembali mengurus rumahtangga

sendiri. Tidak mudah memang. Instrumen yang ada di

desa, mulai perencanaan, pengawasan sebagai sebuah

sistem rumahtangga untuk mengurus dirinya sendiri.

Instrumen itu tidak ada artinya kalau cara pandang

warga desa tidak demikian. Dia akan jadi instrumentalis

saja. Dan ini tantangannya, tidak mudah memang.

Apa saja yang perlu diketahui masyarakat tentang

UU Desa?

Pertama , masyarakat dan desa harus b i sa

mengidentifikasi apa kewenangan asal-usul mereka.

Karena itu nanti akan ditetapkan melalui Peraturan

Bupati (Perbup). Jangan sampai kewenangan ini

ditentukan secara sepihak oleh kabupaten. Karena ini

s i fatnya rekognis i dan subsidiar itas, bukan

desentralisasi. Desa punya hak asal usul.

Apa hak asal-usulnya, hanya orang desa yang tahu.

Karena itu rumuskan apa saja kewenangan yang ingin

dilakukan, yang bisa dilakukan, yang ingin dilakukan,

yang memang sudah dilakukan, dan sudah jadi tradisi

untuk dilakukan. Jangan sampai kemudian ruang yang

sudah terbuka itu ditutup oleh pihak lain.

Kedua, masyarakat harus tahu lebih luas bahwa mereka

berhak untuk menentukan perencanaan bahkan

penggunaan anggaran. Ruangnya adalah Musdes. Untuk

bisa terlibat Musdes, pastikan kelompok-kelompok

yang ada di desa itu menjadi bagian dari lembaga

kemasyarakatan yang ada di desa. Mereka tidak hanya

berhak di dalam perencanaan, tapi bahkan berhak

dalam pelaksanaan proyek.

Karena dalam pelaksanaan pembangunan di desa itu

diselenggarakan oleh kepala desa bersama masyarakat.

Jadi masyarakat juga turut menjadi pelaku aktif.

Karena dengan prinsip membangun desa sekarang,

tidak ada lagi proyek-proyek yang dikerjakan melalui

tender pihak ketiga. Seluruh kegiatan yang ada di desa

bersifat swakelola.

Ketiga, yang terpenting menurut saya, masyarakat

berhak melakukan pengawasan. Kepala desa wajib

memberikan informasi. Wajib itu kalau tidak

dilaksanakan berdosa karena melanggar hukum.

Artinya, kalau kepala desa tidak memberikan sesuai

yang diatur oleh UU Desa itu, maka kepala desa bisa

dinyatakan melanggar sumpah. Karena sumpahnya

mengatakan melaksanakan undang-undang sebenar-

benarnya. Jadi melanggar hukum. Kalau melanggar

hukum, udah syarat untuk ditinjau ulang posisinya. Jadi

itu clear sekali. [Sofwan]

19WAWANCARA Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 22: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

atu per satu, para perempuan itu berebut untuk

Sbersuara. Apa yang mereka sampaikan cukup beragam berdasarkan pengalamannya masing-

masing. Suara mereka tidak semata bentuk kegelisahan akan kond i s i kaumnya , namun l eb ih j auh mempertimbangkan sisi kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka sebagai generasi penerus bangsa. Kendati demikian, tidak jarang suara mereka tertahan dalam forum musyawarah perencanaan dan pengembangan desa. Kehadiran mereka seakan hanya memenuhi kuota.

Para perempuan ini sejatinya tidak ingin dituduh hanya duduk manis. Nyatanya, mereka mampu memunculkan gagasan serta merespon kebutuhan-kebutuhan strategis. Di salah satu desa, bahkan para perempuannya memiliki karakter yang dinamis, pandai dan aktif mengambil peluang dan cukup responsif.

Para perempuan itu adalah perwakilan dari kelompok perempuan di desa baik dari sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi komunitas, pertanian, organisasi keagamaan, serta pengurus PKK. Mereka datang memenuhi undangan peneraan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta pada Rabu-Jumat (25-27/2/2015) di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, dan Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara. Peneraan ini bertujuan mengetahui kebutuhan perempuan serta sejauhmana peran dan partisipasi mereka dalam forum musyawarah desa.

Selama tiga hari, Infest Yogyakarta juga melakukan pertemuan dengan kelompok perempuan terkait

rencana "Sekolah Perempuan". Di awal diskusi, mereka tidak mampu membendung rasa ingin tahunya tentang gambaran "Sekolah Perempuan". Tidak heran jika di antara mereka mulai bercerita pengalaman pelatihan dari program pemberdayaan yang pernah dilakukan di desanya. Dari tiga desa tersebut, jawaban mereka seragam, bahwa selama ini mereka hanya mendapatkan pelatihan ketrampilan seperti menjahit, membuat makanan tertentu, menggunakan mesin, dan lain-lain.

Perempuan Miskin

Makin Terjerat Hutang

Sejumlah pelatihan yang menyasar ke perempuan desa, ternyata masih belum mampu mengubah kondisi mereka lebih baik lagi. Bahkan, sejumlah perempuan mengaku masih bergantung pada pinjaman dari bank harian serta dari Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di

Darurat Pendidikan Kritis Bagi Perempuan di Desa

Oleh: Alimah Fauzan

CATATAN PENGETAHUAN20 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Menyusun gagasan menuju desa impian

( Dok. Infest)

Page 23: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

desa. Para perempuan miskin di desa menghadapi serbuan iming-iming hutang terutama dari bank harian. Mereka terjerat hutang tanpa mampu segera melunasinya. Mereka sering mengambil kesempatan yang ditawarkan dengan berhutang untuk keperluan harian yang tidak produktif, mereka juga membuat kesepakatan-kesepakatan yang hanya semakin menjerat mereka. Debt collector pun semakin mengancam mereka. Banyaknya pinjaman yang macet dikembalikan, hanya menjerat perempuan miskin dan semakin ketergantungan.

Bagi masyarakat miskin, bantuan tersebut menjadi "berkah" di tengah desakan kebutuhan hidup serta himpitan kemiskinan yang terus melilit. Namun, di saat bersamaan, berkah itu dapat berubah menjadi beban, khususnya bagi mereka yang berutang karena menggunakan dana bergulir sebagai modal usaha.

Sementara itu, di beberapa kasus melalui usaha pengelolaan bidang pertanian seperti mengelola jenis-jenis tanaman jangka pendek, hasil produksi tidak memberi perubahan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Sebaliknya, demi melunasi utang yang harus dibayar setiap bulan --padahal masa panen belum tiba-- mereka terpaksa menjual tanah miliknya guna melunasi beban hutang. Ibarat bebas dari mulut harimau kemudian masuk ke dalam mulut buaya. Dalam kasus seperti ini obsesi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan seakan tidak mencapai tujuan sesungguhnya dari program tersebut.

Saatnya Perempuan

Mengawal Reformasi Desa

Selama ini, perempuan menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang menjadi penerima manfaat langsung dari implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selaku penerima manfaat, idealnya kelompok perempuan turut mengetahui adanya regulasi pembangunan dari UU Desa di tingkat pemerintahan desa. Hal ini dapat berimplikasi pada penerima manfaat program. Sementara itu, kondisi perempuan saat ini belum mengetahui secara umum tentang aspek-aspek yang akan diimplementasikan pada UU Desa. Apalagi terkait kemungkinan manfaat yang dapat diterima oleh kelompok perempuan di desa.

Minimnya sosialisasi terkait implementasi UU Desa dan implikasinya bagi masyarakat, menjadi salah satu faktor penyebab ketidaksiapan masyarakat untuk mengawasi dan terlibat dalam pembangunan di Desa. Terutama sosialisasi kepada kelompok perempuan. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh beberapa kabupaten hanya menyasar kelompok elit, sehingga masyarakat tidak mengetahui nilai manfaat implemen- tasi UU Desa bagi masyarakat luas.

Perempuan juga belum memiliki kapasitas dan pengetahuan memadai untuk terlibat dalam perencanaan dan pengawasan implementasi

pembangunan di desa. Di sisi lain, pemerintah desa masih tertutup kepada masyarakat terkait informasi penting pembangunan. Sehingga tidak heran apabila banyak perempuan desa mengeluhkan tentang usulan-usulan mereka banyak yang tidak terealisasi.

Minimnya sumber informasi tepat tentang pembangun- an di desa membuat perempuan desa tidak dapat ter l ibat mengembangkan dir i dalam proses pembangunan. Padahal komitmen Pemerintah RI terhadap kesetaraan gender telah ditetapkan sejak tahun 2000 melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarus- utamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Pemerintah menginstruksikan kepada semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG, dan dilanjutkan dengan diintegrasikannya perspektif gender ke dalam perencanaan pembangunan.

Dari beragam studi terungkap bahwa persentase perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa tidak pernah lebih dari 20 persen. Situasi problematik ini dihadapi oleh UU Desa yang mewajibkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa dan musyawarah (pasal 68). Partisipasi mengandung konten kesetaraan dimana suara dalam pertemuan dinilai sebagai input warga

Dok. Infest

CATATAN PENGETAHUAN 21Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 24: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

negara tanpa terkecuali. Di sisi lain, kapasitas perempuan dalam pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Sehingga perempuan mampu merespon kebutuhan-kebutuhan strategis.

Pendidikan Kritis

Melalui Sekolah Perempuan Desa

Dari sekian persoalan perempuan, penting sekali membangun kesadaran kritis masyarakat khususnya perempuan terutama untuk mengawal reformasi desa. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan Sekolah Perempuan di desa. Melalui sekolah perempuan, penguatan kapasitas bagi perempuan miskin dilakukan supaya terbangun kesadaran kritis dan terlibat aktif dalam proses pembangunan.

