47
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya. Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Wahyu S. Affarah sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini. Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari. Mataram, 20 April 2014 FK UNRAM 2014 |Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 1

Laptut sken 1 kel.4

  • Upload
    rdindaa

  • View
    47

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tutorial

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-

Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil

diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Wahyu S. Affarah sebagai

tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga

mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu

kami dalam proses tutorial ini.

Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan

yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan

kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian

hari.

Mataram, 20 April 2014

Penyusun

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1

Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2

BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………….... 3

1.1. Skenario………………………………………………………………. 3

Learning Objective (LO)……………..………………………….……..... 3

1.2. Mind Map…………………………………………………………… 4

BAB II : PEMBAHASAN ………….……………………………………...... 5

BAB III : PENUTUP ………………………………………………………… 33

Kesimpulan………………………………………………………………. 33

Daftar Pustaka……………………………………………………………….. 34

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 2

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 1

Seorang anak laki – laki , usia 5 tahun mengalami diare intermiten, kelemahan, penurunan

berat badan dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat,

konjungtiva anemis dan ada pembesaran hati (hepatomegali). Pada pemeriksaan penunjang

didapatkan :

- Hemoglobin : 6,5 gr/dL

- Zat besi serum : 4 µmol/L

- TIBC : 86 µmol/L

- Ferritin : 6 µg/L

- Gambaran darah tepi : hipokrom mikrositik

1.1. LEARNING OBJECTIVES

1. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi

2. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi

3. Prognosis dan Komplikasi Anemia Defisiensi Besi

4. Analisis Skenario

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 3

Laki, 5 tahun KU : Pucat dan lemah

Anemia Defisiensi Besi

Px fisik : kulit dan konjungtiva palpebra pucat pucat pucat

Px Hemotologi : Hb. 6,5 gr/%, TIBC 86, Fe serum 4 µmol/L MCH 24 p, MCHC 27%

Anemia Hipokrom Mikrositer

Anemia PenyakitKronik

Penegakan Diagnosis

Thalasemia Anemia Sideroblastik

EpidemiologiEtiologiPatofisiologiManifestasi klinisPenegakan DiagnosisTatalaksanaPrognosisKomplikasi

MIND MAP

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANEMIA

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell

mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang

cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara laboratorik

dijabarkan sebagai penurunandibawah normal kadar hemoglobin, hituungeritrosit dan

hemtokrit ( packed red cell ).

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas

hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan

demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik

yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan

konfirmasi laboratorium (Sylvia A.Price, 2005).

Kriteria

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit

adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga

parameter tersebut saling bersesuaian.

Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur,

jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar

hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan

dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit

38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13

g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian

lapangan yaitu

Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al 2001)

Kelompok Kriteria anemia (Hb)

Laki – laki dewasa < 13 gr/ dl

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 5

Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl

Wanita hamil < 11 gr/dl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara

berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria

WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik

atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.

Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai

kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India

dipakai angka 10-11 g/dl.

Cara untuk menentukan anemia diuraikan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik yang

teliti dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan biasanya dengan mengukur Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht). Hasil

pemeriksaan tersebut hati-hati dikelirukan pada pasien dehidrasi dan masa kehamilan.

Anemia dapat diklasifikasi menurut morfologi sel darah merah dan indeks-indeksnya. Pada

klasifikasi ini mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah, sedangkan kromik

menunjukkan warnanya.

Etiologi

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang;

2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan):

3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih

rinci tetntang etiologi anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :

Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 6

b. Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

b. Anemia mieloptisik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoietik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD

c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)

Thalassemia

Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll

2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular

a. Anemia Hemolitik autoimun

b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik

c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan

melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi

tiga golongan :

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:

2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:

3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

1. Anemia normokromik normositik

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 7

Eritrosit memiliki ukuran dan bentuk yang normal serta mengandung jumlah

hemoglobin normal. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,

hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan

ginjal, kegagalan sumsum tulang dan penyakit-penyakit infiltrative pada sumsum

tulang.

2. Anemia normokromik makrositik

Eritrosit lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin

normal. Penyebab anemia jenis ini adalah terganggunya atau terhentinya sintesis asam

deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau asamfolat

atau keduanya.

3. Anemia hipokromik mikrositik

Eritosit lebih kecil dari normal dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang.

