20
Endometriosis sebagai salah satu faktor penyebab infertilitas Andon Hestiantoro Sub.Bag. Imunoendokrinologi reproduksi, Bag. Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo JAKARTA I. Pendahuluan Endometriosis adalah kelainan ginekologi yang ditandai dengan adanya pertumbuhan kelenjar dan stroma endometrium ektopik di luar rongga uterus, termasuk pertumbuhan di otot uterus (1-3). Deposit endometrium tersebut pada umumnya ditemukan di rongga pelvik seperti ovarium, peritoneum, ligamentum sakro-uterina, kavum Douglas dan septum rektovaginal (4). Walaupun endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang bersifat jinak, namun endometriosis ternyata memiliki sifat infiltratif yang mirip dengan suatu keganasan (5). Sehingga sering endometriosis tampil dalam bentuk progresif-infiltratif yang menembus lapisan peritoneum dan masuk kedalam area ekstraperitoneum (6). Endometriosis umumnya diderita oleh wanita pada usia reproduksi dan kejadiannya berkurang saat wanita memasuki 1

Endometriosis and Infertilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lklmk

Citation preview

Page 1: Endometriosis and Infertilitas

Endometriosis sebagai salah satu faktor penyebab infertilitas

Andon Hestiantoro

Sub.Bag. Imunoendokrinologi reproduksi, Bag. Obstetri dan Ginekologi, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

JAKARTA

I. Pendahuluan

Endometriosis adalah kelainan ginekologi yang ditandai dengan adanya pertumbuhan

kelenjar dan stroma endometrium ektopik di luar rongga uterus, termasuk pertumbuhan di

otot uterus (1-3). Deposit endometrium tersebut pada umumnya ditemukan di rongga

pelvik seperti ovarium, peritoneum, ligamentum sakro-uterina, kavum Douglas dan

septum rektovaginal (4). Walaupun endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang

bersifat jinak, namun endometriosis ternyata memiliki sifat infiltratif yang mirip dengan

suatu keganasan (5). Sehingga sering endometriosis tampil dalam bentuk progresif-

infiltratif yang menembus lapisan peritoneum dan masuk kedalam area ekstraperitoneum

(6).

Endometriosis umumnya diderita oleh wanita pada usia reproduksi dan

kejadiannya berkurang saat wanita memasuki usia menopause atau menjalani

pengangkatan kedua ovarium. Sehingga diperkirakan bahwa estrogen sangat berperan

penting pada proses pertumbuhan dan perkembangan endometriosis.

Walaupun banyak teori diajukan terkait dengan etiologi endometriosis, namun

tampaknya teori regurgitasi darah haid melalui tuba Fallopii yang berlanjut dengan

implantasi ektopik jaringan endometrium (teori transplantasi dari Sampson) (7), masih

merupakan teori yang paling banyak dianut oleh para dokter. Saat ini mulai berkembang

pula teori etiologi endometriosis yang terkait dengan genetik dan cacat dari sistem

imunitas (5).

1

Page 2: Endometriosis and Infertilitas

Endometriosis dapat dijumpai pada wanita tanpa keluhan apapun dengan insidens

berkisar antara 2-22% (8), pada wanita dengan keluhan nyeri pelvik sebesar 40-60% (9),

serta pada wanita dengan subfertilitas/infertilitas sebesar 20-40% (8,10).

Tujuan dari pengobatan endometriosis pada kasus infertilitas adalah

menghilangkan sebanyak mungkin deposit endometriosis demi mempertahankan fertilitas

melalui kombinasi terapi medikamentosa dan terapi pembedahan (5,11).

Pada tulisan ini akan dibahas kaitan antara endometriosis dan kejadian infertilitas,

sehingga diharapkan dapat memberikan sedikit informasi tentang permasalahan dan

tatalaksana endometriosis pada wanita dengan masalah infertilitas.