Sekolah Perempuan bertajuk "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa" menyasar perempuan desa. Melalui Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, para perempuan desa akan diberikan strategi dan pengetahuan terkait dengan pentingnya perempuan terlibat aktif dalam pembangunan desa. Sekolah Perempuan diarahkan pada penguatan paradigma perempuan melalui materi pendidikan kritis

perempuan. Selain itu, ketrampilan berupa strategi pengelolaan dan pendataan potensi desa menjadi bahan ajarnya. Kemampuan berkomunikasi, teknik advokasi dan negosiasi juga menjadi bahasan yang penting. Politik anggaran menjadi bahasan harus dikuasai oleh perempuan desa guna melakukan pembacaan atas anggaran desa dan kemanfaatannya bagi masyarakat desa.

Sementara itu, untuk "Kolaborasi Alumni Sekolah Perempuan dengan Rencana Pembangunan Desa", kegiatan ini mengarah pada hasil konkrit dari Sekolah Desa. Dimana kelompok perempuan akan mampu membuat peta sosial desa yang bisa dijadikan acuan dalam Rencana Kerja dan Pembangunan Desa (RKPDesa). Kelompok perempuan yang telah memiliki peta aset, kesejahteraan dan berbagai usulan pembangunan akan duduk bersama dengan perangkat desa. Mereka melakukan penyusunan RKPDesa dan membentuk kelompok kerja perempuan. Sehingga, mereka akan menjadi penyeimbang pemerintah desa dalam melakukan kajian-kajian perencanaan pembangunan. Kegiatan ini akan menghasilkan RKPDesa yang berpihak terhadap kebutuhan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan lain-lain.

Alimah Fauzan

Gender Spesialist

Officer Infest

CATATAN PENGETAHUAN22 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Sekolah Perempuan di Institut Mointuwu, Poso. (Dok. Infest)

“Minimnya sumber informasi tepat tentang pembangun- an di desa membuat perempuan desa tidak dapat terlibat mengembangkan diri dalam proses pembangunan.”

Page 25: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

erencanaan apresiatif desa (appreciative rural

Pplanning) adalah pendekatan yang mengedepankan aset dan potensi desa dalam penyusunan rencana

pembangunan desa. Perencanaan model ini berbeda dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Perencanaan apresiatif bertujuan untuk menggerakkan warga desa untuk mengembangkan diri berbasis pada potensi.

Berbeda dengan pendekatan penyelesaian masalah (deficit based planning), pendekatan apresiatif mencoba menemukenali jenis-jenis kekuatan dan aspek-aspek kunci yang dapat menggerakkan masyarakat di tingkat desa dan pada akhirnya turut menyelesaikan masalah yang timbul di tingkat desa.

Pendekatan ini mengedepankan beberapa prinsip, yaitu:1. Apresiasi atas kewenangan desa. UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada desa yang tidak bersifat residu atau sisa dari kewenangan supra desa. Pendekatan ini memandang bahwa kewenangan desa merupakan aset dan potensi yang dapat menggerakkan perkembangan desa. Desa perlu menemukenali kewenangannya sebagai dasar dari pengembangan masyarakat.

2. Apresiasi aktor desa. Salah satu kekuatan terbesar dari desa adalah sumber daya manusia. Apresiasi aktor mengedepankan upaya menemukenali aktor-aktor penting (baik yang sudah dikenal atau masih tersembunyi) untuk diajak bersama melakukan serangkaian upaya pengembangan desa. Dengan demikian, pembangunan desa tidak semata menjadi tugas pokok pemerintahan desa, melainkan tugas masyarakat. Pada bentuk ini, Infest Yogyakarta di beberapa desa dampingan mengembangkan Tim Pembaharu Desa yang berisi masyarakat dan pemerintahan desa. Prinsip partisipasi dan keterbukaan menjadi prinsip dasar operasionalisasi dari konsep apresiasi aktor desa.

3. Pemahaman atas aset desa. Pembangunan yang baik berorientasi pada perkembangan dan bukan pada penyelesaian masalah semata. Konsep ini dapat terjadi apabila desa mengenal aset-aset yang dimilikinya. Perencanaan apresiatif salah satunya dilakukan dengan menemukenali aset di tingkat desa. Pemetaan aset dilengkapi dengan menemukenali aspek yang dapat menggerakkan atau mengembangkan aset di tingkat desa.

4. Pemahaman atas kesejahteraan masyarakat. Setelah peta aset, status dan kesejahteraan menjadi penting untuk ditemukenali oleh desa. Peta kesejahteraan menjadi rujukan dalam proses pembangunan. Orientasinya adalah peningkatan kesejahteraan. Mempert imbangkan keberagaman, desa harus memiliki standar sendiri untuk mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Klasifikasi tersebut diperinci dengan sensus kesejahteraan dan verifikasi di tingkat desa.

Perencanaan berbasis data dan partisipatif. Data menjadi kata kunci dalam perencanaan apresiatif. Data yang diperoleh melalui proses pemetaan menjadi kunci dalam penyusunan perencanaan desa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa). Perencanaan pembangunan apresiatif mengacu pada data dan dilakukan secara partisipatif. Partisipasi menjadi elemen dasar yang sudah dilakukan sejak pada tahapan penyiapan data yang dirujuk dalam penyusunan kebijakan.

Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu mitra strategis Infest Yogyakarta dalam upaya menciptakan model implementasi UU Desa. Perencanaan apresiatif menjadi salah satu piranti lunak yang dibangun bersama dengan pemerintahan Kabupaten Wonosobo. Mengacu pada pembelajaran yang didapatkan pada 3 desa percontohan di Kabupaten Wonosobo (Gondang, Wulungsari, dan Tracap), pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta mencoba memperluas cakupan pelaksana perencanaan apresiatif.

Melalui rapat koordinasi terbatas Pada 30 Juli 2015, Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta menyepakati perluasan implementasi perencanaan apresiatif. Untuk Kepentingan tersebut, Pemerintah Wonosobo menyiapkan 147 anggota task force tim pendamping desa yang akan mendapatkan mandat pendampingan perencanaan apreasiatif di tingkat desa. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari refleksi atas adanya dampak positif beberapa bagian dari perencanaan apresiatif di desa percontohan. Perluasan ini akan dilakukan di 15 kecamatan dengan satu desa sebagai percontohan. Aktivitas ini akan dilakukan dengan pembiayaan mandiri dari Kabupaten Wonosobo.

Perluasan Penerapan Peta Kesejahteraan Lokal Desa di Kabupaten WonosoboOleh M. Irsyadul Ibad

Fokus pada perluasan ini adalah peningkatan kapasitas desa dalam partisipasi masyarakat dan identifikasi kesejahteraan sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan desa-desa di Wonosobo pada akhirnya dapat menerapkan dua aspek dalam pemerintahan, yaitu perencanaan apresiatif desa dan open data keuangan desa. Kedua elemen tersebut akan tercermin dalam kebijakan di tingkat Kabupaten yang saat ini sedang disusun.

Roadmap Peta Kesejahteraan Kabupaten Wonosobo

CATATAN PENGETAHUAN 23Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 26: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

“Sekarang bapak-bapak di sini (kantor Desa Jatilawang) sudah mau masak sendiri, termasuk masak air, bikin teh dan menyuguhkan air. Biasanya menyuruh ibu-ibu, sekarang mau melakukan sendiri.”

Sambil tersenyum, Rini salah satu peserta Sekolah Perempuan di Desa Jatilawang buru-buru membalas sebuah candaan yang sebenarnya tak ditujukan padanya. Siang itu, salah satu lelaki paruh baya yang juga perangkat Desa Jatilawang sedang mencuci kangkung, dilanjutkan mengiris bawang merah, bawang putih dan menumis. Sementara saya dan beberapa peserta Sekolah Perempuan sedang mempersiapkan kelas sembari menunggu ibu-ibu yang belum datang. Karena ruang dapur dan ruang kelas Sekolah Perempuan menyatu, maka aktifitas beberapa perangkat desa lain pun terlihat oleh kami. Termasuk bapak-bapak perangkat desa yang tengah sibuk di dapur.

Menurut Rini, sejak ada Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, pola pikir bapak-bapak perangkat Desa Jatilawang mulai berubah. Seperti pemahaman tentang peran dan relasi antara laki-laki dan p e r e m p u a n . Pe s e r t a S e k o l a h Perempuan terdiri dari perwakilan kelompok perempuan yang ada di desa antara lain PKK, perempuan tani, kader Posyandu, bidan desa, guru PAUD, F a t a ya t , A i s y i y ah , pe rwak i l a n Karangtaruna, warga biasa, serta perangkat desa perempuan.

Dipercaya mengelola Program Jambanisasi hingga BUMDesa

Lebih dar i i tu, k in i , ke lompok perempuan mulai terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di desa. Termasuk ketika Pemerintah Desa (Pemdes) dan Badan Permusyawatan Desa (BPD) Jatilawang, Kecamatan Wanayasa menggelar Musyawarah Desa ( M u s d e s ) , S e n i n ( 1 2 / 5 / 2 0 1 5 ) . Pertemuan di Balai Desa Jatilawang ini dihadiri oleh 44 orang yang terdiri dari perangkat desa, BPD, Kepala Dusun, Ketua RT, RW, LP3M, kelompok perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan dan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara Drs. Imam Purwadi. Musdes tersebut merancang pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di Desa Jatilawang.

Ada empat jenis usaha yang digagas dalam Musdes kali ini yaitu jasa pajak motor, jasa pembayaran tagihan listrik, simpan pinjam, dan jual-beli kentang hasil pertanian warga. Dalam Musdes tersebut, keterlibatan kelompok

perempuan terbilang lebih banyak dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Hal menarik dan penting adalah pernyataan Kepala Desa (Kades) Jatilawang, Supriyanto tentang rencana pengelolaan BUMDesa. Secara tegas dan lantang, Kades Jatilawang menyatakan di depan semua peserta Musdes bahwa rencana pengelolaan BUMDesa akan diserahkan pada kelompok perempuan yang juga peserta Sekolah Perempuan.

