13
Rinosinusitis Alergi Jamur Daniel Glass, MD,* Ronald G. Amedee, MD*^ * Departement of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Tulane University School of Medicine, New Orleans, LA * Departement of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Ochsner University School of Medicine, New Orleans, LA ^ The University of Queensland School of Medicine, Ochsner Slinical School, New Orleans, LA Abstrak Latar belakang: Rinosinusitis alergi jamur adalah penyakit baru dan belum dipahami secara mendalam baik karakteristik klinis, radiografi maupun penemuan histopatologinya. Penyakit rinosinusitis alergi jamur selalu salah diagnosis. Mengetahui dan mengerti atas penyakit unik ini akan menuju diagnosis dan tatalaksana yang benar. Metode: Jurnal ini merupakan review, disadur dari PubMed English, diagnosis, patogenesis, dan tatalaksana rinosinusitis alergi jamur. Hasil: Rinosinusitis alergi jamur merupakan penyakit yang dimodulasi imun. Kriteria diagnostik Bent dan Kuhn adalah standar untuk mendiagnosis penyakit ini yang mana merupakan penyakit yang terjadi karena mekanisme alergi yang masih belum dimengerti. Tatalaksana tergantung pada prosedur bedah, penggunaan kortikosteroid dan imunoterapi. Kesimpulan: Rinosinusitis alergi jamur adalah penyakit unik yang proses terjadinya berbeda dari bentuk penyakit sinusitis lainnya dan memerlukan pengetahuan klinisi akan 1

jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rinosinusitis karena alergi jamur

Citation preview

Page 1: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

Rinosinusitis Alergi Jamur

Daniel Glass, MD,* Ronald G. Amedee, MD*^

* Departement of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Tulane University School of Medicine, New Orleans, LA

* Departement of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Ochsner University School of Medicine, New Orleans, LA

^ The University of Queensland School of Medicine, Ochsner Slinical School, New Orleans, LA

Abstrak

Latar belakang: Rinosinusitis alergi jamur adalah penyakit baru dan belum dipahami

secara mendalam baik karakteristik klinis, radiografi maupun penemuan

histopatologinya. Penyakit rinosinusitis alergi jamur selalu salah diagnosis. Mengetahui

dan mengerti atas penyakit unik ini akan menuju diagnosis dan tatalaksana yang benar.

Metode: Jurnal ini merupakan review, disadur dari PubMed English, diagnosis,

patogenesis, dan tatalaksana rinosinusitis alergi jamur.

Hasil: Rinosinusitis alergi jamur merupakan penyakit yang dimodulasi imun. Kriteria

diagnostik Bent dan Kuhn adalah standar untuk mendiagnosis penyakit ini yang mana

merupakan penyakit yang terjadi karena mekanisme alergi yang masih belum

dimengerti. Tatalaksana tergantung pada prosedur bedah, penggunaan kortikosteroid

dan imunoterapi.

Kesimpulan: Rinosinusitis alergi jamur adalah penyakit unik yang proses terjadinya

berbeda dari bentuk penyakit sinusitis lainnya dan memerlukan pengetahuan klinisi

akan cara diagnosis dan tatalaksana untuk menyediakan perawatan kepada penderita.

Pendahuluan

Rinosinusitis alergi jamur pertama kali dilaporkan pada suatu daerah pada tahun

1976.1 Rinosinusitis alergi jamur ini hampir sama secara klinis dengan misetoma

(sinusitis fungus ball) yang noninvasif, berbeda bentuk dan tidak berhubungan dengan

patologi sinusitis jamur invasif. Rinosinusitis alergi jamur adalah entitas patologi yang

benar-benar unik, yang diketahui dengan adanya musin alergi jamur, yang tebal, kental,

dan ditemukan eosinofil. Musin ini secara makroskopis dan mikroskopis mirip dengan

musin yang ditemukan di paru pada pasien yang menderita allergic bronchopulmonary

aspergilosis (ABPA) dan atas kesamaan ini membantu untuk memahami patogenesis

dari rinosinusitis alergi jamur.2 Sejak tahun 1970-an, rinosinusitis alergi jamur ini

1

Page 2: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

menjadi subyek perdebatan dan kontroversi baik patogenesisnya, diagnosis, klasifikasi

dan manajemen terapinya.