Hemoglobin dalam jumlah kurang dari normal. Penyebab anemia ini adalah

insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi,keadaan sideroblastik dan

kehilangan darah kronis.

- Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia Defisiensi Besi

b. Thalasemia Mayor

c. Anemia akibat Penyakit Kronik

d. Anemia Sideroblastik

-Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologik

-Anemia makrositer

a) Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi asam folat

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 8

b) Bentuk non-megaloblastik

1. Anemia pada penyakit hati kronik

2. Anemia pada hipotiroidisme

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

Patogenesis Anemia

Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok yaitu

1. Anemia karena kehilangan darah

Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu banyaknya

sel-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat dari kecelakaan dimana

perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya, yang disebut perdarahan ekternal.

Perdarahan dapat pula disebabkan karena racun, obat-obatan atau racun binatang yang

menyebabkan penekanan terhadap pembuatan sel-sel darah merah. Selain itu ada pula

perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tetapi terus menerus. Perdarahan

ini disebabkan oleh kanker pada saluran pencernaan, peptic ulser, wasir yang dapat

menyebabkan anemia.

2. Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah

Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena bibit

penyakit atau parasit yang masuk ke dalam tubuh, seperti malaria atau cacing

tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik. Bila sel-sel darah merah rusak

dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak hilang tetapi dapat digunakan kembali

membentuk sel-sel darah merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis

ini kurang bermanfaat. Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat digunakan lagi

oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk pengobatan anemia

hemolitik ini.

3. Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah

Sumsum tulang mengganti sel-sel darah merah tua dengan sel darah merah

yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang hilang, sehingga

jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu cukup banyak di dalam darah, dan

untuk mempertahankannya diperlukan cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia

zat gizi dalam jumlah yang cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah

merah baru.

Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merrah, dapat timbul

karena kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat, asam pantotenat,

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 9

vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang kekurangannya biasa disebut “anemia

gizi.” Selain itu juga kekurangan eritrosit, infiltrasi sumsum tulang, kelainan

endokrin, dan penyakit ginjal kronis, dan sirosis hati. Menurut Husaini (1998) anemia

gizi yang disebabkan kekurangan zat besi sangat umum dijumpai di Indonesia.

Gejala Anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang

timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di

bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme

kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin

telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada

a. Derajat penurunan hemoglobin,

b. Kecepatan penurunan hemoglobin

c. Usia

d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :

1) Gejala umum anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia

organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar

hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan

hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa

lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki

terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang

mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah

kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit

di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7

gr/dl).

2) Gejala Khas masing-masing anemia

Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :

Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku

sendok (koilonychia).

Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.

Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 10

Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat

bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi

cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak

tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti

misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus

anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis

anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.

Pemeriksan untuk diagnosis anemia

Pemeriksaan ini terdiri dari :

1) Pemeriksaan penyaring (screening test):

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,

indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia

serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan

diagnosis lebih lanjut.

2) Pemeriksaan darah seri anemia;

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit

dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer

yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

3) Pemeriksaan sumsum tulang;

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai

keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif

pada bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk

diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik

yang dapat mensupresi sistem eritroid.

4) Pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :

Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi

transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi

pada sumsum tulang ( Perl’s stain).

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 11

Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan

tes Schiling.

Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –

lain.

Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal

hati, faal ginjal atau faal tiroid.

2.2 HEMATOLOGI NORMAL

PRIA

Darah Lengkap

Eritrosit : 4.5 – 5.9 (juta/ul)

Haemoglobin (Hb) : 13.5 – 17.5 (g/dl)

Hematokrit (Ht) : 40 – 54 (%)

Trombosit : 150.000 – 400.000 (/ul)

Leukosit : 5.000 – 10.000 (/ul)

Laju Endap Darah (LED) : 0 – 10 (mm/jam)

Diff count / Hitung Jenis Leukosit

Basofil : 0 – 1 (%)

Eosinofil : 1 – 3 (%)

Batang : 2 – 6 (%)

Segmen : 50 – 70 (%)

Limfosit : 20 – 40 (%)

Monosit : 2 – 8 (%)

Neutrofil/Eosinofil/Basofil/Monosit/Limfosit

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 12

Akut ↔ Viral/Kronis

Kimia Darah

Glukosa N : 80 – 100 (mg/dl)

Glukosa PP : 100 - 125 (mg/dl)

