Upload
asyifa-zulinanda
View
21
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
EDH
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Di bawah kondisi anaerob yang menguntungkan, seperti kotor,
luka nekrotik, bacillus ini dapat menghasilkan tetanospasmin, suatu neurotoksin
yang sangat kuat. Toksin tetanus menghambat neurotransmitter inhibitory dalam
sistem saraf pusat, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang yang khas. Penyakit
ini dapat mempengaruhi setiap kelompok usia. Tidak ada kekebalan alami
terhadap tetanus; perlindungan dapat diberikan dengan imunisasi aktif dengan
tetanus toksoid yang mengandung vaksin atau pemberian antibodi anti-tetanus.1
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.
Imunisasi tetanus telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas
terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster
jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus.
Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya
prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang. Di negara berkembang,
mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000 -
1.000.000 orang per tahun. Tetanus masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk
serta fasilitas intensive care unit (ICU) yang tidak selalu tersedia.2
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) netralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang
(suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan habis
dimetabolisme. Sebagian besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan
2
suportif di ICU. Keberhasilan terapi suportif akan menentukan outcome,di
samping faktor beratnya penyakit.3
1.2. Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas tentang definisi, etiologi, cara penularan,
penanganan utama (primary survey) serta evaluasi sekunder (secondary survey)
pada keadaan gawat darurat akibat tetanus.
1.3. Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, cara penularan, penanganan utama (primary
survey) dan secondary survey pada gawat darurat akibat tetanus.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tetanus
2.1.1. Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.1 Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani.5
Tetanus disebut juga dengan "Seven day disease". Dan pada tahun 1890,
ditemukan toksin seperti strychnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,
yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.4
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali
pusat (Tetanus Neonatorum).5,6,7
2.1.2. Etiologi
Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani, sejenis kuman bentuk batang,
anaerobik, gram positif, membentuk spora. Spora ini tahan terhadap panas,
kekeringan, desinfektan, dan dapat bertahan selama bertahun-tahun yang dapat
berubah menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan eksotoksin. Spora ini
berkembang di bawah kondisi anaerob, seperti pada keadaan kerusakan jaringan
yang hebat, luka tusuk yang dalam, nekrosis, infeksi dengan adanya benda asing
(korpus alienum).8
Bakteri ini dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada
manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi
luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan
4
memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.5
Toksin yang dihasilkan terdiri dari:9
1. Tetanolysin, yang menyebabkan hemolisis in vitro. Toksin jenis ini tidak
memegang peranan dalam terjadinya tetanus.
2. Tetanospasmin, suatu neurotoksin yang sangat protein, yang menimbulkan
sindroma klinis dari tetanus.
Kadar 0,1 mg dapat menimbulkan kematian pada orang dewasa.
2.1.3. Patogenesis
Mekanisme perjalanan toksin tetanus dari daerah luka sampai dengan site
of action masih kontroversial. Teori yang disampaikan antara lain:8
Migrasi sentri-petal sepanjang trunkus syaraf motorik mencapai CNS
Penyebaran hematogen
Tetanospasmin didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah
kemudian lewat peripheral motor neuron mencapai CNS yang kemudian toksin ini
terikat pada gangliosides. Symptom tetanus muncul bila toksin ini telah melewati
synaptic cleft ke presinaptik terminal dan interneuron spinalis. Efek utamanya
adalah menghalangi inhibisi refleks spinal.8
Alfa dan gamma motor neuron dipengaruhi, menyebabkan meningkatnya
tonus otot dengan eksaserbasi paroksismal yang menimbulkan spasme spontan
atau oleh adanya stimulus eksternal.8
Tetanospasmin menyerang 4 (empat) area susunan saraf, yaitu:8
Skeletal muscle motor end plate
Medulla spinalis
Otak dan syaraf otak
Syaraf simpatis
5
Bila toksin tetanus menyerang motor end plate maka efeknya adalah
menghambat pengeluaran asetilkolin. Sedangkan pada medulla spinalis, toksin ini
mempengaruhi alfa dan gamma motor neuron dengan efek menghalangi jalur
inhibisi sehingga akan timbul eksitasi sentral, rigiditas, dan spastik. Syaraf otak
yang dikenai akan menimbulkan gejala yang spesifik, nervus V (trismus), nervus
VII (risus sardonikus, hipersalivasi), nervus X dan XII (dysfagia), nervus VIII
(hiperacusis).10
Pada umumnya syaraf otonom yang lebih sering diserang adalah sistem
simpatis, dengan timbulnya simpatetik-overactivity oleh karena diinhibisi dari
discharge simpatis.9
2.1.4. Gejala Klinis
Trismus, berupa kekakuan otot masseter yang menyebabkan kesukaran
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu
seperti mulut ikan dan bayi tidak bisa menetek.
