26
EVALUASI FAKTOR OVARIUM DALAM PENATALAKSANAAN INFERTILITAS Pendahuluan Beberapa penyebab utama infertilitas adalah disfungsi ovulasi (15%), patologi tuba dan peritonium (30-40%), dan faktor pria (30-40%); persentase kelainan uterus tidak terlalu besar, dan sisanya adalah faktor yang tidak dapat dijelaskan. Jika dilihat dari pasangan wanita saja, penyebab infertilitas secara garis besar disebabkan gangguan ovulasi (40%), patologi tuba dan peritoneum (40%), infertilitas yang tidak dapat dijelaskan (10%), dan penyebab yang jarang (10%). Pada suatu penelitian menunjukkan gangguan ovulasi lebih banyak pada kelompok usia < 35 tahun (23,6%) jika dibandingkan dengan kelompok usia > 35 tahun (11,4%). 1, 2 Ovarium orang dewasa mempunyai ukuran panjang 2-5 cm, lebar 1,5-3 cm, dan tebalnya 0,5-1,5 cm. Ovarium terletak pada dinding posterior dan lateral pelvis dan melekat pada permukaan posterior ligamen latum dengan bantuan mesovarium. Ovarium terdiri dari tiga bagian, bagian korteks yang terdiri dari folikel ovarium, medula yang terdiri dari stroma ovarium, dan hilum. 3 Terjadinya menstruasi yang teratur memerlukan regulasi dari beberapa hal. Yang pertama poros hipotalamus-hipofisis-ovarium harus bekerja baik. Hipotalamus menghasilkan gonadotropin releasing hormon (GnRH) kedalam sirkulasi portal. GnRH menstimulasi hipofisis anterior untuk menghasilkan luteinizing 1

Evaluasi Faktor Ovarium Dalam Penatalaksanaan Infertilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Evaluasi Faktor Ovarium Dalam Penatalaksanaan Infertilitas

Citation preview

EVALUASI FAKTOR OVARIUM

DALAM PENATALAKSANAAN INFERTILITAS

Pendahuluan

Beberapa penyebab utama infertilitas adalah disfungsi ovulasi (15%), patologi

tuba dan peritonium (30-40%), dan faktor pria (30-40%); persentase kelainan uterus

tidak terlalu besar, dan sisanya adalah faktor yang tidak dapat dijelaskan. Jika dilihat

dari pasangan wanita saja, penyebab infertilitas secara garis besar disebabkan

gangguan ovulasi (40%), patologi tuba dan peritoneum (40%), infertilitas yang tidak

dapat dijelaskan (10%), dan penyebab yang jarang (10%). Pada suatu penelitian

menunjukkan gangguan ovulasi lebih banyak pada kelompok usia < 35 tahun (23,6%)

jika dibandingkan dengan kelompok usia > 35 tahun (11,4%). 1, 2

Ovarium orang dewasa mempunyai ukuran panjang 2-5 cm, lebar 1,5-3 cm, dan

tebalnya 0,5-1,5 cm. Ovarium terletak pada dinding posterior dan lateral pelvis dan

melekat pada permukaan posterior ligamen latum dengan bantuan mesovarium.

Ovarium terdiri dari tiga bagian, bagian korteks yang terdiri dari folikel ovarium, medula

yang terdiri dari stroma ovarium, dan hilum. 3

Terjadinya menstruasi yang teratur memerlukan regulasi dari beberapa hal. Yang

pertama poros hipotalamus-hipofisis-ovarium harus bekerja baik. Hipotalamus

menghasilkan gonadotropin releasing hormon (GnRH) kedalam sirkulasi portal. GnRH

menstimulasi hipofisis anterior untuk menghasilkan luteinizing hormon (LH) dan follicle

stimulating hormon (FSH). Hormon-hormon ini memacu ovarium untuk menghasilkan

hormon steroid (estrogen, progesteron,dan androgen), dan juga hormon peptida seperti

inhibin. Steroid yang dihasilkan ovarium dapat menghambat produksi hormon oleh

hipotalamus dan hipofise. Perkembangan folikel matur menyebabkan peningkatan yang

cepat dari estrogen, yang berefek positif pada hipofise untuk menghasilkan LH surge.4

Pemeriksaan tahap pertama yang perlu dilakukan pada pasien infertilitas

menurut European Society of Human Reproduction and Embriology (ESHRE) meliputi

pemeriksaan progesteron midluteal untuk mengetahui adanya ovulasi, pemeriksaan

sperma, dan pemeriksaan patensi tuba.5

1

Diagnosis Gangguan Ovulasi

Ketika anovulasi adalah penyebab infertilitas, prognosis menjadi hamil sangat

baik karena strategi induksi ovulasi modern sangat efektif. Wanita dengan siklus

menstruasi yang tidak teratur tidak memerlukan pemeriksaan yang spesifik untuk

membuktikan anovulasi yang sudah hampir pasti. Ketika dicurigai anovulasi tapi tidak

dapat dipastikan, pencatatan suhu basal badan atau pengukuran kadar progesteron

serum pada waktu yang tepat dapat membantu memastikan kecurigaan klinis kita.

