49
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di bawah kondisi anaerob yang menguntungkan, seperti kotor, luka nekrotik, bacillus ini dapat menghasilkan tetanospasmin, suatu neurotoksin yang sangat kuat. Toksin tetanus menghambat neurotransmitter inhibitory dalam sistem saraf pusat, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang yang khas. Penyakit ini dapat mempengaruhi setiap kelompok usia. Tidak ada kekebalan alami terhadap tetanus; perlindungan dapat diberikan dengan imunisasi aktif dengan tetanus toksoid yang mengandung vaksin atau pemberian antibodi anti- tetanus. 1 Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Imunisasi tetanus telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak

EDH JIMMY

Embed Size (px)

DESCRIPTION

EDH

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat. Di bawah kondisi anaerob yang menguntungkan, seperti kotor,

luka nekrotik, bacillus ini dapat menghasilkan tetanospasmin, suatu neurotoksin

yang sangat kuat. Toksin tetanus menghambat neurotransmitter inhibitory dalam

sistem saraf pusat, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang yang khas. Penyakit

ini dapat mempengaruhi setiap kelompok usia. Tidak ada kekebalan alami

terhadap tetanus; perlindungan dapat diberikan dengan imunisasi aktif dengan

tetanus toksoid yang mengandung vaksin atau pemberian antibodi anti-tetanus.1

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,

juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit

(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.

Imunisasi tetanus telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas

terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster

jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus.

Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya

prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang. Di negara berkembang,

mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000 -

1.000.000 orang per tahun. Tetanus masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk

serta fasilitas intensive care unit (ICU) yang tidak selalu tersedia.2

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus: (1) membuang sumber

tetanospasmin; (2) netralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang

(suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan habis

dimetabolisme. Sebagian besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan

2

suportif di ICU. Keberhasilan terapi suportif akan menentukan outcome,di

samping faktor beratnya penyakit.3

1.2. Rumusan Masalah

Laporan kasus ini membahas tentang definisi, etiologi, cara penularan,

penanganan utama (primary survey) serta evaluasi sekunder (secondary survey)

pada keadaan gawat darurat akibat tetanus.

1.3. Tujuan Penulisan

1. Memahami definisi, etiologi, cara penularan, penanganan utama (primary

survey) dan secondary survey pada gawat darurat akibat tetanus.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi

Dokter (P3D) di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tetanus

2.1.1. Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat.1 Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik

yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang

diproduksi oleh Clostridium tetani.5

Tetanus disebut juga dengan "Seven day disease". Dan pada tahun 1890,

ditemukan toksin seperti strychnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,

yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan

mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.4

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada

kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali

pusat (Tetanus Neonatorum).5,6,7

2.1.2. Etiologi

Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani, sejenis kuman bentuk batang,

anaerobik, gram positif, membentuk spora. Spora ini tahan terhadap panas,

kekeringan, desinfektan, dan dapat bertahan selama bertahun-tahun yang dapat

berubah menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan eksotoksin. Spora ini

berkembang di bawah kondisi anaerob, seperti pada keadaan kerusakan jaringan

yang hebat, luka tusuk yang dalam, nekrosis, infeksi dengan adanya benda asing

(korpus alienum).8

Bakteri ini dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada

manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut.

Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi

luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan

4

memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin.5

Toksin yang dihasilkan terdiri dari:9

1. Tetanolysin, yang menyebabkan hemolisis in vitro. Toksin jenis ini tidak

memegang peranan dalam terjadinya tetanus.

2. Tetanospasmin, suatu neurotoksin yang sangat protein, yang menimbulkan

sindroma klinis dari tetanus.

Kadar 0,1 mg dapat menimbulkan kematian pada orang dewasa.