Risus sardonikus, keadaan dimana dahi mengkerut, mata agak tertutup,
sudut mulut keluar dan ke bawah. Opistotonus, berupa kekakuan otot-otot yang
menunjang tubuh seperti otot leher, punggung, otot dinding perut juga menjadi
kaku. Bila kekakuan makin berat maka timbul kejang umum yang mula-mula
hanya terjadi setelah adanya rangsangan seperti rabaan yang kasar, sinar yang
kuat, bunyi yang kuat, dan sebagainya. Tetapi lambat laun masa istirahat kejang
makin pendek sehingga penderita jatuh ke dalam status konvulsikus. Pada
keadaan seperti ini dapat terjadi gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-
menerus ataupun oleh kekuatan otot-otot laring, penderita tidak bernafas.
hipoksia, dan sianosis. Dan apabila hal ini telah terjadi unit perawatan intensif
akan dilibatkan.8
Rangsangan pada saraf simpatis akan menimbulkan sympathetic over
activity (SOA) dan gejala yang timbul dapat berupa hipertensi, takikardi, aritmia,
febris tinggi, keringat banyak, retensi alvi dan urin. Hipotensi dan bradikardi pada
6
kasus-kasus yang berat dan sangat berat dapat terjadi dengan penyebab yang
belum jelas. Mungkin terjadi sebagai efek lain dari tetanus pada sistem otonomik,
termasuk terganggunya refleks pada baroreseptor. Dan yang perlu diingat bahwa
kesadaran penderita tetanus masih tetap baik.9
Variasi Klinis yang lain:
Tetanus neonatorum: tetanus yang terjadi pada neonatus dengan periode
inkubasi yang pendek, penularan melalui tali pusat dengan mortalitas 70%.
Tetanus terlokalisir: jarang dijumpai, gejalanya ringan dengan mortalitas
1%. Tanda dan gejala terbatas pada ekstremitas atau otot saja dan mungkin
bisa sebagai akibat pemberian imunisasi.
Cephalic tetanus: jarang dijumpai, penularan melalui cidera kepala, infeksi
mata, atau otitis media. Syaraf otak sering dikenai dan prognosanya jelek.
Tetanus pada pecandu narkotika: tendensi dengan prognosa yang jelek dan
mortalitas yang tinggi.11
2.1.5. Klasifikasi
Tetanus Lokal (Localized Tetanus)
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Localized tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
7
Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.3
Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa risus sardonicus (sardonic grin) yakni spasme otot-otot
muka; opistotonus (kekakuan otot punggung), dan kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,
sianosis asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urin, kompresi fraktur dan
pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitu pun bisa mencapai 40°C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya
meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.12
Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C. tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan
dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus.
