Isi Lapsus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

isi lapsus teori kranial

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Sectio caesarea (SC) telah menjadi salah satu prosedur bedah abodominal yang dilakukan pada wanita. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 1985 bahwa tidak ada daerah melebihi tingkat sectio caesarea lebih tinggi dari 10-15 persen. Namun, tujuan tersebut tampaknya tidak tercapai, pada negara maju dan berkembang. faktanya, peningkatan tertinggi sectio caesarea terjadi di Amerika Latin pada periode tahun tujuh puluh dan delapan puluh. Data menunjukan bahwa tingkat keseluruhan operasi caesar di bagian negara Brasil secara keseluruhan adalah 30% dari semua kelahiran, mencapai setinggi 50% dari kelahiran di provinsi tertentu sekitar dua dekade lalu, sementara itu ada data yang lain menunjukkan bahwa tingkat keseluruhan adalah 33% dan bahkan sekitar (51%) di antar sampel lembaga swasta di negara Amerika Latin. Meskipun total dunia rata-rata operasi caesar diperkirakan sekitar 15% seperti yang direkomendasikan, ada perbedaan di beberapa negara bagian, Misalnya 3,5% di Afrika dan 40,5% di Asia Timur, yang saat ini salah satu tempat dengan tingkat tertinggi1.Peningkatan insiden ini mungkin disebabkan oleh peningkatan rentang indikasi, peningkatan jumlah kelahiran preterm, dan peningkatan sengketa hukum2. Indikasi utama dilakukannya SC adalah presentasi sungsang, kelahiran berkepanjangan termasuk kegagalan kelahiran, hipoksia intrauterin, dan kelahiran SC sebelumnya2. Pilihan anestesi yang paling tepat diberikan didasarkan pada beberapa faktor, seperti kegawatan situasi, kondisi medis maternal, dan adanya kontraindikasi bagi teknik tertentu. Anestesia obstetrik telah beradaptasi seiring perkembangan pemahaman kondisi maternofetal, risiko dan keuntungan. Sebagai hasilnya, teknik neuroaksial adalah pilihan anestesi yang sering digunakan, terutama di kasus non emergensi1.Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan anestesia dan reanimasi pada SC adalah adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada wanita hamil, kenyamanan/keamanan ibu dalam proses persalinan, kesejahteraan janin dalam rahim, kontraksi rahim, dan pemahaman bahwa pada umumnya SC merupakan kasus darurat3. Untuk itu diperlukan manajemen perioperatif yang tepat agar dapat meminimalkan komplikasi selama prosedur sectio caesarea.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio caesarea (SC)1. Definisi Sectio Caesarea Seksio sesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen 4. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus.

2. Indikasi Sectio CaesareaIndikasi elektif dan emergency sectio caesarea di swedia tahun 20055 :A. Emergency sectio caesarea Lebih dari 2 SC segmen bawah, histerotomi, miomektomi atau perforasi uterus lainnya Masalah pada janin Persalinan memanjang Kelainan pada ibu (pre-eklamsi berat) Kelainan letak janin Prematuritas Ruptur uteriB. Elektif sectio caesarea Letak lintang Faktor uteri (insisi uteri, SC sebelumnya) Panggul sempit Psikososial (permintaan ibu) Penyakit ibu Kehamilan ganda (gemeli) Faktor janin (penyakit pada janin, bayi makrosomia)

3. Teknik Sectio CaesareaBeberapa teknik yang digunakan dalam SC adalah sebagai berikut6,7,8:A. Insisi PfannenstielInsisi Pfannenstiel adalah insisi melengkung pada suprapubik transversal bagian bawah. Insisi dilakukan dua jari diatas simfisis pubis. Kulit dan selubung rektus dibuka secara transversal dengan menggunakan pisau bedah. Selubung rektus dibebaskan dari otot rektus abdominalis. Peritoneum dibuka secara longitudinal dengan pisau bedah. Uterus dibuka dengan transverse lower segmen hysterotomy. Insisi uterus ditutup dengan dua lapis jahitan kontinyu. Fascia ditutup dengan jahitan kontinyu atau terputus. Kulit ditutup dengan jahitan intrakutan kontinyu atau terputus.B. Insisi Joel-CohenInsisi Joel-Cohen adalah insisi lurus tiga jari dibawah garis hayal yang menghubungkan anterior superior iliac spine. Fascia dibuka secara transversal di garis tengah kemudian diperluas kesamping dengan menggunakan jari untuk memisahkan otot rektus secara vertikal dan lateral dan membuka peritoneum. Miometrium diinsisi secara transversal di garis tengah tapi tidak sampai menembus kantong amnion, kemudian dibuka dan diperluas ke lateral dengan menggunakan jari. Berdasarkan penelitian retrospektif, metode ini terbukti mengurangi waktu operasi, kehilangan darah, dan waktu rawat inap.C. Insisi Misgav-LadachMerupakan modifikasi dari insisi Joel-Cohen, perbedaannya pada insisi ini fascia dibuka dengan ujung gunting yang sedikit terbuka dengan gerakan menusuk. Uterus dibuka seperti pada insisi Joel-Cohen. Plasenta dikeluarkan secara manual. Metode ini terbukti mengurangi waktu operasi, bahan jahitan, pendarahan intraoperatif, nyeri postoperatif, luka infeksi, dan mengurangi adhesi pada operasi ulangan.