Glukosa S :< 200 (mg/dl)

Kolesterol total :< 200 (mg/dl)

Trigliserida :< 150 (mg/dl)

HDL – Kolesterol :> 55 (mg/dl)

LDL – kolesterol :< 150 (mg/dl)

Ureum : 15 – 40 (mg/dl)

Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl)

Asam urat : 3.4 – 7.0 (mg/dl)

Bilirubin total : 0.2 – 1 (mg %)

Bilirubin direk : 0 – 0.2 (mg %)

Bilirubin indirek : 0.2 – 0.8 (mg %)

SGOT : 5 – 40 (u/l)

SGPT : 5 – 41 (u/l)

Alkali Fosfatase : 40 – 130 (u/l)

Gamma GT : 11 – 49 (u/l)

Protein total : 6.1 – 8.2 (gr %)

Albumin : 3.8 – 5.0 (gr %)

Globulin : 2.3 – 3.2 (gr %)

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 13

WANITA

Darah Lengkap

Eritrosit : 4 – 5 (juta/ul)

Haemoglobin (Hb) : 12 – 15 (g/dl)

Hematokrit (Ht) : 36 – 47 (%)

Trombosit : 150.000 – 400.000(/ul)

Leukosit : 5.000 – 10.000(/ul)

Laju Endap Darah (LED) :< 15 (mm/jam)

Diff count / Hitung Jenis Leukosit

Basofil : 0 – 1 (%)

Eosinofil : 1 – 3 (%)

Batang : 2 – 6 (%)

Segmen : 50 – 70 (%)

Limfosit : 20 – 40 (%)

Monosit : 2 – 8 (%)

Neutrofil/Eosinofil/Basofil/Monosit/Limfosit

Akut ↔ Viral/Kronis

Kimia Darah

Glukosa N : 80 – 100 (mg/dl)

Glukosa PP : 100 - 125 (mg/dl)

Glukosa S :< 200 (mg/dl)

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 14

Kolesterol total :< 200 (mg/dl)

Trigliserida :< 150 (mg/dl)

HDL – Kolesterol :> 55 (mg/dl)

LDL – kolesterol :< 150 (mg/dl)

Ureum : 15 – 40 (mg/dl)

Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl)

Asam urat : 2.4 – 5.7 (mg/dl)

Bilirubin total : 0.2 – 1 (mg %)

Bilirubin direk : 0 – 0.2 (mg %)

Bilirubin indirek : 0.2 – 0.8 (mg %)

SGOT : 5 – 40 (u/l)

SGPT : 5 – 41 (u/l)

Alkali Fosfatase : 35 – 104 (u/l)

Gamma GT : 7– 32 (u/l)

Protein total : 6.1 – 8.2 (gr %)

Albumin : 3.8 – 5.0 (gr %)

Globulin : 2.3 – 3.2 (gr %)

Serum Iron (SI):

o Men: 65 to 176 μg/dL

o Women: 50 to 170 μg/dL

o Newborns: 100 to 250 μg/dL

o Children: 50 to 120 μg/dL

TIBC: 240–450 μg/dL

Transferrin saturation: 15–50% (males), 12–45% (females)

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 15

2.3. ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITIK

2.3.1 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan

besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan

hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada

anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh kareena

pelepasan besi dari system retikuloendhotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih

normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk eritropesis berkurang Karen

agangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi kedalam heme terganggu. Oleh

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 16

karena itu ketiga jenis aneia inidigolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolism

besi.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama

dinegara tropic atau Negara dunia ketiga, oleh karena sangat erat kaitanya dengantaraf social

ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang meberikan dampak

kesehatan yang sangat merugikan serta dampak social yang cukup serius.

Dalam keadaan normal tubuh rata-rata orang dewasa mengandung 4-5g besi.,

bergantung pada jenis kelamin dan ukuran tubuhnya. Lebih dari dua pertiga besi berada di

dalam hemoglobin. Besi dilepas dengan semakit tua serta matinya sel dan diangkut melalui

transferrin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian myoglobin

dan enzim-enzim heme dalam jumlah yang sangat sedikit , sisa zat besi disimpan didalam

hati , limpa, dan dalam susmsu tulang sebagai ferritin dan hemogsiderin untuk kebutuhan

lebih lanjut.