Diagnosis

Diagnosis dimulai dengan keseluruhan riwayat penyakit penderita. Biasanya,

penderita mempunyai riwayat sinusitis yang tidak dapat disembuhkan dengan

medikamentosa maupun dengan terapi bedah yang akan membaik bila dilakukan pada

sinusitis bakteri.3 Beberapa sediaan antibiotik dan sediaan topikal nasal telah dicoba

dengan rating keberhasilan rendah. Fitur unik dari rinosinusitis alergi jamur yang dapat

menjadi tanda bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis termasuk usia muda (rata-rata

22 tahun), pasien imunokompeten dengan unilateral atau asimetris sinusitis, mempunyai

riwayat atopik, kerak nasal, poliposis, dan nyeri yang hebat.4 Kerak nasal berwarna

hijau sampai kehitaman yang dibentuk dari musin alergi. Biasanya penderita juga

menderita proptosis, telechantus maupun gross facial dysmorphic.5 Rinosinusitis alergi

jamur terjadi di Amerika Serikat, dengan meningkatnya prevalensi di Mississippi dan

negara bagian barat daya.6 Dilema diagnosis saat ini adalah membedakan rinosinusitis

alergi jamur dengan jamur lain yang menyebabkan sinusitis, termasuk misetoma,

saprophytic fungal growth, rinosinusitis musin eosinofilik, dan sinusitis jamur invasif.

Tahun 1994, Bent dan Kuhn mempublikasikan kriteria diagnosis berdasarkan

histologi, radiografi dan karakteristik imunologi dari penyakit ini.7 Beberapa orang

lainnya juga mengeluarkan beberapa kriteria yang membutuhkan diskusi dan investigasi

terhadap penyakit ini; walaupun begitu, kriteria Bent dan Kuhn (Tabel 1) dipakai

sebagai standar untuk mendiagnosis penyakit rinosinusitis alergi jamur saat ini. Harus

ditemukan semua kriteria mayor untuk mendiagnosis, sedangkan kriteria minor hanya

mendukung diagnosis dan tidak digunakan untuk dasar mendiagnosis.

Tabel 1. Kriteria diagnosis Bent dan Kuhn

Mayor MinorHipersensitivitas tipe 1Nasal poliposisDitemukan karakteristisk CTMusin eosinofilik tanpa invasiPewarnaan fungal positif

AsmaUnilateralErosi tulangKultur jamurKristal Charcot-LeydenSerum eosinofilia

Kriteria mayor meliputi riwayat hipersensitivitas tipe 1, dapat diketahui dengan cara test

kulit, ataupun tes in vitro; nasal poliposis; karakteristik pada CT Scan; kehadiran musin

2

Page 3: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

eosinofilik tanpa adanya invasi; dan pewarnaan jamur positif pada isi sinus yang

dikeluarkan pada saat pembedahan. Kriteria minor terdiri dari riwayat asma; unilateral

sinusitis; kejadian pada radiografi yaitu erosi tulang; adanya kristal Charcot-Leyden

pada spesimen pembedahan; dan serum eosinofilia.

Penemuan histopatologi pada rinosinusitis alergi jamur sangat menentukan

diagnosisnya. Secara mikroskopik, spesimen mukosa dengan pewarnaan HE

menunjukkan adanya infiltasi inflamasi yang tersusun dari eosinofil, limfosit dan sel

plasma.8 Mukosa akan tampak hipertrofi dan hiperplasi akan tetapi tidak ada nekrosis,

giant cells, granuloma atau invasi ke jaringan sekitar.

