34
BAB I PENDAHULUAN Hipertensi dalam kehamilan merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin selain perdarahan dan infeksi. 1 Menurut National Centre for Health Statistics dalam William’s Obstetric, hipertensi dalam kehamilan teridentifikasi pada 3,7% kehamilan. 2 Tingginya mortalitas dan morbiditas pada hipertensi dalam kehamilan disebabkan oleh etiologi tidak jelas, perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis seperti dukun dan sistem rujukan yang belum sempurna. 1 Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria disebut preeklamsia, jika disertai kejang disebut eklamsia. 1,2 Pada 10-20% kasus preeklamsia berat dapat terjadi komplikasi berupa sindrom HELLP. 3 Sindroma HELLP merupakan komplikasi serius dalam kehamilan yang dicirikan dengan adanya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom HELLP berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ibu dan janinnya sehinggga diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada sindrom HELLP penting untuk mencegah terjadinya mortalitas pada ibu maupun janinnya. 1

Lapkas Peb Asty

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapkas Peb Asty

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan merupakan salah satu dari tiga

penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin selain perdarahan dan

infeksi.1 Menurut National Centre for Health Statistics dalam William’s Obstetric,

hipertensi dalam kehamilan teridentifikasi pada 3,7% kehamilan.2 Tingginya

mortalitas dan morbiditas pada hipertensi dalam kehamilan disebabkan oleh

etiologi tidak jelas, perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non

medis seperti dukun dan sistem rujukan yang belum sempurna.1

Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria

disebut preeklamsia, jika disertai kejang disebut eklamsia.1,2 Pada 10-20% kasus

preeklamsia berat dapat terjadi komplikasi berupa sindrom HELLP.3 Sindroma

HELLP merupakan komplikasi serius dalam kehamilan yang dicirikan dengan

adanya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom HELLP

berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ibu dan

janinnya sehinggga diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada sindrom HELLP

penting untuk mencegah terjadinya mortalitas pada ibu maupun janinnya.

1

Page 2: Lapkas Peb Asty

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Preeklamsia

a. Definisi dan Klasifikasi

Preeklamsia merupakan suatu kondisi pada kehamilan yang dicirikan

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal berupa inflamasi

sistemik dengan aktivasi endothelium dan koagulasi. Preeklamsia secara

klinis ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu

kehamilan. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di

Indonesia adalah :1

i. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan

20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur

kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.

ii. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria.

iii. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang

dan/atau koma.

iv. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi

kronik disertai dengan tanda-tanda preeklamsia atau proteinuria.

v. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan

tanpa disertai proteinuria dan menghilang setelah 12 minggu

pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi

tanpa proteinuria.

2

Page 3: Lapkas Peb Asty

b. Faktor Resiko

Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah

sebagai berikut :1

i. Primigravida dan primipaternitas

ii. Hiperplasentosis, misalnya pada mola hidatinosa, kehamilan multipel,

diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar.

iii. Umur di atas 35 tahun

iv. Riwayat preeklamsia/eklamsia pada keluarga

v. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

vi. Obesitas

c. Etiologi1,2

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui

dengan jelas. Berbagai teori telah dikemukakan namun belum ada teori yang

mutlak dianggap benar.

1. Kelainan invasi trofoblastik

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah

dari cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut

menembus miometrium berupa arteri arkuarta yang bercabang menjadi

arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri

basalis yang bercabang menjadi arteri spiralis.

Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan

otot arteri spiralis sehingga menimbulkan degenerasi lapisan otot dan

terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan

sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan

memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.

Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak

penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan

aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin

cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat. Proses ini dinamakan

3

Page 4: Lapkas Peb Asty

remodeling arteri spiralis atau pseudovaskularisasi, berlangsung hingga

masa kehamilan 18-20 minggu.

Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi invasi sel trofoblas yang

tidak sempurna. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras

sehingga arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi. Hal ini

menyebabkan terjadinya hipoperfusi plasenta yang melepaskan molekul

vasoaktif sistemik sehingga menimbulkan respon inflamasi,

vasokonstriksi, kerusakan endotel, kebocoran kapiler, hiperkoagulasi,

dan disfungsi trombosit.