Pemeriksaan lain yang lebih canggih adalah pemeriksaan luteinizing hormon urin untuk

mendeteksi LH surge pada pertengahan siklus dan pemeriksaan ultrasonografi

transvaginal serial dapat berguna ketika induksi ovulasi telah berhasil, tapi tidak

diperlukan untuk mendiagnosis anovulasi. Berikut adalah pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk mengetahui adanya ovulasi:1, 6

A. Riwayat Mentruasi

Diagnosis ovulasi dapat diketahui dengan riwayat menstruasi, yang merupakan

alat skrining yang efektif untuk menilai ovulasi. Siklus menstrusi normal pada wanita

usia reproduksi bervariasi dari 25 sampai 35 hari, dengan terbanyak adalah 27 sampai

31 hari. Oligomenorea dan menometroragia menunjukkan adanya gangguan ovulasi

dan berkurangnya infertilitas. Amenorea biasanya menunjukkan anovulasi. Sebaliknya,

menstruasi yang teratur dan dapat diprediksi hampir selalu menunjukkan ovulasi yang

teratur. 7

Menstruasi pada wanita dengan ovulasi yang normal umumnya teratur, dapat

diprediksi, volume dan durasinya tetap, dan biasanya disertai dengan pola gejala

premenstrual dan menstrual yang umum ditemui. Sebaliknya, wanita yang mengalami

anovulasi umumnya menstruasinya iregular, tidak dapat diprediksi, dan volumenya

bervariasi. Wanita dengan pola menstruasi tersebut juga dapat berovulasi namun tidak

dengan frekuensi atau keteraturan yang diperlukan untuk efisiensi reproduksi normal.

B. Temperature Basal Tubuh (BBT)

BBT adalah suhu tubuh pada kondisi basal saat istirahat. Untuk praktisnya,

BBTdiukur tiap pagi, saat bangun dan sebelum beraktivitas. Sebagai tes ovulasi,

2

rekaman BBT harian didasarkan pada karakteristik termogenik progesteron; saat level

progesteron meningkat setelah ovulasi, BBT juga meningkat. Ketika kehamilan terjadi

dalam siklus yang dapat dipantau, onset menstruasi tertunda dan BBT tetap naik,

mencerminkan produksi progesteron yang berlanjut oleh korpus luteum yang distimulasi

oleh human chorionic gonadotropin (hCG). BBT tetap berguna dan merupakan metode

terbaik bagi pasangan yang tidak ingin atau tidak dapat membayar pemeriksan yang

mahal dan formal.

C. Konsentrasi Progesteron Serum

Metode umum lainnya untuk mengevaluasi ovulasi pada wanita infertil adalah

dengan mengukur konsentrasi progesteron serum. Umumnya level tetap dibawah 1

ng/mL selama fase folikular, sedikit meningkat pada hari lonjakan LH (1-2ng/mL) dan

kemudian stabil, puncak terjadi pada 7-8 hari setelah ovulasi, dan kemudian turun

selama hari keluarnya menstruasi. Biasanya, kadar yang lebih besar dari 3 ng/ml

memberikan bukti objektif yang dapat dipercaya bahwa ovulasi telah terjadi.

Konsentrasi progesteron serum merupakan tes ovulasi yang sederhana, dapat

dipercaya, minimal invasif, dan harganya terjangkau.

Kapan saat terbaik mengukur konsentrasi serum progesteron untuk mencatat

ovulasi? Salah satu rekomendasi yang popular adalah dengan melakukan tes pada

siklus hari ke 21. Idealnya, pada siklus menstruasi 28 hari dimana ovulasi terjadi pada

atau sekitar siklus hari ke 14, hari ke 21 jatuh selama fase midluteal, sekitar 1 minggu

setelah ovulasi dan 1 minggu sebelum onset dari periode menstruasi selanjutnya, saat

level serum progesteron mencapai puncaknya. Bagaimanapun, siklus ovulasi yang

normal lamanya adalah 25-35 hari dengan 13-16 hari fase luteal. Ovulasi dapat terjadi

paling cepat pada siklus hari ke 9 dalam siklus 25 hari dan paling lambat pada hari ke

22 dalam siklus 35 hari. Jika ovulasi terjadi pada siklus hari ke 9, maka hari ke 21 jatuh

12 hari setelah ovulasi, setelah konsentrasi progesteron mencapai kadar maksimalnya.

Maka dari itu, ketika konsentrasi serum progesteron digunakan untuk

mendokumentasikan ovulasi, waktu yang terbaik bervariasi sesuai dengan panjang

keseluruhan siklus menstruasi, dengan harapan kira-kira satu minggu sebelum

menstruasi diharapkan datang.

3

D. Eksresi Urin LH

Variasi luas dari produk-produk komersial yang berbeda saat ini tersedia yang

mempersilahkan wanita untuk menentukan tidak hanya jika mereka berovulasi namun

lebih penting lagi saat wanita ovulasi, sebelum kejadian yang sebenarnya. Biasa

dikenal dengan “ovulation prediction kit” atau “LH kit”, produk ini didesain untuk

mendeteksi lonjakan LH mid-siklus. Ovulation prediction kit memberikan keuntungan

dalam teknologi pengukuran hormon, mengurangi proses yang lama dalam

laboratorium rumah sakit menjadi 1 atau 2 langkah yang memerlukan beberapa menit

waktu di rumah.