Penting untuk diketahui bahwa pemeriksaan musin alergi jamur yang unik,

bukan mukosanya, adalah indikator yang paling diandalkan. Secara makroskopis, musin

yang tebal, kental dan berbagai warna dideskripsikan seperti mentega kacang.6 Secara

mikroskopis, musin terlihat seperti chondroid dengan adanya lapisan eosinofilia, adanya

pemecahan dari eosinofilia maupun adanyanya kristal Charcot-Leyden yang mudah

dilihat dengan pewarnaan HE.6 Jamur tidak diwarnai dengan pewarnaan HE; namun

demikian, gambaran negatif terkadang dihargai. Pewarnaan spesial yang berisi perak

kadang dibutuhkan untuk kultur.

Kultur jamur harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Kultur tersebut baik untuk

digunakan sebagai bukti pendukung. Kita dapat mendiagnosis penyakit rinosinusitis

alergi jamur dari kultur yang negatif, dan pertumbuhan jamur saprofit tidak dapat

mendiagnosa rinosinusitis alergi jamur meskipun hasil kultur positif sendirian.

Penemuan karakteristik pada gambar radiologi merupakan komponen penting

dalam mendiagnosa rinosinusitis alergi jamur.6,7 Musin alergi memberikan gambaran

yang heterogen yang tidak spesifik terhadap rinosinusitis alergi jamur. Heterogenitas ini

berhubungan dengan akumulasi hemosiderin pada musin, akan tetapi teori yang terbaru

memusatkan pada pengumpulan dari logam berat seperti besi dan mangan.6,7 Sinus

etmoid merupakan sinus yang sering terkena. Erosi tulang dan ekspansi musin jamur

sering terlihat pada CT scan, berhubungan dengan ekspansi musin dan lokal inflamasi

dan tidak disebabkan oleh invasi jamur yang sesunmgguhnya.8 Remodeling dan

penipisan dinding tulang terlihat pada 56% kasus, biasanya pada tulang orbita, lanjut

pada fosa cranial anterior, tengah dan posterior.9 Keterlibatan tulang lokal biasa terjadi

10 kali pada rinosinusitis alergi jamur daripada pada kronik rinosinusitis.7 Beberapa

pengarang telah mendokumentasikan angka kejadian proptosis pada pediatri

rinosinusitis alergi jamur, dengan perkiraan 50% dari anak-anak yang mempunyai erosi

3

Page 4: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

tulang orbita dan proptosis.10,11 Untungnya, penurunannn volume orbital (hampir 70%

dari normal) telah tercatat akan kembali 90% dari normal setelah terapi.10,11

MRI menunjukkan spesifisitas yang tinggi terhadap rinosinusistis alergi jamur,

terlebih apabila digabungkan dengan CT.12 Konsentrasi protein yang tinggi pada musin

alergi (> 28%) menghasilkan crosslinking dan pergerakan makormolekular yang

lambat, memberikan peningkatan pada T1 hipointens dan T2 sinyal void. T1 dan T2

menunjukkan peningkatan perifer.

Penemuan laboratorium juga membantu dalam mendiagnosis rinosinusitis alergi

jamur. Serum total IgE naik, biasanya lebih dari 1,000 U/mL. Mabry dan temannya 13-15

mendemonstrasikan sensitivitas terhadap antigen jamur dan antigen non jamur,

menghasilakn bahwa penderita rinosinusitis alergi jamur pada umumnya atopik.

Patogenesis

Patogenesis dari rinosinusitis alergi jamur masih belum diketahui secara pasti

dan masih kontroversi. Teori awal mengatakan bahwa adanya kemiripan dalam

mekanisme pada rinosinusitis alergi jamur dengan ABPA, yaitu reaksi hipersensitivitas

