Upload
awaluddin-iwan-perdana
View
269
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
forensik
Citation preview
1 | P a g e
Tugas Individu
Mata Kuliah : Kimia Forensik Lanjutan
Dosen : Dr Nursamran Subandi. M.Si
KIMIA FORENSIK
OLEH :
AWALUDDIN IWAN PERDANA (P1100212006)
JURUSAN KIMIA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
2 | P a g e
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kehidupan kita dapat berkarya
serta melaksanakan tugas dan kewajiban kita masing – masing. Semoga kita semua selalu
mendapat petunjuk dan perlindungan-Nya sepanjang masa. Dan atas izin – Nya,
Alhamdulillah niat dan tekad penyusun untuk menyelesaikan penyusunan makalah pada mata
kuliah Kimia Forensik Lanjutan dengan judul “ANALISIS DAN APLIKASI DNA
MITOKONDRIA (Mt DNA) PADA BIDANG FORENSIK” dapat tersusun dengan baik.
Makalah ini di susun dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur
tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang di bahas.
Walaupun demikian, tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penyusun terbuka dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak dan sumbangsih untuk kemajuan perkembangan Biokimia.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Makasar, 25 April 2012
PENYUSUN
3 | P a g e
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1. ILMU FORENSIK ........................................................................ 1
1.1 Pendahuluan ................................................................................ 1
1.2 Ruang Lingkup Ilmu Forensik .................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup Ilmu Forensik .................................................... 8
1.4 Langkah-langkah Penyidikan ....................................................... 10
BAB 2. DNA MITOKONDRIA ................................................................. 11
2.1 Pendahuluan ................................................................................... 11
2.2 DNA (deoxyribonucleic acid) ....................................................... 11
2.3 DNA Mitokondria ........................................................................ 20
2.4 Daerah HVI pada MtDNA manusia ................................................ 13
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara ................ 24
BAB 3. METODE ANALISA DNA MITOKONDRIA........................... 27
3.1 Pendahuluan ................................................................................ 27
3.2 Berbagai metode analisa Mt DNA 27
BAB 4. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) 28
4.1 Pendahuluan 28
4.2. Prinsip-prinsip umum pcr 28
4.3 Pelaksanaan PCR 30
4.4. Optimasi PCR 33
BAB 5. ELEKTROFORESIS 36
5.1. Pendahuluan 36
5.2. Prinsip Kerja 36
5,3. Elektroforesis gel agarosa 37
BAB 6. SKUENSING DNA 39
6.1. Pendahuluan 39
4 | P a g e
6.2. Prinsip Sekuensing DNA 39
6.3. Metode Maxam-Gilbert 40
6.4. Metode Sanger 41
6.5. Pangkalan Data Sekuens DNA 42
6.6. Proyek-proyek Sekuensing Genom 43
BAB 7. KESIMPULAN 44
DAFTAR PUSTAKA 46
LAMPIRAN JURNAL-JURNAL 48
5 | P a g e
BAB 1
ILMU FORENSIK
1.1. Pendahuluan
Kimia Forensik merupakan aplikasi dari ilmu kimia itu sendiri. Beberapa hal yang perlu
diingat tentang kimia forensik yaitu untuk memecahkan masalah kriminal dan mejaga
seseorang yang tidak bersalah dari tuduan hukum atas kriminal yang tidak ia perbuat.
Seringkali kekuatan penuntutan bertumpu pada kemampuan aparat penegak hukum
untuk menghubungkan terdakwa dengan korban dengan cara mencocokkan bukti fisik dari
TKP atau korban dengan jejak bukti yang ditemukan pada atau tentang orang yang dituduh
melakukan kejahatan. Peneliti Forensik berkonsultasi dengan berbagai ahli yang menganalisa
bukti yang dikumpulkan di TKP dan dibawa ke laboratorium kejahatan untuk diperiksa.
Kimiawan Forensik melakukan analisis khusus untuk mengidentifikasi bahan dan
mempelajari sifat bukti tersebut. Seorang ahli kimia forensik sangat terlatih dapat
menentukan komposisi dan sifat bahan dan memprediksi sumber serta pencocokan sampel
terhadap sampel. Kimiawan ini memadukan teknik analis kimia modern dan teknis analisis
konvensional.
Bukti fisik yang dikumpulkan di TKP disegel dalam kontainer khusus untuk mencegah
kontaminasi dan degradasi dan katalog dengan hati-hati. Sebuah rantai ditetapkan dan
didokumentasikan sebagai bukti dikirim ke laboratorium forensik. Di laboratorium, bukti itu
diperiksa oleh personil terlatih dalam salah satu dari beberapa bidang: serologists forensik
memeriksa cairan tubuh, patolog forensik memeriksa jenazah manusia, senjata api teknisi
mengklasifikasikan dan uji senjata api dan bahan peledak, dan kimia forensik menentukan
komposisi dan identitas bahan.
Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana (tindak melawan hukum).
Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai penerapan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan
keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan
interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam
penyidikan tersebut.
Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu
pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat
meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan
disebabkan oleh mistik.
6 | P a g e
Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi, dan fotografi
dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal (Eckert, 1980). Revolusi ini merupakan
gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam penegakan hukum.
Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang pertamakali secara
sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai parameter dalam personal indentifikasi.
Sampai awal 1900-an metode dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal
indentifikasi. Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal identification).
Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan mengembangkan
metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sekarang ini digunakan sebagai metode
dasar dalam personal identifikasi.
Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di
Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering „a
dried bloodstain”, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan
O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang dilibatkan atau
dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk kepentingan hukum dan keadilan.
Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal dengan Ilmu Forensik.
Saferstein dalam bukunya “Criminalistics an Introduction to Forensic Science”
berpendapat bahwa ilmu forensik ”forensic science“ secara umum adalah „the application of
science to law”.
Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun
berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah
hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme),kebenaran ilmiah
harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan
hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur
bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke
masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto
2000).
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu keharusan
menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah. Sehingga diharapkan
tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan proses peradilan pidana, dapat
tercapai yaitu mencari kebenaran materiil. Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri
Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
7 | P a g e
dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur
dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tidaklah mengandalkan
pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan dan menyelesaikan suatu
perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya
berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan
kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud.
Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu forensik
dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau
pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.
1.2. Ruang Lingkup Ilmu Forensik
Ilmu-ilmu yang menunjang ilmu forensik adalah ilmu kedokteran, farmasi, kimia,
biologi, fisika, dan psikologi. Sedangkan kriminalistik merupakan cabang dari ilmu forensik.
Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik,
odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik
forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler forensik. Biologi molekuler
forensik lebih dikenal dengan ”DNA-forensic”.
Kriminalistik merupakan penerapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu alam pada pengenalan,
pengumpulan / pengambilan, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi dari bukti fisik,
dengan menggunakan metode / teknik ilmu alam di dalam atau untuk kepentingan hukum
atau peradilan (Sampurna 2000). Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang ilmuwan
forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) berbagai jenis bukti fisik, dia
melakukan indentifikasi kuantifikasi dan dokumentasi dari bukti-bukti fisik. Dari hasil
analisisnya kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan (keterangan ahli)
dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Eckert 1980). Sebelum melakukan
tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan pelatihan atau pendidikan dalam
penyidikan tempat kejadian perkara yang dibekali dengan kemampuan dalam pengenalan dan
pengumpulan bukti-bukti fisik secara cepat. Di dalam perkara pidana, kriminalistik
sebagaimana dengan ilmu forensik lainnya, juga berkontribusi dalam upaya pembuktian
melalui prinsip dan cara ilmiah.
8 | P a g e
Kriminalistik memiliki berbagai spesilisasi, seperti analisis (pengujian) senjata api dan
bahan peledak, pengujian perkakas (”toolmark examination”), pemeriksaan dokumen,
pemeriksaan biologis (termasuk analisis serologi atau DNA), analisis fisika, analisis kimia,
analisis tanah, pemeriksaan sidik jari laten, analisis suara, analisis bukti impresi dan
identifikasi.
Kedokteran Forensik adalah penerapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk
kepentingan penegakan hukum dan pengadilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal
manusia atau organ manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. Di Inggris kedokteran
forensik pertama kali dikenal dengan ”Coroner”. Seorang coroner adalah seorang dokter
yang bertugas melalukan pemeriksaan jenasah, melakukan otopsi mediko legal apabila
diperlukan, melakukan penyidikan dan penelitian semua kematian yang terjadi karena
kekerasan, kemudian melalukan penyidikan untuk menentukan sifat kematian tersebut Di
Amerika Serikan juga dikenal dengan ”medical examinar”. Sistem ini tidak berbeda jauh
dengan sistem coroner di Inggris.
Dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat
(atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan orang hidup. Dalam hal ini peran
kedokteran forensik meliputi:
− melakukan otopsi medikolegal dalam pemeriksaan menyenai sebab-sebab kematian,
apakah mati wajar atau tidak wajar, penyidikan ini juga bertujuan untuk mencari
peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi,
− identifikasi mayat,
− meneliti waktu kapan kematian itu berlansung ”time of death”
− penyidikan pada tidak kekerasan seperti kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak
dibawah umur, kekerasan dalam rumah tangga,
− pelayanan penelusuran keturunan,
− di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya pada bidang
kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obat-obatan ”driving under drugs influence”.
