makalah psikologi Dakwah

Embed Size (px)

Citation preview

Sensitifitas Beragama: Dalam Persfektif Psikologi Sosial 1Oleh : Ahmad Husaini2

Muqaddimah, Khutbah terakhir Nabi Muhammad Saw. yang berisikan nasihat kemanusiaan: Semua kalian keturunan Adam, dan Adam berasal dari debu. Orang Arab tak lebih mulia dari non Arab, begitu pula kulit putih atas kulit hitam, kecuali ketakwaannya. Semua mausia sama-sama mukallaf, yaitu berkewajiban menanggapi seruan Allah dengan ketaatan. Keilahian Allah meletakkan klaim universal pada seluruh ciptaan. Islam mengajarkan bahwa fenomena kenabian adalah universal, bahwa ia terjadi diseluruh ruang dan waktu, tidak ada keputusan kecuali setelah diutus seorang Nabi kepada masing-masing kaum (QS.17:15). Keadilan mutlak Allah menuntut bahwa tak seorang pun memikul tanggung jawab sebelum hukum-Nya disampaikan dan dimaklumkan. Penyampaian dan penyampaian inilah tetapnya fenomena kenabian. Sebagian nabi-nabi ini telah dikenal luas; sebagian lainnya tidak. Ketidaktahuan Yahudi, Kristen atau Muslim tentang nabi-nabi tidak mengandung arti bahwa nabi-nabi itu tidak ada. Islam mengajarkan tidak membeda-bedakan utusan-Nya; bahwa nabi dari segala zaman dan tempat mengajarkan satu pelajaran yang samayaitu menyembah dan mengabdi kepada Allah semata, dan kejahatan harus dihindaridan kebaikan ditegakkan (QS. 16:36). Dengan demikian Islam meletakkan dasar bagi hubungan dengan semua manusia sebagai penerima wahyu yang sama dengan wahyu Islam. Namun semua nabi telah menyampaikan satu risalah yang sama, dari manakah keragaman historis agama-agama umat manusia ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, Islam memberi jawaban teoritis dan praktis. Islam yang mendudukan maqam secara pas (proporsional), pada dasarnya cinta keadilan dan anti kezaliman dalam bentuk apapun. Ini menjadikan terlindunginya secara hak, baik hak Allah, hak manusia, maupun hak barang itu sendiri. Sensitif dalam agama berarti merespon dari segala kejadian-kejadian yang ada hubungannya dengan agama. Isu yang mencuat yang dapat membangkitkan sensitifitas baik atau buruk, bila kebaikan maka seluruh elemen pribadi dan masyarakat akan menyambut positif. Tetapi bila keburukan, maka dengan berbagai corak pemikiran, pemahaman, ilmu, dan kapasitasnya semua elemen tersebut akan menerjemahkan menurut kaidah masing-masing. Dalam hal ini, tiada cara lain hanya kembali kepada contoh kehidupan orang terdahulu dalam menyelesaikan masalahnya. Yakni pada masa Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya, pada masa ke-khalifahan zaman keemasan Islam, seluruhnya Umat Islam hidup berdampingan dengan damai karena Al-Quran dan As-Sunnah sebagai manhaj al-hayah (referensi hidupnya) .Makalah sebagai tugas akhir semester, dalam perkuliahan Psikologi Dakwah dengan dosen pengampu; Prof. DR. H. Asep Saeful Muhtadi, MA. 2 Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Konsentrasi Ilmu Dakwah smt. III.1

1

Hakikat Manusia Menurut Agama Menurut sifat hakiki manusia adalah makhluk yang beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah3 untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan prilakunya. Dapat pula dikatakan bahwa manusia adalah mansia yang mempunyai motif beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama. Kefitrahan inilah yang membedakan manusia dari hewan, dan juga yang mengangkat dan martabatnya atau kemuliaannya disisi Tuhan.4 Apabila lingkungan masa bodoh, acuh tak acuh atau bahkan melecehkan ajaran agama, dapat dipastikan anak akan mengalami kehidupan tuna agama, tidak familiar (akrab) dengan nilai-nilai dan hukum agama, sehingga sikap dan prilakunya akan bersifat impulsif, instinktif, atau hanya mengikuti hawa nafsu (sunda: ngalajur nafsu ngumbar amarah). Manusia diciptakan Allah Swt. Sebagai khalifah memiliki kemerdekaan (freedom) untuk mengembangkan diri. Allah melengkapi manusia dengan sifat khouf (rasa cemas, takut dan khawatir) dan roja (sikap penuh harapan dan optimisme. Kedua ini merupakan sifat ekstensial manusia yang tak adapat dihindari, kedua-duanya merupakan kekuatan yang ada pada diri manusia. Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah bemberikan petunjuk (hudan) tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat. Sebagai petunjuk hidup mencapai mentalnya yang sehat, agama berfungsi sebagai: Pertama, memelihara fitrahagar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan terhindar dari godaan setan (sehingga dirinya tetap suci), maka manusia harus bergama, atau bertakwa kepada Allah, yaitu beriman dan beramal shalih, atau meleksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Kedua, memelihara jiwadalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, atau pembunuhan baik terhadap dirinya sendiri maupun kepada urang lain. Ketiga, memelihara akaldengan akalnya manusia memiliki kemampuan untuk membedakan baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, kemudian mengembangkan ilmu dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan. Melalui kemampuan inilah manusia berkembang menjadi makhluk yang berbudaya (beradab). Keempat, memelihara keturunanagama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenarasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan adalah3

Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemunkinan atau peluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan dan pengembangan kualitasnya bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya (faktor lingkungan). Dalam Syamsu Yusuf, psikologi Belajar Agama-Persfektif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 31. 4 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. II, hal. 135.