2.1.3. Patogenesis

Mekanisme perjalanan toksin tetanus dari daerah luka sampai dengan site

of action masih kontroversial. Teori yang disampaikan antara lain:8

Migrasi sentri-petal sepanjang trunkus syaraf motorik mencapai CNS

Penyebaran hematogen

Tetanospasmin didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah

kemudian lewat peripheral motor neuron mencapai CNS yang kemudian toksin ini

terikat pada gangliosides. Symptom tetanus muncul bila toksin ini telah melewati

synaptic cleft ke presinaptik terminal dan interneuron spinalis. Efek utamanya

adalah menghalangi inhibisi refleks spinal.8

Alfa dan gamma motor neuron dipengaruhi, menyebabkan meningkatnya

tonus otot dengan eksaserbasi paroksismal yang menimbulkan spasme spontan

atau oleh adanya stimulus eksternal.8

Tetanospasmin menyerang 4 (empat) area susunan saraf, yaitu:8

Skeletal muscle motor end plate

Medulla spinalis

Otak dan syaraf otak

Syaraf simpatis

5

Bila toksin tetanus menyerang motor end plate maka efeknya adalah

menghambat pengeluaran asetilkolin. Sedangkan pada medulla spinalis, toksin ini

mempengaruhi alfa dan gamma motor neuron dengan efek menghalangi jalur

inhibisi sehingga akan timbul eksitasi sentral, rigiditas, dan spastik. Syaraf otak

yang dikenai akan menimbulkan gejala yang spesifik, nervus V (trismus), nervus

VII (risus sardonikus, hipersalivasi), nervus X dan XII (dysfagia), nervus VIII

(hiperacusis).10

Pada umumnya syaraf otonom yang lebih sering diserang adalah sistem

simpatis, dengan timbulnya simpatetik-overactivity oleh karena diinhibisi dari

discharge simpatis.9

2.1.4. Gejala Klinis

Trismus, berupa kekakuan otot masseter yang menyebabkan kesukaran

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu

seperti mulut ikan dan bayi tidak bisa menetek.

Risus sardonikus, keadaan dimana dahi mengkerut, mata agak tertutup,

sudut mulut keluar dan ke bawah. Opistotonus, berupa kekakuan otot-otot yang

menunjang tubuh seperti otot leher, punggung, otot dinding perut juga menjadi

kaku. Bila kekakuan makin berat maka timbul kejang umum yang mula-mula

hanya terjadi setelah adanya rangsangan seperti rabaan yang kasar, sinar yang

kuat, bunyi yang kuat, dan sebagainya. Tetapi lambat laun masa istirahat kejang

makin pendek sehingga penderita jatuh ke dalam status konvulsikus. Pada

keadaan seperti ini dapat terjadi gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-

menerus ataupun oleh kekuatan otot-otot laring, penderita tidak bernafas.

hipoksia, dan sianosis. Dan apabila hal ini telah terjadi unit perawatan intensif

akan dilibatkan.8

Rangsangan pada saraf simpatis akan menimbulkan sympathetic over

activity (SOA) dan gejala yang timbul dapat berupa hipertensi, takikardi, aritmia,

febris tinggi, keringat banyak, retensi alvi dan urin. Hipotensi dan bradikardi pada

6

kasus-kasus yang berat dan sangat berat dapat terjadi dengan penyebab yang

belum jelas. Mungkin terjadi sebagai efek lain dari tetanus pada sistem otonomik,

termasuk terganggunya refleks pada baroreseptor. Dan yang perlu diingat bahwa

kesadaran penderita tetanus masih tetap baik.9

Variasi Klinis yang lain:

Tetanus neonatorum: tetanus yang terjadi pada neonatus dengan periode

inkubasi yang pendek, penularan melalui tali pusat dengan mortalitas 70%.

Tetanus terlokalisir: jarang dijumpai, gejalanya ringan dengan mortalitas

1%. Tanda dan gejala terbatas pada ekstremitas atau otot saja dan mungkin

bisa sebagai akibat pemberian imunisasi.

Cephalic tetanus: jarang dijumpai, penularan melalui cidera kepala, infeksi

mata, atau otitis media. Syaraf otak sering dikenai dan prognosanya jelek.

Tetanus pada pecandu narkotika: tendensi dengan prognosa yang jelek dan

mortalitas yang tinggi.11

2.1.5. Klasifikasi

Tetanus Lokal (Localized Tetanus)

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada

daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah

merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa

bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara

bertahap.

Localized tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi

dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini

dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal

ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

7

Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di

India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam

rongga hidung.3

Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi

yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-

diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang

disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot

leher yang

menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.

Gejala lain berupa risus sardonicus (sardonic grin) yakni spasme otot-otot

muka; opistotonus (kekakuan otot punggung), dan kejang dinding perut. Spasme

dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,

sianosis asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urin, kompresi fraktur dan

pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi

begitu pun bisa mencapai 40°C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,

tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya

meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.12

Neonatal Tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat

sewaktu

proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah

terkontaminasi spora C. tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat

yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan

dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor yang utama dalam

terjadinya neonatal tetanus.

