Click here to load reader
Upload
masbur3586
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf sebagai wadah atau perwakafan sebagai suatu proses secara
normatif di dalam Islam dipahami sebagai satu lembaga/institusi keagamaan yang
sangat penting, di samping sebagai lembaga keislaman lainnya seperti perbankan,
zakat, infak dan shadakah. Lembaga wakaf yang dikenal di lingkungan umat
Islam berasal dari bahasa Arab, waqf dari kata kerja waqafa yang berarti
menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu, Sinonim waqf adalah
habs, artinya menghentikan atau menahan. Bentuk jamak waqf adalah awqaf dan
bentuk jamak habs adalah ahbas.1 Di dalam perundang-undangan disebutkan
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.2
Salah satu dari bentuk ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT
yang berkaitan dengan harta benda adalah wakaf. Amalan wakaf sangat besar
artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena
itu, Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang amat
1 Moh. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988, hlm.
80. 2 Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998/1999, hlm. 99.
1
2
digembirakan.3 Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surat
Ali Imran ayat 92, adalah sebagai berikut :
ونا تحبا ممتى تنفقوح تنالواالبر م قلىلنلياهللا به ع شئ فان ا منا تنفقومو
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu nafkahkan, maka Allah mengetahuinya”. (Q.S. Ali Imran : 92)4
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
, يا رسول اهللا : فأتى النبي ص يستأمره فيها فقال , اصاب عمر أرضا بخيبر: ن ابن عمر قال ع
همن ديعن فسو أنماال قط ه أصب بر لما بخيضأر تي أصبلها ( قال . إنت أصإن شئت حبس
دق بها فتص, واليوهب , واليورث, أنه ال يباع أصلها: فتصدق بها عمر : قال ) وتصدقت بها
ال جناح على ,والضيف , وابن السبيل,وفي سبيل اهللا , وفي الرقاب, وفي القربى , في الفقراء
ليه واللفظ لمسلم متفق ع( ويطعم صديقا غير متمول ماال. من وليها ان يأكل منها بالمعروف
(
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : ‘Umar dapat satu tanah di
Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW buat bermusyawarah ditentangnya, yaitu ia berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya saya dapat tanah di Khaibar yang saya belum pernah dapat harta yang lebih berharga pada pandangan saya dari padanya. Sabdanya :”Kalau engkau mau, wakafkanlah pokoknya dan bershadakahlah dengan (hasil)-nya”. Ia (‘Umar) berkata : Maka ‘Umar wakafkankan dia dengan syarat tidak boleh dijual pokoknya dan tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dihibahkan
3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Bandung : PT.
Al-Ma’arif, 1987, hlm. 7. 4 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1986, hlm.
91.
3
(diberikan atau dihadiahkan), yaitu wakafkan pada fakir dan pada keluarga yang hampir dan pada memerdekakan hamba dan pada sabilillah dan ibnus-sabil (orang musafir yang terlantar atau keputusan bekal) dan kamu, tidak terlarang pengurusnya makan daripadanya dengan patut dan memberi makan shahabatnya yang tidak mengumpul harta” (HR. Bukhari dan Muslim)5.
Sebagai lembaga, wakaf dapat digunakan sebagai salah satu pilar dan
sarana untuk mengembangkan bidang sosial dan ekonomi dalam rangka
menunjang dan meningkatkan derajat kehidupan umat Islam. Sebagai proses,
perwakafan dapat dijadikan satu gerakan untuk membangkitkan semangat umat
Islam dan menjadikan lembaga wakaf sebagai basis tumbuhnya gerakan sosial dan
ekonomi umat Islam.
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, hal-hal yang menyangkut wakaf termasuk perwakafan
tanah didasarkan pada pemikiran ahli fiqih yang sangat bearagam. Akibatnya
timbul beragam persepsi terhadap lembaga dan juga obyek wakaf, sehingga
keadaan demikian kurang menguntungkan. Pengelolaan dam pendayagunaan
tanah wakaf tidak diatur secara tuntas dalam perundang-undangan dan tidak ada
pencatatan secara administrasi terhadap tanah wakaf dan harta benda di atasnya.
