Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pasien Berobat Ke Puskesmas

Embed Size (px)

Citation preview

Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pasien Berobat Ke PuskesmasWritten by DR. Sudibyo Supardi

Sudibyo Supardi *), Rini Sasanti Handayani *), Mulyono Notosiswoyo **) PENDAHULUAN Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah desa/kelurahan atau dusun (Depkes, 2003). Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat 2010. Kecamatan sehat mencakup empat indikator utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat kesehatan penduduk. Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Untuk mencapai visi tersebut, puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat (Depkes, 2003). Upaya kesehatan perorangan di puskesmas terkait dengan perilaku sakit dan perilaku pencarian pengobatan pada orang sakit. Pengertian sakit (illness) berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, sedangkan penyakit (disease) berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis profesi kesehatan (Rosenstock, 1974). Sakit belum tentu karena penyakit, tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial. Perilaku sakit adalah setiap kegiatan yang dilakukan orang sakit untuk menjelaskan keadaan kesehatannya dan mencari sumber pengobatan yang sesuai (Kasl, 1966). Sumber pengobatan di Indonesia menurut Kalangie (1984), mencakup tiga sektor yang saling berkaitan yaitu pengobatan rumah tangga/pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, dan pengobatan medis profesional. Perilaku berobat umumnya dimulai dari pengobatan sendiri, kemudian apabila tidak sembuh dilanjutkan ke pengobatan medis atau pengobat tradisional. Demikian juga dari pengobatan medis dapat dilanjutkan ke pengobat tradional, atau sebaliknya.

Dalam upaya penanggulangan penyakit anak balita umumnya penduduk di daerah pedesaan Jawa Tengah memilih pengobatan sendiri bila sakit untuk tingkat keparahan ringan, pengobatan medis untuk tingkat keparahan sedang, dan pengobat tradisional untuk tingkat keparahanberat (Kasniyah, 1983).Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional 2003 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang mengeluh sakit selama sebulan sebelum survai dilakukan sebesar 23,92%. Perilaku pencarian pengobatan rawat jalan yang dilakukan oleh penduduk Indonesia yang mengeluh sakit 33,11%

memilih berobat jalan ke puskesmas, sisanya melakukan pengobatan sendiri, pengobatan medis, pengobat tradisional dan tidak berobat (BPS, 2003). Masalah penelitian adalah belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penduduk yang mengeluh sakit memilih rawat jalan dan rawat inap di puskesmas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang 1) karakteristik pasien puskesmas rawat jalan dan rawat inap, 2) faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien memilih rawat jalan di puskesmas, dan 3) faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien memilih rawat inap di puskesmas.

METODE Menurut Andersen R (1968) dalam Behavioral model of families use of health services, perilaku orang sakit berobat ke pelayanan kesehatan secara bersama dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor kebutuhan (need factors). Faktor-faktor tersebut digambarkan sebagai berikut. 1) faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap kesehatan.Faktor predisposisi berkaitan dengan karakteristik individu yang mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. 2) faktor pemungkin adalah kondisi yang memungkinkan orang sakit memanfaatkan pelayanan kesehatan, yang mencakup status ekonomi keluarga, akses terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada, dan penanggung biaya berobat. 3) faktor kebutuhan adalah kondisi individu yang mencakup keluhan sakit. Berdasarkan teori tersebut dan data yang tersedia dibuat kerangka konsep faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penduduk sakit mencari pengobatan sebagai berikut. Berdasarkan kerangka konsep tersebut, disusun hipotesis penelitian : usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, tempat tinggal dan penanggung biaya secara bersamasama berhubungan dengan perilaku berobat ke puskesmas. Adapun definisi operasional variabel disusun sebagai berikut. Usia pasien dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir, dibuat skala nominal; belum pra usia lanjut (15 55 tahun) dan pra usia lanjut (56 tahun atau lebih).

