Upload
noraine-zainal-abidin
View
178
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
edh
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Traumatic Brain Injury merupakan salah satu penyebab kematian,
kesakitan dan kecacatan serta bertanggung jawab pada proporsi yang signifikan
terhadap kematian akibat trauma di Amerika Serikat. Insidensi tahunan dari
trauma kepala yaitu sekitar 600 hingga 900 orang per 100.000 populasi. Terdapat
200 hingga 500 orang dirawat di unit gawat darurat, 150 hingga 250 orang dirawat
di rumah sakit dengan Traumatic Brain Injury, dan 20 hingga 30 orang meninggal
( 50% di rumah sakit dan 50% di luar rumah sakit) per tahunnya (Bruns and
Hauser, 2003). Data menunjukkan bahwa, rata-rata sekitar 1.400.000 orang
mengalami Traumatic Brain Injury setiap tahun di Amerika Serikat, dimana
50.000 orang meninggal dan 235.000 orang dirawat di rumah sakit. Penyebab
utama dari Traumatic Brain Injury antara lain akibat jatuh (28%), kecelakaan lalu
lintas berupa tabrakan kendaraan bermotor (20%), bertubrukan dengan benda
yang bergerak maupun diam (19%), dan penyebab lainnya.1
Puncak insidensi dari Traumatic Brain Injury yaitu antara umur 15 - 24
tahun dan orang yang berumur > 64 tahun. Laki-laki memiliki kemungkinan
mengalami Traumatic Brain Injury dua kali lipat lebih besar daripada wanita.
Pada populasi warga sipil, alkohol terlibat pada lebih dari setengah kasus
Traumatic Brain Injury. Menurut penelitian, kecelakaan kendaraan bermotor
terutama kecelakaan sepeda motor, terhitung sebagai salah satu penyebab
traumatic brain injury terbanyak pada warga sipil.2
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998
terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan
sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114
kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat
trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian
trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus.
2
Salah satu akibat dari cedera kepala adalah epidural hematoma. Di Amerika
Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan
sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.
Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah
berjalan dan sering jatuh.4,11
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan meningkatkan pemahaman
penulis maupun pembaca mengenai manajemen anestesi pada kasus epidural
hematom.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai perdarahan epidural sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-
kasus cedera kepala yang dicurigai sebagai perdarahan epidural di klinik sesuai
kompetensi dokter umum.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Otak
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya,tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.3
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membran dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai
jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya
pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.3
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding
atau tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut
tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang
lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur
yang berisiskan arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur
tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini,
4
perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural,
dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan
segera. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningens.
Ketiga lapisan meningens adalah dura mater, arakhnoid, dan pia mater.3
Duramater kranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria, Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu
selaput fibrosa yang kuat yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura
mater spinalis yang membungkus medulla spinalis.4 Arachnoidea mater cranialis,
lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba.5 Pia mater cranialis, lapis
terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.
Gambar 1. Lapisan meningens otak
2.2. Epidural Hematoma
2.2.1. Definisi
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
5
sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural
hematom.3,4,5
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.17
2.2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.4,11
60 % penderita hematoma epidural
adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2
tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia
kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.11
Tipe- tipe :8
1. Epidural
hematoma akut (58%), subakut hematoma (31%), kronik hematoma (11%)
perdarahan dari vena.
6
2.2.3. Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.4,11
2.2.4. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak didaerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.10
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar.10
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.3
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formatio retikularis di medula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuklei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
7
Gambar 2. Gambaran perdarahan pada epidural hematoma
Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.3
Dengan makin membesarnya hematoma,
maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan
tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intrakranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan
fungsi pernafasan.3
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur
menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada epidural hematom. Kalau pada subdural
hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan
8
trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.10
Sumber perdarahan:
• Artery meningea ( lucid interval : 2–3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infratentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala
yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,
harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.10,12
2.2.5. Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.5
Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering
tampak: 5,10
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
9
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Gejala dan tanda EDH10
:
Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness
(LOC) secara singkat.
Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.
Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral,
dilatasi pupil ipsilateral.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak
seperti penurunan kesadaran, bisa sampai koma, bingung, penglihatan kabur ,
susah bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar darah dari hidung atau telinga,
terlihat luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pusing, berkeringat,
pucat, pupil anisokor.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak.13
Jika epidural hematom di sertai dengan cedera otak
seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur.10
10
Gambar 3. Perjalanan klinik EDH pada pasien trauma kepala
2.2.6. Gambaran Radiologi
Dengan CT-Scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.4
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.12
Computed Tomography (CT-Scan)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada
tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying
lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.11
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
11
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, densitas yang tinggi pada stage yang
akut (60 –90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.8,10,18
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.11,12,18
2.2.7. Diagnosis Banding
1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater
dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan
hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat
pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai
tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan
jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan
cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.14
2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah didalamnya.14
Gambar 4. CT-Scan kepala
menunjukkan epidural hematoma,
dimana tampak lesi hiperdens berbentuk
cembung pada bagian frontal
12
2.2.8. Penatalaksanaan
Penanganan darurat :
• Dekompresi dengan trepanasi sederhana
• Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 30° dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan
intracranial dan meningkakan drainase vena.9
Pengobatan yang lazim diberikan
pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg
kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis1-3 mg/kgBB/hari)
yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini
masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama)
untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang
dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek
protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.10
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:17
• Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
• Keadaan pasien memburuk
• Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsionalsaving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
13
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.10
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
• > 25 cc = desak ruang supra tentorial
• > 10 cc = desak ruang infratentorial
• > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
• Penurunan klinis
• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
2.2.9. Prognosis
Prognosis tergantung pada :10
• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
• Besarnya
• Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar
antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi.4,16
2.3. Manajemen Anestesi
2.3.1 Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan
anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping
kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll.
CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya
midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel
(atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah
hipodensitas).
14
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan
abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan
normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing,
tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan
kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan
intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial
dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan
intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg.
Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300,
mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh
normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan
semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila
diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial,
tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter
intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari
10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial
dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan
tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase
resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak
diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama
terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320
mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40
mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah
otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan
neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap
drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agresif, 2) dosis tinggi barbiturat
dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2
< 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang
15
tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi,
pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue
oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada
metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit
intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala
yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai
outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu
penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi
adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien
dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan
hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume
darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan
tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase
vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena
jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses
otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh
otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus
dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer
(merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada
tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama
transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi,
confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan
pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil
serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa
tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk
menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan
pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena
16
dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal
optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda
herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis
yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan
terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau
tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan
memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol
hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi
mannitol.
2.3.2 Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan
intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasien datang
ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan
jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam
keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang
stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun
prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama
pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2
mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan
intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien
dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler
selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis
kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan
intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi
17
merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang
cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan
disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika
intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat
dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada
sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih
dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi
yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain
1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah
kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan
pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir
secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal
disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan
masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat
ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi
berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya
multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah
otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini
berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat
depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon
terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek
proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan
sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain
trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan
18
secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai
tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.
2.3.3 Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila
masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas
spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up,
jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi,
normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan
fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral
dimulai dalam 24 jam pascabedah.