Bidang ini di Jerman dikenal dengan ”Verkehrsmedizin” Dalam prakteknya kedokteran
forensik tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik,
serologi / biologi molekuler forensik, odontologi forensik dan juga dengan bidang ilmu
lainnya
Toksikologi Forensik, Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Racun adalah senyawa yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa
9 | P a g e
ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.
Lebih khusus, toksikologi mempelajari sifat fisiko kimia dari racun, efek psikologi yang
ditimbulkannya pada organisme, metode analisis racun baik kualitativ maupun kuantitativ
dari materi biologik atau non biologik, serta mempelajari tindakan-tidankan pencegahan
bahaya keracunan.
LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi
forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu
toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah
analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal
(forensik) di pengadilan.
Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti
dalam tindak kriminal. Toksikologi forensik merupakan gabungan antara kimia analisis dan
prinsip dasar toksikologi. Bidang kerja toksikologi forensik meliputi:
− analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
− analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang
dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai
kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan
dooping),
− analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang lainnya.
Odontologi Forensik, bidang ilmu ini berkembang berdasarkan pada kenyataannya
bahwa: gigi, perbaikan gigi (dental restoration), dental protese (penggantian gigi yanng
rusak), struktur rongga rahang atas “sinus maxillaris”, rahang, struktur tulang palatal (langit-
langit keras di atas lidah), pola dari tulang trabekula, pola penumpukan krak gigi, tengkuk,
keriput pada bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulut dan penampilan morfologi muka
adalah stabil atau konstan pada setiap individu. Berdasarkan kharkteristik dari hal tersebut
diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelusuran identitas seseorang (mayat tak
dikenal). Sehingga bukit peta gigi dari korban, tanda / bekas gigitan, atau sidik bibir dapat
dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan tindak kejahatan.
Psikiatri forensik, seorang spikiater berperan sangat besar dalam bebagai pemecahan
masalah tindak kriminal. Psikogram dapat digunakan untuk mendiagnose prilaku,
kepribadian, dan masalah psikis sehingga dapat memberi gambaran sikap (profile) dari
10 | P a g e
pelaku dan dapat menjadi petunjuk bagi penyidik. Pada kasus pembunuhan mungkin juga
diperlukan otopsi spikologi yang dilakukan oleh spikiater, spikolog, dan patholog forensik,
dengan tujuan penelaahan ulang tingkah laku, kejadian seseorang sebelum melakukan tindak
kriminal atau sebelum melakukan bunuh diri. Masalah spikologi (jiwa) dapat memberi
berpengaruh atau dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau perbuatan
bunuh diri.
Entomologi forensik, Entomologi adalah ilmu tentang serangga. Ilmu ini memperlajari
jenis-jenis serangga yang hidup dalam fase waktu tertentu pada suatu jenasah di tempat
terbuka. Berdasarkan jenis-jenis serangga yang ada sekitar mayat tersebut, seorang
entomolog forensik dapat menduga sejak kapan mayat tersebut telah berada di tempat
kejadian perkara (TKP).
Antrofologi forensik, adalah ahli dalam meng-identifikasi sisa-sisa tulang, tengkorak,
dan mumi. Dari penyidikannya dapat memberikan informasi tentang jenis kelamin, ras,
perkiraan umur, dan waktu kematian. Antrofologi forensik mungkin juga dapat mendukung
dalam penyidikan kasus orang hidup, seperti indentifiksi bentuk tengkorak bayi pada kasus
tertukarnya anak di rumah bersalin.
Balistik forensik, bidang ilmu ini sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus
tindak kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang balistik forensik meneliti
senjata apa yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari arah mana
penembakan tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam tindak
kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti senjata mana yang telah
digunakan dalam tindak kriminal tersebut. Pengujian anak peluru yang ditemukan di TKP
dapat digunakan untuk merunut lebih spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam
kejahatan tersebut.
Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop yang digunakan
untuk membandingkan dua anak peluru dari tubuh korban dan dari senjata api yang diduga
digunakan dalam kejahatan tersebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut
memang benar telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini diperlukan juga
mengidentifikasi jenis selongsong peluru yang tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis
kimia dan fisika diperlukan untuk menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang
tertinggal. Misal analisis ditribusi logam-logam seperti Antimon (Sb) atau timbal (Pb) pada
tangan pelaku atau terduga, untuk mencari pelaku dari tindak kriminal tersebut. Atau analisis
ditribusi asap (jelaga) pada pakaian, untuk mengidentifikasi jarak tembak.
11 | P a g e
Kerjasama bidang ini dengan kedokteran forensik sangat sering dilakukan, guna
menganalisis efek luka yang ditimbulkan pada korban dalam merekonstruksi suatu tindak
kriminal dengan senjata api.
Serologi dan Biologi molekuler forensik, Seiring dengan pesatnya perkembangan
bidang ilmu biologi molekuler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang
ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat.
Baik darah maupun cairan tubuh lainnya paling sering digunakan / diterima sebagai
bukti fisik dalam tindak kejahatan. Seperti pada kasus keracunan, dalam pembuktian dugaan
tersebut, seorang dokter kehakiman bekerjasama dengan toksikolog forensik untuk
melakukan penyidikan. Dalam hal ini barang bukti yang paling sahih adalah darah dan/atau
cairan tubuh lainnya. Toksikolog forensik akan melakukan analisis toksikologi terhadap
sampel biologi tersebut, mencari senyawa racun yang diduga terlibat.
Berdasarkan temuan dari dokter kehakiman selama otopsi jenasah dan hasil analisisnya,
toksikolog forensik akan menginterpretasikan hasil temuannya dan membuat kesimpulan
keterlibatan racun dalam tindak kejahatan yang dituduhkan. Sejak awal perkembanganya
pemanfaatan serologi / biologi molekuler dalam bidang forensik lebih banyak untuk
keperluan identifikasi personal (perunutan identitas individu) baik pelaku atau korban. Sistem
penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali dikembangkan untuk keperluan penyidikan
(merunut asal dan sumber bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya
perkembangan ilmu genetika (analisi DNA) telah membuktikan, bahwa setiap individu
memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA dapat digunakan untuk
menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik jari sudah tidak mungkin bisa
diperoleh. Dilain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada penyidikan kasus pembunuhan
mutilasi (mayat terpotongpotong), penelusuran paternitas (bapak biologis).
Analisa serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk:
- Uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari
getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam
tindak kejahatan tersebut)
- Uji cairan tubuh lainnya (seperti: air liur, semen vagina atau sperma, rambut,
potongan kulit) untuk menentukan sumbernya (“origin”).
- Uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang.
Farmasi Forensik, Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat
dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Farmasi adalah seni dan ilmu meracik
dan menyediaan obat-obatan, serta penyedian informasi yang berhubungan dengan obat
12 | P a g e
kepada masyarakat. Seperti disebutkan sebelumnya, forensik dapat dimengerti dengan
penerapan/aplikasi itu pada issu-issu legal, (berkaitan dengan hukum). Penggabungan kedua
pengertian tersebut, maka Forensik Farmasi dapat diartikan sebagai penerapan ilmu farmasi
pada issu-issu legal (hukum) (Anderson, 2000). Farmasis forensik adalah seorang farmasis
yang profesinya berhubungan dengan proses peradilan, proses regulasi, atau pada lembaga
penegakan hukum (criminal justice system) (Anderson, 2000). Domain dari forensik farmasi
adalah meliputi, farmasi klinik, aspek asministrativ dari farmasi, dan ilmu farmaseutika dasar.
Seorang forensik farmasis adalah mereka yang memiliki spesialisasi berkaitan dengan
pengetahuian praktek kefarmasian. Keahlian praktis yang dimaksud adalah farmakologi
klinik, menegemen pengobatan, reaksi efek samping (reaksi berbahaya) dari obat,
review/evaluasi (assessment) terhadap pasien, patient counseling, patient monitoring, sistem
distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan lain-lainnya.
Seorang forensik farmasis harus sangat terlatih dan berpengalaman dalam mereview
dan menganalisa bukti-bukti dokumen kesehatan (seperti rekaman/catatan medis) kasus-kasus
tersebut, serta menuangkan hasil analisanya sebagai suatu penjelasan terhadap efek samping
pengobatan, kesalahan pengobatan atau kasus lain yang dikeluhkan (diperkarakan) oleh
pasien, atau pihak lainya.
Bidang ilmu Forensik lainnya, selain bidang-bidang di atas masih banyak lagi bidang ilmu
forensik Pada prinsipnya setiap bidang ranah keilmuan mempunyai aplikasi pada bidang
dirensik, seperti bidang yang sangat trend sekarang ini yaitu kejahatan web,yang dikenal
syber crime, merupakan kajian bidang kumperter sain, jaringan, IT, dan bidang lainnya
seperti akuntan forensik.
1.3. Peran ilmu forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan
Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam
menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah hukum. Dalam
kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai
masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena
kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
2. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis.
Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud
perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis
dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana.Dalam
kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika
13 | P a g e
forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi
forensik, dan entomogoli forensik.