Jenis kelamin pasien dibuat skala nominal; laki-laki dan perempuan. Pendidikan pasien dinilai berdasarkan ijazah terakhir yang dimiliki, dibuat skala nominal; pendidikan dasar (sampai dengan tamat SLTP) dan pendidikan lanjut (tamat SMU ke atas). Pekerjaan pasien adalah kegiatan rutin setiap hari untuk mendapatkan uang, dibuat skala nominal; ada dan tidak ada. Status ekonomi pasien diukur berdasarkan pengeluaran rumah tangga untuk makan dan bukan makan selama sebulan per anggota rumah tangga, dibuat skala nominal menurut BPS; tidak mampu (kurang dari Rp 122.775) dan mampu (Rp 122.775 atau lebih). Tempat tinggal pasien, dibuat skala nominal; perkotaan dan pedesaan Penanggung biaya berobat pasien di puskesmas dibuat skala nominal; ada (dibayar melalui kartu miskin/ Askes/ kantor dan sebagainya) dan tidak ada (bayar sendiri). Perilaku berobat penduduk yang mengeluh sakit dalam kurun waktu setahun terakhir untuk rawat jalan dan lima tahun terakhir untuk rawat inap, dibuat skala nominal; ke puskesmas/ pustu/pusling dan tidak ke puskesmas/ pustu/ pusling. Rancangan penelitian merupakan analisis data sekunder SKRT 2004 dan Susenas 2004, dimana pengumpulan datanya dilakukan secara potong lintang dengan pendekatan retrospektif dalam kurun waktu setahun sebelum survei untuk pasien rawat jalan dan 5 tahun sebelum survei untuk pasien rawat inap. Populasi penelitian adalah penduduk Indonesia di 30 propinsi di mana sampel merupakan sub sampel Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004, mencakup 16.021 rumah tangga yang diwakili oleh seorang pasien berumur 15 tahun atau lebih. Tercatat 5.387 pasien pernah rawat jalan dalam setahun terakhir, diantaranya 1.664 (30,89%) pasien rawat jalan di puskesmas. Terdapat pula 774 pasien pernah rawat inap dalam 5 tahun terakhir, diantaranya 87 (11,24%) pasien rawat inap di puskesmas. Analisis data dilakukan secara bertahap mencakup analisis univariat untuk menghitung distribusi frekuensi, analisis bivariat untuk menilai hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan uji Chi-square, dan analisis multivariat untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penduduk yang mengeluh sakit berobat ke puskesmas menggunakan uji regresi logistik berganda Keterbatasan penelitian mencakup a) keterbatasan rancangan penelitian dalam bentuk survei potong lintang terhadap variabel independen dan dependen, sehingga analisis data bukan untuk membuktikan hubungan sebab-akibat, b) keterbatasan data SKRT 2004 yang dikumpulkan sehingga secara teoritis (menurut teori Andersen, 1968) variabel yang mungkin berhubungan dengan perilaku berobat, seperti pengetahuan, sikap, dan kepercayaan kesehatan tidak ada datanya, c) kebenaran jawaban kemungkinan ada recall bias, yaitusetahun terakhir untuk pasien

rawat jalan atau lima tahun terakhir untuk pasien rawat inap dipengaruhi oleh daya ingatnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Karakteristik pasien rawat jalan dan rawat inap di puskesmas berdasarkan karakteristiknya, SKRT 2004

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap satu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Tindakan seseorang biasanya muncul dan sesuai dengan pola ataupun model yang ada pada masyarakat. Ada enam tingkatan pengetahuan, yakni 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahun yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, meyatakan dan

sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat Universitas Sumatera Utaramenjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analisys) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabaran materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemanpuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang sudah ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemapuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada Universitas Sumatera Utarasuatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada (Notoadmodjo, 2003) 2.2 Sikap Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi positif atau negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian. Ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, umpama tertarik kepada seseorang, benci terhadap suatu iklan, suka makanan tertentu. Ini semua adalah contoh sikap. Sikap dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman, pendapat umum, dan latar belakang. Sikap mewarnai pandangan terhadap seseorang terhadap suatu objek, memengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada penilaian sebelumnya. Sikap bisa baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam sikap dan sikap dapat diubah. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan dengan kepercayaan. Dalam beberapa hal sikap merupakan akibat dari suatu kumpulan kepercayaan (Maramis, 2006) Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasanbatasan tentang sikap oleh Campbell (1950), Allport (1954), Cardno (1955), Notoatmodjo menyimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