4. Resiko dan Komplikasi Sectio CaesareaSC baik emergensi atau yang direncanakan memiliki resiko dan komplikasi yang perlu diperhatikan9:A. Bagi Ibu Perlukaan organ dalam lain Infeksi Pendarahan Histerektomi emergensi Komplikasi anestesia Klot vena dalam yang dapat menyebabkan emboli paru dan stroke Nyeri pasca kelahiran Adhesi organ Endometriosis Apendisitis Konsekuensi psikologis KematianB. Bagi Bayi Luka akibat insisi Lahir preterm akibat SC yang direncanakan Komplikasi prematuritas Komplikasi pernafasan Kematian pada 28 hari pertama kelahiran

2.2 Manajemen Perioperatif pada Sectio Caesarea1. Evaluasi dan Manajemen PreoperatifTujuan utama evaluasi preoperatif dari wanita hamil adalah untuk mencari potensi kesulitan dalam manajemen anestesi dan mengatasi kecemasan yang berhubungan dengan prosedur3,10.a) Evaluasi preoperatifTujuan dilakukan evaluasi preoperatif adalah untuk menurunkan resiko, meningkatkan kualitas perioperatif, mengembalikan pasien ke kondisi fungsional yang diharapkan, dan mendapatkan persetujuan atas tindakan anestesi10. Informasi klinis harus dijelaskan kepada pasien sejelas mungkin sebelum prosedur dilaksanakan karna ketika prosedur sudah dimulai. Informasi diberikan secara tertulis maupun verbal, dan harus dijelaskan sejelas mungkin setiap detail teknisnya. Evaluasi preoperatif bertujuan untuk mencari masalah-masalah yang berkaitan dengan faktor risiko dan penyulit anestesi, mengetahui kondisi medis pasien, menyediakan kesempatan untuk bertanya maupun diskusi, serta mengatasi rasa cemas dan takut3,10. Pemeriksaan lab yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, trombosit, waktu pendarahan dan pembekuan), kimia darah (SGPT, SGOT, BUN, SC, elektrolit bila perlu), dan pemeriksaan urin. Berdasarkan temuan yang didapatkan, dapat ditentukan status fisik ASA pasien.b) Persiapan preoperatif1) Persiapan rutinPersiapan rutin meliputi penenangan pasien, menghentikan kebiasaan tertentu seperti merokok, mempuasakan pasien, pemasangan infus dan terapi cairan, dan pemasangan monitor.2) Persiapan khusus Koreksi keadaan patologis yang dijumpai, disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia Berikan obat antagonis reseptor H2 (Ranitidine) secara intravena 5-10 menit atau secara intramuskular 1 jam prainduksi Berikan antasid peroral 45 menit prainduksi Berikan ondansentron 4-8 mg intravena Posisi tidur miring ke kiri untuk mencegah supine hypotensive syndrome3) Premedikasi Berikan atropin 0,01/kgbb (im) 30-45 menit atau 0,005/kgbb (iv) 5-10 menit prainduksi Tidak dianjurkan pemberian sedatif atau narkotik