II. Prevalensi endometriosis pada wanita dengan infertilitas

Dari penelitian yang ada, endometriosis dijumpai lebih banyak pada wanita dengan

infertilitas jika dibandingkan dengan wanita tanpa infertilitas (12). Secara retrospektif

diketahui bahwa endometriosis dijumpai pada sekitar 20-40% wanita dengan masalah

infertilitas sedangkan pada wanita tanpa masalah infertilitas, endometriosis hanya

dijumpai sekitar 0.5-5% saja (12).

III. Klasifikasi endometriosis

Sebagai upaya untuk standarisasi diagnosis, derajat keparahan penyakit, progresifitas

penyakit dan respon pengobatan, maka telah ditentukan beberapa buah sistem klasifikasi

endometriosis. Sebuah sistem klasifikasi endometriosis yang paling banyak dipakai saat

ini adalah revisi terbaru yang dibuat oleh “the American Society for Reproductive

Medicine (ASRM)” pada tahun 1996 (13,14)(gambar 1.). Berdasarkan visualisasi rongga

pelvik saat pembedahan, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman

susukan endometriosis serta adanya perlekatan. Terdapat empat klasifikasi berdasarkan

faktor-faktor tersebut di atas yaitu derajat minimal, derajat ringan, derajat sedang dan

derajat berat (13,14).

Namun ternyata derajat keparahan endometriosis tidak berbanding lurus dengan

besar/kecilnya kemungkinan kehamilan pada seorang wanita yang menderita

endometriosis (13). Disamping itu, derajat keparahan endometriosis tidak pula

2

Page 3: Endometriosis and Infertilitas

berbanding lurus dengan derajat keparahan nyeri pelvik (15,16). Hal ini disebabkan oleh

karena masih terbatasnya pengetahuan manusia terhadap patofisiologi endometriosis.

Susukan endometriosis yang klasik akan tampak dalam bentuk susukan yang berwarna

hitam kebiruan (the blue-black “powder-burn” lesion). Namun saat ini telah banyak

dijumpai pula adanya warna-warna susukan lain yang tampil lebih tidak mencolok,

seperti warna merah (“red”, “red-pink” dan “merah-bening”) atau warna putih (“white”,

“yellow-brown”, dan cacat pada peritoneum). Sehingga tampaknya warna susukan

“powder-burn” hanya akan terlihat jika susukan endometriosis telah berada pada stadium

akhir dari proses perkembangan susukan endometriosis (14).

IV. Endometriosis dan infertilitas

1. Perlekatan genitalia interna, perubahan struktur anatomi dan infertilitas

Terjadinya infertilitas pada wanita dengan endometriosis salah satunya dapat disebabkan

oleh faktor perlekatan genitalia interna. Perubahan kualitas jaringan endometrium

penderita endometriosis dibandingkan dengan wanita normal menjadi faktor pencetus

terjadinya perlekatan genitalia interna tersebut. Jaringan endometrium wanita dengan

endometriosis ternyata mengandung banyak E-cadherin-negative epithelial cells dan

Matrix metalloproteinase, yang merupakan materi kimiawi bersifat invasif yang mampu

menembus jaringan kolagen (17). Disamping itu jaringan endometrium penderita

endometriosis mengandung pula banyak sitokin seperti tumor-necroting-factor (TNF)-α,

interleukin (IL)-8 dan IL-6. IL8 diketahui mampu merangsang perlekatan antara

endometrium dan fibronektin (18). Sehingga jika terjadi regurgitasi darah haid maka

endometrium patologis tersebut akan memicu timbulnya reaksi peradangan dan berakhir

dengan terbentuknya benang-benang perlekatan berupa fibrin (18).

