Makalah Sewa Menyewa Menurut

Embed Size (px)

Citation preview

0DNDODK6HZD0HQ\HZD0HQXUXW,VODPBAB I PENDAHULUAN Ijarah, dengan hamzah berharakat kasrah adalah bentuk mashdar dari kata ajara, menurut pendapat yang masyhur. Akad ijarah terdiri dari dua kategori : 1. Akad ijarah dalam tempo masa yang ditentukan dari suatu barang tertentu yang sudah diketahui atau dari suatu barang yang hanya dijelaskan kriterianya yang masih berada dalam tanggungan pemiliknya. (Kategori bisa disebut dengan sewa barang). 2. Akad ijarah atas kerja yang sudah diketahui dengan kompensasi yang sudah ditentukan (Kategori ini disebut sewa tenaga, sewa buruh, sewa pekerja atau karyawan). Kedua kategori ini sah berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas : Allah SWT berfirman,Z kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya (Qs. Ath-Thalaaq 65: 6). Dalam kisah hijrah dijelaskan bahwa beliau SAW menyewa seorang lelaki dari bani Ad-Dil (sebagai penunjuk jalan).Z Ibnu Al Mundzir berkata, Setiap ulama yang kami catat pendapatnya sepakat bahwa akad ijarah diperbolehkan.Z Dari sudut Qiyas, bahwa jasa atau manfaat suatu barang amat dibutuhkan, sama halnya dengan kebutuhan atas barang itu sendiri.Z Pembahasan dalam makalah ini seperti halnya melihat dalam masalah jual beli (maksudnya, bahwa pokok-pokoknya terbatas dengan melihat kepada macam-macamnya, syarat dan rukunnya, dan kepada hukumnya), hal tersebut ada dalam satu persatu jenis diantara sewa menyewa, serta hal yang bersifat umum bagi lebih dari satu). Makalah yang disusun penulis ini terbagi menjadi : 1. Jenis jenis barang yang disewakan. 2. Syarat dan Rukun sewa menyewa. 3. Syarat barang yang disewakan. 4. Tujuan sewa menyewa. 5. Ketentuan untung rugi dalam sewa menyewa barang. 6. Hukum sewa menyewa. 7. Keuntungan dan kerugian adanya sewa menyewa. 8. Upah kerja dalam sewa menyewa. 9. Batalnya sewa menyewa.

10.Tarbiyah yang dapat diambil. 11.Hikmah. BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN SEWA MENYEWA Sewa menyewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan Al ijarah. Menurut pengertian hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dari pengertian diatas dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya sama sekali tidak berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut. Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut muajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mutajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan majur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah. Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yabg menyewakan (muajir) wajib menyerahkan barang (majur) kepada penyewa (mustajir). Dengan diserahkannya manfaat barang / benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya (ujarah). Al-Ijarah terambil dari kata al-Ajr yang artinya adalah pengganti atau upah. Allah berfirman yang artinya : jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu (Qs. Al-Kahfi 18 : 77 ) Defenisi ijarah dalam syara adalah akad atas manfaat yang dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan cirri cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui, atau akad atas pekerjaan yang diketahui, dengan bayaran yang diketahui. Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda beda, antara lain sebagai berikut : 1. Menurut Hanafiyah: Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. 2. Menurut Malikiyah: Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat di pindah kan. 3. Menurut Al-syarbini al-khatib: Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat. 4. Menurut Asy-syafiiyah: Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya.

2.2 JENIS JENIS BARANG YANG DISEWAKAN Barang yang disewakan harus diketahui secara jelas yang berbentuk, yang bisa diambil manfaat secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. A. Sewa Menyewa Rumah Sewa menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagi tempat tinggal oleh penyewa atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali. Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak menyewa tidak merusak bangunan yang disewanya, selain itu penyewa atau orang yang menempatinya berkewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku ditengah tengah masyarakat. B. Sewa Menyewa Tanah Sewa menyewa tanah dalam hukum perjanjian islam dapat dibenarkan baik tanah untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Hal- hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain sebagai berikut, untuk apakah tanah tersebut digunankan ? apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterapkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewanya. Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewa / pemilik mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/keras Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan . . : Yahya meriwayatkan kepadaku dari malik, dari Rabiah bin Abu Abdurrahman, dari Hanzhalah bin qais Az-Zuraqi, dari Rafi bin Khadij, bahwa Rasulullah SAW melarang penywaan lading sawah. Hanzalah berkata, Ketika kutanyakan Rafi bin Khadij, bagaimana jika itu disewakan dengan emas atau perak, ia pun menjawab, jika transaksi penyewaannya dilakukan dengan emas atau perak, itu tidak mengapa (boleh dilakukan). : : . :

Malik meriwayatkan kepadaku dari Ibnu Syihab, ia berkata, Aku bertanya kepada Said bin Al Musayyib tentang penyewaan tanah yang dilakukan dengan emas atau perak, ia menjawab, itu boleh untuk dilakukan. : : Malik meriwayatkan kepada Ibnu Syihab, bahwa ia pernah bertanya kepada salim bin Abdullah bin Umar tentang penyewaan lading, ia menjawab, itu boleh dilakukan jika dengan emas atau perak. Ibnu Syahib berkata, Kemudian aku bertanya kepadanya lagi, Bagaimana pendapat mu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rafi bin Khadij? ia menjawab, Rafi terlalu berlebih-lebihan. . : :

. Malik meriwayatkan kepadaku dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa ia pernah menyewakan tanahnya dengan emas dan perak.Ketika Malik ditanya tentang orang yang menyewakan ladangnya dengan seratus gantang kurma atau hasil lading (seperti gandum atau lainnya), Malik menjawab, Transaksi seperti itu hukumnya makruh. Hal ini dalam hokum perjanjian islam dapat dibenarkan baik tanah untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya.Hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain sebagai berikut: Untuk apakah tanah tersebut digunakan? Apabila untuk lahan pertanian, maka harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yangyang harus ditanam di tanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh terhadap jangka waktu sewa menyewa. Dengan sendirinya akan berpengaruh pula terhadap jumlah yang di sewanya. Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewakan mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/keras. Apabila dalam sewa menyewa Tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah sangat beragam, dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan. Tetapi ada pula pendapat yang tidak membolehkan menyewakan tanah. Telah diriwayatkan dari Rafi bin Khadij dari Bapaknya ia berkata:

Rasulullah SAW telah melarang untuk menyewakan tanah. Ia berkata dari segi makna, Tidak dibolehkannya menyewakan tanah karena dalam hal tersebut mengandung resiko, karena mungkin tanaman tersebut tertimpa oleh bencana berupa api (kebakaran), kekeringan, atau tergenang air, sehingga ia harus menyewa tanah tersebut tanpa mendapatkan manfaat dari penyewaan tanah tersebut. Adapum Dalil yang di jadikan landasan oleh ulama yang tidak membolehkan untuk menyewakannya dengan sesuatu yang keluar darinya adalah logika dan atsar. Adapun Atar yaitu adanya larangan dari mukhabarah. C.Sewa Menyewa Binatang a. Malik membolehkan seseoarang menyewakan pejantannya untuk mengawini sekawanan unta yang telah diketahui. b. Abu Hanifah dan Syafii tidak membolehkan hal tersebut. Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku. Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut SyafiI dan Malik. SyafiI dalam membolehkan penyewaan manfaat mensyaratkan bahwa manfaat tersebut memiliki harga tersendiri sehingga tidak boleh menyewa buah untuk dicium, serta makanan untuk menghiasi toko, karena manfaat-manfaat ini secara tersendiri tidak memiliki nilai. Maka hal tersebut menurut Malik dan SyafiI tidak dibolehkan.

Hal ini juga mempunyai perselisihan dalam madzhab (Malik) mengenai menyewakan uang dirham serta dinar. Segala sesuatu yang di ketahui bahwa itu adalah mata uang maka Ibnu Al Qasyim berkata, Tidak boleh menyewakan jenis ini dan hal tersebut termasuk hutang. Abu Bakar Al Abhari serta yang lainnya mengklaim bahwa hal tersebut sah, dan harus ada upahnya, sedangkan ulama yang melarang menyewakannya karena tidak terbayangkan adanya suatu manfaat seperti berbasa basi dengan uang tersebut, atau berpura-pura memiliki uang banyak atau yang lainnya di antara hal-hal yang terbayangkan di dalam masalah ini. Adapun masalah-masalah yang diperselisihkan yang berhubungan dengan jenis harga, yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan sesuatu yang menjadi harga pada barang-barang dagangan dan sesuatu yang tidak menjadi harga. Di antara hadits yang melarang dari bab ini adalah, Bahwa Rasulullah SAW melarang menyewakan pejantan, hasil tukang bekam, serta qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung). Ath-Thahawi berkata, Makna larangan Rasulullah SAW dari qafizuth thahhan (takaran pembuat tepung) adalah apa yang dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah yaitu menyerahkan gandum kepada pembuat tepung dengan upah sebagian dari tepung yang ia tumbuk. Menurut mereka hal ini tidak boleh, hal tersebut merupakan penyewaan dengan barang yang tidak ia miliki dan tidak termasuk sesuatu yang merupakan utang dalam suatu tanggungan serta Syafii sepakat dengan hal ini. Para sahabat nya mengatakan apabila menyewa tukang menguliti dengan upah kulit, dan tukang pembuat tepung dengan upah dedak atau satu sha tepung maka penyewaan tersebut telah rusak (batal) karena terdapat larangan Rasulullah SAW dari qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung), dan hal ini menurut madzab Malik dibolehkan karena dia menyewanya untuk memproses sebagian makanan yang telah di ketahui, dan upah pembuat tepung adalah sebagian makanan itu dan hal tersebut juga telah di ketahui. Upah dalam perbuatan Ibadah : : ( ) Dari Abdurrahman bin Syibl RA, dari Nabi SAW, Bacalah Al-Quran dan janganlah kalian berlebihan padanya tapi jangan pula kendur terhadapnya. Janganlah kalian makan dari (Upahnya), dan janganlah banyak meminta dengannya. (HR. Ahmad) : ) Dari Imran bin Hushain, dari Nabi SAW, beliau bersabda, Bacalah Al-Quran dan memohonlah kepada Allah dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian ada kaum yang membaca Al-Quran meminta kepada manusia dengannya. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi) : .( ) : . .( .

Dari Ubay bin Kab, ia menuturkan, Aku mengajarkan Al Quran kepada seorang laki-laki, lalu ia memberiku hadiah busur panah, lalu aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, Bila engkau mengambilnya, maka engkau telah mengambil busur dari neraka. Maka aku pun mengembalikannya. (HR. Ibnu Majah)

: Nabi SAW berkata kepada Usman bin Abu Al Ash, Janganlah engkau mengangkat muadzdzin yang mengambil upah dari adzannya. Hadits-hadits diatas dijadikan dalil oleh mereka yang menganggap tidak halalnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran. Adapun Jumhur berpendapat halalnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran. Disebutkan didalam Al Ikhtiyarat : Mengambil upah dari sekadar membaca Al-Quran tidak pernah dikatakan oleh seorang imam pun. Adapun yang mereka perselisihkan adalah mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran. Dan tidak apa-apa mengambil upah adri ruqyah. Ucapan Perawi (meniupnya), maksudnya adalah meniup disertai dengan sedikit ludah. Ibnu Abi Hamzah mengatakan, Meniup ketika meruqyah adalah setelah selesai membaca untuk mendapatkan berkah dari bacaan. Hadits ini menunjukkan bolehnya meruqyah dengan Kitabullah, dan dikiaskan pada ini bolehnya meruqyah dengan dzikir dan doa yang matsur (yang ada riwayatnya dari Nabi SAW), juga dengan doa yang tidak matsur namun dengan syarat tidak bertentangan dengan yang matsur. Hadits Abu Said menunjukkan disyariatkan meminta bertamu kepada warga pedalaman dan singgah di sumber air orang Arab serta meminta kepada mereka dengan cara menukar atau membeli. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya membalas orang yang tidak mau menghormati dengan cara serupa. Juga menunjukkan bolehnya meminta hadiah dari orang yang diketahui mau memberikannya. Ucapan Perawi (selama tiga hari). Dalam lafazh Abu Daud pada mengumpulkan ludahnya kemudian ditiupkan. Sabda beliau (ruqyah yang bathil), yakni ruqyah yang mengandung perkataan bathil, yaitu yang mengandung kekufuran atau yang tidak dapat difahami. Hadits-hadits diatas menunjukkan bolehnya seseorang meminta ruqyah. Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab adalah mereka yang tidak pernah meruqyah dan tidak pernah minta di ruqyah, menunjukkan keutamaan dan anjuran tawakkal, sedangkan Adanya yang menunjukkan untuk meninggalkan ruqyah adalah bagi orang-orang yang meyakini bahwa pengaruhnya adalah berkat tabeat ruqyah, yaitu sebagaimana yang diklaim oleh kaum jahiliyah dalam banyak hal. Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Alquran dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah. D.Menyewa Kaum Quraisy Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari bani Ad-Dil sebagai pemandu yang pandai menunjukkan jalan), asalnya dari hadits panjang yang dikemukakan oleh Al-Bukhari pada kisah hijrahnya Nabi SAW. Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang muslim menyewa orang kafir untuk menunjukkan jalan bila dapat dipercaya. Al-Bukhari menyebutkan hadits ini pada kitab Al-Ijarah yang memberinya judul Bab: Menyewa Orang Musyrik dalam kondisi terpaksa bila tidak ada yang muslim. Seolah-olah Al Bukhari hendak menggabungkannya dengan sabda beliau SAW, Aku tidak akn meminta bantuan kepada orang musyrik. (di keluar kan oleh muslim dan para penyusun kitab sunan). Ibnu baththal mengatakan, Para ahli fiqih membolehkan menyewa mereka, yakni orang-orang musyrik, baik dalam kondisi terpaksa maupun tidak, karena hal ini mengandung perendahan mereka adapun yang dilarang adalah seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik, Karena dengan begitu berarti ia telah merendahkan dirinya sendiri. Upah Bekam