Akibat penataan manajemen organisasi wakaf yang tidak tertata baik, dapat
memudahkan terjadinya penyimpangan hakikat tujuan wakaf. Ekses
penyelewengan mengakibatkan lembaga wakaf tidak mendapat simpati dari
masyarakat.
5 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram (Ibnu Hajr Al ‘Asqalani), Atas Kerjasama antara
CV. Pustaka Tamaam dengan Pesantren Persatuan Islam Bangil, t.th., hlm. 483-484.
4
Perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam
bidang Hukum Agraria yaitu sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang
bagaimana penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia,
untuk kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia, bagaimana hubungan
antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa serta hubungan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut.6
Berdasarkan kenyataan demikian, pemerintah memandang perlu diberikan
landasan hukum yang kuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf. Selanjutnya pemerintah
memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik yang di dalamnya terdapat beberapa aspek lokal yang
bernuansa Indonesia turut mewarnai substansinya, sekaligus merupakan unifikasi
hukum di bidang perwakafan tanah milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik beserta pelaksanaannya yang hingga saat sekarang masih berlaku, hanya
mengatur khusus tentang perwakafan tanah milik saja yang permasalahan
pokoknya mengatur tentang inventarisasi perlindungan hukum tanah wakaf,
proses terjadinya perwakafan tanah milik baik teknis maupun administratif, serta
proses pemberian hak atas tanah wakaf melalui sertifikat sesuai dengan undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960. Padahal jika dikaji lebih jauh ruang lingkup dan
obyek wakaf tidak saja menyangkut tanah saja, tetapi lebih luas lagi terutama
6 A. Faisal Haq, et al., Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Surabaya: PT. GBI
(Anggota IKADI), 1993, hlm. 30.
5
bagaimana obyek wakaf didayagunakan oleh suatu nadzir yang independen dan
profesional dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam.
Di samping itu juga dapat diharapkan agar tanah wakaf difungsikan dan
dimanfaatkan lebih profesional, serta agar pengurus harta atau tanah wakaf dapat
dilakukan secara lebih baik dan tertib, serta terarah. Mengingat bahwa wakaf
adalah untuk kepentingan masyarakat, maka di dalam pengelolaannya harus
diserahkan lembaga atau badan yang bertugas mengelola wakaf yang disebut
dengan nadzir. Nadzir merupakan unsur penting dalam sistem perwakafan, karena
nadzir adalah ujung tumbak perwakafan, tanpa nadzir, maka wakaf tidak akan
terlaksana.
Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.7 Di dalam hukum Islam masalah
nadzir tidak dibahas secara jelas, akan tetapi ada hal-hal penting yang
mengisyaratkan tentang arti pentingnya kedudukan nadzir.
Meskipun dalam sistem perwakafan menurut fiqih tidak disebutkan bahwa
nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun demikian nadzir sangat diperlukan
agar tujuan wakaf dapat tercapai manfaatnya, maka secara otomatis nadzir
dibutuhkan seseorang atau badan hukum yang mengelola dan mengurus wakaf.
Sebagaimana yang terdapat di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang, badan wakaf ini memiliki tanah wakaf yang berasal dari wakaf asli
maupun pembelian, yang terletak di Jl. Bulustalan III A/ 253 dan di Jl. Indraprasta
No. 138 Semarang. Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang memiliki
7 Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, loc. cit.
6
nadzir yang mengelola tanah wakaf yang cukup profesional dengan berhasilnya
mewujudkan pembangunan pendidikan yang cukup maju.
Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang yang semula
merupakan salah satu bentuk dari yayasan yang bersifat keluarga, dengan
keterampilan dan kerja keras para pengelola akhirnya bisa menjadikan Yayasan
Al Khoiriyyah menjadi yayasan umat, yang berfungsi mencerdaskan para generasi
dengan mengutamakan bidang keagamaan.
Dalam mewujudkan pengembangan dalam bidang pendidikan yang lebih
maju, nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang memiliki
cara-cara khusus untuk mengelola tanah wakaf, sehingga tanah wakaf tersebut
berfungsi sebagaimana mestinya.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menganalisa tentang : NADZIR DAN MANAJEMEN PENDAYAGUNAAN
TANAH WAKAF ( Studi Kasus Di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang )
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, muncul beberapa
permasalahan dalam benak penulis untuk membahas masalah tersebut. Adapun
rumusan masalah yang akan dikaji adalah :
1. Bagaimana hak dan kewajiban nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang ?
7
2. Bagaimana peran nadzir dan manajemen pendayagunaan tanah wakaf di
Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang ?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa tujuan yang
pokok dan mendasar, adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana hak dan kewajiban nadzir di Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran nadzir dan manajemen pendayagunaan
tanah wakaf di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang.