Pada umumnya suatu laboratorium kriminalistik mencangkup bidang ilmu kedokteran
forensik, kimia forensik dan ilmu fisika forensik. Bidang kimia forensik mencangkup juga
analisa racun (toksikologi forensik), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai cabang yang
amat luas termasuk: balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik.
Apabila terjadi suatu kasus kejahatan, maka pada umumnya timbul pertanyaanpertanyaan
seperti:
− Peristiwa apa yang terjadi?
− Di mana terjadinya?
− Bilamana terjadinya?
− Dengan alat apa dilakukannya?
− Bagaimana melakukannya?
− Mengapa perbuatan tersebut dilakukan?
− Siapa yang melakukan?
Pertanyaan peristiwa apa yang terjadi adalah mencari jenis kejahatan yang terjadi, misalnya
pembunuhan atau bunuh diri. Dengan bantuan ilmu kedokteran forensik atau bidang ilmu
lainnya, dapat disimpulkan penyebabnya adalah bunuh diri. Oleh sebab itu penyidik tidak
perlu melakukan penyidikan selanjutnya guna mencari siapa pelaku dari peristiwa tersebut,
karena kematian diakibatkan oleh perbuatannya sendiri.
3. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah manusia. Dalam
kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi
forensik. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman
dari tindak kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perbuatannya,
manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping itu, kodrat
manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena
itu perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari
dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal (dipengaruhi oleh lingkungannya).
Atas asas keadilan, dalam pemutusan sangsi dari tindak pidana, perlu ditelusuri faktor-
faktor yang menjadi sebab seseorang itu melakukan kejahatan. Untuk itu perlu diteliti
berbagai aspek yang menyangkut kehidupannya, seperti faktor kejiwaan,keluarga, dan faktor
lingkungan masyarakatnya. Seseorang melakukan tindak kriminal mungkin didorong oleh
latar belakang kejiwaannya, atau karena keadaan ekonomi keluarganya, ataupun karena
pengaruh dari keadaan sosial masyarakatnya.Dalam hal ini peran serta kriminolog, psikolog
14 | P a g e
forensik, dan psikiater forensik mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kasus
kejahatan.
Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah /
kasus-kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan
manusia. Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan
peradilan, khususnya perkara pidana.
1.4. Langkah-langkah Penyidikan
Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan perkara pidana
diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik
umum) yang dilakukan oleh kepolisian (Polri), dalam khasus-khasus khusus (tindak
kejahatan ekonomi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan
penyidikan.
Sampurna (2000) menggambarkan proses penyidikan sampai ke persidangan (gambar 1.1).
Upaya penyidikan pada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan disusul oleh proses
pengadilan. Proses ini dikenal sebagai upaya litigasi. Upaya penyidikan dilakukan setelah
suatu peristiwa atau kejadian dianggap peristiwa hukum, yaitu peristiwa atau kejadian yang
dapat mengganggu kedamaian hidup antar pribadi. Lingkup antar pribadi khususnya antara
seseorang (memikul kepentingan pribadi) dihadapkan dengan masyarakat atau negara yang
memikul suatu kepentingan umum.
15 | P a g e
Penyelasaian kasus-kasus kriminal diperlukan pembuktian peristiwa kasus yang terjadi
sampai membuktikan pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut. Pembuktian dari
suatu perkara pidana adalah upaya untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak
pidana yang diperkarakan dan bahwa si terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut.
Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat bukti yang sah ke depan persidangan. Guna
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaraan materiil, dalam pembuktian
(penyidikan dan pemeriksaan bukti fisik) harus dilakukan pembuktian secara ilmiah.
Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang sesuai dengan hukum, yaitu memenuhi prisip
”admissibility” (dapat diterima) sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa alat
bukti yang sah terdiri dari 5 jenis, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri dan dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya
tersebut. Keterangan saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun
keterangan dari orang lain (KUHAP pasal 185). Ketentuan keterangan saksi diatur dalam
pasal 168, 170, 171 dan 185 KUHAP. Dalam pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan
keterangan saksi siapa-siapa yang berhak, tidak berhak, atau berkompeten menjadi saksi pada
suatu tindak pidana. Keterangan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua
orang saksi. Bila berasal dari satu orang saja, harus didukung oleh alat bukti sah lain.
Keterangan saksi juga harus diberikan oleh orang yang berkompeten, yaitu orang yang
mampu secara hukum. Orang disebut berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di
dalam pengampuan, misal sakit jiwa.
Perngertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa: keterangan ahli dapat diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika
16 | P a g e
hal tersebut diberikan pada waktu pemeriksaan oleh tim penyidik atau jaksa penuntut umum,
maka pada pemeriksaan di sidang, diminta keterangan dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan sebelum mengucapkan sumpah janji di depan
hakim.
Pasal 187 memuat ketentuan tentang surat sebagaimana tersebutkan pada pasal 184 hurup c,
surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tetang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat yang menangani hal yang termasuk dalam tatalaksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau
suatu keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
yang diminta secara resmi dari padanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Yang dimaksudkan surat menurut penjelasan diatas adalah surat yang dibuat oleh pejabat-
pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain
yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.
Petunjuk menurut KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat
berupa fotografi, foto kopi, kaset rekaman, rekaman vidio, atau barang bukti lainnya yang
diketemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Barang bukti tersebut dapat digunakan
sebagai rekonstruksi kasus atau penelusuran identitas pelaku.
Alat yang paling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan terdakwa, merupakan
keterangan dari terdakwa tentang apa yang ia lakukan, ia ketahui sendiri, atau ia alami
sendiri.
Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan menjadi 4 (Sampurna 2000),
yaitu:
a) Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementara dan akan dengan
mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh adalah: buah-buahan, suhu, imprints dan
17 | P a g e
indentation (tanda-tanda yang ditimbulkan akibat tekanan, seperti tanda jejak sepatu,
atau tapak ban mobil pada kasus kecelakaan bermotor), tanda-tanda seperti lembam
mayat, jejak bibir di puntung rokok, bercak darah di pakaian yang akan dicuci, dll.
Bukti seperti ini diketemukan oleh penyidik di TKP, dan harus segera dicatat dan
didokumentasikan.
b) Bukti pola, seperti percikan bercak darah, pola pecahan kaca/gelas, pola kebakaran,
pola posisi furnitur, trayektori proyektil, dan posisi mayat, dll.
c) Bukti kondisional, seperti derajat kekakuan mayat, distribusi lembam mayat, apakah
pintu terkunci, apakah lampu menyala, ketebalan dan arah geraknya asap.
d) Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik yang paling klasik.
Bukti transfer terjadi karena kontak antara orang-orang atau benda-benda, atau antar
orang dengan benda.
Dalam kriminalistik dikenal dua prinsip utama, yaitu: prinsip Locard yang menyatakan
bahwa setiap kontak meninggalkan jejak ”every contact leaves a trace” dan prinsip
individualitas yang menyatakan bahwa dua objek mungkin tidak dapat dibedakan, tetapi tidak
ada dua objek yang identik. Gabungan kedua prisip ini dapat diturunkan suatu pernyataan
bahwa apabila tidak ada dua orang atau benda yang identik, maka setiap jejak yang
ditinggalkan orang atau benda harus berbeda dengan jejak orang atau benda yang lain.
Ahli forensik dan kriminilalistik berperan dalam upaya pembuktian dengan
menyediakan dua alat bukti yang sah, yaitu keterang ahli dan surat (yang dibuat oleh ahli).
Dalam hal ini keterangan ahli tidak dibatasi dengan ketentuan tentang ”yang merupa-kan hal-
hal yang dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi”, melainkan diberi peluang
untuk memberikan pendapat atau opini berdasarkan keahliannya, sepanjang ketentuan yang
berlaku.
Keterangan ahli atau surat keterangan oleh ahli harus diberikan oleh seseorang ahli yang
memenuhi persyaratan kualifikasi dan berisikan keterangan yang berada dalam lingkup
keahliannya (bukan keterangan bersifat awam) (Sampurna, 2000).
Dalam memberikan atau menuliskan pendapat atau opini seorang ahli harus berdasar-
kan hasil temuan atau data adekuat baik yang diperoleh dari pemeriksaan bukti fisik maupun
dengan membandingkannya terhadap data di literatur, referensi ilmiah yang terkini, dan
secara teknis dianggap benar, serta menggunakan prinsip dan metode ilmiah yang diakui.
Pendapat ahli satu dengan yang lainnya tentang suatu hal tentu dapat berbeda, hal ini
berdasarkan latar belakang keahliannya (ilmu yang mendasari dalam membuat keterangan),
kecanggihan teknologi dari alat yang digunakan memeriksa barang bukti, metode analisis,
18 | P a g e
dan berbagai aspek lainnya. Sehingga pemeriksaan kriminalistik harus diberi peluang untuk
melakukan pemeriksaan ulang, baik oleh institusi yang sama maupun institusi yang lain.
