Author
dewi-majidah
View
261
Download
15
Embed Size (px)
STEP 1
1. Burning mouth sensation (BMS):
Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3
anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar,
gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris.
2. Kanker nasofaring:
Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung
yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan
epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor
lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat
mengaktifkan virus tersebut).
3. Apthous stomatitis:
Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser
yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan
lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis.
4. Terapi radiasi:
Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh
dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses
ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan
menyebabkan degenerasi asinar, fibrosis, dan atropi.
STEP 2
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek
samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?
2. Apa efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
3. Apa terapi yang sesuai pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
STEP 3
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek
samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?
1
a. Evaluasi jaringan periodonsium dan gigi yang mejadi karies infeksi
serta merawat karies bila ada.
b. Kontrol plak.
c. Hidup sehat, contoh: olah raga dan makan makanan yang begizi.
d. Foto panoramik untuk mengetahui kelainan yang ada.
2. Efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
a. Mukosa tampak eritomathous dan terdapat perbahan histologi dan
fisiologi.
b. Perubahan pada kelenjar ludah rongga mulut karena xerostomia yang
disebkan karena sel asinar yang terganggu karena radiasi, jadi volume
saliva turun, protein saliva naik, PH rendah dan bakteri meningkat.
Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva adalah:
1) Dosis <10 gray dapat menyebabkan penurunan volume saliva
2) Dosis 10-15 gray dapat menyebabkan hiposalivasi
3) Dosis 15-40 gray dapat menyebabkan reduksi sliva semakin nyata
dan reversibel
4) Dosis > 40 gray dapat menyebabkan kerusakan sel kelenjar saliva
memperparah kelenjar salivasi
c. Osteoradionekrosis adalah nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh
radiasi. Gejalanya adalah rasa sakit yang berdenyut-denyut, tulang
yang nekrosis dengan adanya fistula orokutaneus dan sequester, fraktur
patologis, supurasi, dan halitosis karena adanya jaringan yang
nekrosis.
d. Mukositis yaitu rasa nyeri pada saat menelan mukosa tampak berwarna
putih yang terpinya yaitu denga makan makanan yang bernutrisi,
pemberian obat kumur, obat sedatif dan vitamin C serta kontrol OH,
pakai anastesi lokal serta antiseptik.
e. Gigi dapat terjadi mengalami hiperemia sensitif terhadap termis dan
dapat terjadi gangguan erupsi gigi yang sedang berkembang tumbuh.
Karies radiasi juga dapat terjadi untuk melindungi terjadinya karies
2
radiasi tersebut menggunakan pasta gigi yang berflour atau flour
topikal.
f. Kasus TMJ dapat dilatih membuka dan menutup mulut.
Efek samping dari terapi radiasi dapat diminimalkan dengan
penggunaan radioprotektor amyfostine. Dalam penelitian, amyfostine
dapat melindungi mice, rat, guinea pig, anjing dan monyet dari dosis
radiasi yang mematikan. Jaringan normal yang dapat dilindungi oleh
amyfostine yaitu kelenjar saliva, sumsum tulang, ginjal, kulit, mukosa
oral, sistem imun, testis, dan esofagus.
3. Terapi pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
a. Terapi BMS:
Dapat disesuaikan pada penyebabnya yaitu ada 4:
1) Sistemik
2) Lokal
3) Idiopatik
4) Psikologi
Contoh yang dapat dilakukan yaitu:
1) Meningkatkan asupan nutrisi pada pasien yang defisiensi nutrisi
2) Mengotrol penyakit sistemik
3) Mengganti resep obat yang menyebabkan BMS
4) Xerostomia dapat memakai obat kumur
5) Depresi menggunakan obat anti depresan
b. Terapi apthous stomatitis
1. Menggunakan obat kortikosteroid topikal, analgesik dan anti
mikroba.
2. Menggunakan clorheksidin
3. Terapi dapat difokuskan pada simtom, kausatif atau suportif.
3
STEP 4
Mapping:
STEP 5
Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan pasien yang sedang
melakukan terapi radiasi, pra-terapi, selama terapi, dan pasca radiasi yang
berhubungan dengan kedokteran gigi.