8

Gradasi tetanus dibagi sebagai berikut:11

Kriteria Gradasi Klinis Pengelolaan

Mild Grade 1 Dysfagia (-),

kesulitan bernafas

(-)

Sedatif, opioid

Moderate Grade 2 Spastisitas (+),

gangguan menelan

(+), gangguan

bernafas (+)

Sedatif, opioid,

trakheostomi

Severe Grade 3a Gross spaticity (+),

spasme (+++)

Sedatif, opioid,

trakheostomi,

paralyse, IPPV

Very Severe Grade 3b 3a + symphatetic

over activity

Sedatif, opioid,

trakheostomi,

paralyse, IPPV,

adrenergic blocker

Klasifikasi atau gradasi tetanus yang lain diajukan oleh Phillips & Lonnd,

menggunakan sistem skoring yang terdiri dari 2 tabel. Tabel 1 berisi faktor-faktor

yang menentukan beratnya penyakit (Severity Index), dengan penilaian sebagai

berikut:10

24 Very severe disease, kematian sebagai dugaan out come

15-23 Severe disease, out come (survive) bergantung kepada kualitas

pengelolaan

10-14 Dengan perawatan standart seharusnya sembuh (suvive)

<10 Recovery spontan

Tabel 2 berisi faktor-faktor yang menentukan perjalanan penyakit dan

sekaligus memberikan gambaran respon terhadap pengobatan yang diberikan.

9

Penilaian dapat dilakukan dari waktu ke waktu. Semakin tinggi skor, makin jelek

prognosanya.10

Tabel 1

Faktor yang menentukan beratnya penyakit (severity index)10

Faktor Nilai

Masa inkubasi < 48 jam

2-5 hari

5-10 hari

10-14 hari

>14 hari

5

4

3

2

1

Tempat infeksi Umbilikus

Kepala, leher, dinding tubuh

Perifer proksimal

Perifer distal

Tidak diketahui

5

4

3

2

1

Status imunisasi Belum pernah

Mungkin pernah atau ibunya di imunisasi

Pernah >10 tahun

Pernah <10 tahun

Imunisasi lengkap

10

8

4

2

0

Faktor penyulit Trauma yang mengancam jiwa, neonatus

Trauma berat yang tidak segera mengancam

jiwa

Trauma yang tidak mengancam jiwa

Trauma ringan

ASA grade 1

10

8

4

2

0

Tabel 2

10

Faktor yang menentukan perjalanan penyakit10

Faktor Nilai

Derajat (beratnya

spasme)

Opistotonus

Spasme seluruh tubuh

Spasme terbatas

Spastic umum

Hanya trismus

5

4

3

2

1

Frekuensi spasme Spontan >3 kali/15 menit

Spontan <3 kali/15 menit

Spontan kadang-kadang

Dengan rangsangan <6 kali/12 jam

5

4

3

2

1

Temperatur tubuh

(derajat celcius)

< 36,6 - >38,9

38,3 – 38,8

37,8 – 38,2

37,2 – 37,7

36,7 – 37,1

10

8

4

2

0

Pernafasan Trakheostomi

Apnik setelah tip spasme

Apnea kadang-kadang setelah

spasme

Apnea selama spasme saja

Pengaruhnya sedikit

10

8

4

2

0

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu

istirahat, yaitu berupa:14

1. Gejala klinis: kejang, trismus, dysphagia, risus sardonicus (sardonic smile),

opistotonus.

11

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan atau tidak

disadari.

3. Kultur: C. tetani (+).

4. Lab: SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria. Level serum

cholinesterase menurun pada tetanus, kemungkinan disebabkan efek

tetanospasmin.13

2.1.7. Diagnosis Banding15

Penyakit Gambaran Differensial

INFECTIONS

Meningoencephalitis

Polio

Rabies

Lesi oropharyngeal

Peritonitis

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Trismus tidak ada, paralise tipe flaccid, abnormal CSF