“Kami serahkan pengelolaan BUMDesa ini kepada ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan. Kami menunggu kiprah dari ibu-ibu ini selama mendapatkan ilmu di Sekolah Perempuan,” tegasnya.

Ide mendirikan BUMDesa, menurut Supriyanto sebenarnya sudah sejak lama diimpikan. BUMDesa diharapkan bisa menjadi cara untuk menyejahterakan warga dan menambah pendapatan asli desa. Adanya Sekolah Perempuan menjadi spir it tersendir i untuk mewujudkan mimpi tersebut. Kendati demikian, kepercayaan Kades Jatilawang masih belum sepenuhnya muncul. Termasuk pemikirannya tentang seorang

Musyawarah Desa merancang pembentukan BUMDesa di Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara.

“Kami serahkan pengelolaan BUMDesa ini kepada ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan. Kami menunggu kiprah dari ibu-ibu ini selama mendapatkan ilmu di Sekolah Perempuan” Supriyanto, Kades Jatilawang

CATATAN PENGETAHUANMerdesa | Edisi I | Agustus 2015

Maju Memberdayakan Diri dan Lingkungan

Perempuan Pembaharu Desa :

24

Page 27: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

manajer BUMDesa kemungkinan adalah laki-laki. Baginya, seorang manajer harus mau, mampu, dan jujur. Dan ketika ia mengungkapkan bahwa kriteria mampu dan jujur itu ditujukan pada laki-laki, seakan perempuan tidak mampu melakukannya.

Pemikiran tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok perempuan untuk mendapatkan kepercayaan penuh. Kelompok perempuan harus mampu memimpin perubahan dalam pembangun -an di desanya. Terutama perubahan terhadap layanan publik, seperti mendorong pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, ketersediaan air bersih dan layanan dasar lainnya yang sesuai dengan kebutuhan desa.

Di Jatilawang sendiri, kelompok perempuan tengah berjuang agar program Jambanisasi yang telah mereka perjuangkan selama ini dapat terwujud. Program Jambani sas i , menurut Lindawati, salah satu peserta Sekolah Perempuan Desa Jatilawang mendesak untuk dilaksanakan. Kendati demikian, program ini diharapkan tidak hanya sekadar program pembangunan fisik seperti membangun jamban, tetapi juga mampu mengubah pola pikir hidup sehat masyarakat Jatilawang.

“Selain masalah kesehatan, warga Jatilawang juga masih butuh penyadaran agar mereka dan anak-anak mereka mau menjalankan pendidikan yang lebih tinggi,” ungkap Lindawati.

Merangkul perempuan mewujudkan mimpi desaSelain pertemuan di kelas, perempuan pembaharu desa baik di Jatilawang, Gentansari, maupun Gumelem Kulon, juga memiliki agenda di luar kelas. Salah

satunya merangkul dan menggerakkan perempuan desa. Solidaritas kelompok perempuan penting untuk menggerakkan potensi desa, mendorong perbaikan layanan publik serta berkolaborasi dengan pemerintah desa (Pemdes) agar usulan atau masukan-masukan mereka masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa).

“Kami ingin agar para warga mau menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Terutama kebiasaan warga saat membuat hajat, karena masih banyak warga yang belum memiliki jamban. Yang telah masuk dalam RPJMDesa adalah pengadaan mobil ambulan desa, terutama bagi ibu-ibu yang akan melahirkan. Kami merasa benar-benar membutuhkan ambulan desa apalagi jarak menuju rumah sakit sangat jauh dengan jalan naik turun gunung,” ungkap Yaya, salah satu peserta Sekolah Perempuan.

Hal serupa juga diungkapkan Peni Dwi Indrawati, kader Perempuan Pembaharu Desa Gentansari. Peni merupakan satu-satunya bidan desa di Gentansari. Dalam menjalankan tugasnya, seringkali dia harus berjalan kaki dari rumah ke rumah. Hal tersebut dilakukannya karena fasilitas transportasi masih jarang. Bersama perempuan pembaharu di desanya, mereka memiliki mimpi desanya menjadi lebih baik lagi tidak hanya di bidang pelayanan kesehatan, tapi juga di bidang pariwisata dan ekonomi.

Di bidang ekonomi, mereka ingin menjadikan desa mereka sentra durian,

serta perkembangannya industri rumah t angga un tuk penanggu l angan kemiskinan. Sementara, di bidang pariwisata, bersama pemerintah desa, mereka sedang mempersiapkan danau Tampomas menjadi salah satu destinasi di Kabupaten Banjarnegara. Belum lagi mimpi menghidupkan pasar desa yang sampai sekarang karena persoalan tertentu masih belum beroperasi lagi alias mangkrak. Selama ini Desa Gentansari baru dikenal dengan produksi kripik singkong.

“Kami ingin mengembangkan industri rumahan untuk membuat lapangan pekerjaan kepada ibu-ibu, salah satunya dengan memiliki alat-alat produksi, tempat produksi, menjaga kualitas serta kebersihannya. Selain itu, sampai sekarang kami masih memperjuangkan program jambanisasi. Sementara ini baru pengajuan dana dan sosialisasi kepada masyarakat tentang betapa pentingnya jamban sehat,” jelas Peni.

Sementara itu, di Gumelem Kulon, perempuan pembaharu desa tengah berjuang bagaimana mewujudkan adanya koperasi “Nirasari”. Menurut Lilis Yuniarti, peserta Sekolah Perempuan di desa Gumelem Kulon, koperasi tersebut diharapkan dapat menampung semua produksi yang ada di Gumelem Kulon seperti batik tulis, batu, kerajinan kerang, pandai besi, gula semut, ciri mutu, makanan ringan.

“Banyak sekali keinginan kami dalam mewujudkan kehidupan masyarakat menjadi sejahtera, tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga di bidang kesehatan, dan pemerintahan desa yang lebih baik lagi,” ungkap Lilis. [Alimah]

Peserta Sekolah Pembaharuan Desa.

(Dok. FDN)

CATATAN PENGETAHUAN 25Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 28: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

ecara spesifik, informasi publik diatur pada Undang-undang

SNomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Desa menjadi salah satu badan publik yang turut

menjadi subjek dalam UU KIP. Dengan status pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintahan desa menjadi subjek yang berkewajiban menyediakan dan penyelenggaraan keterbukaan informasi.

Melalui pendekatan apresiasi atas desa, Infest Yogyakarta memandang bahwa keterbukaan informasi tidak semata kewajiban yang melekat melainkan juga bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Sebagai pelayanan, keterbukaan informasi akan melekat sebagai mekanisme harian pada pemerintahan desa dan tidak terpisah dari tugas pemerintahan desa.

Pendekatan apresiasi atas desa juga menempatkan partisipasi sebagai kunci pelaksanaan pembangunan sejak perencanaan sampai pertanggung-jawaban. Melalui Tim Pembaharu Desa yang berisikan perwakilan masyarakat dan pemerintahan desa, pengelolaan pemerintahan desa menjadi tidak eksklusif dikelola oleh desa. Masyarakat menjadi bagian langsung dari proses pembangunan dan penatausahaan pada lingkup tertentu. Keterlibatan ini diharapkan memperkuat kemungkinan masuknya agenda-agenda penting masyarakat berbasis pada data yang dibangun secara kolektif.

Sejak Maret 2015, Infest Yogyakarta bersama tim pembaharu desa di tiga desa Kabupaten Malang (Tunjungtirto, Kucur, dan Jambearjo) mencoba melakukan beberapa perubahan dalam perencanaan dan pengelolaan pemerintahan desa. Upaya pertama adalah dengan merumuskan perencanaan apresiatif dengan berbasiskan aset di tingkat desa. Fokus kedua adalah keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan.

Mengacu pada konsep keterbukaan data (open data) dan keterbukaan informasi publik, akses atas informasi pembangunan dan pelayanan publik didorong menjadi bagian dari pelayanan publik. Tidak ada pemisahan antara tugas pelayanan dan penyediaan informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat desa. Kedua, pelayanan informasi menjadi bagian yang dikelola secara partisipatif. Tim Pembaharu Desa menjadi penerjemah informasi (translasi) yang bertujuan memudahkan pemahaman masyarakat atas informasi, sekaligus memperluas keteraksesan informasi di tengah masyarakat. Selain tim pembaharu desa, tim pengelola informasi desa turut dibentuk dengan keterlibatan elemen masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan informasi dinilai menjadi nilai lebih pendekatan apresiatif dalam pelayanan di tingkat desa. Hal ini menjadikan informasi tidak ekslusif (hanya dikelola dan diakses oleh perangkat desa), melainkan turut melibatkan elemen masyarakat. Pengelolaan informasi akan memanfaatkan pendekatan berbasis pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan non-TIK.

Penerapan Keterbukaan Informasi dan Transparansi Keuangan Desa di Kabupaten MalangTransparansi dan partisipasi menjadi dua kata kunci penting dalam pengelolaan pembangunan di tingkat desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menempatkan keduanya sebagai aspek penting dalam perubahan di tingkat desa. Transparansi terkait erat dengan kata kunci informasi yang turut diatur pada pasal 82 ayat 1. Ketersediaan informasi selanjutnya, pada pasal 2, dinilai menjadi bagian dari akses masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa.

Pengelolaan keuangan menjadi salah satu “jantung” sorotan pendekatan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta. Keuangan dinilai menjadi salah satu aspek paling sensitif ketika dihadapkan pada kebutuhan pemerintah untuk terbuka kepada masyarakat. Pada pengelolaan keuangan, penguatan kapasitas dilakukan untuk memastikan desa dapat mengelola keuangan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas. Bersandingan dengan akuntabilitas, transparansi ditempatkan sebagai bagian tidak terpisahkan sekaligus sebagai bentuk pelayanan.