2. Pemilihan Teknik AnestesiBeberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan anestesia adalah keselamatan ibu, keselamatan bayi, kenyamanan ibu, dan kemampuan operator dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi tersebut. Ada dua kategori umum anastesi pada SC, General Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA) yang termasuk teknik spinal dan epidural. GA biasanya digunakan pada operasi emergensi yang membutuhkan anestesi secepat mungkin. GA juga dilakukan apabila terdapat kontraindikasi RA, misalnya adanya peningkatan tekanan intrakranial, adanya infeksi disekitar vertebra3,6,10.Beberapa risiko GA dapat dihindari dengan penggunaan teknik RA, oleh karena itu teknik RA lebih disarankan saat waktu bukanlah faktor yang utama. Guideline internasional juga menyarankan penggunaan RA spinal dan epiduran dibanding GA pada sebagian besar kasus SC10. Alasan utama RA lebih direkomendasikan adalah adanya risiko gagalnya intubasi trakea dan aspirasi isi lambung pada GA. Selain itu GA juga berhubungan dengan peningkatan kebutuhan resusitasi neonatus10.a) General Anesthesia Saat ini penggunaan GA pada SC sudah mulai ditinggalkan. Meskipun sedikit kontraindikasi absolut GA, RA lebih disukai penggunaannya untuk menghindari risiko gangguan jalan nafas. Ibu lebih memilih untuk tetap tersadar selama proses operasi agar dapat melihat kelahiran anaknya. Meskipun begitu, GA memiliki beberapa keuntungan seperti relaksasi uterus untuk mengeluarkan bayi sungsang yang sulit dikeluarkan, pengeluaran sisa plasenta, dan memulai operasi uterofetal. Keuntungan lainnya adalah induksinya cepat, hipotensi lebih sedikit, stabilitas kardiovaskular yang lebih baik, kontrol jalan nafas pasien yang lebih baik, dan lebih berguna pada pasien dengan koagulopati, penyakit neurologi atau diskus lumbal atau infeksi10.Penatalaksanaan GA adalah sebagai berikut3,10. Pasien ditidurkan telentang dengan diganjal bantal pada pinggul sebelah kanan. Sebelum memulai operasi, diberikan teknik induksi cepat (Rapid Sequence Induction) dengan manuver Sellick untuk mencegah regurgitasi isi lambung. Pertama-tama lakukan prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperempat dari dosis lazim, untuk mencegah fasikulasi otot rangka dan peningkatan tekanan intra gastrik. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit. Induksi dengan cara head up crash intubation (posisi kepala lebih tinggi) dengan ketamin 1,5 mg/kgBB atau thiopental 4-6 mg/kgBB atau propofol 2 mg/kgBB. Setelah pasien terinduksi, lakukan manuver Sellick dengan menekan tulang krikoid ke posterior sampai terpasang PET dan balonnya sudah dikembangkan. Untuk pemeliharaan berikan N20:02 = 50:50, dengan nafas kendali. Apabila terdapat kesulitan dalam melahirkan bayi sehingga efek ketamin dan suksinil kholin habis, bisa diberikan tambahan ketamin setengah dosis awal atau obat inhalasi isofluran 0,25-0,5 vol% dan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Setelah bayi lahir, perbandingan N20:02 diubah menjadi 60:40, diberikan tambahan analgetik narkotik, sedatif/hipnotik dan pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya nafas pasien deikendalikan. Pemakaian halotan tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan atonia uteri yang menyebabkan pendarahan3. Ventilasi yang berlebihan sebaiknya dihindari. Ibu yang mengalami hiperventilasi selama GA dapat membahayakan janin, hal ini disebabkan menurunnya aliran darah karna vasokonstriksi akibat hipokarbia. Selain itu hiperventilasi menyebabkan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ibu bergeser ke kiri dan menurunkan ketersediaan oksigen bagi bayi10. Setelah bayi dan plasenta lahir, 20 unit oksitosin diberikan pada setiap liter cairan infus dan dititrasi secara perlahan. Pemakaian oksitosin ini harus diperhatikan karena berhubungan dengan hipotensi dan takikardi yang parah10.b) Regional AnesthesiaAda 3 jenis RA yang digunakan dalam SC, Spinal, Epidural, dan kombinasi Spinal-Epidural, dan memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing6. Dalam mempersiapkan RA, operator harus siaga akan potensi komplikasi yang mungkin terjadi dan harus dapat mananganinya. Komplikasi seperti hipotensi, gagal nafas, kejang akibat kerusakan sistem saraf pusat, gagal jantung mungkin dapat terjadi. Untuk itu mesin anestesi harus dicek dan disiapkan, pipa trakea sesuai ukuran, laringoskop, mesin suction, mesin monitoring, vasopressor seperti ephedrine, obat penangkal GA, dan sumber oksigen harus tersedia.Blokade neuroaksial dapat menurunkan fungsi pernafasan oleh karena paralisis otot interkostalis akibat blokade yang terlalu tinggi. Ketinggian blokade yang diinginkan adalah setinggi dermatom T5 yang mungkin dapat mempengaruhi pernafasan. Untuk itu diperlukan oksigen suplementer untuk mencegah hal ini terjadi10.1) Anestesi SpinalAnestesi spinal merupakan teknik yang sederhana dan efektif, memberikan blokade cukup kuat yang dapat di prediksi dan dalam onset yang cepat. Hal inilah yang membuat teknik ini menjadi teknik anestesi yang paling banyak dilakukan pada SC. Kerugian utama anestesi spinal adalah kurang fleksibelnya teknik ini. Selain itu pilihan analgesik postoperatif juga memiliki insiden efek samping yang cukup tinggi6.Anestesi spinal biasa disebut Blokade Sub-Aracnoid (BSA), adalah RA yang melibatkan injeksi agen anestesi lokal ke dalam rongga subaraknoid, biasanya melalui jarum yang halus, berukuran 9 cm. Efek yang diinginkan dari anestesi ini dalah memblokade transmisi sinyal saraf aferen dari nosiseptor perifer10.sinyal sensori terblokade sehingga menghilangkan rasa nyeri. Derajat blokadeade bergantung pada jumlah dan konsentrasi anestesi lokal yang digunakan dan jenis akson. Serabut C yang tipis dan tidak bermyelin yang berhubungan dengan nyeri adalah yang pertama jika di blok, diikuti alfa motor neuron A yang tebal dan bermyelin. Hal ini membuat operasi dapat dilakukan tanpa rasa sakit10.Keuntungan anestesi spinal dibandingkan dengan GA adalah minimalnya paparan obat terhadap janin, ibu tetap dalam kondisi sadar selama anestesi dan operasi, serta refleks protektif pernafasan tetap dapat bekerja dengan baik untuk mencegah aspirasi. Hipotensi merupakan salah satu efek samping yang harus diwaspadai, namun hal ini dapat dicegah dengan administrasi cairan kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal.Penatalaksanaan anestesi spinal adalah sebagai berikut3: Setelah semua alat dipersiapkan, pasien ditidurkan miring kiri, atau kanan, atau bisa juga dalam posisi duduk. Pasang alat pantau yang diperlukan. Disinfeksi area punksi lumbal dan tutup dengan duk steril. Lakukan punksi lumbal dengan jarum spinal ukuran paling kecil pada celah interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai keluar cairan likuor Masukkan 2-2,5 ml bupivacaine 0,5% heavy tunggal atau bisa dikombinasikan dengan opioid untuk meningkatkan kualitas blokade tanpa meningkatkan analgesi pada pinprick. Tutup luka tusukan dengan kasa steril Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan. Nilai ketinggian blokade dengan skor Bromage. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.2) Anestesi EpiduralPada anestesi epidural, injeksi obat dimasukkan melalui kateter yang diletakkan pada ruang epidural. Injeksi ini dapat menyebabkan berkurangnya sensasi raba (anestesia) dan nyeri (analgesia) dengan memblok sinyal transmisi melalui saraf pada atau di sekitar korda spinalis.Keuntungan anestesi epidural dibanding spinal adalah kemampuan untuk mempertahankan anestesi berkelanjutan setelah pemasangan kateter epidural, yang menjadikannya sangat cocok pada prosedur operasi yang berlangsung lama. Selain itu terapi ini dapat diberikan pada pasien dengan gangguan jantung. Durasi operasi juga dapat diperlama dengan pemberian agen anestesi lokal atau kombinasinya dengan obat lain. Kerugiannya adalah onset kerjanya yang membutuhkan waktu lama dan penyebarannya pada korda spinalis tidak rata, seringnya anestesi yg lemah pada akar sakrum10.Penatalaksanaan anestesi epidural adalah sebagai berikut3. Setelah semua alat dipersiapkan, pasien ditidurkan miring kiri, atau kanan. Pasang alat pantau yang diperlukan. Disinfeksi area punksi lumbal dan tutup dengan duk steril. Lakukan punksi lumbal dengan jarum epidural nomor 18G atau 16G pada celah interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai menembus ligamentum flavum Lakukan uji bebas tahanan (sebagai tanda bahwa ujung jarum sudah berada di ruang epidural) dengan spuit berisi udara atai cairan isotonis Masukkan kateter epidural melalui jarum epidural kearah kranial sampai kateter yang berada di ruang epidural sepanjang 2-5 cm. Masukkan Lidokain @% 15-20 ml dengan epinefrin 1:200,000, atau bisa juga dengan Bupivacaine 0,5% 15-20 ml dengan epinefrin 1:200,000. Untuk meningkatkan kualitas anestesi dapat diberikan Fentanyl 50 mcg pada anestesi lokal. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan. Nilai ketinggian blokade dengan skor Bromage. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.