8
Gradasi tetanus dibagi sebagai berikut:11
Kriteria Gradasi Klinis Pengelolaan
Mild Grade 1 Dysfagia (-),
kesulitan bernafas
(-)
Sedatif, opioid
Moderate Grade 2 Spastisitas (+),
gangguan menelan
(+), gangguan
bernafas (+)
Sedatif, opioid,
trakheostomi
Severe Grade 3a Gross spaticity (+),
spasme (+++)
Sedatif, opioid,
trakheostomi,
paralyse, IPPV
Very Severe Grade 3b 3a + symphatetic
over activity
Sedatif, opioid,
trakheostomi,
paralyse, IPPV,
adrenergic blocker
Klasifikasi atau gradasi tetanus yang lain diajukan oleh Phillips & Lonnd,
menggunakan sistem skoring yang terdiri dari 2 tabel. Tabel 1 berisi faktor-faktor
yang menentukan beratnya penyakit (Severity Index), dengan penilaian sebagai
berikut:10
24 Very severe disease, kematian sebagai dugaan out come
15-23 Severe disease, out come (survive) bergantung kepada kualitas
pengelolaan
10-14 Dengan perawatan standart seharusnya sembuh (suvive)
<10 Recovery spontan
Tabel 2 berisi faktor-faktor yang menentukan perjalanan penyakit dan
sekaligus memberikan gambaran respon terhadap pengobatan yang diberikan.
9
Penilaian dapat dilakukan dari waktu ke waktu. Semakin tinggi skor, makin jelek
prognosanya.10
Tabel 1
Faktor yang menentukan beratnya penyakit (severity index)10
Faktor Nilai
Masa inkubasi < 48 jam
2-5 hari
5-10 hari
10-14 hari
>14 hari
5
4
3
2
1
Tempat infeksi Umbilikus
Kepala, leher, dinding tubuh
Perifer proksimal
Perifer distal
Tidak diketahui
5
4
3
2
1
Status imunisasi Belum pernah
Mungkin pernah atau ibunya di imunisasi
Pernah >10 tahun
Pernah <10 tahun
Imunisasi lengkap
10
8
4
2
0
Faktor penyulit Trauma yang mengancam jiwa, neonatus
Trauma berat yang tidak segera mengancam
jiwa
Trauma yang tidak mengancam jiwa
Trauma ringan
ASA grade 1
10
8
4
2
0
Tabel 2
10
Faktor yang menentukan perjalanan penyakit10
Faktor Nilai
Derajat (beratnya
spasme)
Opistotonus
Spasme seluruh tubuh
Spasme terbatas
Spastic umum
Hanya trismus
5
4
3
2
1
Frekuensi spasme Spontan >3 kali/15 menit
Spontan <3 kali/15 menit
Spontan kadang-kadang
Dengan rangsangan <6 kali/12 jam
5
4
3
2
1
Temperatur tubuh
(derajat celcius)
< 36,6 - >38,9
38,3 – 38,8
37,8 – 38,2
37,2 – 37,7
36,7 – 37,1
10
8
4
2
0
Pernafasan Trakheostomi
Apnik setelah tip spasme
Apnea kadang-kadang setelah
spasme
Apnea selama spasme saja
Pengaruhnya sedikit
10
8
4
2
0
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, yaitu berupa:14
1. Gejala klinis: kejang, trismus, dysphagia, risus sardonicus (sardonic smile),
opistotonus.
11
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan atau tidak
disadari.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab: SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria. Level serum
cholinesterase menurun pada tetanus, kemungkinan disebabkan efek
tetanospasmin.13
2.1.7. Diagnosis Banding15
Penyakit Gambaran Differensial
INFECTIONS
Meningoencephalitis
Polio
Rabies
Lesi oropharyngeal
Peritonitis
Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Trismus tidak ada, paralise tipe flaccid, abnormal CSF
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharyngeal spasm
Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
KELAINAN
METABOLIK
Tetany
Keracunan Strychnine
Reaksi Phenothiazine
Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hypocalcemia
Relaksasi komplit diantara spasme
Dystonia, respon dengan diphenhydramine
PENYAKIT CNS
Status Epilepticus
Hemorrhage tumor
Sensorium depresi
Trismus tidak ada, sensorium depresi
KELAINAN
PSYCHIATRIC
Hysteria Trismus inkontan, relaksasi komplit diantara spasme
KELAINAN
MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya lokal
12
2.1.8. Prognosis
Prognosis tetanus diklasikasikan dari tingkat keganasannya dimana:5
1. Ringan: bila tidak adanya kejang umum (generalized spasm)
2. Sedang: bila sekali muncul kejang umum
3. Berat: bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa lebih
pendek
atau pun lebih panjang.Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya
masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek5.