.( Anjing (HR. Ahmad)

)

Dari Abu hurairah: Bahwasanya Nabi SAW melarang megambil upah bekam, upah pelacur dan harga Hadits diatas dijadikan dalil oleh mereka yang mengharamkan upah bekam, yaitu sebagian ahli hadits karena larangan itu mengindikasikan haram, sebab makna khabiits adalah haram. Penyebutan haram ini dikuatkan oleh kata suhtan (haram) pada hadits hurairah. Namun Jumhur berpendapat halal, mereka berdalih dengan hadits Anas dan Ibnu Abas, lalu mengartikan larangan itu sebagai larangan yang mengindikasikan makruh, karena mencari upah dengan berbekam mengandung hinaan, sedangkan Allah menyukai perkara yang luhur. Lain dari itu, bekam termasuk yang diwajibkan atas setiap muslim untuk menolong sesame muslim ketika membutuhkannya. Hal ini dikuatkan oleh izinnya Nabi Muhammad SAW untuk menggunakan upah bekam, yaitu untuk memberi makan tukang pembawa air dan budak. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan: seandainya diketahui makruhnya, tentu tidak memberinya yakni makrum tahrim. Dalam riwayat Al-Bukhari yang lainnya disebutkan: Walau kaanna haraaman lam yuthihi [Seandainya itu haram, tentu beliau tidak memberinya]. Ini jelas menunjukkan boleh. Disebutkan didalam Al-Ikhtiyarati: Bila seseorang membutuhkan pekerjaan ini (untuk mencari nafkah), maka tidak boleh meminta-minta kepada orang, karena pekerjaan ini lebih baik daripada meminta-minta, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, Pekerjaan yang mengandung kehinaan lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain. E.Menyewa Pekerja Dengan Upah Harian, Bulanan, Tahunan Atau Berdasarkan Jumlah Yang Dikerjakan. : .( )

Dari Ali RA, ia menuturkan, Suatu ketika aku merasa sangat lapar, maka aku keluar untuk mencari pekerjaan dipinggiran Madinah. Tiba-tiba aku mendapati seorang wanita sedang mengumpulkan tanah kering, aku menduga bahwa ia hendak membasahinya, lalu aku menawarkan jasa padanya untuk setiap ember satu butir kurma. Lalu aku megerjakan enam belas ember hingga kedua tangan ku terasa pegal. Lalu ia pun memberiku enam belas butir kurma. Kemudian aku datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau, lalu beliau pun makan dari kurma itu. (HR. Ahmad) : .( )

Dari Anas, ia menuturkan,Ketika kaum muhajirin dari Makkah sampai di Madinah, mereka datang tanpa membawa apa-apa, sedangkan kaum anshar adalah para pemilik tanah dan rumah, maka kaum anshar pun berbagi dengan mereka dengan kesepakatan mendapat separuh hasil buahnya setiap tahun dan mereka membantu bekerja dan biaya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) : : .

Ibnu Umar mengatakan, Nabi SAW menyerahkan penggarapan lahan khaibar dengan upah separuh hasilnya, dan itu berlangsung pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan permulaan masa khalifah Umar. Ia tidak menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar memperbaharui sewa setelah wafat nya Nabi SAW. (HR. Al Bukhari) Hadits Ali RA menunjukkan tentang kondisi para sahabat yang sangat membutuhkan namun tetap bersabar menghadapi lapar, bekerja pada orang lain untuk mendapatkan makanan agar bisa menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain; Bahwa menawarkan diri (untuk bekerja) tidak di anggap hina, walaupun si penyewa bukan orang mulia atau orang kafir sedangkan yang disewa adalah orang mulia atau pembesar. Dalil bolehnya ijarah muadadah (penyewaaan sesuai jumlah), yaitu penyewa mengerjakan sejumlah pekerjaan tertentu yang di upah sesuatu sebanyak jumlah pekerjaan itu, walau pun sebelumya tidak dijelaskan jumlah pekerjaan dan upahnya (jadi yang di upah adalah sesuai yang di kerjakan). Hadits Anas menunjukkan bolehnya menyewakan tanah dengan harga sewa separuh hasilnya setiap tahun, begitu juga hadits Ibnu Umar. 2.3 SYARAT DAN RUKUN SEWA MENYEWA 1. Adapun Syarat Sewa Menyewa adalah : a. Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridla b. Barang/sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadar nya jelas itu misalnya: Rumah disewa 1 tahun, Taksi disewa dari yogya sampai solo 1 hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan membuat pintu besi ukuran sekian meter c. Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny: Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar tunai atau angsuran d. Yang menyewakan adalah pemilik barang sewa, walinya/orang yang menerima wasiat (washiy) untuk bertindak sebagai wali e. Ada kerelaan kedua belah pihak yang menyewa kan dan penyewa yang digambarkan paa adanya ijab Kabul f. Yang disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya g. Manfaat yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara h. Berapa lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas i. Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang ditentukan berapa besarnya j. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya 2. Adapun rukun-rukun sewa menyewa adalah : Mujir dan mustajir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah dalam hal upah mengupah. Mustajir adlah orang yang memberi upah untuk melakukan sesuatu , sedangkan Mustajir adalah orang yang menyewa sesuatu. Disyaratkan kepada mujir dan mustajir adalah orang yang baliqh,berakal,cakap melakukan tasharrup (mengendlikan harta),dan saling meridhoi. Ujrah (upah/harga sewa ), disyratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa ataupun upah mengupah barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan. 2.4. SYARAT BARANG YANG DISEWAKAN a. Tidak semua harta benda dapat diakadkan ijarah, benda benda tersebut haruslah memenuhi persyaratan berikut :

b. Manfaat dari objek harus diketahui secara jelas . hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan, atau pemilik memberikan informasikan secara transparan tentang kualitas manfaat barang c. Objek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan menyewakan barang yang masih ada pada pihak ketiga. d. Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara e. Objek yang disewakan adalah manfaat langsung dari benda tersebut, tidak dibenarkan menyewakan manfaat benda yng bersifat tidak langsung . seperti menyewakan pohon untuk diambil buahnya, menyewakan ternak untuk diambil susunya, dan lain lain f. Harta yang menjadi objek haruslah harta yang bersifat istimaly, yakni benda yang dapat dimanfaatkan berungkali tanpa merusak zatnya. Karenanya menyewakan benda yang bersifat istihlaki (harta yang berkurang atau rusak zatnya karena pemakaian) tidak sah ijarah terhadapnya. Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah : setiap harta benda yang dimanfaatkan sedang zatnya tidak mengalami perubahan, boleh dijadikan ijarah, jika sebaliknya maka tidak boleh 2.5 TUJUAN SEWA MENYEWA Adapun tujuan sewa menyewa adalah untuk mengambil manfaat dari apa yang disewa tersebut dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa maka akan memberi pengganti kepada yang menyewakan. 2.6 KETENTUAN UNTUNG RUGI DALAM SEWA MENYEWA BARANG Bila barang sewa mengalami rusak akibat penggunaan yang melampaui kapasitasnya, penyewa dapat di tuntut ganti kerugian atas kerusakan barang sewa itu. Berbeda halnya bila barang sewa mengalami rusak, padahal penggunaannya telah disesuaikan dengan kapasitasnya, maka penyewa tidak dapat dituntut kerugian apapun atas kerusakan barang sewa itu. Adapun biaya-biaya yang diperlukan untuk memelihara atau memperbaiki kerusakan barang sewa menjadi tanggungan yang menyewakan. Bila mustakjir mengeluarkan biaya-biaya pemeliharaan atau perbaikan atas kerusakan yang terjadi pada barang sewa dengan seizin yang menyewakan maka ia berhak minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan itu. Tetapi bila ia mengeluarkan biaya-biaya dimaksud tanpa seizin yang menyewakan, ia berhak minta ganti, kecuali bila biaya tersebut amat mendesak perlu dikeluarkan dengan segera guna menjaga keselamatan barang sewa. Apabila barang sewa mengalami kerusakan ditangan penyewa setelah habis masa berlakunya perjanjian, padahal yang menyewakan telah minta agar barang sewa diserahkan kembali, tetapi yang menyewa menolak, maka penyewa dapat dituntut kerugian, meskipun penggunaannya tidak melampaui kapasitasnya atau tidak karena kelalaiannya. Penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan dalam waktu setelah habis masa berlaku perjanjian itu tidak didahului dengan adanya permintaan yang menyewakan untuk menyerahkan kembali barang sewa, sebab penyewa tidak dibebani biaya yang diperlukan untuk menyerahkannya kepada pemilik tersebut. 2.7 HUKUM SEWA MENYEWA Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan maqudalaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika

kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya. Jafar dan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan. Adapun hukum ijarah secara global terbatas dalam 2 kelompok, yaitu : 1. Perkara-perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang akan menimpa. 2. Hukum-hukum emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada; hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan; kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan. 3. Perkara-perkara yang mengharuskan akad ini tanpa adanya kejadian (emergency) yang datang kepadanya. Diantara masalah yang mencakup dalam hal ini adalah : Menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa harga sewa harus diberikan sebagian sebagian sesuai manfaat yang diambil, kecuali apabila ia mensyaratkan harga harus diserahkan diserahkan seluruhnya. Seperti berbentuk suatu ganti tertentu atau sewa dalam suatu tanggungan. Syafii berkata, Wajib memberikan harga saat terjadi akad. Malik memandang bahwa harga akan dimiliki sesuai dengan kadar ganti yang akan diambil. Sedangkan Syafii seolah-olah melihat bahwa keterlambatan pembayaran harga sewa tersebut termasuk kategori jual beli utang dengan utang. Diantara hal tersebut adalah perselisihan mereka mengenai penyewa binatang atau rumah serta yang serupa dengan hal tersebut, apakah ia berhak untuk menyewakan dengan harga lebih dari harga ia menyewa: 1. Malik, Syafii dan Jamaah membolehkan hal tersebut dengan mengqiyaskannya kepada jual beli. 2. Abu Hanifah dan para sahabatnya melarang hal tersebut. Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut termasuk dalam kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan. Diantara ulama yang tidak memakruhkan hal ini apabila terjadi dengan sifat ini adalah Sufyan Ats-Tsauri serta jumhur, mereka melihat bahwa persewaan dalam hal ini mirip dengan jual beli. Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut dalam kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan. Hukum-hukum darurat yang datang belakangan Pasal pertama: Pembatalan Abu Hanifah dan para sahabatnya berkata, Boleh menggagalkan akad sewa karena adanya alas an yang dating belakangan kepada penyewa, seperti ia menyewa sebuah toko sebagai tempat berdagang kemudian barang dagangan nya terbakar atau dicuri. Karena sewa adalah akad atas manfaat