Lonjakan LH tengah siklus merupakan peristiwa yang relatif cepat, biasanya

menetap antara 48 dan 50 jam dari awal sampai akhir. LH memiliki waktu paruh yang

pendek dan dengan cepat bersih melalui urin. Ovulation prediction kit menjadi positif

ketika konsentrasi LH urin melebihi level batas normal yang normalnya terlihat selama

lonjakan LH. Pada kebanyakan siklus, tes positif hanya satu hari, khususnya pada 2

hari berurutan. Agar dapat mendeteksi lonjakan LH secara terpercaya, tes harus

dilakukan setiap hari, umumnya berawal pada 2 atau 3 hari sebelum lonjakan

diharapkan datang, didasarkan pada panjang keseluruhan siklus.

Hasil tes sensitif terhadap volume dari intake cairan dan waktu. Tidak perlu

membatasi intake cairan, namun pasien harus disarankan untuk menghindari minum

dalam jumlah yang besar pada jangka waktu pendek sebelum mereka merencanakan

tes. Logikanya, kencing pertama pagi hari adalah spesimen ideal untuk tes karena

bercirikan konsentrasi yang tinggi. Bagaimanapun juga, hasil ini berkaitan erat dengan

puncak serum LH saat tes dilakukan pada menjelang malam (pukul 16.00-22.00),

kemungkinan dikarenakan lonjakan LH sering berawal pada waktu subuh dan tidak

dideteksi dalam urin sampai beberapa jam kemudian. Jika dilakukan tiap hari dan pada

waktu yang tepat, tes akan mendeteksi lonjakan LH pada hampir semua siklus

ovulatoar.

Produk terbaik yang tersedia memperkirakan ovulasi antara 24-48 jam, dengan

kemungkinan lebih dari 90%. Ovulasi umumnya mengikuti antara 14-26 jam setelah

deteksi lonjakan LH urin dan hampir selalu dalam 48 jam. Hari setelah tes positif

pertama biasanya adalah salah satu hari terbaik untuk koitus atau inseminasi buatan,

4

jika diindikasikan. Ovulation prediction kits merupakan alat yang noninvasif dan tersedia

dengan luas, memerlukan waktu dan kerja yang relatif sedikit, dan mengajak wanita

untuk terlibat dalam perawatannya secara aktif. Keuntungan terbesar dibanding metode

lain adalah kemampuan dalam memprediksi kapan ovulasi akan terjadi.

Bagaimanapun juga, seiring waktu, metode ini dapat menjadi mahal dan

membosankan. Pemantauan terhadap eksresi LH urin tentunya paling baik untuk

wanita yang mengalami ovulasi (berdasarkan riwayat menstruasi, rekaman BBT, atau

konsentrasi serum progesteron pada waktu yang tepat), namun dengan koitus yang

tidak teratur atau memerlukan inseminasi buatan.

E. Defisiensi Fase Luteal dan Biopsi Endometrium

Biopsi endometrium merupakan tes ovulasi yang lain, didasarkan pada

karakteristik perubahan histologik yang disebabkan oleh progesteron. Selama fase

folikular dari siklus menstruasi, endometrium mengeluarkan pola proliferatif,

mencerminkan pertumbuhan yang distimulasi oleh meningkatnya level estrogen yang

berasal dari folikel ovarium dominan. Selama fase luteal, progesteron disekresi oleh

korpus luteum yang menyebabkan transformasi sekretori endometrium. Wanita

anovulasi selalu berada dalam fase folikular; endometrium mereka selalu dalam fase

proliferative dan bahkan dapat hiperplastik dengan paparan luas stimulus pertumbuhan

estrogen konstan.

Jika dilakukan pada waktu yang tepat, biopsi endometrium merupakan tes

ovulasi yang efektif untuk cara dan alasan yang sama seperti pada pemeriksaan

konsentrasi progesteron serum. Bagaimanapun ini merupakan tes invasif, tidak

nyaman, dan mahal, dan ini memberikan informasi yang lebih sedikit dibanding yang

didapat dalam rekaman BBT, konsentrasi serum progesteron, atau pemantauan eksresi

LH urin. Maka dari itu, biopsi endometrium lebih memiliki keterbatasan dan indikasi

spesifik. Untuk wanita dengan anovulasi kronik dalam durasi yang lama, biopsi dapat

mengidentifikasi atau mengeluarkan hiperplasia endometrium yang memerlukan terapi

spesifik.

5

F. USG Transvaginal dan Folikel Terluteinisasi yang Tidak Ruptur

Tes ovulasi terbaru dan tersulit melibatkan pemeriksaan USG transvaginal serial.

Metode ini mencakup observasi langsung karakteristik sekuens dari perubahan yang

terjadi sesaat sebelum dan segera setelah keluarnya ovum. Walaupun tetap tidak

memberikan bukti positif bahwa ovulasi benar-benar terjadi, pemeriksaan USG

transvaginal serial menawarkan informasi rinci mengenai ukuran dan jumlah folikel-

folikel preovulatori dan menyediakan perkiraan kapan terjadinya ovulasi yang paling

akurat.