Gambar 1. Invasi trofoblas pada arteri spiralis

4

Page 5: Lapkas Peb Asty

2. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Dugaan faktor imunologik berperan terhadap terjadinya

hipertensi dalam kehamilan terbukti karena fakta primigravida

memiliki resiko lebih besar dibandingkan dengan multigravida. Ibu

yang multipara yang menikah lagi juga memiliki resiko lebih besar.

Pada ibu yang hamil normal, respon imun tidak menolak hasil

konsepsi yang bersifat asing karena terdapat human leukocyte antigen

protein G (HLA-G) yang berperan dalam modulasi respon imun

sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. HLA-G pada plasenta

dapat melind

Fungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu.

Pada preeklamsia terjadi gangguan adaptasi sel NK terhadap HLA-G

sehingga terjadi respon yang serupa dengan penolakan benda asing.

Disfungsi sel endotel yang merupakan ciri dari preeklamsia

disebabkan oleh aktivasi leukosit pada sirkulasi maternal.

3. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal, pembuluh darah tidak peka terhadap

rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang

lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Hal ini

disebabkan oleh adanya sintesis prostasiklin pada sel endotel. Pada

hipertensi dalam kehamilan terjadi peningkatan kepekaan terhadap

vasopresor.

4. Teori defisiensi gizi

Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh dapat mengurangi resiko

preeklamsia. Asam lemak tidak jenuh dapat menghambat produksi

tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah

vasokonstriksi pembuluh darah.

5

Page 6: Lapkas Peb Asty

5. Teori genetik

Terdapat faktor keturunan dan familial pada preeklamsia.

Penelitian menunjukkan preeklamsia melibatkan banyak gen.

Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Penelitian menunjukan 20-40% anak perempuan dan 11-

37% saudara perempuan dari penderita preeklamsia juga mengalami

preeklamsia. Penelitian pada saudara kembar juga menunjukkan

korelasi yang tinggi, hingga 40%.

6. Teori stimulus inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas

sebagai sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi

stres oksidatif. Debris tersebut merangsang timbulnya proses

inflamasi. Proses apoptosis pada preeklamsia terjadi peningkatan stres

oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas

juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada

plasenta besar atau kehamilan multipel, maka reaksi stres oksidatif

akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga

makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan reaksi inflamasi dalam

darah ibu yang mengaktivasi sel endotel, sel makrofag sehingga

terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala

preeklamsia pada ibu.

d. Patofisiologi1,2,4

a) Otak

Nyeri kepala pada preeklamsia disebabkan oleh hiperperfusi otak

sehingga menimbulkan vasogenik edema. Kejang pada eklamsia

merupakan salah satu manifestasi dari preeklamsia dan merupakan salah

satu penyebab utama mortalitas pada ibu hamil. Etiologi pasti dari

eklamsia tidak diketahi tetapi diduga berhubungan dengan koagulopati,

6

Page 7: Lapkas Peb Asty

deposit fibrin, dan vasopasme. Sering ditemukan edema otak yang

disebabkan oleh disfungsi autoregulasi vaskular. Pada perlukaan otak

yang disebabkan oleh preeklamsia ditemukan adanya nekrosis otak,

trombosis, infark dan perdarahan petekial dan yang sebagian besar

terdapat pada korteks serebri. Pada temuan CT-scan didapatkan daerah

hipodensitas pada daerah hemisfer serebri posterior, lobus temporalis,

dan batang otak. Pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan

subaraknoid atau peradarahan intraventikular.

b) Kardiovaskular

Hipertensi yang terjadi pada preeklamsia disebabkan oleh

vasokonstriksi yang tejadi terutama pada arteriol dan diperkirakan

disebabkan oleh peningkatan reaktivitas vaskular. Mekanisme

peningkatan reaktivias vaskular diduga disebabkan oleh perubahan

interaksi antara substansi vasodilator (prostasiklin, nitrit oksida) dan

vasokonstriktif (tromboksan A2, endotelin). Perubahan tersebut

meningkatkan tekanan darah arterial (afterload).