sehingga menyerupai pernikahan, dan karena sewa adalah akad berdasarkan atas saling mengganti sehingga tidak batal dan asalnya adalah jual beli. Dalil yang dijadikan landasan oleh Abu Hanifah adalah bahwa ia menyamakan hilangnya sesuatu yang dengannya manfaat akan didapatkan secara sempurna dengan hilangnya barang yang memiliki manfaat. Pasal kedua: Tanggung jawab (Jaminan) Menurut para fuqaha ada dua bentuk yaitu: Karena suatu pelanggaran, atau untuk suatu kemaslahatan serta penjagaan harta. Adapun yang disebabkan karena suatu pelanggaran maka tanggung jawab menjadi kewajiban atas penyewa dengan kesepakatan ulama, sedangkan perselisihan hanyalah mengenai jenis pelanggaran yang mewajibkan serta mengenai kadarnya. Diantara hal tersebut adalah perselisihan para ulama mengenai keputusan penyewa hewan (kendaraan) untuk menuju kesuatu tempat kemudian ia melebihi tempat yang telah disepakati dalam persewaan tersebut : 1. Ahmad dan Syafii berpendapat ia bertanggung jawab atas sewa yang ia tetapkan dan kelebihannya. 2. Malik berpendapat bahwa pemilik kendaraan memiliki khiyar antara mengambil (ongkos) sewa kendaraannya atas jarak yang telah ia lampaui atau ia menanggung nilai-nilai tersebut. 3. Abu Hanifah berpendapat tidak ada kewajiban sewa atas jarak yang telah ia lampau. Tidak ada perselisihan bahwa apabila kendaraan tersebut rusak pada jarak yang melebihi kesepakatan, maka penyewa yang bertanggung jawab. Dalil yang dijadikan landasan Syafii adalah karena penyewa telah melakukan pelanggaran terhadap suatu manfaat sehingga ia wajib membayar ongkos yang semisal, pada dasar hal tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap manfaat lain. Adapun Malik saat ia menahan hewan (kendaraan) tersebut dari (mendatangi) pasar hewan, ia memandang bahwa orang tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap manfaat yang ada, mengenai tewasnya hewan (rusaknya kendaraan), apabila karena keteledoran dari pemilik hewan tersebut maka ia bertanggung jawab. Begitu pula apabila tali-talinya telah using. Adapun pendapat Abu Hanifah sangat jauh dari dasar-dasar syariat dan yang paling dekat kepada dasar syariat adalah pendapat syafii. Adapun membebankan tanggung jawab kepada pembuat sesuatu atas kerusakan barang-barang yang telah diserahkan kepada mereka, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: 1. Malik, Ibnu Abu Laila, dan Abu Yusuf berpendapat bahwa mereka (pembuat barang) bertanggung jawab terhadap apa yang rusak ditangan mereka 2. Abu Hanifah berpendapat bahwa para pembuat barang yang tidak mendapatkan upah atau orang khusus, tidak terkena tanggung jawab, sedangkan pembuat barang biasa membuat barang untuk orang lain dan mendapatkan upah maka ia terkena tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Pasal ketiga: hukum perselisihan Sebuah pembahasan mengenai perselisihan, para ulama berbeda pendapat mengenai seorang pembuat sesuatu dan pemilik barang yang dibuat tersebut yang berselisih tentang sifat produk : 1. Abu Hanifah berpendapat perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang yang dibuat 2. Malik dan Ibnu Abu Laila berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat tersebut

Sebab perbedaan pendapat: ketidakjelasan siapa yang menuduh dan yang dituduh diantara keduanya. Apabila pembuat tersebut mengklaim bahwa ia telah mengambilkan barang yang diserahkan kepada pemesan, sedangkan pemesan (yang telah membayar) mengingkari hal tersebut: 1. Menurut pendapat Malik, perkataan yang kuat adalah perkataan pemesan, dan pembuat barang tersebut berkewajiban untuk mendatangkan bukti karena ia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap apa yang ada ditangannya 2. Ibnu Al Majisyun berkata, Perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang tersebut apabila barang yang diserahkan kepada pemesannya tanpa bukti, sedangkan apabila diserahkan dengan membawa bukti maka mereka tidak dapat lepas tanggung jawab kecuali dengan suatu bukti. Apabila pembuat suatu (barang) berbeda pendapat dengan pemilik barang mengenai pembayaran upah: Menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Malik bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat dengan disertai sumpah apabila hal tersebut berlangsung belum lama, sedangkan apabila telah berlangsung lama maka perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang. Begitu pula apabila orang yang menyewakan dan penyewa berbeda pendapat: Ada yang mengatakan bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang dan orang yang menyewakan walaupun telah berlangsung lama dan demikianlah sebenarnya. Apabila orang yang menyewakan dan penyewa, atau orang yang diupah dan orang yang mengupah berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang terjadi padanya pengambilan suatu manfaat, apabila mereka telah sepakat bahwa manfaat tidak diterima pada seluruh waktu yang telah ditetapkan maka menurut pendapat yang masyhur dalam madshab Malik bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan penyewa karena ia adalah orang yang membayar, sedangkan kaidahnya adalah bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan orang yang membayar. Apabila perselisihan mereka mengenai jenis jarak tersebut atau jenis sewaan; maka mereka saling bersumpah serta membatalkan kesepakatan sebagaimana perselisihan dua orang yang berjual beli mengenai jenis harga : 1. Ibnu Majisyun berpendapat terjadi atau belum terjadi 2. Sedangkan selainnya berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik hewan apabila telah terjadi, dan hal tersebut seperti apa yang ia katakana 2.8 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN ADANYA SEWA MENYEWA Keuntungan adanya sewa menyewa : 1. Adanya sewa-menyewa bisa membantu orang mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut. 2. Membantu orang yang tidak mampu membeli barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa barang itu. 3. Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika barang tersebut rusak Kerugian adanya sewa menyewa : 1. Bila barang rusak maka yang menanggung resiko adalah pemilik barang 2. Resiko yang ditanggung tak sebanding dengan harga sewa. 3. Ajir musytarok terikat pada waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu tersebut tidak dipenuhi maka penyewa mengalami kerugian. 2.9 UPAH KERJA DALAM SEWA MENYEWA Jika sewa-menyewa itu berupa pekerjaan, maka berkewajiban pembayarannya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak

disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafii dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mujir menyerahkan zat benda yang disewa kepada mustajir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (mustajir) sudah menerima kegunaan. a. Hak menerima upah bagi mustajir adalah sebagai berikut : Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering. Dalam Musnad Ahmad, riwayat Abu Hurairah, diterangkan bahwa Nabi SAW bersabda: : : .

Umatku diampuni (dosanya) di akhir bulan Ramadhan. Lalu ditanyakan kepada beliau, Apakah karena malam itu adalah malam Lailatul Qadar? Beliau menjawab, Bukan, tetapi (karena) orang yang bekerja telah dibayar upahnya setelah ia selesai mengerjakan pekerjaannya. b. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung. Ajir musytarok yang haknya atas upah dititikberatkan pada jasa yang diberikan kepada pekerja,bukan pada diri sendiri dan waktu yang diberikan untuk penyewa. Ajir musytarok berhak menerima upah bila ia menyerahkan hasil pekerjaannya. : : : .( ) :

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Allah Azza wa jalla berfirman, Tiga golongan manusia dimana aku akan menjadi seteru (musuh) mereka pada hari kiamat, dan barangsiapa yang aku seterunya, maka aku akan menyangkalnya, yaitu: orang yang memberi dengan bersumpah atas nama-Ku lalu berkhianat, orang yang menjual orang yang merdeka lalu memakan uangnya, dan orang yang menyewa (mempekerjakan) seorang pekerja lalu pekerja memenuhinya, tetapi ia tidak memberikan upahnya. (HR. Ahmad dan Al Bukhari) : : .( ) . :

