Upload
aneta-tria-sari
View
92
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lapkas ensefalopati metabolik
Citation preview
LAPORAN KASUS
PENURUNAN KESADARAN E.C. ENSEFALOPATI METABOLIK
Disusun oleh:
Aneta Tria Sari, S.Ked.
2011730006
Dokter Pembimbing:
dr. Jhonwan Usman, Sp.A
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSIJ CEMPAKA PUTIH
2015
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. G.
TTL : Jakarta 20 Mei 2008
Umur : 7 tahun 5 bulan 14 hari
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kebon Kosong gg Mantri II No.152 Rt.06/10, Kemayoran,
Jakarta Pusat.
Tanggal ke RSIJ : 22 Oktober 2015
NO RM : 00913334
ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS) DENGAN ORANGTUA PASIEN.
Keluhan utama:
Demam mendadak sejak 1 hari SMRS.
Anamnesis khusus:
Orangtua An.G usia 7 tahun datang ke UGD RSIJ Cempaka Putih dengan mengeluhkan
anaknya demam mendadak sejak 1 hari SMRS. Tidak ada kejang. Demam disertai muntah
lebih dari 10 kali, nyeri kepala, batuk, dan perubahan tingkah laku (An.lupa dengan orang
sekitar/mengigau). An. sempat pingsan saat sampai di bangsal badar. BAB tidak cair tidak
ada lendir, ampas dan darah. BAK tidak nyeri. An.tampak lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Belum pernah menderita seperti ini. Riwayat kejang disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga mengeluhkan hal yang sama seperti Os.
Riwayat Pengobatan :
Belum pernah berobat dan tidak ada riwayat minum obat.
Riwayat Alergi :
Tidak ada riwayat alergi obat, makanan dan suhu.
Riwayat Kehamilan :
ANC rutin ke bidan
Riwayat Persalinan :
Lahir normal di bidan dengan BBL : 2900 gram, PBL : 50 cm
Pola Makan :
Riwayat ASI Ekslusif 2 tahun. Sebelum sakit Os.makan 3 kali sehari, makan makanan 4
sehat 5 sempurna.
Riwayat Imunisasi :
Hep.B, Polio, DPT, BCG, Campak.
Kesan : imunisasi lengkap sesuai usia.
Riwayat Tumbuh Kembang :
- Motorik kasar : berdiri 1 kaki selama 6 detik
- Bahasa : mengatakan 7 kata
- Motorik halus : menggambar orang
- Personal sosial : mengambil makanan, gosok gigi tanpa bantuan
Kesan : perkembangan sesuai usia.
Riwayat Psikososial :
An. berinteraksi dengan lingkungan sekitar (rumah dan sekolah).
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : apatis
Tanda vital :
Nadi 120 x/menit
Respirasi 28 x/menit
Suhu 38,2 °C
Antropometri
BB : 30 kg
TB : 110 cm
Status Gizi
BB/U : 30/23 x 100% = 130 %
TB/U : 100/121 x 100% = 82 %
BB/TB: 30/16 x 100% = 187,5 %
Kesan gizi : Overweight
Status generalis :
Wajah Bentuk : simetris
Warna : sawo matang
Kondisi : edema (-), luka (-), pucat (+)
Rambut Bentuk : lurus
Warna : hitam
Kondisi : distribusi merata
Kepala Bentuk : normocephal
Ubun-ubun : tidak cekung
Nyeri (-)
Mata Cekung (-/-)
Kering (-/-)
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Edema palpebra (-/-)
Refleks cahaya (+/+)
Hidung Pernafasan cuping hidung (-)
Sekret (-)
Telinga Bentuk : normal
Sekret (-)
Mulut Stomatitis (-)
Perdarahan gusi dan gigi (-)
Tenggorokan Faring hiperemis (+)
Tonsil T1/T1, permukaan tonsil tidak melebar
Bibir Mukosa bibir kering
Lidah Lidah kotor (+)
Lidah tremor (-)
Leher Pembesaran KGB (-)
Pembesaran tiroid (-)
Paru Inspeksi : simetris
Palpasi : teraba focal fremitus di kedua lapang paru
Perkusi : terdengar suara sonor
Auskultasi : terdengar suara vesikuler dikedua lapang paru,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung Inspeksi : tidak terlihat ictus cordis
Palpasi : teraba ictus cordis di ICS V
Perkusi : terdengar suara pekak