19
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien : MP, perempuan, umur 14 tahun, TB =155 cm, BB = 50 kg
Anamnesis : Nyeri kepala
Mode of Injury : Bertabrakan dengan sepeda motor lainnya
Injury sustain : Perdarahan intrakranial
Primary Survey (12 September 2013 pukul 00.15 WIB)
A : Airway: Clear; Snoring: (-); Gurgling: (-); Crowing: (-); C-Spine:
tidak terpasang
B : RR: 20 x/i; Suara Pernafasan (SP) : vesikuler; Suara Tambahan
(ST): - ; Pneumohematotoraks (-)
C : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: cukup, frekuensi: 98 x/i; TD:
130/80 mmHg; shock: (-)
D : Sens: Compos mentis ; pupil bulat isokor: Ø: ki 3 mm / ka 3 mm; RC
+/+
E : Fraktur di ekstremitas (+) deformitas pada femur fx.
Secondary Survey
B1 : Airway: Clear; Snoring: (-); Gurgling: (-); Crowing: (-); Respiratory
rate : 20 x/menit ; Suara Pernafasan (SP): Vesikuler; Suara Tambahan
(ST): - ; Malampati (MLP): 1 ; Gerak leher (GL): bebas ; Jarak
Mentum Hyoid (JMH) : >6cm ; Buka mulut (BM): 3 jari ; SpO2:
99%; Riwayat sesak:(-); asma (-); batuk (-); alergi (-);
pneumohematotoraks (-).
B2 : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: cukup, frekuensi: 98 x/i; TD:
130/80 mmHg; Temp: 37,00C.
B3 : Sens: GCS 15 ; pupil bulat isokor: Ø: ki 3 mm / ka 3 mm; RC +/+;
bloody rinorrhea (-), bloody otorrhoe (-), battle sign (-).
B4 : UOP (+), kateter terpasang, vol : 50 cc, warna kuning
20
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+), MMT: Makan terakhir pukul 15.00
(12/09/2013)
B6 : Fraktur di ekstremitas (+) deformitas pada femur fx.
Telaah : Hal ini dialami pasien ± sejak 8 jam sebelum masuk RSHAM. Pasien
mengendarai sepeda motor dan bertabrakan dengan sepeda motor lain. Riwayat
pingsan (+), muntah (+), kejang (-)
RPT : Tidak ada
RPO : Tidak ada
Penanganan di IGD
Primary
Survey
Gejala Kesimpulan Tindakan Evaluasi
A Snoring: (-),
Gargling: (-),
Crowing: (-)
Airway: clear
B RR: 20 x/I
SP/ST:
vesikuler/-
SpO2: 99%
O2 nasal
kanul 3 L/i
C Akral:
H/M/K
Pulse: (+),
reg, t/v
cukup, frek
98 x/i
TD 130/80
mmHg
- IV line 20G
dan three
way
- Cek lab DR,
elektrolit,
RFT, HST,
albumin &
KGD ad
random
- Cross match
darah
- IVFD
Manitol
LD: 250cc
MD:100cc/
6 jam
- Inj.
-Berikan cairan
maintanance RSol :
Holiday Segar :
=1500 + (30x20)cc
=2100 cc/24 jam
=87,5 cc/jam
=30 gtt/jam
21
Ketorolac
30 mg/8
jam
- Inj.
Ranitidine
50 mg/8
jam
- Inj.
Ceftriaxon
1 gr/ 8 jam
- Inj.
Phenytoin
100mg/8
jam
D Sens:
Compos
mentis , pupil
isokor ki
3mm/ka 3mm
RC: +/+
Pemeriksaan di Ruangan (13 September 2013 pukul 12.00 WIB)
B1 : Airway: Clear; terpasang sungkup non rebreathung dengan O2 5
L/menit, Snoring: (-); Gurgling: (-); Crowing: (-); Respiratory rate :
20 x/menit ; Suara Pernafasan (SP): Vesikuler; Suara Tambahan (ST):
- ; Malampati (MLP): sulit dilnilai ; Gerak leher (GL): bebas ; Jarak
Mentum Hyoid (JMH) : >6cm ; Buka mulut (BM) : 3 jari ; Riwayat
sesak: (-); asma (-); batuk (-); alergi (-).