Walaupun dalam diet rata-rata mengandung 10-20mg besi, hanya sekitar 5-10% yang

sebenarnya diabsorpsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak besi yang

diabsorpsi dari diet. Besi yang diingesti diubah enjadi besi ferro didalam lambung dari

duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut transferrin plasma ke sumsum

tulang untuk sintesis hemoglobin atau ketempat penyimpanan di jaringan.

Tiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit

sekali, dari 0,5-1mg/hari. Namun, yang mengalami mensturasi kehilangan sebanyak 15-28

mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena mensturasi berhenti selama kehamilan ,

kebutuhan harian besi meningkat untuk mencukupi permintaan karena meningkatnya volume

darah ibu dan pembentukan plasenta, tali pusat dan janin, serta mengimbangi darah yang

keluar selama kehamilan.

Manifestasi klinis pada Anemia Defisiensi Fe

Selain tanda-tanda dan gelaja yang terjadi pada anemia, individu dengan defisiensi

besi yang berat ( besi plasma kurang dari 40mg/dl; hemoglobin 6-7g/dl) memiliki tanda:

- rambut yang rapuh dan halus

- kuku tipis, rata, mudah patah dan membentuk sendok (koilonikia).

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 17

- atrofi papilla lidah yang mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat,

berwarna merah daging, dan meradang serta sakit.

- stomatitis angularis, pecah-pecah disertai kemerahan dan nyeri disudut mulut.

Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium pada kasus defisiensi besi yang dapat djumpai adalah :

Kadar Hemoglobin dan Indeks eritrosit

Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin

mulai dari ringan sampai berat. MCH dan MCV menurun, MCV<70 fl hanya didapatkan

pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang

lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.

Peningkatan asinosistosis ditandai dengan peningkatan RDW (red cell distribution width).

Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia

akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering

tumpang tindih.

Mengenai titik pemilihan MCV, ada yang memakai angka <80fl, tetapi pada penilaian

kasus ADB di bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah

<78 fl memberi sensitifitas dan spesifitas palign baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan

MCV, MCH,MCHC dan RDW makin mengkatkan spesifitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit

sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin enurun.

Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan

poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromian. Derajat

hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan

thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai

sebuah cincin sehingga disebut sel cinci atau memanjang seperti elips, diseut sebagai sel

pensis. Kadang dijumpai sel target

Leuksit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai

pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinophilia.

Trombositosis dapat dijumpai pada ADB ringan.

Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding

capacity) Meningkat.

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 18

TIBC menunjukan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi

transferrin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis

ADB , kadar besi menurun <50 ug/dl, total iron binding capacity (TIBC) eningkat > 350

ug/dl, dan saturasi transferrin <15%. Ada juga yang memakai saturasi transferrin <16% atau

<18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,

dengan kadar puncak pada jam 8 – 10 pagi.

Feritinin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi Yang sangat Baik.

Kecuali pada keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu.

Titik pemilah untuk feritinin serum pada ADB dipakai angka <12 ug/l, tetapi ada juga yang

memakai <15 ug/l. untuk daerah tropic dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik

pemilah yang diajukan negeri barat tampaknya perlu dikreksi. Pada suatu penelitian pada

pasien anemia di rumah sakit di Bsli pemakaian ferritin serum <12ug/l dan <20ug/l

memberikan sensivitasn dan spesifitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%.

Sensivitas teringi (84%) justru dicapai pada pemakaian ferritin <40mg/l, tanpa mengurangi

spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untu daerah tropic menganjurkan memakai angka

ferritin <20mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang

jelas, maka ferritin serum sampai 50-60ug/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi zat

besi. Ferritin serum mrupakan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling kuat karena itu

banyak dipakai baik diklinik maupun di lapangan kareana cukup reliable dan praktis,

meskipun tidak terlalu sensitive. Angka serum normal ferritin tidak selalu dapat

menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi ferritin serum diatas 100mg/dl dapat emastikan

tidak adanya defissiensi besi.

Protoporifin Merupakan Bahan antaran pada Pembentukan Heme

Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, aka protoprofin akan

menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah <30mg/dl. Untuk defisiensi besi protoprofin

bebas adalaha > 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit

kronik dan keracunan timah hitam.

Kadar Reseptor Transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi.

Kadar nomal dengan cara imunologi adalah 4-9ug/L. pengukuran reseptor transferrin trutama

dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 19

bila dipakai rasio reseptor transferindengan log ferritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB

dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.

