10
INHAL ANATOMI ENCEPHALITIS NAMA: GHINA SHABRINA AWANIS NIM: G0014106 TANGGAL PENGUMPULAN: 27 NOVEMBER 2015 ACC Mbak Asticha

INHAL ANATOMI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Encephalitis

Citation preview

Page 1: INHAL ANATOMI

INHAL ANATOMI

ENCEPHALITIS

NAMA: GHINA SHABRINA AWANIS

NIM: G0014106

TANGGAL PENGUMPULAN: 27 NOVEMBER 2015

ACC

Mbak Asticha

Page 2: INHAL ANATOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

2015

ENCEPHALITIS

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif

epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada

evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal,

seperti photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.

Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.

Ensefalitis primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang

belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat

lain di tubuh dan kemudian ke otak.

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau

memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental. Disebut

ensefalitis lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit Parkinson seperti

parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan

kematian.

Secara umum gejala klinis ensefalitis berupa trias ensefalitis :

1. Demam

2. Kejang

3. Kesadaran menurun

Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum

dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang

Page 3: INHAL ANATOMI

kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun.

Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis

tergantung pada lokasi dan luasnya abses.

Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-

masing kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis

bentuk manifestasi kliniknya yaitu :

a. Bentuk asimtomatik: gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan

atau demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga

berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan

CSS.

b. Bentuk abortif: Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak

tinggi dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti

infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.

c. Bentuk fulminan: bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang

berakhir dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala

difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan

dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam. Kematian

biasanya terjadi dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau jantung

d. Bentuk khas ensefalitis: bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal

nyeri kepala ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama

beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig

positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul

bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran menyebabkan

koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan

koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara, dan

gangguan mental.

Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari dampak

serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan,

mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika

Page 4: INHAL ANATOMI

hasil kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi

kognitif) dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi.

Ensefalitis adalah suatu peradangan parenkim otak, muncul sebagai disfungsi

neuropsikologi difus dan/atau fokal. Meskipun terutama melibatkan otak,

meninges juga sering ikut terlibat (meningoencephalitis). Dari perspektif

epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada

evaluasi klinis keduanya bisa hadir, dengan tanda-tanda dan gejala peradangan

meningeal, seperti fotofobia, sakit kepala, atau leher kaku. Meskipun gangguan

bakteri, jamur, dan autoimun dapat menghasilkan ensefalitis, sebagian besar kasus

disebabkan oleh virus.

Menurut Kennedy (2004), ensefalitis virus menjadi penting untuk dipahami

karena beberapa factor:

Perkembangan agen antivirus yang efektif untuk kondisi ini, terutama

acyclovir untuk herpes simplex virus encephalitis (HSE) yang disebabkan

virus herpes simplex (HSV)-1 atau HSV-2

Infeksi HIV pada SSP dengan infeksi viral akut yang luas

Penemuan infeksi viral baru dari system saraf pusat seperti West Nile

encephalitis dan Nipah virus encephalitis.

Beberapa contoh ensefalitis virus termasuk:

a. Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2)

b. Selain virus herpes: varicella zoster virus (VZV), cytomegalovirus (CMV),

Epstein-Barr (EBV), virus herpes manusia 6 (HHV6)

c. Adenovirus

d. Influenza A

e. Enterovirus c, virus polio

f. Campak, gondongan dan virus rubella

g. Rabies

Page 5: INHAL ANATOMI

h. Arbovirus misalnya, Ensefalitis Jepang B, St Louis Ensefalitis virus, West

Nile ensefalitis virus, Timur, Barat, dan Virus ensefalitis equine

Venezuela,

i. Bunyaviruses misalnya, La Crosse strain virus California

j. Reoviruses misalnya, Colorado tick fever virus

k. Arenaviruses misalnya, virus choriomeningitis limfositik.

l. Retrovirus misalnya Human Immunodeficiency Virus-1/2 (HIV-1/2).

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok:

1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok

herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan virus arbo.

2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya

3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai

komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela,

herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan

vaksinasi.

Salah satu jenis ensefalitis yang dianggap emerging di Indonesia adalah Japanese

encephalitis (JE). Saat ini, JE masih menjadi masalah kesehatan utama di wilayah

Asia dengan jumlah kasus lebih dari 35.000 dan angka kematian yang mencapai

10.000 jiwa setiap tahunnya. Setelah infeksi HIV, JE merupakan penyebab

terbesar encephalitis viral di seluruh dunia. (Matondang, 2013).

Berdasarkan data dari Subdit Zoonosis, Dit P2B2 (Pengendalian Penyakit

Bersumber Binatang) Ditjen PPM-PL, Depkes RI pada tahun 1993-2004,

didapatkan spesimen positif JE pada manusia di 14 provinsi yang tersebar di

seluruh Indonesia, sedangkan pada hewan ditemukan di 10 provinsi. Sehubungan

dengan hal itu maka angka endemisitas yang tinggi ditemukan di hampir seluruh

provinsi di Indonesia.

Manifestasi klinis JE sulit dibedakan dengan encephalitis lainnya tetapi angka

Page 6: INHAL ANATOMI

kematiannya relatif tinggi antara 7,3% (Komang et al., 2006). Dari kasus yang

hidup 50% mengalami gejala sisa/sekuele, pada anak sekuele lebih banyak dari

dewasa.

Kasus JE pertama kali ditemukan di Indonesia berdasarkan gejala klinis dengan

ditemukannya antibodi penghambat aglutinin (HI) dan virus Nakayama Japanese

encephalitis dalam darah penderita.

Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand

sudah memasukkan imunisasi Japanese encephalitis ke dalam program rutin—

kasus ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per

100.000 penduduk.

Pada hewan, penyakit ini dapat menimbulkan abortus, meninggal, atau tanpa

gejala. Hewan yang dapat terinfeksi penyakit ini meliputi ternak lembu, sapi,

ayam, bebek dan kambing, dan vertebrata lainnya, termasuk ular, kodok,tikus, dan

kelalawar. Burung merupakan hewan penting dalam penyebaran penyakit ini.

Virus dapat bereplikasi di dalam darah hewan tanpa menimbulkan penyakit serius,

yang memungkinkan siklus penularan. Manusia dan kuda merupakan dead-end

host, artinya tidak terjadi penularan dari manusia atau kuda ke manusia atau

hewan lain melalui gigitan nyamuk.

Penyakit Japanese encephalitis pada manusia dapat menimbulkan gejala ringan

seperti demam fl u biasa sampai berat, bahkan kematian. Pada kasus berat, dapat

meninggalkan gejala sisa (40-75%), termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan

mental/penurunan inteligensia. Karena virus Japanese encephalitis termasuk

famili fl avivirus yang sama dengan virus dengue, harus dilakukan juga uji

terhadap virus dengue.

Gejala klinik penyakit JE sulit dibedakan dengan penyakit encephalitis lainnya,

sehingga diagnosis klinis perlu ditunjang dengan pemeriksaan isolasi atau

Page 7: INHAL ANATOMI

serologi. Matondang, et al. (2013) melakukan metode RT-PCR untuk melakukan

diagnosis cepat Japanese encephalitis pada 17 pasien di Surabaya. Penelitiannya

menunjukkan bahwa RT-PCR dapat menjadi salah satu standar pemeriksaan

penunjang diagnostic untuk Japanese encephalitis.