Gell dan Coombs tipe 1 dan 3 terhadap antigen jamur yang terhirup. 17 Teori imunologi

ini didukung oleh Manning dan Holman, 4 yang mengeluarkan teori siklus dari stimulus

antigen, diikuti dengan reaksi hipersensitivitas dan inflamasi, obstruksi, dan eksposur

antigen. Di percobaan pertama mereka, Manning dan Holman 4 membandingkan 8

penderita dengan kultur positif Bipolaris rinosinusitis alergi jamur dengan 10

nonsinusitis, dan menemukan Bipolaris-spesifik IgE dan antibodi IgG oleh tes

radioalergeosorbent dan ELISA.4 Pasien ini juga menunjukkan hasil positif pada tes

kulit terhadap Bipolaris. Hasilnya mengimplikasikan bahwa adanya keterlibatan alergi

terhadap antigen jamur pada patofisiologi rinosinusitis alergi jamur. Percobaan

pelengkap dengan membandingkan 14 spesimen mukosa dari penderita rinosinusitis

alergi jamur dengan 10 penderita kronik rinosinusitis. Studi ini menunjukkan eosinofilia

lebih mendominasi daripada neutrofil di spesimen penderita rinosinusitis alergi jamur,

sedangkan pada kronik rinosinusitis, eosinofil dan neutrofil sama banyaknya.

Penelitian yang penting, menyebabkan lebih banyak pertanyaan dan teori yang

muncul untuk menjelaskan patogenesis dari rinosinusitis alergi jamur. Tercatat bahwa

ada beberapa pasien dengan gejala rinosinusitis alergi jamur tetapi tidak mempunyai

alergi. Apakah mungkin orang yang tidak mempunyai riwayat atopik terserang penyakit

rinosinusiris alergi jamur? Teori alternatif dikemukakan oleh Ponikau et al. 18 yang

4

Page 5: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

mendemonstrasikan kehadiran jamur di hidung dan sinus paranasal di 93% pasien

setelah operasi berbagai macam kronik rinosinusitis. Studi ini juga menunjukkan alergi

jamur spesifik tidak umum di pasien tersebut dan menyimpulkan bahwa pada kronik

rinosinusitis sel T berespon terhadap jamur, menghasilkan kemotaksis eosinofil dan

aktivasi. Bagaimanapun juga, pertanyaan yang masih ada: jika jamur dimana-mana, apa

yang menentukan mengapa beberapa pasien berkembang menjadi rinosinusitis alergi

jamur sedangkan lainnya tidak?

Collins et al. 19 mengemukakan teori bahwa rinosinusitis alergi jamur adalah

hasil dari non sistemik lokal, reaksi hipersensitivitas. Studi ini, yang berdasarkan atas

penemuan IgE jamur sepsifik di musin rinosinusitis alergi jamur maupun di non-

rinosinusitis alergi jamur, menunjukkan kejadian dari respon reaksi tipe 1. Respon

tersebut lokal pada hidung dan sinus paranasal tanpa adanya tanda keterlibatan sistemik.

Ide ini memberikan dukungan terhadap teori-teori sebelumnya.

Terakhir, Pant et al. 20 mengemukakan teori keterlibatan yang sangat signifikan

dari imunitas humoral pada patogenesis dari rinosinusitis alergi jamur. Studi ini melihat

pada pasien dengan eosinophilic mucin CRS (EMCRS), yang ditandai dengan adanya

polipoid rinosinusitis dan musin eosinofilik dengan atau tanpa elemen jamur. Kenaikan

level IgG3 daripada IgE membedakan EMCRS dan rinosinusitis alergi jamur dari

bentuk lain dari kronik rinosinusitis. Respon IgE jamur spesifik di penderita EMCRS

tidak ada bedanya dengan kontrol, sehingga menimbulkan pertanyaan peran dari alergi

jamur pada rinosinusitis alergi jamur.

Tata laksana

Seperti telah diketahui bahwa patogenesis dari penyakit ini berkembang, maka

tata protokol tatalaksanapun juga berkembang.

Tabel 2. Pilihan terapi rinosinusitis alergi jamurMenghindari alergenMengontrol alergi (kostikosteroid nasal, antihistamin)BedahKortikosteroid oralImunoterapi

Terapi awal ditujukan untuk meng eradikasi Aspergillus, hal ini dikarenakan kemiripan

antara rinosinusitis alergi jamur dengan ABPA, baik pada kulturdan serologi. Manning 21 telah mengidentifikasi jamur dematiaceous, yaitu Bipolaris. Identifikasi yang benar

dari organisme penyebab telah disertai dengan perkembangan algoritma tatalaksana.