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharyngeal spasm

Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN

METABOLIK

Tetany

Keracunan Strychnine

Reaksi Phenothiazine

Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hypocalcemia

Relaksasi komplit diantara spasme

Dystonia, respon dengan diphenhydramine

PENYAKIT CNS

Status Epilepticus

Hemorrhage tumor

Sensorium depresi

Trismus tidak ada, sensorium depresi

KELAINAN

PSYCHIATRIC

Hysteria Trismus inkontan, relaksasi komplit diantara spasme

KELAINAN

MUSKULOSKELETAL

Trauma Hanya lokal

12

2.1.8. Prognosis

Prognosis tetanus diklasikasikan dari tingkat keganasannya dimana:5

1. Ringan: bila tidak adanya kejang umum (generalized spasm)

2. Sedang: bila sekali muncul kejang umum

3. Berat: bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa lebih

pendek

atau pun lebih panjang.Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya

masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek5.

2.1.9. Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan

otot-otot pemafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan

atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain

itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.16

2.1.10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan

peredaran

toksin, mencegah spasme otot, dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.

Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:5

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan

nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan

H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan

1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika di sekitar luka disuntik

ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat

diberikan

personde atau parenteral.

13

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti cahaya dan suara.

4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Obat- obatan

Antitoksin

Pada dasarnya antitoksin tetanus terbagi 2

a. Heterologus antitoksin (ATS)

b. Tetanus immunoglobulin (Human)

Heterologus antitoksin diambil dari serum kuda yang telah divaksinasi

sebelumnya. Pemberian ATS ini dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas yang

hebat sampai dapat menimbulkan anafilaktik shock. Oleh sebab itu harus di test

terlebih dahulu. ATS hanya efektif pada luka baru kurang dari 6 jam dan harus

dilanjutkan dengan imunisasi aktif. ATS bertahan didalam darah 7-14 hari.

Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS adalah 10.000 – 20.000 IU IM,

atau 500-1000 IU/KgBB secara intravena.

Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) diambil dari serum manusia.

HTIG jarang sekali menimbulkan reaksi hipersensitivitas, kalaupun ada reaksi

yang ditimbulkan sangat ringan. HTIG bertahan 1 bulan didalam darah, untuk

pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian

saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena HTIG mengandung

"anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan

reaksi allergi yang serius.5

Tetanus Toksoid

Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1x sebulan selama

3 bulan berturut-turut. Booster diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan

ketiga imunisasi dasar. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan

bersamaan dengan

pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang

berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai

imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.Pemberian biasanya diberikan pada

14

penderita luka saat terjadi cedera baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai

booster.5

Antibiotika

Pemberian metrodinazol dianjurkan karena merupakan antibiotik untuk bakteri

anaerob dengan dosis inisial 15mg/kgBB secara intravena dilanjutkan dosis 30

mg/kgBB/hari selama 7-10 hari. Dapat juga diberikan parenteral Peniciline 1,2

juta unit/hari/IM selama 10 hari. Bila sensitif terhadap Peniciline, obat dapat

diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam,

tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis).

Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000

unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan

membunuh bentuk vegetatif dari C. tetani, bukan untuk toksin yang

dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad

spektrum dapat dilakukan.5,13

Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik

yang hebat, muscular dan laryngeal spasme beserta komplikaisnya. Dengan

penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat

diatasi. Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti

konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini

diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2–4 jam. Pemberian

berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang.1

Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal

pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam

pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah

20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3

jam). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus

berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat

teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance).1

15

Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat,

dan

ini dipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai

adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10-

15% dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara

drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan

dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang

terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera

dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang,

dipertahankan selama 2-3 hari dan diturunkan lagi secara bertahap, hal ini

dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam kejang masih

terjadi sedangkan dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti

kejang lainnya harus dilakukan.1

Pengobatan menurut Adam .R.D. adalah pada saat onset:5

- 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja.

- 1,2 juta unit procaine penicilin sehari selama 10 hari secara intramuscular. Jika

alergi beri tetracycline 2 gram sehari.

- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi).

- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan tracheostomi. Ini harus

dilakukan untuk mencegah sianosis dan apnoe.

- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.

- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg

setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan

respirator.

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:1

- Kasus ringan:

Penderita tanpa sianosis:

Dapat diberikan barbiturate secukupnyanya untuk mengurangi spasme.

- Kasus berat:

1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team)

16

2. Dilakukan intubasi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap

satu jam dan setiap 3 hari.