2

pernikahan. Pernikahan merupakan upacara agama yang sakral, yang wajib ditempuh oleh pasangan pria dan wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagi suami istri. Pernikahan ini bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah (cinta kasih, mutual respect) dan rahmah (mendapat curahan kurnia dari Allah).5 W.A. Gerungan Ungkapkan dalam Materi Prasangka Sosial-nya Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan (termasuk agama) yang berbeda dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain yang tidak mempengaruhi tingkahlakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan orang yang diprasangkai itu tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenai tindakan-tindakan diskriminatif. Tindakan diskriminatif diartikan sebagai tindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang hanya karena kebetulan termasuk orang yang diprasangkai itu.6 Agama sebagai Kartu Politik Sungguh menarik bahwa pecahnya kerusuhan sosial beberapa tahun yang lalu yang seluruhnya ternyata mengundang analisa dan evaluasi kritis tentang perjalanan politik Indonesia sejak Orde Baru. Salah satu analisadan ini sungguh menarik ituialah terungkapnya sentimen agama sebagai bagian yang sangat penting di balik permukaan peristiwa peristiwa politik yang muncul. Sentimen agama itu, kalau dimobilisir, memang faktor yang paling efektif, sudah tentu dengan implikasi bahayanya. Agama dan sentimen agama memang dua hal yang berbeda. Siapapun sepakat bahwa masyarakat kita adalah masyarakat religius. Agama telah memiliki akar budaya yang kuat dalam kehidupan seharihari, bahkan seperti bangsa Asia lainnya, agama menjadi legitimasi sosial yang tidak bisa diabaikan. Dan salah satu prestasi rezim Orde Baru yang tidak kecil, ialah keberhasilannya yang mengantarkan bangsa ini ke taraf yang lebih saleh, dalam arti semakin maraknya pelaksanaannya ritual agama. Namun sayangnya, biarpun pemaharuan sejak Orde baru telah berhasil mengubah kelembagaan politik kearah yang lebih efesien dan pragmatis, pencaturan politik dan budaya politik yang berkembang masih saja diwarnai keasadaran yang primordial yang tidak mendukung kehidupan politik modern yang lebih demokratis. Sehubungan dengan agama, khususnya Islam yang mayoritas, misalnya. Dalam kaitan pembentukkan budaya politik modern itu, karena masih kuatnya politik5 6

Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan ... hal. 138-139. W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), edisi ketiga, cet.I , hal. 179180.

3

primordial tersebut, tidak heran kalau Islam juga sering terjebak menjadi kartu politik ketimbang sebagai referensi moral politik yang obyektif. Mengapa hal ini menjadi sangat potensial? Selain terkait dengan penjelasan soal agama sebagai legitimasi kekuasaan bagi masyarakat Asia dan kesadaran masih berbau aliran, juga yang tidak kalah pentingnya, barangkali, adanya dinamika sosial baru yang dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini sangat dominan dalam kehidupan kaum Muslimin Indonesia. Yang dimaksudkan adalah: menguatnya lapisan intelektual yang peranannya cukup dominan dan vokal. Mereka ini adalah generasi pencerahan baru yang paradigma Islamnya sudah keluar dari pikiran partai dan tidak lagi memperjuangkan sesuatu misalnya sebuah negara Islam. Menyebut gampangnya kelompok intelektual modern yang mempraktekkan: Islam yes, partai Islam no. Agendanya bukan lagi memenangkan partai Islam, tapi bagaimana melapangkan jalan agar anak-anak Islam yang semakin terpelajar ini bisa berkiprah di birokrasi dan sektor bisnis.7 Watak Masyarakat Agama dan Keniscayaan Konflik Watak dasar dari masyarakat beragama adalah akan menganggap apa yang dilakukan dalam kelompoknya benar dan cenderung menganggap apa yang dilakukan oleh pemeluk kelompok lain sebagai yang tidak benar. Dalam bahasa sosiologi agama, watak dasar tersebut dikenal dengan truth claim (klaim kebenaran). Klaim kebenaran (truth claim) inilah yang menjadi karakteristik dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran. Sebab, tanpa adanya truth claim maka agama tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya. Watak dasar inilah yang kemudian melahirkan kristalisasi iman (faith) dan kecintaan terhadap suatu kelompok agama yang diyakininya, serta mendorong timbulnya minat untuk mempelajari, mengamalkan dan menyebarkan ajaran-ajarannya (dakwah atau missi, zending dan sebagainya), bahkan mempertahankan eksistensinya. Dengan demikian, bila semua agama memiliki watak dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebhinekaan, sebenarnya menyimpan potensi konflik serta ketegangan sosial-politik yang sangat rawan, bahkan menjadi suatu keniscayaan. Keniscayaan konflik intern dan antar ummat beragama ini sebagaimana secara inplisit disebutkan di atas, setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, masalah paradigma dan internpretasi keagamaan; kedua, masalah implemetasi pemahaman keagamaan dalam kehidupan sosial; dan ketiga, masuknya dimensi kepentingan politis dalam internpretasi dan implementasi7

Jika orientasi politik Islam yang diarus tengah ini masih saja cenderung ingin mengantarkan sebanyak mungkin cendekiawan dan ulama ke sektor Negara, sementara kelompok politik seperti PDI dan partai nasionalis lainnya juga tidak mampu mengartikulasikan aspirasi kepentingan di bawah, maka bisa jadi demokrasi kita akan surut kembali ke zaman liberal yang berpaham aliran usang; seolah kita hendak kembali ke zaman Masyumi atau PNI, dan aliansi ulama, cendekiawan, priyayi baru, dan umara itu memang penting, tapi kalau semuanya menguasai sektor Negara, akan merepotkan. Karena seandainya ada pejabat yang korup, apakah masih ada ulama yang kritis yang berani mengutip kitab yang menyebutkan: Pemerintah kafir yang adil lebih baik daripada pemerintah Islam yang dzalim? Moeslim Abdurahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, (ed.Sayed Mahdi), (Jakarta: Erlangga, 2003) hal, 55-54.