Auskultasi : terdengar suara BJ I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi : terlihat perut mendatar
Palpasi : turgor kulit tidak menurun, nyeri tekan (-)
Perkusi : terdengar suara timpani di 4 kuadran
Auskultasi : bising usus (+)
Limpa Splenomegali (-)
Hepar Hepatomegali (-)
Ekstremitas atas Akral : hangat
Edema : -/-
Sianosis : -/-
RCT : < 2 detik
Ekstremitas bawah Akral : hangat
Edema : -/-
Sianosis : -/-
RCT : < 2 detik
Kelenjar limfe Tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Anus dan rektum Tidak tampak hiperemis
Kulit Warna : sawo matang
Turgor : tidak menurun dan kembali cepat
Scar BCG : +
Rumple leede : -
Petekie / ekimosis : -
Efloresensi : -
Pemeriksaan Penunjang (laboratorium) :
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin
Jumlah leukosit
Hematokrit
Jumlah trombosit
Eritrosit
MCV/VER
MCH/HER
MCHC/KHER
Elektrolit
Natrium (Na) darah
Kalium (K) darah
Chloride (Cl) darah
Calsium (Ca) darah
Magnesium (Mg) darah
12,8
11,34
37
275
5,71
65
22
35
131
4,7
99
8,2
1,2
g/dL
103/mikroL
%
103/mikroL
106/mikroL
fL
pg
g/dL
mEq/L
mEq/L
mEq/L
mg/dL
mg/dL
10,8
6,00-17,00
35-43
217-491
3,60-5,20
73-101
23-31
26-34
135-147
3,5-5,0
94-111
8,8-10,8
1,7-2,1
Resume :
Orangtua An.G usia 7 tahun datang ke UGD RSIJ Cempaka Putih dengan mengeluhkan
anaknya demam mendadak sejak 1 hari SMRS. Tidak ada kejang. Demam disertai muntah
lebih dari 10 kali, nyeri kepala, batuk, dan perubahan tingkah laku (An.lupa dengan orang
sekitar/mengigau). An. sempat pingsan saat sampai di bangsal badar. BAB tidak cair tidak
ada lendir, ampas dan darah. BAK tidak nyeri. RPD tidak ada riwayat kejang atau gejala
yang sama sebelumnya. RPK tidak ada yang mengalami gejala yang sama dengan Os.
An.tampak lemas.
Pemeriksaan fisik : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+), faring hiperemis,
Pem.lab : eritrosit 5,71 x 106/mikroL, MCV 65 fL, Na 131 mEq/L, Ca 8,2 mEq/L,
Mg 1,2 mEq/L
Assesment :
Febris, vomitus, batuk, penurunan kesadaran.
Diagnosa Kerja
a. Diagnosa klinis : Penuruan Kesadaran e.c. Ensefalopati Metabolik
b. Diagnosa gizi : Gizi overweight.
c. Diagnosa imunisasi : lengkap sesuai usia
d. Diagnosa Tum-Bang : sesuai dengan usia
Follow up pasien :
Hari/
tanggal/jam
S O A P
Kamis,
22-10-2015
Pasien baru kiriman
UGD.
Demam sejak 1 hari
KU : tampak sakit
sedang. Kesadaran
apatis, suhu :
38,2oC, HR:
Obs. Febris
dan vomitus
hari ke-2
- Infus RL
16 tpm
mikro
02.45 WIB
05.06 WIB
09.00 WIB
12.00 WIB
SMRS. Muntah
lebih dari 10 kali.
Nyeri kepala.
Os.mengeluh
demam, muntah,
pusing.
Nafsu makan
menurun. Masih ada
demam dan muntah
Hanya bisa
menghabiskan 3
sdm (<1/4 porsi).
Masih ada demam
dan muntah. An.
Lupa dengan orang
sekitar
107x.menit, RR:
32x/menit. Akral
hangat
KU : sakit sedang,
kesadaran : CM,
suhu : 37,5oC,
HR:105x/menit,
RR: 30x/menit.
Akral hangat.
KU : sakit sedang,
kesadaran : CM,
suhu : 37,5oC,
HR:105x/menit,
RR: 30x/menit.
Akral hangat.
KU : sakit sedang,
kesadaran :
delirium. suhu :
37,9oC,
HR:105x/menit,
RR: 30x/menit.
Akral hangat.
- Ondancent
ron 3x3
mg
- Paracetam
ol
Terapi lanjutkan
Terapi makanan
padat (nasi).
Terapi lanjutkan.
Jum’at,
23-10-2015
05.00 WIB
Masih ada demam.
Muntah sudah tidak
ada. An. menalami
penurunan
KU : sakit ringan.
Kesadaran :
somnolen, suhu :
37,8oC, HR:
110x/menit, RR:
Obs.penuruan
kesadaran e.c.
ensefalopati
metabolik
dengan riwayat
Obs.penurunan
kesadaran
Terapi lanjut,
13.00 WIB
19.00 WIB
kesadaran.
Masih demam,
muntah sudah tidak
ada. An. Tidak
kenal dengan orang
sekitar. An.gelisah.
