EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI
of 44/44
EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI PADA FRAKTUR TERBUKA TIBIA TIPE III Made Bramantya Karna Satrio, dr. SpOT SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI FK UNAIR/RSUD DR.SOETOMO 2005
EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI
Text of EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI
BAB IMade Bramantya Karna
Satrio, dr. SpOT
2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi 4
2.3. Sistem Penghitungan 9
BAB III Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 16
BAB IV Metodologi Penelitian
4.1. Rancangan Penelitian 18
Pengambilan Sampel 19
4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 22
4.7. Cara Analisa Data 22
BAB V Pasien dan Metode 23
BAB VI Analisis Hasil Penelitian 25
BAB VII Pembahasan 28
BAB VIII Kesimpulan 32
pada sebuah tantangan dalam penanganan pembedahannya. Perkembangan
terbaru
pada bidang pengobatan, meliputi antibiotik yang lebih ampuh
serta
perkembangan tehnik pembedahan seperti graft saraf, flap jaringan
lunak,
rekonstruksi mikrovaskuler dan tehnik fiksasi fraktur yang semakin
baik, telah
memberikan berbagai harapan baru yang sebelumnya tidak mungkin
kepada para
dokter bedah. Penanganan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu
memegang
peranan penting untuk mencapai hasil terbaik dalam menyelamatkan
tungkai yang
cedera.
Namun dibalik semua keberhasilan tersebut, tetap ada penderita
dengan
cedera tungkai berat yang lebih baik dilakukan amputasi sejak awal.
Apabila pada
penderita ini tungkai yang cedera dipertahankan, penderita harus
melewati periode
infeksi yang lama dan masalah iskemi pada tungkai, juga harus
menghadapi
beberapa kali operasi yang rumit, dan menderita lebih banyak
komplikasi daripada
bila dilakukan amputasi lebih awal.
Tentu saja hal yang mengecewakan ini harus dihindari. Banyak
faktor
mempengaruhi pilihan apakah tungkai yang cedera akan dipertahankan
atau
diamputasi sejak awal. Tetapi bukan suatu hal yang mudah untuk
memutuskan hal
4
tersebut, sehingga para ahli bedah membutuhkan suatu predictive
scoring system
untuk menilai beratnya cedera yang terjadi dan menjadi petunjuk
dalam
mengambil keputusan amputasi atau tidak.
Penderita mangled extremity yang datang di IRD RSU Dr. Soetomo
dinilai
menggunakan Mangled Extremity Severity Score (MESS) untuk
mengambil
keputusan penanganan yang akan dikerjakan apakah tungkai yang
cedera akan
dipertahankan atau dilakukan amputasi. Namun MESS dinilai kurang
sensitif
karena ternyata masih banyak penderita yang tungkainya
dipertahankan harus
menghadapi amputasi pada akhirnya (3, 14). Untuk itu dirasa perlu
dilakukan
evaluasi terhadap sistem penghitungan yang selama ini
dipergunakan.
5
Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terjadi kerusakan barier
kulit dan
jaringan lunak hingga terjadi hubungan antara fraktur dan
hematomnya dengan
luar.
Prognosis suatu fraktur terbuka sangat tergantung pada banyaknya
jaringan
lunak yang tidak viabel karena trauma serta derajat kontaminasi dan
jenis
bakterinya. Mengklasifikasikan suatu fraktur terbuka sangat penting
bagi dokter
bedah dalam menentukan prognosis serta sebagai pegangan dalam
menentukan
penanganan yang akan dikerjakan.
dengan subklasifikasi grade III tahun 1984. Klasifikasi mereka
menekankan pada
pentingnya derajat kerusakan jaringan lunak akibat trauma serta
derajat
kontaminasi yang terjadi.
Fraktur terbuka tipe I disebabkan trauma berenergi rendah, biasanya
panjang
luka kurang dari 1 cm, karena patahan tulang yang menembus keluar.
Derajat
kontaminasi biasanya rendah dan kerusakan otot minimal. Luka tipe
II lebih dari 1
cm dengan derajat kerusakan jaringan lunak menengah karena energi
trauma yang
lebih besar. Mengelupasnya jaringan dari tulang minimal, sehingga
penutupan
luka masih memungkinkan tanpa graft atau flap. Trauma berenergi
besar
6
menimbulkan luka tipe III, biasanya lebih dari 10 cm dengan banyak
otot tidak
viabel dan fraktur yang kominutif. Tipe IIIa terjadi pengelupasan
periosteum dan
otot derajat menengah, namun tulang masih bisa ditutupi, tipe IIIb
menunjukkan
pengelupasan yang luas sehingga penutupan tulang membutuhkan flap
atau graf,
sedang tipe IIIc disertai cedera pembuluh darah besar.
Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo-Anderson
membutuhkan
evaluasi obyektif dan subyektif terhadap tungkai yang cedera.
Klasifikasi cedera
sebaiknya ditetapkan saat operasi debrideman dari luka yang
terjadi.
2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi
Permasalahan terbesar dalam menangani mangled leg bukannya pada
apakah
seorang dokter bedah dapat menyelamatkan tungkai yang cedera ini,
namun
apakah ia harus menyelamatkan tungkai tersebut. Keputusan itu
sangat
dipengaruhi keadaan dan beratnya cedera serta kondisi penderita
secara
keseluruhan. Banyak faktor memegang peranan penting dalam
mempertimbangkan pengambilan keputusan untuk mempertahankan
atau
melakukan amputasi sejak awal pada tungkai yang fraktur disertai
kerusakan
jaringan yang berat.