Benang-benang perlekatan pada endometriosis derajat berat akan merubah struktur

anatomi dari tuba Fallopii, merubah fungsi gerak fimbriae, serta menyebabkan

penyumbatan tuba Fallopii sebelah distal, sehingga berakhir dengan infertilitas. Susukan

endometriosis pada permukaan ovarium akan disusul dengan proses invaginasi, yang

kemudian berlanjut menjadi kista endometriosis yang dikenal pula sebagai

endometrioma. Kista ini memiliki dinding yang tebal dan berisi cairan coklat yang kental.

Sehingga kista ini disebut dengan nama kista coklat. Endometriosis derajat berat dengan

3

Page 4: Endometriosis and Infertilitas

kista endometriosis juga mampu menciptakan perubahan anatomi dan fungsi dari tuba

Fallopii sehingga dapat menjadi penyebab infertilitas (11).

2. Gangguan fungsi ovarium pada penderita endometriosis

Endometriosis dapat menyebabkan gangguan fungsi ovarium dalam berbagai bentuk,

antara lain seperti: a. kegagalan folikulogenesis, b. cacat steroidogenesis di sel granulosa,

c. sindrom LUF (luteinized unruptured follicle), d. penurunan mutu oosit dan e. cacat fase

luteal (1). Adanya faktor-faktor di atas tidak hanya dapat menyebabkan kesulitan

kehamilan secara spontan, namun juga menjadi penyebab rendahnya angka kehamilan

setelah fertilisasi in vitro (FIV) pada penderita endometriosis (1). Gangguan fungsi

ovarium pada penderita endometriosis juga dapat disebabkan oleh karena

hiperprolaktinemia (19).

3. Autiantibodi pada penderita endometriosis

Pada penderita endometriosis dapat dijumpai adanya pembentukkan autoantibodi antara

lain seperti: a. antibodi antifosfolipid, dan b. autoantibodi antilaminin-1. Autoantibodi

yang terbentuk pada pasien endometriosis tersebut dapat menghambat fungsi sperma,

proses fertilisasi dan proses pertumbuhan kehamilan normal (20,21).

4. Cacat imunitas pada penderita endometriosis

Pada cairan peritoneum penderita endometriosis dijumpai adanya perubahan kadar

beberapa sitokin, peningkatan kadar beberapa faktor pertumbuhan (growth factor), serta

peningkatan jumlah sel-sel makrofag. Peningkatan IL-6 pada kasus endometriosis terkait

dengan mekanisme embriotoksitas dari cairan peritoneum penderita endometriosis (22).

Penurunan fungsi sel NK pada kasus dengan endometriosis sangat terkait dengan

interaksi antara IL-12 dan p40 bebas (antagonis IL-12) (23).

5. Cacat faktor implantasi

Pada penderita endometriosis, kejadian infertilitas dapat pula disebabkan akibat

rendahnya ekspresi integrin (αvβ3) pada endometrium penderita endometrosis

dibandingkan dengan kontrol (24).

4

Page 5: Endometriosis and Infertilitas

V. Diagnosis (11,12,25,26)

Berdasarkan anamnesis, maka diagnosis endometriosis kemungkinan dapat ditegakkan

jika wanita infertilitas datang ke dokter dengan adanya keluhan nyeri haid atau nyeri

pelvik. Namun perlu diperhatikan pula bahwa derajat keparahan endometriosis tidaklah

berbanding lurus dengan kejadian infetilitas. Pasien infertilitas dapat ke dokter hanya

dengan kondisi endometriosis derajat ringan saja. Pada pemeriksaan ginekologi, adanya

endometriosis dapat dikenali dengan perabaan parametrium yang kaku atau teraba nodul-

nodul sepanjang ligamentum sakro-uterina. Uterus mungkin terfiksasi dengan mobilitas

yang sangat terbatas akibat perlekatan. Ovarium mungkin membesar kistik dan

menimbulkan nyeri pada saat pemeriksaan.

Alat ultrasonografi transvaginal atau magnetic resonance imaging (MRI) dapat

dimanfaatkan untuk menemukan adanya kista endometriosis, adenomyosis dan

perlekatan di rongga pelvik.