B2 : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: kuat/cukup, frekuensi: 102 x/i;
TD: 130/80 mmHg; Temp: 39,00C
B3 : Sens: GCS 7 (E1M4V2) ; pupil anisokor: Ø: ki 4 mm / ka 3 mm; RC
+/+; bloody rinorrhea (-), bloody otorrhoe (-), battle sign (-), racoon
eyes (+).
B4 : UOP (+), kateter terpasang, warna : kuning keruh.
22
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal, MMT: Makan terakhir
12/09/2013
B6 : Edema (-) , Fraktur di ekstremitas (+) deformitas pada femur fx.
Penanganan di Ruangan
Bed rest dan head up 300
O2 6 Lt/menit via simple face mask
IVFD RSol 30 gtt/menit
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
Inj. Novalgin 1000 mg ekstra 1x
Inj. Farmadol 1000 mg/8 jam k/p
Pemeriksaan di COT (13 September 2013 pukul 15.30 WIB)
B1 : Airway: Clear; terpasang masker non re-breathing dengan O2 5
l/menit, Snoring: (-); Gurgling: (-); Crowing: (-); Respiratory rate : 20
x/menit ; Suara Pernafasan (SP): Vesikuler; Suara Tambahan (ST): - ;
Malampati (MLP): sulit dilnilai ; Gerak leher (GL): bebas ; Jarak
Mentum Hyoid (JMH) : >6cm ; Buka mulut (BM): 3 jari ; SpO2:
100%, Riwayat sesak:
(-); asma (-); batuk (-); alergi (-).
B2 : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: kuat/cukup, frekuensi: 90 x/i;
TD: 130/80 mmHg; Temp: 37,30C
B3 : Sens: GCS 8 (E2M4V2) ; pupil anisokor: Ø: ki 4 mm / ka 3 mm; RC
+/+; bloody rinorrhea (-), bloody otorrhoe (-), battle sign (-), racoon
eyes (+).
B4 : UOP (+), kateter terpasang, vol : 30 cc/ jam, warna : kuning jernih.
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal.
B6 : Edema (-) , Fraktur di ekstremitas (+) deformitas pada femur fx.
23
Pemeriksaan Laboratorium :
Tes (12/09/2013)
Pukul: 20.15 WIB
Hasil Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin (Hb)
11,3 g %
12-14,4 g %
Leukocyte (WBC) 19,79 x 103/mm
3 4.5 – 11.0 x10
3/mm
3
Hematocrite 32,30 % 38 - 44 %
Trombocyte (PLT) 356 x 103/mm
3 150 – 450 x10
3/mm
3
Eritrocyte (RBC) 4,10 x 106 /mm
3 4,20 – 4,87
Parameter Hasil Nilai Normal
Metabolisme Karbohidrat
KGD ad random 190,00 mg/dl < 200 mg/dl
Kimia Klinik
Hati
Albumin 4,2 g/dl 3,2 – 4,5 g/dl
Ginjal
Ureum 39,0 mg/dl < 50 mg/dl
Creatinin 0,9 mg/dl 0,57- 0,87 mg/dl
Elektrolit
Natrium (Na) 139 mEq/L 135 – 155
Kalium (K) 4,1 mEq/L 3,6 – 5,5
Chloride (Cl) 110 mEq/L 96 – 106
Faal Hemostasis
PT 17,8 detik 14 detik
INR 1,30
APTT 35,5 detik 32,5 detik
TT 15,0 detik 16,9 detik
24
Foto Thorax
Kedua sinus costophrenicus lancip, kedua diafragma licin, tidak tampak infiltrat
pada kedua lapangan paru, jantung ukuran normal, CTR < 50%, trakea di tengah,
tulang-tulang dan soft tissue baik.
Kesan :
Tidak ada kelainan pada cor dan pulmo.
25
CT Scan
26
Dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala potongan axial dengan hasil sebagai
berikut :
Infratentorial serebelum dan ventrikel ke-4 tampak normal. Supratentorial tampak
lesi hiperdens bentuk bikonveks atas tegas di temporal kanan (volume ± 40 cc).