2.2.1. Faktor penderita
Umur mempengaruhi prognosis penderita dalam jangka panjang,
secara
umum karena penderita yang lebih tua akan memiliki penyakit
penyerta yang
7
lebih banyak dan inaktivitas. Gaston (1999) mendapatkan usia
menentukan waktu
penyembuhan dari fraktur isolated dari tibia yang difiksasi dengan
intramedullary
nailling, begitu pula waktu weight bearing-nya. Nicoll (1964)
menyatakan
penderita diatas usia 60 tahun menunjukkan pemanjangan yang
bermakna
terhadap waktu penyembuhan fraktur (15). Sehubungan dengan mangled
leg,
kebanyakan ahli menyatakan usia diatas 50 sangat tidak
menguntungkan. Tentu
usia fisiologis dan keadaan vaskularisasi dari tungkai lebih
bermakna
pengaruhnya dibandingkan usia kronologis.
penyembuhan serta mengarahkan pada terjadinya komplikasi. Penyakit
paru yang
berat dan gagal jantung kongestif dapat memperpanjang operasi dan
beresiko,
juga osteoporosis meningkatkan resiko instabilitas mekanik setelah
osteosintesis.
2.2.1.3. Perilaku merokok
tungkai yang berat. Mereka memerlukan waktu yang lebih panjang
untuk
penyembuhan fraktur. Dalam kasus pembedahan mikrovaskuler,
kebiasaan
merokok secara bermakna meningkatkan komplikasi post operasi,
dengan luka
infeksi, nekrosis otot dan kegagalan graft kulit.
8
energi yang diserap oleh jaringan. Pada trauma berenergi besar
(seperti
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian) akan lebih besar
resiko terjadinya
fraktur yang kominutif dengan kerusakan jaringan lunak yang berat,
dibandingkan
pada trauma berenergi rendah (seperti cedera olah raga).
2.2.2.2. Gambaran fraktur
waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan fraktur yang simple
atau
wedge.
Cedera jaringan lunak yang berat merupakan indikator prognostik
yang
penting. Kerusakan jaringan lunak yang serius dan nekrosis otot
yang terjadi
kemudian akan berakhir dengan kematian tungkai. Otot tidak hanya
berfungsi
menutup lokasi trauma, namun juga memungkinkan vaskularisasi ke
lokasi fraktur
dan mengatasi kontaminasi luka dan infeksi.
9
Trauma pembuluh darah yang menyertai akan mengakibatkan
buruknya
pasokan darah untuk tulang dan jaringan lunak yang cedera. Iskemi
akibat
gangguan aliran darah dan perdarahan yang luas mengakibatkan
pembengkakan
jaringan, dengan resiko tinggi terjadinya sindroma kompartmen.
Toleransi
jaringan terhadap iskemi maksimal selama 6 jam dan fasiotomi
lengkap harus
segera dikerjakan bahkan pada kasus fraktur terbuka.
2.2.2.5. Cedera saraf
raba pada telapak kaki, dengan resiko tinggi terjadinya ulkus
neuropatik. Menurut
banyak ahli, hal ini dapat menjadi pertimbangan yang kuat untuk
melakukan
amputasi sejak awal. Namun, Jones melaporkan hilangnya rasa raba
kaki dalam
trauma berenergi besar pada tungkai memang menyebabkan kecacatan,
namun hal
ini tidak tergantung pada apakah dilakukan penanganan dengan
amputasi sejak
awal atau tidak (11). Lagi pula, graft nervus tibialis dilaporkan
dapat
mengembalikan rasa raba kaki pada beberapa kasus.
2.2.2.6. Cedera lain pada tungkai yang sama
Cedera tungkai bawah akan ditangani berbeda bila disertai cedera
berat
lainnya pada tungkai tersebut, misalnya pada kaki, yang akan
menyebabkan
sulitnya mengembalikan fungsi sebelumnya bila tungkai
dipertahankan.
10
2.2.2.7. Kontaminasi
Bila luka sangat kotor, resiko infeksi akan sangat tinggi, dengan
segala
konsekuensi negatifnya.
Penderita dengan mangled leg bisa disertai cedera lain yang
mengancam
jiwa, seperti hematom intrakranial atau perdarahan intraabdominal
karena ruptur
liver atau lien. Dalam situasi seperti ini, usaha untuk
mempertahankan tungkai
yang cedera akan memakan waktu banyak sehingga meningkatkan
mortalitas.
Kebanyakan penderita dengan cedera berat yang multiple dan Injury
Severity
Score yang tinggi, mendahulukan keselamatan jiwa penderita
dibandingkan
tunkainya adalah tepat.
vasoaktif akan menyebabkan perfusi jaringan yang tidak adekuat,
dengan segala
konsekuensinya.
Hipotermi mengganggu hemostasis dengan menurunkan fungsi
platelet,
mempengaruhi coagulation cascade, dan meningkatkan efek dari
sistem
11
fibrinolisis. Pada akhirnya, semua ini akan berakhir dengan
koagulopati dan
perdarahan yang sulit dikendalikan, dengan resiko sindroma
kompartmen dan
komplikasi perioperatif. Pada kasus hipotermi berat, lebih baik
dikerjakan
amputasi sejak awal.