Universitas Sumatera Utaratertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merepakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003). 2.2.1 Pembentukan Sikap Manusia mempunyai dua sumber dasar informasi tentang dunia, yaitu pengalaman kita sendiri dan apa yang dikatakan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman memang mempengaruhi sikap, namun kadang-kadang tidak begitu jelas pengaruhnya. Misalnya, kebiasaan melakukan sesuatu karena sikap positif terhadap hal itu. Karena sikap positif, maka hal itu kemudian lebih sering dilakukan sehingga stimulus yang didapatkan menjadi lebih sering juga. Lalu dikatakan bahwa hal itu lebih disenangi dibandingkan hal lain. Karena sikap kita mengenai banyak aspek lingkungan tidak berdasarkan pada pengalaman langsung, maka banyak informasi yang diberikan oleh orang lain mengenai hal itu mungkin merupakan penentu paling penting dalam sikap kita. Sikap kita terhadap hal-hal yang belum pernah kita temui atau alami dipengaruhi oleh informasi dari orang lain, mungkin orang-orang yang dekat dengan kita, orang tua, saudara, atau mungkin Universitas Sumatera Utarasumber berita yang lebih jauh, seperti surat kabar, majalah maupun internet

(Maramis, 2006) 2.2.2 Ciri-ciri dan Fungsi Sikap Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapat dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi dalam Gultom (2006) adalah sebagai berikut: a. Sikap itu dipelajari (learnability) Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu perlu dibedakan dari motif-motif psikologi lainnya, misalnya : lapar, haus adalah motif psikologis yang tidak dipelajari, sedangkan pilihan kepada salah satu jenis makanan adalah sikap. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu. Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan. b. Memilik kestabilan (stability) Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap stabil, melalui pengalaman, misalnya; perasaan suka dan tidak suka terhadap warna tertentu (spesifik) yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi. Universitas Sumatera Utarac. Personal-sociaetalsignificance Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dengan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya. d. Berisi kognisi dan afeksi Komponen kognisi daripada sikap berisi informasi yang faktual, misalnya objek itu dirasakan menyenangkan dan tidak menyenangkan.

e. Approach-avoidance directionality Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap suatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya. Sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang unfavorable, maka akan menghindarinya. Pendekatan fungsional terhadap sikap berusaha menerangkan mengapa kita mempertahankan sikap-sikap tertentu. Hal ini dilakukan dengan meneliti dasar motivasi, yaitu kebutuhan apa yang terpenuhi bila sikap itu dipertahankan. Katz (1960) dalam Maramis (2006) mengemukakan empat fungsi dasar sikap yaitu sebagai berikut: Fungsi penyesuaian Suatu sikap dapat dipertahankan karena mempunyai nilai menolong yang berguna, memungkinkan individu untuk mengurangi hukuman dan menambah ganjaran bila berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya. Fungsi ini berhubungan dengan teori proses belajar. Fungsi pembelaan ego Universitas Sumatera UtaraFungsi ini berhubungan dengan teori Freud. Di sini sikap itu membela individu terhadap informasi yang tidak menyenangkan atau yang mengancam. Lain daripada sikap dengan fungsi penyesuaian, sikap dengan fungsi pembelaan ego keluar dari konflik internal individu dan bukan dari pengalaman dengan objek sikap yang sebenarnya. Fungsi ekspresi nilai Beberapa sikap dipegang seseorang karena mewujudkan nilai-nilai pokok dan konsep dirinya. Kita semua menganggap diri kita sebagai orang yang seperti ini dan itu (apakah sesungguhnya demikian atau tidak adalah soal lain); dengan mempunyai sikap tertentu anggapan itu ditunjang. Ganjaran yang diterima dari itu bukan datang dari lingkungan atau respon dari orang-orang

lain, tetapi dari dalam diri kita sendiri. Fungsi pengetahuan Kita harus dapat memahami dan mengatur dunia sekitar kita. Suatu sikap yang dapat membantu fungsi ini memungkinkan individu untuk mengatur dan membentuk beberapa aspek pengalamannya. Sikap yang sama dapat mempunyai berbagai fungsi bagi orang yang berbeda. Sikap prasangka rasial dapat membantu fungsi pembelaan ego bagi beberapa orang. Untuk orang lain sikap itu dapat membantu fungsi penyesuaian, yaitu sikap prasangka dipertahankan karena dipuji oleh orang-orang lain. Selanjutnya, sikap yang sama dapat mempunyai lebih dari satu fungsi bagi satu orang. Universitas Sumatera Utara2.2.3 Perubahan Sikap Fishbein dan Ajzen ( 1975 ) dalam Maramis ( 2006 ) menyusun suatu Model Perubahan Perilaku. Untuk mengubah perilaku X perlu ada niat ( intensi ) untuk mengubahnya. Niat itu dikuatkan oleh sikap positif terhadap perilaku X. Sikap itu dikuatkan oleh kepercayaan dan penilaian positif tentang akibat perilaku X. Intensi itu juga dikuatkan oleh norma subjektif yang baik mengenai perilaku X. Norma subjektif ini dikuatkan oleh kepercayaan normatif dan motivasi untuk menuruti (Smet 1994) Kepercayaan, Sikap, Niat, dan Perilaku ( Belief,Attitute, Intention, and Behavior ) 2.3 Teori tentang Penggunaan Pelayanan Kesehatan Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996), menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan Informasi Dasar : Kepercayaan