Tampak juga lesi hiperdens memanjang di ekstraaksial frontoparietal kanan
dengan bayangan udara di dalamnya. Tampak midline shift ± 1,2 cm ke arah kiri.
Ventrikular sistem dan sisterna mulai menyempit. Tampak kista septum
pellucidum. Tampak fraktur dinding anterior dan posterior sinus maxilaris kanan,
etmoidalis kanan kiri, sfenoidalis kanan dan fraktur segmental frontalis kanan dan
parietal kanan. Tampak perselubungan sinus paranasalis.
Kesan :
• Perdarahan epidural di temporal kanan (volume ± 40 cc)
• Perdarahan subdural dengan pneumocephal frontoparietal kanan.
• Edema serebri
• Fraktur dinding anterior dan posterior sinus maksilaris kanan, etmoidalis
bilateral, sfenoidalis kanan, frontalis kanan, dan parietal kanan disertai
hematosinus paranasalis.
27
Foto Femur Kiri
Fraktur suprakondilar os femur sinistra.
Foto Pelvis : tidak tampak kelainan pada foto pelvis.
Foto Scheedel : tampak fraktur linear pada temporoparietal kanan.
Foto Servikal : tidak tampak kelainan pada foto servikal.
Diagnosa :HI GCS 15 + Macrofacial injury + EDH o/t (R) PO + SDH o/t (R)
FPO
Rencana Tindakan :
Craniotomy evakuasi EDH
Pre-Op
-ACC untuk tindakan Anestesi pasien, persiapkan :
SIA (Surat Izin Anestesi)
Surat izin tranfusi
28
Hitung EBV dan EBL pasien untuk transfusi darah durante op, EBV 65 x
50 = 3250 cc, EBL 10 – 20 – 30 = 325 mL– 650 mL– 975 mL. Sedia darah
WB 2 bag.
Injeksi ceftriaxone 1 gr 1 jam sebelum operasi
Cukur botak licin
Puasa
Pasang IV line dan pastikan lancar.
Oral dan Personal higine
Persiapan Alat dan Obat:
Teknik Anestesi:
Tilt Test
Suction aktif
Pre Oksigenasi O2 100% 3-5 menit
Head up 300
Premedikasi midazolam 3 mg, Fentanyl 150 mcg sedasi analgesia
nondepresi
Sellick maneuver
Induksi Propofol 100 mg blink refleks (-), sleep non apnea
Inj. Rocuronium 50 mg sleep apnea
29
Intubasi ETT 6.5 cuff (+), Sp ki = ka, fiksasi
Maintenance
Sevoflurane 0.5 – 1 %, O2:air = 2:2
Rocuronium 10 mg/20 menit
Fentanyl 50 mcg/30 menit
EtCO2 : 30-35mmHg
Foto Pre-Operasi
30
Durante Operasi
- Lama operasi : 4 jam
- TD : 110-120/ 55-65 mmHg
- HR : 65-80 x/mnt
- RR : 16 x/mnt
- SpO2 : 99-100%
- Perdarahan : 300 cc
- Penguapan + maintenance: 200cc/jam
- UOP = 300 cc jernih
- Cairan :
- PO : R Sol 500 cc
- DO : R Sol 2000cc, WB 350 cc
31
Foto Durante Operasi
32
Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1 : Airway clear , terintubasi dan terhubung dengan ventilator modus P-
CMV, RR 18x/menit, PI 20 cmH20, PEEP 5 cmH2O, FiO2 70%, SP
vesikuler, ST -/-, SpO2 99%.
B2 : Akral: H/M/K, TD: 120/70 mmHg, HR: 85x/men, T/V kuat/cukup,
reguler, T: 36,7 C
B3 : Sens: GCS 7T (E2VTM5), pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+.
B4 : UOP (+), vol. ± 30cc/ jam, warna kuning jernih.
B5 : Abdomen soepel, peristaltik (-), NGT terpasang.
B6 : Oedem (-), Fraktur (+) deformitas pada femur kiri.