2.3. Sistem Penghitungan
berusaha merancang sistem penghitungan untuk menilai beratnya
cedera yang
terjadi pada tungkai sehingga dapat membantu ahli bedah dalam
memutuskan
apakah akan mempertahankan tungkai yang cedera atau melakukan
amputasi
sejak awal. Secara umum, sistem penghitungan ini dinilai secara
retrospektif pada
beberapa penderita dimana tungkainya yang cedera berusaha
dipertahankan untuk
kemudian ditentukan nilai ambang menentukan amputasi.
Variabel-variabel yang menentukan sistem ini masing-masing diberi
nilai,
dan bila total nilai melebihi nilai ambang (cutoff point), amputasi
sejak awal harus
dianjurkan untuk menyelamatkan penderita. Validitas sistem
penghitungan ini
ditetapkan melalui rasio sensitivitas (hampir semua tungkai yang
cedera dengan
nilai di bawah ambang batas berhasil dipertahankan) dan
spesifisitas (hampir
semua tungkai dengan nilai pada atau di atas ambang diamputasi)
yang tinggi.
Sistem penghitungan yang paling banyak digunakan adalah
Mangled
Extremity Syndrome Index (MESI), Predictive Salvage Index (PSI),
Hannover
Fracture Scale (HFS), Limb Salvage Index (LSI), Mangled Extremity
Severity
12
Score (MESS) dan Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury,
Skeletal Injury,
Shock, Age (NISSSA).
melalui studi retrospektif terhadap 17 penderita (termasuk 5
penderita dengan
cedera ekstremitas atas) (7). Sistem ini menekankan pada beratnya
kerusakan
tungkai (jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan tulang), Injury
Severity Score
(ISS), berat dan lamanya iskemi, usia, cedera lain, dan syok.
Peneliti menetapkan
nilai ambang 20 sebagai batas dimana di bawah angka tersebut
usaha
menyelamatkan tungkai dapat dicoba, sedang di atas itu semua
penderita yang
mereka tangani membutuhkan amputasi. Namun Hoogendoorn,
melaporkan
penelitiannya terhadap 57 penderita fraktur terbuka tibia derajat
III menyatakan
MESI cenderung meremehkan cedera pada tungkai bawah (9).
Kelemahannya
lagi, lokasi fraktur dan cedera lain pada tungkai yang sama (kaki)
tidak
diperhitungkan.
PSI, merupakan hasil analisa retrospektif terhadap 21 fraktur
ekstremitas
bawah disertai cedera vaskuler, tahun 1987 oleh Howe dan
rekan-rekannya (10).
Para peneliti ini menyatakan penyelamatan tungkai tidak berhubungan
dengan
adanya syok, rusaknya vena, dan cedera penyerta lain. Faktor yang
menentukan
adalah interval waktu antara kejadian trauma dan saat operasi,
lokasi arteri yang
cedera, serta beratnya cedera yang dialami otot dan tulang.
Dibandingkan dengan
MESI, PSI memiliki lebih sedikit variabel dan tampak lebih mudah
digunakan.
Namun dalam aplikasinya, sangatlah sulit untuk menilai beratnya
cedera yang
terjadi pada jaringan lunak, karena PSI tidak memberikan batasan
yang jelas.
13
HFS, diajukan oleh Sudkamp dan kawan-kawan tahun 1989, terdiri
dari
beberapa parameter tipe fraktur, ukuran defek tulang, beratnya
cedera jaringan
lunak, berat dan lamanya iskemi, cedera saraf, kontaminasi,
beratnya cedera
keseluruhan, serta periode antara trauma dan operasi (17). Walaupun
HFS
tampaknya memiliki kombinasi variabel-variabel yang lebih masuk
akal,
sensitivitas ternyata rendah, sehingga banyak penderita harus
mengalami banyak
komplikasi karena amputasi tidak dikerjakan sejak awal. Disamping
itu, HFS sulit
digunakan karena banyaknya parameter yang harus diperhitungkan
serta
membutuhkan penilaian kerusakan jaringan lunak dengan tepat.
Tahun 1991, Russell dan rekan-rekannya mempublikasikan LSI
sebagai
hasil penelitian retrospektif dari hasil penanganan 70 penderita
fraktur terbuka
tibia dengan cedera arteri (16). Penghitungan didasarkan pada tujuh
kriteria :
arteri, saraf, tulang, kulit, otot dan cedera vena dalam begitu
pula waktu iskemi.
Walau LSI sangat detail, parameter yang penting seperti usia dan
cedera yang
menyertai, tidak diperhitungkan disini. Beberapa peneliti meragukan
kegunaan
penghitungan ini dalam pengambilan keputusan pada kasus yang
akut.
MESS, digambarkan oleh Johansen dan kawan-kawan tahun 1990,
berdasarkan empat variabel klinis (cedera pada tulang dan jaringan
lunak, iskemi,
syok, dan usia). Karena variabelnya tidak terlalu banyak,
penghitungan ini tampak
mudah dipergunakan dan mungkin paling banyak digunakan. Adanya
variabel
mengenai mekanisme trauma (luka tembakan dan luka masuk)
menjadikannya
14
pilihan di Amerika dan Eropa sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk
amputasi atau tidak.
(modifikasi dari MESS) dengan menambahkan penekanan pada cedera
jaringan
lunak dan tulang (16). Dalam laporan mereka, sistem baru ini
memiliki
sensitivitas (82%) dan spesifisitas (92%) yang lebih baik.
Sayangnya, perbaikan
ini tidak berhasil dibuktikan peneliti lainnya.