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan
otot-otot pemafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan
atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain
itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.16
2.1.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran
toksin, mencegah spasme otot, dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.
Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:5
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika di sekitar luka disuntik
ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat
diberikan
personde atau parenteral.
13
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti cahaya dan suara.
4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Obat- obatan
Antitoksin
Pada dasarnya antitoksin tetanus terbagi 2
a. Heterologus antitoksin (ATS)
b. Tetanus immunoglobulin (Human)
Heterologus antitoksin diambil dari serum kuda yang telah divaksinasi
sebelumnya. Pemberian ATS ini dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas yang
hebat sampai dapat menimbulkan anafilaktik shock. Oleh sebab itu harus di test
terlebih dahulu. ATS hanya efektif pada luka baru kurang dari 6 jam dan harus
dilanjutkan dengan imunisasi aktif. ATS bertahan didalam darah 7-14 hari.
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS adalah 10.000 – 20.000 IU IM,
atau 500-1000 IU/KgBB secara intravena.
Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) diambil dari serum manusia.
HTIG jarang sekali menimbulkan reaksi hipersensitivitas, kalaupun ada reaksi
yang ditimbulkan sangat ringan. HTIG bertahan 1 bulan didalam darah, untuk
pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian
saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena HTIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan
reaksi allergi yang serius.5
Tetanus Toksoid
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1x sebulan selama
3 bulan berturut-turut. Booster diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan
ketiga imunisasi dasar. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan
bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.Pemberian biasanya diberikan pada
14
penderita luka saat terjadi cedera baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai
booster.5
Antibiotika
Pemberian metrodinazol dianjurkan karena merupakan antibiotik untuk bakteri
anaerob dengan dosis inisial 15mg/kgBB secara intravena dilanjutkan dosis 30
mg/kgBB/hari selama 7-10 hari. Dapat juga diberikan parenteral Peniciline 1,2
juta unit/hari/IM selama 10 hari. Bila sensitif terhadap Peniciline, obat dapat
diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis).
Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C. tetani, bukan untuk toksin yang
dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.5,13
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasme beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi. Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti
konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini
diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2–4 jam. Pemberian
berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang.1
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal
pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam
pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah
20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3
jam). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus
berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat
teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance).1
15
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat,
dan
ini dipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10-
15% dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara
drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan
dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang
terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang,
dipertahankan selama 2-3 hari dan diturunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam kejang masih
terjadi sedangkan dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan.1
Pengobatan menurut Adam .R.D. adalah pada saat onset:5
- 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja.
- 1,2 juta unit procaine penicilin sehari selama 10 hari secara intramuscular. Jika
alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi).
- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan tracheostomi. Ini harus
dilakukan untuk mencegah sianosis dan apnoe.
- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg
setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan
respirator.
Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:1
- Kasus ringan:
Penderita tanpa sianosis:
Dapat diberikan barbiturate secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat:
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team)
16
2. Dilakukan intubasi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap
satu jam dan setiap 3 hari.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga
dengan respirator.
4. Ubah posisi penderita atau miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah konjungtivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi kalori, dan tinggi protein.
6. Pasang kateter urin.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum, dan AGDA.
8. Rontgen foto thorax.
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya.
Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
2.2. Primary Survey
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini
disebut
survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan
serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistem tubuh yang
cedera.