Infest Yogyakarta mencoba memperkuat kapasitas pengelolaan keuangan dari dua aspek yaitu standar akuntansi keuangan dan pemanfaatan aplikasi keuangan desa. Aspek kapasitas dan pemanfaatan aplikasi tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Aplikasi berjalan sebagai alat kerja setelah desa mampu memahami prinsip-prinsip tata kelola keuangan. Di lain sisi, pemanfaatan aplikasi berfungsi untuk mendorong penyediaan keterbukaan data secara cepat agar masyarakat dapat mengawasi pengelolaan keuangan desa. [M. Irsyadul Ibad]

CATATAN PENGETAHUAN26 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan informasi ditingkat desa

Pengelolaan keuangan yang profesional (akuntabel) di tingkat pengelolaanpemerintah desa yangmengedepankan prinsip partisipasi dantransparansi sejak dari perencanaan sampai pada pertanggung jawaban

5

Page 29: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

anjarnegara– Pemerintah Desa dan Badan Permusyawatan BMasyarakat Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa menggelar Musyawarah Desa (Musdes), Senin (12/5). Musdes dilakukan di Balai Desa Jatilawang dihadiri oleh 44 orang yang terdiri dari perangkat desa, BPD, kapala dusun, ketua RT, RW,

alang,– Kamis (9/4/2015) pagi, suasana Kantor Desa MJambearjo, Kecamatan Tajinan tampak ramai. Rombongan marchingband, yang sebagian besar perempuan, berjalan rapi memasuki halaman kantor desa. Penampilan ibu-ibu PKK Desa Jambearjo ini menyambut kedatangan 40 kepala desa di Jawa Timur.

Hari itu, Desa Jambearjo menjadi ruang belajar para kepala desa di Jawa Timur. Menurut Endang Sri W, selaku Kepala Bidang Diklat Fungsional Provinsi Jawa Timur, kunjungan ke Desa Jambearjo menjadi proses pembelajaran dalam rangka penguatan kepala desa. Endang menambahkan, Desa Jambearjo memiliki beragam potensi yang bisa menjadi bahan rujuan dan inspirasi bagi desa lainnya. “Harapannya ada nilai positif yang bisa diambil oleh para peserta (kepala desa) yang bisa diimplementasikan di wilayahnya,” terang Endang.

Desa Jambearjo bisa menjadi contoh bagi desa lain yang mampu memaksimalkan potensinya bagi kesejahteraan warga. Desa ini pernah menjadi juara 2 tingkat Provinsi Jawa Timur dalam pengelolaan air bersih. Pengelolaan air bersih di Desa Jambearjo dikelola swadaya oleh masyarakat melalui Badan Pengelola Air Bersih dan Sanitasi (BPAS) Sumber Apak. Sumber air bersih di Desa Jambearjo mampu melayani 1187 pelanggan. “Sumberdaya manusia adalah modal sosial yang dimiliki oleh Jambearjo untuk menggerakkan roda pemerintahan desa dan pengelolaan air bersih,” terang Kepala Desa Jambearjo, Bambang Mawardi ST.

Banjarnegara

Musyawarah Desa Jatilawang Rancang BUMDesa

LP3M, kelompok perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan, dan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara Drs. Imam Purwadi.

Salah satu agenda yang dibahas pada Musdes kali ini adalah perumusan Badan Usaha Milik Desa (Musdes). Ada empat jenis usaha yang digagas dalam Musdes kali ini yaitu jasa pajak motor, jasa pembayaran tagihan listrik, simpan pinjam, dan jual-beli kentang hasil pertanian warga. Rencananya, masing-masing usaha akan dikelola oleh perempuan.

Menurut Supriyanto selaku Kepala Desa Jatilawang, dalam Musdes ada tiga agenda yakni PNPM, purna tugas dua perangkat desa dan BUMDesa. Ide tentang BUMDesa, menurut Supriyanto sebenarnya sudah sejak lama diidam-idamkan. BUMDesa d i ha rapkan b i s a men jad i ca ra un tuk menyejahterakan warga dan menambah pendapatan Desa Jatilawang. "Bukan untuk mengecilkan perempuan, seorang manajer nantinya adalah seorang laki-laki. Sehingga untuk menjalankan BUMDesa, seorang manajer harus mau, mampu, dan jujur," terang Supriyanto.

Pembahasan dalam Musdes Jatilawang baru menyepakati adanya BUMDesa. Menurut Yayah selaku Bendahara Desa Jatilawang, dibutuhkan pertemuan-pertemuan berikutnya untuk membahas pola usaha dan tata kelola usaha BUMDesa. Sebab, selama ini, belum mempunyai pengalaman dalam tata kelola BUMDes. "Dalam setiap pertemuan, impian untuk mengelola usaha desa sudah sering dibahas tetapi belum berani memulai. Dan, sekarang kita akan memulai dari level yang sederhana," kata Yayah. [sofwan]

Untuk menjadi desa mandiri, Pemerintah Desa (Pemdes) Jambearjo telah menggagas dan melakukan beragam inovasi. Dari pengelolaan air bersih, Desa Jambearjo menggagas pengembangan sumber listrik mandiri. Gagasan ini muncul karena Desa Jambearjo mempunyai potensi sumber dan aliran air yang mampu menggerakan turbin sebagai sumber listrik. “Kami mempunyai rencana untuk memiliki sumber listrik mandiri yang akan digunakan untuk memompa sumber air ke masyarakat. Di sekitar sumber juga akan dibuat wahana pemancingan dan wisata lainnya,” tambah Bambang.

Dalam bidang keterbukaan informasi, Pemdes Jambearjo melakukan inovasi dalam penyusunan buku kerawangan desa dan menerbitkan majalah Suara Mandiri. Buku kerawangan yang memuat dokumen kepemilikan tanah desa ini disusun supaya mudah dibaca dan dipahami oleh warga. Hal tersebut untuk meminimalisir potensi konflik akibat sengketa tanah. Sementara Suara Mandiri, menjadi media komunikasi dan informasi bagi warga. []

Inovasi dan Potensi Desa Jambearjo

Malang

Dok. Infest

Dok. Infest

BERITA DESA27 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 30: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Forum Kesehatan Desa Keseneng: Mendorong Pelayanan Kesehatan Warga

erubahan memang selayaknya datang dari mereka yang giat. Kalimat itu sepertinya mampu Pmenggambarkan inisiatif pengorganisasian masyarakat Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo. Pada 2014, desa di lereng Gunung Sindoro ini mendapatkan penghargaan sebagai Desa Siaga Aktif Kabupaten Wonosobo. Pada tahun yang sama, tepatnya 12 November 2014, Desa Keseneng juga menerima apreasiasi Bupati Wonosobo, H.A. Kholiq Arif, atas upaya mereka dalam menggalakkan sanitasi bersih dan sehat.Keberhasilan tersebut tentu tidak muncul secara tiba-tiba, apalagi tanpa dukungan siapa-siapa.

Dinamika pada aras lokal seperti pengalaman pengorganisasian Desa Siaga Aktif Desa Keseneng ini penting sebagai bahan pembelajaran bagi siapapun. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Kota Wonosobo, maka sampailah di Desa Keseneng. Pemandangan pegunungan dan ladang sayur mayur terhampar selama perjalanan. Desa Keseneng berpenduduk 486 kepala keluarga, sebagian besar bekerja sebatai petani. Setibanya di kantor desa, tim Infest-Mampu disambut oleh Mugiharto, Kepala Desa Keseneng. Dengan ramah, ia memperkenalkan dua perempuan pegiat Forum Kesehatan Desa (FKD) di Desa Keseneng, Endah Pujiarti dan Titik Sundari. Nama terakhir, Titik Sundari adalah bidan desa yang bertugas di Desa Keseneng sejak 2008 lalu. Sementara, Endah merupakan pengajar Taman Kanan-kanak di Desa Keseneng.

Wonosobo

Desa Keseneng di lereng Gunung Sindoro (Dok. Infest)

BERITA DESA 28Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 31: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Hari itu, Sabtu (28/3/2015), Bidan Ndari begitu ia kerap disapa, masih melayani warga yang berdatangan ke Pusat Kesehatan Desa (PKD) Keseneng yang berada tepat di samping kantor desa. Sundari dengan sabar dan telaten melayani warga yang datang. Pelayanan kesehatan di PKD tutup pada Selasa karena Sundari bertugas di Puskesmas Kecamatan. “Maaf ya, saya sambi, hari ini ada pelayanan imunisasi balita,” ujar Sundari disela-sela obrolan.

Endah dan Sundari merupakan motor penggerak Forum Kesehatan Desa (FKD) Keseneng. Selain mereka ada sekitar 25 orang penggerak FKD yang terdiri dari para kader serta perwakilan Dusun (Keseneng dan Bugel) dan Rukun Tangga (RT) di Desa Keseneng. Tak lama berselang, Nisro, Ketua FKD yang juga menjabat sebagai Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Desa Keseneng datang.

Forum Kesehatan Desa Keseneng sebagai lembaga perwakilan masyarakat yang aktif mendorong kebijakan di tingkat desa dalam rangka pelayanan dasar kesehatan. Kegiatan-kegiatan FKD beragam mulai dari sosialisasi pentingnya hidup bersih dan sehat, posyandu, pendataan kondisi kesehatan warga dan lingkungan di desa hingga mengawal perencanaan pembangunan desa bagi pelayanan kesehatan. Selain itu, FKD juga membuat aturan yang disahkan melalui pemerintah desa tentang kesehatan persalinan, rujukan untuk kesehatan.