3) Kombinasi Spinal-EpiduralTeknik kombinasi spinal-epidural memiliki potensi dari kebaikan keduanya, baik reabilitas dari spinal, maupun fleksibilitas dari epidural. Namun teknik ini tidak hanya sekedar kombinasi 2 teknik, melainkan sebuah interaksi yang memiliki kekurangan dan komplikasi6. Pada teknik ini, blokade subaraknoid menggunakan dosis yang sama seperti pada teknik anestesi spinal. Epidural kateter dipasangkan untuk mempermudah penambahan anestesi selama operasi yang diperpanjang atau dalam pemberian analgesik post operatif10..3. Terapi CairanPada pendarahan yang terjadi 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan tranfusi darah3. Penggantian ini tentunya dengan memperhatikan Kebutuhan Cairan Basal (KCB), Defisit Cairan Puasa (DCP), dan Sequester. KCB perjam dihitung berdasarkan berat badan pasien dengan rumus: KCB=(10x4ml)+(10x2ml)+({BB-20}x1ml) dengan berat pasien >20kg. DCP dihitung dengan mengalikan KCB dengan lama pasien puasa dalam jam. Sedangkan Sequester dihitung berdasarkan jenis operasi dan berat badan pasien. Untuk operasi minor S=2-4mlxBB, operasi sedang S=4-6mlxBB, dan operasi berat S=8-10 mlxBB3.