2.2.1. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Melihat apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dengan bebas atau tidak. Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Triple airway maneuver (Head tilt, chin lift, jaw thrust
• Suction
• Pemasangan oropharyngeal/ nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan
mempertahankannya agar tetap bebas.
17
1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan
nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan
dan bantuan pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya
adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada
maka pada waktu intubasi trakhea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi
dengan imobilisasi in-line.
2. Berikan oksigen dengan nassal prong atau simple mask sesuai kebutuhan.
3. Menilai jalan nafas
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Snoring, gargling, crowing
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
• Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan
• Sianosis
Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Jangan memberikan obat
sedativa pada pasien seperti ini.
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan.
Indikasi tindakan ini adalah :
• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
• Apnea
• Hipoksia
• Trauma kepala berat
• Trauma dada
• Trauma wajah / maxillo-facial
Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi.
2.2.2. Breathing
18
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan. Berikan oksigen jika ada.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil.
Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.
• Inspeksi/lihat frekwensi nafas (LOOK)
Adakah hal-hal berikut :
. Sianosis
. Luka tembus dada
. Flail chest
. Sucking wounds
. Gerakan otot nafas tambahan
• Palpasi / raba (FEEL)
. Pergeseran letak trakhea
. Patah tulang iga
. Emfisema kulit
. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks
• Auskultasi / dengar (LISTEN)
. Suara nafas, detak jantung, bising usus
. Suara nafas menurun pada pneumotoraks
. Suara nafas tambahan / abnormal
• Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara
dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan
sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan
krikotiroidotomi.
Catatan Khusus:
• Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil.
19
• Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan
dengan jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera.
Lakukan pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah
klavikula. Pertahankan posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.
• Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan
krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis
yang ada dan kelengkapan alat. Jangan terlalu lama mencoba intubasi tanpa
memberikan ventilasi
2.2.3. Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai. Syok adalah
keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma
keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.
Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis, yaitu: hipotensi, takhikardia,
takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler
(capillary refill) dan penurunan produksi urine.
Jenis-jenis syok :
Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah
atau cairan
tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan
pada
trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :
• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
• Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
20
Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain
akibat :
• Kontusioo miokard
• Tamponade jantung
• Pneumotoraks tension
• Luka tembus jantung
• Infark miokard
Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat
direkam.
Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat
cedera sumsum
tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta
takhikardiaa atau vasokonstriksi.
Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering
menjadi
penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ
ganda). Paling
sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar. Hipovolemia
adalah keadaan darurat mengancam jiwa.
Langkah-langkah resusitasi sirkulasi:
Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena
penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan
prioritas.
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula
besar
(14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena
hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
21
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan
darah.
Urine
Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi
jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok
lama sebaiknya dipasang kateter urine.
Transfusi darah
Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko
ketidak sesuaian
golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga
ada meski donornya adalah keluarga sendiri.
Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil
meskipun telah
mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak
tersedia,
dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif).
Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g/dl jika pasien masih terus berdarah.
Prioritas pertama adalah hentikan perdarahan.
• Cedera pada anggota gerak :
Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma
reperfusi dan
menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu
sering disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi
dapat dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan
manual pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata)
diseluruh bagian anggota gerak tersebut. Kehilangan darah adalah penyebab
utama dari syok yang diderita pasien trauma.
• Cedera dada
22
Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan
chest tube/pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan
penghisapan berkala,
ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru berkembang kembali
sekaligus menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin
I.V.
• Cedera abdomen
Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila
resusitasi
cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90 mmHg. Pada
waktu DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk menekan dan
menyumbat sumber perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada
garis tengah hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan
menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya
dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau mungkin oleh
perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini harus
dipelajari lebih dahulu namun jika dikerjakan cukup baik pasti akan
menyelamatkan nyawa.
Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan
ketamin.
• Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan
darah berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung
baik pada
suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi
pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien
mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu
pencegahan hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus
dipanaskan 40-42 C. Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan.
• Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian
perdarahan tidak definitive atau tidak meyakinkan volume diberikan dengan
menjaga tekanan sistolik
23
antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi.
• Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil penelitian terbaru
dengan
kelompok kontrol menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid
dibandingkan elektrolit untuk resusitasi cairan.
• Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan efisien jika
pasien masih
memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang diminum harus
rendah gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan penarikan osmotik
dari mukosa usus sehingga timbullah efek negatif. Diluted cereal porridges yang
menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.
• Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis
berulang 0,2
mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak mengurangi gag
reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.
2.2.4. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow
Coma Scale.
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.
2.2.5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera
yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus dikerjakan.19
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
2. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13
th,McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.
3. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,
1987, 49- 51.
4. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp.
Neurobase,1993, 1- 13.
5. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed
1997, 1205-1207.
6. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson,
W.B.Saunders Company, 1996, 815 -817.
7. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E ,
eds. Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders
Company, 1987, 617 - 620.
8. Bell WE, Mc. Cormick WF,: Neurologic Infection in Children, WB.
Saunders Coy. 1975 pp. 124-134
9. Churcill-Davidson HC: Apractice of Anaesthesia. PG Publishing Pte. Ltd.
Singapore, 5 th.ed.1986, pp. 377-390
10. Rothsein RJ, Baker II FJ: Tetanus, prevention and treatment. JAMA. Aug.
1978 vol. 240 no. 7. pp. 675-676
11. Armitage P, Clifford R: Prognosis in Tetanus: Use of data from
therapeutic trials. The Journal of Infectious diseases vol. 138 no. 1: 1978,
pp. 1-8
12. Marino, Paul L. ICU Book, The 3rd Edition, New York: Lippincott
Williams & Wilkins, 2007.
13. American Collage of Surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Student Course Manual, Ninth Edition, United States of America: Library
25
of Congress Control, 2012.Sanders RKM, Martyn B et.al: Intra thecal anti
tetanus serum (Horse) in the treatment of tetanus, The Lancet May 1977.
pp. 974-977
14. Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infection prophylaxjs, Emergent Management
of Trauma, 1 th ed, McGrawhill, Toronto, 1996, 437-438.
15. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24
th, American Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press
Ltd, New York, 1991, 603 -620..
16. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious
diiseases of children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490
17. Butterworth, John F., Mackey, David C., Wasnick, John D. Morgan
& Mikhail’s Clinical Anesthesiology, Fifth Edition, United States:
McGraw-Hill Education, 2013
18. http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/
PTC_INDO.pdf
Lampiran 1
1. Anamnesis
KU : Penurunan Kesadaran
Telaah : Hal ini dialami os setengah jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya os mengendarai sepeda motor lalu menabrak trotoar. Os tidak
sadarkan diri mulai dari saat kejadian. Os juga mengeluarkan darah dari
2 April 2015 (03.25)Pasien masuk IGD RSUP HAM
2 April 2015 (03.30)Pasien dibawa ke ruang resusitasi (blue line) IGD RSUP HAM
26
telinga kirinya. Mual dan muntah tidak dijumpai. Pasien langsung dibawa
ke Rumah Sakit Haji Adam Malik.
RPT : -
RPO : -
Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)
Pemeriksaan Fisik dan Penanganan saat di IGD pukul 03.30
Gejala & Tanda Kesimpulan Penanganan Hasil
A (Airway)
Airway : unclear
Snoring (+)
Gargling (-)
Crowing (-)
SpO2 : 90%
Obstruksi
saluran nafas
1. Memastikan
jalan nafas
dengan triple
airway
maneuver (jaw
thrust)
2. Dilakukan
suctioning
3. Dilakukan
pemasangan
colar brace
Airway clear,
snoring
menghilang,
SpO2 : 94%
B (Breathing) Takipneu 1. Dilakukan Pernafasan
27
Napas spontan (+)
RR : 24 x/menit
Retraksi dada (-)
Jejas di thoraks (-)
SP : Vesikuler
ST : (-)