Untuk menegakkan diagnosis serta penentuan derajat keparahan endometriosis maka

laparoskopi diagnostik merupakan cara yang terbaik. Pada saat laparoskopi diagnostik

dapat pula dilakukan biopsi pada susukan endometriosis sehingga dapat ditegakkan

diagnosis endometriosis yang lebih pasti. Saat ini tindakan laparoskopi diagnostik

umumnya dilanjutkan dengan tindakan laparoskopi operatif.

VI. Terapi (5,8,11)

Tujuan terapi endometriosis adalah untuk menghilangkan atau mengangkat deposit

endometriosis. Jenis-jenis terapinya adalah

A. Terapi medikamentosa

B. Terapi pembedahan

Berdasarkan observasi maka masalah akibat endometriosis akan menghilang atau

berkurang bila wanita mengalami kehamilan atau mengalami menopause. Sehingga terapi

medikamentosa untuk endometriosis pada dasarnya meniru salah satu dari dua kondisi

fisiologis tersebut. Disamping itu obat-obatan lain seperti penghambat reseptor estrogen,

penghambat reseptor progestogen, penghambat enzim steroidogenesis, penghambat

angiogenesis atau obat yang mampu memperbaiki sistem imunitas tubuh, tampaknya

mempunyai peran tersendiri dalam tatalaksana pengobatan endometriosis.

5

Page 6: Endometriosis and Infertilitas

Jenis-jenis terapi medikamentosa antiendometriosis antara lain adalah sebagai berikut:

a. Pseudomenopause (misal: GnRH analog, danazol)

b. Pseudopregnancy (misal: progestogen, kombinasi estrogen-progestogen)

c. Antiprogestogen (misal: gestrinon dan mifepriston)

d. Penghambat enzim aromatase

e. Terapi imunologi

f. Terapi antiangiogenesis

A. Terapi medikamentosa

1. Terapi progestogen

Pemberian terapi progestogen secara kontiyu atau malar dapat menciptakan kondisi an-

ovulasi dan kondisi hipo-estrogen dengan cara melalui penghambatan penglepasan

gonadotropin dari hipofisis. Disamping itu terapi progestogen bergina untuk

menciptakan desidualisasi sel endometrium baik eutopik maupun ektopik, sehingga akan

terjadi atrofi susukan endometriosis. Keuntungan terapi progestogen ini adalah murah,

dapat ditoleransi dengan baik dan relatif sedikit efek samping.

Jenis-jenis terapi progestogen:

a. Medroksiprogesterone asetat (MPA)

Dapat diberikan secara injeksi dengan dosis 150 mg intramuskular setiap 3 bulan atau

secara oral dengan dosis 30 mg perhari, malar selama 90 hari. Dosis oral 50-100 mg

perhari tidak memberikan manfaat lebih jika dibandingkan dengan dosis 30 mg

perhari.

Depo MPA dapat menyebabkan masa anovulasi yang berkepanjangan setelah

injeksinya dihentikan, sehingga cara ini mungkin tidak begitu cocok bagi wanita yang

menginginkan fertilitas. Efek samping dari preparat MPA ini adalah perdarahan

bercak, penambahan berat badan, depresi dan perut terasa penuh.

b. Jenis progestogen lain yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi endometriosis

adalah didrogesteron dan megesterol asetat.

6

Page 7: Endometriosis and Infertilitas

2. Antiprogestogen

Gestrinon dan mifepriston (RU-486) merupakan obat antiprogestogen. Antiprogestogen

mampu menghambat ovulasi dan menyebabkan kondisi hipoestrogen, sehingga memiliki

mekanisme kerja antiendometriosis yang mirip dengan progestogen.

Antiprogestogen ini merupakan salah satu jenis terapi yang diharapkan dapat

dimanfaatkan untuk terapi adenomyosis.