4

keagamaan. Masalah paradigma beragama dan interpretasi keagamaan yang secara sosiologis dapat dikelompokan kepada tradisionalis, fundamentalis dan modernis, kerapkali menjadi pemicu terjadinya perbedaan yang mengarah kepada konflik intern dan antar ummat beragama. Demikian pula dengan fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh para pemuka agama berkembang ke arah idiologisasi di mana pandangan keagamaan dalam putusannya menjadi semacam kompilasi doktrin pemikiran keagamaan yang bersifat aksiomatik-positivistik-monistik (sebagai satusatunya kebenaran yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat). Himpunan fatwa keagamaan tersebut oleh sebagian besar kalangan beragama dianggap sakral dan diterima apa adanya (taken for granted), tidak menerima pengurangan, perubahan dan pembaruan (ghair qbil li al-nuqsh wa al-taghyr wa al-ishlh). Pensakralan pemikiran keagamaan sebagaimana dalam kecenderungan tersebut, tentu saja mengandung truth claim sepihak yang berimplikasi pada sikap keagamaan yang lebih menganggap apa yang menjadi keyakinan dan yang di-praktekannya sebagai paling benar, serta menganggap pemeluk agama lain (the religious other) dan keyakinan lain sebagai yang salah dan bahkan dituduh kafir. Banyak organisasi massa Islam yang mengklaim dirinya sebagai kelompok yang paling benar, paling baik dan paling sesuai dengan cara hidup rasul dan menuduh kelompok lain tidak benar. Mereka merujuk kepada dalil yang berasal dari Al-quran maupun dari Sunnah Rosulullah, menginpretasikannya sesuai dengan kepentingan kelompoknya dan mengidentifikasi diri sebagai aliran yang direstui oleh Nabi. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menghambat lahirnya ukhuwah Islamiyah diantara umat Islam. Ada beberapa pemikiran untuk memulai langkah positif dalam rangka meningkatkan ukhuwah Islamiyah di antara kaum muslimin. 1. Tafsirkan kembali ayat Al-quran maupun Hadits Nabi dibawah kerangka kebersamaan antara umat Islam dan dibawah kepentingan merekatkan tali persaudaraan antara Umat Islam. 2. Tanamkan dengan sungguh-sungguh kesadaran bahwa hidup manusia itu beragam, keberagaman itu bukan kehendak pribadi tetapi sudah menjadi kehendak Ilahi. Perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang telah menjadi ketentuan dari Allah 3. Keberagaman itu terjadi karena adanya perbedaan dalam cara dan kemampuan pimpinan kelompok Sosial karena perbedaan latar belakang kehidupan serta pengalaman hidup mereka. 4. membina masing-masing anggota kelompok untuk bisa hidup dengan kondisi dan situasi lingkungan hidup yang berbeda dan bermacammacam orang, sehingga lahir sikap toleran terhadap perbedaan, 5. Perbanyaklah dialog antar kelompok, dan gelar pertemuan bersama yang dihadiri oleh tokoh dan anggota kelompok tersebut.

5

6. Buatlah secara bersama melibatkan berbagai macam kelompok dan aliran untuk menetapkan modus vivendi sebagai alat pemersatu yang disepakati bersama dan di junjung tinggi bersama. 7. Rancang adanya kerja bareng antar kelompok agama dalam menanggulangi issue sosial sehingga dapat melahirkan solidaritas dan rasa senasib dan sepenanggungan di antara pemeluk kelompok agama.8 Dibelakang kerusuhan Sosial Di dunia akademis, membaca peristiwa kerusuhan sosial9 dari berbagai sudut pandang spekulasi teoritis merupakan hal sangat positif. Maka, semakin banyak kasus yang menjadi bdasar abstraksi akan mempertajam konsep teoritis. Lebih penting lagi, semakin banyak kasusnya, semakin, semakin banyak dipahami keunikan masing-masing kerusuhan sosial itu, baik dari motivasi kekuatan sejarah, sosial, atau faktor ekonomi di belakangnya. Peristiwa Situbondo, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya, tragedi Poso, DOM Aceh dan lain-lain yang pernah terjadi, memang memedihkan secara sosial, apalagi dilihat kehidupan politik bangsa. Pernyataan Gus Dur kerusuhan itu merupakan cermin dari ketidakjelasan pembinaan politik umat selama ini, sungguh tepat untuk diaji lebih jauh. Tidak kalah menarik pernyataan pendeta Samuel lie, yang merasa terkejut karena ia merasa bahwa hubungan antar agama (antara Pastor dan Kiai) di daerah itu rukun dan baik sekali. Biarpun Kasospol ABRI mencurigai ada rekayasa atau dalang di balik peristiwa Situbondo,10 sementara Tim komnas HAM menemukan indikasi bahwa peristiwa itu direncanakan, namun bagi pengamat, pertanyaan yang tersisa tentu bukan siapa dalang sesungguhnya belakang itu. Seain itu merupakan pihak keamanan namun yang selalu rumit dijelaskan adalah faktor sosial dan politiknya. Sewaktu 27 Juli terjadi, soal faktor sosial politik sebagai pesakitan tidak dapat diterangkan dengan jelas. Bahkan jga peristiwa Tanjungpriok, yang tetap saja menyisakan pertanyaan yang sangat penting: Apakah peristiwaperistiwa semacam itu, yang muncul sejak orde Baru, tergolong sebagai kasus letupan sosial, politik, ekonomi atau agama? Tidak mudahbiasanya cenderung membingungkanuntuk menerangkan siapa saja yang terlibat dalam dalam sebuah kerusuhan8

Dikutip dari MTPPI PP Muhammdiyah, Tafsir Tematik Al-Quran Tentang Hubungan Sosial Antar ummat Beragama, hal. 15. 9 Banyak analisis menyikapi situasi konflik sosial keagamaan yang terjadi sekarang ini. Analisis tersebut dapat digolongkan menjadi: pertama, analisis yang berbasis pada teologi (kerukunan umat beragama), kedua, analisis yang lebih berpijak pada humanisme; dan ketiga penyelesaian yang lebih menunjuk pada perubahan bentuk pemerintahan bentuk pemerintahan (federalisme). 10 Karenanya peristiwa ini, tentu tidak bicara pada kejadian itu sendiri, yang bisa diungkapkan pelaku dan dalangnya. Di balik itu ada soal yang lebih strutural, yang harus dibaca dalam hubungan mikro-mikro kekuasaan selama ini; adn perasaan massa yang tersingkir dari proses pembangunan. Di Situbondo, kiai-kiai sudah lama menjadi figuran politik, sementara pendduduk kota kabupaten juga mengalami kerasnya transformasi sosial, lebih-lebih dengan megalirnya tawaran gaya hidup kapitalisme yang mahal. Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik ... hal. 56-58.