2.4. Resiko Pilihan Penanganan
beberapa konsekuensi, baik dalam waktu pendek maupun panjang.
2.4.1. Jangka pendek
Banyak laporan mengenai jumlah dan rumitnya operasi yang harus
dilalui penderita, lamanya rawat inap, banyaknya serta macam
komplikasi yang dialami penderita yang tungkainya coba
dipertahankan dibandingkan yang dilakukan
amputasi sejak awal.
lebih banyak operasi yang kompleks dibandingkan yang diamputasi
sejak awal.
Hoogendoom (2001) melaporkan hasil akhir penanganan 72 penderita
fraktur
terbuka tibia derajat III dimana penderita yang tungkainya berhasil
dipertahankan
harus melalui rata-rata 5,3 kali operasi, 3,8 kali untuk yang
amputasi sejak awal
dan 5,0 untuk yang sekunder amputasi (9). Penderita dimana
tungkainya berusaha
dipertahankan harus melalui beberapa tahap rekonstruksi yang sulit
(misalnya
15
rekonstruksi vaskuler). Bondurant dan kawan-kawan (1988) juga
melaporkan
peningkatan jumlah operasi yang harus dilalui penderita dengan
primer amputasi
dibandingkan sekunder amputasi (1,6 berbanding 6,9 operasi)
(2).
b. Lamanya rawat inap
yang harus dijalani. Banyak peneliti melaporkan penderita dengan
tungkai yang
dipertahankan memerlukan waktu inap dua kali lebih lama
dibandingkan yang
diamputasi sejak awal. (Hoogendoorn melaporkan 38,4 hari berbanding
67,1 hari).
c. Komplikasi
Lebih banyak komplikasi yang dialami penderita dengan tungkai
cedera yang
dipertahankan dibandingkan amputasi primer. Komplikasi yang paling
sering
seperti infeksi dengan osteitis, gagalnya flap parsial maupun total
dan
pseudoarthrosis. Komplikasi ini dapat sedemikian beratnya serta
persisten hingga
terpaksa dilakukan amputasi sekunder.
fungsi tungkai (impairment) yang berakhir dengan terbatasnya
aktivitas sehari-
hari (disability), yang selanjutnya akan merubah peran dalam
masyarakat
(handicap). Banyak penelitian melaporkan komplikasi lebih lanjut
dari
berkurangnya fungsi fisik dalam waktu lama dan kualitas hidup
penderita.
16
yang dipertahankan, Georgiadis (1993) menyimpulkan penderita yang
tungkai
cederanya dipertahankan memiliki hasil akhir jangka panjang yang
lebih jelek
dalam kualitas hidup dan penerimaan atas kecacatannya (6).
Disamping itu,
penderita dengan usaha mempertahankan tungkai yang cedera lebih
merasa tidak
berguna, lebih bermasalah dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Kemp dan
kawan-kawan (1993) mengevaluasi 17 penderita yang berhasil
diselamatkan
tungkainya dengan menggunakan “Guides to the Evaluation of
Permanent
Impairment” dari Ikatan Dokter Amerika dan menyatakan penderita ini
memiliki
nilai lebih rendah dibandingkan yang dilakukan amputasi bawah lutut
(12).
Fairhurst (1994) melakukan pengamatan terhadap 12 penderita
yang
diamputasi di bawah lutut dibandingkan 12 yang dipertahankan
memiliki kualitas
hidup yang lebih baik, sehingga ia lebih menganjurkan tindakan
amputasi bila
menghadapi kasus-kasus perbatasan (4). Namun Herthel dan
kawan-kawan (1996)
menyarankan usaha rekonstruksi pada tungkai yang potensial viabel,
karena ia
mendapatkan 56% penderita yang diamputasi dan 19% dipertahankan
harus
mengganti pekerjaannya, 54% amputasi dan 16% dipertahankan harus
berhenti
dari pekerjaannya (8).
Sangatlah sulit mengambil keputusan pada penderita dengan
cedera
tungkai yang berat, apakah tungkainya harus diamputasi sejak awal
atau berusaha
dipertahankan. Keputusan ini sangat dipengaruhi perasaan, baik
keluarga maupun
dokter bedahnya. Adalah wajar, dokter bedah, begitu pula penderita
dan
17
Namun harus disadari pula, penderita yang tungkainya dipertahankan
harus
melalui lebih banyak prosedur operasi yang rumit, lebih lama
tinggal di rumah
sakit dan menderita lebih banyak komplikasi. Komplikasi ini bisa
demikian berat
dan persistennya sehingga penderita harus dilakukan sekunder
amputasi. Hal ini
tentu sangat mengecewakan baik bagi dokter bedah maupun
penderita.
Meskipun tehnik pembedahan rekonstruksi semakin maju, tetap
ada
tempat tersendiri untuk amputasi sejak awal pada kasus-kasus
tertentu. Beberapa
sistem penghitungan telah dikembangkan untuk membantu dokter
bedah
mengambil keputusan, sehingga mencegah penundaan atau sekunder
amputasi.
Parameter umum dan lokal seperti yang dijelaskan di depan menjadi
dasar
pertimbangan lainnya karena banyak laporan meragukan keberhasilan
sistem
penghitungan yang ada.