Dalam tingkat akhir perkembangannya, folikel preovulatori berkembang dengan

kecepatan yang dapat diprediksi, berkisar 2 mm per hari (range: 1-3 mm/hari). Setelah

ovulasi, folikel seketika mengecil ukurannya, batasnya menjadi sedikit berbeda,

kepadatan dari internal echoes meningkat, dan volume cairan cul-de-sac meningkat.

Pola perkembangan folikel yang abnormal juga dapat diobservasi. Folikel dapat

berkembang pada kecepatan yang abnormal, kolaps ketika masih relatif kecil, dan terus

berkembang namun gagal menjadi ruptur dan menetap sebagai kista selama hari

setelah lonjakan LH, menjadi folikel terluteinisasi yang tidak ruptur. Sayangnya bentuk

disfungsi ovulatori tersembunyi seperti ini tidak dapat dideteksi namun kelainan ini juga

jarang, kecuali pada wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Terapi

dengan prostaglandin synthase inhibitors (NSAIDs) dapat merusak proses ovulasi dan

menjadi predisposisi terhadap terjadinya folikel terluteinisasi yang tidak ruptur, dan

maka dari itu, sebaiknya dibatasi pada siklus fase menstruasi pada wanita yang ingin

hamil.

Diagnosis Ovulasi

Terdapat beberapa metode untuk menentukan ovulasi. Pilihan terbaik diantara

semua metode yang tersedia bervariasi bergantung pada informasi yang dibutuhkan.

Pada wanita dengan oligomenorea atau amenorea, tidak ada pemeriksaan pasti yang

diperlukan untuk menegakkan diagnosis disfungsi ovulasi, namun biopsi endometrial

untuk menyingkirkan hiperplasia dapat mungkin dibutuhkan. Bila tujuannya hanya untuk

konfirmasi/memastikan fungsi ovulasi, seperti pada mereka dengan menstruasi bulanan

yang teratur, catatan BBT atau pemeriksaan kadar progesteron serum pada waktu yang

6

tepat secara umum sudah cukup. Apabila kondisinya memerlukan prediksi ovulasi yang

akurat, seperti pada pasangan yang hubungan seksualnya tidak sering atau mereka

yang membutuhkan waktu inseminasi yang tepat, pemantauan ekskresi LH urin

umumnya merupakan pilihan yang paling efektif dari segi harga dan paling sesuai.

Pada beberapa wanita yang memerlukan inseminasi tetapi lonjakan LH midcycle-nya

secara konsisten tidak dapat/sulit dideteksi, pemeriksaan ultrasonografi transvaginal

serial dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada akhirnya, metode yang

dipilih haruslah dapat memenuhi kebutuhan pasien.

Klasifikasi Gangguan Ovulasi

Setelah evaluasi penyebab anovulasi selesai, semua wanita tersebut dapat

diklasifikasi berdasarkan klasifikasi World Health Organization.1, 8

Kelompok I:

Kegagalan hipotalamus-hipofisis:

Ini adalah situasi dimana konsentrasi gonadotropin sangat rendah sehingga tidak

mampu menstimulasi perkembangan folikel dan produksi estrogen dari ovarium

(hipogonadotropik hipogonadisme) yang menyebabkan anovulasi dan amenorea.

Amenorea yang berhubungan dengan penurunan berat badan yang ekstrim

adalah penyebab yang paling sering dari penyebab hipotalamus. Stress, jika dalam

bentuk yang ekstrim, termasuk latihan yang sangat berat seperti lari marathon dapat

juga menyebabkan kelainan ini.

Sindroma Kallmann adalah penyebab amenorea hipotalamus yang berhubungan

dengan anosmia. Penyebab lain meliputi craniopharyngioma dan penyakit sistemik.

Beberapa kasus tidak dapat ditemukan penyebabnya.

Penyebab yang paling sering dari hipofisis adalah hipofisektomi, radioterapi

untuk tumor hipofisis dan perdarahan postpartum yang berat (Sheehan’s syndrome)

Kelompok II:

Disfungsi hipotalamus-hipofisis

7

Klasifikasi ini meliputi wanita dengan amenorea atau oligomenorea, dengan atau

tidak berhubungan dengan hiperandrogen. Wanita dengan sindroma polikistik ovari

termasuk dalam kelompok ini. Wanita dengan disfungsi hipotalamus-hipofisis biasanya

mempunyai kadar FSH, estrogen, dan prolaktin yang normal.

Kelompok III:

Kegagalan ovarium. Klasifikasi ini meliputi wanita dengan amenorea dan

peningkatan kadar FSH serum, yang menunjukkan kegagalan ovarium.

Kelompok IV (hiperprolaktinemia):

Hiperprolaktinemia merupakan keadaan yang biasa juga terjadi, yang sering

disertai dengan galaktorea. Anovulasi yang disebabkan hiperprolaktinemia biasanya

berhubungan dengan kadar prolaktin lebih dari 2 kali batas atas normal. Sering juga

didapatkan peningkatan kadar prolaktin yang ringan dan tidak berhubungan dengan

anovulasi sehingga tidak harus diobati. Harus juga diingat bahwa peningkatan kadar

prolaktin yang ringan dapat ditemukan pada sekitar 30% wanita dengan Polikistik

ovarium sindrom, tapi tidak diperlukan pengobatan spesifik untuk menurunkan kadar

prolaktinnya. Penyebab tersering hiperprolaktinemia adalah adenoma hipofisis,

hipotiroid, obat-obatan seperti phenothiazines, beberapa obat sedasi dan hipotensi.