4. Manajement PostoperatifSetelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan untuk dipantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi serta mempertahankan kestabilannya, memantau pendarahan luka operasi, dan mengatasi masalah nyeri pasca SC. Selain itu diperhatikan kemungkinan terjadinya regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi. Pasien dapat dipindahkan ke ruangan apabila sudah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien yang menderita EPH Gestosis apalagi yang disertai kejang dan ancaman gagal nafas, dirawat diruang terapi intensif untuk terapi lebih lanjut3.Penanganan nyeri pada pasien post SC dapat menggunakan beberapa analgesik dalam waktu yang bersamaan. Setiap pasien diberikan paracetamol dan NSAID minimal selama 2-3 hari. Kebanyakan pasien juga memerlukan analgesik opioid, namun terkadang cara yang biasa seperti subkutan, intramuskular, oral, ataupun rektal belum dapat mengatasi nyeri. Morfin subaraknoid yang diberikan bersamaan dengan anestesi spinal memberikan efek analgesia yang cukup baik postoperasi. Dua ratus g morfin dapat memberikan efek analgesia hingga 24 jam, namun memiliki efek samping mual, sedasi, depresi pernafasan6. Pethidine epidural memberikan analgesia yang baik dengan efeksamping lebih sedikit, namun karna onset kerjanya yang singkat, pethidine biasanya diberikan melalui patient-controlled epidural analgesia. Parameter yang digunakan adalah pethidine 5mg/ml, dengan bolus 20 mg dan interval lock-out selama 15 menit. Kekurangan teknik ini adalah kompleksnya peralatan yang diperlukan6.

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 Evaluasi Pra-Anestesi A. Identitas PasienNama: Ni Made SuwestriTempat/Tanggal Lahir: Badung, 1 Januari 1976Umur:39 tahunJenis Kelamin:PerempuanAgama:HinduSuku/Bangsa:Bali/IndonesiaAlamat:Banjar Pande Kediri TabananNo. CM:15035626Diagnosis Pra Bedah:G3P2002 39 minggu T/H, LMR (SC 2x) KPD superimposed PETindakan:SC Cito + MOWDiagnosis Pasca Bedah : P3003 post SC + superimposed PEMRS:7 Juli 2015 Tanggal Operasi:7 Juli 2015

B. AnamnesisPasien merupakan perempuan hamil umur 39 tahun datang ke RSUP Sanglah pada tanggal 7 Juli 2015 rujukan dari RSUD Badung karena kamar dan ICU penuh.. Pasien mengandung anak ketiga dengan usia kehamilan 39 minggu. Hari Pertama Haid Terakhir pasien pada tanggal 3 Oktober 2014 dengan Taksiran Persalinan tanggal 10 Agustus 2015. Pasien secara rutin melakukan ANC di pusat pelayanan kesehatan.