Ciri utama lain preeklamsia adalah tidak adanya ekspansi volume

intravaskular yang normal terjadi pada kehamilan, penurunan volume

darah. Pada kehamilan normal volume plasma meningkat untuk

memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklamsi terjadi

penurunan volume plasma 30-40% dibandingkan pada kehamilan

normal. Kerusakan pada endotel diduga menyebabkan kebocoran cairan

intravaskular dan protein ke dalam ruang interstitial sehingga

menyebabkan menurunnya volume intravaskular.

c) Hepar

Lesi pada hepar dicirikan oleh adanya deposit fibrin sinusoid pada

area periportal dengan yang dikelilingi oleh perdarahan dan thrombus

kapiler portal. Nekrosis sentrilobular dapat terjadi karena adanya

vasospasme yang menyebabkan hipoperfusi darah dan iskemi pada hepar.

Subkapsular hematoma dapat terbentuk, bahkan pada kasus berat dapat

7

Page 8: Lapkas Peb Asty

terjadi nekrosis hepatoselular yang dapat berlanjut menjadi ruptur hepar.

Nyeri abdomen kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium merupakan

gejala klasik yang disebabkan oleh teregangnya kapula Glisson.

Gambar 3. Gambaran subkapsular hematoma pada CT-Scan hepar.

d) Paru

Perubahan pada tekanan onkotik koloid, integritas endotel kapiler,

dan tekanan hidrostatik intravaskular pada preeklamsia dapat

menyebabkan terjadinya edema paru nonkardiogenik. Pemberian cairan

intravena berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya edema paru.

Pada eklamsia, cidera paru dapat terjadi akibat aspirasi isi lambung

sehingga menyebabkan pneumonia, pneumonitis atau sindrom distress

pernapasan.

e) Mata

Vasospasme retina dan edema retina dapat menyebabkan gangguan

visus. Gangguan visus pada preeklamsia dapat berupa pandangan kabur,

skotoma, amaurosis dan ablasio retina.

8

Page 9: Lapkas Peb Asty

f) Ginjal

Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan glomerular filtration

rate (GFR) hingga 50%. Vasopasme pada preeklamsia menyebabkan

terjadinya penurunan perfusi renal sehingga menurunkan GFR. Oleh

karenanya, pada pasien preeklamsia dapat terjadi oliguria bahkan anuria.

Terjadi peningkatan nilai kreatinin hingga di atas kadar kehamilan

normal (0,8 mg/dL). Monitoring ketat luaran urine penting pada pasien

preeklamsia karena oliguria dapat terjadi akiba insufisiensi ginjal.

Insufisiensi ginjal yang berat dapat menyebabkan nekrosis tubular akut

sehingga menyebabkan gagal ginjal aku.

Gambar 2. Glomerular Capillary Endotheliosis

Kerusakan pada sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya

permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan

mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir

kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklamsia tanpa proteinuria

karena janin terlebih dahulu lahir. Pada preeklamsia lesi pada ginjal

disebut glomeruloendoteliosis atau glomerular capillary endotheliosis

yang dicirikan oleh pembengkakan dan pembesaran sel endotel kapiler

glomerular sehingga menyebabkan penyempitan lumen kapiler. Terjadi

9

Page 10: Lapkas Peb Asty

peningkatan jumlah vakuola yang mengandung lipid pada sitoplasma.

Sel-sel mesangial juga dapat membengkak.

g) Janin

Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada

kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunya perfusi utero plasenta,

hipovolemia, vasopasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah

plasenta. Dampak preeklamsia dan eklamsia pada janin adalah dapat

terjadi pertumbuhan janin terhambat, prematuritas, oligohidramnion, dan

solusio plasenta.

e. Diagnosis1

i. Preeklamsia ringan

Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan berdasarkan timbulnya

hipertensi yaitu tekanan darah ≥ 140/90mmHg disertai proteinuria ≥

300mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik dan/atau edema setelah kehamilan 20

minggu.

ii. Preeklamsia berat

Preeklamsia digolongkan preeklamsia berat bila ditemukan satu

atau lebih gejala berikut : Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan

tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg, proteinuria lebih dari 5g/24 jam,

oliguria, kenaikan kadar kreatinin plasma, gangguan visus dan serebral,

nyeri epigastriu atau nyeri kuadran kanan atas abdomen, edema paru,

hemolisis mikroangiopatik, trombositopenia , gangguan fungsi hepar,

pertumbuhan janin intrauterin terhambat, atau sindrom HELLP.

iii. Eklamsia

Eklamsia merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang

menyeluruh dan/atau koma. Eklamsia dapat timbul pada ante, intra dan

postpartum. Penderita preeklamsia yang akan kejang umumnya memberi

gejala atau tanda yang khas yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma

10

Page 11: Lapkas Peb Asty

akan terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan tanda prodoma

disebut sebagai impending eklamsia .

f. Tatalaksana5,6

i. Preeklamsia ringan

Pada preeklamsia ringan, pasien dapat berobat rawat jalan dan

dilakukan follow-up dua kali dalam seminggu. Dilakukan monitoring

tekanan darah, urine, dan kondisi janin. Pasien dianjurkan untuk banyak

istirahat. Tidak perlu dilakukan restriksi garam. Pertumbuhan janin

membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Pada preeklamsia ringan

tidak perlu diberikan antikonvulsan, antihipertensi, atau sedativa.

Pada keadaan tertentu pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria

preeklamsia ringan dirawat ialah bila tidak ada perbaikan ekanan darah

atau proteinuria selama 2 minggu atau adanya sau atau lebih anda dan

gejala preeklamsia berat. Selama perawatan dirumah sakit dilakukan

monitoring tekan darah dua kali sehari dan urin setiap hari. Terapi

medikamentosa tidak perlu diberikan kecuali terdapat peningkatan tekan

darah atau kadar proteinuria. Diuretik hanya diberikan pada preeklamsia

dengan edema paru atau gagal ginjal kongestif.

Jika terjadi penurunan tekanan darah ke tingkat normal pasien

tatalaksana pasien dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dan dilakukan

follow up dua kali seminggu untuk pemeriksaan tekanan darah, urine,

kondisi janin, dan tanda-tanda preeklamsia berat. Berikan edukasi

mengenai gejala dan tanda preeklamsia berat.

Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, bila tekanan darah

stabil dan tidak terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,

persalinan ditunggu hingga aterm. Sementara itu pada kehamilan aterm,

persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan, atau jika terdapat

tanda pertumbuhan janin terhambat dapat dilakukan induksi persalinan.

11

Page 12: Lapkas Peb Asty

ii. Preeklamsia Berat dan Eklamsia

Penatalasanaan preeklamsia berat dan eklamsia sama, kecuali

persalinan harus segera terjadi dalam 12 jam setelah onset kejang pada

eklamsia. Semua kasus preeklamsia berat harus dirawat di rumah sakit

dan ditatalaksana secara aktif.

Manajemen Kejang

1) Berikan oksigen 4-6 L per menit.

2) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.

3) Berikan obat antikonvulsan

Manajemen Umum

1) Lakukan pemasangan infus

2) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi

3) Pantau tanda tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap jam

4) Jika tekanan darah diastolik di atas 110mmHg, berikan obat

antihipertensi hingga tekanan darah diastolik kurang dari 100 mmHg

tetapi tidak di bawah 90mmHg.

5) Lakukan kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan

proteinuria.

6) Jika pengeluaran urin kurang dari 30 mL per jam : hentikan sulfat

magnesium dan infus cairan IV sebanyak 1 L dalam 8 jam, pantau

kemungkinan edema paru.

7) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang yang disertai aspirasi

dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janin.

8) Auskultasi paru tiap jam untuk mencari tanda edema paru. Jika

terdengar ronki, hentikan infus cairan dan berikan furosemide 40mg

IV.

9) Lakukan penilaian pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside.

Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat

koagulopati.

12

Page 13: Lapkas Peb Asty

Obat Antikonvulsan

Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan

mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Jika tidak tersedia

magnesium sulfat, dapat digunakan diazepam. Meskipun diazepam dosis

tunggal jarang menyebabkan depresi neonatal, administrasi jangka panjang

melalui drip IV meningkatkan resiko depresi neonatal pada bayi. Efek

tersebut dapat berlangsung hingga beberapa hari.

Magnesium sulfat

Dosis awal

MgSO4 4 gram IV sebagai larutan 20% selama 5 menit.

Diikuti dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50% : berikan 5 gram

pada tiap bokong dalam injeksi IM dengan 1 ml lignokain 2% dalam

semprit yang sama.

Jika kejang terjadi kembali setelah 15 menit, berikan 2 gram larutan

magnesium sulfat 50% IV dalam 5 menit.

Dosis pemeliharaan

Berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% dengan 1 ml lignokain

2% dalam semprit yang sama melalui injeksi IM setiap jam. Lanjutkan

terapi hingga 24 jam pascapersalinan atau kejang terakhir.