STEP 6
Mandiri
STEP 7
Penatalaksanaan Efek Samping Pada Rongga Mulut Dari Radioterapi Secara
Umum:
1. Pra Radioterapi
Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih
dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal
infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu
4
Terapi Radiasi
Efek Samping Di Rongga Mulut
GigiBurning Mouth Sensation
TulangMukosa Kelenjar Saliva
Penatalaksanaan
restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital
serta yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan.
Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan
topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/
penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari.
Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet
yang tidak kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur-
kumur dengan khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan
untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting, 2009).
2. Selama Radioterapi
Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan
kepala, dokter gigi melakukan perawatan–perawatan terhadap efek
samping di rongga mulut:
a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat
diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti.
b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat
radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang
mengandung mineral besi.
c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi
analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba
polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B.
d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan
restorative gigi.
e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara
simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot
dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular joint, sehingga
otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya.
f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan
pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan
jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009).
5
3. Pasca Radioterapi
Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat,
melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan
sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika
dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan
antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk
tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien (Ginting, 2009).
a. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS)
Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk menerangkan
adanya keluhan rasa terbakar pada lidah, palatum, atau bibir. Dimasa
lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan diestesia oral digunakan
untuk menerangkan kondisi ini (Lewis, 1998).
Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya
suatu abnormalitas. Kadang-kadang pasien menunjukkan daerah yang
dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla lingual yang
menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998).
Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri:
Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi
hari tetapi akan terasa bila hari telah siang.
Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun
dan menetap sampai penderita tidur lagi.
Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat
yang tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan
(Lewis, 1998).
Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi
multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. pengobatan awal
meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu kita
perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998).
6
Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini
dengan defisiensi nutrisi dan diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi
dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-kumur (Lewis, 1998).
Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah
diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup member penjelasan
kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada gangguan serius
terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg
sekali seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan
(Lewis, 1998).
Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita
BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena
beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas anxiolytic, antidepresan dan
relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita
ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas
parafungsional. Pada umumnya prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik
dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis
merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya
baik, asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara
keseluruhan, pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis,
1998).
b. Penatalaksanaan Mukositis Oral
Mukositis:
Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di
mukosa oral yang terjadi pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan
kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang berdekatan dengan rongga
mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu
asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya
infeksi lokal dan sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan
komplikasi perawatan kanker yang sangat berpengaruh padaa terapi
7
kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan dengan
dosis terapi (Vera, 2007).
Gambar 1. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B) lateral
lidah yang terjadi pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa di lidah
yang menerima radiasi dan kemoterapi.
Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari
pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat
radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung sitotoksik
terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan
mengenai struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva
membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab,
pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva
akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring,
sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003).
Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada
pasien dengan tumor primer di rongga mulut, orofaring atau nasofaring,
pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan, pasien yang
menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi
radiasi fraksinasi (Lalla, 2008).
Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan
timbulnya mukositis oral pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau
radiasi untuk kanker di regio kepala dan leher. Faktor-faktor tersebut
adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik
yang terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis
8
jaringan epitel, kebersihan rongga mulut yang terkait dengan mikroba
oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005).
Penatalaksanaan Mukositis Oral:
Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk
menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Beberapa upaya
penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang dikembangkan.
Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis
mukositis oral yang disebutkan dalam “Panduan Mukositis Oral”
mencakup: asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol
mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi
perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi (Lalla,
2005).
Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat dilakukan
untuk mukositis akibat kemoterapi atau radiologi adalah:
1. Oral care protocol
Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan
yang bertujuan menjaga kesehatan mulut. Oral care protocol dapat
membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi,
karena dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan,
serta mencegah infeksi.
2. Agen kumur
Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis.
Secara umum, agen kumur digunakan untuk membilas debris dan
membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus
memiliki karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak
membuat mulut kering. Zat yang dapat berperan sebagai pembersih
mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat, campuran
normal saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan beberapa
jenis herbal tertentu.