3.1. Kerangka Konseptual
NISSSA
Prediksi
3. Komplikasi.
Jangka Panjang :
3. Kualitas hidup.
19
Mangled Extremity Severity Score memiliki sensitivitas,
spesifisitas, NPV
dan PPV yang lebih tinggi dibandingkan sistem penghitungan yang
lain dalam
memprediksi ketepatan pengambilan keputusan amputasi sejak awal
ataukah
mempertahankan tungkai yang cedera.
mengambil keputusan amputasi atau tidak. Evaluasi ditekankan pada
sensitivitas,
spesifisitas, PPV dan NPV sistem yang digunakan, serta
membandingkannya
dengan sistem penghitungan yang lain.
MESS
MESI
PSI
HFS
LSI
NISSSA
21
4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik Pengambilan
Sampel
4.2.1. Populasi penderita adalah pasien yang datang ke IRD RSUD Dr.
Soetomo
dengan fraktur terbuka tibia derajat III menurut Gustillo-Anderson
dari
tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2001.
4.2.2. Sampel penderita yang dipilih adalah dengan catatan medik
yang memiliki
keterangan lengkap sebagai informasi untuk dinilai dengan ke enam
sistem
penghitungan.
4.2.3. Jumlah sampel adalah sesuai jumlah penderita yang memiliki
informasi
lengkap dalam catatan mediknya untuk penilaian masing-masing
variabel
tiap sistem penilaian.
4.2.4. Tehnik pengambilan sampel adalah dari data kunjungan IRD
RSUD Dr.
Soetomo dilanjutkan dengan penelusuran catatan medik serta
semua
informasi di dalamnya yang dibutuhkan untuk penilaian dalam
sistem
penghitungan.
4.3.1. Variabel penelitian
tungkai yang cedera adalah Mangled Extremity Syndrome Index
(MESI),
Predictive Salvage Index (PSI), Hannofer Fracture Scale (HFS), Limb
Salvage
22
Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve
Injury,
Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age
(NISSSA).
4.3.1.2.Variabel tergantung
spesifisitas, positive predictive value (PPV) dan negative
predictive value (NPV).
4.3.2. Definisi operasional variabel
4.3.2.1. Penderita fraktur terbuka grade III adalah pasien yang
datang ke IRD
RSUD Dr. Soetomo dengan fraktur tibia derajat III menurut
Gustillo-
Anderson dari tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember
2001.
4.3.2.2. Mangled Extremity Syndrome Index (MESI)
4.3.2.3. Predictive Salvage Index (PSI)
4.3.2.4. Hannofer Fracture Scale (HFS)
4.3.2.5. Limb Salvage Index (LSI)
4.3.2.6. Mangled Extremity Severity Score (MESS)
4.3.2.7. Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal
Injury, Shock, Age
(NISSSA)
4.3.2.8. Primary amputation : apabila dikerjakan dalam 24 jam
setelah trauma.
23
trauma dan setelah dikerjakan suatu penanganan tertentu
(stabilisasi
fraktur, revaskularisasi, penutupan luka).
cedera berhasil dipertahankan atau masih dalam usaha
rekonstruksi
dalam 6 bulan setelah trauma.
4.3.2.11. Sensitivitas : adalah besarnya kemungkinan tungkai cedera
yang perlu
diamputasi akan memiliki nilai pada atau di atas ambang batas
dari
sistem penghitungan. Angka probabilitas ini diperoleh dengan
jumlah
tungkai yang diamputasi dengan nilai pada atau diatas ambang
batas
dibagi jumlah total tungkai yang diamputasi dalam jangka waktu 6
bulan
setelah trauma.
memiliki nilai di bawah nilai ambang, diperoleh dari jumlah
tungkai
yang dipertahankan dengan nilai di bawah ambang batas dibagi
jumlah
tungkai yang dipertahankan selama 6 bulan setelah trauma.
4.3.2.13. PPV : adalah insiden terjadinya amputasi dari yang
diprediksikan
sebelumnya, diperoleh dengan membagi jumlah tungkai yang
diamputasi
dengan jumlah total yang diprediksikan sebelumnya.
4.3.2.14. NPV : adalah insiden tungkai yang berhasil dipertahankan
6 bulan
setelah trauma dari yang diprediksikan sebelumnya, diperoleh
dengan
24
total yang diprediksikan sebelumnya.
Instrumen penelitian adalah catatan medik penderita fraktur terbuka
tibia
derajat III yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo dari tanggal 1
Januari 2004
sampai dengan 31 Desember 2004.
4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Soetomo dari bulan Mei-Juni
2005.
4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Penderita ditelusuri melalui daftar kunjungan di IRD RSUD Dr.
Soetomo.
Data-data dari catatan medik penderita dikumpulkan dalam
kuesioner.
4.7. Cara Analisa Data
Dari data-data pada catatan medik penderita, MESI, PSI, HFS, LSI,
MESS
dan NISSSA dikalkulasi. Kemudian hasilnya dinilai melalui
sensitivitas,
spesifisitas, PPV serta NPV-nya. Student t-test dengan p < 0,05
digunakan untuk
membandingkan antar kelompok.
PASIEN DAN METODA
Selama periode 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2004, sebanyak
134
penderita fraktur terbuka tulang tibia derajat III Gustilo-Anderson
ditangani di
IRD RSU Dr.Soetomo. Pilihan penanganan (amputasi sejak awal
ataukah
mencoba mempertahankan) terhadap tungkai yang cedera berdasarkan
hasil
penghitungan Mangled Extremity Severity Score terhadap keadaan
penderita saat
tiba serta penilaian klinis (clinical impressions) dan beberapa
pertimbangan lain
(seperti penolakan penderita dan keluarga terhadap rencana tindakan
dokter).