3. Danazol

Danazol merupakan isoxasol yang berasal dari turunan steroid sintetik 17α-ethinyl

testosterone. Memiliki mekanisme yang kompleks sebagi antiendometriosis berupa

penghambatan terhadap reseptor progestogen, penghambatan terhadap beberapa enzim

steroidogenik dan memiliki efek agonis terhadap reseptor androgen. Danazol juga dapat

mencegah terjadinya lonjakan luteinizing hormone (LH), sehingga kesemuanya akan

berakhir dengan hasilberupa anovulasi dengan hipoestrogen. Danazol mempengaruhi

pula sistem imun didaerah rongga pelvik. Namun salah satu efek samping dari danazol

adalah hiperandrogenisme yang merupakan akibat dari efek agonis terhadap reseptor

androgen, sehingga gejala yang dapat ditimbulkannya adalah timbulnya jerawat di wajah,

kulit dan rambut yang berminyak, penambahan berat badan dan suara yang bertambah

berat.

4. Kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral berupa kombinasi estrogen dan progestogen dapat dimanfaatkan sebagai

obat antiendometriosis dengan tujuan menciptakan suasana mirip kehamilan

(pseudopregnancy). Jika diberikan secara kontinyu (malar) tanpa jeda maka kontrasepsi

akan menimbulkan efek amenore, sehingga dapat menghilangkan nyeri haid.

5. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis

GnRH agonis merupakan turunan sintetik dari dekapeptida GnRH alamiah. Nafarelin,

goserelin dan trptorelin adalah dekapeptida, sedangkan buserelin, leuprolin (leuprolid)

dan histerelin adalah nonapeptida. Jika diberikan secara kontinyu(malar) maka GnRH

agonis dapat menyebabkan penurunan produksi gonadotropin di hipofisis s, yang pada

7

Page 8: Endometriosis and Infertilitas

akhirnya akan menciptakan kondisi hipoestrogen (pseudomenopause). Nafarelin,

leuprolid dan goserelin merupakan GnRH agonis yang dianjurkan untuk pengobatan

endometriosis. Nafarelin diberikan secara topikal melalui hidung, dua kali dalam satu

minggu. Leuprolid diberikan secara subkutaneus atau intramuskular setiap satu bulan.

Dan Goserelin yang merupakan susuk GnRH, diberikan secara subkutaneus setiap satu

bulan atau setiap tiga bulan, tergantung kebutuhan. Efek samping jangka pendek dari

penggunaan GnRH agonis ini adalah timbulnya gejolak panas dan vagina kering,

sedangkan efek samping jangka panjangnya adalah osteoporosis. Untuk menghindari

osteoporosis tersebut maka penggunaan GnRH agonis tidak dianjurkan lebih lama

daripada enam bulan.

Namun saat ini telah diketahui bahwa pemberian terapi “add-back” yaitu penambahan

progestogen saja atau kombinasi estrogen dan progestogen bermanfaat untuk

menghilangkan efek samping terapi GnRH agonis seperti gejolak panas, vagina kering

dan mencegah osteoporosis, tanpa mengurangi manfaat GnRH agonis sebagai obat anti

endometriosis. Dengan penambahan terapi “add-back” ini maka terapi GnRH agonis

dapat diperpanjang sampai dengan 12 bulan.

6. Penghambat enzim aromatase

Enzim aromatase P450 (P450arom) merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap

proses biosintesis estrogen, dan hormon estrogen tersebut merupakan hormon penting

dalam proses pertumbuhan endometriosis. Pada jaringan endometriosis ternyata dijumpai

enzim P450arom dengan kadar yang tinggi. Enzim P450arom juga dijumpai pada

endometrium wanita yang menderita endometriosis. Sedangkan sebaliknya,

endometrium wanita yang tidak menderita endometriosis, sama sekali tidak memiliki

enzim ini pada endometriumnya. Disamping itu, ternyata hampir tidak dijumpai aktivitas

enzim 17beta-hidroksi steroid dehidrogenase (17β-HSD) tipe-2, yaitu enzim yang

bertugas untuk mengubah estradiol (E2) menjadi estron (E1), pada jaringan endometrium

wanita yang menderita endometriosis. Meningkatnya aktivitas enzim P450arom dan

menurunnya aktivitas enzim 17β-HSD tipe-2 pada endometrium wanita, menyebabkan

timbulnya endometriosis pada wanita tersebut (27).