D. Telaah Pustaka
Penulisan ini adalah penulisan berdasarkan penelitian lapangan yang
mengambil lokasi di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, yang
berfokus pada peran nadzir dan manajemen pendayagunaan tanah wakaf.
Untuk menunjang dalam mengkaji dan menganalisa peran nadzir dalam
mengelola tanah wakaf, agar sesuai dengan sasaran dan maksud yang diinginkan,
maka penulis mengambil dan menelaah dari beberapa buku-buku, skripsi yang
hampir sama pembahasannya dan kitab-kitab serta undang-undang yang ada
kaitannya dengan peranan nadzir dalam mengelola tanah wakaf. Diantaranya
adalah :
Pertama, skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 7 dan 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Hak dan Kewajiban Nadzir ( Studi
8
Kasus di Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen), karya Mubarok, membahas
tentang hak dan kewajiban nadzir dalam konteks perwakafan di Indonesia saat ini
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pada hakikatnya merujuk
pada sistem perwakafan menurut fiqih, karena dalam fiqih masalah perwakafan
dianggap belum memadai, sehingga diperlukan adanya aturan baru yang sesuai
dengan konteks Indonesia. Ada tiga motif dasar dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Pertama, adalah motif keagamaan,
sebagaimana tercermin dalam konsiderannya yang menyatakan bahwa, wakaf
sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai sarana keagamaan, kedua,
tidak memadainya peraturan sebelumnya, ketiga, adanya landasan hukum yang
kokoh dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960, khususnya pasal 14 ayat (1) huruf b dan pasal 49 ayat (3).8
Kedua, Instruksi Presiden R.I. No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, dalam KHI tersebut dijelaskan dalam Bab II tentang Fungsi,
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf yang dijelaskan dalam pasal 216 sampai
dengan pasal 222, Bab III tentang Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda
Wakaf yang dijelaskan dalam pasal 223 sampai dengan pasal 224 serta Bab IV
tentang Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf yang dijelaskan
dalam pasal 225 sampai dengan pasal 227.9
8 Ziyaurrachman Mubarok, “Implementasi Pasal 7 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Hak dan Kewajiban Nadzir (Studi Kasus di Kec. Puring Kab. Kebumen)”, Skripsi Sarjana Syari’ah, Semarang : Perpustakaan Fak. Syari’ah IAIN Walisongo, 2004, hlm. 65, t.d.
9 Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, op. cit, hlm. 100-107.
9
Ketiga, dalam buku Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Indonesia di dalamnya terdapat
Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur perihal perwakafan tanah di
Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978, menurut Muhammad Amin Suma dalam bukunya tentang,
memberikan semua penjelasan tentang wakaf maupun nadzir.10
Keempat, buku yang berjudul Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis di Indonesia ditebitkan oleh Departemen Agama R.I.,
membahas tentang potensi dan peluang banyaknya harta wakaf yang belum
dikelola secara optimal, sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan wakaf
produktif serta pengembangan tanah wakaf baik dalam program jangka pendek,
menengah maupun panjang.11
Kelima, dalam buku lain yang ditebitkan oleh Departemen Agama R.I.
yang berjudul Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Buku ini mengungkapkan
mengenai masalah tentang bagaimana pembaharuan tentang wakaf, sistem
manajemen pengelolaan dan sistem manajemen kenadziran serta beberapa asas-
asas paradigma baru wakaf. 12
10 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 638-682.
11 Departemen Agama R.I. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, 2004. 12 Departemen Agama R.I., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2004.