An. Gelisah, tidak
kenal dengan orang
sekitar, tidak mau
makan dan minum
31 x/menit. GCS :
10
KU : sakit ringan.
Kesadaran :
delirium, suhu :
37,1oC, HR:
128x/menit,
RR:38x/menit.
Hasil lab
pem.elektrolit :
Na:131, Cl2 :99,
Mg : 1,2, K:4,7,
Ca:8,2.
Mg : rendah
GCS : 10
KU : sakit ringan.
Kesadaran : apatis,
suhu : 37,8oC, HR:
128x/menit,
hiperpireksia. ditambah :
Injeksi antalgin
3x300 mg.
Inj.deksamethason
3x6 mg.
Rencana
pem.EEG dan
pem.elektrolit
lengkap.
- Terapi
lanjutkan
- Koreksi
MgSO4
apapun. Demam
masih ada.
RR:38x/menit Terapi lanjut
Pasang NGT, diit
cairan 6x200 cc
Rencana LP
ditunda
Rencana EEG di
tunda
Koreksi MgSO4
Sabtu,
25-10-2015
05.00 WIB
An. Sudah tidak
gelisah. Sudah
mengenal orang di
sekitarnya. Sudah
mau makan dan
minum.
Demam masih ada.
Muntah sudah tidak
ada.
GCS : 15
KU : sakit ringan.
Kesadaran : CM,
suhu : 37,8oC, HR:
128x/menit,
RR:38x/menit
Obs.penuruan
kesadaran e.c.
ensefalopati
metabolik
dengan riwayat
hiperpireksia.
Terapi lanjut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ensefalopati metabolik adalah gangguan neuropsikiatri atau penyakit metabolik
otak (Dorland, 2012). Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis
yang ditandai dengan :
1. Penuruan kesadaran sedang sampai berat.
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bakterial yang jelas.
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, peruahan tingkah laku, dan kejang yang
disebabkan oleh kelainan pada otak atau di luar otak (Sumantri, 2009). Prosesnya
disfungsi otak ini termasuk gangguan metabolik (substrat metabolik, hormon tiroid,
vitamin B12, dll), racun (obat-obatan, alkohol, dll), atau kelainan toksik sistemik
(misalnya sepsis). Pada ensefalopati metabolik terdapat disfungsi difus otak yang
onsetnya cepat dengan fluktuasi tingkat kesadaran (perhatian dan konsentrasi)
(Suspanc, Vargek-solter & Demarin, 2013).
2.2. Klasifikasi Ensefalopati Metabolik
Klasifikasi ensefalopati metabolik dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
(Mardjono & Prigmus, 1999) :
1. Ensefalopati metabolik primer merupakan penyakit yang memperlihatkan :
a. Degenerasi di substansia grisea otak, yaitu :
- Penyakit jacob-creutzfeldt
- Penyakit pick
- Penyakit alzheimer
- Epilepsi mioklonik progresif.
b. Degenerasi di substansia alba otak, yaitu :
- Penyakit schilder.
2. Ensefalopati metabolik sekunder sangat beragam sehingga diklasifikasikan
berdasarkan sebab pokoknya, yaitu :
a. Kekuarangan zat asam, glukosa, dan kofaktor-kofaktor yang dibutuhkan untuk
metabolisme sel.
1) Hipoksia yang bisa timbul karena penyakit paru-paru, anemia, intoksikasi
karbon monoksida.
2) Iskemai yang dapat berkembang karena “Cerebral Blood Flow (CBF)” yang
menurun akibat penurunan cardiac output seperti pada kondisi aritmia,
infark jantung, dekompensasi kordis, dan stenosis aorta. CBF menurun
akibat penurunan resistensi vaskular perifer, peningkatan resistensi vaskular
seperti ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi, dan sindrom
hiperviskositas.
3) Hipoglikemia yang bisa timbul karena pemberia insulin atau pembuatan
insulin endogenik meningkat.
4) Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxin, dan vitamin B1.
b. Penyakit organik diluar susunan saraf :
1) Penyakit non-endokrinologi :penyakit hepar, ginjal, jantung, dan paru
2) Penyakit endokrinologi : penyakit addison, cushing sindrom, tumor
pankreas, fekromositoma dan tirotoksikosis.
c. Intoksikasi eksogenik
1) Sedativa seperti harbiturat, opiat, obat antikolinergik, ethanol, dan
penenang.
2) Racun yang menghasilkan banyak katabolit acid, seperti paraldehyde
methylalcohol dan ethylene.
3) Inhibitor enzim seperti cyanide, salicylat, dan logam-logam berat.
d. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit
1) Hipo dan hipernatremia
2) Asidosis respiratorik dan metabolik
3) Alkalosis respiratorik dan metabolik
4) Hipo dan hiperkalemia.