3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga

dengan respirator.

4. Ubah posisi penderita atau miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam

mencegah konjungtivitis.

5. Pasang NGT, diet tinggi kalori, dan tinggi protein.

6. Pasang kateter urin.

7. Kontrol serum elektrolit, ureum, dan AGDA.

8. Rontgen foto thorax.

9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan

pemakaiannya.

Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan

beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

2.2. Primary Survey

Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini

disebut

survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan

serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistem tubuh yang

cedera.

2.2.1. Airway

Menilai jalan nafas bebas. Melihat apakah pasien dapat bicara dan

bernafas dengan bebas atau tidak. Jika ada obstruksi maka lakukan :

• Triple airway maneuver (Head tilt, chin lift, jaw thrust

• Suction

• Pemasangan oropharyngeal/ nasopharyngeal airway

• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan

mempertahankannya agar tetap bebas.

17

1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan

nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan

dan bantuan pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya

adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada

maka pada waktu intubasi trakhea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi

dengan imobilisasi in-line.

2. Berikan oksigen dengan nassal prong atau simple mask sesuai kebutuhan.

3. Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

• Snoring, gargling, crowing

• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

• Pasien gelisah karena hipoksia

• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan

• Sianosis

Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Jangan memberikan obat

sedativa pada pasien seperti ini.

4. Menjaga stabilitas tulang leher

5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan.

Indikasi tindakan ini adalah :

• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

• Apnea

• Hipoksia

• Trauma kepala berat

• Trauma dada

• Trauma wajah / maxillo-facial

Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi.

2.2.2. Breathing

18

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas

bebas.

Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :

• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)

• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada

• Pernafasan buatan. Berikan oksigen jika ada.

Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil.

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

• Inspeksi/lihat frekwensi nafas (LOOK)

Adakah hal-hal berikut :

. Sianosis

. Luka tembus dada

. Flail chest

. Sucking wounds

. Gerakan otot nafas tambahan

• Palpasi / raba (FEEL)

. Pergeseran letak trakhea

. Patah tulang iga

. Emfisema kulit

. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks

• Auskultasi / dengar (LISTEN)

. Suara nafas, detak jantung, bising usus

. Suara nafas menurun pada pneumotoraks

. Suara nafas tambahan / abnormal

• Tindakan Resusitasi

Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara

dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan

sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan

krikotiroidotomi.

Catatan Khusus:

• Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil.

19

• Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan

dengan jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera.

Lakukan pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah

klavikula. Pertahankan posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.

• Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan

krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis

yang ada dan kelengkapan alat. Jangan terlalu lama mencoba intubasi tanpa

memberikan ventilasi

2.2.3. Circulation

Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan

nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :

• Hentikan perdarahan eksternal

• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)

• Berikan infus cairan

Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai. Syok adalah

keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma

keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis, yaitu: hipotensi, takhikardia,

takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler

(capillary refill) dan penurunan produksi urine.

Jenis-jenis syok :

Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah

atau cairan

tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan

pada

trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :

• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.

• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.

• Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter

20

Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain

akibat :

• Kontusioo miokard

• Tamponade jantung

• Pneumotoraks tension

• Luka tembus jantung

• Infark miokard

Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat

direkam.

Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat

cedera sumsum

tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta

takhikardiaa atau vasokonstriksi.

Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering

menjadi

penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ

ganda). Paling

sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar. Hipovolemia

adalah keadaan darurat mengancam jiwa.

Langkah-langkah resusitasi sirkulasi:

Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena

penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan

prioritas.

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula

besar

(14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie

2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena

hipotermia

dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.

3. Hindari cairan yang mengandung glukose.

21

4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan

darah.

Urine

Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi

jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok

lama sebaiknya dipasang kateter urine.

Transfusi darah

Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko

ketidak sesuaian

golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga

ada meski donornya adalah keluarga sendiri.

Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil

meskipun telah

mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak

tersedia,

dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif).

Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g/dl jika pasien masih terus berdarah.

Prioritas pertama adalah hentikan perdarahan.

• Cedera pada anggota gerak :

Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma

reperfusi dan

menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu

sering disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi

dapat dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan

manual pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata)

diseluruh bagian anggota gerak tersebut. Kehilangan darah adalah penyebab

utama dari syok yang diderita pasien trauma.