8

Page 9: Endometriosis and Infertilitas

Pemberian terapi aromatase sebagai antiendometriosis merupakan salah satu alternatif

terapi endometriosis masa kini, terutama jika terapi jenis lain mengalami kegagalan (28).

7. Terapi imunologi

Adanya cacat fungsional sel NK di rongga peritoneum wanita endometriosis,

menyebabkan susukan endometrium dapat tumbuh dan berkembang menjadi susukan

endometriosis. IL-12 merupakan interleukin yang mampu meningkatkan kemampuan sel

NK untuk mematikan susukan endometriosis, sehingga IL-12 dapat dimanfaatkan sebagai

terapi imunologi untuk mengatasi endometriosis (29).

8. Antiangiogenesis

Susukan endometriosis sangat bergantung kepada banyaknya vaskularisasi agar susukan

endometriosis tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada lokasi tertentu di peritoneum

(30). Sehingga tidaklah mengherankan jika susukan endometriosis selalui dijumpai pada

lokasi yang kaya dengan vaskularisasi. Saat ini sedang dikembangkan obat

antiangiogenesis seperti anti-hVEGF, Endostatin and Anginex yang diharapkan dapat

menjadi salah satu alternatif terapi antiendometriosis (31).

B. Terapi pembedahan

Terapi pembedahan pada endometriosis, baik yang bersifat konservative maupun radikal,

pada dasarnya bertujuan untuk:

a. Menghancurkan atau menghilangkan susukan endometriosis di peritoneum dan

ovarium

b. Mengangkat kista endometriosis

c. Reseksi adenomiosis/mengangkat uterus

d. Mengangkat susukan endometriosis di sekat rekto-vaginal

e. Pembebasan perlekatan akibat endometriosis

Idealnya terapi pembedahan pada endometriosis dilakukan dengan metoda “minimally

invasive surgery” yaitu berupa pembedahan endoskopi dengan laparoskopi, agar tercapai

adekuasi operasi yang baik, dengan efek samping perlekatan yang minimal. Namun

tidakan laparotomi juga diperlukan terutama jika terdapat kista endometriosis yang besar,

adenomiosis uterus yang soliter, serta adanya perlekatan didaerah rongga pelvik yang

9

Page 10: Endometriosis and Infertilitas

sangat hebat. Tindak operatif radikal terkadang juga diperlukan dengan indikasi utuk

mengangkat uterus dan kedua ovaria.

VII. Terapi untuk mengatasi masalah infertilitas (5,11,13)

Terapi medikamentosa untuk endometriosis yang khususnya terkait dengan

pseudomenopause atau pesudopregnancy, dapat menimbulkan situasi anovulasi sehingga

tentu akan menurunkan fertilitas wanita dengan endometriosis. Sehingga terapi

medikamentosa yang dapat menimbulkan anovulasi sebenarnya tidak dianjurkan jika

wanita tersebut menderita endometriosis dan memiliki masalah infertilitas.