2.3. Etiologi dan faktor risiko
Etiologi
Hipoksia Anemia, penyakit paru, dan hipoventilasi alveolar
Iskemia penyakit kardiovaskular(termasuk cardiac arest), aritmia,
penyakit mikrovaskular, hipotensi, hipertensi.
Penyakit sistemik Penyakit hepar, ginjal, pankratikus, malnutrisi (def.vitamin),
disfungsi endokrin (hipoglikemia dan keadaan hiperosmolar),
gangguan keseimbangan asam basa dna elektorlit, vaskulitits,
infeksi dan sepsis, keganasan (sindroma parancoplastik)
Agen toksik Alkohol, sedtif (barbiturat, narkotik, dan obat penenang),
pengobatan psikiatri (antidepresan trisiklik, obat-obat
antikolinergik, fenotiazin, MAO ihibitor), logam berat,
organofosfat, bensin, dan obat-obat lain (kortikosteroid,
penisilin, antikonvulsan).
Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan terjaidnya ensefalopati metabolik
adalah (Vareles & Grrafagino, 2013) :
a. Usia tua (>70 tahun)
b. Jenis kelmain laki-laki
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi
e. Penyalahgunaan zat kimi
2.4. Patofisiologi ensefalopati metabolik
a. Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan
gradien neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh
jaringan otak. Tekanan tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan
substansia alba, demikian pula halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa.
Adapun efek pertama dari efek hipoksia serebral adalah peningkatan pH
intraseluler. Selanjutnya, kandungan kalsium inraselulaer meningkat sebagai
konsekuensi pelepasan kalsium dari retikulum endoplasmik. Konsentrasi ATP
mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-70% ATP neuronal hilang, pompa sodium
gagal sehingga saluran ion bervoltase terbuka, maka menyebabkan penurunan
konsentrasi gradient Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan
neurotransmitter. Kemudian air akan memasuki sel sehingga terjadi peingkatan
osmolalitas dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium intraselular neuronal dapat
meningkat hingga empat kali lipat. Konsentrasi kalsium intraselular tersebut
selanjutnya mengaktifkan lipase, protease, dan enzim katabolik lainnya (Suspanc,
Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran
ion membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion
mengalami down regulation untuk mengurangi saluran ion dan mengurangi
kebutuhan energi selular. Beberapa saluran ion mengalami up regulation yang
menimbulkan depolarisasi dan kematian sel. Hipoksia juga merangsang
terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor (HIF). Pembentukan molekul ini
terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion. Molekul ini mengaktifkan
transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim glikolitik dan gen yang terlibat
dalam angiogenesis. (Teresa & Chua, 2010).
b. Hiperkapnia dan hipokapnia
Patogenesis terjadinya kelainan neurologis terkait dengan hiperkapnia
belum dimengerti dengan jelas. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi
serebral dan peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang
terjadi akibat hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan
ketersediaan oksigen, dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi.
Adapun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya
koma hepatikum, lesi batang otak, dan penyakit kardiopulmoner tertentu. (Teresa &
Chua, 2010).
c. Gangguan homeostasis glukosa
Glukosa diperlukan bagi fungsi neuronal. Kandungan glukosa pada otak
lebih rendah daripada darah dan hanya sedikit mengalami peningkatan pada
hiperglikemia. Hal ini penyaluran glukosa, laktat, maupun piruvat ke otak
memerlukan transport spesifik tertentu berupa GLUTS dan MCTs (glucose and
monocarboxylic acids transporter protein). Jumlah dari molekul transporter
tersebut membatasi penetrasi glukosa ke dalam sel. GLUT 1 terletak pada daerah
sawar otak dan GLUT 3 terletak pada membran neuronal. (Suspanc, Vargek-solter,
& Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga
menginduksi terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien
neurotransmitter dan ion, neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara
konstan. Apabila terjadi hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien
neurotransmitter dan ion. Sebagaimana yang terjadi pada kondisi hipoksia, terjadi
akumulasi neurotransmitter eksitatori, yaitu aspartat (pada hipoksia adalah
glutamate) yang memiliki peranan patogenetik penting terjadinya kerusakan dan
kematian neuron. (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
d. Defisiensi nutrisi atau vitamin
Biasanya terjadi pada defisiensi thiamin. Defisiensi thiamin menyebabkan
perubahan pada regio brain stem terutama talamus. Perubahan patologis tersebut
akan menimbulkan nistgmus, ekstraokuler palsy, ataksia. (Suspanc, Vargek-solter,
& Demarin, 2003).