10
Keenam, buku yang diterbitkan oleh Departemen Agama R.I. Ditjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek Peningkatan Pemberdayaan
Wakaf dengan judul Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, dalam
bukunya tersebut membahas mengenai masalah urgensi wakaf, potensi
pengembangan wakaf di Indonesia dan pedoman pengelolaan dan pengembangan
wakaf.13
Ketujuh, Departemen Agama R.I. yang berjudul Fiqih Wakaf. Dalam
bukunya juga membahas tentang syarat dan rukun wakaf, selain itu juga
menbahas masalah tentang mengerakkan ekonomi umat melalui wakaf, baik
dalam pemberdayaan wakaf, pengembangan wakaf maupun pembinaan wakaf.14
Kedelapan, Taufik Hamami, dalam bukunya Perwakafan Tanah Dalam
Politik Hukum Agraria Nasional, banyak memberikan informasi tentang hukum
perwakafan tanah sesuai politik hukum agraria nasional dan pengelola harta wakaf
dan perlunya manajemen pengelolaan dan pendayagunaan.15
Kesembilan, Adijani Al-Alabij, yang dalam bukunya Perwakafan Tanah di
Indonesia Dalam Teori dan Praktek lebih banyak menggambarkan praktek
perwakafan di lingkungan warga Muhammadiyah. Organisasi ini dijadikan fokus
13 Departemen Agama R.I., Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta:
Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, 2004. 14 Departemen Agama R.I., Fiqih Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan
Wakaf, 2004. 15 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta:
PT. Tatanusa, 2003.
11
empirik karena organisasi ini dipandang sangat kaya dengan variasi perilaku
perwakafan.16
Kesepuluh, Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia
menerangkan tentang pengertian, fungsi, unsur, syarat, kewajiban dan hak-hak
atas benda wakaf dan juga menerangkan tentang tata cara perwakafan, perubahan,
penyelesaian dan pengawasan harta wakaf serta. Dalam buku ini menerangkan
bahwa status hukum barang yang telah dihibahkan kepada orang lain, telah haram
menjadi miliknya kembali karena tidak lagi menjadi haknya.17 Keberadaan benda
yang dimiliki pengelola dalam keadaan wakaf, menurut fuqaha benda yang
diwakafkan dapat dimiliki. Abu Yusuf, Muhammad al-Syaibani, dari mazhab
Hanafi menetapkan bahwa benda yang diwakafkan adalah milik Allah SWT.
Sementara madzhab Maliki menetapkan bahwa kepemilikan tetap berada pada
waqif. Pendapat ini didukung Ibn al-Humam dari mazhab Hanafi. Ini berbeda
dengan pendapat mazhab Hambali. Yang terakhir ini mengatakan bahwa harta
wakaf menjadi milik penerima wakaf.18
Buku-buku yang penulis uraikan di atas memang secara umum telah membahas
tentang perwakafan, tetapi dari penelusuran yang penulis lakukan belum ada
kajian yang membahas tentang : NADZIR DAN MANAJEMEN
PENDAYAGUNAAN TANAH WAKAF ( Studi Kasus Di Yayasan Pendidikan
16 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, Cet. ke-3, 1997, hlm. v. 17 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet. ke-
4, 2000, hlm. 478. 18 Ibid, hlm. 480-841.
12
Islam Al Khoiriyyah Semarang ), sehingga penulis tertarik untuk mengkaji dalam
bentuk sebuah skripsi.
E. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan penelitian yang maksimal, maka diperlukan metode
yang tepat dan sistematis. Adapun metode yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan pokok pembahasan dan
penulisan skripsi ini, penulis akan mengadakan Field Research, yaitu
penelitian yang mengandalkan pengamatan dalam pengumpulan data di
lapangan.19
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini, adalah:
a. Data Primer
Yaitu data atau sumber informasi yang langsung mempunyai wewenang dan
bertanggung jawab tentang pengumpulan dokumen. Data primer ini sangat
menentukan dalam pembahasan skripsi ini, karena penulis lebih banyak
bertumpu pada data ini, yang meliputi wawancara dengan Dewan
Pembina/Penasehat Badan Wakaf Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah,
yaitu Wakil Sekretaris Nadzir Bapak Mariyoto, S. Pd. dan Seksi Pendidikan
Nadzir Bapak H. Ahmad Zubaidi, S. Pd.
19 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya, Cet. ke-14, 2001,hlm. 153.