Nyeri perut hilang timbul (-), keluar cairan pervaginam (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), gerak janin (+) baik. Pasien memiliki riwayat hipertensi saat kehamilan pertama tahun 2006 dan sudah mendapatkan pengobatan. Riwayat abortus (-), riwayat alergi obat dan makanan (-), riwayat operasi (+) SC dua kali, riwayat tranfusi darah (-). Riwayat demam, batuk berulang dan kejang disangkal oleh pasien. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan normal. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti kencing manis, penyakit jantung dan juga riwayat asma. Keluhan seperti ini pertama kali dirasakan oleh pasien. Terapat beberapa anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi yaitu ibu pasien. Riwayat penyakit herediter lainnya disangkal oleh kelurga pasien. Pasien merupakan seorang wiraswasta dengan aktivitas sedang dan waktu istirahat yang cukup. Riwayat merokok dan mengonsumsi alkohol disangkal pasien.

C. Pemeriksaan FisikStatus Present:Kesadaran: Compos mentis (GCS E4V5M6)Tekanan Darah : 170/110 mmHgNadi: 90 kali/menitSuhu: 36,6o CRespirasi: 20 kali/menitBerat badan: 94 kgTinggi badan: 158 cmSaturasi O2: 99%

Pemeriksaan Fisik UmumSusunan saraf pusat: GCS E4V5M6, anemis -/-, Refleks pupil +/+ N isokor, bulat regulerRespirasi: Spontan, RR 20 kali/menit, vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing-/- Kardiovaskuler: Tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 90 kali/menit reguler, S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)Gastrointestinal: Distensi (-), Bising Usus (+) normalUrogenital: Buang air kecil terpasang DKMuskuloskeletal: Fleksi dan defleksi leher normal, malampati II, CIS teraba gigi geligi utuh, gigi palsu tidak ada.

D. Pemeriksaan penunjangDARAH LENGKAP (7 Juli 2015)

PARAMETERHASILNIlAI RUJUKANREMARKS

WBC9,25 103/L4,10-11,00N

RBC5,01 103/L4,00-5,20N

HGB12,9 g/dL12,0-16,0N

HCT40,6 %36,0-46,0N

PLT233 3/ L150-440N

KIMIA KLINIK (7 Juli 2015)

PARAMETERHASILNILAI RUJUKANREMARKS

Albumin3,48 g/dL3,4-4,8N

BS Acak82 mg/dL70,00-140,00N

BUN22,86 mg/dL8,00-23,00N

Creatinin0,6 mg/dL0,5-0,9N

Natrium (Na)134 mmol/L136-145L

Kalium (K)3,36 mg/dL3,50-5,10L

FAAL HEMOSTASIS (16 Juni 2015)

PARAMETERHASILNILAI RUJUKANREMARKS

PPT9,7 detikPerbedaan dengan kontrol < 2 detikN

Kontrol PTT11,3 detikN

INR0,90N

APTT37,5 detikPerbedaan dengan kontrol < 7 detikN

Kontrol APTT31,7 detikN

E. Assesment TS ObgynG3P2002 39 minggu T/H LMR ( Bekas SC 2x ) KPD superimposed PE

F. KesimpulanPasien masuk dalam kategori status fisik ASA III E

3.2 Persiapan Pra-AnestesiA. Persiapan Rutin Sebelum Operasi1. Persiapan psikis: memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai prosedur tindakan anestesia dan pembedahan yang akan dilakukan.2. Persiapan fisik: Melepaskan pakaian, perhiasan dan aksesoris lainnya Menggunakan pakaian khusus untuk operasi3. Membuat surat persetujuan tindakan medis (informed consent).

B. Persiapan di Kamar Operasi1. Persiapan meja operasi dan peralatan lain yang diperlukan.2. Persiapan alat resusitasi antara lain: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan nafas, alat hisap, defibrilator, dll.3. Persiapan obat-obat anestesi yang diperlukan.4. Persiapan alat-alat dan obat resusitasi seperti adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.5. Mempersiapkan pasien di meja operasi, memasang IV line, memasang alat pantau nadi, tekanan darah, saturasi, EKG dan selang oksigen. 6. Evaluasi ulang status present pasien.