Sosialisasi Kesehatan dan Mengawal Anggaran DesaDari cerita Sundari, Program Desa Siaga, salah satu di dalamnya mensyaratkan FKD yang aktif, sebenarnya telah diperkenalkan pemerintah sejak 2006. Selain itu, untuk menjadi desa siaga diikuti prasyarat lainnya yakni, upaya kesehatan, gotong toyong, pengawasan dan pembiayaan. Akan tetapi, FKD pada kepengurusan sebelumnya tidak berjalan serius karena kurang pahamnya para pengurus FKD waktu itu tentang apa dan bagaimana forum harusnya bekerja. Selain itu, sebagian besar pegiat forum merupakan aparat desa yang sudah berusia lanjut. “Nama dan SK (Surat Keputusan) kepengurusannya sudah ada sejak 2007, cuma tidak ada kegiatan,” ungkap Sundari.

Hingga, celah untuk menggerakkan FKD mulai muncul pada 2013. Masa kepengurusan FKD sebelumnya berakhir pada tahun itu. Momen tersebut lantas dimanfaatkan untuk melakukan reorganisasi di tubuh FKD. Sundari dan Mugiharto selaku Kepala Desa mulai menjaring kader-kader desa potensial, tokoh warga, pengurus Badan Perwakilan Desa (BPD), dan lain sebagainya. Pertemuan-pertemuan rutin pun digelar. Untuk semakin menyebarluaskan jaringan aspirasi warga, FKD juga diisi oleh perwakilan Dusun dan RT. Bagi Sundari, pelibatan merupakan hal yang penting mengingat peran FKD adalah mendorong perilaku hidup bersih dan sehat di desa. Di sisi lain, pelibatan itu pada akhirnya juga mengefektifkan kerja FKD dalam mengidentifiaksi aspirasi, persoalan, hingga potensi kesehatan di desa. Seperti diungkapkan oleh Nisro, Ketua FKD, “Bila ada kader di setiap

BERITA DESA

RT maka kita bisa tahu kondisi lingkungan misalnya pembuangan air limbah milik warga. Bila ada yang masih kumuh, pembenahan pun bisa diajukan ke anggaran dana desa”. Kini, FKD Keseneng rutin mengadakan pertemuan setiap selapan (35 hari) pada Selasa Kliwon. Dalam setiap pertemuan rutin itu, mimpi dan upaya untuk membangun perilaku hidup bersih dan sehat dimusyawarahkan. Salah satu mimpi para pengurus FKD 2013 adalah supaya warga tidak buang air besar sembarangan. Kampanye hidup sehat dan pentingnya jamban digalakkan. Hal tersebut disambut positif oleh pemerintah desa dengan mendeklarasikan Stop Buang Air Besar Sembarangan tepat pada Hari Kesehatan Nasional. Hasilnya, pada 2014, hampir 95 persen rumah penduduk sudah memiliki jamban dan pembuangan limbah pribadi.

Tahun ini, tim FKD pun berkomitmen untuk mendorong hingga angka 100 persen. Tentunya dengan terus mendorong perilaku hidup sehat di masyarakat. Menurut Nisro, FKD mulai memefasil itasi pembuatan jamban dengan menggandeng Puskesmas dan Pemerintah desa Keseneng. Usulan bantuan bisa dimungkinkan karena FKD telah memiliki basis data kepemilikan jamban sehat. Para pegiat FKD menyadari betul pentingnya basis data untuk membuat perencanaan pembangunan desa yang baik. Satu kali dalam setahun mereka rutin melakukan survei mawas diri yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan serta kesehatan fisik warga. Selain itu, FKD juga terlibat aktif dalam musyawaran desa untuk mendorong pelayanan kesehatan melalui perencanaan pembangunan desa dan penganggaran. “Untuk anggaran masukkan kita seperti pemberian makanan tambahan untuk posyandu balita, lansia, ibu hamil dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelayanan PKD,” terang Endah.

Beruntung, warga Desa Keseneng menyambut baik setiap kegiatan yang dilakukan oleh FKD. Semangat gotong royong masyarakat Keseneng menjadi modal penting dalam pemenuhan pelayanan dasar kesehatan hingga menjadi desa siaga aktif. Selain tenaga, warga juga menumpulkan iuran swadaya untuk kegiatan-kegiatan FKD sebesar Rp 500,-/bulan. “Menjadi Desa Siaga itu kalau warga, kader, bidan, dan pemerintah desanya aktif dan kompak,” ujar Nisro. [Sofwan]

Titik Sundari, Bidan di Desa Keseneng yang aktif mendampingi Forum Kesehatan Desa Keseneng

(Dok Infest)

Nisro dan Endah Pujianti, pengurus aktif Forum Kesehatan Desa Keseneng (Dok. Infest)

29 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 32: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

BERITA DESA

� ��Lokakarya Perempuan dan Pembaharuan Desa di Banjarnegara

Banjarnegara

emangat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

SDesa (UU Desa) adalah untuk mewujudkan desa yang mandiri dan demokratis. Mandiri untuk mewujudkan

kesejahteraan warga dengan mendayagunakan segala aset dan potensi yang ada di desa. Demokratis dalam merumuskan perencanaan, pelaksanaan, hingga peran-peran pengawasan oleh warga, tak terkecuali oleh perempuan.

Sebagai bagian dari proses "Sekolah Perempuan" dengan tema "Kepemimpinan Perempuan dan Reformasi Pemerintah Desa" di Banjarnegara, pada Jumat-Sabtu (8-9/5/2015) diselenggarakan lokakarya Perempuan dan Pembaharuan Desa. Lokakarya ini merupakan kerja sama antara Infest Yogyakarta dengan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.

Pertemuan ini diikuti oleh 60 perempuan peserta "Sekolah Perempuan" dari Desa Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilawang. Selain itu, hadir juga perwakilan dari pemerintah desa, kecamatan, dan Kabupaten Banjarnegara yang diwakili oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD).

Menurut Alimah Fauzan selaku penanggungjawab "Sekolah Perempuan", pertemuan ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan di desa yang responsif gender dan inklusi sosial. Sehingga, diharapkan adanya dukungan dari pemerintah daerah dan desa untuk memberikan ruang kepada kelompok perempuan untuk terlibat dalam proses-proses pembangunan desa.

Beberapa materi yang didiskusikan dalam lokakarya ini antara lain, sinergitas kelembagaan dalam pembangunan dan kemandirian desa, jender dan inklusi sosial dalam pembangunan desa, Pelembagaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa), dan memahami filosofi dan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

Dalam pemaparannya, Kepala Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa akan menyelenggarakan Musyawarah Desa untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Senin 11 Mei nanti. Di sinilah keterlibatan strategis kelompok perempuan, khususnya peserta "Sekolah Perempuan". Pemerintah desa akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) kader perempuan pembangunan desa sebagai bagian dari tim perumus RPJMDesa. []

abu, (8/4/2015), bertempat di Kantor Desa Kalukubodo, RKecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar digelar diskusi penyusunan regulasi kabupaten untuk implementasi Undang-undang (UU) Desa. Diskusi kali ini digelar untuk memetakan regulasi yang perlu dipersiapkan di tingkat Kabupaten untuk implementasi UU Desa. Menurut Farid Hadi, selaku penasihat senior Infest Yogyakarta untuk program desa, diskusi kali ini untuk menjaring masukan dari desa tentang apa saja yang perlu diatur oleh kabupaten. Mengingat, mulai April ini, dana desa sudah mulai dicairkan, maka perlu dipersiapkan secara matang. Di Kabupaten Takalar, tim Infest-Mampu bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Takalar untuk impementasi UU Desa.

Acara yang dimulai sejak pukul 9 pagi ini, turut dihadiri oleh pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), relawan dari empat desa lain yakni Desa Kadatong, Desa Parapunganta, Desa Bentang, dan Desa Soreang. Selain itu hadir pula perwakilan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat bidang Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Takalar.

Menurut Hasbullah perwakilan dari BPMPD mengatakan, forum ini menjadi ruang untuk menjaring masukan dari desa tentang kebutuhan apa saja yang perlu dimasukkan dalam aturan di tingkat kabupaten. Menurutnya, masukan dari desa akan menjadi bahan dalam pembahasan dalam pertemuan beberapa instansi di Kabupaten Takalar. “Kami sepakat pertemuan ini sangat penting, mengingat 40 persen dana desa akan turun April ini. Sementara kabupaten sendiri

belum tahu banyak aturan apa yang akan dibuat oleh desa,” terangnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Desa Kadatong, Abdul Muis. Selama ini, menurut Muis, pemerintah desanya belum mengetahui secara detil aturan-aturan turunan UU Desa dan regulasi-regulasi yang dibutuhkan. “Tolong bantu dan jangan lupakan kami,” ujar Muis.

Dalam diskusi kali ini muncul beberapa kebutuhan regulasi di tingkat kabupaten yang dibutuhkan oleh desa. Regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum implementasi UU Desa, antara lain Perbup tentang Kewenangan Desa, Perbup tentang Perencanaan Desa Perbup tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Perbup tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang meliputi Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Retribusi, besaran alokasi dan mekanisme penyaluran Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), serta Penghasilan Tetap (Siltap) Perangkat Desa.

“Desa seharusnya bisa membangun sesuai kewenangannya. Kalau tidak ada dasar hukum tentang kewenangan desa bagaimana. Di dalam UU Desa kewenangan desa didasarkan pada kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa,” terang Farid Hadi.

Takalar

Takalar Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa

Dok. Infest

30Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Dok. Infest

Page 33: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

abupaten Wonosobo siap menjadi model dalam

Kimplementasi open data keuangan desa. Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Kholiq Arif,

Bupati Wonosobo, pada rapat koordinasi antara Infest Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo di Kantor Sekretaris Daerah Wonosobo (30/07/2015).