Inseminasi intrauterin (IIU) atau fertilisasi invitro (FIV), walaupun tidak termasuk

dalam terapi medikamentosa pada wanita dengan endometriosis, ternyata memiliki angka

keberhasilan hamil yang cukup baik jika dibandingkan dengan kontrol. Angka kehamilan

wanita endometriosis setelah FIV sangat bergantung dengan usia si wanita (angka

kehamilan berbanding terbalik dengan usia ibu), faktor endometrium (kadar integrin

endometrium, αVβ3, rendah pada endometrisis) dan faktor ovarium (rendahnya kualitas

ovum dan kualitas embrio pada penderita endometriosis). Berdasarkan sebuah penelitian,

diperlukan dosis yang lebih besar untuk memicu ovulasi pada wanita yang menderita

kista endometriosis dengan stadium menengah dan berat, namun tidak dijumpai adanya

perbedaan dari angka kehamilan kumulatif dan angka kelahiran hidup penderita

endometriosis dibandingkan dengan ovarium normal atau dengan kelainan pada tuba.

Terapi pembedahan terutama “minimally invasive surgery” pada wanita

endometriosis dengan infertilitas, diketahui dapat meningkatkan angka kehamilan.

Terapi kombinasi antara medikamentosa dan pembedahan ternyata bermanfaat

bagi wanita endometriosis dengan masalah infertilitas. Pemberian terapi medikamentosa

2-3 seri sebelum pembedahan berguna untuk mengurangi perdarahan saat pembedahan,

mempermudah pembebasan perlekatan saat operasi, mengurangi terjadinya perlekatan

pasca pembedahan dan sebagai ajuvan untuk menghilangkan sisa susukan endometriosis

yang tidak berhasil diangkat atau dihilangkan saat pembedahan (32).

10

Page 11: Endometriosis and Infertilitas

Gambar 1. ASRM revised classification of

endometriosis 1996(14)

Daftar pustaka

1. Bedaiwy MA, Falcone T. Peritoneal fluid environment in endometriosis. Clinicopathological implications. Minerva Ginecol 2003;55(4):333-45.

11

Page 12: Endometriosis and Infertilitas

2. Kyama CM, Debrock S, Mwenda JM, D'Hooghe TM. Potential involvement of the immune system in the development of endometriosis. Reprod Biol Endocrinol 2003;1(1):123.

3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Hum Reprod Update 1998;4(4):312-22.

4. dell'Endometriosi GIplS. Relationship between stage, site and morphological characteristics of pelvic endometriosis and pain. Hum Reprod 2001;16(12):2668-71.

5. Schindler AE. Pathophysiology, diagnosis and treatment of endometriosis. Minerva Ginecol 2004;56(5):419-35.

6. Chapron C, Dubuisson JB, Chopin N, Foulot H, Jacob S, Vieira M, Barakat H, Fauconnier A. Deep pelvic endometriosis: management and proposal for a "surgical classification". Gynecol Obstet Fertil 2003;31(3):197-206.

7. Sampson J. Benign and malignant endometrial implants in the peritoneal cavity and their relation to certain ovarian tumours. Surg Gynecol Obstet 1924;36:287-311.

8. Farquhar CM. Extracts from the "clinical evidence". Endometriosis. Bmj 2000;320(7247):1449-52.

9. Chapron C. Chronic pelvic pain and endometriosis. J Gynecol Obstet Biol Reprod (Paris) 2003;32(8 Pt 2):S32-6.

10. Waller KG, Lindsay P, Curtis P, Shaw RW. The prevalence of endometriosis in women with infertile partners. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1993;48(2):135-9.

11. Child TJ, Tan SL. Endometriosis: aetiology, pathogenesis and treatment. Drugs 2001;61(12):1735-50.

12. D'Hooghe TM, Debrock S, Hill JA, Meuleman C. Endometriosis and subfertility: is the relationship resolved? Semin Reprod Med 2003;21(2):243-54.

13. Schenken RS. Modern concepts of endometriosis. Classification and its consequences for therapy. J Reprod Med 1998;43(3 Suppl):269-75.

14. Revised American Society for Reproductive Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertil Steril 1997;67(5):817-21.

15. Porpora MG, Koninckx PR, Piazze J, Natili M, Colagrande S, Cosmi EV. Correlation between endometriosis and pelvic pain. J Am Assoc Gynecol Laparosc 1999;6(4):429-34.