33
Hemodinamik Post Operasi
Terapi Post Operasi di Pasca Bedah
Rawat di PICU
Bed rest, head up 300
Rencana anjuran weaning pagi ini
Diet SV 1500 kkal/hri (250 cc/4jam)
IVFD R Sol 20 gtt/mnt
Inj. Midazolam 15 mg +Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0.9% ->
5 cc/jam
Inj. Vecuronium 3mg/jam/SP
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam IV
Inj. Ranitidine 50 mg/ 8 jam IV
Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Inj. Phenitoin 100 mg/8 jam IV
Cek Darah Rutin, AGDA, KGD ad random, Elektrolit, HST, RFT,
LFT
Bila Ht < 30% → transfusi
Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, O2sat, UOP, kesadaran selama di
PICU
34
Pemeriksaan Laboratorium Post Operasi (13 September 2013 pukul 22.03
WIB)
DL : 7.4/22.2/10.55/184
HST : 17.5 (12.5)/1.45/33.5(32)/18.3(17)
Alb : 3.1
KGD ad Random : 107
Ur/Cr : 57.5/ 0.61
Na/K/Cl : 141/3.9/116
AGDA : pH/pCO2/pO2/HCO3/CO2T/BE/O2sat
7.506/15.9/188/12.3/12.8/- 10/98.7
Foto Pasien Post Op
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
14
September
2013
- Sens : GCS 7T
(E2VTM5)
TD : 120/70
mmHg
HR : 97
x/menit
Post op
craniectomy
(H1) a/i
evakuasi EDH
+ Fraktur o/t R
Femur distal
(L).
- Elevasi kepala
30° midline
position.
- Terpasang
ventilator
PCMV dengan
FiO2 70%, PIP
20 PEEP 5 RR
35
18 T 0,7
- IVFD NaCl
0,9% : 250 cc/
12 jam
- IVFD NaCl 3%
habis dalam 1
jam.
- Inj. Ceftriaxone
1gr/12 jam
(H1)
- Inj. Ranitidine
50 mg/8 jam
(aff).
- Inj. Ketorolac
80 mg/ 8 jam
- Citicolin 250
mg/8 jam.
- Ecron 10 mg
dalam 10 cc
NaCl 0,9%: 0,5
mcg/ kgBB =
1,5 cc/jam.
- Midazolam 15
mg + fentanyl
200mcg = 0,5
mcg/kgBB/jam
atau 6,2 cc/jam.
- Diet 60 cc/ 3
jam.
15
September
2013
- Sens: GCS:14
(E4V4M6)
TD: 110/70
mmHg
HR: 101 x/i
Post op
craniectomy
(H2) a/i
evakuasi EDH
+ Fraktur o/t R
Femur distal
(L).
- Elevasi kepala
30° midline
position
- Terpasang T-
piece O2 3 lpm
- IVFD NaCl
0,9%
25cc/jam
- Inj. Miloz
30mg dlm 10
cc
36
- Inj. Fentanyl
200 mcg →
0,6 mcg/kgBB
→ 7,4 cc/jam
- Inj.
Ceftriaxone
1gr/12jam
- Inj. Farmadol
500mg/6jam
- Diet Ensure
dgn 120 cc/
3jam via NGT
16
September
2013
- GCS: 15
TD:110/70mmHg
HR: 98 x/i
Post op
craniectomy
(H3) a/i
evakuasi EDH
+ Fraktur o/t R
Femur distal
(L).
- Elevasi kepala
30° midline
position
- IVFD NaCl
0,9%
25cc/jam
- Inj. Fentanyl
200 mcg →
0,6 mcg/kgBB
→ 7,4 cc/jam
- Inj.
Ceftriaxone
1gr/12jam
- Inj. Farmadol
500mg/6jam
- Diet Ensure
dgn 200 cc/
3jam via NGT
37
BAB 4
DISKUSI
Teori Kasus
Di Indonesia cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian utama
setelah stroke, TB dan hipertensi.