Secara tradisi di Indonesia, bahwa sejak lama keputusan apakah di dalam pemecahan suatu
kasus pidana atau perdata diperlukan bukti-bukti ilmiah tidak berada ditangan para ahli
forensik atau kriminalistik melainkan di tangan para penegak hukum. Para ahli forensik dan
kriminalistik cendrung bersikap sebagai pendukung saja di dalam suatu proses peradilan
pidana atau perdata. Hal ini tentunya merupakan kendala dalam pembuktian secara ilmiah
kasus pidana maupun penegakan hukum. Akan tetapi di lain sisi sesuai dengan Keputusan
Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 dituntut pembuktian secara ilmiah
dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil. Untuk itu diperlukan kerjasama antara
aparat penegak hukum dan ahli forensik. Meskipun demikian harus diakui pula bahwa pada
akhir-akhir ini memang sedang terjadi pergeseran peran ahli forensik, yaitu dari bersifat pasif
menjadi akfit. Sampurna (2000) menggambarkan bahwa ahli forensik maupun kriminalistik
dapat terlibat pada setiap tahap peyidikan (lihat gambar 1.1).
19 | P a g e
BAB II
DNA MITOKONRIA
2.1. Pendahuluan
Sel merupakan satuan unit terkecil dari makhluk hidup. Sel mempunyai peranan yang
besar sebagai penyusun suatu organisme. DNA merupakan bagian dari sel yang membawa
materi genetik pada semua makhluk hidup. Begitu pula, RNA yang menjadi penyalur
informasi genetik tersebut. Bagaimana tahapan dari replikasi DNA dan hipotesis yang
diperoleh, bagaimana proses perbaikan DNA yang mengalami kerusakan, apa saja tipe RNA,
dan bagaimana proses sintesa protein harus kita pelajari. Kita harus mempelajari kehidupan
& organisme hidup pada tingkat sel atau dibawahnya agar kita bisa lebih bersykur atas kuasa
Nya menciptakan segala seuatu. Perkembangan biologi sel bertumpu pada hasil riset dengan
percobaan-percobaan deskriptif dimasa lalu hingga percobaan-percobaan analitik modern saat
ini.
2.2. DNA (deoxyribonucleic acid)
2.2.1 Struktur DNA
DNA merupakan materi genetik yang terdapat pada semua sel makhluk hidup dan
kebanyakan virus. DNA membawa informasi yang diperlukan untuk sintesis protein dan
replikasi.
Gambar 2.1. DNA
Struktur DNA rantai helix ganda (double helix). Setiap rantai adalah polinukleotida,
dan terdiri atas nukleotida, masing-masing dari nukleotida tersusun atas tiga unit yaitu gula,
basa dan fosfat. Di dalam nukleotida terdapat nukleosida, yakni gula yang berpasangan
20 | P a g e
dengan basa. Setiap nukleotida dalam polinukleotida dihubungkan dengan ikatan kimia yang
sama (ikatan basa). Struktur nukleotida terdiri dari
1. Satu molekul gula
Ada dua macam gula, yaitu ribosa (pentosa) dan dioxiribosa (aldopentosa)
2. Pasangan basa
Pasangan basa terdiri dari dua macam yaitu basa purin dan pirimidin. Purin terdiri atas
adenine (A) dan guanine (G) dengan ikatan tunggal hydrogen. Sedangkan, pirimidin terdiri
atas sitosinin (S) dan timin (T).
Pasangan basa dihubungkan dengan ikatan hidrogen, purin berpasangan dengan primidin (A-
T dengan dua ikatan hydrogen) sedangkan (G-S dengan tiga ikatan hidrogen).
3. Fosfat
Fosfat yang dihubungkan dengan gula pentosa membentuk sebuah ikatan yang disebut ikatan
fosfodiester.
2.2.2 Karakteristik DNA
DNA memiliki struktur seperti rantai, dengan rantai helix ganda (double helix) yang memilin
yang dapat bereplikasi sendiri. Selain itu, terdapat karakteristik DNA yang lain diantaranya :
1. Besar ukuran pada sel haploid mencapai 3x 10 9 pasangan basa
2. Satu kromosom panjangnya ± 7 cm
3. Rantainya dapat terpisah (denaturasi karena alkali dan suhu panas)
Denaturasi dapat terjadi saat DNA berada dalam kondisi panas mendekati 1000 celcius maka
akan terpisah, terlebih DNA dengan pasangan basa A-T yang hanya memilki dua ikatan
hidrogen, karena pasangan basa G-C memliki 3 pasangan hydrogen akan lebih tahan terhadap
panas. Dan dapat mengalami Renaturasi saat kembali dalam kondisi semua (suhu turun),
dengan RNA yang utuh bertemu kembali dengna pasangannya yang sesuai.
4. Berfungsi sebagai materi genetik (pembawa sifat)
DNA sebagai materi genetik, berfungsi dalam pengekspresian gen, DNA mengatur segala
aktivitas sel,dan mampu membentuk cetakan-cetakan protein yang dibutuhkan oleh sel.
5. Bereplikasi/menggandakan diri menjadi dua dengan komposisi yang sama berfungsi dalam
sintesis protein.
21 | P a g e
Gambar 2. Struktur DNA
2.2.3 Replikasi DNA
Gambar 3. Replikasi DNA
Replikasi DNA bersifat semikonservatif, yaitu kedua untai DNA bertindak sebagai
cekatan untuk pembuatan untai-untai DNA baru.
Replikasi DNA merupakan proses persiapan materi genetik untuk melakukan
pembelahan (reproduksi). Sel prokariota terus-menerus melakukan replikasi DNA. Pada
eukariota, waktu terjadinya replikasi DNA sangatlah diatur, yaitu pada fase daur sel, sebelum
mitosis atau meiosisI. Kecepatan replikasi organisme eukariotik 10 kali lebih lama dari
prokariotik (dikarenakan ribosom pada sel eukariotik berada di luar nucleus, sehingga mRNA
22 | P a g e
harus melewati membrane nucleus). Sedangkan, replikasi genom manusia membutuhkan
waktu 8 jam. Replikasi bersifat semi konservatif dan tejadi dalam dua arah (didirection),
yang arah sintesanya dari 5 ke 3. Berikut tahapan terjadinya replikasi DNA :
2.2.4 Tahapan replikasi
1. Tahapan Inisiasi
Pembukaan Rantai Double Helix dengan bantuan DNA Helikase. Helikase mengubah
ATP menjadi ADP sebagai energy untuk membuka dan memperpanjang cabang rantai DNA
yang terpisah. DNA helikase, merupakan protein yang membantu tahap replikasi DNA,
terdiri dari :
• Helikase II / III, yang melekatkan cetakan yang rantai tertinggal („3-5‟)
menjadi arah („5-3‟)
• Rep protein, yang mengikat rantai pertama yang sedang disintesis dan diubah
arahnya manjadi „3-5‟
2. DNA mulai direplikasi oleh DNA Polimerase III
Dibantu dengan topoisomerase (DNA girase) yang mengurangi tegangan untai DNA,
setelah itu untaian DNA tunggal dilekati oleh protein-protein pengikat untaian tunggal untuk
mencegah terbentuknya heliks ganda kembali
3. Rantai DNA diperpanjang hingga membentuk untaian tunggal DNA baru
• Leading strand : untaian baru dengan arah yang benar dari „5-3‟
• Lagging strand : untaian baru yang arahnya dari „3-5‟ sehingga mengalami
retakan-retakan pada untaiannya
4. RNA primer memiliki enzim primase untuk melekatkan RNA primer, enzim primase
mampu membentuk fragmen-fragmen Okazaki. RNA primers memulai mensintesis DNA
hanya sekali pada leading strand, sedangkan pada lagging strand dimulai pada setiap fragmen
okazaki.
5. Enzim primase dapat bergabung dengan polipeptida lainnya dan pada saat itu primosome
aktif, primosome mengubah arah sintesa dari „3-5‟ menjadi „5-3‟, primosome hanya akan
muncul pada saat RNA primer lepas.
6. RNA primers lepas kemudian, kemudian diambil alih oleh DNA polymerase I untuk
disintesis hingga mendekati bagian-bagian fragmen okazaki yang mendahuluinya, kemudian
diubah arah sintesa menjadi „5-3‟
23 | P a g e
7. Fragmen-fragmen okazaki yang berdekatan digabungkan oleh DNA ligase
2.2.4. Hipotesis Replikasi DNA
Ada tiga hipotesis tentang replikasi DNA yang menjelaskan bagaimana pita double
helix DNA membuat salinannya pada proses replikasi DNA, yaitu sebagai berikut
1. Hipotesis konservatif, pita double helix DNA membentuk pita baru dalam keadaan
utuh
2. Hipotesis semi konservatif, pita double helix DNA terbuka kemudian masing-masing
membentuk pita baru sebagai pelengkapnya
3. Hipotesis dispersal, campuran antara potongan pita double helix DNA yang lama
dengan yang baru dibentuk
2.2.5. DNA Repair
DNA Repair merupakan proses perbaikan DNA yang mengalami kerusakan, diantaranya
karena
a. Modifikasi basa (perubahan kimia, kehilangan basa, ikatan kovalen antar basa yang
berdekatan)
b. Gagalnya transkripsi dan translasi DNA
c. Kerusakan DNA parah (DNA putus)
DNA repair dikelompokkan dalam 3 cara, yaitu :
1. Damage Revesal, langsung digantikan
Merupakan cara termudah karena tidak perlu dilakukan pemotongan DNA, hanya perlu
diganti saja.
2. Damage Removal, dihilangkan
Lebih rumit karena harus melakukan pemotongan untuk mengganti, dan terbagi menjadi,
• Base excision repair dengan hanya mengganti satu basa yang rusak dan diganti dengan
yang lain.