Jika larutan 50% tidak tersedia, berikan 1 gram larutan magnesium

sulfat 20% IV tiap jam dalam drip infus.

Lakukan pemantauan ketat pada pasien untuk tanda tanda toksisitas.

Sebelum pemberian, pastikan bahwa :

Frekuensi pernapasan minimal 16 kali per menit.

Refleks pattela positif

Urin minimal 30 ml per jam dalam 4 jam terakhir.

Hentikan pemberian jika :

Frekuensi pernapasan kurang dari 16 kali per menit.

Refleks pattela negatif

Urine kurang dari 30 ml per jam selama 4 jam terakhir.

13

Page 14: Lapkas Peb Asty

Siapkan antidotum

Jika terjadi henti napas, bantu pernapasan dengan alat dan berikan

kalsium glukonas 1 gram (10 ml dalam larutan 10%) IV secara lambat

hingga pernapasan kembali.

Diazepam

Dosis awal

Diazepam 10 mg IV secara lambat dalam 2 menit

Jika kejang berulang, ulangi dosis awal

Dosis pemeliharaan

Diazepam 40 mg dalam 500 mL cairan IV (Nacl 0,9% atau RL).

Depresi pernapasan dapat terjadi jika dosis melebihi 30 mg per jam,

lakukan penapasan bantuan jika perlu dan jangan berikan lebih dari 100

mg dalam 24 jam.

Administrasi per rektal

Berikan diazepam secara rektal jika pemberian IV tidak dapat

dilakukan. Dosis awal 20 mg dalam 10 mL semprit.

Jika kejang tidak terkontrol dalam 10 menit, berikan tambahan 10 mg

atau lebih, tergantung dari bera ibu dan respon klinik.

Antihipertensi

Batas tekanan darah dalam pemberian antihipertensi bervariasi.

Menurut WHO, antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik ≥ 110

mmHg dengan target penurunan hingga tekanan diastolik mencapai 90-

100mmHg.5 Di RSU dr.Soetomo Surabaya, batas tekanan darah dalam

pemberian antihipertensi adalah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan

atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturnkan secara

bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik.1

Antihipertensi yang dipakai di Indonesia adalah Nifedipin dengan

dosis awal sebesar 10-20mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis

maksimum 120 mg dalam 24 jam.1 Menurut WHO nifedipin dapat

14

Page 15: Lapkas Peb Asty

diberikan 5mg sublingual dan dapat diulang setelah 10 menit.5 Obat

antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan berupa klonidine

(catapres). Cara pemberian 1 ampul dilarutkan dalam 10cc larutan garam

faal atau akuades untuk suntikan.1

Sikap Terhadap Kehamilan

Persalinan harus terjadi segera setelah kondisi ibu stabil.

Penundaan persalinan untuk meningkatkan maturitas janin dapat

meningkatkan resiko pada ibu dan janin. Pada preeklamsia berat,

persalinan harus terjadi dalam 24 jam setelah onset gejala. Pada eklamsia,

persalinan harus terjadi dalam 12 jam setelah onset kejang.

Lakukan penilaian serviks, jika serviks matang lakukan induksi

persalinan. Jika terdapat gawat janin atau serviks belum matang persalinan

dilakukan perabdominal. Jika fetus meninggal atau terlalu prematur,

persalinan dilakukan pervaginam, jika serviks belum matang, lakukan

pematangan serviks menggunakan misoprostol, prostaglandin atau kateter

Foley.

BAB III PENYAJIAN KASUS

15

Page 16: Lapkas Peb Asty

STATUS PASIENI. ANAMNESA PASIEN

No RM : 11 50 33

Nama : Eka Prihyanti Prihse

Umur : 33 Tahun

Agama/Suku : Islam/Jawa

Pendidikan : S1

Alamat : Jl. Bambu runcing kec. Tanjung Pura

Tgl Masuk : 20 Maret 2015

Pukul : 13.40 WIB

II. ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Ingin melahirkan

Telaah : Os datang ke RSUD Djoelham dengan keluhan ingin

melahirkan. Os juga mengeluh sakit kepala bagian depan,

kedua kaki oedem. Mual (-) Muntah (-) riwayat kejang (-)

RPT : Riwayat Hipertensi (+)