e. Gangguan metabolisme asam-basa
Fungsi dan eksitabilitas otak sangat sensitif terhadap pH. pH cairan tubuh
diatur dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem saraf pusat
dengan cairan tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih banyak proton
dan ion magnesium, namun lebih sedikit pottasium. Lingkungan ekstraselular otak
diatur atau diprogram untuk mengandung lebih banyak H+. Banyak saluran ion
bervoltase pada sistem saraf sensitif terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan
pH) menghambat saluran ion bervoltase dan saluran ion yang diaktivasi oleh
glutamat. Karena channel sodium dan kalsium lebih sensitif terhadap perubahan pH
dibandingkan channel pottasium, maka peningkatan pH (alkalosis) akan
meningkatkan entri kalsium dan sodium ke dalam sel neuron, membuat neuron
tersebut lebih mudah tereksitasi. Seringkali menyebabkan kejang dan gangguan
kesadaran. (Teresa & Chua, 2010).
Normalnya cairan ekstraselular otak adalah isotonik dengan plasma. Jika
osmolaritas plasma berubah dengan cepat maka otak akan bertindak sebagai
osmometer, otak akan membengkak jika osmolaritas plasma menurun dan
mengkerut jika osmolaritas plasma meningkat akibat kehilangan cairan. Kondisi
hiponatremia maupun hipernatremia dapat mengganggu CNS dengan cara
mengubah osmolalitas sel-sel otak. Adapun gejala neurologis hiponatremia adalah
sakit kepla, mual, inkoordinasi, delirium, dan akhirnya kejang fokal atau
generalisata dengan apneu. Peningkatan konsentrasi sodium dalam cairan tubuh
akan meningkatkan osmolalitas cairan dan menginduksi manifestasi serebral berat.
Gejala neurologis yang terjadi tanpa adanya perubahan struktural pada otak,
kemungkinan merupakan akibat langsung dari hiperosmolalitas. Keluhan dan
gejala muncul akibat edema serebral. Hal ini khususnya terjadi dengan rehidrasi
yang cepat dan disebabkan oleh karena peningkatan klorida dan pottasium pada
otak. (Teresa & Chua, 2010).
Konsentrasi pottasium ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap
eksitabilitas serebral, tetapi gangguan serebral amat jarang pada pasien
hiperkalemia ataupun hipokalemia. Deplesi pottasium dapat mengakibatkan
kelemahan otot. Pada kasus yang berat, kelemahan otot mengalami progresi
menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan Guillan Barre syndrome. Adapun
hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien dengan hemolisis sel darah merah.
(Teresa & Chua, 2010).
Hipokloremia merupakan sindrom yang ditandai dengan anoreksia, gagal
tumbuh, letargi, kelemahan otot, dan alkalosis metabolik hipokalemik yang dapat
ditemukan pada bayi-bayi yang mengonsumsi formula yang dapat mengurangi
klorida selama 1 bulan atau lebih. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan lingkar kepala, keterlambatan bahasa, dan defisit visual motor.
(Teresa & Chua, 2010).
Kalsium merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik
rendah maupun tinggi dapat menimbulkan gangguan neurologis. Terdapat 3 bentuk
kalsium dalam serum yaitu terikat protein, chelated, dan terionisasi. Secara umum
gejala neurologis berhubungan dengan kadar kalsium terionisasi dengan jumlah 2,5
mg/dl atau kurang. Hiperkalsemia dapat terjadi akibat hiperparatiroidisme,
menyertai penyait maligna seperti leukimia, dan pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir. (Teresa & Chua, 2010).
f. Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya
serangkaian keluhan neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik.
Pada gagal hati akut, perubahan morfologi pada otak didominasi oleh perubahan
astrositik, terutama pembengkakan astrositik, dan edema otak sitotoksik. Seiring
dengan progresivitas edema otak, tekanan intrakranial meningkat dan
menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati kronik, kelainan mikroskopik
prinsipal diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan jumlah astrosit
protoplasmik. Sel-sel ini merupakan astrosit dengan nukleus yang membesar,
pucat, dan penyusutan pada protein asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat
ditemukan pada korteks serebral, basal ganglia, nuklei batang otak, dan lapisan
purkinje serebelum. Hal ini juga dapat ditemukan pada ensefalopati HIV. Terdapat
2 faktor terpenting pada patogenesis ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi
amonia pada plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine
yang siklusnya berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya akan diubah
menjadi glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik, reuptake terjadi
pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan metabolisme glukosa terjadi secara
sekunder pada ensefalopati hepatikum (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
g. Gagal ginjal
Dasar molekuar ensefalopati uremikum masih kompleks dan belum
dimengerti dengan baik. Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa muncul akibat
uremia. Terjadi akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Asam-asam
yang memasuki otak ini akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium. Aliran
darah serebral juga menunjukkan defek pada penggunaan oksigen. Defek ini
mungkin muncul karena peningkatan permeabilitas otak dan gangguan fungsi
membran sehingga memungkinkan produk-produk toksik memasuki jaringan otak
(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.5 Manifestasi Klinis
Setiap pasien dengan ensefalopati metabolik mempunyai gambaran klinis yang
khas, tergantung dari penyakit penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh
keadaan komorbid atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual
ini, penyakit spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang,
dan jika dikenali jarang sekali menghasilkan diagnosis yang keliru. Pemeriksaan secara
menyeluruh dan detail dari kesadaran, respirasi, reaksi pupil, pergerakan bola mata,
fungsi motorik, dan elektroensefalogram (EEG) dapat membedakan ensefalopati
metabolik dengan kelainan psikiatrik atau dengan penyakit struktural. (Sumantri,
2009).