Cedera kepala karena kecelakaan lalu
lintas dialami 4089 (19,6%) dari 20.289
kasus.
Puncak insidensi cedera kepala yaitu
pada usia15-24 tahun dan >64 tahun.
Menurut penelitian, kecelakaan
kendaraan bernotor, terutama
kecelakaan sepeda motor merupakan
penyebab cedera kepala terbanyak pada
warga sipil.
OS, pr, umur 14 tahun, BB = 50 kg,
datang dengan keluhan nyeri kepala
setelah kecelakaan lalu lintas dimana os
mengendarai sepeda motor dan ditabrak
sepeda motor lain.
Sebagian besar kasus epidural hematom
diakibatkan oleh robeknya arter
meningea media. Perdarahan terletak
anatara tulang tengkorak dan
duramater. Gejala klinisnya adalah
lucid interval, yaitu selang waktu antara
pasien masih sadar setelah kejadian
trauma kranioserebral dengan
penurunan kesadaran yang terjadi
kemudian. Biasanya waktu perubahan
kesadaran ini kurang dari 24 jam;
penilaian penurunan kesadaran dengan
GCS. Gejala lain adalah nyeri kepala,
Pada kasus dijumpai gejala klinis yaitu
nyeri kepala pada saat di IGD dengan
riwayat pingsan dan muntah
sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik
didapati sensorium GCS 15 dan
keadaan hemodinamik dalam batas
normal. Dari pemeriksaan penunjang :
CT Scan didapati : perdarahan epidural
di temporal kanan (volume ± 35 cc),
perdarahan subdural dengan
pneumocephal frontoparietal kanan,
edema serebri, dan fraktur dinding
anterior dan posterior sinus maksilaris
38
bisa disertai muntah proyektil, pupil
anisokor dengan midriasis di sisi lesi
akibat herniasi uncal, hemiparesis, dan
refleks patologis babinski (+)
kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT Scan kepala
didapati lesi hiperdens umumnya di
daerah temporal berbentuk cembung.
kanan, etmoidalis bilateral, sfenoidalis
kanan, frontalis kanan, dan parietal
kanan disertai hematosinus paranasalis.
Pasien didiagnosis dengan HI GCS 15
+ Macrofacial injury + EDH o/t (R) PO
+ SDH o/t (R) FPO. Pasien dianjurkan
untuk evakuasi EDH, tetapi keluarga
menolak. Pada tanggal 13/09/2013
pasien mengalami penurunan kesadaran
(GCS 7). Dari sini tampak adanya lucid
interval. Tekanan dari herniasi unkus
pada sirkulasi arteria yang mensuplai
formatio retikularis di medula
oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Didapati pula pupil anisokor
(ka/ki: 4mm/3mm) yang dapat timbul
akibat herniasi tentorial (herniasi lobus
temporalis di bawah tentorium
serebeli→kompresi n.III→dilatasi pupil
ipsilateral). Racoon eyes dapat terjadi
akibat fraktur basis kranii yang telah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT-
Scan (pneumocephal frontoparietal
kanan, dan fraktur dinding etmoidalis
bilateral, frontalis kanan).
Penatalaksanaan :
Atasi dahulu ABCDE
Pipa lambung untuk mencegah
terjadinya aspirasi.
Pemasangan kateter juga
Pada kasus dilakukan penatalaksanaan
berupa :
Penanganan di IGD :
• O2 3l/I via nasal canule
• Pemasangan IV line 20G dan
39
dipasang untuk mengosongkan
kandung kemih dan menilai urin.
Elevasi kepala 30° atau posisi
antitredelenburg untuk
mengurangi tekanan intrakranial
dan meningkatkan drainase vena.
Pemberian mannitol 20% untuk
mengatasi edema serebri.
Pemberian terapi profilaksis
dengan fenitoin sedini mungkin
(24 jam pertama) untuk mencegah
timbulnya fokus epileptogenik.