Sumsum Tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik ringan sampai sendag

dengan normoblas kecil-kecil.

Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur Normoblast ini disebut micronormoblast.

Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi yang negate

(butir hemosiderin negative). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung

granula ferritin dalam sitoplasmanya, disebut sideroblast. Pada defisiensi besi maka

sideroblast negative. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku

emas diagnosis defisiensi besi, namun ahir-ahir ini perannya banyak diambil alih oleh

pemeriksaan ferritin serum yang lebih praktis.

Mencari kausa anemia defisiensi besi

Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

semikuantitatif, seperti pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, dan lain-lain,

tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.

Kompilkasi

Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa

gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat,

penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini memerlukan

cara penanganan dan pencegahan yang tepat.

Prognosis

Prognosis baik jika penyebab anemia hanya defisiensi besi saja dan diketahui penyababnya

serta dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan

membaik dengan pemberian preparat besi

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan

sebagai berikut

Diagnosis salah

Dosis obat tidak adekuat

Preparat Fe yang tidak adekuat dan kadaluarsa

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 20

Perdarahan yang tidak teratasi

Gangguan absorpsi saluran cerna

Pemberantasan penyebabnya.

Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebabnya dan

mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-

85 % penyebab ADB dapat diketahui Sehingga penanganan dapat dilakukan dengan

tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.

Penatalaksanaan Anemia Zat Besi (Fe)

Terapi Kausal: mengetahui factor penyebabnya dan mengatasinya, misalnya pengobatan

cacing tambang, pengobatan hemoroid.

Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.

Pemberian Preparat Besi Oral

Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral seperti garam besi

(misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa

ferosus). ²Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk

meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi anemia

defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan zat besi.

CDC merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali perhari

bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi

dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 21

Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan. Sayangnya,

ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa penuh dan rasa sakit

yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi ini. Tetapi resiko efek

samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap, menggunakan

zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang mengandung elemen besi yang

rendah, salah satunya glukonat ferosus. Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih

berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet tersebut

mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin yang mengandung zat besi

biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan mengandung jumblah zat besi

yang suboptimal.

Pemberian Preparat Besi Parenteral

- Diberikan secara IM

- Preparat yg tersedia: iron dextran complex

- efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, nyeri perut,

sinkop

- Indikasi: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, perlu peningkatan Hb

secara cepat

- Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Pengobatan Lain

a. Diet: Diberikan makanan bergizi dgn tinggi protein terutama yang berasal dari protein

hewani

b. Vitamin C: Vitamin C diberikan 3x100 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi

a. Transfusi Darah à anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfusi darah

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 22

Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia

yang sangat berat atau yang disertai dengan infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi.

Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan

karena dapat menyebabkan hiverpolemia dan dilatasi jantung. Peberian PRC dilakukan secara

perlahan-lahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aan

sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum , untuk penderita anemia berat dengan

kadar Hb<4g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3l/kgBB persatu kali pemberian disertai

pemberian deuretik seperti furesamide. Jika terdapat gagal janutng yang nyata dapat

dipertibangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.

2.3.2 THALASEMIA

Thalasemia merupakan kelainan pada hemoglobin yang diakibatkan berkurangnya

sintesis rantai globin α atau β.

Thalasemia α

Sindrom ini diakibatkan oleh adanya delesi gen berat penyakit secara klinis ditentukan

oleh banyaknya rantai α yang tidak terbentuk. Rantai α ini sangat esensial, sehingga pada

tidak terbentuknya keempat rantai α dapat menyebabkan terjadinya kematian intra uterin

(hidrops fetalis). Delesi tiga gen α menyebabkan anemia mikrositik hipokromik yang cukup

berat (Hb 7-11gr/dl) yang disertai dengan splenomegali. Pada delesi tiga α ini dapat

terdeteksi adanya HbH (tetramer β) pada eritrosit, pada kehidupan fetal dapat ditemukan Hb

Barts (tetramer γ)

Thalasemia traits timbul akibat kehilangan satu atau dua gen α, biasanya tidak disertai

dengan anemia, meski MCV dan MCH menurun dan jumlah eritrosit melebihi normal

(5,5x1012/l).