Kabupaten Wonosobo menargetkan akan melakukan penguatan kapasitas dan keterbukaan pengelolaan keuangan di tingkat desa. Upaya ini dimulai dari penyusunan peraturan-peraturan pendukung di tingkat Kabupaten yang menjadi rujukan dalam dalam pengelolaan keuangan desa. Komitmen keterbukaan dan penerapan prinsip data terbuka menjadi bagian dari kebijakan yang akan disiapkan oleh Kabupaten Wonosobo.

Implementasi data terbuka pengelolaan dana desa akan dimulai dari penguatan kapasitas pengelolaan keuangan di tingkat desa. Penguatan kapasitas ini akan dilakukan bertahap di Kabupaten Wonsobo. Pada tahapan ujicoba ini, Desa Keseneng dan Lengkong akan menjadi dua desa percontohan. Percontohan ini akan

Kabupaten Wonosobo Siap menjadi Pelopor Open Data Keuangan Desa

Wonosobo

dijadikan rujukan perluasan dan penerapan kebijakan di tingkat Kabupaten Wonosobo.

Kabupaten Wonosobo telah menyiapkan portal pengawasan keuangan desa yang beralamat di www.apbdes.wonosobokab.go.id. Desa di Kabupaten Wonosobo akan menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan Lumbung Keuangan Desa yang dikembangkan oleh Infest. Aplikasi ini dalam jangka panjang akan terhubung dengan portal pemantauan keuangan desa yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten. Melalui portal keuangan tersebut, pengelolaan keuangan di tingkat desa akan dapat dipantau secara cepat.

Pengelolaan data terbuka ini terhubung dengan inisiatif non-teknologi yaitu Perencanaan Apresiatif di tingkat desa. Perencanaan berbasis aset ini mengandalkan partisipasi masyaratkat dan apresiasi atas kewenangan serta aset desa. Partisipasi ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi desa. Keterbukaan sudah tidak lagi semata terkait dengan teknologi tetapi partisipasi dalam penentuan kebijakan pembangunan di tingkat desa. [M. Irsyadul Ibad]

31 BERITA DESAMerdesa | Edisi I | Agustus 2015

Tampilan Portal Pengawasan APBDesa Kabupaten Wonosobo

Page 34: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

ebanyak 20 Kader Pembaharu Desa Kalukubodo,

SKecamatan Galesong mengikuti pelatihan

pemetaan aset dan potensi desa. Pertemuan yang

digelar selama dua hari ini (1-2/7/2015), para kader

Pembaharu Desa membahas hasil pemetaan aset desa

yang telah dilakukan sebelumnya. Para kader

pembaharu desa saling berdiskusi untuk merinci

sekal igus melengkapi data aset yang telah

dikumpulkan. Tim dibagi menjadi tiga kelompok

disesuaikan dengan dusun masing-masing yakni Dusun

Kalukubodo, Kampong Pabilaya, dan Pa'batoang.

Menurut Syahribulan Palemmai selaku penanggung-

jawab program desa Infest di Kabupaten Takalar,

kegiatan pemetaan aset merupakan bagian dari

pemetaan apresiatif. Sebelumnya, selama 2 minggu,

para kader desa melakukan identifikasi aset dan potensi

di desa. Untuk mendapatkan data yang tepat, para

kader pembaharu desa bekerjasama dengan para

kepala dusun dan melakukan wawancara. Diteruskan

dengan visualisasi aset desa pada peta desa. Hal

tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran

terkait kondisi dan aset yang dimiliki oleh desa," terang

Syahri.

Daftar aset yang berhasil didata oleh kader Pembaharu

Desa Kalukubodo meliputi aset sumber daya alam, fisik,

finansial, sosial, kelembagaan, spiritual dan budaya.

Hasil dari pemetaan sosial akan menjadi dokumen desa

sebagai rujukan dalam perencanaan pembangunan dan

pengambilan kebijakan di desa.

Di hari kedua, kelompok dari masing-masing dusun

turut melibatkan warga untuk melihat dan

mencocokkan hasil pendataan. Setelah mendapatkan

masukan dari warga, kader pembaharu desa

berkesempatan memperbaiki data yang sudah disusun.

Menurut Kepala Desa Kalukubodo, Abd. Gaffar Rate

pemetaan aset yang diikuti oleh kader pembaharu desa

sangat bermanfaat bagi desa. Sebagai desa baru,

pembelajaran yang diikuti oleh para kader Pembaharu

Desa mampu menumbuhkan motivasi. "Walaupun desa

baru namun tidak ketinggalan dalam mengidentifikasi

aset yang dimiliki desa. Sehingga, mampu membuka

wawasan kita ke depan untuk berkembang," ujar Abd.

Gaffar.

Takalar

Ungkap Potensi Desa Baru

“Walaupun desa baru namun tidak ketinggalan dalam mengidentifikasi aset

yang dimiliki desa. Sehingga, mampu membuka wawasan kita ke depan untuk

berkembang," ujar Abd. Gaffar

Potensi kawasan pesisir

Laut dan pantai adalah salah satu sumber penghidupan

warga di Kabupaten Takalar. Begitu pula bagi warga

Desa Kalukubodo. Misalnya, di Dusun Pa'batoang yang

menjadi denyut nadi perekonomian Desa Kalukubodo.

Di tempat inilah, setiap harinya, terjadi transaksi

antara nelayan dengan pedagang. Di Dusun Pa'batoang,

nelayan terorganisir dalam kelompok nelayan. Hasil

tangkapan nelayan dibawa ke Beba, tempat pelelangan

ikan terbesar di kabupaten Takalar.

Salah satu kader pembaharu desa, Dg S i la

mengungkapkan bahwa desanya memiliki potensi yang

belum dikelola. Desa Kalukubodo, menurutnya, bisa

menjadi desa mendiri dengan mengembangkan potensi

wisata pantai. Pengelolaan wisata pantai bisa dilakukan

oleh warga bersama pemerintah desa. Ia pun menaruh

harap kepada pemerintah desa untuk berkomitmen

memanfaatkan data hasil pemetaan aset untuk

perencanaan pembanguunan desa.

"Pak desa (kepala desa) harus berkomitmen

memprioritaskan aset yang sudah teridentifikasi selama

dua hari ini. Sehingga proses perencanaan

pembangunan kedepan lebih baik," ujarnya. [Sofwan]

BERITA DESA 32Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Dok. Infest

Page 35: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

iapa yang paling tahu tentang desa selain warga

Sdesa. Lalu, jika ditelusuri lebih lanjut, siapa yang

sebenarnya tinggal di desa, perempuan adalah

jawabannya. Sayangnya pengetahuan seringkali tidak

menjadi milik orang desa, apalagi perempuan.

Perencanaan pembangunan sangat sering bersifat

perintah dari atas atau oleh mereka yang dianggap ahli

tentang desa karena posisi, jabatan atau karena gelar

kependidikannya. Nyatanya, warga desa yang paling

mengetahui berapa lubang di jalan raya mereka,

bagaimana sistem irigasi persawahan, berapa anak

yang tidak sekolah, bagaimana kondisi ibu hamil, siapa

yang mengalami gizi buruk dan sebagainya. Meskipun

ada pendataan yang biasa dilakukan oleh dinas-dinas

dalam pemerintahan namun tidak dapat mewakili

dinamika sosial yang terjadi di dalam desa.

Akses informasi, pengetahuan dan keterampilan

menjadi tantangan warga desa untuk bisa menjadi

kekuatan bagi desa untuk berdaulat. Di satu pihak,

pengalaman warga desa menjadi pengetahuan baru

yang bisa menjadi kekayaan dalam menjadikan desa

berdaulat atas tanah, udara dan airnya.

Kesadaran ini telah mendorong Institut Mosintuwu sejak

bulan September 2014 melakukan serangkaian kegiatan

bersama dengan warga desa, khususnya perempuan

desa membicarakan tentang desa dengan menggunakan

UU Desa. Keingintahuan bersamaan dengan kemauan

kuat agar warga desa menentukan kehidupan mereka di

dalam desa yang adil dan setara, Sekolah Desa menjadi

pilihan selanjutnya. Infest Yogyakarta, sebuah

organisasi yang bergerak pada isu desa bekerjasama

dengan Institut Mosintuwu mengadopsi proses di

sekolah perempuan mosintuwu sebagai mekanisme

belajar bersama di dalam desa tentang desa. Sekolah

Sekolah Perempuan Poso:

Menebarkan Virus Kedaulatan Desa

Poso

desa diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat

dan pemerintahan desa dalam pembangunan. Layanan

ini bertujuan untuk membangun kapasitas yang

memadai di kalangan pemerintah dan warga desa

dalam pengelolaan, perencanaan dan evaluasi

pembangunan.

Harapan besar agar desa bisa mandiri dan menunjukkan

kemajuan yang lebih berarti disampaikan oleh

perwakilan pemerintah dan anggota DPRD yang

membuka kegiatan. Terdapat mimpi bersama agar

Kabupaten Poso bisa menjadi contoh pengembangan

desa yang adil dan setara. "Kita ini kaya, tapi kenapa

kita bisa miskin? Itu karena kita tidak tahu bagaimana

kelola desa," Kata ibu Rustomini dari Desa Trimulya.

"Kita tidak miskin tapi kita miskin karena kita tidak

tahu," Jelas ibu Jean dari Desa Tiu.

Celutukan ini bukan cermin keputusasaan tapi kemauan

kuat untuk berdaulat atas desa. Alimah Fauzan,

Program Koordinator dari INFEST memulai pembukaan

sekolah perempuan dengan menjelaskan tahapan

bersama belajar tentang desa di Sekolah Desa. Hal ini

didukung oleh penjelasan dari Farid Hadi, tentang

pentingnya kerjasama antara warga desa dan

pemerintah desa untuk mengembalikan kedaulatan

desa a ta s perencanaan dan penganggaran

pembangunan di desa.