• Cedera dada

22

Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan

chest tube/pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan

penghisapan berkala,

ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru berkembang kembali

sekaligus menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin

I.V.

• Cedera abdomen

Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila

resusitasi

cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90 mmHg. Pada

waktu DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk menekan dan

menyumbat sumber perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada

garis tengah hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan

menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya

dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau mungkin oleh

perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini harus

dipelajari lebih dahulu namun jika dikerjakan cukup baik pasti akan

menyelamatkan nyawa.

Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan

ketamin.

• Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan

darah berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung

baik pada

suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi

pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien

mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu

pencegahan hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus

dipanaskan 40-42 C. Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan.

• Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian

perdarahan tidak definitive atau tidak meyakinkan volume diberikan dengan

menjaga tekanan sistolik

23

antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi.

• Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil penelitian terbaru

dengan

kelompok kontrol menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid

dibandingkan elektrolit untuk resusitasi cairan.

• Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan efisien jika

pasien masih

memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang diminum harus

rendah gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan penarikan osmotik

dari mukosa usus sehingga timbullah efek negatif. Diluted cereal porridges yang

menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.

• Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis

berulang 0,2

mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak mengurangi gag

reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.

2.2.4. Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons

terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow

Coma Scale.

AWAKE = A

RESPONS BICARA (verbal) = V

RESPONS NYERI = P

TAK ADA RESPONS = U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

2.2.5. Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera

yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka

imobilisasi in-line harus dikerjakan.19

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.

2. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13

th,McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.

3. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,

1987, 49- 51.

4. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp.

Neurobase,1993, 1- 13.

5. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed

1997, 1205-1207.

6. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson,

W.B.Saunders Company, 1996, 815 -817.

7. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E ,

eds. Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders

Company, 1987, 617 - 620.

8. Bell WE, Mc. Cormick WF,: Neurologic Infection in Children, WB.

Saunders Coy. 1975 pp. 124-134

9. Churcill-Davidson HC: Apractice of Anaesthesia. PG Publishing Pte. Ltd.

Singapore, 5 th.ed.1986, pp. 377-390

10. Rothsein RJ, Baker II FJ: Tetanus, prevention and treatment. JAMA. Aug.

1978 vol. 240 no. 7. pp. 675-676

11. Armitage P, Clifford R: Prognosis in Tetanus: Use of data from

therapeutic trials. The Journal of Infectious diseases vol. 138 no. 1: 1978,

pp. 1-8

12. Marino, Paul L. ICU Book, The 3rd Edition, New York: Lippincott

Williams &amp; Wilkins, 2007.

13. American Collage of Surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS)

Student Course Manual, Ninth Edition, United States of America: Library

25

of Congress Control, 2012.Sanders RKM, Martyn B et.al: Intra thecal anti

tetanus serum (Horse) in the treatment of tetanus, The Lancet May 1977.

pp. 974-977

14. Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infection prophylaxjs, Emergent Management

of Trauma, 1 th ed, McGrawhill, Toronto, 1996, 437-438.

15. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24

th, American Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.

Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press

Ltd, New York, 1991, 603 -620..

16. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious

diiseases of children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490

17. Butterworth, John F., Mackey, David C., Wasnick, John D. Morgan

&amp; Mikhail’s Clinical Anesthesiology, Fifth Edition, United States:

McGraw-Hill Education, 2013

18. http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/

PTC_INDO.pdf

Lampiran 1

1. Anamnesis

KU : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini dialami os setengah jam sebelum masuk rumah sakit.

Awalnya os mengendarai sepeda motor lalu menabrak trotoar. Os tidak

sadarkan diri mulai dari saat kejadian. Os juga mengeluarkan darah dari

2 April 2015 (03.25)Pasien masuk IGD RSUP HAM

2 April 2015 (03.30)Pasien dibawa ke ruang resusitasi (blue line) IGD RSUP HAM

26

telinga kirinya. Mual dan muntah tidak dijumpai. Pasien langsung dibawa

ke Rumah Sakit Haji Adam Malik.