9
3. Pelindung mukosa
Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses
penyembuhan dan regenerasi sel.
4. Agen antiseptik
Yang termasuk dalam agen anti septik antara lain chlorhexidine,
hidrogen peroksida, dan povidone iodine.
5. Agen anti inflamasi
Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi yang
terjadi akibat mukositis. Beberapa agen anti inflamasi diantaranya
kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral.
6. Agen topikal
Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan
proteksi mukosa secara topikal, diantaranya adalah lidocaine,
capsaicine, dan morfin topikal.
c. Penatalaksanaan Xerostomia
Xerostomia merupakan istilah untuk keadan mulut yang kering,
sama seperti xeroptalmia yang digunakan untuk mata yang kering dan
xerodemia untuk kulit yang kering (Gayford,1990).
Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva
primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi
obat. Penyakit kelenjar saliva primer meliputi sindrom Sjorgen, kerusakan
pasca radiasi, atau anomali pertumbuhan. Penyebab sistemik sekunder dari
xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehidrasi, atau terapi obat (Lewis,
1998).
Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan
kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar
saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena
radioterapi (Amerongan, 1991).
10
Dosis Gejala
<10 Gray Reduksi tidak tetap sekresi saliva
10-15 Gray Hiposalia yang jelas dapat ditunjukkan
15-40 Gray Reduksi masih terus berlangsung, reversibel
>40 Gray Kerusakan irreversibel kelenjar
Tabel 1. Hubungan antara dosis dan penyinaran dan sekresi saliva
Menurut Gayford (1990) penatalaksanaan xerostomia untuk kasus
yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum. Selain itu larutan
kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan untuk pasien
tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat
membantu pada keadaan yang parah, larutan ini tidak berbahaya bila
tertelan pasien karena dapat membantu mendorong makanan ke esofagus.
Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan
tergantung keparahan dari xerostomia. Bila xerostomia disebabkan oleh
pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan adalah mengganti
obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi xerostomia berat
dapat digunakan obat perangsang saliva maupun zat pengganti saliva.
Sekresi saliva dapat dirangsang dengan pemberian obat-obatan yang
mempunyai pengaruh merangsang melaui sistem syaraf parasimpatism
seperti pilokarpin, karbamilkolin, dan betanekol. Selain itu, salivix yang
berbentuk tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium
fosfat, lycasin dan sorbitol juga dapat merangsang produksi saliva. Permen
karet yang mengandung xylitol juga dapat menginduksi sekresi saliva
(Amerongan, 1991).
Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi
keluhan mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Pengganti
saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube), spray (Saliva
Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki persyaratan antara
lain bersifat reologis, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan
menghambat demineralisasi, mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat
pembasahan yang baik (Amerongan, 1991).
11
Menurut Greenberg (2003), terapi yang dapat dilakukan untuk
perawatan pasien yang mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi 4
kategori, antara lain:
1. Terapi preventive
Terapi preventive ini bukan bertujuan untuk mencegah
terjadinya xerostomia, melainkan mencegah terjadinya infeksi lain
akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada pasien
xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi. Frekuensi
aplikasi fluor bisa dimodifikasi, tergantung keparahan disfungsi
kelenjar saliva dan perkembangan karies. Selain itu, terapi
antijamur juga dapat diberikan karena pada pasien xerostomia
resiko infeksi rongga mulut termasuk candidiasis lebih tinggi.
(Greenberg, 2003).
2. Terapi simtomatik
Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting.
Berkumur dengan air dapat membantu melembabkan rongga
mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang
mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat
mengiritasi mukosa kering yang sensitif (Greenberg, 2003).
3. Stimulasi secara lokal
Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan
terapi xerostomia. Mengunyah akan menstimulasi aliran saliva
secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia tidak
dianjurkan untuk mengkonsumsi produk yang mengandung gula
dan pemanis karena dapat meningkatkan resiko karies (Greenberg,
2003).
4. Stimulasi secara sistemik
Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi
saliva. Contohnya antara lain: bromhexidine anetholetrithione
pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl (Greenberg,
2003).