Desa Dulumai, Didiri dan Trimulya adalah tiga desa yang

menjadi tempat belajar dengan harapan dapat

menyebarkan virus kesadaran kedaulatan ke desa-desa

lainnya. Gender menjadi isu penting yang mendasari

sekolah desa dengan harapan desa melahirkan

kebijakan yang adil gender dan inklusi sosial. Desa

menulis menjadi topik penting untuk mendasarkan

filososi dasar sebuah desa dalam menulis. Dalam topik

Desa Menulis, warga desa menelusuri sejarah desa

untuk memahami sekaligus membangun kembali

imajinasi mereka tentang desa yang diimpikan.

Penulisan sejarah desa diikuti materi tentang peta

sosial desa yang mengajak warga desa belajar

memetakan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan

kebudayaan di dalam desa. Pemetaan sosial ini menjadi

langkah maju dan baru dalam merencanakan

pembangunan termasuk merencanakan penganggaran

pembangunan yang menjadi topik berikutnya.

“Maju, bersuara dan bergerak untuk pembangunan

desa" jadi nyanyian bersama para perempuan di desa

yang sejak bulan April 2015 bergabung bersama dalam

sekolah desa. Sekolah desa baru dimulai, tetapi

semangat untuk membangun desa terasa sangat lekat.

[]

Suasana Sekolah Perempuan di Institut Mosintuwu, Poso.

(Dok Infest)

33 BERITA DESAMerdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 36: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Peluang dan Tantangan Desa

Oleh: Farid Hadi*

Pekik takbir dan syukur di Ruang Sidang Nusantara II DPR RI saat sidang paripurna Rancangan

Undang-undang Desa, 18 Desember 2013 masih terngiang. Di balkon ruang sidang maupun di

halaman gedung DPR Senayan dipenuhi para kepala desa dan perangkat dari berbagai daerah

yang hadir mengikuti sidang paripurna. Kerinduan pada perubahan desa yang lebih sejahtera

dan mandiri tumpah ruah dalam rasa syukur saat disahkannya Undang-undang Desa (UU Desa)

yang diperjuangkan lebih dari tujuh tahun lamanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

akhirnya menandatangani menjadi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada 15 Januari

2014 dan resmi menjadi Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495.

Pertama, pengakuan tentang keberagaman Selama masa orde baru, desa dan sebutan lainnya yang ada di seluruh Nusantara diseragamkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1979. Berbagai nilai asal usul dan keragaman nama diabaikan untuk disamakan sebutannya menjadi desa. Seluruh pemimpin desa disebut kepala desa melalui pemilihan langsung, namun kedudukannya di bawah Camat. Seleksi calon kepala desa pun diatur sedemikian rupa dengan ditetapkannya Surat Keputusan (SK) Camat tentang panitia pemilihan kepala desa. Masa itu, desa mengalami masa mengambang karena kepala desa dipilih oleh rakyat tetapi tunduk pada camat. Penyeragaman desa menimbulkan kekecewaan, terutama bagi desa-desa di luar Jawa. Gampong dan Mukim di Aceh hilang roh dan nilai kearifan lokalnya. Meunasah yang dalam sejarah Aceh membawa kedamaian dan ketentraman warga tidak lagi mempunyai

ada awal Februari 2014, Forum Desa Nusantara yang

Pterdiri dari berbagai kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis, komunitas media, dan para

pemerhati desa yang ikut aktif mengawal lahirnya UU Desa mengadakan tasyukuran akbar lahirnya UU Desa di Desa Sambak, Kajoran, Kabupaten Magelang. Sekitar seribu kepala desa, perangkat, dan kader desa dari Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi hadir dalam acara tersebut.

Apa yang menggairahkan dari semangat substansi UU Desa sehingga desa-desa sangat antusias menyambutnya? Ada lima hal penting dalam UU Desa yang menarik diperhatikan, yakni: 1) pengakuan keberagaman desa; 2) kewenangan atas asas rekognisi dan asas subsidiaritas; 3) konsolidasi keuangan dan aset desa; 4) sistem pembangunan desa yang terintegrasi; dan, 5) demokratisasi desa.

PANDUAN KEBIJAKAN 34Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

(Dok.Infest)

Page 37: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

makna. Demikian pula dengan sejarah Lorong dan Nagari di Sumatera Barat serta Negeri di Maluku.

Namun demikian, semasa otoritarian tersebut, tidak ada desa yang berani melawan. Satu-satunya yang berupaya keras menggabungkan kepentingan desa adat dan desa modern yang diatur dalam UU No. 5/1979 tersebut adalah Bali. Bali mengadaptasi adat dan regulasi dalam pengaturannya, yakni Banjar sebagai pelaksana adat dan desa dinas yang merepresentasikan desa pemerintah. Adat atau hukum lokal dan tata pemerintahan desa tradisional ibarat napas dengan rohnya. Keduanya hadir dalam dinamika kehidupan masyarakat desa. Akan tetapi, dampak dari UU tersebut telah memisahkan keduanya. Lembaga adat hanya menjadi organisasi kemasyarakatan di desa. Maka, banyak adat dan tuntunan luhur hanya menjadi hiburan atau tontonan semata.

Euforia reformasi 1999 turut membangkitkan romantisme asal -usul . Undang-undang Nomor 22 Tahun1999 mengembalikan sebutan desa atau disebut dengan nama lain dalam aturan umumnya. Beberapa daerah kemudian mengembalikannya menjadi nama asli sesuai sejarahnya. Proses tersebut berlanjut hingga masa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Perjuangan panjang mengembalikan kekuatan dan nilai lokal yang beragam terus terjadi di banyak daerah. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya UU Desa mengakui kembali keberagaman desa dengan masuknya prinsip rekognisi dalam asas pengaturan desa (Pasal 3). Prinsip rekognisi adalah pengakutan atas keragaman jenis desa di Indonesia, yakni mengakui dan menghormati hak bawaaan dan keragaman budaya sesuai konstitusi dalam Pasal 18 b ayat (2) [1]. Dengan demikian, menurut UU Desa, desa wajib mengatur dan mengurus hak bawaan atau hak asal usul dalam kewenangan desa.

Kedua, kewenangan atas asas rekognisi dan asas subsidiaritas. Prinsip rekognisi di atas berimplikasi pada pengakuan hak bawaan desa yakni wajib mengatur dan mengurus kewenangan asal usulnya. Sementara, prinsip subsidiaritas dimaknai segala hal yang dapat diatur dan diurus oleh desa menjadi kewenangan desa. Kedua asas tersebut membentuk ketentuan kewenangan asal usul dan kewenangan lokal skala desa dalam empat bidang, yakni penyelenggaraan pemer intahan, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Empat bidang kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Desa berdasarkan Peraturan Bupati. Sudah banyak bukti desa mengelola kewenangan lokal berskala desa, misalnya tentang urusan pelayanan dasar desa menyediakan air bersih bagi warga, pendidikan anak usia dini, persampahan, dan sanitasi. Dalam bidang ekonomi, desa mengurus pasar desa, Badan Usaha Milik Desa, dan koperasi. Dengan kejelasan kewenangan tersebut, desa berkewajiban merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan kewenangannya.

Ketiga, konsolidasi keuangan dan aset desaDisetujuinya alokasi dana dari pusat yang peruntukannya langsung ke desa, yakni sebanyak 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) dari perimbangan keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan hasil konsolidasi keuangan pusat yang selama ini masuk ke desa tetapi desa tidak berwenang mengatur dan mengurusnya. Komitmen tersebut merupakan implikasi atas pengakuan kewenangan yang harus dijalankan desa. Dalam hitungan kasar desa akan menerima antara 1-1,4 Milyar namun pemerintah akan melaksanakannya secara bertahap seiring persiapan di desa.

Di daerah, desa tetap berhak atas perimbangan keuangan yang diterima daerah dari pusat. Belanja skala desa yang selama ini dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sekarang wajib diurus desa. Konsolidasi keuangan daerah untuk desa bertujuan pembagian peran yang lebih terukur antara kabupaten dan desa. Kebutuhan masyarakat skala lokal diselesaikan desa dan kebutuhan skala kawasan tetap menjadi urusan kabupaten. Kedua sumber dana dari pusat dan daerah tersebut menjadi pendapatan desa yang dikelola dalam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) yang ditetapkan dengan peraturan desa. Dengan demikian pemerintah desa bertanggungjawab mengelola sumber dana pusat dan daerah untuk melaksanakan kewenangan dan melayani masyarakatnya.

Konsolidasi lainnya pada pelaksanaan kewenangan daerah yang dapat ditugaskan kepada desa. Desa berkewajiban melaksanakan tugas yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Pertalian antara kabupaten/kota dengan desa menjadi keniscayaan untuk meningkatkan kemajuan desa dan daerah. Undang-undang Desa mengatur desa sebagai subyek yang bekerjasama dengan kabupaten/kota untuk perbaikan desa dan daerah.

Keempat, sistem pembangunan desa yang terintegrasi. Dua lembaga yang semula seolah sebagai atasan dan bawahan sekarang menjadi mitra yang produktif. Desa sebagai subyek yang melaksanakan kewenangan dan mengelola asetnya mendorong lahirnya emansipasi dari dalam. Inisiatif desa akan lahir dengan melalui pemetaan aset desa dan pemetaan sosial desa yang menjadi basis perencanaan pembangunan desa. Desa berkewajiban menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa) untuk periode 6 tahun sesuai masa jabatan Kades, dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) setiap akhir September. Keduanya menjadi dokumen resmi desa yang berisikan apa yang akan dikerjakan terhadap aset dan kewenangan desa dan yang didanai dengan APBDesa.