Dari Abu Hurairah dalam salah satu haditsnya-, dari Nabi SAW, Sesungguhnya Allah mengampuni umat-Nya diakhir malam Ramadhan. Dikatakan, Wahai Rasulullah, apa itu pada malam qadar? Beliau menjawab, Tidak akan tetapi, pekerja berhak menerima upah setelah ia menyelesaikan pekerjaanya. (HR. Ahmad) : ) Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW, beliau bersabda, Barangsiapa yang melakukan pengobatan, padahal ia tidak dikenal sebagai orang yang mengerti masalah .(

pengobatan, maka ia harus bertanggung jawab. (HR. Abu Daud, An-Nisai dan Ibnu Majah) Firman Allah dalam hadits qudsi diatas (tetapi ia tidak memberikan upahnya), ia semakna dengan seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, karena ia telah mengambil manfaatnya tanpa memberikan upahnya, jadi seolah-olah ia memakannya, dan karena ia telah mempekerjakannya tanpa upah, maka seolah-olah ia telah memperbudaknya. Sabda beliau (Akan tetapi, pekerja berhak menerima upah setelah ia menyelesaikan pekerjaannya) menunjukkan bahwa upah itu berhak diterima karena selesainya pekerjaan. Sabda beliau (maka ia harus bertanggung jawab) menunjukkan, bahwa orang bukan praktisi pengobatan yang melakukan praktek pengobatan harus bertanggung jawab atas kesalahan dalam prakteknya, adapun orang yang memang diketahui sebagai tabib (dokter atau lainnya), maka tidak bertanggung jawab, yaitu orang yang mengerti gejala penyakit, dampak dan obatnya. Pembayaran dilakukan segera, karena ia bekerja tidak lain karena kebutuhannya terhadap uang. 2.10 BATALNYA SEWA MENYEWA Batalnya sewa menyewa karena : a. Telah habis masanya b. Barang/sesuatu yang disewa rusak sendiri, misalnya rumah roboh sebelum masa sewa habis, tukang pembuat pintu mogok untuk menyelesaikan pekerjaannya c. Barang yang disewakan bukan hak pemberi sewa yang sah d. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa e. Rusaknya barang yang diupahkan (majur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan f. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan Yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian sewa menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati. g. Adanya uzur Penganut mazhab Hanafi menambahkan bahwa uzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari uzur disini adalah adanya suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana sebagaimana mestinya. 2.11 TARBIYAH YANG DAPAT DIAMBIL Pelajaran yang dapat diambil dengen adanya sewa-menyewa bahwa kita bisa saling tolong-menolong sesama yang membutuhkan bisa memamfaatkan barang sewaan secara baik, tidak menghianati perjanjian yang sudah disepakati,karna sudah diterangkan dalam hadis-hadis yang ada. 2.12 HIKMAH Hikmah dalam persyariatan sewa- menyewa sangatlah besar sekali. Karena didalam sewa menyewa terdapat unsur saling bertukar manfaat antara manusia yang satu dengan yang lainnya . bertukar manfaat antara manusia yang satu dengan yang lainnya . karena perbuatan yang dilakukan oleh satu orang pastilah tidak sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau tiga orang misalnya. Apabila persewaan tersebut berbentuk barang , maka dalam akad persewaan diisyaratkan untuk menyebutkan sifat dan kuantitasnya adapun mengenai syarat dalam cabang fiqih Hikmah dalam persewaan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan tidak boleh menyewakan suatu barang yang tidak ada kejelasan manfaatnya yaitu sebatas perkiraan dan terkaan belaka . dan, barangkalai tanpa diduga barang tersebut tidak dapat memberikan faedah apa pun.

Masalah ini secara panjang lebar telah dibahas dalam cabang fiqih, maka lihatlah kembali jika menginginkan faedah tambahan. BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Sewa menyewa adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. Jenis barang yang disewakan terdiri dari enam, yaitu : 1. Sewa menyewa barang Sewa menyewa barang terdapat dua macam yaitu: - Sewa menyewa rumah, dan - Sewa menyewa tanah 2. Sewa menyewa binatang 3. Upah dalam perbuatan Ibadah 4. Menyewa kaum quraisy 5. Upah bekam 6. Menyewa pekerja dengan upah harian, bulanan, tahunan atau berdasarkan jumlah yang dikerjakan Syarat dari sewa menyewa ada sepuluh serta mempunyai lima rukun sewa. Tujuan dari sewa menyewa adalah mengambil manfaat dari apa yang disewa dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa. Ketentuan untung rugi dalam sewa menyewa adalah bila barang rusak akibat penggunaan yang melampaui kapasitasnya dapat dituntut ganti rugi dari kerusakan tersebut, penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan setelah habis masa berlaku perjanjian dalam sewa. Sewa menyewa secara global mempunyai dua hukum yaitu : Perkara perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang akan menimpa serta Hukum hukum emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan & kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan. Adapun batalnya sewa menyewa terdiri dari tujuh macam. DAFTAR PUSTAKA Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983). Wahbah al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Waadillatuhu, Daar al Fikri, Damsyik, 1989.

A. Arti / Pengertian / Definisi Sewa Menyewa Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan. Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa / carter kendaraan, sewa menyewa vcd dan dvd original, dan lain-lain. Dalam sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa, pemberi sewa, imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa barang. Penyewa dalam mengembalikan barang atau aset yang disewa harus mengembalikan barang secara utuh seperti pertama kali dipinjam tanpa berkurang maupun bertambah, kecuali ada kesepatan lain yang disepakati saat sebelum barang berpindah tangan. B. Hal-hal yang Membuat Sewa Menyewa Batal Barang yang disewakan - Periode / masa perjanjian / kontrak sewa menyewa - Barang yang disewakan cacat setelah berada di tangan penyewa. C. Manfaat Sewa Menyewa Membantu orang lain yang tidak sanggup - Yang menyewakan memdapatkan menfaat dari sang penyewa