pemasangan
non-
rebreathing
mask dengan
oxygen flow
10 L/menit.
membaik,
RR=20x/i,
SpO2 : 94%
C (Circulation)
CRT <3”
Akral : Hangat,
Merah, Kering
t/v cukup
TD : 100/70 mmHg
HR : 100 x/i
Sirkulasi
normal
1. Memasang IV
line 18 G 1
buah di tangan
2. Diberi cairan
kristaloid RL
(Ringer
Laktat) 20 gtt/i
Sirkulasi normal
D (Disability)
Sensorium :
Unresponsive
Kesadaran
menurun
Pertahankan A-B-C
clear
Kesadaran
menurun
E (Exposure)
Didapati perdarahan
yang keluar dari
telinga kiri
Pendarahan (+)
(volume : 1
kasa)
28
Secondary Survey
B1 (breathing)
Airway : Unclear, S/G/C : +/-/-, RR = 24 x/i, SP : vesikuler, ST : -,
Malampati : sdn, Gerak leher : terbatas, Asma/Sesak/Batuk/Alergi : -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : dingin, merah, kering, TD : 100/70 mmHg, HR: 100 x/i, CRT :
<3”, t/v cukup, SpO2 : 94%
B3 (Brain)
Sensorium : Sopor, GCS : 7 (E1M4V2), Pupil : isokor, ka/ki : 3mm/3mm,
Refleks cahaya : +/+
B4 (Bladder)
UOP : 550 cc, Kateter terpasang
B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel, Peristaltik (+)
B6 (Bone)
Oedem : -, Fraktur : -
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hematologi
a. Hb : 12,40 gr%
b. Leukosit : 18.950 /mm3
c. Ht : 38,10 %
d. PLT : 315.000 /mm3
2. Analisa Gas Darah
29
a. pH : 7,290
b. pCO2 : 42.0 mmHg
c. pO2 : 140.4 mmHg
d. HCO3 : 19,7 mmol/L
e. Total CO2 : 21.0 mmol/L
f. BE : -6,4 mmol/L
g. Saturasi O2 : 98.7%
3. Metabolisme Karbohidrat
a. KGD Sewaktu : 91,5 mg/dL
4. Renal Function Test
a. Ureum : 29,90 mg/dL
b. Kreatinin : 0,90 mg/dL
5. Elektrolit
a. Natrium (Na) : 144 mEq/L
b. Kalium (K) : 5.3 mEq/L
c. Klorida (Cl) : 106 mEq/L
6. Hemostasis
a. PT : Pasien (18,9) Kontrol (13.50)
b. INR : 1.41
c. APTT : Pasien (25.5) Kontrol (34.0)
d. TT : Pasien (17.7) Kontrol (17.2)
Penanganan di IGD
Tanggal S O A P
2/4/2015 Mulut
sulit
dibuka
B1 (breathing)
Airway : Unclear,
S/G/C : +/-/-, RR = 24
EDH - Pemberian O2
non-rebreathing
mask 10L
30
x/i, SP : vesikuler, ST : -,
Malampati : sdn, Gerak
leher : terbatas,
Asma/Sesak/Batuk/Alergi
: -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : hangat, merah,
kering, TD : 100/70
mmHg, HR: 100 x/i,
CRT : <3”, t/v cukup,
SpO2 : 94%
B3 (Brain)
Sensorium : Sopor, GCS :
7 (E1M4V2), Pupil :
isokor, ka/ki : 3mm/3mm,
Refleks cahaya : +/+
B4 (Bladder)
UOP : 550 cc, Kateter
terpasang
B5 (Bowel)
Abdomen : kaku/distensi,
Peristaltik (+)
B6 (Bone)
Oedem : -, Fraktur : -
- IVFD RL 20gtt/i
31
Permasalahan dan Pembahasan
1. Pada tanggal 2 April 2015 pukul 03.30, pasien dibawa ke ruang
resusitasi IGD RS.H.Adam Malik dengan penurunan kesadaran ->
Pada airway dijumpai Snoaring (+), SpO2: 90% -> Dilakukan
pembebasan jalan nafas dengan triple airway maneuver kemudian
dilakukan suctioning dan pemasangan colar brace→ Hasil : Airway
unclear, SpO2: 94%
2. Napas spontan (+), RR: 24x/menit, SP: vesikuler, ST: (-), dan
retraksi dada (-) → diberikan oksigen 10L/menit melalui NRM.