6

sosial. Peristiwa semacam itu, dalam bentuk kerusuhannya sendiri, biasanya merupakan interaksi proses psikologis yang melibatkan banyak unsur: sugesti, imitasi dan mewabahnya emosional. Gustav Le Bon, penulis The Crowd, mengatakan manusia seperti binatabng, mempunyai kecenderungan untuk ikut-ikutan (imitation). Seperti kawanan kuda, ada yang patuh ada juga yang ikut-ikutan melawan tuannya tatkala mau dikandangkan. Le Bon tidak percaya pada anggota-anggota kerusuhan itu karena didorong oleh pilihan yang rasional, dengan emosi yang terkontrol, tau tindakan sadar (reflexive behavior). Toleransi11 Tanpa Kehilangan Sibghah12

Ajaran Islam merupakan rahmatan lil alamien. Seberapa jauh ia menjadi rahmat tergantung pada pemahaman dan kualitas penganutnya. Tingkat aplikasi pengamalan yang tertinggi ada pada Rasulullah Saw. Dimana umatnya akan mendapat kebaikan apabila selalu berpedoman pada al-Quran dan al-Hadits. Begitu pula gambaran toleransi beragama, ketepatan ukuran menjadi permasalahan. Dimana kebijakan bertoleransi bagi penganut dapat menjadi rahmat atau sebagainya. Tasamuh13 dalam pengertian umum adalah suatu sikap terpuji dalam pergaulan dimana rasa saling menghargai antar sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan Islam. Thomas Arnold dalam The Preaching Islam, mengatakan:Kita dapat memastikan bahwa hubungan baik antara umat Islam dan Nashrani karena kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki umat Islam tidak digunakan secara fanatik untuk memaksa mengubah kepercayaan orang lain kepada Islam.

Thomas Arnold14 Selanjutnya beliau ungkapkan dalam tulisannya: tidak ada bukti adanya usaha terorganisasi untuk memaksa penduduk non muslim menerima Islam, atau tindak kekerasan sistematis yang bertujuan menyingkirkan agama kristen. Bila saja khalifah menggunakan salah satu cara itu, tentu orang kristen sudah tersingkir, semudah Ferdinand dan Isabella mengusir agama Islam dari Spanyol atau Louis XIV menghukum agama protestan di Prancis11

Tolerance (bahasa Inggris) artinya lapang dada, sabar, tahan terhadap cobaan dan dapat menerima. Misalnya dalam ungkapan He shows great tolerance. He is tolerance of what they have done (dia menerima apa yang telah mereka lakukan). Jhon A. Echols dan A. Sadeli, Kamus InggrisIndonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), hal. 596. Toleransi dalam bahasa Arab dikatakan ikhtimal, tasamuh menurut arti bahasa adalah sama-sama berlaku baik, lemah lembut saling memaafkan. Dalam Mahmud yunus, Kamus Arab-Indonesia, hal. 178. 12 Shibghah berarti warna celupan dan agama. Dalam hal ini agama Islam sebagai dasar hidup, fungsi warna dan celupan tersebut mencemerlangkan barang yang diberi celupan tersebut. Apabila dikaitkan ajaran itu kepada jiwa ia akan bersinar memancar dalam realisasinya tampil dalam bentuk semangat, taat, peduli dan toleran. Sibghah dapat berarti mempekakan hati nurani, mencerdaskan akal dan memuliakan akhlak. dalam Munzier suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 154. 13 Tasamuh dalam kontek komunikasi manusia, dapat dibagi menjadi dua; pertama, tasamuh antara sesama muslim seperti; saling tolong menolong, saling menghargai, saling sayang menyayangi, menjauhkan saling curiga. Kedua, terhadap non muslim. Saling menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan selaku sesama anggota masyarakat dalam suatu negara. dalam Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode ... hal. 144. 14 Seorang misionaris Inggris di Indian Civil Service pada zaman penjajahan.

7

atau penyingkiran kaum Yahudi Inggris selama 350 tahun. Gereja-gereja Timur di Asia sama sekali terputus dari komuni dengan gereja lainnya, selama tak seorang pun yang menunjuk mereka komuni yang menyimpang. Dengan demikian kelangsungan hidup gereja sampai saat ini merupakan bukti kuat sikap toleransi pemerintahan Islam terhadap mereka.15L. Stoddard dalam Dunia Baru Islam mengungkapkan, Islam pada masa pertama adalah manifestasi tertinggi dari rakyat dan cinta kemerdekaan, yang agamanya dengan sendirinya menampakkan padanya segala sifat yang mulia.16

Oleh karena itu sikap in-toleransi, keras kepala, memaksa, selalu tiodak menerima hasil kesepakatan merasa kalah dan rendahbila pendapat orang yan diterima suatu ciri tidak dewasa dalam beragama. Merealisasikan toleransi tanpa menjual keyakinan sebagai umat islam sebagai pengertiannya adalah akidah yang kita yakini tidak boleh bkabnur karena alasan toleransi. Toleransi dalam Islam tidak mengenal kompromi dalam akidah. Menghadang Kemungkaran sosial dan Langkah Pengamalan NilaiNilai Ukhuwah Islamiyah Dari sudut teori gerakan, diantara mereka yang melakukan kajian tentang Islam, pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua pendekatan. Pertama, adalah pengikut new orientalism, yang melihat muncul geralkan Islam sebagai wujud dari pengaruh karena adanya penafsiran mengenai ajaran agama. Sehingga dengan demikian, suatu gerakan bermuncul dianggap bermula dari ide dan gagasan keagamaan. Yaitu ada seorang tokoh yang kharismatik, tiba-tiba gagasan keislamannya mempunyai pengaruh yang besar, sehingga menantang untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Oleh karena itu, para pendukung gerakan ini, mereka diikat oleh komitmen faham tertentu, yang menjadi legitimasi dan tujuan serta merumuskan konsep dan bentuk gerakan dalam situasi politik dan ekonomi yang mereka hadapi. Sementara itu yang kedua, mereka yang berasal dari kalangan the new social history, yakni melihat muncunya kesadaan kolektif dikalangan Islam lebih bermula dari pertanyaan sosiologis: mengapa suatu gerakan muncul? Biarpun dalam retorika dan idodm-idiom gerakan itu menggunakan Islam, namun dikalangan ini yang penting harus dipahami, apakah ada kekuatan yang baru yang sungguh-sungguh menggerakkan dibalik kemunculannya. Sebab suatu gerakan biarpun mengatasnamakan Islam, namun sesungguhnya faktor yang kuat mungkin karena perasaan yang bersama tentang perlunya menghimpun diri untuk suatu kepantingan sosial, ekonomi, atau politik. Berdasarkan studi perjalanan Sejarah Islam, Persoalan Ukhuwah Islamiyah merupakan persoalan serius dari dulu hingga sekarang dan tetap menjadi isu penting dan bahkan mungkin akan terus menjadi batu15 16

Arnold, Preaching Islam dalam al-Faruqi, Atlas Budaya Islam hal. 251 Lothrop Stroddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Perpustakaan Islam Jogjakarta,1966), hal. 119.