Sebanyak 63 penderita tidak memiliki catatan klinis yang lengkap
untuk
memberikan informasi yang cukup untuk dilakukan penghitungan
kedalam
beberapa sistem prediksi amputasi yang dievaluasi, dan 13 penderita
kesalahan
diagnosis sehingga harus dikeluarkan dari kelompok penelitian
(sample). Pada
akhirnya, terdapat sebanyak 58 penderita yang dimasukkan sebagai
sample
penelitian.
Kelompok penelitian ini terdiri dari 53 laki-laki (91,4%) dan 5
wanita
(8,6%), dengan usia rata-rata 35,8 tahun (usia antara 12 tahun
sampai 60 tahun).
17 (29%) fraktur diklasifikasikan sebagai Gustillo derajat IIIA, 27
(47%) sebagai
derajat IIIB dan 14 (24%) kasus disertai cedera pembuluh arteri
sehingga
diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka derajat IIIC.
26
(20,7%) penderita dilakukan amputasi sejak awal.
27
penghitungan digunakan dalam evaluasi ini.
Tabel 1. Rata-rata nilai sistem penghitungan
MESI PSI HFS LSI MESS NISSA
Range 3-73 4-11 5-22 2-12 2-10 2-13
Threshold 20 8 15 6 7 9
Success attempt at salv 13,7 7,1 12,6 4,9 4,2 4,3
Early amputation 10 10 18,5 9 8 11
Secondary amputation 9 7,5 19 7 10 11
Gambar 1-6 menunjukkan frekuensi amputasi dan mempertahankan
tungkai
yang dialami penderita dan yang diprediksikan melalui ke-enam
sistem
penghitungan. Penderita yang mengalami amputasi (sejak awal maupun
sekunder)
28
sebanyak 12 orang dan yang berhasil dipertahankan tungkainya
sebanyak 46
orang.
Figure 1. Analisa dengan MESI Figure 2. Analisa dengan PSI
Figure 3. Analisa dengan HFS Figure 4. Analisa dengan LSI
Figure 5. Analisa dengan MESS Figure 6. Analisa dengan NISSA
Observed
dan negative predictive value untuk setiap sistem penghitungan.
Nilai sensitivitas
berkisar dari 50% (MESI) sampai 75% (HFS), spesifisitas berkisar
dari 61%
(HFS) sampai 85% (NISSA). Positive predictive value berkisar antara
23% (PSI)
dan 53% (NISSA) dan negative predictive value berkisar antara 81%
(PSI) dan
91% (NISSA).
MESI 0,50 (6/12) 0,83 (38/46) 0,43 (6/14) 0,86 (38/44)
PSI 0,58 (7/12) 0,48 (22/46) 0,23(7/31) 0,81 (22/27)
HFS 0,75 (9/12) 0,61 (28/46) 0,33 (9/27) 0,90 (28/31)
LSI 0,67 (8/12) 0,69 (32/46) 0,36 (8/22) 0,89 (32/36)
MESS 0,58 (7/12) 0,83 (38/46) 0,47 (7/15) 0,88 (38/43)
NISSA 0,67 (8/12) 0,85 (39/46) 0,53 (8/15) 0,91 (39/43)
30
penanganan bedah. Banyak kontroversi muncul mengenai criteria apa
yang dapat
dijadikan standar untuk memutuskan suatu tindakan amputasi pada
tungkai yang
cedera. Banyak sistem penghitungan dirancang untuk menilai secara
obyektif
beratnya tungkai yang cedera untuk membantu dokter bedah dalam
memprediksi
kemungkinan menyelamatkan tungkai yang cedera atau harus segera
diputuskan
untuk melakukan amputasi.
dan 100% spesifik. Sensitivitas yang tinggi sangat penting untuk
mencegah
terjadinya penundaan amputasi pada tungkai yang jelas-jelas tidak
dapat
dipertahankan lagi. Spesifisitas yang tinggi penting untuk
menghindarkan
banyaknya jumlah tungkai yang dapat dipertahankan akan memiliki
nilai diatas
batas ambang amputasi.
Predictive Salvage Index (PSI), Hannover Fracture Scale (HFS), Limb
Salvage
Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve
Injury,
Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age
(NISSSA).
31
Sistem ini menekankan pada derajat cedera tungkai bawah (jaringan
lunak,
saraf, pembuluh darah, dan tulang), Injury Severity Score, berat
dan lamanya
iskemia, usia, penyakit penyerta dan syok, dengan nilai 20 menjadi
garis batas
yang membagi kemungkinan penyelamatan tungkai dan indikasi
amputasi.
Banyak studi melaporkan bahwa MESI merupakan sistem
penghitungan
yang sangat komplek, mencakup banyak komponen penting dalam
proses
penentuan keputusan, namun akhirnya tidak terlalu berhasil dalam
memprediksi
resiko amputasi dan tidak praktis.