a. Aspek klinis kesadaran
Pada pasien dengan ensefalopati metabolik biasanya didahului oleh
delirium. Penurunan daya ingat jangka pendek, penurunan kemampuan untuk
mempertahankan atau memindahkan perhatian, proses pikir terganggu, gangguan
persepsi, delusi dan atau halusinasi serta gangguan siklus bangun-tidur. (Sumantri,
2009).
b. Respirasi
Cepat atau lambat, penyakit ensefalopati metabolik hampir selalu
menyebabkan kelainan pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama.
Kebanyakan perubahan ini terjadi secara non-spesifik dan merupakan bagian dari
penekanan batang otak yang lebih luas. Namun demikian, pada keadaan-keadaan
tertentu, perubahan pernapasan dapat meberikan gambaran khas penyakit spesifik
yang menyebabkan. (Sumantri, 2009).
c. Perubahan respirasi neurologis dalam ensefalopati metabolik
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali
menampilkan gambaran pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi batang
otak yang lebih dalam hiperventilasi neurogenik dapat terjadi sebagai akibat dari
penekanan daerah inhibisi batang otak atau dari terjadinya edema pulmonar
neurogenik (Sumantri, 2009).
d. Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan hiperpnea
transien, sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma lainnya yang
menghasilkan asidosis metabolik akan menunjukkan pernapasan lambat dan dalam
(Kussmaul). Baik ensefalopati hepatik dan keadaan inflamasi sistemik sama-sama
menyebabkan hiperventilasi persisten yang pada akhirnya menyebabkan alkalosis
respiratorik primer. Pada keadaan-keadaan ini, peningkatan frekuensi napas
terkadang berhasil menutupi keadaan metabolik dasarnya dan apabila pasien
tersebut juga mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat secara
sekilas menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun
demikian dengan melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya dapat
ditemukan diagnosis kerja yang sesuai (Bates, 2003).
e. Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit
metabolik menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang
otak secara khusus rentan terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan
obat-obatan dapat secara selektif menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara
pada saat yang bersamaan tidak mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti
respons pupil dan kendali tekanan darah (Bates, 2003).
f. Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupilmenjadi kriteria klinis yang
paling penting dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan
penyakit metabolik. Adanya refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun
disertai dengan depresi pernapasan, kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik
tetap mengindikasikan ensefalopati metabolik. Ketiadaan refleks cahaya pupil
mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding metabolik. (Bates, 2003).
g. Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan
dua tipe kelainan motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan
refleks termasuk juga kejang fokal dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas
yang hampir patognomonik untuk penyakit ensefalopati metabolik. Kelainan
motorik difus sering ditemukan pada koma metabolik dan menggambarkan derajat
serta distribusi depresi SSP (Sumantri, 2009).
h. Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit
ensefalopati metabolik. Pasien dengan penyakit ensfalopati metabolik juga sering
mengalami kejang fokal atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang
akibat penyakit otak struktural. Meskipun demikian, pada saat ensefalopati
metabolik menyebabkan kejang fokal, fokusnya seringkali berpindah-pindah dari
satu serangan ke serangan yang lain, temuan ini jarang didapatkan pada lesi
struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas sering ditemukan pada uremia
dan sangat sulit dikendalikan (Bates, 2003).
i. Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari
penyakit ensefalopati metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada
lesi struktural fokal kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor
pada ensefalopati metabolik biasanya kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per
detik. Tremor biasanya hilang saat istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-
jemari tangan yang terjulur(Bates, 2003).
j. Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila
dihiperekstensikan pada pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada banyak
penyakit ensefalopati metabolik.
k. Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-ritmis
dan tidak berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot pada satu bagian
dan kemudian bagian tubuh yang lain, terutama pada wajah dan tungkai proksimal.
Mioklonus multifokal biasanya menyertai ensefalopati uremikum, penisilin
intravena dosis tinggi, narkosis CO2 dan ensefalopati hiperosmolar hiperglikemik.