8

ujian serta tantangan dalam menata kehidupan keberagamaan di kalangan kaum muslimin hingga akhir zaman. Saya berpendapat bahwa selama manusia masih ada, maka isu konflik antar kelompok akan selalu muncul dalam bentuk dan formatnya yang berbeda, sesuai dengan semangat zamannya. Hal tersebut terjadi karena kebhinekaan dalam pemahaman agama merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang tidak dapat dielakan. Maka perbedaan dalam pemikiran maupun pengamalan keagamaan pun terjadi sebagai keniscayaan sejarah yang tidak mungkin terhindarkan. Dalam kehidupan kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia, telah muncul berbagai aliran keagamaan yang dilatarbelakangi oleh masingmasing kelompok karena adanya perbedaan manhaj (methode) dalam penetapan hukum. Seperti di kalangan sufi lahirlah berbagai macam tarekat baik yang muktabarah maupun yang ghaer muktabarah. Dalam bidang Fikih lahirlah imam madzhab yang empat. Di bidang aqiedah lahirlah aliran ilmu kalam. Dalam bidang politik lahirlah berbagai partai politik berbasis agama. Dibidang sosial keagamaan lahirlah organisasi massa Islam. Semua itu merupakan pelangi di siang hari melahirkan warna warni yang beraneka ragam yang indah bila dipandang. Kebhinekaan pemahaman agama tersebut di atas merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat universal. Dalam bahasa teologi, kebhinekaan pemahaman keagamaan ini, merupakan sunnat al-Allah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat abadi (perennial) Al-quran berulangkali menegaskan isyarat akan kebinekaan pemahaman agama tersebut seperti antara lain termuat dalam surat al-Baqarah [2]: 148: Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (wijhah) sendiri yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, niscaya Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q. Al-Baqarah [2] : 148). Kata wijhat menurut ahli tafsir (mufassir) memiliki banyak pengertian, diantaranya berarti arah atau kiblat, tujuan, pandangan dan orientasi. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl aladyn/al-millat) memiliki arah atau kiblat, tujuan, orientasi dan cara pandang masing-masing yang satu sama lainnya berbeda. Ide tentang kebinekaan sebagai kepastian hukum Tuhan (sunnat al-Allh), yang bersifat abadi (perennial) tersebut, juga dinyatakan dalam Alquran surat al-Maidah [5]: 48 : Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan (syirat) dan jalan yang terang (minhj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan (QS. al-Maidah [5] : 48). 9

Kata syirat dan minhj yang biasa diterjemahkan sebagai aturan dan jalan yang terang, dapat diartikan juga sebagai praktek keagamaan. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl al-adyn/almillat) memiliki praktek keagamaan masing-masing yang satu sama lainnya berbeda. Dengan demikian, berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap ummat atau komunitas agama (religious community) mempunyai arah atau kiblat, tujuan, orientasi, pandangan serta praktek keagamaan masing-masing, yang berarti menunjukan pembenaran adanya kebhinekaan agama. Pembenaran terhadap kebhinekaan agama tersebut semakin bertambah tegas apabila membaca penggalan surat al-Maidah [5]: 48 di atas, bahwa Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Penggalan ayat ini menegaskan bahwa kebhinekaan ummat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya supaya dapat menguji manusia dalam merespons kebenaran-kebenaran yang telah disampaikan-Nya dan supaya manusia berkompetisi dalam melakukan kekaryaan yang baik (musbaqat f al-khair). Ibnu Arabi, seorang sufi yang dikenal sebagai Guru Yang Agung (Syaikh al-Akbar) memberikan penjelasan teologis-filosofis yang sangat menarik berkenaan dengan proses terjadinya kebhinekaan beragama tersebut. Dalam karya the magnum opus-nya, Futht al-Makiyat, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa kebhinekaan atau kebhinekaan syariat (agama) disebabkan oleh kebhinekaan relasi Tuhan (devine relationships, nasab al-Ilhiyat); sementara kebhinekaan relasi Tuhan disebabkan oleh kebhinekaan ke-adaan (states, hl); kebhinekaan keadaan disebabkan oleh plu-ralitas masa-waktu atau musim (times al-waqt); kebhinekaan masa-waktu disebabkan oleh kebhinekaan gerakan benda-benda angkasa (movement, harkat al-aflq); kebhinekaan gerakan dise-babkan oleh kebhinekaan perhatian Tuhan (attentivenesses, taw-jihat al-Ilhiyat); kebhinekaan perhatian disebabkan oleh kebhinekaan tujuan Tuhan (goals, al-qashd); kebhinekaan tujuan disebabkan oleh kebhinekaan penampakan diri Tuhan (self disclousures, tajliyat al-Ilhiyat); dan kebhinekaan penampakan Tuhan, disebab-kan oleh kebhinekaan syariat (revealed religion). Sementara secara historis empiris, menurut Ismail Raji al-Faruqi kebhinekaan atau kebhinekaan agama tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya. Lebih lanjut Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama itu satu karena besumber pada yang satu, Tuhan, yaitu apa yang disebutnya sebagai Ur-Religion atau agama fitrah (Din alFithrat), sebagai-mana firman Allah : Maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; (tetaplah) atau fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak 10

ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.17 Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya, Dn al-Fitrah atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi suatu agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan plural. Menghadapi Antaragama Hubungan antar agama belakangan ini sedang mengalami ujian berat. Problem yang baru-baru ini mengemuka adalah pengrusakan tempat ibadah oleh umat beragama lain karena dinilai tak sesuai dengan aturan. Aturan yang dimaksud Surat Keputusan Bersama (SKB) No 1/1969 antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Akibat kejadian itu, banyak pihak menuntut pemerintah mencabut SKB yang dianggap menjadi pangkal persoalan tersebut. SKB dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan melakukan kegiatan keagamaan. SKB itu dinilai dapat memicu konflik horizontal antarumat beragama. Desakan agar pemerintah mencabut SKB itu mendapat reaksi dari banyak kalangan. Melalui serangkaian demonstrasi di beberapa tempat, kalangan ini membela "mati-matian" SKB. Katanya SKB itu sudah tepat aturannya. Justru, pihak-pihak yang terkait dengan pendirian tempat ibadah "dadakan" itu sendiri yang tidak mau mengindahkan SKB tersebut. Akhirnya pemerintah melakukan kajian ulang terhadap SKB itu dengan melakukan dialog setidaknya hingga sepuluh kali, dengan melibatkan perwakilan dari agama-agama. Maka disepakati tata aturan baru. SKB No 1/1969 direvisi dengan SKB baru Menag No 9/2006 dan Mendagri No 8/2006 yang ditandatangani bersama pada 21 Maret 2006. Mencederai UUD 1945 Tetapi, substansi SKB masih belum mencerminkan semangat UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Jika dicermati, akan tampak bahwa pendirian tempat ibadah harus mendapat pengaturan ketat. Lebih parah lagi, yang mengatur adalah negara. Berarti negara telah mengintervensi kebebasan beragama warganya. Jika kuasa negara menjadi alat dominan dalam kehidupan umat beragama, setidaknya ada beberapa hal yang cukup mengkhawatirkan. Pertama, negara telah "mencederai" UUD 1945. Fungsi negara, memang salah satunya mengatur ketertiban warganya. Tetapi, jika fungsi pengatur itu bertentangan dengan UUD 1945 sebagai perundangundangan tertinggi, maka fungsi pengaturan itu perlu dilihat kembali. Kedua, jika kuasa negara telah mengintervensi kehidupan umat beragama, maka kerapkali terjadi politisasi agama. Agama dijadikan alat politik untuk menekan, membatasi, sekaligus membungkam agama lain. Dalam SKB revisi dikatakan pemerintah akan memberi izin jika ada kesepakatan dari warga setempat. Hal ini berpotensi besar menciptakan17

kesenjangan

sosial

dan

Mewaspadai

Konflik

(QS. al-Rum [30]: 30)

11

blok-blok agama di daerah-daerah. Terjadinya blok-blok agama tentu saja bakal menjadi ganjalan dalam upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama yang sebetulnya ingin diciptakan oleh SKB revisi itu. Alih-alih ingin menciptakan kehidupan yang harmonis dan toleran, yang lahir justru semakin menguatnya sentimen terhadap agama lain. Pada saat yang sama, terbangun kekuatan internal agama-agama secara radikalekstrim. Terwujudnya blok-blok agama, secara geopolitis juga mencerminkan kondisi warga bangsa yang rawan terpancing konflik. Sensitifitas umat beragama akan semakin menguat. Jika terjadi pergesekan akan mudah terpicu dan terprovokasi. Selain itu, akan semakin meneguhkan bangsa ini sebagai bangsa yang suka memelopori konflik warganya sendiri. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik antaragama akibat SKB revisi, ada tiga hal yang mesti dilakukan. Pertama, pemerintah secara proaktif lebih mengedepankan keleluasaan dan kebebasan beragama kepada umat beragama. Wujudnya, tidak mempersulit hal-hal yang sebetulnya sederhana. Pemerintah juga mesti menjamin SKB itu bukan alat untuk menciptakan blok-blok agama, tetapi untuk mengatur umat beragama supaya tertib dan nyaman menyelenggarakan kegiatan keagamaannya. Kedua, memaksimalkan peranan FKUB yang terbentuk sesuai amanat SKB. Wujudnya, intensif melakukan dialog lintas agama untuk menemukan titik temu demi menghindari kesalapahaman. Keberadaan FKUB langkah strategis jika didayagunakan maksimal. Melalui forum ini akan terjadi dialog yang progresif mengenai peranan lebih aktif agama-agama terhadap persoalan sosial yang serius, lebih dari sekadar mendiskusikan soal pendirian tempat ibadah. Ketiga, membangun kekuatan civil society atas dasar persamaan derajat kemanusiaan dan kebangsaan melampaui dasar-dasar persamaan agama. Jika hal itu terbangun, SKB itu tidak diperlukan. Umat beragama akan lebih memahami pentingnya kerja sama dan hubungan antarsesama secara harmoni. Tempat ibadah penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana kekuatan civil society yang terbangun dari tempattempat ibadah memberikan hal progresif bagi kehidupan umat beragama secara keseluruhan.18 Relasi Muslim-Kritiani di Era Posmodern Islam dan Kristen adalah agama moral. Dengan kata lain keduanya mendefinisikan hubungan antara Tuhan dan manusia dalam terminologi moral, bukan kultus dan genostik. Keduanya memiliki warisan kenabian, visi ketuhanan dan tujuan yang sama, yaitu membangun kerajaan Tuhan di muka bumi. Akan tetapi dalam kedua agama tersebut, penegasan doktrinal tentang sifat Tuhan, karakteristik dan misi agama para nabi dan bentuk peribadatannya telah menjadi sumber konflik internal dan eksternal; dalam hubungan Muslim-Kristiani, sejarah konflik tersebut dimulai sebelum abad pertengahan, tak lama setelah kelahiranhttp://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/01/opi01.html-Fajar Kurnianto, Peneliti Institut Studi Agama Sosial dan Politik (ISASPOL), Jakarta.18