Ovarian Reserve Tests 1, 6, 8

Ovarian reserve berhubungan dengan jumlah folikel primordial yang terdapat

pada ovarium dan jumlahnya menurun seiring dengan bertambahnya usia. Jumlah

maksimal folikel primordial terdapat pada kehamilan trimester II. Setelah itu jumlahnya

terus menurun. Terdapat sekitar 1 juta folikel pada saat lahir, 300 ribu pada saat

menarche dan ratusan folikel mengalami atresia setiap bulan. Berkurangnya jumlah

folikel ovarium bertambah cepat pada umur 37 tahun. Perkiraan ovarian reserve sangat

berguna sebelum melakukan stimulasi ovarium. Penurunan jumlah folikel yang cepat

dapat terjadi sebelum umur ini dan biasanya berhubungan dengan ancaman premature

ovarian failure.9

8

Berkembangnya konsepsi buatan memungkinkan kita memeriksa oosit secara

langsung. Penelitian pada wanita yang menjalani konsepsi buatan menunjukkan bahwa

walaupun lebih sedikit oosit didapatkan pada wanita muda, mereka mempunyai

kemungkinan yang lebih tinggi untuk menghasilkan anak dibandingkan wanita yang

lebih tua. Ini menunjukkan bahwa kualitas oosit mungkin lebih penting dari pada

jumlahnya. Kualitas intrinsik oosit juga berperan dalam terjadinya embrio aneuploid

pada wanita yang lebih tua, yang dapat menyebabkan keguguran.9

Tanpa memandang penyebab penuaan ovarium disebabkan oleh kualitas atau

kuantitas ovum, hal ini memberi dampak yang sangat besar. Infetilitas menjadi lebih

banyak setelah umur 35 tahun dan kesempatan melahirkan anak yang hidup pada usia

40 tahun menjadi separuh dibandingkan pada usia 25 tahun. 9

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengetahui ovarian

reserve:10

Pemeriksan hormonal:

Kadar FSH basal

Kadar estradiol basal

Kadar Inhibin-B

Antimullerian Hormon (AMH)

Tes dinamik

Clomiphen citrate challenge test (CCCT)

GnRH agonist stimulation test (GAST)

Pemeriksaan ultrasonografi

Pengukuran volume ovarium

Penghitungan folikel antral

Aliran darah stroma

Tanda berkurangnya fungsi ovarium adalah konsentrasi FSH hari III yang tinggi.

Kadar FSH > 15 IU/L biasanya merupakan faktor prognostik yang buruk untuk

cadangan ovarium, terutama jika berhubungan dengan kadar estradiol yang tinggi (>80

pg/ml) pada waktu yang sama, tapi kadar ini berbeda bergantung pada pemeriksaan

yang digunakan dan masing-masing senter.10

9

Inhibin-B adalah glikoprotein heterodimer yang dihasilkan sel granulosa folikel.

Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan kadar inhibin-B hari III yang

rendah (< 45 pg/ml) mempunyai respon yang jelek terhadap In Vitro Fertilitation dan

lebih jarang yang menjadi hamil. Kadar inhibin-B yang rendah mungkin juga mengawali

peningkatan kadar FSH.10

Antimullerian hormone adalah protein yang secara struktural mirip dengan

inhibin. Hormon ini dihasilkan oleh sel granulosa folikel pada usia reproduksi dan

mengatur pembentukan folikel primer dengan menghambat pengaktifan folikel yang

belebihan oleh FSH. Nilai normal dari AMH adalah 0,41-6 ng/ml.

Pemeriksaan transvaginal ultrasonografi yang menunjukkan penurunan volume

ovarium dan jumlah folikel antral yang rendah adalah tanda penuaan ovarium yang

dapat dilihat lebih awal daripada peningkatan kadar FSH. Pada awal siklus menstruasi,

dapat diukur folikel kecil yang ada. Normal folikel berukuran < 9/10 mm. jumlah folikel <

10 dianggap sebagai penurunan dari antral follicle count. Ukuran normal ovarium yang

diukur dengan ultrasonografi adalah 1,5x2x3,5 cm. Pengukuran aliran darah stoma

ovarium dengan kecepatan yang tinggi akan menghasilkan oosit normal dengan

kontribusi maksimal untuk fertilisasi dan pembentukan embrio.11

Apakah semua wanita infertil harus diperiksa ovarian reserve test? Hasil

abnormal pada wanita muda sangat rendah, kecuali pada wanita dengan penyebab

infertilitas yang tidak dapat dijelaskan setelah evaluasi yang lengkap. Walaupun ada

pendapat bahwa skrining universal dapat dilakukan, ovarian reserve test sebaiknya

dilakukan pada wanita dengan karakteristik:

Usia > 35 tahun

Penyebab infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, tanpa memandang umur.