12
d. Penatalaksanaan Karies Radiasi
Perubahan pada saliva akibat radioterapi menyebabkan resiko
karies gigi pada passien yang mengalamai radioterapi meningkat. Hal ini
disebabkan karena penurunan pH saliva, dimana pH saliva yang asam
merupakan tempat yang cocok dalam perkembangan bakteri kariogenik,
seperti Streptococcus Mutans dan Lactobacillus yang dapat menyebabkan
terjadinya demineralisasi gigi secara berlahan (O’Brien, 1982).
Selain itu pada pasien radioterapi pulpa gigi yang terkena radiasi
mengalami hyperemia pulpa sehingga gigi menjadi sangat sensitive
terhadap rangsang panas dan dingin ( O’Brien, 1982).
Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine
seperti dengan menghilangkan seluruh plak dan melkukan penyikatan gigi
dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1% secara topikal dapat
mengurangi resiko terjadinya karies radiasi, penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan gel floride 2 kali sehari efektif dalam mencegah karies
radiasi. Selain itu, penggunaan obat kumur berfloride atau kombinasi
dengan khlorhexidine juga efektif jika dilakukan setiap hari (Kielbassa,
2006).
13
Tabel 2. Perawatan gigi sebelum selama dan sesudah radioterapi pada
pasien kanker kepala dan leher (Kielbassa, 2006).
e. Penatalaksanaan Osteoradionekrosis dan Trismus
Osteoradionekrosis:
Mekanisme kerusakan sel-sel tulang sampai saat ini masih dalam
perdebatan, apakah kerusakan sel-sel tulang karena efek langsung
14
radioterapi kanker daerah kepala dan leher terhadap sel-sel tulang atau
karena efek sekunder radioterapi yang menyebabkan kerusakan pembuluh
darah. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan sel-sel
tulang.
Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan
osteoklas sehingga terjadi peningkatan aktifitas lisis sel tulang.
Radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan dinding
arteri yang mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh
darah yang kecil. Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan
hiposeluler. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan tulang rentan
mengalami infeksi dan nekrosis (Vissink et al, 2003).
Penatalaksanaan Perawatan Osteoradionekrosis:
Pencegahan timbulnya osteoradionekrosis merupakan tindakan
yang sangat penting. Pengendalian yang tepat dan bimbingan perawatan
bagi periodontium benar-benar sangat diperlukan. Jika pencabutan gigi di
bagian rahang yang disinar tak dapat dihindarkan, tindakan ini harus
dilakukan oleh ahli bedah mulut (Maxymiw et al, 1989).
Selama pelaksanaan radioterapi kanker daerah kepala dan leher,
dokter gigi melakukan perawatan-perawatan terhadap efek samping di
rongga mulut yang diantaranya adalah perawatan yang dilakukan untuk
osteoradionekrosis. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan
sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar
tulang dengan didukung terapi antibiotik (Vissink et al, 2003).
Trismus:
Trismus menurut Mosby Dental Dictionary (2004) adalah kejang
pada otot mastikasi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka
mulut. Trismus dapat terjadi karena invasi dari kanker tersebut ke otot
mastikasi, saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok
mandibular), TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk
15
terapi kanker di kepala dan leher sering menyebabkan trismus pada pasien
(Stubblefield, 2011).
Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran,
dimungkinkan terjadinya fibrosis dari otot yang dapat menyebabkan
terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan terjadinya
gejala-gejala seperti trismus dan nyeri (Dhanrajani, 2002). Kesulitan
membuka rahang bawah meningkat kemungkinannnya menyebabkan
trismus saat pasien menerima radiasi dengan dosis melebihi 10 Gy tiap
fraksi pada daerah otot pterigoid (Stubblefield, 2011).
Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksanaan trismus tergantung
dari gejala yang timbul dan dirasakan oleh pasien. Biasanya trismus
menyebabkan rasa tidak nyaman dan disfungsi dari rahang. Tingkatannya
bervariasi dari ringan sampai parah, namun yang sering adalah ringan.
Jika pasien mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka
terapi yang dilakukan adalah:
1. Terapi dengan panas
Terapi ini dilakukan dengan cara meletakkan handuk basah yang
panas pada daerah yang terkena selama 15-20 menit setiap jam.