telah

rusak habis

membeli

barang

Bila saudara menulusuri berbagai akad yang dibenarkan dalam syariat Islam, lalu saudara berusaha mengklasifikasikann ya berdasarkan konsekuensi masing-masing, maka saudara dapat mengelompokkannya menjadi tiga kelompok besar: Pertama: Akad yang mengikat kedua belah pihak. Maksud kata mengikat disini ialah bila suatu akad telah selesai dijalin dengan segala persyaratannya, maka konsekuensi akad tersebut sepenuhnya harus dipatuhi. Siapapun tidak berhak untuk membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan dari pihak kedua, kecuali bila terjadi cacat pada barang yang menjadi obyek akad tersebut. Diantara contoh akad jenis ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dll. Kedua: Akad yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak pertama tidak berhak untuk membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan pihak kedua. Akan tetapi pihak kedua berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka, walau pihak pertama tidak menyetujuinya. Diantara contoh akad jenis ini ialah: Akad pergadaian (agunan). Pada akad ini pihak pemberi hutang (kreditor) berhak mengembalikan agunan yang ia terima kapanpun ia suka. Sedangkan pihak penerima piutang (debitor) sekaligus pemilik barang agunan/gadai tidak berhak untuk membatalkan pegadaian ini tanpa seizin dari kreditor. Ketiga: Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Maksudnya masing-masing pihak berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia

suka, dan walaupun tanpa persetujuan dari pihak kedua, dan walaupun tanpa ada cacat pada obyek akad tersebut. Diantara contoh akad jenis ini ialah: akad syarikat dagang, mudharabah (bagi hasil), penitipan barang, peminjaman perabot rumah tangga. Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari konsekuensinya Dengan mengetahui pembagian macam-macam akad ditinjau dari konsekwensinya ini, saudara dapat mengetahui hukum berbagai persengketaan yang sering terjadi di masyarakat. Persengketaan yang sering terjadi biasanya berhubungan dengan siapakah yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang yang menjadi obyek suatu akad. Diantara manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari sisi ini ialah: saudara dapat mengetahui hukum memutuskan akad yang telah dijalin, karena pada akad jenis pertama, tidak dibenarkan bagi siapapun dari pihak-pihak yang telah melangsungkan akad untuk membatalkannya kecuali dengan seizin pihak kedua. Sedangkan pada akad jenis kedua, maka bagi pihak yang terikat dengan akad tersebut tidak dibenarkan untuk memutuskan atau membatalkan akadnya kecuali atas seizin pihak kedua. Sedangkan pihak kedua berhak membatalkannya kapanpun ia suka, walau tanpa seizin pihak pertama. Dan pada akad jenis ketiga, kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akadnya, kapanpun ia suka dan walaupun tanpa persetujuan pihak kedua.Dari Rafi' bin Khadij r.a, ia berkata, "Kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak kebunnya. Salah seorang dari kami menyewakan kebunnya. Ia berkata, 'Hasil tanah yang ini adalah bagianku dan yang itu adalah bagianmu.' Kadang kala tanah yang ini membuahkan hasil sedang yang satunya tidak membuahkan hasil. Lau Rasulullah saw. melarang mereka dari hal tersebut," (HR Bukhari [2332] dan Muslim [1547]). Dari Tsabit bin Dhahhak r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang muzara'ah (sewa-menyewa sawah), (HR Muslim [1549]). Penjelasan 1. Larangan dalam hadits-hadits tersebut berlaku apabila sewa-menyewa tersebut mengandung syarat-syarat yang tidak jelas atau dapat menjurus kepada gharar (ketidak jelasan). Misalnya si pemilik memungut hasil bagian-bagian tertentu untuk dirinya atau mengambil jeraminya (rerumputannya). Dalam hadits riwayat Muslim dari Hanzhalah bin Qais al-Anshari, ia berkata, "Aku bertanya kepada Rafi' bin Khadij tentang sewa-menyewa sawah dengan emas dan perak. Ia menjawab, 'Tidak masalah!' Hanya saja dahulu orang-orang menyewakan tanah mereka pada masa Rasulullah saw. dengan mengambil rerumputan yang tumbuh di pinggiran sawah atau di saluran pengairannya atau mengambil beberapa hasil tanaman. Kadang kala tanaman ini mati dan tanaman yang lain hidup dan kadang kala sebaliknya. Begitulah cara sewa-menyewatanah yang mereka lakukan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. melarangnya. Adapun bilamenyewakannya dengan sesuatu yang jelas dan terjamin, maka dibolehkan."

Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (VI/13), "Hadits ini menunjukkan haramnya praktek muzara'ah (sewa-menyewa sawah) karena mengandung unsur gharar dan ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan pertengkaran." Al-Laits bin Sa'ad berkata, "Sewa-menyewa sawah yang dilarang ini apabila para ahli yang paham halal haram mengetahuinya pasti mereka tidak membolehkannya karena bisa menimbulkan mudharat dan kerugian," (HR Bukhari [2346 dan 2347]). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (V/26), "Perkataan al-Laits ini selaras dengan pendapat Jumhur ulama tentang larangan sewa-menyewa sawah yang menjurus kepada gharar dan ketidakjelasan, bukan sewa-menyewa dengan emas atau perak." 2. Para ulama berbeda pendapat tentang sewa-menyewa sawah dengan sebagian dari hasilnya. Dan berdasarkan pendapat yang terpilih hukumnya boleh. Dalilnya adalah sebagai berikut: a. Hadits 'Abdullah bin 'Abbas r.a, ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak melarangnya, hanya saja beliau mengatakan, "Andaikata seseorang memberikan sawahnya kepada saudaranya tentu lebih baik baginya daripada meminta bagian tertentu dari hasilnya," (HR Bukhari [2342] dan Muslim [1550]). b. Kebijakan yang Rasulullah saw ambil terhadap Yahudi Khaibar, beliau memberi mereka kebun kurma dengan kompensasi menyerahkan separuh dari hasilnya kepada beliau. Kebijakan ini berlanjut sampai Rasulullah saw meninggal. c. 3. Keterangan yang dosebutkan dalam hadits Rafi', "Adapun bila menyewakan dengan sesuatu yang pasti dan terjamin maka tidaklah mengapa (yakni boleh)." Boleh menyewa tanah atau sawah atau kebun dengan emas atau perak.

Pertama: Akad yang mengikat kedua belah pihak.

Maksud kata mengikat disini ialah bila suatu akad telah selesai dijalin dengan segala persyaratannya, maka konsekuensi akad tersebut sepenuhnya harus dipatuhi. Siapapun tidak berhak untuk membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan dari pihak kedua, kecuali bila terjadi cacat pada barang yang menjadi obyek akad tersebut.

Diantara contoh akad jenis ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dll.

Kedua: Akad yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak pertama tidak berhak untuk membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan pihak kedua. Akan tetapi pihak kedua berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka, walau pihak pertama tidak menyetujuinya.