5

Page 6: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

Pembedahan tradisional dengan mengambil mukosa yang rusak. Strateginya

hampir sama dengan endoskopi pemisah jaringan.22,23 Didesain untuk membuang

obstruksi dan menyediakan pola drainase alami, tujuan akhirnya adalah membuang

musin secara keseluruhan dan debris untuk mengeliminasi antigen. Post operasi harus

tetap dijaga agar tidak terjadi kekambuhan. Karakteristik fisik dari rinosinusitis alergi

jamur menjadi patokan untuk dilakukan pembedahan.6

Penggunaan kortikosteroid oral dan medikamentosa lainnya dalam merawat

penderita rinosinusitis alergi jamur berkembang dari keberhasilan dalam merawat

penderita ABPA. Efikasi dari kortikosteroid oral telah tercatat dalam literatur;

keuntungannya termasuk meningkatnya kesembuhan dan meningkatnya waktu untuk

pembedahan, reduksi pada stadium mukosa, dan mengurangi kadar IgE.2,5 Tidak ada

dosis optimal dari kortikosteroid oral yang dipublikasikan saat ini.

Imunoterapi telah menunjukkan adanya dampak positif pada penderita

rinosinusitis alergi jamur sejak 1993. Mabry dan temannya 13-15 telah mempublikasikan

hasil dari penggunaan imunoterapi terhadap pasien rinosinusitis alergi jamur, dan

menunjukkan eliminasi dari kerak nasal dan membuang kumpulan musin. Menariknya,

pasien ini tidak membutuhkan kortikosteroid oral dan hanya membutuhkans edikit

kortikosteroid topikal. Terapi diberikan 4-6 minggu setelah operasi dan berguna untuk

membersihkan musin alergi secara keseluruhan saat operasi untuk mengurangi muatan

antigenik dan mencegah pemburukan penyakit. Pemberian dosis optimal masih belum

ada kepastian.

Terapi antifungal dimulai akibat adanya prevalensi yang tinggi akan terjadinya

kekambuhan. Kennedy dan temannya 24 menunjukkan tidak ada perkembangan dalam

penampakan radiografi atau pada gejala pada pasien yang diterapi dengan terbinafine

oral selama 6 minggu. Beberapa investigator telah mengevaluasi antifungal intranasal

dan hasilnya tercampur.25 Penemuan ini membuktikan bahwa perlunya kerja keras dan

mencari alasan mengapa terapi antifungal tidak begitu berguna dalam melakukan

tatalaksana terhadap penyakit rinosinusitis alergi jamur.

Kesimpulannya, rinosinusitis alergi jamur adalah penyakit baru; banyak

pertanyaan terhadap diagnosis, patogenesis, dan tatalaksananya. Kriteria Bent dan Khun

merupakan kriteria yang diterima dan digunakan saat ini. Teori untuk patogenesis

termasuk reaksi hipersensitivitas dan sel T yang termediasi dan juga respon imun

humoral. Tatalaksana yang pastia dalah dengan pembedahan, dengan peran yang kuat

dari kortikosteroid oral dan imunoterapi. Antifungal, baik sistemik dan topikal,

6

Page 7: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

mempunyai peranyang kecil dalam tatalaksana, meskipun membutuhkan penelitian

lebih lanjut.

Daftar Pustaka

1. Safirstein B. Allergic bronchopulmonary aspergillosis with obstruction of the upper respiratory tract. Chest. 1976;70:788-790.

2. Kuhn FA, Javer AR. Allergic fungal rhinosinusitis: our experience. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1998;124(10):1179-1180.

3. Juhn FA, Javer AR. Allergic fungal rhinosinusitis: perioperative management, prevention of recurrence, and role of steroids and antifungal agents. Otolaryngol Clin North Am. 2000;33(2):419-433.