• Mismatch repair dengan penggantian basa yang tidak sesuai yang dilakukan dengan enzim.
• Nucleotide excision repair dengan cara memotong salah satu segmen DNA yang mengalami
kerusakan.
3. Damage Tolerance, mentoleransi kesalahan, terbagi menjadi,
24 | P a g e
• Homolongous recombination (HR), menggunakan sister kromatid untuk memperbaiki
kerusakan (tanpa delesi).
• Non homologous end joining (NHEJ), bila putusnya tidak sama makan akan diratakan dulu
dengan eksonukleuse, kemudian ada enzim tertentu yang bekerja dan akan menggabungkan
(dengan delesi)
2.3. DNA Mitokonria
Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ.
Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul DNA
merupakan rantai polinukleotida berbentuk heliks ganda yang mempunyai beberapa jenis
basa purin dan pirimidin (Poedjiadi dan Supriyanti., 2007). DNA terdapat di dalam inti sel
dan mitokondria. DNA mitokondria (mtDNA) manusia terletak di dalam matriks
mitokondria. mtDNA manusia berupa untai ganda berbentuk sirkuler yang memiliki urutan
lengkap nukleotida sepanjang 16.569 pasang basa (pb). Molekul mtDNA terdiri dari untai
heavy (H) dan untai light (L) (Anderson, et al., 1981). Pada untai H terdapat lebih banyak
basa purin daripada basa pirimidin, sehingga lebih berat dibandingkan untai L. mtDNA
manusia ditemukan telah diwariskan secara maternal dari ibu (Denaro, et al., 1981). mtDNA
memiliki laju mutasi yang sangat tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menentukan
keragaman genetik antar individu dalam suatu populasi, hubungan evolusi diantara populasi
dan rekonstruksi migrasi suatu populasi.
Pewarisan sifat DNA mitokondria dilakukan secara maternal dan tidak ada
rekombinasi. Ngili (2005) menyatakan dalam artikelnya bahwa hanya sel telur yang
membawa mitokondria ketika melebur dengan sperma pada proses pembuahan. Sel telur
memiliki 100.000 mitokondria, sedangkan sperma hanya 50-100 di ekor sperma. Ekor sperma
merupakan alat gerak yang membutuhkan energi tinggi dari mitokondria. Pada proses
masuknya sel sperma ke dalam sel telur, ekor sperma akan terlepas sehingga mitokondria
tidak ikut masuk. Beberapa mitokondria dari sel sperma yang mungkin masuk dalam sel telur
akan mengalami pengenceran selama proses mitosis sehingga jumlahnya menjadi tidak
berarti atau dianggap sebagai benda asing sehingga dihancurkan oleh sistem sel.
DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada dalam satu sel.
mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi yang ditandai dengan laju mutasi yang
tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini disebabkan mtDNA tidak memiliki
mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan
dengan membran dalam mitokondria yang merupakan tempat berlangsungnya reaksi
25 | P a g e
fosforilasi oksidatif menghasilkan radikal oksigen sebagai produk sampingnya. Selain itu,
enzim DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase yang tidak
mempunyai aktivitas proofreading yaitu perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi
mtDNA. Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan
yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi, sehingga menyebabkan mutasi.
Genom mitokondria dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu daerah pengkode,
yang memproduksi berbagai molekul biologis yang terlibat dalam proses produksi energi
dalam sel, dan daerah bukan pengkode atau daerah kontrol. Genom mitokondria mengandung
37 gen yang terdiri atas gen-gen penyandi rRNA yaitu 12S dan 16S, 22 gen penyandi tRNA,
dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memilki urutan nukleotida non
penyandiyang disebut dengan daerah D-Loop (Anderson, et al., 1981).
Analisis mtDNA telah diaplikasikan secara luas dalam bidang kedokteran forensik. Selama
dekade terakhir banyak penelitian telah menggunakan penanda garis keturunan seperti
mtDNA untuk menggambarkan variabilitas genetik dan proses evolusi dari populasi yang
berbeda (Carvalho, et al., 2008). Polimorfisme yang terjadi pada mtDNA juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara populasi manusia dengan keadaan
geografinya. Dengan demikian, studi genetika manusia secara langsung mendorong
pengembangan penelitian baru dalam bidang paleontologi, arkeologi, linguistik, dan sejarah
(Achilli, et al.,2005).
Dalam penyelidikan forensik, selain menggunakan DNA inti juga dapat menggunakan
DNA mitokondria. Hal ini disebabkan keterbatasan sampel DNA inti yang ditemukan di
tempat kejadian perkara, sehingga jumlah DNA inti yang terdapat dalam sampel terkadang
sangat sedikit bahkan rusak (Parson, et al., 2007). Selain itu, bahan-bahan yang merupakan
sumber mtDNA seperti sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya
sering ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) sehingga dapat dijadikan sampel. Untuk
penelitian mtDNA, dapat menggunakan sampel sel epitel akar rambut sebagai sumber
mtDNA karena bagian akar rambut memiliki aktifitas metabolik yang sangat tinggi, sehingga
pada bagian tersebut diduga terdapat sejumlah besar mitokondria. Hal ini dapat diamati pada
pertumbuhan rambut yang cenderung lebih cepat daripada jaringan lain pada tubuh.
Sel pada akar rambut sudah mewakili keseluruhan sel di dalam tubuh. Hal ini
disebabkan sel-sel tersebut bersumber dari satu sel telur yang memiliki satu jenis mtDNA
yang kemudian terdiferensiasi seiring dengan perkembangan embrio. Pada fase
perkembangan selanjutnya, diferensisasi ini tidak menyebabkan adanya perubahan pada
urutan nukleotida mtDNA baik pada sel darah, epitel, maupun rambut dalam satu individu
26 | P a g e
(Raifuddin, 2007). Epitel akar rambut lebih disukai juga karena proses pengambilan akar
rambut lebih mudah daripada jaringan lainnya seperti darah, sperma, plasenta, dan lain-lain
karena hanya dilakukan melalui pencabutan hingga akar. Cara penyimpanannya yang mudah
dan kondisi fisiknya yang cenderung stabil membuat sampel akar rambut lebih disukai
sebagai sampel mtDNA
Mitokondria merupakan organel sel yang berfungsi sebagai penghasil energi dengan
menghasilkan adenosin triphosphat (ATP). Dalam mitokondria berlangsung proses oksidasi
zat-zat dalam makanan oleh beberapa enzim melalui siklus asam sitrat, dimana terjadi reaksi
dehidrogenasi dan dekarboksilasi. Rangkaian reaksi perpindahan elektron menghasikan
energi. Energi yang terjadi dari proses oksidasi digunakan untuk membentuk ATP. Dengan
demikian, mitokondria adalah "pembangkit tenaga" bagi sel. Mitokondria terdapat dalam
semua sel, hanya jumlahnya bervariasi, yaitu dari beberapa ratus sampai beberapa ribu
(Poedjiadi, 2007) tiap selnya. Mitokondria berbentuk bulat panjang dengan berbagi ukuran
dan jumlahnya tergantung dari jenis sel dan organisme. Mitokondria memiliki dua lapis
membran. Membran luar membatasi bagian dalam dengan matriks sel. Membran dalam
membentuk lipatan-lipatan yang disebut kristae dimana terdapat enzimenzim oksidase. Pada
bagian dalam ini terisi zat kental yang disebut matriks. Matriks ini mengandung DNA, RNA,
ribosom dan berbagai enzim yang berperan dalam oksidasi zat-zat makanan. Struktur
mitokondria dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Mitokondria.
mtDNA berada pada membran bagian dalam yang kental yang disebut sebagai matriks
(Poedjiadi, 2007). Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu DNA mitokondria
atau sering disingkat mtDNA. mtDNA ini terletak didalam matriks semi cair dibagian dalam
27 | P a g e
sel mitokondria dan tersusun atas 16.569 pasang basa, dimana komponen penyusunnya terdiri
dari basa adenin, timin, guanin dan sitosin.
mtDNA ini berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri dari untai heavy
(H) dan light (L) (Wallace, 1996). Untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dari untai
L disebabkan oleh banyaknya kandungan basa purin. Terdapat ribuan salinan mtDNA dalam
tiap sel dan banyak ditemukan pada daerah yang memiliki aktifitas metabolisme tinggi atau
dengan kata lain memerlukan energi yang cukup besar seperti pada sperma bagian ekor, sel
otot jantung, darah, akar rambut dan epidermis kulit.
MtDNA mempunyai karakteristik yang khas dimana diwariskan secara maternal atau
pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki
jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma, yaitu sekitar 100.000
molekul sedangkan sel sperma hanya memiliki sekitar 100-1500 mtDNA. Dalam sel sperma
mitokondria banyak terkandung dalam bagian ekor karena bagian ini yang sangat aktif
bergerak sehingga membutuhkan banyak ATP.
Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya
sedikit atau hampir tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Hal ini berarti bahwa
sumbangan secara paternal hanya berjumlah 100 mitokondria. Apalagi dalam proses
pertumbuhan sel, jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang. Maka jika
dibandingkan dengan sumbangan secara maternal yaitu 100.000, maka sumbangan secara
paternal hanya 0,01%. Jumlah mtDNA yang sedikit ini dalam sel telur akan diencerkan
selama proses mitosis sehingga sangat tidak berarti jumlahnya atau dianggap sebagai benda
asing sehingga dihancurkan sistem sel. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi
rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke
seluruh keturunannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hiroaki, et al.