2. Pemberian analgesic
Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul
saat trismus sekaligus memberikan efek antiinflamasi. Selain itu,
dapat digunakan juga analgesic golongan narkotik untuk
meredakan nyeri jika tidak mengalami perbaikan.
3. Pemberian muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant yang dianjurkan adalah diazepam 2.5-5
mg tiga kali sehari.
Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, dimana pasien
dianjurkan untuk berlatih membuka dan menutup mulut secara periodic
untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien dianjurkan untuk latihan
membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula kea rah
lateral selama 5 menit setiap 3 - 4 jam sehari (Dhanrajani, 2002).
16
Anastesi dapat membantu mengatasi masalah trismus namun
hanya untuk waktu yang singkat. Jika diperlukan suatu tindakan
perawatan gigi saat terjadi trismus dapat dilakukan cara ini untuk
membantu dalam melakukan perawatan. Penggunaan alat untuk merawat
trismusyang dianjurkan adalah stacked tongue depressor, corkscrew
device, dan alat lain yang di gunakan secara komersial misalnya TheraBite
Jaw Motion Rehabilitation System (TB) dan juga Dynasplint Trismus
System (DTS) ( Stubblefield, 2011).
a. Tongue depressor
b. Corkscrew device
c. TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System
d. Dynasplint Trismus System
17
DAFTAR PUTAKA
Amerongan A.V.N. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti bagi Kesehatan Gigi.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2002. Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis
and Treatment. Dent Update 2002; 29: 88–94.
Eilers, J. 2004. Nursing intervention and supportive car for the prevention and
treatmen of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology
Nursing Forum. 31(4). P 13-28.
Gayford, J.J dan Lewis, Michael. 1990. Tinjauan Klinis Ilmu Penyakit Mulut.
Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Jakarta: EGC.
Ginting Rehulina, Ivanameilyn. 2009. Efek Samping Radioterapi Kanker Daerah
Kepala dan Leher Pada Rongga Mulut. Dentica Dental Journal. Vol. 14.
Jakarta. Hal 82-86.
Greenberg, M.S et al. 2003. Burket’s Oral Medicine. 10th edition. Hamilton
Ontario: Bc Decker Inc.
Kielbassa Andrej M, dkk. 2006. Radiation-related damage to dentitition.
Germany.
Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2005. Oral Mucositis. Dent Clin Nort Am.
49(1):167-84.
Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2008. Management Of Oral Mucositis In
Patients With Cancer. Dent Clin Nort Am.52(1):61-viii.
Leung WK, Dassanayake, Yauu JYY, Jin LJ, Yam WC, Samaranayake LP. 2003.
Oral Colonization, Phenotypic, And Genotypic Profiles Of Candida
Species In Irradiated, Dentate, Xerostomic Nasopharyngeal Carsinoma
Survivors. J Clin Microbial. 38(6): 2219-26.
Lewis, MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika.
Maxymiw WG, Wood RE. 1989. The Role Of Dentistry In Head And Neck
Irradiation. Scientific Journal. 55: 193-8.
O’Brien, Richard C. 1982. Dental Radiography : An Introduction for Dental
Hygienist and Assistants. Philadhelpia: W. Saunders Company.
18
Stubblefield, Michael D. 2011. Radiation Fibrosis Syndrome: Neuromuscular and
Musculoskeletal Complications in Cancer Survivors. American Academy
of Physical Medicine and Rehabilitation. Vol. 3. P. 1041-1054.
Veraa-Llonch M, Oster G, Ford CM, Lu J, Sonis. 2007. Oral Mucositis And
Outcomes Of Allogeneic Hematopoietic Stem-Cell Transplatation In
Patients With Hematologic Malignancies. Support Care Cancer.15(5):
491-6.
Vissink A, Burlage FR, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP.
2003. Prevention And Treatment Of The Consequences Of Head And
Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med. 14(3): P. 187-94.
Vissink A, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP. 2003. Oral
Sequelae Of Head And Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med.
14(3). P. 199-212.
19