4. Manning SC, Holman M. Further evidence for allergic pathophysiology in allergic fungal sinusitis. Laryngoscope, 1998;108(10):1485-1496.

5. Ryan MW, Marple BF. Allergic fungal rhinosinusitis: diagnosis and management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;15(1):18-22.

6. Marple BF. Allergic fungal rhinosinusitis: current theories and management strastegies. Laryngoscope. 2001;111(6):1006-1019.

7. Bennt JP 3rd, Kuhn FA. Diagnosis of allergic fungal sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 1994;111(5):580-588.

8. Manning SC, Merkel M, Kriesel K, Vuitch F, Marple B. Computed tomography and magnetic resonance diagnosis of allergic fungal sinusitis. Laryngoscope. 1997;107(2):170-176.

9. Ghegan MD, Lee FS, Sclosser RJ. Incidence of skull base and orbital erosion in allergic fungal rhinosinusitis (AFRS) and non-AFRS. Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;134(4):592-595.

10. Campbell JM, Graham M, Gray HC, Bower C, Blaiss MS, Jones SM. Allergic fungal sinusitis in children. Ann Allergy Asthma Immunol. 2006;96(2):286-290.

11. McClay JE, Marple B, Kapadia L, et al. Clinical presentation of allergic fungal sinusitis in children. Laryngoscope. 2002;112(3):565-569.

12. Zinreich SJ, Kennedy DW, Malat J. Et al. Fungal sinusitis: diagnosis with CT and MR imaging. Radiology. 1988;169(2):439-444.

13. Mabry RL, Manning SC, Mabry CS. Immunotherapy in the treatment of allergic fungal sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 1997;116(1):31-35.

14. Mabry RL, Marple BF, Folker RJ, Mabry CS. Immunotherapy for allergic fungal sinusitis: three years experience. Otolaryngol Head Neck Surg. 1998;119(6):648-651.

15. Mabry RL, Mabry CS. Allergic fungal sinusitis: the role of immunotherapy. Otolaryngol Clin North Am. 2000;33(2):433-440.

16. Schubert MS. A superantigen hypothesis for the patogenesis of vhronic hypertropic rhinosinusitis, allergic fungal sinusitis, and related disorders. Ann Allergy Asthma Immunol. 2001;87(3):181-188.

17. Safirstein BH. Allergic bronchopulmonary aspergillosis with obstruction of the upper respiratory tract. Chest. 1976;70(6):788-790.

18. Ponikau JU, Sherris DA, Kern EB, et al. The diagnosis and incidence of allergic fungal sinusitis. Mayo Clin Proc. 1999;74(9):877-884.

19. Collins M, Nair S, Smith W, Kette F, Gillis D, Wormald PJ. Role of local immunoglobulin E production in the pathophysiology of noninvasive fungal sinusitis. Laryngoscope. 2004;114(7):1242-1246.

20. Pant H, Kette FE, Smith WB, Wormald PJ, Macardie PJ. Fungal specific humoral response in eosinophilic mucus chronic rhinosinusitis. Laryngoscope. 2005;115(4):601-606.

21. Manning SC, Schaefer SD, Close LG, Vuitch F. Culture-positive allergic fungal sinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1991;117(2):174-178.

7

Page 8: jurnal Rinosinusitis Alergi Jamur

22. Schubert MS, Goetz DW. Evaluation and treatment of allergic fungal sinusitis. I. Demographics and diagnosis. J Allergy Clin Immunol. 1998;102(3):378-394.

23. Schubert MS. Allergic fungal sinusitis: pathogenesis and management strategies. Drugs. 2004;64(4):363-374.

24. Kennedy DW, Kuhn FA, Hamilos DL, et al. Treatment of chronic rhinosinusitis with high-dose oral terbanafine: a double blind, placebo-controlled study. Laryngoscope. 2005;115(10):1793-1799.

25. Stankiewicz JA, Musgrave BK, Scianna JM. Nasal amphotericin irrigation in chronic rhinosinusitis. Curr Opln Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;16(1):44-46.

8