Mioklonus multifokal pada pasien koma menandakan adanya penyakit metabolik
yang berat (Sumantri, 2009).
2.6 Diagnosis
a. Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari
waktu ke waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses
pemikiran yang tidak terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan
memori) seharusnya menjadi tanda peringatan bagi dokter. Penting untuk
mengetahui riwayat kesehatan pasien sebelumnya berdasarkan data dari rumah
sakit/klinik berobat pasien sebelumnya. Pemeriksaan klinis juga akan menunjukkan
lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi pada otak, namun kebanyakan kasus
menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital (takikardia, hipotensi, hipertensi,
takipnea). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan sistematik juga menunjukkan
penyebab spesifik terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh, ekstremitas basah dan
pucat pada syok hipotensi, ikterik pada ensefalopati hepatikum, nafas berbau keton
pada ketoasidosis diabetikum. (Varelas & Graffagrino, 2013).
b. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang
mendasari terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan
darah lengkap; kadar elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi
hormon thyroid, parathyroid, dan horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase,
lipase, dan amonia; Kadar troponin; analisa gas darah; evaluasi cairan
serebrospinal; kultur cairan tubuh (darah, urin, feses, sputum); serta toksikologi
serum dan urin termasuk kadar obat-obatan anti epileptik dan logam berat(Varelas
& Graffagrino, 2013).
c. Electroencephalography (EEG) mungkin menunjukkan gelombang trifasik yang
biasanya menunjukkan ensefalopati uremikum atau hepatikum, tapi hal ini tidak
spesifik. Pemeriksaan neuroimaging dapat membantu untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya lesi struktural dan pemeriksaan punksi lumbal yang
biasanya mengarahkan pada kemungkinan ensefalopati toxometabolik. MRI otak
menunjukkan temuan spesifik pada kondisi seperti myelinolysis pontine pusat dari
koreksi segera hiponatremia, keracunan kabon monoksida, methanol, ethylene
glucol, siklosporin, atau intoksikasi metronidazole(Varelas & Graffagrino, 2013).
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati kondisi
yang mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan memberikan
perawatan suportif. Pada pasien dalam keadaan koma, maka diperlukan tindakan
emergensi umum meliputi (Bates,2003; Sumantri, 2009):
1. Menjaga jalan napas (airway)
2. Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg dan
PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3. Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3
sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80 mmHG dengan mempergunankan obat-
obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak
boleh diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien
lansia dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan
melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat
menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan
sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup
4. Ukur kadar glukosa
Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL,
bahkan setelah episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-
hatian harus diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan
air (dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi
stabil.
5. Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme
kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa
dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan
untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian
glukosa.
6. Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan
otak dan harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai
0,1mg/kg) atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7. Perbaiki keseimbangan asam basa
Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan
kembali ke keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin
karena asidosis metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik
dapat mengganggu fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan
napas, sehingga harus menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator
mekanis mungkin diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan
tekanan intrakranial, sehinggaharus di jagadalamkadarsenormalmungkin. Alkalosis
respiratorikdapatmenyebabkanaritmiajantungdanmenghambatupayapenyapihandari
dukungan ventilator.
8. Sesuaikan suhu tubuh
Hipertermia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan
kebutuhan metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat
mendenaturasi protein selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5°C pada pasien
hipertermia harus diturunkan dengan menggunakan antipiretik dan bila diperlukan
dapat digunakan pendinginan fisik (eq. selimut pendingin). Hipotermia signifikan
(di bawah 34°C) dapat menyebabkan pneumonia, aritmia jantung, kelainan
elektrolit, hipovolemia, asidosis metabolik, gangguan koagulasi, trombositopenia
dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan secara bertahap untuk mempertahankan
suhu tubuh di atas 35°C.
9. Pemberian antidotum spesifik
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang
disebabkan oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-
obatan sedatif, alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat
dikonsumsi tunggal atau dengan kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat
diobati hanya dengan penatalaksaan suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini
menggunakan obat secara kombinasi pemberian antidotum spesifik sering tidak
membantu. Pemberian koktailkoma (campuran dekstrosa, tiamin, naloksone dan
flumazenil) jarang sekali membantu dan dapat membahayakan pasien. Meskipun
demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa ada zats pesifik yang telah
dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik membalikkan efek
obat-obatan penyebab koma dapat berguna.