Pemeriksaan yang sangat menunjang dari diagnosis dari thalasemia berupa

elektroforesis, yang kemudian diperbandingkan antara rasio sintesis α dan β, dimana

normalnya adalah 1:1, menurun pada thalasemia α, meningkat pada thalasemia β.

Thalasemia β

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 23

Terjadi pada 1 diantara 4 anak pada yang kedua orang tuanya pembawa sifat. Pada

thalasemia ini, tidak terjadi atau sedikit pembentukan rantai β. Rantai α menjadi berlebih dan

menyebabkan eritropoeisis inefektif dan hemolisis berat khas. Semakin banyak rantai α,

semakin berat anemia yang terjadi.

Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi titik, yang diakibatkan diturunkan dua mutasi

berbeda yang mengenai sintesis globin- β. Dapat juga terjadi delesi gen β, γ, dan δ, atau pun

kombinasi.

Gambaran klinis dari thalasemia β-mayor berupa anemia berat pada 3-6 bulan,

hepatosplenomegali, pelebaran sumsum tulang, absorpsi besi meningkat yang dapat

menyebabkan eksesif besi yang dapat merusak organ, infeksi berulang, dan osteoporosis.

Pemeriksaan ditegakkan berupa gambaran darah tepi yang menunjukkan anemia

mikrositik hipokromik yang disertai presentase retikulosit yang tinggi, dengan adanya

normoblas, sel target, dan titik basofilik. Elektroforesis Hb memperlihatkan sedikit atau tidak

adanya HbA, yang ada hanya HbF, sedangkan presentase Hb A2 normal, rendah, atau sedikit

tinggi. Juga terjadi peningkatan rasio α/β.

Terapi pada thalasemia β berupa transfusi darah, asam folat, khelasi besi, vitamin C,

terapi endokrin, imunisasi, splenektomi dan transplantasi sumsum tulang.

Thalasemia β-minor

Jenis ini merupakan kelainan yang umum, asimptomatik, yang ditandai dengan

gambaran darah mikrositik hipokromik, jumlah eritrosit tinggi, anemia ringan. Gejala klinis

umumnya lebih berat dibandingkan dengan thalasemia trait α; kadar HbA2 yang tinggi

digunakan sebagai penegakan diagnosis utama.

Thalasemia Intermedia

Thalasemia ini mengalami keparahan sedang (Hb 7-10gr/dl) tanpa memerlukan transfusi

teratur. Merupakan sindrom klinis yang disebabkan berbagai cacat genetik. Dapat disebabkan

baik oleh defek pada rantai β maupun α. Secara klinis, penderita memperlihatkan adanya

deformitas tulang, hepatosplenomegali, eritropoeisis ekstramedular, kelebihan besi (bisa tidak

pada Hb H).

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 24

.

Etiologi

Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang membuat

hemoglobin. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM

yang lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu keadaan anemia

ringan sampai berat. Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan

berbagai variasi dari talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan

dari orang tua kepada anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai

berat menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi

gen talasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah

seorang pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan

selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat menurunkan gen talasemia.

Patofisiologi

Talasemia β terjadi karena mutasi pada gen HBB pada kromosom 11. Tidak

dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel β globin pada talasemia β

menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut tidak dapat membentuk tetramer

sehingga kadar HbA menjadi turun, sedangkan produksi HbA2 dan HbF tidak

terganggu karena tidak membutuhkan rantai β dan justru sebaliknya memproduksi

lebih banyak lagi sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai α tersebut akhirnya

mengendap pada prekursor eritrosit. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki

inclusion bodies/heinz bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi

membran sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 25

besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada talasemia β disebabkan oleh berkurangnya

produksi dan pemendekan umur eritrosit.

Manifestasi Klinis

Pada pasien talasemia beta homozigot maupun heterozigot menunjukkan gamabaran

klinis yang hampir sama yaitu, gangguan pertumbuhan, kesulitan makan, infeksi

berulang dan kelemahan umum. Pada pasien yang tidak mendapat cukupp transfusi

terdapat gambaran khas lain seperti pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

lambat, pembesaran lienyang progresif, perluasan sumsum tulang yang

mengakibatkan deformitas tulang kepala yang memberikan gambaran khas fasies

mongoloid serta infeksi berulang.