dan penilaian tentang akibat perilaku X Sikap terhadap perilaku X Informasi Dasar : Kepercayaan normative Motivasi untuk menuruti Norma subjektif mengenai Perilaku X Niat untuk melakukan perilaku X Perilaku X Model Perubahan Perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975) Universitas Sumatera Utarasecara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996).

Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan polapola penggunaan pelayanan kesehatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat dijelaskan hanya karena adanya perbedaan morbidity rate atau karakteristik demografi penduduk, tetapi faktor-faktor sosial budaya atau faktor-faktor penting yang menyebabkan tidak digunakannya fasilitas kesehatan. Penggunaan pelayanan kesehatan tidak perlu diukur hanya dalam hubungannya dengan individu tetapi dapat diukur berdasarkan unit keluarga (Sarwono, 1997). Banyak teori yang berkaitan dengan alasan seseorang ketika memilih dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, diantaranya : 2.3.1 Teori Andersen/ Health System Model Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan yaitu : 1. Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik predisposisi) 2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada (karakteristik pendukung) Universitas Sumatera Utara3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan) Ilustrasi Model Anderson 2.3.2 Model Kepercayaan Kesehatan / Health Belief Model HBM telah berkembang di tahun 1950 oleh para ahli psikologi sosial. Berkembangnya pelayanan kesehatan masyarakat akibat kegagalan dari orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Glanz, 2002). Ada 5 variabel yang menyebabkan seseorang mengobati penyakitnya : 1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)

Persepsi seseorang terhadap resiko dari suatu penyakit. Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. 2. Keparahan yang dirasakan (perceived seriousness) Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian, atau kelumpuhan, dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. 3. Keuntungan yang dirasakan (perceived benefits) Penerimaan seseorang terhadap pengobatan penyakit dapat disebabkan karena keefektifan dari tindakan yang dilakukan untuk mengurangi penyakit. Faktor Predisposing Enabling Need Health Service Use Universitas Sumatera Utaralainnya termasuk yang tidak berhubungan dengan perawatan seperti, berhenti merokok dapat menghemat uang. 4. Hambatan yang dirasakan (perceived barriers) Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan pencegahan penyakit akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan atau hambatan yang mungkin ditemukan dalam melakukan tindakan tersebut. 5. Isyarat atau tanda-tanda untuk bertindak (cues to action) Kesiapan seseorang akibat kerentanan dan manfaat yang dirasakan dapat menjadi faktor yang potensial untuk melakukan tindakan pengobatan. Selain faktor lainnya seperti faktor lingkungan, media massa, atau anjuran dari keluarga, teman-teman dan sebagainya. 6. Keyakinan akan diri sendiri (self efficacy)

Kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam pengambilan tindakan (Glanz, 2002). 2.3.3 Theory of Reasoned Action TRA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 untuk melihat hubungan keyakinan, sikap, niat dan perilaku. Fishbein, 1967 mengembangkan TRA ini dengan sebuah usaha untuk melihat hubungan sikap dan perilaku (Glanz, 2002). Faktor yang paling penting dalam seseorang berperilaku adalah adanya niat. Niat akan ditentukan oleh sikap seseorang. Dan sikap ditentukan oleh keyakinan seseorang akibat dari tindakan yang akan dilakukan. Diukur dengan evaluasi terhadap masing-masing akibat. Jadi, seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat Universitas Sumatera Utaraakan akibat dari tindakan yang dilakukan secara positif akan menghasilkan sikap yang positif pula. Sebaliknya jika seseorang tidak yakin akan akibat dari perilaku yang dilakukan dengan positif akan menghasilkan sikap yang negatif (Glanz, 2002). Niat seseorang untuk berperilaku juga dapat dipengaruhi oleh norma individu dan motivasi untuk mengikuti. Norma individu dapat dipengaruhi oleh normanorma atau kepercayaan di masyarakat. 2.4 Aspek Sosial Budaya dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan, tetapi ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan, yaitu adanya celah diantara kelas sosial dan budaya dalam penggunaan pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002). Seseorang yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah merasa diri mereka lebih rentan untuk terkena penyakit dibandingkan dengan mereka yang