RPT : -

RPO : -

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

Pemeriksaan Fisik dan Penanganan saat di IGD pukul 03.30

Gejala & Tanda Kesimpulan Penanganan Hasil

A (Airway)

Airway : unclear

Snoring (+)

Gargling (-)

Crowing (-)

SpO2 : 90%

Obstruksi

saluran nafas

1. Memastikan

jalan nafas

dengan triple

airway

maneuver (jaw

thrust)

2. Dilakukan

suctioning

3. Dilakukan

pemasangan

colar brace

Airway clear,

snoring

menghilang,

SpO2 : 94%

B (Breathing) Takipneu 1. Dilakukan Pernafasan

27

Napas spontan (+)

RR : 24 x/menit

Retraksi dada (-)

Jejas di thoraks (-)

SP : Vesikuler

ST : (-)

pemasangan

non-

rebreathing

mask dengan

oxygen flow

10 L/menit.

membaik,

RR=20x/i,

SpO2 : 94%

C (Circulation)

CRT <3”

Akral : Hangat,

Merah, Kering

t/v cukup

TD : 100/70 mmHg

HR : 100 x/i

Sirkulasi

normal

1. Memasang IV

line 18 G 1

buah di tangan

2. Diberi cairan

kristaloid RL

(Ringer

Laktat) 20 gtt/i

Sirkulasi normal

D (Disability)

Sensorium :

Unresponsive

Kesadaran

menurun

Pertahankan A-B-C

clear

Kesadaran

menurun

E (Exposure)

Didapati perdarahan

yang keluar dari

telinga kiri

Pendarahan (+)

(volume : 1

kasa)

28

Secondary Survey

B1 (breathing)

Airway : Unclear, S/G/C : +/-/-, RR = 24 x/i, SP : vesikuler, ST : -,

Malampati : sdn, Gerak leher : terbatas, Asma/Sesak/Batuk/Alergi : -/-/-/-

B2 (Blood)

Akral : dingin, merah, kering, TD : 100/70 mmHg, HR: 100 x/i, CRT :

<3”, t/v cukup, SpO2 : 94%

B3 (Brain)

Sensorium : Sopor, GCS : 7 (E1M4V2), Pupil : isokor, ka/ki : 3mm/3mm,

Refleks cahaya : +/+

B4 (Bladder)

UOP : 550 cc, Kateter terpasang

B5 (Bowel)

Abdomen : Soepel, Peristaltik (+)

B6 (Bone)

Oedem : -, Fraktur : -

Pemeriksaan Laboratorium

1. Hematologi

a. Hb : 12,40 gr%

b. Leukosit : 18.950 /mm3

c. Ht : 38,10 %

d. PLT : 315.000 /mm3

2. Analisa Gas Darah

29

a. pH : 7,290

b. pCO2 : 42.0 mmHg

c. pO2 : 140.4 mmHg

d. HCO3 : 19,7 mmol/L

e. Total CO2 : 21.0 mmol/L

f. BE : -6,4 mmol/L

g. Saturasi O2 : 98.7%

3. Metabolisme Karbohidrat

a. KGD Sewaktu : 91,5 mg/dL

4. Renal Function Test

a. Ureum : 29,90 mg/dL

b. Kreatinin : 0,90 mg/dL

5. Elektrolit

a. Natrium (Na) : 144 mEq/L

b. Kalium (K) : 5.3 mEq/L

c. Klorida (Cl) : 106 mEq/L

6. Hemostasis

a. PT : Pasien (18,9) Kontrol (13.50)

b. INR : 1.41

c. APTT : Pasien (25.5) Kontrol (34.0)

d. TT : Pasien (17.7) Kontrol (17.2)

Penanganan di IGD

Tanggal S O A P

2/4/2015 Mulut

sulit

dibuka

B1 (breathing)

Airway : Unclear,

S/G/C : +/-/-, RR = 24

EDH - Pemberian O2

non-rebreathing

mask 10L

30

x/i, SP : vesikuler, ST : -,

Malampati : sdn, Gerak

leher : terbatas,

Asma/Sesak/Batuk/Alergi

: -/-/-/-

B2 (Blood)

Akral : hangat, merah,

kering, TD : 100/70

mmHg, HR: 100 x/i,

CRT : <3”, t/v cukup,

SpO2 : 94%

B3 (Brain)

Sensorium : Sopor, GCS :

7 (E1M4V2), Pupil :

isokor, ka/ki : 3mm/3mm,

Refleks cahaya : +/+

B4 (Bladder)

UOP : 550 cc, Kateter

terpasang

B5 (Bowel)

Abdomen : kaku/distensi,

Peristaltik (+)