12

Islam itu sendiri. Disini, kita tidak akan membahas karakteristik atau alasan dibalik konflik tersebut. Kewajiban kita untuk mempertahankan diri sebagai orang beriman kepada Tuhan menuntut agar kita menyingkirkan perbedaan dari konflik ini dan manyatukan sumberdaya spiritual dan intelektual guna memerangi penyakit universal yang serius menggerogoti kondisi kita, yaitu sekularisme, AIDS Agama (Acquired In human Domination Syndrom/ Sindrom dominasi buatan yang tidak manusiawi terhadap agama), dan dampaknya yang paling menggegerkan adalah: posmodermisme. Dialog Muslim-Kristiani dapat dengan mudah memperoleh pembenaran dari kitab suci kedua agama tersebut dan dari pentingnya menyikapi berbagai persoalan modern yang membutuhkan respon keagamaan dari orang-orang beriman, sperti persenjataan nuklir, rekayasa genetika, kemiskinan, penyimpangan seks, eksploitasi ekonomi dan ekologi. Namun, Islam dan Kristen adalah agama dakwah, dan mengabarkan berita merupakan kewajiban religius kedua keyakinan itu, apakah tidak mungkin dialog semacam itu merosot menjadi sekadar aktivitas dakwah? Seperti yan diutarakan oleh Syed Z. Abidin, Apakah ada celah ... bagi orang Islam dan Kristen untuk duduk bersama di atas sebuah flatform yang jelas ... sementara tanpa sadar dan dengan kejujuran menjadikan satu sama lain menjadikan objek dakwah yang menyebabkan runtuhnya kepercayaan dan masyarakat? 19 Khatimah: Sebuah Analisis Islam merupakan agama dakwah, mungkin lebih dari agama lainnya, karena klaim Islam rasional dan kritis. Lagi pula, Islam mengklaim sebagai wahyu terakhir, pembaru akhir semua agama, khususnya Yudaisme dan Kristen yang mendahului Islam dalam tradisi yang sama. Klaim Islam memang diarahkan pada pertentangan dari agama lain. Karena itu, secara intelektual, dakwah Islam merupakan akibat wajar dari penegasan dan penolakannya. Siapa saja yang diajak untuk berdebat, sebagai Muslim secara epistemologi harus membuktikan kebenaran dalil Islam, dan mendapat persetujuan dari pembantahnya. Teologi kerukunan menganggap bahwa agama adalah entitas kehidupan manusia. Dalam pandangan ini manusia beragama seolah olah sebuah entitas tersendiri. Ini berarti bahwa manusia diandaikan sebagai orang yang seratus persen memeluk agama atau keyakinannya. Sementara dalam realitas, manusia dikitari oleh berbagai macam institusi, gagasan, kenyataan kultural dan lainnya. Dalam rangka pembangunan yang Islami, aspek kehidupan material dan spiritual manusia bersifat komplementer. Agar bis ahidup menjalani badah dengan baik, kita harus mampu memaksimalkan penggunaan sumber-sumber material yang kita miliki. Tidak ada artinya bicara tentang pembangunan tanpa mempertimbangkan sisi spiritual manusia,19

Dawa and Dialogue: Belirvers and promotion of Mutual Trust, dalam Merryl Wyn Davies dan Adnan Khalil Pasha (eds.), Beyond Frontiers: Islam and Konterporary Needs, (London:Ma nsell, 1989), hal. 45-46. dalam Ziauddin Sardar, Kembali ke ... hal. 202.

13

karena pembangunan harus melestarikan hakikat manusia kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jafar Syaikh Idris dan Khursid Ahmad:Sifat-sifat yang membentuk manusia adalah perekat yang mengikat mereka dalam sebuah masyarakat, dan yang menyatukan diri mereka sebagai individu. Ketika sifat-sifat itu hilang, individu mulai terpecah dan perpecahan masyarakatlah kosekuensinya. Ketika seseorang tidak menemukan arti kehidupan ... maka masyarakat tempat dia hidup pasti akan mengalami kemunduran dan kehancuran. Apakah seseorang yang tidak peduli pada kehidupannya akan peduli pada orang lain? Apakah seseorang yang tidak memiliki makna hidup akan membela orang yang bukan bagian dari dirinya?

Umat Islam harus kembali merebut masa depan dan tampil sebagai peradaban yang tegak setara dengan pelbagai peradaban lain di dunia ini. Namun, peradaban masa depan itu hanya bisa lahir jika umat Islam melakukan, hal-hal yang konstruktif, menggiatkan kembali intelektualisme, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan, kesederajat-an, toleransi dan pluralitas. [] Wallahualam DAFTAR PUSTAKA Al-Faruqi dan Lamya al-faruqi, (1998). Atlas Budaya Islam-Menjelajah Pearadaban gemilang, Bandung: Mizan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/01/opi01.html-Fajar Kurnianto, Peneliti Institut Studi Agama Sosial dan Politik (ISASPOL), Jakarta. Hartono Jaiz (1996). Meluruskan Dakwah dan Fikrah, (Jakarta: Pustaka Alkautsar. Lothrop Stroddard, (1966). Dunia Baru Islam, (Jakarta: Perpustakaan Islam Jogjakarta, Munzier suparta dan Harjani Hefni (2003), Metode Dakwah, Jakarta: Prenada Media, Jhon A. Echols dan A. Sadeli (1996). Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka. Moeslim Abdurahman (2003). Islam Sebagai Kritik Sosial, (ed.Sayed Mahdi), Jakarta: Erlangga. Syamsu Yusuf (2005). psikologi Belajar Agama-Persfektif Pendidikan Agama Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. II. Thomas W. Arnold (1979).Preaching Islam, Jakarta: Wijaya,

14

W.A. Gerungan (2004). Psikologi Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, edisi ketiga, cet.I. Wyn Davies dan Adnan Khalil Pasha (1989 ). Beyond Frontiers: Islam and Konterporary Needs, London:Mansell.

Peran Pemerintah: Mengatur Kehidupan Dunia Dan Agama Secara BaikSenin, 30/04/2007 "Pemerintahan itu, tujuannya adalah untuk mengatur kehidupan dunia dan kehidupan beragama secara baik." ujar satori ismail, Ketua umum Ikadi, kamis, 30 April 2007. Ia juga menambahkan, bahwa presiden tidak usah ragu-ragu mengganti menterinya, bila sekitar 3 tahun ini belum terjadi suatu perubahan yang optimal.

Dalam sudut pandang Islam, seorang pejabat harus diangkat sesuai

15

keahliannya, dan orang yang paling baik dalam bidang itu. Pria yang akrab dipanggil ustadz Satori ini juga mengutip hadits yang menyatakan, bila seorang pemimpin tidak mengangkat seseorang sesuai dengan kriteria tadi (baik agama dan kemampuannya, red.), berarti ia sudah berkhianat pada Alloh dan Rasul-Nya.