Pada anak yang mendapat cukup transfusi, pertumbuhan dan perkembangannya

normal dan jarang ditemui splenomegali. Bila terapi chelation tidak adekuat maka

akan terjadi penumpukkan besi yang akan menimbulkan gejala seperti komplikasi

hati, hiperpigmentasi dan komplikasi jantung.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah

Hemoglobin : Kadar Hb 3 –  9 g%

Indeks Eritrosit : Hipokromik Mikrositer

Besi serum : meningkat

TIBC : rendah

Gambaran sumsum tulang : eritripoesis hiperaktif

Elektroforesis Hb :Thalasemia beta : kadar Hb F bervariasi antara 10 – 90

% ( N : <= 1 % )

Prognosis

Talasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia

dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian

chaleting agents untuk mengurangi hemosderosis. Talasemia beta HbE yang

umumnya mempunyai prognosis baik dan dapat hidup seperti biasa. Namun perlu

melakukan transfusi darah.

2.3.3 ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK

Definisi

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 26

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun

keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan

berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada

penyakit kronis ditandai oleh kadar hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai

TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi dijaringan serta produksi sel darah merah

berkurang.

Etiologi dan Patogenesis

Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis

dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif

kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala,

seperti demam , penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia

memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi

keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.

Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih

sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan atriris rheumatoid

merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi

lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronik.

Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium

dini dan asimtomatik, seperti pada sarcoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut

anemia pada kanker (cancer releted anemia)

Patogenesis

a. Pemendakan masa hidup eritrosit

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 27

Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana

terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,

inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag

sehingga mangikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa,

menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang

inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi

dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 manjadi T3, menyebabkan hipotirod

fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga

sintesis eritropetin-pun akhirnya berkurang.

b. Penghancuran eritrosit

Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar

20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien

ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh

sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian

dari filter limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari

eritrosit.

c. Produksi eritrosit

Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup

menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini

memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe

dalam sintesis Hb.

Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi

pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat

anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan

akibat berkurangnya pelepasan atau menurunya respon terhadap eritropoetin.

Gambaran Klinis

Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya

tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya

asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan

kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan

sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan

yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan.

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 28

Pemeriksaan Laboratorium

Anemia umumnya adalah normokrom-normosister, meskipun banyak pasien mempunyai

gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan

MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten,

tergantung dari penyakit dasarnya.

Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa

penyakit anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu infeksi

atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe

(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.

Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu

persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.

Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan

Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan

dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita

anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang,

selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam

makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat.

Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan

diagnosis anemia pada penyakit kronik :

1. Anemia delusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut

2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced hemolysis. Pada penekanan

sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,

hepatoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus dilakukan untuk menyingkirkan

hemolisis

3. Perdarahan kronis

4. Thalasemia minor

5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek dan terdapat kegagalan

relatif sumsum tulang

6. Metastasis pada tulang

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 29

Pengobatan

Terapi utama pada anemia penyakit kronik adalah mengobati penyakit dasarnya.

Terdapat beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain :

a. Transfusi

Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada

batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa

literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak

miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian

juga dengan pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11

g/dl.

b. Preparat besi

Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan.

Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah

pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal,

preparat terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra,

sampai saat ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada

pasien anemia penyakit kronik.

c. Eritropoietin

Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah

disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma

multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi

beserta efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai

efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma.

Dilain pihak pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal

serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

2.3.3 ANEMIA SIDEROBLASTIK

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 30

Ini adalah anemia refrakter dengan sel hipokrom dalam darah tepi dan sumsum tulang

yang meningkat; anemia ini dipastikan dengan adanya banyak sideroblas cincin (ring

sideroblast) yang patologis dalam sumsum tulang. Cincin sideroblas ini adalah eritroblas

abnormal yang mengandung banyak granula besi yang tersusun dalam suatu bentuk cincin

atau kerah yang melingkari inti, bukan berupa granula besi yang tersebar secara acak yang

tampak jika eritroblas normal diwarnai dengan pewarna besi. Anemia sideroblastik

didiagnosis bila 15% atau lebih eritroblast dalam sumsum tulang adalah eritroblas cincin,

tetapi sideroblas cincin ini dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada beberapa

kondisi hematologik.