B6 (Bone)

Oedem : -, Fraktur : -

- IVFD RL 20gtt/i

31

Permasalahan dan Pembahasan

1. Pada tanggal 2 April 2015 pukul 03.30, pasien dibawa ke ruang

resusitasi IGD RS.H.Adam Malik dengan penurunan kesadaran ->

Pada airway dijumpai Snoaring (+), SpO2: 90% -> Dilakukan

pembebasan jalan nafas dengan triple airway maneuver kemudian

dilakukan suctioning dan pemasangan colar brace→ Hasil : Airway

unclear, SpO2: 94%

2. Napas spontan (+), RR: 24x/menit, SP: vesikuler, ST: (-), dan

retraksi dada (-) → diberikan oksigen 10L/menit melalui NRM.

Hasil : RR 20x/i

3. Dilakukan pemasangan 1 IV line 18G dengan cairan kristaloid

(Ringer Laktat) sebanyak 20gtt/i → Akral: Hangat, Merah, Kering

dengan TD:100/70mmHg , HR: 100x/i

4. Sensorium : Sopor, dengan GCS : 7 (E1M4V2) dengan pupil isokor

diameter ka:3mm/ki:3mm, RC +/+ → dijumpai penurunan

kesadaran → mempertahankan A-B-C clear → Pasien masih

penurunan kesadaran dengan GCS : 7 (E1M4V2).

5. Pada telinga kiri didapati perdarahan dengan volume ± 1 kasa.

Lampiran 2

Pembahasan

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan

laboratorium yang tidak spesifik. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan

hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat. Spasme paroksimal

32

dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki

riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat

imunisasi tetanus toksoid yang jelas.

Diagnosis pada pasien ini sudah sesuai teori dimana dijumpai tanda-tanda

klinis yaitu trismus dan spasme otot. Serta dijumpai luka tertusuk paku dikaki

yang diduga sebagai sumber masuknya bakteri C. tetani. Pemeriksaan

laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Setelah diagnosis tetanus dibuat,

tetukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring yang dapat

digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakkar, Ablett, dan Udwadia. Sistem

skoring juga sekaligus dapat menentukan prognosis.

Pada pasien tetanus, prioritas penanganan yang logikal dan sekuensial harus

dilakukan berdasarkan seluruh penilaian pasien. Fungsi vital pasien harus dinilai

dengan cepat dan efisien. Penanganan termasuk primary survey, resusitasi dari

fungsi vital, secondary survey yang lebih detail, dan akhirnya terapi definitif.

Pada primary survey dikenal ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,

Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan proritas

penanganan. Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien yang

bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat dan sistematis dan mengambil

tindakan terhadap setiap permasalahan yang mengancam jiwa. Resusitasi agresif

dan penatalaksanaan trauma yang mengancam jiwa sangat penting untuk

memaksimalkan survival pasien.16

Tambahan pada primary survey meliputi monitoring EKG, laju pernapasan,

analisa gas darah, tekanan darah, dan monitoring urine output. Secondary survey

dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan ABC pasien

dipastikan membaik.Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki,

termasuk re-evaluasi tanda vital. Dalam secondary survey mungkin akan

dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik misalnya CT-Scan kepala,

dada, abdomen dan spine, urografi, angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi

33

dan prosedur diagnostik lain. Pasien pada kasus sudah ditangani berdasarkan

primary survey dan secondary survey dengan hasil pasien mencapai kestabilan.16

Untuk penatalaksanaan secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum dan

khusus. Untuk tatalaksana umum yang harus diperhatikan:

a. Menjaga saluran nafas agar tetap bebas

b. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama

c. Tercukupinya cairan dan nutrisi

Untuk penatalaksanaan khusus sendiri, terdiri dari pemberian ATS atau HTIG dan

antibiotik. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin

yang beredar didalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Pada

penelitian di indonesia, metrodinazol menjadi terapi pilihan yang digunakan

dibeberapa pelayanan kesehatan. Metrodinazol efektif untuk mengurangi jumlah

kuman C. tetani bentuk vegetatif.

Untuk perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk,

luka kotor atau luka yang diduga tercemar oleh spora tetanus. Perawatan luka

dilakukan untuk mencegah timbulnya jaringan anaerob, sehingga jaringan

nekrotik dan benda asing harus dibuang.