3.3Pengelolaan Anestesi1. Jenis Anestesia: Regional Anesthesia Spinal

2. Teknik Anestesia: Setelah semua alat dipersiapkan, pasien ditidurkan miring kiri Pasang alat pantau yang diperlukan. Disinfeksi area punksi lumbal dan tutup dengan duk steril. Dilakukan punksi lumbal dengan jarum spinal ukuran paling kecil pada celah interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai keluar cairan likuor Dimasukkan 2-2,5 ml bupivacaine 0,5% heavy tunggal atau bisa dikombinasikan dengan opioid untuk meningkatkan kualitas blokade tanpa meningkatkan analgesi pada pinprick. Tutup luka tusukan dengan kasa steril Posisi pasien diatur sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan. 3.Kronologis Anestesi : Pukul 20.00 : pasien datang di ruang persiapan Pukul 20.05: pasien dibawa masuk ke ruang operasi dan disiapkan Pukul 20.25 : induksi dimulai Pukul 20.40: operasi dimulai Pukul 21.55 : operasi selesai Pukul 22.00: pasien pindah ke ruang pemulihan4.Komplikasi selama anestesia : tidak ada5.Lama Operasi: 1 jam 15 menit6.Lama Anestesia: 1 jam 30 menit 7.Keadaan akhir pembedahan: Tekanan Darah : 150/90 mmHg Nadi: 78 kali/menit Suhu: 36,7o C Respirasi: 18 kali/menit

3.4 Pengelolaan Pasca Bedah1. Pasca bedah pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan pada pukul 22.20 WITA. Tekanan Darah : 140/90 mmHg Nadi: 80 kali/menit Suhu: 36,7o C Respirasi: 18 kali/menit

2. Instruksi pasca bedah :Instruksi pasca bedah diberikan oleh TS Anestesi yang meliputi:1. Bila sakit atau nyeri: hubungi tim jaga APS2. Antibiotik: sesuai TS obgyn3. Bila mual / muntah: ondancentron 4 mg i.v4. Obat-obatan lain: analgetik postoperatif ketorolac 30 mg IV @ 8 jam, paracetamol 500 mg PO @ 6 jam5. Infus : maintenance Ringer Lactat6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, laju pernafasan dan nyeri.

BAB IVPEMBAHASAN

Pasien merupakan ibu hamil berumur 39 tahun datang ke RSUP Sanglah pada tanggal 7 Juli 2015 rujukan dari RSUD Badung. Diagnosa dari dokter kandungan dengan G3P2002 39 minggu T/H LMR (Bekas SC 2x) KPD superimposed PE. Tekanan darah pasien mengalami peningkatan sejak hamil pertama. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa status fisik pasien ASA III E yang berarti pasien dengan penyakit bedah dan emergensi disertai dengan penyakit sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa karena telah dikontrol (hipertensi). Sebelum pembedahan dimulai, dilakukan evaluasi preoperatif untuk menurunkan resiko, meningkatkan kualitas perioperatif, mengembalikan pasien ke kondisi fungsional yang diharapkan, dan mendapatkan persetujuan atas tindakan anestesi. Informasi klinis telah dijelaskan kepada pasien dan keluarga sejelas mungkin sebelum prosedur dilaksanakan. Informasi diberikan secara tertulis maupun verbal untuk setiap detail teknisnya. Pemeriksaan laboratorium juga telah dilakukan pada pasien dan didapatkan dalam batas normal. Premedikasi merupakan tindakan awal anestesi dengan memberikan obat-obatan pendahulu yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif/transkuilizer dan analgetik sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, menekan sekresi kelenjar dan refleks vagus, mempermudah induksi, mengurangi dosis obat anestesia dan mengurangi rasa sakit serta kegelisahan pasca bedah. Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi berupa Regional Anesthesia Spinal. Guideline internasional menyarankan penggunaan RA spinal dan epidural dibanding GA pada sebagian besar kasus SC. Alasan utama RA lebih direkomendasikan adalah adanya risiko gagalnya intubasi trakea dan aspirasi isi lambung pada GA. Selain itu GA juga berhubungan dengan peningkatan kebutuhan resusitasi neonatus. Anestesi spinal merupakan teknik yang sederhana dan efektif, memberikan blokade cukup kuat yang dapat di prediksi dan dalam onset yang cepat. Hal inilah yang membuat teknik ini menjadi teknik anestesi yang paling banyak dilakukan pada SC. Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan untuk dipantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi serta mempertahankan kestabilannya, memantau pendarahan luka operasi, dan mengatasi masalah nyeri pasca SC. Selain itu diperhatikan kemungkinan terjadinya regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi. Di ruang pemulihan dilakukan observasi terhadap kondisi pasien, didapatkan tekanan darah 140/90mmHg, nadi 80 kali/menit, suhu 36,7 0C respirasi 18 kali/menit. Setelah dalam keadaan yang stabil, pasien dipindahkan ke ruang Bakung untuk mendapat terapi pemeliharan dan lanjutan. Tidak ditemukan adanya komplikasi selama dilakukan operasi maupun pasca operasi.

BAB VKESIMPULAN

Sectio caesarea (SC) telah menjadi salah satu prosedur bedah abodominal yang dilakukan pada wanita. Sectio caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Berdasarkan survey internasional, insiden rata-rata SC adalah 15%, namun bervariasi tiap negara. Indikasi utama dilakukannya SC adalah presentasi sungsang, kelahiran berkepanjangan termasuk kegagalan kelahiran, hipoksia intrauterin, dan kelahiran SC sebelumnya. Jenis SC yang biasa dikerjakan adalah Insisi Pfannenstiel, Joel-Cohen, dan Misgav-Ladach. Manajemen perioperatif pada SC terdiri atas evaluasi dan manajemen preoperatif, pemilihan anestesi, terapi cairan, dan manajemen postoperatif. Evaluasi dan manajemen preoperatif bertujuan untuk mempersiapkan pasien sebelum operasi dimulai. Pilihan anestesi yang paling tepat diberikan didasarkan pada beberapa faktor, seperti kegawatan situasi, kondisi medis maternal, dan adanya kontraindikasi bagi teknik tertentu. Beberapa teknik yang sering dilakukan adalah GA, RA spinal, RA epidural, dan RA spinal-epidural. Teknik yang paling banyak digunakan adalah RA spinal.Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan untuk dipantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi serta mempertahankan kestabilannya, memantau pendarahan luka operasi, dan mengatasi masalah nyeri pasca SC. Untuk mengatasi nyeri post operasi dapat digunakan paracetamol, NSAID, morfin subaraknoid, ataupun pethidine epidural.

DAFTAR PUSTAKA

1. Costa M, Cecatti J, Souza J, Milanez H, Glmezoglu M. Using a Caesarean Section Classification System based on characteristics of the population as a way of monitoring obstetric practice. Reproductive Health. 2010;7(1):13. 2. Vejnovic, TR. Costa, SD. Ignatov, A. 2012. New Technique for Caesarean Section. Geburtshilfe Frauenheilkd. 72(9): 8408453. Mangku, G. Senapathi, TGA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi, Cetakan 1. Jakarta: Indeks.4. Cunningham F, Williams J. Williams obstetrics. New York: McGraw-Hill; 2001.5. Nanneli, P.2014. Cesarean Section Short Term Maternal Complications Related To The Mode Of Delivery: Departement of Obstetrics and Gynecology. University of Turku, Turku, Finland. Annales Universitatis Turkuenis6. Costa, C. Howat, P.2006.Caesarean Section: A Manual for Doctors. New South Wales Australia: Australian Medical Publishing Limited.7. Hofmeyr, GJ. Mathai, M. Shah, AN. Novikova, N. 2008. Techniques for Caesarean Section (Review). The Cochrane Library8. Dyson, RD. 2012. Cesarean Delivery: Surgical Techniques - The Fifteen Minute Cesarean Section dalam Cesarean Delivery, Dr. Raed Salim (Ed.). [Online] InTech. Tersedia di: http://www.intechopen.com/books/cesarean-delivery/surgical-techniques-for-cesarean-delivery9. Mendes F, Hennemann G, Luft A, Farias C, Braga S. Hemodynamic Effects of Spinal Anesthesia for Cesarean Section are Equivalent in Severely Preeclamptic and Healthy Parturients. Journal of Anesthesia & Clinical Research. 2011;02(06).10. Fyneface, S. O. Anesthesia for Cesarean Section dalam Cesarean Delivery, Dr. Raed Salim (Ed.). [Online] InTech. Tersedia di: http://www.intechopen.com/books/cesareandelivery/anaesthesia-for-cesarean-delivery

19