berasal dari kelas atas. Sebagai hasilnya mereka yang berpenghasilan rendah lebih tidak mungkin untuk mencari pencegahan penyakit (Sarafino, 2002). 2.4.1 Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan tinggi c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan penganut agama lain. d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Universitas Sumatera Utara2.4.2 Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan diantaranya adalah : a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil. b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan. c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman. d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga meningkat. e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi pelayanan kesehatan. 2.4.3 Reaksi dalam Proses Mencari Pengobatan Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apaapa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Penyelidikan

E.A. Suchman (1965) tentang perilaku kesehatan dalam konteks sosial budaya cukup memberi harapan, dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. Model Suchman yang terpenting adalah menyangkut pola sosial dan perilaku sakit yang tampak pada cara orang mencari, menemukan, dan melakukan perawatan. Universitas Sumatera UtaraPendekatan yang digunakan berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor utama dalam perilaku sakit, yaitu: 1. Perilaku itu sendiri; 2. Sekuensinya; 3. Tempat atau ruang lingkup dan 4. Variasi perilaku selama tahap-tahap perwatan. Suchman sangat memperhatikan perilaku sakit. Ia mendefenisikan sebagai cara bilamana gejala dirasakan, dinilai dan kemudian bertindak untuk mengenalinya sebagai rasa sakit, disconfort atau mengatasi rasa sakit tersebut. Analisis ini untuk mengidentifikasikan pola pencarian, penemuan dan penyelenggaraan perawatan. Oleh karena itu pengembangan teori yang mengikuti individu mulai dari cara pandang dan mengenal penyakit sehingga kembali sehat di tangan petugas kesehatan. Unsur pertama, perilaku sakit menyangkut serangkaian konsep-konsep yang menggambarkan alternatif perilaku, berikut akibatnya yaitu: 1. Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan sesuai dengan harapan si sakit. 2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan

dukun. 3. Procastination ialah proses penundaan, menangguhkan atau mengundurkan upaya pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan. Universitas Sumatera Utara4. Self medication adalah proses pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya. 5. Discontinuity adalah melakukan proses membatalkan atau penghentian pengobatan (Muzaham, 1995). Menurut paradigma Suchman, urutan peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu: pengalaman dengan gejala penyakit, penilaian terhadap peran sakit, kontak dengan perawatan medis, jadi pasien, sembuh atau masa rehabilitasi. Pada setiap tingkat setiap orang harus mengambil keputusan-keputusan dan melakukan perilakuperilaku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tingkat permulaan terdapat tiga dimensi gejala yang menjadi pertanda adanya ketidakberesan dalam diri seseorang, yaitu: 1. Adanya rasa sakit, kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa dialami. 2. Pengetahuan seseorang tentang gejala tersebut mendorongnya membuat penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan akibat penyakit serta gangguan terhadap fungsi sosialnya. 3. Perasaan terhadap gejala penyakit tersebut berupa rasa takut atau cemas. Perlu diketahui bahwa kesimpulan yang diperoleh seseorang pada tahap pengenalan gejala penyakit (seperti juga pada tahap-tahap lainnya), berbeda satu sama lain. Secara teoritis, setelah tahap pengalaman gejala hingga tahap mengira bahwa dirinya sakit, terbuka beberapa alternatif yang dapat dipilih seseorang, misalnya menolak anggapan bahwa dirinya sakit atau mengulur waktu mencari pertolongan medis.