Anemia sideroblastik digolongkan menjadi beberapa jenis, namun persamaannya adalah

adanya suatu defek dalam sintesis heme. Pada bentuk herediter, anemia ini dicirikan oleh

suatu gambaran darah yang sangat hipokrom dan mikrositik. Berikut adalah jenis anemia

sideroblastik:

a. Herediter, biasanya terjadi pada pria, dibawa oleh wanita, dan jarang terjadi pada

wanita.

b. Didapat

Primer; seperti mielodisplasia (anemia refrakter dengan sideroblast cincin)

Sekunder; pembentukan sideroblas cincin juga dapat terjadi di sumsum tulang

pada penyakit keganasan sumsum tulang lain, seperti mielofibrosis, leukemia

myeloid, myeloma.

Mutasi tersering adalah pada gen asam δ-aminolevulinat sintase (ALA-S) yang terdapat

pada kromosom X. Piridoksal-6-fosfat adalah suatu koenzim untuk ALA-S. Jenis lain yang

jarang dijumpai yakni defek mitokondria, responsif tiamin, dan defek autosom lain. Bentuk

didapat primer yang sering ditemukan adalah salah satu subtipe mielodisplasia. Anemia ini

juga dinamakan ‘anemia refrakter dengan sideroblas cincin’.

Pada beberapa pasien, khususnya yang menderita jenis herediter, terdapat suatu respon

terhadap pemberian terapi piridoksin. Defisiensi folat dapat terjadi dan dapat dicoba

pemberian terapi asam folat. Walaupun demikian, pada banyak kasus berat, transfusi darah

berulang adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kadar hemoglobin yang cukup dan

penumpukan besi karena transfusi merupakan masalah utama

2.4 ANALISIS SKENARIO

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 31

Pucat : Pucat pada pasien diakibatkan oleh penurunan Hemoglobin. Hb berfungsi mengikat

oksigen dan membantu menyalurkan oksigen ke jaringan, selain itu fungsi Hb adalah

memberikan “warna” pada darah sehingga kualias warna dara ditentukan oleh hemoglobin.

Apabila terjadi penurunan, maka secara otomatis terjadi gangguan penyaluran oksigen pada

jaringan tubuh dan berhubungan dengan fungsi pigmentasi oleh hemobgobin, maka

penurunan Hb juga akan menyebabkan manifestasi klinis pucat pada beberapa organ.

Lelah: Keluhan ini diakibatkan kurangnya oksigen yang diserap oleh jaringan sehingga

menyebabkan metabolism berubah kea rah anaerobic. Metabolisme anaerobic akan

menghasilkan zat sisa berupa asam laktat. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, maka

akan mengakibatkan penimbunan asam laktat pada tubuh. Penimbunan asam laktat ini akan

bermanifestasi sebagai keluhan lelah atau lemas pada pasien yang mengalaminya.

Diare intermitten : Keluhan ini dapat diakibatkan oleh gizi buruk atau infeksi cacing

tambang.

Penurunan BB : Penurunan hemoglobin dapat mengakibatkan menurunnya aktivitas

metabolisme tubuh, sehingga berat badan pun akan menyusut seiring dengan bertambah

parahnya penyakit ADB.

Dari skenario, karena didapatkan pemeriksan penunjang Hemoglobin 6,5 gr/dL, Zat besi

serum 4 µmol/L, TIBC 86 µmol/L, Ferritin 6 µg/L serta Gambaran darah tepi hipokrom

mikrositik maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengidap Anemia Defisiensi Besi.

BAB III

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 32

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anemia merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan berkurangnya hingga di bawah

nilai normal jumlah SDM, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells

(hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan

suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis

yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. Gejala yang ditimbulkan

disebabkan karena anoksia jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh terrhadap

berkurangnya daya angkut oksigen, berupa rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging

(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada

pemerikaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,

telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.

Penatalaksanan setiap kasus anemia dilakukan berdasarkan jenis anemia yang

diderita, karena masing-masing jenis anemia memiliki etiologi dan patofisiologi yang

berbeda. Oleh karena itu sebelum melakukan penatalaksanaan, kita harus paham mekanisme

terjadinya anemia yang dialami oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 33

Hay, William W., et al, 2004. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Boston: McGraw-Hill.

Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Scott B. Halstead, 2000. Nelson Text Book of Pediatrics. Boston: McGraw-Hill.

Sudoyo, A.W., et al, 2009. Buku ajar penyakit dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu

Penyakit Dalam.

Suryanto, B.P., et al, 2010. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan

Dokter Anak Indonesia.

|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 34