(2006), dimana urutan nukleotida mtDNA dari ibu sebagai generasi pertama ternyata
diwariskan sampai generasinya yang keempat tanpa adanya mutasi. Pada Gambar 5 dapat
dilihat jalur penurunan mtDNA secara maternal yang diteliti oleh Hiroaki, et al. (2006).
28 | P a g e
Gambar 5. mtDNA diwariskan secara maternal.
Gambar yang dihitamkan mempunyai urutan nukleotida yang sama dengan ibu sebagai
generasi pertama (Hiroaki, et al., 2006) Sifat unik lain dari mtDNA adalah laju mutasi yang
sangat tinggi sekitar 10-100 kali dari DNA inti (Zhao, et al., 2005). Hal ini dikarenakan
mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan
terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya reaksi
fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen (ROS) sebagai produk samping yang
dihasilkan dalam organel (Han, et al., 2003). ROS merupakan agen oksidasi yang sangat
tidak stabil sehingga dapat dengan mudah beraksi dengan zat biokimia seperti lemak, asam
amino, karbohidrat, dan DNA.
Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase γ
yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses perbaikan dan pengakuratan
dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki
sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi. Replikasi mtDNA yang
tidak akurat ini akan menyebabkan mutasi mudah terjadi.
2.4. Daerah HVI pada MtDNA manusia
mtDNA manusia terdiri dari daerah pengkode (coding region) dan daerah bukan
pengkode (non coding). mtDNA mengandung 37 gen yang terdiri atas 13 gen pengkode
protein yang terlibat dalam proses fosforilasi oksidatif, 22 gen pengkode tRNA, dan 2 gen
29 | P a g e
pengkode rRNA (Pakendorf dan Mark, 2005) sedangkan untuk daerah bukan pengkode
dikenal dengan daerah kontrol atau D-loop.
D-loop berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024 sampai 576 dan terletak diantara
gen tRNApro dan tRNAphe. D-loop merupakan daerah berantai tiga (triple stranded). Untai
ketiga lebih dikenal sebagai 7S DNA. D-loop juga memiliki tiga daerah hipervariabel yaitu
daerah hipervariabel I (HVI), hipervariabel II (HVII), dan daerah hipervariabel III (HVIII).
Daerah HVI terletak pada urutan nukleotida 16024-16383, HVII pada urutan nukleotida 57-
732 dan HVIII berada pada urutan nukleotida 438-594 (Anderson, et al., 1981; Hiroaki, et al.,
2006). Posisi D-loop dapat dilihat dalam peta DNA mitokondria yang berbentuk sirkuler pada
Gambar 5.
D-loop merupakan daerah pengontrol, baik untuk proses replikasi maupun transkripsi.
Hal ini disebabkan karena mempunyai origin of reflication untuk untai H (OH) dan promotor
transkripsi untuk untai H dan L (Anderson, et al., 1981; Zhao, et al., 2005). Kedua promotor
tersebut terletak berdekatan dengan jarak 150 pasang basa. Walaupun letaknya berdekatan
namun keduanya tidak saling tumpangsuh dan berfungsi secara independen (Gustiananda,
1996). Selain itu, daerah D-loop juga mengandung tiga daerah lestari yang disebut dengan
conserved sequence block (CSB) I, II, III. Daerah lestari ini diduga memiliki peranan penting
dalam replikasi mtDNA.
Gambar 5. Peta mtDNA manusia dengan bentuk sirkuler.
30 | P a g e
Terlihat ada tiga daerah D-loop yaitu daerah HVI, HVII dan HVIII
(www.argusbio.com). D-loop memiliki laju mutasi yang paling tinggi dibandingkan dengan
daerah lain dalam genom mtDNA terutama pada daerah HVI. Tingginya tingkat
polimorfisme daerah HVI menjadi salah satu faktor penyebab penelitian terhadap daerah ini
terus dilakukan dan terus berkembang.
31 | P a g e
BAB 3
METODE ANALISA DNA MITOKONDRIA
3.1.Pendahuluan
Dalam melakukan analisa, sangat diperlukan suatu metode yang mencakup peralatan,
bahan dan prosedur kerja yang sesuai dengan sampel yang akan dianalisa.Analisa DNA
mitokondria merupakan suatu metode analisa yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan
yang tinggi dari sumber daya manusia ang menganalisa.Selain itu juga tak kalah pentingnya
ialah kualitas bahan-bahan atau reagen yang digunakan harus baik dan demikian pula dengan
sistem instrumentasi yang harus memiliki kadar performance yang baik.Sehingga dengan
semua itu, dapat diperoleh data analisis yang tepat dan akurat.
3.1.Berbagai metode analisa Mt DNA
Dalam menganalisa DNA mitokondria terdapat beberapa metoda yang sering
digunakan, yaitu :
1) Denaturing Gradien Gel Electrphoresis (DGGE)
2) Single Strand Conformational Polymorphism (SSCP)
3) Denaturing High Performance Liquid Chromatography (DHPLC)
4) PCR → Elektroforesis → Skuennsing DNA
Pada metode pertama dan kedua membutuhkan lebih banyak waktu dan penelitiannya
lebih rumit serta sangat mahal. Kedua metode pertama sangat jarang digunakan di bidang
forensik Indonesia.
Pada motode ketiga memiliki prinsip kerja memisahkan campuran DNA untuk dibuat
rangkaiannya. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kecocokan dari dua buah sampel DNA. Sensitivitas DHLPC sangat tinggi yaitu mendeteksi hingga setiap sequence yang berbeda (
substitusi, insersi, delesi,dll)dan bisa mendeteksi suatu campuran yang kompleks.
Sedangkan metode yang keempat merupakan metode yang paling umum digunakan dan
akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.
32 | P a g e
BAB 4
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
4.1. Pendahuluan
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA
secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985.
Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali
hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-
teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya
di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.
4.2. Prinsip-prinsip umum pcr
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA;
sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida
yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide
triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA.
Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2)
denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan
primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4)
merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah
DNA. Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.
33 | P a g e
PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan
pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA
templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan
hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal
primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk
memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan
dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target
34 | P a g e
DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah
siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti
tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994).
Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR
dapat dihitung secara teoritis menurut rumus:
Y = (2n – 2n)X
Y : jumlah amplicon
n : jumlah siklus
X : jumlah molekul DNA templat semula
Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang
diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat terlihat bahwa
dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang
diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif singkat.
Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus.
Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon
secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target.
Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal
ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan
kemungkinan terjadinya reannealing untai target.
4.3.Pelaksanaan PCR
Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah
disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari masing-masing
komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan
molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA
plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung
fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan
dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA
kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada.
Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari
tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat
digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk
pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan
35 | P a g e
dinding sel tanpa harus merusak DNA yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding
sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis.
Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer
lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1
mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam
keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari
biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut.
Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai
berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2); 0,5 % Tween-20
dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini biasanya
digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus.
Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan cara
mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar yang tergantung
dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA
plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA
dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah
pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari
komponen-komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik
dan murni.
2. Primer
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di
dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan
diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3‟ yang
diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan
urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA
atau protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan
protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil
analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan
kekerabatan yang terdekat. Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-
kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih.
Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari
18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek
36 | P a g e
kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak
diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang
nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk
panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara
bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal.
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida
yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat
memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan
C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan
% (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara
efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR.
Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3‟ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih
toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan
spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah.
Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di
dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan
panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus
[2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65 oC.
d. Interaksi primer-prime
Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari.
Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini
semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu konsentrasi
primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming.
Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)
dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat),
dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin
trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan
dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3‟ dari
primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi
optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.
37 | P a g e
4. Buffer PCR dan MgCl2
Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk
melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin
pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+
, ion tersebut berasal dari
berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas
DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan
templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR
konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer
PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan.Tetapi disarankan sebaiknya antara
MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi
MgCl2 sesuai yang diperlukan.
5. Enzim Polimerase DNA
Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA.
Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA
yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh
karena itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95 oC. Aktivitas polimerase DNA
bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi . Sebagai contoh adalah
enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas
spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari
bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer
PCR yang dipakai.
Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi
mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif
lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga
kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase
DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan kapasitas tinggi (High-
salt buffer).
4.4. Optimasi PCR
Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR.
Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang
digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor
seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs,
MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
1. Jenis polimerase DNA
38 | P a g e
Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada
tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek.
Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan
jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA
Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi.
Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi dNTPs
sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa
diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2
berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan
perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi
produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming.
Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang
akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 –
2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari
dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
3. Suhu
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses
denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat
berkisar antara 93 – 95oC, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan
dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan
menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu
juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan
proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang
digunakan adalah 94oC. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 -
60oC.
Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses
PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5)oC sampai dengan
(Tm + 5)oC. Dalam menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya
mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan
ditentukan oleh eksperimen.
39 | P a g e
Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72oC karena suhu
tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR.