Universitas Sumatera UtaraPada saat orang mengira bahwa dirinya sakit, maka orang akan mencoba mengurangi atau mengontrol atau mengurangi gejala tersebut melalui pengobatan sendiri. Sementara itu pihak keluarga dan teman-teman dimintai nasehat, sistem rujuka n awam (lay-referral system) dapat mempengaruhi seseorang untuk berperan untuk berperan sakit, sedangkan upaya mendiskusikan gejala itu dengan orangorang terdekat atau orang penting lainnya betujuan untuk memperoleh pengakuan yang diperlukan agar ia mendapat kebebasan dari tuntutan dan tanggung jawab sosial tertentu. Selanjutnya, pada saat berhubungan dengan pihak pelayanan kesehatan, pelaksana tenaga kesehatan dapat membantu kebutuhan fisik dan psikologis pasien, dengan jalan memberikan diagnosis dan pengobatan terhadap gejala, atau memberikan pengesahan (legitimacy) agar pasien dibebaskan dari tuntutantuntutan, tanggung jawab dan kegiatan tertentu. Seperti juga pada tahap-tahap sebelumnya, seseorang bisa dipercaya dan menerima tindakan atau saran untuk pengobatan, dan bisa juga menolaknya. Boleh jadi juga ia akan mencari informasi serta pendapatpendapat dari sumber pelayanan kesehatan lainnya. Suchman (1965) memformulasikan suatu pernyataan teoritis mengenai hubungan antara struktur sosial dan orientasi kesehatan dengan variasi respon individu terhadap penyakit dan perawatan kesehatan. Dalam pengembangan model ini, Suchman membahas fungsi dari berbagai faktor lain (faktor tempat, variasi respon terhadap penyakit, perawatan kesehatan) sesuai dengan kelima tahap penyakit dan proses perawatan kesehatan tersebut.

Struktur sosial kelompok ditentukan oleh keadaan sosial dari tiga tingkat kelompok, yaitu tingkat komunitas, persahabatan, dan keluarga. Pada tingkat Universitas Sumatera Utarakomunitas, derajat hubungan sosial diukur dengan kuat tidaknya rasa kesukuan, pada tingkat sosial diukur dengan solidaritas persahabatan, dan pada tingkat keluarga ditandai dengan kuat tidaknya orientasi terhadap tradisi dan otoritas. Ketiga dimensi hubungan sosial tersebut dikombinasikan kedalam suatu indeks kosmopolitan parokial struktur sosial. Parokialisme diartikan sebagai suatu keadaan sosial dimana terdapat rasa kesukuan yang kuat, solidaritas persahatan tinggi, dan sangat berorientasi pada tradisi dan otoritas dalam keluarga. Orientasi kesehatan seseorang dilihat sebagai suatu kontinum yang dibedakan atas orientasi ilmiah ( bersifat objektif, profesional, dan impersonal ) dan orientasi populer ( bersifat subjektif, awam dan personal ), yang disesuaikan menurut tingkat pengetahuan pasien mengenai penyakit, skeptisisme terhadap perawatan kesehatan, dan ketergantungan seseorang akibat penyakit. Orientasi pada kesehatan populer ditandai oleh rendahnya tingkat pengetahuan tentang penyakit (dimensi kognitif), tingginya tingkat skeptisisme terhadap perawatan medis ( dimensi afektif ), dan tingginya tingkat ketergantungan seseorang akibat penyakit ( dimensi perilaku ). Suchman mengemukakan hipotesis bahwa, perilaku kesehatan yang terjadi pada setiap tahap penyakit seperti dikemukakan di atas mencerminkan orientasi kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok sosial. Variasi perilaku ini mempengaruhi kemajuan setiap tahap penyakit tersebut. Misalnya, seseorang yang berorientasi kepada kesehatan polpuler dan cenderung pada afiliasi kelompok parokial akan berperilaku : kurang cepat tanggap dan kurang serius terhadap bahaya

yang mungkin terjadi selama masa permulaan gejala yang dirasakan; meminta persetujuan orang lain secara berulang-ulang untuk menyakinkan bahwa ia boleh Universitas Sumatera Utarameninggalkan tanggung jawab tertentu ; berusaha melakukan pengobatan sendiri dengan obat paten atau ramuan-ramuan dan ragu bertindak pada saat ia mengetahaui dirinya sakit; lalai dalam mencari pertolongan medis, bertukar-tukar dokter serta sanksi terhadap diagnosis pelayanan kesehatan, selama masa kontak dengan pelayanan medis; sulit mengatasi berbagai masalah yang timbul pada saat sakit dan tidak sanggup menjalankan aturan perawatan medis; dan cepat meninggalkan uperan sakit ( atau, bila ia menderita penyakit kronis ia menolak sakit berkepanjangan atau mengabaikan rehabilitasi kesehatannya ). 2.5 Masyarakat Pak-pak Banyak kalangan dan ahli mengelompokkan Pak-pak sebagai bagian dari sub etnis Batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial, bahasa dan sistem kekerabatan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya, sama seperti orang Karo, Toba, Simalungun dan Mandailing, orang Pak-pak juga menganut sistem patrilineal. Dengan demikian klen (marga) diperhitungkan berdasarkan garis keturunan lak-laki. bentuk perkawinan adalah eksogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sebagai sumbang (incest) (wahyudi, dkk, 2002). Secara geografis pun sub etnis Pak-pak berbatasan langsung dengan sub etnis