Riwayat keluarga dengan menopause yang cepat.

Riwayat operasi, kemoterapi, atau radioterapi pada ovarium.

Merokok.

Tidak berespon terhadap rangsangan gonadotropin eksogen.

10

Clomifen Citrate Challenge Test (CCCT) 4

CCCT diyakini sebagai indikator yang lebih sensitif untuk menilai cadangan

ovarium daripada pengukuran hormon pada ovarium yang tidak distimulasi. Dengan tes

ini, wanita tersebut mengkonsumsi clomifen sitrat 100mg peroral pada hari ke 5 sampai

9. Estradiol dan FSH level kemudian diukur pada hari ke 3 dan hari ke 10. Tes yang

tidak normal didefinisikan dengan peningkatan kadar FSH pada hari ke 10. Nilai FSH >

10 mIU/ml menunjukkan hasil tes yang abnormal. Secara umum, pengukuran kadar

FSH biasanya cukup untuk skrining. Biasanya CCCT digunakan pada wanita dengan

kadar FSH yang berada diambang batas atau pada wanita yang berumur lebih dari 40

tahun. Pengukuran kadar FSH atau CCCT harus di sarankan pada wanita dengan

riwayat operasi ovarium, kemoterapi, atau radiasi. Pemeriksaan ini juga sebaiknya

dilakukan pada wanita dengan riwayat merokok, tidak berespon terhadap pemberian

gonadotropin, umur lebih dari 35 tahun, atau riwayat keluarga dengan menopause yang

lebih cepat

Gangguan pada Ovarium 1

Gangguan pada perkembangan gonad dapat timbul berupa amenorea primer

atau sekunder.

Penyebab gangguan kromosom pada amenorea primer adalah:

50% - 45,X

25% - mosaics

25% - 46,XX

Pasien dengan disgenesis gonad juga dapat member gejala amenorea

sekunder. Kariotipe yang menyebabkan amenorea sekunder dari yang terbanyak

adalah:

46,XX

Mosaics (contohnya: 45,X/46,XX)

Delesi pada tangan kromosom X

47,XXX

45,X

11

Perlunya Evaluasi Kromosom 1

Semua pasien berusia kurang dari 30 tahun yang didiagnosa kegagalan ovarium

dengan dasar peningkatan gonadotropin harus dilakukan pemeriksaan kariotipe.

Adanya mosaicism pada kromosom Y memerlukan eksisi daerah gonad karena adanya

komponen testis pada gonad berhubungan dengan kemungkinannya menjadi tumor

ganas. Sekitar 30% pasien dengan kromosom Y tidak menderita virilisasi. Sehingga,

walaupun wanita dewasa dengan penampilan yang normal dengan peningkatan kadar

gonadotropin harus dilakukan pemeriksaan kariotipe. Bahkan jika pemeriksaan kariotipe

normal, sebagai upaya preventif, semua pasien dengan kegagalan ovarium harus

dilakukan pemeriksaan pelvis setiap tahun.

Pasien dengan usia > 30 tahun, amenorea dengan kadar gonadotropin yang

tinggi biasanya dikenal dengan menopause premature. Pemeriksaan genetik untuk

menghilangkan risiko kanker tidak diperlukan karena tidak pernah terjadi tumor gonad

pada pasien setelah umur 30 tahun. Sebagian besar tumor ini timbul sebelum umur 29

tahun, tapi beberapa ditemukan juga pada umur 20-30 tahun.

Sindroma Ovarium Polikistik 4, 12, 13

Meskipun kejadian sindroma ovarium polikistik cukup tinggi pada wanita usia

reproduksi, namun penyebabnya yang pasti hingga kini belum banyak diketahui.

Hubungan antara ovarium polikistik bilateral dengan suatu sindrom yang terdiri dari

siklus haid tidak teratur sampai amenorea, infertilitas, hirsutisme, dan obesitas pertama

kali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935. Kelainan ini bukan

merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kelompok gejala. Sindroma ovarium

polikistik ini erat kaitannya dengan peristiwa anovulasi, sehingga setiap kondisi atau

keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anovulasi kronik akan menyebabkan

terjadinya sindroma ovarium polikistik. Sindroma ovarium polikistik merupakan

penyebab terbanyak dari infertilitas yang disebabkan oleh anovulasi, yaitu mencapai

75%.

Patofisiologi yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala PCO

Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot.

Sebagai akibatnya pankreas dirangsang untuk menghasilkan insulin yang dapat

12

menyebabkan hiperinsulinemia. Peningkatan insulin juga mempengaruhi hati sehingga

dapat menurunkan produksi sex hormone binding globulin, yang pada akhirnya

meningkatkan kadar hormon androgen bebas. Insulin sendiri dapat mempengaruhi

ovarium sehingga menghasilkan androgen. Efek yang mungkin ditimbulkan insulin

adalah perubahan rasio LH/FSH. Peningkatan kadar LH dapat menstimulasi sel teka

ovarium sehingga menghasilkan lebih banyak testosteron, sebaliknya penurunan kadar

FSH menyebabkan tidak terjadinya perubahan androstenedion (bentuk sebelum

testosteron) menjadi estrone di sel granulosa ovarium. Semua hal diatas menyebabkan

peningkatan androgen dalam tubuh yang dapat mempengaruhi organ-organ

targetnya.14

Gambar 1. Patofisiologi Sindroma Ovarium Polikistik14

13

Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis perlu dibedakan antara wanita yang memiliki

gejala (sindrom ovarium polikistik) dan wanita yang tidak memiliki gejala (ovarium

polikistik). Pada hampir 25% populasi wanita normal ditemukan ovarium polikistik

dengan mempergunakan USG. Pada sindrom ovarium polikistik selalu dijumpai

pembesaran ovarium yang dapat dengan mudah dideteksi dengan alat USG.