Tabel 2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian (Sumantri, 2009)
Antidotum Indikasi
Nalokson Overdosis opioid
Flumazenill Overdosis benzodiazepine
Fisostigmin Overdosis antikolinergik (gamma-hidroksibutirat)
Fomepizol Keracunan metanol, etilen glikol
Glukagon Overdosis trisiklik
Hidroksokobalamin Overdosis sianida
Okreotid Hipoglikemia karena sulfonilurea
10. Kendalikan agitasi
Obat-obatan dengan dosis sedatif harus dihindarkan sampai dapat diperoleh
diagnosis yang jelas dan pasti bahwa permasalahan yang terjadi adalah metabolik
bukan struktural. Agitasi dapat dikendalikan dengan merawat pasien di dalam
ruangan bercahaya dan ditemani oleh keluarga atau anggota staff keperawatan
serta berbicara dengan nada yang menenangkan kepada pasien. Dosis kecil
lorazepam (0,5 sampai 1,0mg per oral) dapat diberikan dengan dosis tambahan
setiap 4 jam sejauh yang diperlukan dapat digunakan untuk mengendalikan
agitasi. Apabila ternyata tidak mencukupi, maka dapat diberikan haloperidol 0,5
sampai 1,0mg per oral atau intramuskular dua kali sehari, dosis tambahan setiap 4
jam dapat diberikan sesuai dengan keperluan. Pada pasien yang telah
mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan sedatif secara rutin, dosis yang lebih
besar dapat diperlukan oleh karena adanya toleransi silang. Penelitian terbaru
menunjukkan valproat, benzodiazepine, dan atau antipsikotik dapat meredakan
agitasi pada saat obat-obatan primer telah gagal. Untuk sedasi jangka waktu
sangat pendek, seperti yang diperlukan untuk melakukan CT-scan, maka sedasi
intravena dengan menggunakan propofol atau midazolam dapat digunakan, oleh
karena obat-obatan ini mempunyai masa kerja singkat dan midazolam dapat
dibalikkan efeknya setelah prosedur selesai.
Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang mereka
diperlukan untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian harus
diterapkan untuk memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu pernapasan dan
pengekang tungkai tidak menghambat peredaran darah atau merusak persarafan
perifer. Pengekang harus dilepas sesegera setelah agitasi dapat dikendalikan.
11. Lindungi mata
Erosi kornea dapat timbul dalam jangka waktu empat sampai enam jam bila
mata pasien koma terbuka baik secara penuh atau sebagian. Keratitis akibat
paparan dapat menyebabkan terjadinya ulserasi kornea bakterial sekunder.
Pencegahan terhadap keadaan di atas dapat diperoleh dengan meneteskan air mata
buatan setiap empat jam atau dengan menggunakan balut korneal polietilen.
Memeriksa refleks kornea dengan kapas berulang-ulang juga dapat merusak
kornea, teknik yang lebih aman digunakan adalah dengan meneteskan tetes mata
saline darij arak 10-15 cm.
2.8 Prognosis
Kebanyakan ensefalopati metabolik adalah reversibel, tetapi beberapa memiliki
potensi untuk kecacatan jangka panjang. Semakin tua usia pasien dan semakin parah
ensefalopati dan kegagalan multiorgan yang dialami, maka semakin tinggi mortalitas
(Teresa & Chua, 2010)
BAB III
KESIMPULAN
Ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang menyebabkan
gangguan neurologis yang disebabkan oleh kelainan zat-zat metabolit, toksin, atau
kegagalan organ. Klasifikasi ensefalopati dapat berdasarkan penyebabnya yaitu
ensefalopati metabolik primer yang diakibatkan oleh disfungsi substansia alba maupun
grisea pada otak dan ensefalopati metabolik sekunder yang diakibatkan oleh berbagai
macam faktor yang diantaranya adalah kekurangan glukosa dan zat-at yang diperlukan
untuk metabolisme sel serta ketidakseimbangan ion dan cairan tubuh. Diagnosa
ensefalopati metabolik harus diambil secara cepat dan tepat sehingga dapat dengan
segera ditangani karena komplikasi yang ditimbulkannya sangat berat yaitu dapat
menyebabkan disfungsi neurologis bahkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, D. (2003). Medical coma. 4.(Neurologic emergencies).
Dorland, W. N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland (20 ed.). Jakarta: ECG.
Kurinczuk, J., White-Koning, M., & Badawi, N. (2010). Epidemiology of Neonatal
Encephalopathy and Hypoxic Ischemi Encephalopathy. 86, 329-338.
Mardjono, M., & Priguna, S. (1989). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Sumantri, S. (2009). Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran.
Surabaya: Universitas Brawijaya.
Suspanc, V., Vargek-solter, V., & Demarin, V. (2003). Metabolic Encephalopathies.
42.
Teresa, P., & Chua, C. (2010). Encephalopathies. UERMMCI College of Medicine.
Varelas, P. N., & Graffagrino, C. (2013). Metabolic encephalopathies and delirium.