Dalam studi ini, MESI hanya memiliki sensitivitas sebesar 50%,
spesifisitas
83%, PPV 43% dan NPV 86%. Jadi dengan sistem MESI ini hanya 50%
penderita
yang seharusnya diamputasi memiliki kemungkinan nilai diatas ambang
batas,
dan 83% penderita yang berhasil dipertahankan tungkainya akan
memiliki nilai
dibawahnya. Insiden terjadinya amputasi seperti yang diprediksikan
pun hanya
43%, sedang berhasilnya penyelamatan tungkai seperti yang
diperkirakan sebesar
83%.
kominutif tanpa segmental, karena gambaran fraktur seperti ini akan
disertai
kerusakan jaringan lunak yang berat. Pada kasus-kasus yang
terlambat
(neglected), akan sangat besar karena satu point diberikan setiap
jamnya bila
penanganan diberikan diatas 6 jam, sehingga waktu memberikan
kontribusi sangat
besar dibandingkan komponen lain.
Pada sistem ini, komponen syok pun tidak dideskripsikan derajatnya
apakah
transient atau prolonged.
Dalam studi ini, PSI memberikan sensitivitas sebesar 58%,
spesifisitas 48%,
PPV 23% dan NPV 81%. Dalam sistem ini tidak terdapat batasan yang
jelas pada
derajat beratnya cedera jaringan lunak dan tulang, dimana hanya
dideskripsikan
sebagai mild, moderate dan severe. Tentunya hal ini akan
menimbulkan
perbedaan interpretasi pada dokter yang berbeda.
Hannover Fracture Scale (HFS)
Banyak laporan menilai HFS sulit digunakan karena banyaknya
jumlah
parameter dan jaringan lunak harus dinilai sedetail mungkin. Dalam
studi ini,
komponen kontaminasi bakteri sulit dinilai, karena pemeriksaan
terhadap bakteri
memerlukan waktu untuk dinilai. Pada kasus multifraktur pun terjadi
kesulitan
memilih derajat fraktur mana yang akan digunakan.
Studi ini mendapatkan sensitivitas HFS sebesar 75%, spesifisitas
61%, PPV
hanya 33%, dan NPV 90%.
Limb Salvage Index (LSI)
Sistem ini berdasarkan tujuh criteria : arteri, saraf, tulang,
kulit, otot, cedera
vena dalam dan waktu iskemia. Sistem ini tidak menyertakan komponen
penting
lain seperti usia penderita dan cedera lain yang menyertai. Banyak
yang tidak
menganjurkan sistem ini untuk menilai cedera yang akut. Studi ini
mendapatkan
kesulitan menilai gambaran cedera struktur dalam sebelum dilakukan
eksplorasi.
33
Dalam studi ini didapatkan sensitivitas sebesar 67%, spesifisitas
69%, PPV 36%
dan NPV 89%.
Sistem ini paling banyak digunakan karena memiliki variabel yang
tidak
terlalu banyak, tidak memerlukan operasi besar untuk evaluasi, dan
tampak
mudah digunakan. Dari studi ini didapatkan sensitivitas sebesar
58%, spesifisitas
83%, PPV 47% dan NPV 88%.
Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock,
Age
(NISSSA)
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya dalam memprediksi
amputasi,
Namun dalam studi ini hanya didapatkan sedikit peningkatan, dimana
sensitivitas
sebesar 67%, spesifisitas 85%, PPV 53%, NPV 91%.
34
dalam membedakan tungkai cedera yang memerlukan amputasi segera dan
yang
memungkinkan untuk dipertahankan.
sangat rendah (61%), NISSA memiliki spesifisitas tertinggi (85%)
namun
sensitivitasnya hanya 67%. Di samping itu beberapa sistem
penghitungan telah
salah memprediksikan, dimana beberapa penderita yang berhasil
dipertahankan
tungkainya telah diprediksikan untuk diamputasi dan
sebaliknya.
Untuk itu, sistem-sistem penghitungan ini memiliki nilai klinis
yang harus
ditingkatkan lagi dengan berbagai pertimbangan factor-faktor lain
seperti yang
dijabarkan didepan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams CI., et. al. Cigarette Smoking and Open Tibial Fractures.
Injury
2001; 32 : 61-5
2. Bondurant FJ., et.al. The Medical and Economis Impact of
Severely Injured
Lower Extremities. Journal of Trauma 1988; 28: 1270-3
3. Bosse, Michael J., et.al. A Prospective Evaluation of The
Clinical Utility of
The Lower-Extremity Injury-Severity Score. Journal Bone &
Joint
Surgery (Am). 2001; 83-A: 3-14
4. Fairhurst MJ. The Function of Below-Knee Amputee Versus The
Patient with
Salvage Grade III Tibial Fracture. Clinical Orthopaedic 1994;
301:
227-32
5. Gaston P., et.al. Fractures of The Tibia : Can Their Outcome be
Predicted ?.
Journal Bone & Joint Surgery (Br). 1999; 81: 71-6
6. Georgiadis GM., et.al. Open Tibial Fractures with Severe
Soft-Tissue Loss.
Journal Bone & Joint Surgery (Am). 1993; 75: 1431-41
7. Gregory RT., et.al. The Mangled Extremity Syndrome Index : A
Severity
Grading System for Multisystem Injury of The Extremity. Journal
of
Trauma. 1985; 25: 1147-50
8. Herthel R., et.al. Amputation Versus Reconstruction in Traumatic
Defects of
The Legs Outcome and Costs. Journal of Orthopaedic Trauma.
1996;
10: 223-9
9. Hoogendoorn, Jochem M., Chris van der Werken. The Mangled
Leg
Decision-Making Based on Scoring Systems and Outcome.
European
Journal of Trauma. 2002; 28: 1-10
10. Howe HR., et.al. Salvage of Lower Extremities Following
Combined
Orthopaedic and Vascular Trauma. A Predictive Salvage Index.