Gambaran USG pada ovarium terlihat folikel-folikel kecil dengan diameter 2-9 mm

berjumlah ≥ 12 folikel dengan corak sangat khas seperti gambaran roda pedati.

Menurut European Society of Human Reproduction and Embriology dan the

American Society for Reproductive Medicine (ESHRE/ ASRM), diagnosa PCO harus

meliputi dua dari tiga kriteria berikut:

1. Oligo atau anovulasi

2. Gejala klinis atau biokimia dari hiperandrogen

3. Ovarium polikistik

Analisis hormonal baik itu LH, FSH, prolaktin ataupun testosteron tergantung dari

gambaran klinis yang dimiliki seorang wanita. Pada wanita dengan amenorea perlu

diperiksa FSH, LH, dan prolaktin. FSH yang tinggi menunjukkan adanya kegagalan

pada ovarium. Kadar LH yang tinggi menunjukkan terjadinya aromatisasi estrogen

menjadi androgen, sedangkan kadar prolaktin yang tinggi perlu dicurigai adanya

prolaktinoma. Bila ditemukan kadar FSH dan prolaktin normal, maka perlu dilakukan

pemeriksaan USG dan uji dengan progesteron (uji P). Pada wanita dengan sindroma

ovarium polikistik ditemukan ovarium polikistik dan uji P biasanya positif, sedangkan

wanita dengan amenorea hipotalamik ditemukan uji P negatif.

Pengobatan: 15-17

1. Pengurangan berat badan

2. Latihan fisik

3. Pil oral kontrasepsi kombinasi

4. Progestin secara siklik

5. Induksi ovulasi

6. Insulin sensitizing agents

7. Laparoscopic ovarian drilling

14

Premature Ovarian Failure (POF) 4

Gejala hipergonadotropin dan hipogonadisme menunjukkan fungsi ovarium yang

menurun atau hilang. Karena hilangnya umpan balik negatif, maka LH dan FSH akan

meningkat. Hal ini menunjukkan disfungsi pada level ovarium. Premature ovarian failure

didefinisikan sebagai hilangnya oosit dan sel penyokong lain dari ovarium sebelum

umur 40 tahun. Diagnosis ditentukan dengan dua kali pemeriksaan kadar FSH serum

yang lebih dari 40 mIU/mL yang diperoleh dengan jarak 1 bulan. Insiden POF

diperkirakan mencapai 1:1000 pada wanita berusia < 30 tahun, dan 1:100 pada wanita

berusia < 40 tahun. Evaluasi yang lebih lanjut biasanya dibutuhkan, tapi pada sebagian

besar kasus tidak dapat ditentukan.

Beberapa penyebab dari POF adalah:

Gangguan kongenital:

1. Kelainan kromosom18

Disgenesis gonad adalah penyebab paling sering dari POF. Pada gangguan ini,

walaupun terdapat sel germinal yang normal pada ovarium fetus, oosit mengalami

atresia yang cepat, dan ovarium digantikan dengan jaringan fibrous. Individu dengan

disgenesis gonad dapat tampil dengan gejala klinis yang bervariasi dan dapat dibagi

menjadi dua kelompok besar berdasarkan normal atau tidaknya kariotipe pasien.

a. Kariotipe abnormal

Delesi materi genetik pada kromosom X berperan pada duapertiga disgenesis

gonad. Pasien ini dikatakan menderita sindroma Turner. Kariotipe 45,X

didapatkan pada sekitar separuh dari pasien ini, sebagian besar mengalami

gangguan somatik meliputi postur tubuh yang pendek, leher yang lebar, garis

rambut yang rendah, dada yang seperti perisai, dan gangguan kardiovaskular.

Pasien lain dengan agenesis gonad dan didapatkan ketidaknormalan pada

kromosom X mempunyai kromosom mosaicm bersamaan atau tidak dengan

abnormalitas kromosom X.

Pada kasus agenesis gonad, kromosom mosaicm dapat juga mencakup adanya

kromosom Y, seperti 45X/46XY. Jadi analisis kromosom sebaiknya dilakukan

pada semua kasus amenorea yang berhubungan dengan POF, khususnya

sebelum usia 30 tahun.

15

b. Kariotipe normal

Sekitar sepertiga pasien dengan disgenesis gonad mempunyai kariotipe normal

(46,XX atau 46,XY) dan dikatakan mengalami disgenesis gonad yang murni.