Penanganan operatif diindikasikan
pada kasus :
- > 40 cc dengan midline shifting
pada daerah temporal / frontal /
parietal dengan fungsi batang
otak masih baik.
- > 30 cc pada daerah fossa
posterior dengan tanda-tanda
penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi
batang otak masih baik.
- EDH progresif.
- EDH tipis dengan penurunan
kesadaran bukan indikasi
operasi.
three way
Berikan cairan maintanance RSol :
Holiday Segar :
=1500 + (30x20)cc
=2100 cc/24 jam
=87,5 cc/jam
=30 gtt/jam
• Pemasangan NGT
• Pemasangan kateter urine
• Cek lab DR, elektrolit, RFT,
HST, albumin & KGD ad random
• Cross match darah
• IVFD Manitol LD: 250cc
MD:100cc/6 jam
• Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
• Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam
• Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 8 jam
• Inj. Phenytoin 100mg/8 jam
• Pasien diindikasikan untuk
craniotomy evakuasi EDH
karena dari pemeriksaan CT
Scan didapati perdarahan
epidural di temporal kanan
(volume ± 40 cc) dengan
midline shift ± 1,2 cm ke arah
kiri.
40
Manajemen Anestesi
a. Pre Operasi
Pasien Emergency NPO
Pastikan iv line terpasang dan lancar
Hitung EBV dan EBL pasien untuk transfusi darah durante op, EBV
65 x 50 = 3250 cc, EBL 10 – 20 – 30 = 325 mL– 650 mL– 975 mL.
b. Durante Operasi
Teknik anastesi: GA-ETT
Head Injury GCS 7 - 8 : Cegah secondary brain injury
- Pertahankan normovolemik, cegah hipoksia, cegah hiperkarbia,
cegah nyeri, anestesi cukup, head up 30°
- Observasi Patensi Airway, vital sign dan GCS
Operasi daerah kepala, ETT tertutup doek: fiksasi kuat, pasang
prekordial, perhatikan pressure manometer dan SpO2.
Operasi potensial perdarahan → siapkan darah, pasang abocath dengan
bore besar & pastikan lancar serta hitung EBV dan EBL.
c. Post Operasi
• Posisi head up 30 derajat.
• Monitoring cairan hematokrit dipertahankan >33% dan
prod.urin. 0,5 – 1 cc/kg bb/jam
• Pertahankan normokapni 30 – 35 mmHg
• Pertahankan CPP dimana MAP > 90.
• Hindari kejang dgn pemberian phenitoin prophylaxis 100 mg/8 jam
selama 1 minggu post op.
• Potensial terjadi infeksi antibiotik yang adekuat
• Nyeri post Operative pemberian analgetik kuat
• Evaluasi GCS
•
41
DAFTAR PUSTAKA
1. National Center for Injury Prevention and Control, 2007. Traumatic Brain
Injury. Center for Disease Control and Prevention. Available from :
http://www.cdc.gov/ncipc/factsheets/tbi.htm.
2. Nicholl, J., and LaFrance, W.C., 2009. Neuropsychiatric Sequelae of
Traumatic Brain Injury. Semin Neurol ,29(3) : 247–255. Available from :
www.medscape.com/viewarticle/706300
3. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, Edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
4. Anonym, Epidural Hematoma, Available from:
www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
5. Anonym,Epidural Hematoma, Available from: www.nyp.org
6. Anonym, Intracranial Hemorrhage, Available from: www.ispub.com
7. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert
A.L.Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22
8. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, Second Edition.
Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117–178
9. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua. Balai Penerbit
FKUI,Jakarta, 2006, 359-366
10. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
11. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, Available from: www.emedicine.com
12. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
13. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
14. Price D., Epidural Hematoma, Available from: www.emedicine.com
15. Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen
Interpretation, Fourth Edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404
42
16. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,
http://iwansain.wordpress. com/2007
17. Soertidewi L., Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral,
Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2002, 80
18. Sutton D., Neuroradiology of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging,
Fifth Edition, Churchill Living Stone, London,1993, 1423