American Surgery 187; 53:205-8
36
11. Jones AI., et.al. The Insensate Foot : An Indication for
Amputation?
Presented at OTA Meeting San Antonio, Texas, USA October 12,
2000
12. Kemp AG., et.al. Impairment Scores of Type III Open Tibial
Fractures.
Injury 1993; 24: 161-2
13. Lange RH. Limb Reconstruction Versus Amputation Decision Making
in
Massive Lower Extremity Trauma. Clinical Orthopaedic 1989;
243:
92-9
14. Mc. Namara MG., et.al. Severe Open Fractures of The Lower
Extremity : A
Retrospective Evaluation of The Mangled Extremity Severity
Score
(MESS). Journal of Orthopaedic Trauma 1994; 8: 81-7
15. Nicoll EA. Fractures of The Tibial Shaft : A Survey of 705
Cases. Journal
Bone & Joint Surgery (Br). 1964; 46: 373-87
16. Russel WL., et.al. Limb Salvage Versus Traumatic Amputation : A
Decision
Based on A Seven Part Predictive Index. Annual Surgery 1991;
213:
473-80
Replantation of Extremities in Multiple Trauma Patient.
Chirurgy
1989; 60: 774-81
Type Characteristic Points
38
Segmental fract intra-extraarticular 5
Lag time (1 point for every hr > 6)
Age 40 – 50 years 1
50 – 60 years 2
60 – 70 years 3
Total Score
AO type B 2 Incomplete ischemia (cap refill+) 1
AO type C 4 Complete ischemia
Bone loss < 4 h 2
< 2 cm 1 4 – 8 h 3
> 2 cm 2 > 8 h 4
B. Soft tissue D. Nerve
Skin (laceration, contusion) Palmar-plantar sensibility
None 0 Yes 0
¼ - ½ circumference 2 Finger-toe motor activity
½ - ¾ circumference 3 Yes 0
> ¾ circumference 4 No 1
Soft-tissue lose E. Contamination
None 0 Foreign body
¼ - ½ circumference 2 Little 1
½ - ¾ circumference 3 Massive 2
> ¾ circumference 4 Bacterial contamination
Deep soft tissues (muscle,tendon, None 0
ligament); contusion or defect Aerobe, 1 species 2
None 0 > 1 species 3
< ¼ circumference 1 Anaerobe 2
¼ - ½ circumference 2 Aerobe-anaerobe 4
½ - ¾ circumference 3 F. Associated injuries
> ¾ circumference 4 Monotrauma, PTS 1 0
Amputation PTS 2 1
Subtotal guillotine 1 PTS 4 4
Subtotal crush 2 G. Start of operation (tissue score > 2)
Total guillotine 3
> 12 h 3
Artery
Contusion, intimal tear, partial laceration or avulsion
(pseudoaneurysm) with no distal thrombosis and palpable
pedal pulses; complete occlusion of one of three shank vessels or
profunda
0
laceration, avulsion or thrombosis of femoral or politeal vessels
without palpable pedal pulse
1
Complete occlusion of femoral, popliteal, or three of three shank
vessels with no distal runoff available
2
Nerve
femoral, peroneal, or tibial nerve 0
Partial transection or avulsion of sciatic nerve, complete or
partial transection of femoral, peroneal, or tibial nerve
1
Complete transection or avulsion of sciatic nerve, complete
transection or avulsion of both peroneal and tibial nerve
2
Bone
body, fibula fracture
0
Closed fracture at three or more sites on same extremity; open
fracture with comminution or moderate to large
displacement; segmental fracture; fracture dislocation; open joint
with foreign body, bone loss < 3 cm
1
Bone loss > 3 cm; type IIIB or IIIC fracture 2
Skin
Clean laceration, single or multiple, or small avulsion injuries,
all with primary repair; first degree burn
0
Delayed closure due to contamination; large avulsion
requiring SSG or flap closure; second and third degree burn 1
Muscle
single tendon 0
Laceration or avulsion involving two or more compartment; complete
laceration or avulsion of two or more tendon
1
Contusion, partial laceration, or avulsion; complete laceration or
avulsion if alternate route of venous return is
intact; superficial vein injury
0
Complete laceration, avulsion, or thrombosis with no alternate
route of venous return
1
Warm
Type Characteristic Injuries Points
small-caliber gunshot wounds 1
dislocations, moderate crush injuries 2
High energy Shotgun blast (close range), high velocity gunshot
wounds
3
Shock Normotensive hemo dynamics
Transiently hypotensive
1
2
Mild Diminished pulses without sign of ischemia
1*
Moderate
refill, paresthesia, diminished motor activity
2*
without capillary refill 3*
Age < 30 years 0
30 – 50 years 1
> 50 years 2
* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR =
Operating Room
Total Score
Age (NISSSA)
1
Ischemia None
0
ischemia 1*
Moderate No pulse by Doppler, sluggish capillary refill,
paresthesia, diminished moto
activity
2*
without capillary refill 3*
0
Medium
1
High
2
contamination 3
minimal dislocation 0
1
gunshot wounds (high velocity) 2
Very high energy Complex fracture, bone loss 3
Shock Normotensive hemodynamic
Transiently
hypotensive
intravenous fluids 1
and responsive to intravenous fluids
only in OR
Old > 50 years 2
* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR =
Operating Room
Total Score
______
Respon : ________
time : _______
Surgery :
LOS : ____________________ days