Satu sisi dalam pembangunan kawasan, antara desa dengan kabupaten harus memetakan bersama apa yang akan dikembangkan. Pembanguan kawasasan perdesaan merupakan perpaduan pembanguan antar desa dalam satu kabupaten. Kalau dulu kabupaten menyusun perencanaan daerah secara sepihak, maka ke depan sudah ini tidak bisa lagi. Kabupaten harus menyusun rencana pengembangan kawasan dan aset bersama-sama dengan desa-desa melalui musyawarah desa. Rencana pengembangan kawasan dan aset hasil musyawarah tersebut di desa ditetapkan dengan peraturan desa sedangkan di kabupaten ditetapkan oleh Bupati dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen inilah yang menjadi ruang konsolidasi dan kerjasama antara kabupaten dan desa-desa di masa akan datang. Aspek ini dapat dilihat di Bab IX UU Desa.

Kelima, Demokratisasi desa. Demokrasi bukanlah barang baru di desa. Jauh sebelum NKRI, desa telah melaksanakan demokrasi dalam mengambil keputusan. Misalnya saja desa di Jawa ada pepatah "deso mowo coro, negoro mowo toto" (desa punya cara, kalau Negara punya aturan). Cara yang berlaku di desa adalah aturan yang didasari oleh kearifan lokal. Misalnya, menghormati yang lebih tua adalah unggah ungguh cara jawa menempatkan hubungan kemasyarakatan. Atau ajaran "ono rembug dirembug ono nalar dinalar" (bermusyawarahlah dan gunakanlah nalar untuk menyelesaikan masalah). Jadi demokrasi bukanlah sebuah ajaran baru bagi desa.

PANDUAN KEBIJAKAN35 Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

Page 38: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

PANDUAN KEBIJAKAN

Farid Hadi RahmanPegiat Forum Desa

Nusantara (FDN) dan Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD)

Cara yang sama juga terjadi di banyak desa di luar jawa. Di adat bugis terdapat ajaran amaradekangeng yang berasal dari kata dasar maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Menurut ajaran bugis, yang dimaksud merdeka meliputi tiga hal, yakni tidak dihalangi kehendaknya, tidak dilarang mengeluarkan pendapat, dan tidak dilarang ke selatan, utara, barat, timur, atas serta bawah. Ajaran lain luar biasa adalah "Rusa taro arung, tenrusa taro ade,Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega" (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum , Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan rakyat banyak) [2].

Di masyarakat Batak Toba dikenal ada tonggo raja atau maria raja yang merupakan bentuk aspirasi setiap raja suku ketika akan mendirikan huta (kampung) dalam sistem harajoan [3]. Apabila tidak ada kesepakatan maka pembentukan huta batal atau ditunda. Di masyarakat Minang ada dikenal budaya "membersit dari bawah" (mambasuik dari bawah) yang mengedepankan musyawarah mufakat. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi) [4]. Masih ada ribuan tradisi atau ajaran demokrasi dari berbagai desa atau sebutan lain di nusantara.

Dengan masuknya asas sekognisi dalam UU Desa maka mengembalikan nilai-nilai tersebut menjadi ruang apresiasi desa dalam menata masyarakatnya. Desa diperkenankan mengatur dan melaksanakan musyawarah yang melibatkan warganya, termasuk kaum perempuan. Membangun nilai tradisi lamanya dan mengadopsi pengalaman-pengalaman modern dalam berdemokrasi diwadahi melalui Musyawarah Desa.

Prinsip melaksanakan demokrasi di desa dalam UU Desa antara lain dengan dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara demokratis. Dalam UU Desa pasal 56 (1) disebutkan Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Dalam penjelasan ditulis bahwa yang dimaksud dengan "dilakukan secara demokratis" adalah melalui proses pemilihan secara langsung atau melalui musyawarah perwakilan.

Jaminan pelaksanaan UU Desa secara khaffah menjadi tantangan tersendiri. Mengingat lebih dari 30 tahun desa diatur. Ditambah kepentingan politik praktis dan politik pembangunan di desa selama ini. Tarik-menarik kepentingan atas pengaturan desa semenjak pembahasan pra RUU Desa hingga pelaksanaannya saat ini belum beranjak dari pandangan desa sebagai sumber masalah yang cocok menjadi

ruang prestasi supra desa, bukan aset Negara yang memiliki modal sosial dan mitra pembangunan. Kepercayaan sebagian besar elit kepada desa masih jauh panggang dari api. Di satu sisi desa sudah menjadi bergantung atas ulah proyek pemberdayaan yang salah diterapkan selama ini oleh supra desa. Inilah tantangan besar desa untuk membuktikannya bahwa penggal kalimat terakhir saya salah.

Salam berjuang!

Catatan Kaki1. Pada tahun 2000 dilakukan amandemen pasal 18 UUD

1945. Pasal 18 dikembangkan menjadi 3 pasal yakni Pasal 18 (7 ayat), Pasal 18A (2 ayat), dan Pasal 18B (2 ayat). Pasal 18a ayat 2 berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."

2. Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20111126/falsafah-demokrasi-dalam-kebudayaan-bugis

3. Harajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga mengatur mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986). Sumber : http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20111122/sistem-demokrasi-dalam-kebudayaaan-masyarakat-batak-toba.html#ixzz3WzV4P3b6

4. Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto(Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979

Suasana saat sosialisasi UU Desa di Desa Tracap, Wonosobo

(Dok. Infest)

36Merdesa | Edisi I | Agustus 2015

“Prinsip rekognisi di atas berimplikasi pada pengakuan hak bawaan desa

yakni wajib mengatur dan mengurus kewenangan asal usulnya. Sementara,

prinsip subsidiaritas dimaknai segala hal yang dapat diatur dan diurus oleh

desa menjadi kewenangan desa.”

Page 39: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) adalah Rencana kegiatan pembangunan desa dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.

Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) adalah penjabaran dari RPJMDesa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Dana Desa (DD) adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.

Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa atau perolehan hak lainnya yang sah.

Rekognisi yakni pengakuan terhadap hak asal usul.

Subsidiaritas yakni penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar mdalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Desa.

INFOGRAFISGLOSARIUM

(infografis : MAMPU)

Page 40: Majalah merdesa i edisi agustus 2015

Maju Perempuan Indonesiauntuk Penanggulangan Kemiskinan

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk manajemen keuangan dan informasi desa

PROGRAM

TAKALAR

KEGIA

TAN

1. Pemahaman UU Desa2. Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa; 3. Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa; 4. Penguatan implementasi keterbukaan informasi publik; 5. Penguatan implementasi tata kelola keuangan desa; 6. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk manajemen dan informasi desa..

Desa Soreang, Desa KalukubodoDesa Parapunganta.

1. Perencanaan Apresiatif Desa 2. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk manajemen keuangan dan informasi desa

PROGRAM

MALANG

KEGIA

TAN

1. Pemahaman UU Desa 2. Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa; 3. Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa; 4. Identifikasi aset dan potensi desa; 5. Pemetaan sosial berdasarkan ukuran lokal; 6. Perumusan perencanaan pembangunan desa yang apresiatif; 7. Penguatan implementasi keterbukaan informasi publik; 8. Penguatan implementasi tata kelola keuangan desa; 9. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk manajemen dan informasi desa..

Desa Jambearjo, Desa Kucur, Desa Tunjungtirto.

Perencanaan Apresiatif Desa

PROGRAM

WONOSOBO

KEGIA

TAN

1. Pemahaman UU Desa2. Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa3. Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa 4 Identifikasi aset dan potensi desa5. Pemetaan sosial berdasarkan ukuran lokal6. Perumusan perencanaan pembangunan desa yang apresiatif7. Open data keuangan desa.

Desa Gondang, Desa TracapDesa Wulungsari .

Penguatan kapasitas perempuan melalui Sekolah Perempuan. "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa"

PROGRAM

BANJARNEGARA

KEGIA

TAN

1. Pemahaman UU Desa2. Pendidikan kritis untuk perempuan 3. Pemetaan aset dan potensi desa4. Penguatan komitmen antar pemangku kebijakan di desa tentang kerlibatan perempuan dalam proses perencanan hingga pengawasan pembangunan desa.

Desa Gentasari, Desa JatilawangDesa Gumelem Kulon

Penguatan kapasitas perempuan melalui Sekolah Perempuan. "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa"

PROGRAM

KEGIA

TAN 1. Pemahaman UU Desa

2. Pendidikan kritis untuk perempuan 3. Memetakan aset dan potensi desa4. Penguatan komitmen antar pemangku kebijakan di desa tentang kerlibatan perempuan dalam proses perencanan hingga pengawasan pembangunan desa.

POSODesa Didiri, Desa DulumaiDesa Trimulya

02

03

01

UU Desa menjadi peluang dan titik tolak penting dalam upaya mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan di tingkat desa.

Penguatan Transparansi dan AkuntabilitasPemerintahan Desa Melalui Pemanfaatan ICT dan Penguatan Akses Perempuan pada Pembangunan di Tingkat Desa

Pengembangan kapasitas, peran dan akses perempuan terhatap pembangunan tingkat desa

Pengembangan metode PerencanaanPembangunan Desa Berbasis Apresiasi dan Aset

Pemanfaatan ICT untuk perbaikan tata kelola, akuntabilitas dan transparansi pada penyelenggaraan pemerintahan desa;

Institute for Educational Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta menginisiasi program bertajuk “Penguatan Transparansi dan Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Penguatan Akses Perempuan pada Pembangunan di Tingkat

Desa”. Program ini didukung Program Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU), inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan. Infest Yogyakarta memandang bahwa UU Desa menjadi titik perubahan penting dalam upaya pembaharuan pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan. Melalui program ini Infest Yogyakarta bersama beberapa desa, mengembangkan pendekatan, metode dan cara dalam upaya pembangunan di tingkat desa. Cita-cita tersebut dilandasi semangat keadilan, kesetaraan gender, profesionalisme pemerintah desa, keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat.