Upload
riski-chairi
View
111
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fraktur wajah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula
merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada
daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang
menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada
proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1
Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan
satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang
terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan
jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang tidak membatasi
otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).1,2
Fraktur tulang muka lebih sering terjadi akibar dari faktor yang datangnya
dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat
olahraga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama
perawatan fraktur tulang muka adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu
penyembuhan tulang yang cepat,pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah,
fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi
yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat
adanya mobilitas segmen tulang.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.2,4
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang – tulang
wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan
mandibular.3
2.2. Tulang – Tulang Wajah
Pada bagian depan tengkorak terdapat margo orbitalis superior dan area di
atasnya dibentuk ole hos frontale, yang didalamnya terdapa sinus frontalis. Margo
orbitalis lateralis dibentuk oleh os zygomaticum dan margo orbitaslis inferior
dibentuk oleh os zygomaticum dan maxilla. Margo orbitalis medialis dibentuk
oleh processus frontalis maxillae di sebelah bawah.5
Pangkal hidung dibentuk oleh ossa nasals, yang berartikulasi di bawah
dengan maxilla dan di atas dengan os frontale. Di anterior, hidung disempurnakan
dengan lamina superior dan inferior cartilage hyaline dan cartilago kecil ala nasi.5
Tulang yang penting pada sepertiga bagian tengah wajah adalah maxilla,
dengan gigi-geligi dan sinus maxillaris. Tulang sepertiga bagian bawah wajah
adalah mandibular, dengan gigi-geliginya.5
2
Gambar 1. Tulang-tulang wajah
2.3. Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu
dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat
olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.3
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada
pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang
keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,
seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam
studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-1986,
menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak
menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.3
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa
fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus
zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang
terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.6
2.4.1. Fraktur Komplek Nasal
3
Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang
lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses
frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.7
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang –
kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan
plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.7
Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya fraktur.
Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung
dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila
berpindah tempat ke satu sisi.7
2.4.2. Fraktur Komplek Zigoma
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang
dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat
bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini
disebut “fraktur kompleks zigomatik”.8
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta
suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura
zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita
atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat
mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.8
Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks
4
Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,
namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan.
Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang
frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.8
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur
zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang
hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis
berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat
perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda
pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-
kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil
penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma
sebesar 42% dan 7,9%.8
2.4.3. Fraktur Dentoalveolar
Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-
gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di
alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung
dengan setiap bentuk fraktur lainnya.9
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya injuri
wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan
atau tanpa terbukanya saluran pulpa.9
5
Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi
insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan
kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini
menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan
seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas.9
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena
fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi
kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang
setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien,
terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.9
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya hubungan
dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum
relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.9
Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya, pada
beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya menunjukkan
persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.9
2.4.4. Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila,
yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le
Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari
fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.6
2.4.4.1. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.6
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses
rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus
maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian
atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering
disebut sebagai fraktur transmaksilari.6,10
6
2.4.4.2. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya
dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura - sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.6,10
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan
sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan
oklusinya tidak separah pada Le Fort I.6,10
2.4.4.3. Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian
tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.6,10
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana
bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma
intrakranial.6,10
Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III
2.4.5. Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma
kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi
akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma
7
interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap
harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat.11
Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi, dan
menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan fraktur
mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen
mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan
apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini
bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior
mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau
daerah kondilar mandibula.11
Gambar 7. Fraktur Mandibula
Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula
merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu
dipalpasi.11
Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur kondilus
yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai maloklusi dengan rasa
sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa fraktur
mandibula merupakan fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
pada pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase sebesar 51%
dan 72,8%.11
2.5. Pemeriksaaan Klinis
8
Pemeriksaan dilakukan menyeluruh dengan memperhatikan kerusakan di
tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh, terutama cedera otak.
Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat dilakukan
dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam menegakkan
diagnosa dari fraktur maksilofasial.1
Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, pembengkakan (udem),
hematoma, trismus, dan nyeri spontan serta maloklusi. Fraktur maksilofasial
biasanya disertai udem dan hematoma sehingga muka tampak sangat bengkak
(wajah balon). Le Fort* membedakan fraktur maksilofasial atas tiga macam, yaitu
fraktur sepertiga atas (LeFort III) dengan batas tepi atas orbita yaitu bagian os
frontalis, fraktur sepertiga tengah (LeFort II) yang dibatasi oleh tepi atas orbita
dan tepi bawah baris gigi atas yaitu bagian maksila, dan fraktur sepertiga bawah
(LeFort I) yang meliputi daerah mandibular.1
Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri bersama-sama),
saksama (hati-hati), dan sistematis (3S). penderita fraktur maksilofasial tanpa
gangguan kesadaran dapat diperiksa dalam posisi berbaring atau duduk. Diagnosis
ditentukan atau didukung oleh foto Rontgen menurut Waters.1
Fraktur maksila pada umumnya bilateral. Fraktur unilateral terjadi pada
trauma lokal langsung. Secara klinis wajah tampak bengkak, mata tertutup karena
hematoma, ingus berdarah, dan sering kali disertai dengan gangguan kesadaran.