Pasien dengan genotip 46,XY memberikan fenotip perempuan karena kurangnya

sekresi testoteron dan mullerian inhibiting substance oleh testis yang terganggu.

c. Gangguan genetik spesifik

Sebagian kecil pasien mengalami POF disebabkan mutasi pada gen. Contohnya

mutasi pada gen CYP17 yang menyebabkan berkurangnya 17-α-hydroxylase

dan 17,20-lyase, yang menghalangi produksi kortisol, androgen, dan estrogen.

Mutasi pada gen NR5A1 juga telah dibuktikan menjadi salah satu penyebab

POF.19

2. Sebab yang didapat:

a. Penyakit autoimun

Penyakit autoimun diperkirakan berperan pada 40% kasus POF. Kegagalan

ovarium mungkin merupakan salah satu komponen dari kegagalan beberapa

kelenjar misalnya hipotiroid, adrenal, atau gangguan autoimun yang lain seperti

systemic lupus erythematosus.

b. Penyebab iatrogenik, biasanya terjadi setelah operasi, radiasi, atau kemoterapi.

Induksi ovulasi 4

Disfungsi ovulasi adalah indikasi yang paling sering pada penggunaan obat

induksi ovulasi. Obat-obat ini dapat digunakan pada wanita yang berovulasi untuk

meningkatkan kemungkinan kehamilan pada pasangan dengan penyebab infertilitas

yang lain atau infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Penggunaan obat untuk kegunaan

ini disebut juga superovulasi atau controlled ovarian stimulation (COH).

Penyebab terbanyak disfungsi ovarium meliputi PCOS dan penurunan cadangan

ovarium. Yang lebih jarang, penyebab dari sentral (hipotalamus atau hipofise) atau

disfungsi tiroid. Penyebab yang lebih jarang lagi adalah tumor ovarium atau

abnormalitas adrenal yang menyebabkan ketidaknormalan fungsi ovarium. Pengobatan

disfungsi ovarium harus didasarkan pada sebab yang ditemukan.

16

Daftar pustaka

1. Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Seventh edition ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.

2. Maheshwari A, Hamilton M, Bhattacharya S. Effect of female age on the diagnostic categories of infertility. Human Reproduction 2008;23:538-42.

3. Carr BR. The Ovary and the Normal Menstrual Cycle. In: Carr BR, Blackwell RE, Azziz R, editors. Essential Reproductive Medicine. Dallas: McGraw-Hill; 2005. p. 61-101.

4. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG, editors. Williams Gynecology: McGraw-Hill; 2008.

5. Baird DT, Collins J, Cooke I, Cohen J. Optimal use of infertility diagnostic tests and treatments. Human Reproduction 2000;15:723-9.

6. R.S.Makar, T.L.Toth. The Evaluation of Infertility. American Journal of Clinical Pathology 2002;117:95-103.

7. Chang WY, Agarwal SK, Azziz R. Diagnostic Evaluation & Treatment of the Infertile Couple. In: Carr BR, Blackwell RE, Azziz R, editors. Essential Reproductive Medicine. Dallas: McGraw-Hill; 2005. p. 359-392.

8. Homburg R. Ovulation Induction and Controlled Ovarian Stimulation: Taylor & Francis; 2005.9. Maheshwari A, Brattacharya S. Ovarian Ageing and Fertility - Review. Current Women's Health

2007;3:3-67.10. Lass A. Assessment of ovarian reserve - is there a role for ovarian biopsy? Human Reproduction

2001;16:1055-57.11. Kelly SM, Sladkevicius P, Campbell S, Nargund G. Investigation of the infertil couple: a one-stop

ultrasound-based approach. Human Reproduction 2001;12:2481-4.12. Baziad A. Endokrinologi Ginekologi. ketiga ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2008.13. Ehrmann DA. Polycystic Ovary Syndrome. The New England Journal of Medicine 2005;352:1223-

36.14. Nestler JE. Metformin for the Treatment of the Polycystic Ovary Syndrome. New England Journal

of Medicine 2008;358:47-54.15. Amer SAK, T.C.Li, W.L.Ledger. Ovulation Induction Using Laparoscopic Ovarian Drilling in Women

with Polycystic Ovarian Syndrome: Predictros of Success. Human Reproduction 2004;19:1719-24.

16. Dhindsa G, Bhatia R, Dhindsa M, Bhatia V. Insulin Resistance, Insulin Sensitization and Inflammation in Polycystic Ovarian Syndrome. Postgraduate Medicine 2004;50:140-4.

17. Legro RS, Barnhart HX, Schlaff WD. Clomiphene, Metformin, or Both for Infertility in the Polycystic Ovary Syndrome. The New England Journal of Medicine 2007;356:551-66.

18. Nelson LM. Primary Ovarian Insufficiency. The New England Journal of Medicine 2009;360:606-14.

19. Lourenco D, Brauner R, Lin L, Perdigo AD, Weryha G, Muresan M. Mutations in NR5A1 Associated with Ovarian Insufficiency. The New England Journal of Medicine 2009;360:1200-10.

17

EVALUASI FAKTOR OVARIUM

DALAM PENATALAKSANAAN INFERTILITAS

Dr.dr. H. Nusratuddin Abdullah, SpOG(K), MARS

SUBBAGIAN FERTILITAS, ENDOKRINOLOGI DAN REPRODUKSIBAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2009

18