Diantara contoh akad jenis ini ialah: Akad pergadaian (agunan). Pada akad ini pihak pemberi hutang (kreditor) berhak mengembalikan agunan yang ia terima kapanpun ia suka. Sedangkan pihak penerima piutang (debitor) sekaligus pemilik barang agunan/gadai tidak berhak untuk membatalkan pegadaian ini tanpa seizin dari kreditor.

Ketiga: Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak.

Maksudnya masing-masing pihak berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka, dan walaupun tanpa persetujuan dari pihak kedua, dan walaupun tanpa ada cacat pada obyek akad tersebut.

Diantara contoh akad jenis ini ialah: akad syarikat dagang, mudharabah (bagi hasil), penitipan barang, peminjaman perabot rumah tangga.

Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari konsekuensinya

Dengan mengetahui pembagian macam-macam akad ditinjau dari konsekwensinya ini, saudara dapat mengetahui hukum berbagai persengketaan yang sering terjadi di masyarakat. Persengketaan yang sering terjadi biasanya berhubungan dengan siapakah yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang yang menjadi obyek suatu akad.

Diantara manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari sisi ini ialah: saudara dapat mengetahui hukum memutuskan akad yang telah dijalin, karena pada akad jenis pertama, tidak dibenarkan bagi siapapun dari pihak-pihak yang telah melangsungkan akad untuk membatalkannya kecuali dengan seizin pihak kedua.

Sedangkan pada akad jenis kedua, maka bagi pihak yang terikat dengan akad tersebut tidak dibenarkan untuk memutuskan atau membatalkan akadnya kecuali atas seizin pihak kedua. Sedangkan pihak kedua berhak membatalkannya kapanpun ia suka, walau tanpa seizin pihak pertama.

Dan pada akad jenis ketiga, kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akadnya, kapanpun ia suka dan walaupun tanpa persetujuan pihak kedua. Ibnu Munzir

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Sewa Menyewa (Studi Kasus Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Motor Di CV. Chasan Motor Demak).Undergraduate Theses from JTPTIAIN / 2011-10-31 14:29:21 Oleh : Sofiatul Istikomah (2103186), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Dibuat : 2008-01-22, dengan 1 file Keyword : Sewa Menyewa, CV. Chasan Motor Demak. CV. CHASAN Motor Demak Merupakan perusahaan sewa menyewa motor yang paling diminati konsumen. Sebagai mana kita ketahui bahwa kebutuhan akan sepeda motor di zaman seperti ini merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk memperlancar kegiatan usaha, Misalnya untuk dagang, menarik ojek, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya perusahaan sewa menyewa sepeda motor, maka dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu membeli motor secara tunai. Usaha ini termasuk usaha yang menyewakan Motor dengan harga murah di banding usaha sewa menyewa yang lain. Di samping mempunyai banyak pelanggan, didukung pula pemilik usaha dan karyawannya beragama Islam. yang membuat menarik penyusun untuk melakukan penelitian ini yaitu, pada dasarnya uang sewa menyewa itu tidak dikembalikan, tapi dalam prakteknya di CV. CHASAN Motor, uang sewanya itu di kembali, dan perusahaan hanya membebani biaya administrasi.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti bagaimana praktek pelaksanaan sewa menyewa motor dalam penulisan skripsi yang berjudul" TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA (Studi Kasus Pelaksanaan Perjanjian sewa menyewa di CV. CHASAN Motor Demak.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan penulis di CV. CHASAN Motor Demak. Untuk mendapat data yang valid dan jelas dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode yaitu metode wawancara dan observasi. Kemudian dari data yang telah penulis kumpulkan, telah dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat kesepakatan. Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu saat sewa menyewa berlangsung, apabila akad sudah berlangsung, pihak yang menyewakan wajib menyerahkan barang kepada penyewa. Dengan diserahkanya manfaat barang atau benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewannya.

Menurut hukum Islam Pelaksanaan sewa menyewa di CV. CHASAN Motor Demak, itu diperbolehkan asalkan akadnya adalah akad sewa, dan adanya persetujuan dari kedua belah pihak. Sebab, semua urusan seperti sewa menyewa , beri-memberi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah keduniaan pada asalnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Dalam perjanjian sewa menyewa tidak ada satu dalil pun yang mengharamkanya. Ketidakadaan dalil yang mengharamkanya sudah cukup dijadikan sebagai dasar bahwa sewa menyewa dengan uang kembali itu halal. Deskripsi Alternatif : CV. CHASAN Motor Demak Merupakan perusahaan sewa menyewa motor yang paling diminati konsumen. Sebagai mana kita ketahui bahwa kebutuhan akan sepeda motor di zaman seperti ini merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk memperlancar kegiatan usaha, Misalnya untuk dagang, menarik ojek, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya perusahaan sewa menyewa sepeda motor, maka dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu membeli motor secara tunai. Usaha ini termasuk usaha yang menyewakan Motor dengan harga murah di banding usaha sewa menyewa yang lain. Di samping mempunyai banyak pelanggan, didukung pula pemilik usaha dan karyawannya beragama Islam. yang membuat menarik penyusun untuk melakukan penelitian ini yaitu, pada dasarnya uang sewa menyewa itu tidak dikembalikan, tapi dalam prakteknya di CV. CHASAN Motor, uang sewanya itu di kembali, dan perusahaan hanya membebani biaya administrasi.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti bagaimana praktek pelaksanaan sewa menyewa motor dalam penulisan skripsi yang berjudul" TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA (Studi Kasus Pelaksanaan Perjanjian sewa menyewa di CV. CHASAN Motor Demak.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan penulis di CV. CHASAN Motor Demak. Untuk mendapat data yang valid dan jelas dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode yaitu metode wawancara dan observasi. Kemudian dari data yang telah penulis kumpulkan, telah dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat kesepakatan. Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu saat sewa menyewa berlangsung, apabila akad sudah berlangsung, pihak yang menyewakan wajib menyerahkan barang kepada penyewa. Dengan diserahkanya manfaat barang atau benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewannya.

Menurut hukum Islam Pelaksanaan sewa menyewa di CV. CHASAN Motor Demak, itu diperbolehkan asalkan akadnya adalah akad sewa, dan adanya persetujuan dari kedua belah pihak. Sebab, semua urusan seperti sewa menyewa , beri-memberi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah keduniaan pada asalnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Dalam perjanjian sewa menyewa tidak ada satu dalil pun yang mengharamkanya. Ketidakadaan dalil yang mengharamkanya sudah cukup dijadikan sebagai dasar bahwa sewa menyewa dengan uang kembali itu halal. Beri Komentar ?#(0) | Bookmark