13
b. Data Skunder
Yaitu data pendukung yang meliputi dokumen perwakafan, peraturan
perundangan, buku-buku atau kitab-kitab yang berkaitan dengan wakaf.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview)
Yaitu pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan dengan sistematis dan dilakukan kepada tujuan penelitian.20
Wawancara ini penulis lakukan dengan Wakil Sekretaris Nadzir, yaitu
Bapak Mariyoto, S. Pd. dan Seksi Pendidikan Nadzir Bapak H. Ahmad
Zubaidi, S. Pd., guna mendapat data tentang nadzir dan manajemen
pendayagunaan tanah wakaf di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang.
b. Observasi
Yaitu pengumpulan data dengan cara mengunjungi lokasi dan melakukan
pengamatan langsung terhadap obyek. Metode ini digunakan untuk
memperoleh data tentang kerja nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf di
Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang.
c. Dokumentasi
Yaitu pengumpulan data terutama berupa arsip-arsip.21 Dokumentasi ini
digunakan untuk menggali data tentang berapa banyak tanah wakaf di
20 Marzuki, Metodologi Reset, Yogyakarta: Hanidia Offset, Cet. ke-6, 1995, hlm. 63. 21 Lexy J. Moloeng, op. cit., hlm. 160.
14
Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, yang berupa surat
dari Akta Notaris dan program kerja nadzir.
4. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif, maksudnya adalah penggambaran tentang tanah wakaf, nadzir dan
kemudian menganalisanya dari aspek hukum, baik dari hukum positif maupun
hukum Islam apakah kewenangan nadzir dan manajemen pendayagunaan
tanah wakaf ini sudah sesuai dengan hukum yang dimaksud ataukah belum.
F. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya, sistematika penulisan skripsi ini adalah menguraikan
tentang hubungan-hubungan logis dari masing-masing isi yang ada dalam bab-bab
skripsi. Sistem penulisan ini merupakan suatu cara mengolah dan menyusun hasil
penelitian atau studi kajian dari data-data dan bahan-bahan yang disusun menurut
ukuran tertentu, sehingga nantinya dapat dijadikan kerangka skripsi yang
sistematis dan mudah dipahami sebagai sebuah karya intelektual. Pada bagian ini
pula, penulisan antara bab satu dengan bab lainnya diupayakan terdapat relevansi
(sangkut paut) kajian untuk menghindari kesalahpahaman pemaknaan.
Untuk mendapatkan gambaran-gambaran yang jelas serta mempermudah
dalam pembahasan, maka secara global gambaran sistematikanya adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
15
Dalam bab ini penulis akan menyajikan tentang Latar Belakang
Permasalahan, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Telaah
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF DAN NADZIR
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang : Wakaf, meliputi:
Pengertian, Fungsi, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Tanah Wakaf,
Peraturan Tanah Wakaf, Tata Cara Perwakafan Tanah, Pendaftaran
Tanah Wakaf, Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Perwakafan
Tanah serta Sanksi Terhadap Pelanggaran Tanah Wakaf; dan Nadzir,
meliputi: Pengertian Nadzir, Jenis-jenis dan Syarat-syarat Nadzir,
Hak dan Kewajiban Nadzir, serta Syarat Pengangkatan dan
Penghentian Nadzir.
BAB III : NADZIR DAN MANAJEMEN PENDAYAGUNAAN TANAH
WAKAF DI YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL
KHOIRIYYAH SEMARANG
Dalam bab ini penulis menguraikan Sekilas Tentang Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang; Nadzir di Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang serta Nadzir dan
Manajemen Pendayagunaan Tanah Wakaf di Yayasan Pendidikan
Islam Al Khoiriyyah Semarang, meliputi: Peran Nadzir dalam
16
pengelolaan Tanah Wakaf serta Peran Nadzir dalam Pengawasan
Tanah Wakaf.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN NADZIR DAN
MANAJEMEN PENDAYAGUNAAN TANAH WAKAF DI
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL KHOIRIYYAH
SEMARANG
Dalam bab ini berisi tentang Analisis Terhadap Hak dan Kewajiban
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang dan
juga mengenai analisis terhadap Nadzir dan Manajemen
Pendayagunaan Tanah Wakaf di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang.
BAB V : PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang terbagi atas tiga sub bab, yaitu:
Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.
17