Batak lainnya. Malah beberapa nama marga dari masing-masing sub etnis hampir sama sebutannya dan bahkan diakui berasal dari nenek moyang yang sama. Contohnya marga : Manik Siketang (Sihotang), Lembeng (Limbong), Solin (Selian), Universitas Sumatera UtaraKabeaken (Habeahan) dan marga-marga lainnya. Secara teoritis kesamaan bisa terjadi karena faktor intensitas dari proses difusi, akulturasi dan asimilasi, disamping didukung oleh faktor geografi. Demikian juga dari segi komunitas, etnis-etnis tersebut hidup berdampingan di wilayah Sumatera Utara (Berutu, 1998). Namun bila mengacu kepada ciri-ciri etnis yang dikategorikan oleh Koentjaraningrat (1990), bahwa suatu suku bangsa ditandai dengan adanya kebudayaan tersendiri, wilayah komunitas daerah asal, adanya rasa identitias bersama dan adanya bahasa, maka masing-masing sub etnis Batak tersebut dapat juga dikategorikan sebagai etnis atau suku bangsa tersendiri termasuk Pak-pak. 2.5.1 Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pak-pak Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pak-pak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian (Suak) besar, yakni Pak-pak Sim-sim, Pakpak Keppas, Pak-pak pegagan, Pak-pak Boang dan Pak-pak Kelasen (Berutu, 2002), dan masing-masing daerah persebarannya adalah: 1. Pak-pak Sim-sim, yakni orang Pak-pak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Sim-sim. Misalnya marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Tinendung, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Pak-pak Bharat. 2. Pak-pak Keppas, yakni orang Pak-pak yang menetap dan berdialek Keppas. Misalnya marga Ujung, Angkat, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi,

mencakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Sidikalang. Universitas Sumatera Utara3. Pak-pak Pegagan, yakni Pak-pak yang berdialek Pegagan. Misalnya marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir dan Tiga Lingga. 4. Pak-pak Kelasen, yakni Pak-pak yang berdialek Kelasen. Misalnya marga Tumangger, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, dan lainlain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Tapanuli Utara Kecamatan Parlilitan dan kecamatan Pakkat, Kabupaten Tengah Kecamatan Barus. 5. Pak-pak Boang, yakni Pak-pak yang berdialek Boang. Misalnya marga Sambo, Penarik, Sasraan dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Aceh Selatan, Kecamatan Simpang Kiri dan kecamatan Simpang Kanan (Berutu, 1998) Pengakuan atas dasar identitas dan permasalahan yang nyata dihadapi, serta menyatukan langkah untuk maju kedepan merupakan salah satu masalah besar masyarakat ini. Friksi antar suak maupun antar agama pada dasarnya ada dalam masyarakat. Ditambah dengan penguasaan tanah antar marga. Maka Pak-pak dikatakan cukup sulit untuk bersatu. Hal ini juga dibarengi dengan gap atau kesenjangan komunikasi antar rakyat dan penguasa (pemerintah, orang kaya atau tokoh-tokoh masyarakat). Bahkan ketidak sepakatan antara pandangan mengenai sifat-sifat antropologis dan psikologis (perilaku) Pak-pak diantara mereka cukup tajam. Begitu pula dengan pandangan diantara mereka atas pemerintah yang selama ini telah lebih berkuasa dibanding dengan tokoh-tokoh masyarakat adat. Situasi ini