Nilai profesionalisme menurut Islam, didalamnya mencakup amanah, tanggung jawab, kejujuran, memiliki visi, dan bisa bekerjasama. Satori juga memberikan contoh, refleksi nilai-nilai agama yang dapat mempengaruhi prilaku seseorang. "Jika seseorang sholatnya baik, maka ia berarti orang yang amanah (dapat dipercaya)", imbuhnya. Adapun nilai-nilai yang perlu ditumbuh-kembangkan, selain

profesionalisme para menteri adalah, tanggung jawab dan sensitifitas. "Menteri adalah seorang yang diangkat sebagai pejabat, maka ia harus memahami tanggung jawab seorang pejabat pada rakyatnya. Dia juga akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat, tentang kepemimpinannya." kata pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini.

Bila dalam kepemimpinan seorang menteri, ada hal yang tidak disenangi oleh rakyat, maka ia harus bertanggung jawab. Misalnya, masalah transportasi, pangan, atau pertanian. "Bila ada kejadian yang kurang menyenangkan, akibat keteledoran, maka itu menjadi tanggung jawab pemimpin." tegas Satori. (dbs)

Lainnya:

Silahkan mengunjungi www.ikadi.or.id

16

Individu dan Perilaku SosialOleh: Ahmad Husaini 1. Dakwah dalam Persfektif Behaviorisme, Humanisme Psikoanalisa, dan

17

2. Relasi-relasi antar Individu (review tentang peran individu dalam proses komunikasi sosial). 3. Sosialisasi, identitas diri, dan perubahan sikap.

A. Al-Quran 1. Annahlu : 125 2. Asysyuara : 214-216 3. Fushshilat : 33 4. dsb.

B. Hadits 1. Ballighuu annii walau aayah 2. Man roaa minkum munkaran falyughoyyirhu biyadihi, fainlam yastati fabilisaanihi, fainlam yastati fabiqolbihi. 3. dsb.

18

Ilm

Tujuan Dakwah: Memberikan pandangan tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental psikologis sasaran dawah sesuai dengan pola kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran agama (Al-Quran dan AlHadits).

Subjek Dawah

19

20

Wawasan Dai:

Memahami kandungan AlQuran dan Hadits Rasulullah, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, maupun muamalah pejuang islam lainnya.

Memiliki wawasan sejarah kehidupan para nabi, sahabat, dan

Seo men21

Memiliki wawasan tantang perkembangan ilmu dan teknologi, serta kehidupan sosial budaya masyarakat Memiliki pengetahuan tentang beberapa ilmu yang dapat membantu kemampuannya untuk memahami sasaran dawah, dan menganalisis berbagai peristiwa yang berkembang di masyarakat, seperti : antropologi, sosiologi, psikologi, kesehatan, ekonomi, dan ilmu politik. Kemampuan Berkomunikasi Aspek ini menyangkut kemampuan (1)berbahasa atau bertutur kata sesuai dengan bahasa yang digunakan sasaran dawah, atau penyampaian materi itu dengan bahasa yang dimengerti oleh sasaran dawah, seperti ceramah di daerah yang masyarakatnya penutur bahasa sunda, gunakanlah bahasa sunda; (2)menyampaikan materi dawah sesuai dengan kualitas daya nalar sasaran dawah (Sabda Rasul khaathibunnaasa alaa qadri uquulihim yang artinya : berkhutbahlah/berceramahlah kamu kepada manusia sesuai dengan kadar akalnya), seperti ceramah di kalangan remaja harus dibedakan dengan ceramah di kalangan orang dewasa, atau ceramah di pedesaan jangan menggunakan istilah-istilah asing yang biasa digunakan di kalangan intelektual; (3) mengaitkan (menggayutkan) makna tekstual (kandungan ayat atau hadits) dengan kontekstual (suasana atau peristiwa kehidupan yang berkembang dalam masyarakat); dan (4) memberikan ilustrasi-ilustrasi yang mempermudah untuk memahami materi yang disampaikan. Sasaran Dawah 1. Fase Perkembangan : Anak, Remaja, Dewasa, dan Tua. Masingmasing fase atau usia ini memiliki karakteristik tersendiri, baik dari 22 sasaran dawah

segi perkembangan intelektual, emosional, sosial, maupun moral. Seperti dawah kepada anak TK jangan disamakan dengan dawah kepada orang tua. Metode dawah yang digunakan untuk anak TK, lebih cocok melalui nyanyian, atau cerita/kisah. Anak TK akan sulit memahami materi dawah, apabila disampaikan melalui ceramah, atau diskusi. 2. Jenis Kelamin : Pria -Wanita. Meskipun perbedaannya secara psikologis hanya bersifat gradual, namun penyampaian materi kepada kelompok pria atau wanita, perlu ada perbedaan. Perbedaan ini seperti menyangkut : intonasi bahasa, dan pemberian ilustrasi. 3. Tempat Tinggal : Desa-Kota, atau Agraris - Industri. Masyarakat yang hidup di pedesaan atau daerah agraris memiliki perbedaan karakteristik kehidupan dengan masyarakat perkotaan atau industri. Perbedaan itu seperti menyangkut aspek-aspek (1) gaya hidup : cara berpakaian, cara makan, cara bertutur kata, dan cara bergaul, (2) mata pencaharian, di pedesaan bersifat homogen, sedangkan di perkotaan bersifat heterogen, (3) wawasan keilmuan, dan (4) tradisi atau adat istiadat. Berkaitan dengan hal ini, para dai seyogyanya memahami karakteristik tersebut, agar lebih bijak dalam dawahnya. 4. Kelas Sosial : Kaya - Menengah - Miskin. Perbedaan kelas sosial ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kondisi kehidupan, seperti menyangkut aspek kesehatan jasmaniah, perkembangan psikologis (cara berpikir, suasana emosional, dan sikap hidup), wawasan keilmuan, dan gaya hidup, Berdawah di kalangan orang-orang kaya, mungkin berbeda dengan berdawah di kalangan orang-orang miskin. Perbedaan ini bisa menyangkut metode atau fokus materi dawahnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap Keagamaan

23

1. Pengalaman beragama.

Khusus

(Specific

Experience)

dalam

kehidupan

2. Komunikasi dengan orang lain (Communication with other people), yaitu dengan orang-orang yang taat beragama. 3. Manusia Model, uswah hasanah dari orang tua, guru, ulama, pejabat, dan orang dewasa lainnya dalam mengamalkan ajaran agama/berakhlak mulia. 4. Lembaga-lembaga Sosial (Instituional), yaitu berfungsinya lembagalembaga kemasyarakatan sebagai lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya akhlakul karimah individu/masyarakat.

24