4. Buffer PCR
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam
perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer
rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR
tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung
pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa
biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari
lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
5. Waktu
Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat,
annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama
30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi
yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas
polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan
proses denaturasi tidak sempurna.
Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk
panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih
besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik.
Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan
diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan
waktu 30 – 60 detik.
Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk
memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga
harus dilakukan terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif semu.
40 | P a g e
BAB 5
ELEKTROFORESIS
5.1. Pendahuluan
Elektroforesis DNA merupakan teknik untuk memisahkan sampel DNA berdasarkan ukuran
(berat molekul) dan struktur fisik molekulnya sehingga molekul DNA dengan ukuran berbeda
tetapi mempunyai komposisi basa yang sama dapat dipisahkan. Gel yang biasa digunakan
adalah agarosa yang merupakan suatu polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut sehingga
elektroforesis ini dikenal dengan elektroforesis gel agarosa. Teknik ini sederhana, cepat
terbentuk, dan mampu memisahkan fragmen DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat,
dibanding dengan densitas gradien sentrifugasi. Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan
sampel DNA dari ukuran beberapa ratus hingga 20.000 pasang basa (pb). Gel agarosa
digunakan sebagai media pergerakan (running) DNA.
Parameter yang dapat mempengaruhi laju migrasi DNA, yaitu ukuran molekul DNA.
Molekul yang lebih besar akan bergerak lebih lambat, misalnya DNA linier akan bergerak
lebih cepat dibandingkan dengan DNA sirkuler. Selain itu, konformasi DNA, voltase yang
diterapkan, konsentrasi agarosa, dan pewarna DNA yang digunakan juga ikut mempengaruhi
laju migrasi (Fatchiyah, 2006; Gumilar dkk., 2008).
5.2. Prinsip Kerja
Prinsip kerja dari elektroforesis ini adalah memisahkan molekul berdasarkan muatan listrik.
Muatan listrik positif akan menarik muatan negatif. Sebaliknya, muatan negatif akan menarik
muatan positif serta akan saling tolak menolak jika muatannya sama. Molekul DNA
bermuatan negatif (rangka gulafosfat) sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi
melalui matriks gel ke arah kutub positif (anoda). Semakin besar ukuran molekulnya maka
laju migrasi semakin rendah.
5.3. Jenis Elektroforesis
Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan
listrik.Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan,bentuk
dan ukuran. Perpindahan partikel bermuatan tergantung pada tanda dan besarnya muatan
pada zat terlarut,permukaan,muatan,tegangan yang digunakan,konsentrasi elektrolit,kuat
ion,pH,temperatur,viskositas,adsorbsi zat terlarut dan sifat-sifat fisika kimia lainnya pada
medium migrasi. Ion yang berpindah pada suatu arah juga mempengaruhi mobilitas ion-ion
lain yang bergerak berlawanan arah.
Ada beberapa jenis elektroforesis, di antaranya :
1. Elektroforesis dengan kertas saring
41 | P a g e
Pada akhir proses elektroforesis komponen dengan elektroforesis kertas saring tersebut
terpisah-pisah, mereka dapat mengisolasi dan mengidentifikasi setiap komponen tersebut.
2. Elektroforesis Gel Kanji
Ternyata elektroforesis gel kanji yang diperkenalkan Smithies memicu para ilmuan untuk
menemukan bahan kimia lain yang dapat digunakan sebagai bahan gel yang lebih baik,
seperti agarosa dan polimer akrilamida
3. Polyacrilamide Gel electrophoresis
SDS-PAGE digunakan untuk menentukan komposisi subunit suatu protein dan untuk
mengangar berat molekul subunit hingga +5 perseratus alat.Walaupun protein yang bercas
tinggi atau glikoprotein mungkin berada pada ralat yang besar.Berat molekul ditentukan
dengan membandingkan Rm subunit protein dengan Rm protein standar yang diketahui berat
jenisnya.Protein standar yang disediakan di pasaran belum sepenuhnya memiliki deret yang
cukup luas.
4. Elektroforesis Wilayah
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju perpindahan elektroforesis wilayah. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pergerakan ion adalah mobilitas ion, tipe resolusinya, macam
larutan buffernya, pH yang digunakan, kuat ion zat terlarut, temperatur dan
elektroosmosis.Medium yang umum digunakan adalah kertas saring, selulosa, asetat, gel
seperti kanji, poloakrilamid dan bubuk gel.
5. Elektroforesis Kontinyu
Elektroforesis kontinyu adalah elektroforesis yang dilakukan secara kontinyu. Suatu tirai
dengan kertas saring digunakan yang mana terendam dalam larutan buffer. Suatu aplikator
digunakan untuk meneteskan sampel. Sampel masuk dalam aplikator dari suatu reservoir
sampel. Kedua ujung kertas saring dalam bentuk alur tercelup dalam dua ruang elektroda.
Dengan pemberian tegangan, partikel zat telarut mulai bergerak dan komponen terpisahkan
dalam berbagai permukaan
5.4. Elektroforesis gel agarosa
Elektroforesis gel merupakan salah satu teknik utama dalam biologi molekular. Prinsip dasar
teknik ini adalah bahwa DNA, RNA, atau protein dapat dipisahkan oleh medan listrik. Dalam
hal ini molekul-molekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya
gerak listrik di dalam matriks gel. Laju perpindahan tersebut tergantung pada ukuran molekul
bersangkutan.Elektroforesis gel biasanya digunakan untuk keperluan analisis, namun dapat
pula digunakan sebagai preparatif untuk memisahkan molekul untuk digunakan dalam
42 | P a g e
metode-metode lainnya seperti spektrofotometri massa, PCR, kloning, Skensing DNA, atau
immuno-blotting yang merupakan metode=metode karakterisasi lebih lanjut.
Elektroforesis gel agarosa terdiri dari beberapa komponen, antara lain: sampel DNA yang
merupakan hasil perbanyakan dengan teknik PCR, gel agarosa (konsentrasi 0.5-2%), EtBr
(agen pengkelat DNA) yang akan berpendar ketika terpapar dengan sinar UV, loading buffer,
running buffer (memfasilitasi hantaran arus, biasanya TAE atau TBE ), marker (penanda
DNA) yang merupakan serangkaian fragmen DNA standar yang berguna untuk
memperkirakan ukuran fragmen yang berbeda-beda pada DNA templat yang dielektroforesis,
serta lampu UV transilluminator yang membantu dalam visualisasi DNA (Fatchiyah, 2006).
Contoh set alat elektroforesis ditunjukkan pada Gambar 1
.
43 | P a g e
BAB 6
SKUENSING DNA
6.1. Pendahuluan
Sekuensing merupakan tahap akhir dalam menentukan urutan nukleotida DNA setelah
melalui tahapan lisis, amplifikasi dan deteksi dengan elektroforesis. Sekuensing ini
merupakan suatu metode pengurutan secara cepat dan tepat seluruh molekul nukleotida dari
DNA. Ada dua metode sekuensing yang dikenal yaitu metode pemotongan DNA
menggunakan bahan kimia yang dikembangkan oleh Maxam-Gilbert dan metode Frederick
Sanger. Metode sekuensing yang umum dilakukan adalah metode Frederick Sanger
disebabkan metode Maxam- Gilbert beresiko tinggi karena menggunakan bahan kimia
berbahaya bagi tubuh. Metode sekuensing Frederick Sanger disebut juga metode terminasi
rantai (Bourgaize, et al., 2000).
Sekuensing DNA merupakan pengurutan DNA untuk menentukan nukleotida yang tepat pada
suatu molekul DNA. Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir penentukan urutan
nukleotida fragmen hasil amplifikasi. Direct sequencing merupakan tahapan untuk
menentukan urutan nukleotida dari fragmen hasil amplifikasi dengan PCR tanpa melalui
proses kloning. Pada dasarnya direct sekuensing sama seperti proses sekuensing biasa.
Namun ada beberapa perbedaan dalam tahapan-tahapan reaksinya, yaitu pada penyiapan
DNA templat dan proses amplifikasi dengan PCR.
6.2. Prinsip Sekuensing DNA
Molekul DNA rekombinan yang memperlihatkan hasil positif dalam reaksi hibridisasi dengan
fragmen pelacak sangat diduga sebagai molekul yang membawa fragmen sisipan atau bahkan
gen yang diinginkan. Namun, hal ini masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan bahwa fragmen tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan kloning. Analisis
antara lain dapat dilakukan atas dasar urutan (sekuens) basa fragmen sisipan.
Penentuan urutan (sekuensing) basa DNA pada prinsipnya melibatkan produksi seperangkat
molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah satu ujungnya selalu sama.
44 | P a g e
Selanjutnya, fragmen-fragmen ini dimigrasikan/dipisahkan menggunakan elektroforesis gel
poliakrilamid atau polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens
dapat dilakukan. Di bawah ini akan diuraikan sekilas dua macam metode sekuensing DNA.
6.3. Metode Maxam-Gilbert
Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode kimia yang dikembangkan
oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977. Pada metode ini fragmen-fragmen DNA
yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat
radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3‟. Metode Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik
untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan pemotongan basa
spesifik yang dilakukan dalam dua tahap.
Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial menggunakan piperidin.