Universitas Sumatera Utaradiperburuk oleh stereotype dan prasangka suku lain, bahkan oleh orang Pak-pak sendiri. Keengganan memakai marga asli Pak-pak sangat umum terjadi, mengganti marga asli dengan marga lain seperti Karo dan Toba sering dijumpai. Marga Tumangger, Tinambunen, Anak Ampun, Maharaja, Bancin mengaku Simbolon, marga Berutu jadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga (Karo), atau Manik, mengaku manik dari Simalungun, bahkan Solin mengaku Solihin bagi yang merantau kearah Aceh. Kalau tidak mengganti marga, minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti bahasa Toba (wahyudi, dkk, 2002). Kebiasaan ini bisa saja, juga terpengaruh dengan hal-hal yang lain seperti konsep akan sehat dan sakit serta pola pencarian pengobatannya. 2.5.2 Budaya Pak-pak dalam hal Sehat Sakit Menurut Kustander dalam Swasono (1996) menjelaskan bahwa kesehatan dan penyakit merupakan kontruksi budaya, yang berkaitan dengan pengertian normal dan abnormal menurut pandangan berbagai kategori individu dalam suatu kelompok budaya. Walaupun defenisi tentang normal dan abnormal itu mengandung aspek persamaan pada berbagai kebudayaan, misalnya mengenai batasan-batasan tentang kemampuan normal dari tubuh dalam menjalankan fungsinya, namun kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda mempunyai klasifikasi dan defenisi yang berbeda pula mengenai sehat, keadaan sakit, penyakit, maupun ukuranukurannya. Karena itu sulit untuk memperoleh penerapan yang universal terhadap ukuran kualitas dari skala kehidupan. Menurut Sudarti dalam Sarwono (1997) Umumnya masyarakat tradisional

memandang sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, Universitas Sumatera Utaratidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Baik itu karena sakit akibat penyakit yang biasa diderita masyarakat ataupun penyakit yang dianggap luar biasa dan jarang. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat. Cara pandang masyarakat tentang hal seperti ini juga masih banyak diyakini oleh masyarakat suku Pak-pak. Untuk penyakit-penyakit yang tidak lazim misalnya penyakit yang datang tiba-tiba, atau penyakit yang muncul kebetulan setelah mengunjungi suatu tempat, maka dianggap sebagai penyakit karena gangguan makhlus halus (begu) atau karena ula-ula (sihir) yang dilakukan oleh orang lain. Atau penyakit yang lama sembuhnya, maka dianggap karena kekuatan roh. Karena kalau penyakit biasa pastilah akan cepat sembuh. Pengobatan yang dilakukan, sesuai dengan penyakit yang di derita. Ada dengan pengobatan ramuan tradisional yang disebut grama, seperti sinangger yang merupakan ramuan beras yang digongseng sampai hitam ditambah dengan jahe dan kunyit, untuk sakit kepala. Gambir yang dicampur air dan diminum untuk obat sakit perut dan lain-lain (Gajah, 1999). Selain ramuan tradisional ada juga dengan pengobatan kebatinan yang mana proses penyembuhannya dilakukan dengan doa dan mantra (tabas) yang dilakukan oleh orang pintar (sipande-pande). Ada juga

pengobatan dari penggabungan kedua jenis tersebut, yaitu ramuan tradisional yang dibacakan mantra (tabas), misalnya Ramuan pinang dan sirih yang telah di bacakan mantra (tabas) untuk obat tetanus. Etiologi penyakit yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib atau akibat kesalahan tidak hanya berkenaan dengan penyakit fisik melainkan juga mengenai Universitas Sumatera Utarapenyakit jiwa. Misalnya, menurut suku Pak-pak gila (gangguan kejiwaan) terjadi akibat guna-guna (i bahan kalak) yang masuk kedalam tubuh seseorang sebagai hukuman atas kesalahannya terhadap orang lain. Mirip dengan suku Jawa, penyakit semacam itu hanya bisa diobatai oleh dukun. Selain itu ada pula anggapan bahwa gila terjadi karena masuknya roh jahat (jin) kedalam tubuh seseorang, yang juga hanya bisa dikeluarkan oleh dukun (Swasono, 1996). 2.6 Kerangka Pikir Skema kerangka pikir diatas menggambarkan bahwa jenis kelamin, penghasilan, agama, dukungan budaya, dukungan keluarga dan masyarakat akan mempengaruhi parokial struktur sosial. Umur, pendidikan, pengalaman dan kepercayaan seseorang akan mempengaruhi orientasinya terhadap kesehatan, baik itu Pola Pencarian Pengobatan Respon Individu Terhadap Penyakit - Jenis kelamin - Penghasilan

- Agama - Dukungan Budaya - Dukungan Keluarga dan Masyarakat - Umur - Pendidikan - Pengalaman - Kepercayaan Parokial Struktur Sosial Orientasi Kesehatan - Orientasi ilmiah - Orientasi populer Universitas Sumatera Utaraorientasi ilmiah maupun orientasi populer. Kombinasi dari parokial struktur sosial dan orientasi kesehatan akan mempengaruhi respon individu terhadap penyakit yang akhirnya membentuk pola pencarian pengobatan masyarakat apabila terkena penyakit. Universitas Sumatera Utara