Penggolongan diagnosis menurut LeFort sangat penting dalam penanganan.
Penanganan ini menuntut sarana dan keahlian yang memadai. Fiksasi dan
imobilisasi berlangsung selama enam hingga delapan minggu.1
2.5.1. Fraktur Komplek Nasal
Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung
yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek
pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak
9
dan remuk. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut,
deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi
terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur
nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan,
Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas hidung.1,7
2.5.2. Fraktur Komplek Zigoma
Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis,
pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil,
hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi
terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik,
kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri.
Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah
penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek
zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan
CT scan.8
2.5.3. Fraktur Dentoalveolar
Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir. Sedangkan secara
palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan
subluksasi. Sedangkan secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus.
10
Pemeriksaan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan
panoramik.9
2.5.4. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III,
dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.6
2.5.4.1. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan
proyeksi wajah anterolateral.6,10
2.5.4.2. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan
secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah,
mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos
dan CT scan.6,10
2.5.4.3. Le Fort III
11
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis
periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya
dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral,
foto wajah polos dan CT scan.6,10
2.5.5. Fraktur Mandibula
Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat
adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur,
perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang
ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang
mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak
pada garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan
pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi (
panorex ) dan helical CT.12
Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor
12
Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks zigomatik
Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar
Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le
Fort II (kiri)
Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah).
13
Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang
meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur
simphisis kanan.
2.6. Perawatan
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-
masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka
hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni
berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan
ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus
dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri
maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif
dapat dilakukan.6
2.6.1. Fraktur Komplek Nasal
Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan yakni
reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah analgesia
lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai
lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak. Kadang – kadang bila
fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu.
Pada beberapa kasus, pendawaian langsung antar tulang pada pertemuan dahi-
hidung akan bermanfaat.1,7
14
2.6.2. Fraktur Komplek Zigoma
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur
arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun
langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :
a) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,
b) Mengidentifikasi fasia temporalis,
c) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek
dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia,
cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga
arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen
harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu
dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung
akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.1,8
Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A.
Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal
bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator
Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki mukosa
yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut masih dapat
dilestarikan.8
Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki
jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan untuk
menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar ke mahkota, baik pada
gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan dengan batang akrilik atau
bar yang cekat ,splint komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.8
15
Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang yang
hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang berada
diatas daerah tulang yang telah rata.8
2.6.4. Fraktur Maksila
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka
dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak
langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan
perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya
perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita
juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan
splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch
bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan
pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.1,6
2.6.5. Fraktur Mandibula
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup /
konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan
imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi
maksilomandibular.13
Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan
dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat
atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan
tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.13
2.7. Prognosis
Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika penderita
16
mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan menjadi
masalah.6
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur bedah
multipel dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas
luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik.6
17
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu
tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibular.
Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang
datangnya dari luar seperti ekcelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan
akibat olahraga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama
perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal
yaitu penyembuhan tulang yang cepat, penegembalian fungsi okuler, fungsi
pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan
gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa
sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang.
Fraktur Le Fort merupakan tipe fraktur tulang – tulang wajah yang klasik
terjadi pada trauma – trauma di wajah. Trauma wajah meliputi : trauma pada soft
tissue, organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini merupakan suatu
kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan emergency karena dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas, cedera otak berat, dan mungkin fraktur
vertebra servikalis. Tujuan awal terapi adalah membeabskan jalan nafas.
18
DAFTAR RUJUKAN
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. Jakarta.
2. Price S.A., Wilson L.M, Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit
Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
3. Yudhautama HS. Diagnosa dan Penatalaksanaan Fraktur Tulang Wajah (Le
Fort Fracture). Diperbaharui : 1 Agustus 2012 [Diakses : 02 Februari 2015].
Diunduh dari : http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/08/diagnosa-
dan-penatalaksanaan-fraktur.html
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama, Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
5. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta:
EGC; 2006.
6. Moe KS. Maxillary and Le Fort Fractures. Updated : 3rd December 2013
[accessed : 2nd Febryuary 2015]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#showall
7. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J. 2004. Management of Acute Nasal Fractures.
Am Fam Physic; 70 (7): 1315-20.
8. Hisao O, Yoshiaki S, Kazuo K. 2013. A New Classification of Zygomatic
Fracture Featuring Zygomaticofrontal Suture: Injury Mechanism and a Guide
to Treatment. Plastic surgery: An International Journal.
9. Samra FMA. Dentoalveolar Injuries Classification-Management-Biological
Consequences. Volume 1, Issue 4, 2014. Journal of Dental Health, Oral
Disorders & Therapy.
10. Donat TL, Ednress C, Mathog RH. Facial Fracture Classification According to
Skeletal Support Mechanisms. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/ Vol 124,
Dec 1998.
11. Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial Fractures Seen
At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study. Oral
19
Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago Hospital,
Complex Mulago Hill. Clinics; 64(9): 843–848
12. Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional
Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma. Facial
Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219
13. Yadavalli G, Hema Mythily P, NS Jayaprased. 2011. Clinical Evaluation of
Mandibula Angle Fractures with Teeth in Fracture Line, treated with Stable
Internal Fixation. Indian J stomatol; 2 (4) : 216-21.
20