Pengaturan masa inkubasi atau konsentrasi piperidin akan menghasilkan fragmen-fragmen
DNA yang bermacam-macam ukurannya. Selanjutnya, basa dimodifikasi menggunakan
bahan-bahan kimia tertentu. Dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa G, asam format
menyerang A dan G, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi garam yang tinggi akan
menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan demikian, akan dihasilkan
empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A atau G, ujung C atau T, dan
ujung C.
Lajur kedua berisi fragmen-fragmen yang salah satu ujungnya adalah A atau G. Untuk
memastikannya harus dilihat pita-pita pada lajur pertama. Jika pada lajur kedua terdapat pita-
pita yang posisi migrasinya sama dengan posisi migrasi pada lajur pertama, maka dapat
dipastikan bahwa pita-pita tersebut merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G.
Sisanya adalah pita-pita yang merupakan fragmen dengan basa A pada salah satu ujungnya.
45 | P a g e
Cara yang sama dapat kita gunakan untuk memastikan pita-pita pada lajur ketiga, yaitu
dengan membandingkannya dengan pita-pita pada lajur keempat.
Laju migrasi pita menggambarkan ukuran fragmen. Makin kecil ukuran fragmen, makin
cepat migrasinya. Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh tersebut di atas dapat
diurutkan atas dasar laju/posisi migrasinya. Jadi, kalau diurutkan dari yang terkecil hingga
yang terbesar, hasilnya adalah fragmen-fragmen dengan ujung
TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG. Inilah sekuens fragmen DNA yang dipelajari.
6.4. Metode Sanger
Dewasa ini metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena ada
metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang dikembangkan oleh A.
Sanger dan kawan-kawan pada tahun 1977 juga.
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit enzim DNA
polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut adalah kemampuannya untuk
menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP
dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C
nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan
gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester.
Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu molekul DNA, maka
polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau terhenti. Basa yang terdapat pada ujung
molekul DNA ini dengan sendirinya adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan pada
empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi DNA
dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP
46 | P a g e
sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat tertentu sesuai dengan
ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA
yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3‟nya selalu berakhir dengan basa yang sama.
Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung ddATP akan diperoleh fragmen-fragmen
DNA dengan berbagai ukuran yang semuanya mempunyai basa A pada ujung 3‟nya.
Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran tiga dan tujuh basa; tabung ddCTP
menghasilkan tiga fragmen dengan ukuran satu, dua, dan empat basa; tabung ddGTP
menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima dan sembilan basa; tabung ddTTP
menghasilkan dua fragmen dengan ukuran enam dan delapan basa. Di depan (arah 5‟) tiap
fragmen ini sebenarnya terdapat primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi
sekaligus untuk kontrol hasil sekuensing karena urutan basa primer telah diketahui.
Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut dilakukan elektroforesis
menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi perbedaan migrasi sesuai dengan
ukurannya masing-masing. Setelah ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen
mulai dari yang paling pendek hingga yang paling panjang, yaitu fragmen dengan ujung C
(satu basa) hingga fragmen dengan ujung G (sembilan basa). Dengan demikian, hasil
sekuensing yang diperoleh adalah CCACGTATG. Urutan basa DNA yang dicari adalah
urutan yang komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu GGTGCATAC.
a) reaksi polimerisasi dan terminasi
b) PAGE untuk melihat ukuran fragmen
6.5. Pangkalan Data Sekuens DNA
47 | P a g e
Selama bertahun-tahun telah banyak sekuens DNA yang ditentukan oleh para ilmuwan di
seluruh dunia, dan saat ini kebanyakan jurnal ilmiah mempersyaratkan penyerahan sekuens
DNA terlebih dahulu untuk keperluan pangkalan data publik sebelum mereka menerima
naskah selengkapnya dari para penulis/ilmuwan. Pengelola pangkalan data akan saling
bertukar informasi tentang sekuens-sekuens yang terkumpul dan menyediakannya untuk
akses publik sehingga semua pangkalan data yang ada akan menjadi nara sumber yang sangat
bermanfaat.
Sekuens-sekuens baru terus bertambah dengan kecepatan yang kian meningkat. Begitu pula,
sejumlah perangkat lunak komputer diperlukan agar data yang tersedia dapat dimanfaatkan
dengan lebih baik.
EMBL di Eropa dan GenBank di Amerika Serikat merupakan dua pangkalan data sekuens
DNA terbesar di dunia. Selain sekuens DNA, mereka juga mengelola data sekuens RNA dan
protein. Sementara itu, beberapa perusahaan mempunyai pangkalan data sekuens DNA
sendiri.
Ketika sekuens suatu fragmen DNA telah diketahui, hanya ada sedikit sekali gambaran yang
dapat diperoleh dari sekuens tersebut. Analisis sekuens perlu dilakukan untuk mengetahui
beberapa karakteristik pentingnya seperti peta restriksi, rangka baca, kodon awal dan kodon
akhir, atau kemungkinan tempat promoternya. Di samping itu, perlu juga dipelajari hubungan
kekerabatan suatu sekuens baru dengan beberapa sekuens lainnya yang telah terlebih dahulu
diketahui. Biasanya, analisis semacam itu dilakukan menggunakan paket-paket perangkat
lunak, misalnya paket GCG Universitas Wisconsin dan DNAstar.
6.6. Proyek-proyek Sekuensing Genom
48 | P a g e
Sejalan dengan berkembangnya mesin-mesin sekuensing DNA automatis (automatic DNA
sequencer), sejumlah organisasi telah memberikan perhatian dan dukungan dana bagi
penentuan sekuens genom berbagai spesies organisme penting. Beberapa genom yang
ukurannya sangat kecil seperti genom virus HIV dan fag λ telah disekuens seluruhnya.
Genom sejumlah bakteri, misalnya E. coli (4,6 x 106 pb), dan khamir Saccharomyces
cerevisiae (2,3 x 107 pb) juga telah selesai disekuens. Sementara itu, proyek sekuensing
genom tanaman Arabidopsis thaliana (6,4 x 107 pb) dan nematoda Caenorhabditis elegans
saat ini masih berlangsung. Proyek Genom Manusia (Human Genom Project), yang
diluncurkan pada tahun 1990 dan sebenarnya diharapkan selesai pada tahun 2005, ternyata
berakhir dua tahun lebih cepat daripada jadwal yang telah ditentukan.
Pada genom manusia dan genom-genom lain yang berukuran besar biasanya dilakukan
pemetaan kromosom terlebih dahulu untuk mengetahui lokus-lokus gen pada tiap kromosom.
Selanjutnya, perpustakaan gen untuk suatu kromosom dikonstruksi menggunakan vektor
YACs dan klon-klon YACs yang saling tumpang tindih diisolasi hingga panjang total
kromosom tersebut akan tercakup. Demikian seterusnya untuk kromosom-kromosom yang
lain hingga akhirnya akan diperoleh sekuens genom total yang sambung-menyambung dari
satu kromosom ke kromosom berikutnya.
49 | P a g e
BAB 7
KESIMPULAN
1. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu
pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.
2. Analisis mtDNA telah diaplikasikan secara luas dalam bidang kedokteran forensik.
3. Metode PCR → Elektroforesis → Skuensing DNA merupakan metode analisis DNA
mitokonria yang umum digunakan.
4. Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA
secara in vitro
5. Elektroforesis DNA merupakan teknik untuk memisahkan sampel DNA berdasarkan
ukuran (berat molekul) dan struktur fisik molekulnya sehingga molekul DNA dengan
ukuran berbeda tetapi mempunyai komposisi basa yang sama dapat dipisahkan.
6. Sekuensing DNA merupakan pengurutan DNA untuk menentukan nukleotida yang
tepat pada suatu molekul DNA. Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir
penentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi.
50 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1) Anderson, P D., An Overview of Forensic Pharmacists Practice, Journal of Pharmacy
Practice 2000; 13; 179
2) Anderson S, Bankier AT, Barrell BG, et al. 1981.Sequence and organization of the
human mitochondrial genome. Nature 290:457-465.
3) Bruce, B. (Eds.). 1997. Genome Analysis, a laboratory manual. vol 1 (Analyzing
DNA). USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
4) Colby, Diane S (1991). Ringkasan Biokimia Harper. Jakarta: EGC.
5) Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic sciences, The C.V. Mosby Company,
St. Louis, Missori
6) Innis, M.A.(Eds.). 1990. PCR Protocols a Guide to Methods and Applications.
California: Academic Press, Inc..
7) Kansil, CST, 1991, Pengantar hukum kesehatan Indonesia, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta
8) Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press,
Semarang
9) Newton, C.R. and A. Graham. 1994. PCR. UK: Bios Scientific Publisher.
10) Perdanakusuma, P., 1984, Bab-bab tentang kedokteran forensik, Gha liaIndonesia,
Jakarta
11) Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan
Non-Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek
Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik,
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
12) Saferstein R., 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic Science, 5th Ed., A
Simon & Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey
13) Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning. USA: Cold
Spring Harbor Laboratory Press.
14) Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana Pembuktian Ilmiah,
dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan
Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
51 | P a g e
15) Wallace DC. 1995. Mitochondrial DNA variation in human evolution, degenerative
disease, and aging. Am J Hum Genet 57:201-223.
16) Watson et al (2008). Molecular Biology of The Gene.