RPO : Konsumsi amlodipin

III. RIWAYAT HAID

HPHT : 20-07-2014

TTP : 27-04-2015

Siklus Haid : 28 hari

Lama Haid : 7 hari

Menarche : 12 tahun

Dismenore : -

IV. RIWAYAT PERKAWINAN

Menikah pada usia 28 tahun

16

Page 17: Lapkas Peb Asty

V. RIWAYAT KONTRASEPSI

Pasien tidak menggunakan kontrasepsi

VI. RIWAYAT PERSALINAN

Gravida 4 Paritas 1 Abortus 2

Anak ke 1 : prematur, bayi usia 3 hari meninggal, kelahiran SC

Anak ke 2 : kehamilan 5 bulan, abortus, kuret

Anak ke 3 : kehamilan 6 bulan, janin meninggal dalam kandungan, kuret

VII. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS PRESENT

Vital Sign

Sensorium : Compos Mentis Anemia : (-)

TD : 160/100 mmHg Sianosis : (-)

HR : 86 x/I Ikterik : (-)

RR : 24 x/I Dipsneu : (-)

T : 36,6 0C Edema : (-)

B. STATUS LOKALISATA

Kepala

Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-)

Hidung : Simetris

Mulut : Sianosis (-)

Leher : Pembesaran kelanjar getah bening (-), Struma (-)

Thorax

Inspeksi : Simetris kanan=kiri

17

Page 18: Lapkas Peb Asty

Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler. Suara tambahan (-)

Abdomen

Lihat status obstetri

C. PEMERIKSAAN OBSTETRI/GINEKOLOGI

Fundus Uteri : Diatas Pusat

Palpasi : Leopold I : 27 cm, Diatas Pusat

Leopold II : Punggung janin sebelah kiri

Leopold III : Letak bokong

Leopold IV : Belum masuk PAP

Auskultasi : Denyut jantung janin 129 x/i

Gerak Janin (+)

His (-)

Vaginal Toucher : Tidak ada pembukaan

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Darah rutin : WBC : 13,5 x 103 /µL

HGB : 10,6 gr/dL

RBC : 3,42 x 106 /µL

PLT : 293 X 103 /µL

HCT : 28,4 %

KGD : 158 mg/dL

Proteinuria : +2

RESUME

Keluhan Utama : Mau melahirkan

18

Page 19: Lapkas Peb Asty

Telaah : Pasien datang ke ruang Pinang pukul. 13.40 dengan

keluhan mau melahirkan, pasien juga mengeluh sakit

kepala pada bagian depan, kedua kaki oedem, mual (-)

muntah (-) riwayat kejang (-). USG dipoli hasil :

PEB+MG+KDR(aterm)+AH+LS

HPHT : 20-07-2014

TTP : 27-04-2015

Gravida 4 Paritas 1 Abortus 2

STATUS PRESENT

Vital Sign

Sensorium : Compos Mentis Anemia : (-)

TD : 160/100 mmHg Sianosis : (-)

HR : 86 x/i Ikterik : (-)

RR : 24 x/I Dipsneu : (-)

T : 36,6 0C Edema : (-)

PEMERIKSAAN OBSTETRI/GINEKOLOGI

Fundus Uteri : Diatas Pusat

Palpasi : Leopold I :27 cm, Diatas Pusat

Leopold II : Punggung janin sebelah kiri

Leopold III : Letak Bokong

Leopold IV : Belum masuk PAP

Auskultasi : Denyut jantung janin 129 x/i

Gerak Janin (+)

His (-)

Vaginal Toucher : Tidak ada pembukaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

19

Page 20: Lapkas Peb Asty

Darah rutin : WBC : 13,5 x 103 /µL

HGB : 10,6 gr/dL

RBC : 3,42 x 106 /µL

PLT : 293 X 103 /µL

HCT : 28,4 %

KGD : 158 mg/dL

DIAGNOSA SEMENTARA

PEB + MG + KDR (Aterm) + AH + LS

RENCANA TINDAKAN

Section Caesaria pada tanggal 20 Maret 2015 jam 17.00WIB

Persiapan sebelum operasi :

IVFD RL 30gtt/i + MgSO4 40%, 30cc

Inj MgSO4 20% +20cc, iv bolus pelan-pelan

stabilisasi

Pasang Kateter

SIO (Surat Izin Operasi)