Hasil : RR 20x/i
3. Dilakukan pemasangan 1 IV line 18G dengan cairan kristaloid
(Ringer Laktat) sebanyak 20gtt/i → Akral: Hangat, Merah, Kering
dengan TD:100/70mmHg , HR: 100x/i
4. Sensorium : Sopor, dengan GCS : 7 (E1M4V2) dengan pupil isokor
diameter ka:3mm/ki:3mm, RC +/+ → dijumpai penurunan
kesadaran → mempertahankan A-B-C clear → Pasien masih
penurunan kesadaran dengan GCS : 7 (E1M4V2).
5. Pada telinga kiri didapati perdarahan dengan volume ± 1 kasa.
Lampiran 2
Pembahasan
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan
laboratorium yang tidak spesifik. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan
hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat. Spasme paroksimal
32
dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki
riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat
imunisasi tetanus toksoid yang jelas.
Diagnosis pada pasien ini sudah sesuai teori dimana dijumpai tanda-tanda
klinis yaitu trismus dan spasme otot. Serta dijumpai luka tertusuk paku dikaki
yang diduga sebagai sumber masuknya bakteri C. tetani. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Setelah diagnosis tetanus dibuat,
tetukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring yang dapat
digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakkar, Ablett, dan Udwadia. Sistem
skoring juga sekaligus dapat menentukan prognosis.
Pada pasien tetanus, prioritas penanganan yang logikal dan sekuensial harus
dilakukan berdasarkan seluruh penilaian pasien. Fungsi vital pasien harus dinilai
dengan cepat dan efisien. Penanganan termasuk primary survey, resusitasi dari
fungsi vital, secondary survey yang lebih detail, dan akhirnya terapi definitif.
Pada primary survey dikenal ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan proritas
penanganan. Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien yang
bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat dan sistematis dan mengambil
tindakan terhadap setiap permasalahan yang mengancam jiwa. Resusitasi agresif
dan penatalaksanaan trauma yang mengancam jiwa sangat penting untuk
memaksimalkan survival pasien.16
Tambahan pada primary survey meliputi monitoring EKG, laju pernapasan,
analisa gas darah, tekanan darah, dan monitoring urine output. Secondary survey
dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan ABC pasien
dipastikan membaik.Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki,
termasuk re-evaluasi tanda vital. Dalam secondary survey mungkin akan
dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik misalnya CT-Scan kepala,
dada, abdomen dan spine, urografi, angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi
33
dan prosedur diagnostik lain. Pasien pada kasus sudah ditangani berdasarkan
primary survey dan secondary survey dengan hasil pasien mencapai kestabilan.16
Untuk penatalaksanaan secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum dan
khusus. Untuk tatalaksana umum yang harus diperhatikan:
a. Menjaga saluran nafas agar tetap bebas
b. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama
c. Tercukupinya cairan dan nutrisi
Untuk penatalaksanaan khusus sendiri, terdiri dari pemberian ATS atau HTIG dan
antibiotik. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin
yang beredar didalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Pada
penelitian di indonesia, metrodinazol menjadi terapi pilihan yang digunakan
dibeberapa pelayanan kesehatan. Metrodinazol efektif untuk mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Untuk perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk,
luka kotor atau luka yang diduga tercemar oleh spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan untuk mencegah timbulnya jaringan anaerob, sehingga jaringan
nekrotik dan benda asing harus dibuang.