16. Vercellini P, Trespidi L, De Giorgi O, Cortesi I, Parazzini F, Crosignani PG. Endometriosis and pelvic pain: relation to disease stage and localization. Fertil Steril 1996;65(2):299-304.

17. Ueda M, Yamashita Y, Takehara M, Terai Y, Kumagai K, Ueki K, Kanda K, Hung YC, Ueki M. Gene expression of adhesion molecules and matrix metalloproteinases in endometriosis. Gynecol Endocrinol 2002;16(5):391-402.

18. Konno R, Yamada-Okabe H, Fujiwara H, Uchiide I, Shibahara H, Ohwada M, Ihara T, Sugamata M, Suzuki M. Role of immunoreactions and mast cells in pathogenesis of human endometriosis--morphologic study and gene expression analysis. Hum Cell 2003;16(3):141-9.

19. Cunha-Filho JS, Gross JL, Lemos NA, Brandelli A, Castillos M, Passos EP. Hyperprolactinemia and luteal insufficiency in infertile patients with mild and minimal endometriosis. Horm Metab Res 2001;33(4):216-20.

12

Page 13: Endometriosis and Infertilitas

20. Inagaki J, Kondo A, Lopez LR, Shoenfeld Y, Matsuura E. Anti-laminin-1 autoantibodies, pregnancy loss and endometriosis. Clin Dev Immunol 2004;11(3-4):261-6.

21. Malinowski A, Dynski MA, Glowacka E, Nowak M, Wilczynski JR, Kolasa D, Tchorzewski H, Szpakowski M. [Antiphospholipid autoantibodies in women treated for infertility]. Ginekol Pol 2000;71(9):1011-6.

22. Gomez-Torres MJ, Acien P, Campos A, Velasco I. Embryotoxicity of peritoneal fluid in women with endometriosis. Its relation with cytokines and lymphocyte populations. Hum Reprod 2002;17(3):777-81.

23. Mazzeo D, Vigano P, Di Blasio AM, Sinigaglia F, Vignali M, Panina-Bordignon P. Interleukin-12 and its free p40 subunit regulate immune recognition of endometrial cells: potential role in endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 1998;83(3):911-6.

24. Lessey BA. Implantation defects in infertile women with endometriosis. Ann N Y Acad Sci 2002;955:265-80; discussion 293-5, 396-406.

25. Berkkanoglu M, Arici A. Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol 2003;50(1):48-59.

26. Bedaiwy MA, Falcone T. Laboratory testing for endometriosis. Clin Chim Acta 2004;340(1-2):41-56.

27. Miller WR, Jackson J. The therapeutic potential of aromatase inhibitors. Expert Opin Investig Drugs 2003;12(3):337-51.

28. Shippen ER, West WJ, Jr. Successful treatment of severe endometriosis in two premenopausal women with an aromatase inhibitor. Fertil Steril 2004;81(5):1395-8.

29. Fedele L, Berlanda N. Emerging drugs for endometriosis. Expert Opin Emerg Drugs 2004;9(1):167-77.

30. Maas JW, Calhaz-Jorge C, ter Riet G, Dunselman GA, de Goeij AF, Struijker-Boudier HA. Tumor necrosis factor-alpha but not interleukin-1 beta or interleukin-8 concentrations correlate with angiogenic activity of peritoneal fluid from patients with minimal to mild endometriosis. Fertil Steril 2001;75(1):180-5.

31. Nap AW, Griffioen AW, Dunselman GA, Bouma-Ter Steege JC, Thijssen VL, Evers JL, Groothuis PG. Antiangiogenesis therapy for endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 2004;89(3):1089-95.

32. Schindler AE. Gonadotropin-releasing hormone agonists for prevention of postoperative adhesions: an overview. Gynecol Endocrinol 2004;19(1):51-5.

13