LAPORAN OPERASI POST SECTIO CAESARIA

Dilakukan incise pada abdomen

Dilakukan incise pada SBR (Segmen Bawah Rahim)

Lahir bayi dengan BB 2790 gr

Plasenta lahir lengkap

Dilakukan penjahitan pada uterus

Evaluasi perdarahan : tidak ada perdarahan

Dinding perut di jahit lapis demi lapis

KEADAAN PASIEN POST OPERASI : Baik

Terapi post operasi : Puasa

20

Page 21: Lapkas Peb Asty

IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)

Inj ketorolac 1 amp/8j

Inj dexametason 1 amp/8j

Inj ranitidine 1 amp/8j

Inj cefotaxime 1gr/8j

FOLLOW UP

Follow Up Post Operasi (20 Maret 2015 jam 19.30 WIB)

KU : Nyeri bekas post operasi (+), perdarahan post SC (-)

TD : 160/100 mmHg

HR : 88 x/i

RR : 22 x/i

T : 36,5 0 C

Platus : Belum ada

BAB : Belum ada

Therapy :

IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)

Inj ketorolac 1 amp/8j

Inj dexametason 1 amp/8j

Inj ranitidine 1 amp/8j

Inj cefotaxime 1gr/8j

Follow Up Post Operasi Hari II (21 Maret 2015)

KU : Nyeri post operasi berkurang, perdarahan post SC (-)

TD : 160/90 mmHg

HR : 80 x/i

RR : 20 x/i

T : 36,10 C

Platus : Ada

BAB : Belum ada

21

Page 22: Lapkas Peb Asty

Therapy :

IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)

Inj ketorolac 1 amp/8j

Inj dexametason 1 amp/8j

Inj ranitidine 1 amp/8j

Inj cefotaxime 1gr/8j

Captopril 4x1

Sohobion 2x1

Follow Up Post Operasi Hari III (22 Maret 2015)

KU : Nyeri bekas operasi berkurang, keadaan semakin membaik

TD : 130/80 mmHg

HR : 84 x/i

RR : 24 x/i

T : 36,6 0 C

Platus : Ada

BAB : Belum ada

Therapy :

IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)

Inj ketorolac 1 amp/8j aff

Inj dexametason 1 amp/8j aff

Inj ranitidine 1 amp/8j aff

Inj cefotaxime 1gr/8j aff

Captopril 4x1

Sohobion 2x1

Follow Up Post Operasi Hari IV (23 Maret 2015)

Pasien Berobat Jalan

BAB IV KESIMPULAN

22

Page 23: Lapkas Peb Asty

Pasien datang ke RSUD DR.RM.DJOELHAM ke ruang pinang pukul

13.40 WIB, dengan keluhan ingin melahirkan dengan keluhan sakit kepala bagian

depan, disertai kaki oedem, mual muntah disangkal, riwayat kejang disangkal, os

juga mengalami tekanan darah tinggi dan sebelumnya telah mengkonsumsi obat

amlodipin.

Dari hasil lab diketahui hasil hemoglobin 10,6 gr/dL rendah, eritrosit 3,42

x 106 /µL rendah, trombosit 293 X 103 /µL rendah, dan proteinuria (+2).

Diketahui vital sign pasien saat datang adalah:

TD: 160/100mmhg

HR: 86x/i

RR: 24x/i

T: 36,6ºC

Pasien dirawat di RSUD DJOELHAM, selama 3 hari dengan diagnosa

Preeklamsi Berat.

BAB VDAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Lapkas Peb Asty

1. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi Keempat. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.

2. Cunningham FG, et al. Williams Obstetrics, 23 th ed. New York : McGrawHill, 2010.

3. Haram K, et al. The HELLP syndrome: Clinical Issue and Management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:8.

4. McPhee SJ, et al. Current Medical Diagnosis & Treatment 2011. New York : McGraw Hill, 2011.

5. World Health Organization. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Department for Reproductive Health and Research, 2007.

6. Saifuddin AB, et al. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, edisi pertama. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.

7. Sibai BM. Diagnosis, Controversies, and Management of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Counts. Obstetric & Gynecology 2004, 103 (5) : 981-991.

8. McClatchey KD. Clinical Laboratory Medicine. Chap 21 Heme Synthesis and Catabolism. Lippincot Williams & Willkins, 2001.

24